KARAKTERISTIK EKOSISTEM MANGROVE PADA PULAU-PULAU KECIL DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA JAMILI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK EKOSISTEM MANGROVE PADA PULAU-PULAU KECIL DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA JAMILI"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK EKOSISTEM MANGROVE PADA PULAU-PULAU KECIL DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA JAMILI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Ekosistem Mangrove pada Pulau-Pulau Kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Oktober 2010 J a m i l i NIM G

3 ABSTRACT JAMILI. Ecosystem Characteristics of Mangrove at Small Islands of Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi Province. Under Supervisors of DEDE SETIADI, IBNUL QAYIM, and EDI GUHARDJA The study was aimed to elaborate structure and composition of mangrove vegetation and to examine relationship between mangrove vegetation pattern and abiotic factors in Kaledupa, Derawa and Hoga Islands in Wakatobi National Park. Sampling of vegetation was done continuously across mangrove community, starting from front (seaward) vegetation formation to the inner formation (landward) by line transect and plot methods. Structure and composition of were determined through vegetation analysis with parameter including frequency, relative frequency, density, relative density, dominance, relative dominance, importance value, zonation determination, natural regeneration, distribution of stem diameter (diameter et breast high) and status of mangrove community. Species diversity was analyzed using Shannon Wiener Index. Analysis of Variance (ANOVA) was used to see difference of abiotic factors among islands and Duncan-test to examine abiotic factors having significantly different responses (p = 0,05). 20 species of true mangrove were found and the largest species was found in Kaledupa Island. Distribution of mangrove vegetation species in the study areas was supposed to be related to wave protection, siltation, and freshwater input. The highest total individual density was found in Kaledupa Island and the lowest one was found in Derawa Island. Species of Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., and Rhizophora mucronata Lamk with the highest density was found in Derawa Island. Diversity Index of mangrove vegetation species was chategorized as low. Species having a good natural regeneration was found at Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., and Ceriops decandra (Griff.) Kaledupa Island, and Osbornia octodonta F.v.M Hoga Island. For genus of Rhizophora besides reproduce through seed/propagule, it is also reproduce vegetatively through branches. Environmental factors of soil having significant relationship with the community pattern in this study were: ph, Kalium (available), and Salinity. Content of soil organic material, Nitrogen (total), Phosphate (available) and soil texture (silt, clay and sand) did not show a significant relationship with the community pattern of mangrove vegetation community. Zonation pattern of mangrove vegetation was only found in Kaledupa Island. Mangrove zonation Kaledupa Island consisted of four zones. Successively, from the seaward to the landward were Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou zone. Height of seawater inundation was factor having significant relationship with zonation pattern. Distribution of diameter classes was chategorized as J-shaped graph model. Status of mangrove community in this national park was classified as damaged class due to human activities. Key words : abiotic factors, mangrove vegetation, small islands, Wakatobi National Park, zonation

4 RINGKASAN JAMILI. Karakteristik Ekosistem Mangrove Pada Pulau-Pulau Kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, IBNUL QAYIM, dan EDI GUHARDJA Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan komposisi, kerapatan, keanekaragaman spesies, sebaran kelas diameter batang, pola zonasi mangrove, permudaan alami mangrove, menentukan kondisi komunitas mangrove dan menguji hubungan antara pola vegetasi mangrove dengan faktor abiotik di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, serta hubungan zonasi mangrove di pulau Kaledupa dengan tinggi penggenangan. Sampling vegetasi dilakukan dengan metode transek garis dan metode plot (Muller - Dombois & Ellenberg 1974; Cintron et al. 1980; Cintron & Novelli 1984). Dari masing-masing pulau dibuat 3 buah garis transek secara kontinyu memotong komunitas mangrove, mulai formasi mangrove paling depan (arah laut) sampai formasi paling belakang (arah darat), dengan luas plot 10 x 0 m. Jumlah total plot di Pulau Kaledupa sebanyak 101 plot, Pulau Derawa 35 plot dan di Pulau Hoga 23 plot. Dari masing-masing plot didata, meliputi nama spesies, ukuran lingkar batang setinggi dada (dbh), dan jumlah individu masing-masing spesies mangrove strata pohon, tiang dan strata sapihan. Untuk strata semai didata nama spesies dan jumlah individu masing-masing spesies. Pengambilan contoh subtrat mangrove menggunakan bor tanah (corer) dengan teknik composite sample pada setiap plot pengamatan. Pengambilan data periode dan tinggi penggenangan air pasang menggunakan suatu alat dan metode yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Data sekunder meliputi : letak geogafi, kondisi topografis, kualitas perairan, potensi sumberdaya dan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut serta aksesibilitas kawasan dari Balai Taman Nasional Wakatobi dan Bapeda Kabupaten Wakatobi. Data iklim Sulawesi Tenggara dan data curah hujan Kabupaten Wakatobi dari Stasiun Meteorologi Maritim Kendari. Analisis struktur vegetasi meliputi : Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), Frekuensi Relatif (FR), dan Nilai Penting (NP) dari masing-masing lokasi penelitian, mengacu rumus Cox, (1979). Keanekaragaman spesies menggunakan Indeks Shannon-Wienner, kekayaan spesies dengan Margalef Indeks, dan kemerataan spesies dengan Pielou Indeks. Penentuan zonasi mangrove menggunakan nilai kerapatan relatif masing-masing spesies dari setiap plot pengamatan. Nilai kerapatan relatif ini kemudian diplotkan pada bidang 2 dimensi. Penentuan permudaan alami mangrove mengacu pada SK Direktur Jenderal Kehutanan No.60/Kpts/DJ/I/1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/ sylvikultur hutan payau. Penentuan sebaran kelas diameter batang menggunakan kriteria Daniel et al. (1979); Barbour et al. (1987). Data tentang tanah diketahui melalui analisis laboratorium, meliputi ph dengan metode analisis Elektrometri/pH-Meter, salinitas dengan Hand-Refraktometer, N dengan metode K-jedahl, P dengan Spektrofotometer (Bray I), K dengan metode Gravimetri, bahan organik tanah dengan Spektrofotometer, dan tekstur tanah dengan saringan bertingkat. Statistik ANOVA dimanfaatkan untuk melihat perbedaan faktor

5 abiotik antara pulau dan uji-duncan untuk melihat faktor abiotik yang memiliki respon berbeda nyata (p=0,05). Total spesies mangrove yang ditemukan pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga di Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies, yang termasuk dalam 11 familia dan didominasi oleh familia Rhizophoraceae., Spesies yang ditemukan diseluruh lokasi penelitian adalah spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan spesies Acanthus ebracteatus Vahl., Ini berarti bahwa spesies tersebut memiliki distribusi yang luas, dan merupakan spesies yang umum di Taman Nasional Wakatobi. Sedangkan beberapa jenis hanya ditemukan di lokasi tertentu seperti spesies Xylocarpus spp., Lumnitzera spp., Acrostichum spp., Aeguceras cornikulatum (L.) Blanco., Excoecaria agallocha L. dan spesies Nypa fructicans Wurmb., hanya ditemukan di Pulau Kaledupa dan spesies Osbornia octodonta F.v.M., hanya ditemukan di Pulau Hoga. Kerapatan total individu pada semua strata pertumbuhan dari semua spesies, yang tertinggi ditemukan di Pulau Kaledupa dan yang paling rendah ditemukan di Pulau Derawa. Ada pergantian spesies yang mendominasi pada vegetasi strata pohon, tiang, sapihan dan semai. Di pulau Kaledupa pada strata pohon kerapatan tertinggi diduduki oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, strata tiang spesies Rhizophora mucronata Lamk., strata sapihan dan semai ditempati oleh Ceriops tagal (Perr.). Dipulau Derawa strata pohon tiang, dan sapihan didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk., strata semai oleh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan di pulau Hoga strata pohon dan tiang oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan strata sapihan dan semai didominasi oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M. Indeks keanekaragaman (Shannon-Wienner) spesies vegetasi mangrove di pulau Kaledupa (H = 1,48), pulau Derawa (H = 0,65), dan pulau Hoga (H =1,04). Nilai ini termasuk kategori rendah. Menurut Barbour et al. 1987, indeks keanekaragaman spesies merupakan informasi penting tentang suatu komunitas. Semakin luas areal sampel dan semakin banyak spesies yang dijumpai, maka nilai indeks keanekaragaman spesies cenderung akan lebih tinggi. Zonasi vegetasi mangrove, hanya ditemukan di Pulau Kaledupa. Zonasi mangrove di Pulau Kaledupa terdiri dari 4 zona. Secara berturut-turut mulai dari arah depan (arah laut) sampai ke dalam (arah darat) meliputi zona Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan zona Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. Faktor tinggi penggenangan air laut mempunyai hubungan secara nyata dengan zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. Permudaan alami spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Avicennia marina (Forsk.) Vierh., dan Xylocarpus granatum Koenig, tergolong rendah. Spesies yang memiliki tingkat permudaan alaminya tergolong baik terdiri atas spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan Ceriops decandra (Griff.) di Pulau Kaledupa, dan Osbornia octodonta F.v.M di Pulau Hoga. Apabila pertumbuhan vegetasi strata semai semua berhasil mencapai dewasa (strata pohon), maka dapat dipredikasi bahwa pada masa yang akan datang komunitas mangrove di pulau Kaledupa akan didominasi oleh spesies Ceriops

6 tagal (Perr.) C.B. Rob., di pulau Derawa oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan di pulau Hoga oleh Osbornia octodonta F.v.M. Struktur tegakan seluruh spesies vegetasi mangrove dengan parameter sebaran kelas diameter batang pada komunitas mangrove di Taman Nasional Wakatobi termasuk tipe L atau bentuk kurva J terbalik yang termasuk dalam kategori model grafik tegakan tidak seumur. Model ini berisikan paling sedikit tiga penyusun utama, yaitu spesies pada tingkat semai (seedling), sapihan (sapling) dan pohon dewasa (mature). Spesies Xylocarpus granatum di Pulau Kaledupa Rhizophora mucronata Lamk., di Pulau Derawa dan spesies Sonneratia alba Smith di Pulau Hoga termasuk dalam kategori bentuk tegakan tidak teratur. Bentuk tegakan tersebut menunjukkan bahwa individu-individu yang berdiameter kecil jumlahnya terbatas, dan akan menurun bersamaan dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sedangkan individu-individu yang memiliki ukuran diameter pada rentangan rata-rata jumlahnya paling banyak, dan menurun kembali pada ukuran diameter diatas ukuran rentangan rata-rata. Model grafik tegakan tidak teratur merupakan indikasi bahwa dalam populasi tumbuhan yang mengalami gangguan baik secara alamiah maupun non alamiah. Sifat kimia dan tekstur substrat yang mempunyai hubungan signifikan dengan pola komunitas mangrove dalam penelitian ini adalah : ph, Kalium (tersedia), dan Salinitas. Sedangkan Kandungan Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah (liat, debu dan pasir) tidak menunjukan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove di lokasi kajian. Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Faktor ph menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Nilai ph yang tertinggi ditemukan di Pulau Derawa, tetapi masih masuk dalam kategori netral. Nilai ph di Pulau Kaledupa dan Hoga termasuk dalam kategori agak masam. Kandungan Kalium tersedia tanah menunjukan hubungan yang nyata dengan pola komunitas yang terbentuk. Nilai kalium tersedia di Pulau Hoga tergolong sedang, dan nilai kalium tersedia di Pulau Kaledupa dan Derawa tergolong rendah. Faktor lingkungan yang khas bagi semua tumbuhan mangrove adalah tanah dengan kandungan salinitas tinggi. Dalam penelitian ini faktor salinitas tanah menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Kata kunci : faktor abiotik, pulau-pulau kecil, Taman Nasional Wakatobi, zonasi, vegetasi mangrove

7 @ Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan Karya Ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 KARAKTERISTIK EKOSISTEM MANGROVE PADA PULAU-PULAU KECIL DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA JAMILI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi Tumbuhan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Penguji luar komisi Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, M.Sc. (Fakultas Kehutanan Bogor) 2. Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc Institut Pertanian (Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor) Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc (Kepala Kebun Raya Cibodas) 2. Prof.Dr.Ir. Andry Indrawan, MS (Pengajar Luarbiasa Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor)

10 Judul Disertasi : Karakteristik Ekosistem Mangrove pada Pulau-Pulau Kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara Nama NRP : J a m i l i : G Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Ketua Dr. Ir. Ibnul Qayim Anggota Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr.Ir. Miftahudin,M.Si. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.. Tanggal ujian: 4 Oktober 2010 Tanggal lulus:

11 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan karunia dan rahmat-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2009 ini ialah keanekaragaman hayati (biodiversity), dengan judul Karakteristik Ekosistem Mangrove pada Pulau-Pulau Kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan selesainya karya ilmiah ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S., selaku ketua komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari masa perkuliahan, pemilihan topik penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini selesai. Rasa terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing atas sumbangan tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan dari awal rencana penelitian ini disusun, tahap analisa data hingga karya ilmiah ini selesai ditulis. Disamping itu, penulis menyampaikan pernghargaan kepada kepala balai Taman Nasional Wakatobi beserta jajarannya yang telah banyak membantu selama pengambilan data lapangan. Kepada Pemerintah Republik Indonesia, melaui program BPPS DIKTI, tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih atas bantuan biaya yang diberikan selama studi di IPB. Kepada Ayahanda Setradiwirya, dan Almarhum Ibunda Kabruk, ananda mengucapkan terima kasih sedalam dalamnya. Pengorbanan yang Ayah dan Ibu berikan kepada ananda tak ternilai harganya. Walaupun dalam keadaan sederhana dan tidak sempat menamatkan Sekolah Dasar, Ayah dan Ibu selalu mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya, dan tiada henti-hentinya mendoakan dan menasihati ananda hingga mencapai jenjang pendidikan tertinggi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Andi Suriati, S.Pd., dan anakanak tersayang Achmad Fauzi dan Milla Nursyadida, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat Bogor, Oktober 2010 J a m i l i

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada Tanggal 20 Juni 1966 sebagai anak ketiga dari pasangan Setra Diwirya dan Kabruk. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo Kendari, lulus pada tahun Tahun 1994 penulis diterima studi lanjut di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, melalui program pra S-2 dan pada tahun 1995 diterima di Program Studi Biologi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan menamatkanya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Haluoleo Kendari sejak tahun 1992 dan ditempatkan di Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Sejak tahun 1998 ditempatkan di Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada universitas yang sama. Mata Kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Mata Kuliah Biologi Umum, Ekologi Dasar, Ekologi Tumbuhan, dan Konservasi Sumberdaya Alam. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara pada Indonesian Journal of Marine Science (terakreditasi dikti No 83/DIKTI/KEP/2009). Artikel lain berjudul Flora Mangrove di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara telah diterbitkan pada Majalah Ilmiah Sains dan Matematika (ISSN ) Volume 13 Nomor 3 Desember 2009, dan artikel dengan judul Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, juga telah diterbitkan pada Jurnal Biologi Sumatra (ISSN ) Volume 4 Nomor 1 Januari Karyakarya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN... xvi xx xxiv I. PENDAHULUAN. 1 A. Latar Belakang 1 B. Perumusan Masalah 3 C. Tujuan Penelitian 3 D. Manfaat Penelitian.. 4 E. Kerangka Pemikiran 4 II. TINJAUAN PUSTAKA. 7 A. Ekosistem Mangrove.. 7 B. Fungsi Ekosistem Mangrove.. 8 C. Distribusi dan Komposisi Mangrove.. 9 D. Struktur Vegetasi Tegakan Mangrove E. Zonasi Vegetasi Mangrove. 12 F. Regenerasi Vegetasi mangrove.. 15 G. Faktor Lingkungan Vegetasi Mangrove. 16 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. 20 A. Letak Geografi 20 B. Topografi. 21 C. Iklim 22 D. Kualitas Perairan. 23 E. Potensi Sumberdaya Alam.. 23 F. Potensi Sumberdaya Manusia Jumlah Penduduk Penyebaran Penduduk Pendidikan Penduduk Pekerjaan Penduduk 26 G. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut Perilaku Masyarakat yang Merusak Terumbu Karang Penggunaan Bahan dan Alat Tangkap yang Merusak Karang Penambangan Batu Karang dan Pasir Pengambilan Kayu Bakau 30 H. Aksesibilitas 30 IV. METODE PENELITIAN.. 32 A. Lokasi dan Waktu Penelitian.. 32 B. Bahan dan Alat Bahan Penelitian Alat Penelitian.. 34 xii

14 C. Cara Kerja Penelitian Pendahuluan Penentuan Area Kajian dan Model Cuplikan Vegetasi Teknik Pengambilan Data 36 a. Data Vegetasi 36 b. Data Flora dan Penyebaran Mangrove c. Data Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Vegetasi Mangrove. 38 d. Data Penggenangan Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa. 39 e. Data sekunder Analisis Data 41 a. Kelimpahan Spesies Mangrove.. 41 b. Indeks Keanekaragaman Spesies Mangrove 42 c. Penentuan Zonasi Vegetasi Mangrove. 42 d. Penentuan Permudaan Alami Vegetasi Mangrove.. 43 e. Sebaran Kelas Diameter Batang Vegetasi Mangrove.. 43 f. Analisis Data Tanah/Substrat.. 43 g. Penentuan penyebaran Flora Mangrove h Keadaan Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi 44 V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 A. Pulau Kaledupa Komposisi dan Keraptan Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa Indeks Keanekaragaman(H ), Indeks Kekayaan Spesies (R) dan Indeks Kemerataan (e) Spesies mangrove di Pulau Kaledupa Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa 57 4 Hubungan antara Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa dengan Tinggi Penggenangan dalam Komunitas Mangrove Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa Sebaran Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa Sebaran Diameter Batang Spesies Mangrove Dominan di Pulau Kaledupa Status Kerusakan Mangrove di Pulau Kaledupa B. Pulau Derawa Komposisi dan Kerapatan Spesies Mangrove di Pulau Derawa Indeks Keanekaragaman(H ), Indeks Kekayaan Spesies (R) dan Indeks Kemerataan (e) Mangrove di Pulau Derawa.. 85 xiii

15 3 Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa Sebaran Kelas Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa Sebaran Diameter Batang Masing-Masing Spesies Mangrove di Pulau Derawa. 90 C. Pulau Hoga Komposisi dan Kerapatan Spesies Mangrove di Pulau Hoga 94 2 Indeks Keanekaragaman(H ), Indeks Kekayaan Spesies (R) dan Indeks Kemerataan (e) Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga Sebaran Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga Sebaran Diameter Batang Spesies Mangrove Dominan di Pulau Hoga D. Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Wakatobi Flora dan Penyebaran Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Kerapatan Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Keanekaragaman Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Sebaran Diameter Batang Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Kondisi Umum Lingkungan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi. 126 xiv

16 VI SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 135 B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 150 xv

17 DAFTAR TABEL Halaman 1. Data curah hujan Stasiun Waha Kecamatan Tomia Kabupaten Buton (sekarang wakatobi) selama 10 tahun Parameter fisika-kimia perairan Taman Nasional Wakatobi Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun di Kabupaten Wakatobi ( ) Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Wakatobi, tahun Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Wakatobi, tahun Distribusi penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis pekerjaan di empat kecamatan wilayah Kabupaten Wakatobi, tahun Kriteria kerusakan mangrove berdasarkan nilai kerapatan pohon/ hektar Komposisi spesies mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Kaledupa Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Kaledupa Komposisi spesies mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Kaledupa Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Kaledupa Komposisi spesies mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Kaledupa Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Kaledupa.. 51 xvi

18 14. Komposisi spesies mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa Indeks keanekaragaman (H ), indeks kekayaan jenis (R), dan indeks kemerataan Jenis (e) vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa Jumlah hari tergenang dan kisaran tinggi penggenangan dari permukaan tanah setiap zona mangrove di Pulau Kaledupa Kerapatan spesies mangrove strata sapihan dan semai (individu/hektar) di Pulau Kaledupa Komposisi vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derawa Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derawa Komposisi vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Derawa Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Derawa Komposisi vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derawa Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derawa.. 83 xvii

19 25. Komposisi vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derawa Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derawa Indeks keanekaragaman (H ), indeks kekayaan jenis (R), dan indeks kemerataan Jenis (e) vegetasi mangrove di Pulau Derawa Kerapatan.vegetasi mangrove strata sapihan dan semai (individu/hektar) di Pulau Derawa Kerapatan vegetasi mangrove strata pohon dan tiang (individu/hektar) di Pulau Derawa Komposisi vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga Komposisi vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Hoga Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Hoga Komposisi vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5 m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga Komposisi vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga Indeks keanekaragaman (H ), indeks kekayaan jenis (R), dan indeks kemerataan jenis (e) vegetasi mangrove di Pulau Hoga. 100 xviii

20 39. Kerapatan vegetasi mangrove strata sapihan dan semai (individu/hektar) di Pulau Hoga Flora mangrove sejati di Taman Nasional Wakatobi. Pengamatan dilakukan dengan teknik jelajah pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Kerapatan (individu/hektar) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm), tiang (dbh cm), sapihan (dbh cm), dan semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional Wakatobi Indeks Keanekaragaman (H ) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm), tiang (dbh cm), sapihan (dbh cm), dan semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional Wakatobi Kerapatan (total individu/ hektar) vegetasi mangrove strata semai (tinggi > 1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional Wakatobi Sifat kimia tanah dan tekstur tanah (%) vegetasi mangrove di Taman Nasional Wakatobi xix

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Road map penelitian karakter ekologi vegetasi mangrove pada pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara Peta wilayah Taman Nasional Wakatobi Jalur transportasi laut dari ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Kendari) menuju Taman Nasional Wakatobi Peta Taman Nasional Wakatobi dan peta lokasi penelitian Model transek dan plot-plot pengamatan vegetasi mangrove dan faktor abiotik pada masing-masing pulau sampel pengamatan Penentuan posisi pengukuran lingkar batang vegetasi mangrove setinggi dada (dbh) Peralatan untuk mengukur tinggi penggenangan dalam komunitas mangrove Komunitas mangrove transek I Pulau Kaledupa Formasi dari depan (arah laut) komunitas mangrove pada transek II Pulau Kaledupa. 10. Komunitas mangrove transek III Pulau Kaledupa Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa Zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa a Zonasi vegetasi mangrove dan tinggi penggenangan di Pulau Kaledupa Adapatasi Rhizophora spp pada daerah yang selalu tergenang pasang harian dengan tinggi penggenangan yang tinggi Adaptasi Ceriop spp pada daerah yang kadang-kadang tergenang pasang air laut dengan tinggi penggenangan yang rendah Propagule sebagai alat perkembangbiakan secara alami pada familia Rhizophoracea Spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dengan ukuran keliling pangkal batang 10 cm dan tinggi 90 cm telah menghasilkan buah/propagule sebagai alat perkembangbiakan xx

22 17. Sistem perakaran pada spesies Rhizophora mucronata Lamk dan spesies Rhizophora apiculata Bl, yang sangat rapat menyebabkan tidak tersedianya ruang untuk pertumbuhan propagul Semai Rhizophora spp tumbuh subur di bawah tegakan pohon induk yang mengalami gangguan akibat penebangan Subtrat yang terbentuk di didepan formasi mangrove pada saat air surut tinggi dapat mencapai 600 meter. Tidak ditemukan semai vegetasi mangrove yang tumbuh pada area di depan formasi terluar (arah laut) Perkembangbiakan vegetatif alami pada Rhizophora spp.batang pada botol bekas kemasan air pada bagian kiri dan kanan berasal dari pohon induk yang sama yang telah siap menjadi individu baru yang terpisah Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Pemukiman penduduk di Desa Ambeuwa dibangun pada area komunitas mangrove Pulau Kaledupa Alih fungsi lahan mangrove untuk budidaya tanaman kelapa yang dilakukan oleh sebagian penduduk di Pulau Kaledupa Alih fungsi lahan mangrove untuk pembangunan sarana umum di Pulau Kaledupa Pemanfaatan kayu bakau oleh masyarakat di Pulau Kaledupa Fisiognomi dari arah laut komunitas mangrove di Pulau Derawa Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Derawa Zonasi vegetasi mangrove di Pulau Derawa Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari masing-masing spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa Vegetasi mangrove di Pulau Derawa. 92 xxi

23 33. Fisiognomi komunitas mangrove di Pulau Hoga yang didominasi oleh mangrove yang tergolong kecil/kerdil Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Hoga Zonasi vegetasi mangrove di Pulau Hoga Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Hoga Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari spesies dominan pada komunitas mangrove di Pulau Hoga Peta penyebaran komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Tipe pantai yang umum ditemukan di Pulau Derawa Variasi habitat mangrove di Taman Nasional Wakatobi Sumber air tawar di Pulau Kaledupa Bak penampungan air hujan masyarakat di Pulau Derawa Rhizophora mucronata Lamk Rhizophora apiculata Blume Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Ceriops Tagal (Perr.) C.B. Rob Sonneratia caseolaris (L.) Engler Sonneratia alba Smith Avicennia marina (Forsk.) Vierh Xylocarpus molucensis (Lamk.) Roem Xylocarpus granatum Koenig Excoecaria agallocha L Aegiceras corniculatum (L.) Blanco xxii

24 55. Lumnitzera littorea (Jack) Voigt Osbornia octodonta F.v.M Phemphis aciduta Frost. & f Acanthus ilicifolius L Acanthus ebracteatus Vahl Acrostichum speciosum Wild Acrostichum aureum Linn Nypa fruticans Wurmb Peta Penyebaran Komunitas Mangrove di Taman Nasional Wakatobi. 188 xxiii

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Kaledupa Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Kaledupa Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Kaledupa Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Kaledupa Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Kaledupa Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang <1,5 m) di Pulau Kaledupa Tinggi penggenangan (cm) dan jumlah hari tergenang air pasang pada plot-plot pengamatan vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/hektar) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derwa Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Derwa Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derwa xxiv

26 15. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derwa Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derawa Indeks keanekaragaman spesies (H ) mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Derwa Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derwa Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derwa Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/hektar) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derawa Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Hoga Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga Indeks keanekaragaman spesies (H ) mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Hoga Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga xxv

27 29. Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/ha) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Hoga Deskrifsi flora mangrove di Taman Nasional Wakatobi Peta penyebaran komunitas mangrove di Taman Nasional Wakatobi Surat izin Penelitian. 189 xxvi

28 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan sampai 6 o 10 Lintang Selatan dan 123 o 20 Bujur Timur sampai 124 o 39 Bujur Timur. Dalam peta wilayah Indonesia, awalnya wilayah tersebut dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak tahun 2003 dimekarkan menjadi daerah otonom Kabupaten Wakatobi. Istilah Wakatobi diambil dari singkatan empat nama pulau utama yang ada di wilayah itu, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Potensi sumberdaya laut Kepulauan Wakatobi cukup tinggi, terutama sumberdaya terumbu karang. Wilayah ini terletak pada Pusat Segi Tiga Karang Dunia (Coral Tri-Angle Center), memiliki jumlah keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia (750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia), 900 jenis ikan dunia dengan 46 diversitas teridentifikasi. Wakatobi memiliki hektar terumbu karang, dan Atol Kaledupa 48 km, yang merupakan atol terpanjang di dunia. Persentasi tutupan karang hidup antara 36,51 52,86%, (Dhewani et al. 2006). Panorama bawah laut dengan keindahan ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman biotanya, menjadikan kawasan ini sebagi salah satu daerah kunjungan wisata, baik dalam maupun luar negeri, terutama bagi para pencinta wisata menyelam. Ekosistem Kepulauan Wakatobi juga rentan terhadap berbagai gangguan, terutama akibat praktek pengelolaan sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan. Beberapa hal yang mengancam kegiatan pengelolaan sumberdaya laut di Kepulauan Wakatobi adalah perilaku masyarakat yang merusak terumbu karang, penggunaan bom ikan, penambangan batu karang, penambangan pasir, dan pengambilan kayu bakau. Status Kepulauan Wakatobi saat ini telah berubah, selain sebagai daerah otonom, juga sebagai wilayah konservasi, dengan nama Taman Nasional Wakatobi. Penetapan kawasan ini sebagai taman nasional berdasarkan pada SK

29 2 Menteri Kehutanan Nomor 393/KPTS-VI/1996. Luas kawasan Taman Nasional Wakatobi ± hektar, sama persis atau overlap dengan luas wilayah administratif Kabupaten Wakatobi. Sebagai taman nasional dalam pengelolaannya diperlukan pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang kondisi ekologi keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Pada sisi lain, sebagai daerah otonom perhatian lebih banyak pada peningkatan pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang menjadi target konservasi, dari berbagai potensi sumberdaya alam yang ada di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Berdasarkan hasil penelusuran literatur, bermacam-macam karakter ekologi mangrove pada berbagai negara dan daerah pantai di Indonesia sekarang telah banyak dikaji oleh para ahli. Namun demikian ternyata aspek ekologi mangrove pada pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum banyak diungkap. Selama ini penelitian terkait Taman Nasional Wakatobi, seperti COREMAP (2001), Dhewani et al. (2006), Hidayati et al. (2007), dan Mufti (2009), lebih banyak mengamati ekologi terumbu karang (coral reef), sosial ekonomi masyarakat, dan nilai ekonomi sumberdaya. Kajian ilmiah secara lebih komprehensif masih diperlukan terkait keberadaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Wakatobi. Sebagai ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil dan berada di daerah Wallacea, diduga memiliki keunikan-keunikan dan karakter ekologi yang berbeda dibandingkan dengan ekosistem mangrove pada berbagai daerah lain di Indonesia. Isu perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming) memiliki implikasi yang luas bagi kehidupan di bumi. Fenomena alam lain dari pemanasan global adalah naiknya permukaan air laut. Naiknya permukaan air laut dampaknya akan sangat terasa bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil dan akan lebih parah lagi jika komunitas mangrove yang berfungsi sebagai salah satu barier di pantai tidak ada lagi. Hilangnya ekosistem mangrove juga akan mengancam ekosistem terumbu karang, yang merupakan unsur penting di Taman Nasional Wakatobi dan menjadi sektor andalan utama pengembangan pariwisata pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi. Dengan mempelajari efek penggenangan dan tinggi pengenangan air laut terhadap ekosistem mangrove, akan dapat

30 3 memprediksi perubahan-perubahan yang terjadi pada masa yang akan datang akibat kenaikan permukaan air laut. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian tentang karakteristik ekosistem mangrove pada pulaupulau kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. B. Perumusan Masalah Sebagai bagian dari sebuah taman nasional, ekosistem mangrove Taman Nasional Wakatobi perlu dikelola dengan perencanaan yang matang dan baik. Sampai saat ini informasi karakter ekologi vegetasi mangrove di Taman Nasional Wakatobi belum tersedia. Menurut Kusmana (1993), struktur vegetasi harus diklasifikasi terlebih dahulu dalam rangka melaksanakan suatu manajemen yang layak berdasarkan prinsip kelestarian. Spies & Tunner (1999) selanjutnya menyatakan bahwa, manajemen dinamika suatu landscap harus didasarkan pada proses-proses vegetasi yang menjadi dasar dari proses-proses ekologi yang berlangsung pada suatu ekosistem. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana penyebaran flora mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi? 2. Bagaimana struktur dan komposisi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi? 3. Bagaimana gambaran kondisi umum lingkungan di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi? 4. Bagaimana gambaran sifat kimia dan tekstur substrat vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi? 5. Bagaimana gambaran karakteristik mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang : 1. Penyebaran flora mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi

31 4 2. Kerapatan vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi 3. Keanekaragaman spesies mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi 4. Zonasi vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi 5. Hubungan zonasi vegetasi mangrove dengan tinggi penggenagan pasang surut di pulau Kaledupa 6. Permudaan alami vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi 7. Sebaran diameter batang vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi 8. Kondisi umum lingkungan pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi 9. Sifat kimia dan tekstur substrat vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi 10. Gambaran karakteristik mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi D. Manfaat Penelitian Informasi yang diperoleh dari penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai data dasar yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan program konservasi in-situ komunitas mangrove, penelitian, pendidikan dan pariwisata di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi E. Kerangka Pemikiran Suatu ekosistem dipengaruhi oleh interaksi antara faktor biotik dan abiotik, baik pada skala ruang maupun waktu. Sebagai gugusan pulau-pulau, ekosistem mangrove dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi akan dipengaruhi faktorfaktor biotik dan abiotik yang berlangsung pada pulau-pulau yang ada, dan akan dipengaruhi pula oleh aktivitas masyarakat di sekitar kawasan yang memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya yang ada.

32 5 Pendekatan yang dipilih dalam memahami kompleksitas ekologi mangrove di Taman Nasional Wakatobi adalah dengan pendekatan analisis vegetasi dalam rangka mengklasifikasikan berbagai karakter ekologi mangrove. Menurut Gauch (1982), dalam Ludwig dan Reynolds (1988) ada beberapa tujuan utama dalam melakukan klasifikasi dalam ekologi, diantaranya: pertama meringkaskan data yang besar dan komplek, kedua membantu dalam membuat intepretasi berbagai pola komunitas pada suatu lingkungan, dan ketiga memperhalus model struktur komunitas, sehingga pemahaman terhadap data dapat lebih mudah. Muller-Dombois & Ellenberg (1974) menyatakan bahwa yang menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi adalah sebagai berikut : (1) Pada kondisi habitat yang serupa akan ditemukan kombinasi spesies yang serupa yang berulang kehadirannya dari suatu tegakan ke tegakan lain. (2) Tidak ada tegakan atau sampel vegetasi yang betul-betul serupa, bahkan pada tegakan yang sangat berdekatan akan memperlihatkan penyimpangan terhadap yang lainnya. Hal tersebut akibat adanya peluang dari kejadian penyebaran spesies tumbuhan, gangguan, sejarah tegakan, dan kepunahan spesies. (3) Kumpulan spesies akan berubah seiring dengan perubahan jarak geografi atau lingkungan, dan (4) Komposisi tegakan vegetasi bervariasi dalam sekala ruang dan waktu. Kompleksitas ekologi vegetasi mangrove di Taman Nasional Wakatobi dapat dipahami lebih jauh dengan analisis vegetasi di kawasan tersebut. Dalam analisis vegetasi akan diperoleh unit-unit parameter vegetasi, khususnya kelimpahan spesies, keanekaragaman spesies, sebaran diameter, dan karakter lainnya. Selanjutnya dikaji juga hubungan pola komunitas dengan berbagai faktor abiotik. Kerangka pemecahan masalah dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

33 6 Use Publikasi ilmiah dan Disertasi serta bahan perumusan kebijakan konservasi in-situ komunitas mangrove di Taman Nasional Wakatobi Data Dasar Ekosistem Mangrove Taman Nasional Wakatobi Product Karakter Ekosistem Vegetasi Mangrove Taman Nasional Wakatobi : Struktur dan Kelimpahan, Zonasi, Keanekaragaman, Regenerasi Alami dan Faktor Abiotik Komunitas Mangrove Koleksi Herbarium Vegetasi Mangrove Taman Nasional Wakatobi Methodology Survei Teknik Sampling Vegetasi dan Faktor Abiotik Research and Development Analisis Vegetasi Mangrove Taman Nasional Wakatobi Gambar 1 Road map penelitian karakter ekosistem vegetasi mangrove pada pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

34 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ekosistem Mangrove Definisi mangrove telah banyak dilaporkan oleh para ahli, antara lain Macnae (1968); Chapman (1976); Lear & Turner (1977) ; Steenis (1978); Odum (1982); Kusmana (2002) ; Soerianegara & Indrawan (1982) ; Saenger (1983); Tomlinson (1986) ; Nybakken (1988). Mangrove digunakan untuk menunjukkan tumbuhan golongan pohon dan semak yang telah mengembangkan adaptasi pada lingkungan pasang surut air laut (intertidal). Mangrove merupakan hutan dengan pohon-pohon yang selalu hijau, toleran terhadap kadar garam tinggi, tumbuh subur pada pantai yang terlindung dari hempasan ombak besar, muara-muara sungai, dan delta pada negara-negara tropis dan sub tropis. Steenis (1978) berpendapat bahwa, mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Menurut Saenger et al. (1983) yang dimaksud dengan sumberdaya mangrove adalah : ( 1 ). Satu atau lebih tumbuhan khas mangrove (exclusive mangrove) yang hanya tumbuh di habitat mangrove, (2). Satu atau lebih tumbuhan yang berasosiasi dengan tumbuhan khas mangrove, tetapi tumbuhan tersebut hidupnya tidak terbatas di mangrove, (3). Biota (hewan) darat dan laut yang berasosiasi dengan habitat mangrove, dan (4). Berbagai proses esensial yang berperan penting dalarn memelihara kelestarian fungsi hutan mangrove. Nybakken (1988) menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Kusmana (2002) mendefinisikan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas di daerah pasang surut. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas genangan pada saat pasang rendah. Hutan mangrove biasa juga dikenal dengan sebutan hutan pantai (coastal woodland ), hutan pasang surut (tidal forest), dan hutan bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di daerah tropika dan sub tropika.

