I NYOMAN JAGAT MAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR



dokumen-dokumen yang mirip
I NYOMAN JAGAT MAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGARUH HAMBATAN SAMPING TERHADAP KINERJA RUAS JALAN RAYA SESETAN

Outline. Klasifikasi jalan Dasar-dasar perencanaan geometrik Alinemen horisontal Alinemen vertikal Geometri simpang

Jurnal Teknik Sipil ISSN

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3.4 Uji Laik Fungsi Jalan Teknis Geometrik Jalan Teknis Struktur Perkerasan Jalan Teknis Struktur Bangunan

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI. Pada bagian berikut ini disampaikan Bagan Alir dari Program Kerja.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR EVALUASI DAN PERANCANGAN PENINGKATAN JALAN SELATAN-SELATAN CILACAP RUAS SIDAREJA - JERUKLEGI

EVALUASI KORIDOR JALAN KARANGMENJANGAN JALAN RAYA NGINDEN SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER. Jalan Karangmenjangan Jalan Raya BAB I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR ANALISA KELAYAKAN TEKNIS PEMBANGUNAN JALAN LAYANG (FLY OVER) JATINGALEH

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Dalam perencanaan lapis perkerasan suatu jalan sangat perlu diperhatikan, bahwa bukan cuma karakteristik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EVALUASI KINERJA JALAN PADA PENERAPAN SISTEM SATU ARAH DI KOTA BOGOR

UU NO. 38 TAHU UN 2004 & PP No. 34 TA AHUN 2006 TENTANG JALAN DIREKTORAT BINA TEKNIK DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

LEMBAR PENGESAHAN. TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALAN LINGKAR SELATAN SEMARANG ( Design of Semarang Southern Ringroad )

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Motto dan Persembahan ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

PENENTUAN KONDISI PERKERASAN JALAN ABSTRAK

PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006

PEDOMAN. Perencanaan Trotoar. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 1-27

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

ABSTRAK. Kata kunci : Zebra cross, evaluasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Digunakan untuk kendaraan bermotor. Digunakan untuk publik. Dibiayai oleh badan publik

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

MANUAL KAPASITAS JALAN INDONESIA. From : BAB 5 (MKJI) JALAN PERKOTAAN

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN IR. H. JUANDA, BANDUNG

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN BATAS DELI SERDANG DOLOK MASIHUL-BATAS TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

DENY MIFTAKUL A. J NIM. I

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH)

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Tol Pandaan-Malang dengan Jenis Perkerasan Lentur

2.1 ANALISA JARINGAN JALAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 14 (Empat belas)

ANALISIS KINERJA JALAN PADA RUAS JALAN SOLO KM 8,8 SAMPAI KM 10. Oleh : ALLWIN MULATUA SILALAHI No. Mahasiswa : / TS NPM :

BAB II LANDASAN TEORI

STUDI PENANGANAN JALAN RUAS BUNDER LEGUNDI AKIBAT PEKEMBANGAN LALU - LINTAS

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA A. JENIS KENDARAAN

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

ANALISIS KECELAKAAN LALU LINTAS DI RUAS JALAN PROF. DR. IDA BAGUS MANTRA

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP:

ABSTRAK. Kata kunci: keselamatan pengguna jalan, kecepatan pengemudi kendaraan, ZoSS

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN MENURUT MKJI 1997 ( Studi Kasus : Jalan Sulawesi Denpasar, Bali ) Oleh : Ngakan Putu Ari Kurniadhi NPM.

ABSTRAK. Kata Kunci: Evaluasi, pola pergerakan, efektivitas, ZoSS. iii

BAB III LANDASAN TEORI. Kendaraan rencana dikelompokan kedalam 3 kategori, yaitu: 1. kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang,

LEMBAR PENGESAHAN. Disusun Oleh : ATIKA DARA PRAHITA L2A TITIN ENY NUGRAHENI L2A

Gambar 3.1. Diagram Nilai PCI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Persyaratan umum sistem jaringan dan geometrik jalan perumahan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN BATAS KOTA MEDAN TANAH KARO KM KM TUGAS AKHIR

PEMERIKSAAN KESESUAIAN KRITERIA FUNGSI JALAN DAN KONDISI GEOMETRIK SIMPANG AKIBAT PERUBAHAN DIMENSI KENDARAAN RENCANA

PENGARUH HAMBATAN SAMPING TERHADAP KINERJA JALAN R.E. MARTADINATA BANDUNG

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang

PERSYARATAN TEKNIS JALAN UNTUK RUAS JALAN DALAM SISTEM JARINGAN JALAN PRIMER < < <

EVALUASI KORIDOR JALAN SULAWESI JALAN KERTAJAYA INDAH SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER

TUGAS AKHIR. Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1) Diajukan Oleh : ADI SISWANTO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI KINERJA JALAN SATU ARAH DI JALAN KEBON KAWUNG, BANDUNG

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur

Pengaruh Variasi Nilai emp Sepeda Motor Terhadap Kinerja Ruas Jalan Raya Cilember-Raya Cibabat, Cimahi ABSTRAK

ANALISIS KAPASITAS JALAN TERHADAP KEMACETAN

EVALUASI KINERJA JALAN SEBAGAI PARAMETER KEMACETAN SIMPANG EMPAT PINGIT YOGYAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perhubungan Darat : SK.43/AJ 007/DRJD/97).

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN CONGOT JALI WAWAR SISI SELATAN JAWA TENGAH. Disusun Oleh : Semarang, Nopember 2010

RSNI-T-XX-2008 RSNI. Standar Nasional Indonesia. Standar geometri jalan bebas hambatan untuk jalan tol. ICS Badan Standarisasi Nasional BSN

BAB III LANDASAN TEORI. manajemen sampai pengoperasian jalan (Sukirman 1994).

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA

Transkripsi:

TESIS PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROVINSI BALI DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR) I NYOMAN JAGAT MAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

TESIS PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROPINSI BALI DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR) I NYOMAN JAGAT MAYA NIM 0791561001 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROPINSI BALI DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR) Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik pada Program Magister, Program Studi Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Udayana I NYOMAN JAGAT MAYA NIM. 0791561001 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 ii

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 16 AGUSTUS 2011 Pembimbing I, Pembimbing II, I P. Alit Suthanaya, ST, MEngSc. Ph.D. NIP. 19690805 199503 1 001 Dw. Md. Priyantha Wedagama, ST, MT, MSc, Ph.D. NIP. 19700303 199702 1005 Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Teknik Sipil Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. I Made Alit Karyawan S., DEA NIP. 19620404 199103 1 002 Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP. 19590215 198510 2 001 iii

Tesis ini telah diuji pada Tanggal 16 Agustus 2011 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor : 1455/UN.14.4/HK/2011, Tanggal 10 Agustus 2011 Ketua : Putu Alit Suthanaya, ST, MEngSc, Ph.D Anggota : 1. Dw. Md. Priyantha Wedagama, ST, MT, MSc, Ph.D. 2. Ir. I Gusti Putu Suparsa, MT. 3. Ir. I Nyoman Arya Thanaya, ME, Ph.D. 4. Ir. Made Sukada Wenten, MT. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT NAMA : I NYOMAN JAGAT MAYA NIM : 0791561001 PROGRAM STUDI : MAGISTER TEKNIK SIPIL JUDUL TESIS : PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROVINSI BALI DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR) Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan perundangan yang berlaku. Denpasar, 5 September 2011 Hormat saya, Materai 6000 (I Nyoman Jagat Maya) NIM. 0791561001 v

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik pada waktu kuliah maupun pada waktu penyusunan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak I Putu Alit Suthanaya, ST, MengSc. Ph.D. sebagai pembimbing utama yang telah memberikan dorongan, bimbingan, dan saran kepada penulis dengan penuh kesabaran. Terima kasih yang sebesarbesarnya juga penulis sampaikan kepada Bapak Dewa Made Priyantha Wedagama, ST, MT, MSc, Ph.D. sebagai pembimbing kedua yang selama ini memberikan bimbingan dan saran dengan penuh pengertian kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada segenap staf dan pengajar Program Magister Teknik Sipil atas segala informasi dan dukungannya selama pendidikan maupun selama penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada orangtua, keluarga, dan rekanrekan yang mendukung selama pendidikan ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan karena keterbatasan penulis, semua kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan tesis ini. Denpasar, Agustus 2011 Penulis vi

ABSTRAK PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROVINSI BALI DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR) Tersedianya sarana dan prasarana kota yang baik merupakan salah satu langkah fundamental untuk mencapai pencitraan yang baik bagi Propinsi Bali yang terkenal akan daerah wisatanya. Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting mendukung kegiatan perekonomian dan sosial masyarakat. Perlu dilakukan penyusunan suatu basis data jalan nasional berbasis sistem informasi geografis yang mampu mengakomodasi kebutuhan para pemegang kebijakan. Penyusunan basis data berbasis SIG yang dilakukan pada penelitian ini hanya untuk 33 ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar, mengingat ruas jalan ini memiliki kepadatan yang relatif lebih besar dari ruas lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial Jalan Nasional serta menyusun program basis data berbasis Sistem Informasi Geografis untuk Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar. Untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan maka langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu, lalu melakukan persiapan survei, kemudian pengumpulan/survei data primer dan sekunder, analisis data survei, baru kemudian dilakukan penyusunan program basis data berbasis Sistem Informasi Geografis. Simpulan dan saran yang baik dapat diperoleh setelah proses tersebut selesai dilakukan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini untuk kondisi Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan adalah sebesar 83.09% kondisi perkerasan dalam kondisi baik, sebesar 89.37% kondisi geometrik dalam kondisi baik, dan sebesar 68.12% kondisi sosial dalam kondisi cukup. Penelitian ini telah menghasilkan program basis data berbasis Sistem Informasi Geografis yang berisikan informasi sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial dari Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan. Kata kunci : basis data, Sistem Informasi Geografis, Jalan Nasional, P2JJ Metropolitan vii

ABSTRACT DATABASE COMPILATION OF NATIONAL ROAD BASED ON GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (CASE STUDY: NATIONAL ROAD IN BALI PROVINCE UNDER RESPONSIBILITY OF SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR) Availability of good structure and infrastructure in city is one of fundamental step to achievi a good imaging for the Bali Province that has been wellknown as tourism areas. Roads as part of National transportation system plays an important role to support economic activities and social communities. Necessary preparation of a national roads database based on Geographic Information System that able to accommodate the needs of policy holders. Preparation of database based on GIS in this research conducted only for 33 sections of National Roads under responsibility of the P2JJ Metropolitan Denpasar, because this roads has a relatively greater density than others segments. The objective of this study is to analize the system stationing, pavement conditions, geometric conditions, social conditions of National Roads and compiles a database program based on Geographic Information System for National Roads under responsibility of SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar. To achieve the desired results, then the steps must be taken in this study is preliminary study at first, preparing survey, then survey of primary and secondary data, analize survey data, and then do the programming database based on Geographic Information System. Good conclution and advice can be obtained after the process is completed. Results obtained from this study for the National Roads under responsibility of SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar is 83,09% pavements in good condition, amounted 89,37% geometric in good condition, and 68,12% social in sufficient condition. This study has produced a database program based on Geographic Information System that containing information of stationing system, pavement conditions, geometric conditions, and social conditions for the National Roads under responsibility of SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar. Keywords: databased, Geographic Information System, National Roads, P2JJ Metropolitan viii

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PERSETUJUAN... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR SINGKATAN... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I PENDAHULUAN....1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 4 1.4 Batasan Masalah... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA... 6 2.1 Klasifikasi Jalan Umum.... 6 2.1.1 Klasifikasi menurut fungsi pada sistem jaringan jalan... 6 2.1.2 Klasifikasi menurut status jalan... 13 2.1.3 Klasifikasi menurut kelas jalan... 16 2.2 Bagian - bagian Jalan... 17 2.2.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA)... 17 2.2.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)... 18 2.2.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)... 19 2.3 Jalan Nasional di Provinsi Bali... 21 2.4 Informasi Kondisi Jalan... 23 2.4.1 Indeks kondisi kekasaran jalan/road Condition Index (RCI)... 23 2.4.2 Indeks Internasional kekasaran jalan/international Roughness Index(IRI).. 24 2.4.3 Jenis jenis kerusakan perkerasan aspal... 25 2.4.4 Survei pencacahan lalu lintas terklasifikasi... 35 2.4.5 Dasar-dasar perencanaan geometrik jalan... 38 ix

2.5 Basis Data (Data Base)... 53 2.5.1 Umum... 53 2.5.2 Sistem Manajemen Basis Data (SMBD)... 53 2.5.3 Pelaku basis data... 56 2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG)... 59 2.6.1 Fase perancangan SIG... 62 2.6.2 Pembentukan data spasial dengan SIG... 65 2.6.3 Model relasional... 75 2.6.4 Sistem koordinat... 77 BAB III METODE PENELITIAN......81 3.1 Kerangka Penelitian... 81 3.2 Lokasi Penelitian... 83 3.3 Data Primer... 84 3.3.1 Stasiun Titik Awal (STA)... 84 3.3.2 Lebar jalur dan bahu jalan... 85 3.3.3 Indeks kondisi jalan/road Condition Index (RCI)... 86 3.3.4 Jenis kerusakan perkerasan... 86 3.3.5 Kondisi perkerasan... 87 3.3.6 Kondisi geometrik... 87 3.3.7 Kondisi sosial... 88 3.3.7 Foto kondisi jalan... 89 3.4 Data Sekunder... 90 3.4.1 Titik pengenal awal dan akhir ruas... 90 3.4.2 Panjang ruas... 90 3.4.3 Indeks Internasional kekasaran permukaan/ International Roughness Index(IRI)... 90 3.4.4 Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT)... 91 3.5 Penyusunan Basis Data Berbasis SIG... 92 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN......93 4.1 Data Primer... 93 4.1.1 Sistem stasioning... 93 4.1.2 Lebar jalur dan bahu jalan... 93 4.1.3 Indeks Kondisi Jalan/Road Condition Index (RCI)... 93 4.1.4 Jenis kerusakan perkerasan... 94 4.1.5 Kondisi perkerasan... 94 4.1.6 Kondisi geometrik... 95 4.1.7 Kondisi sosial... 97 x

4.1.8 Foto kondisi jalan... 98 4.2 Data Sekunder... 98 4.3 Analisa... 99 4.3.1 Lebar Bahu dan Badan Jalan... 99 4.3.2 Jenis Kerusakan Perkerasan... 99 4.3.3 Tampilan Antar Muka Program Pada Web Map Aset... 103 4.3.4 Tampilan Antar Muka Program Pada Pengelolaan Aset... 108 BAB V SIMPULAN DAN SARAN......109 5.1 Simpulan... 109 5.2 Saran... 111 DAFTAR PUSTAKA... 112 xi

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Penentuan Nilai RCI Ditinjau Berdasarkan Jenis Permukaan dan Kondisi Secara Visual...... 24 Tabel 2.2 Dimensi Dasar Kendaraan Rencana... 39 Tabel 2.3 Nilai Emp Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah... 40 Tabel 2.4 Nilai Emp Untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi... 40 Tabel 2.5 Kecepatan Rencana Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan... 41 Tabel 2.6 Penentuan Lebar Lajur dan Bahu Jalan... 42 Tabel 2.7 Panjang Bagian Lurus Maksimum... 44 Tabel 2.8 Panjang Jari jari Maksimum Suatu Tikungan (Dibulatkan)... 45 Tabel 2.9 Jari jari Tikungan yang Tidak Memerlukan Lengkungan Peralihan... 45 Tabel 2.10 Kelandaian Maksimum yang Diijinkan... 47 Tabel 2.11 Panjang Kritis Kelandaian Maksimum... 48 Tabel 2.12 Panjang Minimum Lengkung Vertikal... 48 Tabel 3.1 Definisi Tiap Kategori Kondisi Perkerasan... 87 Tabel 3.2 Definisi Tiap Kategori Kondisi Geometrik... 88 Tabel 3.3 Definisi Tiap Kategori Kondisi Sosial... 89 Tabel 4.1 Kondisi Perkerasan Segmen Jalan... 94 Tabel 4.2 Kondisi Geometrik Segmen Jalan... 96 Tabel 4.3 Kondisi Sosial Segmen Jalan... 97 xii

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi... 12 Gambar 2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan... 15 Gambar 2.3 Bagian bagian Jalan... 20 Gambar 2.4 Peta Ruas Jalan Nasional Provinsi Bali...... 22 Gambar 2.5 Kerusakan Cacat Permukaan: Deliminasi... 26 Gambar 2.6 Kerusakan Cacat Permukaan: Bleeding... 27 Gambar 2.7 Karusakan Cacat Permukaan: Pengausan... 27 Gambar 2.8 Kerusakan Cacat Permukaan: Pelepasan Butir... 28 Gambar 2.9 Kerusakan Cacat Permukaan: Lubang... 29 Gambar 2.10 Kerusakan Retak: Retak selip... 29 Gambar 2.11 Kerusakan Retak: Retak kulit buaya... 30 Gambar 2.12 Kerusakan Retak: Retak blok... 31 Gambar 2.13 Kerusakan Retak: Retak memanjang... 31 Gambar 2.14 Kerusakan Retak: Retak melintang... 32 Gambar 2.15 Kerusakan Deformasi: Alur... 32 Gambar 2.16 Kerusakan Deformasi: Keriting... 33 Gambar 2.17 Kerusakan Deformasi: Defresi (Amblas)... 33 Gambar 2.18 Kerusakan Deformasi: Pergeseran (Shoving)... 34 Gambar 2.19 Deformasi Plastis... 34 Gambar 2.20 Komponen Tikungan Spiral-Circle-Spiral... 46 Gambar 2.21 Lajur Pendakian... 49 Gambar 2.22 Jarak antara Dua Lajur Pendakian... 50 Gambar 2.23 Contoh Koordinasi Alinyemen yang Ideal... 52 Gambar 2.24 Contoh Koordinasi Alinyemen yang Harus Dihindari... 52 Gambar 2.25 Contoh Beberapa Peta yang Direprensentasikan ke Dalam Layer... 61 Gambar 2.26 Konsep Strategis Perancangan SIG... 63 Gambar 2.27 Tahapan Pekerjaan Pembentukan Coverage SIG Berbasis Data Vektor...... 66 xiii

Gambar 2.28 Konversi dan Pembentukan Topologi pada Arc/Info... 67 Gambar 2.29 Tampilan Menu Arcedit... 68 Gambar 2.30 Pemberian ID pada Arcedit... 69 Gambar 2.31 Keluar dari Menu Arcedit dan Pembentukan Kembali Topologi... 70 Gambar 2.32 Penambahan Item NAMA pada Coverage Evakuasi... 71 Gambar 2.33 Pemberian Data Atribut pada Field NAMA... 72 Gambar 2.34 ID Coverage (lingkaran titik evakuasi) yang Akan Diberikan Data Atribut...... 73 Gambar 2.35 ID yang Telah Dipilih untuk Diberikan Data Atribut... 74 Gambar 2.36 Pemberian Data Atribut dan Keluar dari Menu Arcedit... 74 Gambar 2.37 Model Relasional... 77 Gambar 2.38 Posisi Garis Lintang, Bujur, dan Lainnya pada Bumi... 78 Gambar 3.1 Bagan Alir Rancangan Penelitian... 82 Gambar 3.2 Ilustrasi STA, Ruas, dan Segmen... 84 Gambar 3.3 Lokasi Titik Nol Kilometer Provinsi Bali... 85 Gambar 4.1 Grafik Persentase Kondisi Perkerasan Segmen Jalan... 95 Gambar 4.2 Grafik Persentase Kondisi Geometrik Segmen Jalan... 96 Gambar 4.3 Grafik Persentase Kondisi Sosial Segmen Jalan... 97 Gambar 4.4 Grafik Persentase Jenis Kerusakan Perkerasan Jalan Tahun 2009.. 102 Gambar 4.5 Tampilan Antar Muka Program dalam Web Map Aset... 103 Gambar 4.6 Ikon dan Nama Toolbar Navigation... 104 Gambar 4.7 Fasilitas layer yang Tersedia... 106 Gambar 4.8 Kondisi Tampilan Peta dengan Layer Perkerasan Aktif... 107 Gambar 4.9 Tampilan Antar Muka Program dalam Pengelolaan Aset... 108 xiv

DAFTAR SINGKATAN ABD = Administrator Basis Data BT = Bujur Timur BMS = Bridge Management System CAD = Computer Aided Designed DD = Decimal Degree DMS = Degree Minute Second EMP = Ekivalensi Mobil Penumpang FC = Full Circle GRS80 = Geodetic Reference System of 1980 ID = Identity IRI = International Roughness Index IRMS = Integrated Road Management System Laston = Lapis Aspal Beton Lasbutag = Lapis Asbuton Agregat Latasbum = Lapis Tipis Asbuton Murni LHR = Lalu lintas Harian Rata-rata LHRT = Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan LS = Lintang Selatan MKJI = Manual Kapasitas Jalan Indonesia NAASRA = National Association of Australian State Road Authorities NAD27 = North American Datum of 1927 NAD83 = North American Datum of 1983 PM = Penetrasi Macadam P2JJ = Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan RCI = Road Condition Index RUMAJA = Ruang Manfaat Jalan RUWASJA = Ruang Pengawasan Jalan xv

RUMIJA = Ruang Milik Jalan SCS = Spiral-Circle-Spiral SIG = Sistem Informasi Geografis SMBD = Sistem Manajemen Basis Data SMP = Satuan Mobil Penumpang SNVT = Satuan Non Vertikal Tertentu SS = Spiral-spiral STA = Stasiun Titik Awal URMS = Urban Road Management System WGS84 = World Geodetic System 1984 xvi

DAFTAR LAMPIRAN.. Halaman Lampiran A Tabel Jalan Nasional Provinsi Bali Beserta Penanggung Jawabnya...... 114 Lampiran B Tabel Titik Pengenal Awal dan Akhir Ruas Jalan P2JJ Metropolitan Denpasar Beserta Panjang Ruas...... 117 Lampiran C Peta Jaringan Jalan P2JJ Metropolitan Denpasar...... 121 Lampiran D Formulir Survei Ruas Jalan Nasional...... 122 Lampiran E Tabel Hasil Survei Kondisi Jalan Nasional di bawah Tanggung Jawab SNVT P2JJ Metropolitan...... 124 Lampiran F Tabel Hasil Survey Jenis Kerusakan Perkerasan dan RCI... 132 xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal sebagai daerah kunjungan wisata dunia. Pencitraan yang baik tentang Bali tentunya akan menjadi magnet dalam menarik wisatawan mancanegara. Salah satu langkah fundamental untuk mencapai pencitraan yang baik adalah dengan tersedianya sarana dan prasarana kota yang baik. Sebagai contoh suatu kota mesti memiliki berbagai aktivitas pokok (rumah sakit, bandara, sekolah, dan sebagainya) dengan aksesibilitas yang memadai, dalam hal ini tersedianya prasarana jalan yang mampu menjangkau berbagai lokasi aktivitas tersebut. Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting mendukung kegiatan perekonomian dan sosial masyarakat. Selain itu jalan juga berperan memfasilitasi upaya pelestarian lingkungan dan pertumbuhan budaya bangsa. Sesuai peruntukannya, jalan terdiri atas jalan khusus dan jalan umum, dimana jalan umum dapat dibedakan klasifikasinya menurut beberapa hal. Berdasarkan wewenang pembinaannya, jalan dapat diklasifikasikan menjadi 6 (enam) jenis, salah satunya adalah Jalan Nasional yang merupakan jenis jalan dengan tingkat wewenang pembinaan berada pada pemerintah pusat. Apabila mengacu pada klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya, yang dimaksud dengan jalan nasional adalah jalan arteri primer, kolektor primer, serta jalan yang 1

2 mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan Nasional, yakni jalan yang tidak dominan terhadap pengembangan ekonomi, tapi mempunyai peranan menjamin kesatuan dan keutuhan Nasional, serta melayani daerah-daerah yang rawan dan lain-lain. Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Nomor: 376/KPTS/M/2004 bulan Oktober 2004, tentang Penetapan Ruas-ruas Jalan Menurut Statusnya Sebagai Jalan Nasional, maka dapat diketahui bahwa panjang ruas Jalan Nasional di Provinsi Bali adalah 501,64 km dengan 58 ruas jalan. Instansi yang bertanggung jawab secara langsung terhadap Jalan Nasional di provinsi Bali adalah Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan (P2JJ) Bali dan SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar di bawah Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga. SNVT P2JJ Bali bertanggung jawab terhadap 25 ruas jalan nasional sepanjang 398,34 km, sedangkan P2JJ Metropolitan Denpasar bertanggung jawab terhadap 33 ruas jalan sepanjang 103,30 km. Selama ini, ruas jalan nasional yang menjadi tanggung P2JJ Metropolitan Denpasar memiliki kepadatan yang cenderung lebih besar daripada ruas jalan lainnya. Secara garis besar bentuk tanggung jawab kedua SNVT tersebut di atas adalah memantau situasi dan kondisi jalan serta jembatan nasional di Provinsi Bali. Apabila terjadi permasalahan ataupun potensi masalah, maka kedua SNVT tersebut akan mengajukan program kegiatan kepada Balai Pengawasan Jalan Nasional VIII (BPJN VIII) selaku penyetuju kegiatan untuk wilayah Bali, NTB, dan NTT. Dalam rangka mempermudah kinerjanya, selama ini SNVT P2JJ sudah memiliki program basis data jalan dan jembatan nasional yang dikembangkan 2

3 sejak tahun 1990-an, yaitu program Integrated Road Management System (IRMS) dan Urban Road Management System (URMS), yang merupakan basis data jalan, dan Bridge Management System (BMS) yang merupakan basis data jembatan. Namun BPJN VIII tentunya juga membutuhkan data kondisi jalan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan atas usulan kedua SNVT tersebut. Menurut tim proyek BPJN VIII, secara umum data yang dibutuhkan dalam sistem informasi adalah sistem stationing, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, kondisi sosial, dimana data tersebut belum terangkum dalam IRMS dan URMS. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penyusunan suatu basis data jalan nasional berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang mampu mengakomodasi kebutuhan para pemegang kebijakan. Keputusan yang lebih cepat dan akurat diharapkan dapat diambil oleh para pemegang kebijakan dengan terdapatnya basis data berbasis SIG yang informatif. Penyusunan basis data berbasis SIG yang dilakukan pada penelitian ini hanya untuk 33 ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar, mengingat ruas jalan ini memiliki kecenderungan lebih padat dari ruas lainnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diuraikan beberapa permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar? 3

4 2. Bagaimanakah Basis Data Jalan Nasional Berbasis Sistem Informasi Geografis yang mampu mengakomodasi kebutuhan informasi dari pemegang kebijakan? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar. 2. Untuk menyusun basis data informasi kondisi Jalan Nasional Provinsi Bali di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar yang berupa program berbasis Sistem Informasi Geografis. 1.4 Batasan Masalah Penyusunan basis data jalan berbasis SIG merupakan sebuah penelitian dengan cakupan yang luas, untuk itu perlu ditetapkan sejumlah batasan masalah dan asumsi, antara lain: 1. Informasi kondisi jalan yang dipertimbangkan setiap 500 meter meliputi sistem stasioning dari titik nol kota Denpasar (STA), lebar jalur lalu lintas, lebar bahu jalan, IRI & RCI (kondisi perkerasan), jenis kerusakan perkerasan, kondisi geometrik, kondisi sosial, dan foto kondisi jalan. 2. Informasi kondisi jalan yang dipertimbangkan setiap ruas jalan meliputi titik pengenal awal dan akhir ruas jalan, panjang ruas, dan nilai LHRT. 3. Data sekunder yang dibutuhkan yaitu titik pengenal awal dan akhir ruas, panjang ruas, IRI, LHRT yang diperoleh dari P2JJ Metropolitan Denpasar. 4

5 4. Survei lapangan yang dilakukan meliputi survei STA, lebar lajur, lebar bahu, RCI, jenis kerusakan perkerasan, kondisi geometrik, kondisi sosial, dan foto kondisi jalan. 5. Pengukuran kondisi geometrik jalan di daerah tikungan dan tanjakan hanya bersifat justifikasi dan tidak dilakukan pengukuran untuk memenuhi kebutuhan informasi awal bagi pemegang kebijakan. 6. Sebagian besar penyusunan program ini menggunakan software Arc Info. 1.5 Manfaat Secara umum terdapat dua buah manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain: 1. Bagi Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, khususnya Balai Pelaksanaan Jalan Nasional VIII Denpasar dan P2JJ Metropolitan Denpasar, keberadaan basis data Jalan Nasional berbasis SIG ini diharapkan mempercepat dan meningkatkan akurasi dalam pengambilan kebijakan terkait pemantauan kondisi jalan nasional di Provinsi Bali. 2. Dapat digunakan sebagai bahan kajian studi lebih lanjut oleh peneliti lainnya. 5

6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Jalan Umum Sesuai peruntukannya jalan terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum merupakan jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, sedangkan jalan khusus merupakan jalan yang bukan diperuntukkan untuk lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan. Menurut Undang Undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, jalan umum dapat diklasifikasikan dalam sistem jaringan jalan, fungsi jalan, status jalan, dan kelas jalan. Pengetahuan mengenai klasifikasi jalan menjadi penting pada penelitian ini untuk menerangkan definisi Jalan Nasional beserta aturannya. 2.1.1 Klasifikasi menurut fungsi pada sistem jaringan jalan Klasifikasi jalan berdasarkan fungsi mengacu pada UU No.38 tahun 2004 dan PP No.34 tahun 2006, adalah sebagai berikut: 2.1.1.1. Sistem jaringan jalan primer Sistem jaringan jalan primer terdiri dari jalan arteri primer, jalan kolektor primer, jalan lokal primer, dan jalan lingkungan primer, dimana disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut: 6 6

7 a) Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan b) Menghubungkan antarpusat kegiatan Nasional. Sistem jaringan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat Nasional yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut: 1) Jalan arteri primer Jalan ini menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah, dengan persyaratan teknis sebagaimana diatur dalam PP No. 34 tahun 2006, sebagai berikut: a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 60 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 11 meter; c. Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata; d. Lalu-lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang-alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal; e. Jumlah jalan masuk, ke jalan arteri primer, dibatasi secara effisien sehingga kecepatan 60 km/jam dan kapasitas besar tetap terpenuhi; f. Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus. 7

8 2) Jalan kolektor primer Merupakan jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Adapun persyaratan teknis dari jalan ini, sebagai berikut: a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 40 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 9 meter; c. Kapasitas lebih besar dari volume lalu-lintas rata-rata; d. Jumlah jalan masuk dibatasi, dan direncanakan sehingga dapat dipenuhi kecepatan paling rendah 40 km/jam; e. Jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan tidak boleh terputus. 3) Jalan lokal primer Merupakan jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. Adapun persyaratan teknis dari jalan ini, sebagai berikut: a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 20 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 7,5 meter; c. Jalan lokal primer yang memasuki kawasan pedesaan tidak boleh terputus. 8

9 4) Jalan lingkungan primer Merupakan jalan yang menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. Adapun persyaratan teknis dari jalan ini, sebagai berikut: a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 15 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 6,5 meter; c. Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus memiliki lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter. 2.1.1.2. Sistem jaringan jalan sekunder Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil. Fungsi jalan pada sistem jaringan jalan sekunder terdiri dari: 1) Jalan Arteri Sekunder Jalan ini menghubungkan menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Adapun persyaratan teknisnya, sebagai berikut: 9

10 a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 30 km/jam; b. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; c. Lebar badan jalan paling sedikit 11 meter; d. Pada jalan arteri sekunder, lalu-lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu-lintas lambat; e. Persimpangan sebidang dengan pengaturan tertentu harus memenuhi kecepatan tidak kurang dari 30 km/jam. 2) Jalan kolektor sekunder Jalan ini menghubungkan menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Adapun persyaratan teknisnya, sebagai berikut: a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 20 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 9 meter; c. Memiliki kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; d. Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat; e. Persimpangan sebidang dengan pengaturan tertentu harus memenuhi kecepatan tidak kurang dari 20 km/jam. 10

11 3) Jalan lokal sekunder Jalan ini menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Adapun persyaratan teknisnya, sebagai berikut: a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 10 km/jam; b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7,5 meter. 4) Jalan lingkungan sekunder Jalan ini menghubungkan antar persil dalam kawasan perkotaan. Adapun persyaratan teknisnya, sebagai berikut: a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 10 km/jam, diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih; b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 6,5 meter; c. Jalan yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter. Secara diagramatis penjelasan mengenai klasifikasi jalan menurut fungsi dapat dilihat pada Gambar 2.1, halaman 12. 11

12 KP I AP I AP AP II KP II KP KP III LP III LP LP IV IV Keterangan: I II III IV AP KP LP Kota Jenjang I (Kota PKN/Pusat Kegiatan Nasional) Kota Jenjang II (Kota PKW/Pusat Kegiatan Wilayah) Kota Jenjang III (Kota PKL/Pusat Kegiatan Lokal) Kota Jenjang dibawahnya, Persil Arteri Primer Kolektor Primer Lokal Primer Gambar 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Sumber: Saodang, 2004 12

13 2.1.2 Klasifikasi menurut status jalan Berdasarkan PP No. 34 tahun 2006 Pasal 25 sampai 30, jaringan jalan yang diklasifikasikan menurut statusnya dibedakan menjadi 5 (lima) jenis, yaitu sebagai berikut: 2.1.2.1 Jalan Nasional Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan nasional adalah jalan arteri primer; jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi; jalan tol; serta jalan strategis Nasional. 2.1.2.2 Jalan Provinsi Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan provinsi adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota Provinsi dengan ibukota Kabupaten/Kota; jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota Kabupaten/Kota; jalan strategis provinsi; serta jalan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan sebagaimana dimaksud dalam Jalan Nasional. 2.1.2.3 Jalan Kabupaten Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan kabupaten adalah jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan kelompok jalan provinsi; jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat desa, antar ibukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan antar desa; jalan sekunder lain, selain 13

14 sebagaimana dimaksud sebagai jalan nasional, dan jalan provinsi; serta jalan yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan Kabupaten. 2.1.2.4 Jalan Kota Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan provinsi kota adalah jaringan jalan sekunder di dalam kota. Penjelasan dalam skema diagram dapat dilihat lebih lanjut pada Gambar 2.2. 2.1.2.5 Jalan Desa Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan desa adalah jalan lingkungan primer dan jalan lokal primer yang tidak termasuk jalan kabupaten di dalam kawasan pedesaan, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar pemukiman di dalam desa. Secara diagramatis, klasifikasi jalan menurut status dapat dilihat pada Gambar 2.2, halaman 15 14

15 N N I N I SN N/P N/P P II P II SP K K SK K III K III K K Keterangan: IV IV I Ibukota Provinsi N Nasional II Ibukota Kabupaten/Kota P Provinsi III Ibukota Kecamatan K Kabupaten IV Kota Lainnya SN Strategis Nasional SP Strategis Provinsi SK Strategis Kabupaten Gambar 2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Sumber: Saodang, 2004 15

16 2.1.3 Klasifikasi menurut kelas jalan Kelas jalan dapat dikelompokkan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, sebagaimana telah diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan; serta spesifikasi penyediaan prasarana jalan. Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dibedakan menjadi jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil. Maksud dari spesifikasi di sini meliputi pengendalian jalan masuk, persimpangan sebidang, jumlah dan lebar lajur, ketersediaan medan, serta pagar. 2.1.3.1 Jalan bebas hambatan Spesifikasi yang diatur untuk jalan bebas hambatan meliputi pengendalian jalan masuk secara penuh, tidak ada persimpangan sebidang, dilengkapi pagar ruang milik jalan, dilengkapi dengan median, paling sedikit mempunyai 2 (dua) lajur setiap arah, dan lebar lajur paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter. 2.1.3.2 Jalan raya Spesifikasi untuk jalan raya yang dimaksud adalah jalan umum untuk lalu lintas secara menerus dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah, lebar lajur paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter. 2.1.3.3 Jalan sedang Spesifikasi untuk jalan sedang yang dimaksud adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling 16

17 sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar jalur paling sedikit 7 (tujuh) meter. 2.1.3.4 Jalan kecil Spesifikasi untuk jalan kecil yang dimaksud adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar jalur paling sedikit 5,5 (lima koma lima) meter. 2.2 Bagian-bagian Jalan Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan (RUMAJA), ruang milik jalan (RUMIJA), dan ruang pengawasan jalan (RUWASJA). Penjelasan mengenai bagian-bagian jalan menjadi penting pada penelitian ini untuk mengetahui persyaratan ideal bagi ruang jalan, sehingga kriteria pada informasi kondisi sosial dapat didefinisikan. Penjelasan dari masing-masing bagian jalan tersebut dapat dilihat sebagai berikut. 2.2.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri, yang meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. RUMAJA hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Dalam rangka menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta pengamanan 17

18 konstruksi jalan, maka badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas, dimana ruang bebas disini maksudnya adanya pembatasan untuk lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu. Ruang bebas untuk jalan arteri maupun kolektor adalah dengan tinggi paling rendah 5 (lima) meter serta kedalaman paling rendah 1,5 (satu koma lima) meter dari permukaan jalan. 2.2.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA) Ruang milik jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, kedalaman, dan tinggi tertentu, dimana terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai landscape jalan. Ruang milik jalan diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan. Jika mengacu pada PP Nomor 34 Tahun 2006, maka terdapat lebar minimum RUMIJA, seperti sebagai berikut: a. Jalan Bebas Hambatan : 30 meter b. Jalan Raya : 25 meter c. Jalan Sedang : 15 meter d. Jalan Kecil : 11 meter 18

19 2.2.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan, dimana diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan. Terdapat lebar ruang pengawasan jalan minimum yang ditentukan dari tepi badan jalan dengan ukuran sebagai berikut: a. Jalan Arteri Primer : 15 meter b. Jalan Kolektor Primer : 10 meter c. Jalan Lokal Primer : 7 meter d. Jalan Lingkungan Primer : 5 meter e. Jalan Arteri Sekunder : 15 meter f. Jalan Kolektor Sekunder : 5 meter g. Jalan Lokal Sekunder : 3 meter h. Jalan Lingkungan Sekunder: 2 meter i. Jembatan 100 meter kearah hulu dan hilir. Untuk informasi lebih jelas mengenai bagian-bagian jalan yang tergolong dalam RUMAJA, RUMIJA, dan RUWASJA dapat dilihat pada Gambar 2.3, halaman 20 berikut ini. 19

20 Keterangan: Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) Ruang Milik Jalan (RUMIJA) Bangunan a = Jalur lalu lintas c = Saluran tepi b = Bahu jalan d = Ambang pengamanan x = b + a + a + b = Badan Jalan Gambar 2.3 Bagian-bagian Jalan Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 20 20

21 Menurut Penjelasan Pasal 35 PP Nomor 34 tahun 2006, yang dimaksud badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah, dan bahu jalan. 2.3 Jalan Nasional di Provinsi Bali Jalan nasional merupakan jalan arteri primer; jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi; jalan tol; serta jalan yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan Nasional. Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 376/KPTS/M/2004, Tentang Penetapan Ruas-ruas Jalan Menurut Statusnya Sebagai Jalan Nasional, tanggal 19 Oktober 2004, maka pemerintah menetapkan sebanyak 58 ruas jalan di provinsi Bali sebagai Jalan Nasional. Selain nama ruas jalan yang ditetapkan, Kepmen tersebut juga menetapkan panjang masing-masing ruas jalan, dimana panjang total ruas jalan tersebut adalah 501,64 km. Pemerintah membentuk dua SNVT yang bertanggung jawab atas kondisi ruas tersebut, yaitu SNVT P2JJ Bali dan SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar. Mengingat ruas jalan nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar yang cenderung lebih padat, maka dalam penelitian ini hanya meninjau ruas jalan tersebut. Pada Gambar 2.4 dapat dilihat peta ruas jalan nasional, yangmana ruas jalan nasional ditandakan dengan garis merah tebal. Peta ruas jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar dapat dilihat pada Lampiran C usulan penelitian ini. 21

22 Gambar 2.4 Peta Ruas Jalan Nasional Provinsi Bali Sumber: Hasil Analisa, 2011 22 22

23 Untuk nama ruas, nomor ruas, dan panjangnya yang bersumber dari Lampiran 20B Kepmen 376/KPTS/M/2004, serta penanggung jawabnya di provinsi berdasarkan data sekunder dari SNVT P2JJ, dapat dilihat pada Lampiran A penelitian ini. Berdasarkan lampiran tersebut, maka ruas jalan nasional yang berada di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Wilayah Bali adalah sepanjang 398,34 km dengan 25 ruas, sedangkan SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar sepanjang 103,30 km dengan 33 ruas jalan. 2.4 Informasi Kondisi Jalan 2.4.1 Indeks kondisi kekasaran jalan (RCI) Road Condition Index (RCI) atau indeks kondisi kekasaran jalan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai suatu kondisi jalan, dimana survei dilakukan secara pengamatan/visualisasi terhadap ruas jalan. Rentangan nilai dari RCI ini adalah dari nol sampai sepuluh, dimana nilai nol mewakili kondisi perkerasan yang paling buruk dan nilai sepuluh mewakili kondisi perkerasan yang paling baik. Selain memperhatikan kondisi perkerasan, RCI juga memperhatikan kondisi dari jenis permukaannya. Tabel 2.1 berikut ini akan menjelaskan mengenai penentuan nilai RCI ditinjau berdasarkan jenis permukaan dan kondisi secara visual. 23

24 Tabel 2.1 Penentuan Nilai RCI Ditinjau Berdasarkan Jenis Permukaan dan Kondisi Secara Visual No. Jenis Permukaan Kondisi ditinjau Secara Visual Nilai RCI 1. Jalan tanah dengan drainase Tidak bisa dilalui 0-2 yang jelek, dan semua tipe permukaan yang tidak diperhatikan sama sekali 2. Semua tipe perkerasan yang tidak diperhatikan sejak lama (4-5 tahun atau lebih) Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah perkerasan 2-3 3. PM (Penetrasi Macadam) lama, Latasbum lama, batu kerikil 4. PM setelah pemakaian 2 tahun, Latasbum lama 5. PM baru, Latasbum baru, Lasbutag setelah pemakaian 2 tahun 6. Lapis tipis lama dari Hotmix, Latasbum baru, Lasbutag baru 7. Hotmix setelah 2 tahun, Hotmix tipis di atas PM 8. Hotmix baru (Lataston, Laston), peningkatan dengan menggunakan lebih dari 1 lapis Rusak bergelombang, banyak lubang 3-4 Agak rusak, kadang-kadang 4-5 ada lubang, permukaan tidak rata Cukup tidak ada atau sedikit 5-6 sekali lubang, permukaan jalan agak tidak rata Baik 6-7 Sangat baik, umumnya rata 7-8 Sangat rata dan teratur 9-10 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007. Panduan Survai Kekasaran Permukaan Jalan Secara Visual 2.4.2 Indeks Internasional kekasaran jalan (IRI) International Roughness Index (IRI) atau indeks internasional kekasaran jalan merupakan indeks internasional yang menunjukkan besaran kekasaran permukaan jalan dalam satuan m/km, dimana survei dilakukan dengan 24

25 menggunakan alat ukur kerataan roughometer NAASRA (National Association of Australian State Road Authorities). Tata cara ini berguna untuk menghitung tebal lapis tambahan bila dilihat dari sisi fungsional jalan dan dilengkapi dengan formulir-formulir yang aplikatif dan komunikatif. Dalam survei ketidakrataan permukaan jalan dengan alat ukur roughometer NAASRA diperlukan beberapa alat bantu lainnya, yaitu: Dipstick Floor Profiler yang digunakan sebagai alat ukur elevasi, Odometer sebagai alat pengukur jarak tempuh, dua buah beban masing-masing seberat 50 kg dan alat pengukur tekanan ban. Berdasarkan buku Panduan Survai Kekasaran Permukaan Jalan Secara Visual yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga pada tahun 2007, terdapat rumusan korelasi RCI dengan IRI, yaitu:, (1) Dimana: RCI = Road Condition Index IRI = International Roughness Index 2.4.3 Jenis-jenis kerusakan perkerasan aspal Berdasarkan Modul B.1.1. Prasarana Transportasi, Campuran Beraspal Panas, yang dikeluarkan oleh Departemen Kimpraswil Badan Penelitian dan Pengembangan pada tahun 2003, maka terdapat beberapa kelompok kerusakan yang terjadi pada perkerasan aspal. 25

26 2.4.3.1 Cacat permukaan 1) Deliminasi Deliminasi merupakan suatu jenis kerusakan perkerasan yang dapat disebabkan oleh : a. permukaan perkerasan lama kotor; b. pemasangan lapis perekat tidak merata; c. pemadatan saat hujan; d. rembesan air pada retakan. Gambar 2.5 Kerusakan Cacat Permukaan: Deliminasi Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 2) Bleeding, yaitu merupakan suatu jenis kerusakan yang diprediksi disebabkan sebagian atau seluruh agregat dalam campuran terselimuti aspal terlalu banyak. Penyebab terjadinya bleeding adalah sebagai berikut : a. penggunaan aspal berlebihan; b. penggunaan lapis perekat (tack coat) berlebihan; c. ekses dari lapisan bawahnya yang bleeding. 26

27 Gambar 2.6 Kerusakan Cacat Permukaan: Bleeding Sumber: Pioneer Valley Planning Commission. t.t. http://www.pvpc..org/webcontent/ /graphics/images/trans/ pave_gif/bleed.gif, Maret 20100 3) Pengausan Penyebab terjadinya pengausan adalah sebagai berikut : a. penggunaan agregat tidak tahan aus; b. penggunaan agregat (kerikil) sungai. Gambar 2.7 Kerusakan Cacat Permukaan: Pengausan Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 27

28 4) Pelepasan butir Penyebab terjadinya pelepasan butir adalah sebagai berikut : a. penggunaan agregat kotor; b. penggunaan agregat pipih (mudah pecah); c. penggunaan aspal kurang; d. pelapukan (aging) aspal; e. pemadatan lintasannya kurang; f. temperatur pemadatan rendah. Gambar 2.8 Kerusakan Cacat Permukaan: Pelepasan Butir Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 5) Lubang Penyebab terjadinya lubang adalah sebagai berikut : a. penggunaan aspal kurang; b. penggunaan agregat kotor; c. penggunaan agregat pipih (mudah pecah); d. rembesan para retakan. 28

29 Gambar 2.9 Kerusakan Cacat Permukaan: Lubang Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 2.4.3.2 Retak 1) Retak selip Penyebab terjadinya retak selip adalah sebagai berikut : a. penggunaan tack coat kurang; b. pengaruh terdorong/ /terseret oleh paver dimana temperatur campuran rendah. Gambar 2.10 Kerusakan Retak: Retak selip Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 29

30 2) Retak kulit buaya Penyebab terjadinya retak kulit buaya adalah sebagai berikut : a. pelapukan aspal; b. penggunaan aspal kurang; c. ketebalan kurang. Gambar 2.11 Kerusakan Retak: Retak kulit buaya Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 3) Retak blok Penyebab terjadinya retak blok adalah sebagai berikut : a. pelapukan aspal; b. penggunaan aspal kurang; c. ketebalan kurang. 30

31 Gambar 2. 12 Kerusakan Retak: Retak blok Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 4) Retak memanjang Penyebab terjadinya retak memanjang adalah sebagai berikut : a. refleksi dari retak dari lapisan bawah; b. sambungan pelaksanaan kurang baik; c. tanah dasar ekspansif. Gambar 2.13 Kerusakan Retak: Retak memanjang Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 31

32 5) Retak Melintang Penyebab terjadinya retak melintang adalah sebagai berikut : a. sambungan pelaksanaan kurang baik; b. retak refleksi atau susut pada lapisan bawah. Gambar 2.14 Kerusakan Retak: Retak melintang Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 2.4.3.3 Deformasi 1) Alur Penyebab terjadinya alur adalah sebagai berikut : a. daya dukung tanah dasar rendah; b. pemadatan rendah. Gambar 2.15 Kerusakan Deformasi: Alur Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 32

33 2) Keriting Penyebab terjadinya keriting adalah sebagai berikut : a. penggunaan aspal berlebih; b. pemadatan tidak baik. Gambar 2.16 Kerusakan Deformasi: Keriting Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 3) Depresi/amblas Penyebab terjadinya depresi/amblas adalah pemadatan rendah, daya dukung lapisan pondasi dan tanah dasar tidak seragam. Gambar 2.17 Kerusakan deformasi: Depresi (Amblas) Sumber: Departemen Kimpraswil, 2003 33

34 4) Pergeseran (shoving) Penyebab terjadinya pergeseran (shoving) adalah sebagai berikut : a. stabilitas lapisan beraspal rendah; b. pemasangan tack coat tidak baik. Gambar 2.18 Kerusakan Deformasi: Pergeseran (Shoving) Sumber: (Departemen Kimpraswil, 2003) 5) Deformasi plastis Penyebab terjadinya deformasi plastis adalah penggunaan aspal berlebih atau kualitasnya rendah (penetrasi tinggi). Gambar 2.19 Deformasi Plastis Sumber: (Departemen Kimpraswil, 2003) 34

35 Mengingat penelitian ini lebih terkait pada penanganan kerusakan, maka jenis kerusakan yang akan disurvei dapat digolongkan menjadi 5 jenis, yaitu bleeding, pengausan dan atau pelepasan butir, lubang dan atau deliminasi, retak, dan deformasi. 2.4.4 Survei pencacahan lalu lintas terklasifikasi 2.4.4.1 Maksud dan tujuan Tujuan survei adalah untuk memperoleh jumlah volume pengguna prasarana (jalan) terklasifikasi, dalam satuan tertentu serta pada selang waktu tertentu. Survei ini bermaksud untuk mendapatkan data yang berguna dalam perencanaan maupun rekayasa lalu lintas. Berdasarkan data ini, nanti dapat diperoleh nilai LHR (Lintas Harian Rata-rata) maupun LHRT (Lintas Harain Rata-rata Tahunan). LHR merupakan jumlah rata-rata kendaraan yang melewati suatu titik pengamatan pada suatu ruas jalan dalam waktu 1 hari (24 jam), sedangkan LHRT merupakan jumlah rata-rata kendaraan yang melewati suatu titik pengamatan pada suatu ruas jalan dalam waktu 1 hari (24 jam), selama setahun (365 hari) atau jumlah lalu lintas setahun yang dibagi 365. LHRT = LHR x Fkh x Fkb (2) Fkh Fkb : Faktor koreksi variasi arus lalu lintas harian (bisa didapat di PU) : Faktor koreksi variasi arus lalu lintas bulanan (bisa didapat di PU) 2.4.4.2 Ruang lingkup Panduan ini meliputi persiapan, pelaksanaan dan pengolahan data yang biasa dilakukan untuk survei pencacahan lalu lintas dengan metoda manual, yaitu dengan mencatat jumlah kendaraan menurut klasifikasinya secara manual. 35

36 2.4.4.3 Persiapan Surveyor harus diberi informasi pada saat pengarahan mengemai bagaimana berbagai kelas kendaraan dapat dikenali. Untuk itu, ilustrasi dengan menggunakan gambar perlu diusahakan. Surveyor menempati suatu titik yang tetap di tepi jalan, sedemikian sehingga diperoleh pandangan yang jelas dan sedapat mungkin agar petugas terhindar dari panas dan hujan. Surveyor mencatat setiap kendaraan yang melewati titik yang telah ditentukan pada formulir lapangan. 2.4.4.4 Alat yang digunakan Alat yang diperlukan untuk survei pencacahan lalu lintas manual terklasifikasi adalah : a. handy tally counter; b. formulir survei; c. alat tulis; d. jam/stop watch. 2.4.4.5 Pengambilan contoh/sampling Dari jenis/klasifikasi kendaraan yang disurvei biasanya diusahakan agar semua kendaraan yang lewat dihitung. Jadi, diusahakan 100% kendaraan tercacah. Pencatatan data umumnya dilakukan secara terpisah untuk masing-masing arah lalu lintas, dan kemudian menjumlahkannya pada tahap analisis untuk memperoleh volume total 2 arah. Jangka waktu pelaksanaan survei tergantung dari maksud pelaksanaan survei dan kondisi lalu lintas yang dipecahkan. Survei dapat berlangsung mulai 36

37 dari 1 jam hingga satu hari penuh atau bahkan untuk beberapa hari. Jika menjadi masalah adalah kemacetan pada saat jam sibuk, maka pencacahan volume lalu lintas pada jam sibuk perlu dilakukan survei yang lebih rinci, yaitu dengan melakukan pencacahan volume dengan interval waktu 5 menit, selain itu juga diperlukan data volume selama sehari. Dalam rangka survei untuk memperoleh suatu arus lalu lintas sehari penuh, maka survei harus dilakukan selama 24 jam. Akan tetapi, porsi terbesar arus lalu lintas terjadi antara jam 06.00 pagi hingga jam 22.00 malam. Oleh karena itu untuk keperluan desain, biasanya waktu pelaksanaan survei dibatasi hanya pada jam-jam tersebut saja (16 jam). 2.4.4.6 Organisasi Survei Secara umum, penentuan jumlah surveyor dan organisasi pelaksana survei pencacahan lalu lintas sangat dipengaruhi oleh : 1) Tingkat volume ruas Untuk volume ruas yang cukup tinggi, dengan kecepatan yang tinggi pula, akan menyulitkan surveyor untuk menghitung semua klasifikasi kendaraan yang lewat. Sehingga pencacahan dapat dilakukan oleh lebih dari satu surveyor, yang masing-masing bertanggung jawab mencacah suatu jenis klasifikasi kendaraan tertentu. 2) Rentang waktu survei Umumnya surveyor dapat melakukan pencacahan secara non stop tidak lebih dari 4 jam (juga tergantung tingkat volume dan kecepatan lalu lintas), 37

38 sehingga bila dilakukan pencacahan yang lebih dari 4 jam dari sehari, maka perlu dilakukan penggantian surveyor (dengan sistem shift). 3) Jumlah ruas (cakupan survei) Seringkali pencacahan lalu lintas diusahakan agar dapat dilakukan secara serentak (kecuali dengan pertimbangan lain), sehingga jumlah surveyor yang dibutuhkan sebanding dengan jumlah ruas yang akan di-survei. 2.4.5 Dasar-dasar perencanaan geometrik jalan Pengetahuan mengenai dasar-dasar perencanaan geometrik jalan dibutuhkan pada penelitian ini untuk dapat mendefinisikan kriteria penilaian pada informasi kondisi geometrik. Dasar-dasar tersebut seperti sebagai berikut: 2.4.5.1 Kendaraan rencana Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu: a. Kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang; b. Kendaraan sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as; c. Kendaraan besar, diwakili oleh truk-semi-trailer. Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini. 38

39 Tabel 2.2 Dimensi Dasar Kendaraan Rencana Kategori Kendaraan Rencana Kendaraan Kecil Kendaraan Sedang Kendaraan Besar Dimensi Kendaraan (cm) Tonjolan (cm) Radius Putar Radius Tonjolan (cm) Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum 130 210 580 90 150 420 730 780 410 260 1210 210 240 740 1280 1410 410 260 2100 120 90 290 1400 1370 Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 2.4.5.2 Satuan Mobil Penumpang (SMP) SMP adalah angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas jalan, dimana mobil penumpang ditetapkan memiliki 1 (satu) SMP. Terdapat suatu nilai konversi untuk berbagai tipe kendaraan dibandingkan kendaraan ringan sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam arus lalu lintas, yang disebut dengan Ekivalen Mobil Penumpang (emp). Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Nomor: 036/TBM/1997, terdapat sedikit perbedaan nilai emp untuk tiap tipe/jenis perencanaan. Berikut akan ditampilkan tabel nilai emp untuk perencanaan jenis Perencanaan Jalan Perkotaan, baik yang terbagi (pada Tabel 2.3) maupun yang tak terbagi (pada Tabel 2.4). 39

40 Tipe Jalan: Jalan satu arah dan jalan terbagi Tabel 2.3 Nilai Emp Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah Arus lalu lintas per lajur (kend/jam) Emp Dua-lajur satu-arah (2/1) dan Empat-lajur terbagi (4/2D) Tiga-lajur satu-arah (3/1) dan Enam-lajur terbagi (6/2D) 0 1050 0 1100 HV 1,3 1,2 1,3 1,2 MC 0,40 0,25 0,40 0,25 Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. MKJI 1997 Tipe Jalan: Jalan tak terbagi Tabel 2.4 Nilai Emp Untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi Arus lalu lintas total dua arah (kend/jam) HV emp MC Lebar jalur lalu lintas Wc (m) 6 > 6 Dua-lajur takterbagi (2/2 UD) 0 1800 1,3 1,2 0,50 0,35 0,40 0,25 Empat-lajur takterbagi (4/2 UD) 0 3700 1,3 1,2 0,40 0,25 Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. MKJI 1997 2.4.5.3 Kecepatan rencana Kecepatan rencana (V R ) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak 40

41 berarti. Kecepatan rencana untuk masing-masing fungsi jalan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.5 Kecepatan Rencana Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan Fungsi Kecepatan Rencana, V R (km/jam) Datar Bukit Pegunungan Arteri 70-120 60-80 40-70 Kolektor 60-90 50-60 30-50 Lokal 40-70 30-50 20-30 Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 Untuk kondisi medan yang sulit (V R ) suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam. 2.4.5.4 Jalur lalu lintas Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan, dimana jalur dapat terdiri atas beberapa lajur. Batas jalur lalu lintas dapat berupa median, bahu, trotoar, pulau jalan, dan separator. Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar jalur peruntukkannya. Lebar jalur minimum untuk jalan umum adalah 4,5 meter, sehingga memungkinkan 2 kendaraan besar yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan. Jalur lalu lintas terdiri atas beberapa tipe, yaitu: a. 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 UD); b. 1 jalur-2 lajur-1 arah (2/1 UD); c. 2 jalur-4 lajur-2 arah (4/2 D); d. 2 jalur-n lajur-2 arah (n12 D), dimana n = jumlah lajur. 41

42 Berikut ini terdapat informasi lebar jalur dan bahu minimum, seperti pada Tabel 2.6 di bawah ini. Tabel 2.6 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan VLHR (smp/hari) Lebar jalur (m) ARTERI KOLEKTOR LOKAL Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) < 3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0 Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) 3.000-10.000 10.001-25.000 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - - > 25.000 2nx3,5 *) 2,5 2x7,0 *) 2,0 2nx3,5 *) 2,0 **) **) - - - - Keterangan: **) = Mengacu pada persyaratan ideal *) = 2 jalur terbagi, masing-masing n x 3,5m, dimana n=jumlah lajur per jalur - = tidak ditentukan Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 42 42

43 2.4.5.5 Lajur lalu lintas Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0.80. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen horizontal memerlukan kemiringan melintang normal. Besaran kemiringan untuk perkerasan aspal dan beton sebaiknya 2-3%, sedangkan untuk perkerasan kerikil sebesar 4-5%. Pada tabel berikut dapat dilihat lebar lajur yang tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, dimana dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi jalan. 2.4.5.6 Alinyemen horisontal Merupakan proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal, dimana dikenal juga dengan nama situasi jalan atau trase jalan. Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus (biasa disebut tangen), yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung (tikungan). Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan atau busur-busur peralihan ataupun busur lingkaran saja. 1) Bagian garis lurus (tangen) Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus

44 harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai V R ). Panjang bagian lurus untuk setiap fungsi jalan dapat dilihat pada tabel berikut. Fungsi Tabel 2.7 Panjang Bagian Lurus Maksimum Panjang Bagian Lurus Maksimum (m) Datar Perbukitan Pegunungan Arteri 3.000 2.500 2.000 Kolektor 2.000 1.750 1.500 Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 2) Bagian garis lengkung (tikungan) Bentuk bagian garis lengkung dapat berupa Spiral-Circle-Spiral (SCS); Full Circle (FC); dan Spiral-Spiral (SS). Diantara bagian lurus jalan dan bagian lengkungjalan berjari-jari tetap R terdapat lengkung yang disebut dengan Lengkung Peralihan. Lengkung ini berfungsi berfungsi mengantisipasi perubahan alinemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan.

45 Pada Tabel 2.8 terdapat pangjang jari-jari minimum (dibulatkan) yang harus dipenuhi oleh suatu tikungan sesuai dengan kecepatan rencananya dan pada Tabel 2.9 akan ditampilkan mengenai tikungan dengan jari-jari tertentu yang tidak memerlukan lengkung peralihan. V R (km/jam) Jari-jari minimum, R min (m) Tabel 2.8 Panjang Jari-jari Minimum Suatu Tikungan (Dibulatkan) 120 100 80 60 50 40 30 20 600 370 210 110 80 50 30 15 Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 V R Tabel 2.9 Jari-jari Tikungan yang Tidak Memerlukan Lengkungan Peralihan 120 100 80 60 50 40 30 20 (km/jam) Jari-jari 600 370 210 110 80 50 30 15 minimum, R min (m) Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 Untuk dapat memahami komponen tikungan, maka berikut ini terdapat contoh gambar komponen tikungan Spiral-Circle-Spiral.

46 Circle Spiral Tangen Gambar 2.20 Komponen Tikungan Spiral-Circle-Spiral Sumber: Saodang, 2004 2.4.5.7 Alinyemen Vertikal Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.

47 1) Landai maksimum Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. Kelandaian maksimum untuk berbagai V R ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel 2.11. V R (km/jam) Kelandaian Tabel 2.10 Kelandaian Maksimum yang Diijinkan 120 110 100 80 60 50 40 <40 3 3 4 5 8 9 10 10 maksimum (%) Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh V R. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit. Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 2.11.

48 Kecepatan pada awal tanjakan (km/jam) Tabel 2.11 Panjang Kritis Kelandaian Maksimum Panjang Kritis Untuk Kelandaian (m) 4% 5% 6% 7% 8% 9% 10% 80 630 460 360 270 230 230 200 60 320 210 160 120 110 90 80 Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 2) Lengkung vertikal Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti. Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.12 yang didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Tabel 2.12 Panjang Minimum Lengkung Vertikal Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkung (m) (km/jam) Memanjang (%) <40 1 20-30 40-60 0,6 40-80 >60 0,4 80-150 Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997

49 3) Lajur pendakian (climbing lane) Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan kendaraann lain pada umumnya, agar kendaraan kendaraan lain dapat mendahului kendaraann lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan arah berlawanan. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan lajur yang mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif padat. Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: disediakan pada jalan arteri atau kolektor; apabilaa panjang kritis terlampaui, jalan memiliki LHR > 15.000 SMP/hari, dan persentase truk > 15 %. Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45 meter dan berakhirr 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 Gambar 2.21. meter. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.21 Lajur Pendakian Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/ /1997

50 Jarak minimumm antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km, dengan lebar lajur pendakiann sama dengan lebar lajur rencana, dimana ilustrasinya dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 2.22 Jarak antara Dua Lajur Pendakian Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 2.4.5.8 Koordinasi alinyemen Alinyemen vertikal, alinyemen horizontal, dan potongann melintang jalan adalah elemen-elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik, dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikann kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan

51 dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal. Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Alinyemen horisontal sebaiknya berimpit dengan alinyemen vertikal, dan secara ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinyemen vertikal; b. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan; c. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan; d. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horisontal harus dihindarkan; dan e. Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan. Sebagai ilustrasi, Gambar 2.23 merupakan koordinasi yang ideal antara alinyemen horisontal dan alinyemen vertikal yang berhimpit.

52 Gambar 2.23 Contoh Koordinasi Alinyemenn yang Ideal Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997 Sedangkan pada Gambar 2.24 merupakan koordinasi yang harus dihindarkan, dimana pada bagian yang lurus pandangann pengemudi terhalang oleh puncak alinyemen vertikal, sehingga pengemudi sulit memperkirakan arah alinyemenn di balik puncak tersebut. Gambar 2.24 Contoh Koordinasi Alinyemen yang Harus Dihindari Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/ /1997

53 2.5 Basis Data (Data Base) 2.5.1 Umum Data merupakan sekumpulan dari lambang-lambang yang teratur dan mewakili/merepresentasikan sebuah obyek atau benda. Sedangkan yang dimaksud dengan data base atau basis data adalah gabungan dari beberapa data yang diolah dan diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga didapatkan suatu hubungan atau relasi antara kedua data tersebut serta dapat dipakai secara bersama oleh beberapa pengguna aplikasi. Terdapat dua cara yang dilakukan dalam menggunakan basis data, yaitu : a. Modus langsung, dilakukan dengan mengetikkan perintah langsung setelah munculnya dot prompt; b. Modus Program : dilakukan dengan menuliskan rangkaian perintah dalam program. Basis data diperlukan karena data dapat diterjemahkan kedalam sebuah aplikasi program, dibandingkan terpisah atau diolah masing-masing. Kontrol akses luas dan manipulasi pada data dapat dilakukan oleh sebuah aplikasi program. Sebuah basis data dapat di-generate atau di-maintain secara manual atau terkomputerisasi. Contoh kartu katalog perpustakaan. Basis data yang terkomputerisasi data dibuat dan dimaintain oleh program aplikasi yang secara khusus ditulis untuk itu atau oleh sistem manajemen basis data. 2.5.2 Sistem Manajemen Basis Data (SMBD) Sistem manajemen basis data (basis data management system, DBMS), atau kadang disingkat SMBD, adalah suatu sistem atau perangkat lunak yang

54 dirancang untuk mengelola suatu basis data dan menjalankan operasi terhadap data yang diminta banyak pengguna. SMBD merupakan sistem software generalpurpose yang memiliki fasilitas proses define, construct dan manipulate basis data untuk aplikasi yang bervariasi, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Define adalah spesifikasi tipe data, struktur dan constraint data yang akan disimpan dalam basis data. b. Construct adalah proses menyimpan data itu sendiri ke dalam beberapa media penyimpanan yang dikontrol SMBD. c. Manipulate adalah fungsi seperti query basis data untuk memanggil data khusus, update basis data dan generate laporan dari data. Software SMBD general-purpose tidak selalu dibutuhkan untuk mengimplementasikan basis data yang terkomputerisasi, namun dapat juga sekumpulan program yang dibuat sendiri (dinamakan software SMBD specialpurpose). Contoh tipikal SMBD adalah akuntansi, sumber daya manusia, dan sistem pendukung pelanggan, SMBD telah berkembang menjadi bagian standar di bagian pendukung (back office) suatu perusahaan. Contoh SMBD adalah Oracle, SQL server 2000/2003, MS Access, MySQL dan sebagainya. SMBD merupakan perangkat lunak yang dirancang untuk dapat melakukan utilisasi dan mengelola koleksi data dalam jumah yang besar. SMBD juga dirancang untuk dapat melakukan masnipulasi data secara lebih mudah. Sebelum adanya BMS maka data pada umumnya disimpan dalam bentuk flatfile, yaitu file teks yang ada pada sistem operasi. Sampai sekarangpun masih ada aplikasi yang menyimpan data dalam bentuk flat secara langsung. Menyimpan data dalam bentuk flat file

55 mempunyai kelebihan dan kekurangan. Penyimpanan dalam bentuk ini akan mempunyai manfaat yang optimal jika ukuran file-nya relatif kecil, seperti file passwd. File passwd pada umumnya hanya digunakan untuk menyimpan nama yang jumlahnya tidak lebih dari 1000 orang. Selain dalam bentuk flat file, penyimpanan data juga dapat dilakukan dengan menggunakan program bantu seperti spreadsheet. Penggunaan perangkat lunak ini memperbaiki beberapa kelemahan dari flat file, seperti bertambahnya kecepatan dalam pengolahan data. Namun demikian metode ini masih memiliki banyak kelemahan, diantaranya adalah masalah manajemen dan keamanan data yang masih kurang. Penyimpanan data dalam bentuk SMBD mempunyai banyak manfaat dan kelebihan dibandingkan dengan penyimpanan dalam bentuk flat file atau spreadsheet, diantaranya : a. Performance yang didapat dengan penyimpanan dalam bentuk SMBD cukup besar, sangat jauh berbeda dengan performance data yang disimpan dalam bentuk flat file. Selain itu disamping memiliki unjuk kerja yang lebih baik, akan didapatkan juga efisiensi penggunaan media penyimpanan dan memori; b. Integritas data lebih terjamin dengan penggunaan SMBD. Masalah redudansi sering terjadi dalam SMBD. Redudansi adalah kejadian berulangnya data atau kumpulan data yang sama dalam sebuah basis data yang mengakibatkan pemborosan media penyimpanan. Beberapa masalah yang timbul yaitu pertama kebutuhan untuk update secara logika menjadi berulang-ulang, kedua adalah ruang penyimpanan yang besar ketika data yang sama disimpan berulang-ulang. File yang berisi data yang sama, menjadi tidak konsisten. Meskipun update

56 diaplikasikan ke seluruh file yang sesuai, data tetap tidak konsisten karena update dilakukan bebas oleh setiap kelompok user. Dalam pendekatan basis data, view dari kelompok user yang berbeda diintegrasikan selama desain basis data. Untuk konsistensi, perlu desain basis data yang menyimpan setiap item data logika dalam hanya satu lokasi pada basis data. Dengan redudansi yang terkontrol memungkinkan kinerja dari query meningkat; c. Independensi. Perubahan struktur basis data dimungkinkan terjadi tanpa harus mengubah aplikasi yang mengaksesnya sehingga pembuatan antarmuka ke dalam data akan lebih mudah dengan penggunaan SMBD; d. Sentralisasi. Data yang terpusat akan mempermudah pengelolaan basis data. kemudahan di dalam melakukan bagi pakai dengan SMBD dan juga kekonsistenan data yang diakses secara bersama-sama akan lebih terjamin dari pada data disimpan dalam bentuk file atau worksheet yang tersebar; e. Sekuritas. SMBD memiliki sistem keamanan yang lebih fleksibel daripada pengamanan pada file sistem operasi. Keamanan dalam SMBD akan memberikan keluwesan dalam pemberian hak akses kepada pengguna. 2.5.3 Pelaku basis data Terdapat beberapa pelaku yang terlibat dalam suatu lingkungan basis data, seperti yang tersebut di bawah ini: 1. Basis data administrator Dalam lingkungan basis data, sumber utama adalah basis data itu sendiri dan sumber kedua adalah SMBD dengan software-nya. Pengaturan sumber ini dilakukan oleh seorang Administrator Basis Data (ABD/DBA). ABD

57 bertanggungjawab atas otorisasi akses ke basis data, mnegkoordinir dan memonitor penggunaannya dan mendapatkan sumber hardware dan software yang dibutuhkannya. ABD bertanggungjawab atas masalah-masalah seperti pelanggaran keamanan atau waktu respon sistem yang buruk. Dalam organisasi yang lebih besar, ABD dibantu oleh seorang staf yang menyelesaikan fungsifungsi ini. 2. Basis data designer Basis data designer bertanggungjawab atas identifikasi data yang disimpan dalam basis data dan pemilihan struktur yang sesuai untuk mewakili dan menyimpan data ini. Tugas-tugas ini perlu dilakukan sebelum basis data yang sebenarnya diimplementasikan dan berisi data. Selain itu juga bertanggungjawab untuk mengkomunikasikan semua user basis data untuk memahami kebutuhannya, dan mencapai desain yang sesuai dengan kebutuhan user. Dalam banyak kasus, desainer adalah seorang staf dari ABD dan kemungkinan ditugaskan untuk hal lain jika desain basis data selesai dibuat. Desainer basis data secara khusus berinteraksi dengan setiap kelompok user dan membangun view dari basis data yang sesuai dengan data dan memproses kebutuhan kelompok tersebut. View ini kemudian dianalisis dan diintegrasikan dengan view dari kelompok user yang lain. Desain basis data akhir mampu mendukung kebutuhan dari semua kelompok user.

58 3. End users End user merupakan orang-orang yang pekerjaannya membutuhkan akses ke basis data untuk query, update dan generate laporan. Beberapa kategori dari user : a. Casual end user : yang mengakses basis data, tetapi mereka membutuhkan informasi yang berbeda setiap saat. Mereka menggunakan bahasa query basis data yang canggih untuk menspesifikasikan permintaan dan mereka adalah manajer tingkat tinggi atau menengah. b. Naïve atau parametric end user : fungsi pekerjaaan utama mereka adalah berkisar pada query dan update basis data, menggunakan tipe standar dari query dan update (disebut canned transaction) yang perlu diprogram dan diuji secara hati-hati. c. Sophisticated end users : mencakup ahli teknik, ilmuwan, analis bisnis, dan lainnya yang terbiasa dengan fasilitas dari SMBD untuk mengimplementasikan aplikasi sesuai kebutuhannya. d. Stand-alone end users : memaintain basis data personal dengan menggunakan paket program yang sudah jadi yang menyediakan menu yang easy user dan interface tab berbasis grafik. 4. System analysts and application programmers (software engineers) Analis sistem menentukan kebutuhan user, khususnya end user yang naive dan parametric, dan membuat spesifikasi untuk canned transaction yang sesuai dengan kebutuhan. Pemrogram aplikasi mengimplementasikan spesifikasi ini sebagai program; kemudian diuji, di-debug, dan didokumentasikan. Software

59 engineers ini perlu terbiasa dengan kemampuan DBMS dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. 5. Pelaku lainnya: a. DBMS system designers and implementers; b. Tools developers : orang-orang yang mendesain dan mengimplementasikan tool sebagai paket software, dimana disesuaikan dengan yang menyediakan dan menggunakan desain sistem basis data dalam meningkatkan kinerja; c. Operators and maintenance personnel : bertanggung jawab atas hardware dan software dari sistem basis data yang dioperasikan dan dimaintain. 2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) atau sering juga disebut dengan Sistem Informasi Geospasial merupakan suatu sistem informasi yang digunakan untuk menyusun, menyimpan, merevisi dan menganalisis data dan atribut yang bereferensi kepada lokasi atau posisi obyekobyek di bumi. Data atau informasi yang bereferensi kepada lokasi atau posisi obyek-obyek di bumi diistilahkan sebagai data atau informasi spasial, sementara atribut menggambarkan karakteristik dari data spasial tersebut. Lebih detail, komponen-komponen data spasial meliputi posisi/lokasi geografis, data atribut, hubungan spasial (spatial relatioship) dan waktu (time period). SIG memungkinkan pemakainya untuk menyusun data, melakukan revisi atau editing data, memetakan data spasial ke dalam bentuk peta dijital, memperoleh dan menganalisis informasi spasial secara interaktif dengan cara

60 interactive queries, dan menampilkan semua data atau informasi spasial tersebut. SIG ini antara lain dapat digunakan untuk keperluan riset di bidang keilmuan (scientific investigations), manajemen sumber daya, manajemen aset, analisis dampak lingkungan, perencanaan kota, kartografi, kriminologi, sejarah, pemasaran dan logistik. Sebagai ilustrasi, SIG banyak digunakan dalam perencanaan situasi darurat yaitu di dalam perhitungan waktu respon oleh instansi yang berwenang pada saat terjadi bencana alam, analisis cakupan daerah yang terkena polusi udara akibat pergerakan lalu lintas, serta analisis penempatan lokasi bisnis yang baru berdasarkan aksesibilitas pasar atau konsumen. Pada saat dimunculkan tahun 1960-an, penggunaan SIG masih terbatas pada sejumlah kecil penelitian dan aplikasi. Saat ini, SIG merupakan salah satu teknologi yang berkembang secara cepat. Motivasi dari pesatnya peningkatan penggunaan SIG ini adalah akibat meningkatnya permintaan akan informasi di segala bidang dan peningkatan kemampuan teknologi komputer yang mampu menyediakan kemampuan manajemen pemrosesan data secara efektif dan efisien. Secara konseptual, SIG dapat dilihat sebagai suatu kumpulan beberapa peta yang direpresentasikan ke dalam layer-layer, dimana setiap layer terkait dengan layer lainnya. Setiap layer memuat tema atau data geografis yang bersifat unik (tunggal). Sebagai ilustrasi, dalam Sistem Informasi Geografis untuk suatu wilayah, layer yang pertama akan memuat khusus mengenai letak pelanggan (customer) suatu perusahaan, layer kedua mengenai jalan, layer ketiga mengenai kaplingan, layer keempat mengenai elevasi, dan layer kelima mengenai tata guna lahan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.25.

61 pelanggan jalan kaplingan elevasi TGL dunia nyata Gambar 2.26 Contoh Beberapa Peta yang Direpresentasikan ke Dalam Layer Sumber: Smile Group. 2009. http://www.smilejogja. com/wp-content/uploads/2009/ 05/palatihan- gis.jpg, Maret 2010 Semua layer dalam SIG tersebut dapat dikombinasikan atau tumpang tindih (overlay) satu dengan yang lainnya sesuai dengan keinginan pengguna atau pemakai (user) sistem tersebut. Dalam beberapa kasus, SIG dapat didefinisikan berdasarkan tipe data dari sistem informasi. Sebagai contoh, Sistem Informasi Pertanahann merupakan suatu aplikasi SIG yang digunakan oleh pemerintah kota atau pemerintah daerah kabupaten untuk manajemen informasi persil atau kepemilikan tanah. Di dalam proses yang lebih sederhana, SIG memungkinkan versi otomatis dari suatuu analisis peta. Sebagai contoh, analisis tumpang tindih (map overlay)

62 merupakan fungsi dari SIG yang paling umum dan banyak digunakan. Di dalam analisis peta secara manual atau secara optis, analisis ini dilakukan dengan cara meletakkan dua buah peta yang berisi dua tema yang berbeda diatas meja yang dilengkapi dengan lampu, kemudian dilihat daerah mana saja yang bertampalan satu dengan yang lainnya. Dengan cara manual analisis tersebut hanya dapat dilakukan dengan jumlah peta yang terbatas karena kemampuan mata seorang analis sangat terbatas. Akan tetapi dengan bantuan SIG jumlah peta yang dianalisis jumlahnya tidak terbatas dan hasil analisis yang dihasilkan jauh lebih presisi dan cepat karena dilakukan dengan bantuan teknologi informasi. SIG terdiri dari beberapa subsistem atau fungsi-fungsi yang meliputi data masukan, kompilasi, penyimpanan, manipulasi dan keluaran. 2.6.1 Fase perancangan SIG Mengingat keuntungan yang ditawarkan oleh SIG maka penggunaannya semakin meningkat. Beberapa organisasi dan individu tertarik untuk menggunakan teknologi informasi ini. Adapun konsep strategis dari perancangan SIG ini digambarkan pada Gambar 2.26. Setiap fase dalam gambar tersebut relevan dengan pendekatan yang berorientasi pada data, seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.

63 Gambar 2.26 Konsep Strategis Perancangan SIG Sumber: Hasil Analisa, 2011 1) Fase 1 Perencanaan/planning Proses perencanaan merupakan tahapan pertama dalam siklus fase ini. Tahapan ini meliputi tinjauan sistematis mengenai siapa calon pengguna SIG, data dan informasi yang diperlukan. Tahapan ini juga merupakan suatu fase untuk menginformasikan mengenai biaya dan manfaat dari SIG yang akan dibuat. Pada saat kebutuhan dari pengguna sudah secara jelas dapat didefinisikan maka tahapan selanjutnya adalah desain sistem. 2) Fase 2 - Desain sistem/design Tahapan desain menyesuaikan kebutuhan pengguna terhadap fungsi-fungsi dari SIG yang akan dikembangkan. Desain system tidak hanya meliputi pemilihan perangkat lunak dan perangkat keras tetapi juga desain basis data spasial dan atribut. Bagian dari desain basis data termasuk spefisikasi skala, proyeksi peta dan sistem koordinat. Sejarah data juga harus diketahui secara pasti yang meliputi sumber data, akurasi, waktu pengumpulan data dan hal-hal atau keterangan lainnya mengenai setiap detail data yang dikumpulkan. Juga dalam tahapan ini harus diantisipasi mengenai implementasi dari teknologi SIG ini. Biasanya

64 sebelum dibuat sistem dalam skala besar dibuat terlebih dahulu prototipe atau pilot project sehingga metode pembelajaran dapat diterapkan sebelum mengimplementasikan sistem yang sesungguhnya. 3) Fase 3 - Implementasi/implementation Pada tahapan implementasi, perhatian kepada semua kebutuhan pengguna harus diberikan melalui pendidikan dan latihan. Pengguna harus diberikan pendidikan dan latihan agar mampu mengutilisasi, memelihara dan mengelola sistem secara penuh. Semua pengguna harus memahami bagaimana SIG akan mempengaruhi mereka di dalam mengerjakan pengelolaan data. Pengguna juga harus memahami bagaimana SIG dapat membawa perubahan pada pengelolaan informasi dan cara pengambilan keputusan. 4) Fase 4 Pemeliharaan/maintenance Terakhir, aplikasi SIG harus dipelihara dan dikelola secara baik. Dalam beberap kasus, SIG didesain untuk keperluan yang sangat spesifik. Dalam kasus yang demikian SIG akan selesai dipergunakan jika keperluan yang bersifat spesifik tersebut sudah selesai dilakukan dan pemeliharaan tidak diperlukan lagi. Akan tetapi meskipun sistemnya sudah tidak dapat dipergunakan lagi, data pada sistem tersebut kemungkinan dapat digunakan untuk proyek atau keperluan yang lain. Kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam pemeliharaan adalah pemutakhiran perangkat keras dan lunak, penambahan data baru untuk pemutakhiran data.

65 2.6.2 Pembentukan data spasial dengan SIG Dalam sub bab ini diperlihatkan cara pembentukan data spasial SIG dengan menggunakan perangkat lunak Arc/Info. Tahapan pembentukan data spasial diperlihatkan pada Gambar 2.30. Suatu layer atau peta yang memuat obyek dengan tema khusus di dalam Arc/Info disebut dengan istilah Coverage. Misalkan terdapat file gambar peta dijital dengan nama Evakuasi.dxf pada direktori d:\gambar. File inilah yang digunakan sebagai data masukan ke dalam Sistem Informasi Geografis. File data yang digunakan adalah berasal dari data sekunder eksisting dari perangkat lunak AutoCad. Konversi dari file gambar (drawing/ *.dwg) ke file drawing interchange (*.dxf) adalah dengan menggunakan perintah dxfout di AutoCad. Di dalam pemberian data atribut di ArcInfo adalah hampir menyerupai pada perangkat lunak basisdata DBASE. Sehingga mengenal kedua jenis perangkat lunak tersebut (AutoCad) dan DBASE (seperti DBASE III+, atau DBASE IV) dan prinsip-prinsip penggunaannya merupakan suatu keuntungan tersendiri sebelum memulai menggunakan perangkat lunak GIS khususnya ArcInfo dan Arcview. Perangkat lunak ArcInfo digunakan utamanya untuk pembentukan data spasial, pendefinisian topologi, editing data spasial dan melakukan fungsi analisis spasial. Sementara itu perangkat lunak ArcView lebih ditujukan untuk tampilan data, peremajaan (updating) data atribut dan proses query.

66 Input Data Data Grafis - file gambar CAD - file koordinat (X, Y) Konversi data grafis Data Atribut Konversi data atribut Pendefinisian Topologi Pemberian ID unik untuk relasi data grafis - atribut Penggabungan data grafis dan atribut Editing data - grafis - atribut Pendefinisian Topologi - Analisis - Display - Cetak Gambar 2.27 Tahapan Pekerjaan Pembentukan Coverage SIG berbasis Data Vektor Sumber: Hasil Analisa, 2011

67 Gambar 2.28 Konversi dan Pembentukan Topologi pada Arc/Info Sumber: Hasil Analisa, 2011 a. Perintah workspace untuk setting tempat direktori kita bekerja (sama seperti perintah dir pada DOS). b. Kemudian perintah dxfinfo adalah untuk mengetahui nama layer yang terdapat pada file dxf. c. Perintah dxfarc adalah untuk mengkonversi dari file dxf ke pembentukan coverage di Arc/ Info. Dalam kasus ini nama coverage yang ingin dibuat

68 mempunyai namaa evakuasi. Perhatikan bahwa di dalam kegiatan konversi diatas, extension *.dxf harus diikutsertakan (evakuasi.dxf). Pilih layer yang ingin dimasukkan ke dalam konversi (ingat bahwaa layer 0 mutlak selalu ada dalam pilihan layer, Layer 0 biasanya oleh AutoCad digunakan untuk menyimpan informasi koordinat gambar, jika tidak diikutsertakan maka kemungkinan koordinat coverage tidak sesuai dengan yang kita inginkan). d. Coverage sebelum diedit (digunakan) harus dibentuk topologinya (entah itu polygon, line atau point). Dalam kasus ini coverage evakuasi merupakan poligon, sehingga pada saat build pilihannyaa adalah poly. Perintah selanjutnya adalah clean (ingat perintah clean digunakann setelah build hanya untuk topology line dan poly saja (tidak untuk point). Gambar 2.29 Tampilan Menu Arcedit Sumber: Hasil Analisa, 2011

69 e. Kegiatan selanjutnya adalah pemberian nomor ID pada coverage evakuasi. Masuklah ke arcedit, maka diperoleh tampilan seperti pada Gambar 2.30. Gambar 2.30 Pemberian ID pada Arcedit Sumber: Hasil Analisa, 2011 f. Ingat untuk jika kita bekerja untuk pengeditan nama ID maka feature yang akan diedit ( Editfeature disingkat Editfea ) haruslah label. Contoh lainnya jika kita ingin mengedit garis pada gambar maka editfea menjadi editfeaa arc (yang ini tidak terdapat pada contoh kasus diatas).

70 g. Masukkan perintah add untuk memberi nomor ID, letakkan kursor di dalam lingkaran, perhatikan bahwa Arc/Info memberi secara otomatis nomor ID yaitu 1,2,3 dst (pada gambar diatas{label} User-ID: 1 Coordinate, dst). h. Jika semua lingkaran telah diklik, maka tekan angkaa 9 pada keyboard komputer untuk keluar (QUIT). i. Kemudian keluarlah dari arc/ /info dan jangan lupa untuk memm build kembali coverage yang baru diedit, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.31. Gambar 2.31 Keluar dari Menu Arcedit dan Pembentukan Kembali Topologi Sumber: Hasil Analisa, 2011

71 Gambar 2.32 Penambahan Item NAMA pada Coverage Evakuasi Sumber: Hasil Analisa, 2011 j. Misalkan coverage evakuasi akan ditambah databasenya dengan memberikan item baru yaitu nama titik evakuasi (misalkan titik evakuasi A, B, C dst), maka terlebih dahulu item database harus ditambahkan dahulu seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.33. k. Perhatikan bahwa arcinfo otomatis memberikan item area, perimeter, evakuasi# dan evakuasi-id. Sementara kita mendefinisikan item database baru yaitu NAMA. l. Pada contoh diatas lebar item nama adalah sebanyak 30 karakter dengann tipe string (c=character)

72 Gambar 2.33 Pemberian Data Atribut pada Field NAMA Sumber: Hasil Analisa, 2011 m. Pemberian item database pada arcedit prinsipnya sama seperti pemberian nomor ID pada contoh sebelumnya. Hanya pada perintah Drawenvironment (disingkat drawenv ditambahkan Label On agar arcedit memunculkan tanda tambah tempat ID masing-masing lingkaran diatas). n. Tanda tambah pada lingkaran tsb mempunyai fungsi agar kita mudah menempatkan kursor pada saat menambahkan item database tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.35.

73 Gambar 2.34 ID Coverage (lingkaran titik evakuasi) yang Akan Diberikan Data Atribut Sumber: Hasil Analisa, 2011 o. Pilihlahh satu persatu ID yang akan dimasukkan nama titik evakuasinya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.35. (Klik pada tanda tambah setelah muncul Enter Point)

74 Gambar 2.35 ID yang Telah Dipilih untuk Diberikan Data Atribut Sumber: Hasil Analisa, 2011 Gambar 2.37 Pemberian Data Atribut dan Keluar dari Menu Arcedit Sumber: Hasil Analisa, 2011

75 p. Arcedit memberikan pesan bahwa satu ID telah anda klik, dan sekarang siap untuk diberi nama. q. Kegiatan selanjutnya adalah memberikan nama titik evakuasi tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.37. Perintah yang digunakan adalah Moveitem. Titik A adalah definisi dari kita sendiri dengan asumsi adalah pada titik tersebut merupakan titik A evakuasi, bisa saja kita berikan nama lain seperti Titik Berkumpul dan lain-lain. Demikian seterusnya sampai semua titik atau ID diberikan nama. r. Setelah itu kita keluar dari arc-info (dengan perintah quit ) dan coverage tersebut diberikan topologi lagi. Data atribut/non spasial data berupa teks/string dan bilangan (nominal, ordinal, interval, rasio). Agar data atribut dapat diolah secara analitis (diolah dengan rumusan atau formula tertentu) maka data atribut harus dibuat dalam bentuk bilangan. Data spasial dan atribut secara bersama-sama dapat digunakan dengan bantuan bahasa query yang terstruktur (SQL/ Structure Query Languange). Hal ini dimungkinkan karena data spasial dan non spasial dihubungkan dengan metode basisdata relasional (relational database). 2.6.3 Model relasional Model basisdata relasional dikelola dalam bentuk tabel. Setiap tabel diidentifikasi menggunakan nama tabel yang unik (tunggal) dalam format baris dan kolom. Setiap kolom dalam tabel juga mempunyai nama yang unik (tunggal).

76 Kolom menyimpan nilai atribut yang spesifik, sementara baris menyimpan satu record dalam tabel. Di dalam SIG setiap baris dalam tabel terhubung dengan bentuk spasial yang terpisah menggunakan suatu identifier kunci (key) yang bersifat unik. Setiap baris terdiri dari beberapa kolom dimana setiap kolomnya memiliki nilai yang spesifik dari bentuk geografis (spasial) tersebut. Jika ditinjau kembali contoh model relasional yang telah digambarkan seperti yang terlihat pada Gambar 2.37, maka model relasional dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Poligon nomer 14 merupakan bentuk spasial (geografis), dapat diandaikan seperti suatu area yang mempunyai ID dengan nomor 14. b. Area (ID = 14) tersebut dihubungkan (direlasikan) dengan tabel yang mempunyai nama yang spesifik yaitu atribut 1, pada baris dengan ID = 14. ID = 14 dalam hal ini merupakan identifier kunci yang bersifat unik. c. Baris tersebut mempunyai beberapa kolom yang mempunyai nilai atribut yang spesifik pula (kolom Luas Area (ha) dan No). Dalam hal ini kolom Luas Area mempunyai nilai 75 dan No = 3. d. Tabel Atribut 1 juga direlasikan dengan tabel lain yang juga mempunyai nama yang spesifik yaitu Atribut 2. No = 3 dalam hal ini merupakan identifier kunci yang bersifat unik.

77 12 PETA 13 14 Tabel Atribut 1 Id Luas Area (Ha) No 11 100 1 12 200 2 14 75 3 Tabel Atribut 2 Umur Nama No (Tahun) Pemilik 66 ADI 3 Gambar 2.37 Model Relasional Sumber: Hasil Analisa, 2011 2.6.4 Sistem koordinat Bentuk bumi yang tidak bulat sempurna disebut dengan ellipsoid atau spheroid, sedangkan data hasil pengukuran tentang perbedaan diameter atau radius Bumi di Kutub dan di Khatulistiwa ini disebut dengan datum. Pada tahun 1927, pemetaan di Amerika menggunakan nilai datum Clarke dan diadopsi sebagai NAD27 (North American Datum of 1927). Sejak tahun 1983, dimana pengukuran radius bumi dapat dilakukan lebih akurat dari hasil riset yang menggunakan GPS (Global Positioning System), maka nilai datum di Amerika diperbaiki dan dikenal dengan nama NAD83. Namun dunia luar selain Amerika menggunakan datum dari hasil pengukuran pada tahun 1980 yang dikenal dengan nama GRS80 (Geodetic Reference System of 1980). Datum ini kemudian

78 disempurnakan pada tahun 1984 dan diadopsi secara international, dikenal dengan nama WGS84 (World Geodetic System 1984). Lembaga yang berwenang dalam membuat peta dasar di Indonesia adalah BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) dengan menggunakan datum yang diberi nama Datum Geodetik Nasional Indonesia dalam membuat peta rupa Indonesia. Nilai pada datum ini mengadopsi nilai datum NAD27. Posisi suatu tempat dialamatkan dengan nilai koordinat garis bujur (longitude) dan lintang (latitude) yang melalui tempat itu. Garis bujur (longitude), sering juga disebut garis meridian, yaitu merupakan garis lurus yang menghubungkan Kutub Utara dan Kutub Selatan bumi. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 2.38. Gambar 2.38 Posisi Garis Lintang, Bujur, dan Lainnya pada Bumi Sumber: Zuhdi, t.t. http://www.angelfire.com/mo/zuhdi/kuliah2.pdf., Maret 2010 Nilai koordinat garis bujur dimulai dari bujur 0 0 yaitu di Greenwhich, kemudian membesar kearah Timur dan Barat sampai bertemu kembali di Garis

79 batas tanggal Internasional yaitu terletak di selat Bering dengan nilai 180 0. Garis bujur 0 0 sering juga disebut prime meridian atau meridian Greenwhich. Garis bujur kearah barat diberi nilai negative dan disebut Bujur Barat (West Longitude) serta disingkat BB. Sedangkan garis bujur yang kearah Timur diberi nilai positif dan disebut Bujur Timur (East Longitude) serta disingkat BT. Adapun nilai koordinat Lintang dimulai dari garis lingkaran Khatulistiwa yang diberi nilai 0 0. Selanjutnya garis-garis lintang yang lain berupa lingkaranlingkaran pararel (sejajar) khatulistiwa berada di sebelah Utara dan Selatan Khatulistiwa. Lingkaran pararel di Selatan disebut garis Lintang Selatan (LS) dan diberi nilai negatif, sedangkan lingkaran pararel di Utara diberi nilai positif dan disebut garis Lintang Utara (LU). Nilai maksimum koordinat garis Lintang adalah 90 0 yaitu terletak di Kutub-kutub Bumi. Besarnya sudut dalam sistem koordinat geografik dapat dinyatakan dalam dua cara, yaitu dengan satuan DMS (Degree Minute Second) dan satuan DD (Decimal Degree). a. Degree Minute Second (DMS) Dalam sistem satuan DMS, setiap derajat sudut dibagi menjadi 60 menit dan setiap menitnya dibagi lagi menjadi 60 detik. Penulisannya dinyatakan sebagai dd o mm ss. Konversi dari DMS ke DD atau sebaliknya diperlukan karena tidak semua sistem ini dapat diakomodir pada kebanyakan software SIG, walaupun pada penyajian data, baik DMS maupun DD dapat ditampilkan. Kebanyakan pada proses input data, software SIG hanya bisa menerima data koordinat dalam satuan DD. Berikut adalah contoh konversi koordinat dari satuan DMS ke satuan DD:

80 Terdapat suatu koordinat dengan satuan DMS yang berlokasi di 103 0 25 38 BT; 2 0 36 53 LS, maka koordinat DD-nya adalah 103 0 25 38 BT 2 0 36 53 LS = (103 + 25/60 + 38/3600) 0 = (-2-36/60 53/3600) 0 = (103 + 0,416667 + 0,010556) 0 = (-2 0,6 0,014722) 0 = 103,427222 0 = -2,614722 0 Jadi koordinat DD-nya adalah 103,427222 0 ; -2,614722 0 Dalam konversi DMS ke DD, perlu diperhatikan bahwa untuk koordinat yang bernilai negatif (Lintang Selatan atau Bujur Barat), penjumlahan komponen menit dan detiknya juga harus merupakan penjumlahan bilangan negatif. b. Decimal Degree (DD) Dalam sistem satuan DD, setiap derajatnya dinyatakan dalam pecahan desimal. Berikut ini terdapat contoh konversi dari satuan DD ke DMS: Koordinat suatu lokasi dinyatakan dengan 107,42654 0 ; -6,85320 0, maka koordinat dalam DMS adalah Nilai derajat : 107 0 ; 6 0 Nilai menit : (107,42654-107) x 60 ; (6,85320-6) x 60 0,42654 x 60 ; 0,85320 x 60 25,5924 25 ; 51,1920 51 Nilai detik : (25,5924 25) x 60 ; (51,1920 51) x 60 0,5924 x 60 ; 0,1920x60 35,5440 ; 11,52 Jadi koordinat DMS-nya adalah 107 0 25 35,544 BT ; 6 0 51 11,52 LS

81 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Penelitian Terdapat langkah-langkah yang dirancang sebelum penelitian dilakukan agar penelitian dapat berlangsung secara terstruktur dan terintegrasi. Dengan adanya rancangan penelitian diharapkan kesalahan dalam penelitian dapat diminimalkan. Rancangan penelitian pada kasus ini dapat dilihat pada gambar diagram alir berikut. Mulai Studi Pendahuluan: - Identifikasi pustaka - Survei pendahuluan - Identifikasi lokasi penelitian Perumusan Pendahuluan: - Latar belakang - Rumusan masalah - Tujuan penelitian Kajian Pustaka A 81

82 A Persiapan Survei: - Perumusan form survei beserta alat - Pembuatan panduan survei bagi surveyor Pengumpulan Data Data Primer Melalui survei lapangan: - STA - Lebar jalur dan bahu - RCI - Jenis kerusakan perkerasan - Kondisi geometrik - Kondisi sosial - Foto kondisi jalan Data Sekunder: - Titik pengenal awal dan akhir ruas - Panjang ruas - IRI - LHRT Analisis data survei Penyusunan basis data berbasis SIG Data spasial: Peta, foto-foto Data atribut: Data primer, data sekunder Simpulan dan Saran Selesai Gambar 3.1 Bagan Alir Rancangan Penelitian Sumber: Hasil Analisa, 2011

83 Langkah awal dari penelitian ini melakukan studi pendahuluan terhadap kebutuhan informasi dan beberapa program basis data yang digunakan oleh instansi terkait, langkah ini meliputi identifikasi pustaka, survei pendahuluan, dan identifikasi lokasi penelitian. Setelah itu perumusan pendahuluan dapat dibuat. Perumusan form survei beserta panduannya dengan memperhatikan kajian pustaka dan metode penelitian diharapkan mampu meminimalisir kesalahan dalam pengumpulan data, baik data primer maupun sekunder. Analisis data hasil survei dilakukan untuk membuat data kondisi Jalan Nasional menjadi lebih informatif. Setelah informasi jalan tersebut dianalisis, maka basis data jalan berbasis SIG dapat disusun. Simpulan dan saran dapat dibuat setelah itu. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan di seluruh ruas jalan nasional provinsi Bali yang menjadi tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar. Terdapat 33 dari 58 ruas jalan nasional yang menjadi tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar dengan panjang 103,30 km menurut Kepmen Nomor: 376/KPTS/M/2004. Namun berdasarkan data sekunder yang didapat dari P2JJ Metropolitan Denpasar, terdapat perbedaan panjang ruas antara data yang diperoleh dari Kepmen Nomor: 376/KPTS/M/2004 dengan data yang diperoleh dari SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar pada beberapa ruasnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, saat ini SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar sudah melakukan usulan perubahan mengenai panjang ruas jalan tersebut ke pemerintah pusat. Selain data mengenai panjang ruas, terdapat juga data mengenai titik pengenal awal dan titik pengenal akhir dari ruas jalan tersebut. Salah persepsi dalam pengenalan awal dan akhir suatu ruas

84 dapat menyebabkan domino effect of error, karena hampir semua titik akhir ruas suatu jalan menjadi titik awal ruas jalan lainnya. Keterangan lebih lanjut mengenai ruas jalan yang disurvei dapat dilihat pada Lampiran B. 3.3 Data Primer Data ini diperoleh melalui survei lapangan. Formulir survei untuk data primer dapat dilihat pada Lampiran D usulan penelitian ini. Adapun data primer yang dibutuhkan, yaitu: 3.3.1 Stasiun Titik Awal (STA) Titik nol kilometer provinsi Bali terletak di daerah Taman Monumen Perjuangan (Puputan), di kota Denpasar. Posisi patok DPS-0 tepatnya berada pada koordinat 08 0 39 22,1 LS dan 115 0 13 04,1 BT. Informasi STA tiap awal dan akhir segmen pada ruas jalan berguna untuk memberikan gambaran lokasi dari segmen ruas, karena patok STA terdapat di tiap kelipatan 100 meter ruas jalan Nasional. Gambar 3.2 berikut merupakan ilustrasi STA, ruas, dan segmen. Titik Nol (STA) Titik Awal Ruas X Ruas X Titik Akhir Ruas X 0 m 500 m 900 m Jarak dari STA ke segmen 0 ruas X Segmen 0-500 ruas X Segmen 500-900 ruas X Jarak dari STA ke segmen 500 ruas X Gambar 3.2 Ilustrasi STA, Ruas, dan Segmen Sumber: Hasil Analisa, 2011

86 berfungsi untuk mengetahui lebar badan jalan dan mengetahui ruas jalan yang tidak memenuhi syarat lebar minimal sesuai UU No.38 tahun 2004 dan PP No.34 tahun 2006. Cara penulisan pada form adalah lebar saluran kiri, lebar bahu kiri, lalu lebar jalur, lebar bahu kanan, dan lebar saluran kanan. Untuk jalan dengan median, maka lebar median ditulis diantara lebar jalur. 3.3.3 Indeks kondisi jalan (RCI) Secara garis besar, teknis pelaksanaan survei kondisi jalan dapat dilihat pada berikut ini: a. Survei dilaksanakan oleh 3 orang surveyor dengan menggunakan satu kendaraan pada ruas-ruas jalan yang harus disurvei, dimana masing-masing melakukan pengamatan dan menentukan nilai RCI-nya. Keterangan mengenai penentuan nilai RCI dapat dilihat pada tabel 2.1. b. Untuk survei yang dilakukan pada suatu ruas jalan yang mempunyai jalur pemisah (median, saluran atau lainnya) maka survei dilakukan pada jalur yang diperkirakan mempunyai nilai kekasaran lebih besar. 3.3.4 Jenis kerusakan perkerasan Informasi jenis kerusakan akan ditampilkan tiap segmen dengan jarak persegmen adalah 500 meter, dimana dalam penelitian ini jenis kerusakannya akan digolongkan menjadi 5 jenis berdasarkan penanganannya. Golongan jenis kerusakan tersebut yaitu bleeding, pengausan dan atau pelepasan butir, lubang dan atau deliminasi, retak, dan deformasi. Langkah yang dilakukan dalam survei jenis kerusakan adalah dengan menghitung perkiraan luas dari tiap kerusakan yang

87 ditemui, kemudian luasan kerusakan tersebut dijumlahkan setiap segmennya. Maka akan didapat luasan tiap jenis kerusakan pada tiap segmen. 3.3.5 Kondisi perkerasan Jenis kerusakan perkerasan dalam survei ini digolongkan menjadi 5 kelompok, yaitu bleeding, terkelupas, lubang, retak, dan deformasi. Kondisi perkerasan dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam 4 (empat) jenis, yaitu baik,sedang, rusak ringan, rusak berat. Definisi dari masing-masing kategori tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Kondisi Baik Sedang Rusak Ringan Rusak Berat Tabel 3.1 Definisi Tiap Kategori Kondisi Perkerasan Definisi Kerusakan kurang dari 1% luas permukaan Kerusakan antara 1% sampai kurang dari 20% luas permukaan Kerusakan antara 20% sampai kurang dari 60% luas permukaan Kerusakan lebih dari 60% luas permukaan Sumber: BPJN VIII, 2011 3.3.6 Kondisi geometrik Survei ini dilakukan secara pengamatan dengan kendaraan. Kondisi geometrik pada penelitian ini akan digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu baik, cukup, dan kurang. Definisi dari masing-masing kategori tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

88 Kondisi Baik Cukup Kurang Tabel 3.2 Definisi Tiap Kategori Kondisi Geometrik Definisi Kelandaian datar dan tikungan yang lebar Kelandaian tidak terlalu besar dan tikungan tidak terlalu tajam Kelandaian besar, panjang, serta tidak ada climbing lane, dan Sumber: BPJN VIII, 2011 tikungan yang tajam Dengan dibekali pengetahuan dasar mengenai geometrik jalan, maka surveyor diharapkan mampu menilai kondisi geometrik secara visual. 3.3.7 Kondisi sosial Survei ini dilakukan secara pengamatan dengan kendaraan untuk mengetahui kondisi kegiatan sosial di sekitar jalan, yang tentunya kondisi ini berpengaruh terhadap analisis para pemegang kebijakan. Kondisi sosial pada penelitian ini akan digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu baik, cukup, dan kurang. Pada kondisi sosial yang menjadi ukuran adalah bangunan yang terdapat dalam RUMIJA (25 meter) dan kegiatan ekonomi yang dapat memberikan gangguan pada lalu lintas. Definisi dari masing-masing kategori tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

89 Baik Kondisi Tabel 3.3 Definisi Tiap Kategori Kondisi Sosial Definisi Tidak ada bangunan yang terletak dalam RUMIJA (25 meter) dan tidak ada kegiatan ekonomi yang mengganggu lalu lintas Cukup Terdapat bangunan yang sebagian terletak dalam RUMIJA (25 meter) dan terdapat kegiatan ekonomi yang memberikan gangguan terbatas terhadap lalu lintas (misalnya terdapat warung, dan sebagainya) Kurang Terdapat bangunan yang terletak dalam RUMIJA (25 meter) Sumber: BPJN VIII, 2011 dan terdapat kegiatan yang mengganggu lalu lintas (misalnya terdapat pasar, pusat pertokoan, mal, dan sebagainya) 3.3.8 Foto kondisi jalan Foto kondisi jalan diambil minimal 3 buah per segmen. Prioritas pengambilan foto adalah untuk nilai kondisi yang kurang, baik kondisi perkerasan, geometrik, maupun sosial. Hal ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi real di lapangan, dimana juga dapat sebagai kontrol terhadap penilaian yang dilakukan oleh surveyor.

90 3.4 Data Sekunder Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini sudah tersedia pada SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar, yaitu : 3.4.1 Titik pengenal awal dan akhir ruas Informasi mengenai titik pengenal awal dan akhir suatu ruas jalan sangatlah penting untuk menghindari terjadinya domino effect of error, mengingat hampir semua titik akhir suatu ruas menjadi titik awal ruas berikutnya. Jadi, jika terjadi kesalahan persepsi terhadap titik akhir suatu ruas, maka sudah tentu terjadi kesalahan penentuan titik awal pada ruas berikutnya, dan demikian juga untuk ruas berikutnya. Data mengenai titik awal dan akhir ini dapat diperoleh di SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar. 3.4.2 Panjang ruas Panjang masing-masing ruas Jalan Nasional sudah didata oleh P2JJ, sehingga panjang ruas yang digunakan pada penelitian ini merupakan kutipan dari survei yang dilakukan P2JJ. Hal ini dilakukan untuk mengontrol panjang ruas yang didapat dari hasil pengukuran surveyor penelitian ini, sehingga dapat diketahui secepat mungkin apabila terjadi kesalahan dalam persepsi titik awal dan akhir ruas jalan. 3.4.3 Indeks Internasional kekasaran permukaan (IRI) Sebelum melakukan survei ketidakrataan permukaan jalan, maka harus ditentukan persamaan korelasi antara Dipstick Floor Profiler dengan alat ukur NAASRA terhadap nilai IRI. Persamaan korelasi ini didapatkan dengan membuat Seksi Percobaan (SP), paling sedikit dilakukan 8 SP yang dipilih dari jalan yang

91 permukaannya sangat rata sampai yang sangat tidak rata, panjang SP adalah 300 meter ditambah masing-masing 50 meter pada kedua ujungnya, kemudian dilakukan pengukuran profil memanjang dengan alat Dipstick Floor Profiler, selanjutnya menjalankan kendaraan survei dengan kecepatan 30 km/jam untuk mencatat ketidakrataan permukaan jalan. Pada penelitian ini akan digunakan data IRI dari P2JJ Metropolitan Denpasar mengingat keterbatasan alat yang dimiliki dalam penelitian ini. 3.4.4 Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) Berikut akan dijelaskan mengenai langkah-langkah pelaksanaan survei pencacahan lalu lintas terklasifikasi untuk mendapatkan nilai Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT). Petugas mencatat setiap kendaraan yang melintasi titik yang telah ditentukan pada formulir lapangan atau dengan handy tally (yaitu suatu alat kecil yang dapat menjumlahkan secara kumulatif) dan menjumlahkan nilai totalnya pada formulir lapangan. Cara melakukan pencacahan volume lalu lintas terklasifikasi secara manual serupa dengan pencacahan volume lalu lintas, namun diperlukan formulir lapangan yang berbeda atau beberapa buah handy tally. Pada dasarnya, tidak ada kerugian untuk membedakan banyak kelas kendaraan, karena pada tahapan analisis, data tersebut dapat digabungkan kembali jika dikehendaki. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari P2JJ Metropolitan Denpasar, mengingat keterbatasan waktu dan biaya survei.

92 3.5 Penyusunan Basis Data Berbasis SIG Tahapan penyusunan basis data dibagi menjadi dua, yaitu penyusunan data spasial dan data atribut. Data spasial terdiri dari peta provinsi Bali dan juga fotofoto, sedangkan data atribut terdiri dari data primer dan sekunder. Basis data disusun sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan analisis data spasial. Secara umum, langkah-langkah penyusunan yang dilakukan dengan bantuan program Arcinfo ini, dapat dilihat pada Bab II.

93 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Primer 4.1.1 Sistem stasioning Tampilan data mengenai sistem stasioning, yang merupakan jarak setiap awal maupun akhir segmen terhadap Stasiun Titik Awal pada ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan, dapat dilihat pada lampiran E dan juga program basis data. Data ini akan sangat membantu dalam mengenali dan persamaan persepsi terhadap segmen setiap ruas yang dimaksud dalam laporan ini. 4.1.2 Lebar jalur dan bahu jalan Data mengenai lebar saluran, bahu, dan jalur hanya akan ditampilkan pada lampiran laporan saja dan tidak pada program. Hal ini dikondisikan agar tampilan data dalam program basis data tidak terlalu banyak. 4.1.3 Indeks kondisi jalan/road Condition Index (RCI) Informasi mengenai data RCI (Road Condition Indext) setiap segmen jalan dapat dilihat pada Lampiran F, namun tidak ditampilkan dalam program ini mengingat sudah terdapat data kondisi perkerasan dan IRI (International Roughness Index). 93

94 4.1.4 Jenis kerusakan perkerasan Informasi jenis kerusakan setiap segmen ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan dapat dilihat pada lampiran F laporan ini. Data ini bermanfaat selain dalam mengetahui jenis kerusakan perkerasan juga bermanfaat dalam penentuan kondisi perkerasan. Data ini juga tidak ditampikan dalam program basis data ini. 4.1.5 Kondisi perkerasan Kondisi perkerasan pada Jalan Nasional di bawah tanggung jawab Metropolitan pada tahun 2009 dapat dikatakan dalam kondisi baik. Hal tersebut dapat kita lihat dari tabel dan grafik berikut ini. Tabel 4.1 Kondisi Perkerasan Segmen Jalan KONDISI PERKERASAN JUMLAH SEGMEN Baik 172 Sedang 25 Rusak Ringan 7 Rusak Berat 3 JUMLAH 207 Sumber: Hasil Analisa, 2011

95 90,00% 80,00% 83,09% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Baik 12,08% Sedang 3,38% Rusak Ringan 1,45% Rusak Berat Gambar 4.1 Grafik Persentase Kondisi Perkerasan Segmen Jalan Sumber: Hasil Analisa, 2011 Dataa lebih lanjut mengenai kondisi perkerasan tiap segmennya selain terdapat pada program juga terdapat pada lampiran E laporan ini. Jenis kerusakan perkerasan pada Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan sebagian besar adalah kerusakan jenis retak. 4.1.6 Kondisi geometrik Dataa mengenai kondisi geometrik jalan yang diperoleh melalui survei visual secara detail tiap segmenya dapat dilihat dalam program basis data ini. Kondisi geometrik segmen jalan secaraa umum adalah baik, dilihat pada tabel dan grafik berikut. dimana kondisi ini dapat

96 Tabel 4.2 Kondisi Geometrik Segmen Jalan KONDISI GEOMETRIK JUMLAH SEGMEN Baik Cukup Kurang 188 18 5 JUMLAH 207 Sumber: Hasil Analisa, 2011 100,00% 90,00% 89,37% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% Baik 8,21% Sedang 2,42% Kurang Gambar 4.2 Grafik Persentase Kondisi Geometrik Segmen Jalan Sumber: Hasil Analisa, 2011 Untuk lebih lengkapnya mengenai kondisi geometrik tiap segmennya selain terdapat pada program juga dapat dilihat pada lampiran E laporan ini.

97 4.1.7 Kondisi sosial Kondisi sosial pada penelitian ini akan digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu baik, cukup, dan kurang. Kondisi sosial jalan ini secara umum adalah cukup yang lebih jelasnya seperti terlihat pada tabel dan grafik di bawah ini. Tabel 4.3 Kondisi Sosial Segmen Jalan KONDISI SOSIAL JUMLAH SEGMEN Baik Cukup Kurang 52 141 14 JUMLAH 207 Sumber: Hasil Analisa, 2011 80,00% 70,00% 68,12% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 25,12% 20,00% 10,00% 0,00% Baik Sedang 6,76% Kurang Gambar 4.3 Grafik Persentase Kondisi Sosial Segmen Jalan Sumber: Hasil Analisa, 2011

98 Data lebih lengkap mengenai kondisi sosial tiap segmennya dapat dilihat lebih lanjut pada program dan pada Lampiran E laporan ini. 4.1.8 Foto kondisi jalan Foto kondisi jalan yang minimal 3 buah per segmen ini dapat dilihat lebih lengkapnya pada program basis data ini. Foto ini bermaksud untuk dapat memberikan gambaran secara langsung terhadap kondisi di lapangan. 4.2 Data Sekunder Data mengenai informasi titik pengenal awal dan akhir suatu ruas jalan merupakan informasi penting yang digunakan sebagai acuan dalam survei. Data ini tidak dimunculkan dalam program, namun dapat dilihat lebih lanjut pada lampiran B laporan ini. Berdasarkan hasil survey lapangan dan koordinasi yang dilakukan dengan instansi terkait mengenai pangjang ruas Jalan Nasional, terdapat beberapa perbedaan pangjang ruas jalan dengan panjang yang tertulis dalam Kepmen. Panjang total ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan berdasarkan Kepmen 376/KPTS/M/2004 adalah 103,30 km, sedangkan berdasarkan hasil pengukuran di lapangan adalah 104,20 km. Jadi terdapat selisih sebesar 0,90 km lebih panjang dari Kepmen, yang mana detailnya tersaji dalam lampiran B laporan ini. Data mengenai IRI (International Roughness Index) dan Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) pada ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan selain dapat dilihat pada program basis data ini.

99 4.3 Analisa 4.3.1 Lebar Bahu dan Badan Jalan Berdasarkan PP No. 34 tahun 2006, yang dimaksud dengan Jalan Nasional adalah jalan arteri primer; jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi; jalan tol; serta jalan strategis Nasional. Dalam PP No. 34 tahun 2006 juga menyebutkan mengenai lebar minimum badan jalan kolektor primer, yaitu paling sedikit 9 meter. Jadi berdasarkan PP tersebut seluruh ruas jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan adalah memenuhi persyaratan lebar minimum badan jalan tersebut. 4.3.2 Jenis Kerusakan Perkerasan Jalan Dalam penelitian ini jenis kerusakan perkerasan jalan akan digolongkan menjadi 5 jenis berdasarkan penanganannya. Golongan jenis kerusakan tersebut yaitu bleeding, pengausan dan atau pelepasan butir, lubang dan atau deliminasi, retak, dan deformasi. Kerusakan jenis bleeding, sering juga disebut kegemukan merupakan suatu jenis kerusakan yang diprediksi disebabkan sebagian atau seluruh agregat dalam campuran terselimuti aspal terlalu banyak. Pada temperatur tinggi, aspal dapat menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda jika dilalui oleh kendaraan, hal ini juga tentunya akan membuat perkerasan menjadi licin. Kerusakan ini dapat ditangani dengan cara menaburkan agregat panas dan kemudian dipadatkan, atau dengan mengangkat lapisan aspal dan kemudian diberi lapisan penutup. Pada ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ, kerusakan jenis bleeding ditemui sebesar 0.08% dari semua jenis kerusakan.

100 Kerusakan jenis pengausan dan atau pelepasan butir pada perkerasan dapat disebabkan oleh penggunaan agregat yang tidak tahan aus, penggunaan agregat yang kotor, penggunaan agregat yang pipih, penggunaan aspal yang kurang, pelapukan aspal (aging), pemadatan lintasan yang kurang, maupun akibat temperatur pemadatan yang rendah. Kerusakan jenis ini dapat diatasi dengan memberikan lapisan tambahan, baik berupa lapisan latasir, buras, atau latasbun, di atas lapisan lama yang telah dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu. Pengausan dan atau pelepasan butir terjadi pada 17.08% ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan. Kerusakan lubang dan atau deliminasi merupakan kerusakan perkerasan yang disebabkan oleh permukaan perkerasan lama yang kotor, pemasangan lapis perekat yang tidak merata, pemadatan saat hujan, rembesan air pada retakan, penggunaan aspal yang kurang, penggunaan agregat yang kotor, maupun akibat penggunaan agregat yang pipih yang mudah pecah. Cara memperbaiki kerusakan jenis ini adalah dengan langkah sebagai berikut: 1) Membersihkan lubang dari air dan material yang lepas; 2) Membongkar bagian lapisan permukaan dan pondasi sedalam-dalamnya sehingga mencapai lapisan yang keras; 3) Memberi lapisan tack coat sebagai lapisan pengikat; 4) Mengisi campuran aspal dan agregat dengan hati-hati agar tidak terjadi sekresi; 5) Memadatkan lapis campuran tadi dan membentuk permukaan sesuai dengan lingkungannya.

101 Berdasarkan hasil survei, pada ruas jalan kerusakan jenis lubang dan atau deliminasi terjadi sebesar 0.61%. Kerusakan jenis retak merupakan kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari pelapukan aspal, penggunaan aspal yang kurang, ketebalan dari perkerasan yang kurang, refleksi dari retak di lapisan bawahnya, sambungan pelaksanaan yang kurang baik, drainase sekitar yang kurang baik, serta dapat juga karena tanah dasar yang ekspansif. Cara untuk mengatasi kerusakan jenis ini adalah dengan memperbaiki drainase agar tidak ada air yang menggenangi perkerasan, menambah tebal perkerasan jika memang karena beban lalu lintas yang berlebih, mengisi celah retakan dengan campuran aspal cair dan pasir jika kondisi belum parah, dapat memberi lapisan burtu; burda; ataupun lataston utnuk pemeliharaan sementara, membongkar dan memberi lapisan baru lagi apabila retakan telah meluas. Hasil survei menyatakan bahwa sebesar 80.88% atau sebagian besar kerusakan yang terjadi pada perkerasan ini adalah jenis retak. Kerusakan jenis deformasi pada perkerasan dapat disebabkan oleh daya dukung tanah dasar yang rendah, pemadatan yang rendah, daya dukung lapisan pondasi dan tanah dasar yang tidak seragam, stabilitas lapisan aspal berkualitas rendah (penetrasi tinggi), penggunaan aspal berlebih. Cara memperbaiki kerusakan jenis ini dapat dilakukan dengan : 1) Jika deformasi yang terjadi 5cm, bagian yang berdeformasi dapat diisi dengan lapisan yang sesuai seperi lapen, lataston, laston;

102 2) Jika deformasi yang terjadi 5cm, bagian yang berdeformasi sebaiknya dibongkar dan diberi lapisan kembali yang terjadi. sesuai dengan beban yang Kerusakan jenis deformasi yang terjadi pada ruas jalan ini adalah sebesar 1.35%, yang artinyaa kerusakan ini termasuk jarang ditemui pada ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan. Grafik mengenai jenis kerusakan yang terjadi pada jalan ini dapat dilihat pada gambar berikut ini. 90,00% 80,00% 80,88% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 17,08% 10,00% 0,00% 0,08% Bleeding Terkelupas 0,61% Lubang Retak 1,35% Deform. Gambar 4.4 Grafik Persentase Jenis Kerusakan Perkerasan Jalan Tahun 2009 Sumber: Hasil Analisa, 2011

103 4.3.3 Tampilan Antar Muka Program Pada Web Map Aset Tampilan antar muka pada program ini disusun sedemikan rupa sehingga program berbasis Sistem Informasi Grafis dapat terlihat lebih atraktif dengan menggabungkan data grafis dan data atribut. Hal ini akan membuat program lebih mudah dipahami dan digunakan bagi end user, baik para pejabat pemegang kebijakan maupun masyarakat umum. Secara umum tampilan program ini terdiri dari kepala (header), badan/isi (content), dan kaki (footer). Pada gambar berikut dapat dilihat mengenai tampilan dan fasilitas dari program basis data berbasis Sistem Informasi Grafis ini. A B C D E F Gambar 4.5 Tampilan Antar Muka Program dalam Web Map Aset Sumber: Hasil Analisa, 2011 Bagian A merupakan bagian kepala yang terdiri dari 2 kelompok menu bar, yaitu menu bar atas dan menu bar bawah. Pada menu bar atas, terdapat tiga

104 pilihan menu yang umum terdapat dalam website, yaitu home,contact, dan help. Pilihan home digunakan untuk memudahkan para user dalam kembali ke tampilan awal apabila tersesat dalam mencari jalan kembali ke tampilan awal. Pilihan contact disediakan untuk para pembaca yang ingin melakukan surat menyurat elektronik dengan pengelola asset, termasuk pula bagi yang ingin menyampaikan kritik dan sarannya. Pilihan help dapat digunakan dalam menggali informasi mengenai tata cara penggunaan program ini. Bagian B termasuk dalam bagian isi (content) dalam tampilan program ini. Dalam bagian B terdapat skala dalam angka, skala dalam garis, tampilan Peta (Map Window), serta tombol untuk mengeprint peta. Bagian C yang merupakan bagian isi (content) dari program ini adalah toolbar navigation, dimana nama dari masing-masing toolbar ini dapat dilihat pada gambar 4.6. Toolbar Navigation ini disusun sedemikian rupa sehingga mudah untuk dipahami dan digunakan. ---Zoom Extend ---Back ---Forward ---Zoom in ---Zoom out ---Pan ---Indentify ---Multiple Select ---Tool tip/auto Identify ---Measure ---Refresh Gambar 4.6 Ikon dan Nama Toolbar Navigation Sumber: Hasil Analisa, 2011

105 Berikut ini akan diuraikan mengenai fungsi dari masing-masing toolbar yang diurut dari atas. Tombol zoom extend berfungsi untuk menampilkan semua cakupan peta, setelah itu ada tombol back yang berfungsi untuk kembali ke tampilan peta sebelumnya, kemudian di bawah itu ada tombol forward yang fungsinya untuk kembali ke tampilan peta ke depan. Tombol zoom in berfungsi untuk memperbesar tampilan peta, di bawah itu ada zoom out yang berfungsi untuk memperkecil tampilan peta, kemudian ada tombol pan yang berguna dalam menggeser tampilan peta kea rah yang diinginkan. Berikutnya ada tombol identify yang bermanfaat untuk mendapatkan informasi detail dari obyek yang dipilih, di bawah itu ada multiple select yang berfungsi untuk memilih obyek di peta dengan cara membingkai atau membatasi obyek tersebut. Tombol tool tip digunakan untuk menampilkan data foto dari obyek yang dipilih secara cepat, berikutnya ada tombol measure berfungsi untuk mengukur jarak garis lurus yang dibuat maupun polyline. Terakhir adalah tombol refresh yang berguna untuk meregenerasi tampilan peta. Bagian D merupakan layer properties yangmana adalah bagian isi dari tampilan program ini. Seperti pada kebanyakan program yang berbasis Sistem Informasi Geografis, layer properties berfungsi untuk menampilkan layer/lapisan apa saja yang tersedia dalam program ini sehingga memudahkan para pengguna untuk memanfaatkan sesuai kebutuhan. Pada gambar berikut dapat dilihat lebih jelas mengenai layer yang tersedia dalam program ini.

106 Gambar 4.7 Fasilitas layer yang Tersedia Sumber: Hasil Analisa, 2011 Padaa bagian segmen jalan terdapat tanda positif (+) yang apabila ditekan akan memunculkan informasi mengenai arti warna dalam peta, dimana masing- masing warna memiliki arti berbeda. Misalkan saja untuk informasi pada perkerasan jalan, warna hijau berarti kondisi perkerasan adalah baik, warna oranye berarti kondisi perkerasan adalah sedang, warna merah memiliki arti kondisi perkerasan rusak ringan, dan warna hitam memiliki arti kondisi perkerasan adalah rusak berat. Perbedaan warna ini memudahkan pengguna untuk melihat kondisi yang terjadi secara umum terhadap ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan. Penjelasan lebih lanjut mengenai fungsi layer tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

107 Gambar 4.8 Kondisi Tampilan Peta dengan Layer Perkerasan Aktif Sumber : Hasil Analisa, 2011 Bagian E disediakan di sini adalah sebagai Map Reference, yang maksudnya untuk mengetahui posisi tampilan peta yang dipilih terhadap tampilan peta globalnya. Misalnya saja seorang pengguna yang dalam kondisi melihat ruas jalan daerah Nusa Dua, maka dalam Map Reference akan telihat posisi kotak merah yang menunjukkan daerah Selatan pulau Bali. Bagian F yang merupakan bagian kaki (footer) dari program ini hanya berisikan mengenai informasi dari koordinat X dan Y pada sebelah kiri layarnya. Sumbu X merupakan sumbu garis lintang, dan sumbu Y merupakan sumbu garis bujur. Pada sebelah kanan layarnya terdapat informasi mengenai program ini yang merupakan milik Balai Pelaksanaan Jalan Nasional VIII.

108 4.3.4 Tampilan Antar Muka Program Pada Pengelolaan Aset Tampilan dalam menu bar Pengelolaan Aset haruslah mudah dipahami dan digunakan oleh pengguna, karena dalam menu ini terdapat data atribut yang memiliki kecenderungan paling sering dilihat oleh para pengguna. Tampilan menu ini dapat dilihat pada gambar sebagai berikut. Gambar 4.9 Tampilan Antar Muka Program dalam Pengelolaan Aset Sumber : Hasil Analisa, 2011 Pada menu daftar ruas jalan, masing-masing ruas dapat dipilih untuk kemudian dilihat informasi data setiap segmennya. Foto-foto lapangan juga terdapat dalam setiap segmen ruas jalan. Informasi yang disajikan dalam program ini didesain sedemikian rupa sehingga informatif sesuai kebutuhan dan mudah dipahami secara globalnya.

