BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan. Berdasarkan data dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang dihasilkan dari kebiasaan dari masing-masing suku-suku tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. mampu memahami bahwa Indonesia terdiri atas beraneka-ragam budaya. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang perilakunya diperoleh melalui

BAB I PENDAHULUAN. Gereja Katolik Roma merupakan suatu institusi keagamaan. Institusi ini

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Sebagian besar siswa yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang penting di Indonesia. Semua warga

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dengan ditetapkannya wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pulau sebanyak pulau, masing-masing pulau memiliki pendidikan formal

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

Studi Deskriptif Mengenai Strategi Akulturasi Integrasi pada Mahasiswa Perantau Kelompok Etnik Minangkabau dan Kelompok Etnik Batak di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan komunikasi. Dalam buku Komunikasi AntarBudaya, Jalaluddin Rakhmat dan Deddy

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau

BAB I PENDAHULUAN. dunia tanpa memiliki pemahaman apapun tentang apa yang harus dilakukan dan

BAB I PENDAHULUAN. sukunya mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud antara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang, maka pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Proyek-proyek perumahan, gedung-gedung bertingkat dan pembenahan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dengan karakter, budaya, dan tradisi yang berbeda beda. Ada suku Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Sampai saat ini tercatat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dan dialami serta disadari oleh manusia dan masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Sugeng Pramono Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang multi culture yang berarti didalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Struktur karya sastra dibedakan menjadi dua jenis yaitu struktur dalam

BAB I PENDAHULUAN. pikiran negative yang dapat memicu lahir konflik(meteray, 2012:1).

AKULTURASI MAHASISWA PRIBUMI DI KAMPUS MAYORITAS TIONGHOA. Oleh : Tantri Kusuma Wardhani ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri. Selain

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Indonesia terkenal akan keberagamannya, keberagaman itu bisa dilihat dari

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa mengenai perjumpaan budaya Sabudan

LOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam sekelompok masyarakat. Masyarakat terbentuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

menghubungkan satu kebudayaan dengan kebudayaan lain.

Indonesia memiliki banyak suku bangsa, di mana setiap suku bangsa yang. melahirkan satu sudut pandang dan pola pikir tersendiri pada masyarakatnya,

BAB I PENDAHULUAN. makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta

BAB I PENDAHULUAN. bantuan dari sesama di sekitarnya, dan untuk memudahkan proses interaksi manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. melancong atau pindah dari suatu Negara ke Negara yang lain dengan

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. 1 Sumber buku karangan Nirwabda Wow Building, 2014 : 88 2 Ibid : 88

BAB I Pendahuluan. 1.1 Multimedia Interaktif Flash Flip Book Pakaian Adat Betawi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan

2015 PENANAMAN NILAI-NILAI KESUND AAN MELALUI PROGRAM TUJUH POE ATIKAN ISTIMEWA D I LINGKUNGAN SEKOLAH KABUPATEN PURWAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. antarbudaya yang tidak terselesaikan. Dan lanjutnya, Umumnya orang menaruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003.

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

D. Dinamika Kependudukan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang diposting salah satu situs berita di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014

I. PENDAHULUAN. dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman kebudayaan Indonesia merupan kebanggaan yang pant as

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

I. PENDAHULUAN. mengetahui dan mempelajarinya. Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan paduan

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan. (Huvigurst dalam Hurlock, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat yang lebih sering disebut sebagai Tatar Sunda dikenal

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB V PENUTUP. Setelah semua tahap penelitian dilaksanakan, maka peneliti ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kelurahan Sindangkasih adalah kearifan lokal budaya yang masih tersisa di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan

BAB I PENDAHULUAN. adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan. untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diinginkan. Kesenian dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan juga dikenal dengan berbagai suku, agama, dan ras serta budayanya.

