BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

III. METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

SIFAT-SIFAT FISIK dan MORFOLOGI TANAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

Modul ini mencakup bahasan tentang sifat fisik tanah yaitu: 1.tekstur, 2. bulk density, 3. porositas, 4. struktur 5. agregat 6. warna tanah 7.

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. METODE PENELITIAN

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol atau dikenal dengan nama Podsolik Merah Kuning (PMK)

Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontoha

BAB IV METODE PENELITIAN

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

METODOLOGI PENELITIAN

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

3. List Program Pertanyaan Untuk Ciri-Ciri Asal Terjadinya Tanah. 4. List Program Pertanyaan Untuk Ciri-Ciri Sifat Dan Bentuk Tanah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

DASAR-DASAR ILMU TANAH

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

MONITORING LINGKUNGAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

PENGUKURAN BIODIVERSITAS

DASAR-DASAR ILMU TANAH WIJAYA

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan salah satu tanaman hortikultura, yang sangat cocok

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman nanas dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi lebih

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

HASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN)

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

PEMANFAATAN PETA LOKASI PERTANIAN DAN INDUSTRI

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. perkebunan tebu terbesar di Lampung adalah PT. Gunung Madu Plantation

IV. METODE PENELITIAN

DASAR-DASAR ILMU TANAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

III. METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

Transkripsi:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur dan Komposisi Tegakan 5.1.1 Struktur Tegakan Struktur tegakan dapat dilihat secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh besarnya energi cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut. Struktur tegakan dapat dilihat berdasarkan tingkat kerapatan sehingga akan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Struktur tegakan pada hutan primer dan hutan bekas tebangan (LOA) TPTII umur satu dan dua tahun berdasarkan tingkat kerapatan pada tiap tingkat pertumbuhan vegetasi dapat dilihat pada Gambar 3, 4 dan 5 di bawah ini. 300 250 200 150 100 50 0 15 15 25 25 45 0 20 29 30 39 40 49 50 60 >60 Kelas diameter (cm) Gambar 3 Struktur tegakan pada kondisi hutan primer 300 250 200 150 100 50 0 15 15 25 25 45 0 20 29 30 39 40 49 50 60 >60 Kelas diameter (cm) Gambar 4 Struktur tegakan pada kondisi hutan bekas tebangan 1 tahun

20 300 250 200 150 100 50 0 15 15 25 25 45 0 20 29 30 39 40 49 50 60 >60 Kelas diameter (cm) Gambar 5 Struktur tegakan pada kondisi hutan bekas tebangan 2 tahun Dari hasil penelitian Kirana (2008) yang dilakukan di hutan primer dan bekas tebangan menunjukkan bahwa struktur tegakan pada hutan bekas tebangan kerapatan semai dan pancang lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan tiang dan pohon. Pada histogram yang ditunjukkan pada Gambar 3, 4, dan 5, dapat dilihat bahwa perbandingan jumlah pohon per hektar antara hutan primer dengan LOA TPTII 1 (satu) tahun jauh berbeda. Kegiatan pemanenan yang dilaksanakan sebelumnya sudah pasti akan mengakibatkan penurunan kerapatan hampir pada semua kelas diameter di berbagai kelerengan. Akan tetapi perbandingan antara LOA TPTII 1 (satu) dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun hampir sama. Selang waktu satu tahun belum dapat merubah struktur tegakan pada hutan bekas tebangan. Menurut Wyatt-Smith (1963) dalam Indrawan (2000) jumlah pohon per hektar yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong cukup karena jumlahnya > 25 batang/hektar pada masing-masing kelerengannya. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah pohon yang terdapat pada LOA TPTII 2 (dua) tahun adalah lebih dari 25 batang/ha. Dapat dikatakan areal penelitian ini masih tergolong hutan alam produksi yang masih produktif. Struktur tegakan baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 1 (satu) tahun dan 2 (dua) tahun menunjukkan jumlah pohon yang semakin berkurang dari kelas diameter kecil ke kelas diameter besar, sehingga kurva yang dihasilkan menyerupai J terbalik. Secara umum, struktur tegakan pada plot pengamatan menunjukkan karekteristik yang demikian, sehingga dapat dikatakan kondisi kedua hutan tersebut masih normal.