109 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan dari hasil analisa dan pembahasan yang dilakukan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa simpulan seperti sebagai berikut: 1) Terdapat dua buah sistem stasioning yang dirumuskan dalam penelitian ini, yang pertama adalah jarak segmen jalan terhadap awal ruas dan jarak segmen jalan terhadap titik nol provinsi Bali. Hal ini tentunya akan mempermudah pihak lain dalam mendeskripsikan lokasi segmen yang dimaksud oleh penulis. Kondisi perkerasan Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ pada tahun 2009 dalam laporan ini dibedakan menjadi 4 jenis. Kondisi perkerasan dikatakan sedang apabila kerusakan yang terjadi diantara 1% hingga di bawah 20% dari luas permukaan segmen jalan. Kondisi perkerasan dikatakan rusak ringan apabila kerusakan yang terjadi diantara 20% hingga di bawah 60% dari luas permukaan segmen jalan. Kondisi perkerasan dikatakan rusak berat apabila kerusakan yang terjadi diantara 60% hingga 100% dari luas permukaan segmen jalan. Persentase kondisi perkerasan jalan adalah 83.09% baik, 12.08% sedang, 3.38% rusak ringan, dan 1.45% rusak berat. Berdasarkan hasil survei dapat diketahui juga jenis kerusakan yang terjadi pada perkerasan, yaitu 0.08% karena bleeding, 17.08% karena 109

110 terkelupas dan atau pengausan, 0.61% karena lubang dan atau deliminasi, 80.88% karena retak, dan 1.35% karena deformasi. Kondisi geometrik jalan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu kategori baik merupakan suatu kondisi geometrik dengan kelandaian yang datar; dan tikungan yang lebar. Kategori cukup merupakan suatu kondisi dengan kelandaian yang tidak terlalu besar; dan tikungan tidak terlalu tajam. Kategori kurang merupakan suatu kondisi dimana kelandaian besar, panjang serta tidak terdapat climbing lane; dan tikungan yang tajam. Berdasarkan hasil survei, maka dapat diketahui persentase kondisi geometrik jalan, yaitu sebesar 89.37% dalam kondisi baik, 8.21% dalam kondisi sedang, dan 2.42% dalam kondisi kurang. Kondisi sosial jalan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu kategori baik merupakan suatu kondisi dimana tidak ada bangunan yang terletak dalam RUMIJA (25 meter); dan tidak ada kegiatan ekonomi yang mengganggu lalu lintas. Kategori cukup merupakan suatu kondisi dimana terdapat bangunan sebagian berada di dalam RUMIJA (25 meter); dan terdapat kegiatan ekonomi yang memberikan gangguan terbatas terhadap lalu lintas (misalnya terdapat warung, dsb). Kategori kurang merupakan suatu kondisi dimana terdapat bangunan yang terletak pada RUMIJA (25 meter); dan terdapat kegiatan ekonomi yang mengganggu lalu lintas. Persentase kondisi sosial pada ruas jalan adalah sebesar 25.12% dalam kondisi baik, 68.12% dalam kondisi cukup, dan 6.76% dalam kondisi kurang.

111 2) Telah disusun program basis data berbasis Sistem Informasi Geografis yang berisikan informasi yang dibutuhkan namun tidak terdapat dalam program IRMS dan URMS seperti sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial dari Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan. Namun dalam program ini tetap terdapat informasi yang terdapat dalam program IRMS dan URMS. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan dari Penyusunan Basis Data Jalan Nasional Berbasis Sistem Informasi Geografis ini adalah sebagai berikut: 1) Pematangan organisasi survei yang lebih baik dibutuhkan untuk menghindari pengambilan data berulang untuk dapat menghemat biaya dan waktu. 2) Perlunya penggodokan koordinasi antara instansi terkait sehingga program ini dapat segera dibuat online.

112 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1992. Tata Cara Pelaksanaan Survai Kondisi Jalan Beraspal, SNI 03-2844-1992. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Anonim. 1994. Consulting Services for Urban Transportation Studies for Cities of Semarang and Denpasar, Technical Report No. 1 Field Survey Plan. Semarang: China Engineering Consultants, Inc. Anonim. 1994. Tata Cara Pelaksanaan Survai Kerataan Permukaan Perkerasan Jalan dengan Alat Ukur Kerataan NAASRA, SNI 03-3426-1994. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Marga. Anonim. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga. Anonim. 1997. Modul Pelatihan, Metode Survei Lalu Lintas dan Transportasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Anonim. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga. Anonim. 1999. Pedoman Pengumpulan Data Lalu Lintas Jalan. Jakarta: Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota. Anonim. 2003. Modul B.1.1 Prasarana Transportasi Campuran Beraspal Panas. Jakarta Selatan: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Anonim. 2004. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 376/KPTS/M/2004 Tentang Penetapan Ruas-ruas Jalan Menurut Statusnya Sebagai Jalan Nasional. Jakarta: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Anonim. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Anonim. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Anonim. 2007. Panduan Survai Kekasaran Permukaan Jalan Secara Visual. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.

113 Anonim. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 42/PRT/M/2007 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Anonim. 2009. Palatihan-gis.jpg. Available from URL: http://www.smilejogja. com/wp-content/uploads/2009/05/palatihan-gis.jpg. Anonim. t.t. Bleed.gif. Available from: URL: http://www.pvpc.org/webcontent/graphics/ images/trans/pave_gif/bleed.gif. Anonim. t.t. Data Base Management System. Available from URL: www.dewiar.staff.gunadarma.ac.id/downloads/files/424/m1%2b-%2bdbms.pdf Anonim. t.t. Kerusakan-kerusakan Permukaan Jalan dan Pemeliharaannya. Available from URL: www.elearning.gunadarma.ac.id/.../bab8_ kerusakankerusakan_permukaan_jalan_dan_pemeliharaannya.pdf. Anonim. t.t. Pengenalan Basis Data. Available from URL: http://ilmukomputer.org/wp-content/uploads/2009/03/subhan - pengenalanbasis data.pdf. Anonim. t.t. Pengenalan Basis Data. Available from URL: http://orita.staff. gunadarma.ac.id/downloads/files/13839/pengenalan+basis data(1).ppt. Anonim. t.t. Sistem Koordinat Geografik. Available from URL: http://www.angelfire.com/mo/zuhdi/kuliah2.pdf. Anonim. t.t. Sistem Manajemen Basis Data. Available from URL: http://id.wikipedia.org/wiki/ Sistem_manajemen_basis_data. Anonim. t.t. Studi IRI. Available from: http://jurnal.uajy.ac.id/jts/download/58/ > IRI. Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bandung. Hendi Indelarko, Prilnali, Riyanto. 2009. Pengembangan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. Prahasta, Ir. Eddy, MT. 2004. Sistem Informasi Geografis: ArcView Lanjut. Bandung: Penerbit Informatika Bandung. Saodang, Ir. Hamirhan, MSCE. 2004. Konstruksi Jalan Raya, Buku I Geometrik Jalan. Bandung: Penerbit Nova.

114 NO. NOMOR RUAS LAMPIRAN A Tabel Jalan Nasional Provinsi Bali Beserta Penanggung Jawabnya NAMA RUAS PANJANG RUAS (KM) PENANG- GUNG JAWAB 1 001 CEKIK - GILIMANUK 3,50 Wilayah 2 002 NEGARA - CEKIK 27,44 Wilayah 3 002 11 K JLN. A.YANI - JLN. UDAYANA - BTS. KOTA (NEGARA) 2,83 Wilayah 4 003 PEKUTATAN - NEGARA 20,79 Wilayah 5 003 11 K JLN. SUDIRMAN, GAJAHMADA - BTS. KOTA (NEGARA) 4,21 Wilayah 6 004 ANTOSARI - PEKUTATAN 30,13 Wilayah 7 005 TABANAN - ANTOSARI 16,89 Wilayah 8 005 13 K SIMP. KEDIRI - PESIAPAN 4,10 Metro 9 006 MENGWITANI - TABANAN 1,83 Metro 10 006 15 K JLN. A. YANI - BTS. KOTA (TABANAN) 1,68 Metro 11 007 BTS. DENPASAR - MENGWITANI 7,45 Metro 12 007 11 K JLN. COKROAMINOTO (DPS) 2,52 Metro 13 007 12 K JLN. COKROAMINOTO (DPS) 2,00 Metro 14 007 13 K JLN. SUTOMO (DPS) 0,93 Metro 15 007 14 K JLN. GAJAH MADA (DPS) 0,73 Metro 16 007 15 K JLN. SURAPATI (DPS) 0,09 Metro 17 007 16 K JLN. SETIABUDI (DPS) 0,80 Metro 18 007 17 K JLN. WAHIDIN (DPS) 0,22 Metro 19 008 11 K JLN. THAMRIN (DPS) 0,38 Metro 20 008 12 K JLN. HASANUDIN - UDAYANA (DPS) 1,03 Metro 21 008 13 K DENPASAR - TUBAN 10,15 Metro JLN. KAP. AGUNG - KAP. REGUG - SUGIANYAR - 22 009 11 K 0,85 Metro BELITON (DPS) 23 009 12 K DENPASAR - SIMP. PESANGGARAN 6,82 Metro 24 009 13 K SIMP. PESANGGARAN - GERBANG BENOA 0,53 Metro 25 011 SP. TOHPATI - SAKAH 13,68 Metro

115 26 012 SAKAH - BLAHBATUH 3,02 Metro 27 013 BLAHBATUH - SEMEBAUNG 3,56 Metro 28 018 SEMEBAUNG - GIANYAR 1,99 Metro 29 018 11 K JLN. CIUNG WANARA (GIANYAR) 0,44 Metro 30 018 12 K JLN. ASTINA UTARA (GIANYAR) 0,32 Metro 31 019 GIANYAR - SIDAN 1,72 Metro 32 019 11 K JLN. NGURAH RAI (GIANYAR) 0,76 Metro 33 019 12 K JLN. ASTINA TIMUR (GIANYAR) 0,54 Metro 34 026 1 MENGWITANI - SINGARAJA 61,07 Wilayah 35 026 11 K JLN. JELANTIK GINGSIR - VETERAN (SINGARAJA) 3,23 Wilayah 36 026 2 BERINGKIT - MENGWITANI 0,42 Wilayah 37 027 SERIRIT - CEKIK 62,98 Wilayah 38 027 11 K JLN. A. YANI - JLN. S. PARMAN (SERIRIT) 0,98 Wilayah 39 031 SINGARAJA - SERIRIT 18,90 Wilayah 40 031 11 K JLN. GAJAHMADA - DR. SUTOMO - A. YANI (SINGARAJA) 3,90 Wilayah 41 032 KUBUTAMBAHAN - SINGARAJA 6,28 Wilayah 42 032 11 K JLN. NG. RAI SELATAN PRAMUKA - DIPONOGORO - AIRLANGGA-SURAPATI - WR. SUPRATMAN (SINGARAJA) 5,72 Wilayah 43 033 AMLAPURA - KUBUTAMBAHAN 77,22 Wilayah 44 033 11 K JLN. UNTUNG SURAPATI (AMLAPURA) 2,61 Wilayah 45 034 11 K JLN. SUDIRMAN - A. YANI (AMLAPURA) 4,20 Wilayah 46 034 ANGENTELU - AMLAPURA 19,25 Wilayah 47 036 ANGENTELU - PADANGBAI 2,30 Wilayah 48 037 KLUNGKUNG - ANGENTELU 13,70 Wilayah 49 037 11 K JLN. DIPONEGORO (SEMARAPURA) 0,79 Wilayah 50 039 SIDAN - KLUNGKUNG 7,36 Wilayah JLN. UNTUNG SUROPATI, FLAMBOYAN 51 039 11 K 1,64 Wilayah (SEMARAPURA) 52 040 11 K SIMPANG TOHPATI - SIMPANG SANUR 4,05 Metro 53 041 11 K SIMPANG SANUR - SIMPANG PESANGGARAN 8,47 Metro

116 54 042 11 K SIMP. PESANGGARAN - SIMP. KUTA 3,75 Metro 55 042 12 K SIMP. KUTA - TUGU NGURAH RAI 2,74 Metro 56 042 13 K TUGU NGURAH RAI - NUSA DUA 9,82 Metro 57 047 11 K SIMP. LAP. TERBANG - TUGU NGURAH RAI (DPS) 0,38 Metro 58 056 11 K SP. COKROAMINOTO - SP. TOHPATI (JL. G. SUBROTO TIMUR) 5,95 Metro JUMLAH 501,64 Sumber: Kepmen 376/KPTS/M/2004

LAMPIRAN B Tabel Titik Pengenal Awal dan Akhir Ruas Jalan P2JJ Metropolitan Denpasar Beserta Panjang Ruasnya NO. NOMOR RUAS NAMA RUAS AWAL 1 005 13 K SIMP. KEDIRI - PESIAPAN Sp. A. Yani Kediri/ Patung TITIK PENGENAL AKHIR Patung Sapi/ Sp. Tabanan- Antosari PANJANG RUAS (KM) KEPMEN (KM) USULAN PERU- BAHAN (P2JJ) 4,10 4,10 2 006 MENGWITANI - TABANAN Sp. Mengwitani-Singaraja Batas Kota Tabanan 1,83 1,50 3 006 15 K JLN. A. YANI - BTS. KOTA (TABANAN) 4 007 BTS. DENPASAR - MENGWITANI 5 007 11 K JLN. COKROAMINOTO (DPS) Sp. Kediri, Sp. Tanah Lot/Patung Batas Kota Denpasar/ Pom Bensin Sp. Cokroaminoto/ Patung Bung Tomo Batas Kota Tabanan 1,68 2,35 Sp. Mengwitani-Singaraja 7,45 7,60 Batas Kota Denpasar 2,52 3,90 6 007 12 K JLN. COKROAMINOTO (DPS) Sp. Sutomo, Setiabudi Sp. Cokroaminoto/ Patung Bung Tomo 2,00 1,00 117

7 007 13 K JLN. SUTOMO (DPS) Sp. Wahidin, Gajah Mada, Thamrin Sp. Cokroaminoto, Setiabudi 0,93 0,93 8 007 14 K JLN. GAJAH MADA (DPS) Sp. Veteran, Udayana, Surapati Sp. Wahidin, Sutomo, Thamrin 0,73 0,73 9 007 15 K JLN. SURAPATI (DPS) Sp. Veteran, G. Mada, Udayana Sp. Kapten Agung Hayam Wuruk 0,09 0,30 10 007 16 K JLN. SETIABUDI (DPS) Sp. G. Agung, Wahidin, Bk. Tunggal Sp. Sutomo, Cokroaminoto 0,80 0,80 11 007 17 K JLN. WAHIDIN (DPS) Sp. Sutomo, G. Mada, Thamrin Sp. Setiabudi, B. Tunggal, G. Agung 0,22 0,22 12 008 11 K JLN. THAMRIN (DPS) Sp. Sutomo, G. Mada, Sutomo Sp. Hasanuddin, Imam Bonjol, Bk. Tunggal 0,38 0,40 13 008 12 K JLN. HASANUDIN - UDAYANA (DPS) Sp. Thamrin, Bk. Tunggal, Imam Bonjol Sp. G. Mada, Surapati, Veteran 1,03 1,20 14 008 13 K DENPASAR - TUBAN Sp. Thamrin, Bk. Tunggal, Imam Bonjol Sp. Lap. Terbang/ Patung Arjuna 10,15 10,15 15 009 11 K JLN. KAP. AGUNG - KAP. REGUG - SUGIANYAR - BELITON (DPS) Sp. Surapati Sp. Sumatra, Kalimantan 0,85 0,78 16 009 12 K DENPASAR - SIMP. PESANGGARAN Sp. Hasannudin Sp. Pesanggaran, Kuta, Sanur, Gerbang Benoa 6,82 7,25 17 009 13 K SIMP. PESANGGARAN - GERBANG BENOA Sp. Pesanggaran, Kuta, Sanur, Gerbang Benoa Gerbang Benoa 0,53 0,62 118

18 011 SP. TOHPATI - SAKAH Sp. Sanur, Gatsu Timur, Jl. WR. Supratman Patung Bayi 13,68 13,00 19 012 SAKAH - BLAHBATUH Patung Bayi Sp. Bone, Jl. Belahpane 3,02 3,02 20 013 BLAHBATUH - SEMEBAUNG Sp. Bone, Jl. Belahpane Patung Dewi Sri 3,56 3,70 21 018 SEMEBAUNG - GIANYAR Patung Dewi Sri KM. 27 Astina Utara/KM. 27 Semebaung 1,99 2,10 22 018 11 K JLN. CIUNG WANARA (GIANYAR) Sp. Jl. Patih Jelantik Jl. Ngurah Rai/ Patung 0,44 0,54 23 018 12 K JLN. ASTINA UTARA (GIANYAR) 24 019 GIANYAR - SIDAN KM. 27 Astina Utara/KM. 27 Semebaung Jl. Astina Timur, Sp. Bukit Jati Jl. Ciung Wanara 0,32 0,33 Sp. Sidan Bangli/ Tugu 1,72 1,25 25 019 11 K JLN. NGURAH RAI (GIANYAR) Jl. Ciung Wanara Jl. Astina Timur, SP. Dalem Puri 0,76 0,84 26 019 12 K JLN. ASTINA TIMUR (GIANYAR) 27 040 11 K SIMPANG TOHPATI - SIMPANG SANUR Jl. Ngurah Rai, SP. Dalem Puri Sp. Gatsu Timur, WR. Supratman SP. Bukit Jati/ Traficlight 0,54 0,79 Sp. Hangtuah, Pantai Sanur 4,05 4,10 28 041 11 K SIMPANG SANUR - SIMPANG PESANGGARAN Sp. Hangtuah, Pantai Sanur Sp. Gerbang Benoa, Pesanggaran 8,47 8,54 119

29 042 11 K SIMP. PESANGGARAN - SIMP. KUTA Sp. Gerbang Benoa, Pesanggaran Patung Dewa Ruci 3,75 3,70 30 042 12 K SIMP. KUTA - TUGU NGURAH RAI Patung Dewa Ruci Patung Ngurah Rai, Sp. Lap. Terbang 2,74 2,76 31 042 13 K TUGU NGURAH RAI - NUSA DUA Patung Ngurah Rai, Sp. Lap. Terbang Gerbang Nusa Dua 9,82 9,82 32 047 11 K SIMP. LAP. TERBANG - TUGU NGURAH RAI (DPS) Sp. Denpasar Tuban/ Patung Patung Ngurah Rai 0,38 0,38 33 056 11 K SP. COKROAMINOTO - SP. TOHPATI (JL. G. SUBROTO TIMUR) Patung Bung Tomo, Sp. Cokroaminoto, Gatsu Barat Sp. Tohpati Sanur, Jl. WR. Supratman 5,95 5,50 JUMLAH 103,30 104,20 Sumber: SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar 120

LAMPIRAN C Peta Jaringan Jalan P2JJ Metropolitan Denpasar Sumber: SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar 121

122 LAMPIRAN D Formulir Survei Ruas Jalan Nasional IDENTIFIKASI RUAS SURVEYOR RUTE SURVEI RUAS JALAN No: Nama: Panjang: Lebar: Titik Awal: IDENTIFIKASI RUAS Titik Akhir: KETERANGAN