Kecakapan Antar Personal

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, mengakibatkan munculnya New

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Karo merupakan etnis yang berada di Sumatera Utara dan mendiami

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan. Berdasarkan data dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia pada tahun 2004, Indonesia terdiri dari 17. 504 pulau (wikipedia.com). Lima pulau diantaranya merupakan pulau besar, yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Indonesia juga terdiri dari berbagai daerah yang tentu saja memiliki budaya yang berbeda-beda, oleh karena itu Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan keberanekaragaman budaya. Daerah-daerah di Indonesia dibagi ke dalam 33 provinsi. Dua provinsi diantaranya berada di pulau Papua, yaitu provinsi Papua dan provinsi Papua Barat Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, Papua dikenal sebagai Netherland New Guinea. Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai provinsi Irian Barat sepanjang tahun 1969-1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya hingga tahun 2002. Pada tahun 2004, Papua dibagi menjadi 2 provinsi, bagian timur tetap memakai nama Papua, sedangkan bagian barat menjadi provinsi Papua Barat. Kata Papua berasal dari bahasa Melayu yang berarti rambut keriting, yang merupakan sebagian gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli. (exalted.blogspot.com). 1

2 Walaupun dibagi kedalam dua provinsi, masyarakat Papua lebih dibedakan berdasarkan letak geografisnya, yaitu kawasan pesisir pantai yang didiami oleh masyarakat pantai atau yang biasa disebut dengan panggilan orang pantai dan daerah pegunungan yang didiami oleh masyarakat gunung atau yang biasa dipanggil dengan orang gunung atau masyarakat pedalaman (http://naningku.wordpress.com). Kebudayaan penduduk asli di daerah pedalaman kebanyakan masih asli atau tradisional dan sulit untuk dilepaskan dan sangat kuat pengaruhnya, sedangkan kebudayaan penduduk asli di daerah pantai sudah mengalami perubahan. Oleh karena kemudahan dalam transportasi maupun komunikasi, masyarakat pantai lebih cepat menerima pengaruh atau perubahan dari luar, dan dengan sendirinya ikut mempengaruhi kebudayaan penduduk daerah setempat (http://sudhew.wordpress.com). Dapat dikatakan bahwa kehidupan masyarakat pantai lebih maju dibandingkan dengan masyarakat gunung. Hal tersebut dikarenakan lebih terbukanya masyarakat pantai dengan pengaruh dan perubahan dari luar. Demikian pula dengan pendidikan, masyarakat pantai lebih terbuka sehingga banyak masyarakat pantai Papua yang merantau ke daerah Indonesia lainnya untuk menuntut pendidikan, salah satunya ke kota Bandung. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan 10 mahasiswa asal Papua yang tergabung dalam Himpunan Y, yaitu perkumpulan mahasiswa Papua di Universitas X, diketahui bahwa alasan mereka memilih kota Bandung untuk menempuh pendidikan adalah karena adanya pandangan bahwa Bandung merupakan kota besar yang tidak terlalu padat, bising, dan berpolusi seperti Jakarta. Selain itu,

3 alasan mereka memilih kota Bandung karena kota tersebut direkomendasikan oleh mahasiswa-mahasiswa yang telah lebih dulu merantau ke luar Papua. Bandung merupakan kota yang memiliki banyak pilihan bagi calon mahasiswa untuk menuntut ilmu. Berdasarkatan daftar perguruan tinggi swasta di lingkungan kopertis wilayah IV Jabar dan Banten, terdapat 135 perguruan tinggi swasta di Bandung (www.kopertis4.or.id), salah satunya yaitu Universitas X Bandung. Dari sekian banyak universitas swasta yang ada di kota Bandung, Universitas X Bandung merupakan universitas yang banyak menjadi pilihan generasi muda untuk menimba ilmu. Sejak berdiri pada tanggal 11 September 1965, Universitas X Bandung telah menghasilkan banyak sarjana yang berkualitas, yang telah mengabdikan ilmunya bagi bangsa dan negara. Sampai dengan tahun 2008 telah terdapat 7 fakultas dengan 23 program studi, serta program pascasarjana dengan tiga program studi, yaitu Fakultas Kedokteran, Fakultas Teknik, Fakultas Psikologi, Fakultas Sastra, Fakultas Ekonomi, Fakultas Seni Rupa dan Desain, dan Fakultas Teknologi Informasi, serta Fakultas Program Ganda, yaitu Teknik Sipil dan Sistem Informasi (www.carikampus.com). Data Badan Administrasi Akademis (BAA) Universitas X Bandung menunjukan bahwa, dari 2726 mahasiswa baru pada tahun 2008 terdapat 0,69% mahasiswa yang berasal dari Papua dan meningkat menjadi 0,81% dari 2593 mahasiswa baru pada tahun 2009; sedangkan pada tahun 2010 jumlah mahasiswa yang berasal dari daerah Papua kembali menurun menjadi 0,71% dari 2120 mahasiswa baru. Berdasarkan data di atas, tentu saja mahasiswa yang berasal dari daerah Papua menjadi kaum minoritas. Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua

4 di Universitas X juga terdiri dari beberapa kriteria, yaitu mahasiswa yang kedua orang tuanya memiliki etnis Papua; mahasiswa yang bukan etnis Papua namun lahir dan besar di Papua; dan mahasiswa yang bukan etnis Papua dan tidak lahir di Papua, namun dibesarkan di Papua, walaupun demikian mereka menyatakan diri dan menghayati dirinya sebagai orang Papua, sehingga bersedia bergabung dalam himpunan Y. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas X Bandung, mahasiswa yang berasal dari Papua tentunya akan memasuki budaya yang berbeda dari budaya asal daerahnya. Para mahasiswa tersebut akan berinteraksi dengan budaya setempat, yaitu budaya Sunda. Berdasarkan hasil wawancara dengan Tisna Sanjaya, seorang tokoh pemerhati Sunda, budaya Sunda sekarang ini telah banyak yang terkikis oleh perkembangan industri. Nilai-nilai agama yang yang dahulu ditarik dalam berbagai peristiwa budaya, kini telah berkurang. Budaya gotong royong, saling mengunjungi, dan berkirim makanan kepada tetangga kini sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Sunda. Walaupun demikian, karakteristik masyarakat Sunda yang ramah, sopan santun, dan terbuka masih terlihat. Hal ini juga dirasakan oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap mahasiswa yang berasal dari daerah Papua, mereka menganggap masyarakat Sunda ramah dan sopan terhadap orang yang sudah dikenal atau yang baru dikenal, sehingga mereka juga bersedia untuk berteman dekat dengan masyarakat atau mahasiswa Sunda. Pada saat berinteraksi dengan budaya Sunda, akan terjadi pertemuan nilainilai, pandangan, dan gaya hidup para mahasiswa yang berasal dari daerah Papua

5 dengan masyarakat dengan budaya Sunda. Ketika memasuki budaya Sunda sebagai budaya yang baru, pada saat yang bersamaan mahasiswa yang berasal dari daerah Papua juga dituntut untuk beradaptasi secara kultural dengan budaya setempat. Hal tersebut dilakukan agar mahasiswa yang berasal dari daerah Papua dapat melakukan kegiatan secara lebih efektif terutama apabila kegiatan tersebut berhubungan langsung dengan masyarakat setempat, yaitu masyarakat Sunda. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan 10 mahasiswa yang tergabung dalam himpunan Y, yaitu perkumpulan mahasiswa yang berasal dari daerah Papua, diketahui bahwa terdapat perbedaan ketika mereka melakukan kontak dan berinteraksi dengan budaya dan masyarakat Sunda dalam hal bahasa atau logat, pakaian, makanan, dan juga kegiatan atau kebiasaan. Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua merasa bahwa bahasa yang digunakan dan nada bicara masyarakat setempat lebih halus, sedangkan nada dan logat Papua lebih keras, sehingga terkesan kasar ketika berbicara. Selain dalam bahasa, mahasiswa yang berasal dari daerah Papua merasa bahwa makanan Sunda lebih manis dibandingkan dengan makanan yang berasal dari Papua. Mereka juga menghayati adanya perbedaan dalam hal cara berpakaian, masyarakat setempat terutama wanita dihayati oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua berpakaian lebih terbuka dibandingkan wanita-wanita di Papua. Pakaian yang digunakan oleh kaum pria masyarakat setempat juga memiliki perbedaan dengan yang digunakan oleh masyarakat Papua. Di Papua, kaum pria menggunakan celana yang lebar, yang mereka hayati sama dengan celana yang digunakan oleh penyanyi rap Negro,

6 sedangkan mahasiswa yang berasal dari daerah Papua merasa celana yang digunakan oleh kaum pria di Bandung lebih sempit atau mengikuti bentuk kaki. Perbedaan yang dihayati oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua terkait dengan kegiatan atau kebiasaan adalah ketika mereka berkumpul. Di Papua, ketika berkumpul biasanya mereka akan bernyanyi dan saling melontarkan cerita-cerita lucu yang biasa mereka sebut dengan mob (cerita lucu fiksi), sedangkan di Bandung, ketika berkumpul biasanya hanya sekedar mengobrol atau bercanda saja. Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua juga merasa bahwa masyarakat Sunda lebih lambat dan santai ketika melakukan sesuatu, berbeda dengan masyarakat Papua yang lebih cepat dan terkesan tergesa-gesa. Ketika individu yang melakukan kontak dan interaksi dengan budaya lain mengalami kesulitan, maka individu tersebut akan melakukan adaptasi atau penyesuaian diri terhadap budaya yang bersangkutan. Akulturasi dapat membantu mahasiswa yang berasal dari daerah Papua untuk membaur dan beradaptasi dengan budaya Sunda, termasuk dalam hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahasa atau logat, cara berpakaian, makanan, dan kegiatan atau kebiasaan. Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan tersebut. Menurut Prof. Stroink (dalam Berry, 1999), akulturasi adalah proses dimana individu mengadopsi suatu kebudayaan baru, termasuk juga mengasimilasikan dalam praktek, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai.

7 Cara-cara individu atau kelompok yang sedang berakulturasi ingin berhubungan dengan masyarakat setempat disebut dengan Strategi Akulturasi (Berry dkk., 1989). Terdapat empat strategi akulturasi, yaitu asimilasi, separasi, integrasi, dan marginalisasi. Ketika mahasiswa yang berasal dari daerah Papua yang mengalami akulturasi tidak ingin memelihara budaya dan jati dirinya dan melakukan interaksi sehari-hari dengan masyarakat setempat, yaitu budaya Sunda, maka ia disebut menggunakan strategi asimilasi. Ketika mahasiswa yang berasal dari daerah Papua ingin mengukuhkan budaya asalnya dan menghindari interaksi dengan budaya Sunda, maka ia menggunakan strategi separasi. Ketika mahasiswa yang berasal dari daerah Papua memiliki minat terhadap keduanya, yaitu melakukan interaksi dengan budaya Sunda tetapi tetap memelihara budaya asalnya, maka ia disebut menggunakan strategi integrasi. Ketika mahasiswa yang berasal dari daerah Papua yang berakulturasi memiliki minat yang kecil untuk melakukan interaksi dengan budaya dan masyarakat Sunda tetapi ia juga memiliki minat yang kecil untuk memelihara budaya asalnya, maka strategi yang digunakan adalah marginalisasi. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 10 mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung, diketahui 100% mahasiswa yang berasal dari daerah Papua tetap menghayati dirinya sebagai orang Papua atau bagian dari budaya Papua dan tidak merasa menjadi orang Sunda walaupun sekarang berada di Bandung, hal tersebut merupakan aplikasi dari strategi separasi pada aspek Identitas Budaya. Pada aspek Kompetensi Bahasa, 10% mahasiswa yang berasal dari daerah Papua sama sekali tidak ingin

8 mempelajari bahasa Sunda, hal ini merupakan aplikasi strategi separasi; 80% mahasiswa yang berasal dari daerah Papua mengkombinasikan bahasa atau logat asalnya, yaitu Papua dengan bahasa Sunda, hal ini merupakan aplikasi strategi integrasi; dan 10% mahasiswa yang berasal dari daerah Papua ingin selalu menggunakan bahasa Sunda, hal ini adalah apikasi strategi asimilasi. Pada aspek Aktivitas Budaya, 20% tidak peduli dan tidak ingin mengikuti cara berpakaian masyarakat Sunda, dan tidak menyukai makanan selain makanan daerahnya, sehingga hal yang dilakukan adalah lebih sering memakan ikan yang mereka hayati lebih sesuai dengan selera karena merupakan salah satu makanan utama di Papua, hal-hal tersebut merupakan aplikasi dari strategi separasi. Sebanyak 80% memadupadankan cara berpakaiannya dengan dengan cara berpakaian masyarakat Sunda, yaitu dengan tidak menggunakan celana yang terlalu lebar, dan menyukai makanan Sunda, tetapi tetap menyukai makanan daerah asalnya, hal ini merupakan aplikasi dari strategi integrasi. Setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda ketika melakukan akulturasi dengan budaya setempat, demikian pula dengan mahasiswa yang berasal dari Papua. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti strategi akulturasi pada mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung.

