BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Perkembangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Di Indonesia, langkah-langkah pembentukan hukum positif guna menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui masa perubahan peraturan perundang-undangan. Peraturanperaturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi silih berganti. Peraturanperaturan yang baru ditujukan untuk memperbaiki dan menambah peraturan yang terdahulu. Namun demikian, tindak pidana korupsi dalam segala bentuknya tetap saja masih tidak bisa dihindari. Adapun undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi yang pernah diberlakukan di Indonesia ialah 1. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957 Berdasarkan peraturan inilah istilah korupsi sebagai istilah yuridis untuk pertama kali digunakan. Batasan mengenai pengertian korupsi menurut peraturan ini ialah Perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Adapun rumusan korupsi menurut peraturan ini ialah: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan 30 Martiman Prodjohamidjojo, op cit, hal 12.

2 suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. 2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya. 2. Peraturan pemberantasan korupsi penguasa perang pusat (Angkatan Darat dan Laut) Sebelum tahun 1960, yakni sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, telah ada peraturan pemberantasan korupsi yang diberlakukan yaitu, Peraturan Penguasa Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I./I/7 tertanggal 17 April Dalam konsiderans peraturan-peraturan tersebut, khususnya pada butir a disebutkan, Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah yang mempergunakan modal dan atau kelonggarankelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lainlain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan 31 K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1977, hal. 23.

3 tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi. 32 Dari pernyataan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa, pembuat peraturan masih berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang terdahulu agar lebih efektif dalam memberantas korupsi. Kemudian yang menjadi fokus dari peraturan ini adalah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran yang lain dari masyarakat. Selain itu juga dapat diambil kesimpulan bahwa KUHP saja tidaklah cukup untuk menampung segala masalah yang timbul berhubung dengan perbuatan yang merugikan keuangan negara. 33 Adapun rumusan korupsi dalam peraturan-peraturan tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu: Perbuatan korupsi pidana, yaitu: a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. b. Perbuatan dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 32 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia - Masalah dan Pemecahannya, Jakarta : Gramedia Pustaka, 1991, hal Ibid, hal Martiman Prodjohamidjojo, op cit, hal 12.

4 c. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP. 2. Perbuatan korupsi lainnya, yaitu: a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan. Dalam perbuatan korupsi lainnya, unsur perbuatan melawan hukum dimaknai dengan perbuatan tercela sebagaimana onrechtmatige daad yang tercantum dalam pasal 1365 KUHPerdata Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Peraturan ini ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 6 Juni Berlakunya undang-undang ini dengan tegas mencabut peraturan-peraturan tentang korupsi yang berlaku sebelumnya yang bersifat sementara. Sejak saat itu pula, tidak ada lagi pembagian rumusan korupsi yang dikenal hanya tindak 35 Andi Hamzah, op cit, hal. 40.

5 pidana korupsi, yang pengertiannya sama dengan perbuatan korupsi pidana. 36 Hal ini dikarenakan para pembuat undang-undang saat itu memandang tidak perlu lagi ada peraturan tentang korupsi yang bukan pidana, karena hal-hal tersebut membuka kemungkinan bagi pemerintah untuk menggugat secara perdata melalui Pasal 1365 KUHPerdata. 37 Hal yang baru dalam undang-undang ini ialah ditariknya beberapa pasal dari KUHP yang dijadikan sebagai tindak pidana korupsi, yang diancam dengan hukuman yang lebih berat. Selain itu, hal-hal baru lainnya yang diatur dalam undang-undang ini yang belum ada dalam peraturan sebelumnya ialah: Delik percobaan dan delik pemufakatan; 2. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara; 3. Ada delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri; dan 4. Rumusan pegawai negeri diperluas. 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang ini mulai diberlakukan pada tanggal 29 Maret Dalam konsiderans dinyatakan bahwa undang-undang ini diciptakan dengan pertimbangan: a. Perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. b. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat 36 K. Wantjik Saleh, op cit, hal Andi Hamzah, op cit, hal Martiman Prodjohamidjojo, op cit, hal 14.

6 mencapai hasil yang diharapkan dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti. Adapun hal-hal baru yang diatur dalam undang-undang ini ialah, perluasan rumusan tindak pidana korupsi, perluasan pengertian pegawai negeri, dan adanya ketentuan-ketentuan untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur (penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi) dan Hukum Acara yang berlaku. Delik korupsi dalam undang-undang ini dirumuskan dalam enam kelompok, yaitu: Tindak pidana korupsi dirumuskan normatif; 2. Tindak pidana korupsi dalam KUHP yang diangkat menjadi delik korupsi; 3. Tindak pidana korupsi dilakukan subjek non-pegawai negeri; 4. Tindak pidana korupsi karena tidak melapor; 5. Tindak pidana korupsi percobaan; dan 6. Tindak pidana korupsi pemufakatan. 5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Konsiderans undang-undang ini menyatakan bahwa, tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Selain itu, akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang 39 Ibid, hal 16.

7 menuntut efisiensi yang tinggi. Atas pertimbangan itulah kehadiran Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan masyarakat, sehingga harus diganti dengan undang-undang yang baru agar lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Adapun hal-hal baru yang diatur dalam peraturan ini ialah: Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi. 2. Sifat melawan hukum diperluas maknanya, tidak hanya melawan hukum formil tapi juga melawan hukum materil. 3. Adanya ketentuan mengenai ancaman pidana minimum khusus. 4. Adanya ancaman hukuman pidana mati atau pidana seumur hidup. 5. Adanya ancaman hukuman pidana kumulatif antara pidana penjara dan pidana denda. 6. Adanya pengaturan tentang peradilan in absentia. 7. Memuat pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. 8. Adanya pengaturan mengenai peran serta masyarakat untuk membernatas tindak pidana korupsi dalam bentuk hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi dan memberikan penghargaan kepada mereka yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. 40 Mahrus Ali, Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta : UII Press, 2013, hal. 26, dikutip seperlunya.

8 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada dasarnya undang-undang ini merupakan perubahan atau penambahan terhadap beberapa ketentuan dalam undang-undang yang sebelumnya. Terdapat dua alasan mengapa undang-undang sebelumnya harus dirubah sebagaimana yang termuat dalam konsiderans, yaitu: 1. Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. 2. Jaminan kepastian hukum, menghindari keragaman penafisran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi merupakan hal penting untuk diwujudkan. Adapun beberapa perubahan penting dan mendasar dalam undang-undang ini ialah: Terjadi perubahan redaksi penjelasan Pasal 2 ayat (2) mengenai keadaan tertentu. 2. Perluasan alat bukti. 3. Pada rumusan Pasal 2, Pasal 5 sampai Pasal 12 Undang-Undang ini, rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu pada pasal-pasal dalam 41 Ibid, hal. 30.

9 KUHP tetapi langsung menyantumkan unsur-unsur yang terdapat dalam KUHP. 4. Penghapusan dan menyatakan tidak berlaku Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, dan Pasal 435 KUHP pada saat mulai berlakunya undang-undang ini. 5. Adanya delik baru mengenai pemberian hadiah, yaitu gratifikasi. 6. Memberikan kewenangan untuk melaksanakan perampasan harta benda yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana yang dinyatakan dalam pasal 38 ayat (1). B. Perkembangan Pengaturan Pemberian Hadiah Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Mengenai praktik pemberian hadiah kepada pejabat publik, dari awal di Indonesia sudah ada aturan mengenai larangan terhadap penerimaan hadiah atau bentuk pemberian lainnya meskipun tidak tegas menyebut gratifikasi. Pada mulanya aturan tersebut terdapat di dalam KUHP yang kemudian aturan-aturan tersebut diadopsi ke dalam undang-undang tentang pemberantasan korupsi di Indonesia khususnya pada PERPU No 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan perkembangan undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, aturan mengenai praktik pemberian hadiah pun turut berkembang.

10 1. Pemberian hadiah menurut Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Pengaturan mengenai pemberian hadiah dalam peraturan ini keseluruhannya diadopsi dari KUHP. Dalam undang-undang ini, pemberian hadiah kepada pejabat publik (pegawai negeri/penyelenggara negara) diatur dalam Pasal 1 tentang hal-hal yang termasuk tindak pidana korupsi. Secara spesifik, pada Pasal 1 huruf c lah diatur tentang pasal-pasal yang diadopsi dari KUHP tersebut, yang berbunyi : kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai Pasal 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf c tersebut, pasal-pasal yang mengatur tentang pemberian hadiah, khususnya kepada pegawai negeri ialah: Pasal 209, Pasal 418 dan Pasal 419 KUHP, serta Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tersebut. Namun perlu diketahui bahwa, pemberian hadiah yang diatur disini termasuk kedalam kategori suap. a. Pasal 209 KUHP Pasal 209 ke-1: Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada kepada seorang pegawai negeri dengan maksud hendak membujuk dia supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya atau mengalpakan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban-nya. Pasal 209 ke-2:

11 Barangsiapa memberi hadiah kepada seorang pegawai negeri karena pegawai negeri itu dalam jabatannya sudah mengalpakan sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya. Yang diancam dalam Pasal ini ialah perbuatan memberi hadiah atau perjanjian kepada seorang pegawai negeri itu supaya berbuat sesuatu atau mengalpakan sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya atau pegawai negeri yang sudah mengalpakan sesuatu yang berlawanan dengan kewajibannya. 42 Pemberian hadiah menurut pasal ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: Sebelum si pegawai negeri melakukan apa yang dikehendaki oleh orang yang memberi hadiah; 2. Setelah si pegawai negeri melakukan apa yang dikehendaki oleh orang yang memberi hadiah. Adapun unsur terpenting dari pasal ini adalah: Bahwa pemberi harus mengetahui bahwa ia berhadapan dengan pegawai negeri. 2. Memakai alat yang berupa hadiah atau janji. 3. Maksud pemberian hadiah atau janji itu harus membujuk supaya pegawai negeri itu berbuat atau mengalpakan sesuatu yang berhubungan dengan kewajibannya Menurut Hoge Raad pada tanggal 24 November 1890, pasal ini dapat juga diperlakukan seandainya hadiah itu tidak diterima. Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangannya yang termuat dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 22 Juni 1956 Nomor 145 L/Kr/1955 menyatakan : Pasal 209 KUHP tidak 42 R. Sugandhi, KUHP Dan Penjelasannya, Surabaya : Usaha Nasional, 1981, hal M. Hamdan, Tindak Pidana Suap & Money Politics, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005, hal Ibid, hal 52.

12 mensyaratkan bahwa pemberian itu harus diterima dan maksud dari Pasal 209 KUHP itu ialah menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri, suatu percobaan yang dapat dihukum untuk menyuap. 45 Jadi tidak menjadi syarat apakah sesuatu tersebut diterima atau ditolak oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Disamping itu juga tidak disyaratkan bahwa penerimaan sesuatu tersebut pada saat pegawai negeri atau penyelenggara negara sedang melakukan tugas jabatan atau dinasnya. 46 b. Pasal 418 KUHP Pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan itu, Yang diancam hukuman menurut Pasal ini ialah pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji, sedangkan ia tahu atau patut menduga bahwa apa yang dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atau hak karena jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang menghadiahkan atau menjanjikan sesuatu itu ada hubungannya dengan jabatan pegawai negeri tersebut. 47 c. Pasal 419 KUHP Pasal 419 ke-1 : Yang menerima hadiah atau kesanggupan padahal diketahuinya bahwa itu diberikan untuk menggerakkan dia supaya melakukan 45 Afid Burhanuddin, Delik Korupsi Dalam Undang-Undang, didownload, Senin,16 Februari 2015 pukul 17:03:51 WIB. 46 Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Bersih Uang Pelicin, op cit. 47 R. Sugandhi, op cit, hal. 437.

13 atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal 419 ke-2 : Yang menerima hadiah padahal diketahui bahwa itu diberikan sebagai akibat atau karena ia telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Adapun unsur dari pasal ini ialah: Dilakukan oleh pegawai negeri; 2. Menerima hadiah atau janji; 3. Mengetahui hadiah atau janji itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal 419 ini terbagi dalam dua bagian, yaitu: Penerimaan hadiah atau janji oleh si pegawai negeri sebelum ia melakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh si pemberi (Sub 1). 2. Penerimaan hadiah atau janji oleh si pegawai negeri setelah ia melakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh si pemberi (Sub 2). Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap tindak pidana-tindak pidana diatas, berdasarkan Pasal 16 Peraturan ini ialah: 1. penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/atau denda setinggitingginya satu juta rupiah. 2. Segala harta-benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas. 48 M. Hamdan, op cit, hal Ibid.

14 3. Si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi. d. Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada seorang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat, dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yag melekat pada jabatan atau kedudukannya atau yang oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah. Adapun yang menjadi alasan dimuatnya Pasal ini ialah sebagaimana yang termuat dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang ini, yaitu : Dalam KUHP, tidak ada ancaman hukuman bagi orang-orang yang memberi hadiah kepada pegawai yang dimaksud dalam Pasal 418 KUHP, juga tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang memberi hadiah kepada orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau kepada seorang yang menerima gaji atau upah dari suatu Badan yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggarankelonggaran dari negara atau masyarakat. Untuk mengisi kekosongan ini maka Pasal 17 diadakan. 2. Pemberian hadiah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam peraturan ini, pemberian hadiah sama pengaturannya dengan undang-undang yang berlaku sebelumnya. Hal ini dikarenakan delik-delik korupsi yang diatur dalam peraturan ini umumnya masih diadopsi dari undang-undang

15 sebelumnya. Mengenai pemberian hadiah, dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan dari undang-undang sebelumnya. Adapun perubahan serta penambahan tersebut ialah: a. Rumusan Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 diadopsi kedalam undang-undang ini. Ketentuan Pasal 17 tersebut menjadi Pasal 1 sub d dalam undang-undang ini. b. Adanya ketentuaan yang mengatur tentang wajib lapor bagi pegawai negeri yang menerima pemberian sesuai Pasal 418, 419, dan 420 KUHP, yang termuat dalam Pasal 1 sub e dalam undang-undang ini. Adapun bunyi dari Pasal 1 sub e tersebut ialah : Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Dalam penjelasan Pasal 1 sub e tersebut, dapat dilihat bahwa, ketentuan dalam sub e ini dimaksudkan untuk memidanakan seseorang yang tidak melaporkan pemberian atau janji yang diperolehnya dengan melakukan tindak pidana-tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP. Apabila tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut dipenuhi dan pelaporan itu misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya diketahui tentang peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan bahwa si penerima itu dapat dilepaskan dari penuntutan berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas. Hal demikian tidak berarti bahwa tiap pelaporan tentang penerimaan pemberian/janji itu membebaskan terdakwa dari kemungkinan penuntutan apabila semua unsur dari tindak pidana dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP dipenuhi.

16 Adapun mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut ialah sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 28 Undang- Undang ini, yaitu: Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a, b, c, d, e dan ayat (2) Undang-undang ini, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah. Selain dari pada itu dapat dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut dapat Pasal 34 sub a, b, dan c Undang-undang ini Pemberian hadiah menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pemberian hadiah menurut undang-undang ini juga sama dengan undangundang sebelumnya. Hanya saja, dalam undang-undang yang baru ini pasal-pasal yang diadopsi dari KUHP lebih diurai dengan pasal-pasal sendiri tidak seperti undang-undang sebelumnya yang mengelompokkannya kedalam satu sub Pasal. Misalnya, Pasal 209 KUHP, dalam undang-undang ini Pasal 209 KUHP diadopsi kedalam satu Pasal tersendiri, yaitu pasal 5. Demikian pula halnya dengan pasal 50 Dalam pasal 34 ini diatur mengenai hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana, yaitu: Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam KUHP maka sebagai hukuman tambahan adalah: a. perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barangbarang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan; b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan tak berujud yangtermaksud perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan,akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini. c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan hartabenda yang diperoleh dari korupsi.

17 lainnya. Pasal 418 KUHP dalam undang-undang ini diadopsi menjadi Pasal 11 dalam undang-undang ini dan untuk Pasal 419 KUHP menjadi Pasal 12. Begitu pula halnya dengan sanksi pidana yang dijatuhkan, telah ditentukan masingmasing di dalam Pasal-Pasal tersebut. Adapun hal lain yang berbeda mengenai pemberian hadiah yang terdapat dalam undang-undang ini ialah, tidak ada lagi aturan mengenai wajib lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 sub e undang-undang sebelumnya. 4. Pemberian hadiah menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, undang-undang ini mulai menggunakan kata gratifikasi. Dalam rumusan Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 dapat ditarik pemahaman bahwa, Pasal tersebut tidak mengatur larangan menerima hadiah bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara, akan tetapi mengatur larangan memberi hadiah. Hal ini menunjukkan, meskipun tidak tegas menggunakan kata gratifikasi, namun larangan mengenai pemberian hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara telah diatur sejak lama dalam hukum positif di Indonesia. Dalam undang-undang ini gratifikasi diatur di dalam Pasal 12B, yang berbunyi : (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp ,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

18 b. yang nilainya kurang dari Rp ,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Untuk memahami benar mengenai kejahatan ini, perlu diketahui mengenai dua ketentuan yang memuat : Tentang pengertian tindak pidana korupsi gratifikasi menurut Pasal 12B ayat (1), ialah gratifikasi (pemberian) pada pegawai negeri dianggap menerima suap adalah apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya. 2. Tentang pengertian gratifikasi dan macam-macamnya yang ditempatkan pada penjelasan Pasal 12B, yang merumuskan: yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Berdasarkan ketentuan diatas dapatlah ditarik kesimpulan : Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri dari macam-macam; benda, jasa, fasilitas dan lain sebagainya. 51 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : PT Alumni, 2008, hal Ibid, hal 264.

19 2. Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan pidana pada pemberi suap gratifikasi dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi atas dasar hukum Pasal 12B ini. 3. Bahwa demikian luasnya pengertian suap menerima gratifikasi seperti yang diterangkan dalam penjelasan mengenai pasal 12B ayat (1) tersebut, tidak bisa tidak, tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 12 huruf a, b, c maupun Pasal 11. Undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini juga memberi peluang lolos bagi penerima gratifikasi dari ancaman hukuman. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 12C ayat (1) dan (2) yang menyatakan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima gratifikasi. Dalam analisa yuridis dari ketentuan pasal 12B dan pasal 12C Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan : 53 a. Gratifikasi sesungguhnya merupakan delik korupsi yang unik. Tidak seperti lazimnya delik pidana lain, gratifikasi ternyata mensyaratkan tenggat waktu untuk naik status menjadi delik pidana sempurna. Jadi 53 Asrul, Standarisasi Nilai Gratifikasi Demi Profesionalisme Birokrasi Dalam Good Governance Dan Pemberantasan Korupsi, Universitas Hasanuddin, 2014, ce=1, didownload pada Selasa, 17 Maret 2015, pukul 17:00:39 WIB

20 tidak mungkin ada kejadian tertangkap tangan dalam kasus gratifikasi; b. Gratifikasi yang terindikasi suap, ternyata dibagi menjadi dua jenis berdasarkan jumlah dan beban pembuktiannya: kategori pertama, jika gratifikasi nilainya Rp 10 juta atau lebih, maka beban Pembuktian gratifikasi tersebut bukan suap berada di tangan penerima, sedangkan kategori kedua, jika kurang dari Rp 10 juta maka penuntut umum yang harus membuktikan bahwa gratifikasi itu tergolong suap atau bukan. C. Alasan Gratifikasi Diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Perkembangan Praktik Pemberian Hadiah Di Indonesia Jika dilihat dari kebiasaan, tradisi saling memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan sebagainya. Pada awalnya pemberian hadiah yang berlangsung di masyarakat merupakan suatu bentuk perbuatan yang baik dalam menjalin hubungan kekerabatan, namun lama-kelamaan praktik pemberian hadiah mulai berkembang yang tadinya sebagai bentuk solidaritas, menjadi sesuatu yang cenderung dilakukan karena kepentingan. 54 Seperti halnya pemberian hadiah kepada pejabat publik (pegawai negeri/penyelenggara negara). Perkembangan praktik terkini pemberian hadiah di Indonesia diungkapkan oleh Verhezen. Dalam studinya, Verhezen mengungkapkan adanya perubahan 54 Komisi Pemeberantasan Korupsi, Buku Saku, Op cit.

21 mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat Jawa modern yang menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi. Dalam konteks budaya Indonesia dimana terdapat praktik umum pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan yang sifatnya personal, budaya pemberian hadiah menurut Verhezen lebih mudah mengarah pada suap. 55 Penulis lain, Harkristuti, terkait pemberian hadiah mengungkapkan adanya perkembangan pemberian hadiah yang tidak ada kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan, tapi sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau memberi kesenangan pada sang pemberi hadiah. Demikian berkembangnya pemberian ini, yang kemudian dikembangkan menjadi komisi sehingga para pejabat pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan hak mereka. 56 Selain itu, Lukmantoro, disisi lain membahas mengenai praktik pengiriman parsel pada saat perayaan hari besar keagamaan atau di luar itu yang dikirimkan dengan maksud untuk memuluskan suatu proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik gratifikasi. 57 Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan adanya kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang diterima oleh pejabat publik. Pada dasarnya praktik pemberian hadiah yang berlaku umum di masyarakat yang memiliki fungsi untuk merekat kohesi sosial sangatlah baik. Namun jika praktik tersebut diadopsi oleh sistem birokrasi, praktik positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Kebiasaan dalam pemberian hadiah yang terjadi dikalangan pejabat publik berefek pada kinerja 55 Ibid. 56 Ibid. 57 Ibid.

22 dilingkungan pemerintahaan. Pemberian yang diberikan kepada pejabat publik cenderung memiliki pamrih dan dalam jangka panjang dapat berpotensi mempengaruhi kinerja pejabat publik, menciptakan ekonomi biaya tinggi dan dapat mempengaruhi kualitas dan keadilan layanan yang diberikan pada masyarakat. 58 Akibat dari berkembangnya kebiasaan pemberian hadiah ini selain memungkinkan terjadinya praktik suap atau gratifikasi, juga memungkinkan timbulnya kerugian keuangan negara. Sebelum diaturnya gratifikasi, masyarakat tetap diperbolehkan memberikan hadiah atas dasar hubungan jabatan selama pemberian hadiah tersebut tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun. Untuk meminimalisir itu semua, pemerintah telah memuat aturan-aturan hukum yang berkenaan dengan itu. Setelah gratifikasi diatur dalam pasal yang berbeda dengan suap dan berdiri sebagai perbuatan sendiri, pemberian hadiah bagi pegawai negeri dan penyelenggara negara yang telah berlangsung lama di masyarakat dilarang. Terutama apabila pemberian tersebut berkaitan dengan jabatan dan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara. 2. Konflik Kepentingan dalam Gratifikasi Salah satu faktor penyebab korupsi di Indonesia adalah adanya konflik kepentingan yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Pemahaman yang tidak seragam mengenai konflik kepentingan menimbulkan penafsiran yang beragam dan berpengaruh terhadap performa kinerja penyelenggara negara. Konflik kepentingan adalah situasi dimana seorang penyelenggara negara yang 58 Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Bersih Uang Pelicin, op cit.

23 mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundangundangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. 59 Menurut beberapa pendapat, korupsi bermula dari kebiasaan masyarakat yang terbiasa dengan hubungan patron-client, yang mana masyarakat berkewajiban memberikan upeti kepada pemegang kekuasaan. Kebiasaan ini berlangsung terus menerus sehingga melahirkan sikap yang mengutamakan loyalitas kepada penguasa. 60 Praktik korupsi pada masa sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberian hadiah seringkali kita anggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan, namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau 59 Komisi Pemberantasan Korupsi, Konflik Kepentingan, didownlod Selasa, 21 April 2015, pukul 21:09:45 WIB. 60 Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Bersih Uang Pelicin, op cit. Gunnar Myrdal, ekonom, sosiolog, sekaligus politisi Swedia, lewat kajiannya yang terbit dalam bentuk buku terkenal, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, ia menyimpulkan bahwa korupsi berasal dari penyakit neopatrimonialisme, yakni warisan feodal kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam konteks ini, rakyat biasa berkewajiban memberi upeti kepada pemegang kekuasaan. Lalu, dalam perspektif kerajaan-kerajaan lama, kekuasaan bersifat konkret dan harus diwujudkan secara materi dan dukungan penduduk yang harus dipelihara kesetiaannya. Dari sini berkembanglah politik uang yang sangat mencederai perkembangan sistem politik di alam reformasi sekarang ini. Mengikuti pola pikir Gunnar Myrdal, sosiolog Syed Hussein Alatas juga melakukan kajian mendalam tentang korupsi. Alatas memandang bahwa korupsi di Asia berkaitan dengan warisan dari kondisi historis-struktural yang berlangsung selama berabad-abad akibat represi penjajah. Kondisi yang berlangsung terusmenerus ini lalu melahirkan sikap yang mengutamakan loyalitas kepada penguasa dan kebiasaan melanggar norma-norma lama yang sebelumnya dihormati dan dipatuhi.

24 kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian gratifikasi. 61 Seperti yang diketahui dalam praktik, seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih. Salah satu kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundangundangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. 62 Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini antara lain adalah: Penerimaan gratifikasi dapat membawa kepentingan tersamar (vested interest) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu; 61 Kopertis, op cit. 62 Komisi Pemeberantasan Korupsi, Buku Saku, Op cit. 63 Ibid.

25 2. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian profesional penyelenggara negara; 3. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi; dll. Penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar, semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan mempengaruhi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang bersangkutan. Penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima gratifikasi dari pihak yang memiliki hubungan afiliasi dapat terpengaruh dengan pemberian tersebut terkait dengan jabatan yang dipangkunya, serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari si pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa. Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan yang timbul karena pemberian hadiah tersebut maka dirasa perlu dibuat sebuah aturan mengenai pemberian hadiah (gratifikasi) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Para pembentuk undang-undang berusaha dengan gigih membuat jaring hukum yang sangat rapat agar tidak ada celah-celah kemungkinan bebasnya pegawai negeri dalam menerima setiap pemberian dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Oleh karenanya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat sedemikian rupa dan mengatur semua hal yang menyangkut tentang penyelewengan keuangan negara sampai pegawai negeri yang menerima uang dengan maksud jahat diatur juga dalam undang-undang ini. Pada akhirnya pembentuk undang-undang sepakat untuk memasukkan gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dimana

26 undang-undang tersebut merubah sekaligus melengkapi Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana pengaturan mengenai gratifikasi belum diatur sebelumnya. 64 D. Perbedaan Tindak Pidana Suap dengan Gratifikasi Dalam konteks hukum, delik suap bukan merupakan persoalan baru. Istilah suap ini tidak memiliki defenisi yang limitatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, suap dalam hal ini diartikan sebagai uang sogok. Dalam bahasa Latin, delik suap disebut briba, yang maknanya a piece of bread given to beggar (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Kemudian maknanya terus berkembang ke makna yang bisa diartikan positif, yaitu gift received or given in order to influence corruptly yang oleh Mulhadi, dipahami sebagai pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud mempengaruhi secara jahat atau korup. 65 Beberapa istilah yang sering kita dengar, yang merujuk pada istilah suap ialah uang pelicin, uang komisi, uang administrasi, uang terima kasih dan sebagainya. Menurut R. Soesilo, suap atau sogokan itu tidak perlu berupa uang, bisa saja berupa pemberian barang atau perjanjian misalnya untuk menonton, berpergian dengan gratis, akan diberi suatu pekerjaan yang menguntungkan, dan lain sebagainya. 66 Tindak pidana penyuapan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu sebagai berikut: Asrul, op cit. 65 Firman Wijaya, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, Jakarta : Penaku, 2011, hal M. Hamdan, op cit, hal Unila, BAB II, didownload Selasa, 17 Maret 2015 pukul 17:00:35 WIB.

27 a. Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai. b. Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji baik berupa uang maupun barang. Sebagai contoh apabila pegawai negeri/penyelenggara menerima pemberian atau janji dalam pasal ini, berarti pegawai negeri/penyelenggara negara dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut. Pengaturan tentang suap pertama sekali dimuat dalam KUHP. Kemudian pasal-pasal yang mengatur tentang suap tersebut diadopsi kedalam Undang- Undang tentang pemberantsan tindak pidana korupsi yang pertama, yaitu Undang- Undang No. 24 Prp Tahun 1960 yang kemudian terus berkembang hingga dibentuklah satu aturan hukum yang khusus mengatur tindak pidana suap, Undang-Undang No. 11 Tahun Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11

28 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, dapatlah disimpulkan defenisi suap, yaitu: Barang siapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp (lima belas juta rupiah). Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji dan dalam suap ada unsur mengetahui atau patut dapat menduga sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya. 68 Suap, penekanannya pada keaktifan masyarakat/pengguna jasa/rekanan kepada pejabat publik untuk mempengaruhi keputusan yang berlawanan tugas dan fungsinya. Berbeda dengan gratifikasi, gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Hal ini sesuai dengan pengertian gratifikasi yang termuat dalam penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. 68 Hukum Online Perbedaan antara suap dan gratifikasi, diakses Minggu, 8 Februari 2015 pukul 13:16:54.

29 Antara gratifikasi dan suap itu ada kecenderungan kesamaan dan memiliki perbedaan yang tipis. Keduanya sama-sama menjadikan jabatan, kekuasaan, dan wewenang sebagai motif dari suatu pemberian/hadiah. Perbedaannya adalah gratifikasi masih merupakan zaakwarneming (sesuatu yang boleh) asalkan tidak bertentangan dengan kewajiban dan wewenangnya serta melaporkannya ke KPK. Sedangkan suap adalah perbuatan onrechtmatigedaad (sesuatu yang bertentangan dengan hukum), karena pemberian itu mengakibatkan kontrak/konsekuensi kepada yang diberi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan cara menyalahgunakan jabatan, kekuasaan, dan wewenang yang dimilikinya. Perbedaan itu akan hilang manakala gratifikasi tidak dilaporkan kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini adalah KPK Komisi Pemberantasan Korupsi, Apa Beda Korupsi dan Gratifikasi dalam Kasus Rudi Rubiandini diakses pada Selasa, 4 November 2014, pukul 16:25:33 WIB.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG GRATIFIKASI, SEBAGAI AWAL DARI KORUPSI. Oleh : Ennoch Sindang Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK, Kementerian Keuangan

MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG GRATIFIKASI, SEBAGAI AWAL DARI KORUPSI. Oleh : Ennoch Sindang Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK, Kementerian Keuangan 1 MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG GRATIFIKASI, SEBAGAI AWAL DARI KORUPSI Oleh : Ennoch Sindang Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK, Kementerian Keuangan ABSTRAKSI Pemberian hadiah adalah sesuatu yang terbiasa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau corruptus yang mempunyai arti kerusakan atau kebobrokan. sebagainya. Selain itu korupsi juga diartikan sebagai:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau corruptus yang mempunyai arti kerusakan atau kebobrokan. sebagainya. Selain itu korupsi juga diartikan sebagai: 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Korupsi 1. Pengertian korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dijumpai dimana-mana, fakta menunjukkan bahwa korupsi tersebut ada disetiap negara negara berkembang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB II GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Istilah Gratifikasi berasal dari bahasa Belanda gratikatie yang diadopsi

BAB II GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Istilah Gratifikasi berasal dari bahasa Belanda gratikatie yang diadopsi BAB II GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI C. Pengertian dari Gratifikasi Istilah Gratifikasi berasal dari bahasa Belanda gratikatie yang diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi gratification yang artinya

Lebih terperinci

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 2001/134, TLN 4150] Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK TENTANG DISPARTITAS PENUNTUTAN KPK DALAM PENERAPAN PASAL SUAP DAN GRATIFIKASI

BAB II KAJIAN TEORITIK TENTANG DISPARTITAS PENUNTUTAN KPK DALAM PENERAPAN PASAL SUAP DAN GRATIFIKASI BAB II KAJIAN TEORITIK TENTANG DISPARTITAS PENUNTUTAN KPK DALAM PENERAPAN PASAL SUAP DAN GRATIFIKASI A. Disparitas Penuntutan 1. Disparitas Konsep equality before the law yang menjadi salah satu ciri Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAGI PEJABAT NEGARA PENERIMA GRATIFIKASI YANG MELAPORKAN DIRI KEPADA KPK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN FIKIH JINAYAH

BAGI PEJABAT NEGARA PENERIMA GRATIFIKASI YANG MELAPORKAN DIRI KEPADA KPK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN FIKIH JINAYAH BAB IV ANALISIS PENGHAPUSAN PIDANA BAGI PEJABAT NEGARA PENERIMA GRATIFIKASI YANG MELAPORKAN DIRI KEPADA KPK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN FIKIH JINAYAH A. Persamaan Penghapusan Pidana bagi Pejabat Negara

Lebih terperinci

BAB II. A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia. lautan. Menyinggung masalah korupsi berarti menyinggung pula masalah

BAB II. A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia. lautan. Menyinggung masalah korupsi berarti menyinggung pula masalah BAB II LATAR BELAKANG PENGATURAN GRATIFIKASI SEBAGAI SALAH SATU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Pengaturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang-Undang 1 1 Bab 07 Never let corruptors unpunished DELIK KORUPSI DALAM RUMUSAN UNDANG-UNDANG Delik Korupsi Dalam Rumusan

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS TERHADAP GRATIFIKASI DAN SUAP SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN

ANALISIS YURIDIS TERHADAP GRATIFIKASI DAN SUAP SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 1 ANALISIS YURIDIS TERHADAP GRATIFIKASI DAN SUAP SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar www.kompas.com Mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin didakwa menyalahgunakan wewenangnya dalam proses kerja sama rehabilitasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang telah

I. PENDAHULUAN. Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang telah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Semakin hari perkembangan korupsi

Lebih terperinci

Pedoman Pengendalian Gratifikasi. Good Governance is Commitment and Integrity

Pedoman Pengendalian Gratifikasi. Good Governance is Commitment and Integrity Pedoman Pengendalian Gratifikasi Good Governance is Commitment and Integrity BAHASAN Definisi Korupsi, Suap dan Gratifikasi Contoh Gratifikasi Hubungan Gratifikasi dengan Korupsi Pengendalian Gratifikasi

Lebih terperinci

BAB IV LARANGAN GRATIFIKASI DALAM RANGKA GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (

BAB IV LARANGAN GRATIFIKASI DALAM RANGKA GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III ( tanggung jawab sosial dan moral perusahaan terhadap masyarakat ( Corporate Social Responsibility ). BAB IV LARANGAN GRATIFIKASI DALAM RANGKA GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III ( PTPN

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DATA

BAB II IDENTIFIKASI DATA BAB II IDENTIFIKASI DATA 2.1. Definisi Buku Saku Secara umun buku adalah kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.

Lebih terperinci

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA.

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA. .. maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA. Nomor : B7/.Jr8/KPKNI/2006 Jakarta,..1./ Juni 2006 Sifat Lampiran -- : renting Perihal : Pertentangan

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1.

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 3 TAHUN 1971 (3/1971) Tanggal: 29 MARET 1971 (JAKARTA) Sumber: LN 1971/19; TLN NO. 2958 Tentang: PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

Kajian Gratifikasi Seks Dalam Perspektif Hukum Pidana Oleh Hervina Puspitosari, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Kajian Gratifikasi Seks Dalam Perspektif Hukum Pidana Oleh Hervina Puspitosari, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Kajian Gratifikasi Seks Dalam Perspektif Hukum Pidana Oleh Hervina Puspitosari, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI i DAFTAR ISI Daftar Isi i BAGIAN A : PENDAHULUAN 1 I. LATAR BELAKANG 1 II. MAKSUD DAN TUJUAN 1 III. LANDASAN HUKUM 2 IV. PENGERTIAN UMUM 3 BAGIAN B : PENGELOLAAN PENGENDALIAN

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang-Undang 1 1 Bab 07 Never let corruptors unpunished DELIK KORUPSI DALAM RUMUSAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN BENTURAN KEPENTINGAN DI KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1971 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1971 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1971 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: Perpu 24-1960 dicabut: UU 31-1999 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 19, 1971 TINDAK PIDANA KORUPSI. PEMBERANTASAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dihimpun oleh : JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.636, 2015 LEMSANEG. Gratifikasi. Pengendalian. Sistem. PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN GRATIFIKASI DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

Lampiran 4 SK No /HK.01.01/02/ReINDO/12/2012 Tanggal 26 Desember 2012 PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

Lampiran 4 SK No /HK.01.01/02/ReINDO/12/2012 Tanggal 26 Desember 2012 PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI Lampiran 4 SK No. 00228/HK.01.01/02/ReINDO/12/2012 Tanggal 26 Desember 2012 PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI DAFTAR ISI Daftar Isi... 1 Pernyataan Komitmen... 2 I. LANDASAN HUKUM... 3 II. PENGERTIAN UMUM...

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan korupsi merupakan masalah yang sangat sentral dalam kurun waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah penyakit yang tidak mudah

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI Desember 2012 DAFTAR ISI Daftar Isi... 1 Pernyataan Komitmen... 2 I. LANDASAN HUKUM... 3 II. TUJUAN DAN MANFAAT... 3 III. ISTILAH PENTING... 4 IV. PENGERTIAN GRATIFIKASI...

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1300, 2013 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN. Pengendalian Gratifikasi. Sistem. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

PEDOMAN PENANGANAN GRATIFIKASI PT. INHUTANI I (PERSERO)

PEDOMAN PENANGANAN GRATIFIKASI PT. INHUTANI I (PERSERO) PEDOMAN PENANGANAN GRATIFIKASI PT. INHUTANI I (PERSERO) PENDAHULUAN Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

P E N A N G A N A N G R A T I F I K A S I. PT Jasa Marga (Persero) Tbk

P E N A N G A N A N G R A T I F I K A S I. PT Jasa Marga (Persero) Tbk PEDOMAN PENANGANAN GRATIFIKASI 2011 0 B a b 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang yang selanjutnya disebut Perusahaan atau Perseroan terus melaksanakan penerapan prinsip-prinsip GCG secara konsisten dan berkesinambungan

Lebih terperinci

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH. KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH www.siwalima.com Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Maluku Tenggara Barat (MTB), Holmes Matruty dan Pejabat Pelaksana

Lebih terperinci

PEDOMAN PENANGANAN GRATIFIKASI PT. PEMBANGUNAN JAYA ANCOL, TBK

PEDOMAN PENANGANAN GRATIFIKASI PT. PEMBANGUNAN JAYA ANCOL, TBK PEDOMAN PENANGANAN GRATIFIKASI PT. PEMBANGUNAN JAYA ANCOL, TBK 2014 Halaman BAB I PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Landasan Penyusunan. 1 Maksud, Tujuan dan Manfaat.. 2 Daftar Istilah... 2 BAB II GRATIFIKASI...

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI PT INDUSTRI KAPAL INDONESIA (Persero) PT INDUSTRI KAPAL INDONESIA (Persero) Kantor Pusat & Galangan Makassar Jl Galangan Kapal 31 Makassar 90211 Sulawesi Selatan, Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI GRATIFIKASI BERDASARKAN UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI GRATIFIKASI BERDASARKAN UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TINJAUAN YURIDIS MENGENAI GRATIFIKASI BERDASARKAN UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Dodik Prihatin AN, SH, M.Hum ABSTRAKSI Pengaturan gratifikasi

Lebih terperinci

BENTURAN KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST) PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS

BENTURAN KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST) PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS BENTURAN KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST) PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS JAKARTA 2017 BENTURAN KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST) PELAKSANA SEKRETARIAT

Lebih terperinci

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya Oleh : Dewi Asri Yustia Abstrak Apakah kita masih bangga dengan Negara kita? apabila kita melihat catatan dari Ignatius Haryanto dalam artikelnya

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI UNTUK KITA SEMUA Memahami Gratifikasi

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI UNTUK KITA SEMUA Memahami Gratifikasi PENDIDIKAN ANTIKORUPSI UNTUK KITA SEMUA Memahami Gratifikasi Oleh: Suradi Widyaiswara Madya, Balai Diklat Kepemimpinan www.bppk.depkeu.go.id/bdpimmagelang Gratifikasi dan suap memiliki arti dan bentuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Korupsi Pengertian korupsi menurut masyarakat awam khususnya adalah suatu tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk

Lebih terperinci

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada PELATIHAN APARATUR PEMERINTAH DESA DALAM BIDANG MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA BAGI APARATUR PEMERINTAH DESA Oleh : IPTU I GEDE MURDANA, S.H. (KANIT TIPIDKOR

Lebih terperinci

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN SALINAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN GRATIFIKASI DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015 PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI DELIK SELESAI 1 Oleh: Zaid Samatea 2 ABSTRAK Dalam Hukum Pidana di Indonesia, suatu percobaan (Poging) merupakan delik yang belum selesai atau belum sempurna

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.405, 2015 BMKG. Benturan Kepentingan. Penanganan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA YANG DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA YANG DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 SEBAGAIMANA YANG DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan manusia dan termasuk jenis kejahatan yang tertua serta merupakan salah satu penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2101, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KPK. Status Gratifikasi. Penetapan. Pelaporan. Pedoman. PERATURAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAPORAN

Lebih terperinci