KETERANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ATAS

dokumen-dokumen yang mirip
A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XIV/2016 Pembatasan Masa Jabatan dan Periodesasi Hakim Pengadilan Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUU-XV/2017 Kewenangan Menteri Keuangan Dalam Menentukan Persyaratan Sebagai Kuasa Wajib Pajak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XVI/2018 Eksistensi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

KUASA HUKUM Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dan Vivi Ayunita Kusumandari, S.H., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Oktober 2014.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

KETERANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ATAS

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 79/PUU-XIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA dan KUHAP Pembatasan Pengajuan PK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 128/PUU-XIII/2015 Syarat Calon Kepala Desa dan Perangkat Desa

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

PUTUSAN Nomor 9/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 55/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 87/PUU-XIV/2016 Pengalihan Pengawasan Ketenagakerjaan dari Pemerintah Kabupaten/ Kota ke Pemerintah Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIII/2015 Pengumuman Terhadap Hak Cipta Yang Diselenggarakan Pemerintah

Transkripsi:

KETERANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM PERKARA NOMOR: 1/PUU-XV/2017 Jakarta, April 2017 Kepada Yth: Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Di Jakarta Dengan hormat, Berdasarkan Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 25/PIMP/III/2015-2016 tanggal 18 Januari 2016, telah menugaskan kepada Anggota Komisi III DPR RI yaitu : H. Bambang Soesatyo, SE., MBA. (No. Anggota 227) ; Trimedya Panjaitan, SH., MH. (No. Anggota A-127) ; Desmon Junaidi Mahesa, SH., MH. (No. Anggota A-376) ; DR. Benny Kabur Harman, SH., MH. (No. Anggota A-444) ; Mulfachri Harahap, SH. (No. Anggota A-459) ; DR. Junimart Girsang, SH., MH. (No. Anggota A-128) ; DR. H. M. Aziz Syamsuddin, SH., MH. (No. Anggota A-248) ; DR. Ir. Sufmi Dasco Ahmad, SH., MH (No. Anggota A-377) ; Didik Mukrianto, SH., MH (No. Anggota A- 437) ; H. Muslim Ayub, SH. (No. Anggota A-458) ; H. Abdul Kadir Karding, M.Si. (No. Anggota A-55) ; H. Aboe Bakar Al Habsy (No. Anggota A-119) ; H. Arsul Sani, SH., M.Si. (No. Anggota A-528) ; Drs. Taufiqulhadi, M.Si. (No. Anggota A-19) ; H. Sarifuddin Sudding, SH., MH. (No. Anggota A-559), dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk selanjutnya disebut-----------------------------------------------------------dpr RI. 1

Sehubungan dengan Surat Mahkamah Konstitusi Nomor 1.1/PAN.MK/1/2017 tanggal 9 Januari 2017 mengenai permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh: Nama : Gede Gatot Binawarta Umur : 51 tahun Alamat : Jalan Dopenogoro No. 142 A, Lingkungan Eka Sila, Kelurahan/desa Dauh Puri Kelod, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar, Provinsi Bali Untuk selanjutnya disebut sebagai ------------------------------Pemohon; Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara nomor 1/PUU- XV/2016 sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL/AYAT UU KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945 Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian Pasal 23 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa isi ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut: terhadap Putusan Peninjauan Kembali tidak dapat di lakukan Peninjauan Kembali B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 24 AYAT (2) UU KEKUASAAN KEHAKIMAN Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, yang pada intinya sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon selaku perorangan WNI beranggapan dengan berlakunya pasal a quo UU Kekuasaan Kehakiman, hak konstitusional Pemohon dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya. Ketentuan pasal a quo yang pada pokoknya membatasi pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari 1 kali, telah menghalangi Pemohon untuk menggugat kekeliruan Putusan 2

peninjauan kembali Mahkamah Agung No. 550 PK/PDT/2009 tanggal 7 Juni 2010; (Vide permohonan halaman 3 dan 7) 2. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. Bahwa pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berketentuan sebagai berikut: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan Bahwa Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon pengujian materil ini; 2. Menyatakan materi muatan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mempunyai kekuatan mengikat dan harus dibatalkan; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini di dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 5. Dan apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang adil. C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. Perorangan Warga Negara Indonesia; 3

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga Negara. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk hak konstitusional. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang a quo. Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945; b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. 4

Menanggapi permohonan a quo, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon a quo, DPR RI memberikan penjelasan sebagai berikut: 1) Bahwa adanya kerugian akibat dari Putusan Peninjauan Kembali MA No. 550 PK/Pdt/2009 tanggal 7 Juni 2010 Mahkamah Agung yang dianggapnya terdapat kekeliruan Hakim, tidak dapat dijadikan dasar untuk mendalilkan bahwa adanya larangan pengajuan peninjauan kembali untuk kedua kalinya bertentangan dengan prinsip keadilan, sebagaimana yang didalilkan Pemohon, karena sama sekali tidak ada relevansinya antara kerugian akibat putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung dengan ketentuan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. 2) DPR RI berpandangan bahwa Pemohon telah dijamin dan dilindungi hak konstitusionalitasnya dalam menggunakan hak konstitusionalnya untuk memperoleh keadilan yaitu mulai dari upaya hukum banding, kasasi sampai dengan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, sangat tidak berdasar dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pemohon telah dilanggar hak konstitusionalnya untuk memperoleh keadilan. Dalam hal putusan Mahkamah Agung tidak memenuhi rasa keadilan Pemohon, menurut DPR RI hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. >>> Masuk ke Pokok Perkara 3) Bahwa secara substansi permohonan a quo tidak berbeda dengan substansi permohonan uji materiil yang telah diputuskan oleh MK, yakni dalam putusan Putusan 16/PUU-VIII/2010 (selanjutnya disebut Putusan MK 16/2010) yang menguji Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung, dan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Putusan ini memberikan amar putusan: - Permohonan Pemohon tidak dapat diterima sepanjang permohonan pengujian Pasal 268 ayat (1) KUHAP. - Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Adapun pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada Putusan 16/PUU- VIII/2010 adalah sebagai berikut: Menurut Mahkamah jika ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi maka 5

akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir yang justru bertentangan dengan ketentuan UUD Tahun 1945 yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya pada Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan/atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 2. Dalam pokok perkara Terhadap permohonan pengujian pasal a quo dalam UU Kekuasaan Kehakiman, DPR RI menyampaikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berarti penyelenggara negara dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan sesuai dengan fungsi dan kewenangannya harus berdasarkan pada peraturan perundangundangan sebagai hukum positif untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kepastian hukum. Atas dasar ketentuan tersebut, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di lingkungan peradilan umum dalam menjalankan fungsi dan kewenangan di bidang peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. b. Bahwa perubahan UUD Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan 6

kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan bahwa: kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945. c. Bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut mengandung arti bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, arahan, atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang. d. Bahwa sebagai negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib maka diperlukan upaya untuk menegakan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum menuju pada pengayoman masyarakat. Salah satu upaya untuk menegakan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum dapat dilakukan melalui mekanisme peninjauan kembali yang merupakan upaya hukum luar biasa. Pengajuan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi berdasarkan pada UU Kekuasaan Kehakiman. e. Bahwa dalam sistem peradilan, guna mewujudkan pemberian perlindungan atas jaminan kepastian hukum antara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, terdapat suatu prinsip yang sangat mendasar yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yakni bahwa, Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) tersebut dikatakan bahwa sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan; 7

f. Bahwa pada dasarnya upaya hukum Peninjauan Kembali adalah adalah upaya yang dipakai untuk mengubah putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Karena putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka meskipun pemohon mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, eksekusi dari putusan tersebut tetap masih berjalan. Sebagai upaya hukum luar biasa, pengaturan mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali di Indonesia diatur dalam 3 undang-undang yang saling terkait yaitu: - UU Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 24 ayat (2); - UU 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU Mahkamah Agung) dalam Pasal 66 ayat (1); dan - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) dalam Pasal 268 ayat (3) g. Bahwa meskipun ketiga undang-undang tersebut mengatur rumusan yang sama namun pada hakekatnya berbeda tujuan pengaturannya. Perumusan yang ada dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung lebih ditujukan untuk perkara secara umum baik perdata maupun pidana. Sedangkan rumusan yang ada dalam KUHAP adalah lebih bersifat khusus ditujukan hanya untuk perkara pidana. h. Bahwa prinsip negara hukum meniscayakan hukum sebagai panglima dalam menjalankan pemerintahan dalam suatu negara. Negara hukum merupakan suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia yang merupakan terjemahan dari rechsstaat ataupun rule of law. Kedua istilah tersebut memiliki arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Setidaknya ada 13 prinsip negara hukum yang mana menurut Jimly Assidiqie menjadi ciri negara hukum modern. Diantaranya adalah pengakuan normatif dan empirik pada supremasi hukum dan peradilan bebas dan tidak memihak. Dalam perspektif ini terdapat titik singgung konsep negara hukum dalam menegakkan supremasi hukum. Ini berarti pula bahwa Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Peninjauan Kembali sebagai salah satu instrumen upaya hukum atas putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini sejalan dengan pandangan Yahya Harahap (kekuasaan Mahkamah Agung pemeriksaan kasasi dan Peninjauan Kembali perkara perdata, 445) bahwa Prinsip Peninjauan Kembali untuk menegakkan kepastian hukum (to enforce legal certainty). Maksudnya apabila berdasarkan permohonan oleh salah satu pihak yang berperkara telah dijatuhkan putusan PK oleh Mahkamah Agung, terhadap putusan itu tidak dapat lagi diajukan oleh permohonan PK sekali lagi oleh para pihak yang berperkara. 8

i. Bahwa dalam perspektif hukum acara dapat dikutip Pandangan Adami Chazawi (Lembaga Peninjauan Kembali Perkara Pidana: Penegakan Hukum dalam penyimpangan praktik dan peradilan sesat, 109) menegaskan bahwa PK sebagai suatu upaya hukum luar biasa yang hanya dapat diajukan satu kali dan sifat pengajuannya tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Penempatan Peninjauan Kembali sebagai salah satu upaya hukum dalam sistem hukum acara peradilan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan atas hak asasi manusia (HAM), tanpa mengorbankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) yang merupakan sendi dasar dari suatu negara hukum. j. Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal a quo tidak memberikan kesempatan kepada Pemohon yang mana hak tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknnya potensial menurut penalaran yang wajar dapat di pastikan akan terjadi sebagaimana dalam kasus konkritnya. DPR RI berpandangan bahwa kesempatan kepada Pemohon sudah diberikan melalui upaya hukum banding, kasasi (Putusan Kasasi No. 1164/K/Pdt/2009), dan peninjauan kembali (Putusan Peninjauan Kembali No. 550 PK/PDT/2009) yang mana sudah diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan, sehingga tidak relevan apabila Pemohon mendalilkan tidak adanya kesempatan yang diberikan kepada Pemohon; k. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 28H ayat (2) mengandung prinsip keadilan tidak dapat dibatasi oleh ketentuan apapun. DPR RI berpandangan bahwa ketentuan Pasal 28H ayat (2) bukan bermakna keadilan tidak dapat dibatasi oleh ketentuan apapun, melainkan bermakna kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan bagi setiap orang di Indonesia. Kemudian kesempatan dan manfaat tersebut telah diatur oleh peraturan perundang-undangan; l. Bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonannya (Vide hal 8) merujuk Putusan MK 34/2013 yang membolehkan Peninjauan Kembali lebih dari 1 kali. Terhadap hal ini DPR RI memberikan pandangan bahwa Pemohon telah salah dalam membangun logika hukum yang mempersamakan antara permohonan a quo dengan Putusan MK 34/2013 karena keduanya pada dasarnya menguji hal yang berbeda meskipun rumusan norma yang diujikan secara tersurat sama. Dalam Putusan MK 34/2013 yang diuji adalah pengaturan mengenai Peninjauan Kembali yang khusus terkait dengan perkara pidana, karena itu yang diuji adalah Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Sedangkan dalam permohonan a quo yang dimintakan pengujiannya adalah Peninjauan Kembali yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang ditujukan untuk secara umum baik dalam perkara pidana maupun perdata. 9

m. Bahwa asumsi Pemohon yang mengujikan Pasal 24 ayat (2) UU kekuasaan Kehakiman disamakan untuk seluruh perkara tidak hanya dapat melakukan pengujian permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana tetapi juga perkara perdata maupun perkara lainnya tidak berdasarkan konstruksi hukum yang rasional. Sebab secara teoritis sifat hukum pidana dan hukum perdata berbeda. Dalam buku R. Soeroso (Pengantar Ilmu Hukum, 2013) dijelaskan hukum perdata adalah hukum yang bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum di dalam hubungan antara orang yang satu dengan lainnya yang keduanya sebagai anggota masyarakat dan menjamin adanya kepastian dalam hubungan antara seseorang dengan pemerintah. Berbeda dengan hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur tiap-tiap hubungan diantara negara atau alat-alat negara sebagai pendukung kekuasaan penguasa di satu pihak dengan warga negara pada umumnya di lain pihak, sehingga hukum pidana berisikan keseluruhan peraturan hukum yang menerangkan perbuatan mana yang merupakan kejahatan atau pelanggaran yang akan diberikan ganjaran hukuman oleh negara atas pribadi yang melakukannya sehingga nilai-nilai keadilan harus menjadi prioritas. Dalam perspektif ini perlakuan Pengajuan Peninjauan Kembali perkara pidana dan perkara perdata tidak dapat disamakan. n. Bahwa penekanan tentang kepastian hukum kepada setiap orang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 inilah yang menjadi dasar filosofis pengaturan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo yang tidak memberikan kesempatan pengajuan permohonan Peninjauan kembali terhadap putusan Peninjauan kembali. Bahwa dengan pengajuan peninjauan kembali yang tidak dibatasi, justru dapat menimbulkan kerugian bagi pencari keadilan dalam proses pencarian keadilan karena apabila dibuka peluang untuk pengajuan peninjauan kembali lebih dari satu kali juga mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang yang tidak berakhir yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan. Hal ini tidak sesuai dengan asas litis finiri oportet yakni bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. o. Bahwa konstitusi telah menjamin untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya dari perampasan atau kesewenangwenangan terhadap hak milik pribadinya. Oleh sebab itu dalam rangka melindungi hak milik pribadi setiap warga negara diberikan hak untuk mencari kebenaran formil dan keadilan hukum melalui pengadilan sampai keempat tahap yaitu pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Jika peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari 1 kali khususnya dalam sengketa keperdataan terkait harta benda, justru akan menimbulkan ketidakpastian yang berkepanjangan terhadap kepemilikan sah atas hak milik pribadi yang disengketakan. Dengan demikian DPR RI berpandangan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diujikan dalam 10

perkara a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (2) UUD Tahun 1945; p. Bahwa dalam hukum acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, yakni kebenaran dari apa yang diperoleh berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para pihak. Kebenaran digali dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak (tergugat-penggugat) melalui buktibukti tertulis. Kebenaran dalam acara perdata sangat tergantung dari para pihak secara formal. Sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materil. Hakim tidak tergantung kepada apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun oleh penasihat hukum terdakwa. Hakim bersifat aktif mencari kebenaran yang menurut "fakta" yang sebenarnya, bukan menurut apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum terdakwa. q. Bahwa oleh karena itulah Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara-perkara serupa sebelumnya yang menguji tentang Peninjauan Kembali telah konsisten membedakan antara Peninjauan Kembali dalam perkara perdata yang menitikberatkan terhadap kepastian hukum dengan perkara pidana yang menitikberatkan kepada keadilan hukum. Hal ini terlihat dalam Putusan MK 16/PUU- VIII/2010 dan Putusan MK 66/PUU-XIII/2015 yang menolak menolak permohonan Pemohon. Sedangkan dalam Putusan MK 34/PUU- XI/2013 yang menguji Pasal 263 ayat (3) KUHAP, yang mana Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Berdasarkan pertimbangan Hakim pada Putusan MK No. 34/PUU- XI/2013 itu dijelaskan bahwa untuk mengajukan Peninjauan kembali dimungkinkan lebih dari satu kali selama ada novum (bukti baru). r. Bahwa UU Kekuasaan Kehakiman yang dimohonkan pengujian berlaku untuk semua orang di Indonesia untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. Kalaupun pada kenyataannya terdapat perbedaanperbedaan perlakuan dalam memperoleh persamaan dan keadilan di hadapan hukum, persoalan yang dihadapi Pemohon bukanlah dikarenakan berlakunya UU a quo, tetapi karena penerapan suatu norma dari Pasal a quo yang tidak konsisten dan keliru, sehingga bukan merupakan persoalan konstitusionalitas; s. DPR RI berpandangan bahwa Pemohon telah dijamin dan dilindungi hak konstitusionalitasnya dalam menggunakan hak konstitusionalnya untuk memperoleh keadilan yaitu mulai dari upaya hukum banding, kasasi sampai dengan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, sangat tidak berdasar dalil Pemohon yang menyatakan 11

bahwa Pemohon telah dilanggar hak konstitusionalnya untuk memperoleh keadilan. Dalam hal putusan Mahkamah Agung tidak memenuhi rasa keadilan Pemohon, menurut DPR RI hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. t. Bahwa penentuan upaya hukum peninjauan kembali dibatasi hanya 1 (satu) kali merupakan kebijakan hukum pembentuk Undang- Undang yang bertujuan agar penyelenggaraan peradilan sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman; u. Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, maka ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. Oleh Karena pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada Putusan 16/PUU- VIII/2010 adalah sebagai berikut: Menurut Mahkamah jika ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir yang justru bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia memberikan amar putusan sebagai berikut: 1) Menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 2) Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidaktidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima; 3) Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan; 4) Menyatakan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5) Menyatakan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Demikian keterangan tertulis dari DPR RI kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan. 12

Hormat Kami Tim Kuasa Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia H. Bambang Soesatyo, SE., MBA. (No. Anggota 227) Trimedya Panjaitan, SH., MH. (No. Anggota A-127) Desmon Junaidi Mahesa, SH., MH. (No. Anggota A-376) DR. Benny Kabur Harman, SH., MH. (No. Anggota A-444) Mulfachri Harahap, SH. (No. Anggota A-459) DR. Junimart Girsang, SH., MH. (No. Anggota A-128) DR. H. M. Aziz Syamsuddin, SH., MH. (No. Anggota A-248) Dr. Ir. Sufmi Dasco Ahmad, SH., MH. (No. Anggota A-377) Didik Mukrianto, SH., MH. (No. Anggota A-437) H. Muslim Ayub, SH. H. Abdul Kadir Karding, M.Si. (No. Anggota A-458) (No. Anggota A-55) H. Aboe Bakar Al Habsy H. Arsul Sani, SH., M.Si. (No. Anggota A-119) (No. Anggota A-528) Drs. Taufiqulhadi, M.Si. (No. Anggota A-19) H. Sarifuddin Sudding, SH., MH. (No. Anggota A-559) 13