9 1.2 Identifikasi Masalah Penelitian ini ingin mengetahui strategi akulturasi pada mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran empiris mengenai strategi akulturasi pada mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : Untuk memperoleh gambaran mengenai strategi akulturasi yang dipilih oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung pada aspek Kompetensi Bahasa, Identitas Budaya, dan Aktivitas Budaya. Untuk memperoleh gambaran mengenai strategi akulturasi yang dipilih oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung beserta faktor-faktor yang mengambarkannya. Untuk memperoleh gambaran perbedaan strategi akulturasi yang mungkin ada dari kelompok Non Etnis Papua Asli dan kelompok Etnis Papua Asli pada mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung.

10 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah Memberikan informasi kepada ilmu psikologi khususnya Psikologi Sosial mengenai strategi akulturasi yang dipilih oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi peneliti lain dalam mengembangkan penelitian mengenai strategi akulturasi. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung mengenai strategi akulturasi yang dipilih, diharapkan mereka dapat mempertahankan atau mengembangkan strategi akulturasi yang lebih efektif dalam berinteraksi dengan budaya setempat, yaitu Sunda. Memberikan informasi kepada Universitas yang bersangkutan mengenai strategi akulturasi yang dipilih mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pengarahan mahasiswa baru terutama yang berasal dari daerah Papua pada masa orientasi.

11 1.5 Kerangka Pikir Perkembangan kognitif mahasiswa yang berasal dari daerah Papua berada pada tahap formal operasional. Pada tahap tersebut, mahasiswa yang berasal dari daerah Papua merencanakan dan membuat hipotesis mengenai masalah-masalah yang dihadapinya termasuk pada saat mereka menjadi kaum minoritas, bertemu dengan budaya yang berbeda dengan budaya asal mereka, dan dituntut untuk melakukan kontak dengan budaya setempat dalam hal ini adalah budaya Sunda. Hal tersebut mendorong terjadinya proses akulturasi. Kemampuan kognitif pada tahap formal oprasional juga membantu mahasiswa yang berasal dari daerah Papua memilih strategi untuk beradaptasi dengan budaya setempat dan sudah mampu mengantisipasi kemungkinan dan konsekuensi yang mungkin terjadi atas strategi akulturasi yang mereka pilih. Akulturasi adalah proses dimana individu mengadopsi suatu kebudayaan baru, termasuk juga mengasimilasikan dalam praktek, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai (Proft. Stroink, dalam Berry, 1999). Menurut Berry dan Kim, akulturasi terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pra-kontak, kontak, konflik, krisis, dan adaptasi. Pada tahap kontak, mahasiswa yang berasal dari daerah Papua akan berinteraksi secara langsung dengan budaya Sunda. Pengenalan terhadap budaya Sunda memungkinkan munculnya konflik pada diri mahasiswa yang berasal dari daerah Papua. Birman dan Tricket s (www.questia.com) membagi aspek-aspek yang mengalami akulturasi ke dalam tiga kelompok, yaitu kompetensi bahasa, identitas dan perilaku atau aktivitas budaya. Kompetensi bahasa adalah kemampuan individu untuk mengerti dan menggunakan bahasa asalnya dan bahasa setempat, yaitu bahasa Sunda baik

12 secara lisan maupun tulisan. Identitas budaya adalah penghayatan diri individu sebagai bagian dari suatu budaya dan menganggap positif hal tersebut. Perilaku atau aktivitas budaya adalah keterlibatan seseorang dalam melakukan perilaku atau kegiatan yang berhubungan dengan budaya tertentu seperti penggunaan bahasa, hiburan, musik dan makanan. Jika interaksi kedua budaya ini terus berlanjut, maka konflik pada aspek-aspek tersebut akan berubah menjadi krisis. Menurut Oberg (dalam Ward, bochner, dan Furnham, 2001), rata-rata krisis yang dialami akan berhenti dalam waktu 6 bulan sampai 1,5 tahun. Krisis yang dialami mahasiswa yang berasal dari daerah Papua adalah kesulitan untuk memahami, mempelajari, dan menggunakan bahasa Sunda; dan kesulitan untuk mencari makanan daerah asal mereka. Bila mahasiswa yang berasal dari daerah Papua ingin agar krisis berhenti maka mereka harus beradaptasi dengan budaya setempat, yaitu budaya Sunda dengan cara menerapkan suatu strategi akulturasi. Strategi akulturasi adalah cara-cara individu atau kelompok yang sedang berakulturasi ingin berhubungan dengan masyarakat setempat (Berry dkk., 1989). Terdapat empat strategi akulturasi yang dapat digunakan oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua, yaitu asimilasi, separasi, integrasi, dan marginalisasi. Asimilasi terjadi ketika individu-individu yang dalam kelompok yang mengalami akulturasi dalam hal ini adalah mahasiswa yang berasal dari daerah Papua tidak ingin memelihara budaya asli dan jati dirinya serta melakukan interaksi seharihari dengan masyarakat setempat. Separasi terjadi ketika internalisasi values dan tradisi budaya aslinya sangat kuat ditanamkan oleh generasi sebelumnya dan suatu keinginan menghindari interaksi dengan masyarakat setempat. Dalam strategi ini,

13 individu atau mahasiswa yang berasal dari daerah Papua cenderung mempertahankan budaya aslinya dengan cara tetap menjalankan values dan tradisi budayanya. Strategi lain yang dapat digunakan adalah integrasi, yaitu suatu minat untuk mempertahankan budaya aslinya sekaligus minat untuk melakukan interaksi dengan masyarakat setempat. Keberanekaragaman budaya yang ada mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada. Strategi terakhir yang dapat digunakan oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua untuk beradaptasi dengan budaya Sunda adalah marginalisasi, yaitu minat kecil untuk melestarikan budaya aslinya (kadang karena alasan kehilangan budaya yang menjadi sandaran) dan sedikit minat untuk melakukan interaksi dengan masyarakat setempat (kadang karena alasan diskriminasi atau pengucilan). Strategi marginalisasi ini akan digunakan oleh individu atau dalam hal ini adalah mahasiswa yang berasal dari daerah Papua yang kehilangan identitas budayanya. Colleeen Ward (2001) menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerapan strategi akulturasi pada mahasiswa yang berasal dari daerah Papua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor dari lingkungan yang mempengaruhi penerapan strategi akulturasi, yaitu lama kontak budaya, jarak kultural, kualitas interaksi intra (dengan sesama mahasiswa yang berasal dari daerah Papua) dan inter-group (dengan masyarakat setempat, yaitu masyarakat Sunda), dan dukungan sosial. Lama kontak budaya, semakin lama kontak budaya, maka semakin tinggi pengenalan individu terhadap budaya dominan. Jarak kultural, semakin budaya yang terlibat memiliki banyak kemiripan atau jarak kultural yang semakin kecil,

14 maka semakin besar kemungkinan mahasiswa yang berasal dari daerah Papua menerima budaya setempat, yaitu budaya Sunda. Semakin budaya yang terlibat memiliki sedikit kemiripan atau jarak kultural yang besar, maka semakin kecil kemungkinan mahasiswa yang berasal dari daerah Papua menerima budaya Sunda. Kualitas intra dan inter-group yang memiliki kualitas yang baik memiliki kemungkinan yang besar untuk diterapkannya integrasi. Jika kualitas intra-group (sesama mahasiswa yang berasal dari daerah Papua) baik dan inter-group (masyarakat Sunda) kurang baik, maka semakin besar kemungkinan diterapkannya separasi. Jika kualitas intra-group kurang baik dan kualitas intergroup baik, maka semakin besar kemungkinan diterapkannya asimilasi. Jika kualitas intra dan inter-group kurang baik, maka semakin besar kemungkinan diterapkannya marginalisasi. Dukungan sosial, jika dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan budaya asal individu yaitu Papua dan lingkungan Sunda sama-sama baik, semakin besar diterapkanya Integrasi. Jika dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan budaya Papua baik tetapi lingkungan budaya Sunda kurang baik, maka semakin besar kemungkinan diterapkannya separasi. Jika dukungan sosial yang diberikan lingkungan budaya Papua kurang baik tetapi dukungan lingkungan budaya Sunda baik, maka semakin besar kemungkinan diterapkannya integrasi. Jika dukungan lingkungan budaya Papua dan lingkungan budaya Sunda sama-sama tidak baik, maka semakin besar kemungkinan diterapkannya marginalisasi. Terdapat juga beberapa faktor dalam diri individu yang dapat mempengaruhi strategi akulturasi, yaitu persepsi, identitas budaya dan nilai-nilai

15 tradisional, dan latihan dan pengalaman. Persepsi, jika mahasiswa yang berasal dari daerah Papua mempersepsi bahwa budaya yang berada dalam dirinya dan budaya Sunda sesuai dengan dirinya, maka kemungkinan besar mahasiswa yang berasal dari daerah Papua akan melakukan integrasi. Jika mahasiswa yang berasal dari daerah Papua mempersepsi budaya yang berada dalam dirinya lebih sesuai dibandingkan dengan budaya Sunda, maka kemungkinan besar akan melakukan separasi. Jika mahasiswa yang berasal dari daerah Papua mempersepsi budaya Sunda lebih sesuai dibandingkan budaya yang ada dalam dirinya, maka kemungkinan besar akan melakukan asimilasi. Jika mahasiswa yang berasal dari daerah Papua mempersepsi budaya yang ada dalam dirinya dan budaya Sunda sama-sama tidak sesuai dengan dirinya, maka kemungkinan besar akan melakukan marginalisasi. Identitas budaya dan nilai-nilai tradisional, semakin kuat penanaman nilainilai dari orangtua akan semakin memperkuat identitas budaya yang dimiliki oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua. Akhirnya mahasiswa yang berasal dari daerah Papua akan cenderung mempertahankan budaya aslinya sehingga akan menyebabkan diterapkannya separasi. Latihan dan pengalaman, semakin terlatih mahasiswa yang berasal dari daerah Papua dalam menghadapi budaya yang berbeda dengan budaya asalnya, semakin mempermudah mereka untuk menerima budaya Sunda. Semakin banyak pengalaman positif yang didapat dari berinteraksi dengan budaya Sunda, semakin besar kemungkinan mahasiswa yang berasal dari daerah Papua menerima budaya Sunda.

16 Mahasiswa yang berasal dari derah Papua akan menggunakan strategi akulturasi yang mungkin berbeda-beda pada setiap aspek. Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua yang sama sekali tidak ingin mempelajari bahasa Sunda, tidak peduli dan tidak ingin mengikuti cara berpakaian masyarakat Sunda, tidak menyukai makanan selain makanan daerahnya, sehingga hal yang dilakukan adalah lebih sering memakan ikan yang mereka hayati lebih sesuai dengan selera karena merupakan salah satu makanan utama di Papua, dan tetap menghayati dirinya sebagai orang Papua atau bagian dari budaya Papua dan tidak merasa menjadi orang Sunda walaupun sekarang berada di Bandung, mengaplikasikan bentuk dari strategi separasi. Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua yang mengkombinasikan bahasa atau logat asalnya, yaitu Papua dengan bahasa Sunda, memadupadankan cara berpakaiannya dengan dengan cara berpakaian masyarakat Sunda, yaitu dengan tidak menggunakan celana yang terlalu lebar, dan menyukai makanan Sunda, tetapi tetap menyukai makanan daerahnya, mengaplikasikan bentuk dari strategi integrasi. Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua yang ingin selalu menggunakan bahasa Sunda, mengaplikasikan aplikasi dari strategi asimilasi.

17 Perkembangan kognitif: Formal Operasional Faktor Eksternal - Lama kontak budaya - Kualitas interaksi - Jarak kultural - Dukungan sosial Kompetensi Bahasa Asimilasi Separasi Integrasi Marjinalisasi Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung Kontak dengan budaya Sunda Urban Strategi Akulturasi Budaya Identitas Budaya Asimilasi Separasi Integrasi Faktor Internal - Persepsi - Identitas dan nilai-nilai budaya - Pengalaman dan latihan Aktivitas/Perilaku Budaya Marjinalisasi Asimilasi Separasi Integrasi Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran Marjinalisasi

18 1.6 Asumsi Penelitian 1. Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua di Universitas X Bandung sebagai kaum minoritas dituntut untuk melakukan kontak dengan budaya setempat, yaitu budaya Sunda, sehingga mendorong terjadinya proses akulturasi. 2. Mahasiswa yang berasal dari daerah Papua berupaya mengenali budaya Sunda dalam aspek bahasa, identitas, dan aktivitas budaya, dan menemukan perbedaan yang mencolok dalam bahasa yang digunakan, makanan, dan cara berpakaian. 3. Strategi akulturasi yang dilakukan oleh mahasiswa yang berasal dari daerah Papua berbeda-beda, yaitu asimilasi, integrasi, separasi, atau marginalisasi. 4. Strategi akulturasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor eksternal yang terdiri dari: Lama Kontak Budaya, Kualitas Interaksi, Jarak Kultural, dan Dukungan sosial; dan faktor internal yang terdiri dari: Persepsi, Identitas dan Nilai-nilai Budaya, serta Pengalaman dan Latihan.