BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial Peta Ketinggian Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara meter dpl dengan tiga puncak gunung yaitu gunung Tangkoko, gunung Batuangus, dan gunung Duasudara. Menurut Witten et al. (1987) dalam Saroyo (2005), vegetasi diatas ketinggian 800 meter dpl di lokasi penelitian sudah termasuk ke dalam vegetasi pegunungan. Pegunungan memiliki keanekaragaman jenis vegetasi yang kurang dibandingkan dengan dataran rendah. Kondisi vegetasi diatas ketinggian 800 meter disajikan pada gambar 7. (a) Gambar 7 Kondisi vegetasi di puncak gunung. (a) Vegetasi yang ditumbuhi lumut; (b) vegetasi di puncak gunung Tangkoko. Monyet hitam sulawesi dapat ditemukan di berbagai ketinggian sampai 2000 meter dpl (Supriatna dan Wahyono, 2000). O brien dan Kinnaird (1997) juga menyebutkan bahwa monyet hitam sulawesi dapat dijumpai di semua ketinggian di Cagar Alam Tangkoko. Faktor ketinggian rupanya tidak begitu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup monyet hitam sulawesi. Bila dilihat dari posisi titik perjumpaan monyet hitam sulawesi yang didapatkan selama penelitian untuk membangun model dan validasi, terdapat 76 titik yang berada pada ketinggian dibawah 400 meter dpl, 2 titik berada pada ketinggian meter dpl dan hanya 1 titik yang berada di atas ketinggian 900 meter dpl. (b)

2 25 Pada peta ketinggian untuk model spasial kesesuaian habitat, ketinggian diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu meter dpl, meter dpl, dan >800 meter dpl. Kelas ketinggian dan luas wilayah masing-masing kelas ketinggian pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Peta ketinggian pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9. Tabel 2 Kelas ketinggian di lokasi penelitian No. Kelas Ketinggian (mdpl) Luas (ha) , ,62 3. > , Peta Kemiringan Lereng Kemiringan lereng berpengaruh pada aksesibilitas monyet hitam sulawesi karena mereka lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tanah (terrestrial) (Rowe, 1996). O Brien dan Kinnaird (1997) juga menyebutkan bahwa monyet hitam sulawesi menghabiskan lebih dari 60% waktu hariannya untuk beraktivitas secara terrestrial baik untuk istirahat dan pergerakan yang menempuh jarak yang jauh. Aktivitas monyet hitam sulawesi di atas tajuk (arboreal) dilakukan sebagian besar untuk makan dan istirahat pada malam hari. Pada pengamatan secara visual terhadap 4 kelompok moyet hitam sulawesi dalam pergerakan hariannya, mereka lebih sering terlihat beristirahat di tempat yang memiliki kemiringan lereng datar dan landai yang dapat dilihat pada Gambar 8. (a) (b) Gambar 8 Penggunaan habitat dengan kemiringan lereng datar dan landai. (a) Aktifitas Istirahat; (b) perilaku sosial menelisik pada saat istirahat.

3 Gambar 9 Peta ketinggian. 26

4 27 Kemiringan lereng diklasifikasikan kedalam 5 kelas, yaitu datar dengan tingkat kemiringan 0-8%, landai dengan tingkat kemiringan 8-15%, agak curam dengan tingkat kemiringan 15-25%, curam dengan tingkat kemiringan 25-40% dan sangat curam dengan tingkat kemiringan %. Pembagian kelas kemiringan lereng tersebut berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung dan SK Menteri Pertanian No.683/Kpts/Um/II/1981 tentang Tata Cara Penetapan Hutan Produksi (Dewi, 2005). Kelas kemiringan yang dianggap paling tidak sesuai bagi monyet hitam sulawesi adalah kelas kemiringan diatas 40% karena menghambat aksesibilitas dari monyet hitam sulawesi. Kelerengan yang semakin landai dianggap merupakan habitat yang sesuai untuk shelter dan cover dari monyet hitam sulawesi. Pada lokasi penelitian terdapat semua kelas kemiringan lereng dengan luasan terbesar pada kelas kemiringan lereng curam (2663,91 hektar) dan luasan terkecil pada kelas kemiringan lereng landai (1044,90 hektar). Kelas kemiringan agak curam dan sangat curam memiliki luasan yang cukup besar yaitu 2362,95 hektar dan 2464,11 hektar. Untuk kelas kemiringan lereng datar memiliki luas 1337,49 hektar. Luas tiap kelas kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada gambar 10. Tabel 3 Luas tiap kelas kemiringan lereng No. Kelas Kemiringan Tingkat Kemiringan (%) Kemiringan ( ) Luas (ha) 1. Datar 0-8 0,00 3, ,49 2. Landai ,60 6, ,90 3. Agak Curam ,75 11, ,95 4. Curam ,25 18, ,91 5. Sangat Curam >40 > 18, , Peta NDVI Monyet hitam sulawesi menggunakan 59% waktunya untuk mencari makan. Lebih dari 60% pakan monyet hitam sulawesi berasal dari tumbuhan yaitu berupa buah-buahan, biji-bijian, daun, dan 31,5% pakannya adalah invertebrata. Monyet hitam sulawesi mengkonsumsi kurang lebih 145 jenis buah-buahan seperti Dracontomelon dao, dan Ficus spp (O Brien dan Kinnaird, 1997).

5 Gambar 10 Peta kemiringan lereng. 28

6 29 Vegetasi terutama pohon besar dan tinggi juga digunakan oleh monyet hitam sulawesi sebagai tempat beristirahat di malam hari atau sebagai pohon tidur. Penggunaan pohon sebagai sumber pakan dan tempat istirahat disajikan pada Gambar 11. (a) (b) (c) Gambar 11 Pakan dan pohon tidur monyet hitam sulawesi. (a) Ficus spp.; (b) Leu (Dracontomelon mangiferum); (c) pohon tidur (Ficus variegata); (d) aktifitas monyet di atas tajuk. Beberapa tipe vegetasi yang terdapat di lokasi penelitian yaitu semak belukar, padang alang-alang, kebun campuran, hutan sekunder, dan hutan primer. Pada saat penelitian, monyet hitam sulawesi dijumpai menggunakan semua tipe habitat untuk mencari makan dan makan. Namun untuk istirahat malam, monyet hitam sulawesi selalu menggunakan hutan yang memiliki pohon dengan ukuran besar dan tinggi. Dengan demikian, kuantitas vegetasi berupa tutupan hutan di lokasi penelitian memiliki pengaruh yang besar bagi keberlangsungan hidup monyet hitam sulawesi. Kuantitas vegetasi diukur dengan menganalisis nilai NDVI (Normalization Difference Vegetation Index). NDVI merupakan salah satu metode perhitungan indeks vegetasi yang umum digunakan karena memiliki korelasi yang kuat dengan karakteristik vegetasi. Nilai NDVI yang semakin tinggi menunjukkan (d)

7 30 adanya aktifitas fotosintesis yang semakin besar dan kerapatan vegetasi yang semakin tinggi (Lillesand dan Kiefer, 1990). NDVI dianalisis dengan menggunakan nilai piksel pada band infra merah dekat (Near Infra Red) dan band merah (red) yang pada citra lansat TM diiperoleh dari band 4 (band inframerah dekat) dan band 3 (band merah). Nilai NDVI di lokasi penelitian dibagi ke dalam lima kelas, yaitu 0 0,1; 0,1 0,2; 0,2 0,3; 0,3 0,4; dan lebih dari 0,4. Kelas NDVI dengan nilai lebih dari 0,4 memiliki luasan terbesar, yaitu 3618,99 hektar dan kelas NDVI dengan nilai 0,1 0,2 memiliki luasan terkecil, yaitu 650,88 hektar. Kelas NDVI 0 0,1 memiliki luas terbesar ketiga yaitu 1873,26 hektar yang diduga disebabkan karena pada citra Landsat ETM+ di sekitar puncak gunung Tangkoko dan gunung Duasudara tertutup awan. Luas tiap kelas nilai NDVI disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas tiap kelas nilai NDVI No. Nilai NDVI Luas (ha) 1. 0,0 0,1 1873, ,1 0,2 650, ,2 0,3 939, ,3 0,4 2788,56 5. > 0,4 3618,99 Berdasarkan identifikasi titik pohon pakan monyet hitam sulawesi terhadap kelas NDVI, terdapat 33 titik pohon pakan yang berada pada kelas NDVI dengan nilai lebih dari 0,4; 11 titik pohon pakan pada kelas NDVI dengan nilai 0,3 0,4; 3 titik pada kelas NDVI 0,2 0,3; dan 3 titik pohon pakan pada kelas NDVI dengan nilai kurang dari 0,1. Terdapat 16 jenis pohon pakan yang dapat diidentifikasi jenisnya, antara lain maombi (Arthocarpus dadah), leu (Dracontomelon mangiferum), kenanga (Cananga odorata), mengkudu (Morinda sp), Ficus microcarpa, Ficus variegata, dan Vitex quinata. Kelompok Rambo 2 yang memiliki wilayah jelajah sampai ke perkampungan juga memakan kelapa (Cocus nucifera), mangga (Mangifera indica), dan palawija. Sedangkan untuk identifikasi titik pohon tidur terhadap kelas NDVI, terdapat 24 titik yang berada pada kelas NDVI dengan nilai lebih dari 0,4 dari 30 titik pohon tidur. Peta NDVI di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12.

8 Gambar 12 Peta NDVI. 31

9 Peta Jarak dari Sungai Monyet hitam sulawesi memenuhi kebutuhan terhadap air melalui beberapa sumber yaitu buah-buahan yang dimakan, tampungan air hujan pada banir pohon, dan sungai. Pada musim kemarau, beberapa sungai di lokasi penelitian mengalami kekeringan. Sungai yang tidak mengering umumnya memiliki aliran air yang lambat dan permukaan air yang dangkal. Pada saat penelitian dijumpai penggunaan sungai oleh satu kelompok monyet hitam sulawesi. Sungai digunakan oleh monyet hitam sulawesi untuk minum, mendinginkan tubuh dan bermain. Pengklasifikasian jarak dari sungai ditentukan berdasarkan jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi yang dianggap berbentuk lingkaran. Wilayah jelajah dari monyet hitam sulawesi menurut Rowe (1996) adalah hektar dan menurut penelitian O Brien dan Kinnaird di Cagar Alam Tangkoko terhadap tiga kelompok monyet hitam sulawesi selama 18 bulan mendapatkan hasil wilayah jelajah dari kelompok Malonda adalah 218 hektar, kelompok Rambo 406 hektar dan kelompok Dua 156 hektar (O Brien dan Kinnaird, 1997). Nilai jari-jari masing-masing wilayah jelajah monyet hitam sulawesi disajikan pada Tabel 15. Tabel 5 Jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi No. Wilayah Jelajah (m²) Sumber Jari-Jari (meter) Rowe (1996) 602, Rowe (1996) 1009, O Brien dan Kinnaird (1997) 704, O Brien dan Kinnaird (1997) 833, O Brien dan Kinnaird (1997) 1137,10 Rata-Rata 859,13 Rata-rata jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi adalah 859,13 meter sehingga selang tiap kelas kesesuaian untuk buffer ditetapkan sebesar 850 meter. Jarak dari sungai diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu meter, meter, meter, meter dan lebih dari 3400 meter. Jarak kurang dari sampai dengan 850 meter dari sungai dianggap sebagai habitat yang sesuai untuk monyet hitam sulawesi. Peta jarak dari sungai di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13.

10 Gambar 13 Peta jarak dari sungai. 33

11 Peta Jarak dari Jalan Pembuatan model kesesuaian habitat tidak hanya didasarkan pada faktor kebutuhan hidup monyet hitam sulawesi namun juga didasarkan pada potensi gangguan yang didapat oleh monyet hitam sulawesi. Beberapa penelitian yang dilakukan telah dilakukan di lokasi yang sama menyebutkan bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di kawasan tersebut terus mengalami penurunan. Penelitian MacKinnon dan MacKinnon pada tahun 1978 menyebutkan bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi sebesar 300 individu/km² (Rosenbaum et al., 1998). Penelitian Sugarjito et al. pada tahun 1989 menyebutkan bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi sebesar 76,2 individu/km² (Rosenbaum et al., 1998). Penelitian Rosenbaum et al. (1998) menyebutkan bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi pada tahun 1994 sebesar 57,3 individu/km². Penelitian Kyes pada tahun 2002 menyebutkan bahwa populasi monyet hitam sulawesi sebesar 39,8 individu/km² (Saroyo, 2005). Kepadatan populasi monyet hitam sulawesi dalam kurun waktu disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian No. Tahun Kepadatan Populasi ( ind/km²) Peneliti ,80 Kyes ,30 Rosenbaum et al ,20 Sugarjito et al ,00 MacKinnon dan MacKinnon Penyebab penurunan kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di kawasan tersebut terutama karena aktivitas manusia yang menyebabkan gangguan terhadap habitat dan perburuan (Sugarjito et al., 1989 dalam Rosenbaum et al., 1998). Monyet hitam sulawesi diburu untuk bahan makanan dan binatang peliharaan, kegiatan perburuan ini tetap berlangsung walaupun monyet hitam sulawesi termasuk ke dalam satwa yang dilindungi karena dalam perkembangannya satwa ini dianggap sebagai hama yang memakan tanaman kebun masyarakat di sekitar lokasi penelitian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lee (1999) mengenai perdagangan dan perburuan satwa di propinsi Sulawesi Utara, monyet merupakan komoditas perdagangan tertinggi kedua (38,1%) setelah kuskus. Daging monyet yang dikonsumsi dapat

12 35 menimbulkan sensasi panas pada tubuh yang dipercaya memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit (Lee, 1999). Secara umum kondisi jalan di sekitar lokasi penelitian sudah diaspal dan dapat dilalui oleh kendaraan dengan berbagai ukuran. Jaringan jalan di sekitar lokasi penelitian merupakan salah satu sarana yang mempermudah akses masyarakat untuk melakukan perburuan dan konversi lahan untuk pertanian, perkebunan, dan ladang penggembalaan ternak. Cara yang sering digunakan oleh masyarakat untuk membuka lahan adalah dengan metode pembakaran. Pada saat penelitian terjadi empat kasus kebakaran lahan di dalam kawasan. Selain di dalam kawasan, kebakaran lahan juga sering terjadi di sepanjang jalan yang menghubungkan Kelurahan Batuputih dengan Kelurahan Duasudara. Aktifitas masyarakat yang mengancam kelestarian monyet hitam sulawesi disajikan pada Gambar 14. (a) (b) (c) Gambar 14 Aktifitas masyarakat dan dampaknya. (a) Shelter liar di dalam kawasan; (b) kebakaran lahan; (c) jerat babi dan monyet (dudeso); (d) monyet yang terkena jerat di kaki kirinya. Seperti peta jarak dari sungai, yang menjadi dasar penentuan selang kelas pada peta jarak dari jalan adalah jari-jari wilayah jelajah monyet hitam sulawesi. Peta jarak dari jalan dibagi ke dalam tiga kelas yaitu meter, (d)

13 36 meter, dan lebih dari 1700 meter. Semakin jauh jarak titik perjumpaan Monyet hitam sulawesi dari jalan maka gangguan yang diterima semakin sedikit. Peta jarak dari jalan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar Peta Jarak dari Bangunan Pada lokasi penelitian terdapat empat kawasan konservasi yaitu CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih dan TWA Batuangus yang saling menyatu. Kegiatan wisata di TWA Batuputih telah berlangsung sejak tahun 1980-an dan menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat Kelurahan Batuputih dengan mendirikan losmen dan menjadi pemandu wisata. Kegiatan wisata yang terdapat di TWA Batuputih adalah wisata masal dan wisata minat khusus. Wisata masal didominasi oleh wisatawan lokal yang datang untuk menikmati keindahan pantai sedangkan wisata minat khusus didominasi oleh wisatawan luar negeri yang datang untuk melihat flora dan fauna khas yang terdapat di kawasan taman wisata alam dan cagar alam seperti monyet hitam sulawesi, tarsius, rangkong dan beringin lubang. Untuk mendukung kegiatan wisata tersebut dibangunlah sarana dan prasarana di dalam kawasan berupa pos penjagaan, tempat tiket, shelter, tempat berkemah, dan tempat parkir kendaraan. Kegiatan wisata selain bermanfaat untuk meningkatkan penghasilan penduduk Kelurahan Batuputih juga berpotensi menyebabkan gangguan terhadap kelangsungan hidup monyet hitam sulawesi. Sebagai daya tarik utama wisata, interaksi monyet hitam sulawesi dengan pengunjung tidak dapat dihindari. Beberapa perilaku pengunjung yang dapat menimbulkan dampak buruk terhadap monyet hitam sulawesi adalah membuang sampah sembarangan yang kemudian dikonsumsi oleh monyet hitam sulawesi, memberi makan monyet hitam sulawesi, berbuat gaduh, dan mengambil gambar dengan menggunakan blitz. Intensitas perjumpaan monyet hitam sulawesi dengan pengunjung akan mempengaruhi perubahan perilaku dari monyet hitam sulawesi. Intensitas perjumpaan yang semakin tinggi akan membuat monyet hitam sulawesi terbiasa atau terhabituasi dengan kehadiran manusia dan dapat kehilangan sifat liarnya. Rambo 1 dan Rambo 2 merupakan kelompok monyet hitam sulawesi yang sudah

14 37 terhabituasi dengan manusia bahkan kelompok Rambo 2 memiliki wilayah jelajah sampai ke pemukiman dan ladang penduduk sehingga dianggap mengganggu oleh penduduk. Fasilitas wisata dan dampak wisata terhadap monyet hitam sulawesi disajikan pada Gambar 15. (a) (b) (c) Gambar 15 Fasilitas wisata dan dampak wisata terhadap monyet hitam sulawesi. (a)loket tiket; (b) shelter; (c) monyet jantan makan sisa makanan pengunjung; (d) kegiatan penghalauan monyet yang masuk kebun penduduk. Faktor gangguan yang berasal dari kegiatan wisata tersebut dianalisis dengan mengukur jarak perjumpaan monyet hitam sulawesi terhadap titik konsentrasi pengunjung di dalam dan di sekitar kawasan TWA Batuputih. Titik konsentrasi tersebut dapat berupa bangunan losmen, rumah makan, pos penjagaan, loket tiket, shelter, dan dua objek yang sering didatangi oleh pengunjung yaitu pohon tarsius, dan beringin lobang. Peta jarak dari bangunan dibagi ke dalam tiga kelas, yaitu meter, meter, dan lebih dari 1700 meter. Semakin jauh jarak titik tersebut terhadap bangunan maka semakin terhindar dari gangguan yang diakibatkan kegiatan wisata. Peta jarak dari bangunan disajikan pada Gambar 17. (d)

15 Gambar 16 Peta jarak dari jalan. 38

16 Gambar 17 Peta jarak dari bangunan. 39

17 Pembuatan Model Kesesuaian Habitat Monyet Hitam Sulawesi Pembobotan dengan metode PCA Model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi didapat dengan menentukan bobot masing-masing variabel. Faktor bobot menggambarkan tingkat kepentingan relatif dari variabel yang digunakan dalam pemodelan kesesuaian habitat. Penentuan bobot tiap variabel dilakukan dengan metode PCA (Principal Component Analysis) menggunakan software SPSS 1.5. PCA digunakan untuk meringkas variabel yang banyak jumlahnya menjadi beberapa komponen utama yang mengandung variabel-variabel tertentu. PCA menghasilkan komponen utama sejumlah variabel yang digunakan namun banyaknya komponen utama yang digunakan tergantung proporsi keragaman yang mewakili total keragaman data. Jumlah komponen utama yang digunakan sudah memadai jika total keragaman yang dapat diterangkan berkisar antara 70-80% (Timm, 1975 dalam Pareira, 1999). Data yang digunakan pada PCA adalah data titik pohon pakan monyet hitam sulawesi yang dianalisis posisinya secara spasial terhadap enam variabel, yaitu ketinggian, kemiringan lereng, NDVI, jarak dari sungai, jarak dari jalan, dan jarak dari bangunan. Titik pohon pakan monyet hitam sulawesi didapatkan dengan mengikuti pergerakan 4 kelompok monyet hitam sulawesi yang telah terhabituasi dengan peneliti dari pukul WITA - pukul WITA atau dari bangun tidur sampai kembali ke pohon tidur pada bulan Juli sampai Agustus Identifikasi pohon pakan didasarkan pada banyaknya anggota kelompok yang makan di suatu pohon saat melakukan pergerakan dan dikategorikan pohon pakan bila lebih dari 50% anggota kelompok melakukan aktivitas makan dari pohon tersebut. Dari hasil pengamatan, teridentifikasi 50 titik pohon pakan monyet hitam sulawesi. Hasil analisis spasial titik pohon pakan monyet hitam sulawesi kemudian ditransformasikan dengan Log 10 yang dilakukan agar nilai setiap variabel menjadi proposional satu sama lain. Hasil dari transformasi masing-masing variabel kemudian dianalisis menggunakan metode PCA. Dari hasil analisis menggunakan metode PCA didapatkan 3 komponen utama yang digunakan dengan keragaman kumulatifnya sebesar 74,97%. Nilai total dari akar ciri ketiga

18 41 komponen utama tersebut yang digunakan sebagai bobot untuk model kesesuaian habitat. Nilai Keragaman total komponen utama yang dijelaskan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Keragaman total komponen utama Komponen Akar Ciri Utama Total % Keragaman Kumulatif Keragaman (%) 1 2,399 39,982 39, ,142 19,032 59, ,957 15,957 74, ,824 13,728 88, ,427 7,109 95, ,252 4, ,000 Bobot tiap variabel dalam pemodelan kesesuaian habitat didapatkan dari skor total PCA masing-masing komponen utama yang memiliki hubungan positif dengan variabel pemodelan kesesuaian habitat (Herdiyanti, 2009). Terdapat 4 variabel yang memiliki hubungan positif dengan nilai tertinggi terhadap komponen 1 (pertama) yaitu jarak dari jalan, jarak dari sungai, ketinggian dan NDVI. Sedangkan untuk komponen 2 (kedua) dan komponen 3 (ketiga) terdapat masing-masing satu variabel yang mempunyai hubungan positif dengan nilai tertinggi. Jarak dari bangunan mempunyai hubungan positif dengan komponen kedua dan kemiringan lereng mempunyai hubungan positif dengan komponen ketiga. Vektor ciri masing-masing variabel terhadap ketiga komponen utama disajikan pada Tabel 8 sedangkan bobot masing-masing variabel berdasarkan skor keragaman PCA disajikan pada Tabel 9. Tabel 8 Vektor ciri variabel PCA Variabel No. Komponen Jarak dari jalan 0,897 0,112-0,076 2 Jarak dari sungai 0,476-0,638 0,349 3 Ketinggian 0,772-0,353 0,094 4 Kemiringan lereng 0,375 0,450 0,651 5 NDVI 0,600-0,031-0,626 6 Jarak dari bangunan 0,520 0,627-0,076

19 42 Tabel 9 Nilai bobot tiap variabel No. Variabel Skor Keragaman PCA Nilai Bobot 1 Jarak dari jalan 2,399 2,399 2 Jarak dari sungai 2,399 2,399 3 Ketinggian 2,399 2,399 4 Kemiringan lereng 0,957 0,957 5 NDVI 2,399 2,399 6 Jarak dari bangunan 1,142 1,142 Model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi berdasarkan hasil pembobotan tersebut dirumuskan sebagai berikut Keterangan : Y = model kesesuaian habitat Fk jalan = skor kesesuaian jarak dari jalan Fk sungai = skor kesesuaian jarak dari sungai Fk tinggi = skor kesesuaian ketinggian Fk NDVI = skor kesesuaian NDVI Fk bangunan = skor kesesuaian jarak dari bangunan Fk lereng = skor kesesuaian kemiringan lereng 5.3 Peta Kesesuaian Habitat Monyet Hitam Sulawesi Pembuatan Peta Kesesuaian Habitat Peta kesesuaian habitat dibuat berdasarkan indeks kesesuaian habitat dari monyet hitam sulawesi. Kesesuaian habitat adalah kemampuan habitat untuk menyediakan kebutuhan hidup. Indeks kesesuaian habitat adalah salah satu cara untuk menghitung kualitas habitat menggunakan atribut-atribut yang dianggap penting bagi suatu jenis dengan asumsi bahwa jenis tersebut akan memilih daerah yang paling sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dewi, 2005). Indeks kesesuaian habitat diperoleh dengan metode tumpang tindih (overlay) semua peta tematik atau variabel yang digunakan dalam pembuatan model kesesuaian habitat. Sebelum dilakukan tumpang tindih, terlebih dahulu dilakukan pengkelasan pada setiap variabel untuk menentukan skor masing-

20 43 masing kelas. Nilai skor masing-masing kelas pada setiap variabel disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Skor tiap variabel Ketinggian Kemiringan Lereng NDVI Jarak dari Sungai Jarak dari Jalan Jarak dari Bangunan Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor , ,1-0, > ,2-0, > > ,3-0, >40 1 >0,4 5 > Indeks kesesuaian habitat (IKH) terdiri dari tiga kelas kesesuaian, yaitu IKH 1, IKH 2 dan IKH 3. Selang kelas IKH 1 berkisar dari nilai piksel terkecil hasil tumpang tindih sampai dengan nilai rata-rata (Mean) dikurangi dengan nilai standar deviasi. Selang kelas IKH 2 berkisar dari nilai maksimum IKH 1 sampai dengan nilai rata-rata (Mean) ditambah setengah nilai standar deviasi. Untuk selang kelas IKH 3 berkisar dari nilai maksimum IKH 2 sampai dengan nilai piksel terbesar yang dihasilkan dari tumpang tindih (overlay). Sebaran nilai piksel yang dihasilkan dari overlay disajikan pada Gambar 18. Jumlah piksel Nilai piksel Gambar 18 Grafik sebaran nilai piksel hasil overlay. Nilai piksel terkecil hasil tumpang tindih adalah sebesar 18,78; nilai piksel terbesar hasil tumpang tindih adalah sebesar 46,60; nilai rata-rata (Mean) hasil tumpang tindih adalah 33,58; dan nilai standar deviasi yang dihasilkan adalah 5,41. Penentuan selang tiap IKH disajikan pada Tabel 11.

21 44 Tabel 11 Penentuan selang IKH No. Indeks Kesesuaian Habitat Selang 1 IKH 1 18,78 sd. (33,58 5,41) 2 IKH 2 (33,58 5,41) sd. (33,58 + (5,41/2)) 3 IKH 3 (33,58 + (5,41/2)) sd. 46,60 Nilai piksel yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kesesuaian yang semakin besar. IKH 1 memiliki selang nilai piksel terkecil sehingga kesesuaian habitat pada pada IKH 1 adalah rendah. IKH 2 memiliki selang nilai piksel lebih tinggi dari IKH 1 dan lebih rendah dari IKH 3 sehingga kesesuaian habitat pada IKH 2 adalah sedang. IKH 3 memiliki nilai piksel tertinggi sehingga kesesuaian habitat pada IKH 3 adalah tinggi. Habitat monyet hitam sulawesi dengan kesesuaian tinggi memiliki luasan 5160,96 hektar atau 52,64% dari luas total area penelitian. Untuk kesesuaian sedang memiliki luas 2843,10 hektar atau 29,00% dari luas area penelitian sedangkan kelas kesesuaian habitat rendah memiliki luasan terkecil yaitu 204,39 hektar atau 2,08% dari luas area penelitian. Pada lokasi penelitian terdapat 1595,43 hektar atau 16,27% kawasan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kelas kesesuaian habitat (tidak ada data). Hal ini disebabkan karena pada citra Landsat yang digunakan untuk membangun model terdapat kawasan yang tertutup oleh awan. Akibat dari tutupan awan tersebut, nilai NDVI vegetasi di bawahnya tidak dapat ditentukan sehingga pada wilayah tersebut dikeluarkan dari model. Luasan dan persentase kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi disajikan pada Tabel 12. Peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi disajikan pada Gambar 19. Tabel 12 Luas tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi No. Kelas Kesesuaian Selang Luas (hektar) Persentase (%) 1 Rendah 18,78 28,17 204,39 2,08 2 Sedang 28,17 36, ,10 29,00 3 Tinggi 36,29 46, ,96 52,64 4 Tidak Ada Data ,43 16,27

22 Gambar 19 Peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi. 45

23 46 Pada peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi yang disajikan pada Gambar 19 terlihat bahwa habitat dengan kelas kesesuaian tinggi tersebar di seluruh lokasi penelitian tetapi kondisinya terfragmentasi oleh habitat dengan kelas kesesuaian sedang dan kelas kesesuaian rendah. Kelas kesesuaian tinggi dengan luasan terbesar terdapat di sisi utara sampai barat laut Gunung Tangkoko atau sisi utara Gunung Duasudara. Karakteristik habitat dengan kesesuaian tinggi di wilayah tersebut terdapat pada ketinggian 0 meter dpl sampai dengan 950 meter dpl, kemiringan lereng bervariasi dari datar hingga agak curam, dan nilai NDVI terdapat pada selang 0,3 0,4 dan lebih dari 0,4. Terdapat 4 aliran sungai pada habitat tersebut sehingga jarak dari sungai berkisar dari meter. Pada bagian barat habitat dengan kesesuaian tinggi tersebut berdekatan dengan jalan yang menghubungkan Kelurahan Batuputih dengan Kelurahan Duasudara sehingga nilai jarak dari jalan bervariasi dari 0 hingga lebih dari 1700 meter. Kegiatan wisata terpusat pada daerah taman wisata alam di Kelurahan Batuputih sehingga jarak dari bangunan didominasi jarak lebih dari 1700 meter. Habitat dengan kesesuaian tinggi di bagian timur lokasi penelitian juga terfragmentasi oleh habitat dengan kesesuaian sedang dan rendah yang terdapat di sekitar Gunung Batuangus. Karakteristik habitat di wilayah tersebut yaitu terdapat pada ketinggian dibawah 800 meter dengan kemiringan lereng bervariasi dari datar hingga curam, sedangkan nilai NDVI pada wilayah tersebut bernilai lebih dari 0,2. Terdapat tiga sungai di wilayah tersebut sehingga jarak dari sungai didominasi kelas jarak meter. Jarak jari jalan didominasi kelas jarak lebih dari 1700 meter dan jarak dari bangunan terdapat pada kelas jarak lebih dari 1700 meter. Habitat dengan kesesuaian sedang tersebar di seluruh lokasi penelitian dan menjadikan habitat dengan kesesuaian tinggi terfragmentasi. Karakteristik habitat pada kesesuaian sedang adalah terletak pada ketinggian yang bervariasi mulai dari 0 meter dpl sampai ke puncak gunung, kemiringan lereng bervariasi dari kelas kemiringan landai sampai sangat curam, nilai NDVI didominasi kelas nilai 0,1 0,2. Jarak dari sungai bervariasi karena terdapat beberapa aliran sungai pada habitat dengan kesesuaian sedang tersebut. Jarak dari jalan pada habitat

24 47 dengan kesesuaian sedang juga bervariasi karena jalan hanya terdapat pada bagian barat dan selatan lokasi penelitian. Sedangkan jarak dari bangunan didominasi oleh kelas jarak lebih dari 1700 meter karena bangunan yang diidentifikasi hanya yang terletak di kawasan TWA Batuputih saja. Kelas kesesuaian rendah lebih banyak terdapat di sekitar Gunung Duasudara dan puncak Gunung Batuangus. Karakteristik habitat dengan kesesuaian rendah didominasi oleh ketinggian diatas 800 meter, kelas kemiringan lereng curam sampai sangat curam, dan nilai NDVI 0 0,1. Jarak dari jalan bervariasi dari 0 meter sampai dengan kurang dari 1700 meter dan jarak dari bangunan didominasi oleh kelas jarak lebih dari 1700 meter. Kawasan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kelas kesesuaian habitat akibat tutupan awan terdapat di sekitar puncak Gunung Tangkoko dan Gunung Duasudara Validasi Model Validasi digunakan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Data yang digunakan untuk melakukan validasi adalah data titik pohon tidur 4 kelompok monyet hitam sulawesi yang telah teridentifikasi dan titik perjumpaan langsung kelompok monyet yang tidak teridentifikasi sehingga jumlah total titik untuk validasi adalah 30 titik pohon tidur dan perjumpaan langsung monyet hitam sulawesi. Titik perjumpaan monyet hitam sulawesi tersebut didapatkan pada saat yang sama dengan titik pohon pakan untuk membuat model kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi yaitu dari bulan Juli sampai Agustus Model yang dibangun dapat diterima karena memiliki akurasi memprediksi habitat monyet hitam sulawesi dengan kesesuaian tinggi sebesar 76,67%. Untuk kelas kesesuaian sedang memiliki nilai validasi 20,00% dan untuk kesesuaian rendah memiliki nilai validasi 0,00%. Terdapat satu titik perjumpaan pada kawasan yang tidak dapat diidentifikasi dengan persentase sebesar 3,33%. Validasi pada tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.

25 48 Tabel 13 Validasi tiap kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi No. Kelas Kesesuaian Titik Perjumpaan Persentase (%) 1 Rendah 0 0,00 2 Sedang 6 20,00 3 Tinggi 23 76,67 4 Tidak ada data 1 3,33 Jumlah , Implikasi Model Kesesuaian Habitat untuk Pengelolaan Kawasan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Lokasi penelitian pemodelan kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi ini merupakan gabungan dari empat kawasan konservasi yang saling menyatu, yaitu CA Tangkoko, CA Duasudara, TWA Batuputih dan TWA Batuangus. Awalnya kawasan tersebut diperuntukan sebagai cagar alam yaitu CA Tangkoko berdasarkan GB. NO. 6 Stbl 1919 dan CA Duasudara berdasarkan SK. Mentan No. 700/kpts/Um/11/78. Kemudian berdasarkan SK. Mentan No /Kpts/Um/12/18 tgl , pada kawasan cagar alam tersebut dibentuk kawasan taman wisata alam, yaitu TWA Batuputih dan TWA Batuangus. Empat kawasan konservasi tersebut berada dibawah pengawasan Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara. Perbedaan status kawasan tersebut berpengaruh pada fungsi dan pengelolaan kawasan. Taman wisata alam yang merupakan kawasan pelestarian alam memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pada taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Sedangkan cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang diperuntukkan sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan cagar alam hanya terbatas pada kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan yang menunjang budidaya.

26 49 Model kesesuaian habitat dan peta kesesuaian habitat yang dihasilkan dari penelitian kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada tiap kawasan konservasi. Masingmasing kawasan konservasi tersebut berdasarkan peta kesesuaian habitat memiliki kondisi habitat yang berbeda-beda. Kondisi habitat tersebut dapat diketahui melalui presentase kelas kesesuaian habitat pada tiap kawasan. CA Tangkoko memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi dengan persentase tertinggi yaitu 79,34% sedangkan CA Duasudara memiliki habitat dengan kesesuaian tinggi terendah yaitu sebesar 39,83%. Habitat dengan kesesuaian tinggi pada kawasan TWA Batuputih yaitu sebesar 64,77% dan pada TWA Batuangus sebesar 48,61%. TWA Batuangus memiliki persentase habitat dengan kelas kesesuaian sedang dan rendah tertinggi yaitu 40,91% dan 10,48%. Berdasarkan persentase kelas kesesuaian habitat pada tiap kawasan tersebut terlihat bahwa CA Tangkoko merupakan kawasan dengan kesesuaian habitat yang paling sesuai untuk monyet hitam sulawesi sedangkan TWA Batuangus dan CA Duasudara merupakan habitat yang kurang sesuai untuk monyet hitam sulawesi. Persentase kelas kesesuaian habitat pada tiap kawasan disajikan pada Gambar 20. Persentase Kelas Kesesuaian Habitat pada Tiap Kawasan 80.00% 70.00% 60.00% Persentase 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% tdk ada data Rendah Sedang Tinggi 0.00% TWA Batu Putih TWA Batu Angus CA Tangkoko CA Dua Saudara Gambar 20 Kelas kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi pada tiap kawasan. CA Duasudara memiliki kawasan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ketiga kelas kesesuaian habitat (32,02%) namun berdasarkan studi literatur diketahui bahwa kepadatan populasi monyet hitam sulawesi di kawasan Duasudara lebih rendah dari Tangkoko dan Batuangus (Rosenbaum et al., 1998).

27 50 Selain itu, berdasarkan data penggunaan lahan Bapedas Tondano Sulawesi Utara tahun 2006 (Lampiran 3), tutupan hutan primer dan sekunder di kawasan CA Duasudara sebesar 46,54%, kawasan CA Tangkoko sebesar 94,02%, TWA Batuangus sebesar 52,79%, dan TWA Batuputih sebesar 83,29%. Pada kawasan CA Duasudara terdapat penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering dengan persentase sebesar 20,42% dan permukiman dengan persentase sebesar 0,28%. Penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering juga terdapat di TWA Batuangus dengan persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 5,41%, pada CA Tangkoko penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering hanya sebesar 0,85%, dan pada TWA Batuputih tidak ada penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering. Dari kondisi habitat yang terfragmentasi dan kepadatan populasi monyet hitam sulawesi tersebut terlihat CA Duasudara memiliki tekanan yang paling besar diantara kawasan lainnya. Tekanan yang terjadi di CA Duasudara diduga disebabkan karena CA Duasudara berbatasan dengan 16 kelurahan sedangkan CA Tangkoko, TWA Batuputih, dan TWA Batuangus berbatasan dengan dua kelurahan sehingga akses masyarakat terhadap CA Duasudara lebih mudah. Akses yang mudah tersebut diduga menyebabkan tekanan terhadap monyet hitam sulawesi menjadi semakin tinggi karena adanya perburuan dan perubahan habitat untuk lahan pertanian. Perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian kemungkinan menyebabkan perubahan terhadap komposisi pakan monyet hitam sulawesi yang memiliki tingkat adaptasi cukup tinggi terhadap perubahan habitat sehingga satwa tersebut akan mencari alternatif pakan baru bila pakan alaminya berkurang. Keadaan tersebut dapat menimbulkan konflik antara monyet hitam sulawesi dengan masyarakat karena memanfaatkan sumberdaya pertanian yang sama. Rosenbaum et al. (1998) menduga bahwa tekanan perburuan dan perubahan habitat yang terjadi di kawasan tersebut akan menyebabkan kepunahan populasi monyet hitam sulawesi dalam kurun waktu tahun apabila tidak ada tindakan penanggulangan yang dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan. Bila CA Duasudara memiliki kepadatan monyet hitam sulawesi yang rendah karena degradasi habitat yang terjadi di kawasan tersebut maka kondisi yang berbeda terjadi di kawasan TWA Batuputih. TWA Batuputih memiliki

28 51 habitat dengan kesesuaian tinggi sebesar 71,30%, habitat dengan kesesuaian sedang 27,68%, dan habitat dengan kesesuaian rendah sebesar 1,03%. Habitat dengan kesesuaian sedang dan rendah pada TWA Batuputih terletak di perbatasan kawasan dengan perkampungan penduduk padahal TWA Batuputih juga merupakan wilayah jelajah dua kelompok monyet hitam sulawesi, yaitu Rambo 1 dan Rambo 2 yang memiliki ukuran populasi yang besar dan telah terhabituasi dengan manusia. Pada penelitian Saroyo (2005) disebutkan bahwa populasi Rambo 1 dan Rambo 2 masing-masing adalah 51 ekor, pada penelitian Newman et al. (2010) yang dilakukan tahun 2006 sampai 2007 menyebutkan populasi Rambo 1 sebesar 75 ekor dan Rambo 2 sebesar 65 ekor dan pada saat penelitian ini dilakukan populasi Rambo 1 mencapai 72 ekor dan Rambo 2 mencapai 64 ekor. Kedua kelompok monyet hitam sulawesi ini dapat mencapai ukuran populasi yang besar walaupun dengan kondisi habitat yang rentan terhadap gangguan karena dekat dengan pemukiman penduduk kelurahan Batuputih diduga disebabkan karena kedua kelompok tersebut sudah terhabituasi dengan aktifitas manusia baik terhadap kegiatan wisata maupun pembukaan lahan di kawasan tersebut. Selain itu tingkat pengamanan dari polisi hutan BKSDA dan kelompok masyarakat di kawasan taman wisata alam lebih intensif dibandingkan dengan kawasan cagar alam karena akses kedalam kawasan taman wisata alam lebih mudah. Keberadaan monyet hitam sulawesi dengan ukuran populasi yang besar dan telah terhabituasi dengan manusia tersebut telah menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitar taman wisata alam yang menganggapnya sebagai hama.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

PENENTUAN BLOK PENGELOLAAN CAGAR ALAM TANGKOKO CAGAR ALAM DUASUDARA DENGAN PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) ABSTRACT

PENENTUAN BLOK PENGELOLAAN CAGAR ALAM TANGKOKO CAGAR ALAM DUASUDARA DENGAN PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) ABSTRACT PENENTUAN BLOK PENGELOLAAN CAGAR ALAM TANGKOKO CAGAR ALAM DUASUDARA DENGAN PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEMS BASED MANAGEMENT BLOCK ASSESMENT OF TANGKOKO DUASUDARA

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) merupakan salah satu dari delapan jenis Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di Cagaralam Dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora maupun fauna. Salah satu famili dari flora yang menjadi ciri khas di Indonesia adalah Rafflesiaceae

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan.

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan. 23 1. Potensi Wisata Gunung Sulah Potensi wisata merupakan segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata baik alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Untuk penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan memberikan penilaian atau bobot

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK Media Konservasi Vol. XII, No. 1 April 2007 : 1 9 PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK (Habitat Suitability Mapping of Sylvery Gibbon

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci