BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara berpotensi bencana (hazard potency) yang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara berpotensi bencana (hazard potency) yang sangat tinggi sehingga Indonesia di tempatkan sebagai negara dengan resiko bencana terbesar kedua di dunia (Bakornas, 2003) posisi geografis dan kondisi geologis Indonesia tersebut tergolong sangat kompleks, bagian barat sampai selatan Indonesia merupakan daerah sub zona konduksi yang juga merupakan jalur gunung api. Indonesia memiliki sekitar 123 gunung berapi yang masih aktif yang membentang mulai dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku (LIPI, 2002). Selain itu wilayah Indonesia rawan terhadap timbulnya berbagai macam bencana alam seperti bencana gunung meletus, gempa bumi, banjir dan tanah longsor, terlebih kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng utama yaitu, lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Dalam kurun waktu 15 tahun yaitu sejak tahun Indonesia mengalami berbagai bencana alam besar yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, bencana tidak hanya menelan korban jiwa dan mengakibatkan banyak korban luka yang dapat mengakibatkan kecacatan tapi bencana juga merusak infra struktur yang ada seperti jalan, bangunan2 untuk layanan publik, seperti sekolah dan rumahsakit. Bencana menghancurkan rumah, bangunan sekolah, merusak dan membawa pergi barang barang berharga, bencana tak hanya membuat orang 1

2 miskin, namun juga membuat orang bodoh (Pereznito and Harding, 2013). Oleh karenanya upaya mencegah dan menanggulangi bencana harus dilakukan agar dapat mengurangi besarnya kerusakan dan menurunkan jumlah korban luka ataupun mati. Pengenalan dan pengurangan risiko bencana merupakan salah satu upaya pencegahan atau penanggulangan bencana yang harus dilakukan sejak dini, kesiapsiagaan terhadap bencana akan meluputkan dari kejadian bencana atau setidaknya sangat mengurangi kerugian kerusakan, korban jiwa dan luka luka. Salah satu faktor utama penyebab timbulnya banyak korban akibat bencana adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bencana dan kesiapan mereka dalam mengantisipasi bencana tersebut. Pengetahuan terhadap bencana merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan bencana, kesiapsiagaan bencana merupakan faktor yang mengurangi risiko bencana (Nugroho, 2007). Oleh karena itu, memberikan informasi tentang kebencanaan sejak dini kepada masyarakat yang rentan bencana serta menumbuhkan sikap kesiapsiagaannya menjadi hal yang harus dilakukan pada masyarakat yang hidup didaerah yang rawan bencana. Menurut Gavagan TF dan Noji E., (2011) Saat bencana datang dokter dan perawat yang tinggal di sekitar area bencana biasanya akan berada didepan memimpin penyelamatan dan mengupayakan perawatan terhadap korban luka dan mencegah terjadinya penyakit yang kerap muncul setelah terjadi bencana sedangkan Bagatel, S dan Wiese J, 2008 dalam Mark K Huntington, (2011) mengatakan, pengetahuan tentang bagaimana melakukan tanggap darurat bencana bersama lembaga atau organisasi lain sangat dibutuhkan oleh dokter karena dokter 2

3 kerap belum pernah dipersiapkan untuk melakukan tanggap darurat bencana dan bekerja dalam tekanan dengan tim di lapangan. Daily et Al, (2010). Menemukan bahwa pada saat bencana, tenaga kesehatan yang diharapkan mampu berperan dan terlibat aktif digaris depan untuk membantu korban bencana, ternyata mereka malah bingung tidak tahu harus melakukan apa, karena tidak pernah disiapkan untuk menghadapi bencana. Sedangkan Gavagan & Huntington, (2011) mengatakan bahwa kemampuan tenaga kesehatan dalam menangani kegawatdaruratan saat bencana masih buruk. Carenzo dan Della corte, (2014), mengatakan bahwa tenaga kesehatan belum memahami perannya saat mereka melakukan tanggap darurat bencana, malahan Huntington, Mark K. And Gavagan Thomas F,(2011) mengatakan bahwa saat terjadinya gempa bumi di Haiti, Physician tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana berkoordinasi dengan lembaga lembaga lain saat terjadi bencana, karena Physician merupakan group yang belum dipersiapkan untuk menghadapi bencana alam dan belum mempunyai pengalaman menghadapi bencana. Kesadaran akan keterbatasan dan kurangnya kompetensi tim rapid respons dalam menghadapi bencana ini sudah disadari lama sejak 2003, Oleh lembaga lembaga kemanusiaan yang merespon bencana, sehingga beberapa lembaga pendidikan di Jerman setelah tsunami 2004 di Asia Tenggara dan badai Katarina di Amerika Selatan mulai memasukkan pelatihan penanganan bencana dalam kurikulum pendidikan dokter, yang kemudian mulai diikuti oleh banyak negara. Sekolah kedokteran di Arab Saudi, secara rutin mengirimkan mahasiswanya selama musim panas untuk belajar penanganan bencana ke Novara, Italia, pada Center in 3

4 emergency and disaster medicine (CRIMEDIM), yang mempelajari konsep umum kedokteran bencana, manajemen bencana, prinsip kesadaran masyarakat, pendidikan pada masyarakat, dan ketrampilan penanganan kedaruratan medis saat bencana, Silenas et al., (2008) dan Azer, (2010) menyebutkan bahwa pendidikan kedokteran di berbagai negara di dunia mulai menyadari pentingnya mempersiapkan mahasiswanya dengan pendidikan kedokteran bencana, dan setiap fakultas kedokteran terus berusaha untuk mengembangkan kurikulum kedokteran bencana sejalan dengan kebutuhan kompetensi dokternya, dilapangan dan evaluasi yang terus dilakukan. Demikian juga halnya dengan Fakultas kedokteran UGM yang menyadari permasalahan yang timbul dalam penanganan bencana yang dilakukan Fakultas kedokteran UGM banyak dokter belum pernah dipersiapkan untuk menghadapi bencana dan ketidaksiapan mental dokter dan perawat saat merespon bencana dirasakan menghambat upaya penyelamatan yang membutuhkan kesigapan dan ketepatan bertindak dalam situasi kegawat daruratan, maka Fakultas kedokteran UGM mulai merancang pelatihan kebencanaan untuk Fakultas kedokterannya, yang diharapkan bila kelak menghadapi bencana lulusan fakultas kedokteran UGM yang memiliki tiga program studi yaitu Prodi Dokter, Keperawatan dan Gizi Kesehatan membuat program pelatihan manajemen bencana dan kesiapsiagaan bencana yang disipkan kedalam kurikulum Community and Family Health Care with Interprofesional Education (CFHC-IPE). Melalui kegiatan pelatihan manajemen bencana berbasis komunitas ini, diharapkan mahasiswa mampu menghayati situasi kebencanaan sehingga mampu berperan sebagaimana 4

5 diharapkan bilamana menghadapi bencana. Kurikulum berbasis pendidikan komunitas ini telah diberikan sejak tahun pertama dan sarat dengan muatan Layanan Primer. Sejak tahun pertama mahasiswa mendapatkan keluarga binaan yang harus terus menerus dijalin hubungannya melalui kegiatan kegiatan pemberdayaan keluarga. Adapun instrumen yang mendukung pemberdayaan keluarga, diantaranya adalah : 1. Dinamika kelompok : bagaimana wujud kesiapsiagaan bencana dalam komunitas, apa saja yang dilakukan, apa peran keluarga dalam upaya kesiapsiagaan bencana dalam suatu komunitas. 2. Family Apgar : adalah alat yang dipakai untuk melihat fungsi keluarga, dimana indikator yang dipakai untuk mengukur adalah : Adaptasi : melihat tingkat kepuasan anggauta keluarga menerima bantuan dari anggota keluarga yang lain. Kemitraan : melihat tingkat kepuasan anggauta keluarga dalam komunikasi diantara anggota keluarga, dalam mengambil keputusan dalam musyawarah keluarga. Pertumbuhan : melihat tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kesempatan yang diberikan anggota keluarga yang lain dalam mengembangkan kematangan diri. Kasih sayang : melihat tingkat kepuasan anggota keluarga dalam terhadap terciptanya kasih sayang dan interaksi emosional diantara mereka sebagai keluarga. 5

6 Kebersamaan : melihat tingkat kepuasan anggauta keluarga terhadap terbentuknya kebersamaan diantara mereka, kesediaan memberi waktu untuk dapat bersama sama. Dimana setiap komponen bernilai dua bila positif atau ada dan bila tidak ada bernilai satu. Dikatakan keluarga itu disfungsi bila total nilainya kurang dari tiga. Dan bila bernilai lebih dari enam dikatakan keluarga berfungsi, nilai diantaranyanya cukup. 3. Family screem. Digunakan untuk mengetahui sumberdaya yang dimiliki keluarga untuk beradaptasi terhadap permasalahan yang dihadapi keluarga Setiap keluarga memiliki sumberdaya: Sosial, Kultural, Religius, Ekonomik, Pendidikan dan Kesehatan, dimanana masing masing sumberdaya itu memberikan dukungan terhadap kemampuan keluarga menghadapi tekanan atau masalah, misalkan saja kehilangan anggota keluarga karena bencana, atau kehilangan rumah karena bencana 4. Penggalian faktor resiko masalah kesehatan melalui wawancara mendalam, survey, Foccus Group Discusion. 5. Pemberdayaan dan konseling individu, keluarga, serta peran kesehatan untuk komunitas dan masyarakat. 6. Pada tahun keempat mahasiswa dilatih untuk paham dan mampu memahami penanganan bencana berbasis masyarakat dengan setiap siklusnya. Pelatihan ini bekerjasama dengan BNPB wilayah kota Jogjakarta. 6

7 Adapun pelatihan yang diberikan pada saat kunjungan lapangan adalah : 1. Materi tentang : 1.1. Kebencanaan dan Managementnya: mengajarkan manajemen bencana dan siklus kenbencanaannya ICS (incident Command system ) mengajarkan tentang sistem komando yang dibutuhkan saat Tanggap Darurat bencana, agar koordinasi antar organisasi atau institusi, dan pemerintah serta para relawan, para pekerja profesional yang lain tidak saling bertabrakan atau tumpang tindih & Healthrisk assessment ( bagaimana melakukan penilaian risiko kondisi kesehatan para penyintas, yang berisiko tinggi untuk sakit), 1.3. vulnerable group and family disaster Kid. Mengajarkan mengenai Bagaimana melakukan identifikasi terhadap kelompok rentan yang ada seperti, orang tua, anak anak, wanita hamil, penderita cacat, Bagaimana mempersiapkan barang barang yang sangat dibutuhkan oleh keluarga untuk dapat bertahan hidup dalam situasi kebencanaan dipengungsian. 1.4 Pelatihan PPGD untuk awam tersertifikasi oleh BNPB. Adalah pelatihan (Pertolongan Pertama gawat darurat) yang diberikan oleh BNPB (Badan Nasional Pencegahan Bencana) untuk melatihkan upaya pertolonga darurat disaat masyarakat mengalami kondisi darurat. 2. Kunjungan lapangan ke daerah bencana dilakukan untuk belajar dari dan bersama masyarakat bagaimana melakukan risk assessment dilapangan, dan bagaimana melakukan analisa terhadap kondisi pemukiman yang berisiko 7

8 mengalami bencana dan bagaimana upaya melakukan mitigasi atau bagaimana melakukan pengurangan risiko bencana. Disamping itu berlatih bagaimana menghadapi bencana melalui simulasi dengan situasi yang mirip saat terjadinya bencana. Latihan penanganan bencana bersama masyarakat dan Puskesmas ini dilakukan agar mahasiswa belajar bagaimana masyarakat bekerjasama saling mendukung, bahu membahu mengatasi bencana. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang ingin diketahui adalah : Bagaimana pengetahuan dan sikap mahasiswa fakultas kesehatan sebelum dan sesudah kegiatan Kunjungan lapangan pelatihan kesiapsiagaan bencana, dalam CFHC-IPE tahun ke IV dilaksanakan. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Mengetahui apakah pelatihan kebencanaan dan manajemen bencana yang dilatihkan kepada mahasiswa kedokteran semester tujuh selama ini; mampu meningkatkan pengetahuan yang dimiliki mahasiswa tentang kebencanaan dan manajemennya? dan apakah terdapat peningkatan sikap kesiapsiagaan terhadap bencana setelah mahasiswa menerima pelatihan manajemen kebencanaan. 8

9 2. Tujuan Khusus. a. Menemukan faktor faktor yang menjadi penghambat upaya peningkatan kesiapsiagaan bencana pada mahasiswa kedokteran UGM. b. Menemukan metode pelatihan yang lebih tepat dalam pelatihan penanganan bencana dan kesiapsiagaan kebencanaan. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Akademisi Memberi sumbangan pada akademisi agar dapat memperkaya upaya pengembangan pengetahuan tentang bencana. 2. Bagi Institusi Memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas keluaran pelatihan pelatihan penanganan bencana dan melakukan kesiapsiagaan terhadap bencana. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pelatihan kebencanaan pada mahasiswa fakultas kedokteran yang adalah penelitian yang dilakukan oleh : 1. Aryani M, master public health FK UGM; (20015) dengan pendekatan kualitatif yang meneliti apakah pembelajaran berdasarkan masalah efektif untuk pembelajaran manajemen bencana pada mahasiswa kedokteran umum? hasil penelitiannya membuktikan bahwa pembahwa pembelajaran berdasarkan masalah kurang sesuai, ia menyebutkan juga bahwa selama ini 9

10 memang masih belum diketemukan model pembelajaran yang dapat memahamkan materi bencana dari perspektif medis dan manajemen bencana oleh sektor kesehatan (Inggresia et al.,2014). Metode yang menggabungkan dua hal tersebut sering dilakukan dalam waktu lebih dari satu minggu (Scott et al., (2010) dan Summerhillet al, (2008 ). Malah lebih banyak dilakukan pada saat liburan semester secara multiprofesional Pfenninger et al, (2010). 2. Penelitian tentang pendidikan kebencanaan yang berjudul Evaluasi partisipasi pendidikan kebencanaan pada mahasiswa fakultas kedokteran Syiah Kuala Aceh, pada bulan maret 2016 yang dilakukan oleh Ilham M dkk, dimana subyeknya adalah mahasiswa fakultas kedokteran Syiah Kuala Aceh yang mengikuti block 21 disaster manajemen. Ilham dkk, meneliti partisipasi mahasiswanya dalam mengikuti pelatihan manajemen bencana dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang melibatkan 238 mahasiswa dari tiga angkatan, sampel diambil secara proportional stratified random sampling, dengan kuesioner sebanyak 10 Pernyataan, ternyata hanya 56 (23%) mahasiswanya yang memilih 4 pernyataan yang dinilai sebagai berpartisipasi aktif, 182 sisanya berpartipasi pasif. Sehingga kesimpulan akhir dari penelitiannya adalah Partisipasi mahasiswa dalam pelatihan kebencanaan di fakultas kedokteran Syiah Kuala dinilai rendah, menurut Ilham, hal itu disebabkan karena mahasiswa Syiah Kuala terbatasnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan karena mereka sibuk dengan kepaniteraan klinik. 10

11 3. Nidaa Bajow, Djalali,Inggrasia, Dellacorte, 2015 ) yang ingin melihat status dari pendidikan kedokteran bencana di saudi arabia, yang melibatkan 30 mahasiswa kedokteran yang diundang berpartisipasi dalam penelitian itu. Hasilnya ternyata hanya 3 universitas dari 20 universitas di Arab Saudi yang memiliki kurikulum pendidikan bencana pada pendidikan kedokterannya. Dan banyak dari yang tidak memiliki kurikulum kebencanaan itu ingin sekali melakukan pelatihan kebencanaan namun mereka tidak memiliki pelatih yang cukup handal. 11