BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DAN TINDAK PIDANA PEMILU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DAN TINDAK PIDANA PEMILU"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DAN TINDAK PIDANA PEMILU 2.1 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pengertian pertanggungjawaban pidana Dalam pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. 27 Menurut aliran monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan, yang lazim disebut sebagai unsur objektif maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, disatukannya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika strafbaar feit terjadi maka sudah pasti pelakunya dapat dipidana. 28 Pandangan dualistis pertama kali digunakan oleh Herman Kontorowics, dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan yang ketika itu berkuasa yang oleh beliau dinamakan objektive schuld, oleh karena 27 Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h

2 21 kesalahan disitu dipandang sebagai sifat daripada kelakukan (merkmal del handlung). 29 Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis, tindak pidana hanya mencakup criminal act sedangkan criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana, oleh karena itu untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar. 30 Elemen terpenting dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan. Dengan unsur kesalahan, pelaku tindak pidana tidak semua dapat dijatuhi pidana, hal ini sesuai dengan asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sit rea yang artinya tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 31 Asas ini tidak terumuskan dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. 32 Roeslan Saleh berpendapat bahwa, pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar untuk adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya suatu perbuatan adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pelaku perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam 29 Ibid, h Lamintang, loc.cit. 31 Marhus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, h.165

3 22 melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut pada pertanggungjawaban pidana. 33 Oleh karena kesalahan merupakan penentu dalam menentukan pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana. Maka untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, yaitu : 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat; 2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk kesalahan; 3. Tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf Pengertian korporasi Dalam sistem hukum Perdata Belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh sistem hukum di Indonesia, maka dikenal sebagai subjek hukum terbagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu, pertama manusia (persoon) dan kedua, badan hukum (rechtpersoon). Dari pembagian subyek hukum tersebut, apabila korporasi ini merupakan suatu subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka korporasi termasuk dalam kualifikasi badan hukum (rechtpersoon). Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum. Badan hukum dalam bahasa belanda disebut recht persoon atau 33 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana:Dua Pegertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, h Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, h. 73

4 23 dalam bahasa Inggris disebut legal person atau legal body. 35 Terminologi korporasi sangat erat kaitannya dengan bidang keperdataan. Oleh karenanya pengertian korporasi tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Secara etimologi kata korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin. Corporatio sebagai kata benda, berasal dari kata kerja corporare. Corporare itu sendiri berasal dari kata corpus dalam bahasa Indonesia adalah Badan yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam. 36 Pembatasan mengenai korporasi juga dilakukan olah para ahli hukum. Utrecht memberikan batasan mengenai korporasi sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu obyek hukum tersendiri suatu personifikasi. Menurut Ali Chaidir korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing. 37 A.Z. Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu. 38 Rudi Prasetyo, menyatakan bahwa kata korporasi sebutan yang lazim digunakan di 35 Setiyono H, 2002, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis, dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Overoes press, Malang, h Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h I Dewa Made Suartha, 2015, Hukum Pidana Korporasi, Pertanggungjawaban Pidana dalam Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Setara Press, Malang, h Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 25

5 24 kalangan para pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum. 39 Selanjutnya keberadaaan korporasi menurut Moenaf H. Regar adalah badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya disamakan dengan manusia (orang), tanpa melihat bentuk organisasinya. Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan, dan dituntut di depan pengadilan. Oleh karena suatu korporasi adalah buatan manusia yang tidak sama dengan manusia, maka harus dijalankan oleh manusia, yang disebut pengurus atau pengelola. Suatu korporasi, biasanya mempunyai tiga organ, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi (misalnya Perseroan Terbatas). Batas umur dari korporasi itu ditentukan dalam anggaran dasarnya, pada saat korporasi itu mengakhiri kegiatannya dan bubar. 40 Korporasi sebagai badan hukum keperdataan dapat di perinci dalam beberapa golongan dilihat dari cara mendirikan dan peraturan perundang-perundangan sendiri, yaitu: 1. Korporasi egoistis, yaitu korporasi yang menyelenggrakan kepentingan para anggotanya, terutama kepentingan harta kekayaan, misalnya perseroan terbatas, serikat kerja. 2. Korporasi altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan yang memerhatikan 39 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h Moenaf H. Regar, 2000, Dewan Komisaris, Peranannya sebagai Organ Perseroan, Bumi Aksara, Jakarta, h.9.

6 25 nasib orang-orang tunanetra, tunarungu, penyakit TBC, penyakit jantung, penderita cacat, taman siswa, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. 41 Berdasarkan beberapa uraian sebelumnya ternyata dalam hukum perdata (dagang) bahwa korporasi adalah badan hukum. Menurut Utrecht, badan hukum (rechtpersoon) adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu yang riil, merupakan fakta yang sebenarnya dalam pergaulan hukum, walaupun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya. Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum adalah badan hukum mempunyai kekayaan yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak kewajiban anggotanya. Bagi bidang perekonomian, terutama lapangan perdagangan gejala ini sangat penting. 42 Batasan mengenai korporasi dalam hukum pidana dapat dijumpai dalam naskah Rancangan KUHP tahun 2014 Pasal 166 yang menyatakan korporasi adalah kumpulan terorganisir dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan demikian secara umum korporasi mempunyai unsur-unsur antara lain: a. Kumpulan orang dan/atau kekayaan; b. Terorganisir; 41 Amrullah Arief, 2006, Kejahatan Korporasi, Banyumedia, Malang, h Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 28.

7 26 c. Badan hukum; d. Bukan badan hukum. Dari uraian pengertian korporasi baik dalam bidang hukum perdata dan dalam bidang hukum pidana, ternyata korporasi dalam hukum pidana lebih luas pengertiannya bila dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi hanya berbentuk badan hukum saja. Subyek hukum pidana korporasi dalam hukum pidana hanya dikenal diluar KUHP, khususnya dalam perundang-undangan khusus, sebagai produk legalisasi setelah Indonesia merdeka Pengertian Pertanggungjawaban Korporasi Dalam KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. KUHP sampai saat ini masih menganut paham bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia (persoon). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 59 KUHP dalam hal-hal dimana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisariskomisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana. Makna Pasal 59 KUHP tersebut mengandung ancaman hukuman terhadap pengurus dan komisaris suatu badan hukum korporasi karena disangka (diduga) telah melakukan suatu delik, hanya berlaku dan hal pelanggaran saja. Selanjutnya tidak dapat dikatakan bahwa dalam Pasal 59 KUHP tercantum suatu tanggungjawab kolektif komisaris atau pengurus suatu badan hukum. Serta Pasal 59 KUHP tersebut juga mengandung

8 27 makna bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. KUHP hanya mengatur perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang perorangan yang pertanggungjawabannya juga dilakukan secara individu. Pembatasan Pasal 59 KUHP ini mengakibatkan kekosongan hukum terkait pertanggungjawaban pidana korporasi. Kekosongan pengaturan terkait korporasi akhirnya menemukan penyelesaian setelah korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1951, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1953 tentang Penimbunan Barang. 43 Kemudian mulai dikenal luas dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, seperti dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 7 Drt 1955), dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 11 PNPS Tahun 1963 tentang Subversi, Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Narkotika, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model atau sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, sebagai berikut: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslahlah yang bertanggungjawab; 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; dan 43 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 45.

9 28 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. 44 Namun demikian, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi tidak cukup sampai dengan 3 konsep sebagaimana dikemukakan di atas, dalam hal ini harus ditambahkan satu konsep lagi, yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana. Pernyataan ini sama dengan yang diungkapkan oleh Sutan Remy Sjahdeini, beberapa alasan yang digunakan Sutan Remy Sjahdeini berkaitan dengan konsep pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban secara pidana antara lain sebagai berikut: 1. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian, perbuatan pengurus itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau menghindarkan atau mengurangi kerugian finansial bagi korporasi. 2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan atau dapat memungkinkan pengurus bersikap lempar batu sembunyi tangan atau mengalihkan pertanggungjawaban.dengan kata lain, pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih bahwa perbuatannya bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan untuk 44 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 83.

10 29 kepentingan pribadi, tetapim erupakan perbuatan yang dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan korporasi. 3. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious, dan bukan secara langsung (doctrine of vicarious liability) yaitu pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi pertanggungjawaban pidananya dialihkan kepada korporasi, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious karena korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum. Artinya, segala perbuatan hukum yang benar atau yang salah, baik dalam ketentuan perdata maupun yang diatur oleh ketentuan pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi. 45 Menurut Barda Nawawi Arief, ada 4 (empat) ajaran pokok yang menjadi alasan bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut diantaranya adalah : direct liability doctrine, doctrine of strict liability, doctrine of vicarious liability dan company culture theory. 46 Direct liability doctrine atau sering disebut dengan identification theory yaitu doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut teori ini bila seseorang yang cukup senior dalam struktur korporasi atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam dalam bidang jabatannya, maka 45 Sutan Reni Sjahdeini, op.cit, h Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Get. Ke-II, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III), h. 246.

11 30 perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasikan dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi dan individu. Namun suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah individu bukan korporasi karena perbuatannya bukan perbuatan korporasi. Timbul keberatan yang cukup signifikan atas teori ini, khususnya berkaitan dengan korporasi besar dimana terdapat kemungkinan kecil seorang senior yang melakukan perbuatan secara langsung atas suatu tindak pidana disertai dengan mens rea. Doctrine of strict liability, merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku delik yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. 47 Hal ini dalam istilah hukum di Indonesia dikenal dengan pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban pidana dalam doktrin ini semata-mata berdasarkan pada Undang-Undang. Dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk delik-delik yang tidak dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungajwaban delik itu berdasarkan doctrine of strict liability. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah srtict liability offence. 47 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, h. 107.

12 31 Doctrine of vicarious liability, dalam istilah hukum Indonesia dikenal dengan istilah pertanggungjawaban vikarius. Doktrin ini adalah pengecualian pertanggungjawaban individu yang dianut dalam hukum pidana berdasarkan adegium nemo punitur pro alieno delicto (tidak seorangpun yang dihukum karena perbuatan orang lain). 48 Tidak menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak. Dapat dikatakan bahwa suatu korporasi telah menyerahkan kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh staf-nya dan berdasarkan itu korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan. Hal ini sering dijadikan alasan bahwa pencegahan yang optimal dapat tercapai dengan menerapkan doktrin vicarious liability pada korporasi tersebut. Sedangkan, company culture theory atau teori budaya korporasi menerapkan sistem dimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari segi prosedur, sistem bekerjanya, dan budayanya. 49 Oleh karena itu teori ini sering disebut teori model/sistem atau model organisasi (organizational or system model), serta kesalahan yang dilakukan oleh korporasi dalam teori ini didasarkan pada internal decision-making struktur. 48 Eddy O.S Hiariej, op.cit. h Eddy O.S Hiariej, loc.cit

13 Tindak Pidana Pemilu Pengertian tindak pidana pemilu Pengertian tindak pidana Pemilu dalam sistem hukum pidana di Indonesia baru pertama kali muncul setelah diundangkannya UU No. 8 Tahun Sebelumnya, dalam UU No.10 Tahun 2008 tidak digunakan istilah tindak pidana pemilu melainkan pelanggaran pidana Pemilu. UU No. 10/2008 Pasal 252 menyebutkan bahwa pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam undang-undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Sedangkan dalam UU No. 8 tahun 2012 Pasal 260 disebutkan bahwa tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undangundang ini. Sebelumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda telah dimuat lima pasal (Pasal 148, 149, 150, 151 dan 152) yang substansinya adalah tindak pidana pemilu tanpa menyebutkan sama sekali apa yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu. Begitu juga di dalam beberapa Undang-Undang pemilu yang pernah berlaku di Indonesia mulai dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 23 Tahun Pengertian tindak pidana pemilu belum dibahas secara mendalam dalam kepustakaan yang obyek pembahasannya adalah tindak pidana pemilu. Sintong

14 33 Silaban, menjabarkan yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu dengan menjabarkan apa yang dimaksud dengan tindak pidana secara umum, kemudian menerapkannya dalam kaitannya dengan pemilu. 50 Djoko Prakoso, tindak pidana pemilu adalah setiap orang atau badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang. 51 Defenisi yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso ini amat sederhana, karena jika diperhatikan beberapa ketentuan pidana dalam Undang-undang Pemilu saat ini perbuatan mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum hanya merupakan sebagian dari tindak pidana pemilu. Ruang lingkup tindak pidana pemilu memang amat luas cakupannya, meliputi semua tindak pidana yang terjadi pada proses penyelenggaraan pemilu, termasuk tindak pidana biasa pada saat kampanye atau penyelenggaraan keuangan yang terjadi dalam tender pembelian perlengkapan pemilu. Topo Santoso, memberikan defenisi tindak pidana pemilu dalam tiga bentuk meliputi: 1. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam Undang-undang Pemilu. 2. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur di dalam maupun di luar Undang-undang Pemilu (misalnya dalam Undang-undang Partai Politik ataupun di dalam KUHP). 50 Topo Santoso, 2006, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, h Djoko Prakoso, 1987, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Harapan, Jakarta, h. 148.

15 34 3. Semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan, kekerasan, perusakan dan sebagainya. 52 Pengertian pertama merupakan defenisi yang paling sempit dari ketiga pengertian di atas, tetapi sekaligus pengertian yang paling tegas dan fokus, yaitu hanya tindak pidana yang diatur dalam Undang Undang Pemilu saja. Dengan cakupan seperti itu maka orang akan dengan mudah mencari tindak pidana pemilu yaitu di dalam Undang-undang Pemilu. Berkenaan dengan masalah tersebut maka Dedi Mulyadi, melakukan redefenisi tindak pidana pemilu, terhadap pengertian tindak pidana pemilu menjadi dua kategori: 1. Tindak pidana pemilu khusus adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahapan penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam Undang-Undang pemilu maupun dalam Undang- Undang tindak pidana pemilu. 2. Tindak pidana pemilu umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahap penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu maupun dalam Undang- Undang Tindak Pidana Pemilu dan penyelesaiannya di luar tahapan pemilu melalui Peradilan Umum. 53 Adapun bentuk-bentuk tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibagi dalam 52 Topo Santoso, Op.cit., h Dedi Mulyadi, 2012, Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia, Gramata Publishing, Jakarta, h. 418.

16 35 dua kategori yaitu berupa tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai pelanggaran dari mulai Pasal 273 sampai dengan Pasal 291. Sedangkan tindak pidana pemilu yang digolongkan kejahatan dari mulai Pasal 292 sampai dengan Pasal 321 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta segala sifat yang menyertainya. Sebelumnya pengaturan mengenai tindak pidana pemilu telah diatur dalam KUHP. Dalam KUHP terdapat lima pasal yang mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggara pemilu. Lima pasal ini terdapat dalam BAB IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan diantaranya Pasal 148, 149, 150, 151, dan 152 KUHP Tindak pidana pemilu sebagai tindak pidana khusus Tindak pidana khusus atau hukum pidana khusus adalah undang-undang pidana yang berada diluar hukum pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum baik dari segi hukum pidana materiil maupun dari segi hukum pidana formal. 54 Dari pengertian tersebut suatu undang-undang untuk dapat dikatakan sebagai hukum pidana khusus harus ada penyimpangan dari hukum pidana umum. Tindak pidana pemilu tergolong dalam tindak pidana khusus. Sebagai tindak pidana khusus, tindak pidana pemilu mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum baik dari segi hukum formil maupun materiil. Karakteristik khusus dalam tindak pidana pemilu diartikan sebagai ciri atau bawaan yang umum dan 54 Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, h.229.

17 36 sering terjadi ketika persiapan pemilihan umum, proses pemilihan umum dan setelah pemilihan umum berlangsung. 55 Adapun penyimpangan hukum pidana pemilu dari ketentuan hukum pidana umum, antara lain: a. Perluasan Subyek Hukum Pidana Dalam hukum pidana umum, hanya orang perseorangan yang dapat dikategorikan sebagai subyek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan dalam hukum pidana pemilu terjadi perluasan subyek hukum pidana, yaitu tidak hanya orang perseorangan yang dapat dipertangungjawabakn secara pidana, akan tetapi badan hukum atau korporasi dapat dipertanggungjawabkan apabila melakukan tindak pidana pemilu. Ketentuan-ketentuan hukum pidana pemilu yang mengatur mengenai korporasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 303, Pasal 304, Pasal 306, dan Pasal 307 UU No.8 Tahun Pasal 303 ayat (1) menentukan: Setiap orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). Pasal 304 ayat (1) menentukan: Setiap orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) dipidana 55 Wiwik Afifah, 2014, Tindak Pidana Pemilu Legislatif di Indonesia, Mimbar Keadlian, Edisi Januari-Juni 2014, h.18.

18 37 dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 306 menentukan: Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU untuk kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). Dan Pasal 307 menentukan: Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). b. Stelsel Pemidanaan Pemilu Berbentuk Kumulatif. Dalam hukum pidana umum maupun dalam peraturan perundangundangan lain ada beberapa rumusan bentuk sanksi: Stelsel Alternatif Ciri khas suatu peraturan perundangan mengatur stelsel alternatif yaitu ditandai dengan kata atau. Misalnya ada norma dalam perundangan yang berbunyi...diancam dengan pidana penjara atau pidana denda Suhariyono AR, 2012, Pembaruan Pidana Denda di Indonesia (Pidana Denda Sebagai Sanksi Alternatif), Papas Sinanti, Jakarta, h.9

19 38 2. Stelsel Kumulatif Stelsel kumulatif ini ditandai dengan ciri khas adanya kata dan. Dengan adanya kata dan, maka hakim harus menjatuhkan pidana dua-duanya. 3. Stelsel Alternatif Kumulatif Berbeda dengan dua stelsel diatas, berdasar stelsel alternatif kumulatif ini, ditandai dengan ciri dan/atau. Suatu perundangan yang menganut stelsel ini, memberikan kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana apakah alternatif (memilih) ataukan kumulatif (menggabungkan). Dalam hukum pidana umum bentuk sanksi terdiri dari pidana tunggal (penjara), pidana alternatif (penjara atau denda), pidana kumulatif (penjara dan denda), dan pidana alternatif kumulatif (penjara dan/atau denda). Lebih khusus ketentuan KUHP yang berkaitan dengan ketentuan pidana pemilu yaitu Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, dan Pasal 152, bentuk sanksi pidana pemilu hanya terdiri dari pidana tunggal yaitu Pasal 148, 150, 151, dan Pasal 152, serta pidana alternatif yaitu Pasal 149. Dalam ketentuan hukum pidana khusus pemilu dalam UU No 8 Tahun 2012 dipersempit hanya menggunakan bentuk sanksi pidana stelsel kumulatif. Hal ini dapat dilihat dengan ciri-ciri menggunakan kata dan dalam sanksi pemidanaannya.

20 39 c. Jenis-Jenis Sanksi Hukum Pidana Pemilu Jenis sanksi dalam KUHP telah diatur dalam Pasal 10 KUHP, yang mana jenis-jenis sanksi hukum pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dimana pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda. Kemudian pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Dilihat dari ketentuan KUHP yang khusus mengatur tindak pidana pemilu hanya terdiri dari pidana pokok penjara dan denda, dan pidana tambahan hanya berupa pencabutan hak-hak tertentu. Penyimpangan UU No 8 Tahun 2012 dari ketentuan hukum pidana umum yaitu ketentuan pidana pemilu UU No 8 Tahun 2012 terdiri dari pidana pokok berupa pidana penjara dan pidana denda. Jenis-jenis sanksi itu tidak dimuat dalam satu pasal seperti dalam Pasal 10 KUHP, namun tersebar di setiap ketentuan pidana pemilu UU No 8 Tahun Jenis-jenis sanksi yang tertuang dalam UU No 8 Tahun 2012 dan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan, selama ini masih dijadikan sanksi utama dan banyak kelemahan karena pendekatan sanksi yang dipakai dalam upaya menanggulangi suatu kejahatan bersifat terbatas dan terarah pada pidananya pelaku saja. Dengan kata lain jenisjenis sanksi yang berlaku sampai saat ini, apabila dilihat dari aspek tujuannya lebih mengarah pada pencegahan agar orang tidak melakukan

21 40 kejahatan, bukan bertujuan mencegah agar kejahatan tidak terjadi. Jadi jenis-jenis sanksi tersebut bersifat individual Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Cetakan I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.170

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

BAB II. A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. 1. Pengertian Korporasi. Berbicara tentang korporasi maka kita tidak bisa melepaskan

BAB II. A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. 1. Pengertian Korporasi. Berbicara tentang korporasi maka kita tidak bisa melepaskan BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DAN PEMIDANAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 1. Pengertian

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liablity) sebagaimana dimaksud

BAB III PENUTUP. pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liablity) sebagaimana dimaksud BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan dalam penulisan skripsi ini, maka dapat diberikan kesimpulan guna menjawab pokok permasalahan dalam skripsi ini, yakni :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU PELANGGARAN HAK INDIKASI GEOGRAFIS

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU PELANGGARAN HAK INDIKASI GEOGRAFIS BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU PELANGGARAN HAK INDIKASI GEOGRAFIS 3.1. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam hukum pidana, syarat atau prinsip utama untuk adanya pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP. perseorangan sebagai subjek hukum. Berdasarkan hal tersebut untuk

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP. perseorangan sebagai subjek hukum. Berdasarkan hal tersebut untuk BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP A. Korporasi 1. Pengertian Korporasi Definisi korporasi secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang melakukan tindak pidana. Dengan lahirnya konsepsi baru dalam hukum pidana modern,

I. PENDAHULUAN. yang melakukan tindak pidana. Dengan lahirnya konsepsi baru dalam hukum pidana modern, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membahas mengenai masalah kesalahan dalam hukum pidana merupakan pembahasan yang sangat penting mengingat bahwa kesalahan merupakan dasar dari penjatuhan pidana bagi orang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI OLEH: AGUSTINUS POHAN DISAMPAIKAN DALAM PUBLIC SEMINAR ON CORPORATE CRIMINAL LIABILITIES JAKARTA 21 FEBRUARI 2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERTANGGUNGJAWABAN

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Penipuan Penipuan berasal dari kata tipu, yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur, bohong, atau palsu dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali,atau

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain, (WJS. Poerwadarminta,

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM

KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM 1. Pengertian Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi Yang bertanggung jawab adalah Korporasi Korporasi = badan hukum => Perseroan

Lebih terperinci

ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Oleh : A.A. Ngurah Wirajaya Nyoman A. Martana Program Kekhususan Hukum Pidana, Universitas

Lebih terperinci

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA ABTRAKSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal. pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal. pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana tanpa hak memiliki menyimpan atau menguasai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam sekitarnya. Hal ini juga dijelaskan dalam penjelasan undang-undang lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. alam sekitarnya. Hal ini juga dijelaskan dalam penjelasan undang-undang lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah salah satu unsur terpenting dalam lingkungan hidup dimana tingkah laku manusia sangat menentukan dan mempengaruhi perkembangan dari alam sekitarnya.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya dalam penulisan ini, secara singkat penulis menarik kesimpulan atas tinjauan strict liability

Lebih terperinci

(PKPS-BBM) bidang pendidikan secara konsep adalah mencakup komponen untuk biaya

(PKPS-BBM) bidang pendidikan secara konsep adalah mencakup komponen untuk biaya A. Pengertian Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) BOS yang dimaksud dalam program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan secara konsep adalah mencakup komponen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA. Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA. Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA A. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS. 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS. 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana Seseorang disebut telah melakukan perbuatan pidana, apabila perbuatannya

Lebih terperinci

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

Bab II TINJAUAN PUSTAKA Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk Undang-undang kita telah menggunakan kata strafbaar feit dan ada juga yang mempergunakan istilah delik, untuk menyebutkan apa yang kita kenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu dilakukan supaya hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Wahyu Beny Mukti Setiyawan, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Surakarta Hp : 0857-2546-0090, e-mail : dosenbeny@yahoo.co.id A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP)

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) Oleh : Ketut Yoga Maradana Adinatha A.A. Ngurah Yusa Darmadi I Gusti Ngurah Parwata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

PERUMUSAN KETENTUAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERUMUSAN KETENTUAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PERUMUSAN KETENTUAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (The Insertion od Criminal Rules into the Act Number 32, 2009 regarding t the Protection

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

Public Review RUU KUHP

Public Review RUU KUHP Public Review RUU KUHP Oleh: agustinus pohan Tujuan: Implikasi pengaturan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP Sejauh mana kebutuhan delik korupsi diatur dalam RUU KUHP. Latar belakang RUU KUHP KUHP dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah perubahan fungsi yang dijalankan dalam masyarakat, yakni terjadinya spesialisasi melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE

BAB II KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE BAB II KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE A. Pengertian Tindak Pidana Pemilihan Umum. Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2 SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk larangan bagi korporasi

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Wahyu Beny Mukti Setiyawan, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Surakarta Hp : 0857-2546-0090, e-mail : dosenbeny@yahoo.co.id

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2 Abstrak UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU No 19 Tahun 2004 Tentang

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA BAGI BADAN HUKUM YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN. Oleh:

SANKSI PIDANA BAGI BADAN HUKUM YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN. Oleh: SANKSI PIDANA BAGI BADAN HUKUM YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN Oleh: Ayu Puspasari, S.H., M.H Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang Jalan Srijaya Negara Bukit Besar Palembang 30129

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan penelitian dan analisis yang didasarkan pada landasan yuridis, doktrinal, dan filosofis serta didukung oleh data empirik mengenai pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN HUKUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMERDEKAAN BURUH. strafbaar feit yang memiliki arti sama. Beberapa pendapat para ahli hukum

BAB III KETENTUAN HUKUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMERDEKAAN BURUH. strafbaar feit yang memiliki arti sama. Beberapa pendapat para ahli hukum BAB III KETENTUAN HUKUM MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMERDEKAAN BURUH 3.1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 3.2.1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana atau perbuatan pidana yang dalam bahasa Belanda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Menurut Black's Law Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti, antara lain : 102 a. Merupakan satu kewajiban terikat dalam hukum atau keadilanuntuk

Lebih terperinci

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 Syapri Chan, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan E-mail : syapri.lawyer@gmail.com Abstrak Korporasi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis

II.TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis 18 II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti (yuridis normatif) adalah perbuatan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP Oleh *) Abstrak Kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, keadaan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera (unwelfare),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

AJARAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI BIDANG MAYANTARA. Laila Mulasari * ABSTRACT

AJARAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI BIDANG MAYANTARA. Laila Mulasari * ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 AJARAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI BIDANG MAYANTARA Laila Mulasari * ABSTRACT Imposition of a basic responsibility of corporations in a law

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Setelah menyampaikan pengantar di Bab I, berikut dalam Bab ini, penulis menyampaikan Kajian Pustaka. Semua data yang digunakan untuk penyusunan Bab ini berasal dari buku-buku hukum.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, TABRAK LARI, DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, TABRAK LARI, DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, TABRAK LARI, DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA 1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1.1.1 Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana Moeljatno menyatakan hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DAN PENCEMARAN NAMA BAIK, MELALUI INTERNET

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DAN PENCEMARAN NAMA BAIK, MELALUI INTERNET BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DAN PENCEMARAN NAMA BAIK, MELALUI INTERNET 1.1 Pengertian Tindak Pidana Wirjono Projodikoro menterjemahkan istilah strabaarfeit sama dengan tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukumnya berdasarkan ketentuan hukum yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. hukumnya berdasarkan ketentuan hukum yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat dibebankan hak dan kewajiban atau sesuatu yang berdasarkan hukum dapat memiliki hak dan kewajiban.hak dan kewajiban yang

Lebih terperinci

BAB III KONSEP TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN A. Konsep dan ruang lingkup tindak pidana korporasi

BAB III KONSEP TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN A. Konsep dan ruang lingkup tindak pidana korporasi BAB III KONSEP TINDAK PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 A. Konsep dan ruang lingkup tindak pidana korporasi Perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban yang dikehendaki oleh hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. separate entity dan limited liability yang dikenal di dalam Perseroan Terbatas.

BAB I PENDAHULUAN. separate entity dan limited liability yang dikenal di dalam Perseroan Terbatas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perseroan Terbatas sebagai badan usaha berbentuk badan hukum, merupakan badan usaha yang banyak dipilih oleh masyarakat dalam menjalankan kegiatan usaha. Salah satu

Lebih terperinci