21 5.1.2 Komposisi Jenis Komposisi jenis adalah salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang terganggu. Apabila komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan bahwa komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di LOA TPTII umur dua dan tiga tahun PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah diperoleh komposisi jenis yang berbeda-beda pada setiap tingkat pertumbuhannya, yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon. Pengambilan data analisis vegetasi dilakukan pada kelerengan yang berbeda, yaitu datar (0 15%), sedang (15 25%), dan curam (>25%). Komposisi jenis pada tingkat pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah jenis yang ditemukan pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan Kondisi Hutan Kelerengan Jumlah Jenis (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0 15 59,0 56,0 56,0 56,0 *LOA TPTII 1 tahun 15 25 34,0 36,0 42,0 44,0 25 45 57,0 61,0 60,0 62,0 Rata-rata 50,0 51,0 52,6 54,0 0 15 53,0 52,0 56,0 56,0 LOA TPTII 2 tahun 15 25 31,0 32,0 42,0 44,0 25 45 55,0 60,0 60,0 62,0 Rata-rata 46,3 48,0 52,6 54,0 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana 2008 Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa komposisi jenis untuk tingkat semai dan pancang mengalami penurunan pada LOA TPTII 2 tahun. Hal ini disebabkan karena penutupan tajuk yang bertambah rapat yang mengakibatkan berkurangnya cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan. Sedangkan komposisi jenis pada tingkat tiang dan pohon tidak terjadi perubahan sama sekali terhadap LOA TPTII 1 tahun. Hal ini terjadi karena pada selang waktu satu tahun tidak terjadi penambahan jenis pada lokasi penelitian. Pada LOA TPTII 1 tahun, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai ditemukan pada kelerengan datar yaitu sekitar 59 jenis per hektar, untuk tingkat pancang pada kelas kelerengan curam yaitu 61 jenis per hektar, untuk tingkat tiang terdapat pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar dan untuk

22 tingkat pohon jumlah jenis terbesar terdapat pada kelas lereng curam yaitu 62 jenis per hektar. Pada LOA TPTII 2 tahun, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai ditemukan pada kelerengan curam yaitu sekitar 55 jenis per hektar, untuk tingkat pancang pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar, untuk tingkat tiang terdapat pada kelas kelerengan curam yaitu 60 jenis per hektar dan untuk tingkat pohon jumlah jenis terbesar terdapat pada kelas lereng curam yaitu 62 jenis per hektar. 5.1.3 Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Dalam menentukan tingkat keanekaragaman yang terdapat di areal pengamatan digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Shannon Index of General Diversity). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H ) merupakan parameter untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mengetahui keberlangsungan suksesi atau kestabilan dalam suatu komunitas hutan. Dari hasil penelitian pada LOA 2 tahun, nilai indeks keanekaragaman jenis dapat pada tiaptiap tingkat pertumbuhan dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Indeks keanekaragaman jenis pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon 0 15 3,43 3,47 3,39 3,53 *LOA TPTII 1 tahun 15 25 2,51 2,79 3,12 3,42 25 45 3,56 3,69 3,56 3,75 Rata-rata 3,16 3,32 3,36 3,56 0 15 3,37 3,41 3,39 3,53 LOA TPTII 2 tahun 15 25 2,49 2,75 3,12 3,42 25 45 3,74 3,67 3,55 3,75 Rata-rata 3,20 3,28 3,56 3,75 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana 2008 Berdasarkan hasil perhitungan keanekaragaman jenis yang dilakukan di LOA TPTII umur dua dan tiga tahun PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah

23 diperoleh hasil yang berbeda-beda pada setiap tingkat pertumbuhannya, yaitu semai, pancang, tiang, dan pohon. Menurut Magurran (1988) besaran H dengan nilai < 1,5 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong rendah. Sedangkan jika nilai H = 1,5 3,5 maka tingkat keanekaragamannya tergolong sedang. Apabila besaran H memiliki nilai > 3,5, maka tingkat keanekaragamannya dianggap tinggi. Berdasarkan Tabel 6, nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) untuk tingkat semai dan pancang mengalami penurunan pada LOA TPTII 2 tahun. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) untuk tingkat semai pada tiap-tiap kelerengan yang terdapat LOA TPTII 2 tahun berkisar antara 2,62 2,85, Untuk tingkat pancang nilai H berkisar antara 2,94 3,06, Nilai H untuk tingkat tiang berkisar antara 3,10 3,27 dan untuk tingkat pohon nilai H berkisar antara 3,17 3,37. Berdasarkan kriteria di atas keanekaragaman jenis pada hutan primer tergolong sedang. Sedangkan keanekaragaman jenis di LOA 1 tahun dan LOA 2 tahun pada tingkat kelerengan datar dan sedang tergolong sedang karena nilai H berkisar antara 1,5 3,5. Sedangkan pada kelas lereng curam keanekaragaman jenisnya tergolong tinggi karena nilai H > dari 3,5. Soerianegara (1996) mengemukakan bahwa sering dinyatakan tentang menurunnya indeks keanekaragaman jenis, namun sampai saat ini belum ada ukuran mengenai tinggi rendahnya indeks keanekaragaman jenis di suatu daerah. Untuk Indonesia, dari perhitungan untuk berbagai tipe hutan, dapat dikatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis 3,5 ke atas dapat dikatakan tinggi. 5.1.4 Indeks Kekayaan Jenis Salah satu parameter yang dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman suatu komunitas adalah kekayaan jenis. Indeks kekayaan jenis adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas dan besarnya indeks kekayaan ini dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi yang ada pada areal tersebut. Magurran (1988) menyatakan bahwa nilai R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah. Sedangkan nilai R1 = 3,5 5,0 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong sedang. Apabila diperoleh nilai R1 > 5,0 maka kekayaan jenis dalam komunitas tersebut tergolong tinggi.

24 Dalam penelitian ini untuk menentukan tingkat kekayaan jenis pada areal pengamatan digunakan Indeks Kekayaan Margallef (R1). Dari hasil penelitian pada LOA dua tahun, nilai indeks kekayaan jenis dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Indeks kekayaan jenis pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon 0 15 9,38 9,17 9,49 9,75 *LOA TPTII 1 tahun 15 25 5,22 5,64 7,38 7,62 25 45 8,77 9,81 9,88 10,73 Rata-rata 7,79 8.20 8,92 9,36 0 15 9,13 8,93 9,49 9,75 LOA TPTII 2 tahun 15 25 5,08 5,48 7,38 7,62 25 45 8,59 9,54 9,88 10,73 Rata-rata 7,60 7,98 8,92 9,36 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana 2008 Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat dalam Tabel 7, dapat diketahui bahwa nilai indeks kekayaan Margallef (R1) pada kondisi LOA TPTII 1 tahun pada semua kelas lereng nilai indeksnya berada di atas 5,00 dimana kekayaan jenis dalam komunitas tersebut tergolong tinggi. Begitu juga pada LOA TPTII 2 (dua) tahun. Dari Tabel 7 dapat terlihat bahwa pada LOA TPTII 2 (dua) bahwa kekayaan jenis dalam komunitas tersebut tergolong tinggi karena nilai indeks kekayaan Margallef (R1) pada semua kelas lereng berada di atas 5,00 dan relatif sama terhadap LOA TPTII 1 tahun. 5.1.5 Indeks Kemerataan Jenis Kemerataan jenis merupakan parameter lainnya yang juga mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis suatu komunitas. Nilainya dapat diperoleh dengan menghitung indeks kemerataan (E). Indeks kemerataan adalah indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal pengamatan. Apabila nilai indeks semakin besar maka dapat dikatakan bahwa komposisi jenis semakin merata (tidak didominasi oleh satu jenis saja). Menurut Magurran (1988), besaran nilai E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah. Apabila nilai E berkisar antara 0,3 sampai dengan 0,6 maka kemerataan jenis tergolong rendah. Sedangkan jika nilai E > 0,6 maka kemerataan

25 jenis dalam komunitas tersebut dapat dikatakan tinggi. Dari hasil penelitian pada LOA dua tahun, nilai indeks kemerataan jenis pada tiap-tiap tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 8 Indeks kemerataan jenis pada hutan primer, LOA TPTII 1 tahun dan LOA TPTII 2 tahun pada berbagai kelerengan Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon 0 15 0,83 0,86 0,84 0,88 *LOA TPTII 1 tahun 15 25 0,71 0,78 0,84 0,90 25 45 0,88 0,90 0,87 0,91 Rata-rata 0,80 0,84 0,85 0,89 0 15 0,82 0,85 0,84 0,88 LOA TPTII 2 tahun 15 25 0,71 0,77 0,84 0,90 25 45 0,92 0,89 0,87 0,91 Rata-rata 0,82 0,84 0,85 0,89 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana 2008 Dari Tabel 8 dapat terlihat bahwa indeks kemerataan jenis (E) baik pada LOA TPTII 1 (satu) tahun, maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai diatas 0,60. Indeks kemerataan tertinggi pada LOA TPTII 1 (satu) tahun terdapat pada tingkat vegetasi pohon di kelerengan curam dengan nilai sebesar 0,91. Namun pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi penurunan nilai indeks kemerataan untuk tingkat semai dan pancang di tiap-tiap kelerengan. Tingginya nilai indeks kemerataan jenis ini mengindikasikan bahwa komposisi jenis pada LOA TPTII 1 (satu) tahun dan LOA TPTII 2 (dua) tahun tersebar merata. Artinya, pada kedua kondisi hutan ini tidak hanya di dominasi oleh satu jenis, namun tersebar pada banyak jenis. 5.1.6 Indeks Kesamaan Komunitas Untuk mengetahui tingkat kesamaan suatu komunitas dapat dicari dengan menghitung nilai Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity). Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Besarnya nilai indeks kesamaan dapat dilihat pada Tabel 9.

26 Tabel 9 Indeks kesamaan komunitas (IS) antara hutan primer, LOA TPTII 1 (satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Kelerengan (%) 0 15 15 25 25 45 Komunitas Hutan Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Primer vs TPTII 1 Tahun 34,46 33,55 52,90 41,44 Primer vs TPTII 2 Tahun 34,97 33,90 52,90 41,48 TPTII 1 Tahun vs 2 Tahun 98,00 98,34 99,93 99,82 Primer vs TPTII 1 Tahun 35,07 42,73 53,87 35,54 Primer vs TPTII 2 Tahun 35,20 42,97 55,30 36,15 TPTII 1 Tahun vs 2 Tahun 99,17 98,76 97,42 98,32 Primer vs TPTII 1 Tahun 40,58 46,72 57,49 49,85 Primer vs TPTII 2 Tahun 41,65 46,90 58,03 49,96 TPTII 1 Tahun vs 2 Tahun 93,15 99,13 86,93 99,58 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif Komunitas yang dibandingkan pada penelitian ini adalah hutan primer, LOA TPTII 1 (satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Ketiga komunitas ini dibandingkan berdasarkan tingkat vegetasi pada tiap kelerengannya. Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai kesamaan komunitas pada kondisi hutan primer, LOA TPTII 1 (satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai yang bervariasi pada tiap tingkatan vegetasi dan kelerengannya. Pada komunitas pertama yang dibandingkan, yaitu hutan primer dengan LOA TPTII 1 (satu) tahun, dapat dilihat bahwa nilai indeks kesamaan (IS) tertinggi terdapat pada tingkat tiang di kelerengan curam dengan nilai IS sebesar 57,49%. Sedangkan nilai IS terendah terdapat pada tingkat pancang di kelerengan datar dengan nilai IS sebesar 33,55%. Pada komunitas kedua yang dibandingkan, yaitu hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun, dapat dilihat perbedaan nilai IS yang ditunjukkan. Jika dibandingkan dengan komunitas pertama, pada komunitas kedua ini terjadi peningkatan nilai IS. Nilai IS tertinggi yang terdapat di komunitas kedua ini adalah sebesar 49,96% yang dapat ditemukan pada tingkat tiang di kelerengan curam. Sedangkan nilai IS terendah ditemukan pada tingkat pancang di kelerengan datar dengan nilai sebesar 33,9%. Sedangkan untuk komunitas ketiga yang dibandingkan, yaitu LOA TPTII 1 (satu) tahun dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun, dapat dilihat nilai IS tergolong tinggi karena dua komunitas ini hanya berbeda satu tahun. Nilai IS tertinggi yang terdapat di komunitas ketiga ini adalah sebesar 99,93% yang dapat ditemukan

27 pada tingkat tiang di kelerengan datar. Sedangkan nilai IS terendah terdapat pada tingkat pancang di kelerengan curam dengan nilai hanya sebesar 86,93%. Nilai Indeks Kesamaan (IS) berkisar antara 0 100%. Nilai 0% menunjukkan bahwa tidak ada kesamaan antar jenis yang terdapat pada kedua komunitas yang dibandingkan. Sedangkan nilai 100% menunjukkan bahwa dua komunitas yang dibandingkan adalah sama. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) dua komunitas dianggap sama apabila nilai IS-nya mendekati 100%. 5.2 Riap Tanaman Shorea parvifolia pada Jalur Tanam Produktivitas tanaman dapat diukur dari beberapa parameter, salah satunya adalah riap tinggi dan diameter suatu tanaman. Dalam kegiatan penelitian ini, dilakukan pengambilan data riap tinggi dan diameter serta rata-rata tinggi dan diameter tanaman Shorea parvifolia di jalur tanam pada LOA TPTII dengan umur dua tahun yang kemudian dibandingkan dengan umur satu tahun. 5.2.1 Perbandingan Rata-rata Diameter dan Tinggi Shorea parvifolia Rata-rata diameter dan tinggi S. parvifolia pada jalur tanam LOA TPTII dengan umur dua dan tiga tahun dengan LOA TPTII satu dan dua tahun akan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea parvifolia di jalur tanam LOA TPTII LOA TPTII Kelerengan D (cm) T (cm) *LOA 1 tahun Datar (0-15%) 1,80 209,40 Sedang (15-25%) 1,83 230,69 Curam (>25%) 1,59 181,55 LOA 2 tahun Datar (0-15%) 3,47 377,00 Sedang (15-25%) 3,33 389,42 Curam (>25%) 3,20 356,87 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif, *) = data Kirana 2008 Dari Tabel 10 didapat rata-rata diameter yang terbesar pada LOA TPTII umur dua tahun adalah pada kelerengan datar, yaitu sebesar 3,47 cm dan untuk tinggi pada kelerengan sedang yaitu 389,42 cm. Berikut adalah histogram yang menunjukkan perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman S. parvifolia

28 pada tahun pertama dengan tahun kedua. Histogram tersebut ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7. 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1 Tahun 1,5 2 Tahun 1,0 0,5 0,0 Datar (0 15%) Sedang (15 25%) Curam (>25%) Topografi Gambar 6 Perbandingan rata-rata tinggi tanaman Shorea parvifolia 450 400 350 300 250 1 Tahun 200 2 Tahun 150 100 50 0 Datar (0 15%) Sedang (15 25%) Curam (>25%) Topografi Gambar 7 Perbandingan rata-rata diameter tanaman Shorea parvifolia Dari Gambar 6 dan 7 dapat dilihat adanya perbedaan rata-rata tinggi dan diameter pada tiap-tiap kelas kelereng. Data di atas memnunjukkan bahwa pada kelerengan curam rata-rata tinggi dan diameter lebih rendah di bandingkan dengan kelerengan datar dan sedang karena pada kelerengan curam ketebalan tanah dangkal yang dapat mempengaruhi perakaran tanaman. Kondisi jalur tanam LOA TPTII dapat dilihat pada Gambar 8.

29 Gambar 8 Kondisi jalur tanam LOA TPTII 5.2.2 Riap Rata-Rata Tinggi dan Diameter Dari nilai rata-rata diameter dan tinggi dapat diketahui riap rata-rata diameter dan tinggi. Pada penelitian ini menggunakan data dari hasil penelitian tahun 2008 dan hasil penelitian tahun 2009. Berikut data riap diameter dan tinggi yang ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11 Riap LOA TPTII 1 dengan LOA TPTII 2 LOA TPTII Kelerengan Riap Diameter (cm) Riap Tinggi (cm) LOA 2 Tahun Datar (0 15%) 1,67 167,60 Sedang (15 25%) 1,50 158,73 Curam (>25%) 1,61 175,32 LOA = hutan bekas tebangan, TPTII = tebang pilih tanam Indonesia intensif Nilai riap diameter tertinggi pada LOA TPTII umur dua tahun terdapat pada kelerengan datar yaitu sebesar 1,67 cm. Sedangkan untuk nilai riap tinggi yang mempunyai nilai terbesar terdapat pada kelerengan curam dengan nilai riap sebesar 175,32 cm. Hal ini terjadi karena kondisi lokasi penelitian yang berbukitbukit dan perbedaan penutupan tajuk di areal pengamatan. Berikut adalah Gambar 9 yang menunjukkan histogram riap tinggi dan diameter tanaman S. parvifolia.

30 Gambar 9 Riap diameter tanaman Shorea parvifolia Gambar 10 Riap tinggi tanaman Shorea parvifolia Pertumbuhan tanaman akan terpengaruh oleh kondisi lingkungannya. Kelerengan merupakan salah satu faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman memiliki peranan dalam pengamanan lereng. Sistem perakaran dari suatu tanaman sangat berkaitan dengan kelerengan.

31 5.2.3 Analisis Hubungan Antara Riap Tanaman Shorea parvifolia Pada Jalur Tanam dengan Kelerengan Lahan Hasil analisis rancangan percobaan dilakukan dengan menggunakan Statistical Analysis Software (SAS) untuk mengetahui pengaruh kelerengan terhadap diameter dan tinggi tanaman Shorea parvifolia di jalur tanam pada LOA TPTII dua tahun. Dari hasil sidik ragam didapatkan bahwa kelerengan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter dan tinggi pada LOA TPTII dua tahun tahun. Hal ini terjadi karena nilai probability untuk diameter dan tinggi Shorea parvifolia pada LOA TPTII dua tahun lebih kecil dari 0,05 (dapat dilihat pada lampiran 2 dan 3). Karena jika nilai Probability (P) < 0,05 maka kelerengan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi maupun diameter tanaman. Sebaliknya jika nilai P > 0,05 berarti kelerengan tidak berpengaruh terhadap diameter dan tinggi tanaman. Dari semua hasil sidik ragam antara kelerengan dengan tinggi dan diameter berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut (Duncan) untuk mengetahui kelerengan yang berpengaruh. Hasil uji lanjut (Duncan) hubungan antara pertumbuhan diameter LOA satu dan dua tahun dengan tingkat kelerengan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil uji lanjut (Duncan) hubungan pertumbuhan diameter dengan tingkat kelerengan Nilai rata-rata dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata Pengelompokan Duncan Nilai rata-rata N Perlakuan A 1.62467 600 Datar B 1.50867 600 Curam B B 1.48133 600 Sedang Dari Tabel 12 dapat dilihat hasil uji lanjut kelerengan terhadap pertumbuhan diameter LOA TPTII satu dan dua tahun, diketahui bahwa pertumbuhan diameter pada kelerengan datar lebih baik dibandingkan dengan kelerengan sedang dan curam. Untuk hasil uji lanjut (Duncan) hubungan antara pertumbuhan tinggi LOA satu dan dua tahun dengan tingkat kelerengan dapat dilihat pada Tabel 14.

32 Tabel 13 Hasil uji lanjut (Duncan) hubungan pertumbuhan tinggi dengan tingkat kelerengan Nilai rata-rata dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata Pengelompokan Duncan Nilai rata-rata N Perlakuan A 168.902 600 Curam B 160.717 600 Sedang B B 159.990 600 Datar Pada Tabel 13 dapat dilihat hasil uji lanjut kelerengan terhadap pertumbuhan tinggi LOA TPTII satu dua tahun, diketahui bahwa pertumbuhan tinggi pada kelerengan curam lebih baik dibandingkan dengan kelerengan datar dan sedang. 5.3 Analisis Tanah Faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan hutan, yaitu iklim, bentuk lahan, ketinggian tempat, dan topografi, dimana secara umum sangat sulit untuk dikendalikan atau dikelola. Upaya yang dilakukan pada kegiatan budidaya tanaman yaitu pendekatan kepada kesesuaian lahan. Peningkatan pertumbuhan pohon atau tanaman dapat dilakukan melalui perbaikan kesuburan tanah. Tanah merupakan faktor edafis yang penting bagi pertumbuhan perakaran pohon dan perkembangannya. Kegiatan kehutanan dan pertanian memerlukan tanah yang subur bagi berhasilnya usaha penanaman. Kesuburan tanah diartikan sebagai kesuburan kimiawi dan fisika, yang memungkinkan pohon tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu produk lainnya. Kesuburan tanah merupakan kekuatan di dalam budidaya hutan tanaman, tanah yang subur akan memberikan peluang keuntungan yang besar dalam pengusahaan hutan tanaman. Berikut ini dipaparkan mengenai sifat fisis dan kimia tanah pada areal penelitian. 5.3.1 Sifat Fisika Tanah Sifat fisika tanah terutama penting dalam hubungannya dengan kandungan air, aerasi, drainase, dan kandungan hara. Pada tanah yang padat aerasi menjadi buruk. Dalam kondisi demikian pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida tidak berjalan dengan baik. Keadaan sifat fisika tanah sangat

33 mempengaruhi kesuburan tanah terutama dalam perbaikan tekstur dan struktur tanah. Struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lainlain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, struktur tanah di seluruh areal plot penelitian termasuk dalam struktur butiran kelas halus sampai sedang. Struktur tanah yang baik mempunyai tata udara yang baik, unsur-unsur hara lebih mudah tersedia dan lebih mudah diolah. Hasil pengukuran sifat fisik tanah dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil Pengukuran sifat fisik tanah Kondisi Hutan Kedalaman Struktur Kadar Air (%) Warna Tekstur TPTII 1 tahun 20cm Butiran 32,94 5 yr, 6/8 Reddish Yellow Liat TPTII 2 tahun 20cm Butiran 46,73 5 yr, 6/8 Reddish Yellow Liat Berdasarkan hasil pengukuran sifat fisik tanah di areal penelitian diketahui bahwa struktur tanah baik di LOA TPTII 1 tahun maupun LOA TPTII 2 tahun berstruktur butiran. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa adanya peningkatan kadar air pada TPTII 2 tahun sebesar 13,79% pada kedalaman 20. Hal ini dapat dikatakan bahwa daya serap tanah sudah berangsur-angsur membaik. Warna tanah adalah petunjuk untuk beberapa sifat tanah. Biasanya warna tanah yang gelap disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan organik. Semakin gelap warna tanah, semakin tinggi kandungan bahan organiknya. Warna tanah di lapisan bawah yang kandungan bahan organiknya rendah lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah kandungan dan bentuk senyawa besi (Fe). Di daerah yang mempunyai sistem drainase buruk, warna tanahnya abu-abu karena ion besi yang terdapat di dalam tanah berbentuk Fe 2+. Warna tanah yang terdapat di areal penelitian adalah reddish yellow, warna tanah tersebut tidak terlalu gelap, cenderung mendekati kekuningan. Hal tersebut berarti kandungan bahan organik pada area penelitian cenderung rendah.

34 Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi pasir, debu, dan liat yang terkandung pada tanah. Keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap keadaan sifat-sifat tanah yang lain seperti struktur tanah, permeabilitas, porositas, dan lain-lain. Hasil pengolahan sifat fisik tanah didapatkan bahwa tanah pada areal penelitian bertektur liat. Tanah bertekstur liat lebih sulit diolah dibandingkan dengan tanah bertekstur pasir, namun tanah bertektur liat memiliki kemampuan menyimpan air yang tinggi sehingga tanahnya tidak cepat kering.