BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan kesehatan secara global. Situasi perkembangan TB di dunia yang memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang (Kemenkes RI, 2013). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyatakan pada tahun 2011 kasus TB baru terbanyak terjadi di Asia sekitar 60% dari kasus baru yang terjadi diseluruh dunia. Akan tetapi Afrika Sub Sahara memiliki jumlah terbanyak kasus baru perpopulasi dengan lebih dari 260 kasus per 100000 populasi pada tahun 2011 (WHO, 2013). Jumlah kasus TB terbanyak adalah region Asia Tenggara (35%), dan Indonesia yang merupakan salah satu negara didalamya dengan jumlah kasus TB sebanyak 0.35-0.52 juta (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011). Tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati urutan keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia merupakan negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006 (Kemenkes RI, 2013). Meskipun prevalensinya menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penderita penyakit tuberkulosis (TB) paru di Indonesia masih terbilang tinggi. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2013 adalah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus. Dengan demikian, total kasus hingga 2013 mencapai sekitar 800.000-900.000 kasus. (Aditama, 2014). 1
Penyebab paling penting peningkatan jumlah penderita TB di seluruh dunia adalah ketidakpatuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi dan komplikasi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka penemuan dan angka kesembuhan, penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) (World Health Organization, 2006). Kementerian Kesehatan RI (2011) dengan visi Stop TB Partnership adalah dunia bebas TB, yang akan dicapai melalui empat misi sebagai berikut: (1) menjamin akses terhadap diagnosis, pengobata n yang efektif dan kesembuhan bagi setiap pasien TB, (2) menghentikan penularan TB, (3) mengurangi ketidakadilan dalam beban sosial dan ekonomi akibat TB dan (4) mengembangkan dan menerapkan berbagai strategi preventif, upaya diagnosis dan pengobatan baru lainnya untuk menghentikan TB. Pada tahun 1995 Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis mulai menerapkan strategi directly observed treatment short course (DOTS) dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes RI, 2013). Namun demikian pada beberapa daerah di Indonesia strategi DOTS dalam pemberantasan TB Paru belum optimal. Murti et al., (2010) dalam penelitiannya di Surakarta, Jawa Tengah, menemukan beberapa masalah yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan strategi DOTS. Faktor penyebab rendahnya angka kesembuhan bisa dibagi dua pihak penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan (pasien). Murti et al. menyatakan bahwa terdapat sejumlah faktor penghambat yang dapat mempengaruhi angka kesembuhan pasien TB paru dengan strategi DOTS diantaranya: (1) Putus 2
berobat karena merasa sudah enak; (2) Pengobatan tidak teratur karena berpindahpindah tempat kerja; (3) Kebosanan minum obat; (4) Pasien kurang motivasi; (5) Efek samping obat (reaksi pada tubuh setelah minum obat); (6) Persepsi bahwa pelayanan puskesmas kurang memuaskan dan obat tidak lengkap, lalu pindah ke dokter praktik swasta yang tidak memberikan OAT standar DOTS dalam jangka panjang. Terdapat beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB paru yaitu lamanya jangka waktu pengobatan yang harus dijalani penderita selama 6 sampai 8 bulan. Kegagalan proses pengobatan akibat ketidaktaatan penderita pada instruksi dan aturan minum obat yang meliputi dosis, cara, waktu minum obat dan periode,akan mengakibatkan terjadinya kekebalan terhadap semua obat Multiple Drugs Resistance dan mengakibatkan terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2011). Selain faktor faktor tersebut diatas, keberhasilan pengobatan TB paru juga dipengaruhi oleh kinerja petugas pelayanan kesehatan khususnya petugas pengelola progran TB paru Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melalui puskesmas puskesmas di wilayah kerjanya. Petugas koordinator TB berperan dalam melakukan upaya edukasi melalui penyuluhan dengan alat bantu media promosi di wilayah kerjanya. Petugas juga berperan dalam mengatur pemberian pengobatan pada penderita TB paru setiap minggu sekali. Masniari et al. (2003) dalam penelitiannya menyatakan penyebab paling penting peningkatan TB di seluruh dunia adalah ketidakpatuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan tidak adekuat, migrasi, HIV, strategi SAT dan MDR-TB. Penderita TB paru paling banyak usia produktif dan pada laki-laki. Penderita TB paru usia tua berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan penyakit kronik dan pada usia tua juga sering timbul efek samping. HIV meningkatkan risiko reaktivasi infeksi TB laten timbulnya infeksi paru yang progresif dan reinfeksi. Penderita TB paru dengan kehamilan tidak ditemukan bukti bahwa infeksi TB paru akan lebih ringan atau lebih berat. Merokok, malnutrisi, terapi kortikosteroid, faktor genetik, penyakit ginjal terminal, tunawisma dan alkohol merupakan faktor predisposisi terjadinya TB. Ketidakpatuhan untuk 3
berobat secara teratur bagi penderita TB paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Pemberian konseling, edukasi, ketentuan insentif memberikan kupon makan, biaya transportasi, makanan ringan dapat meningkatkan kepatuhan (Masniari et al., 2003) Pengobatan TB paru juga melibatkan Pengawas Menelan Obat (PMO) yang berperan untuk menjamin kesembuhan pengobatan TB dan mencegah resistensi serta keteraturan pengobatan. PMO akan mencegah drop out (putus berobat) dan lalai dengan melakukan pengawasan menelan obat pada penderita TB dan memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala suspect TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Friskarini & Manalu (2009) di Kabupaten Tangerang, Banten, menyatakan bahwa peran petugas kesehatan dalam penyuluhan dan pengobatan TB paru masih belum maksimal. Banyak pasien yang drop out dari proses pengobatan karena pasien merasa tidak nyaman dengan reaksi obat yang mereka minum. Penelitian lain yang dilakukan oleh Istiawan, Sahar & Bachtiar (2006) di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, didapatkan hasil bahwa peran Pengawas Menelan Obat (PMO) sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB pada penderita TB Paru, terutama PMO dari anggota keluarga penderita. Pengawas menelan obat merupakan faktor eksternal yang ada di lingkungan individu yang akan berpengaruh terhadap perilakunya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hubungan peran PMO keluarga dengan perilaku pencegahan klien TBC menunjukkan hubungan yang kuat. Pola hubungan yang terjadi adalah berpola positip artinya semakin tinggi peran PMO keluarga, akan semakin tinggi perilaku pencegahan klien TBC untuk melakukan pencegahan penularan. Data yang diperoleh dari Pengelola Program TB paru di Dinas Kesehatan Kota Langsa tahun 2014, terdapat sejumlah 73 penderita TB paru yang diobati di Puskesmas puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa dengan strategi DOTS. Sebanyak 23 penderita diantaranya dinyatakan sembuh setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang, 12 penderita dinyatakan lengkap 4
pengobatannya, namun belum dinyatakan sembuh. Selanjutnya 37 penderita memutuskan berhenti berobat (drop-out), dan seorang lagi meninggal dunia. Hasil wawancara dengan wasor TB Paru dinas kesehatan Kota Langsa, penyebab banyaknya penderita TB Paru yang drop-out diantaranya adalah karena tidak tahan dengan efek samping obat, karena merasa sudah sehat, belum maksimalnya peran pengawas menelan obat, belum maksimalnya peran petugas TB paru di puskesmas dan faktor faktor lainnya. Semua penderita TB paru dalam pengobatan didampingi oleh seorang PMO yang dipilih oleh petugas TB paru puskesmas dan penderita sendiri. Berdasarkan penjelasan di atas maka penelitian ini menjadi penting untuk mengetahui peran petugas kesehatan dan pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran petugas pelayanan kesehatan dan peran pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS di Puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan peran petugas pelayanan kesehatan dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS di Puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa. 1.3.2. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan peran pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS di Puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Praktek Keperawatan 5
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi tambahan dan masukan bagi praktek keperawatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pengobatan TB paru dengan strategi DOTS di Puskesmas dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Langsa. 1.4.2. Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai peran petugas pelayanan kesehatan dan peran PMO terhadap pengobatan TB paru dengan strategi DOTS. 1.4.3. Bagi Pelayanan Kesehatan (Dinas Kesehatan / Puskesmas) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi manajemen pelayanan kesehatan khususnya pengelola program TB pada wilayah kerja Dinas Kesehatan dan Puskesmas di Kota Langsa untuk memantau dan meningkatkan pelayanan program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS. 1.4.4. Bagi Penelitian Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau sumber pustaka bagi penelitian selanjutnya, mengenai peran petugas pelayanan kesehatan dan peran PMO terhadap pengobatan TB paru dengan strategi DOTS. 6