35 8 Ekosistem mangrove telah banyak dikaji oleh para ilmuwan (misalnya : Field 1995; Spalding et al. 1997; Dahdouh-Guebas et al. 2001). Vegetasi mangrove telah mengembangkan pola adaptasi secara morfologi dan fisiologi untuk hidup pada daerah pasang surut (intertidal). Pola adaptasi yang dikembangkan oleh vegetasi mangrove terhadap lingkungan pasang surut, yang mudah dikenali adalah sistem akar udara. Fungsi utamanya adalah untuk pertukaran gas, memperkokoh tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Terdapat perbedaan struktur akar napas antar jenis yang berbeda. Misalnya akar udara pada Avicennia spp, akar pancang pada Sonneratia spp, akar lutut pada Bruguiera spp, akar papan pada Xylocarpus spp, dan akar tunjang pada Rhizophora spp (Tomlinson 1986). Adaptasi terhadap kadar garam yang berlebih dalam tubuh vegetasi mangrove, merupakan hal penting bagi beberapa jenis agar tetap eksis pada lingkungan salin. Spesies Avicennia spp, Aegiceras spp dan Aegialitis spp, menghilangkan kelebihan kadar garam melalui kelenjar pengeluaran (excretion glands) FAO (2007). Untuk meningkatkan perkembangbiakan secara alami, beberapa spesies mangrove telah mengembangkan sistem reproduksi yang sangat efisien. Pada familia Rhizophoracea, misalya Rhizophora spp, Bruguiera spp dan Ceriops spp mempunyai mekanisme adaptasi dengan karakter biji (propagul) bersifat vivipary, yaitu biji telah berkecambah dan berkembang ketika buah masih menempel pada pohon induk, atau dapat dipadankan sebagai tumbuhan yang melahirkan. Pada marga lain, misalnya Aegiceras, Avicennia, dan Nypa bersifat cryptovivipary (Barik et al. 1996) B. Fungsi Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove memiliki sejumlah fungsi penting, baik dalam skala lokal maupun nasional. Banyak nelayan, petani dan penduduk pedesaan hidupnya bergantung pada ekosistem mangrove, untuk memenuhi berbagai keperluan, baik berupa produk kayu (misalnya kayu bangunan, kayu bakar, dan arang kayu), maupun hasil non-kayu (seperti bahan makanan, atap rumah, pakan ternak, alkohol, gula, obat-obatan dan madu). Mangrove dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber penghasil tannin (FAO 1994). Nilai ekonomi hutan mangrove di

36 Teluk Kotania Provinsi Maluku, pada tahun 1999 mencapai Rp. 64,8 milyar atau Rp. 60,9 Juta/ha, (Supriadi & Wouthuyzen 2005). Ekosistem mangrove mendukung konservasi keanekaragaman hayati, dengan menyediakan tempat tinggal, tempat berkembang biak, tempat pengasuhan anak dan tempat mencari makan berbagai jenis hewan. Termasuk beberapa golongan hewan yang terancam kepunahan, mulai dari golongan reptil, amphibi, aves, dan mamalia. Ekosistem mangrove dapat juga melindungi ekosistem terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass) ( FAO 2007 ). Fungsi penting lain dari ekosistem mangrove adalah kedudukan ekosistem mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan ekosistem laut dan darat. Hutan mangrove menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar, terutama bentuk seresah. Seresah mangrove merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan di dalam hutan mangrove. Seresah tersebut akan mengalami dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme. Hasil dekomposisi ini akan menjadi sumber nutrisi fitoplankton dalam kedudukannya sebagai produsen primer, dan kemudian zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energi utama, dalam kedudukakannya sebagai konsumen primer. Zooplankton akan dimakan oleh crustaceae dan ikan-ikan kecil, selanjutnya jenis-jenis ini merupakan sumber energi bagi tingkat yang lebih tinggi dalam rantai makanan. Bahan organik yang dihasilkan oleh hutan mangrove, akan memberikan sumbangan pada rantai makanan di perairan pantai dekat hutan mangrove, sehingga perairan pantai disekitar hutan mangrove mempunyai produktivitas yang tinggi (Lear & Turner, 1977). Berbagai jenis ikan baik yang komersial maupun non-komersial juga bergantung pada keberadaan ekosistem mangrove (FAO 2007). C. Distribusi dan Komposisi Mangrove Distribusi jenis vegetasi mangrove secara umum telah dikaji oleh beberapa penulis (misalnya : Tomlinson 1986; Ellison et al. 1999). Ekosistem mangrove umumnya tumbuh subur di daerah tropik dan sub tropik. Penyebaran geografi mangrove dapat dibagi menjadi dua daerah utama, yaitu kelompok belahan bumi bagian barat dan belahan bumi bagian timur. Kelompok belahan bumi bagian

37 10 barat terdiri dari; wilayah Afrika-Amerika, meliputi; pantai lautan Atlantik, pantai lautan Pasifik dan kepulauan Galapagos. Belahan bumi timur meliputi ; Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia Tenggara, Jepang selatan, Australia, Selandia Baru, dan Kepulauan Pasifik Selatan. Sekitar 80% dari mangrove yang ada, ditemukan di wilayah Indo-Pasifik (Mastaller 1997). Luas hutan mangrove Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding et al. 1997). Areal mangrove yang luas di Indonesia terutama terdapat di pantai timur Sumatra, dan pantai barat dan selatan Kalimantan, serta Papua. Ekosistem mangrove yang masih baik ditemukan di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia (Noor et al. 1999). Di Sulawesi Tenggara luas hutan mangrove sekitar ha, yang tersebar di Kabupaten Kendari, 16,750 ha, Kolaka 8,000 ha, Muna 16,600 ha, dan Kabupaten Buton 12,900 ha (Anonim 2000). Hasil analisis Citra Landsat ETN dan data lapangan pada saat penelitian ini dilakukan, luas hutan mangrove di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sekitar 1.046,126 ha. Komposisi spesies mangrove relatif terbatas, apabila dibandingkan dengan tumbuhan pada hutan hujan tropis. Jumlah spesies mangrove yang pasti masih terdapat perbedaan diantara para ahli, Tercatat 50 sampai 70 spesies menurut klasifikasi yang berbeda (misalnya:tomlinson 1986; Saenger et al. 1983; Lugo & Snedaker 1975; Aksornkoae et al. 1992), dengan keanekargaman yang tertinggi ditemukan di Asia. Di Indonesia komposisi spesies mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Kusmana (1993) melaporkan di Kalimantan Timur ditemukan 8 spesies, di Teluk Bintuni Irian Jaya 12 spesies (Kusmana et al. 1997), di Delta Tampina Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan ditemukan 10 spesies (Mustafa & Prawitosari, 1990), dan di Pantai Lanowulu Sulawesi Tenggara ditemukan 9 spesies (Jamili 2005) Meskipun komposisi jenis mangrove berbeda antara berbagai tempat, tetapi secara umum spesies yang menyusun komunitas mangrove terdiri atas : (1) Pohon-pohon yang termasuk dalam marga/genus Rhizophora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp (familia Rhizophoraceae), Avicennia spp (familia Avicenniaceae),

38 Sonneratia spp (familia Sonneratiaceae), Xylocarpus spp (familia Meliaceae), Lumnitzera spp (familia Combretaceae), (2) Jenis-jenis perdu, seperti Aegialitis spp (familia Plumbaginaceae), dan Scyphipora sp (familia Rubiaceae), (3) golongan palm seperti Nipa frukticans dan golongan paku-pakuan, seperti Acrosticum sp. Golongan liana yang umum ditemukan di komunitas mangrove adalah Derris heptaphyla (Chapman 1976). D. Struktur Vegetasi Tegakan Mangrove Struktur vegetasi merupakan organisasi individu di dalam ruang yang membentuk suatu tegakan. Dalam ekologi vegetasi sedikitnya ada 5 level struktur vegetasi, yaitu fisiognomi vegetasi, struktur biomasa, struktur life form, struktur floristik, dan struktur tegakan/stand. Suatu tegakan dapat dibedakan dari tegakan sekitarnya oleh komposisi, umur, struktur, tempat tumbuh atau geografi (Barbour et al. 1987). Dalam kajian struktur tegakan salah satunya bertujuan untuk menggambarkan jumlah individu tumbuhan menurut kelas ukuran pohon, biasanya mencakup tinggi dan diameter batang tiap spesies yang terdapat di dalam tegakan tersebut. Informasi distribusi diameter batang merupakan salah satu hal yang penting untuk menggambarkan keadaan suatu tegakan mangrove. Sebaran diameter batang pada suatu areal hutan berperan penting dalam hubungannya dengan kepentingan ekologi, dengan asumsi bahwa pertumbuhan umur suatu tumbuhan, akan diikuti pula dengan meningkatnya ukuran diameter batangnya, maka ukuran diameter batang dapat digunakan untuk memperkirakan umur suatu tumbuhan. Penyebaran berbagai kelompok umur dalam suatu populasi menentukan status reproduktif yang sedang berlangsung dan dapat digunakan untuk memprediksi gambaran populasi pada masa yang akan datang. Tahap perkembangan tumbuhan yang umum teramati dapat berlangsung sebagai berikut : biji yang dapat berkecambah (viable seed), semai (seedling), usia muda (juvenil), dewasa vegetatif (mature vegetatif), dewasa generatif (mature generatif), dan tua (senescent) Barbour et al. (1987). Daniel et al. (1979) membuat acuan klasifikasi tegakan berdasarkan kelas umur. Atas dasar ini tegakan secara umum dibedakan atas tegakan seumur dan tegakan tidak seumur. Diantara bentuk tegakan seumur dan tidak seumur, terdapat bentuk-

39 12 bentuk lain, seperti bentuk berlapis, bentuk tidak teratur, dan tegakan cadangan. Tegakan seumur merupakan tegakan yang terdiri dari pohon yang sama, ditanam pada waktu yang sama atau dalam waktu yang bersamaan. Dalam bentuk model ini dapat diamati pula ciri-ciri yang dimiliki, yaitu tajuk yang seragam, kelas diameter yang terbanyak terdapat pada ukuran rata-rata. Tegakan tidak seumur secara teoritis, terdiri dari pohon-pohon pada segala tingkatan umur, mulai dari semai sampai usia tua. Ciri-ciri lain yang dapat diamati pada tegakan model ini adalah adanya tajuk yang terputus dan tidak seragam. Jumlah pohon yang tersebar berada dalam kelas diameter kecil. E. Zonasi Mangrove Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga kondisi lingkungan mangrove khas, kenyataan ini mungkin yang menyebabkan komposisi spesies mangrove relatif rendah, namun demikian kerapatan populasi masing-masing spesies umumnya besar. Walaupun habitat mangrove bersifat khusus, tetapi setiap spesies mempunyai kisaran ekologis tersendiri dan masing-masing spesies mempunyai relung (niche) yang khusus, sehingga menyebabkan terbentuknya berbagai macam zona (mintakat). Perkembangan mangrove dalam komunitas zona, seringkali diintepretasikan sebagai tingkat perbedaan dalam suksesi (perubahan secara progesif dalam komposisi spesies selama perkembangan vegetasi). Tumbuhan yang tumbuh mulai dari garis pantai menuju daratan membentuk perbedaan yang gradual. Tidak ada model zonasi mangrove yang berlaku secara universal (Nybakken 1998), tetapi skema umum mangrove untuk penggunaan secara luas pada daerah Indo-Pasifik dapat digunakan. Daerah yang menghadap ke laut dari mangrove pasifik sebagian besar didominasi oleh satu atau lebih spesies Avicennia spp. Bagian pinggir Avicennia spp biasanya cukup sempit dan umumnya berasosiasi dengan Sonneratia spp yang tumbuh pada daerah yang senantiasa basah. Dibelakang pinggiran Avicennia spp terdapat zona Rhizophora spp yang didominasi oleh satu atau lebih spsies Rhizophora spp. Zona berikutnya adalah Bruguiera spp dan zona terakhir merupakan zona Ceriops spp.

40 Lear & Tunner (1977) memberikan contoh zonasi di daerah Timur Australia, yang memiliki iklim yang cocok untuk pertumbuhan mangrove. Zonasi tersebut terdiri atas : 1. Landward zone (zona ke area darat). Zona ini sering dijumpai sebagai zona yang sempit, karena bercampur dengan tumbuhan darat. Kebanyakan spesies mangrove yang ditemukan pada zona ini adalah Exoecaria agallocha L., Lumnitzera littorae (Jack.) Voiigt., Lumnitzera rasemosa Wild., Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., Ceriops. tagal (Perr.) C.B.Rob., Aegiceras corniculatum (L.) Blanco., Avicennia marina (Forsk) Vierh., dan Heritiera littoralis Drynand. 2. Zona Ceriops spp. Zona ini hampir seragam, dengan ketinggian hampir mencapai 5 m yang didominasi oleh Ceriops spp. Spesies ini merupakan zona yang paling lebar di daerah yang bercurah hujan sedang. Pada daerah Queensland zona ini diwakili oleh Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. 3. Zona Bruguiera spp. Pada zona ini puncak kesuburannya di temukan di Australia Timur Laut. Zona ini didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. yang berasosiasi dengan Xylocarpus granatum Koenig., Xylocarpus australosicus dan Heritiera littoralis Drynand. 4. Zona Rhizophora spp. Zona ini sering terdiri dari Rhizophora stylosa Griff. yang terletak dibelakang seaward zone, pada kebanyakan komunitas mangrove di Australia. 5. Zeaward zone. Zona ini merupakan spesies pionir, umumnya didominasi oleh Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Selain spesies tersebut, Sonneratia spp juga merupakan spesies pionir dalam zona ini. Penjelasan tentang zonasi di atas merupakan pola yang berlaku pada suatu tempat, dan tidak semua mangrove memiliki pola zonasi yang sama untuk seluruh daerah. Habitat mangrove di Indonesia mempunyai kisaran variasi sifat fisik dan kimia yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain, maka diduga setiap daerah mempunyai pola zonasi yang berbeda. Setiap jenis mangrove menduduki mintakat yang cocok untuk pertumbuhannya. Penelitian di kawasan hutan mangrove milik Perhutani Jawa Tengah di Cilacap, diketahui bahwa pada lapisan terluar dicirikan oleh Avicennia alba

41 14 Blume. dan Sonneratia alba J. Sm. Lapisan kedua didominasi oleh Rhizophora mucronata Lamk. yang disertai dengan Bruguiera sp. dan Aegiceras corniculatum (L.) Blanco. Kemudian lapisan terakhir didominasi oleh Ficus sp, Carava sp., Exoecaria sp., dan Heritiera sp. (Marsono 1989). Jamili (1998) melaporkan bahwa pada komunitas magrove di Pantai Napabalano Sulawesi Tenggara, dapat dibedakan menjadi 4 zona, yaitu : 1. Zona Avicennia. Zona ini merupakan lapisan yang paling luar, yaitu daerah yang langsung berbatasan dengan laut, merupakan zona sempit dengan ketebalan sekitar 40 m. Pada zona ini jenis yang dominan adalah Avicennia marina (Forsk) Vier. yang berasosiasi dengan jenis Sonneratia alba J.SM. Kedua jenis tersebut merupakan jenis pionir pada endapan lumpur yang berasal dari sungai Lambiku. 2. Zona Rhizophora mucronata Lamk. Pada zona ini didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk dengan ketebalan sekitar 160 m. Walaupun pada zona ini didominasi oleh R. mucronata Lamk, tetapi bukan merupakan tegakan murni (pure stand). Spesies lain yang ditemukan pada zona ini antara lain R. apiculata Blume. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. dan Sonneratia alba J.Sm. 3. Zona Rhizophora apiculata Blume. Zona ini merupakan zona dengan ketebalan yang paling luas, dengan ketebalan 440 meter. R. apiculata Blume. mencapai puncak kesuburannya pada stand nomor 18 dan 19 ( m) dari zona terluar ke arah darat. Pada kedua stand tersebut Rhizophora apiculata Blume merupakan tegakan murni (pure stand). 4. Zona Ceriops sp. Zona ini berkembang pada bagian paling belakang/arah darat ( m) dari formasi terdepan. Ceriops umumnya berupa belukar dengan ketinggian yang hampir seragam, dengan rata-rata ukuran diameter batang relatif lebih rendah, apabila dibandingkan spesies lain yang menyusun tegakan pada kawasan ini. Tegakan pada zona ini diwakili oleh Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob. yang membentuk tegakan murni.

42 F. Regenerasi Vegetasi Mangrove Proses regenerasi pada hutan mangrove cukup unik, hal in sesuai keadaan lingkungannya yang khas yaitu berair dan berlumpur. Sehingga beberapa spesies mempunyai mekanisme adaptasi dengan karakter propagul maupun biji yang bervariasi, beberapa bersifat viviparous antara lain seperti Rhizophora, Avicennia dan Ceriops. Regenerasi pada hutan mangrove yang mengalami gangguan biasanya mengalami banyak kendala seperti ketiadaan benih maupun degradasi lingkungan. Hamilton & Snedakeer (1984) menyatakan bahwa masalah regenerasi alami harus mendapat perhatian karena beberapa mengalami kegagalan pada daerah tertentu. Hal ini disebabkan keberhasilan regenerasi alami sangat rendah, seperti di Matang Malaysia hanya 50%, dan bahkan di Sarawak Malaysia hanya berkisar 10%. Berkaitan dengan keberhasilan regenerasi ini, Barik et al. (1996) mengemukakan bahwa keberhasilan regenerasi pohon didalam suatu hutan ditentukan oleh kesuksesan menyelesaikan beberapa kejadian dalam siklus hidupnya, seperti produksi biji dan dispersal pada tempat yang sesuai, perkecambahan dan keluarnya kecambah, establishment dan pertumbuhan kedepan. Produksi biji dari pohon-pohon mungkin dibatasi oleh faktor-faktor ekstrinsik seperti ketersediaan sumberdaya, kegagalan polinasi, predasi pada bunga, buah dan daun, dan kondisi iklim, sampai dengan faktor intrinsik seperti umur, ukuran tumbuhan, dan konstituen genetiknya. Hong & San (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove bergantung pada faktor-faktor seperti tekstur tanah, salinitas, luas pasang surut dan densitas pohon. Pertumbuhan ditemukan paling tinggi di tempat dengan salinitas dan pertumbuhan menurun pada tempat dengan salinitas Selanjutnya dikatakan bahwa lama aliran pasang surut juga merupakan faktor yang penting yang mengatur pertumbuhan dan distribusi spesies mangrove. Sedangkan Aksornkae (1993) menyatakan bahwa pada hutan mangrove karakteristik fenologi meliputi; pembungaan, berbuah, propagul dewasa dan buah dewasa. Selanjutnya dikatakan bahwa, pertumbuhan diameter dan tinggi batang Rhizophora apiculata akan bertambah dengan bertambahnya umur, namun terjadi perbedaan dengan perbedaan lokasi dan kondisi lingkungan.

43 16 Produksi biji mangrove umumnya melimpah, dan secara normal tidak mempunyai masalah dengan regenerasi alami dari area yang dieksploitasi dan kecambah cukup eksis atau survive dari pemanenan (Hamilton & Snedakeer 1984). Pola produksi biji berbeda diantara populasi dari spesies yang sama yang teradaptasi pada mikrohabitat yang berbeda, dan individu-individu pohon dalam suatu populasi juga sangat berbeda dalam ukuran dan buah yang dihasilkan. Produksi biji diantara populasi juga berbeda karena perbedaan didalam jumlah individu yang berbuah dan jumlah biji yang dihasilkan per individu yang berproduksi (Barik et al. 1996). G. Faktor Lingkungan Vegetasi Mangrove Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang spesifik, karena merupakan peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga faktorfaktor lingkungan ekosistem mangrove cukup kompleks, dan berbeda dengan faktor lingkungan pada ekosistem darat maupun ekosistem laut. Chapman (1976) mengemukakan bahwa ada 7 faktor yang dibutuhkan mangrove untuk dapat tumbuh dengan baik, yaitu : (1) Temperatur, perkembangan mangrove yang baik umumnya terdapat pada daerah yang beriklim tropika dan sub-tropika; (2) Arus laut yang tidak terlalu deras; (3) Perlindungan, mangrove akan tumbuh dengan baik pada wilayah yang memiliki perlindungan terhadap hempasan ombak yang keras; (4) Pantai dangkal; (5) Perairan asin, meskipun tidak menjadi syarat mutllak bagi pertumbuhan mangrove, perairan asin dapat dapat membantu perkembangan spesies mangrove tertentu; (6) Pasang-surut, pasang surut dapat membantu pemintakatan spesies mangrove tertentu; (7) Substrat lumpur, meskipun mangrove dapat tumbuh pada substrat berpasir, batu karang, dan gambut, namun pada umumnya mangrove sangat sesuai tumbuh pada substrat lumpur atau tanah berlumpur. Kemudian menurut Soekardjo (1993), ekosistem mangrove dapat tumbuh dengan baik apabila memenuhi 4 persyaratan, yaitu : (1) Temperatur, mangrove tumbuh dengan baik pada iklim tropika dan sub-tropika; (2) Curah hujan, mangrove tumbuh dengan baik dengan curah hujan sekitar mm/thn; (3) Tempat tumbuh, mangrove hanya cocok di mintakat pesisir dan muara; (4) Tanah, mangrove dapat hidup pada tanah salinitas tinggi. Mangrove tumbuh subur di areal yang secara teratur disapu oleh pasang-surut dan sapuan air

44 tawar (fresh water seepage). Sapuan air tawar dibutuhkan untuk menghilangkan salinitas yang berlebihan. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi perkembangan ekosistem mangrove secara sederhana dapat dibedakan atas : 1. Salinitas Umumnya mangrove tumbuh pada daerah air asin atau payau. Steenis (1978) menyatakan bahwa spesies mangrove tidaklah mutlak tumbuh pada air asin atau payau. Sedangkan Lear & Turrner (1977) mengemukakan bahwa beberapa spesies mangrove dalam pertumbuhannya tidak memerlukan garam. Bruguiera sp dan Rhizophora sp dapat tumbuh dan berbunga di dalam plot, dengan menggunakan substrat pasir dan perlakukan air tawar. Mangrove kebanyakan tergolong tumbuhan halophyte, yaitu tumbuhan yang dapat beradaptasi terhadap salinitas tinggi. Chapman (1976) mengemukakan bahwa Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan B. parviflora merupakan golongan halophytes obligat dan jenis Xylocarpus granatum dan Nypa fructicans merupakan golongan halophytes fakultatif. 2. Pasang surut Faktor fisik yang sangat berpengaruh pada hutan mangrove salah satunya adalah pasang-surut. Pasang-surut adalah naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu tertentu (Nybakken, 1988) Perbedaan jumlah pasang (air naik) dan surut (air turun) per hari dan ketinggiannya pada berbagai belahan bumi tidak sama. Pasang-surut yang terdiri atas satu pasang dan satu surut per hari disebut pasang -surut diurnal. Pasangsurut yang mempunyai dua pasang dan dua surut per hari disebut pasang- surut semidiurnal. Jika ada percampuran antara diurnal dan semi-diurnal disebut pasang-surut campuran. Ketinggian air pasang dan surut bervariasi dari hari ke hari (Nybakken 1988).

45 18 Adanya pasang-surut ini menyebabkan mangrove secara periodik mengalami periode penggenangan (innudation). Watson (1928) membagi daerah genangan air pasang di semenanjung Malaya, menjadi 5 kelas, yaitu: a. Tempat yang digenangi oleh air pasang kali per bulan (all higt tides). Di tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup, kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai. b. Tempat yang digenangi oleh air pasang kali per bulan (medium higt tides). Di tempat ini tumbuh spesies Sonneratia dan Avicennia. Berbatasan dengan sungai R. mucronata merajai. c. Tempat yang digenangi oleh air pasang kali per bulan (normal higt tides). Tempat ini mencakup sebagian besar hutan mangrove yang ditumbuhi R. mucronata, R. apiculata, Ceriops tagal, dan Bruguiera parviflora. d. Tempat yang digenangi oleh air pasang 2-20 kali per bulan (spring tides). Di sini Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada tempat berlumpur keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat yang drainasenya lebih baik tumbuh Bruguiera parviflora kadang-kadang Bruguiera sexangula. e. Tempat yang digenangi oleh air pasang 2 kali per bulan (exeptional higt tides). Disini Bruguiera gymnorrhiza berkembang dengan baik sering bersama- sama dengan tumbuhan paku dan kadang-kadang R. apiculata. Ke arah darat sering ditumbuhi oleh tegakan Oncosperma tigillaria. De Haan diacu dalam Chapman (1976) yang melakukan kajian di hutan mangrove Cilacap (Jawa Tengah), membagi kelas genangan menjadi 4 kelas, yaitu: a. Salinitas 10-30% o, tanah digenangi 1-2 kali sehari, atau sekurang-kurangnya 20 hari per bulan. Spesies Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang agak lebih keras membentuk mintakat luar. b. Salinitas 10-30% o, tanah digenangi 10-9 hari per bulan. Bruguiera gymnorrhiza tumbuh baik dan tegakannya membentuk mintakat tengah.

46 c. Salinitas 10-30% o, tanah digenangi 9 hari, atau sekurang-kurangnya 4 kali per bulan. Spesies Xylocarpus dan Heritiera berkembang disini dan membentuk mintakat ke tiga. d. Salinitas 10-30% o, tanah digenangi hanya beberapa hari saja per bulan. Spesies Bruguiera, Soyphyphora dan Lumnitzera berkembang baik dan membentuk mintakat dalam. 3. Substrat Substrat mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang-surut. Substrat yang berdekatan dengan pantai, umumnya berpasir. Bagian tepi sungai dan bagian arah menuju darat umumnya merupakan tanah lempung (clay). Menurut Nybakken (1988), aggregasi butiran tanah pada hutan mangrove mudah terurai atau terdispersi oleh air dan menyebabkan tanah berlumpur. Konstribusi lumpur kurang baik, sehingga sering dijumpai tanah mangrove mengalami kondisi anoksik. 4. Oksigen Tanah Kandungan oksigen dalam mangrove hanya sedikit. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen tersebut, umumnya mangrove mempunyai akar napas (aerial root) yang disebut pneumatophores. Selain adanya bentuk akar yang khas tersebut, kekurangan oksigen juga dapat dipengaruhi dengan adanya lubanglubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan-hewan, misalnya kepiting (Soeroyo 1993). Pada anggota Rhizophora ditunjang oleh akar udara (prop atau akar jangkar) yang melengkung dari batang pokok dan juga berasal dari cabang bawah. Pada marga Bruguiera dan Ceriops mempunyai perakaran samping yang menuju (muncul) ke atas permukaan tanah dan kembali lagi ke dalam tanah, yang disebut akar lutut. Sedangkan pada Sonneratia dan Avicennia mempunyai sistem perakaran yang meluas dari akar-akar samping yang dangkal. Akar-akar udara (pneumatophora) ini berbentuk kerucut dan muncul ke permukaan tanah. Pada Heritiera littoralis dan Xylocarpus granatum mempunyai sistem perakaran penyokong yang berbelok-belok (akar papan).

47 20 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografi Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun Pemerintah pusat pada tahun 1995 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 462/KPTS-11/1995 telah menetapkan bahwa wilayah Wakatobi sebagai Taman Wisata Alam Laut. Dasar penetapan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu wilayah yang mempunyai keanekaragaman laut yang terlengkap di dunia. Pada tahun 1996 dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 393/KPTS-VI/1996 status daerah tersebut ditingkatkan menjadi wilayah konservasi, dengan status Taman Nasional. Luas kawasan taman Nasional Wakatobi adalah ha, sama persis atau overlap dengan luas wilayah Kabupaten Wakatobi. Secara geografis kawasan Taman Nasional Wakatobi terletak di sebelah timur Pulau Buton, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Muna, Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Buton, dan Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores. Secara astronomis, wilayah Taman Nasional Wakatobi terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan hingga 6 o 10 Lintang Selatan dan 123 o 20 Bujur Timur hingga 124 o 39 Bujur Timur. Wilayah Taman Nasional Wakatobi terdiri atas 48 pulau, 3 gosong dan 5 atol (Gambar 2). Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka semua pulau pada kawasan Taman Nasional tergolong ke dalam pulau kecil. Dalam undangundang tersebut yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan km 2 beserta kesatuan ekosistemnya. Terbentuknya kepulauan Wakatobi dimulai sejak zaman tersier hingga akhir zaman Miosen. Pembentukan pulau-pulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang berlangsung sejak zaman

48 21 Gambar 2 Peta wilayah Taman Nasional Wakatobi (Sumber : Balai Taman Nasional Wakatobi 2009) dulu hingga sekarang. Kawasan di sekitar Sulawesi, laut Flores, Laut Banda dan Laut Jawa bagian Timur merupakan kawasan dinamis yang mengalami interaksi tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia di sebelah barat, lempeng Indo- Australia di sebelah selatan dan lempeng Filipina di sebelah utara ke arah timur laut (Daly et al. 1991). Ketiga lempeng ini mengakibatkan tekanan dan tarikan, baik dari arah barat-timur maupun utara-selatan. Lempeng dasar dari kepulauan Wakatobi merupakan pecahan lempeng dasar yang berasal dari Papua Nugini. Lempeng ini memanjang sekitar 200 km ke arah barat laut dan tenggara. Dasar dari lempeng ini tidak berasal dari vulkanik dan selama ini tidak pernah tercatat adanya aktivitas vulkanik di daerah Wakatobi ( Hamilton 1979). B. Topografis Secara geografis kondisi bentang alam daratan pulau-pulau di kawasan Taman Nasional Wakatobi relatif kering, bergelombang dan berbukit-bukit. Jenis tanahnya bervariasi dari batuan kapur, pasir putih, dan tanah lempung. Tanah di

49 22 daerah ini kurang begitu subur untuk usaha bercocok tanam. Peta geologi Lembar Kepulauan Tukang Besi Sulawesi Tenggara skala 1: tahun 1994 menunjukkan bahwa secara umum formasi geologi Wakatobi dikelompokkan kedalam formasi geologi Qpl dengan jenis bahan induk yaitu batu gamping coral. Beberapa vegetasi yang bisa ditanam atau bisa tumbuh antara lain jambu mete, kelapa, ubi kayu, dan jagung. Tanaman keras yang umum tumbuh di wilayah ini adalah pohon asam (Tamarindus indicus). C. Iklim Berdasarkan hasil analisa data curah hujan dalam penentuan tipe iklim menggunakan sistem klasifikasi Schmidth-Fergusson sebagian besar daerah di Sulawesi Tenggara memiliki tipe iklim A dan B. Sedangkan berdasarkan sistem klasifikasi Oldeman sebagian besar wilayah Sulawesi Tenggara memiliki zona agroklimat B (Stasiun Maritim Kendari 2006). Jumlah curah hujan di Kabupaten Wakatobi tidak tinggi sepanjang tahun. Menurut data curah hujan selama 10 tahun ( ), curah hujan terendah terjadi pada bulan September, rata- rata hanya mencapai 4,7 mm/th dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, dengan rata-rata mencapai 149,2 mm/th. Sumber mata air di Kabupaten Wakatobi pada umumnya berasal dari air tanah dan gua-gua karst. Sedangkan air permukaan atau sungai kecil hanya ditemukan di wilayah Kecamatan Wangi-Wangi dan Kaledupa, terutama pada musim penghujan. Data curah hujan antara tahun 1993 hingga tahun 2002 di Wakatobi disajikan pada Tabel 1. Keadaan angin di Wakatobi sangat dipengaruhi oleh angin muson yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat (Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7 sampai 20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot/ jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim timur kecepatan angin berkisar antara 7 sampai 15 knot/ jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara.

50 23 Tabel 1 Data curah hujan Stasiun Waha Kecamatan Tomia Kabupaten Buton (sekarang Wakatobi) antara tahun (10 tahun) Bulan Tahun Jumlah (cm) Rerata (cm) Jan X ,2 Feb X ,4 Maret ,4 April Mei X ,4 Juni X ,4 Juli X 31 X ,9 Agus X X Sep X X 14 4,7 Okt X X ,7 Nop X 169 X X ,4 Des X X 238 X X ,7 Keterangan : X tidak ada data; - tidak ada hujan Sumber : Data stasiun klimatologi kelas 1 Panakukang Maros diacu dalam stasiun maritim Kendari (2006) D. Kualitas Perairan Perairan Taman Nasional Wakatobi tergolong masih bersih. Hasil pengukuran kualitas perairan disajikan pada Tabel 2. E. Potensi Sumberdaya Alam Hampir seluruh wilayah Taman Nasional Wakatobi (97%) adalah lautan, sedangkan sisanya 3% merupakan daratan. Daratan utama di wilayah ini terdapat di empat pulau, yaitu Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Potensi sumberdaya alam terbesar daerah ini berada di laut, terutama ikan, budidaya laut dan terumbu karang yang menjadi salah satu objek wisata. Sebagian besar penduduk di kawasan Taman Nasional Wakatobi menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya laut.

51 24 Tabel 2 Parameter fisika-kimia perairan Taman Nasional Wakatobi No Parameter Perairan Wangi-Wangi Kaledupa Tomia Binongko 1. DO (ppm) 6,35 ± 0,40 6,22 ± 0,64 6,54 ± 0,51 6,37 ± 0,51 2. ph 8,20 ± 0,02 8,24 ± 0,13 8,30 ± 0,10 8,23 ± 0,09 3. Salinitas ( ) 34,50 ± 0, ,90 ± 0,20 34,80 ± 0,20 4. TTS (mg/l) 3,77 ± 0,64 3,99 ± 0,39 3,99 ± 0,39 3,90 ± 0,39 5. Nitrat (ppb) 1,77 ± 2,42 1,74 ± 2,86 2,85 ± 5,04 2,12 ± 3,5 6. Nitrit (ppb) 0,90 ± 1,34 0,07 ± 0, Fosfat (ppb) 4,28 ± 2,28 3,98 ± 1,95 5,34 ± 2,42 4,50 ± 2,0 8. Suhu ( o C) 2 m 27,26 28,73 27,26 28,73 27,26 28,73 27,26 28,73 50 m 23,88 27,53 23,88 27,53 23,88 27,53 23,88 27,53 9. Kecerahan (%) 70,80 86,10 70,80 86,10 70,80 86,10 70,80 86, Kekeruhan (NTU) 11. Intensitas Matahari (m) 12. Arus air < 1 < 1 < m 25 cm/detik 40 cm/detik 37 cm/detik 20 m 19 cm/detik 40 cm/detik 37 cm/detik 50 m 28 cm/detik 34 cm/detik 35 cm/detik 100 m 23 cm/detik 26cm/detik 32 cm/detik Smber : Balai Taman Nasional Wakatobi (2009) Taman Nasional Wakatobi memiliki potensi sumberdaya alam yang bervariasi. Dari berbagai potensi sumberdaya alam tersebut, terdapat delapan sumberdaya alam yang menjadi target konservasi, yaitu : 1).terumbu karang, 2) padang lamun, 3). mangrove, 4). jalur migrasi paus dan lumba-lumba, 5). habitat burung pantai, 6). pantai tempat bertelur penyu, 7). tempat memijah ikan-ikan karang, dengan target karapu, kakap, dan napoleon, dan 8). spesies laut dan pesisir yang memberikan manfaat ekonomi ( Balai Taman Nasional Wakatobi 2008). Keberadaan sumberdya bakau (mangrove) di Taman Nasional Wakatobi, memiliki peran yang sangat strategis dalam melindungi pantai dan pemukiman penduduk dari gelombang, angin, badai serta dapat menunjang kelestarian

52 25 ekosistem terumbu karang, yang menjadi sumberdaya alam utama di Taman Nasional Wakatobi. Berdasarkan hasil survei pengelola taman nasional pada tahun 2001, dari 48 buah pulau yang terdapat di kawasan taman nasional Wakatobi, komunitas mangrove hanya ditemukan pada beberapa pulau saja. Komunitas mangrove yang terbanyak ditemukan di Pulau Kaledupa. Pada Pulau Derawa, Lintae Utara, Runduma dan Pulau Tomia komunitas mangrove hanya ditemukan pada beberapa desa saja, bahkan di Pulau Binongko hanya ditemukan di Desa Wali ( Anonim 2009) F. Potensi Sumberdaya Manusia 1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 tercatat sebanyak jiwa, terdiri dari (48.55%) laki-laki dan (51.45%) perempuan. Pada tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi telah mencapai jiwa, yang terdiri dari (48.70%) laki-laki dan (51.30%) perempuan. Data ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibanding penduduk laki-laki. Dalam kurun waktu 6 tahun ( ) tingkat pertumbuhan penduduk di Kabupaten Wakatobi tergolong rendah, hanyak 1.1 % per tahun (Tabel 3). Tabel 3 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan tingkat pertumbuhan ratarata pertahun di Kabupaten Wakatobi ( ) Jenis Kelamin Jumlah Penduduk Tahun 2000 Tahun 2006 Pertumbuhan Penduduk/ Tahun Laki-Laki % Perempuan % Jumlah % Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi (2007) 2. Penyebaran Penduduk Penyebaran penduduk di Kabupaten Wakatobi bervariasi antar wilayah. Tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan disajikan pada Tabel 4

53 26 Tabel 4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Wakatobi, tahun 2006 No Kecamatan Jumlah Luas Wilayah Tingkat Kepadatan (jiwa) (Km 2 ) Penduduk (Orang/Km 2 ) 1. Wangi-Wangi , Wangi-Wangi Selatan , Kaledupa , Kaledupa Selatan , Tomia , Tomia Timur , Binongko ,00 92 Jumlah , Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi (2007) Tabel 4 memperlihatkan hanya dua kecamatan yang memiliki jumlah penduduk paling tinggi, yaitu Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan. Besarnya jumlah penduduk pada dua kecamatan tersebut karena letaknya dekat dengan ibukota kabupaten, memiliki beberapa akses yang lebih besar daripada kecamatan lainnya, seperti akses transportasi, ekonomi (pelabuhan besar dan pasar), kesehatan, pendidikan dan akses lainnya. 3. Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan formal penduduk di Kabupaten Wakatobi secara umum belum menggembirakan. Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk masih berpendidikan rendah. Pada tahun 2000 sebesar 79,13% penduduk Wakatobi masih berpendidikan SD ke bawah (Tabel 5). Persentasi ini hampir sama di semua kecamatan yang ada, sehingga secara umum kondisi pendidikan di seluruh wilayah kecamatan relatif tidak berbeda. Hal ini diduga berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, serta akses penduduk terhadap pendidikan yang ada masih rendah. 4. Pekerjaan Penduduk Kabupaten Wakatobi merupakan wilayah kepulauan, dimana potensi yang paling menonjol dan telah ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Wakatobi menjadi sektor unggulan utama adalah sektor perikanan dan kelautan. Namun

54 27 Tabel 5 Persentase pendidikan tertiggi yang ditamatkan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Wakatobi, tahun 2000 No Pendidikan Kecamatan Wakatobi Wangi-Wangi Kaledupa Tomia Binongko 1 Tidak/Belum Sekolah 50,09 51,50 50,00 48,14 50,02 2 SD 29,97 25,54 25,66 34,71 29,11 3 SLTP 12,02 12,05 12,96 12,65 12,30 4 SLTA 6,91 9,78 9,93 3,97 7,53 5 Diploma 0,53 0,58 0,71 0,28 0,54 6 Universitas 0,48 0,55 0,75 0,25 0,51 Jumlah 100% 100% 100% 100% 100% Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi (2007) sampai saat ini belum direspon secara baik oleh sebagian besar penduduk. Kondisi ini tergambar dari besarnya proporsi angkatan kerja yang bekerja sebagai petani tanaman pangan yang masih dominan. Secara umum penduduk yang memiliki pekerjaan sebagai petani tanaman pangan mencapai 48,1%, bahkan kalau digabung dengan petani perkebunan jumlahnya mencapai sekitar 51,2%, sedangkan yang tercatat memiliki pekerjaan nelayan hanya 17.7% ( Tabel 6). Peranan sub sektor perikanan dan kelautan yang kurang dominan di Kabupaten Wakatobi, merupakan salah satu fenomena yang perlu dicermati lebih lanjut. Wilayah Wakatobi (97%) merupakan wilayah laut, sehingga idealnya sebagian besar masyarakat akan bergantung pada laut sebagai potensi sumberdaya yang ada. G. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut Berdasarkan hasil pengamatan dan data yang tersedia, ditemukan beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya laut di Kabupaten Wakatobi. 1. Perilaku Masyarakat yang Merusak Terumbu Karang Berdasarkan hasil penelitian LIPI di 52 stasiun pengamatan pada tahun 2006, dilaporkan bahwa kondisi terumbu karang di Kabupaten Wakatobi termasuk

55 28 Tabel 6 Distribusi penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis pekerjaan di empat kecamatan wilayah Kabupaten Wakatobi, tahun 2000 No Pendidikan Kecamatan Wangi-Wangi Kaledupa Tomia Binongko Wakatobi 1 Petani Tanaman pangan 55,5 26,2 55,8 38,9 48,1 2 Petani Perkebunan 2,7 8,7 0,4 0,3 3,1 3 Petani Peternak 0,1-0,1 0,3 0,1 4 Petani Lainya 1,2 1,2 0,2 0,7 1,0 5 Nelayan 14,0 47,0 8,1 2,2 17,7 6 Pengrajin (industri) 0,6 3,5 0,9 5,7 1,8 7 Pedagang 11,1 4,0 19,5 10,1 11,2 8 Pekerja jasa 4,7 6,7 10,0 8,8 6,6 9 Sopir/Oojek) 3,3 0,7 2,2 17,9 4,2 10 Lainnya 6,8 2,0 2,8 15,1 6,2 Jumlah Penduduk 100% 100 % 100% 100% 100% Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi (2007) dalam kategori sedang, dengan tutupan karang hidup rata-rata mencapai 31%. Persentasi tutupan karang hidup rata-rata terendah ditemukan di Pulau Wanci (27%) dan yang tertinggi ditemukan di Pulau Tomia (44%), sedangkan di Pulau Kaledupa berada dikisaran kedua pulau tersebut. Kondisi persentase tutupan karang hidup yang ditemukan di Kabupaten Wakatobi mengindikasikan bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang dikawasan tersebut. Berdasarkan hasil kajian aspek sosial terumbu karang yang dilakukan LIPI pada tahun 2002, diperoleh hasil bahwa kerusakan terumbu karang di kawasan Wakatobi telah berlangsung cukup lama. Kerusakan tersebut disamping karena faktor alami, juga berkaitan erat dengan perilaku masyarakat yang merusak terumbu karang, terutama penggunaan bahan dan alat tangkap yang merusak dan penambangan karang dan pasir. 2. Penggunaan Bahan dan Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang Kerusakan terumbu karang yang terkait penggunaan bahan dan alat yang merusak terumbu karang di Kabupaten Wakatobi antara lain :

56 29 (a). Bubu Dasar Sebagian nelayan di Kabupaten Wakatobi menggunakan bubu dasar untuk menangkap ikan dikawasan terumbu karang. Misalnya di Desa Waha sekitar 20 orang nelayan mengopersikan sebanyak 100 bubu. Sekali pasang nelayan meletakan 6 buah bubu (ukuran 100 x 50 x 30 cm). Agar bubu tidak hanyut bubu tersebut ditindih atau dipagari dengan sekitar 20 bongkahan atau patahan karang yang masih hidup. Dengan demikian untuk 100 buah bubu diperlukan sekitar 2-3 m 3 karang. Bubu dipindahkan sebanyak 2 kali per minggu. Diperlukan batu karang m 3 per bulan atau m 3 per musim/tahun. Dari perhitungan ini LIPI memperkirakan kerusakan terumbu karang di Desa Waha akibat penggunaan bubu dasar sekitar 150 m 3 /tahun. (b). Bius (Potasium) Penggunaan bius oleh sebagian nelayan telah sejak lama digunakan di Wakatobi, yaitu pertengahan tahun 1980-an untuk menangkap ikan karang hidup, dan pada akhir tahun 1990-an untuk menangkap lobster. Dampak penggunaan bius menimbulkan kerusakan yang cukup besar terhadap ekosistem terumbu karang. (c ). Cungkil Batu Penangkapan gurita marak dilakukan di Kabupaten Wakatobi, karena nilai jualnya relatif tinggi (Rp /kg). Permasalahan muncul karena penangkapan gurita dilakukan dengan cara membongkar atau menghancurkan terumbu karang, dimana gurita sering berlindung. (d). Bom Ikan Penggunaan bom untuk menangkap ikan pernah marak dilakukan di kabupaten Wakatobi, sekitar 15 km karang di perairan Waha rusak akibat penggunaan bom oleh nelayan. Pada saat penelitian, pengguaan bom sudah tidak ditemukan lagi. 3. Penambangan Batu Karang dan Pasir Penambangan batu karang dan pasir mempunyai konstribusi yang cukup signifikan terhadap terjadinya degradasi sumberdaya laut di Kabupaten Wakatobi. Kegiatan ini hampir menyebar di seluruh kawasan. Pengambilan batu karang

57 30 mulai marak sejak tahun 1970-an, ketika masyarakat mulai membangun rumah permanen dengan pondasi rumah dari batu karang. Kebutuhan akan batu karang dan pasir semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya pembangunan Kota Wanci sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Wakatobi. Secara resmi penambangan batu karang dan pasir saat ini telah dilarang oleh pemerintah setempat. Tetapi kegiatan tersebut belum bisa berhenti sama sekali, karena merupakan sumber pendapatan sebagian penduduk, khususnya penambang. Di beberapa tempat penambangan pasir masih terus terjadi secara intensif, dan akan berhenti jika diketahui akan adanya patroli dari aparat pemerintah. Bahkan pada beberapa tempat pengambilan pasir dilakukan pada malam hari secara sembunyi-sembunyi. 4. Pengambilan Kayu Bakau Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian berlangsung, pengambilan kayu bakau oleh mansyarakat masih berlangsung sampai sekarang, terutama untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar, dalam kehidupan sehari-hari. H. Aksesibilitas Transpotasi menuju Taman Nasional Wakatobi masih relatif terbatas. Dari ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Kendari), Taman Nasional Wakatobi saat ini hanya dapat ditempuh lewat perjalanan laut dengan dua alternatif, yaitu: pertama melalui rute Kendari- Bau-Bau - Wanci, dan kedua rute Kendari-Wanci (Gambar 3) Rute pertama dari Kendari-Bau-Bau-Wanci ditempuh dengan menggunakan kapal cepat (motor vessel) dari Kendari ke Bau-Bau, dengan waktu tempuh ± 4 jam. Selanjutnya dari Bau-Bau ke Wanci dilanjutkan dengan kapal kayu, dengan waktu tempuh ± 9 jam. Kapal Kendari-Bau-Bau pulang pergi 2 kali dalam sehari, dan dari Bau-Bau ke Wanci hanya 1 kali dalam sehari. Rute kedua yaitu dari Kendari-Wanci ditempuh dengan menggunkan kapal kayu secara reguler 3 kali seminggu, dengan waktu tempuh ± 12 jam. Pulau Kaledupa dapat ditempuh dengan kapal kayu dari Wanci, dengan waktu tempuh ± 2 jam. Untuk menuju Pulau Tomia dapat ditempuh dari Wanci selama ± 2 jam dengan speed boat atau kapal kayu, dan dari Tomia ke Pulau Binongko dapat ditempuh dengan kapal kayu ± 1 jam. Rute Wanci- Kaledupa dan

58 dari Wanci-Tomia dilayani secara reguler 1 kali/hari, sedangkan rute Tomia- Binongko 3 kali/minggu Peta Jalur Transportasi Laut Dari Ibukota P ropinsi Ke Taman N asional Wakatobi P. S ulawes i 4 N P. W a won ii W E #Y Ke nda ri S km Keterangan : #Y Ibukota Kabupaten/Kota Jalur Transportasi Garis Pantai Darat #Y Rah a Peta Indeks : P. M una 5 P. Ka bae na P. Buton #Y Wangi - W angi KABUPATEN WAKATOBI #Y Ba u-ba u P. Ka le dup a P. Tom ia J am ili N RP. G P. Bino ngko Program Studi Biologi Tum buhan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Gambar 3 Jalur transportasi laut dari ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Kendari) menuju Taman Nasional Wakatobi. Aksesibilitas menuju menuju pulau-pulau di Kabupaten Wakatobi sangat sulit dicapai dengan transportasi laut pada saat musim timur (Juni-Agustus), dan musim barat (Desember-Februari) karena gelombang laut sangat besar. Musim yang relatif tenang dan nyaman untuk perjalanan laut di Wakatobi adalah pada bulan September- November dan pada bulan Maret-Mei.

59 32 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan waktu penelitian Pengelolaan kawasan Taman Nasional Wakatobi dilakukan dengan sistem zonasi. Saat ini zonasi di kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor SK, 149/IV- KK/2007 tanggal 23 Juli 2007, terdiri dari 6 (enan) zona, yaitu : (1) zona inti, (2) zona perlindungan bahari, (3) zona pemanfaatan pariwisata, (4) zona pemanfaatan lokal, (5) zona pemanfaatan umum, dan (6) zona khusus atau daratan. Sebelum melakukan penelitian telah dilakukan beberapa kali penjajakan kondisi lapangan. Hasil studi awal diktehui bahwa tidak setiap zona/pulau di Taman Nasional Wakatobi memiliki komunitas mangrove. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka lokasi dalam penelitian ini ditetapkan pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa (zona perlindungan bahari), Pulau Derawa (zona pemanfaatan pariwisata), dan Pulau Hoga (Marine Research Station) milik Operation Wallacea (Gambar 4). Waktu pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan sejak bulan Maret 2009 hingga tanggal 25 Nopember Rentang waktu ini mewakili musim hujan dan musim kemarau. B. Bahan dan Alat 1. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) peta kawasan Taman Nasional berdasarkan SK Dirjen PHPA Nomor : Sk.149/IV-KK/2007, (b) bahan untuk pembuatan herbarium, berupa alkohol 90%, label, sasak bambu, koran bekas, kertas karton, kantong plastik besar (40 x 110 cm), kantong plastik berbagai ukuran, dan karung urea, (c) berbagai bahan kimia untuk analisis substrat.

60 Ket : = Pulau Kaledupa, = Pulau Hoga, = Pulau Derawa Gambar 4 Peta Taman Nasional Wakatobi (atas), sumber : Balai Taman Nasional Wakatobi 2009, dan peta lokasi penelitian (bawah).

61 34 2. Alat Penelitian Alat penelitian yang digunakan adalah (a) perangkat komputer dan perangkat lunak Microsoft Office 2003, (b) Alat pengecekan lapangan : GPS Garmin Extrex Vista dan kompas, (c) alat dokumentasi berupa kamera dijital Canon Power Shott A955 Mp dan baterai charger 4 buah, (d) seperangkat alat untuk mengukur tinggi penggenagan berupa 1500 buah botol rol film, kawat pengikat, tiang dari belahan bambu (lebar 5 cm, panjang 2 m), dan seperangkat alat pelubang botol rol film (e) peralatan inventarisasi vegetasi berupa meteran panjang (100 m) 1 buah, meteran sedang (50 m), meteran kain (1,6 m), tali plastik, dan parang (f) alat tulis menulis, (g) peralatan jelajah lapangan. C. Cara Kerja Langkah-langkah yang ditempuh dalam melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian Pendahuluan Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan tempat pengambilan data akan dilalukan. Hal ini dilakukan melalui penjajakan awal ke lokasi penelitian. Termasuk dalam kegitan ini adalah diskusi dengan pengelola Taman Nasional Wakatobi, pengambilan data sekunder dari pengelola kawasan dan pihak-pihak lain yang terkait, serta diskusi dengan beberapa penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi. 2. Penentuan Area Kajian dan Model Cuplikan Vegetasi Pengamatan sampel vegetasi dilakukan di tiga buah pulau yang berada dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi, yaitu Kaledupa (zona perlindungan bahari), Pulau Derawa (zona pemanfaatan pariwisata), dan Pulau Hoga (Marine Research Station) milik Operation Wallacea. Ketiga pulau ini merupakan kawasan utama yang memiliki mangrove dan memiliki luasan pulau yang berbeda, dan dalam pengelolaan kawasan berada dalam zona yang berbeda, sehingga secara ekologi kawasan mangrove di Taman Nasional Wakatobi dapat terwakili. Sampling vegetasi dilakukan dengan teknik analisis vegetasi menggunakan kombinasi antara metode transek dan plot (Muller-Dombois & Ellenberg 1974; Cintron et al. 1980; Cintron & Novelli 1984).

62 35 Pada masing-masing lokasi penelitian (Pulau Kaledupa, Pulau Derawa dan Pulau Hoga) dibuat 3 buah transek garis secara purposive tegak lurus garis pantai memotong komunitas mangrove, mulai dari formasi mangrove terdepan (arah laut), ke arah belakang sampai formasi paling belakang (berbatasan dengan tumbuhan darat). Penempatan transek dengan memperhatikan kondisi komunitas mangrove pada masing-masing pulau. Pada setiap garis rintis dibuat plot-plot pengamatan berukuran 10 x 10 m Plot-plot pengamatan diletakkan secara kontinyu pada sisi kiri dan sisi kanan sepanjang garis rintis. Jumlah plot-plot pengamatan pada setiap transek tidak sama, tergantung ketebalan komunitas mangrove pada masing-masing pulau (Gambar 5) Gambar 5 Model transek dan plot-plot pengamatan vegetasi mangrove dan faktor abiotik pada masing-masing pulau sampel pengamatan. Keterangan : T : Tree/pohon dbh > 20 cm, P : Pole/tiang dbh cm, Sp : Sapling/sapihan, tinggi > 1,5m dan dbh < 10 cm, Sd : seedling/semai, tgb < 1,5m

63 36 3. Tehnik Pengambilan Data a. Data Vegetasi Data vegetasi diperoleh melalui pengamatan lapangan yang dilakukan setiap plot. Data yang diamati adalah vegetasi mangrove untuk semua strata pertumbuhan yaitu pohon, tiang, sapihan, dan semai. Dalam penelitian ini yang dimaksud pohon adalah semua vegetasi mangrove dengan diameter batang setinggi dada (dbh) > 20 cm, tiang dbh cm, sapihan tinggi 1,5 > m dan dbh < 10 cm, serta semai tinggi batang < 1,5 m. Ketentuan untuk pengukuran diameter batang dan perhitungan kerapatan individu tumbuhan dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut: (1) pengukuran dilakukan setinggi 130 cm di atas permukaan tanah; (2) untuk vegetasi yang memiliki banir/tunjang dengan ketinggian lebih dari 130 cm di atas pengukuran tanah, pengukuran dilakukan 20 cm di atas banir; (3) vegetasi yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm di atas permukaan tanah, maka pengukuran diameter dilakukan setinggi 130 cm (vegetasi dianggap satu), sedangkan apabila tinggi percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah, pengukuran dilakukan terhadap semua cabang (vegetasi dianggap sebanyak cabang); (4) apabila setengah atau lebih bagian tajuk masuk ke dalam plot, maka pengukuran dilakukan, namun apabila sebaliknya pengukuran tidak dilakukan; (5) khusus vegetasi semai tidak dilakukan pengukuran diameter, hanya dihitung jumlah individunya. Model pengukuran dbh disajikan pada Gambar 6. Semua vegetasi mangrove yang terdapat dalam plot didata, meliputi nama spesies, jumlah individu tiap spesies, dan diameter batang setinggi dada (dbh). Tumbuhan strata semai, didata nama spesies dan jumlah individu masing-masing spesies. Vegetasi mangrove yang telah dikenali nama spesiesnya didata di lapangan. Untuk vegetasi mangrove yang belum dikenali nama spesiesnya, maka dibuat contoh spesimen dengan cara sebagai berikut: (1) Mengambil dokumentasi vegetasi dengan kamera; (2) Mengambil contoh spesimen yang terdiri atas ranting lengkap dengan daunya, apabila ada bunga dan buah atau propagul juga diambil; (3) Contoh spesimen kemudian digunting/dirapikan sehingga panjang

64 37 herbarium ± 40 cm; (4) Contoh spesimen selanjutnya dimasukkan ke dalam kertas koran bekas, selanjutnya dibuat etiket berisi nama/kode spesies, tempat ditemukan, dan nama lokal jika ada; (5) beberapa herbarium disusun di atas sasak dan kemudian disemprot dengan alkohol 90%; (6) Spesimen selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari dan disemprot kembali dengan alkohol; (7) Contoh spesimen yang sudah kering diidentifikasi dengan mengacu kepada Kusmana et al. ((1997); Noor et al. (2006); Onrizal et al. (2005); Percipal & Womersly a b Gambar 6 Penentuan posisi pengukuran lingkar batang vegetasi mangrove setinggi dada (dbh) : a. Vegetasi tanpa percabangan dan tanpa akar tunjang atau banir b. Vegetasi dengan berbagai variasi percabangan dan akar tunjang atau banir. b. Data Flora dan Penyebaran Flora Mangrove Pengamatan tentang flora mangrove dilakukan dengan teknik jelajah. Di Pulau Kaledupa penjelajahan dilakukan pada komunitas mangrove di Desa Tanomehe, Langge, Balasuna, Ambeuwa, Sombano, dan Desa Horua. Di Pulau Derawa dan Hoga, penjelajahan dilakukan pada seluruh kawasan yang memiliki mangrove. Setiap spesies berbeda yang ditemukan sepanjang jalur penjelajahan

65 38 didata. vegetasi mangrove yang belum dikenali nama spesiesnya, maka dibuat contoh spesimen, untuk ditelusuri lebih lanjut. Data titik-titik koordinat kawasan mangrove diperoleh dengan berkeliling menyelusuri pulau yang memiliki mangrove dengan menggunakan perahu motor. Penyelusuran dilakukan pada saat air pasang, sehinga perahu bisa mendekati formasi magrove paling depan (arah laut). Setipa jarak ± 200 m diambil titik Lintang Selatan (LS) dan Bujur Timur (BT), dengan GPS Garmin Extrex Vista c. Data Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Vegetasi Mangrove Data lingkungan abiotik yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kandungan unsur kimia fisik substrat mangrove dan data tinggi penggenangan komunitas mangrove pada saat pasang. Pengambilan contoh substrat (tanah) mangrove dilakukan melalui cara sebagai berikut : dari plot-plot pengamatan vegetasi diambil sampel tanah (substrat) menggunakan bor tanah (corer) pada kedalaman 0-50 cm. Menurut Kevin et al (2005) kedalam zona aktif penyerapan akar mangrove 0 0,35 m. Pada setiap plot diambil substrat pada 5 titik, yaitu pada setiap sudut plot dan pada bagian tengah, selanjutnya dicampur (composite sample). Contoh substrat diambil ± 1 kg dan selanjutnya dibawa ke laboratorium FMIPA Unhalu untuk analisis. Data kualitatif berupa ada atau tidaknya kejadian gangguan pada plot pengamatan diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, seperti bekas tebangan dan gangguan lain. d. Data Penggenangan Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa Pengamatan penggenangan pada plot-plot vegetasi mangrove, hanya dilakukan pada transek II di Pulau Kaledupa. Hasil studi pendahuluan diketahui bahwa area ini memiliki komunitas mangrove yang belum terganggu dan paling tebal, serta ditemukan zonasi mangrove yang paling banyak. Tinggi penggenangan pada saat air pasang, diukur dengan alat yang dikembangkan sendiri, berupa rangkaian botol rol film pada tongkat bambu, yang

66 39 ditempatkan pada setiap plot pengamatan. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 30 hari (kalender hijriah). Langkah kerja merangkai alat tersebut adalah sebagai berkut (Gambar 7). (1) Botol rol film diberi dua lubang (sisi kiri dan kanan) di bawah tutup rol film, dengan besi atau kawat yang telah dipanaskan di atas nyala api. Lubanglubang tersebut selain berfungsi untuk memudahkan pengikatan pada tiang atau tongkat bambu, juga berfungsi sebagai jalan masuknya air pasang. (2) Botol - botol rol film yang telah diberi lubang disusun dengan cara diikatkan pada tiang bambu (5 cm x 2 m). Jumlah botol pada masing-masing tiang disesuaikan dengan perkiraan lebih tinggi dengan tinggi penggenangan air pasang pada masing-masing plot. (3) Rangkaian botol rol film pada tiang bambu ditempatkan pada setiap plot pengamatan vegetasi. Pemasangan dilakukan sedemikian rupa dengan membenamkan botol terbawah sampai lubang botol terbawah sejajar dengan permukaan tanah/substrat. (4) Mencatat setiap hari tinggi penggenangan dengan cara mengukur lubang tertinggi botol yang terisi air pasang. Waktu pencatatan disesuaikan pada saat air surut. Setelah dicatat semua air dalam botol dikeluarkan sampai bersih dan dipasang kembali di tempat semula.

67 40 a b c d Gambar 7 Peralatan untuk mengukur tinggi penggenangan dalam komunitas mangrove : a) Memberi lubang pada botol- botol rol film, b) Merangkai botol- botol rol film pada tiang bambu, c) Memasang rangkaian botol- botol rol film pada plot-plot pengamatan vegetasi, d) Mencatat tinggi pengenangan e. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber, yang meliputi; letak geografi dan kondisi topografi dari Balai Taman Nasional Wakatobi dan Bapeda Kabupaten Wakatobi. Data iklim Sulawesi Tenggara dan

68 41 data curah hujan dari Stasiun Meteorologi Maritim Kendari. Kualitas perairan dari Balai Taman Nasional Wakatobi, Kependudukan dari BPS Kabupaten Wakatobi. Data potensi sumberdaya dan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut serta aksesibiltas kawasan dari Balai Taman Nasional Wakatobi dan Bapeda Kabupaten Wakatobi. 4. Analisis Data Analisis data dilakukan secara terpisah dari setiap pulau yang dijadikan lokasi penelitian, sesuai dengan para meter yang diamati. a. Kelimpahan Spesies Mangrove Analisis vegetasi untuk parameter ; Kerapatan Relatif (KR), Dominasi Relatif (DR), Frekuensi Relatif (FR), dan Nilai Penting (NP) dari masing-masing lokasi penelitian, mengacu pada Cox (1979), sebagai berikut: Kerapatan (K) Jumlah individu suatu jenis Luas area sampel Kerapatan suatu jenis Kerapatan Relatif (Kr) 100% Total kerapatan seluruh jenis Dominansi (D) Jumlah basal area suatu jenis Luas area aampel Basal 2 d Area 3,14 (Muller-Dombois & Ellenberg (1974) 2 Dominansi suatu jenis Dominansi Relatif (Dr) 100% Totaldominansi seluruh jenis Frekuensi (F) Jumlah plot ditemukannyasuatu jenis Jumlah seluruh plot Frekuensi suatu jenis Frekuensi Relatif (Fr) 100% Frekuensi seluruh jenis Nilai penting ( NP) = Kr + Dr + Fr

69 42 b. Indeks Keanekaragaman Spesies Mangrove Berbagai parameter keanekargaman spesies dihitung dengan rumus-rumus sebagai berikut : (1) Indeks Keanekaragaman Spesies Shannon-Wienner Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan rumus Shannon- Wienner. Rumus yang digunakan adalah sebagai berkut : H = - pi ln pi ( Michael 1984) Keterangan : H = Indeks keanekaragaman spesies; pi = n/n dengan n = indeks nilai penting suatu spesies, dan N = total nilai penting seluruh spesies. (2) Indeks Kekayaan Spesies Mangrove Indeks kekayaan spesies dihitung dengan Margalef Indeks. Rumus yang digunakan adalah sebagai berkut : R S 1 Lon( n) Keterangan : S = jumlah spesies, dan n = jumlah seluruh individu (3) Indeks Kemerataan Spesies Mangrove Indeks kekayaan spesies dihitung dengan Pielou Indeks. Rumus yang digunakan adalah sebagai berkut : E H' Lon( S) Keterangan : E = Kemerataan spesies, H' = indeks keanekaragaman spesies dan S = jumlah spesies. c. Penentuan Zonasi Vegetasi Mangrove Penentuan zonasi mangrove ditentukan dengan menggunakan nilai kerapatan relatif masing-masing spesies dari setiap plot pengamatan. Nilai kerapatan relatif ini kemudian diplotkan pada bidang 2 dimensi. Pada bidang ini sumbu x merupakan jarak dari formasi mangrove terdepan (arah laut) hingga

70 43 formasi paling belakang (arah darat) dan sumbu y adalah nilai kerapatan relatif masing-masing spesies. d. Penentuan Permudaan Alami Vegetasi Mangrove Penentuan permudaan alami mangrove menggunakan nilai kerapatan total semai (seedling) dan sapihan (saplings) vegetasi mangrove setiap plot pengamatan, selanjutnya dikonversi ke luasan hektar. Tingkat permudaan alami mangrove mengacu pada SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/sylvikultur hutan payau. e. Sebaran Kelas Diameter Batang Vegetasi Mangrove Struktur tegakan horizontal dari strata vegetasi mangrove diketahui dengan mengkaji sebaran diameter setiap vegetasi pada setiap plot pengamatan. Jumlah total individu seluruh spesies vegetasi atau masing-masing spesies yang terdapat dalam kisaran kelas diameter, kemudian diplotkan pada bidang 2 dimensi. Pada bidang ini sumbu x merupakan sebaran kelas diameter dan sumbu y adalah jumlah individu seluruh spesies vegetasi atau masing-masing spesies. Gambar/grafik diklasifikasikan menurut Daniel at al (1979); Barbour et al (1987), ke dalam bentuk tegakan seumur, tidak seumur, dan tegakan campuran. f. Analisis Data Tanah atau Substrat Data tentang tanah diketahui melalui analisis laboratorium. Analisis tanah dilakukan di laboratorium FMIPA Universitas Haluoleo Kendari. Data tanah tersebut adalah ph dengan metode analisis Elektrometri/pH-Meter, salinitas dengan Hand-Refraktometer, N (total) dengan metode K-jedahl, P dengan Spektrofotometer (Bray I), K (tersedia) dengan metode Gravimetri, BOT (Bahan Organik Tanah) dengan Spektrofotometer dan tekstur tanah dengan Saringan Bertingkat. g. Penentuan Penyebaran Flora Mangrove Penyebaran komunitas mangrove ditentukan dengan membuat gambar peta penyebaran komunitas mangrove dengan menggunakan data koordinat yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan dan Citra Landsat ETN

71 44 h. Keadaan Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Statistik ANOVA digunakan untuk melihat perbedaan tinggi penggenagan pada komunitas mangrove di pulau Kaledupa dan perbedaan faktor sifat kimia dan tekstur substrat di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga. Uji-Duncan untuk melihat tinggi penggenagan untuk melihat tinggi penggenagan yang berbeda nyata di Pulau Kaledupa dan sifat kimia serta tekstur substrat yang memiliki respon berbeda nyata di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga (p = 0,05).

72 45 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pulau Kaledupa Berdasarkan hasil observasi terhadap komunitas mangrove yang ada di Pulau Kaledupa, ditetapkan 3 (tiga) buah transek pengambilan sampel. Transek I. Komunitas di daerah ini memiliki tingkat gangguan relatif sedang, pada bagianbagian tertentu dijumpai bekas pengambilan kayu secara selektif. Komunitas mangrove pada area ini memiliki lebar zona ± 300 m. Terletak pada posisi 05 o 32 LS dan 123 o 47 BT (Gambar 8). a b Gambar 8 Komunitas mangrove pada transek I Pulau Kaledupa : a. formasi dari depan (arah laut); b. tanda-tanda bekas pengambilan kayu secara selektif. Transek II. Komunitas mangrove pada wilayah ini kondisinya belum mengalami gangguan. Tidak ditemukan tanda-tanda bekas pengambilan kayu. Komunitas mangrove pada area ini memiliki lebar zona ± 570 m. Berada pada posisi 05 o 31 LS dan 123 o 46 BT (Gambar 9)..

73 46 Gambar 9 Formasi dari depan (arah laut) komunitas mangrove pada transek II di Pulau Kaledupa. Transek III. Komunitas pada area ini memiliki tingkat gangguan yang cukup tinggi dibandingkan kedua transek lainnya. Pada bagian-bagian tertentu terjadi penebangan dan pengambilan kayu bakar yang cukup intensif. Komunitas mangrove di daerah ini memiliki lebar zona ± 140 m. Berada pada posisi 05 o 29 Lintang Selatan dan 123 o 44 Bujur Timur. Gambaran umum komunitas mangrove pada transek III disajikan pada Gambar 10. a b Gambar 10 Komunitas mangrove transek Pulau Kaledupa III : a formasi bagian tengah; b formasi bagian belakang dengan tanda-tanda bekas penebangan.

74 1. Komposisi dan Kerapatan Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa a. Strata Pohon Hasil pengamatan terhadap kehadiran spesies vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) pada 3 transek pengamatan di Pulau Kaledupa disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Komposisi spesies mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot Familia Rhizophoraceae * Sonneratiaceae Avicenniaceae Meliaceae Keterangan : * Familia yang mendominasi Spesies Rhizophora mucronata Lamk. Rhizophora apiculata Bl. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Sonneratia alba Smith Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Xylocarpus granatum Koenig Total spesies strata pohon yang ditemukan di Pulau Kaledupa sebanyak 6 spesies yang termasuk kedalam 4 familia, yang didominasi oleh familia Rhizophoraceae. Hasil analisis vegetasi strata pohon dengan parameter Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR) dan Nilai Penting (NP) disajikan pada Tabel 9 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran1. Melalui Tabel 9 ditunjukkan spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, memiliki nilai frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif, dan nilai penting yang paling tinggi, dibandingkan dengan spesies lainnya. Ini menunjukkan bahwa spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, mempunyai kisaran penyebaran tempat tumbuh yang paling luas, cacah individu yang paling banyak dan rata-rata diameter batang yang paling besar. Dengan menggunakan parameter nilai penting, yang merupakan gabungan dari nilai frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan dominansi relatif, nilai penting yang tertinggi juga ditempati oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa vegetasi mangrove pada strata pohon di Pulau Kaledupa 47

75 48 didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Tampaknya spesies ini yang mengontrol populasi vegetasi mangrove strata pohon di pulau tersebut. Tabel 9 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot No. Spesies FR KR DR NP 1. Rhizophora mucronata Lamk. 21,95 22,22 16,15 60,33 2. Rhizophora apiculata Bl. 4,88 3,70 2,78 11,36 3. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.* 46,34 54,32 64,48 165,15 4. Xylocarpus granatum Koenig 2,44 2,47 1,82 6,72 5. Sonneratia alba Smith 14,63 9,88 6,94 31,45 6. Avicennia marina (Forsk.)Vierh. 9,76 7,41 7,83 24,99 Jumlah Keterangan : * Spesies yang mendominasi; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting b. Strata Tiang Vegetasi mangrove strata tiang yang ditemukan pada Pulau Kaledupa adalah sebanyak 8 spesies yang digolongkan dalam 4 familia. Pada strata tiang juga didominasi oleh familia Rhizophoraceae (Tabel 10). Ada dua spesies yaitu : Tabel 10 Komposisi spesies mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot Familia Rhizophoraceae * Sonneratiaceae Avicenniaceae Spesies Rhizophora mucronata Lamk. Rhizophora apiculata Bl. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Sonneratia alba Smith Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Meliaceae Xylocarpus granatum Koenig Keterangan : * Familia yang mendominasi

76 49 spesies Ceriops tagal C B Rob., dan Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, yang ditemukan pada strata tiang, tetapi tidak hadir pada strata pohon. Ini berarti bahwa pertumbuhan diameter batang kedua spesies tersebut belum mencapai ukuran strata pohon. Hasil analisis vegetasi strata tiang dengan parameter frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif, dan nilai penting, dapat dilihat pada Tabel 11 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Tabel 11. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot No. Spesies F.R KR D.R NP 1. Rhizophora mucronata Lamk.* 23,76 39,62 40,36 103,74 2. Rhizophora apiculata Bl. 21,78 26,42 25,87 74,07 3. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk** 23,76 16,35 16,63 56,74 4. Xylocarpus granatum Koenig 9,90 5,97 6,52 22,40 5. Sonneratia alba Smith 3,96 1,26 1,66 6,88 6. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. *** 3,96 1,26 0,83 6,05 7. Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou *** 0,99 0,31 0,30 1,60 8. Avicennia marina (Forsk) Vierh. 11,88 8,81 7,83 28,51 Jumlah 99, ,99 Keterangan; * Spesies yang mendominasi; ** spesies yang mendominasi strata pohon; *** spesies dengan ukuran diameter batang tidak ada yang mencapai strata pohon; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting. Melalui Tabel 11, dengan menggunakan parameter nilai penting, ditunjukkan ada perubahan kelimpahan spesies vegetasi mangrove strata pohon dan strata tiang. Apabila pada strata pohon spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., (Tabel 9), merupakan spesies yang paling melimpah/mendominasi, tetapi pada vegetasi strata tiang (Tabel 11) spesies yang paling melimpah adalah spesies Rhizophora mucronata Lamk., dan disusul oleh spesies Rhizophora apiculata Bl.

77 50 c. Strata Sapihan Jumlah spesies vegetasi mangrove starta sapihan yang ditemukan pada Pulau Kaledupa sebanyak 8 spesies, yang digolongkan dalam 4 familia. Pada strata sapihan, familia Rhizophoraceae juga merupakan familia yang mendominasi (Tabel 12). Tabel 12 Komposisi spesies mangrove strata sapihan (tinggi >1,5 m dan dbh < 10 cm) di Pulau. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot Familia Rhizophoraceae * Sonneratiaceae Avicenniaceae Meliaceae Keterangan : * Familia yang mendominasi Spesies Rhizophora mucronata Lamk. Rhizophora apiculata Bl. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Sonneratia alba Smith Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Xylocarpus granatum Koenig Hasil analisis vegetasi strata pohon dengan parameter frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif, dan nilai penting, dapat dilihat pada Tabel 13 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. Menlalui hasil pada Tabel 13, ditujukkan bahwa spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. memiliki nilai penting yang paling tinggi. Hal ini berarti bahwa pada strata sapihan spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., merupakan spesies yang paling melimpah, menggantikan spesies Rhizophora mucronata Lamk., pada strata tiang (Tabel 11) dan spesies` Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., pada strata pohon (Tabel 9).

78 Tabel 13. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot No. Spesies F.R KR D.R NP 1. Rhizophora mucronata Lamk *** 17,49 11,63 19,87 48,99 2. Rhizophora apiculata Bl 18,58 16,71 28,10 63,39 3. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk ** 14,21 4,97 6,57 25,74 4. Xylocarpus granatum Koe 7,65 2,39 2,30 12,34 5. Sonneratia alba Smith 1,64 0,15 0,19 1,98 6. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob.* 20,77 33,46 21,38 75,61 7. Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 6,01 22,60 10,52 39,13 8. Avicennia marina (Forsk) Vier. 13,66 8,09 11,07 32,81 Jumlah Keterangan; * Spesies yang mendominasi; ** spesies yang mendominasi strata pohon; *** spesies spesies yang mendominasi strata tiang; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting d. Strata Semai Jumlah spesies mangrove strara semai yang ditemukan pada Pulau Kaledupa sebanyak 8 spesies yang digolongkan dalam 4 familia. Untuk vegetasi mangrove strata semai, juga didominasi oleh familia Rhizophoraceae (Tabel 14) Tabel 14 Komposisi spesies mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot Familia Spesies Rhizophoraceae * Rhizophora mucronata Lamk. Rhizophora apiculata Bl. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Sonneratiaceae Sonneratia alba Smith Avicenniaceae Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Meliaceae Xylocarpus granatum Koenig Keterangan : * Familia yang mendominasi 51

79 52 Hasil analisis vegetasi strata semai dengan parameter frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif, dan nilai penting, dapat dilihat pada Tabel 15 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 4. Melalui hasil pada Tabel 15, ditujukkan bahwa spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., memiliki nilai frekuensi, kerapatan, dominansi, dan nilai penting yang paling tinggi. Hal ini berari pada strata semai, spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., merupakan spesies yang paling dominan/melimpah, sebagaimana yang ditemukan pada strata sapihan (Tabel 13). Tabel 15 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot No. Spesies F.R KR NP 1. Rhizophora mucronata Lamk *** 18,99 6,91 25,89 2. Rhizophora apiculata Bl. 15,19 2,10 17,28 3. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk ** 17,72 4,69 22,41 4. Xylocarpus granatum Koe 3,16 0,35 3,51 5. Sonneratia alba Smith 1,90 0,29 2,19 6. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. * 27,22 55,88 83,10 7. Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 6,96 26,63 33,59 8. Avicennia marina (Forsk) Vier. 8,86 3,16 12,02 Jumlah Keterangan : * Spesies yang mendominasi; ** spesies yang mendominasi strata pohon; *** spesies spesies yang mendominasi strata tiang; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting Berdasarkan beberapa uraian di atas, apabila disimak lebih jauh ternyata ditemukan adanya perubahan komposisi spesies yang mendominasi pada setiap strata pertumbuhan vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. Pada strata pohon (Gambar 11a) komunitas mangrove di lokasi kajian didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, untuk strata tiang (Gambar 11b) didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk., dan pada strata sapihan dan semai (Gambar 11 c dan d) didominasi oleh spesies Ceriops tagal (Perr.) C. B. Rob.

80 53 a. Strata pohon b. Strata tihang c. Strata sapihan d. Strata semai Gambar 11 Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot. Hasil penelitian di kawasan hutan lindung Pulau Magersegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, pada strata pohon didominasi oleh B. gymnorrhiza, pada strata tiang, sapihan dan semai didominasi oleh R. mucronata (Irwanto 2007). Pada kawasan hutan mangrove Desa Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, baik pada strata pohon, tiang, sapihan dan semai didominasi R. apiculata (Nursal et al., 2005). Menurut Tomlinson (1986) spesies tersebut termasuk kategori takson spesifik mangrove (true mangroves), yang hanya ditemukan di ekosistem mangrove. Spesies tersebut umum dijumpai di

81 54 kawasan hutan mangrove pesisir pantai kawasan Indo-Malesia (Indonesia dan Malaysia). Perubahan kelimpahan atau dominasi pada masing-masing strata ini, mengindikasikan bahwa komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, bukan merupakan hutan primer, tetapi hutan sekunder yang masih dalam proses suksesi menuju ke fase klimaks. Laju pertumbuhan populasi dan komposisi spesies berlangsung dengan cepat pada fase awal suksesi, kemudian menurun pada perkembangan berikutnya. Kondisi yang membatasi laju pertumbuhan populasi dan komposisi spesies pada tahap berikutnya adalah faktor lingkungan yang kurang cocok untuk mendukung kelangsungan hidup permudaan spesies tertentu. Daniel et al. (1972) menyatakan bahwa suksesi terjadi apabila suatu komunitas tumbuhan mengalami kerusakan akibat berbagai faktor, seperti api, banjir, edafis, dan biotis. Faktor edafis timbul karena pengaruh tanah seperti komposisi tanah, kelembaban tanah, suhu tanah dan keadaan air tanah, sedangkan faktor biotis adalah faktor yang disebabkan oleh manusia, misalnya penebangan atau pengambilan kayu. Faktor utama penyebab kerusakan komunitas mangrove di Pulau Kaledupa adalah penebangan hutan mangrove. Penebangan atau pengambilan kayu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kerusakan suatu komunitas tumbuhan. Pada tahun 1960-an di Pulau Kaledupa terjadi penebangan hutan mangrove secara besar-besaran oleh masyarakat yang dikoordinir oleh aparat pemerintah setempat. Alasan utama penebangan tersebut karena angin tidak dapat menembus hingga pemukiman penduduk dan terjadinya wabah penyakit malaria yang diduga akibat adanya hutan mangrove di sekitar pemukiman penduduk. Tingkat kerusakan hutan mangrove di Pulau Kaledupa dari tahun 2003 hingga 2007 mencapai rata-rata sekitar 464,21 ha/tahun (Rasman 2007). Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, yang terbesar di Pulau Kaledupa hanya memiliki ukuran diameter batang (dbh) sebesar 68,47 cm, sementara pada komunitas mangrove di Pulau Binongko (hutan adat) yang telah berumur ratusan tahun, diameter batang spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., telah ada yang mencapai ukuran dbh sebesar 143,31 cm.

82 55 Fenomena lain yang terungkap pada karakter ekologi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa adalah kelimpahan strata semai, yang didominasi oleh spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. Apakah komunitas mangrove di Pulau Kaledupa pada masa yang akan datang, suksesinya akan mengarah ke bentuk klimaks dengan dominasi spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., perlu dikaji lebih lanjut. Penjelasan tentang terbatasnya jumlah semai pada spesies lain pada komunitas mangrove di wilayah ini, akan diuraikan lebih lanjut pada bagian permudaan alami vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. Lingkungan mangrove menunjukan perubahan secara gradual, mulai dari formasi paling luar (arah laut), hingga formasi paling belakang (arah darat). Masing-masing spesies mangrove mempunyai kisaran ekologis tersendiri dan masing-masing jenis mempunyai relung (niche) yang khusus, sehingga menyebabkan terbentuknya berbagai macam zona (mintakat). Di Pulau Kaledupa spesies Rhizophora spp., menempati zona luar, dan Ceriops spp., menempati zona dalam. Penjelasan tentang zonasi ini, akan diuraikan lebih lanjut pada bagian zonasi vegetasi mangrove di Pulau kaledupa. 2. Indeks Keanekaragaman(H ), Indeks Kekayaan Spesies (R) dan Indeks Kemerataan (e) Spesies Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa Menurut Barbour et al. (1987) kekayaan spesies adalah jumlah spesies yang terdapat dalam suatu komunitas, dan distribusi individu diantara spesies disebut kemerataan spesies. Keanekaragaman spesies merupakan gabungan dari kekayaan dan kemerataan spesies. Perhitungan H (indeks keanekaragaman spesies Shanon Wienner), R (indeks kekayaan spesies), dan e (indeks kemerataan spesies) di komunitas mangrove Pulau Kaledupa disajikan pada Tabel 16. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman spesies secara lengkap disajikan pada Lampiran 5 hingga Lampiran 8 Melalui Tabel 16 ditunjukkan bahwa terdapat variasi nilai indeks keanekaragaman pada masing-masing strata pertumbuhan vegetasi mangrove, baik pada strata pohon, tiang, sapihan, dan semai. Variasi ini menggambarkan respon suatu organisme terhadap heterogenitas ruang (spasial). Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada strata sapihan dan yang terendah ditemukan pada strata pohon. Kreb (1989) menyatakan bahwa keanekargaman

83 56 akan tinggi apabila tekanan lingkungan berkurang. Mengacu pendapat tersebut maka tekanan lingkungan yang paling tinggi terdapat pada pertumbuhan vegetasi strata pohon. Tabel 16 Indeks keanekaragaman (H ), indeks kekayaan spesies (R), dan indeks kemerataan spesies (e) vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot Strata vegetasi mangrove Indeks H R e Pohon 1,304 1,138 0,728 Tiang** 1,638 1,215 0,788 Sapihan* 1,855 0,890 0,892 Semai 1,675 0,796 0,806 Keterangan ; * Strata vegetasi dengan indeks keanekaragaman tertinggi; ** strata vegetasi dengan indeks kekayaan spesies tertinggi Nilai R (kekayaan spesies) yang tertinggi, ditemukan pada pertumbuhan vegetasi strata tiang. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan vegetasi mangrove strata tiang memiliki adaptasi yang paling baik terhadap kondisi lingkungan pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa. Nilai indeks kemerataan spesies (e), yang tertinggi ditemukan pada strata sapihan. Ini berarti pada strata ini jumlah individu lebih merata, dibandingkan pada tiga strata lainnya. Indeks kekayaan spesies (R) atau keanekaragaman alpha (α) dalam suatu komunitas lebih menggambarkan jumlah spesies yang menggunakan sumberdaya dalam suatu area, indeks kemerataan spesies (e) atau keanekaragaman beta (β) lebih menggambarkan respon suatu organisme terhadap heterogenitas ruang (spasial) dalam suatu area, dan indeks keanekaragaman spesies (H ) atau keanekaragaman gamma (γ) terutama berkaitan dengan proses-proses evolusioner dan sejarahnya di suatu area, dipengaruhi oleh keanekaragaman α dan β (Odum 1982) Variasi nilai indeks keanekaragaman, indeks kekayaan dan indeks kemerataan spesies, pada setiap strata pertumbuhan vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa, semakin mendukung kesimpulan sebelumnya, bahwa komunitas

84 mangrove di pulau ini masih dalam tahap suksesi, sebagaimana telah diungkapkan pada uraian tentang komposisi dan kelimpahan mangrove di Pulau Kaledupa Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa Pertumbuhan dan perkembangan mangrove dikenal memiliki variasi ruang yang jelas. Secara umum mangrove menunjukkan suatu pola yang berkembang meluas dari pantai ke arah daratan (umumnya ke arah lereng (elevation) yang lebih tinggi. Spesies yang tumbuh mulai dari garis pantai menuju daratan membentuk perbedaan yang gradual. Fenomena ini yang selanjutnya dikenal dengan istilah zonasi mangrove. Perkembangan mangrove dalam komunitas zona, seringkali diintepretasikan sebagai tingkat perbedaan dalam suksesi (perubahan secara progresif dalam komposisi jenis selama perkembangan vegetasi). Dalam kajian zonasi mangrove di Pulau Kaledupa, sampling vegetasi dilakukan pada komunitas mangrove yang memiliki ketebalan paling besar. Parameter yang digunakan dalam kajian ini menggunakan nilai kerapatan relatif vegetasi mangrove pada masing-masing plot pengamatan sepanjang transek secara kontinyu mulai dari formasi mangrove paling luar (arah laut) hingga formasi yang paling dalam (arah darat). Melalui Gambar 12, ditunjukkan bahwa zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa sedikitnya ada empat zona, yaitu : 1. Zona Rhizophora mucronata Lamk. Zona ini merupakan zona yang paling luar, daerah yang langsung berbatasan dengan laut dan selalu tergenang air laut pada saat pasang harian, dengan lebar zona 160 m (plot 1 hingga plot 16). Pada plot 1 hingga plot 3 (lebar zona 30 m) spesies Rhizophora mucronata Lamk., merupakan tegakan murni (pure stand). Pada plot 4 hingga plot 16 (lebar zona 130 m) pertumbuhan spesies Rhizophora mucronata Lamk., menunjukkan indikasi asosiasi dengan spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Di Pulau Kaledupa spesies Rhizophora mucronata Lamk., merupakan spesies pionir pada endapan lumpur yang terbentuk di depan formasi mangrove paling luar (arah laut).

85 58 Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Laut Gambar 12 Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa. Samel vegetasi diambil pada komunitas mangrove yang memiliki ketebalan paling lebar, dengan transek kontinyu dari formasi mangrove paling luar (arah laut) hingga paling dalam (arah darat). Ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total sebanyak 57 plot. 2. Zona Rhizophora apiculata Bl. Zona ini merupakan zona dengan ketebalan yang paling luas, dengan ketebalan 250 m (plot 16 hingga plot 41). Pada plot 18 hingga plot 35 (lebar zona 170 m) pertumbuhan spesies Rhizophora apiculata Bl., menunjukkan indikasi berasosiasi dengan spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, dan plot 37 hingga plot 41 (lebar zona 50 meter), dengan spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan pada plot 17, 29 dan plot 36 spesies Rhizophora apiculata Bl., membentuk tegakan murni (pure stand). 3. Zona Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. Zona ini berkembang pada bagian belakang, dengan ketebalan yang paling sempit (plot 42 hingga plot 45 atau lebar zona 40 m ). Spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., umumnya berupa belukar dengan ketinggian yang hampir seragam, dengan rata-rata ukuran

86 59 diameter batang relatif lebih rendah, apabila dibandingkan jenis lain yang menyusun tegakan pada kawasan ini. Spesies lain pada zona ini adalah Rhizophora apiculata Bl 4. Zona Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. Zona Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., merupakan zona yang paling dalam (berbatasan dengan tumbuhan darat) yang hanya digenangi air laut pada pasang tertinggi. Zona ini memiliki ketebalan 120 m (plot 46 hingga plot 57). Spesies lain yang juga ditemukan pada zona ini adalah spesies Avicennia marina (Forsk.) Vierh., dan Xylocarpus granatum Koenig. 4. Hubungan antara Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa dengan Tinggi Penggenangan dalam Komunitas Mangrove Pola zonasi antar spesies mangrove, memunculkan banyak hipotesis, yang mencoba menjelaskan model zonasi. Banyak faktor yang diduga sebagai faktor pengendali dalam zonasi mangrove, seperti faktor suksesi tumbuhan, geomorfologi, adaptasi fisiologi, ukuran propagul, pemangsaan biji/propagul dan interaksi antar spesies, serta penggenangan air laut. Faktor periode penggenangan air laut telah dikaji oleh Watson (1928) pada komunitas mangrove di Malaya, faktor periode penggenangan air laut dan salinitas telah dikaji oleh Chapman (1976) pada komunitas mangrove di Cilacap, Jawa Tengah. Thom (1976) mengkaji pengaruh geomorphologi, Rabinowitz (1978) mengkaji ukuran propagul, Smith (1987); Mckee (1995) mengusulkan pemangsaan propagul sebagai suatu faktor terjadinya zonasi mangrove, dan Ball (1980) mengajukan usul kompetisi kadar salinitas sebagai suatu faktor terbentuknya zonasi mangrove. Faktor mana yang dominan mengontrol zonasi mangrove, bergantung pada kondisi masing-masing habitat (Mckee, 1993) dan masih terjadi perbedaan diantara para ahli. Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji tinggi penggenangan air laut di dalam komunitas mangrove dan zonasi mangrove. Hasil pengamatan tinggi penggenangan air laut dari permukaan tanah pada masing-masing zona vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa, disajikan pada Tabel 17, dan hasil pengukuran tinggi penggenangan secara lengkap disajikan pada Lampiran 9.

87 60 Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 17, masing-masing spesies mangrove memiliki kisaran toleransi terhadap tinggi penggenangan yang berbeda. Semakin ke arah darat, jumlah periode penggenangan dan tinggi penggenangan semakin berkurang. Lingkungan zona Rhizophora mucronata Lamk., merupakan area yang selalu tergenang pasang harian, dengan tinggi penggenangan berkisar antara 19 hingga 146 cm. Zona Ceriops Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou merupakan area yang paling sedikit terkena genangan, dengan tinggi penggenangan maksimal hanya 20,4 cm. Tabel 17. Jumlah hari tergenang dan kisaran tinggi penggenangan dari permukaan tanah setiap zona mangrove di Pulau Kaledupa. Tinggi penggenangan diukur dengan alat yang dikembangkan sendiri oleh peneliti ( Gambar5) yang dipasang di bawah tegakan vegetasi mangrove dengan interval jarak 10 meter, mulai dari formasi mangrove paling luar (arah laut) hingga formasi mangrove paling dalam(arah darat). Pengamatan dilakukan setiap hari selama satu bulan (kalender hijriah) Zona Jumlah hari tergenag dalam sebulan Kisaran tinggi penggenangan (cm) Minimal Maksimal Rhizophora mucronata Lamk. 30 hari Rhizophora apiculata Bl hari 0* 115 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob hari 0* 31 Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou hari 0* 20,4 Keterangan ; * : hari tidak terkena genangan pada saat air laut pasang Melalui Gambar 12a ditunjukan bahwa faktor tinggi penggenangan menjadi faktor pembeda diantara zona vegetasi mangrove. Hasil uji statistik (analisis varian) menunjukkan bahwa tinggi penggenangan pada zona Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou tidak berbeda nyata dengan tinggi penggenangan pada zona Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., tetapi tinggi penggenangan pada zona Rhizophora apiculata Bl., berbeda nyata dengan tinggi penggenangan pada semua zona, dan demikian juga tinggi penggenangan pada zona Rhizophora mucronata Lamk., juga berbeda nyata dengan semua zona. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tinggi penggenangan pasang surut, merupakan salah satu faktor yang berperan dalam terbentuknya zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa

88 61 Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Laut Gambar 12a Zonasi vegetasi mangrove dan tinggi penggenangan di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada komunitas mangrove yang memiliki ketebalan paling lebar, dengan transek kontinyu dari formasi mangrove paling luar (arah laut) hingga paling dalam (arah darat). Ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total sebanyak 57 plot. Pola adaptasi vegetasi mangrove terhadap lingkungan pasang surut, yang mudah dikenali adalah sistem akar udara. Terdapat perbedaan struktur akar udara antara jenis yang berbeda (Tomlinson 1986), misalnya akar udara pada Avicennia spp, akar pancang pada Sonneratia spp, akar lutut pada Bruguiera sp, akar papan pada Xylocarpus spp, dan akar tunjang pada Rhizophora spp. Perbedaan sistem perakaran diduga terkait dengan perbedaan periode dan tinggi penggenangan. Pada anggota Rhizophora sp di Pulau Kaledupa, yang berada pada daerah yang selalu terkena pasang harian dengan tinggi penggenangan yang tinggi, ditunjang oleh akar udara dan akar tunjang yang berkembang sangat intensif, melengkung dari batang pokok dan juga berasal dari cabang bawah, yang berfungsi untuk pertukaran gas, memperkokoh tegaknya batang dan penyerapan unsur hara (Gambar 13). Akar udara pada golongan ini jumlahnya sangat banyak, bahkan ditemukan akar udara yang tumbuh pada cabang dengan ketinggian 6 m dari permukaan tanah. Pada marga Ceriops, yang hidup pada daerah yang tidak selalu terkena genangan pasang harian, dengan tinggi penggenangan rendah, memiliki pola

89 62 adaptasi yang berbeda dengan marga Rhizophora. Golongan Ceriops spp., mempunyai akar banir dan sistem perakaran samping yang menuju (muncul) ke atas permukaan tanah dan kembali lagi ke dalam tanah, yang disebut akar lutut (Gambar 14). a b Gambar 13 Adaptasi Rhizophora spp pada daerah yang selalu tergenang pasang harian dengan tinggi penggenangan yang tinggi: a. sistem akar tunjang yang berfungsi memperkokoh berdirinya batang dan peyerapan hara, b. sistem akar udara (aerial root) yang berfungsi untuk mengambil oksigen, dan akan berkembang menjadi akar tunjang. Foto diambil pada zona terluar (ke arah laut) di Pulau Kaledupa. Melalui Gambar 14 ditunjukkan bahwa Ceriops spp., mengembangkan sistem perakaran yang menyerupai kebanyakan tumbuhan darat. Hal ini karena habitat Ceriops spp sudah jarang terkena penggenangan, hanya digenangi pada saat pasang tertinggi dengan tinggi penggenangan yang relatif terbatas (maksimal 20.4 cm) dari permukaan tanah. Pola adaptasi lain vegetasi mangrove terhadap lingkungan pasang surut, adalah sistem perkembangbiakan secara alami. Perkembangbiakan pada Rhizophora spp, dan Ceriops spp, bersifat vivipary. Kedua golongan tersebut memiliki cara adaptasi perkembangbiakan alami yang sama, yaitu dengan propagul (Gambar 15). Namun demikian terdapat perbedaan ukuran propagul

90 antara marga Rhizophora dan Ceriops. Marga Rhizophora yang hidup pada habitat yang selalu tergenang dengan pengenangan yang tinggi, memiliki ukuran 63 a Gambar 14 Adaptasi Ceriop spp pada daerah yang kadang-kadang tergenang pasang air laut dengan tinggi penggenangan yang rendah : a. sistem akar banir pada Ceriops spp b. tidak ditemukan akar udara (aerial root) seperti yang ditemukan pada marga Rhizohora. Foto diambil pada zona terdalam (ke arah darat) di Pulau Kaledupa. b a. Rhizopora mucronata b. Ceriops tagal Gambar 15 Propagul sebagai alat perkembangbiakan secara alami pada familia Rhizophoracea. Biji telah berkecambah dan berkembang ketika masih menempel pada pohon induk.

91 64 propagul yang jauh lebih panjang, lebih besar, dan lebih berat dibandingkan dengan propagul marga Ceriops, yang tumbuh pada daerah yang hanya terkena genangan pada saat pasang tertinggi, dengan tinggi penggenangan yang relatif rendah. Hasil pengamatan pada komunitas mngrove di Teluk Kendari diketahui bahwa panjang propagul Rhizophora spp 50 cm hingga 69 cm, diameter 1,3 mm hingga 2,2 mm dan berat 30 g hingga 160 g. Propagul Ceriops spp memiliki panjang 17 cm hingga 31,5 cm, diameter 0,63 mm hingga 1,1 mm dan berat 13 g hingga 75 g (Jamili 2006). Hasil penelitian pada komunitas mangrove di Pantai Napabalano Kabupaten Muna provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa pola zonasi mangrove berhubungan dengan panjang dan berat propagul. Individu yang mempunyai propagul lebih berat dan panjang akan menempati zona luar dan sebaliknya akan menempati zona yang lebih dalam (Jamili 1998). Hasil ini memperkuat temuan Rabinowiz (1978), bahwa propagul mangrove ditemukan terdistribusi dari zona surut terendah dan zona pasang tertinggi, dengan berbanding terbalik dengan ukuran propagul. Propagul-propagul kecil akan mudah terbawa jauh sampai ke dalam pada saat pasang surut tertinggi. Pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, ditemukan pola adaptasi perkembangbiakan alami yang unik pada marga Rhizophora. Marga ini selain berkembang biak dengan propagul, juga mengembangkan pola adaptasi lain, yaitu dengan berkembangbiak secara vegetatif (melalui percabangan). Untuk hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada bagian yang membahas tentang permudaan alami vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. 5. Permudaan Alamiah Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa. Analisis permudaan alami atau regenerasi alami vegetasi mangrove menggunakan parameter kerapatan semai (seedling) setiap plot, selanjutnya dikonversi ke luasan hektar. Hasil perhitungan regenerasi alami vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa dari 3 buah transek pengamatan disajikan pada Tabel 18, dan Lampiran 10

92 Tabel 18 Kerapatan spesies mangrove strata semai (individu/ha) di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot. No Spesies Kerapatan Semai (individu/ha) 1. Rhizophora mucronata Lamk. 450, Rhizophora apiculata Bl. 136, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. 305, Xylocarpus granatum Koenig 22, Sonneratia alba Smith 18, Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. * 3.644, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 1.736, Avicennia marina (Forsk.) Vierh. 205,941 Jumlah 6.521,783 Keterangan ; * : spesies dengan kerapatan semai tertinggi Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa hanya spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob dan Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou yang memiliki kerapatan semai tertinggi. Berdasarkan SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/ sylvikultur hutan payau bahwa komunitas mangrove memiliki regenerasi alami normal apabila memiliki jumlah semai batang/ha. Berdasarkan hal tersebut maka hanya spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou memiliki regenerasi secara alami yang termasuk kategori baik. Hasil pengamatan terhadap sebaran diameter batang vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa, spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, tidak ada yang masuk dalam kategori pohon (Tabel 8). Ukuran diameter terbesar spesies tersebut hanya masuk dalam kategori strata tiang (dbh cm). Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa merupakan vegetasi mangrove yang memiliki ukuran batang relatif kecil (kerdil). Pengamatan lapangan menemukan banyak spesies Ceriops sp., dengan tinggi batang kurang dari 1 meter dan keliling pangkal batang kurang 65

93 66 dari 10 cm sudah menghasilkan buah/propagul sebagai alat perkembangbiakannya (Gambar 16). Vegetasi mangrove spesies Rhizophora mucronata Lamk., dan Rhizophora apiculata Bl., sebagai salah satu golongan mangrove utama di Pulau Kaledupa, memiliki regenerasi secara alami yang termasuk kategori tidak normal atau rendah. Hasil pengamatan pada pada transek I dan transek II pohon induk yang telah dapat menghasilkan propagul untuk spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl., masing-masing memiliki kerapatan 286 individu/ha dan 105 individu/ha. Jumlah ini tergolong baik sebagaimana diatur dalam SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/sylvikultur hutan payau, yang hanya mensyaratkan pohon induk sebesar 40 individu per hektarnya. propagul Gambar 16 Spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dengan ukuran keliling pangkal batang 10 cm dan tinggi 90 cm telah menghasilkan buah/propagul sebagai alat perkembangbiakan. Foto diambil dari komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, pada saat penelitian dilakukan.

94 67 Faktor utama yang menyebabkan terbatasnya jumlah semai Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl.. pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa apabila dikaji secara lebih lanjut, ternyata bukan semata-mata karena jumlah pohon induk sebagai penghasil biji (propagul). Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl. memiliki jumlah semai yang rendah. Faktor pertama terbatasnya ruang tempat tumbuh di bawah tegakan. Spesies Rhizophora memiliki sistem perakaran yang sangat rapat (Gambar 17). Dengan akar yang cukup rapat sehingga tidak ada ruang terbuka, yang memberi kesempatan propagul yang jatuh untuk tumbuh. Kebanyakan propagul jatuh tidak sampai ke substrat atau tanah, tetapi tertahan disistem perakaran. Hal ini terbukti biji atau propagul Rhizophora spp tumbuh menjadi semai dalam jumlah yang cukup banyak di bawah tegakan pohon induk yang mengalami gangguan, sehingga tersedia substrat atau ruang untuk mendukung pertumbuhan semai, terutama pada bagian yang terlindung dari hempasan ombak yang kencang (Gambar 18). Gambar 17 Sistem perakaran pada spesies Rhizophora mucronata Lamk dan spesies Rhizophora apiculata Bl, yang sangat rapat menyebabkan tidak tersedianya ruang untuk pertumbuhan propagul. Foto diambil pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi saat penelitian dilakukan.

95 68 Gambar 18 Semai Rhizophora spp tumbuh subur di bawah tegakan pohon induk yang mengalami gangguan akibat penebangan. Foto diambil pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi saat penelitian dilakukan. Hasil penelitian di hutan mangrove Provinsi Riau, diketahui bahwa pada hutan bekas tebangan berumur 5 tahun ditemukan permudaan alami sebanyak semai/ha (Mulia, 1998), dan hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, pada komunitas yang mengalami kerusakan tinggi, permudaan alaminya mencapai individu/ha (Analuddin, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Kusmana (1994) di konsesi hutan mangrove PT Karyasa Kencana Kalimantan Timur memberikan hasil kerapatan semai di hutan primer /ha, meningkat menjadi /ha pada bekas tebangan umur 5 tahun. Faktor ombak yang kuat akibat tiupan angin yang cukup kencang, juga berpengaruh terhadap keberhasilan propagule menjadi semai. Di Pulau Kaledupa angin dengan kecepatan 20 knot/jam terjadi antara bulan Desember-Februari dan pada musim timur kecepatan angin 7-15 knot/jam (Dhewani et al. 2006). Adanya ombak yang kuat akan berakibat propagul yang jatuh sering terbawa arus keluar komunitas mangrove, sebagaimana dilaporkan oleh Rabinowiz (1978), bahwa aktivitas pasang surut mampu membawa propagul-propagul dari semua ukuran

96 69 (dan spesies) ke semua bidang zona pasang surut hingga keluar komunitas mangrove. Faktor lain yang turut berpengaruh terhadap pertumbuhan semai mangrove adalah tinggi penggenangan air laut pada saat pasang. Indikasi ini terlihat bahwa tidak pernah ditemukan semai Rhizophora spp yang ditemukan tumbuh pada substrat di depan formasi terdepan (Gambar 19). ±600 m Gambar 19 Substrat yang terbentuk di didepan formasi mangrove pada saat air surut tinggi dapat mencapai 600 m. Tidak ditemukan semai vegetasi mangrove yang tumbuh pada area di depan formasi terluar (arah laut). Foto diambil pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi saat penelitian dilakukan. Melalui Gambar 19 terlihat bahwa pada substrat di depan formasi mangrove (ke arah laut) tidak ada invasi dari semai mangrove, walaupun tipe substrat (pasir berlumpur) tersebut secara umum relatif sama dengan substrat di bawah tegakan mangrove. Pada surut terendah substrat di depan formasi mangrove dapat mencapai ± 600 m ke arah laut. Ketidakberhasilan semai mangrove menginvasi substrat di depan depan formasi mangrove selain faktor ombak yang relatif kuat, juga akibat masih tingginya penggenangan pada saat air pasang. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tinggi penggenangan pada formasi mangrove terdepan (ke arah laut) pada saat pasang tertinggi sebesar 146 cm, sementara

97 70 substrat di depan formasi mangrove tinggi penggenangan, terutama pada saat pasang tinggi rata-rata lebih besar dari 146 cm. Rendahnya tingkat regenerasi secara alami spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl., secara teori menujukkan komunitas tersebut berada dalam fase degradasi dan dapat mengancam kelestarian spesies tersebut. Jumlah semai yang sangat terbatas tidak akan mencukupi dalam menggantikan pohon yang mengalami kematian, baik karena usia tua, penyakit atau faktor lain. Apabila keadaan demikian terus berlanjut, maka spesies tersebut akan digantikan oleh kehadiran spesies lain yang memiliki regenerasi alami secara baik. Untuk menjaga eksistensinya, spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl., pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, mengembangkan pola adaptasi yang cukup unik. Kedua spesies tersebut tidak hanya berkembang biak melalui biji (propagul), tetapi juga berkembang biak secara vegetatif. Beberapa macam perkembangbiakan tumbuhan secara vegetatif alami telah banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti melalui tunas, geragih/stolon, akar rimpang dan melalui daun seperti pada tumbuhan cocor bebek. Perkembangbiakan vegetatif alami pada spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl., menurut pendapat penulis tidak termasuk dalam salah satu kategori tersebut, dengan demikian memunculkan peluang baru untuk memberi nama tersendiri pada model perkembangbiakan vegetatif alami kedua spesies tersebut. Hal ini cukup penting dalam pembelajaran bagi peserta didik. Untuk maksud tersebut penulis menyebutnya perkembangbiakan vegetatif alami melalui percabangan. Spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl., pada lokasi penelitian memiliki sistem percabangan yang berkembang secara ekstensif. Dari masing-masing cabang akan tumbuh akar (pneumatophores) yang awalnya berfungsi membantu mencukupi kebutuhan oksigen bagi tumbuhan (aerial root). Pada tahap selanjutnya akar ini akan berkembang menjadi akar tunjang, yang merupakan salah satu ciri khas pada Rhizophora sp., yang berfungsi untuk memperkokoh tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Setelah masing-masing cabang memiliki akar tunjang dalam jumlah yang cukup dan kuat, serta mampu memenuhi kebutuhan hara, bagian cabang yang pada

98 71 awalnya berhubungan dengan pohon induk, tidak lagi berfungsi mensuplai unsur hara dari pohon induk ke bagian cabang. Akibatnya pertumbuhan terhenti dan mati. Pada tahap akhir sistem perkembangbiakan ini, cabang-cabang yang awalnya berhubungan dengan pohon induknya, akan terpisah dan tumbuh sebagai individu baru (Gambar 20). a b c Gambar 20 Perkembangbiakan vegetatif alami pada Rhizophora sp. Batang pada botol bekas kemasan air bagian kiri (a) dan kanan (b) berasal dari pohon induk yang sama dan masih berhubugan melalui cabang penghubung (c). Pada tahap akhir cabang penghubung (c) akan mati, batang a dan b akan terpisah menjadi dua individu baru. Foto diambil pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa pada saat penelitian dilakukan. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa sistem perkembangbiakan vegetatif pada Rhizophora sp (Gambar 20) cukup efektif. Dari satu pohon induk dapat menghasilkan lebih dari 10 individu baru dengan luasan area mencapai lebih dari 10 m persegi. Pada komunitas ini, dengan ukuran sampel plot vegetasi ukuran 10 x 10 m, banyak plot yang hanya berisi spesies Rhizophora sp. Pola perkembangbiakan vegetatif alami pada vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa sebagai upaya menyesuaikan terhadap faktor lingkungan yang ekstrim, terutama faktor ombak yang cukup kuat dan tipe substrat di daerah ini. Cara ini juga

99 72 merupakan cara yang efektif bagi perkembangan vegetasi mangrove ke arah laut. Substrat baru yang terbentuk di depan formasi mangrove (Gambar 19) akan diinvansi dengan model perkembangbiakan model ini. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat diambil suatu simpulan bahwa walaupun spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Bl pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa memiliki jumlah semai yang tergolong rendah, namun dapat diprediksi bahwa keberadaan kedua spesies tersebut pada masa yang akan datang akan tetap lestari, dengan adaptasi perkembangbiakan vegetatif alami melalui percabangan. 6. Sebaran Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa Hasil analisis sebaran kelas diameter batang seluruh spesies mangrove di Pulau Kaledupa, disajikan pada Gambar 21 dan Lampiran 11. Gambar tersebut menunjukkan distribusi frekuensi diameter batang seluruh individu dari semua spesies yang ditemukan, dengan rentangan diameter tertentu. Gambar 21 Grafik hubungan antara rentang diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot.

100 73. Daniel et al. (1979), mengklasifikasikan model grafik seperti tampak pada Gambar 21, termasuk ketegori tegakan tidak seumur. Barbour et al. (1987) mengklasifikasikan model tersebut termasuk ke dalam bentuk tipe L atau bentuk kurva J terbalik. Bentuk ini memiliki makna bahwa jumlah individu yang memiliki ukuran diameter batang kecil jumlahnya sangat banyak, kemudian jumlah tersebut semakin menurun seiring dengan bertambahnya ukuran diameter batang, hingga mencapai ukuran diameter batang yang paling besar dengan jumlah individu yang paling sedikit. Bentuk ini merupakan salah satu ciri dari populasi tumbuhan yang hidup secara alamiah, yang berisikan paling sedikit tiga penyusun utama, yaitu spesies pada tingkat semai (seedling), sapihan (sapling) dan pohon dewasa (mature). 7. Sebaran Diameter Batang Spesies Mangrove Dominan di Pulau Kaledupa Spesies yang diambil sebagai contoh untuk menggambarkan bentuk grafik hubungan antara sebaran diameter batang dan jumlah individu suatu spesies, didasarkan atas spesies yang memiliki nilai penting tinggi. Spesies yang terpilih adalah spesies Rhizophora mucronata Lamk., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Ceriops (Perr.) C.B. Rob., dan Xylocarpus granatum Koenig, seperti tampak pada Gambar 22 dan Lampiran 11. Sebaran kelas diameter batang spesies Rhizophora mucronata Lamk (Gambar 22a.), spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk (Gambar 22b.) dan spesies Ceriops Tagal (Perr.) C.B. Rob (Gambar 22c) cenderung memiliki bentuk yang sama, yaitu termasuk ke dalam klasifikasi tegakan tidak seumur, atau tipe L atau bentuk kurva J terbalik, yang merupakan indikasi suatu populasi tumbuhan yang hidup secara alamiah. Spesies Xylocarpus granatum Koenig (Gambar 22d) termasuk dalam kategori bentuk tegakan tidak teratur (Daniel at al. 1979). Bentuk tegakan tersebut menujukkan bahwa individu-individu yang berdiameter kecil jumlahnya terbatas, dan akan menurun bersamaan dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sedangkan individu-individu yang memiliki ukuran diameter pada rentangan rata-rata jumlahnya paling banyak, dan menurun kembali pada ukuran diameter diatas ukuran rentangan rata-rata. Bentuk tegakan tidak teratur merupakan indikasi bahwa dalam populasi tumbuhan yang mengalami gangguan baik secara alamiah maupun non alamiah

101 74 a. Rhizophora mucronata Lamk b. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk c. Ceriops (Perr.) C.B. Rob d. Xylocarpus granatum Koenig Gambar 22 Grafik hubungan antara rentang diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa. Sampel vegetasi diambil pada transek 1, 2 dan 3, dengan plot 10 x 10 m sebanyak 101 plot. Faktor utama yang menyebabkan terbentuknya grafik tidak teratur pada spesies Xylocarpus granatum Koenig adalah terbatasnya jumlah semai. Terbatasnya jumlah semai tersebut disebabkan oleh terbatasnya jumlah pohon induk sebagai penghasil biji. Jumlah individu pohon induk spesies Xylocarpus granatum Koenig (strata pohon dan tiang) 21 individu/ha. Berdasarkan ketentuan SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/sylvikultur hutan payau disebutkan bahwa

102 75 penebangan hutan payau, harus ditinggalkan pohon induk sebanyak 40 pohon/ha yang tersebar secara merata, sebagai sumber penghasil biji atau bibit. Hasil pengamatan lapangan menemukan bahwa komunitas mangrove di Pulau Kaledupa pada beberapa tempat telah mengalami gangguan, sehingga menimbulkan kerusakan. Banyak faktor yang diduga menyebabkan kerusakan komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, yang kesemuanya akibat intervensi dari manusia untuk berbagai keperluan, dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor penyebab kerusakan komunitas mangrove di Pulau Kaledupa antara lain : a. Konversi komunitas mangrove menjadi pemukiman penduduk Hasil pengamatan lapangan menemukan bahwa banyak komunitas mangrove di Pulau Kaledupa yang di konversi menjadi lokasi pemukiman penduduk, seperti misalnya pemukiman penduduk di Desa Buranga, Ollo, Lagiwae, Ambeuwa, dan Desa Laulua Gambar 23 Pemukiman penduduk di Desa Ambeuwa dibangun pada area komunitas mangrove Pulau Kaledupa. Foto diambil saat penelitian lapangan

103 76 b. Konversi komunitas mangrove menjadi lahan tanaman budidaya Komunitas mangrove yang berbatasan dengan lahan tanaman budidaya penduduk rawan mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan. Lahan timbul akibat pendangkalan, terutama pada komunitas mangrove bagian dalam (arah darat) sering menimbulkan konflik lahan antara penduduk dengan pemerintah stempat. Zona mangrove bagian dalam yang hanya tergenang pada saat pasang tertinggi, oleh sebagian penduduk dibabat habis dan dijadikan lahan tanaman budidaya, terutama untuk budidaya tanaman kelapa (Cocos nuscifera L.) a Gambar 24 Alih fungsi lahan mangrove untuk budidaya tanaman kelapa yang dilakukan oleh sebagian penduduk di Pulau Kaledupa : a. Komunitas mangrove di Desa Balasuna, b.komunitas mangrove di Desa Laulua. Foto diambil saat penelitian lapangan. b c. Konversi komunitas mangrove untuk pembangunan sarana umum Wilayah daratan di Pulau Kaledupa umumnya merupakan wilayah yang berbukit-bukit. Area yang relatif datar kebanyakan ditemukan di wilayah pantai yang umumnya langsung berbatasan dengan komunitas mangrove yang ada di Pulau Kaledupa. Dengan berbagai alasan tertentu misalnya, anggaran yang tersedia dan alasan kepraktisan, berbagai sarana umum di Pulau Kaledupa seperti gedung sekolah, pelabuhan rakyat, dan pasar desa banyak yang dibangun dengan mengkonversi lahan mangrove (Gambar 25).

104 77 a b c Gambar 25 Alih fungsi lahan mangrove untuk pembangunan sarana umum di Pulau Kaledupa : a. Jalan yang menghubungan Desa Horuo dengan pemukiman Suku Bajo b.sekolah Menengah Pariwisata di Desa Balasuna. c. Pasar Desa/Pendaratan Ikan di Desa Ambeua. d. Lokasi pendaratan perahu. Foto diambil saat penelitian lapangan. d. Pengambilan kayu bakau Pengambilan kayu bakau yang dilakukan oleh masyarakat di Pulau Kaledupa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sehari-hari (Gambar 25). Pengambilan kayu bakau sebagai kayu bakar oleh masyarakat pesisir, terutama masyarakat suku laut (Bajo) cukup intensif dan dapat ditemukan dihampir semua pesisir Pulau Kaledupa. Mufti (2009) melaporkan bahwa rata-rata pengambilan d

105 78 kayu bakar ± m 3 /tahun. Kondisi ini diperparah dengan kelangkaan dan kenaikan harga minyak tanah yang sering terjadi di daerah ini. Harga minyak di pulau ini mencapai Rp /l, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga di Kendari yang hanya Rp.5.000/l. Tingginya harga minyak tanah di daerah ini selain dari akibat meningkatnya harga minyak dunia, juga sering terhambatnya pasokan, akibat masih relatif sulitnya transportasi menuju pulau ini. Pengambilan kayu bakau juga dimanfaatkan untuk keperluan patok atau tiang pada budibaya rumput laut, patok atau tiang jaring penangkap ikan (bahasa setempat Sero) dan sebagai bahan bangunan rumah penduduk. a Kayu bakar b Patok pada budidaya rumput laut c Tiang jaring ikan d Bahan pembuat rumah Gambar 26 Pemanfaatan kayu bakau oleh masyarakat di Pulau Kaledupa. Foto diambil saat penelitian lapangan. B. Pulau Derawa

106 79 Berdasarkan hasil pengamatan terhadap komunitas mangrove yang ada di Pulau Derawa, secara umum kondisinya relatif seragam. Komunitas mangrove di pulau ini relatif belum mengalami gangguan, mungkin karena jumlah penduduknya yang relatif sedikit (182 KK) dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai petani rumput laut. Pada Pulau Derawa ditetapkan 3 transek pengambilan sampel. Pengambilan transek di pulau ini berdasarkan pertimbangan keterwakilan komunitas mangrove yang ada, atau sebagai pengulangan. Transek I ditempatkan pada komunitas mangrove yang letaknya paling dekat dengan tempat pemukiman pada posisi 05 o LS dan 123 o 51 BT. Transek II ± 500 m dari Transek I, pada posisi 05 o 33 LS dan 123 o 51 BT dan Transek III ± 500 m dari transek II, pada posisi 05 o 33 LS dan 123 o 51 BT. Komunitas mangrove pada area ini memiliki lebar zona rata-rata ± 130 m. Fisiognomi umum komunitas mangrove di Pulau Derawa disajikan pada Gambar 27. a b Gambar 27 Fisiognomi dari arah laut komunitas mangrove di Pulau Derawa : a.dari jarak jauh, b. dari jarak dekat 1. Komposisi dan Kerapatan Spesies Mangrove di Pulai Derawa

107 80 a. Strata Pohon Hasil penelitian terhadap kehadiran spesies strata pohon pada 3 transek pengamatan di Pulau Derawa disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Komposisi vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah plot sebanyak 35 plot Familia Rhizophoraceae Spesies Rhizophora mucronata Lamk. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Total spesies strata pohon yang ditemukan pada Pulau Derawa adalah sebanyak 2 spesies yang digolongkan dalam 1 familia, yaitu familia Rhizophoraceae. Hasil analisis vegetasi strata pohon tiap transek sesuai dengan Frekuensi Relatif, Kerapatan Relatif, dan Nilai Penting disajikan pada Tabel 20 dan hasil perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 12. Tabel 20 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 35 plot No. Spesies FR KR DR NP 1. Rhizophora mucronata Lamk. * 51,61 59,76 49,23 160,60 2. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. 48,39 40,24 50,77 139,40 Jumlah Keterangan: * Spesies yang mendominasi; FR= Frekuensi Relatif; KR= Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting Analisis vegetasi strata pohon diperoleh hasil bahwa Rhizophora mucronata Lamk., memiliki nilai kerapatan yang paling tinggi, tetapi untuk parameter basal area spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., memiliki nilai dominansi yang paling tinggi. Hal ini berarti Rhizophora mucronata Lamk., memiliki cacah individu yang lebih tinggi dibanding spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., tetapi spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., memiliki ukuran diameter batang (dbh) yang rata-rata lebih besar dibanding Rhizophora mucronata Lamk. Dengan parameter nilai penting, Rhizophora mucronata Lamk., memiliki nilai

108 yang paling tinggi. Dengan demikian vegetasi mangrove strata pohon pada area ini didominasi oleh, Rhizophora mucronata Lamk. 81 b. Strata Tiang Kehadiran jenis dan jumlah familia strata tiang pada tiga transek pengamatan dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Komposisi vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah plot sebanyak 35 plot Familia Rhizophoraceae Spesies Rhizophora mucronata Lamk. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Total spesies strata tiang yang ditemukan pada Pulau Derawa adalah sebanyak dua spesies yang digolongkan dalam 1 familia, yaitu familia Rhizophoraceae. Hasil analisis vegetasi strata tiang tiap transek sesuai dengan Frekuensi Relatif, Kerapatan Relatif, dan Nilai Penting (NP) disajikan pada Tabel 22 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 13. Tabel 22 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 35 plot No. Spesies FR KR DR NP 1. Rhizophora mucronata Lamk. * 78,38 94,59 94,35 267,33 2. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. 21,62 5,41 5,65 32,67 Jumlah Keterangan : * Spesies yang mendominasi FR= Frekuensi Relatif; KR= Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting Hasil analisis menujukan bahwa Rhizophora mucronata Lamk., mempunyai nilai frekuensi, kerapatan, dominansi, dan nilai penting yang paling tinggi, ini berarti bahwa vegetasi mangrove strata tiang pada komunitas mangrove di Pulau Derawa didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk.

109 82 c. Strata Sapihan Kehadiran jenis dan jumlah famili tingkat sapihan pengamatan dapat dilihat pada Tabel 23. pada tiga transek Tabel 23 Komposisi vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah plot sebanyak 35 plot Familia Rhizophoraceae Spesies Rhizophora mucronata Lamk. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Untuk strata sapihan yang ditemukan pada Pulau Derawa juga ada 2 spesies, yaitu Rhizophora mucronata Lamk dan Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk 1 familia, yaitu familia Rhizophoraceae. Hasil analisis vegetasi strata sapihan tiap transek sesuai dengan Frekuensi Relatif, Kerapatan Relatif, dan Nilai Penting dapat dilihat pada Tabel 24 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 14. Tabel 24 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 35 plot No. Spesies FR KR DR NP 1. Rhizophora mucronata Lamk. * 63,46 85,07 82,68 231,21 2. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. 36,54 14,93 17,32 68,79 Jumlah Keterangan: * Spesies yang mendominasi; FR= Frekuensi Relatif; KR= Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting Untuk vegetasi mangrove strata sapihan, hasil analisis juga menunjukkan bahwa spesies Rhizophora mucronata Lamk., mempunyai nilai frekuensi, kerapatan, dominansi, dan nilai penting yang paling tinggi, ini berarti bahwa vegetasi mangrove strata sapihan pada komunitas mangrove di Pulau Derawa juga didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk d. Strata Semai Kehadiran spesies dan jumlah famili tingkat semai pada tiga transek pengamatan dapat dilihat pada Tabel 25.

110 Tabel 25. Komposisi vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah plot sebanyak 35 plot Familia Rhizophoraceae Spesies Rhizophora mucronata Lamk. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. 83 Untuk strata semai yang ditemukan pada Pulau Derawa juga ada 2 spesies, yaitu Rhizophora mucronata Lamk dan Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk 1 familia, yaitu familia Rhizophoraceae. Hasil analisis vegetasi strata pohon tiap transek sesuai dengan Frekuensi Relatif, Kerapatan Relatif, dan Nilai Penting (NP) disajikan pada Tabel 26 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 15. Tabel 26. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 35 plot No. Spesies FR KR NP 1. Rhizophora mucronata Lamk ,68 65,68 2. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. * 60 74,32 134,32 Jumlah Keterangan: * Spesies yang mendominasi; FR= Frekuensi Relatif; KR= Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting Untuk vegetasi mangrove strata semai, hasil analisis menujukan bahwa spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., mempunyai nilai frekuensi, kerapatan, dan nilai penting yang paling tinggi, ini berarti bahwa vegetasi mangrove strata semai pada komunitas mangrove di Pulau Derawa didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai kelimpahan vegetasi mangrove di Pulau Derawa, baik untuk strata pohon, tiang, sapihan dan semai, sebagaimana diuraikan di atas, ditemukan fenomena yang perlu ditelaah lebih lanjut. Dengan menggunakan parameter nilai penting, pada strata pohon (Gambar 28a), vegetasi

111 84 a.strata pohon b. Strata tiang c. Strata sapihan d. Strata semai Gambar 28 Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 meter dengan jumlah total 35 plot. strata tiang (Gambar 28b), dan sapihan (Gambar 28c), komunitas komunitas mangrove di pulau ini didominasi oleh Rhizophora mucronata Lamk., namun pada strata semai (Gambar 28d) didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Hal ini berarti sepesies Rhizophora mucronata Lamk., sebagai spesies utama di pulau ini kurang berhasil dalam melakukan regenerasi secara alami. Apakah kondisi demikian berarti Rhizophora mucronata Lamk., berada dalam

112 85 fase degradasi, dan pada masa yang akan datang akan digantikan oleh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan kajian lebih lanjut. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan rendahnya pertumbuhan semai Rhizophora mucronata Lamk., Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini, akan diuraikan pada bagian permudaan alami vegetasi mangrove di Pulau Derawa. 2. Indeks Keanekaragaman(H ), Indeks Kekayaan Spesies (R) dan Indeks Kemerataan (e) Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa Hasil perhitungan H (indeks keanekaragaman spesies Shanon Wienner), R (indeks kekayaan spesies), dan e (indeks kemerataan spesies) di komunitas mangrove Pulau Derawa disajikan pada Tabel 27. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman spesies secara lengkap disajikan pada Lampiran 16 hingga Lampiran 19. Terdapat variasi nilai indeks keanekaragaman dari masing-masing strata pertumbuhan vegetasi mangrove, baik pada strata pohon, tiang, sapihan, dan semai. Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada strata pohon dan yang terendah ditemukan pada strata tiang. Tabel 27 Indeks Keanekaragaman (H ), Indeks Kekayaan Jenis (R), dan Indeks Kemerataan Jenis (e) vegetasi mangrove di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 35 plot Strata vegetasi mangrove Indeks H R e Pohon* 0,69 0,23 1,00 Tiang 0,34 0,18 0,49 Sapihan 0,54 0,17 0,78 Semai 0,63 0,17 0,91 Keterangan ; * : Strata vegetasi dengan indeks keanekaragaman tertinggi Nilai indeks keanekaragaman dan kekayaan spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa tergolong rendah. Jumlah spesies vegetasi mangrove yang ditemukan di Pulau Derawa sangat terbatas. Hal ini diduga berhubungan dengan faktor lingkungan dan prilaku ekologi masing-masing strata vegetasi. Keanekaragaman akan tinggi apabila tekanan lingkungan berkurang

113 86 3. Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa Zonasi digunakan untuk menggambarkan pesebaran tempat tumbuh masingmasing spesies penyusun komunitas mangrove, mulai dari tempat tumbuh paling depan (batas ke arah laut), sampai yang paling belakang (batas ke arah darat). Parameter yang digunakan adalah nilai total kerapatan relatif (pohon, tiang, dan sapihan) masing-masing spesies penyusun. Hasil analisis vegetasi untuk melihat zonasi vegetasi mangrove yang terbentuk di Pulau Derawa disajikan pada Gambar 29. Tidak ada zona yang terbentuk pada komunitas mangrove di pulau ini. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah spesies vegetasi mangrove yang ada. Komunitas mangrove di Pulau Derawa merupakan bentuk asosiasi antara spesies Rhizophora mucronata Lamk., dengan Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan didominasi oleh Rhizophora mucronata Lamk. Laut Gambar 29 Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil dengan plot kontinyu dari formasi mangrove paling luar (arah laut) sampai formasi paling dalam (arah darat). Ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total sebanyak 35 plot. Berdasarkan hasil sebagaimana disajikan pada Gambar 28 tanpaknya antara spesies Rhizophora mucronata Lamk., dan Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., mempunyai kisaran toleransi yang sama terhadap faktor lingkungan. Tampaknya terjadi kompetisi antara spesies Rhizophora mucronata Lamk., dan Bruguiera

114 87 gymnorrhiza (L.) Lamk., dalam memperoleh sumberdaya yang ada, dalam mempertahankan keberadaan masing-masing spesies. Ball (1980) mengajukan usul kompetisi sebagai suatu faktor terbentuknya zonasi mangrove. 4. Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa Analisis permudaan alami atau regenerasi alami vegetasi mangrove menggunakan parameter kerapatan semai (seedling) setiap plot pengamatan. Hasil tersebut kemudian dikonversi nilai kerapatan dalam satuan hektar. Hasil perhitungan regenerasi alami vegetasi mangrove di Pulau Derawa dari 3 buah transek pengamatan disajikan pada Tabel 28 dan Lampiran 20. Tabel 28 Kerapatan.vegetasi mangrove strata sapihan dan semai (individu/hektar) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 35 plot No. Spesies Kerapatan (individu/hektar) Sapihan Semai 1. Rhizophora mucronata Lamk. 862,86 271,43 2. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.* 151,43 785,71 Jumlah 1.014, ,14 Keterangan ; * : spesies dengan kerapatan semai tertinggi Kerapatan semai spesies Rhizophora mucronata Lamk., dan Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk kurang dari individu/ha. Apabila mengacu kepada SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/sylvikultur hutan payau, maka kedua spesies tersebut memiliki jumlah semai alami di bawah normal. Faktor utama yang menyebabkan rendahnya jumlah semai pada komunitas mangrove di Pulau Derawa, bukan karena terbatasnya jumlah pohon induk sebagai penghasil biji (propagul). Jumlah individu strata pohon pada area pengamatan (Tabel 20) jumlahnya sesuai dengan ketentuan SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/sylvikultur hutan payau, dimana mensyaratkan bahwa dalam penebangan hutan payau, harus ditinggalkan pohon induk sebanyak 40 pohon/ha.

115 88 Tabel 29 Kerapatan vegetasi mangrove strata pohon dan tiang (individu/ha) di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 35 plot No. Spesies Kerapatan (individu/ha) Pohon Tiang 1. Rhizophora mucronata Lamk. * Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk ,29 Jumlah ,29 Keterangan ; * : spesies dengan kerapatan pohon tertinggi Rendahnya jumlah semai vegetasi mangrove di Pulau Derawa akibat faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan biji atau propagul spesies tersebut. Sistem perakaran mangrove, terutama spesies Rhizophora mucronata Lamk., memiliki sistem perakaran yang sangat rapat, sehingga propagul yang jatuh kebanyakan tertahan di akar, tidak sampai ke tanah. Selain perakaran yang rapat, tipe substrat mangrove di Pulau Derawa merupakan liat berpasir, sehingga propagul yang jatuh ke substrat, tidak menancap secara kuat dan dalam. Akibatnya sangat mudah terbawa arus pasang surut ke luar komunitas mangrove. Pada spesies Rhizophora mucronata Lamk., jumlah kerapatan vegetasi strata semai jauh lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan vegetasi strata di atasnya (Tabel 28). Hal ini semakin memperkuat hipotesis bahwa permudaan alami pada golongan Rhizophora spp., tidak semata-mata melalui propagul, tetapi pada komunitas mangrove di Pulau Derawa mengembangkan perilaku adaptasi perkembangbiakan secara vegetatif (melalui percabangan), sebagaimana telah diuraikan pada perilaku perkembangbiakan Rhizophora sp., pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi. Dengan model ini tampaknya merupakan bentuk adaptasi terhadap kondisi substrat dan kuatnya arus pasang surut, di dalam komunitas mangrove. 5. Sebaran Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa Hasil analisis sebaran kelas diameter batang seluruh spesies mangrove di Pulau Derawa, tampak pada Gambar 30 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 21. Bentuk ini memiliki makna bahwa individu yang

116 89 berdiameter kecil jumlahnya paling banyak, selanjutnya jumlah tersebut semakin berkurang bersamaan dengan bertambahnya ukuran diameter batang, dan pada akhirnya jumlahnya paling sedikit pada individu yang mempunyai ukuran diameter batang paling besar. Gambaran distribusi frekuensi yang demikian sebagai ciri dari tegakan tidak seumur atau tipe L. Bentuk ini merupakan salah satu ciri dari populasi tumbuhan yang hidup secara alamiah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa komunitas mangrove di Pulau Derawa merupakan komunitas yang tumbuh secara alami. Gambar 30 Grafik hubungan antara rentang diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 35 plot.

117 90 6. Sebaran Diameter Batang Masing-Masing Spesies Mangrove di Pulau Derawa Hasil analisis tentang hubungan antara sebaran diameter batang dengan jumlah individu masing-masing spesies, dapat dilihat pada Gambar 31 dan perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 21. a. Rhizophora mucronata Lamk b. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Gambar 31 Grafik hubungan antara rentang diameter batang dan jumlah individu dari masing-masing spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 meter dengan jumlah total 35 plot. Untuk spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., (Gambar 31b) memperlihatkan grafik yang sama, seperti yang tergambar dari seluruh spesies (Gambar 30), yaitu berbentuk tegakan tidak seumur atau tipe L. Bentuk ini memiliki makna bahwa jumlah individu yang memiliki ukuran diameter batang kecil jumlahnya sangat banyak, kemudian jumlah tersebut semakin menurun seiring dengan bertambahnya ukuran diameter batang, hingga mencapai ukuran diameter batang yang paling besar dengan jumlahnya paling sedikit. Model ini mengindikasikan bahwa rekrutmen atau pengangkatan generasi dari populasi Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., sangat baik, sehingga pergantian generasi

118 91 secara alamiah akan berlangsung secara berkesinambungan. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila tidak ada perubahan lingkungan yang drastis, keberadaan populasi vegetasi mangrove spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., di Pulau Derawa akan tetap lestari. Grafik tegakan spesies Rhizophora mucronata Lamk., (Gambar 31a) menunjukan bentuk trgakan tidak teratur. Artinya didalam tegakan tersebut terhimpun individu-individu yang berdiameter kecil (strata semai) jumlahnya terbatas, sedangkan yang memiliki ukuran diameter rata-rata jumlahnya cukup banyak, dan jumlahnya menurun pada individu-individu yang berdiameter di atasnya. Grafik tersebut menunjukkan indikasi populasi tumbuhan yang mengalami gangguan secara alamiah maupun non alamiah. Faktor utama yang menyebabkan terbentuknya grafik tidak teratur adalah karena terbatasnya jumlah semai spesies Rhizophora mucronata Lamk. Terbatasnya jumlah semai ini disebabkan oleh 3 faktor, yaitu (1).Propagul Rhizophora mucronata Lamk., yang jatuh dari pohon induk kebanyakan tersangkut pada sistem perakaran yang cukup rapat, (2). Propagul yang berhasil mencapai substrat tidak menancap kuat akibat tipe substrat yang berpasir,sehingga mudah terbawa arus pasang surut, dan (3). Spesies Rhizophora mucronata Lamk., mengembangkan adaptasi perkembangbiakan secara vegetatif (melalui percabangan), sebagaimana telah diuraikan pada perilaku perkembangbiakan Rhizophora sp., pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, sehingga individu baru yang terbentuk melalui cara ini, ukuran diameter batangnya tidak lagi termasuk masuk dalam kategori strata semai. Pola adaptasi perkembangbiakan model ini tampaknya yang akan tetap menjamin keberlangsungan hidup spesies Rhizophora mucronata Lamk. Pengamatan di Pulau Derawa, tidak menemukan bahwa komunitas mangrove di area ini telah mengalami gangguan yang serius. Tanda-tanda bekas penebangan seperti sisa-sisa batang yang telah ditebang, dan tanda-tanda kerusakan lainnya, tidak ditemukan pada komunitas mangrove di pulau ini. Terbatasnya kerapatan individu strata pohon/ha di Pulau Derawa, diduga terkait dengan faktor lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan vegetasi mangrove. Faktor utama yang diduga merupakan penyebab utama terbatasnya

119 92 jumlah spesies di pulau ini, adalah terbatasnya pelumpuran yang terjadi. Tidak adanya sungai di pulau ini, pelumpuran yang terjadi hanya dari abrasi dan suspensi sedimen dari gelombang dan arus laut. Gelombang pantai (dipengaruhi angin) merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Kebanyakan habitat mangrove di Pulau Derawa merupakan substrat berbatu (Gambar 32), sehingga selain jumlah spesies yang ditemukan terbatas, ukuran batangnya juga relatif kecil. Chapman (1976) menyatakan bahwa substrat yang sesuai untuk pertumbuhan vegetasi mangrove adalah substrat lumpur atau tanah berlumpur. a b Gambar 32 Vegetasi mangrove di Pulau Derawa : a. Habitat batu dengan pelumpuran yang sangat terbatas sehingga belum mendukung pertumbuhan mangrove, b. Vegetasi mangrove yang tumbuh pada habitat berbatu dengan pelumpuran yang relatif tebal ( ± 30 cm). Foto diambil saat penelitian lapangan. C. Pulau Hoga Komunitas mangrove di Pulau Hoga hanya ditemukan pada satu tempat, pada bagian cekungan yang menyerupai teluk pada bagian barat pantai Pulau

120 93 Hoga dengan lebar zona rata- rata ± 80 m. Secara umum kondisinya relatif seragam dan relatif tidak mengalami gangguan, karena kawasan ini sebagai daerah perlindungan dari kegiatan penangkapan ikan (non fishing zone) dan pusat wisata menyelam milik Operation Wallacea. Transek I pada posisi 05 o 27 LS dan 123 o 46 BT. Transek II pada posisi 05 o 27 LS dan 123 o 46 BT, dan transek III pada posisi 05 o 27 LS dan 123 o 46 BT. Fisiognomi umum komunitas mangrove di Pulau Darawa disajikan pada Gambar 33. Gambar 33 Fisiognomi komunitas mangrove di Pulau Hoga yang didominasi oleh mangrove yang tergolong kecil atau kerdil. Foto diambil saat penelitian dilakukan. 1. Komposisi dan Kerapatan Spesies Mangrove di Pulau Hoga a. Strata Pohon Hasil penelitian terhadap kehadiran spesies strata pohon pada 3 transek pengamatan di Pulau Hoga disajikan pada Tabel 30.

121 94 Tabel 30 Komposisi vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah plot sebanyak 23 plot Familia Spesies Rhizophoraceae Sonneratiaceae Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Sonneratia alba Smith Total spesies strata pohon yang ditemukan di Pulau Hoga sebanyak 2 spesies yang termasuk dalam 2 familia. Hasil analisis vegetasi strata pohon dengan param Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR) dan Nilai Penting (NP) disajikan pada Tabel 31 secara lengkap disajikan pada Lampiran 22. dan hasil perhitungan Tabel 31 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot No. Spesies FR KR DR NP 1. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.* 66,67 75,00 75,24 216,91 2. Sonneratia alba Smith 33,33 25,00 24,76 83,09 Jumlah Keterangan : * Spesies yang mendominasi; FR= Frekuensi Relatif; KR=Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting Vegetasi mangrove strata pohon dari 2 spesies yang ditemukan, spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, memiliki nilai frekuensi relatif yang paling tinggi. Ini menujukkan bahwa Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, mempunyai kisaran penyebaran tempat tumbuh yang paling luas. Nilai kaerapatan kerapatan relatif yang paling tinggi, juga ditempati spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, dengan demikian jumlah cacah individu yang paling banyak di area ini juga ditempati spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Berdasarkan parameter dominansi relatif, spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., juga memiliki nilai yang paling tinggi, ini berarti spesies tersebut juga memiliki basal area yang yang tertinggi. Nilai penting yang tertinggi juga diduduki oleh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Dengan demikian spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.,

122 tampaknya merupakan spesies yang mengontrol komposisi dan kelimpahan pada komunitas mangrove strata pohon di Pulau Hoga. b. Strata Tiang Kehadiran spesies dan jumlah familia strata tiang pada tiga transek pengamatan dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Komposisi vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah plot sebanyak 23 plot Familia Spesies 95 Rhizophoraceae Sonneratiaceae Myrsinaceae Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. * Sonneratia alba Smith Sonneratia caseolaris (L.) Engl.* Osbornia octodonta F.v.M.* Keterangan : * spesies yang tidak ditemukan pada strata pohon Vegetasi mangrove strata tiang yang ditemukan pada Pulau Hoga adalah sebanyak 5 spesies yang digolongkan dalam 3 familia. Ada tiga spesies yaitu Ceriops tagal C B Rob., Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Osbornia octodonta F.v.M. dan yang tingkat pertumbuhan diameter batangnya belum mencapai strata pohon. Hasil analisis vegetasi strata tiang dengan parameter frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif, dan nilai penting, dapat dilihat pada Tabel 33 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 23. Untuk vegetasi mangrove strata tiang juga didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Ada 3 spesies yang pertumbuhan diameter batangnya belum mencapai strata pohon. Hal ini mengindikasikan bahwa komunitas mangrove di Pulau Hoga, merupakan golongan mangrove dengan Tabel 33 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot

123 96 No. Spesies F.R KR D.R NP 1. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk* 37,5 50,00 56,46 143,96 2. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. ** 18,75 15,63 5,34 39,72 3. Sonneratia alba Smith 12,50 12,50 16,44 41,44 4. Sonneratia caseolaris (L.) Engl** 18,75 12,50 15,03 46,28 5. Osbornia octodonta F.v.M** 12,50 9,38 6,74 28,61 Jumlah Keterangan: *Spesies yang mendominasi; ** spesies dengan ukuran diameter batang tidak ada yang mencapai strata pohon; FR= Frekuensi Relatif; KR=Kerapatan Relatif; DR= Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting ukuran diameter batang yang relatif kecil atau bakau kerdil. Hasil pengamatan lapangan spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., hanya ditemukan terpencar pada bagian-bagian tertentu saja, demikian juga Sonneratia spp., hanya terpencar pada bagian-bagian tertentu saja. c. Strata Sapihan Hasil penelitian terhadap kehadiran jumlah spesies dan jumlah familia vegetasi mangrove strata sapihan pada tiga transek pengamatan di Pulau Hoga dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Komposisi vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5 m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah plot sebanyak 23 plot Familia Rhizophoraceae Sonneratiaceae Myrsinaceae Spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. * Sonneratia alba Smith Sonneratia caseolaris (L.) Engl.* Osbornia octodonta F.v.M.* Keterangan : * spesies yang tidak ditemukan pada strata pohon Berdasarkan hasil dari Tabel 34 total spesies vegetasi mangrove strata sapihan yang ditemukan pada Pulau Hoga adalah sebanyak 5 spesies yang digolongkan dalam 3 familia. Hasil analisis vegetasi strata tiang dari 3 transek pengamatan, dengan param nilai Frekuensi Relatif, Kerapatan Relatif, dan Nilai

124 Penting (NP) disajikan pada Tabel 35, dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 24. Tabel 35 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot No. Spesies F.R KR D.R NP 1. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk 12 4,18 4,99 21,17 2. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob ,72 14,39 65,11 3. Sonneratia alba Smith 2 0,70 5,56 8,25 4. Sonneratia caseolaris (L.) Engl 6 1,39 0,98 8,38 5. Osbornia octodonta F.v.M* 46 77,00 74,09 197,09 Jumlah Keterangan: * Spesies yang mendominasi; FR= Frekuensi Relatif; KR=Kerapatan Relatif; DR= Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting Berdasarkan hasil pada Tabel 35, spesies Osbornia octodonta F.v.M., memiliki nilai frekuensi, kerapatan, dominansi, dan penting yang paling tinggi. Hal ini berarti pada strata sapihan dominasi spesies diduduki Osbornia octodonta F.v.M., kemudian disusul oleh spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., menggeser dominasi spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., pada strata pohon dan strata tiang. d. Strata Semai Kehadiran jenis dan jumlah famili tingkat semai pada tiga transek pengamatan dapat dilihat pada Tabel 36. Jumlah spesies vegetasi mangrove strata semai yang ditemukan pada Pulau Hoga sebanyak 4 spesies yang digolongkan dalam 3 familia. 97 Hasil analisis vegetasi strata semai dengan param frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif, dan nilai penting, dapat dilihat pada Tabel 37 dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 25. Tabel 36 Komposisi vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah plot sebanyak 23 plot Familia Spesies

125 98 Rhizophoraceae Sonneratiaceae Myrsinaceae Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. * Sonneratia caseolaris (L.) Engl.* Osbornia octodonta F.v.M.* Keterangan : * spesies yang tidak ditemukan pada strata pohon; ** : spesies yang tidak ditemukan pada strata pohon Tabel 37. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot. No. Spesies F.R KR NP 1. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk 22,64 15,03 37,67 2. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. 28,30 24,32 52,62 3. Sonneratia caseolaris (L.) Engl 5,66 2,73 8,39 4. Osbornia octodonta F.v.M 43,40 57,92 101,32 Jumlah Keterangan :* Spesies yang mendominasi; **spesies dengan ukuran diam batang tidak ada yang mencapai strata pohon; FR= Frekuensi Relatif; KR=Kerapatan Relatif; DR= Dominansi Relatif; NP = Nilai Penting Berdasarkan hasil pada Tabel 37, diketahui bahwa spesies octodonta F.v.M., memiliki nilai Osbornia frekuensi, kerapatan, dominansi, dan nilai penting yang paling tinggi. Sama seperti pada strata sapihan, pada strata semai juga didominasi oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M., kemudian disusul oleh spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob.Tampaknya kedua spesies tersebut memiliki peran yang sangat penting pada komunitas mangrove di Pulau Hoga. Spesies Osbornia octodonta F.v.M., dan Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., merupakan spesies yang mengontrol komposisi dan kelimpahan pada komunitas mangrove strata semai di Pulau Hoga. Pada saat pengamatan dilakukan, tidak ditemukan strtata semai pada spesies Sonneratia alba Smith. Apabila hal ini terus berlangsung, dan tidak ada intervensi berupa pengkayaan spesies, dapat diprediksi bahwa pada masa yang akan datang spesies Sonneratia alba Smith., akan hilang dari komunitas mangrove di Pulau Hoga.

126 99 a. Strata pohon b. Strata tiang c. Strata sapihan d. Strata semai Gambar 34 Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot. Berdasarkan beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa dari lima spesies yang ditemukan di Pulau Hoga, hanya 2 spesies yaitu Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan Sonneratia alba Smith., yang memiliki ukuran diameter batang (dbh) masuk dalam kategori pohon (dbh > 20 cm). Tiga spesies yang lain, diam batang (dbh) yang tertinggi hanya sampai kategori tiang (dbh cm). Dengan parameter nilai penting, pada strata pohon dan tiang (Gambar 34a dan 34b) didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk dan pada strata sapihan dan semai (Gambar 34c dan 34d) didominasi oleh spesies

127 100 Osbornia octodonta F.v.M. Nilai kerapatan total individu spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., 626 individu/ha, Sonneratia alba Smith 35 individu/ha, Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., individu/ha, dan spesies Osbornia octodonta F.v.M., sebesar individu/ha. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulan bahwa komunitas mangrove di Pulau Hoga didominasi oleh vegetasi mangrove yang mempunyai ukuran diameter batang yang relatif kecil (dbh > 20 cm), yang diwakili oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M., dan spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. Apabila kondisi demikian terus berlanjut dan tanpa intervensi, maka dapat diprediksi bahwa pada masa yang akan datang, komunitas mangrove di pulau Hoga mengarah mengarah ke bentuk klimaks, dengan didominasi oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M., dan spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. 2. Indeks Keanekaragaman(H ), Indeks Kekayaan Spesies (R) dan Indeks Kemerataan (e) Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga Perhitungan H (indeks keanekaragaman spesies Shanon Wienner), R (indeks kekayaan spesies), dan e (indeks kemerataan spesies) di komunitas mangrove Pulau Hoga disajikan pada Tabel 38. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman spesies secara lengkap disajikan pada Lampiran 26 hingga Lampiran 29. Tabel 38. Indeks keanekaragaman (H ), indeks kekayaan spesies (R), dan indeks kemerataan spesies (e) vegetasi mangrove di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot. Strata vegetasi mangrove Indeks H R e Pohon 0,59 0,48 0,851 Tiang* 1,41 0,29 0,876 Sapihan 0,99 0,18 0,615 Semai 1,14 0,45 0,822 Keterangan ; * : strata vegetasi dengan indeks keanekaragaman tertinggi Berdasarkan Tabel 38 dapat dilihat bahwa terdapat variasi nilai indeks keanekaragaman dari masing-masing strata pertumbuhan vegetasi mangrove, baik pada strata pohon, tiang, sapihan, dan semai. Indeks keanekaragaman tertinggi

128 101 ditemukan pada strata tiang dan yang terendah ditemukan pada strata pohon. Perbedaan ini diduga berhubungan dengan faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan masing-masing strata vegetasi. Kreb (1972) menyatakan bahwa keanekaragaman akan tinggi apabila tekanan lingkungan berkurang. Mengacu pendapat tersebut maka tekanan lingkungan yang paling tinggi terdapat pada pertumbuhan vegetasi strata pohon. 3. Zonasi Vegetasi Mangrove Zonasi digunakan untuk menggambarkan pesebaran tempat tumbuh masingmasing spesies penyusun komunitas mangrove, mulai dari tempat tumbuh paling depan (batas ke arah laut), sampai yang paling belakang (batas ke arah darat). Parameter yang digunakan adalah nilai total kerapatan relatif (pohon, tiang, dan sapihan) masing-masing spesies penyusun. Hasil analisis vegetasi untuk melihat zonasi vegetasi mangrove yang terbentuk di Pulau Darawa disajikan pada Gambar 35. Gambar 35 Zonasi vegetasi mangrove di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil dengan transek kontinyu dari formasi mangrove paling luar (arah laut) hingga formasi paling dalam (arah darat).plot 10 x 10 m dengan jumlah total sebanyak 23 plot. Tidak ada zona yang terbentuk pada komunitas mangrove di Pulau Hoga. Hal ini disebabkan terbatasnya area yang ditumbuhi mangrove. Ketebalan komunitas mangrove di Pulau Hoga mulai formasi paling depan (arah laut) hingga

129 102 yang paling belakang (arah darat) hanya 80 m. Dengan demikian faktor-faktor yang mengendalikan terbentuknya zonasi mangrove seperti tipe substrat, penggenangan pasang surut relatif sama. Indikasi ini terlihat bahwa spesies Osbornia octodonta F.v.M., dan Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., ditemukan pada semua plot pengamatan, mulai formasi paling depan (arah laut) sampai yang paling belakang (arah darat). Berdasarkan hasil analisis zonasi mangrove seperti disajikan pada Gambar 31, semakin memperkuat simpulan bahwa komunitas mangrove di Pulau Hoga didominasi oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M., dan Ceriops tagal (Perr.) C.B.Rob., yang merupakan mangrove kerdil (dbh > 20 cm). 4. Permudaan Alamiah Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga Analisis permudaan alamai atau regenerasi alami vegetasi mangrove mangrove menggunakan parameter kerapatan semai (seedling) setiap plot pengamatan. Hasil tersebut kemudian dikonversi nilai kerapatan dalam satuan hektar. Hasil perhitungan regenerasi alami vegetasi mangrove di Pulau Hoga dari 3 buah transek pengamatan disajikan pada Tabel 39 dan Lampiran 30. Tabel 39 Kerapatan vegetasi mangrove strata sapihan dan semai (individu/ha) di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot No. Spesies Kerapatan (individu/hektar) Sapihan Semai 1. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. 52, Sonneratia alba Smith 8, Sonneratia caseolaris (L.) Engl. 17, Ceriops Tagal (Perr.) C.B. Rob. 208, Osbornia octodonta F.v.M.* 960, Jumlah 1.247, ,39 Keterangan ; * Spesies dengan kerapatan sapihan dan semai tertinggi Berdasarkan Tabel 39 terlihat bahwa hanya spesies Osbornia octodonta F.v.M, yang memiliki kerapatan semai tertinggi. Berdasarkan SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove atau sylvikultur hutan payau disebutkan bahwa

130 103 komunitas mangrove memiliki regenerasi alami normal apabila memiliki jumlah semai batang/ha. Berdasarkan hal tersebut maka hanya spesies Osbornia octodonta F.v.M., yang memiliki regenerasi secara alami termasuk kategori baik atau normal. Dengan jumlah semai yang cukup maka rekrutmen atau pengangkatan generasi dari populasi Osbornia octodonta F.v.M., dapat berlangsung dengan baik, sehingga pengantian generasi secara alamiah akan berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian apabila tidak ada perubahan lingkungan secara drastis, keberadaan populasi Osbornia octodonta F.v.M., pada komunitas mangrove di Pulau Hoga akan tetap terjamin pada masa yang akan datang. Terbatasnya jumlah semai pada spesies lain, terutama spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan Sonneratia spp., diduga akibat terbatasnya jumlah pohon induk sebagai penghasil biji atau propagul. Kerapatan strata pohon spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., 26 individu/ha, dan spesies Sonneratia alba Smith., hanya 9 individu/ha, jauh dari yang dipersyaratkan dalam SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/sylvikultur hutan payau sebesar 40 individu/hektar. Bahkan spesies Sonneratia caseolaris (L.) Engl., tidak memiliki individu yang masuk dalam kategori strata semai. Spesies Osbornia octodonta F.v.M., dengan jumlah semai tertinggi, yang kemudian disusul oleh Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., sebagian besar memiliki ukuran diam batang yang termasuk dalam kategori sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm). Hal ini semakin memperkuat kesimpulan bahwa vegetasi mangrove di Pulau Hoga didominasi oleh golongan mangrove yang tergolong kecil atau kerdil. 5. Sebaran Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga Hasil analisis sebaran kelas diameter batang seluruh spesies vegetasi mangrove di Pulau Hoga, disajikan pada Gambar 36, dan hasil perhitungan secara lengkap disajikan pada Lampiran 31. Gambar tersebut menunjukkan distribusi

131 104 Gambar 36 Grafik hubungan antara rentang diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot. semua spesies yang ditemukan, dengn rentangan diam tertentu. Mengacu pada grafik struktur umur yang disampaikan oleh Daniel et al. (1979), maka grafik distribusi diameter batang komunitas mangrove di Pulau Hoga seperti disajikan pada Gambar 36, termasuk ke dalam klasifikasi tegakan tidak seumur atau tipe L, sama seperti yang ditemukan di Pulau Kaledupa dan Derawa. 6. Sebaran Diameter Batang Spesies Mangrove Dominan di Pulau Hoga Spesies yang diambil sebagai contoh untuk menggambarkan bentuk grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu suatu spesies, didasarkan atas spesies terpilih untuk menggambarkan struktur tegakan masing-masing spesies. Spesies yang terpilih meliputi Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Sonneratia alba Smith., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob dan spesies Osbornia octodonta F.v.M., dan., seperti tampak pada Gambar 37.

132 105 a. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk b. Sonneratia alba Smith c. Ceriops Tagal (Perr.) C.B. Rob d. Osbornia octodonta F.v.M Gambar 37 Grafik hubungan antara rentang diameter batang dan jumlah individu dari spesies dominan pada komunitas mangrove di Pulau Hoga. Sampel vegetasi diambil pada 3 buah transek dengan ukuran plot 10 x 10 m dengan jumlah total 23 plot. Grafik spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., (Gambar 37a), Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., (Gambar 37c), dan spesies Osbornia octodonta F.v.M., (Gambar 37d) tergolong dalam klasifikasi tegakan tidak seumur atau tipe L. Dalam grafik model ini, semua strata pertumbuhan vegetasi, mulai semai, anakan,

133 106 dewasa reproduktif, dan tua hadir dengan proporsi semakin tinggi usia, semakin sedikit jumlahnya. Dengan kondisi demikian akan terjadi regenerasi dengan baik. Vegetasi yang mati akibat penyakit, usia tua atau faktor lain akan digantikan oleh strata vegetasi yang ada di bawahnya. Model demikian merupakan salah satu ciri populasi tumbuhan yang tumbuh secara alamiah, dan apabila tidak ada perubahan lingkungan secara drastis, keberadaan spesies tersebut akan tetap lestari di area ini. Grafik tegakan spesies Sonneratia alba Smith (Gambar 37b) menunjukkan bentuk tegakan tidak teratur. Artinya di dalam tegakan tersebut terhimpun individu-individu yang berdiam kecil (semai) jumlahnya terbatas, sedangkan yang memiliki ukuran diam rata-rata jumlahnya cukup banyak, dan jumlahnya menurun pada individu-individu yang berdiam di atasnya. Grafik tersebut menunjukkan indikasi populasi tumbuhan yang mengalami gangguan secara alamiah maupun non alamiah. Faktor utama yang menyebabkan terbentuknya grafik tidak teratur adalah karena spesies Sonneratia alba Smith tidak memiliki semai. Terbatasnya jumlah ini disebabkan terbatasnya jumlah pohon induk sebagai penghasil biji. Kerapatan vegetasi strata pohon untuk spesies ini hanya 9 individu/ha, dan hanya ditemukan pada bagian tertentu saja. Apabila kondisi ini terus berlanjut, dapat diprediksi bahwa pada masa yang akan datang spesies Sonneratia alba Smith., akan hilang dari komunitas mangrove di Pulau Hoga. Hasil pengamatan di pulau Hoga tidak menemukan tanda-tanda kerusakan di pulau tersebut. Terbatasnya kerapatan individu strata pohon/ha di Pulau Hoga, bukan karena komunitas mangrove di pulau ini telah mengalami kerusakan, tetapi lebih disebabkan oleh vegetasi mangrove dengan ukuran diameter batang yang relatif kecil atau bakau kerdil. Komunitas mangrove di Pulau Hoga, didominasi oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M dan disusul oleh spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. Hasil pengamatan lapangan kedua spesies tersebut ukuran diameter batangnya, tidak ada yang masuk dalam kategori strata pohon (dbh > 20 cm) yang digunakan dalam kajian ini.

134 D. Eksistem Mangrove di Taman Nasional Wakatobi Flora dan Penyebaran Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Hasil pengamatan terhadap spesies mangrove di 3 buah pulau yang dijadikan sampel pengamatan dapat dilihat pada Tabel 40 dan deskripsi masingmasing spesies yang ditemukan disajikan pada Lampiran 32. Tabel 40 Flora mangrove sejati di Taman Nasional Wakatobi. Pengamatan dilakukan dengan teknik jelajah pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga. Di Pulau Kaledupa penjelajahan dilakukan pada komunitas mangrove di Desa Tanomehe, Langge, Balasuna, Ambeuwa, Sombano, dan Desa Horua. Di Pulau Derawa dan Hoga, penjelajahan dilakukan pada seluruh kawasan yang memiliki mangrove. Familia Spesies Pulau Kaledupa Derawa Hoga Rhizophoraceae * Rhizophora mucronata Lamk Rhizophora apiculata Bl Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Sonneratiaceae Sonneratia alba Smith Sonneratia caseolaris (L.) Engl Avicenniaceae Avicennia marina (Forsk.) Vierh Meliaceae Xylocarpus granatum Koenig Xylocarpus molucensis (Lamk.) Roem Combretaceae Lumnitzera littorea (Jack) Voigt Lumnitzera rasemosa Willd Myrsinaceae Aeguceras cornikulatum (L.) Blanco Osbornia octodonta F.v.M Lythraceae Phemphis aciduta Frost. & f Acanthaceae Acanthus ebracteatus Vahl Arecaceae Nypa fructicans Wurmb Euphorbiaceae Excoecaria agallocha L Pteridaceae Acrostichum speciosum Wild Acrostichum aureum Linn Jumlah Keterangan, * = Familia yang dominan, + = ditemukan, - = tidak ditemukan

135 108 Total spesies mangrove yang ditemukan di Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati, yang termasuk dalam 11 familia dan didominasi oleh familia Rhizophoraceae. Apabila dibandingkan dengan data kekayaan flora mangrove di beberapa lokasi lainnya, kekayaan flora mangrove di Taman Nasional Wakatobi lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan hutan mangrove di di Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Yamdena Maluku Tenggara, yang tercatat hanya 19 spesies (Pulumahuny 1998), di Pulau Unggas, Air Bangis, Pasaman tercatat 18 spesies (Hermalena et al. 1999) di Muara sungai Siganoi, Sorong Selatan, Papua tercatat 12 spesies (Rahawarin 2005), di Teluk Kertasari, Sumbawa Barat tercatat hanya 7 spesies (Jupri 2006) dan di Pulau Rambut ditemukan 15 spesies (Kartawinata & Waluyo 1977). Namun demikian, kekayaan flora mangrove di kawasan Taman Nasional Wakatobi ini, lebih rendah apabila dibandingkan dengan daerah mangrove di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang tercatat sebesar 54 spesies (Suhardjono & Sunardi, 2004 diacu dalam Suhardjono & Rugayah 2007), di Teluk Mandar, Polewali, Propinsi Sulawesi Selatan tercatat 28 spesies (Pramudji 2003), di Pesisir Teluk Kayeli, Pulau Buru, Maluku tercatat 25 jenis (Parmudji & Sediadi, 1999 diacu dalam Suhardjono & Rugayah 2007), di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah sebesar 45 spesies (Suhardjono & Partomihardjo 2003), dan di Pulau Sepanjang, Jawa Timur 36 spesies (Suhardjono & Rugayah 2007). Flora mangrove di Taman Nasional Wakatobi, dari 20 spesies yang ditemukan tidak tersebar secara merata. Secara sederhana penyebaran spesies mangrove dilokasi kajian dapat dibedakan menjadi 4 kelompok. Kelompok pertama, spesies yang ditemukan di pulau Kaledupa, Derawa, dan pulau Hoga, yaitu spesies Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Bl, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, dan Acanthus ebracteatus Vahl. Kelompok kedua, spesies yang hanya ditemukan di pulau Kaledupa dan Hoga, yaitu spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, Sonneratia alba Smith, Sonneratia caseolaris (L.) Engl, Avicennia marina (Forsk.) Vierh, dan Phemphis aciduta Frost. & f. Kelompok ketiga, spesies yang hanya ditemukan di pulau Hoga, yaitu spesies Osbornia octodonta F.v.M, dan kelompok keempat, spesies yang hanya ditemukan di pulau Kaledupa, yaitu spesies Nypa fructicans Wurmb, Excoecaria agallocha L, Acrostichum speciosum Wild, dan Acrostichum aureum Linn.

136 Jumlah spesies yang terbanyak ditemukan di Pulau Kaledupa, dan yang terendah ditemukan di Pulau Derawa. Penyebaran komunitas mangrove di area kajian disajikan pada Gambar 38. Tanpaknya semakin luas ukuran pulau, jumlah Jamili NRP. G N W E Sekolah Pascasarjana Istitut Pertanian Bogor S km P. Hoga Pantai ÊÚ Som bano Desa Sombano #Y Kam beu a #Y P. Kaledupa Î Î K. B al as un a #Y Desa Horua #Y Desa Lengge #Y Desa Tanomehe #Y P. Derawa Desa Pajam #Y P. Lentea Desa Tampara #Y Desa Kasuari #Y Keterangan : Garis Pantai Mangrove Darat Gambar 38 Peta penyebaran komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga. Di Pulau Kaledupa komunitas mangrove hampir tersebar di seluruh pulau yang meliputi Desa Tanomehe, Langge, Balasuna, Ambeuwa, Sombano, dan Desa Horua. Komunitas mangrove di Pulau Derawa ditemukan pada beberapa titik atau spot, dan di Pulau Hoga hanya ditemukan pada satu spot/tempat. Gambar diolah dari data Citra Landsat ETN dan data lapangan. spesies yang yang ditemukan semakin banyak. Hal ini disebabkan perbedaan ukuran pulau akan menyebabkan terjadinya perbedaan faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove, seperti substrat lumpur, masukan air tawar. Gambaran umum lingkungan di lokasi penelitian akan diuraikan kemudian, pada saat membahas kondisi umum lingkungan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi.

137 110 Spesies Osbornia octodonta F.v.M., yang hanya ditemukan di pulau Hoga, tanpaknya merupakan spesies khas di pulau-pulau kecil yang pesebarannya sangat terbatas. Pulumahuny (1998) yang melakukan penelitian pada 8 pulau-pulau kecil di Kepulauan Yamdena, Maluku Tenggara melaporkan bahwa spesies Osbornia octodonta F.v.M., hanya ditemukan di pulau Larat. 2. Kerapatan Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Hasil pengamatan terhadap kerapatan spesies mangrove dari di 3 buah pulau yang dijadikan sampel pengamatan dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41 Kerapatan (individu/hektar) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm), tiang (dbh cm), sapihan (dbh cm), dan semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional Wakatobi. Pengambilan sampel dengan teknik plot ukuran 10 x 10 m, dengan jumlah plot di Pulau Kaledupa 101 plot, Derawa 35 plot dan Pulau Hoga 23 plot Spesies Kerapatan (individu/hektar) Pulau Kaledupa Derawa Hoga P T Sp Se P T Sp Se P T Sp Se Rm Ra Bg Sa Sc Am Xg Ct Cd Oo Total Keterangan ; P: strata pohon, T : strata tiang, Sp : strata sapihan, Se : strata semai. Rm : Rhizophora mucronata Lamk., Ra : Rhizophora apiculata Bl., Bg : Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Sa : Sonneratia alba Smith., Sc : Sonneratia caseolaris (L.)Engl., Am : Avecennia marina (Forsk.) Vierh., Xg : Xylocarpus granatum Koenig., Ct : Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., Cd : Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., dan Oo : Osbornia octodonta F.v.M.

138 111 Melalui Tabel 41 dapat ditunjukkan adanya perbedaan kerapatan masingmasing spesies mangrove pada setiap strata pertumbuhan dari setiap pulau. Ada pergantian spesies yang mendominasi pada strata pertumbuhan tingkat pohon, tiang, sapihan dan semai. Di pulau Kaledupa pada strata pohon kerapatan tertinggi diduduki oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, strata tiang spesies Rhizophora mucronata Lamk., strata sapihan dan semai ditempati oleh Ceriops tagal (Perr.). Dipulau Derawa strata pohon tiang, dan sapihan didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk., strata semai oleh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan di pulau Hoga strata pohon dan tiang oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan strata sapihan dan semai didominasi oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M. Berdasarkan fenomena di atas, apabila pertumbuhan vegetasi strata semai semua berhasil mencapai dewasa (strata pohon), maka dapat dipredikasi bahwa pada masa yang akan datang komunitas mangrove di pulau Kaledupa akan mengarah kebentuk klimaks yang didominasi oleh spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., di pulau Derawa oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan di pulau Hoga oleh Osbornia octodonta F.v.M. Asumsi ini masih memerlukan kajian lebih lanjut, mengingat untuk spesies tertentu, misalnya Osbornia octodonta F.v.M, pertumbuhan diameter batangnya tidak ada yang mencapai kategori strata pohon. Secara alamiah pertumbuhan semai suatu tumbuhan, termasuk mangrove tidak semuanya akan dapat berhasil mencapai dewasa. Banyak faktor yang turut mempengaruhinya, misalnya kompetisi. Suatu populasi tumbuhan yang hidup bersama pada suatu habitat, akan terjadi kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada, seperti cahaya, unsur hara, dan ruang tempat tumbuh. Individu yang unggul dalam kompetisi saja yang dapat melangsungkan pertumbuhannya dan yang tidak dapat berkompetisi akan tersingkir dari populasi. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga kondisi lingkungan mangrove khas. Ada perubuhan faktor lingkungan secara gradual mulai dari garis pantai menuju daratan. Setiap spesies mempunyai kisaran ekologis tersendiri dan relung (niche) yang khusus, sehingga pada komunitas mangrove spesies yang tumbuh mulai dari

139 112 garis pantai menuju daratan membentuk perbedaan yang gradual atau yang lazim dikenal dengan istilah zonasi (pemintakatan), yang merupakan salah satu ciri khas komunitas mangrove. Berdasarkan beberapa uraian di atas maka ke arah mana bentuk klimaks suksesi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan Hoga merupakan salah satu topik yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Apalagi dalam kajian ini juga ditemukan bahwa spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., selain berkembang biak dengan propagul, juga memiliki perkembangbiakan secara vegetatif, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Individu baru hasil perkembangbiakan model ini tidak melalui fase strata semai, tetapi sudah masuk dalam kategori strata sapihan dan tiang. 3. Keanekaragaman Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Hasil perhitungan H (indeks keanekaragaman spesies Shanon-Wienner), di komunitas mangrove Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga disajikan pada Tabel 42. Melalui Tabel 42 terlihat bahwa Indeks Keanekaragaman Spesies vegetasi mangrove tergolong rendah, terutama apabila dibandingkan dengan hutan hujan tropis. Rendahnya keanekaragaman jenis pada hutan mangrove disebabkan tumbuhan yang hidup di daerah ini harus beradaptasi dengan genangan air laut dengan salinitas yang tinggi. Tumbuhan mangrove bersifat halophyte facultative, Tabel 42 Indeks Keanekaragaman (H ) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm), tiang (dbh cm), sapihan (dbh cm), dan semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional Wakatobi. Pengambilan sampel dengan teknik plot ukuran 10 x 10 m, dengan jumlah plot di Pulau Kaledupa 101 plot, Derawa 35 plot dan Pulau Hoga 23 plot Strata vegetasi Indeks Keanekaragaman (H ) Kaledupa Derawa Hoga Pohon 1,304 0,69 0,59 Tiang 1,638 0,34 1,41 Sapihan 1,855 0,54 0,99 Semai 1,675 0,63 1,14

140 113 keberadaan kadar garam tidak penting untuk pertumbuhan mangrove. Keuntungan yang diperoleh oleh mangrove pada lingkungan dengan kadar salinitas tinggi adalah kurangnya tumbuhan kompetitor. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang mampu tumbuh pada lingkungan dengan kadar salinitas tinggi. Pada hutan hujan tropis keanekaragaman tumbuhan sangat tinggi dan kompetisi antar dan inter spesies sangat tinggi. 4. Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Berdasarkan hasil kajian dari 3 pulau yang dijadikan pengamatan, terbentuknya zonasi vegetasi mangrove, hanya ditemukan di Pulau Kaledupa (Gambar 12). Pada Pulau Derawa (Gambar 29) dan Pulau Hoga (Gambar 35), tidak menunjukkan adanya zonasi. Faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya zonasi mangrove dalam kajian ini (pulau Kaledupa) adalah variasi tinggi penggenangan air laut di dalam kunitas mangrove. Semakin datar topograpi pantai akan semakin lebar pula komunitas mangrove yang dapat tumbuh, dan tinggi penggenangan akan semakin bervariasi. Pantai pulau Kaledupa rata-rata memiliki kelandaian pantai yang ditumbuhi vegetasi mangrove jauh lebih besar dibanding Pulau Derawa dan Pulau Hoga. Pantai-pantai di Pulau Derawa kebanyakan merupakan pantai yang relatif curam, sehingga kurang mendukung untuk pertumbuhan mangrove dalam bentuk zona (Gambar 39). Dengan bentuk pantai yang curam, akibatnya wilayah pantai yang dapat ditumbuhi mangrove semakin terbatas. Dengan model pantai demikian, maka faktor utama pengendali zonasi mangrove, terutama periode penggenangan dan tinggi penggenagan relatif homogen. Pantai model ini akan selalu tergenang air laut pada setiap pasang harian, akibatnya tidak ada variasi priode dan tinggi penggenangan air laut, sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa

141 114 Gambar 39 Tipe pantai yang umum ditemukan di Pulau Derawa. Berdasarkan ketebalan komunitas mangrove mulai dari mangrove terluar (arah laut) hingga mangrove terdalam (arah darat), habitat mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Hoga, termasuk hutan mangrove tepi (fringing mangrove). Ketebalan komunitas mangrove yang tertinggi di Pulau Kaledupa hanya mencapai 600 m, pulau Derawa hanya 140 m dan di pulau Hoga hanya mencapai 80 m. Hal ini serupa yang ditemukan di pulau-pulau kecil kepulauan Yamdena, Maluku Tenggara, seperti yang ditemukan di pulau Larat 280 m, pulau Seira 300 m dan pulau Wotab 190 m (Pulumahuny 1998). Berbeda pada komunitas mangrove yang ditemukan di Pulau besar lebarnya dapat mencapai puluhan kilometer. Misalnya di Sungai Sembilang, Sumatra Selatan zona mangrove dapat mencapai 18 km (Danielsen & Verheugt 1990 dalam Noor et al. 2006), dan di Teluk Bintuni, Papua lebih dari 30 km (Erftemeijer et al dalam Noor et al. 2006). Keberadaan ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi memiliki arti penting, terutama sebagai pelindung pantai dari abrasi akibat hempasan gelombang dan melindungi pemukiman penduduk dari tiupan angin kencang. Utomo (2003) dalam Kusmana (2010) mengemukakan bahwa hutan mangrove dengan kerapatan 5%, tinggi 5 m dan tebal 50 m dapat meredam 52% tinggi tsunami, dan 38% energi tsunami. Hasil penelitian yang serupa ditegaskan pula oleh Harada dan Kawata (2004) dalam Kusmana (2010) yang

142 115 melaporkan bahwa hutan pesisir yang terdiri atas mangrove, sagu, kasuarina, dan tegakan pohon kelapa dengan kerapatan pohon per ha dengan diameter batang rata-rata 15 cm dan lebar hutannya sekitar 200 m dapat mengurangi tinggi gelombang tsunami sekitar 50-60% dan kecepatan aliran tsunami sekitar 40-60%. Manfaat penting lain dari keberadaan mangrove di pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi adalah bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ditemukan beberapa karakter ekosistem mangrove khas di Taman Nasional Wakatobi, yang masih perlu dikaji lebih lanjut, antara lain : a. Keanekaragaman Habitat Mangrove. Di Pulau Kaledupa dengan jarak yang relatif berdekatan dijumpai variasi habitat mangrove. Dalam pulau tersebut bisa ditemukan vegetasi mangrove yang tumbuh pada habitat batu, pasir, pecahan karang, habitat rawa dan habitat lumpur, dengan fenologi vegetasi yang berbeda (Gambar 40). Hal ini mempunyai arti penting untuk studi ekologi, baik outoecology maupun synecology mangrove. b. Penyebaran Flora Mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa flora mangrove di Taman Nasional Wakatobi, tidak tersebar merata antar pulau. Spesies Xylocarpus granatum Koenig., Xylocarpus molucensis (Lamk.) Roem., Lumnitzera littorea (Jack) Voigt., Lumnitzera rasemosa Willd., Aeguceras cornikulatum (L.) Blanco., Excoecaria agallocha, Acrostichum speciosum Wild, Acrostichum aureum Linn., dan spesies Nypa fructicans Wurmb., hanya ditemukan di Pulau Kaledupa dan spesies Osbornia octodonta F.v.M., hanya ditemukan di Pulau Hoga Kehadiran organisme (tumbuhan) pada suatu habitat adalah hasil perpaduan dengan keadaan lingkungan setempat. Penyebarannya vegetasi dapat melalui dua cara, yaitu : (1) secara alami akibat perubahan geologis dan iklim dari zaman dulu sampai sekarang, (2) karena kegiatan manusia. Iklim sangat mempengaruhi pesebaran flora dan fauna di alam (Holdridge et al dalam Woodward 1996). Pulau-pulau yang yang dijadikan sampel dalam pengamatan ini letaknya relatif dekat (Gambar 4). Pada kondisi tersebut tidak memungkinkan ditemukan adanya variasi iklim, terutama iklim makro, dan pada pulau-pulau yang dijadikan sampel lokasi penelitian tidak ada kegiatan penanaman mangrove. Faktor apa yang menjadi faktor pembatas pada

143 116 penyebaran flora mangrove di Taman Nasional Wakatobi, merupakan hal penting dan menarik pada studi fitogeographi. a. Habitat batu b. Habitat pasir c. Habitat rawa d. Habitat lumpur Gambar 40 Variasi habitat mangrove di Taman Nasional Wakatobi. c. Pola Adaptasi Perkembangbiakan Secara Alami. Biji atau propagul merupakan alat perkembangbiakan (vivifar) (Gambar 15), pada spesis Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl.,. Hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa propagule kedua jenis tersebut cukup melimpah. Namun demikian pola adaptasi perkembangbiakan sangat dominan dengan cara vegetatif (Gambar 20). Hal ini diduga terkait dengan faktor angin dan ombak

144 117 yang kencang, substrat yang keras, dan sistem perakaran (akar tunjang) yang sangat rapat. Berdasarkan beberapa karakter ekosistem mangrove khas yang ditemukan pada pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi, layak dipertimbangkan pada kawasan ini dikembangkan pusat studi mangrove pada pulau-pulau kecil, sebagai salah satu upaya pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. 5. Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Hasil perhitungan regenerasi alami vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa dari 3 buah transek pengamatan disajikan pada Tabel 43. Tabel 43 Kerapatan (total individu/ hektar) vegetasi mangrove strata semai (tinggi > 1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional Wakatobi. Pengambilan sampel dengan teknik plot ukuran 10 x 10 m, dengan jumlah plot di Pulau Kaledupa 101 plot, Derawa 35 plot dan Pulau Hoga 23 plot Spesies Kerapatan (total individu/hektar) Kaledupa Derawa Hoga Rhizophora mucronata Lamk. 450,50 271,43 - Rhizophora apiculata Bl. 136, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. 305,94 785,71 478,26 Sonneratia alba Smith 18, Sonneratia caseolaris (L.) Engl ,96 Avecennia marina (Forsk.) Vierh. 205, Xylocarpus granatum Koenig 22, Ceriops Tagal (Perr.) C.B. Rob ,55 * - 773,91 Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 1.736,63* - - Osbornia octodonta F.v.M ,48* Jumlah Keterangan * : Spesies yang mempunyai tingkat regenerasi alami normal/baik Melalui Tabel 43 ditunjukkan bahwa kepadatan semai bervariasi antar spesies dan antar pulau, dengan kebanyakan spesies rata-rata memiliki kepadatan

145 118 semai yang relatif rendah, ini mengisyaratkan bahwa tingkat regenerasi alami kebanyakan spesies vegetasi mangrove di kawasan ini tergolong rendah atau tidak normal. Rendahnya semai pada beberapa spesies vegetasi mangrove tersebut, terkait dengan kerapatan pohon induk yang juga relatif rendah, seperti disajikan pada Tabel 41. Berdasarkan SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/sylvikultur hutan payau bahwa komunitas mangrove memiliki regenerasi alami normal apabila memiliki jumlah semai batang/ha. Atas dasar ini maka spesies yang memiliki regenerasi yang tergolong baik ditemukan pada spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan Ceriops decandra (Griff.) di Pulau Kaledupa, dan spesies Osbornia octodonta F.v.M di Pulau Hoga. Apabila fenomena ini terus berlanjut secara alamiah, maka pada masa yang akan datang ketiga spesies tersebut akan tetap eksis. Di pulau Kaledupa akan didominasi oleh Ceriops sp dan di pulau Hoga akan didominasi oleh Osbornia octodonta F.v.M. Kerapatan semai Rhizophora mucronata Lamk di pulau Kaledupa dan Derawa (Tabel 42) berdasarkan kriteria SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tergolong rendah. Hal ini juga ditemukan di hutan primer konsesi hutan mangrove PT Karyasa Kencana Kalimantan Timur. Kerapatan semai Rhizophora mucronata Lamk di tempat ini hanya mencapai 133 individu/ha (Kusmana, 1994). Hal ini semakin memperkuat temuan lapangan bahwa Rhizophora mucronata Lamk, untuk mempertahankan kelansungan hidupnya, selain berkembang biak secara generatif dengan propagul, juga berkembang biak secara vegetatif (melalui percabangan), sebagaimana telah diuraikan pada bagian permudaan alami vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, dimana individu baru yang dihasilkan tidak masuk lagi dalam kategori strata semai, tetapi sudah masuk kategori strata sapihan/belta. Kemampuan perkembangbiakan secara vegetatif ini sehingga walaupun secara umum spesies Rhizophora mucronata Lamk mendominasi pada zona depan (arah laut) pada berbagi tempat, seperti pulau-pulau kecil di kepulauan Yamdena, Maluku Maluku Tenggara (Pulumahuny 1998), tetapi jumlah kerapatan semai berdasarkan kriteria ini umunya tergolong rendah.

146 Sebaran Diameter Batang Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Struktur tegakan seluruh spesies mangrove dengan parameter sebaran kelas diameter batang pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, Pulau Derawa, dan Pulau Hoga termasuk model tipe L atau bentuk kurva J terbalik yang termasuk dalam kategori model grafik tegakan tidak seumur. Model ini memiliki makna bahwa jumlah individu yang memiliki ukuran diameter batang kecil jumlahnya sangat banyak, kemudian jumlah tersebut semakin menurun seiring dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sampai mencapai ukuran diameter batang yang paling besar dengan jumlah individu yang paling sedikit. Model demikian berisikan paling sedikit tiga penyusun utama, yaitu spesies pada tingkat semai (seedling), sapihan (sapling) dan pohon dewasa (mature). Bentuk demikian merupakan salah satu ciri dari populasi tumbuhan yang hidup secara alamiah. Spesies Xylocarpus granatum di Pulau Kaledupa Rhizophora mucronata Lamk., di Pulau Derawa dan spesies Sonneratia alba Smith di Pulau Hoga termasuk dalam kategori bentuk tegakan tidak teratur. Bentuk tegakan tersebut menunjukkan bahwa individu-individu yang berdiameter kecil jumlahnya terbatas, dan akan menurun bersamaan dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sedangkan individu-individu yang memiliki ukuran diameter pada rentangan ratarata jumlahnya paling banyak, dan menurun kembali pada ukuran diameter diatas ukuran rentangan rata-rata. Model grafik tegakan tidak teratur merupakan indikasi bahwa dalam populasi tumbuhan yang mengalami gangguan baik secara alamiah maupun non alamiah. Struktur tegakan seluruh spesies vegetasi mangrove dengan parameter sebaran kelas diameter batang pada komunitas mangrove di Taman Nasional Wakatobi termasuk tipe L atau bentuk kurva J terbalik yang termasuk dalam kategori model grafik tegakan tidak seumur, memiliki makna bahwa jumlah individu yang memiliki ukuran diameter batang kecil jumlahnya sangat banyak, kemudian jumlah tersebut semakin menurun seiring dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sampai mencapai ukuran diameter batang yang paling besar dengan jumlah individu yang paling sedikit. Model ini berisikan paling sedikit tiga penyusun utama, yaitu spesies pada tingkat semai (seedling), sapihan

147 120 (sapling) dan pohon dewasa (mature). Bentuk demikian merupakan salah satu ciri dari populasi tumbuhan yang hidup secara alamiah. Spesies Xylocarpus granatum di Pulau Kaledupa Rhizophora mucronata Lamk., di Pulau Derawa dan spesies Sonneratia alba Smith di Pulau Hoga termasuk dalam kategori bentuk tegakan tidak teratur. Bentuk tegakan tersebut menunjukkan bahwa individu-individu yang berdiameter kecil jumlahnya terbatas, dan akan menurun bersamaan dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sedangkan individu-individu yang memiliki ukuran diameter pada rentangan rata-rata jumlahnya paling banyak, dan menurun kembali pada ukuran diameter diatas ukuran rentangan rata-rata. Model grafik tegakan tidak teratur merupakan indikasi bahwa dalam populasi tumbuhan yang megalami gangguan baik secara alamiah maupun non alamiah. Banyak faktor yang diduga menyebabkan kerusakan komunitas mangrove. Di Pulau Kaledupa faktor penyebab utama kerusakan mangrove akibat intervensi dari manusia untuk berbagai keperluan, baik oleh masyarakat di sekitar kawasan maupun oleh pemerintah setempat. Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor penyebab kerusakan komunitas mangrove di Pulau Kaledupa adalah konversi komunitas mangrove menjadi pemukiman penduduk, lahan tanaman budidaya, pembangunan sarana umum (sekolah, pasar, jalan desa, pendaratan perahu) dan pengambilan kayu bakau oleh masyarakat untuk kayu bakar, tiang/patok pada budidaya rumput laut, tiang jaring ikan dan bahan pembuat rumah. Di Pulau Derawa dan Pulau Hoga tanda-tanda kerusakan komunitas mangrove akibat aktifitas manusia maupun aktifitas alam tidak ditemukan. 7. Kondisi Umum Lingkungan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi a. Pulau Kaledupa Wilayah pulau Kaledupa terletak antara 5 20'-5 40' Lintang Selatan dan ' ' Bujur Timur. Luas pulau Kaledupa adalah 6.925,2 ha atau 69,25 Km 2. Topografi Pulau Kaledupa umumnya datar hingga curam. Topografi yang datar terletak pada bagian utara Pulau Kaledupa sedangkan yang curam terletak pada bagian selatan dan timur. Pulau Kaledupa dikelilingi oleh rataan terumbu karang yang sangat luas. Karang Kaledupa merupakan atol yang terletak disebelah

148 121 barat Pulau Lintea, sebelah selatan Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-Wangi serta memanjang kearah Tenggara dan Barat Laut. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer, yang merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi. Gelombang di daerah ini sangat tergantung pada musim, yaitu musim timur dan musim barat. Pada musim timur ( Juni hingga Agustus), gelombang sangat kuat dibandingkan dengan musim barat (Desember hingga Februari). Musim timur gelombang kuat karena pengaruh tiupan angin dari arah Laut Banda, sedangkan pada musim barat gelombang tidak terlalu besar dibandingkan pada musim timur karena arah angin terhalang oleh Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Buton. Pada beberapa bagian di daerah Pulau Kaledupa khususnya bagian utara hingga ke timur relatif terlindung dari gelombang karena terdapat karang penghalang Pulau Hoga, Pulau Lentea dan Pulau Derawa baik pada musim barat maupun musim timur. Gelombang yang relatif tenang berlangsung bulan September hingga November dan pada bulan Maret hingga Mei. Jumlah penduduk di Pulau Kaledupa pada tahun 2006 sekitar jiwa yang tersebar pada wilayah pesisir meliputi Desa Horua, Sombano, Laulua, Sama Bahari, Ambeuwa, Lagiwae, Ollo, Buranga, Balasuna, Tampara, Kasuari, Pajang, Sandi, Langge, dan Tanomeha. Mata pencaharian sebagian besar penduduk sebagai nelayan dan petani. Tanaman budidaya yang cukup besar adalah kelapa dan umbi-umbian. Sumber air tawar di Pulau Kaledupa dapat ditemukan hampir merata di seluruh kawasan, terutama di bagian pesisir. Indikasi ini dapat dilihat bahwa sumber air bersih untuk kebutuhan rumah tangga 100% menggunakan sumur gali (Gambar 41), baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Pengamatan pada musim hujan di Pulau Kaledupa banyak ditemukan sungai-sungai kecil yang umumnya bermuara ke komunitas mangrove.

149 122 a b Gambar 41 Sumber air tawar di Pulau Kaledupa : a. Sumur gali di Desa Balasuna yang letaknya berbatasan dengan zona mangrove terluar (arah darat), dan tetap berair baik pada musim kemarau maupun musim hujan, b. Contoh sungai kecil di Pulau Kaledupa yang hanya berair pada musim hujan. Foto diambil saat penelitian lapangan. Kondisi topografi Pulau Kaledupa yang umumnya datar hingga curam, dan banyaknya lahan pertanian di pulau ini, maka sumber pelumpuran di pantai Pulau Kaledupa relatif besar, baik yang berasal dari erosi lahan pertanian oleh air hujan, maupun pelumpuran yang dibawa oleh sungai-sungai kecil yang ada. Kondisi ini akan berpengaruh pada subtrat pantai yang umumnya berlumpur agak dalam. b. Pulau Derawa Luas Pulau Derawa adalah 397,7 Ha atau 3,98 Km 2. Kondisi daratan Pulau Derawa berbatu dan berpasir dengan ketinggian daratan mencapai ± 100 m diatas permukaan laut. Gelombang laut di Pulau Derawa tergantung pada musim, yang secara umum relatif sama pada pulau-pulau lain di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Letak pulau yang relatif terbuka, sehingga baik pada musim timur maupun barat, angin bertiup sangat kencang dan gelombang laut sangat kuat. Jumlah penduduk di Pulau Derawa pada tahun 2006 sekitar 605 jiwa, yang tersebar di dua dusun yaitu Dusun Horuso dan Dusun Watukiola dengan pencaharian utama sebagai petani rumput laut dan nelayan. Sumber air tawar di Pulau Derawa hanya bersumber dari air hujan. Indikasi ini dapat diketahui bahwa di pulau ini tidak ditemukan adanya sumur gali dan

150 123 sungai, baik kecil maupun besar. Hampir semua rumah penduduk di pulau ini, mempunyai bak penampungan air hujan (Gambar 42) untuk memenuhi sumber air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Pada waktu musim kemarau penduduk yang tinggal di Pulau Derawa mengambil air tawar dari daerah tetangga, bahkan sampai kedaratan Pulau Kaledupa. Kondisi topografi wilayah daratan Pulau Derawa yang umumnya berbatu dan tidak adanya sungai, maka sumber pelumpuran di pantai Pulau Derawa relatif kecil. Sumber pelumpuran hanya dari aliran permukaan (runoff ) lahan pertanian oleh air hujan dan sumber pelumpuran dari arus laut. Tipe substrat pantai Pulau Derawa umumnya substrat berpasir, pasir berlumpur tipis, dan pasir berbatu. Gbr. 42 Bak penampungan air hujan masyarakat di Pulau Derawa. Semakin tinggi status ekonomi masyarakat, ukuran bak semakin besar, sehingga dapat memenuhi kebutuhan air besih sampai musim kemarau. c. Pulau Hoga Luas Pulau Hoga adalah 440,144 ha atau 4,40 Km 2. Kondisi daratan Pulau Hoga berbatu dan berpasir putih. Gelombang laut di pulau ini secara umum relatif sama pada pulau-pulau lain di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Letak pulau

151 124 yang relatif terbuka, sehingga baik pada musim timur maupun barat, angin bertiup sangat kencang dan gelombang laut sangat kuat. Pulau Hoga secara umum merupakan pulau yang tidak berpenghuni. Keberadaan masyarakat di pulau ini terkait dengan aktivitas pariwisata, baik dalam negeri maupun dari luar negeri. Sumber air tawar di Pulau Hoga hanya bersumber dari air hujan, ini terbukti bahwa di pulau ini tidak ditemukan adanya sumur gali dan sungai, baik kecil maupun besar. Kebutuhan air tawar untuk memenuhi sumber air bersih dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi para wisatawan baik pada musim hujan maupun musim kemarau didatangkan dari daerah tetangga, umumnya dari daratan Pulau Kaledupa. Kondisi wilayah daratan Pulau Hoga berbatu dan berpasir putih, dan dengan tidak adanya sungai serta lahan pertanian, maka sumber pelumpuran di pulau ini sangat kecil. Pelumpuran yang ada terutama karena terbawa arus laut dari luar pulau. Tipe substrat pantai Pulau Hoga umumnya berpasir putih, dan pasir berbatu. Karakteristik lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mangrove setiap pulau cukup bervariasi. Ukuran pulau yang paling luas ditemukan di Pulau Kaledupa, dan yang paling kecil ditemukan di Pulau Derawa. Ukuran luas pulau tidak secara langsung berhubungan dengan jumlah area yang dapat ditumbuhi mangrove, misalnya ukuran Pulau Hoga lebih besar dari Pulau Derawa, namun demikian komunitas mangrove di Pulau Hoga hanya ditemukan pada satu tempat, sedangkan pada Pulau Derawa komunitas mangrove dapat ditemukan pada beberapa tempat (Gambar 38). Faktor-faktor yang diduga menjadi faktor pembeda penyebaran komunitas mangrove diantara pulau tersebut adalah faktor gelombang, pelumpuran dan sumber air tawar (Chapman 1976; Soekardjo 1993). Mangrove akan tumbuh dengan baik pada wilayah yang memiliki perlindungan terhadap hempasan ombak yang keras. Ombak di sekitar Pulau Kaledupa relatif lebih kecil, baik pada musim timur maupun musim barat dibanding dengan ombak yang terjadi di Pulau Derawa dan Pulau Hoga. Letak topografis Pulau Kaledupa terlindung oleh beberapa pulau yang ada disekitarnya dan oleh Atol Kaledupa.

152 125 Mangrove dapat tumbuh pada substrat pasir, pecahan karang dan substrat berbatu (Ding Hou 1958; Kint 1934), tetapi sebagian besar vegetasi mangrove tumbuh baik pada tanah berlumpur (Chapman 1976). Di lokasi penelitian pelumpuran yang tinggi hanya ditemukan di Pulau Kaledupa, akibat erosi lahan pertanian yang dibawa oleh air hujan dan sungai-sungai kecil yang banyak ditemukan di pulau ini. Faktor lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mangrove adalah input air tawar. Beberapa jenis mangrove dapat tumbuh pada tanah dengan salinitas tinggi, tetapi secara umum mangrove akan tumbuh subur pada area yang mendapat masukkan air tawar ( fresh water seepage) secara teratur (Soekardjo 1993). Sumber air tawar yang masuk ke dalam komunitas mangrove dalam jumlah yang cukup pada lokasi kajian, hanya ditemukan di Pulau Kaledupa. Hal ini terbukti bahwa di pulau ini ditemukan spesies Nypa fructicans Wurmb, yang merupakan vegetasi mangrove yang hanya dapat tumbuh apabila ada suplei air tawar yang cukup, dan tidak ditemukan pada ke dua pulau lainnya. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan mangrove, seperti perlindungan ombak, pelumpuran dan sumber air tawar lebih banyak ditemukan di Pulau Kaledupa. Hal inilah yang diduga menjadi faktor utama sehingga komunitas mangrove di Pulau Kaledupa tersebar secara luas dan jumlah spesies yang terbanyak. Distribusi spesies vegetasi mangrove telah banyak dikaji oleh para ahli (misalnya; Tomlinson 1986; Ellison et al. 1999). Setiap spesies vegetasi mangrove mempunyai kisaran ekologis tersendiri dan masing-masing jenis mempunyai relung (niche) yang khusus. Dari ketiga pulau yang dijadikan sampel penelitian diduga memiliki karakter lingkungan khas yang berbeda, sehingga Xylocarpus spp., Lumnitzera spp., Aeguceras cornikulatum (L.) Blanco, Excoecaria agallocha L., Acrostichum spp., dan spesies Nypa fructicans Wurmb hanya ditemukan di Pulau Kaledupa dan spesies Osbornia octodonta F.v.M. hanya ditemukan di Pulau Hoga. Dengan demikian keberadaan komunitas mangrove pada masing-masing pulau di Taman Nasional Wakatobi memiliki arti penting dalam kajian ekologi. Misalnya untuk mengkaji ekologi komunitas (synekology) dan ekologi populasi (outoekology) spesies Nypa fructicans Wurmb hanya dapat dilakukan di Pulau Kaledupa, Osbornia octodonta F.v.M., hanya dapat dilakukan di Pulau Hoga, dan spesies umum

153 126 seperti Rhizophora mucronata Lamk. dan Bruguiera gymnorrhiza (L.) dapat dilakukan baik pada Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga. Atas dasar ini maka keberadaan komunitas mangrove kerusakan lebih lanjut. di Kepulauan Wakatobi perlu dijaga dari 8. Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi Pada Tabel 44 disajikan sifat kimia dan tekstur tanah vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga. Hasil uji korelasi menunjukkan ada hubungan yang signifikan untuk beberapa faktor lingkungan tanah. Faktor faktor lingkungan tanah yang mempunyai hubungan signifikan dengan pola komunitas adalah : ph, Kalium (tersedia), dan Salinitas, sedangkan kandungan Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), fosfat (tersedia) dan tekstur tanah (liat, debu dan pasir) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove di lokasi kajian. Tabel 44 Sifat kimia tanah dan tektur tanah (%) vegetasi mangrove di Taman Nasional Wakatobi. Pengambilan sampel dengan teknik plot ukuran 10 x 10 m, dengan jumlah plot di Pulau Kaledupa 101 plot, Derawa 35 plot dan Pulau Hoga 23 plot Faktor abiotik tanah Pulau Kaledupa Derawa Hoga ph 6,15 a 7,24 b 6,11 a N-Total (%) 0,36 a 0,41 a 0,33 a P (ppm) 12,51 a 14,20 a 11,52 a K (me/100 g) 0,28 a 0,31 a 0,51 b Bahan Organik Tanah (%) 14,73 a 16,43 a 13,75 a Salinitas ( ) 15,34 a 14,36 a 6,5 b Substrat Pasir 50,46 a 48,79 a 47,32 a Substrat Debu 24,41 a 20,76 a 20,98 a Substrat Liat 25,22 a 30,46 a 31,83 a Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p=0,05) Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini diduga karena tiap pola

154 127 komunitas mempunyai pengaruh faktor habitat dan tingkat suksesi yang berbeda. Seperti habitat mangrove keadaan pasang-surut genangan air laut secara periodik mempengaruhi ketersediaan unsur hara. Pada penelitian ini ph tanah menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Nilai ph yang tertinggi ditemukan di Pulau Derawa, tetapi masih masuk dalam kategori netral. Nilai ph di Pulau Kaledupa dan Hoga termasuk dalam kategori agak masam. Nilai ph cukup penting, karena berpengaruh pada kandungan hara tanah, yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan tumbuhan. Kandungan Kalium tersedia tanah menunjukkan hubungan yang nyata dengan pola komunitas yang terbentuk. Kerapatan vegetasi ikut mempengaruhi temperatur tanah. Untuk daerah yang temperatur tanahnya berfluktuasi sangat tinggi, fiksasi K juga berubah-rubah. Makin tinggi temperatur tanah, makin sedikit ion K yang terfiksasi. Nilai Kalium tersedia di Pulau Hoga tergolong sedang, dan nilai Nilai Kalium tersedia di Pulau Kaledupa dan Derawa tergolong rendah. Faktor lingkungan yang khas bagi semua tumbuhan mangrove adalah tanah dengan kandungan salinitas tinggi. Dalam penelitian ini faktor salinitas tanah menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Mangrove umumnya toleran terhadap salinitas yang tinggi, dibandingkan dengan tumbuhan non-mangrove. Namun demikian toleransi terhadap salinitas juga bervariasi diantara spesies mangrove. Sebagai contoh seedling (semai) Rhizophora mucronata Lamk., tumbuh baik pada kadar salinitas air 30, tetapi Rhizophora apiculata Bl., tumbuh baik pada kadar salinitas 15 (Kathiresan & Thangam 1990; Kathiresan et al. 1996b). Sonneratia alba Smith tumbuh pada dearah dengan kadar salinitas antara 2 dan 18, tetapi jenis Sonneratia lanceolata hanya mampu beradaptasi pada kadar salinitas sampai 2 (Ball and Pidsley 1995). Secara umum mangrove lebih subur tumbuh pada kadar salinitas rendah (Kathiresan et al.1996). Hasil ekperimen menujukkan bahwa pada salinitas tinggi tumbuhan mangrove lebih banyak menggunakan energi untuk menjaga

155 128 keseimbangan air dan konsentrasi ion, dibandingkan untuk produktivitas primer dan pertumbuhannya (Clough l984). Di pantai Pasisifik dan Amerika tengah sumber air tawar (sebagian besar dari curah hujan dan aliran permukaan atau runoff, mempengaruhi produktivitas fenologi, pertumbuhan dan kematian jenis Avicennia bicolor (Jimenez 1990). Namun demikian kadar salinitas yang rendah akibat lamanya periode penggenangan, memberikan kontribusi kepada degradasi mangrove akibat berkurangnya sifat turgor sel dan berkurangnya respirasi sel. Tumbuhan mangrove memiliki sifat kompetisi yang rendah dibanding tumbuhan non-mangrove pada daerah dengan salinitas rendah. Sebgai contoh di Amerika mangrove rivarian menghilang di muara sungai Amazon dan muara sungai Orinoco dan digantikan oleh golongan tumbuhan makrofita air tawar. Kadar salinitas yang tinggi juga berpengaruh terhadap spesies mangrove. Sebagai contoh, kadar salinitas yang tinggi mengurangi biomassa Bruguiera gymnorrhiza (Naidoo 1990), dan menyebabkan perubahan kuncup seedling jenis Rhizophora mangle (Koch & Snedaker 1997). Kadar salinitas tinggi menguragi ukuran luas daun, meningkatkan tekanan osmotik daun, meningkatkan rasio luas daun/berat daun dan penurunan kadar N total, K dan P (Medina et al. 1995). Hutching & Saenger (1987), mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam, yaitu : (1) Sekresi garam ( salt extrusion/salt secretion), yaitu flora mangrove menyerap air dengan salititas tinggi kemudian mengekresikan garam dengan dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis, Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada daun), (2) Mencegah masuknya garam (salt exclusion), yaitu flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegialitis, dan Acrostichum, (3) Akumulasi garam (salt accumulation). Flora mangrove sering kali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi

156 129 akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizophora, Sonneratia, dan Xylocarpus. Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan, dapat diambil beberapa parameter sebagai karakteristik khas ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil, dalam kasus ini pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, yaitu : a. Kerapatan Spesies Mangrove Ekosistem hutan pada pulau-pulau kecil (small islands) memiliki kondisi pertumbuhan yang khusus, misalnya vegetasi hutan didominasi oleh pohon-pohon yang tumbuh lambat, diameter batang pohon umumnya tidak terlalu besar dengan kerapatan masing-masing spesies relatif rendah, jika dibandingkan dengan ekosistem mangrove pada pulau-pulau besar(continental islands). Kerapatan spesies mangrove di di pulau-pulau kecil Taman Nasional Wakatobi (Tabel 46) menunjukkan hasil yang berbeda jika dibandingkan dengan kerapatan spesies mangrove daerah-daerah lain di Indonesia. Komunitas mangrove di pulau Kaledupa dan Derawa didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk. Di pulau Keledupa spesies Rhizophora mucronata Lamk pada strata pohon memiliki kerapatan 18 individu/ha, tiang 125 individu/ha, sapling 299 individu/ha dan semai 450 individu/ha. Di pulau Derawa kerapatan spesies Rhizophora mucronata Lamk strata pohon 140 individu/ha, tiang 700 individu/ha, sapling 863 individu/ha dan semai 271 individu/ha, dan di pulau Hoga didominasi oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M, yang tingkat pertumbuhan diameter batang yang tertinggi hanya masuk kategori strata tiang (dbh cm), dengan kerapatan 70 individu/ha. Penelitian yang dilakukan oleh Kusmana (1994) di konsesi hutan mangrove PT Karyasa Kencana Kalimantan Timur memberikan hasil bahwa vegetasi mangrove strata pohon di hutan primer didominasi oleh spesies Rhizophora apiculata dengan kerapatan 126 individu/ha, pada strata pancang dan semai didominasi oleh spesies Bruguiera parviflora, dengan kerapatan masing-masing 664 individu/ha dan individu/ha. Pengamatan pada hutan primer mangrove di Padang Tikar dan Bunbun, Kecamatan Batu Ampar, diperoleh hasil bahwa

157 130 kerapatan spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk pada strata pohon 308 individu/ha, pancang individu/ha, dan semai 3.815/individu/ha. Kerapatan spesies Rhizophora apiculata Bl pada strata pohon 373 individu/ha, pancang individu/ha dan semai individu/ha (Mulia 1998). Tampak bahwa kerapatan vegetasi mangrove strata pohon di pulau-pulau kecil Taman Nasional Wakatobi memiliki kerapatan yang lebih rendah jika dibandingkan kerapatan pohon pada pulau-pulau besar (continental islands). Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Faktor lingkungan pada pulau-pulau besar lebih mendukung untuk pertumbuhan mangrove, dibandingkan dangan faktor lingkungan di pulau-pulau kecil (small islands). b. Zonasi Spesies Mangrove Berdasarkan ketebalan vegetasi mangrove mulai dari mangrove terluar (arah laut) hingga mangrove terdalam (arah darat), ketebalan ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil (small islands) memiliki lebar zona/ketebalan mangrove yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan ekosistem mangrove pada pulau-pulau besar (continental islands). Lebar zona/ketebalan komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, yang tertinggi hanya mencapai 600 m, di pulau Derawa hanya 140 m dan di pulau Hoga hanya mencapai 80 m. Hal ini serupa yang ditemukan di pulau-pulau kecil kepulauan Yamdena, Maluku Tenggara, seperti yang ditemukan di pulau Larat 280 m, pulau Seira 300 m dan pulau Wotab 190 m (Pulumahuny 1998). Ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil tergolong hutan mangrove tepi (fringing mangrove). Berbeda pada komunitas mangrove yang ditemukan pada pulau-pulau besar, ketebalannya dapat mencapai puluhan kilometer. Misalnya di Sungai Sembilang, Sumatra Selatan zona mangrove dapat mencapai 18 km (Danielsen & Verheugt 1990 dalam Noor et al. 2006), dan di Teluk Bintuni, Papua lebar zona lebih dari 30 km (Erftemeijer et al dalam Noor et al. 2006). Hasil penelitian di pulau Kaledupa menujukkan bahwa pertumbuhan mangrove dalam bentuk zona turut dipengaruhi oleh tinggi penggenangan air laut pada saat pasang. Tinggi penggenangan maksimal pada formasi mangrove

158 131 terdepan (arah laut) di pulau Kaledupa sebesar 146 cm. Fenomena ini cukup menarik apabila dikaitkan dengan kenaikan muka muka air laut. Kenaikan muka air laut (sea level rise) akibat pemanasan global (global warming) karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) akan menimbulkan berbagai dampak pada ekosistem mangrove. Secara teoritis kenaikan muka air laut akan menggenangi sebagian wilayah pesisir, sehingga tinggi penggenangan air laut di dalam komunitas mangrove yang ada saat ini bertambah tinggi dan menyebabkan air laut ini terus merangsek jauh ke arah daratan. Bagaimana dampak kenaikan permukaan air laut terhadap ekosistem mangrove, masih memerlukan kajian lebih lanjut. Berdasarkan beberapa uraian dan temuan dalam penelitian ini, peneliti mengajukan 2 hipotesis tentang dampak kenaikan permukaan air laut terhadap ekosistem mangrove, yaitu : i. Perubahan arah suksesi mangrove. Kenaikan muka air laut akan menyebabkan instrusi ke arah daratan/hulu sungai. Akibatnya tinggi penggenangan dan salinitas di wilayah pesisir akan berubah. Kondisi ini akan berpengaruh pada ekosistem mangrove. Suksesi ekosistem mangrove tidak lagi ke arah laut, pada substrat-substrat baru yang terbentuk ke arah laut, tetapi sebaliknya ke arah daratan dan hulu sungai. Kondisi ini terutama akan terjadi pada pulau-pulau besar dengan topograpi pantai datar pada muara sungai, sehingga mendukung pertumbuhan mangrove. ii. Hilangnya ekosistem mangrove. Pada pantai curam dengan ketebalan ekosistem mangrove yang yang relatif sempit (mangrove tepi), kenaikan muka air laut akan menyebabkan seluruh kawasan mangrove akan tergenang yang cukup dalam, sehingga ketinggian penggenangan di dalam komunitas mangrove meningkat dan tidak mempunyai ruang lagi untuk melakukan migrasi kea rah darat. Akibatnya ekosistem mangrove akan mengalami kepunahan. Kondisi ini terutama akan terjadi pada pulau-pulau kecil yang umumnya merupakan mangrove tepi, dengan topograpi pantai curam. Berdasarkan hipotesis di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kenaikan muka air laut secara signifikan, keberadaan ekosistem mangrove pada

159 132 pulau-pulau kecil, seperti pulau Kaledupa, Derawa, dan Hoga lebih rentan mengalami kepunahan pada masa yang akan datang. c. Kondisi Umum Lingkungan Mangrove Ekosistem hutan mangrove pada pulau-pulau kecil (small islands) memiliki tingkat sensitivitas ekosistem yang sangat rapuh, jika dibandingkan dengan ekosistem hutan pada pulau-pulau besar (continental islands). Hal ini disebabkan faktor-faktor lingkungan pada pulau-pulau kecil, kurang mendukung untuk pertumbuhan mangrove secara optimal. Banyak faktor lingkungan yang menjadi faktor pembeda pertumbuhan mangrove pada pulau-pulau kecil, seperti substrat lumpur, masukan air tawar, dan perlindungan dari ombak dan angin kencang. Chapman (1977) mengemukakan bahwa sebagian besar spesies mangrove tumbuh subur pada tanah berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Pelumpuran pada pulaupulau kecil umumnya sangat terbatas. Di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga pelumpuran hanya bersumber dari erosi lahan pertanian yang dibawa oleh air hujan melalui aliran permukaan, yang terjadi pada musim penghujan. Substrat mangrove di pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga umumnya berupa substrat pasir dan pecahan karang. Soekardjo (1993) mengemukakan bahwa mangrove umumnya ditemukan pada areal yang secara teratur disapu oleh pasang-surut dan sapuan air tawar (fresh water seepage). Mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada pantai yang memiliki sungai yang besar. Sapuan air tawar dibutuhkan untuk menghilangkan salinitas yang berlebihan. Sumber air tawar yang masuk ke dalam komunitas mangrove di pulau Kaledupa, Derawa, dan pulau Hoga hanya bersumber dari air hujan, yang terjadi pada musim penghujan. Pada pulau-pulau tersebut tidak ditemukan adanya sungai yang mengalir sepanjang tahun. Sungaisungai kecil yang umumnya hanya berair pada musim penghujan, hanya ditemukan di pulau Kaledupa, yang memiliki ukuran pulau jauh lebih besar, jika dibandingkan dengan pulau Derawa dan Hoga. Mangrove akan tumbuh dengan baik pada wilayah yang memiliki perlindungan terhadap hempasan ombak dan angin kencang (Chapman 1977).

160 133 Pada pulau-pulau kecil umumnya memiliki tiupan angin yang relative kencang sepanjang tahun. Di pulau Kaledupa, Derawa, dan pulau Hoga tiupan angin dengan kecepatan 20 knot/jam, terjadi pada musim barat ( Desember Februari). Hutan mangrove pada pulau-pulau kecil secara umum memiliki transpirasi tinggi sebagai akibat frekuensi terpaan angin laut yang berlangsung hampir secara terus menerus, sehingga mekanisme pembukaan dan penutupan stomata menjadi terganggu, dan proses fotosintesis berlangsung tidak normal karena konsentrasi CO 2 menjadi menurun disekitar atmosfer daun karena dipindahkan oleh angin ke tempat lain. Kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan mangrove, seperti perlindungan ombak, pelumpuran dan sumber air tawar lebih banyak ditemukan pada pulau-pulau besar. Hal inilah yang diduga menjadi faktor utama sehingga pertumbuhan mangrove pada pulau-pulau kecil relatif kurang subur, dengan kerapatan yang lebih rendah, dibandingkan dengan pertumbuhan mangrove pada pulau-pulau besar. Pertumbuhan mangrove pada pulau-pulau kecil, secara alami sulit untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini karena banyak faktor pembatas yang ada pada wilayah tersebut. Walaupun demikian secara alami pengaruh tersebut masih dapat diimbangi dengan kondisi musim, dimana pada saat musim hujan, beberapa faktor pembatas di pulau-pulau tersebut dapat teratasi melalui air hujan dan pelumpuran oleh aliran permukaan yang masuk ke adalam ekosistem mangrove yang ada. Selanjutnya jika komunitasa mangrove yang sudah sangat sulit tumbuh dan berkembang tersebut, kemudian diganggu lagi dengan aktivitas penebangan maupun pemusnahan oleh manusia, maka kehancuran ekosistem mangrove di kawasan tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama. Ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil Taman Nasional Wakatobi, termasuk ekosistem mangrove tepi dan hasil pengamatan lapangan umumnya tumbuh pada lingkungan subtrat berpasir, pecahan karang dan karang mati. Subtrat ini relatif rentan terhadap perubahan. Dengan demikian kawasan mangrove di daerah ini tidak cocok sebagai hutan produksi dan perlu dilindungi dengan cara semua kawasan mangrove dijadikan sebagai daerah konservasi. Potensi sumberdaya mangrove yang ada, perlu dikaji secara lebih mendalam

161 134 untuk dikembangkan sebagai daerah ekoturisme dan sebagai salah satu pusat studi mangrove (mangrove research station) pada pulau-pulau kecil, sebagai salah satu alternatif pelestarian mangrove di kawasan tersebut. Dalam UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada pasal 23 ayat 2 antara lain disebutkan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, penelitian, pendidikan, dan pariwisata.

162 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau. Spesies yang ditemukan terdiri dari spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., Sonneratia alba Smith, Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Avicennia marina (Forsk.) Vierh., Xylocarpus granatum Koenig., Xylocarpus molucensis (Lamk.) Roem., Lumnitzera littorea (Jack) Voigt., Lumnitzera rasemosa Willd., Aeguceras cornikulatum (L.) Blanco., Osbornia octodonta F.v.M., Phemphis aciduta Frost. & f., Acanthus ebracteatus Vahl., Nypa fructicans Wurmb., Excoecaria agallocha L., Acrostichum speciosum Wild, Acrostichum aureum Linn. Spesies mangrove yang ditemukan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga, yaitu spesies Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Bl, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, dan Acanthus ebracteatus Vahl. Spesies yang hanya ditemukan di Pulau Kaledupa dan Hoga, adalah spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, Sonneratia alba Smith, Sonneratia caseolaris (L.) Engl, Avicennia marina (Forsk.) Vierh, dan Phemphis aciduta Frost. & f. Spesies yang hanya ditemukan di pulau Hoga, adalah Osbornia octodonta F.v.M, dan spesies yang hanya ditemukan di pulau Kaledupa, adalah spesies Nypa fructicans Wurmb, Excoecaria agallocha L, Acrostichum speciosum Wild, dan Acrostichum aureum Linn. Kerapatan spesies mangrove yang tertinggi di pulau Kaledupa diduduki oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk (44 individu/ha), strata tiang spesies Rhizophora mucronata Lamk (125 individu/ha), strata sapihan (860 individu/ha) dan semai (3.645 individu/ha) ditempati oleh Ceriops tagal (Perr.). Di pulau Derawa pada strata pohon (140 individu/ha), strata tiang (700 individu/ha) dan sapihan (863 individu/ha) di duduki oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk., pada strata semai (786 individu/ha) oleh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan di pulau Hoga pada strata pohon (26 individu/ha) dan strata tiang (70 individu/ha) oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan pada strata sapihan (961

163 136 individu/ha) dan semai (1.843 individu/ha) oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M. Indeks Keanekaragaman spesies mangrove di pulau Kaledupa pada strata pohon sebesar 1,304, strata tiang 1,638, strata sapihan 1,855, dan pada strata semai sebesar 1,675. Di pulau Derawa pada strata pohon sebesar 0,69, strata tiang 0,34, sapihan 0,54, dan pada strata semai sebesar 0,63. Di pulau Hoga pada strata pohon sebesar 0,59, tiang 1,41, sapihan 0,99, dan pada strata semai sebesar 1,14. Nilai ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan indeks keanekargaman pada ekosistem lain, misalnya dengan ekosistem hutan hujan tropis. Rendahnya keanekaragaman jenis pada ekosistem mangrove diduga terkait dengan lingkungan ekstrim dengan kadar garam tinggi. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang mampu tumbuh pada lingkungan dengan kadar salinitas tinggi. Zonasi mangrove hanya ditemukan di Pulau Kaledupa. Zonasi mangrove di Pulau Kaledupa terdiri dari 4 zona. Secara berturut-turut mulai dari arah depan (arah laut) sampai ke dalam (arah darat) meliputi zona Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan zona Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. Zona yang yang paling luas, dengan ketebalan 250 meter ditempati oleh zona Rhizophora apiculata Bl. Faktor tinggi penggenangan air laut mempunyai hubungan secara nyata dengan zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. Tinggi penggenangan maksimal pada zona depan (arah laut) sebesar 146 cm dari permukaan tanah/subtrat. Faktor utama yang diduga berhubungan dengan tidak adanya zona pada komunitas mangrove di pulau Derawa dan pulau Hoga adalah kelandaian pantai. Pantai pulau Derawa dan Hoga umumnya memiliki pantai yang curam sehingga kurang mendukung untuk pertumbuhan mangrove dalam bentuk zona. Ketebalan komunitas mangrove di pulau Derawa maksimal hanya mencapai 140 meter dan di pulau Hoga hanya 80 meter. Permudaan alami spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Avicennia marina (Forsk.) Vierh., dan Xylocarpus granatum Koenig, tergolong rendah. Spesies yang memiliki tingkat permudaan alaminya tergolong baik terdiri atas spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan Ceriops decandra

164 137 (Griff.) di Pulau Kaledupa, dan Osbornia octodonta F.v.M di Pulau Hoga. Biji atau propagul sebagai alat perkembangbiakan (vivifar) pada spesis Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., cukup melimpah. Namun demikian pola adaptasi perkembangbiakan sangat dominan dengan perkembangbiakan secara vegetatif (melalui cabang). Hal ini diduga terkait dengan faktor angin dan ombak yang kencang, substrat yang keras, dan sistem perakaran (akar tunjang) yang sangat rapat. Struktur tegakan seluruh spesies vegetasi mangrove dengan parameter sebaran kelas diameter batang pada komunitas mangrove di pulau Kaledupa, Derawa, dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi termasuk tipe L atau bentuk kurva J terbalik yang termasuk dalam kategori model grafik tegakan tidak seumur. Model ini memiliki makna bahwa jumlah individu yang memiliki ukuran diameter batang kecil jumlahnya sangat banyak, kemudian jumlah tersebut semakin menurun seiring dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sampai mencapai ukuran diameter batang yang paling besar dengan jumlah individu yang paling sedikit. Dalam model ini berisikan paling sedikit tiga penyusun utama, yaitu spesies pada strata semai (seedling), sapihan (sapling) dan pohon dewasa (mature). Bentuk demikian merupakan salah satu ciri dari populasi tumbuhan yang hidup secara alamiah. Spesies Xylocarpus granatum di Pulau Kaledupa Rhizophora mucronata Lamk., di Pulau Derawa dan spesies Sonneratia alba Smith di Pulau Hoga termasuk dalam kategori bentuk tegakan tidak teratur. Bentuk tegakan tersebut menunjukkan bahwa individu-individu yang berdiameter kecil jumlahnya terbatas, dan akan menurun bersamaan dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sedangkan individu-individu yang memiliki ukuran diameter pada rentangan rata-rata jumlahnya paling banyak, dan menurun kembali pada ukuran diameter diatas ukuran rentangan rata-rata. Model grafik tegakan tidak teratur merupakan indikasi bahwa dalam populasi tumbuhan yang mengalami gangguan baik secara alamiah maupun non alamiah. Di Pulau Kaledupa faktor penyebab utama kerusakan komunitas mangrove akibat aktifitas manusia, seperti konversi komunitas mangrove menjadi pemukiman penduduk, lahan tanaman budidaya, pembangunan sarana umum (sekolah, pasar, jalan desa, pendaratan perahu) dan pengambilan kayu bakau oleh masyarakat untuk kayu

165 138 bakar, tiang/patok pada budidaya rumput, tiang jaring ikan dan bahan pembuat rumah. Di Pulau Derawa dan Pulau Hoga tanda-tanda kerusakan komunitas mangrove akibat aktifitas manusia maupun aktifitas alam tidak ditemukan. Kondisi Umum Lingkungan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga menunjukaan perbedaan. Sumber air tawar di Pulau Kaledupa dapat ditemukan hampir merata di seluruh kawasan, terutama di bagian pesisir. Indikasi ini dapat dilihat bahwa sumber air bersih untuk kebutuhan rumah tangga 100% menggunakan sumur gali. Sumber air tawar di Pulau Derawa hanya bersumber dari air hujan. Indikasi ini dapat diketahui bahwa di pulau ini tidak ditemukan adanya sumur gali dan sungai, baik kecil maupun besar. Hampir semua rumah penduduk di pulau ini, mempunyai bak penampungan air hujan. Sumber air tawar di Pulau Hoga hanya bersumber dari air hujan, ini terbukti bahwa di pulau ini tidak ditemukan adanya sumur gali dan sungai, baik kecil maupun besar. Kebutuhan air tawar untuk memenuhi sumber air bersih dalam kehidupan seharihari, terutama bagi para wisatawan baik pada musim hujan maupun musim kemarau didatangkan dari daerah tetangga, umumnya dari daratan Pulau Kaledupa. Perbedaan kondisi lingkungan ini yang diduga menyebabkan perbedaan karakter ekosistem mangrove yang ditemukan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga. Sifat kimia dan tekstur substrat yang mempunyai hubungan signifikan dengan pola komunitas mangrove dalam penelitian ini adalah : ph, Kalium (tersedia), dan Salinitas. Sedangkan Kandungan Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah (liat, debu dan pasir) tidak menunjukan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove di lokasi kajian. Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini diduga karena tiap pola komunitas mempunyai pengaruh faktor habitat dan tingkat suksesi yang berbeda. Faktor ph menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Nilai ph yang tertinggi ditemukan di Pulau Derawa, tetapi masih masuk dalam kategori netral. Nilai ph di Pulau Kaledupa dan Hoga termasuk dalam kategori agak masam. Kandungan Kalium tersedia tanah menunjukan hubungan yang nyata dengan pola komunitas yang terbentuk.

166 139 Nilai kalium tersedia di Pulau Hoga tergolong sedang, dan nilai kalium tersedia di Pulau Kaledupa dan Derawa tergolong rendah. Faktor lingkungan yang khas bagi semua tumbuhan mangrove adalah tanah dengan kandungan salinitas tinggi. Dalam penelitian ini faktor salinitas tanah menunjukan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Karakteristik ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi memiliki karakter yang berbeda, jika dibandingkan dengan ekosistem mangrove pada pulau-pulau besar. Kerapatan vegetasi mangrove strata pohon di pulau-pulau kecil memiliki kerapatan yang lebih rendah jika dibandingkan kerapatan pohon pada pulau-pulau besar Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Faktor lingkungan pada pulau-pulau besar lebih mendukung untuk pertumbuhan mangrove, dibandingkan dangan faktor lingkungan di pulau-pulau kecil. Lebar zona/ketebalan komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, yang tertinggi hanya mencapai 600 m, di pulau Derawa hanya 140 m dan di pulau Hoga hanya mencapai 80 m. Berbeda pada komunitas mangrove yang ditemukan pada pulau-pulau besar, lebar zona dapat mencapai puluhan kilometer. Ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil memiliki tingkat sensitivitas ekosistem yang sangat rapuh, jika dibandingkan dengan ekosistem hutan pada pulau-pulau besar Hal ini disebabkan faktor-faktor lingkungan pada pulau-pulau kecil, seperti seperti substrat lumpur, masukan air tawar, dan perlindungan dari ombak dan angin kencang kurang mendukung untuk pertumbuhan mangrove secara optimal. B. SARAN Ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil Taman Nasional Wakatobi, merupakan ekosistem tepi dan umumnya tumbuh pada lingkungan subtrat berpasir, pecahan karang dan karang mati. Subtrat ini relatif rentan terhadap perubahan akibat berbagai gangguan, baik secara alami maupun non alami. Dengan demikian ekosistem mangrove yang masih ada, perlu dipertahankan dan dikembangkan, dengan cara semua kawasan mangrove yang ada dijadikan sebagai daerah konservasi. Potensi sumberdaya mangrove yang ada, perlu dikaji secara lebih mendalam untuk dikembangkan sebagai pusat studi mangrove (mangrove

167 140 research station) pada pulau-pulau kecil. Di Pulau Kaledupa sebagai wakil ukuran pulau paling besar dengan jumlah penduduk terbanyak dan ketersediaan sumber air tawar relatif paling banyak. Pulau Hoga sebagai wakil pulau tanpa penghuni dengan ketersediaan air tawar yang terbatas, dan Pulau Derawa sebagai wakil ukuran pulau terkecil yang berpenghuni dengan ketersediaan air tawar yang terbatas. Untuk menghindari kerusakan ekosistem mangrove lebih lanjut akibat pengambilan kayu mangrove oleh masyarakat sebagai kayu bakar, perlu dilakukan upaya konversi bahan bakar kayu mangrove ke bentuk non kayu mangrove, misalnya dengan membangun hutan desa sebagai sumber kayu bakar, memanfaatkan limbah pertanian (sabut kelapa, tempurung kelapa dan lain-lain) sebagai bahan bakar, dan menjamin ketersediaan bahan bakar minyak/gas bersubsidi. Penyadaran terhadap masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove, terutama nilai ekologis dan perlindungan pantai dari abrasi pada pulau-pulau kecil perlu lebih ditingkatkan, dengan melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, LSM dan tokoh masyarakat/adat.

168 141 DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae S Ecology and Management of Mangrove. IUCN The World Conservation Union, Bangkok, Thailand. 176 pp. Analuddin Struktur dan Dinamika Populasi mangrove pada beberapa tipe umur Komunitas di Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah. [tesis]. Yogyakarta. Program Pasca Sarjana,Universitas Gadjah Mada. Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt, Not Italic Balai Taman Nasional Wakatobi Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi , edisi Revisi Balai Taman Nasional Wakatobi Buku Informasi Taman Nasional Wakatobi, Bau-Bau Ball MC Patterns of secondary succession in a mangrove forest in southern Florida. Oceologica (Berlin) 44: Ball MC, Pidsley SM Growth response salinity in relation to distribution of two mangrove species, Sonneratia alba dan S. lanceolata, in Northern Australia. J of Ecology, 9, http/ www. jstor. org/stable/ [ 6 Jan 2009]. Barbour MG, JH Burk, WD Pitts Terrestrial Plant Ecology. California : The Benjamin Cumming Publising Company Inc. Barik SK, Tripathi RS, Pandey HN, Rao P Tree regeneration in a subtropical humid forest: effect of cultural disturbance on seed production, dispersal and germination. J of applied Ecology http/ [ 9 Jan 2009]. Biro Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi Data Penduduk Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi Chapman VJ Mangrove Vegetation. J. Cremer Publ. Leutherhausen, Germany Cintron G, AE Lugo, R Martinez Structural and functional properties of mangrove forests. Symposium signaling the completion of the Flora of Panama. Panama City, University of Panama. Cintrón G, Schaeffer-Novelli Y Methods for studying mangrove structure. In: The Mangrove Ecosystem: Research Methods. Snedaker, S.C. and Snedaker, J.G. (eds). UNESCO, Paris, France,

169 142 Clough BF Growth and salt balance of the mangrove A. marina in southeastern Australia. Aust. J. Bot. 39: [COREMAP] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Base Line Study Wakatobi Sulawesi Tenggara. Jl.Raden Saleh No. 43 Jakarta Cox GW Laboratory Manual of General Ecology. Iowa : W.M.C. Broown Company Publisher. Dahdouh-Guebas F, Verheyden A, De Genst W, Hettiarachchi S, Koedam N Four decade vegetation dynamics in Sri Lankan mangroves as detected from sequential aerial photography: a case study in Galle. Bulletin of Marine Science 67 (2): APNA/staff/pub/Dahdouh-Guesbasetal 200 BullMarsci.pdf. [8 Jan 2009]. Daly MC, MA Cooper, I Wilson, DG Smith, GDG Hooper Cenozoic plate tectonics and basin evoluation in Indonesia. Marine and Petroleum Geology, V.pp 21 Daniel TW, JA Helms, FS Hocker Prinsip-Prinsip Silvykultur. Edisi Kedua. Terjemahan. Gadjahmada University Press, Yogyakarta. Departemen Kehutanan Republik Indonesia SK Direktur Kehutanan Jenderal No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei 1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/sylvikultur hutan payau Dhewani N et al Studi Baseline Ekologi Kabupaten Wakatobi-Sulawesi Tenggara. Coral Reef Information Centre, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara Hutan Bakau Di Sulawesi Tenggara Berdasarkan Fungsinya. Kendari. Ding Hou Rhizophoraceae. Flora Malesiana, Seri 1, 5 : Ellison AM, Farnsworth EJ, Merkt RE Origins of mangrove ecosystems and the mangrove biodiversity anomaly. Global Ecology and Biogeography 8: harvardforest.fas.harvard.edu/personne/ web/aellison/publications/1999/ellis on_et_al_1999.pdf. [9 Feb 2009]. Field CB et al Mangrove biodiversity and ecosystem function. Global Ecol. Biogeogr. Lett. 7: [8 Jan 2009]. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations Mangrove Forest Management Guidelines. Rome : FAO, Rome.

170 143 [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations World s Mangroves Rome : FAO, Rome. Halminton W Tectonic of the Inonesia Region dalam Geological Survey professional paper1078.us Gov print Off Washington, 345pp Hamilton RS, Snedaker SC Handbook for mangrove area management. Gland, Switzerland: Commission on Ecology, IUCN. Hermalena L, R Tamin, E Kamal, JS Bujang Studi zonasi hutan mangrove di Pulau Unggas, Air Bangis, Pasaman. garuda.dikti.go.id/ jurnal /detil/id/.../pengarang:%20japar%20sidik. [15 Mar 2010] Hidayati A, Ngadi, Daliyo Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi Ceremap II: Kasus Kabupaten Wakatobi. CRITC-LIPI, Jakarta.181 hal. Hong PN, San HT Mangrove Plant Diversity in Southeast and East Asia. Diversity [10 Feb 2010]. Hutchings P, Saenger P Ecology of Mangrove. University of Queensland Press. St., Lucia. London. New York. Irwanto Analisi Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu Kabupaten Seram Barat Provinsi Maluku. [tesis]. Yogyakarta. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Jamili Distribusi frekwensi diameter batang dan zonasi mangrove hubungannya dengan faktor lingkungan di pantai Napabalano Sulawesi Tenggara [tesis]. Yogyakarta. Program Pasca Sarjana,Universitas Gadjah Mada. Jamili Komposisi Jenis Golongan Pohon pada Komunitas Mangrove di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara. Majalah Ilmiah Paradikma Sain dan Matematika, ISSN : Edisi : Volume 9 Nomor 1, Juni 2005 Jamili Variasi Ukuran Propagul Mangrove Rhizophoraceae dan Tingkat Pertumbuhannya di Persemaian. Majalah Ilmiah Paradikma Sain dan Matematika, ISSN : Edisi : Volume 11 Nomor 5, Juni 2006 Jiménez JA The structure and function of dry weather mangroves on the Pacific coast of Central America, with emphasis on Avicennia bicolor forests. Estuaries 13 (2), T60J38U pdf. [10 Feb 2009].

171 144 Jupri A Inventarisasi species mangrove di Teluk Kertasari, Sumbawa Barat. Biota XI (3) : jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/ Search. html. [9 Mar 2010] Kartawinata K, EB Waluyo A preliminary study of the man-grove forest on Pulau Rambut, Jakarta Bay Marine Research in Indonesia No. 18, 1977 : www. oseanografi.lipi.go.id. [17 Mar 2010] Kathiresan K, Thangam TS A note on the effects of salinity and ph on growth of Rhizophora seedlings. The Indian Forester 116 (3), [10 Feb 2009]. Kathiresan K, Thangam TS, Bose KS. 1990b. Effect of lates of Excoecaria agallocha L. on marine productivity. In Perspectives in Phycology (V.N. Raja Rao, ed.), pp Today and Tomorrow s Publishers, New Delhi. http//ocw.unu.edu/..mangroves/ Ecology Environment of_mangrove_ecosystems.pdf. [10 Feb 2009]. Kershaw KA Biology of Mangroves. Centre of Advanced Study in Marine Biology Annamalai University. internationalnetwork-on-water-environment-and-health/unu -inweh- course-1- mangroves/biologi-of mangrove.pdf. [10 Apr 2009]. Kevin RT et al Groundwater Control of Mangrove Surface Elevation: Shrink and Swell Varies with Soil Depth. international -network -on -water -environment -and- healh/ unu-inwehcourse-1-mangrove/biology-of-mangrove.pdf. [12 Feb 2009] Kint A De luchtfoto en de topografische terringesteldheid in de mangrove. De Tropische natur, 23 : Koch MS, Snedaker SC Factors influencing Rhizophora mangle L. seedling development in Everglades carbonate soils. Aquatic Botany 59 (1-2), [10 Apr 2009]. Krebs CJ Ecology Methodology. Harper & Row, Publisher, New York, Cambridge, Singapore, Sidney. Kusmana C A Study on Mangrove Forest Management Based on Ecologycal Data in East Sumatera, Indonesia. Kyoto University, Japan. Kusmana C Sejarah dan Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Mangrove di Indonesia. cecep_ kusmana. staff.ipb.ac.id /2010/06/15/potensiflora-indonesia/. [4 Feb 2010].

172 145 Kusmana C Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus Kusmana C, Suhardiono, Sudarmadji, Onrizal Mengenal Jenis-Jenis Pohon Mangrove di Teluk Bintuni Irian Jaya. Fahutan IPB-Bogor. Kusmana C Fungsi Pertahanan dan Keamanan dari Ekosistem Mangrove. Lear R, Tunner T Mangroves of Australia. University of Queenland Press. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84. Undang-Undang Republik Indonesia Nonor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. produk_hukum/uu/uu pdf [10 Mar 2010] Lugo AE, Snedaker SC The ecology of Mangroves. Annual Review of Ecology and Systematics 5: [9 Feb 2009]. Ludwig JA, JF Reynolds Statistical Ecoloqy a Primer on Methods and Computing, John Wiley & Sons, New York. Macnae W A General Account of the Fauna and Flora mangrove Swamp and forest in the Indo Pacific region. Adv. Mor.Biol. 6 : Mangurran AE Ecology Diversity and Its Measurement. Crown Helm. London, Sydney Marsono Dj Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, Penerbit BIGRAF Publishing Bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan YLH. Yogyakarta. Mastaller M Mangroves: The Forgotten Forest between Land and Sea. Tropical Press Sdn.Bhd., Kuala Lumpur. Mckee KL Soil physicochemical patterns and mangrove species distribution: reciprocal effects? J of Ecology 81: org/ stable/ [4 Feb 2010]. Mckee KL Seedling recruitment patterns in a Belizean mangrove forest: effects of establishment ability and physico-chemical factors. Oecologia 101: Feb 2010]. Medina E, Lugo AE, Novelo A Mineral content of foliar tissues of mangrove species in Laguna de Sontecomapan (Veracruz, Mexico) and

173 146 its relation to salinity. Biotropica 27 (3), vn/colleges/aquaculture/daotaotuxa/htqt/.../1995.html..[4 Feb 2010]. Michael, P Ecologycal Method for Field Biology and Laboratory Investigation. Tata McGraw Hill Company Limited, New Delhi. Mufti AT Penilaian ekonomi Sumberdaya Hutan Mangrove di Pesisir Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi. [tesis]. Surabaya. Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Muller-Dumbois D, Ellenberg H Aims and Method of Vegetation Ecology. New York : John Wiley & Sons. Mulia F Pertumbuhan Tegakan dan Teknik Penguasaan Hutan Mangrove Berkelanjutan. http/ pdf/tumbuh_tehnik _ fai%5d.pdf. Diakses 12 Juni 2010 Mustafa M, T. Prawitosari Ekosistem Hutan Bakau Sumber Daya dan Pengelolaan Untuk Mempertahankan Kelestariannya. Pertemuan Teknis Evaluasi Hasil Survei Hutan Bakau. Jakarta, 1 3 Juni Naidoo G Effects of nitrate, ammonium and salinity on growth of the mangrove Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam. Aquatic Botany 38 (2-3), linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/ [10 Feb 2010]. Noor RY, Khazali M, Suryadiputra INN Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP-Bogor Nursal, Fauziah, Ismiati, Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau, Jurnal Biogenesis 2(1):1-7. Nybakken JW Biologi Laut; Suatu pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta. Odum EP Basic Ecology. Saunders College Publishing, New York Onrizal, Rugayah, Suhardjono Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk. Biodiversitas, Volume 6, Nomor 1 Halaman: pdf.[10 Feb 2010]. Percipal M. JS Womersly Florestics and ecology of the mangrove vegetation of Papua New Guinea. Botany Bull., 11: 5-96.

174 147 Pramudji Kenekaragaman flora di hutan mangrove kawasan pesisir Teluk Mandar, Polewali, Propinsi Sulawesi Selatan : Kajian pendahuluan. Biota VIII (3) : [17 Mar 2010] Pulumahuny FS Hutan Mangrove di Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Yamdena Maluku Tenggara. [4 Jan 2010] Rabinowitz D Dispersal properties of mangrove propagules. Biotropica 10: [4 Feb 2010]. Rahawarin YY Komposisi vegetasi mangrove di Muara Sungai Siganoi Sorong Selatan, Papua. Biota X (3) : www. digilib.biologi.lipi. go.id /view. html?idm= doc [17 Mar 2010] Rasman M Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam di Kabupaten Wakatobi. [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saenger, Hegeri, Davie Global Status Mangrove Ecosistem, IUCN Commission on Ecology Paper, No 3 Smith TJ Seed predation in relation to tree dominance and distribution in mangrove forests. Ecology 68: [ 4 Feb 2010] Snedakeer SC The Mangrove ecosystem: research methods, UNESCO Spalding M, F Blasco, C Field World mangrove atlas. The International Society for Mangrove Ecosystems, Okinawa. 178 p. Spies TA, MG Tunner Dynamic Forest Mosaic in Monitoring Biodiversity in Forest Ecosystem. Edited by Hunter, M.L, Jr. Cambridge University Press, Cambridge Soemodihardjo S, I Soerianegara The Status of Mangrove Forest in Indonesia in Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations, Bogor, Indonesia, August 9-11, Biotrop Special Publication No. 37/1989. Bogor. Suhardjono, Rugayah Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove di Pulau Sepanjang, Jawa Timur. Biodiversitas, Volume 8, Nomor 2. Halaman: [9 Mar 2010]

175 148 Suhardjono, T. Partomihardjo Permudaan alami hutan mangrove Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah. www. digilib.biologi.lipi.go.id /view. html? idm= [17 Mar 2010] Supriyadi IH, Wouthuyzen S Penilaian Ekonomi Sumberdaya Mangrove di Teluk Kotonia Seram Barat Provinsi Maluku. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No. 38 : lipi.go.id. [ 5 Feb 2010] Soerianegara I, Indrawan Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Management Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Bogor Soekardjo S Natural regeneration status of commercial mangrove species (Rhizophora apiculata and Bruguiera gymnorhiza) in mangrove forests of Tanjung Bungin, Bunyuasin District, South Sumatra. Forest Ecol. Mgmt 20, Soeroyo Kondisi Mangrove Daerah Bekas Penebangan Di Teluk Bintuni Irian Jaya. Buletin Ilmiah, Institut Pertanian. Yogyakarta. Steenis VC Flora. Pradnya Paramita, Jakarta Thom BG Mangrove ecology and deltaic geomorphology: Tabasco, Mexico. J of Ecology 55: chinea/ecolplt/datoslab/ma. [4 Jan 2010] Tomlinson CB The Botany of Mangroves. Cambridge Tropical Biology Series, Cambridge University Press, Cambridge, New York, U.S. Watson JG Mangrove forests of the Malay Peninsula. Malayan Forest Records No. 6, Fraser and Naeve, Ltd., Singapore. 276 p. Woodward SL Holdridge Life Zones (Ecological Zones) Source: L. R. Holdridge et al Forest Environments in Tropical Life Zones: A Pilot Study (New York: Pergamon Press.gcmd.nasa.gov/records/ GCMD- GNV00005.html. [ 9 Mar 2010]

176 167 Lampiran 1 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Rhizophora mucronata Lamk ,09 21,95 0, , , ,33 Rhizophora apiculata Bl 2 3 0,02 4,88 0,0003 3, , ,36 Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk ,12 46,34 0, , ,09 3, ,15 Xylocarpus granatum Koenig 1 2 0,01 2, ,47 981,61 0, ,72 Sonneratia alba Smith 6 8 0,06 14,63 0,0008 9, ,15 0, ,45 Avecennia marina (Forsk) Vierh 4 6 0,04 9,76 0,0006 7, ,65 0, ,99 Jumlah 81 0, , ,32 5, Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting Lampiran 2 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Rhizophora mucronata Poir ,24 23, , ,74 Rhizophora apiculata Blume ,22 21, ,10 1, ,07 Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk ,24 23, ,26 0, ,74 Xylocarpus granatum Koenig ,10 9, ,76 0, ,40 Sonneratia alba Smith 4 4 0,04 3, ,45 0, ,88 Ceriops tagal C B Rob ,04 3, ,31 0, ,05 Avecennia marina (Forsk) Vier ,12 11, ,488,55 0, ,51 Ceriops decandra (Griff.) D Hou 1 1 0,01 0, ,84 0, ,60 Jumlah 318 1, , Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting

177 168 Lampiran 3 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Rhizophora mucronata Poir ,32 17,49 0, , ,46 0,84 19,87 48,99 Rhizophora apiculata Blume ,34 18,58 0, , ,49 1,19 28,10 63,39 Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk ,26 14,21 0,0128 4, ,78 0,28 6,57 25,74 Xylocarpus granatum Koenig , ,0061 2,39 985,56 0,10 2,30 12,34 Sonneratia alba Smith 3 4 0,03 1,64 0,0004 0,15 81,61 0,02 0,19 1,98 Ceriops tagal C B Rob ,38 20,77 0, , ,80 0,91 21,38 75,61 Avecennia marina (Forsk) Vier ,25 13,66 0,0208 8, ,28 0,47 11,07 32,81 Ceriops decandra (Griff.) D Hou ,11 6,01 0, , ,05 0,45 10,52 39,13 Jumlah , , ,03 4, Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting Lampiran 4 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR NP Rhizophora mucronata Poir , ,99 0,0450 6,91 25,89 Rhizophora apiculata Blume , ,19 0,0137 2,10 17,28 Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk , ,72 0,0306 4,69 22,41 Xylocarpus granatum Koenig ,0495 3,16 0,0023 0,35 3,51 Sonneratia alba Smith ,0297 1,90 0,0019 0,29 2,19 Ceriops tagal C B Rob , ,22 0, ,88 83,10 Avecennia marina (Forsk) Vier ,1386 8,86 0,0206 3,16 12,02 Ceriops decandra (Griff.) D Hou ,1089 6,96 0, ,63 33,59 Jumlah , , Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; NP = nilai penting

178 169 Lampiran 5 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Rhizophora mucronata Poir 60, ,201-1,604-0,323 0,323 Rhizophora apiculata Bl 11, ,038-3,274-0,124 0,124 Bruguiera gymnorrhiza Lamk 165, ,550-0,597-0,329 0,329 Xylocarpus granatum Koe 6, ,022-3,798-0,085 0,085 Sonneratia alba Smith 31, ,105-2,255-0,236 0,236 Avecennia marina (Forsk) Vierh 24, ,083-2,485-0,207 0,207 Jumlah 1,304 Lampiran 6 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Rhizophora mucronata Poir 103, ,346-1,062-0,367 0,367 Rhizophora apiculata Bl 74, ,247-1,399-0,345 0,345 Bruguiera gymnorrhiza Lamk 56, ,189-1,665-0,315 0,315 Xylocarpus granatum Koe 22, ,075-2,595-0,194 0,194 Sonneratia alba Smith 6, ,023-3,775-0,087 0,087 Ceriops tagal C B Rob. 6, ,020-3,904-0,079 0,079 Avecennia marina (Forsk) Vierh 28, ,095-2,353-0,224 0,224 Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 1, ,005-5,231-0,028 0,028 Jumlah 1,638

179 170 Lampiran 7 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Rhizophora mucronata Poir 48, ,163-1,812-0,296 0,296 Rhizophora apiculata Blume 63, ,211-1,555-0,328 0,328 Bruguiera gymnorrhiza Lamk 25, ,086-2,456-0,211 0,211 Xylocarpus granatum Koe 12, ,041-3,191-0,131 0,131 Sonneratia alba Smith 1, ,007-5,019-0,033 0,033 Ceriops tagal C B Rob. 75, ,252-1,378-0,347 0,347 Avecennia marina (Forsk) Vier. 32, ,109-2,213-0,242 0,242 Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 39, ,130-2,037-0,266 0,266 Jumlah 1,855 Lampiran 8 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang <1,5 m) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Rhizophora mucronata Poir 25, ,129-2,044-0,265 0,265 Rhizophora apiculata Blume 17, ,086-2,448-0,212 0,212 Bruguiera gymnorrhiza Lamk 22, ,112-2,189-0,245 0,245 Xylocarpus granatum Koe 3, ,018-4,042-0,071 0,071 Sonneratia alba Smith 2, ,011-4,516-0,049 0,049 Ceriops tagal C B Rob. 83, ,415-0,878-0,365 0,365 Avecennia marina (Forsk) Vier. 12, ,060-2,812-0,169 0,169 Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 33, ,168-1,784-0,300 0,300 Jumlah 1,675

180 171 Lampiran 9 Tinggi penggenanaan (cm) air pasang pada plot-plot pengamatan vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. Pengamatan tanggal 27 Oktober 2009 hingga 25 Nopember 2009 Titik Jarak(m) Tanggal pengamatan ,2 83,0 83,0 94,0 99,0 120,0 125,0 135,5 135,5 135,5 140, ,0 63,0 63,0 73,0 78,0 94,0 99,0 104,0 115,0 125,0 120, ,5 57,5 68,4 68,4 78,0 94,0 109,5 109,5 115,0 115,0 115, ,5 57,5 57,5 63,0 68,4 78,0 88,2 94,0 104,0 109,5 109, ,0 47,0 47,0 63,0 63,0 83,0 94,0 83,0 94,0 104,0 104, ,5 57,5 52,5 63,0 73,0 78,0 94,0 99,0 104,0 109,5 109, ,5 47,0 63,0 63,0 73,0 83,0 94,0 94,0 20,0 104,0 104, ,5 47,0 52,5 57,5 57,5 83,0 88,2 88,2 94,0 104,0 104, ,5 57,5 36,5 42,0 57,5 78,0 78,0 83,0 94,0 94,0 94, ,0 52,5 36,5 57,5 73,0 73,0 94,0 20,0 104,0 109,5 109, ,0 42,0 47,0 52,5 63,0 83,0 83,0 94,0 94,0 104,0 104, ,0 42,0 52,5 52,5 63,0 68,4 73,0 88,2 88,2 99,0 99, ,5 42,0 57,5 57,5 68,4 68,4 94,0 94,0 104,0 109,5 115, ,0 47,0 42,0 47,0 52,5 73,0 78,0 78,0 88,2 94,0 94, ,5 52,5 36,5 47,0 52,5 52,5 73,0 73,0 83,0 83,0 83, ,5 42,0 36,5 31,0 52,5 57,5 68,4 73,0 88,2 94,0 94, ,0 26,0 26,0 31,0 47,0 68,4 68,4 68,4 78,0 83,0 83, ,4 31,0 31,0 20,4 52,5 57,5 68,4 68,4 78,0 83,0 83, ,0 42,0 42,0 52,5 57,5 57,5 57,5 78,0 78,0 83,0 94, ,5 36,5 36,5 36,5 42,0 57,5 68,4 83,0 83,0 94,0 94, ,0 26,0 31,0 31,0 36,5 68,4 68,4 68,4 78,0 78,0 78, ,4 5,5 5,5 15,4 26,0 42,0 52,5 47,0 57,5 57,5 68, ,4 15,4 15,4 26,0 26,0 52,5 52,5 47,0 57,5 68,4 57, ,4 10,4 15,4 20,4 20,4 26,0 36,5 47,0 57,5 57,5 57, ,4 6,0 26,0 36,5 47,0 47,0 63,0 57, ,5 20,4 26,0 42,0 47,0 42,0 57,5 57, ,5 10,4 10,4 10,4 26,0 36,5 42,0 47,0 47,0 47, ,0 31,0 36,5 42,0 42,0 42, ,5 10,4 20,4 31,0 36,5 42,0 42, ,4 1 15,4 15,4 36,5 36, ,5 15,4 15,4 15,4 26,0 26, ,0 31,0 31, ,5 15,4 10,4 26,0 26,0 31, ,4 10,4 20,4 10,4 20,4

181 172 Titik Jarak(m) Tanggal pengamatan ,5 1 20,4 20,4 20, , ,4 15, ,5 10,4 10,4 10,4 15, ,5 15,4 15,4 15, ,5 15,4 15,4 15, ,4 15,4 20, ,5 10,4 15,4 15, ,5 10,4 5, ,4 10,4 10, ,4 15,4 15, ,4 15,4 15, ,4 10,4 10, ,4 10,4 15, ,4 5,5 10,4

182 173 Sambungan Lampiran 9 Titik Jarak(m) Tanggal Pengamatan ,0 135,5 115,0 104,0 104,0 104,0 104,0 120, ,0 109,5 99,0 78,0 88,2 88,2 99,0 104, ,0 115,0 104,0 73,0 88, ,2 104, ,5 99,0 94,0 78, ,0 99, ,0 94,0 88,2 73, ,0 88, ,5 104,0 94,0 73, ,0 99, ,0 94,0 83,0 68, ,0 94, ,0 94,0 88,2 83,0 68, ,0 88, ,0 88,2 83,0 68,4 68, ,0 83, ,0 104,0 99,0 68,4 78, , ,0 99,0 83,0 83,0 68,4 68,4 73, ,0 88,2 78,0 68,4 57,5 68,4 83, ,0 104,0 94,0 63,0 78,0 83,0 73, ,0 83,0 78,0 63,0 52,5 63,0 63, ,2 83,0 83,0 47,0 57,5 57,5 68, ,2 83,0 73,0 52,5 57,5 68,4 52, ,2 68,4 63,0 57,5 47,0 47,0 63, ,0 73,0 68,4 63,0 52,5 57,5 68, ,0 78,0 68,4 47,0 63,0 57,5 68, ,0 83,0 78,0 47,0 68,4 47,0 47, ,0 63,0 47,0 36,5 47,0 47,0 52, ,0 63,0 57,5 31,0 42,0 47,0 42, ,4 57,5 47,0 31,0 36,5 42,0 36, ,5 52,5 42,0 31,0 31,0 31,0 36, ,5 52,5 42,0 26,0 31,0 36,5 36, ,5 52,5 26,0 15,4 26,0 31,0 26, ,0 47,0 26,0 10,4 20,4 20,4 26, ,0 42,0 26,0 5,5 15,4 15,4 20, ,0 36,5 20,4 1 10,4 15,4 15, ,0 15,4 15,4 1 5,5 10,4 10, ,5 26,0 15, , ,0 20,4 5, , ,0 20, ,4 10, ,4 10,4 5, ,4 15,

183 174 Titik Jarak(m) Tanggal Pengamatan ,4 15, , ,4 5, ,4 10, ,4 5, ,4 5, , ,4 5, , ,4 5, , ,4 5,

184 175 Sambungan Lampiran 9 Titik Jarak(m) Tanggal Pengamatan Hari Tergenang

185 176 Titik Jarak(m) Tanggal Pengamatan Hari Tergenang Lampiran 10 Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/ha) vegetasi mangrove strata Semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies Plot hadir jumlah individu Kerapatan Kerapatan /hektar Rhizophora mucronata Poir , Rhizophora apiculata Blume , Bruguiera gymnorrhiza Lamk , Xylocarpus granatum Koe , Sonneratia alba Smith , Ceriops tagal C B Rob , Avecennia marina (Forsk) Vier , Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou , Jumlah ,

186 177 Lampiran 11 Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Nilai Tengah Rentangan Kelas Diameter (cm) Spesies ,17 0-2, ,84 2,34-7, ,84 7,34-12, ,84 12,34-17, ,84 17,34-22, ,84 22,34-27, ,84 27,34-32, ,84 32,34-37, ,84 37,34-42, ,84 42,34-47, ,84 47,34-52, ,84 52,34-57, ,84 57,34-62, ,34 63,34-67, ,34 68,34-72, Keterangan spesies: 1. Rhizophora mucronata Lamk., 2. Rhizophora apiculata Bl., 3. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., 4. Xylocarpus granatum Koenig., 5. Sonneratia alba Smith., 6. Ceriops Tagal (Perr.) C.B. Rob., 7. Avecennia marina (Forsk.) Vierh, 8. Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Lampiran 12 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derwa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Rhizophora mucronata Lamk ,46 5,.61 0,014 59, ,79 8,00 49,23 160,60 Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk ,43 48,39 0,009 40, ,21 8,24 50,77 139,40 Jumlah 82 0, , , Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting

187 178 Lampiran 13 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata strata tiang (dbh cm) di Pulau Derwa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Rhizophora mucronata Lamk ,83 78,38 0, , ,.58 11,38 94,35 267,33 Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk ,23 21,62 0,0040 5, ,35 0,68 5,65 32,67 Jumlah 259 1, , ,93 12, Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting Lampiran 14 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derwa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Rhizophora mucronata Lamk ,94 63,46 0, , ,04 2,89 82,68 231,.21 Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk ,54 36,54 0, , ,80 0,60 17,32 68,79 Jumlah 355 1, , ,84 3, Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting Lampiran 15 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derwa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR NP Rhizophora mucronata Lamk , , ,68 65,68 Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk , , ,32 134,.32 Jumlah 370 0, , Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; NP = nilai penting Lampiran 16 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derawa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Rhizophora mucronata Poir , ,335 0,335 Bruguiera gymnorrhiza Lamk ,465-0,766-0,356 0,356 Jumlah 0,691

188 179 Lampiran 17 Indeks keanekaragaman spesies (H ) mangrove strata Tiang (dbh cm) di Pulau Derwa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Rhizophora mucronata Poir 267, ,891-0,115-0,103 0,103 Bruguiera gymnorrhiza Lamk 32, ,109-2,217-0,241 0,241 Jumlah 0,344 Lampiran 18 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derwa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Rhizophora mucronata Poir 231, ,771-0,260-0,201 0,201 Bruguiera gymnorrhiza Lamk 68, ,229-1,473-0,338 0,338 Jumlah 0,538 Lampiran 19 Indeks keanekaragaman spesies (H ) Vegetasi Mangrove Strata Strata Semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derwa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Rhizophora mucronata Poir 65, ,328-1,114-0,366 0,366 Bruguiera gymnorrhiza Lamk 134, ,672-0,398-0,267 0,267 Jumlah 0,633 Lampiran 20 Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/ha) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derawa. (Plot 10 x 10 m) 101 plot Spesies Plot hadir jumlah individu Kerapatan Kerapatan /ha Rhizophora mucronata Poir , ,4286 Bruguiera gymnorrhiza Lamk , , Jumlah 1.057,142857

189 180 Lampiran 21. Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa. (Plot 10 x 10 m) 35 plot Spesies Nilai Tengah Rentangan Kelas Diameter (cm) 1 2 1,17 0,00-2, ,34 2,34-8, ,34 8,34-14, ,34 14,34-20, ,34 20,34-26, ,34 26,34-32, ,34 32,34-38, ,34 38,34-44, ,34 44,34-50, Keterangan spesies: 1. Rhizophora mucronata Lamk., 2. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Lampiran 22 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk 2 6 0,09 66,67 0, , ,.33 1,73 75,24 216,91 Sonneratia alba Smith 1 2 0,04 33,33 0, , ,73 0,57 24,76 83,09 Jumlah 8 0, , ,06 2, Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting Lampiran 23 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk ,26 37,50 0, , ,22 1,23 56,46 143,96 Sonneratia alba Smith 2 4 0,090 12,50 0, ,50 821,74 0,36 16,44 41,44 Sonneratia caseolaris (L.) Engl 3 4 0,13 18,75 0, ,50 751,13 0,33 15,03 46,28 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob ,13 18,75 0, ,63 266,98 0,12 5,34 39,72 Osbornia octodonta F.v.M ,090 12,50 0,0013 9,38 336,88 0,15 6,74 28,61 Jumlah 32 0, , ,95 2, Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting

190 181 Lampiran 24 Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR B A D D.R NP Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk ,26 12,00 0,0052 4,18 413,90 0,18 4,99 21,17 Sonneratia alba Smith 1 2 0,04 2,00 0,0009 0,70 461,33 0,20 5,56 8,25 Sonneratia caseolaris (L.) Engl 3 4 0,13 6,00 0,0017 1,39 81,63 0,04 0,98 8,38 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob ,74 34,00 0, , ,39 0,52 14,39 65,11 Osbornia octodonta F.v.M ,00 46,00 0, , ,50 2,67 74,09 197,09 Jumlah 287 2, , ,5 3, Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; BA = basal area; D= dominansi; DR= dominansi relatif, NP = nilai penting Lampiran 25 Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove Strata Strata Semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies Plot hadir jumlah individu F F.R K KR NP Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk , ,64 0, ,03 37,67 Sonneratia caseolaris (L.) Engl ,1304 5,66 0,0087 2,73 8,39 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob , ,30 0, ,32 52,62 Osbornia octodonta F.v.M , ,40 0, ,92 101,32 Jumlah 732 2, , Keterangan : F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; K= kerapatan; KR= kerapatan relatif; NP = nilai penting Lampiran 26 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk 216, ,723-0,324-0,234 0,234 Sonneratia alba Smith 83, ,277-1,284-0,356 0,356 Jumlah 0,590

191 182 Lampiran 27 Indeks keanekaragaman spesies (H ) mangrove strata tiang (dbh cm) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk 143, ,480-0,734-0,352 0,352 Sonneratia alba Smith 41, ,138-1,980-0,273 0,273 Sonneratia caseolaris (L.) Engl 46, ,154-1,869-0,288 0,288 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. 39, ,132-2,022-0,268 0,268 Osbornia octodonta F.v.M. 28, ,095-2,350-0,224 0,224 Jumlah 1,406 Lampiran 28 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk 21, ,071-2,651-0,187 0,187 Sonneratia alba Smith 8, ,028-3,593-0,099 0,099 Sonneratia caseolaris (L.) Engl 8, ,028-3,578-0,100 0,100 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. 65, ,217-1,528-0,332 0,332 Osbornia octodonta F.v.M. 197, ,657-0,420-0,276 0,276 Jumlah 0,993 Lampiran 29 Indeks keanekaragaman spesies (H ) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies ni N ni/n ln ni/n ni/n ln ni/n H Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk 37, ,188-1,669-0,314 0,314 Sonneratia caseolaris (L.) Engl 8, ,042-3,171-0,133 0,133 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob. 52, ,263-1,335-0,351 0,351 Osbornia octodonta F.v.M. 101, ,507-0,680-0,345 0,345 Jumlah 1,143

192 183 Lampiran 30 Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/ha) vegetasi mangrove strata semai ( tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Spesies Plot hadir jumlah individu Kerapatan Kerapatan /hektar Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk , ,26 Sonneratia caseolaris (L.) Engl ,009 86,96 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob , ,91 Osbornia octodonta F.v.M , ,48 Jumlah 732 0, ,61 Lampiran 31 Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Hoga. (Plot 10 x 10 m) 23 plot Nilai Tengah Rentangan Kelas Diameter (cm) Spesies ,17 0,00-2, ,34 2,34-8, ,34 8,34-14, ,34 14,34-20, ,34 20,34-26, ,34 26,34-32, ,34 32,34-38, ,34 38,34-44, ,34 44,34-50, Keterangan: 1. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., 2. Sonneratia alba Smith, 3. Sonneratia caseolaris (L.) Engl, 4. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob, 5. Osbornia octodonta F.v.M Lampiran 32 Deskripsi Flora Mangrove di Taman Nasional Wakatobi 1. Rhizophora mucronata Lamk. Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh mencapai 27 cm; berakar tunjang. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar coklat, coklat keabu-abuan sampai coklat kehitaman, kasar, retak-retak berbentuk persegi empat dengan

193 184 pinggir terangkat. Daun tunggal, bersilang berhadapan, melonjong melebar sampai menjorong, panjang cm, lebar 5,5-10 cm; pangkal runcing atau membaji, ujung tumpul atau runcing bermukro sampai 0,7 cm; permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah hijau kekuningan berbintik-bintik hitam kecil; tangkai hijau, panjang 3-5 cm; daun penumpu merah atau hijau muda. Perbungaan menggarpu dengan 2-5 bunga, gagang perbungaan hijau, panjang 2-5 cm. Bunga hijau kekuningan sampai kecoklatan, panjang 1,2-1,7 cm, lebar 0,5-0,8 cm, bertangkai panjang ± 0,6 cm; kelopak hijau kekuningan, hijau kecoklatan, bercuping 4; mahkota putih, berbulu; benangsari 8, hijau muda atau coklat muda. Buah membulat telur memanjang, panjang 3,5-5 cm, lebar sekitar 1,5-2,5 cm, kulit kasar, coklat, kelopak tidak luruh, bersifat vivipari membentuk hipokotil; hipokotil hijau kekuningan sampai hijau, banyak lentisel, panjang mencapai 50 cm, diameter 1-2 cm; kotiledon hijau muda sampai hijau, licin, panjang sampai 2 cm (Onrizal et al. 2005) Rhizophora mucronata Lamk. (Gambar 43), di Taman Nasional Wakatobi dapat ditemukan di Pulau Kaledupa, Pulau Lentea, Pulau Derawa, Pulau Binongko, dan Pulau Wanci. Tempat tumbuh bervariasi, terutama pada daerah lumpur yang dalam sampai dangkal, spesies ini juga dapat tumbuh pada susbtrat karang mati yang tertutup lumpur, dan substrat pasir campur lumpur. Di kawasan Taman Nasional Wakatobi tegakan murni masih banyak ditemui, terutama pada formasi terdepan (ke arah laut), yang masih tergenang air pasang harian. a b c

194 185 Gambar 43 Rhizophora mucronata Lamk., : a. akar tunjang; b. bunga; c. buah dan propagul. 2. Rhizophora apiculata Blume Pohon dengan tinggi mencapai 16 m dan dbh mencapai 20 cm; berakar tunjang. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar coklat terang, coklat keabuabuan sampai coklat kehitaman, licin, retak-retak seperti garis vertikal. Daun tunggal, bersilang berhadapan, melonjong menyempit, panjang cm, lebar 3,5-6,5 cm; pangkal runcing atau membaji, ujung daun bermukro sampai 0,2 cm, ujung runcing atau meruncing; permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah hijau kekuningan; tangkai hijau sampai merah, panjang sampai 2,5 cm; daun penumpu merah. Perbungaan selalu sepasang, gagang perbungaan tebal, hijau, panjang ± 0,5 cm. Bunga hijau sampai kecoklatan, panjang 1-1,4 cm, lebar 0,5-0,8 cm; bertangkai pendek, berembang (apiculate); kelopak hijau kekuningan, hijau kecoklatan sampai kemerahan, cuping 4; mahkota putih atau hijau muda, tidak berbulu; benangsari umumnya 12, coklat muda. Buah membulat telur menyerupai paruh, panjang 1,5-2 cm, diameter 1-1,5 cm, kulit kasar, coklat, kelopak tidak luruh, bersifat vivipari membentuk hipokotil; hipokotil hijau kekuningan sampai hijau, licin, panjang cm, lebar 1-1,5 cm; kotiledon merah, licin, panjang 2-3 cm (Onrizal et al Rhizophora apiculata Blume (gambar 44), di Taman Nasional Wakatobi dapat ditemukan di Pulau Kaledupa, Pulau Lentea, Pulau Derawa, Pulau Binongko, dan Pulau Wanci. Tempat tumbuh bervariasi, terutama pada daerah lumpur yang dalam sampai dangkal, spesies ini juga dapat tumbuh pada subtrat karang mati yang tertutup lumpur, dan substrat pasir campur lumpur. Di kawasan Taman Nasional Wakatobi, terutama di Pulau Kaledupa tegakan murni masih banyak ditemui, terutama pada formasi di belakang Rhizophora mucronata Lamk, yang masih tergenang air pasang harian.

195 186 a b c Gambar 44 Rhizophora apiculata Blume: a. akar tunjang; b. bunga; c. buah atau propagul. 3. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk Pohon Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk berbanir dengan tinggi banir sekitar 1.5 m atau lebih dan ket ebalannya ± 10 cm. Diameter pohon mencapai dapat 60 cm dengan tinggi dapat mencapai 36 m. Sistem perakaran berupa akar lutut. Batang berdiri tcgak, tidak ber1ekuk, tidak berpilin dan berbenjol. Kulit luar berwarna abu-abu, abu-abu kehitmmn, coklat tua atau hitam, retak-retak yang dalam memanjang searah vertikal dan menge1upas kaku. Kulit dalam berwama merah muda, merah atau coklat kemerahan. Daun tunggal yang tcrsusun opposite. Bcntuk daun elliptikal-oblong dengan ukuran panjang cm, lebar 6-8 cm dan panjang tangkai 3-5 cm. Ujung daun acute dan pangkal daun cuneate atau obtuse. Permukaan atas daun berwarna hijau sampai hijau tua dan permukaan bawah daun berwarna hijau kekuningan. Tangkai daun berwarna coklat kehijauan atau coklat. Tajuk pohon sedang dan kompak. Bunga soliter, Calyx bewarna merah dan memiliki cuping. Petal berwarna putih sampai hijau kekuningan. Hipokotil agak berlekuk, berwarna hijau-coklat dengan panjang mencapai 25 cm (Kusmana et al. 1997) Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk (Gambar 45), di Taman Nasional Wakatobi masih dapat ditemukan di Pulau Kaledupa, Pulau Lentea, Pulau Derawa, Pulau Hoga, Pulau Binongko, dan Pulau Wanci. Tumbuh subur terutama pada daerah lumpur yang relatif dalam. Spesies ini juga ditemukan tumbuh pada

196 187 subtrtat dasar karang mati, celah batu dan subtrat campuran pasir dan lumpur. Umumnya tumbuh pada yang masih tergenang air pasang harian, berasosiasi dengan Rhizophora mucronata Lamarck dan Rhizophora apiculata Blume. Di kawasan Taman Nasional Wakatobi, tegakan murni terutama dijumpai di Pulau Binongko (habitat rawa), dengan dbh mencapai 143,31 cm (Gambar 45b) a b c Gambar 45 Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.: a. akar lutut; b. batang; c. bunga dan buah atau propagul. 4. Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Pohon Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., berbanir dengan ketinggian banir sekitar 0.5 m atau lebilh dan ketebalannya ± 8 cm. Diameter pohon mencapai 35 cm dengan tinggi 17 m. Sistem perakaran berupa akar lutut kecil. Batang berdiri tegak, tidak berlekuk, tidak berpilin dan berbenjol kecil-kecil pada batang bagian bawah. Kulit luar berwarna kuning kecoklatan atau coklat kemerahan (sehingga dikenal juga dengan nama kayu merah), agak halus pada pangkal, dan agak kasar dan retak-retak pada bagian atas. Kulit bagian dalam berwarna merah muda. Daun tunggal yang tersusun opposite. Bentuk daun obovvate sarnpai elliptical-oblong, dengan ukuran panjang 9 12 cm, lebar 3-5 cm dan panjang tangkai ± 1.5 cm. Ujung daun obtuse al.au rounded dan pangkal daun acute. Permukaan atas berwarna hijau hijau sampai hijau kekuningan dan permukaan bawah daun berwarna hijau kekuningan. Tajuk pohon sedang dan kompak, berwarna kuning kehijauan. Bunga biasanya berkelompok pada sumbu

197 188 dengan 3-5 bunga. Calyx berwarna krem pada bunga dan coklat pada buah. Buah bulat memanjang beerwarna coklat dengan ukuran panjang 1 2 cm, dan lebar kurang lebih 1 cm serta permukaan agak kasar. Czlyx melengkung ke depan (kearah ujung buah). Hipokotil bergerigi, berwarna hijau dengan panjang 15 cm dan lebar kurang lebih 8 mm (Kusmana et al. 1997) Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., (Gambar 46) di Taman Nasional Wakatobi bisa dijumpai di Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, Pulau Lentea, dan Pulau Tomia. Tegakan murni Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., terutama ditemukan di Pulau Kaledupa, yang tumbuh pada bagian belakang (arah darat) yang hanya digenangi pada saat pasang tinggi. a b Gambar 46 Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou.: a. akar banir dan batang ; b. daun dan buah atau propagul. 5. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob Pohon Ceriops Tagal (Perr.) C.B. Rob., berbanir dengan ketinggian banir sekitar 1 atau lebilh dan ketebalannya ± 8 cm. Diameter pohon mencapai 45 cm dengan tinggi 26 m. Sistem perakaran berupa akar lutut kecil. Batang berdiri tegak, tidak berlekuk, tidak berpilin dan tidak berbenjol. Kulit luar berwarna abu-abu, coklat ke keabu-abuan sampai kemerhan, retak-retak dan mengelupas. Kulit bagian dalam berwarna merah muda. Daun tunggal yang tersusun opposite. Bentuk daun obovvate sarnpai elliptical-oblong, dengan ukuran panjang 4 11 cm, lebar 2-7 cm dan panjang tangkai 1.5-2cm. Ujung daun obtuse al.au rounded dan pangkal daun acute. Permukaan atas berwarna hijau hijau atau hijau

198 189 kekuningan dan permukaan bawah daun berwarna hijau kekuningan. Tajuk pohon sedang dan kompak, berwarna kuning kehijauan. Bunga biasanya berkumpul seperti C. decandra. Calyx dengan 5 cuping dan warnanya krem sampai kuning kehijauan pada bunga dan coklat pada buah. Buah berwarna hijau sampai coklat dengan ukuran panjang 1,5 2,5 cm dan lebar ± 1 cm. Czlyx melengkung ke belakang (kearah tangkai buah). Hipokotil bergerigi, berwarna hijau dengan panjang lebih dari 15 cm dan lebar ± 1 cm (Kusmana et al. 1997) Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob (Gambar 47) di Taman Nasional Wakatobi bisa dijumpai di Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, Pulau Lentea, dan Pulau Tomia. Sama halnya dengan Ccriops decandra (Griff.) Ding Hou., tegakan murni Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob, terutama ditemukan di Pulau Kaledupa, yang tumbuh pada bagian belakang (arah darat) yang hanya digenangi pada saat pasang tinggi. a b c Gambar 47 Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob.: a. akar banir dan batang ; b. daun dan buah atau propagul; c. bunga. 6. Sonneratia caseolaris (L.) Engler Pohon dengan tinggi mencapai 18 m dan dbh mencapai 40 cm; berakar nafas yang kokoh, meruncing, diameter pangkal mencapai 5 cm, tinggi mencapai 40 cm. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar coklat keabu-abuan sampai coklat kehitaman, bergelang, adakalanya besisik. Daun tunggal, bersilang berhadapan atau berhadapan, membundar telur sungsang, melonjong sampai

199 190 menjorong, panjang 7,5-12 cm, lebar 2,7-3,2 cm; pangkal runcing atau membaji, ujung tumpul atau runcing; permukaan atas hijau sampai hijau tua; permukaan bawah hijau kekuningan; tangkai pendek, hijau sampai hijau kemerahan, panjang sampai 0,5 cm; kuncup hijau muda. Bunga soliter, membulat, panjang sampai 3 cm, lebar sampai 2,5 cm; kelopak hijau, cuping 6; petal 6, merah, tipis; benangsari banyak, merah dan putih. Buah membulat dengan kelopak tidak luruh seperti bintang, hijau, diameter sampai 5 cm; tangkai putik panjang sampai 7 cm (Onrizal et al. 2005) Sonneratia caseolaris (L.) Engler (Gambar 48), di Taman Nasional Wakatobi dapat ditemukan di Pulau Hoga, Pulau Kaledupa, dan Pulau Tomia. Tumbuh pada daerah dengan lumpur lunak yang dalam sampai dangkal, tergenang air pasang harian. a b c Gambar 48 Sonneratia caseolaris (L.) Engler: a. batang; b.daun; c. bunga. 7. Sonneratia alba Smith Pohon Sonneratia alba Smith dapat memiliki diameter sampai 40 cm dengan tinggi 20 m. Sistem perakaran berupa akar nafas yang kokoh. lancip dcngan diameter pangkal akar mencapai 5 cm. Batang berdiri tegak atau kadangkadang melengkung, tidak bcrlekuk, tidak berpilin dan tidak berbenjol. Kulit luar berwama abu-abu sampai coklat, retak-retak memanjang dan mengelupas. Kulit daiam berwama coklat sampai merah muda. Daun tunggal yang tersusun opposite. Bentuk daun obovate sampai oval dengan ukuran panjang 6-9 cm, lebar crn dan panjang tangkai ± 1cm. Ujung daun obtuse dan pangkal daun acute atau obtuse. Permukaan atas dan bawah daun beerwarna hijau muda sampai hijau. Tajuk pohon padat dan kompak berwarna hijau muda sampai hijau.

200

201 150 Bunga kadang-kadang soliter atau berkumpul sampai 3 bunga. Calyx bagian luar berwama hijau. sedangkan bagiandalam berwarna berwarna merah dan tidak luruh. Benag sari berwarna putih sampai krem dengan bagian bawahnya berwarna merah. Buah tua keras, berwarna hijau dan memiliki filamen dengan panjang 2-3 cm (Kusmana et al. 1997) Sonneratia alba Smith (Gambar 49), di Taman Nasional Wakatobi, dapat ditemukan terutama di Pulau Kaledupa, Hoga, dan Pulau Tomia. Tegakan murni Sonneratia alba Smith ditemukan di Pulau Tomia, tumbuh pada subtrat pasir pada daerah muara aliran air/sungai kecil, dengan ketebalan ± 20 m, berada pada bagian paling depan (arah laut) yang masih tergenang air pasang harian. a b c Gambar 49 Sonneratia alba Smith: a. akar napas; b.bunga ; c. buah. 8. Avecennia marina (Forsk.) Vierh Pohon Avecennia marina (Forsk.) Vierh, diameterya dapat mencapai 40cm dan tinggi 25 m. Sistem perakaran berupa akar nafas yang langsing dan akar tunjang yang tidak berkembang dengan baik. Batang berdiri legak, tidak berlekuk, tidak berpilin dan tidak berbenjol. Kulil luar tipis, berwarna abu-abu atau abu-abu kecoklatan, mcngelupas pipih. Kulit dalam bemama putih sampai krem. Daun tunggal yang tersusun opposite. Bentuk daun elliptical-ianceolata atau ovate- elliptical, dengan ukuran panjang 9-16 cm, lebar cm dan panjang tangkai 1.5 2cm. Ujung daun acuminate dan pangkal daun acute. Permukaan atas daun berwar hijau kuning mengkilap atau hijau kuning keemasan dan permukaan bawah daun berwarna abu-abu atau keputihan. Tajuk pohon jarang dan tidak kompak. Bunga merupakan tipe head yang kompak dengan ukuran head panjang 0,5 - Icm dan Iebar ± 0.6 cm dengan panjang tangkai penopang 1 3 cm.

202 151 Calyx berwarna hijau dan petal berwarna kuning terang. Buah merupakan tipe capsular (kotak), berwarna abu-abu kehijauan yang diselubungi bulu-bulu halus pendek (Kusmana et al. 1997) Avecennia marina (Forsk.) Vierh, (Gambar 50), di Taman Nasional terutama ditemukan di Pulau Kaledupa. Di pulau ini banyak ditemukan di sekitar halaman pemukiman penduduk sebagai tumbuhan pelindung. Avecennia marina (Forsk.) Vierh tumbuh pada subtrat lumpur berpasir, yang masih tergenang air pasang a b c Gambar 50 Avecennia marina (Forsk.) Vierh.: a. batang; b.bunga; c. buah. 9. Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem. Pohon dengan tinggi mencapai 10 m dan dbh mencapai 20 cm; berakar nafas kokoh, tumpul, diameter mencapai 5 cm, pendek dengan tinggi hanya mencapai 5 cm. Batang silindris, adakalanya berbanir; kulit luar coklat sampai hitam, besisik atau mengelupas. Daun majemuk bersirip genap, berseling, 1-3 pasang anak daun tiap rakhis; rakhis coklat tua, panjang 4,5-9 cm; anak daun melonjong sampai menjorong, panjang 7-14 cm, lebar 2,5-6,5 cm, pangkal runcing atau membaji, ujung runcing atau meruncing; permukaan atas hijau, permukaan bawah hijau kekuningan sampai hijau; bertangkai, panjang ± 0,5 cm. Perbungaan tipe tandan dengan bunga, panjang 6-19,5 cm; bunga kecil, diameter 0,8-1 cm; tangkai bunga 0,2-1 cm; kelopak hijau kekuningan, cuping 4; petal 4, hijau muda sampai putih kehijauan. Buah seperti bola, diameter sampai 10 cm, kulit hijau seperti kulit, licin, 4-10 biji (Onrizal et al. 2005)

203 152 Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem. (Gambar 51), di Taman Nasional terutama ditemukan di Pulau Kaledupa. Di pulau ini banyak ditemukan di sekitar halaman pemukiman penduduk sebagai tumbuhan pelindung, Tumbuh pada daerah dengan tanah yang keras, jarang tergenang air pasang. Tegakan Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem, sudah jarang ditemukan di dalam komunitas mangrove. a b Gambar 51 Xylocarpus molucensis (Lamk.) Roem.: a. akar ; b.batang dan buah. 10. Xylocarpus granatum Koenig Pohon Xylocarpus granatum Koenig berbanir dengan tinggi banir sekitar 1m dan tebalnya 5 8cm. Diameter pohon sampai 50 cm dengan tinggi 26 m. Sistem perakaran berupa akar papan dan berkelok seperti punggung bukit di atas lumpur. Batang berdiri legak, tidak berlekuk, tidak berpilin dan tidak berbenjol. Kulil luar tipis, bersisik mengelupas, bcrwarna coklat terang-hijau muda. Kulit dalarn berwarna merah muda sarnpai kemerahan. Daun majemuk bersrip ganda dengan (I) 2 3 paang anak daun tiap rachis. Rachis berwarna coklat terang dengan panjang 7 17 cm, tersusun alternate. Bentuk anak daun obovate atau elliptical yang membesar dengan ukuran panjang cm lebar 5 8 cm, dengan panjang ± 1 cm. Ujung anak daun acuminate atau acute, sedangkan pangkal anak daun cuneate atau acute. Bentuk ujung anak daun di at.as merupakan bentuk yang jarang ditemukan, biasanya bentuk ujung daun

204 153 obtuse atau rounded yang membesar. Permukaan atas dan bawah daun berwarna hijau muda sampai hijau. Buah bulat dcngan diameter mencapai 20 cm, berwarna hijau sampai coklat dan permukaannya halus. Buah berisi sekitar 8 16 biji dengan panjang biji 5-7 cm (Kusmana et al. 1997) Xylocarpus granatum Koenig (Gambar 52), di Taman Nasional masih dapat ditemukan di Pulau Kaledupa dan Pulau Tomia. Di Pulau Kaledupa masih banyak ditemukan di sekitar halaman pemukiman penduduk sebagai tumbuhan pelindung, Tumbuh pada daerah dengan tanah yang keras, jarang tergenang air pasang. Di dalam kumunitas mangrove tidak ditemukan tegakan murni, umumnya tumbuh pada bagian belakang (arah darat), kadang berasosiasi dengan tegakan Ceriops spp. a b c Gambar 52 Xylocarpus granatum Koenig: a. batang; b.bunga ; c. buah dan biji. 11. Excoecaria agallocha L. Pohon dengan tinggi mencapai 14 m dan dbh mencapai 25 cm. Batang silindris, tidak berbanir; kulit luar hijau kecoklatan sampai hitam, licin, retak-retak seperti garis vertikal; bergetah putih. Daun tunggal, berselang atau tersebar, melonjong sampai menjorong, panjang 4-7,5 cm, lebar 2-3 cm; pangkal runcing atau tumpul, ujung runcing atau meruncing; permukaan atas hijau sampai hijau tua, permukaan bawah hijau; tangkai hijau muda sampai hijau, panjang 1,5-2 cm. Perbungaan bunga jantan tipe untaian, bunga betina tandan bertangkai pendek; panjang sampai 7 cm, hijau muda kehijauan sampai hijau. Bunga berkelopak hijau

205 154 kekuningan; petal hijau dan putih; benangsari 3, kuning. Buah kapsul beruang 3, licin, hijau, diameter sampai 0,7 cm (Onrizal et al. 2005) Excoecaria agallocha L., (Gambar 53) di Taman Nasional Wakatobi terutama di temukan pada komunitas mangrove daerah Sombano Pulau Kaledupa. Tumbuh pada daerah dengan tanah yang agak keras atau daerah pinggir belakang mangrove (arah darat), jarang tergenang air pasang. a b c Gambar 53 Excoecaria agallocha L. : a. batang; b.daun; c. bunga. 12. Aegiceras corniculatum (L.) Blanco Habitus berupa semak atau pohon kecil yang selalu hijau dan tumbuh lurus dengan ketinggian pohon mencapai 6 m. Akar menjalar di permukaan tanah. Kulit kayu bagian luar abu-abu hingga coklat kemerahan, bercelah, serta memiliki sejumlah lentisel. Daun : Daun berkulit, terang, berwarna hijau mengkilat pada bagian atas dan hijau pucat di bagian bawah, seringkali bercampur warna agak kemerahan. Kelenjar pembuangan garam terletak pada permukaan daun dan gagangnya. Unit & Letak: sederhana & bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik hingga elips. Ujung: membundar. Ukuran: 11 x 7,5 cm. Bunga : Dalam satu tandan terdapat banyak bunga yang bergantungan seperti lampion, masing-masing tangkai/gagang bunga panjangnya 8-12 mm. Letak: di dengan ujung tandan/tangkai bunga. Formasi: payung. Daun Mahkota: 5; putih, ditutupi rambut pendek halus; 5-6 mm. Kelopak Bunga: 5; putih - hijau. Buah : Buah berwarna hijau hingga merah jambon (jika sudah matang), permukaan halus, membengkok seperti sabit,. Dalam buah terdapat satu biji yang membesar dan cepat rontok. Ukuran: panjang 5-7,5 cm dan diameter 0,7 cm ( Noor et al. 2006)

206 155 Aegiceras corniculatum (L.) Blanco (Gambar 54) di Taman Nasional Wakatobi jarang ditemukan. Spesies Aegiceras corniculatum (L.) Blanco masih bisa ditemukan di Pulau Kaledupa, umumnya tumbuh di tepi daratan daerah mangrove yang tergenang oleh pasang naik yang normal, di bagian tepi dari jalur air hujan/sungai kecil. Di Kawasan Taman Nasional Wakatobi, tidak ditemukan adanya tegakan murni. a b c Gambar 54 Aegiceras corniculatum (L.) Blanco: a. batang; b.bunga ; c. buah. 13. Lumnitzera littorea (Jack) Voigt Pohon selalu hijau dan tumbuh tersebar, ketinggian pohon dapat mencapai 25 m, meskipun pada umumnya lebih rendah. Akar nafas berbentuk lutut, berwarna coklat tua dan kulit kayu memiliki celah/retakan membujur (longitudinal). Daun : Daun agak tebal berdaging, keras/kaku, dan berumpun pada ujung dahan. Panjang tangkai daun mencapai 5 mm. Unit & Letak: sederhana, bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 2-8 x 1-2,5 cm. Bunga : Bunga biseksual, berwarna merah cerah, harum, dan dipenuhi oleh nektar. Panjang tangkai bunga mencapai 3 mm, tandan 2-3 cm. Memiliki dua buah pinak daun berbentuk bulat telur dan berukuran 1 mm pada bagian pangkalnya. Letak diujung. Formasi: bulir. Daun mahkota : 5; merah, 4-6 x 1,5-2 mm. Kelopak bunga: 5; hijau 1 x-12 mm. Benang sari: <10; Panjang benang sari dua kali ukuran daun mahkota. Buah : Buah berbentuk seperti pot/jambangan tempat bunga/elips, berwarna hijau keunguan, agak keras dan bertulang. Ukuran: panjang 9-20 mm; Diameter 4-5 mm (Noor et al. 2006).

207 156 Lumnitzera littorea (Jack) Voigt (Gambar 55) di Taman Nasional Wakatobi, terutama ditemukan di Pulau Kaledupa, umumnya tumbuh di bagian belakang mangrove (arah darat) yang tergenang pada saat pasang tinggi. Di Kawasan Taman Nasional Wakatobi, tidak ditemukan adanya tegakan murni. a b c Gambar 55 Lumnitzera littorea (Jack) Voigt: a. batang; b.bunga ; c. buah. 14. Osbornia octodonta F.v.M. Habitus berupa pohon atau belukar dengan ketinggian dapat mencapai 7 meter, selalu hijau, tangkai/dahannya tunggal atau berjumlah banyak. Kadangkadang memiliki akar nafas. Kulit kayu berwarna coklat atau abu-abu, berserat dan berserabut. Ranting halus berwarna abu-abu pucat dan berbentuk segi empat pada saat muda. Individu yang lebih besar memiliki batang yang berlubang di tengahnya. Daun : Berkulit tipis, menimbulkan aroma pada saat disentuh, ada kelenjar minyak yang tembus cahaya dan berukuran kecil serta ada pembengkakan pada gagang daun sepanjang 2 mm yang berwarna merah. Unit & Letak: sederhana, bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 2,5-5 x 1-3 cm. Bunga : Biseksual. Dalam satu tandan terdapat 1-3 bunga yang bergerombol, bunga tidak bertangkai tapi langsung menempel pada tandan. Terdapat 2 pinak daun berbentuk elips, panjang 6 mm, terletak pada pangkal gagang bunga. Pinak daun tersebut kemudian rontok. Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok. Daun mahkota: Tidak ada. Kelopak bunga: 8; hijau (3-6 mm). Benang sari: berwarna putih hingga kuning, jumlahnya sampai 48 helai, ukurannya lebih panjang dibanding cuping kelopak bunga. Buah : Buah ditutupi oleh cuping kelopak bunga dan kelopak tidak membuka pada saat telah matang.

208 157 Biji berjumlah 1-2, berbentuk datar dan bulat telur terbalik. Ukuran: panjang 5-10 mm; diameter 5 mm (Noor et al. 2006). Osbornia octodonta F.v.M. (Gambar 56) di Taman Nasional Wakatobi, dapat ditemukan di Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, dan Pulau Binongko. Di Pulau Hoga membentuk tegakan murni, yang tumbuh pada subtrat pasir putih, mulai zona paling depan (arah laut) sampai ke dalam yang masih tergenang oleh pasang harian. a b Gambar 56 Osbornia octodonta F.v.M.: a. batang; b.bunga. 15. Phemphis acidula Frost. & f. Habitus berupa Pohon/belukar, menyebar rimbun/melebar di permukaan tanah, dengan ketinggian hingga 3 m. Kulit kayu berwarna abu-abu hingga coklat. Akar nafas tidak terlalu berkembang. Daun : Tebal (hingga 3 mm) berdaging, kaku, berkulit dan agak melengkung/tertekuk ke dalam. Unit & Letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk: elip hingga bulat telur terbalik. Ujung: membundar hingga menajam tumpul. Ukuran: panjang 1-3 cm. Bunga : Berbentuk lonceng. Letak: di ketiak daun. Formasi: berkelompok (ada 1 hingga beberapa bunga per kelompok). Daun mahkota: 6, putih bersih, bagian tengahnya agak keunguankekuningan. Kelopak bunga: 12, berwarna hijau. Benang sari: jumlahnya Buah : Berbentuk seperti mangkuk es krim, warna coklat, permukaannya berambut, di dalamnya terdapat biji yang sangat kecil. Ukuran: diameter buah 3-5 mm, panjang 10 mm (Noor et al. 2006).

209 158 Phemphis acidula Frost. & f. (Gambar 57) di Taman Nasional Wakatobi, masih dapat ditemukan di Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Di Pulau Kaledupa biasa ditemukan pada halaman rumah penduduk pada subtrat keras yang tidak lagi tergenang pasang surut. Spesies ini sudah jarang ditemukan dan tidak ditemukan adanya tegakan murni. a b Gambar 57 Phemphis aciduta Frost. & f: a. batang; b.bunga. 16. Acanthus ilicifolius L. Habitus berupa herba rendah, terjurai di permukaan tanah, kuat, agak berkayu, ketinggian hingga 2m. Cabang umumnya tegak tapi cenderung kurus sesuai dengan umurnya. Percabangan tidak banyak dan umumnya muncul dari bagian-bagian yang lebih tua. Akar udara muncul dari permukaan bawah batang horizontal. Daun : Dua sayap gagang daun yang berduri terletak pada tangkai. Permukaan daun halus, tepi daun bervariasi: zigzag/bergerigi besar-besar seperti gergaji atau agak rata dan secara gradual menyempit menuju pangkal. Unit & letak: sederhana, berlawanan. Bentuk: lanset lebar. Ujung: meruncing dan berduri tajam. Ukuran: 9-30 x 4-12 cm. Bunga : Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung, kadang agak putih. Panjang tandan bunga cm, sedangkan bunganya sendiri 5-4 cm. Bunga memiliki satu pinak daun penutup utama dan dua sekunder. Pinak daun tersebut tetap menempel seumur hidup pohon. Letak: di ujung. Formasi: bulir. Buah : Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya licin mengkilat. Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo. Ukuran: buah panjang 2,5-3 cm, biji 10 mm (Noor et al. 2006).

210 159 Acanthus ilicifolius L. (Gambar 58) di Taman Nasional Wakatobi, masih dapat ditemukan terutama di Pulau Kaledupa, dan Pulau Hoga. Di Pulau Kaledupa Acanthus ilicifolius L. umumnya ditemukan pada daerah paling luar mangrove (arah darat) yang masih tergenang saat pasang tinggi. Tumbuh subur dan membentuk tegakan murni dibawah tegakan Xylocarpus spp. dan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. a b c Gambar 58 Acanthus ilicifolius L.: a. batang; b.bunga ; c. buah. 17. Acanthus ebracteatus Vahl Acanthus ebracteatus Vahl hampir sama dengan Acanthus ilicifolius L., tetapi biasanya bagian-bagianya lebih kecil. Daun : Pinggiran daun umumya rata, Unit & Letak: Sederhana, berlawanan. Bentuk: lanset. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-20 x 4-10 cm. Bunga : Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung cerah, kadang agak putih di bagian ujungnya. Panjang tandan bunga lebih pendek dari A. ilicifolius, sedangkan bunganya sendiri 2-2,5 cm. Bunga hanya mempunyai satu pinak daun utama, karena yang sekunder biasanya cepat rontok. Letak: di ujung. Formasi: bulir. Buah : Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya licin mengkilat. Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo. Ukuran: Buah panjang 2,5-3 cm, biji 5-7 mm (Noor et al. 2006). Vahl Sama halnya dengan Acanthus ilicifolius L., spesies Acanthus ebracteatus (Gambar 59) di Taman Nasional Wakatobi, masih dapat ditemukan terutama di Pulau Kaledupa, dan Pulau Hoga. Di Pulau Kaledupa Acanthus ilicifolius L. umumnya ditemukan pada daerah paling luar mangrove (arah darat) yang masih tergenang saat pasang tinggi.

211 160 a b Gambar 59 Acanthus ebracteatus Vahl : a. batang; b.bunga dan buah. 18. Acrostichum speciosum Willd. Deskripsi umum : Ferna tanah, membentuk tandan yang kasar dengan ketinggian hingga 1,5 m. Sisik pada akar rimpang panjangnya hingga 8 mm. Daun : Sangat mencolok, pada umumnya panjangnya kurang dari 1 m dan memiliki pinak daun fertil berwarna karat pada bagian ujungnya, tertutup secara seragam oleh sporangia besar. Pinak daun berukuran kira-kira 28 x 10 cm. Pinak daun yang steril memiliki ujung lebih kecil dan menyempit. Jenis ini berbeda dengan A.aureum dalam hal ukuran pinak daunnya yang lebih kecil dan ujungnya meruncing, permukaan bagian bawah pinak daun yang fertil berwarna coklat tua dan ditutupi oleh sporangia, serta daun mudanya berwarna hijau-kecoklatan. Peruratan daun berbentuk jaring. Sisik luas, panjang hingga 1 cm, hanya terdapat di bagian pangkal daun. Sisik menebal di bagian tengah. Spora besar dan berbentuk tetrahedral (Noor et al. 2006). Acrostichum speciosum Willd (Gambar 60) di Taman Nasional Wakatobi, banyak ditemukan pada komunitas mangrove Sombano Pulau Kaledupa. Tumbuh pada bagian belakang (arah darat) yang hanya tergenang pada saat pasang tinggi. Spesies Acrostichum speciosum Willd terutama tumbuh pada bagian terlindung yang masih mendapat sinar matahari yang cukup.

212 161 Gambar 60 Acrostichum speciosum Willd. 19. Acrostichum aureum Linn. Deskripsi umum : Ferna berbentuk tandan di tanah, besar, tinggi hingga 4 m. Batang timbul dan lurus, ditutupi oleh urat besar. Menebal di bagian pangkal, coklat tua dengan peruratan yang luas, pucat, tipis ujungnya,bercampur dengan urat yang sempit dan tipis. Daun: Panjang 1-3 m, memiliki tidak lebih dari 30 pinak daun. Pinak daun letaknya berjauhan dan tidak teratur. Pinak daun terbawah selalu terletak jauh dari yang lain dan memiliki gagang yang panjangnya 3 cm. Ujung daun fertil berwarna coklat seperti karat. Bagian bawah dari pinak daun tertutup secara seragam oleh sporangia yang besar. Ujung pinak daun yang steril dan lebih panjang membulat atau tumpul dengan ujung yang pendek. Duri banyak, berwarna hitam. Peruratan daun menyerupai jaring. Sisik yang luas, panjang hingga 1 cm, hanya terdapat di bagian pangkal dari gagang, menebal di bagian tengah. Spora besar dan berbentuk tetrahedral (Noor et al. 2006). Sama halnya dengan Acrostichum speciosum Willd, spesies Acrostichum aureum Linn. (Gambar 61) di Taman Nasional Wakatobi, terutama ditemukan pada komunitas mangrove Sombano Pulau Kaledupa. Tumbuh pada bagian belakang (arah darat) yang hanya tergenang pada saat pasang tinggi. Spesies Acrostichum aureum Linn., tumbuh subur terutama di bawah tegakan mangrove yang telah mengalami kerusakan (sedikit terbuka), sehingga mendapat sinar matahari yang cukup.

213 162 Gambar 61 Acrostichum aureum Linn. 20. Nypa fruticans Wurmb. Deskripsi umum : Palma tanpa batang di permukaan, membentuk rumpun. Batang terdapat di bawah tanah, kuat dan menggarpu. Tinggi dapat mencapai 4-9 m. Daun : Seperti susunan daun kelapa. Panjang tandan/gagang daun 4-9 m. Terdapat pinak daun pada setiap tandan daun, berwarna hijau mengkilat di permukaan atas dan berserbuk di bagian bawah. Bentuk: lanset. Ujung: meruncing. Ukuran: x 5-8 cm. Bunga : Tandan bunga biseksual tumbuh dari dekat puncak batang pada gagang sepanjang 1-2 m. Bunga betina membentuk kepala melingkar berdiameter cm. Bunga jantan kuning cerah, terletak di bawah kepala bunganya. Buah : Buah berbentuk bulat, warna coklat, kaku dan berserat. Pada setiap buah terdapat satu biji berbentuk telur. Ukuran: diameter kepala buah: sampai 45 cm. Diameter biji: 4-5 cm (Noor et al. 2006). Nypa fruticans Wurmb (Gambar 62) di Taman Nasional Wakatobi, hanya dapat ditemukan Pulau Kaledupa. Dalam hidupnya spesies ini memerlukan masukan air tawar tahunan yang cukup. Nypa fruticans Wurmb, tumbuh pada bagian belakang (arah darat) yang hanya tergenang pada saat pasang tinggi. Di Pulau Kaledupa Nypa fruticans Wurmb, biasanya ditemukan di sekitar tumbuhan sagu.

214 a b c Gambar 62 Nypa fruticans Wurmb: a. batang; b.bunga ; c. buah. 163

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 32 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan waktu penelitian Pengelolaan kawasan Taman Nasional Wakatobi dilakukan dengan sistem zonasi. Saat ini zonasi di kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan Keputusan

Lebih terperinci

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi UHO jamili66@yahoo.com 2012. BNPB, 2012 1 bencana tsunami 15 gelombang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

Komposisi Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove Di Kawasan Hutan Perapat Benoa Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kodya Denpasar, Propinsi Bali

Komposisi Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove Di Kawasan Hutan Perapat Benoa Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kodya Denpasar, Propinsi Bali Jurnal ILMU DASAR, Vol. No., Juli 00: 677 67 Komposisi JenisJenis Tumbuhan Mangrove Di Kawasan Hutan Perapat Benoa Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kodya Denpasar, Propinsi Bali Composition Of

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ekosistem Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ekosistem Mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ekosistem Mangrove Definisi mangrove telah banyak dilaporkan oleh para ahli, antara lain Macnae (1968); Chapman (1976); Lear & Turner (1977) ; Steenis (1978); Odum (1982); Kusmana

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo 1,2 Yulinda R.Antu, 2 Femy M. Sahami, 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 yulindaantu@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai

METODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai METODE PENELITIAN Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2010.

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil 1. Keanekaragaman vegetasi mangrove Berdasarkan hasil penelitian Flora Mangrove di pantai Sungai Gamta terdapat 10 jenis mangrove. Kesepuluh jenis mangrove tersebut adalah

Lebih terperinci

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI Kendy H Kolinug (1), Martina A langi (1), Semuel P Ratag (1), Wawan Nurmawan (1) 1 Program

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 99-107 ISSN : 2088-3137 STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI MANGROVE DI PESISIR KECAMATAN SUNGAI RAYA KEPULAUAN KABUPATEN BENGKAYANG KALIMANTAN BARAT

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):1-8 STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN NATURAL MANGROVE VEGETATION STRUCTURE IN SEMBILANG NATIONAL PARK, BANYUASIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara ISSN 0853-7291 Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili 1*, Dede Setiadi 2, Ibnul Qayim 2, dan Edi Guhardja 2 1 Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut 4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan dengan faktor fisik yang ekstrim, seperti habitat tergenang air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Mangrove Composition, Mangrove Species, Mangrove Zones, Marsegu Island.

ABSTRACT. Keywords: Mangrove Composition, Mangrove Species, Mangrove Zones, Marsegu Island. Jurnal Makila KOMPOSISI DAN ZONASI HUTAN MANGROVE PULAU MARSEGU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT, PROVINSI MALUKU (Zones and Species Compositions of the Mangrove Forest of Marsegu Island In the West Ceram

Lebih terperinci

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove Pulau Weh secara genetik merupakan pulau komposit yang terbentuk karena proses pengangkatan dan vulkanik. Proses pengangkatan ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : 77-85 (1999) Artikel (Article) STUDI KEMAMPUAN TUMBUH ANAKAN MANGROVE JENIS Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza DAN Avicennia marina PADA BERBAGAI

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province

Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province 1 Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province By Elfrida Hasugian 1), Adriman 2), and Nur El Fajri 2) Elfrida.hasugian@yahoo.co.id Abstract

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh:

PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Novia Monika Elva 1), Irma LeilaniEka Putri 2), Rizki 1) 1)ProgramStudiPendidikanBiologi STKIP PGRI Sumatera Barat 2) JurusanBiologiUniversitasNegeri

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Amna dajafar, 2 Abd Hafidz Olii, 2 Femmy Sahami 1 amanjadjafar@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2. ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2 1) Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FKP Universitas Udayana 2) Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FKP Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1. Lokasi Penelitian (Google Map, 2014)

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1. Lokasi Penelitian (Google Map, 2014) III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah, International Tropical Marine and Earth Science Laboratory

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DAERAH WONOREJO PANTAI TIMUR SURABAYA SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DAERAH WONOREJO PANTAI TIMUR SURABAYA SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DAERAH WONOREJO PANTAI TIMUR SURABAYA SKRIPSI ARDI NUR PRASETYA PROGRAM STUDI S-1 BIOLOGI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA 2011 STRUKTUR

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI PULAU KETER TENGAH KABUPATEN BINTAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI PULAU KETER TENGAH KABUPATEN BINTAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI PULAU KETER TENGAH KABUPATEN BINTAN Ryan Syahputra 1) Falmi Yandri S.Pi, M.Si 2) dan Chandra Joei Koenawan S.Pi, M.Si 3) Jurusan S-1 Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI HUTAN MANGROVE KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI HUTAN MANGROVE KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI HUTAN MANGROVE KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA Mangrove Community Structure in Mangrove Forest, Village Belawan Sicanang, District

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN MANGROVE DI PANTAI SELATAN KABUPATEN SAMPANG MADURA

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN MANGROVE DI PANTAI SELATAN KABUPATEN SAMPANG MADURA KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN MANGROVE DI PANTAI SELATAN KABUPATEN SAMPANG MADURA SKRIPSI Oleh: AINOL YAKIN NIM. 07620079 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove 2.1.1. Definisi. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Laila Usman, 2 Syamsuddin, dan 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 laila_usman89@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI MANGROVE DI DESA PONDING-PONDING KECAMATAN TINANGKUNG UTARA KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI MANGROVE DI DESA PONDING-PONDING KECAMATAN TINANGKUNG UTARA KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN Biocelebes, Desember 2015, hlm. 54-65 ISSN: 1978-6417 Vol. 9 No. 2 STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI MANGROVE DI DESA PONDING-PONDING KECAMATAN TINANGKUNG UTARA KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN Farda Almaidah

Lebih terperinci

THE COMMUNITY STRUCTURE OF MANGROVE VEGETATION IN RINDU LAUT OF PURNAMA VILLAGE OF DUMAI CITY

THE COMMUNITY STRUCTURE OF MANGROVE VEGETATION IN RINDU LAUT OF PURNAMA VILLAGE OF DUMAI CITY THE COMMUNITY STRUCTURE OF MANGROVE VEGETATION IN RINDU LAUT OF PURNAMA VILLAGE OF DUMAI CITY BY Nico Rahmadany 1), Aras Mulyadi 2), Afrizal Tanjung 2) nicocosmic@gmail.com ABSTRACT This study was done

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara umum berada di Kabupaten Indramayu tepatnya di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Wilayah pesisir di sepanjang pantai

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO Oleh Nella Tri Agustini *, Zamdial Ta alidin dan Dewi Purnama Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu * Email:

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove 6 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian a. Materi Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove pada area restorasi yang berbeda di kawasan Segara

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN FISIOGNOMI VEGETASI MANGROVE DI REMPANG CATE KOTA BATAM. Yarsi Efendi dan Dahrul Aman Harahap

STRUKTUR DAN FISIOGNOMI VEGETASI MANGROVE DI REMPANG CATE KOTA BATAM. Yarsi Efendi dan Dahrul Aman Harahap STRUKTUR DAN FISIOGNOMI VEGETASI MANGROVE DI REMPANG CATE KOTA BATAM Yarsi Efendi dan Dahrul Aman Harahap Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau Kepulauan Koresponden : yarsi@unrika.ac.id

Lebih terperinci

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG IRFIAH FIROROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci