Workshop. Ari Wibowo Setiasih Irawanti Zahrul Muttaqin Subarudi Fitri Nurfatriani Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas Sulistyo A.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Workshop. Ari Wibowo Setiasih Irawanti Zahrul Muttaqin Subarudi Fitri Nurfatriani Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas Sulistyo A."

Transkripsi

1 Workshop Ari Wibowo Setiasih Irawanti Zahrul Muttaqin Subarudi Fitri Nurfatriani Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas Sulistyo A. Siran Jakarta, November 2012

2

3 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Ari Wibowo Setiasih Irawanti Zahrul Muttaqin Subarudi Fitri Nurfatriani Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas Sulistyo A. Siran Jakarta, November 2012 Jakarta, Oktober 2011

4 Prosiding Workshop Kerjasama Internasional Oleh: Ari Wibowo, Setiasih Irawanti, Zahrul Muttaqin, Subarudi, Fitri Nurfatriani, Niken Sakuntaladewi, Novi Widyaningtyas dan Sulistyo A. Siran Editor: Sulistyo A. Siran Bayu Subekti 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan ISBN: Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut: Ari Wibowo, Setiasih Irawanti, Zahrul Muttaqin, Subarudi, Fitri Nurfatriani, Niken Sakuntaladewi, Novi Widyaningtyas dan Sulistyo A. Siran Prosiding Workshop Kerjasama Internasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor, Indonesia. Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Indonesia Telp/Fax: / website: ii

5 Kata Pengantar Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena atas berkat dan karunia-nya kami dapat menyelesaikan penyusunan prosiding Workshop Kerjasama Internasional ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, bagi lembaga litbang seperti Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak), kegiatan kerjasama litbang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari strategi untuk memperluas jejaring kerja dan meningkatkan kualitas kegiatan litbang. Tanpa kerjasama dengan institusi lain, lembaga litbang akan teralienasi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat. Dilandasi oleh hal tersebut, Puspijak melaksanakan kegiatan workshop Kerjasama Internasional pada tanggal 5 November 2012 di IPB-International Convention Centre. Workshop bertujuan untuk memperoleh masukan berupa saran dan kritik membangun dalam rangka meningkatkan kualitas litbang hasil kerjasama dan mengoptimalkan pemanfaatannya oleh masyarakat pengguna. Prosiding yang ada di hadapan saudara merekam kegiatan yang dillaksanakan oleh proyek kerjasama internasional sepanjang tahun 2012 dimana Puspijak menjadi executing agencynya. Akhirul kalam semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dalam memajukan kegiatan litbang utamanya aktivitas litbang perubahan iklim dan kebijakan di indonesia. Bogor, November 2012 Kepala Pusat, Dr. Kirsfianti L. Ginoga, MSc. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional iii

6

7 Daftar Isi Kata Pengantar...iii Daftar Isi... v Sambutan Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan...vii 1. Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur ITTO PD 519/08 rev (1) Ari Wibowo Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia Project Overview: ACIAR- FST/2008/030 Setiasih Irawanti Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052 Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia Sulistyo A. Siran...61 Notulensi Daftar Hadir Prosiding Workshop Kerjasama Internasional v

8

9 SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN PADA WORKSHOP KERJASAMA INTERNASIONAL BOGOR, 5 NOVEMBER 2012 Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh, Selamat Pagi, Salam sejahtera bagi kita sekalian Yth. Kepala Puslitbang Lingkup Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili, Yth. Saudara-saudara peneliti, penyuluh kehutanan, widyaiswara, perwakilan dari perguruan tinggi, sahabat-sahabat dari lembaga swadaya masyarakat dan hadirin sekalian Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena hanya atas perkenan-nya sajalah kita dapat hadir dan berkumpul pada kesempatan yang berbahagia ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, penelitian dan pengembangan adalah bagian penting dari sebuah organisasi, baik organisasi public maupun komersial. Banyak organisasi bisnis maupun publik mengalami quantum leap karena menempatkan litbang pada posisi yang strategis. Misalnya perusahaan-perusahaan IT seperti Apple dan Microsoft serta Korea Selatan, sebuah negara yang bergerak cepat dari negara berpendapat rendah pada dekade 60-an menjadi negara industri maju di era 2000-an karena menempatkan litbang sebagai bagian utuh dari strategi pembangunan nasionalnya. Bapak/Ibu peserta workshop Kerjasama Internasional yang saya hormati... Kementerian Kehutanan sebagai salah satu pemangku kepentingan pengelolaan dan pembangunan kehutanan menyadari sepenuhnya bahwa penelitian dan pengembangan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi pembangunan kehutanan nasional. Kerjasama dengan institusi kelitbangan lain, tidak hanya memberikan dukungan pendanaan, namun lebih dari itu Puspijak juga memperoleh manfaat berupa terbangunnya jejaring kerja/networking dan akses terhadap berbagai isu dan aktifitas litbang kehutanan terkini yang mungkin masih merupakan suatu ilmu Prosiding Workshop Kerjasama Internasional vii

10 atau teknologi yang baru di tingkatan nasional dan internasional yang dapat di share dan di learning by doing, selain exchange of knowledge and skills antar peneliti. Bapak/Ibu peserta hadirin sekalian yang berbahagia... Strategi Puspijak dalam pengembangan kerjasama adalah menjalin kemitraan dengan institusi kelitbangan terkemuka yang bergerak dalam bidang perubahan iklim dan kebijakan dalam rangka membangun jejaring kerja seluas mungkin. Sampai dengan saat ini, sebagai executing agency, Puspijak mengelola empat kegiatan kerjasama yang masih berjalan / on going, yaitu : 1. Tropical Forest Conservation For Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation And Enhancing Carbon Stock In Meru Betiri National Park, Indonesia bekerjasama dengan ITTO, 7&1, Telapak, dan TN Meru Betiri 2. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR bekerjasama dengan ACIAR, Australia National University, dan CIFOR 3. Overcoming Constrains to Community Based Commercial Forestry in Indonesia- ACIAR bekerjasama dengan dengan ACIAR, UGM dan BPK Makassar. 4. REDD+ Readiness Preparation TF ID (FCPF/World Bank) bekerjasama dengan World-Bank, Pustanling Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional. Satu kegiatan lagi yaitu, Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan- ITTO/Marubeni kerjasama dengan ITTO baru saja selesai dan akan diperpanjang dengan fase III yang berdasarkan MoU akan berlangsung dari September 2012 sampai dengan Maret Satu kegiatan lagi yang baru saja bergabung dengan Puspijak adalah kerjasama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) yang akan berlangsung sampai dengan tahun Saudara-saudara, hadirin yang kami hormati... Kelima kegiatan kerjasama yang sedang berjalan maupun yang baru saja selesai telah banyak memberikan kontribusi dalam kegiatan litbang perubahan iklim dan kebijakan. Dari kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut telah dilaksanakan beberapa lokakarya, pelatihan dan seminar yang merupakan turunan dari upaya transfer dan exchange of knowledge and technology dan penguatan kapasitas sebagai bagian dari tujuan diadakannya kerjasama tersebut. Namun lebih dari itu semua, Puspijak memandang perlu untuk dilakukan diseminasi atau penyebarluasan lebih lanjut terhadap berbagai kemajuan/progres yang telah dicapai oleh kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut. Kegiatan diseminasi ini viii

11 penting karena selain untuk menyebarluaskan hasil litbang dari kegiatan kerjasama ini juga untuk memperoleh umpan balik untuk perbaikan ke depan. Masukan ini diharapkan akan lebih mempertajam hasil-hasil litbang dari kegiatan kerjasama sesuai dengan kebutuhan pengguna. Bapak/Ibu peserta hadiri sekalian yang berbahagia... Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu/ Saudara untuk bersama-sama berdiskusi dan berbagi pengetahuan dalam workshop kerjasama ini. Saran masukan dan kritik untuk perbaikan dari hadirin sekalian sangat kami harapkan. Semoga kegiatan hari ini dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan mulia dari kegiatan dari kegiatan ini dapat tercapai dan kita rasakan hasilnya di masa yang akan datang. Wassalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Kepala PUSPIJAK, Dr. Kirsfianti Ginoga, MSc. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional ix

12

13 Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur ITTO PD 519/08 rev (1) Ari Wibowo

14

15 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Sektor Kehutanan adalah salah satu sektor penting yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Di tingkat global, laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi sektor perubahan penutupan lahan dan kehutanan (LULUCF) sebesar 18%, sedangkan di Indonesia, sektor LULUCF adalah yang terbesar yaitu 48% dari total emisi nasional (KLH, 2009). Untuk itu Indonesia mencanangkan target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020, dengan kontribusi sektor kehutanan ditetapkan sebesar 14%. Upaya penurunan emisi sektor kehutanan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada prinsipnya adalah pengurangan emisi dengan menjaga dan mempertahankan stok karbon yang ada serta meningkatkan serapan melalui berbagai program pembangunan hutan tanaman. Salah satu mekanisme pengurangan emisi yang sedang dikembangkan adalah mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus). REDD+ adalah istilah yang mengacu pada Bali Action Plan yaitu 'pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang; dan peran konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang. Mekanisme ini diharapkan dapat diimplementasikan penuh sesudah berakhirnya periode Kyoto Protocol. Agar hasil penurunan emisi mekanime REDD+ dapat diperjual belikan melalui mekanisme pasar, monitoring penurunan emisi haruslah dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi kaidah internasional, dan bersifat MRV (Measurable, Reportable dan Verifiable). Indonesia adalah salah satu negara dengan hutan tropis terbesar. Salah satu kontribusi terhadap isu global adalah melalui perannya dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan meningkatkan persediaan karbon hutan melalui konservasi hutan yang mekanismenya ditingkat global sedang dibangun melalui kegiatan REDD+. Hal ini didukung oleh luasnya hutan konservasi di Indonesia yang mencapai 26,8 juta ha, terdiri dari Taman Nasional, Cagar Alam, dan Hutan Rekreasi. Sebagian besar hutan konservasi termasuk Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang terletak di bagian selatan Jawa Timur mendapat ancaman potensial dari deforestasi dan degradasi hutan. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 3

16 Meskipun tidak terjadi deforestasi yang terencana, pembalakan liar dan perambahan adalah ancaman bagi kelestarian kawasan konservasi. Mekanisme REDD+ untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan akan memiliki banyak manfaat. Disamping mempertahankan stok karbon yang mencegah terjadinya emisi, dampak positif lainnya adalah terhadap kelestarian keanekaragaman hayati dan menunjang pembangunan berkelanjutan melalui peran serta masyarakat. 1.2 Tujuan Kegiatan Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk memberikan kontribusi dalamn pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan meningkatkan cadangan karbon hutan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan MBNP. Tujuan khusus adalah: (1) untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar areal TNMB melalui partisipasi dalam menghindari deforestasi, degradasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, dan (2) untuk mengembangkan pengukuran yang kredibel, dapat dilaporkan, dan sistem diverifikasi untuk memantau pengurangan emisi dari deforestasi dan deg radasi hutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di TNMB. 2. Kondisi Umum Taman Nasional Meru Betiri 2.1 Lokasi DA REDD+ Lokasi kegiatan percontohan REDD+ adalah Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang terletak di bagian selatan Jawa Timur. TNMB meliputi dua wilayah kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi. Luas total Taman Nasional adalah ± ha yang terdiri dari berbagai tipe vegetasi dari pegunungan sampai ke daerah pesisir. TNMB kaya keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang memberikan dampak positif dan negatif terhadap kelestarian hutan. 4 Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)

17 Gambar 1. Lokasi TNMB di Jawa Timur 2.2 Luas dan Zona di TNMB TNMB memiliki luas ha dan terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur dan berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan aksesibilitas relatif tinggi. Kondisi topografi sangat bervariasi mulai dari daerah perbukitan, dataran rendah, pantai dan mangrove yang menghadap ke Samudera Hindia. Kawasan Taman Nasional merupakan ekosistem hutan hujan tropis dengan keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi (lebih dari 500 jenis vegetasi telah diidentifikasi), seperti tanaman obat, tanaman hias, bambu serta berbagai hewan kecil dan yang relatif besar. Dalam hal fungsi, TNMB dibagi menjadi 5 zona, yaitu zona inti, zona hutan utuh, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona penyangga. Setiap zona dikelola secara khusus berdasarkan fungsi spesifik. Zona inti dengan luas wilayah 27,900 ha merupakan kawasan lindung dan hanya diperbolehkan untuk penelitian dan pendidikan. Zona hutan dengan total luas 22,622 ha diperbolehkan untuk penelitian dan pendidikan, pemanfaatan terbatas untuk ekowisata. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 5

18 Zona Pemanfaatan dengan luas total 1,285 ha selain untuk penelitian dan pendidikan, juga untuk pemanfaatan berkelanjutan pada dataran tinggi dan pesisir yaitu untuk ekowisata. Zona rehabilitasi dengan luas wilayah 4,023 ha adalah zona di mana rehabilitasi hutan dan lahan (agro-kehutanan budidaya) melibatkan masyarakat lokal sedang berlangsung untuk memperkuat dan melindungi zona lain. Kegiatan rehabilitasi dilakukan di daerah ini untuk memulihkan tutupan hutan dari pembalakan ilegal, konversi dan budidaya sejak awal 1990-an. Rehabilitasi dilakukan berdasarkan prinsip saling menguntungkan antara TNMB dan masyarakat dengan mengembangkan sistem agroforestry. 2.3 Aspek lingkungan Tipe hutan di Taman Nasional Meru Betiri adalah hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. TNMB merupakan habitat alami dari bunga Rafflesia (Rafflesia zollingeriana), dan berbagai vegetasi lainnya seperti bakau (Rhizophora sp.), Api-api (Avicennia sp.), waru (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (Calophyllum inophyllum), Rengas (Gluta renghas), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Pulai (Alstonia scholaris), Bendo (Artocarpus elasticus), serta berbagai jenis tanaman obat. TNMB juga merupakan rumah bagi beberapa satwa yang dilindungi, termasuk 29 jenis mamalia dan 180 jenis burung. TNMB dikenal sebagai habitat terakhir Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang sekarang menjadi sangat terancam punah dan merupakan jenis yang dilindungi. Jejak harimau ini tidak ditemukan lagi selama bertahun-tahun sehingga dikhawatirkan telah punah. TNMB juga memiliki karakteristik lainnya yaitu penyu. Pantai Sukamade merupakan habitat dari berbagai jenis penyu seperti penyu belimbing, penyu sisik, dan penyu hijau. Fasilitas penangkaran sederhana telah dibangun di pantai ini untuk memastikan bahwa penyu tersebut tidak menjadi punah 2.4 Aspek Sosial Ekonomi TNMB berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan jumlah desa yang langsung berbatasan dengan kawasan Taman desa dan jumlah penduduk 23,800. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di desa-desa ini adalah petani subsisten dan buruh dalam kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Rata-rata pendapatan masyarakat sangat rendah, sekitar UD $ 150 per tahun. Untuk mendukung kehidupan sehari-hari, sebagian besar anggota masyarakat mencari sumber pendapatan alternatif, dan sering melakukan penebangan di kawasan Taman Nasional, baik untuk 6 Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)

19 kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Beberapa anggota masyarakat juga bekerja di TNMB untuk kegiatan rehabilitasi sebagai sumber pendapatan tambahan. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya ketergantungan masyarakat pada sumber daya yang disediakan dari TNMB. TNMB sebagaimana kawasan hutan lainnya, juga menghadapi ancaman serius yang menyebabkan degradasi dan mengurangi nilai dari fungsi ekosistem termasuk perannya dalam penyerapan karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Penyebab utama ancaman (terutama degradasi hutan) adalah penebangan liar dan perambahan. Penebangan liar kayu dan non-kayu hasil hutan dari taman nasional sebagian besar karena masih lemahnya upaya penegakan hukum, kurangnya kesadaran masyarakat tentang fungsi hutan dan tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kemiskinan dan kurangnya sumber pendapatan. Situasi ini, secara langsung atau tidak langsung, memberikan kontribusi terhadap potensi degradasi dari kawasan Taman Nasional. 3. Pelaksanaan DA REDD+ di TNMB Kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Merubetiri secara resmi telah di launching oleh Menteri Kehutanan pada bulan Januari tahun Saat ini kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri sedang dalam proses register oleh Direktorat Jenderal PHKA bersama-sama dengan DA di Taman Nasional lainnya, yaitu TN Sebangau, Tesso Nilo dan Berbak. DA REDD+ di TNMB merupakan salah satu dari DA REDD di Indonesia yang mewakili kawasan konservasi. Kegiatan ini sangat mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah perubahan iklim melalui target penurunan emisi 26 % tahun 2020, sebagai kontribusi upaya mitigasi dari sektor kehutanan Jangka waktu implementasi kegiatan 4 tahun ( ) dengan Executing Agency Badan Litbang Kehutanan melalui Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri dan LATIN. Kegiatan percontohan REDD+ di TNMB dibiayai oleh ITTO (PD 519/08 Rev 1 (F), dengan kontribusi dari Perusahaan Jepang, Seven and i Holdings Company. Nilai kegiatan (hibah) adalah sebesar US$ Kegiatan dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu terkait dengan upaya peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, dan kegiatan yang mendukung tercapainya peningkatan kapasitas dalam persediaan sumber daya dasar dan akuntansi karbon dalam terukur, dilaporkan dan dapat diverifikasi (MRV). Jenis dan tata waktu kegiatan adalah sebagai berikut: Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 7

20 Tabel 1. Kegiatan DA REDD+ di TNMB dan tata waktu Kegiatan Utama/Kegiatan Tata Waktu Upaya peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat 1. Mengkaji skema yang ada dan pembelajaran dari daerah sekitar Melakukan konsultasi parapihak untuk mengidentifikasi skema yang paling 2010 layak untuk TNMB 3. Menetapkan kemitraan untuk konservasi Taman Nasional Meru Betiri Meningkatkan kegiatan ekonomi potensial melalui program kemitraan 2011 komunitas hutan 5. Mempromosikan pengembangan dan domestikasi jenis berharga dari TNMB Melaksanakan program peningkatan kesadaran masyarakat Melakukan pelatihan perlindungan hutan untuk tokoh masyarakat, polisi dan 2010 staf pemerintah lokal lainnya di TNMB 8. Meningkatkan kelembagaan di tingkat masyarakat untuk mengurangi penebangan liar dan memberdayakan mereka 9. Scaling up pembelajaran DA REDD Perencanaan program penanaman di zona rehabilitasi oleh masyarakat 2012 Kegiatan yang mendukung tercapainya peningkatan kapasitas dalam inventarisasi sumber daya dan akuntansi karbon yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (MRV) 1. Mengkaji metodologi yang tersedia untuk penghitungan karbon menurut IPCC, VCS dan standar lainnya 2. Mengembangkan prosedur operasi standar (SOP) untuk pengukuran bidang 2011 karbon dan keanekaragaman hayati 3. Menyiapkan petunjuk teknis penyelenggraan DA REDD+ untuk kawasan 2012 konservasi 4. Menentukan batas proyek untuk memfasilitasi pengukuran dan pemantauan 2010 cadangan karbon 5. Menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan tentang inventarisasi berbasis 2011 sumber daya bagi para pemangku kepentingan terkait 6. Menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan tentang penghitungan karbon 2010 bagi para pemangku kepentingan terkait 7. Melakukan analisis penginderaan jauh untuk menentukan perubahan penutup dalam taman nasional 8. Menetapkan baseline proyek untuk menganalisis penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan dan perubahan karbon terkait saham 9. Pelaksanaan pembuatan Dokumen Desain Proyek (PDD) sesuai dengan 2012 standar karbon sukarela (VCS) 10. Rencana validasi/verifikasi 2013 Selama pelaksanaan REDD DA, kegiatan sosialisasi telah dilaksanakan. Jaringan telah dikembangkan melalui: 1. Website: Http :/ / ceserf-itto.puslitsosekhut.web.id 2. Mailing list: redd_forda_itto@yahoogroups.com 3. Video : redd+.mpg 4. Berbagai publikasi telah dihasilkan, yaitu: Brief Info (Bulanan), Laporan foto, Laporan Teknis, Laporan Tahunan, Policy Brief 5. Leaflet, poster, pamflet, selebaran, dll 8 Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)

21 Kegiatan DA REDD + di TNMB telah memberikan pembelajaran dan disebarluaskan melalui berbagai pertemuan, lokakarya, seminar dan acara lainnya. Kegiatan ini juga menarik minat tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari negara lain untuk melihat TNMB dan implementasi REDD, termasuk kunjungan dari Korea University, Delegasi Thailand, kunjungan Deperindag Jepang Kehutanan, dan Tim dari University Washington, Amerika Serikat dan Universitas Indonesia. Untuk Rancangan Metodologi, sampai dengan tahun 2012, sedang disiapkan Project Design Document (PDD) yang mengacu kepada Verified Carbon Standard (VCS), dengan mengaplikasikan metodologi yang tersedia menurut VCS yaitu VM0015 for Avoided Unplanned Deforestation 4. Pembelajaran DA REDD+ di TNMB merupakan kegiatan percontohan sebagai pembelajaran terhadap mekanisme REDD sebelum diimplementasikan secara penuh. Kegiatan ini mendukung peningkatan pengelolaan kawasan konservasi yang lestari. Pengelolaan yang meningkat akan ditandai dengan perbaikan fungsi ekosistem hutan, perbaikan partisipasi masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan REDD di TNMB dalam rangka perbaikan penerapan REDD+ diantaranya, adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat di sekitar TNMB merupakan parapihak yang penting dalam pelaksanaan program REDD+. Mereka telah menunjukkan keinginan dan partisipasi yang baik dalam menjalankan program REDD+. Untuk itu, masyarakat memerlukan kepastian jangka panjang dalam menjalankan kegiatannya terutama di zona rehabilitasi TNMN. Nota kesepahaman yang telah disepakati menjadi awal dari berlangsungnya kerjasama yang baik antara masyarakat dan TNMB demi keuntungan kedua belah pihak. 2. Meskipun mekanisme wajib melalui perundingan COP belum memberikan hasil yang nyata dalam mekanisme REDD+, mekanisme sukarela seperti VCS, CCBA dan Plan Vivo telah berkembang yang dapat menjadi kesempatan bagi program REDD+ di Indonesia. Selain itu mekanisme fund based seperti Carbon Offset Mechanism dapat menjadi alternatif insentif untuk kawasan konservasi. Saat ini kegiatan DA REDD+ di TNMB sedang menyiapkan PDD (Project Desugn Document) yang mengacu kepada Verified Carbon Standard (VCS) Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 9

22 3. Program REDD+ di TNMB telah memberikan pembelajaran dan informasi tentang potensi karbon di kawasan konservasi dan mengembangkan sistem perhitungan karbon dan emisi yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (MRV). Hutan pada kawasan konservasi di TNMB relatif pada kondisi yang baik, tinggi tingkat kadungan karbon dan memiliki nilai biodiversitas penting 4. Mekanisme REDD+ yang sedang dikembangkan sepertinya lebih memberikan keuntungan pada wilayah dengan tingkat sejarah deforestasi atau emisi yang tinggi, sehingga merupakan tantangan dan proses pembelajaran untuk REDD+ di wilayah konservasi dengan tingkat deforestasi rendah dan nilai konservasi (biodiversitas) tinggi. Mekanisme insentif dan penghargaan seharusnya diupayakan untuk wilayah yang telah mengupayakan konservasi dengan baik. 5. Dengan adanya kegiatan DA REDD+ telah terjalin kolaborasi antar stakeholders (Kemenhut, BTNMB, Pemda, NGO, Perguruan Tinggi, Swasta dll) Tantangan yang dihadapi dalam implementasi kegiatan DA REDD+ diantaranya adalah: 1. Kegiatan REDD+ di TNMB ini terutama berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan dalam pengelolaan MBNP untuk mendukung tujuan konservasi. Potensi risiko yang mungkin muncul adalah dari konflik kepentingan antara masyarakat lokal dan pengelolaan TNMB, terutama dalam pemanfaatan lahan di TNMB. Konflik kepentingan ini dapat mengakibatkan berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. 2. Risiko potensial lain adalah berhubungan dengan pengembangan sistem yang kredibel untuk memonitor pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan untuk meningkatkan cadangan karbon hutan. Dalam rangka pengembangan sistem yang kredibel berbagai metodologi tersedia untuk perhitungan dan pemantauan cadangan karbon, seperti yang dikembangkan oleh Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC). Selain itu beberapa standard sukarela juga tersedia misalnya Verified Carbon Standard (VCS) dan Climate and Community Biodiversity Alliance (CCBA). Berbagai standard ini masih mengutamakan penurunan emisi sebagai target utama, sedangkan peran konservasi (biodiversity) dan masyarakat masih merupakan manfaat tambahan (co-benefits). Rendahnya sejarah emisi akan mengurangi nilai tambah (additionallity) dari kegiatan ini, dan sulit untuk mendapatkan insentif dari pasar sukarela. 3. Kegiatan berakhir 2013, diperlukan keberlanjutan pasca ITTO, apakah selesai sebagai DA pembelajaran atau terus dilaksanakan sebagai result based DA. 10 Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)

23 4. Scaling Up Registrasi dan upaya Dijen PHKA dengan menyiapkan Draft PerdirjenBersamasama dengan TN Sebangau, Tesso Nilo, dan Berbak 5. Penutup 1. DA REDD+ di TNMB merupakan DA yang mewakili kawasan konservasi yang dilaksanakan oleh multistakeholder dan kontribusi dari internasional (ITTO dan Seven and i) terhadap kelestarian hutan tropis 2. Tantangan dan proses belajar untuk REDD+ di kawasan konservasi dengan tingkat deforestasi rendah dan kaya akan nilai konservasi. Hutan di TNMB umumnya masih dalam kondisi baik, kaya biodiversitas dan stok karbon. 3. Masyarakat adalah komponen penting dalam REDD+. Kesuksesan tergantung juga pada partisipasi dan kesadaran masyarakat. REDD+ harus memberikan manfaat jangka pendek dan jangka panjang. Masyarakat memerlukan kepastian hukum jangka panjang untuk kegiatan yang berhubungan dengan TNMB. 4. Kegiatan DA telah menghasilkan informasi stok karbon di TNMB sebagai kawasan konservasi, sistem MRV untuk memonitor stok karbon dan biodiversitas serta keterlibatan masyarakat sebagai masukan untuk sistem nasional dan program REDD lainnya. 5. DA REDD+ telah mengikuti prosedur VCS dengan menyiapkan PDD. Untuk itu perlu didukung dengan keberlanjutan kegiatan setelah berakhirnya kegiatan ITTO pada tahun Daftar Publikasi Project ITTO PD 519/08 Rev (1) F 1. Review existing scemes and lesson learned from surrounding areas 2. Stakeholder consultation to determine the most viable scheme of community and other stakeholders to be applied at MBNP 3. Determination of project boundary to facilitate measuring and monitoring of carbon stocks 4. Review existing methodology of resourcebased inventory for measuring reporting and verivying (MRV) carbon accounting for reducing emission from deforestation and forest degradation and enhancing carbon stock in Meru Betiri National Park (MBNP), Indonesia 5. Standard Operating Procedures (SOPs) for Field Measurement Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 11

24 6. Mengembangkan konservasi berdasarkan Industri dari Zona rehabilitasi di Taman nasional Meru Betiri 7. The Completion of GIS Analysis Activity in Meru Betiri National Park 8. aporan Pelatihan Pelibatan Masyarakat dalam Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi perubahan cadangan karbon di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) 9. landcover change analysis using remote sensing and GIS 10. Progress Of Demonstration Activity Of REDD+ In Meru Betiri Nasional Park, Indonesia Up To Developing Partnership for Conservation at Meru Betiri National Park 12. Review on Methodology of voluntary carbon standards for application of REDD+ Project in Meru Betiri National Park, East Java 13. Analysis of Land Use, Land Cover Change and the Association Carbon Stock Change to Establish Project Baseline 14. Review tentang Illegal Logging sebagai ancaman terhadap sumberdaya hutan dan implementasi kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) di Indonesia 15. Standard Operational Procedure for Biodiversity Survey in Conservation Area 16. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis Pada Kawasan Konservasi 17. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Pengukuran Stock Karbon di Kawasan Konservasi 18. Pelatihan Inventarisasi Sumber Daya Petani 19. Potensi Karbon di Taman Nasional Meru Betiri 20. Meningkatkan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Mengatasi Masalah Penebangan Liar di TNMB 21. Hutan, Perubahan Iklim dan REDD+ (bahan penyuluhan ke sekolah dasar/ menengah) 22. Informasi Teknis Pelaksanaan Kegiatan Da REDD+ Di Kawasan Konservasi 12 Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)

25 Overcoming Constraints to Community- Based Commercial Forestry in Indonesia Project Overview: ACIAR- FST/2008/030 Setiasih Irawanti

26

27 Abstrak Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya (23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Sementara itu penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri skala besar, namun sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Apakah Kehutanan Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) merupakan strategi kebijakan dan manajemen yang efektif?. Ada empat tugas penelitian yakni (1) analisis dimensi sosial, (2) kerangka kerja mata pencaharian sektor kehutanan, (3) analisis rantai nilai dan (4) pendekatan pembelajaran petani. Hasil dari analisis dimensi sosial menunjukan bahwa hutan rakyat sengon di Kabupaten Pati dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga dihasilkan kayu dan hasil bukan kayu (HBK). Program pemerintah KBR, BLM- PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi kayu dan HBK. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni (1) hasil penjualan kayu, (2) hasil penjualan HBK, dan (3) hasil penjualan ternak. Ratarata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 22%, dari HBK adalah 82% dan dari ternak adalah 12%. Sedangkan pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari 2 sumber yakni (1) hasil penjualan kayu dan (2) hasil penjualan HBK, di mana ratarata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% dan dari HBK adalah 87%. HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%). Budidaya ternak dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer, saling melengkapi atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk menyuburkan lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya dari hutan rakyat dihasilkan hijauan pakan ternak untuk pakan kambing dan sapi. Kayu menjadi insentif pengembangan hutan rakyat terutama di Desa Payak, sedangkan HBK menjadi insentif pengembangan hutan rakyat terutama di Desa Gunungsari dan Giling. HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada pemilikan lahan yang sempit karena dapat memberi pendapatan pada petani selama menunggu tanaman kayu dipanen. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 15

28 Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), atau Hutan Kemasyarakatan (HKm), direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat menghasilkan berbagai jenis HBK. Kata kunci: kayu, hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat, sengon, Pati 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya (23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Diantara mereka mendapat manfaat dari penggunaan kawasan hutan dan lahan untuk mata pencaharian tradisional, pertanian subsisten, pemanenan, pengolahan dan ekspor kayu. Banyak masyarakat pedesaan di Indonesia yang hidup dikelilingi hutan yang seringkali menjadi satu-satunya 'jaminan sosial' yang mereka miliki. Kini Kehutanan Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) menjadi strategi untuk mencapai beberapa tujuan, seperti untuk mengurangi deforestasi, membangun hutan tanaman untuk memasok industri kayu, dan untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan. Strategi pelibatan masyarakat dalam kehutanan komersial di Indonesia antara lain diluncurkan dalam Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Rakyat (HR). Sementara penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri skala besar, sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Karenanya terdapat beberapa pertanyaan yang kemudian muncul terkait dengan CBCF ini. (1) Apakah CBCF dapat memperbaiki mata pencaharian penduduk lokal?, (2) Apakah CBCF dapat memenuhi pasokan kayu bagi industri?, (3) Bagaimanakah model CBCF yang baik? Dalam beberapa tingkatan pemerintahan di Indonesia sangat ingin memastikan bahwa CBCF menjadi strategi kebijakan dan manajemen yang efektif. Makalah ini menyajikan gambaran kemajuan kegiatan Kerjasama Penelitian antara ACIAR dan 16 Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

29 FORDA Bogor tentang Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia (ACIAR, FST/2008/030). Jangka waktu kerjasama ini adalah 4½ tahun yaitu antara April 2011 sampai dengan September Tujuan yang ingin dicapai oleh kerjasama penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Melakukan analisis dimensi sosial CBCF, termasuk mengembangkan kerangka kerja mata pencaharian dari sektor kehutanan. 2. Melakukan evaluasi rantai nilai dari model bisnis CBCF yang dominan. 3. Meningkatkan kapasitas partisipasi petani untuk membuat keputusan investasi yang lebih baik. 4. Mempengaruhi pemangku kepentingan (pembuat kebijakan, ketuan program, staf lapangan, kepala desa / tokoh masyarakat) untuk mengoptimalkan CBCF. 1.2 Tugas Penelitian Model CBCF yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Individual growers 1 Group of growers 2 3 Market brokers Processors Ada empat Tugas Penelitian dalam kerjasama penelitian ini, sebagai berikut. 1. Tugas Penelitian 1: Analisis dimensi sosial (sampai dengan Juni 2012) Indonesia memiliki masyarakat yang beragam, dimana masyarakat di pedesaan sering kali memiliki budaya yang beragam dan mengalami perubahan-perubahan sosial yang besar seperti melakukan migrasi ke dalam dan keluar, perubahan dalam pekerjaan. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 17

30 Mengingat pentingnya memahami dimensi sosial yang berbasis masyarakat kehutanan, penelitian ini melakukan analisis dimensi sosial dari isu-isu kunci sosial dan masyarakat yang terkait dengan empat model CBCF. Analisis dimensi sosial meliputi: a. Mempersiapkan sebuah profil sosial dari masyarakat yang terlibat dengan masing-masing model CBCF (misalnya menggambarkan keragaman budaya dan etnis, struktur pengambilan keputusan lokal). b. Menggambarkan sejarah serta tantangan dan peluang mata pencaharian saat ini bagi segmen masyarakat yang berbeda (misalnya masalah gender: kesehatankesejahteraan khusus, keamanan pangan untuk berbagai anggota komunitas, peluang usaha bagi gender tertentu). c. Menggambarkan pengelolaan hutan tradisional dan saat ini untuk berbagai segmen masyarakat (misal pengetahuan dan peran spesifik gender, peran dan pengetahuan spesifik umur). d. Menganalisis bagaimana segmen masyarakat yang berbeda yang terlibat dan terpengaruh oleh model CBCF individual (misalnya sifat, skala biaya dan manfaat, bagaimana kemungkinan risiko dipahami dan dikelola oleh keluarga). 2. Tugas Penelitian 2: Kerangka kerja mata pencaharian sektor kehutanan (sampai dengan Juni 2013) Analisis dimensi sosial akan memberikan petunjuk berharga bagi tim peneliti yang kemudian akan mengembangkan sebuah kerangka komprehensif untuk menilai dampak mata pencaharian dari CBCF, misalnya dengan kerangka kerja mata pencaharian kehutanan. Analisis ini mencakup diagram livelihood asset, informasi kontribusi hutan rakyat dalam penghidupan petani, dan sistem informasi modal/ asset masyarakat berbasis geografis. 3. Tugas Penelitian 3: Analisis rantai nilai (sampai dengan Juni 2013) Rantai nilai terdiri dari serangkaian kegiatan yang menciptakan dan membangun nilai dalam suatu barang atau jasa. Konsep rantai nilai kehutanan dapat diterapkan untuk mencari beberapa tahap rantai yang biasa digunakan oleh pemilik hutan rakyat di Indonesia. Secara sederhana, prinsip rantai nilai adalah bahwa setiap tahap rantai harus menghasilkan keuntungan untuk memastikan bahwa industri ini berkelanjutan. Menganalisis rantai nilai dari empat model CBCF akan memberikan informasi penting kepada semua stakeholder tentang cara dihasilkan dan didistribusikannya 18 Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

31 keuntungan sepanjang rantai nilai, sehingga membantu pengembangan strategi untuk menegosiasikan kontrak dan harga hasil hutan. 4. Tugas Penelitian 4: Pendekatan pembelajaran petani (sampai dengan Desember 2012) Strategi penting untuk mencapai manfaat berupa dampak dari kegiatan penelitian adalah merancang dan mengembangkan pendekatan efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani pemilik HR, yaitu mengembangkan 'pendekatan pembelajaran' efektif bagi petani HR agar mereka dapat membuat keputusan tentang investasi di sektor kehutanan komersial dalam konteks pasar yang cepat berubah. Cara yang praktis untuk CBCF di Indonesia adalah melalui jaringan luas kelompok petani hutan. Program Master Tree Grower (MTG) telah efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan petani tentang kehutanan sejak akhir 1990-an. Langkah pertama adalah menganalisis kapasitas kelembagaan dan sosial kelompok petani hutan yang berpartisipasi dalam empat model CBCF. Konsultan yang ditunjuk kemudian akan merancang sebuah program pendekatan belajar efektif capacity building untuk meningkatkan kemampuan kelompok petani hutan dalam mengoptimalkan keterlibatan mereka dalam CBCF. Setelah periode pelaksanaan belajar (misalnya bulan), keefektifan pendekatan 'belajar' akan dievaluasi agar dapat direkomendasikan kemungkinannya untuk dilaksanakan dalam skala luas di seluruh Indonesia melalui jaringan kelompok petani hutan. Selain itu, kerjasama penelitian ini memiliki strategi capaian substansial terpadu yang mencakup penerbitan Brief Info bilingual, melakukan pertemuan terbuka secara teratur dengan petani, instansi dan staf perusahaan, menghasilkan video tentang petani hutan, dan mengembangkan sebuah proyek website. Pemimpin Proyek juga akan mengkoordinasikan publikasi dari artikel ilmiah dan co-host simposium internasional serta menyediakan peer-reviewer kritis untuk tim peneliti selama 5 tahun. 1.3 Lokasi Penelitian Kerjasama penelitian antara ACIAR dan FORDA Bogor dilakukan di Kabupaten Pati. Kabupaten Pati dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki potensi hutan rakyat sengon. Hutan rakyat disini meliputi tegalan dan pekarangan rakyat yang ditanami kayu-kayuan dengan teknik agroforestri. Analisis dimensi sosial difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal, Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu, dan Desa Payak Kecamatan Cluwak. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 19

32 Unit analisis pada tingkat individu adalah rumahtangga petani dan pada tingkat sosial adalah dusun. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pencatanan data sekunder, diskusi kelompok terarah, dan penelusuran wilayah. Contoh penelitian rumah tangga sebanyak 15 KK/dusun, peserta diskusi kelompok terarah untuk lakilaki tani dan perempuan tani masing-masing sebanyak orang/dusun. Analisis data menggunakan metode deskriptif kuantitatif. 2. Hasil Tugas 1: Analisis Dimensi Sosial 2.1 Pemanfaatan Lahan Petani Usaha hutan rakyat sengon di wilayah Kabupaten Pati dikembangkan di lahan tegalan dan pekarangan milik petani. Penanaman dan pemeliharaan tanaman dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing petani. Jumlah pemilikan pohon dan umur tanaman sangat beragam antar petani satu dengan yang lain. Pemanenan kayu dilakukan oleh masing-masing petani sesuai umur tanaman dan kebutuhan masing-masing. Berdasarkan diskusi kelompok dan wawancara rumah tangga petani diketahui bahwa pada lahan pekarangan dan tegalan rata-rata dipraktekan sistem tumpangsari antara jenis tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan, dan dibawahnya dikembangkan tanaman semusim, empon-empon, atau rumput pakan ternak sehingga berbentuk agroforestri. Hamparan tanaman sengon rata-rata ditanam di tegalan dimana selama 3 tahun pertama ditumpangsari dengan ubi kayu, jagung dan pisang, namun setelah berumur 4 tahun saat tajuknya sudah menutup seluruh ruang lahan maka dibiarkan tanpa campuran atau dicampur dengan empon-empon dan rumput pakan ternak. Tanaman buah-buahan rata-rata ditanam di lahan pekarangan sekitar rumah, sedangkan tanaman kehutanan dan perkebunan di tanam di lahan tegalan dan garapan hutan yang jauh dari rumah. Kepemilikan lahan oleh petani dapat diikuti dalam tabel berikut: Tabel 2. Pemilikan Lahan oleh Petani (ha), 2012 No Desa Sawah Pekarangan Tegalan Jumlah Ratarata ha % ha % ha % ha % ha 1 Giling 1,350 10,0 0,949 7,1 11,163 82,9 13, ,897 2 Gunungsari 1,000 6,2 3,962 24,8 11,030 69,0 15, ,066 3 Payak 5,510 13,9 3,698 9,4 30,315 76,7 39, ,635 Jumlah 7,860 11,4 8,809 12,5 52,508 76,1 68, ,598 Sumber: Diolah dari data primer, Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

33 Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata pemilikan lahan oleh petani antara 0,897 ha s/d 2,635 ha, berupa sawah, tegalan dan pekarangan di mana terluas berupa tegalan (76,1%), disusul pekarangan (12,5%), dan sawah (11,4%). Dengan demikian rata-rata lahan rakyat yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik agroforestri adalah 88,6%, sehingga pendapatan dari hutan rakyat diduga menjadi sumber pendapatan utama. Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga petani diketahui bahwa lahan milik penduduk di desa-desa lokasi studi rata-rata 91% dilengkapi bukti kepemilikan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Tanah) dan 9% dilengkapi bukti kepemilikan girik tanah. Secara fisik, batas kepemilikan lahan berupa tanaman hidup seperti tanaman jati, mahoni, randu, pohon kudo, mojo, cepiring, gliricideae (rosidi), salam, kenari, beluntas, andong, tanaman girang, serta berupa saluran air, parit, dan patok cor. Jarak lahan dari rumah tinggal antara 0 s/d 4 km. Status kepemilikan lahan yang kuat dan batas fisik yang jelas menyebabkan tidak adanya konflik kepemilikan lahan. 2.2 Program Pemerintah Terkait Hutan Rakyat Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah yang mendukung pengembangan hutan rakyat, yaitu Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari Pemerintah Pusat, Bantuan Langsung Masyarakat untuk Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-PPMBK) dari Pemerintah Pusat, serta Kebun Bibit Desa (KBD) dari Pemerintah Kabupaten Kebun Bibit Rakyat (KBR) KBR merupakan program pemerintah untuk menyediakan bibit tanaman kehutanan dan MPTS (Multi Purpose Tree Species) yang dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat, terutama di pedesaan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Bibit dari KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan. KBR disalurkan melalui BPDAS, besarnya Rp 50 juta per unit berupa bibit tanaman kayu. Pada tahun 2011 Kabupaten Pati menerima 45 unit KBR. Dalam KBR ada pendampingan yang dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan setempat serta ada pelatihan petani tentang teknik pembuatan persemaian. Dasar hukum KBR adalah Permenhut P24/Menhut-II/2010 tanggal 3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan KBR, Permenhut P23/Menhut- II/2011 tanggal 8 April 2011 tentang Pedoman Teknis KBR. Program KBR baru diselenggarakan selama 2 tahun terkhir yaitu 2010 dan Contoh bibit jenis tanaman KBR tahun 2011 di beberapa desa di Kabupaten Pati sebagai berikut. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 21

34 Tabel 3. Contoh Bibit Kayu KBR di Beberapa Desa di Kabupaten Pati, 2011 No Jenis Bibit Kecamatan Keterangan 1 Avicenia sp, Rhizopora sp Dukuhseti Mangrove 2 Jati, Mahoni, Randu Winong Pati Selatan, lahan kritis 3 Sengon, Kopi Tlogowungu Pati Utara 4 Sengon, Jati, Pete Gembong 5 Sengon, Kakao Gunungwungkal 6 Jati, Mahoni, Gmelina, Randu Gabus 7 Jati, Nangka Pucukwangi 8 Sengon, Kakao Cluwak Pati Utara 9 Jati, Mete, Randu Sukolilo 10 Jati, Mente, Kluweh Kayen Pati Selatan 11 Jati, Sengon, Sirsak Tlogowungu Pati Utara 12 Jati, Jabon, Randu Sukolilo Pati Selatan 13 Sengon, Kakao, Kemiri Cluwak 14 Jati, Sengon, Petai Margorejo Sumber: Diolah dari Laporan Akhir KBR di Kabupaten Pati, Dishutbun Kab Pati, Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa Program KBR menyediakan bibit jenis-jenis tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan Kebun Bibit Desa (KBD) Program KBD dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan yang disalurkan ke Pemerintah Kabupaten. Program ini dimaksudkan untuk mendukung OBIT, ada setiap tahun dan telah diselenggarakan mulai tahun 2009 setelah GERHAN berakhir. Pada tahun 2011, jenis tanaman KBD disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Distribusi bibit KBD 2011 yang disalurkan melalui Kelompok Tani berupa bibit tanaman kehutanan sebagai berikut. Tabel 4. Bibit KBD Tahun 2011 Kabupaten Pati No Desa Kecamatan Jenis Bibit (batang) Sengon Jati Mahoni 1 Jrahi Gunungwungkal Kedungbulus Gembong Bageng Gembong Karangawen Tambakromo Pakis Tambakromo Maitan Tambakromo Sumber: Diolah dari Dishutbun Kabupaten Pati, Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

35 Penanaman bibit KBD dilakukan di turus-turus jalan, lapangan, pekarangan, sekolahan, kantor PKK, kantor Dharma Wanita, dan lain-lain, serta jenis tanamannya disesuaikan dengan jenis yang tersedia dalam KBD BANSOS PPMBK dan Bangunan Konservasi Pada tahun 2011 Kabupaten Pati menerima bantuan pemerintah pusat berupa dua bangunan dam penahan, lima bangunan sumur resapan, dan empat bangunan embung yang ditujukan untuk konservasi tanah. Selain itu ada 22 Kelompok Tani yang menerima BANSOS PPMBK dimana dananya 85% digunakan untuk membuat tanaman kayu-kayuan dan 15% untuk pemberdayaan masyarakat dari sektor lain seperti untuk membeli ternak, menanam tanaman semusim, atau tanaman hijauan pakan ternak. Melalui Program BANSOS PPMBK, pemerintah mendukung pengembangan tanaman kehutanan, tanaman semusim, dan hijauan pakan ternak yang dapat dikembangkan dengan teknik agroforestri dan diintegrasikan dengan usaha peternakan. Berbagai Program Pemerintah tersebut sedikitnya telah berhasil mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Pada tahun 1970-an para petani belum bersedia menanam kayu-kayuan, namun sekarang mereka sangat senang kalau diberi bibit tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman kayu-kayuan. Program-program pemerintah tersebut telah memperkaya lahan petani dengan tanaman penghasil kayu dan HBK serta mendorong peningkatan produksinya. 2.3 Pendapatan Dari Seluruh Lahan Pendapatan dalam hal ini berasal dari semua kegiatan petani yang terkait dengan pemanfaatan lahan, baik dari lahan milik berupa sawah, pekarangan dan tegalan, lahan sewa, lahan garapan dalam hutan negara khususnya penduduk Desa Gunungsari, serta dari usaha budidaya ternak. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari tiga sumber yakni (1) pendapatan dari kayu, (2) pendapatan dari HBK, dan (3) pendapatan dari ternak. Kontribusi nilai jual kayu, HBK, dan ternak di tiga desa lokasi studi adalah sebagai berikut. Tabel 5. Nilai Jual Kayu, HBK, dan Ternak (Rp/KK/tahun), 2012 No Desa Kayu % HBK % Ternak % Jumlah % 1 Giling Gunungsari Payak Rata-rata Sumber: Diolah dari data primer hasil wawancara rumah tangga, 2012 Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 23

36 Pendapatan dari kayu dihitung berdasarkan nilai penjualan kayu dalam 3 tahun terkhir yang dipanen dari lahan pekarangan dan tegalan baik lahan milik maupun sewa, karena lahan sawah dan garapan di kawasan hutan tidak menghasilkan kayu. Nilai tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung rata-rata pendapatan petani dari kayu. Rata-rata pendapatan petani adalah Rp /KK/tahun dari penjualan kayu, Rp /KK/tahun dari penjualan HBK, dan Rp /KK/tahun dari penjualan ternak. Jenis ternak yang umumnya dipelihara oleh penduduk desa lokasi studi adalah ayam, kambing dan sapi. Di Desa Payak ada pula yang memelihara bebek dan kambing etawa. Budidaya ternak dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer, saling melengkapi atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk menyuburkan lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya hutan rakyat menghasilkan hijauan pakan ternak untuk pakan kambing dan sapi. Selain memelihara ternak milik sendiri, petani dapat pula melakukan gaduh sapi penggemukan. Bagi hasil gaduh sapi saat dijual adalah 2 bagian menjadi hak petani dan 5 bagian menjadi hak pemilik sapi. Dalam usaha pembesaran ayam juga ada sistem gaduh dari pengusaha ayam ke petani. Petani menyiapkan kandang dan memelihara ayam, sedangkan pengusaha menyediakan bibit dan pakan. Ketika ayam dijual kepada pengusaha, petani menerima upah gaduh sekitar Rp sampai dengan Rp per kg ayam. 2.4 Pendapatan Dari Hutan Rakyat Rata-rata 88,6% dari lahan rakyat diusahakan sebagai hutan rakyat sehingga pendapatan dari hutan rakyat memiliki peran besar dalam ekonomi rumah tangga petani di desa-desa lokasi studi. Untuk mengetahui kontribusi pendapatan dari kayu dan HBK yang diperoleh dari hutan rakyat, analisis dibatasi pada lahan tegalan dan pekarangan yang diusahakan dengan teknik agroforestri. Kontribusi nilai jual kayu dan HBK dari lahan pekarangan dan tegalan yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik agroforestri adalah sebagai berikut. Tabel 6. Tabel 5. Rata-rata Nilai Jual Kayu dan HBK dari Lahan Agroforestri, 2012 Giling Gunungsari Payak Kisaran Jenis hasil Rp/KK/ tahun % Rp/KK/tahun % Rp/KK/tahun % % Kayu Bukan kayu Jumlah Sumber: Diolah dari data primer, Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

37 Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata kontribusi pendapatan dari kayu paling tinggi adalah 67% yaitu di Desa Payak. Hal ini sejalan dengan informasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati bahwa permintaan dokumen SKAU di Desa Payak adalah tertinggi dibandingkan dengan desa-desa lain di Kabupaten Pati. Sementara itu rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kelompok jenis HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari Peranan kayu dalam usaha hutan rakyat Petani pada umumnya menanam kayu-kayuan dengan sistem kebun campuran atau agroforestri. Jenis kayu-kayuan yang ditanam di lahan hutan rakyat dapat dikelompokan dalam tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh, kelapa, randu), tanaman penghasil buah-buahan (jengkol, manggis, petai, sukun, durian, rambutan), dan tanaman kehutanan (sengon, mahoni, jati). Pemeliharaan intensif untuk tanaman sengon dilakukan sampai umur 3 tahun, sedangkan pemanenan dan penjualan kayu dilakukan pada umur 5-6 tahun. Petani menjual kayu sengon dalam bentuk pohon berdiri dimana seluruh biaya penebangan menjadi beban pembeli dalam hal ini pedagang kayu. Kegiatan penebangan oleh pedagang dilakukan secara borongan menggunakan gergaji rantai (chainsaw). Dalam perdagangan kayu rakyat sengon, peran blantik cukup penting karena dapat mempertemukan petani yang akan menjual kayu dengan calon pembeli kayu yaitu pedagang kayu tingkat desa. Kayu sengon dibeli oleh pedagang untuk selanjutnya dijual ke pabrik pengolahannya, sedangkan kayu lainnya seperti jati dan mahoni umumnya dijual ke penduduk atau pedagang desa sebagai bahan bangunan atau bahan pembuatan mebeler. Sejauh ini penjualan kayu sengon oleh petani masih dilakukan per pohon atau bahkan per hamparan lahan dengan sistem tebas. Penjualan per pohon umumnya dilakukan dengan sistem tebang pilih saat butuh atau tebang pilih rakyat, di mana pohon yang diameternya sudah besar (meski umur baru 4 tahun) atau yang kira-kira nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani, akan ditebang terlebih dahulu. Sementara itu pada penjualan per hamparan dengan sistem tebas, volume dan harga kayu ditaksir oleh pedagang kayu, sehingga nilai uang hasil penjualan kayu diduga lebih kecil daripada nilai ekonomi kayu. Petani langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur dan menghitung volume kayunya sendiri. Supaya tidak dirugikan maka petani sebaiknya menjual kayu dalam bentuk sortimen dalam satuan m3. Hal ini dapat dilakukan apabila para grader dari pabrik pengolahan atau depo kayu melakukan grading langsung di lahan petani setelah batang pohon sengon dipotong-potong sendiri oleh petani menjadi sortimen. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 25

38 Namun cara demikian menghadapi beberapa kendala seperti beban biaya tebang harus ditanggung oleh petani, petani belum menguasai teknik memotong sortimen, serta belum bisa mengukur dan menghitung volume kayu sendiri. Nilai jual kayu yang dipanen dari lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 2) dalam 3 tahun terakhir dan jenis-jenisnya, adalah sebagai berikut: Tabel 7. Nilai Jual Kayu Dalam 3 Tahun Terakhir, 2012 No Desa Jenis Kayu Jumlah Nilai (Rp) % Jenis Kayu 1 Giling Sengon ,4 Jengkol ,5 Mahoni ,1 Jumlah Giling ,0 2 Gunungsari Sengon ,9 Mahoni ,1 Jumlah Gunungsari ,0 3 Payak Sengon ,1 Mahoni ,9 Jumlah Payak ,0 Jumlah Sumber: Diolah dari data primer, 2012 Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa jenis kayu-kayuan dari lahan hutan rakyat yang telah diperdagangkan termasuk ke dalam kelompok jenis tanaman kehutanan (sengon, mahoni) dan jenis tanaman penghasil buah-buahan (jengkol). Jenis sengon dapat dipandang sebagai tanaman hutan rakyat yang komersial, karena dapat memberi kontribusi lebih dari 90% terhadap pendapatan rumah tangga petani. Selain itu, penjarangan tanaman sengon dilakukan dengan teknik tebang pilih rakyat dimana tanaman yang pertumbuhannya baik akan ditebang lebih dahulu untuk mengatasi kebutuhan keuangan rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga diketahui bahwa rata-rata 58,5% petani memanen kayu disesuaikan dengan kebutuhan uang rumah tangga, 4,9% memanen sesuai rotasi tanaman, 2,4% menanen karena ada penawaran harga tinggi, sedangkan lainnya tidak memanen kayu dalam 3 tahun terakhir. Petani juga menganggap bahwa tanaman sengon merupakan tabungan keluarga yang dapat dipanen sewaktu-waktu bila dibutuhkan. 26 Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

39 2.4.2 Peranan HBK dalam usaha hutan rakyat Jenis HBK yang ditanam di lahan hutan rakyat terdiri dari 3 jenis tanaman semusim (ubi kayu, jangung, ketela), 2 jenis tanaman empon-empon (kapulaga, jahe), tanaman rumput pakan ternak, 7 jenis tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh, kelapa, randu, lada, panili), dan 7 jenis tanaman buah-buahan (jengkol, manggis, petai, pisang, sukun, durian, rambutan). Pedagang atau pembeli HBK umumnya mendatangi rumah-rumah petani. Hasil tanaman semusim biasanya dipanen sendiri oleh petani. Buah jagung dikeringkan terlebih dahulu lalu disimpan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi sendiri atau dijual. Ubi kayu dipanen sendiri lalu dijual ke pabrik tapioka, atau dijual tebas kepada pedagang yang akan memanennya di lahan. Hasil tanaman empon-empon kapulaga dan jahe dipanen sendiri dan hasilnya dapat langsung dijual, tetapi untuk kapulaga dapat pula dikeringkan dan disimpan terlebih dahulu sehingga dapat dijual sewaktu membutuhkan uang. Rumput pakan ternak jenis rumput gajah atau kalanjana juga dibudidayakan untuk dijual kepada pemilik kambing atau sapi yang tidak memiliki tanaman pakan ternak. Hasil tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kakao, randu, lada, dan fanili dipanen satu kali dalam setahun, dan memanennya dapat dilakukan sedikit-sedikit sehingga dapat dikerjakan sendiri. Hasilnya dapat langsung dijual dalam bentuk basah atau disimpan dulu dalam bentuk kering karena penanganan paska panennya juga mudah. Buah kelapa juga dapat dipanen sendiri, dapat dikonsumsi sendiri namun bila membutuhkan uang juga mudah untuk dijual. Untuk buah randu dapat dijual dengan sistem tebas, namun dapat pula dipanen sendiri lalu disimpan dalam bentuk kering sehingga dapat dijual sewaktu harga tinggi atau saat membutuhkan uang. Sementara itu tanaman buah-buahan seperti durian, jengkol, langsep, manggis, duku, petai, sukun, mangga, rambutan, pisang, umumnya panen satu kali dalam setahun kecuali buah pisang. Musim berbuah dari berbagai jenis buah-buahan tidak bersamaan sehingga musim panennya dapat terjadi secara bergilir. Cara memanennya juga dilakukan sedikit-sedikit sehingga dapat dikerjakan sendiri, dan hasilnya mudah dijual. Petani hutan rakyat di wilayah Pati telah menguasai seluruh teknik budidaya, pemanenan, penanganan paska panen, dan pemasaran berbagai jenis HBK dari hasil tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan. Jenis-jenis HBK yang berasal dari hutan rakyat yang dibangun diatas lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 1), adalah sebagai berikut: Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 27

40 Tabel 8. Jenis dan Nilai Jual HBK dari Hutan Rakyat, 2012 No Desa Jenis Tanaman Nilai Jual (Rp/KK/Th) % 1 Giling Pangan ,75 Empon-empon ,01 Perkebunan ,13 Buah-buahan ,11 Jumlah Gunungsari Pangan ,93 Empon-empon ,55 Perkebunan ,41 Buah-buahan ,11 Jumlah Gunungsari Payak Pangan ,88 Pakan ternak ,75 Perkebunan ,79 Buah-buahan ,58 Jumlah Payak 52,247, Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa jenis HBK dari lahan hutan rakyat yang rata-rata kontribusi pendapatannya besar di tiga desa lokasi studi adalah kelompok jenis buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan kelompok jenis hasil perkebunan (22,13% - 55,41%). Khusus di Desa Payak, rata-rata kontribusi pendapatan dari kelompok tanaman semusim relatif tinggi serta terdapat tanaman rumput pakan ternak yang telah diperjualbelikan. Berdasarkan diskusi kelompok terarah diketahui bahwa hasil berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani dapat dipanen secara bergilir. Tanaman semusim, empon-empon, dan rumput pakan ternak dapat dipanen secara begilir dalam jangka harian, mingguan dan bulanan. Tanaman buah-buahan dan tanaman perkebunan dapat dipanen secara bergilir dalam jangka tahunan. Tanaman kayu dapat dipanen secara bergilir dalam jangka lebih dari 5 tahunan. Dari lahannya, penduduk desa dapat memperoleh uang tunai dalam jangka harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan lebih dari lima tahunan. Dengan cara menanam berbagai jenis tanaman tersebut, petani dapat memenuhi seluruh kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, namun kecukupannya sangat dipengaruhi oleh luasan lahannya. Jangka waktu panen HBK yang lebih singkat sangat besar peranannya dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat terutama pada pemilikan lahan sempit 28 Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

41 karena petani tetap mempunyai sumber pendapatan dari lahan hutan rakyat meskipun tanaman kayunya belum dapat dipanen. Berbagai jenis HBK dapat dipanen oleh petani secara bergilir sehingga dapat memenuhi kebutuhan keuangan harian, jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Sebagian jenis HBK juga dapat disimpan dalam bentuk kering sehingga menyerupai tabungan yang dengan mudah digunakan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. Meskipun pemilikan lahan petani relatif sempit namun mereka masih dapat menanam tanaman kayu-kayuan karena ada sumber pendapatan dari HBK yang diterima selama menunggu saat panen kayu hasil hutan rakyat. 2.5 Hambatan dan Peluang Pada Usaha Hutan Rakyat Hambatan pada usaha hutan rakyat Keterbatasan teknis silvikultur petani Di desa-desa lokasi studi, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam walaupun ditanam pada lahan dengan waktu dan perlakukan yang sama. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam. Para petani mendapatkan bibit dari Dishutbun Kabupaten dan pedagang setempat. Pembagian bibit dari Dishutbun seringkali dilakukan pada bulan-bulan terakhir musim penghujan, dan ukuran bibitnya seringkali terlalu kecil sehingga banyak yang mati saat ditanam. Petani juga belum menguasai teknik pembibitan sengon dengan baik. Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam kaitannya dengan kesinambungan pendapatan petani. Karena itu petani menerapkan pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon tiga tahun. Memasuki tahun ke empat, tumpangsari dilakukan dengan tanaman emponempon (kapulaga, temulawak, dsb) atau dengan tanaman kopi/kakao. Namun ketika sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertimpa pohon, padahal umur panen sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak petani yang tidak menerapkan pola tersebut. Beberapa petani tetap memilih tumpangsari sengon dengan ubi kayu, tanaman pisang, empon-empon, dan hijauan pakan ternak Serangan penyakit karat puru Permasalahan yang sangat mengganggu budidaya sengon di ketiga lokasi studi adalah penyakit karat tumor atau karat puru karena dapat mematikan sengon di tingkat semai sampai tegakan. Selama ini petani setempat menganggap penyakit ini disebabkan karena serangan virus atau akibat penanaman dengan pola monokultur. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 29

42 Menurut Anggraeni (2008), penyebab penyakit karat tumor (gall rust) adalah jenis fungi Uromycladium tepperianum. Gejala penyakit diawali dengan adanya pembengkakan lokal (tumefaksi) di bagian tanaman yang terserang (daun, cabang, dan batang), lama kelamaan pembengkakkan berubah menjadi benjolan-benjolan yang kemudian menjadi bintil-bintil kecil atau disebut tumor. Pengendalian penyakit karat puru dapat dilakukan dengan cara mekanik, yaitu menghilangkan puru pada tanaman sengon yang terserang, puru dikumpulkan dan dikubur dalam tanah agar tidak menular. Setelah puru dihilangkan lalu batang dilabur dan disemprot dengan belerang Pemangkasan liar untuk pakan ternak Ternak kambing merupakan ternak andalan di ketiga desa lokasi studi karena ternak kambing lebih cepat berproduksi, mudah pemeliharaannya dan mudah dipasarkan. Kegiatan pemangkasan dahan sengon di daerah ini bertujuan ganda, yaitu untuk membentuk pertumbuhan kayu sengon dan untuk penyediaan hijauan pakan ternak. Kegiatan pengumpulan hijauan pakan ternak dari pepohonan dan daundaunan biasa disebut rambanan (pemangkasan dahan sengon, dadap, lamtoro, randu dll). Kegiatan pengumpulan hijauan pakan ternak dari rerumputan biasa (rumput setaria, rumput kalanjana) disebut ngarit. Berkembangnya ternak kambing di daerah ini menimbulan permasalahan dalam budidaya sengon, karena petani sering melakukan pemangkasan dahan sengon tanpa seijin pemiliknya. Sebagian besar petani (± 80 %) memelihara ternak, tetapi sebagian peternak tersebut (± 30 %) tidak mempunyai lahan. Pemangkasan liar seringkali merusak dan mengganggu pertumbuhan tanaman sengon. Di beberapa desa sudah dilakukan himbauan melalui pertemuan kelompok/desa dan beberapa petani melakukan injeksi pestisida pada tanaman sengonnya, namun injeksi pestisida dapat menyebabkan kematian ternak yang memakannya sehingga jarang dilakukan oleh petani. Karena itu pemangkasan liar masih terjadi Tebang pilih saat butuh Sejauh ini petani hutan rakyat Pati belum paham tentang teknik penjarangan tanaman yaitu menebang tanaman yang tidak bagus dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal. Tindakan yang sering dilakukan oleh petani saat ini justru sebaliknya, tanaman yang tumbuh bagus, capaian diameternya lebih besar dari tanaman yang lain akan ditebang lebih dulu. Sebaliknya tanaman yang jelek tetap dipelihara karena tanaman yang tumbuhnya lambat bila dibiarkan hidup juga dapat membesar. Hal ini dilakukan karena tanaman sengon dapat dijual per pohon, dijual pada saat 30 Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

43 belum masak tebang bila ada kebutuhan keuangan mendesak atau yang kira-kira nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani Ketidaksediaan petani untuk memanen kayu sendiri Selama ini petani menjual kayu per pohon atau bahkan per hamparan lahan dengan sistem tebas, langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur, dan menghitung volume sendiri. Teknik penjualan demikian dipandang belum dapat memaksimalkan nilai uang hasil jual kayu yang diterima oleh petani. Supaya petani tidak dirugikan dalam perhitungan harga kayu, sebaiknya grader dari pabrik pengolahan kayu atau depo kayu melakukan grading kayu di lahan petani setelah batang pohon sengon dipotong-potong menjadi sortimen. Dengan demikian petani diharapkan dapat menjual kayu dalam bentuk sortimen, dalam satuan m3, bukan per batang pohon atau per hamparan lahan dengan sistem tebas. Namun penjualan kayu oleh petani dalam bentuk sortimen akan memiliki konsekuensi berupa beban biaya tebang yang ditanggung oleh petani. Kendala lain adalah petani umumnya tidak bisa membaca Daftar Grade yang dibuat oleh pabrik, tidak bisa melakukan grading kayu sendiri, dan tidak tahu cara mengukur volume kayu. Para petani kayu di desa-desa lokasi studi umumnya tidak sabar dan telaten untuk mengerjakan pekerjaan pemanenan kayu sendiri karena dinilai sebagai pekerjaan yang merepotkan Peluang pada usaha hutan rakyat Konversi pemanfaatan lahan Di desa-desa lokasi studi terjadi konversi lahan sawah menjadi tegal dan pekarangan karena pasokan air untuk pertanian sawah tidak dapat berlangsung sepanjang tahun. Apabila budidaya padi sawah tidak dapat dilakukan maka lahannya ditanami tanaman semusim lainnya. Namun banyak petani yang mengkonversi lahan sawahnya menjadi tegal dan pekarangan untuk ditanami sengon karena kayu sengon cepat tumbuh dan mulai umur empat tahun sudah dapat dipanen. Selain itu terjadi konversi jenis tanaman dari tanaman tradisional ubi kayu ke tanaman komersial sengon. Hal ini karena sebagian laki-laki pergi meninggalkan desa untuk mencari nafkah di luar Jawa, sehingga mereka memilih jenis tanaman yang perawatannya mudah agar dapat dikerjakan oleh isteri atau anaknya. Biaya pembangunan tanaman sengon juga dinilai relatif murah, sebaliknya tanaman ubi kayu setidaknya memerlukan 5 kali biaya besar yaitu biaya-biaya mencangkul lahan, menyiangi pertama, pemupukan pertama, menyiangi kedua, dan pemupukan kedua. Kondisi demikian menjadi peluang untuk berkembangnya usaha hutan rakyat sengon. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 31

44 Dukungan program pemerintah Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah antara lain KBR, BLM-PPMBK, serta KBD. Program-program tersebut sedikitnya telah mampu mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Program KBR menyediakan jenis bibit tanaman kehutanan, perkebunan, dan buah-buahan, dan Program BANSOS PPMBK menyediakan bibit tanaman kehutanan, tanaman semusim, hijauan pakan ternak, dan pembelian ternak. Hal ini telah mendorong berkembangnya hutan rakyat sengon yang dikembangkan dengan teknik agroforestri dan diintegrasikan dengan usaha peternakan Tanah subur Lima kecamatan dari bagian utara wilayah Pati yaitu Kecamatan Margorejo, Gunungwungkal, Tlogowungu, Cluwak, dan Sidomulyo, terletak di kawasan perbukitan kaki gunung Muria yang tanahnya subur sehingga potensial dengan tanaman kayukayuan. Pilihan jenis tanaman kayu-kayuan mempunyai peluang besar di wilayah ini karena topografinya curam sehingga selain memberi manfaat ekonomi juga untuk tujuan konservasi tanah dan air. Beragam jenis tanaman kayu-kayuan, tanaman perkebunan dan tanaman semusim tumbuh bersama-sama di wilayah ini sehingga membentuk agroforestri. Hal ini merupakan peluang untuk memajukan usaha hutan rakyat sengon di wilayah tersebut Permintaan kayu sengon tinggi Di Jawa Tengah banyak terdapat industri kayu yang mengolah kayu sengon menjadi berbagai bentuk produk seperti kayu lapis, papan sambung, bilah sambung, papan blok, dan lain-lain. Lokasi pabriknya tersebar di berbagai kota. Untuk menjamin kesinambungan bahan baku, pabrik-pabrik ini ada yang memiliki pelanggan depo kayu, tetapi ada pula yang memiliki ratusan pemasok kayu yaitu para pedagang kayu. Untuk memperlancar pasokan kayu, pabrik-pabrik tersebut mengirim grader dan tenaga pengumpul kayu ke sentra-sentra produksi kayu hampir di seluruh Jawa. Grader pabrik dapat bekerja di lahan petani, di pedagang desa, atau di depo desa. Hal ini memberi gambaran tentang makin tingginya persaingan antar pabrik dalam memperebutkan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabriknya. Hal ini berdampak pada makin ketatnya persaingan antar depo dan antar pedagang karena makin tingginya permintaan kayu rakyat khususnya jenis sengon. Dalam kaitan ini petani relatif memiliki kebebasan dalam menentukan kepada siapa kayunya 32 Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

45 akan dijual karena relatif banyaknya pedagang kayu maupun blantik (perantara) yang datang ke desa-desa penghasil kayu rakyat Peluang untuk dikembangkan industri pengolahan Di wilayah Kabupaten Pati tersedia pasar HBK yang merupakan hasil lahan penduduk desa-desa di lokasi studi, seperti beberapa unit pabrik tepung tapioka. Selain itu di Perhutani KPH Pati BKPH Regaloh yang kawasannya berbatasan dengan Desa Gunungsari terdapat pabrik pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf (modifier casava) yang digunakan sebagai pencampur tepung terigu, dan limbah pengolahannya diproses lebih lanjut menjadi bioethanol. Selain itu terdapat pabrik tepung jagung yang merupakan pakan ternak, serta industri terpadu yang mengolah kapuk randu menjadi serat yang diekspor dan dipasarkan di dalam negeri, industri pengolahan biji randu menjadi Crude Kelenteng Oil (CKO) pengganti minyak goreng bebas kolesterol, serta industri pengemasan madu bunga randu dan pengolahan madu menjadi minuman sehat. Namun di wilayah ini belum ada industri pengolahan kayu rakyat, sehingga kayu dari Pati dijual ke industri di kabupaten lain seperti Semarang, Temanggung, Kebumen, dan bahkan ke Jawa Timur. Dalam hal ini masih terbuka peluang untuk dikembangkan industri pengolahan kayu sengon di wilayah kabupaten Pati agar lokasi pabrik makin dekat dengan lokasi pemasok bahan bakunya sehingga akses petani ke pasar produknya makin terbuka lebar. 3. Kesimpulan Dan Rekomendasi 3.1 Kesimpulan 1. Di tiga desa lokasi studi, hutan rakyat sengon dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, emponempon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buahbuahan, dan tanaman kehutanan, sehingga dapat menghasilkan kayu dan HBK. 2. Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi kayu dan HBK. 3. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni dari kayu, HBK, dan ternak, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu 22%, dari HHK 82% dan dari ternak 12%. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 33

46 4. Pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari 2 sumber yakni kayu dan HBK, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% yaitu di Desa Payak dan dari HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari. 5. Kelompok jenis HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%). 6. HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada pemilikan lahan yang sempit karena dapat dipanen secara bergilir dan memberi pendapatan pada petani selama menunggu tanaman kayu dipanen. 3.2 Rekomendasi Hutan rakyat sengon perlu dipromosikan atau didukung pengembangannya dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk mengatasi kendalanya seperti, (1) diperlukan pelatihan petani untuk mengatasi serangan penyakit karat puru yang menghambat produksi kayu sengon, (2) pelatihan petani agar menguasai teknik mengukur dan menghitung volume kayu untuk meningkatkan posisi tawar dan nilai jual kayu petani, (3) mempermudah akses petani ke pasar kayu atau mendekatkannya ke industri pengolahan kayu, (4) membangun DEMPLOT hutan rakyat sengon melalui dukungan program pemerintah sebagai tempat pembelajaran petani. Jangka waktu panen HBK relatif lebih singkat dibadingkan dengan panen kayu, karena panen tanaman semusim hanya dalam beberapa bulan serta panen tanaman perkebunan dan buah-buahan adalah setahun sekali. Peran HBK sangat besar dalam mempertahankan eksistensi dan mendorong perkembangan usaha hutan rakyat terutama di wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani sangat sempit seperti halnya di Kabupaten Pati, karena selama menunggu saat panen kayu petani mempunyai sumber pendapatan dari HBK. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir. Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat, atau Hutan Kemasyarakatan, direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri atau campuran dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat menghasilkan berbagai jenis HBK. 34 Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

47 Daftar Pustaka Anggraeni Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon, 19 Nop Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Anonim. 2010, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P24/Menhut-II/2010 Tanggal 3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat, Jakarta. Anonim. 2011, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P23/Menhut-II/2011 Tanggal 8 April 2011 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat, Jakarta. Anonim Gambaran Umum Kondisi Desa Gunungsari, Gunungsari. Anonim Data Monografi Desa dan Kelurahan, Desa Gunungsari, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati, Gunungsari. Anonim. 2011, Data Monografi Desa Giling Tahun 2011, Pemerintah Desa Giling, Giling. Anonim. 2011, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM- Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) Tahun (Hasil Review Tahun 2011), Pemerintah Desa Payak, Payak. BPS Kabupaten Pati, 2010, Pati Dalam Angka 2010, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati, Pati. Dishutbun Kabupaten Pati. 2010, Laporan Tahunan 2010, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Pati. Dishutbun Kabupaten Pati. 2011, Laporan Akhir Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pati, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Pati. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 35

48 Lampiran 1. Nilai HBK dari Lahan Pekarangan dan Tegalan, 2012 No. Desa Jenis Tanaman Jenis HBK Frekuensi Panen (panen/ th) Nilai Jual (Rp/KK/ th) 1 Giling Pangan Ubi kayu 1 2,650,000 2,75 Emponempon Kapulaga 1 5,000 0,01 Perkebunan Kakao ,061,000 22,13 (21,331,000) Kopi 2 8,000,000 Cengkeh 1 50,000 Kelapa 8 120,000 Randu 1 11,100,000 Buahbuahan Jengkol ,380,000 75,11 Jumlah Giling 96,366, Gunungsari Pangan Ubi kayu 1 13,175,000 8,93 (13,200,000) Jagung 2 25,000 Emponempon Kapulaga 2-3 1,295,000 1,55 (2,295,000) Jahe 1 1,000,000 Perkebunan Kopi 1 29,000,000 55,41 (81,870,000) Cengkeh 1 47,500,000 Randu 1 1,340,000 Kelapa 10 1,860,000 Lada 1 300,000 Kakao - 1,800,000 Panili 1 70,000 Buahbuahan Manggis 1 29,875,000 34,11 (50,407,000) Jengkol 1 3,150,000 Petai 1 4,390,000 Pisang ,892,000 Sukun 4 3,200,000 Durian 1 1,500,000 Rambutan 1 400,000 % 36 Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

49 No. Desa Jenis Tanaman Jenis HBK Frekuensi Panen (panen/ th) Nilai Jual (Rp/KK/ th) Jumlah Gunungsari 147,772, Payak Pangan Ubi kayu 1 6,000,000 24,88 (13,000,000) Ketela 1 4,000,000 Jagung 1 3,000,000 Pakan ternak Rumput 6 3,000,000 5,75 Perkebunan Cengkeh 1 8,000,000 37,79 (19,747,000) Kakao 6 3,777,000 Buahbuahan Kopi 1 4,050,000 Randu 1 2,000,000 Kelapa 8 1,920,000 Jengkol 1 5,650,000 31,58 (16,500,000) Pisang 10,350,000 Durian 1 350,000 Rambutan 1 50,000 Petai 1 100,000 Jumlah Payak 52,247, Sumber: Diolah dari data primer, 2012 % Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 37

50 Lampiran 2. Nilai Jual Kayu Dalam 3 Tahun Terakhir, 2012 No. Desa Pernah Menjual Ya Tidak Jenis Kayu Jumlah Nilai (Rp) 1 Giling Tidak - 2 Giling Ya Sengon, Jengkol Giling Ya Sengon, Mahoni Giling Ya Sengon Giling Tidak Giling Ya Sengon Giling Tidak Giling Ya Sengon Giling Ya Sengon Giling Tidak Giling Tidak Giling Ya Sengon Giling Tidak Giling Ya Sengon Giling Tidak Gunungsari Ya Mahoni Gunungsari Tidak Gunungsari Tidak Gunungsari Ya Sengon Gunungsari Tidak Gunungsari Ya Sengon Gunungsari Tidak Gunungsari Tidak Gunungsari Ya Sengon Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030

51 No. Desa Pernah Menjual Ya Tidak Jenis Kayu Jumlah Nilai (Rp) 25 Gunungsari Tidak Gunungsari Tidak Gunungsari Ya Sengon Gunungsari Ya Sengon Gunungsari Ya Sengon Gunungsari Tidak Payak Ya Sengon Payak Ya Sengon Payak Ya Sengon, Mahoni Payak Ya Sengon Payak Tidak Payak Ya Sengon Payak Ya Sengon Payak Ya Sengon Payak Tidak Payak Ya Sengon, Mahoni Payak Tidak Payak Ya Sengon Payak Ya Sengon Payak Ya Sengon Payak Ya Sengon Total nilai jual 3 tahun terakhir Rata2 nilai jual per tahun Rata2 nilai jual per KK per tahun Sumber: Diolah dari data primer, 2012 Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 39

52

53 Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052 Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani

54

55 1. Pendahuluan Deforestasi dipercaya menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia. Dengan demikian pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka merespon perubahan iklim. Dengan luas hutan tropis yang sangat besar, Indonesia dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam mengurangi emisi dari deforestasi melalui skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation and the Enhancement of Forest Carbon Stock in Developing countries (REDD+). Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk paling maju dalam persiapan pelaksanaan REDD+. Pembentukan Satgas REDD+, kebijakan moratorium penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam, penyusunan srategi nasional REDD+, persiapan-persiapan MRV dan safeguards, merupakan bukti-bukti kesiapan Indonesia melaksanakan REDD+. Sejak tahun 2008, setelah dilaksanakannya COP 13 di Bali, Kementerian Kehutanan, melalui Badan Litbang Kehutanan menjalin kerjasama penelitian dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) terkait dengan perbaikan tatakelola, kebijakan dan kelembagaan kehutanan untuk mendukung pelaksanaan skema REDD+ di Indonesia. Tujuan utama pelaksanaan proyek penelitian ini adalah mendukung pengembangan kebijakan dan kelembagaan REDD+ di tingkat provinsi dan kabupaten untuk memfasilitasi pelaksanaan REDD+ dan mendesain distribusi manfaat finansial REDD+ dari pendanaan internasional. Secara khusus, proyek penelitian ini memiliki empat tujuan. Tujuan khusus pertama adalah untuk mengidentifikasi penyebab deforestasi di tingkat provinsi sehingga diharapkan pemerintah provinsi lebih memahami penyebab-penyebab tersebut. Tujuan khusus kedua adalah menduga manfaat dan biaya deforestatsi dan REDD+ baik berupa analisis biaya dan manfaat ekonomi maupun pandangan para pihak (stakeholders) berkaitan dengan biaya dan manfaat REDD+. Tujuan khusus ketiga adalah analisis perbaikan tata kelola hutan untuk memberikan masukan kepada Kementerian Kehutanan mengenai alokasi lahan hutan dan praktik-praktik pengelolaan hutan yang lebih baik. Tujuan khusus keempat adalah mengembangan sistem tatakelola REDD+ yang terdesentralisasi. Dalam hal ini sistem yang dikembangkan adalah bagaimana pendanaan REDD+ dapat didesain dengan menggunakan sistem penganggaran nasional serta bagaimana sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dikembangkan di tingkat masyarakat lokal. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 43

56 Tulisan ini bertujuan untuk mensintesakan hasil-hasil penelitian yang telah dilaksanakan, terutama mengenai perbaikan tatakelola hutan dan pembangunan kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD+. Dalam hal ini, tujuan khusus ketiga dan keempat akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan ini karena merupakan ultimate goal dari beberapa tujuan khusus penelitian ini. Disamping itu, tujuan ketiga dan keempat penelitian ini dapat memberikan masukan konkret bagi perumusan dan perbaikan kebijakan kehutanan nasional untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan membahas: (1) analisis para pihak yang terlibat dalam rantai pasokan kayu dari hutan produksi serta permasalannya; (2) mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui kebijakan desentralisasi fiskal; dan (3) desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat. 2. Kerangka Teori dan Analisis REDD+ dikonseptaulisasikan sebagai mekanisme untuk memberikan kompensasi pada upaya pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan yang terverifikasi atau upaya peningkatan stok karbon yang terverifikasi (Viana et al., 2012). Dengan demikian REDD+ merupakan sistem pembayaran berbasis kinerja (Wertz-Kanounnikof and Angelsen, 2009). Kerangka utama REDD+ terdiri dari: (1) cakupan (scope); (2) reference level; (3) distribusi (distribution); dan (4) pendanaan (financing) (Parker et al., 2008). Cakupan REDD+ terkait dengan jenis-jenis kegiatan yang dapat dianggap sebagai kegiatan REDD+(Parker et al., 2008). REDD+ dalah sebuah inisiatif untuk menciptakan nilai finansial atas karbon yang disimpan di dalam hutan, dengan cara menawarkan insentif pada negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari hutan, dan meningkatkan stok karbon hutan melalui investasi dalam pembangunan rendah karbon (UN-REDD Programme, n.d.). Reference level REDD+ terkait dengan bagaimana stok karbon diukur dan atas dasar apa stok karbon berubah (Parker et al., 2008). Dengan demikian baselines di tingkat nasional, sebagai elemen penting dari skema REDD+, perlu dibangun. Perdebatan tentang penentuan baselines saat ini difokuskan pada dua hal: (1) prediksi deforestasi dan kerusakan hutan dalam skenario Business As Usual (BAU); (2) bagaimana kredit diberikan berdasarkan baseline, termasuk seberapa kuat suatu negara dalam negosiasi internasional (Angelsen, 2008). Distribusi REDD+ berkaitan dengan alokasi manfaat yang dihasilkan dari pengurangan emisi pada pihak-pihak 44 Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052

57 terkait, sementara mekanisme pendanaan REDD+ berkaitan dengan bagaimana dana REDD+ dimobilisasi (Parker et al., 2008). Dunia internasional telah menunjukkan keinginan yang kuat untuk melakukan transaksi REDD+, beberapa negara berkembang menunjukkan kemauan yang kuat untuk mengatasi permasalahan deforestasi dan kerusakan hutan dan perubahan iklim secara umum (Seymour and Angelsen, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa terdapay beberapa perkembangan positif dan prospektif terhadap REDD+, meskipun masa depan REDD+ sebagai mekanisme global masih tetap belum jelas (Seymour and Angelsen, 2012). Dengan demikian REDD+ masih merupakan inisiatif yang berguna untuk tetap didiskusikan (Seymour and Angelsen, 2012). Namun demikian ada beberapa elemen REDD+ yang masih perlu direalisasikan, yaitu: (1) kebutuhan untuk menyediakan pendanaan yang memadai dari negara maju, baik untuk mengkompensasikan biaya korbanan (opportunity costs) maupun untuk peningkatan kapasitas negara berkembang; (2) pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan; (3) pentingnya baselines nasional; (4) perlunya menangani masalah permanence dan leakage; dan (5) peran kunci dari manfaat pendamping (co-benefits) seperti keragaman hayati dan hak-hak serta mata pencaharian masyarakat sekitar hutan (Blaustein et al., 2007). Dari beberapa elemen tersebut, pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan, serta perlunya menangani masalah permanence dan leakage berkaitan langsung dengan perbaikan tatakelola kehutanan. Beberapa aktivitas produktif diizinkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengeksploitasi hutan dan seringkali menyebabkan kerusakan hutan dan berakhir pada alih fungsi lahan hutan. Pembalakan hutan biasanya merupakan awal dari pembukaan hutan alam secara legal berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian Kehutanan (Kartodihardjo and Supriono, 2000). Selama 4 dasawarsa terakhir, pemegang izin usaha pemanfaatan kayu dari hutan alam telah gagal mengimplementasikan pengelolaan hutan lestari (Kartodihardjo and Supriono, 2000). Dengan demikian, perbaikan tatakelola kehutanan merupakan upaya yang harus diprioritaskan untuk mengurangi kerusakan hutan yang mengarah deforestasi di kawasan hutan, terutama di kawasan hutan produksi. Dalam mempersiapkan pelaksanaan REDD+, selain perbaikan tata kelola kehutanan, distribusi manfaat REDD+ juga merupakan salah satu elemen yang perlu diperhatikan. Salah satu mekanisme mendistribusikan manfaat REDD+ adalah melalui dana perimbangan pusat dan daerah. Alokasi dana perimbangan pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk transfer fiskal antarpemerintah (intergovernmental fiscal transfers/ifts). Kriteria sebuah IFT yang baik antara lain adalah: (1) Keobyektifan, Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 45

58 untuk menjamin efisiensi layanan publik pada tingkat lokal; (2) Kenetralan, formula distribusi transfer harus dapat mempengaruhi pemerintah daerah memodifikasi belanja atau pajak daerahnya; (3) Otonomi, pemerintah daerah harus memiliki tingkat otonomi yang memadai; (4) Akuntabilitas, agar pemerintah daerah harus bertanggung jawab kepada pemberi transfer; dan (5) Kesederhanaan, agar mekanisme transfer tidak rumit sehingga mengurangi biaya transaksi (Bird, 2001, p.25). Pada tingkat masyarakat lokal, sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dirancang dengan menggunakan konsep pembayaran atas jasa lingkungan atau lebih dikenal sebagai payments for environmental/ecosystem services (PES). Bond et al. (2009) menyatakan bahwa PES memiliki peran yang penting dalam mengurangi alih fungsi dan kerusakan hutan. Dengan demikian, PES juga berpotensi untuk dapat menyukseskan pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional, sub-nasional, maupun masyarakat. Hasil penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa PES dapat dikombinasikan dengan program konservasi terpadu dimana pendapatan dari kehutanan dan agroforestri untuk menunjang ketahanan pangan/ekonomi dalam jangka pendek dan manfaat kelestarian lingkungan dalam jangka panjang (Hoang et al., 2012). PES dapat didefiniskan sebagai sebuah sistem yang transparan untuk penyediaan jasa lingkungan melalui pembayaran bersyarat pada penyedia jasa secara sukarela (Tacconi, 2012). Dengan demikian sebuah sistem imbal jasa lingkungan dapat disebut sebagai sebuah PES jika memenuhi syarat: (1) transparansi; (2) tambahan manfaat (additionality); (3) bersyarat (conditionality); dan (4) kesukarelaan. Agar dapat terjadi transaksi antara penyedia jasa dan penerima manfaat, nilai pembayaran dalam kerangka PES harus melebihi tambahan manfaat yang biasa diterima oleh para penyedia jasa jika memanfaatkan lahan untuk kepentingan lain (atau para penyedia jasa tidak akan bersedia untuk mengubah perilaku mereka) dan juga harus lebih rendah daripada nilai manfaat yang diterima oleh para pembeli jasa tersebut (atau mereka akan enggan untuk membayar jasa lingkungan tersebut) (Pagiola and Platais, 2002, p.22). Pendekatan PES untuk REDD+ mensyaratkan adanya sistem dan kerangka tata kelola yang efektif dan adil yang antara lain dicerminkan oleh kokohnya sistem hak atas lahan dan berfungsinya sistem pemantauan (monitoring) karbon hutan sebagai dasar pelaksanaan pembayaran (Bond et al., 2009). Dengan demikian, sistem tenurial dan tata kelola hutan di tingkat masyarakat merupakan salah satu syarat utama dalam perancangan PES untuk REDD+ yang melibatkan masyarakat sekitar hutan. Agrawal dan Angelsen (2009) merekomendasikan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat (community forest management) merupakan kendaraan yang baik untuk melaksanakan program-program REDD+ di tingkat masyarakat. 46 Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052

59 Lebih jauh Agrawal dan Angelsen (2009) menyarankan bahwa pelaksanaan REDD+ harus memerhatikan beberapa faktor yang memengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan REDD+, yaitu: (1) luas dan tata batas hutan; (2) aliran manfaat yang mudah diprediksi; (3) kelembagaan hak atas lahan hutan; dan (4) tingkat otonomi lokal. Berkaitan dengan hal ini, Ostrom (1990) menyatakan bahwa kelembagaan lokal memegang peranan sangat penting dalam membangun pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Akan tetapi, jika kelembagaan lokal belum secara formal diakui, maka perlu dilakukan pembenahan kebijakan kehutanan nasional untuk mengintegrasikan REDD+ dan PHBM (Agrawal, 2007). 3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian permasalahan dan para pihak yang terlibat sepanjang rantai pasokan kayu hutan adalah analisis kebijakan dengan tahapan: (1) Evaluasi kebijakan terkait dengan LULUCF; dan (2) Formulasi kebijakan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari (Nurrochmat et al., 2011). Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dalam kerangka snowball sampling (Nurrochmat et al., 2011). Penelitian mengenai desain mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui kebijakan desentralisasi fiskal dilaksanakan dengan metode campuran antara kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan adalah analisis biaya dan manfaat konservasi sumberdaya hutan bagi pemerintah daerah. Biaya yang dihitung adalah biaya korbanan atas penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi selain konservasi hutan (Irawan et al., 2011). Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui hubungan sebab-akibat dalam pengurangan deforestasi di daerah (Irawan et al., 2011). Untuk penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat, metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif sengan menggunakan analisis para pemangku (stakeholder analysis), analisis klaim tenurial (tenure claim analysis), serta analisis politik ekonomi REDD+ (Muttaqin, 2012). Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara, focus groups dan lokakarya (Muttaqin, 2012). Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 47

60 4. Ringkasan Hasil Penelitian Hasil penelitian rantai pasokan kayu menunjukkan bahwa terdapat tiga permasalahan utama yang harus diperhatikan untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia, yaitu: (1) permasalahan sistem legalitas sehubungan dengan ketidakkonsistenan peraturan, ketidaklengkapan peraturan, dan legitimasi peraturan yang rendah; (2) permasalahan pengorganisasian pengelolaan hutan; dan (3) permasalahan berkaitan dengan kebijakan fiskal (Nurrochmat et al., 2011). Permasalahan ketidakkonsistenan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari pndefinisian hutan yang berbeda-beda antara UU Kehutanan, UU Tata Ruang dan UU Otonomi Daerah (Nurrochmat et al., 2011). Ketidaklengakapan peraturan dapat dilihat dari belum adanya peraturan mengenai karbon hutan, sedangkan rendahnya legitimasi peraturan dapat dilihat dari peraturan mengenai SKSKB dan SKAU (Nurrochmat et al., 2011). Hasil penelitian distribusi manfaat REDD+ di tingkat pemerintahan menunjukkan bahwa dana perimbangan pusat dan daerah perlu ditujukan untuk mengkompensai pengelolaan dan biaya korbanan kegiatan konservasi; khusus untuk kompensasi biaya korbanan, dan perimbangan perlu didesain lebih fleksibel sesuai kebutuhan daerah (Irawan et al., 2011). Meskipun menyarankan penggunaan transfer anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, Irawan et al. (2011) menyaratkan adanya penganggaran berdasarkan kinerja pemerintah daerah dalam konservasi sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya adalah pengurangan emisi karbon. Hasil penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat menunjukkan bahwa desain PES untuk REDD+ di tingkat masyarakat dapat dilakukan melalui dua tahapan dimana tahap pertama adalah perbaikan sistem tenurial, dan tahapan kedua adalah mekanisme PES murni (Muttaqin, 2012). Pembangunan kelembagaan pengelolaan hutan berbagis masyarakat (PHBM) itu nantinya dapat diklaim sebagai bagian dari biaya pelaksaan REDD+ sehingga layak untuk mendapatkan kompensasi dari dana REDD+ (Muttaqin, 2012). 48 Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan Kehutanan untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian Kehutanan FST/2007/052

61 5. Pelajaran yang Dapat Diambil Meskipun tingkat persiapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia termasuk yang paling maju di dunia, masih banyak persoalah kelembagaan yang perlu dibenahi oleh berbagai pihak agar skema REDD+ dapat dijalankan dengan prinsip-prinsip efisiensi, efektifitas, berkeadilan, dan berkelanjutan. Perbaikan system peraturan perundang-undangan merupakan salah satu basis dalam membangun kelembagaan REDD+ di Indonesia. Jika peraturan perundang-undangan sudah mampu mendukung kelembagaan REDD+, maka sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Secara implicit, hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Kementerian Kehutanan dan Kementrerian Keuangan dalam membangun sistem distribusi insentif REDD+ sangat besar sehingga perlu didorong untuk segera menyelesaikan hambatan struktural dalam perumusan kebijakan dan penyusuan peraturan perundang-undangan. Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 49

62 Daftar Pustaka AGRAWAL, A Forests, Governance, and Sustainability: Common property theory and its contributions, International Journal of the Commons, 1, AGRAWAL, A. & ANGELSEN, A Using Community Forest Management to Achieve REDD+ Goals, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ- KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National strategy and policy options. Bogor: CIFOR. ANGELSEN, A How do we set the reference levels for REDD payments?, In: ANGELSEN, A. (ed.) Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications. Bogor: CIFOR. BIRD, R Intergovernmental Fiscal Relations in Latin America: Policy Design and Policy Outcomes. Washington, DC: Inter-American Development Bank. BLAUSTEIN, R., ETTLINGER, R. B., BOUCHER, D., MACEY, K., RYAN, F. & SCHWARTZMAN, S Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Available: global_warming/can_redd_discussion_paper.pdf. BOND, I., GRIEG-GRAN, M., WERTZ-KANOUNNIKOFF, S., HAZLEWOOD, P., WUNDER, S. & ANGELSEN, A Incentives to Sustain Forest Ecosystem Services: A review and lessons for REDD. London, Bogor and Washington, D.C.: International Institute for Environment and Development, London, UK, with CIFOR, Bogor, Indonesia, and World Resources Institute, Washington D.C., USA. HOANG, M. H., DO, T. H., PHAM, M. T., NOORDWIJK, M. V. & MINANG, P. A Benefit Distribution Across Scales to Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Vietnam, Land Use Policy, In Press. IRAWAN, S., TACCONI, L. & RING, I Designing Intergovernmental Fiscal Transfers for Conservation: The case of REDD+ revenue distribution to local governments in Indonesia Working Paper #3. Canberra: Asia Pacific Network for Environmental Governance, The Australian National University. 50 Daftar Pustaka

63 KARTODIHARDJO, H. & SUPRIONO, A Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Bogor, Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). MUTTAQIN, M. Z Designing Payments for Environmental Services (PES) to Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Indonesia PhD Thesis Submitted for Examination, The Australian National University. NURROCHMAT, D. R., KOSMARYADI, N. & HADIANTO, A Analysis of Problems & Stakeholders Influencing the Timber Supply Chain in Production Forests & Land Clearing Permits. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. OSTROM, E Governing the Commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge; New York: Cambridge University Press. PAGIOLA, S. & PLATAIS, G Payments for Environmental Services Environment Strategy Notes [Online], May Available: worldbank.org/external/default/wdscontentserver/wdsp/ib/2004/08/26/ _ /Rendered/PDF/296710English0EnvStrategyNote pdf [Accessed 13/11/2008]. PARKER, C., MITCHELL, A., TRIVEDI, M. & MARDAS, N The Little REDD Book: A guide to governmental and non-governmental proposals for reducing emissions from deforestation and degradation. Oxford: Global Canopy Foundation. SEYMOUR, F. & ANGELSEN, A Summary and Conclusions: REDD wine in old wineskins?, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National strategy and policy options. Bogor: CIFOR. SEYMOUR, F. & ANGELSEN, A Summary and Conclusions: REDD+ without regrets, In: ANGELSEN, A., BROCKHAUS, M., SUNDERLIN, W. D. & VERCHOT, L. V. (eds.) Analysing REDD+: Challenges and choices. Bogor: CIFOR. TACCONI, L Redefining Payments for Environmental Services, Ecological Economics, 73, Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 51

64 UN-REDD PROGRAMME. n.d. About REDD+. UN-REDD Programme. Available: [Accessed 20/06/ 2012]. VIANA, V. M., AQUINO, A. R., PINTO, T. M., LIMA, L. M. T., MARTINET, A., BUSSON, F. & SAMYE, J. M REDD+ and Community Forestry: Lessons learned from an exchange of Brazilian experiences with Africa. Manaus, Brazil: The World Bank/Amazonas Sustainable Foundation. WERTZ-KANOUNNIKOF, S. & ANGELSEN, A Global and National REDD+ Architecture: Linking institutions and actions, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National strategy and policy options. Bogor: CIFOR. 52 Daftar Pustaka

65 REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility Niken Sakuntaladewi Novi Widyaningtyas

66

67 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kawasan Hutan di Indonesia meliputi areal kurang lebih seluas 136,88 juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang terletak pada kawasan tropis dunia, hutan Indonesia terdiri dari 15 formasi hutan dimana sebagian besar didominasi oleh tipe hutan hujan tropis. Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai tempat megadiversity baik di daratan maupun perairan (Kemenhut, 2010). Kelestarian hutan adalah prioritas untuk Indonesia. Permasalahan deforestasi yang tidak terencana, pembalakan liar, kebakaran hutan, dan degradasi lahan gambut merupakan masalah nasional dan internasional karena menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GHG). Masalah lingkungan ini juga menimbulkan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi, baik lokal, regional, maupun global. Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/FCPF) membantu negara-negara berkembang dalam upaya mitigasi emisi dari deforestasi dan degradasi huta, meningkatkan serapan karbon, konservasi, dan pengelolaan hutan lestari. Indonesia merupakan salah satu lembaga pertama yang mendapat pendanaan FCPF untuk meningkatkan kapasitas dalam menyiapkan kerangka infrastruktur untuk implementasi REDD+ (PUSPIJAK, 2011:1). Grant Funding yang diberikan untuk FCPF Indonesia adalah sebesar US$3,6 juta. Dana tersebut diberikan untuk melaksanakan R-PP (Readiness Preparation Plan- Proposal-Persiapan Kesiapan Indonesia) dengan mekanisme pengelolaan on budget-on treasury. Sebagai koordinator dalam FCPF Indonesia adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan cq Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. 1.2 Tujuan Tujuan kerjasama ini adalah untuk membantu pengembangan kapasitas institusi penerima dalam merancang strategi nasional REDD+ membangun skenario acuan tingkat nasional dan sub nasional, dan membangun sistem perhitungan karbon dan monitoring sesuai dengan kondisi lokal, regional dan nasional. Dengan demikian, tujuan pengembangan akan dipantau melalui indikator berikut ini: Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 55

68 1. SESA dipersiapkan dan disetujui oleh para pemangku kepentingan nasional termasuk lembaga-lembaga pemerintah yang kompeten; 2. Situasi dan kondisi yang berdampak pada Skenario Acuan Nasional (dasar) diukur dan dibahas bersama para pemangku kepentingan yang relevan, dan 3. Kajian tentang penyebab deforestasi, opsi bagi hasil dan opsi intervensi yang semakin memperkuat Strategi REDD+ nasional disusun dan disetujui oleh Pemerintah setelah dibahas dan disahkan oleh para pemangku kepentingan. 1.3 Cakupan Kegiatan Program FCPF mempunyai empat komponen utama: 1. Kegiatan analisis yang mencakup kaijian tentang penyebab deforestasi dan tentang investasi serta intervensi lain yang dibutuhkan untuk mengurangi deforestasi dan emisi gas rumah kaca; 2. Dukungan bagi proses kesiapan. Komponen ini mencakup: kajian terhadap peraturan-peraturan baru yang relevan dengan REDD+; peningkatan kapasitas lembaga dan pemangku kepentingann; kajian cepat terhadap opsi bagi hasil; sub komponen besar konsultasi dan sosialisasi yang mencakup semua pelaku termasuk Masyarakat Adat; dan penyelesaian Kajian Lingkungan Hidup dan Sosial Strategis (SESA) serta penyusunan Kerangka Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial (ESMF) 3. Kajian dan pengukuran dampak perubahan tata guna lahan terhadap emisi gas rumah kaca. Komponen ini akan mengkaji dan mengukur dampak dari perubahan tata guna lahan terhadap stok karbon, mengembangkan deret waktu perubahan lahan dan mendukung sistem pemantauan stok karbon, mengembangkan deret waktu perubahan lahan dan mendukung sistem pemantauan stok karbon di tingkat lapangan. Penilaian dan pementauan Stok karbon terutama akan dibiayai oleh FAO (UN-REDD) dan AusAid; 4. Pengumpulan data dan peningkatan Kapasitas Daerah. Komponen proyek yang keempat ini akan memfasilitasi kegiatan REDD+ yang relevan di tingkat subnasional (daerah) dengan mengumpulkan data sosial ekonomi dan sumber daya hayati serta parameter-parameter lain yang dibutuhkan. 56 REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility

69 1.4 Hasil-Hasil Utama 1. Pemahaman dan pengetahuan tentang penyebab deforestasi dan degradasi hutan serta tentang strategi untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan meningkat; hasil kajian tentang opsi-opsi investasi prioritas untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan tersedia; kegiatan di Indonesia yang berhasil mengurangi emisi dan meningkatkan penyerapan karbon, serta stabilisasi stok karbon hutan dikaji; dan pemahaman tentang status, kesenjangan dan kebutuhan peningkatan kapasitas untuk melaksanakan kerangka REDD+ nasional meningkat; 2. Peraturan-peraturan yang ada tentang REDD+ dikaji; kapasitas lembaga yang berkaitan dengan REDD+ meningkat; kesadaran dan rasa memiliki terhadap proses kesiapan meningkat melalui konsultasi dan sosialisasi; kapasitas pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, untuk ikut dalam proses pengembangan kebijakan diperkuat; dan Kerangka Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial yang berfokus pada kegiatan Demonstrasi REDD+ yang akan datang tersedia. 3. Pemahaman tentang siklus karbon terestrialdari berbagai bentuk penggunaan lahan meningkat; hasil analisis deret waktu terhadap aspek sosial eonomi dan kebijakan utama dari perubahan tata guna lahan tersedia; dan Patok Sample Permanen (PSP) meningkatkan kepastian pada perkiraan GRK dari REDD+ di berbagai jenis hutan di kawasan-kawasan terpilih. 4. Data terbaru tentang potensi REDD+ di Propinsi terpilih dihasilkan; kapasitas untuk menyusun kerangka REDD+ dan melaksanakan program-program REDD+ di lokasi sub nasional terpilih (lokasi: Kalimantan Selatan, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Kabupaten Musi Rawas-Sumatera Selatan, NAD). 2. Perkembangan Hingga Saat Ini ( ) Kegiatan Hasil A. WB: Sosialisasi awal SESA Pemahaman awal SESA B. PUSTANLING 1. Workshop on DD From Development perspective, LU & demand, demographic, development & identification of activities that result in RE & increased removals & stabilization of forest C stocks Prosiding Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 57

70 Kegiatan Hasil 2. Outrech on management of data & lessons on readiness activities/da 3. Stakeholder process to review existing regulatory framework and formulate an integrated REDD regulation Prosiding Prosiding C. PUSPIJAK 1. Launcing FCPF 2. Penyusunan TOR TOR 3. Pembuatan Flyer Draft Flyer (3 buah) 4. Penyelesaian Reksus &Peraturan Dirjen Perbendaharaan Reksus dan Perdirjen 5. Penyusunan manual Draft manual FCPF 6. Stakeholder coordination workshop Comprehensive Mitigation Action for REDD+ Gambaran tentang pemahaman stakeholder tenteng REDD+ & saran terhadap program FCPF 7. Training Need Assesment workshop Modul pelatihan 8. Stakeholder Coordination workshop for sharing & learning on methods, techniques and institutional of demonstration activities (DA) to support forestry GHG emission reduction target 9. Shared learning Through Printed Publication and website Progress dan pemetaan DA Flyer, warta, buku laporan kegiatan 10. Workshop on MRV (Pusat dan sub nasional) 11. Establishment of PSP for ground based monitoring 12. Identify activities within the country that result in reduced emission and increased removals and stabilization of forest carbon stocks 13. Development time series analysis of the primary social economic and policy aspect of land use change 14. Development of social economic and biophysics baseline data for evaluating the readiness of REDD+ implementation 15. Training of trainer on carbon accounting and monitoring at national level 58 REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility

71 Kegiatan Hasil D. Dewan Kehutanan Nasional (DKN) 1. Develop guidance for effective engagement of IP and local Comunity a. Pengembangan panduan konsultasi publik untuk REDD+ b. Pengembangan panduan keterlibatan masyarakat secara efektif di tataran lapangan untuk REDD 2. Workshop to develop Guidance for effective engagement of IP and local communities a. Konsultasi publik untuk penyempurnaan pedoman konsultasi publik untuk REDD+ b. Konsultasi publik panduan keterlibatan masyarakat untuk REDD+ 3. Development of SESA a. Review instrumen SESA untuk REDD+ b. Konsultasi publik SESA untuk REDD+ c. Penyempurnaan sistem info pengaman untuk sosial dan lingkungan untuk REDD+ d. Pendokumentasian final-sistem informasi SESA untuk REDD+ Prosiding Workshop Kerjasama Internasional 59

72

73 Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia Sulistyo A. Siran

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN TROPICAL FOREST CONSERVATION FOR REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION AND ENHANCING CARBON STOCKS IN MERU BETIRI NATIONAL PARK, INDONESIA ITTO PD 519/08 REV.1 (F) KEMENTERIAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

Oleh : Pusat Sosial Ekonomi Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Oleh : Pusat Sosial Ekonomi Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KONSERVASI HUTAN TROPIS UNTUK PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN, SERTA PENINGKATAN KARBON STOK DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, INDONESIA ITTO PROJECT PD 519/08 Rev.1 (F) Jl. Gunung

Lebih terperinci

MENUJU PERDAGANGAN KARBON DARI KEGIATAN DA REDD+: PEMBELAJARAN DARI DA REDD+ DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI INDONESIA ITTO PD 519/08 REV.

MENUJU PERDAGANGAN KARBON DARI KEGIATAN DA REDD+: PEMBELAJARAN DARI DA REDD+ DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI INDONESIA ITTO PD 519/08 REV. MENUJU PERDAGANGAN KARBON DARI KEGIATAN DA REDD+: PEMBELAJARAN DARI DA REDD+ DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI INDONESIA ITTO PD 519/08 REV.1 (F) ARI WIBOWO ariwibowo61@yahoo.com KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN

Lebih terperinci

HASIL KAYU DAN HASIL BUKAN KAYU SEBAGAI INSENTIF PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT SENGON DI PATI. Oleh: Setiasih Irawanti ABSTRAK

HASIL KAYU DAN HASIL BUKAN KAYU SEBAGAI INSENTIF PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT SENGON DI PATI. Oleh: Setiasih Irawanti ABSTRAK 1 HASIL KAYU DAN HASIL BUKAN KAYU SEBAGAI INSENTIF PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT SENGON DI PATI Oleh: Setiasih Irawanti ABSTRAK Kabupaten Pati dipilih sebagai lokasi studi karena memiliki potensi hutan rakyat

Lebih terperinci

Oleh/ By : Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, Sulistya Ekawati

Oleh/ By : Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, Sulistya Ekawati PERANAN KAYU DAN HASIL BUKAN KAYU DARI HUTAN RAKYAT PADA PEMILIKAN LAHAN SEMPIT: KASUS KABUPATEN PATI ( The Role of Timber and Non-timber Forest Products from Community Forest on Small-scale Land Ownership:

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 2085-787X Policy Volume 4 No. 3 Tahun 2010 Melihat Demonstration Activity

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI KONTRIBUSI NON-PARTY STAKEHOLDERS (NPS) DI KALIMANTAN TIMUR DALAM PEMENUHAN NDC FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI Niken Sakuntaladewi (niken_sakuntaladewi@yahoo.co.uk) Pusat Litbang Sosial,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan ANALISIS SOSIAL BUDAYA REDD+ 2011 Penyusunan Kriteria Indikator Pemilihan Lokasi dan Strategi Keberhasilan Implementasi REDD dari Perspektif Struktur Sosial Budaya Tim Peneliti PUSPIJAK Pusat Penelitian

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN International Conference on Sustainable Mangrove Ecosystems Bali, 18 April 2017 Yang kami

Lebih terperinci

Hambatan, Peluang dan Saran Kebijakan

Hambatan, Peluang dan Saran Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN: 2085-787X Volume 7 No. 9 Tahun 2013 Menuju Komersialisasi Kayu Hutan

Lebih terperinci

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Oleh : Ir. HENDRI OCTAVIA, M.Si KEPALA DINAS KEHUTANAN PROPINSI SUMATERA BARAT OUTLINE Latar Belakang kondisi kekinian kawasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI Koordinator DEDEN DJAENUDIN TARGET OUTPUT RPI 2010-2014 SINTESA OUTPUT 1: OUTPUT 2: OUTPUT 3: OUTPUT 4: OUTPUT 5: Sosial

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERDAGANGAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI KARBON HUTAN INDONESIA ATAU INDONESIA CERTIFIED EMISSION REDUCTION

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) I. PENDAHULUAN - IAFCP didasarkan pada Kesepakatan Kerjasama ditandatangani oleh Presiden RI dan Perdana Menteri Australia 13 Juni 2008, jangka waktu

Lebih terperinci

PEMBAGIAN MANFAAT REDD+ DI KAWASAN HUTAN

PEMBAGIAN MANFAAT REDD+ DI KAWASAN HUTAN PEMBAGIAN MANFAAT REDD+ DI KAWASAN HUTAN Muhammad Zahrul Muttaqin P3SEKPI, BLI KLHK Jakarta, 28 November 2017 Pendahuluan REDD+ sebagai positif insentif REDD+ sebagai sebuah program nasional yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA SEMINAR DAN PAMERAN HASIL PENELITIAN DI MANADO. Manado, Oktober 2012

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA SEMINAR DAN PAMERAN HASIL PENELITIAN DI MANADO. Manado, Oktober 2012 SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA SEMINAR DAN PAMERAN HASIL PENELITIAN DI MANADO Manado, 23-24 Oktober 2012 Assalamualaikum Warakhmatullah Wabarakatuh Salam Sejahtera bagi

Lebih terperinci

Judul. Rehablitasi Lahan Dan Hutan Melalui Pengembangan Hkm Untuk Peningkatan Daya Dukung DAS Moyo Kabupaten Sumbawa Lembaga Olah Hidup (Loh)

Judul. Rehablitasi Lahan Dan Hutan Melalui Pengembangan Hkm Untuk Peningkatan Daya Dukung DAS Moyo Kabupaten Sumbawa Lembaga Olah Hidup (Loh) Judul Pelaksana Fokus Area Rehablitasi Lahan Dan Hutan Melalui Pengembangan Hkm Untuk Peningkatan Daya Dukung DAS Moyo Kabupaten Sumbawa Lembaga Olah Hidup (Loh) Mitigasi Berbasis Lahan Kerangka Presentasi

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK PROGRES DAN POTENSI OUTLINE HAKI DARI SUDUT PANDANG PUSPIJAK PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK IDENTIFIKASI POTENSI HAKI POTENSI PEROLEHAN HAKI 1 HAKI DARI SUDUT PANDANG PUSPIJAK LITBANG

Lebih terperinci

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program

Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program Avoided Deforestation & Resource Based Community Development Program Tujuan Tersedianya aliran finansial yang stabil untuk kegiatan konservasi dan pengembangan masyarakat melalui penciptaan kredit karbon

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012-2013 Tim Puspijak Disampaikan di Kupang, 16-17 Oktober 2014 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

pembayaran atas jasa lingkungan

pembayaran atas jasa lingkungan Zahrul Muttaqin ACIAR Project No. FST/2007/052 on Improving governance, policy and institutional arrangements to reduce emissions from deforestation and degradation (REDD) PENDAHULUAN Indonesia sedang

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD

PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD Draft 18 Maret 2009 LAMPIRAN 1 PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD Untuk pemberian rekomendasi pelaksanaan REDD, Pemerintah Daerah terlebih dahulu melakukan penilaian

Lebih terperinci

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012 For more information, contact: Leony Aurora l.aurora@cgiar.org Cell Indonesia: +62 (0)8111082309 Budhy Kristanty b.kristanty@cgiar.org Cell Indonesia: +62 (0)816637353 Sambutan Frances Seymour, Direktur

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul: Jenis Kegiatan: Mitigasi Berbasis Lahan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dr. Ir Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dr. Ir Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya Prosiding Workshop MRV dalam rangka REDD+ di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Prosiding ini merupakan hasil dari workshop dengan judul yang sama yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

PEMANFAATAN JASA KARBON HUTAN DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI Operasionalisasi Peran Konservasi kedalam REDD+ di Indonesia

PEMANFAATAN JASA KARBON HUTAN DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI Operasionalisasi Peran Konservasi kedalam REDD+ di Indonesia PEMANFAATAN JASA KARBON HUTAN DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI Operasionalisasi Peran Konservasi kedalam REDD+ di Indonesia Denpasar, 14 September 2017 Internalisasi Hasil Perundingan Perubahan Iklim kedalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) 1 seluas 140,4 juta hektar terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

Rantai Perdagangan Kehutanan

Rantai Perdagangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN Asef K. Hardjana dan Suryanto Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Dalam rangka persiapan pelaksanaan

Lebih terperinci

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM PENDANAAN REDD+ Ir. Achmad Gunawan, MAS DIREKTORAT MOBILISASI SUMBERDAYA SEKTORAL DAN REGIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM OUTLINE ISU PENDANAAN REDD+ PROGRESS PENDANAAN REDD+ di INDONESIA

Lebih terperinci

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+ MENTERI KEHUTANAN LETTER OF INTENT (LOI) ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH NORWEGIA TENTANG KERJASAMA PENGURANGAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI KEHUTANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

LAPORAN PENYELENGGARA DAN SAMBUTAN

LAPORAN PENYELENGGARA DAN SAMBUTAN LAPORAN PENYELENGGARA DAN SAMBUTAN 1 PROSIDING Workshop Nasional 2006 2 LAPORAN KETUA PANITIA PENYELENGGARA Oleh: Ir. Tajudin Edy Komar, M.Sc Koordinator Pre-Project ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F) Assalamu

Lebih terperinci

SAMBUTAN. PADA PEMBUKAAN SEMINAR BENANG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGAN PERUBAHAN IKLIM Manado, 28 Mei 2015

SAMBUTAN. PADA PEMBUKAAN SEMINAR BENANG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGAN PERUBAHAN IKLIM Manado, 28 Mei 2015 SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN SEMINAR BENANG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGAN PERUBAHAN IKLIM Manado, 28 Mei 2015 Yang saya hormati: 1. Kepala Dinas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010 STRATEGI REDD - INDONESIA FASE READINESS 2009 2012 dan progress implementasinya Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia Jakarta, 6 Januari 2010 AusAID KERJASAMA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010

REDD - INDONESIA STRATEGI. Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia. Jakarta, 6 Januari 2010 STRATEGI REDD - INDONESIA FASE READINESS 2009 2012 dan progress implementasinya Disampaikan Pada Peluncuran Demonstration Activities REDD Indonesia Jakarta, 6 Januari 2010 AusAID KERJASAMA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama dari pengelolaan taman nasional adalah untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menyediakan jasa ekosistem. Sebuah taman nasional memegang peranan yang

Lebih terperinci

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI

Oleh: PT. GLOBAL ALAM LESTARI Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon dan/atau Penyimpanan Karbon (PAN-RAP Karbon) Nomor: SK. 494/Menhut-II/2013 Hutan Rawa Gambut Tropis Merang-Kepayang Sumatera Selatan, Indonesia Oleh: PT. GLOBAL

Lebih terperinci

PEDOMAN DAN APLIKASI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN

PEDOMAN DAN APLIKASI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN PEDOMAN DAN APLIKASI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN PEDOMAN PENGUKURAN KARBON UNTUK MENDUKUNG PENERAPAN REDD+ DI INDONESIA 45 51 47 MUTAN Model Ekonomi Usaha Tani Hutan 49 SOFTWARE NERACA SUMBER DAYA HUTAN Untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

- Saudara Kepala Dinas/Badan Lingkup Pemerintah

- Saudara Kepala Dinas/Badan Lingkup Pemerintah - Saudara Kepala Dinas/Badan Lingkup Pemerintah SAMBUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PADA LOKAKARYA MENYIAPKAN SKEMA PENGELOLAAN HUTAN BERBASISKAN MASYARAKAT SEBAGAI PENERIMA MANFAAT UTAMA PENDANAAN KARBON

Lebih terperinci

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP Laporan No.: Nama Proyek Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor Lingkungan dan Pedesaan ID

Lebih terperinci

KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN

KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN BIRO PERENCANAAN SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN KEHUTANAN JAKARTA, JANUARI 2007 Latar belakang Negosiasi Bilateral G-G, Oktober 2007 telah menyetujui program

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

Kebijakan Pelaksanaan REDD

Kebijakan Pelaksanaan REDD Kebijakan Pelaksanaan REDD Konferensi Nasional terhadap Pekerjaan Hijau Diselenggarakan oleh Organisasi Perburuhan Internasional Jakarta Hotel Borobudur, 16 Desember 2010 1 Kehutanan REDD bukan satu-satunya

Lebih terperinci

STANDAR PLAN VIVO UNTUK DA REDD+ DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

STANDAR PLAN VIVO UNTUK DA REDD+ DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI STANDAR PLAN VIVO UNTUK DA REDD+ DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI Oleh: Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com ALIH TEKNOLOGI PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN LITBANG KEHUTANAN Jakarta. 12 Desember

Lebih terperinci

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima No.161, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Perangkat REDD+. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 03 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 03 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 03 Tahun

Lebih terperinci

Program Mitigasi Berbasis Lahan pada Kawasan Karst, DAS Kritis, dan Kawasan Konservasi di Kabupaten Gunungkidul Yayasan JAVLEC Indonesia

Program Mitigasi Berbasis Lahan pada Kawasan Karst, DAS Kritis, dan Kawasan Konservasi di Kabupaten Gunungkidul Yayasan JAVLEC Indonesia Judul Pelaksana Fokus Area Program Mitigasi Berbasis Lahan pada Kawasan Karst, DAS Kritis, dan Kawasan Konservasi di Kabupaten Gunungkidul Yayasan JAVLEC Indonesia Mitigasi Berbasis Lahan Kerangka Presentasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN 1 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PERESMIAN PROGRAM MECU (MOBILE EDUCATION CONSERVATION UNIT) DAN PENYERAHAN SATWA DI DEALER FORD ROXY MAS HARI JUMAT TANGGAL 11 MARET

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Kemitraan Untuk REDD+: Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil CIFOR, Maret Untuk apa kita berada disini?

Kemitraan Untuk REDD+: Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil CIFOR, Maret Untuk apa kita berada disini? Kemitraan Untuk REDD+: Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil CIFOR, 17-19 Maret 2010 Untuk apa kita berada disini? Tulislah dalam metaplan, apa yang diharapkan dalam lokakarya ini. 1

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul : Jenis Kegiatan : Adaptasi dan Ketangguhan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan BAB I. PENDAHU LUAN BAB I. PENDAHULUAN Hal pokok yang disajikan dalam bagian ini yaitu : (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan peneltian, dan (4) manfaat penelitian. Latar belakang memuat

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DALAM ACARA PERINGATAN HARI MENANAM POHON INDONESIA (HMPI) DAN BULAN MENANAM NASIONAL (BMN)

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DALAM ACARA PERINGATAN HARI MENANAM POHON INDONESIA (HMPI) DAN BULAN MENANAM NASIONAL (BMN) SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DALAM ACARA PERINGATAN HARI MENANAM POHON INDONESIA (HMPI) DAN BULAN MENANAM NASIONAL (BMN) TAHUN 2014 DI SELURUH INDONESIA Yang terhormat : Gubernur/Bupati/Walikota

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

ISSN : X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

ISSN : X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Volume 5 No. 8 Tahun 2011 Strategi Penurunan Emisi Gas

Lebih terperinci

Segenap peserta upacara yang berbahagia;

Segenap peserta upacara yang berbahagia; BUPATI KEBUMEN SAMBUTAN BUPATI KEBUMEN PADA UPACARA BENDERA 17-AN BULAN MARET 2016 SEKALIGUS PERINGATAN HARI BAKTI RIMBAWAN KE-33 Kamis, 17 Maret 2016 Assalamu alaikum wr. wb. Selamat Pagi dan Salam Sejahtera.

Lebih terperinci

Deforestasi merupakan penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak

Deforestasi merupakan penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak Deforestasi merupakan penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak terkendali. Dilakukan dengan cara menebang, membakar, atau mengalihkan fungsi hutan menjadi pertambangan. Degradasi hutan merupakan

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan ISSN : 2085-787X Volume 5 No. 2 Tahun 2011 Transfer Fiskal antara Pemerintah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2009

Lebih terperinci