PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena yang terjadi belakangan ini, masyarakat yang mengkonsumsi daging sapi adalah masyarakat yang mempunyai perekonomian kelas menengah ke atas. Daging sapi merupakan produk pangan yang bergizi tinggi dan sangat bagus untuk pertumbuhan (Astawan, 2004). Namun, harga daging sapi semakin sulit dijangkau oleh masyarakat kelas bawah, karena harganya melambung tinggi (Kementerian Pertanian, 2012). Tingginya harga daging sapi akan menjadi masalah yang akan dialami masyarakat menengah ke bawah karena daya belinya yang rendah, sehingga masyarakat lebih memilih substitusi daging lain yang lebih murah karena pertimbangan pendapatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Zarkazi (2014) yang menyatakan bahwa daya beli masyarakat sangat dekat hubungannya dengan tingkat pendapatan masyarakat. Apabila tingkat pendapatan masyarakat tinggi maka akan berpengaruh pada kemampuan daya beli masyarakat. Secara umum perkembangan harga daging sapi di tingkat konsumen sejak tahun 1983 hingga tahun 2015 cenderung meningkat. Selama periode tahun 1983 sampai 2015 harga daging sapi di tingkat konsumen naik sebesar 13,21% per tahun. Harga daging sapi periode lima tahun terakhir (2011 sampai 2015) cenderung naik dari harga 1
Rp.69.641 menjadi Rp.104.326 dengan kenaikan rata-rata pertahun selama 5 tahun sebesar 9,58%. Kenaikan harga daging sapi dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Kenaikan harga daging sapi di Indonesia Sumber : Suryani, 2015. Dibandingkan dengan harga daging ayam, harga daging sapi cenderung naik dengan pesat. Hal tersebut bisa menyebabkan konsumen lebih memilih daging ayam daripada daging sapi. Keadaan ini menunjukkan bahwa daging ayam broiler diduga menjadi barang substitusi daging sapi (Suryani, 2015). Harga daging sapi cenderung meningkat lebih cepat dibandingkan dengan harga daging ayam broiler. Perkembangan harga daging sapi di Yogyakarta selama 25 tahun sebesar 6,29%/tahun, sedangkan daging ayam broiler adalah 4,83%/tahun. Dampak dari peningkatan harga daging sapi di Indonesia salah satunya adalah tingkat pemenuhan gizi masyarakat kurang. Perbandingan perkembangan harga daging sapi dan ayam broiler dapat dilihat pada Gambar 2. 2
Gambar 2. Harga daging sapi dan ayam broiler tahun 1991 sampai 2015 Sumber: Olahan data sekunder, 2017. Jumlah penduduk di Indonesia sangat tinggi yaitu sebanyak 255.461.700 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Yogyakarta, 2016). Jumlah penduduk yang tinggi tersebut mengakibatkan jumlah daging sapi yang dibutuhkan juga banyak. Akan tetapi sebagian masyarakat mempunyai daya beli yang rendah. Kebutuhan daging sapi ditentukan oleh tingkat konsumsi daging sapi nasional berdasarkan jumlah penduduk dan konsumsi daging sapi per kapita masyarakat (Harmini, et al., 2011). Akan tetapi jika dilihat dari data jumlah konsumsi pada Tabel 1,diketahui bahwa tingkat konsumsi masih sangat rendah. Konsumsi daging sapi yang rendah akan menyebabkan gizi masyarakat menjadi tidak terpenuhi, terutama protein hewani. Daging sapi merupakan pangan sumber protein hewani yang menjadi andalan bidang peternakan, karena mempunyai komposisi kimia yang penting untuk pertumbuhan. Rata-rata komposisi kimia daging sapi yaitu protein bervariasi antara 16-22%, lemak 1,5-13%, senyawa Nitrogen non Protein 1,5%, senyawa anorganik 1%, karbohidrat 0,5%, dan air antara 3
65-80% (Soeparno, 2005). Apabila jumlah konsumsi masyarakat terhadap daging sapi tidak memenuhi batas minimal kebutuhan gizi, maka gizi yang didapatkan masyarakat juga akan cenderung tidak terpenuhi. Data konsumsi daging sapi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Konsumsi daging sapi di Indonesia N0. Tahun Konsumsi daging sapi (kg/kapita/tahun) 1 1995 2,273 2 1996 4,086 3 1997 2,890 4 1998 2,044 5 1999 1,446 6 2000 1,525 7 2001 1,608 8 2002 1,270 9 2003 1,870 10 2004 2,120 11 2005 1,870 12 2006 1,910 13 2007 2,240 14 2008 2,300 15 2009 2,360 16 2010 2,480 17 2011 2,600 18 2012 2,290 19 2013 2,280 20 2014 2,360 Rata-rata 2,080 Sumber : Suryani, 2015. Fenomena lainnya adalah untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri, Indonesia harus mengimpor daging sapi. Widiati (2014) menyatakan bahwa daging sapi impor yang masuk Indonesia harganya lebih murah dibandingkan dengan daging sapi lokal. Keadaan tersebut akan menyebabkan minat daging impor lebih tinggi 4
dibandingkan dengan daging sapi lokal dan akan menyebabkan penurunan harga daging sapi di Indonesia. Apabila jumlah impor daging sapi tidak dibatasi akan menyebabkan penekanan harga sapi lokal, sehingga peternak akan merugi karena pemasukan dan pengeluaran tidak sebanding. Sumaryanto (2009) menyatakan bahwa stabilisasi harga pangan perlu dilakukan untuk mendukung terciptanya stabilitas sosial, politik, dan ekonomi secara nasional. Harga yang stabil akan mempermudah masyarakat dalam pengambilan keputusan terhadap produk dan mempermudah dalam mengatur anggaran keuangan keluarga. Melihat permasalahan mengenai harga daging yang terjadi sekarang, maka perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga daging sapi di Yogyakarta. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Yogyakarta. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai gambaran mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Yogyakarta, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk meminimalisir kenaikan harga daging sapi di Yogyakarta. Disamping itu juga dapat digunakan 5
sebagai masukan kepada pengambil kebijakan dalam penetapan harga daging sapi yang dapat mensejahterakan dan terjangkau bagi konsumen. 6
TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi dan Harga Daging Sapi Awal tahun 2006, harga daging sapi di Yogyakarta berkisar pada Rp. 79.013,- dan pada akhir tahun 2015 harga daging sapi mencapai angka Rp. 108.000,- (Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Yogyakarta, 2016). Data tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan harga daging sapi yang sangat signifikan, yaitu mengalami peningkatan harga mencapai 36,7% dalam kurun waktu 10 tahun. Meskipun harga terus meningkat, namun permintaan akan daging sapi juga terus meningkat. Namun demikian ketersediaan daging sapi masih belum memenuhi tingginya permintaan dari masyarakat. Sejak 1991 pemerintah berusaha mengatasi kekurangan produksi daging dengan cara impor sapi bakalan unggul dari Australia, namun dengan upaya tersebut peternak lokal hanya mampu mencukupi sekitar 65% sampai 70% dari kebutuhan nasional (Widiati, 2014). Rendahnya produksi daging lokal ini menyebabkan kesenjangan permintaan dan penawaran daging sapi di Indonesia, sehingga harga daging sapi naik (Ilham, 2001). Jumlah konsumsi daging sapi di Yogyakarta dari tahun ke tahun mengalami kenaikan rata-rata sebesar 14.304,73 kg/tahun (BPS Provinsi Yogyakarta, 2016). Pada barang normal, peningkatan jumlah konsumsi daging sapi tersebut disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, peningkatan pendapatan, dan cita rasa dari daging sapi yang 7
lezat (Pakpahan, 2012). Daging sapi menjadi pilihan para masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang tinggi dan juga mengandung gizi yang diperlukan untuk mendongkrak kinerja otak, atau untuk kercerdasan otak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi daging sapi, diantaranya adalah faktor penghasilan atau perekonomian masyarakat dan harga dari daging sapi itu sendiri (Anshar et al., 2016). Sebagian besar masyarakat yang mengkonsumsi daging sapi adalah masyarakat yang mempunyai daya beli tinggi. Konsumsi masyarakat akan meningkat pada saat hari-hari besar, seperti saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada waktu menjelang hari raya (lebaran), permintaan daging sapi mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sehingga merangsang naiknya harga ternak dan daging sapi (Ilham, 2001). Menurut Kominfo Jatim (2015) menyatakan bahwa peningkatan permintaan daging sapi di Indonesia mencapai 30% menjelang lebaran. Jumlah permintaan dan penawaran daging sapi akan berpengaruh terhadap harga daging sapi. Kurva permintaan menunjukkan kesediaan konsumen untuk membeli suatu barang pada setiap tingkat harga yang harus mereka bayar. Semakin tinggi harga yang ditawarkan maka jumlah barang yang diminta semakin rendah, dan apabila harga barang yang ditawarkan semakin rendah maka jumlah barang yang diminta semakin meningkat. Kurva penawaran menunjukkan kesediaan produsen untuk menjual barang pada tingkat harga yang ditawarkan. Jika harga suatu 8
barang meningkat maka jumlah barang yang bersedia dijual produsen juga akan meningkat dan jika harga suatu barang menurun maka jumlah barang yang bersedia dijual produsen akan menurun (Kardono dan Nuhfil, 2004). Kurva penawaran menunjukkan jumlah barang yang bersedia dijual oleh para produsen pada harga yang akan diterimanya di pasar, sambil mempertahankan agar setiap faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran tetap, sedangkan kurva permintaan menyatakan berapa banyak konsumen bersedia membeli karena harga per unit berubah (Kardono dan Nuhfil, 2004). Secara teoritis skema kurva penawaran dan permintaan suatu barang digambarkan seperti Gambar 3. Pada awalnya harga suatu barang berada di atas tingkat keseimbangan pasar (P1), maka produsen akan berusaha memproduksi barang dan menjual lebih dari yang bersedia dibeli konsumen. Akibatnya terjadi surplus penawaran yang melebihi jumlah permintaan. Untuk menjual kelebihan penawaran tersebut maka produsen akan mulai menurunkan harga, akhirnya harga turun, jumlah permintaan akan naik dan jumlah penawaran akan turun sampai harga ekuilibrium (P0) tercapai. Sebaliknya jika harga mula-mula berada di bawah tingkat keseimbangan pasar (P2), yaitu jumlah permintaan melebihi jumlah penawaran. Akibatnya konsumen tidak mampu membeli barang pada tingkat harga ini. Hal ini mengakibatkan tekanan ke atas terhadap harga karena konsumen akan bersaing satu 9
sama lain untuk mendapatkan penawaran yang ada, dan produsen merespon dengan menaikkan harga dan menambah jumlah barang, yang akhirnya harga akan mencapai titik P0. Gambar 3. Penentuan harga oleh permintaan dan penawaran Sumber: Wulandari et al., 2013 Harga Daging Sapi Tahun Sebelumnya Harga daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi periode sebelumnya (tahun sebelumnya). Menurut Wulandari et al., (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Sumatera Utara, menjelaskan bahwa jika harga daging sapi pada periode sebelumnya naik, akan menyebabkan kenaikan harga pada tahun berikutnya. Apabila suatu barang mengalami kenaikan, permintaan terhadap barang tersebut akan menurun, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan uraian Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (2013) tentang hukum permintaan, yang menjelaskan bahwa hubungan antara barang yang diminta dengan harga barang tersebut dimana hubungan berbanding terbalik yaitu ketika harga 10
meningkat atau naik maka jumlah barang yang diminta akan menurun dan sebaliknya apabila harga turun jumlah barang meningkat. Pergeseran permintaan akibat faktor harga periode sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 4. P = Harga Q = Jumlah barang Gambar 4. Pergeseran permintaan akibat harga periode sebelumnya Sumber: Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, 2013. Konsumsi dan Harga Daging Ayam Broiler Daging ayam broiler diduga berpengaruh terhadap permintaan dan harga daging sapi, karena daging ayam broiler dan daging sapi merupakan produk sumber protein hewani sehingga daging ayam broiler dianggap sebagai barang substitusi dari daging sapi (Rahardja dan Manurung, 2008). Apabila daging ayam broiler mengalami kenaikan jumlah konsumsi, akan menyebabkan penurunan konsumsi pada daging sapi (Adetama, 2011). Cholillurrahman (2016) menyatakan bahwa pada tahun 2030, konsumsi daging dunia akan meningkat menjadi 45,3 kg per kapita dari 41,3 kg pada tahun 2015. Dari total angka ini, daging unggas 11
diperkirakan mengambil porsi 17,2 kg pada 2030, meningkat dari 13,8 kg pada tahun 2015 ini. Dengan demikian, bagian daging unggas diperkirakan meningkat dari 33% menjadi sekitar 38% (Cholillurrahman, 2016). Adanya prediksi tersebut, peluang untuk usaha peternakan ayam broiler akan sangat terbuka, dan juga hal tersebut diduga akan mempengaruhi harga daging sapi. Sebagian dari negara-negara sedang berkembang, konsumsi unggas diperkirakan akan meningkat hingga 33,3%, dari 10,5 kg menjadi 14 kg per kapita. Harga daging sapi dengan ayam broiler mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan harga daging sapi dengan harga daging ayam broiler tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan harga daging sapi dan daging ayam broiler Harga daging No. Tahun Harga daging sapi (rupiah/kg) ayam broiler (rupiah/kg) Perbedaan (kali lipat) 1 2006 43.932 11.730 3.75 2 2007 46.350 19.200 2.41 3 2008 54.893 20.460 2.68 4 2009 61.551 22.500 2.74 5 2010 62.689 22.000 2.85 6 2011 61.551 23.920 2.57 7 2012 72.962 23.830 3.06 8 2013 84.133 27.330 3.08 9 2014 103.063 27.580 3.74 10 2015 105.504 30.390 3.47 Rata-rata 3,03 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Yogyakarta (2016). Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan konsumsi daging unggas adalah perubahan jumlah penduduk, pertumbuhan pendapatan riil, harga ayam broiler yang relatif lebih murah dibanding daging lain, 12
dan perubahan preferensi diet masyarakat (Cholillurrahman, 2016). Faktor lainnya adalah tentang keyakinan beberapa golongan atau agama yang tidak mengkonsumsi daging sapi karena adat mereka, dan mereka beralih ke daging yang lain. Salah satu daging yang menjadi pilihan mereka adalah daging ayam broiler. Hal tersebut menyebabkan tingkat konsumsi daging ayam broiler bertambah dan konsumsi daging sapi turun (Sanderson, 2011). Cholillurrahman (2016) menambahkan bahwa konsumsi daging unggas dunia pada tahun 2011 rata-rata 14,5 kg per kapita, naik 32% dari 11 kg per kapita pada tahun 2000. Di Asia, peningkatan konsumsi sebesar 3 kg per kapita per tahun, dari 6,6 kg menjadi 9,5 kg. Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat diketahui secara jelas bahwa harga daging sapi dan harga daging ayam sangat jauh perbedaannya yaitu rata-rata sebesar 3,03 kali lipat, sehingga wajar apabila masyarakat dengan perekomonian menengah ke bawah untuk lebih memilih daging ayam broiler sebagai sumber protein tubuh. Daging ayam broiler juga memiliki cita rasa khusus yang menjadikan masyarakat memilih daging ayam broiler untuk dikonsumsi sehari-hari. Harga daging ayam broiler yang murah diduga akan berpengaruh terhadap menurunnya konsumsi dan harga daging sapi. 13
Konsumsi dan Harga Telur Ayam Ras Sumber protein hewani masyarakat dapat dipenuhi dari daging sapi dan daging ayam broiler. Telur ayam ras juga merupakan produk peternakan yang menjadi sumber protein hewani. Oleh karena itu telur ayam ras bisa disebut sebagai barang saingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2011) yang menyatakan bahwa barang dapat saling bersaing apabila mempunyai manfaat yang sama, seperti nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Makna yang terkandung dari persaingan ini adalah suatu barang bisa menjadi bumerang untuk barang lainnya. Apabila harga suatu barang saingan tinggi, akan menyebabkan konsumen memilih ke produk lain yang menjadi saingan barang tersebut. Sehingga dalam kasus ini, apabila harga telur ayam ras naik maka konsumen akan memilih ke produk lainnya, seperti daging ayam broiler atau daging sapi. Nuryati dan Yudha (2012) menjelaskan bahwa pangan pokok merupakan bahan pangan yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat sehingga harga pangan pokok yang stabil merupakan harapan masyarakat. Harga pangan pokok yang bergejolak (berfluktuasi) merupakan kekhawatiran masyarakat karena hal ini akan berdampak pada daya beli masyarakat yang dapat berdampak secara sosial dan politik. Salah satu produk pangan pokok yang mempunyai harga relatif berfluktuasi adalah telur ayam. Seperti daging ayam dan sapi, produk ini 14
merupakan salah satu pangan pokok yang mempunyai kandungan protein cukup tinggi dan harga telur ayam cukup terjangkau oleh semua lapisan masyarakat Oleh sebab itu, stabilisasi harga telur merupakan salah satu agenda kebijakan strategis pemerintah. Berbeda dengan jenis komoditi pangan lainnya, ketersediaan dan kontinuitas telur ayam sangat tergantung pada kualitas ayam petelur. Di samping itu, ketersediaan telur ayam juga sangat tergantung pada kelancaran sistem pemasaran. Kondisi atau letak wilayah sangat mempengaruhi ketersediaan pasokan telur ayam, yang akan berdampak pada variasi harga antar wilayah. Mengingat struktur geografis Indonesia yang berkepulauan, distribusi sering kali menjadi salah satu kendala dalam ketersediaan dan kontinuitas pasokan karena sentra produksi terpusat hanya di wilayahwilayah tertentu seperti Blitar, Medan, dan Makassar. Menurut Muliani (2015) menyatakan bahwa perkembangan populasi ayam ras petelur di Indonesia lima tahun terakhir yaitu periode tahun 2011 sampai dengan 2015 cenderung mengalami peningkatan, rata-rata meningkat sebesar 5,07%. Hal ini disumbang dari pertumbuhan populasi ayam ras petelur di Jawa sebesar 3,00% dan di luar Jawa sebesar 8,15%. Populasi ayam ras petelur di tahun 2005 sebesar 84,79 juta ekor dan terus mengalami kenaikan hingga 151,42 juta ekor di tahun 2015. Pada tahun 2005 terjadi penurunan 9,23%, hal ini karena terjadi penurunan yang cukup besar di luar Jawa sebesar 20,39%, sementara di Jawa hanya turun 0,16. Pada tahun 2011 terjadi kenaikan populasi yang 15
cukup besar di Jawa sebesar 28,49% dan di luar Jawa hanya naik sebesar 5,63%. Informasi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Perkembangan Populasi Ayam Ras Petelur Berdasarkan Wilayah di Indonesia, Tahun 1980 2015 Sumber : Widaningsih, 2015. Produksi Daging Sapi dan Populasi Ternak Sapi Pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dari tahun ke tahun dan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, menyebabkan peningkatan jumlah kebutuhan atau konsumsi protein hewani seperti daging, telur dan susu. Permintaan daging sapi yang semakin besar tersebut ternyata tidak bisa diimbangi oleh ketersediaan produksi daging sapi lokal, sehingga tidak terjadi keseimbangan pasar. Kondisi ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan membuka impor baik dalam bentuk bakalan maupun daging sapi guna mengimbangi tingkat kebutuhan akan protein hewani yang semakin meningkat di Indonesia. Namun ternyata hasilnya tidak seperti harapan dimana kebutuhan daging nasional lebih banyak dicukupi oleh impor, tanpa dibarengi dengan peningkatan produksi ternak lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak 16
mampu memberdayakan lebih dalam terhadap usaha peternakan sapi lokal dan pada akhirnya semakin tergantung pada impor daging maupun bakalan sapi untuk memenuhi permintaan akan protein hewani nasional (Marhendra et al., 2014). Pemerintah mencanangkan tahun 2010 akan tercapai swasembada daging sapi, akan tetapi belum tercapai (Putra, 2012). Widiati (2014) menambahkan bahwa rendahnya produksi daging sapi lokal dikarenakan jumlah ternak dan produksi ternak. Jumlah ternak yang dipelihara oleh peternak Indonesia sangat sedikit, karena sistem pemeliharaan ternak di Indonesia masih tradisional (2 sampai 3 ekor) dan pemeliharaan ternak sapi hanya sebagai sampingan, serta hanya sebagian kecil sekali yang masuk dalam kategori peternakan berbasis industri. Produksi ternak sapi rendah karena manajemen pakan, kesehatan, dan perawatan tidak memenuhi standar (Sudarmono dan Bambang, 2008). Produksi daging sapi lokal hanya mampu memenuhi 70% dari kebutuhan daging sapi di Indonesia. Hal tersebut akan menyebabkan permintaan daging sapi lokal menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan penawaran, maka hal tersebut akan menjadikan suatu ketidakseimbangan (permintaan>penawaran) yang akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga (Muis, 2008). Menurut Gunawan (2013), kualitas produksi daging lokal lebih rendah dibandingkan dengan daging impor dalam berbagai aspek, hal tersebut menyebabkan minat 17
konsumen menurun terhadap daging sapi lokal. Perlu adanya pembatasan jumlah impor untuk meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia. Jumlah produksi daging sapi di Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah produksi daging sapi di Yogyakarta No. Tahun Produksi (kg) Kenaikan atau penurunan (%) 1 2006 6.034.472-2 2007 4.923.703-18,41 3 2008 4.627.674-6,01 4 2009 5.383.634 16,34 5 2010 5.690.252 5,69 6 2011 7.687.236 35,09 7 2012 8.895.672 15,72 8 2013 8.636.715-2,91 9 2014 8.611.463-0,29 10 2015 7.695.767-10,63 Rata-rata 3,84 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Yogyakarta (2016). Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa produksi daging sapi di Yogyakarta selama 10 tahun terakhir mengalami kenaikan sebesar 3,84% per tahun. Uraian di atas telah dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pasokan daging sapi penduduk Indonesia, pemerintah melakukan kebijakan untuk impor. Perkembangan volume dan nilai ekspor serta impor daging sapi di Indonesia pada periode tahun 1996 sampai tahun 2015 cukup berfluktuasi, namun cenderung meningkat tertera pada Gambar 6. 18
Gambar 6. Grafik Volume Ekspor dan Impor Daging Sapi di Indonesia Sumber: Suryani, 2015. Selama periode 20 tahun (1996 sampai 2015) Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan yang tinggi, yaitu sebesar 15.769 ton atau setara dengan nilai US$ 32,43 juta naik menjadi 82.300 ton pada tahun 2015 atau setara dengan nilai US$ 230,286 juta. Bidang peternakan juga mengalami defisit neraca perdagangan daging sapi karena ketersediaan daging sapi di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan daging sapi. Impor daging sapi juga dikurangi, dan produksi daging dalam negeri kurang menyebabkan harga daging sapi tinggi (Suryani, 2015). Kebijakan pemerintah untuk impor daging sapi tersebut memberikan dampak yang buruk bagi peternak lokal, karena daging sapi lokal kalah bersaing dengan daging sapi impor. dalam rangka penyelamatan peternak lokal, dibentuk Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014, pemerintah membuat kebijakan untuk membatasi kuota impor baik bakalan maupun daging sapi untuk meningktakan sumber daya sapi lokal yang selama ini tidak mampu 19
bersaing, yaitu dengan menetapkan volume impor sebesar 500.000 ekor/tahun sejak 2011 hingga semakin menurun menjadi 80.000 ekor untuk periode tahun 2013 (Kementerian Pertanian, 2012). Penetapan kebijakan pembatasan kuota impor sapi memang menjadi peluang bagi kelangsungan peternak sapi lokal. Akan tetapi pembatasan jumlah impor tersebut akan berdampak pada perusahaan yang berorientasi pada daging sapi impor, jumlah produksi lokal yang tidak bisa memenuhi permintaan daging sapi akan menyebabkan harga naik karena stok daging sapi impor yang sebelumnya membanjiri pasar menjadi sulit untuk di dapat (Marhendra, 2014). Jumlah Penduduk Jumlah penduduk menjadi salah satu faktor yang diduga mempengaruhi harga daging sapi. Penduduk atau masyarakat adalah obyek yang menjadi sasaran dari jual beli daging sapi (konsumen). Semakin tinggi jumlah penduduk (konsumen), semakin tinggi pula permintaan akan daging sapi. Jumlah permintaan daging sapi yang meningkat diduga akan menyebabkan harga daging sapi menjadi naik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sitanggang (2014) tentang faktorfaktor yang mempengaruhi konsumsi adalah peningkatan jumlah penduduk. Semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi pula jumlah konsumsinya sehingga akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap pangan. 20
Kondisi suatu daerah mengalami peningkatan jumlah penduduk, maka jumlah kebutuhan gizi akan meningkat. Daging sapi yang merupakan produk makanan yang mempunyai sumber gizi tinggi akan meningkat pula konsumsinya. hal ini sesuai dengan pendapat Malthus (2007) dalam teorinya yang berjudul Essay on The Principle of Population, mengatakan bahwa pertambahan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertambahan produksi pangan mengikuti deret hitung. Jadi semakin meningkat pertumbuhan penduduk, semakin tinggi pula kebutuhan pangan dan gizi. Dengan demikian jumlah penduduk yang semakin tinggi akan meningkatkan jumlah kebutuhan gizi, dan akan menyebabkan peningkatan pula pada konsumsi daging sapi yang merupakan sumber pangan yang bergizi tinggi. 21