Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM."

Transkripsi

1 85 ANALISIS EKSISTENSI CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) PADA PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM Oleh Rivaldo Valini 8 ABSTRAK: Eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum adalah sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang dapat digunakan hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana sepanjang proses pengambilan bukti rekaman CCTV tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia terdiri dari kebijakan dengan sarana non penal dan sarana penal. Kebijakan dengan Sarana Non Penal, dalam hal ini penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia merupakan upaya yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengatasi belum adanya pengaturan dalam KUHAP. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal, merupakan tindakan nyata aparat penegak hukum, khususnya setelah diberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU- XIV/2016. Kata Kunci: Eksistensi CCTV, Pembuktian, Pidana Umum I. PENDAHULUAN Penegakan hukum memiliki peranan yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Pentingnya masalah penegakan hukum berkaitan dengan maraknya berbagai fenomena kejahatan baik secara kuantitatif dan kualitatif serta mengalami kompleksitas baik pelaku, modus, bentuk, sifat, maupun keadaannya. Kejahatan 8 Penulis sebagai Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung ( aldojks@gmail.com)

2 86 Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 seakan telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia yang sulit diprediksi kapan dan dimana potensi kejahatan akan terjadi. 9 Salah satu perangkat penegak hukum adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas menciptakan memelihara keamanan dalam negeri dengan menyelenggaraan berbagai fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 10 Hal di atas sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Proses penegakan hukum oleh Kepolisian tidak dapat terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah alat perekam berupa kamera tersembunyi atau Closed Circuit Television (CCTV). Dalam konteks ini aparat penegak hukum dapat menjadi hasil rekaman CCTV sebagai salah satu alat bukti. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah dalam perkara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Maknanya adalah di luar kategori yang telah ditetapkan KUHAP tersebut, maka alat bukti apapun tidak sah. Isu hukum dalam penelitian ini adalah sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka rekaman CCTV atas terjadinya tindak pidana atau kejahatan tidak memiliki legalitas atau tidak sah, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti didalam peradilan umum, karena dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP telah diatur alat bukti secara secara limitatif, sehingga hasil rekaman video hanya dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk untuk melengkapi alat bukti lain yang tidak dapat berdiri sendiri, yang penilaianya diserahkan kepada hakim dipakai sebagaimana yang diterangkan oleh Pasal 188 KUHAP. Dengan kata lain, rekaman CCTV pada dasarnya tidak dapat diajukan sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dan tidak ada aturan mengenai legalitas hasil cetak atau print out sebagai alat bukti atau tata cara perolehan dan pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti. Dengan demikian untuk tindak pidana umum belum ada pengaturan secara khusus mengenai keabsahan hasil rekaman CCTV sebagai salah satu alat bukti. 9 Barda Nawawi Arief Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung hlm Lilik Mulyadi. Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2007, hlm

3 87 Penggunaan informasi atau dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti pada beberapa tindak pidana khusus di antaranya adalah setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 26 A menyebutkan bahwa alat bukti yang di simpan secara elektronik juga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana korupsi. Selain informasi elektronik sebagai alat bukti juga disebutkan di dalam Pasal 38 huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 27 huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini menunjukkan bahwa legalitas dan keberlakuan informasi elektronik sebagai alat bukti, masih terbatas hanya pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme. 11 Dasar hukum penggunaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan menjadi semakin jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dinilai lebih memberikan kepastian hukum dan lingkup keberlakuannya lebih luas, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Selain mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, undang-undang ini juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Sesuai dengan uraian di atas diketahui bahwa dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus, sudah diatur mengenai alat bukti rekaman data elektronik, namun untuk tindak pidana umum, yang acara pidananya menggunakan KUHAP masih mengacu pada ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, bahwa secara limitatif lima alat bukti yakni: saksi, surat, keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Secara subjektif dapat dinyatakan bahwa perumusan kurang relevan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan tidak akomodatif terhadap perkembangan masyarakat yang semakan maju. Selama ini kedudukan rekaman CCTV masih belum jelas, banyak perdebatan mengenai pengakuannya dalam pembuktian perkara pidana umum, namun peran rekaman data elektronik khususnya video ini dapat mempunyai nilai dalam pembuktian di sidang pengadilan umum. 12 Penerapan teknologi ini merupakan kemajuan dari penegakan hukum dan salah satu wujud asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent), di mana seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah 11 Selasa 6 September Marselus Pasha Lelyemin, F. Nugroho dan Edy Hartadi, Kedudukan Rekaman Video sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, Fakultas Hukum Unika Atmajaya. Jakarta. 2007, hlm. 24

4 88 Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan adanya rekaman CCTV tersebut, akan membuat penyidik lebih yakin bahwa sesorang tersebut bersalah dan sebagai bukti permulaan yang cukup, sehingga meminimalisir penyelewengan asas presumption of innocent tersebut. Isu hukum dalam penelitian ini adalah pada umumnya dalam perkara-perkara tindak pidana di mana tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum, CCTV tidak diakui sebagai alat bukti. Sebaliknya untuk perkara-perkara tindak pidana di mana tersangka/terdakwa tidak didampingi penasehat hukum, CCTV diakui sebagai alat bukti, khususnya alat bukti petunjuk. Hal ini dapat dilihat dari perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Setya Novanto, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor: 21/PUU-XIV/2016 menyebutkan bahwa semua bukti elektronik yang bukan diambil oleh aparat penegak hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum. Padahal dalam kenyataannya rekaman CCTV digunakan aparat penegak hukum untuk memperkuat pembuktian persidangan. Permasalahan penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum? b. Bagaimanakah kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana? II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Penyidik pada Polresta Bandar Lampung, Personil Bagian IT Polda Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Unila. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. III. PEMBAHASAN A. Eksistensi CCTV pada Pembuktian Perkara Tindak Pidana Umum Proses penegakan hukum pidana tidak dapat terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah alat perekam berupa kamera tersembunyi atau Closed Circuit Television (CCTV). Dalam konteks yang demikian maka CCTV memiliki eksistensi sebagai salah satu alat bukti dalam proses pembuktian pada pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan

5 89 sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang pesat, khususnya di bidang telekomunikasi, informasi dan komputer, dan seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital, termasuk dalam berinteraksi antara sesamanya. Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisa menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Menurut Akhmad Suhel 13 manfaat CCTV tersebut dalam kehidupan sehari-hari menjadi suatu kebutuhan dan tentunya kecanggihan dari alat elektktonik tersebut sudah menjadi suatu kebutuhan pelengkap dalam sidang peradilan dalam membuktikan suatu kejadian-kejadian yang terekam dalam kamera CCTV tersebut yang kemudian tersimpan dalam data untuk dapat diperlihatkan, ditonton/disaksikan dalam persidangan, namun demikian diperlukan keabsahan CCTV tersebut. Keabsahan itu sendiri ialah mengacu pada suatu bentuk pengakuan tentang sesuatu yang diyakini benar, legal dan sah. Keabsahan adalah sesuatu yang legal menurut Undang-Undang dan tidak ada suatu keraguan didalamnya. Terhadap pengujian bukti pemeriksaan harus dilakukan terhadap bukti yang cukup, kompeten dan relevan. Apabila substansi yang dimuat dalam alat bukti tersebut dianggap sudah memenuhi syarat untuk mendukung temuan pemeriksaan. Eko Setiawan 14 menjelaskan bahwa untuk memastikan bahwa alat bukti rekaman tersebut asli atau hasil duplikasi maka perlu dilakukan audit atas sistem informasi. Jika suatu sistem informasi sudah diaudit atau disetifikasi oleh suatu badan standar maka alat bukti rekaman tersebut tidak bisa disangkal dan langsung bisa dijadikan alat bukti. Jika sistim informasi tersebut belum atau tidak pernah dilakukan audit maka perlu dilakukan audit segera. Alat bukti tersebut kemudian harus mendapat legalisasi dari biro hukum. Jika alat bukti rekaman dialihkan dalam CD yang berisi file microsoft power point, DVD-R, CD-R atau pun jenis pengalihan lainnya, ada baiknya bukti-bukti tersebut tercatat dalam Berita Acara Pengalihan Dokumen. 13 Hasil wawancara dengan Akhmad Suhel. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Rabu, 18 Januari Hasil wawancara dengan Eko Setiawan. Personil Bagian IT Polda Lampung. Kamis, 19 Januari 2017

6 90 Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 Eva Mayanti 15 menambahkan bahwa upaya untuk memperkuat keabsahannya alat bukti harus didukung oleh keterangan dari orang-orang yang secara kebetulan terlibat langsung dalam alat bukti tersebut. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa karena mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda. Sistem hukum acara pidana dalam hal mekanisme pembuktian dalam tahap peradilan suatu perkara pidana dihadapkan dengan penerangan suatu kasus tersebut melalui pengadaan alat bukti yang relevan dengan perkara tersebut untuk memberikan suatu titik terang dari proses peradilan suatu perkara. Banyak cara pembuktian suatu perkara untuk memberikan gambaran jelas akan suatu rentetan kejadian yang sebenarnya terjadi di tempat kejadian perkara secara nyata, berdasar itu bahwa hasil dari sebuah rekaman CCTV dapat memberikan gambaran secara nyata terhadap kejadian disuatu tempat secara terstruktur melalui gambaran yang ditampilkan dari hasil rekaman tanpa ada rekayasa dan tentunya gambaran tersebut dapat bercerita dan memberikan keterangan dalam hal ini mengenai suatu pembuktian dalam proses peradilan acara pidana. Akhmad Suhel 16 menjelaskan kedudukan rekaman CCTV dalam suatu proses persidangan pada tahap pembuktian tindak pidana cukup penting dalam mengungkap kejadian yang terjadi sebetulnya pada lokasi kejadian perkara. Berdasarkan hasil putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan, hasil rekaman CCTV tersebut mempunyai peranan penting untuk mengungkap kejadian yang terjadi secara nyata, dan diakui kebenarannya oleh tersangka dan saksi lainnya. Pun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa disamping alat bukti rekaman CCTV, alat bukti lainnya juga tidak dapat dipungkiri memegang peranan penting dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Dikalangan masyarakat umum juga telah timbul suatu pola pikir yang menganggap bahwa pemasangan kamera CCTV ditempat yang dianggap penting merupakan salah satu langkah pencegahan terjadinya tindak pidana. Penggunaan rekaman CCTV dalam pembuktian tindak pidana umum ditandai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Nomor: 21/PUU- XIV/2016 menyebutkan bahwa semua bukti elektronik yang bukan diambil oleh aparat penegak hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum. Padahal dalam 15 Hasil wawancara dengan Eva Mayanti. Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Senin, 16 Januari Hasil wawancara dengan Akhmad Suhel. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Rabu, 18 Januari 2017

7 91 kenyataannya rekaman CCTV digunakan oleh aparat penegak hukum untuk memperkuat pembuktian persidangan. Adapun dasar pembuktian CCTV dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tentang CCTV sebagai alat bukti elektronik. Selain itu pengambilan data/rekaman CCTV harus didampingi oleh penyidik dan dibuatkan berita acara. Alat bukti ini digunakan dalam mendukung proses peradilan yang menunjukkan secara jelas kejadian di tempat perkara, sehingga rekaman CCTV digunakan sebagai salah satu alat bukti untuk menunjang pembuktian dalam proses peradilan disamping menunjang alatalat bukti lainnya untuk mendapatkan suatu kebenaran dari suatu peristiwa yang terjadi. Rekaman CCTV dapat memberikan keyakinan terhadap hakim dalam memutus perkara, selain keterangan terdakwa dan keterangan saksi. Pemeriksaan keaslian setiap alat-alat bukti yang ada, merupakan tugas dari Kepolisian dan Kejaksaan, dalam menyidik tindak pidana yang menggunakan alat bukti CCTV sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Informasi elektronik dan dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum adalah sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang dapat digunakan hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana, Artinya ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana. Dalam hal ini, alat-alat bukti yang digunakan dalam mendukung proses peradilan yang menunjukkan secara jelas kejadian di tempat perkara. Dengan demikian bahwa pada hakikatnya rekaman CCTV digunakan sebagai salah satu alat bukti untuk menunjang pembuktian dalam proses peradilan disamping menunjang alat-alat bukti lainnya untuk mendapatkan suatu kebenaran dari suatu peristiwa yang terjadi dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam konteks tindak pidana umum seperti pencurian, pembuktian dengan menggunakan rekaman CCTV dapat memberikan keterangan bagi hakim dalam memutus perkara tersebut. Hal ini memberikan gambaran bahwa, perkembangan teknologi yang ada dewasa ini, tidak hanya membawa dampak negatif dalam kehidupan akan tetapi dapat membuka jalan bagi para penegak hukum di Negara ini untuk memudahkan dalam memecahkan suatu kasus pidana melalui rekaman CCTV yang nyata menggambarkan tentang proses kejadian perkara tersebut. B. Kebijakan Kriminal tentang CCTV sebagai Alat Bukti dalam Hukum Pidana Kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari UUITE dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September CCTV masuk dalam

8 92 Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 pengertian informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 UUITE dan merupakan alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku, sehingga dalam hukum acara pidana dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UUITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UUITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UUITE. Putusan Mahkamah Konstitusi inilah kemudian yang dipandang sebagai dasar untuk membatasi penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana. Menurut Eva Mayanti 17 sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah terdapat pertanyaan hukum mengenai kedudukan dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia. Jika kita menganalisis ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUITE, di situ dikatakan bahwa keduanya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Tidak ada penjelasan yang sah mengenai apa yang dimaksud dengan perluasan tersebut sehingga timbul pertanyaan apakah perluasan tersebut dimaknai sebagai penambahan alat bukti atau merupakan bagian dari alat bukti yang telah ada. Dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa dan jika perluasan tersebut dimaknai penambahan maka alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia secara umum menjadi lebih dari lima. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah informasi elektronik dan data elektronik tersebut dapat dijadikan dasar sebagai alat bukti petunjuk bagi Majelis Hakim. Kemudian apabila perluasan tersebut dimaknai sebagai bagian dari alat bukti yang telah ada maka alat bukti dalam hukum pidana secara umum tetap lima, namun baik informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut dapat dimasukkan dalam alat bukti petunjuk atau alat bukti surat. Menurut Akhmad Suhel 18 informasi elektronik dan data elektronik sebagai bagian dari alat bukti petunjuk, CCTV merupakan bukan merupakan alat bukti yang pengaturannya bersifat limitatif dalam Pasal 184 KUHAP namun merupakan 17 Hasil wawancara dengan Eva Mayanti. Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Senin, 16 Januari Hasil wawancara dengan Akhmad Suhel. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Rabu, 18 Januari 2017

9 93 barang bukti yang dapat ditempatkan sebagai bagian dari alat bukti petunjuk untuk memperoleh keyakinan hakim. Pendapat tersebut juga didasari pandangan hukum acara pidana modern yang menempatkan kedudukan barang bukti dan alat bukti sebagai bagian dari bukti. Hal ini didasarkan pada pengaturan mengenai alat bukti lainnya yang bersifat elektronik dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam pasal tersebut telah diatur secara jelas bahwa alat bukti lainnya yang bersifat elektronik merupakan bagian dari alat bukti petunjuk. Dalam perkembangannya pasal ini pun telah dilakukan pengujian bersamaan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UUITE. Menurut Eddy Rifai 19 untuk dasar pembuktian CCTV harus dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tentang CCTV sebagai alat bukti elektronik. Selain itu pengambilan data/rekaman CCTV harus didampingi oleh penyidik dan dibuatkan berita acara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 memutuskan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UUITE. Demikian pula dengan pertimbangan hukum majelis hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menempatkan kedudukan barang bukti dan alat bukti sebagai bagian dari bukti yang mana cara perolehannya juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai bagian dari barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, benda yang diperoleh dari tindak pidana atau benda yang menunjukkan terjadinya tindak pidana. Selain itu majelis hakim konstitusi juga menentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah harus diperoleh dengan cara yang sah pula, jika tidak maka dapat dikesampingkan karena tidak memiliki nilai pembuktian. Hal yang menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi 19 Hasil wawancara dengan Eddy Rifai. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Sabtu, 4 Maret 2017

10 94 Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 tersebut penggabungan mengenai kedudukan atas alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik dengan cara perolehan yang salah alat bukti tersebut. Terkait dengan penggabungan ini dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, terdapat perbedaan pendapat atau diessenting opinion dari Hakim Konstitusi Suhartoyo yang setuju dengan pendapat ahli Edmon Makarim, bahwa perlu dipisahkan antara alat bukti dan cara perolehannya, sehingga semua informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah adapun cara perolehannya merupakan cara yang lain. Hakim Suhartoyo berpendapat bahwa UUITE telah mengatur mengenai cara perolehan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah sehingga seharusnya permohonan uji materi tersebut ditolak. Menurut Kurnia Muludi 20 pembuktian dengan menggunakan media CCTV harus diawali dengan pembuktian bahwa hasil rekaman CCTV tersebut adalah asli, hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pengecekan originalitas. Sumber data CCTV harus dilakukan penyitaan oleh penyidik, agar tidak ada data elektronik yang dirubah dan diperlukan back up data CCTV dengan media penyimpanan eksternal (external storage) untuk mengamankan data dalam jangka waktu yang lama. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mengubah standar pembuktian di Indonesia. Sebelumnya tidak diatur bagaimana keabsahan perolehan suatu alat bukti maka pasca-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terbatas untuk informasi elektronik dan dokumen elektronik maka keabsahan peroleh suatu alat bukti menjadikan suatu alat bukti memiliki nilai pembuktian atau tidak. Oleh karena itu penggunaan CCTV untuk penjebakan perbuatan suap dalam kasus tindak pidana korupsi sebagaimana dalam kasus tindak pidana korupsi atas nama terpidana Mulyana W Kusuma tidak dapat diterima sebagai alat bukti yang sah. Kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sesuai dengan teori kebijakan kriminal (penal policy atau criminal policy) sebagai suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang 20 Hasil wawancara dengan Kurnia Muludi. Ahli Telematika Jurusan Ilmu Komputer Fakultas MIPA Universitas Lampung. Jumat, 3 Maret 2017

11 95 sesuai dengan berbagai keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 21 Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu: 1. Kebijakan dengan Sarana Non Penal, dalam hal ini penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia merupakan upaya yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengatasi belum adanya pengaturan dalam KUHAP mengenai eksistensi CCTV dalam perkara tindak pidana. 2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal, dalam hal ini penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia merupakan tindakan nyata aparat penegak hukum, khususnya setelah diberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XIV/2016 yang mengatur bahwa semua bukti elektronik yang bukan diambil oleh aparat penegak hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu penggunaan CCTV sebagai alat bukti harus diawali dengan proses pengambilan oleh aparat penegak hukum, yang dilegalisasi dengan pembuatan berita acara pengambilan alat bukti. Pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dapat digunakan di Pengadilan yang diatur dalam Undang Undang ITE, belumlah cukup memenuhi kepentingan praktik peradilan, karena baru merupakan pengaturan dalam tataran hukum materiil. Mengingat praktek peradilan didasarkan pada hukum acara sebagai hukum formal yang bersifat mengikat, maka pengaturan bukti elektronik (sebagai alat bukti yang sah untuk diajukan ke pengadilan) dalam bentuk hukum formal/hukum acara sangat diperlukan guna tercapainya kepastian hukum. Baik Hukum Acara Perdata maupun hukum Acara Pidana sebagai hukum formal yang merupakan tata cara atau aturan main untuk berperkara ke Pengadilan yang bersifat memaksa dan mengikat bagi Hakim maupun para pihak yang berperkara, haruslah secara tegas mengatur dan mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan. Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata sudah mengakomodasi mengenai bukti elektronik dengan merumuskan pengaturan mengenai alat bukti secara terbuka (sistem pembuktian terbuka), yang mengatur bahwa: pembuktian dapat dilakukan dengan semua alat bukti, kecuali undangundang menentukan lain. Meskipun bukti elektronik belum diatur secara tegas dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana, namun berdasarkan asas peradilan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya sekalipun dengan dalih hukumnya tidak jelas atau tidak ada, dan asas bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai hokum yang tumbuk dan berkembang 21 Barda Nawawi Arif. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung hlm.12

12 96 Jurnal Cepalo Volume 1, Nomor 1, Desember 2017 dalam masyarakat, maka Undang Undang ITE yang telah mengatur bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, dapat digunakan sebagai dasar untuk mejadikan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersodangan. Pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang dapat diajukan ke pengadilan dan diakui sah sebagai alat bukti, sudah dilakukan sejak Tahun 1977 melalui Undang Undang Dokumen Perusahaan yang menentukan bahwa mikrofilm yang berisi rekaman dokumen suatu perusahaan dapat diajukan sebagai alat bukti di Pengadilan bila kelak timbul gugatan. Pengakuan terhadap bukti elektronik ini semakin dipertegas dengan diundangkannya Undang Undang ITE yang mengatur bukti elektronik secara tegas dan mengakuinya sebagai alat bukti yang sah diajukan ke Pengadilan.Dengan demikian saat ini bukti elektronik diakui sebagai alat bukti hokum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana kelangsungan atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Penyelenggaraannya berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu di tulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti di kondisifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 desember 1981 melalui lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, tambahan lembaran Negara Nomor Tujuan pengkodifikasian hukum secara pidana itu terutama sebagai pengganti Reglemen Indonesia Baru (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kepentingan umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal itu, menurut Pasal 2 dinyatakan bahwa KUHAP belaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak pidana berdasarkan KUHAP hanya peradilan umum, kecuali dintetukan lain oleh undang-undang itu. Adanya RUU KUHAP merupakan salah satu upaya pembaharuan dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya hukum Acara Pidana Indonesia Sehingga dapat terciptanya supremasi hukum dengan menuju sistem peradilan pidana terpadu dengan menempatkan penegak hukum pada tugas, fungsi, dan wewenangnya dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi, struktur ketatanegaraan, perkembangan

13 97 hukum masyarakat, serta berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. IV. SIMPULAN 1. Eksistensi CCTV pada pembuktian perkara tindak pidana umum adalah sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang dapat digunakan hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana sepanjang proses pengambilan bukti rekaman CCTV tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Alat bukti ini digunakan dalam mendukung proses peradilan yang menunjukkan secara jelas kejadian di tempat perkara, sehingga rekaman CCTV digunakan sebagai salah satu alat bukti untuk menunjang pembuktian dalam proses peradilan disamping menunjang alat-alat bukti lainnya untuk mendapatkan suatu kebenaran dari suatu peristiwa yang terjadi dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 2. Kebijakan kriminal tentang CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia terdiri dari kebijakan dengan sarana non penal dan sarana penal. Kebijakan dengan Sarana Non Penal, dalam hal ini penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum pidana di Indonesia merupakan upaya yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mengatasi belum adanya pengaturan dalam KUHAP. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal, merupakan tindakan nyata aparat penegak hukum, khususnya setelah diberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XIV/2016 yang mengatur bahwa semua bukti elektronik yang bukan diambil oleh aparat penegak hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu penggunaan CCTV sebagai alat bukti harus diawali dengan proses pengambilan oleh aparat penegak hukum, yang dilegalisasi dengan pembuatan berita acara pengambilan alat bukti. DAFTAR PUSTAKA Lelyemin, F Marselus Pasha. Nugroho dan Edy Hartadi, Kedudukan Rekaman Video sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, Fakultas Hukum Unika Atmajaya. Jakarta Mulyadi, Lilik Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Nawawi Arief, Barda Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Selasa 6 September 2016

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan narkotika di seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum yang berlaku. Kemajuan teknologi informasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas sesuatu atau objek, di mana sesuatu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting, penyalahgunaan narkotika dapat berdampak negatif, merusak dan mengancam berbagai aspek

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006 I. PARA PEMOHON Prof. DR. Nazaruddin Sjamsuddin sebagai Ketua KPU PEMOHON I Prof. DR. Ramlan Surbakti, M.A., sebagai Wakil Ketua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUUXIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pia I. PEMOHON Sri Royani, S.S. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil UngUng Nomor

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN. PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. : Encep Rustian Bin Eman Sulaiman

BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN. PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. : Encep Rustian Bin Eman Sulaiman 72 BAB III KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PUTUSAN PENGADILAN A. Kasus Posisi 1. Identitas Pelaku PUTUSAN Nomor : 105/PID/B/2015/PN.BDG. Nama Lengkap Tempat Lahir : Encep Rustian Bin Eman

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang mengaturnya, karena hukum merupakan seperangkat aturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pada dasarnya bersifat mengatur atau membatasi setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap masyarakat (individu). Pada garis besarnya hukum merupakan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis melakukan

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara hukum atau negara berdasarkan hukum. Pernyataan ini memang

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara hukum atau negara berdasarkan hukum. Pernyataan ini memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum atau negara berdasarkan hukum. Pernyataan ini memang merujuk pada pernyataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan

Lebih terperinci

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Elsa Karina Br. Gultom Suhirman Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Regulation

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti

I. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang diharapkan mampu memberikan kedamaian pada masyarakat saat kekuasaan negara seperti eksekutif dan kekuasaan legislatif hanya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan I. PEMOHON Rama Ade Prasetya. II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pada dasarnya bersifat mengatur atau membatasi setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap masyarakat (individu). Pada garis besarnya hukum merupakan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XV/2017 Nominal Transaksi Keuangan Mencurigakan, Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal, Penyitaan Kekayaan Diduga TPPU I. PEMOHON Anita Rahayu Kuasa Hukum Antonius

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana I. PEMOHON Sri Royani, S.S. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN NAMA KELOMPOK : 1. I Gede Sudiarsa (26) 2. Putu Agus Adi Guna (16) 3. I Made Setiawan Jodi (27) 4. M Alfin Gustian morzan (09) 1 DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di segala bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas.

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas. Persoalan lalu lintas yang dihadapi oleh kota-kota besar antara lain, yaitu kemacetan,

Lebih terperinci

TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA JURNAL ILMIAH

TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA JURNAL ILMIAH TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA JURNAL ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh

Lebih terperinci

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi?

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi? TRANSKRIP WAWANCARA Subjek bernama Ahmad Baharudin Naim Pekerjaan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang sejak tahun 2011. Sebelum menjadi hakim, narasumber merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu)

PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu) PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu) PRASETYO DARMANSYAH PUTRA DJAMAN / D 101 10 310 ABSTRAK Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5952 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan hal yang penting saat pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena berdasarkan tahapan pembuktian inilah terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

KETERANGAN PRESIDEN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Jakarta, 6 Maret 2013 Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Pertama-tama marilah kita

Lebih terperinci

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni : I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan secara tegas, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUUXIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka I. PEMOHON 1. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) (Pemohon I)

Lebih terperinci

EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG

EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG oleh Mazmur Septian Rumapea I Wayan Sutarajaya I Ketut Sudjana Bagian Hukum Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci