KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP ARDHY FIRDIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP ARDHY FIRDIAN"

Transkripsi

1 KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP ARDHY FIRDIAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2011 Ardhy Firdian NIM. A

3 ABSTRACT ARDHY FIRDIAN. Studies of Spatial Pattern Based on Environmental Carrying Capacity in Garut Regency. Under supervision of BABA BARUS and DIDIT OKTA PRIBADI. Enviromental Carrying Capacity is measured in three methods such as, land capability, land carrying capacity and water carrying capacity. Garut Regency which is located at the upstream Cimanuk Watershed have an important role in protecting the sustainability of downstream area. The aims of this study are: (1) identifying land use in Garut Regency in 2009, (2) identifying land capability in Garut Regency, (3) assessing the suitability of land use with land capability and spatial pattern of Garut Regency, (4) identifying the status of environmental carrying capacity in Garut Regency, and (5) setting spatial pattern based on environmental carrying capacity. Based on the analysis through the interpretation of Landsat Satellite Imagery and Alos AVNIR in 2009, dryland agriculture has dominated about 45,4% and forest cover has about 23,8%. The result in land capability aspect, most areas in Garut Regency belong to Class IV (36,4% of the regency areas) and there is no Class I. The suitabilty of land cover regarding to land capabilty show that 49,6% area is categorized as suitable and 50,4% area is categorized as not suitable. Evaluation between the spatial patern and the land capability shown that 58,4% area is suitable, 24,4% area is not suitable and 17,2% area is suitable with some limitation factors. In the evaluation beetween spatial pattern and land cover shown that 64,5% area is suitable, 34,5% area is not suitable and 0,1% area is suitable with some condition. The status of land carrying capacity is deficit, and the status of water carrying capacity is deficit. According to spatial pattern that is made based on land capability and existing forest, region that can be used as the preservation area is about 60,1% and region that can be used as the cultivation area is about 41,5% of the area of Garut Regency. Keywords : spatial pattern, land use and land cover, land capability, environmental carrying capacity

4 RINGKASAN ARDHY FIRDIAN. Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup. Dibimbing oleh BABA BARUS dan DIDIT OKTA PRIBADI Ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan dan pengaturan pola serta struktur ruang di Indonesia, diatur melalui undang-undang tersebut bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Menurut Dardak (2005) rencana tata ruang juga merupakan sebuah piranti untuk menjamin terpenuhinya bukan hanya hak-hak individu seperti keselamatan, kesehatan, lingkungan, kenyamanan, maupun kemudahan akses, namun juga untuk hak-hak publik. Kabupaten Garut, merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang saat ini sedang menyusun rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Garut sebagai pengganti RTRW sebelumnya yang berakhir tahun Di dalam RTRW tersebut, kebijakan rencana pemanfaatan ruang bagi kawasan lindung ditetapkan sebesar 74,2% atau lebih besar daripada kebijakan sebelumnya. Hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik dalam pemanfaatan ruang dan berdampak terhadap aktifitas masyarakat lainnya. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu: (1) mengidentifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut, (2) mengidentifikasi kelas kemampuan lahan, (3) mengevaluasi kesesuaian antara pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan, (4) mengidentifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut dan (5) merumuskan arahan pemanfaatan ruang berbasis daya dukung lingkungan hidup. Pemanfaatan lahan aktual diperoleh melalui interpretasi citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2009 Path 121 dan 122 Row 065 dan Alos AVNIR tahun 2009 menggunakan strategi klasifikasi terbimbing metode Maximum Likelihood (MLC). Kelas kemampuan lahan diidentifikasi dengan menggunakan peta sistem lahan dan peta unit lahan. Perhitungan evaluasi kesesuaian dilakukan terhadap tiga aspek, yaitu : (1) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, (2) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang dan (3) kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan. Status daya dukung lingkungan hidup diperoleh menggunakan dua pendekatan, yaitu daya dukung lahan dan daya dukung air. Melalui pendekatan dengan metode ini, dapat diketahui status daya dukung lingkungan hidup di suatu wilayah, apakah dalam kondisi surplus atau defisit. Kondisi surplus diperoleh jika ketersediaan lingkungan hidup lebih besar daripada kebutuhan lingkungan hidup. Indikator yang digunakan untuk menentukan daya dukung lingkungan hidup adalah ketersediaan serta kebutuhan lahan dan air sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang

5 Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Perumusan arahan pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari evaluasi kesesuaian dan daya dukung lingkungan hidup. Arahan pemanfaatan lahan difokuskan kepada deliniasi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Faktor yang digunakan adalah kelas kemampuan lahan I dan II serta yang memiliki faktor penghambat kelerengan (l) serta kelerengan dan erosi (le). Selain itu arahan pemanfaatan lahan juga mempertimbangkan faktor pemanfaatan lahan aktual hutan yang perlu dipertahankan keberadaannya. Terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual, yaitu: (1) hutan, (2) perkebunan, (3) pertanian lahan kering, (4) pertanian lahan basah, (5) permukiman, (6) pertambangan, (7) padang rumput, (8) tanah terbuka, dan (9) tubuh air. Pemanfaatan lahan terbesar terdapat pada pertanian lahan kering ( Ha/45,4%) sedangkan pemanfaatan lahan terkecil berupa tambang pasir (200 Ha/0,1%). Pemanfaatan lahan aktual lain yang dominan adalah hutan dan pertanian lahan basah, dengan masing-masing luasan Ha dan Ha. Terdapat 27 (dua puluh tujuh) sub kelas kemampuan lahan yang ada di Kabupaten Garut. Luas terbesar merupakan sub kelas kemampuan IV-lb seluas Ha (25,9%). Sub kelas ini secara spasial penyebarannya terdapat di wilayah Garut bagian selatan. Sedangkan sub kelas kemampuan terkecil adalah V-o dengan luasan 170 Ha (0,1%). Sub kelas kemampuan ini pada kenyataannya merupakan daerah aluvial pada muara sungai yang terbentuk dari sedimentasi material tanah yang terbawa aliran sungai. Faktor dominan yang menjadi penghambat utama adalah kelerengan (l) dan erosi (e) yang dapat ditemukan pada semua kelas kemampuan. Faktor ini merupakan faktor penghambat terberat sedangkan faktor penghambat lain yang dominan adalah faktor erosi (e) dimana tinggi rendahnya penghambat faktor ini sangat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti kelerengan (l), kondisi tutupan tanah, tekstur tanah dan curah hujan. Hasil evaluasi kesesuaian menunjukkan bahwa dilihat dari segi pemanfaatan lahan aktual maupun segi rencana pemanfaatan ruang, secara umum masih dikatakan belum sesuai. Faktor dominan yang menjadi pembatas utama adalah faktor lereng (l) dan erosi (e). Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap daya dukung lahan dan daya dukung air. Perhitungan daya dukung lahan dilakukan dengan pendekatan nilai produksi, dimana total nilai produksi dari seluruh bioproduk yang dihasilkan dikalkulasikan dan disetarakan dengan harga beras. Hasil perhitungan nilai produksi terhadap sebelas kelompok komoditas yang meliputi 142 jenis komoditas, diperoleh nilai ketersediaan lahan setara luasan ,19 Ha sedangkan kebutuhan lahan yang diperoleh berdasarkan kebutuhan lahan untuk setiap penduduk diperoleh nilai setara luasan ,97 Ha pada jumlah penduduk sebanyak jiwa. Mengacu kepada nilai ini, dimana nilai kebutuhan lahan lebih besar daripada nilai ketersediaan lahan dapat dikatakan kondisi daya dukung lahan dalam keadaan defisit. Kondisi ketersediaan air di Kabupaten Garut mencapai sebesar ,43 m 3 /tahun sedangkan kebutuhan air mencapai ,00 m 3 /tahun, status daya dukung air dianggap dalam keadaan defisit.

6 Analisis spasial yang dilakukan untuk mendapatkan arahan pemanfaatan ruang, diperoleh hasil secara umum ditinjau dari aspek kemampauan lahan, status hutan yang berfungsi lindung maupun kondisi pemanfaatan lahan aktual yang ada, kawasan lindung yang dimungkinkan untuk dialokasikan di Kabupaten Garut sebesar 60,1% dari keseluruhan wilayah. Hal ini menunjukkan capaian target rancangan RTRW Kabupaten Garut yang menetapkan kawasan lindung sebesar 74,16% sulit diwujudkan. Kata kunci: pola pemanfaatan ruang, pemanfaatan lahan aktual, kemampuan lahan, daya dukung lingkungan hidup

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP ARDHY FIRDIAN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc.

10 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup : Ardhy Firdian : A : Ilmu Perencanaan Wilayah Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Baba Barus, MSc. Ketua Didit Okta Pribadi, SP, M.Si. Anggota Diketahui Ketua Proram Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M..Sc. Agr. Tanggal Ujian : 4 April 2011 Tanggal Lulus :

11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2011 ini ialah daya dukung lingkungan hidup dalam penataan ruang, dengan judul Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Baba Barus, MSc. dan Bapak Didit Okta Pribadi, SP, M.Si. selaku pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Di samping itu, penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta segenap pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Garut, Ir. Hj. Indriana Soemarto, MM yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini, Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis, rekan-rekan PWL angkatan 2009 atas segala kebersamaan selama pendidikan, dan pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya juga disampaikan kepada ibunda, isteri dan kedua anakku serta seluruh keluarga, atas segala do a, dukungan, pengertian, pengorbanan dan kasih sayangnya. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua civitas akademik dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perencanaan wilayah di masa mendatang. Bogor, April 2011 Ardhy Firdian

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 8 Februari 1976 dari pasangan H. Achmad Firdaus (Alm) dan Hj. Asih Miyanti. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis menikah dengan Alin Fitriyani dan dikaruniai dua orang anak, Naufal Fadhil Hafizh dan Rayyaa Zakiyyah Azhaar. Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota Jakarta, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB di Bogor dan lulus tahun Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2009 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Kehutanan Propinsi Bali dpk Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah tahun 2000 sampai dengan tahun Tahun 2005 penulis pindah tugas ke Pemerintah Kabupaten Garut dan ditempatkan pada Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan sampai tahun 2009, kemudian di tempatkan pada Dinas Perkebunan sejak tahun 2009 sampai saat ini.

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR.... iv vi PENDAHULUAN Latar Belakang.. 1 Perumusan Masalah 6 Tujuan Penelitian. 7 Manfaat Penelitian.. 7 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang... 8 Kemampuan Lahan... 9 Daya Dukung Lingkungan Hidup Sistem Informasi Geografis METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Penelitian Sumber dan Metode Pengumpulan Data Analisis dan Pengolahan Data Pemanfaatan Lahan Aktual Kemampuan Lahan Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan i

14 Daya Dukung Lingkungan Hidup Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup Batasan-batasan KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kondisi Fisik Wilayah Topografi Klimatologi Hidrologi Jenis Tanah Kependudukan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Kemampuan Lahan Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Kemampuan Lahan Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Pemanfaatan Lahan Aktual Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Kemampuan Lahan Daya Dukung Lingkungan Hidup ii

15 Daya Dukung Lahan Daya Dukung Air Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 83 LAMPIRAN iii

16 DAFTAR TABEL 1. Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria Jenis data dan sumber perolehan data Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis dan keluaran Hubungan kriteria kelas kemampuan lahan dan atribut peta landsystem dan peta landunit Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kelas kemampuan lahan Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuan lahan Contoh perhitungan nilai produksi total Koefisien limpasan Keterkaitan antara skenario, faktor pertimbangan dan kriteria yang digunakan untuk menyusun arahan pemanfaatan ruang Luasan dan persentase Kabupaten Garut berdasarkan kelas ketinggian Luasan dan persentase Kabupaten Garut berdasarkan kelas lereng Jumlah dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Garut Hal 14. Luas dan persentase rencana pola ruang revisi RTRW Kabupaten Garut Luas dan persentase pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun Luas dan persentase kelas kemampuan lahan Luas dan persentase sub kelas kemampuan lahan Luas dan persentase kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan iv

17 19. Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan Perhitungan ketersediaan lahan Nilai produk setiap kelompok komoditas Perhitungan status daya dukung air Luas dan persentase pemanfaatan ruang Perbandingan arahan pemanfaatan ruang menurut skenario dengan luasan minimal kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif a 77 v

18 DAFTAR GAMBAR 1. Jumlah penduduk Kabupaten Garut Perkembangan PDRB Garut tahun Pendapatan perkapita masyarakat Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan Kerangka pemikiran penelitian Interpretasi pemanfaatan lahan aktual tahun Perbandingan perbaikan citra satelit Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065 tanggal akuisisi 24 Maret 2009 Band Pemanfaatan peta landunit dan landsystem Penyesuaian peta landsystem menggunakan data DEM Alur proses pembuatan peta kelas kemampuan lahan Alur pelaksanaan pembuatan peta kesesuaian Alur proses perhitungan daya dukung lahan Alur proses perhitungan daya dukung air Alur penyusunan arahan pemanfaatan ruang Peta kelas ketinggian Kabupaten Garut Peta kelas kelerengan Peta curah hujan Peta jenis tanah Rencana pola ruang RTRW Kabupaten Garut Pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun Perkebunan sawit Perkebunan karet Hal vi

19 23. Perkebunan teh Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Permukiman Tanah terbuka Kelas kemampuan lahan Sub kelas kemampuan lahan Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Pertanian lahan kering pada daerah berbukit Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan Arahan pemanfaatan ruang skenario I Arahan pemanfaatan ruang skenario II Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif vii

20 PENDAHULUAN Latar Belakang Ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya sehingga dapat dikatakan, ruang sebagai wilayah bagi manusia untuk dapat melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan aktifitas lainnya yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya dan sumberdaya yang ada. Oleh sebab itu pengaturan ruang perlu dilakukan secara terencana sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara terkendali. Pengaturan ruang dalam kerangka kebijakan hukum di Indonesia, diatur melalui Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang diimplementasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik nasional, provinsi maupun kabupaten yang masing-masing dibedakan berdasarkan tingkat kedalaman analisis. Hal ini dilakukan dengan tujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan memperhatikan : a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Selain itu, rencana tata ruang juga merupakan sebuah piranti untuk menjamin terpenuhinya bukan hanya hak-hak individu seperti keselamatan, kesehatan, lingkungan, kenyamanan, maupun kemudahan akses, namun juga untuk hak-hak publik (Dardak 2005). Mengacu kepada pernyataan ini dapat dikatakan bahwa pemanfaatan ruang pada suatu wilayah harus sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup serta sumber daya yang dimiliki dan pengalokasian pemanfaatan ruang 1

21 dilakukan dengan memperhatikan kemampuan lahan yang ada, atau dengan kata lain harus memperhatikan aspek daya dukung lingkungan hidup. Pertimbangan aspek daya dukung lingkungan hidup dalam perencanaan pemanfaatan ruang menjadi penting, mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada, khususnya sumberdaya lahan perlu dipertahankan kelestariannya sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi manusia. Pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan hidup dapat menyebabkan terjadinya bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir serta dalam jangka panjang akan mengakibatkan dampak sosial. Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, pemerintah melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup, menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah, yang merupakan pedoman untuk menilai daya dukung lingkungan hidup sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam penyusunan RTRW. Konsekuensi hukum penerbitan peraturan tersebut adalah setiap penyusunan RTRW yang dilakukan pada suatu wilayah perlu mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan hidup, termasuk rancangan RTRW Kabupaten Garut sebagai pengganti RTRW sebelumnya yang berakhir pada tahun Kabupaten Garut, merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dalam penyusunan rancangan RTRW mengacu kepada RTRW Provinsi Jawa Barat yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat. Di dalam rancangan tersebut, alokasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Garut terbagi menjadi dua kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya, dengan proporsi luasan masing-masing 74,2% dan 25,8% dari keseluruhan wilayah. Pengalokasian kawasan lindung yang cukup besar juga merupakan bagian dalam mendukung program Provinsi Jawa Barat sebagai Green Province dimana kawasan lindung di Provinsi Jawa Barat akan mencapai luasan 45% dari luas wilayah Jawa Barat pada akhir tahun perencanaan. Konsekuensi logis dari penetapan ini akan berdampak terhadap aspek ruang serta aktifitas manusia dan berpotensi menimbulkan konflik. 2

22 Dilihat dari aspek keruangan, penetapan kawasan lindung sebesar 74,2% memerlukan penambahan luasan yang berasal dari peruntukan lain. Sebagai gambaran, pada RTRW Kabupaten Garut yang berlaku sebelumnya, pengalokasian fungsi kawasan ditetapkan sebesar 46,4% bagi peruntukan kawasan lindung dan 53,6% bagi kawasan budidaya sehingga dapat diperkirakan penambahan alokasi peruntukan kawasan lindung sebesar 27,8% akan berasal dari kawasan budidaya. Dampak lanjutan perubahan kebijakan pengalokasian ruang ini akan menyebabkan diberlakukannya pembatasan-pembatasan aktifitas terutama pada wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan kawasan budidaya. Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) mengemukakan bahwa kawasan non budidaya (fungsi lindung) adalah bagian dari suatu wilayah yang mempunyai fungsi non budidaya (dominasi fungsi lindung) terhadap tanah, air, flora, fauna dan budaya) dengan sudah mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup, dimana di dalamnya tidak diperkenankan adanya fungsi budidaya ataupun kalau terpaksa diperkenankannya dalam fungsi terbatas. Pembatasan pemanfaatan ruang sangat bertolak belakang dengan perkembangan yang ada, jika dilihat dari faktor perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi. Menurut Andriyani (2007) meningkatnya pertambahan penduduk akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman selain itu dikatakan, dinamika sosial ekonomi menjadi faktor pendorong terjadinya dinamika penggunaan lahan yang berakibat pada perubahan dan pergeseran penggunaan lahan. Data statistik seperti terlihat pada Gambar 1 menunjukkan, jumlah penduduk Kabupaten Garut pada tahun 2009 sebesar jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,6% atau meningkat 98,4% dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1971 yang berjumlah jiwa. Selama empat tahun terakhir, jumlah penduduk Kabupaten Garut cenderung mengalami peningkatan dan akan terus mengalami penambahan mendekati hampir tiga juta jiwa pada tahun Hal ini akan mendorong peningkatan kebutuhan lahan bagi pemukiman serta untuk mendukung aktiftas dan kebutuhan lainnya. 3

23 Sumber : diolah dari berbagai sumber Penduduk (jiwa) Gambar 1 Jumlah penduduk Kabupaten Garut Disamping itu perkembangan aktifitas masyarakat di Kabupaten Garut, selama beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup intensif. Salah satu indikator untuk melihat perkembangan aktifitas yang terjadi adalah dengan melihat perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara keseluruhan pencapaian kinerja PDRB atas harga berlaku relatif mengalami peningkatan dari ,8 miliar rupiah pada tahun 2004 menjadi ,4 miliar rupiah pada tahun Peningkatan ini juga terlihat dalam perkembangan PDRB yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, dimana pada tahun 2009 nilainya mencapai ,7 milyar rupiah dibandingkan tahun 2004 yang nilainya mencapai 8.418,4 milyar rupiah. Perbedaan nilai PDRB yang cukup besar menunjukkan tingginya inflasi yang terjadi di wilayah ini. Namun demikian secara umum, berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan, dinamika ekonomi yang terjadi di wilayah ini menunjukkan perkembangan perkenomian aktifitas masyarakat. Secara multi waktu, gambaran peningkatan aktifitas perekonomian masyarakat Kabupaten Garut dapat dilihat pada Gambar 2. 4

24 25,0 22,3 20,0 17,7 20,4 15,9 15,0 13,7 10,0 8,4 11,3 8,8 9,1 9,6 10,0 10,6 5, PDRB Harga Konstan (trilyun rupiah) PDRB Harga Berlaku (trilyun rupiah) Sumber : diolah dari berbagai sumber Gambar 2 Perkembangan PDRB Garut tahun Pertumbuhan dan perkembangan aktifitas perekonomian secara umum yang dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan nilai PDRB, berdampak terhadap pendapatan perkapita masyarakat. Pendapatan perkapita merupakan gambaran daya beli masyarakat dan dalam analisis sering digunakan sebagai gambaran indikator kesejahteraan masyarakat secara makro sehingga dapat dikatakan semakin tinggi pendapatan yang diterima penduduk maka tingkat kesejahteraannya semakin baik, demikian pula sebaliknya. Gambar 3 menunjukkan bahwa dilihat dari pendapatan perkapita masyarakat yang dihitung berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan terdapat peningkatan yang cukup tinggi. Secara agregat pendapatan perkapita riil yang diterima oleh masyarakat pada tahun 2009 mencapai 4,5 juta rupiah perkapita dibandingkan tahun 2004 yang mencapai 3,7 juta rupiah perkapita. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dilihat adanya permasalahan, yang berpangkal pada dua kepentingan yang saling bertolakbelakang namun memiliki aspek keruangan, yaitu kepentingan konservasi dan produksi. Pada satu sisi, kebijakan penetapan kawasan lindung yang cukup besar akan meredam 5

25 penggunaan lahan yang bersifat intensif sedangkan perkembangan sosial ekonomi yang terjadi saat ini, di lain pihak memerlukan ruang yang cukup untuk dimanfaatkan sebagai media aktifitas manusia. Sehingga perlu dikaji bagaimana pemanfaatan ruang yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan produksi maupun konservasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup di wilayah tersebut. 10,0 9,0 8,7 9,4 8,0 7,7 7,0 6,0 5,0 4,0 3,7 5,0 6,1 3,9 4,0 7,0 4,2 4,3 4,5 3,0 2,0 1, PDRB per Kapita a.d.k (juta rupiah) PDRB per Kapita a.d.b (juta rupiah) Sumber : diolah dari berbagai sumber Gambar 3 Pendapatan perkapita masyarakat Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, terlihat adanya permasalahan konflik pemanfaatan ruang yang penting untuk dikaji sehingga untuk dapat memberikan alternatif pemecahannya, penting untuk memahami beberapa hal yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi pemanfaatan lahan yang ada saat ini? 2. Bagaimana potensi sumberdaya lahan yang ada jika dilihat berdasarkan aspek kemampuan lahannya? 6

26 3. Apakah pemanfaatan lahan yang ada saat ini sudah sesuai dengan potensi yang dimiliki dan apakah perencanaan yang dibuat telah memperhitungkan potensi yang ada serta apakah perencanaan tersebut telah melihat kondisi pemanfaatan lahan yang ada saat ini? 4. Bagaimana status daya dukung lingkungan hidup wilayah pada saat ini? Apakah mengalami surplus atau defisit? 5. Bagaimana pemanfaatan ruang yang optimal dengan mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan hidup di wilayah tersebut? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut. 2. Mengidentifikasi kelas kemampuan lahan di Kabupaten Garut. 3. Mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan. 4. Mengidentifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut. 5. Merumuskan arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Garut berbasis daya dukung lingkungan hidup. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai masukan kebijakan pemerintah daerah dalam merumuskan arahan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidupnya. 7

27 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengembangannya. Oleh sebab itulah perlu dilakukan penataan ruang sehingga menjadi hak dan kewajiban setiap individu dalam upaya menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Dikatakan pula oleh Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) bahwa didalam penataan ruang perlu juga dipertimbangkan adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna serta kesatuan ekologi. Proses penataan ruang secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu perencanaan, implementasi dan pengendalian. Menurut Permana (2004) penataan ruang adalah suatu proses yang mencakup perencanaan tata ruang (penyusunan rencana tata ruang wilayah), pemanfaatan ruang melalui serangkaian program pelaksanaan yang sesuai dengan rencana dan pengendalian pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan sebagai: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktifitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3) menjaga keberlanjutan pembangunan. Dikatakan selanjutnya, sebagai suatu proses terdapat setidaknya dua unsur penting dalam penataan ruang, pertama menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang, dan kedua, menyangkut proses fisik ruang. Wujud akhir dari suatu proses penataan ruang adalah dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah yang memuat rencana, pemanfaatan dan pengendalian ruang dari suatu wilayah. Menurut Dardak (2005) rencana tata ruang, sebagai produk yang dihasilkan dari proses perencanaan tata ruang, pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia yang melakukan aktiitas 8

28 lainnya dengan lingkungannya, baik alam maupun buatan, dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hierarki dan kedalamannya, rencana tata ruang wilayah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah negara, yaitu arahan pengembangan sistem nasional, yang meliputi sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana wilayah yang melayani kawasan produksi dan permukiman lintas provinsi dan pulau, penentuan wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam waktu yang akan datang dalam skala nasional dan penetapan kawasan tertentu. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi memuat strategi dan struktur pemanfaatan ruang dalam skala wilayah provinsi, yaitu berupa arahan lokasi dan struktur pemanfaatan ruang yang bersifat lintas kabupaten dan kota agar kawasan dan wilayah tetap terjaga fungsi dan pengembangan ekonominya secara efisien, pemanfaatan sumberdaya alamnya terjaga lestari dan mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan wilayah kabupaten/kota dan kawasan serta antar sektor kegiatan secara sinergis dan efektif. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten maupun Kota memberikan arahan pengembangan pemanfaatan ruang yang mengacu kepada struktur makro, penetapan lokasi investasi, sistem pelayanan infrastruktur lingkup kabupaten/kota, arahan pengendalian rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam lingkup kabupaten/kota (Dardak 2005). Kelas Kemampuan Lahan Kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas dan penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Sys et al dalam Arsyad 2010). Metode kemampuan lahan digunakan untuk mengetahui kesesuaian lahan bagi penggunaan pertanian, lahan yang seharusnya dilindungi dan lahan yang dapat digunakan untuk pemanfaatan lainnya. Klasifikasi yang digunakan dalam metode ini menggunakan sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) sistem 9

29 Hambatan Meningkat dan Pilihan Penggunaan Lahan Berkurang klasifikasi kemampuan lahan USDA sebenarnya sangat praktis untuk digunakan di Indonesia karena sangat sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium. Pengelompokan kemampuan tanah disusun dengan tujuan : (1) Membantu pemilik tanah dan pengguna lainnya dalam menginterpretasi peta tanah, (2) Memperkenalkan pengguna terhadap kedalaman informasi yang terdapat pada peta tanah dan (3) Membangun kemungkinan penggunaan tanah secara umum berdasarkan potensi, batasan penggunaan dan kendala pengelolaannya (USDA 1961). Sistem ini mengenal tiga kategori, yaitu kelas, sub kelas dan unit, dimana penggolongan ke dalam kategori tersebut didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut Arsyad (2010) pengelompokkan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Kelas Kemampuan Lahan Cagar Alam Hutan Intensitas dan Macam Penggunaan Meningkat Penggembalaan Garapan Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif I II III IV V I II Gambar 4 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan (Arsyad 2010). Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai II. Semakin tinggi kelas, ancaman kerusakan atau hambatan semakin meningkat sehingga penggunaannya semakin terbatas. Tanah pada Kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan 10

30 sesuai untuk berbagai penggunaan. Tanah pada Kelas V, dan I sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Tanah dalam kelas II sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010). Secara rinci kriteria setiap kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 KLS Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria KRITERIA I II III IV V I II 1. Tidak mempunyai atau hanya sedikithambatan yang membatasi penggunaannya. 2. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama pertanian. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman pada umumnya 1. Mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau memerlukan tindakan konservasi yang sedang. 2. Pengelolaan perlu hati-hati termasuk tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landai-berombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan 1. Mempunyai beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya. 2. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. 3. Hambatan membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut. 4. Hambatan dapat disebabkan: topografi miring-bergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam, kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah sedang, atau hambatan iklim agak besar 1. Hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. 2. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit, kepekaan erosi tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari 24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi dan keadaan iklim kurang menguntungkan 1. Tidak terancam erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya. 2. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai. 1. Mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. 2. Memiliki pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai. Tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki 1. Sebaiknya dibiarkan secara alami. 2. Pembatas dapat berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air rendah. Sumber : Arsyad (2010) 11

31 Daya Dukung Lingkungan Hidup Konsep tentang daya dukung muncul karena adanya kesadaran manusia tentang dampak aktifitas yang dilakukan terhadap keberlangsungan atau keberlanjutan sumberdaya alam. Rustiadi et al. (2009) menyebutkan bahwa konsep ini berkembang seiring dengan bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Dalam perspektif biofisik wilayah, daya dukung dapat didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder dan Lopez 2000 dalam Rustiadi et al. 2009). Daya dukung menurut Rustiadi et al. (2009) dapat dibedakan menjadi beberapa empat aspek, yaitu (1) daya dukung fisik, (2) daya dukung lingkungan/ekologi, (3) daya dukung sosial, dan (4) daya dukung ekonomi. Diantara keempat aspek tersebut, konsep daya dukung lingkungan merupakan yang paling menjadi perhatian, dikaitkan dengan beberapa kejadian bencana dan dampak dari perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Dikatakan oleh Khanna et al. (1999) daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Didalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, terminologi tentang daya dukung telah ada dan disebutkan dalam beberapa peraturan perundangan, antara lain Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pasal 1 butir 18, 19 dan 20, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 butir 6 dan butir 8 serta yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, penerapan konsep tersebut dalam kaitan dengan Rencana Tata Ruang baru ditemukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap dua aspek utama, yaitu lahan dan air. Aspek lahan menggunakan basis neraca bioproduk 12

32 dan biokapasitas serta kemampuan lahan yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan sedangkan aspek air mengadopsi konsep water footprint (Rustiadi et al. 2010). Konsep Kemampuan Lahan yang digunakan merujuk kepada metode penentuan Kelas Kelas Kemampuan Lahan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang dikembangkan A.A. Klingebiel dan P.H. Montgomery Tahun 1961 (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel dalam desertasi yang berjudul Ecological Footprint and Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun Tujuan dikembangkannya konsep ini untuk mengetahui indikator yang dapat digunakan untuk menilai pembangunan berkelanjutan serta lebih jauh mengukur penggunaan sumberdaya oleh manusia dikaitkan dengan daya dukung bumi. Ukuran yang digunakan sebagai unit penggunaan sumberdaya adalah ruang bioproduk per produktifitas rata-rata dunia (global hectares/gha) yang secara khusus digunakan untuk menyatakan produksi semua sumberdaya yang dikonsumsi oleh populasi tertentu dan menyerap limbah yang mereka hasilkan, menggunakan teknologi yang ada (Chambers et al dalam Hoekstra 2008). Sedangkan konsep Water Footprint pertama kali diperkenalkan oleh A.Y. Hoekstra dalam sebuah prosiding yang berjudul Virtual Water Trade pada Tahun 2002 dan selanjutnya bersama dengan A.K. Chapagain mengembangkan konsep ini (Romaguera et al. 2010). Konsep ini digunakan sebagai indikator penggunaan air yang dilihat dari aliran air langsung maupun tidak langsung yang digunakan oleh konsumen maupun produsen (Hoekstra 2003 dalam Aldaya et al. 2010). Walaupun Ecological Footprint berbeda dengan Water Footprint dalam dasar analisa dan metode, namun keduanya memiliki kesamaan dalam bagaimana menterjemahkan konsumsi manusia kedalam penggunaan sumber daya alam (Hoekstra 2008). Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan 13

33 berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Prahasta (2005) serta Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya antara lain : (1) Data Input, (2) Data Manajemen, (3) Data Manipulasi dan Analisis dan (4) Data Output. Aplikasi dan pemanfaatan SIG telah banyak dilakukan oleh berbagai orang untuk memudahkan analisis dan pengambilan keputusan. Namun teknologi ini lebih sering dimanfaatkan dalam analisis sumberdaya alam, seperti pertanian dan kehutanan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Kalogirou (2001) memanfaatkan teknologi ini yang dikombinasinasikan dengan sistem pakar LEIGIS untuk melakukan kajian evaluasi lahan pada areal pertanian di Yunani. Reshmidevi et al. (2009) mengintegrasikan metode fuzzy kedalam aplikasi SIG untuk melakukan evaluasi kesesuaian lahan pada pertanian lahan basah. Kolomyts (2008) memanfaatkan aplikasi ini dalam permodelan untuk menduga keseimbangan karbon pada ekosistem hutan di Daerah Aliran Sungai Volga Rusia. Permodelan dilakukan dengan mengkombinasikan metode statistik empiris. Pemetaan model pendugaan kesimbangan karbon dilakukan berdasarkan data survey bentang lahan ekologi dengan menggunakan metode hierarchical extrapolation. Pada beberapa penelitian, penggunaan teknologi SIG sering dikombinasikan dengan teknologi penginderaan jauh untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi suatu wilayah pada cakupan yang luas. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Media yang digunakan untuk memperoleh informasi tersebut dengan pemanfaatan foto udara, citra satelit dan citra radar. Penggalian informasi pada media penginderaan jauh tersebut dilakukan menggunakan metode interpretasi baik secara visual maupun digital. Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa keberhasilan di dalam interpretasi, sangat tergantung kepada latihan dan pengalaman penafsir, sifat obyek yang diinterpretasi dan kualitas citra yang digunakan. Selain itu kedekatan interpreter dengan wilayah dimana obyek yang diinterpretasi berada juga turut mempengaruhi (Munibah 2008). 14

34 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Secara singkat bagan alir kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian. Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki sifat dapat diperbaraui dan dapat melakukan regenerasi secara terus menerus baik secara biologi maupun tidak. Sesuai dengan karakteristiknya agar pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara berkelanjutan, harus dilakukan dengan tanpa melebihi laju regenerasinya (Rustiadi et al. 2009). Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan, dalam jangka pendek akan berakibat terjadinya bencana alam sedangkan dalam jangka panjang dapat berakibat terjadinya bencana sosial. Hal ini dapat dihindari

35 melalui pengaturan pola pemanfaatan ruang yang memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Didalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 secara tegas dinyatakan bahwa daya dukung lingkungan merupakan aspek penting dan perlu diperhatikan dalam penyusunan RTRW suatu wilayah dan telah diperkuat melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 sebagai pedoman revisi dan evaluasi terhadap penyusunan rencana tata ruang wilayah yang sesuai daya dukung lingkungan hidup. Hal ini dilakukan dengan tujuan menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat yang terletak pada koordinat 6 o o Lintang Selatan (LS) dan 107 o o 8 58 Bujur Timur (BT) dengan luas wilayah hektar yang terdiri dari 42 kecamatan. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan selama enam bulan, dimulai bulan Juli 2010 sampai dengan Januari Sumber dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber, baik instansi pemerintah dan situs-situs penyedia data maupun studi literatur. Pada data yang terkait dengan aspek spasial, serta standarisasi mutlak diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai standar agar dapat digunakan dalam proses pengolahan lebih lanjut. Secara rinci, kaitan antara jenis data sumber perolehan data dapat dilihat pada Tabel 2. Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini baik data primer maupun data sekunder didapatkan melalui metoda pengumpulan data yang berbeda. Data sekunder didapatkan dengan penelusuran terhadap buku, peta, internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari instansi terkait sedangkan data primer diperoleh dari hasil survey/cek lapangan. Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis, dan keluaran dapat dilihat pada Tabel 3. 16

36 Tabel 2 Jenis data dan sumber perolehan data No. Jenis Data Sumber Perolehan 1. Citra satelit Landsat 7 ETM+ Tahun 2009 Path 121 dan 122 Row 065 tanggal 24 Maret 2009 dan 27 Mei 2009 serta 6 Agustus 2009 dan 21 Juli Citra Alos AVNIR Tahun 2009 Earth Observation Research Center Japan Aerospace Exploration Agency melalui P4W IPB 3. Digital Elevation Model (DEM) 4. Peta Landunit DAS Cimanuk Hulu skala 1: Peta Landsystem Pulau Jawa skala 1: Draft Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Kab Garut Peta Penunjukan Kawasan Hutan Jawa Barat Tim Studi LP-IPB (1999) Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Dinas Perumahan Tata Ruang dan Cipta Karya Kab. Garut Dinas Kehutanan Kab. Garut 8. Garut dalam Angka 2010 Badan Pusat Statistik Jakarta 9. Data Base Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Garut 10. Statistik Perkebunan Kabupaten Garut Dinas Perkebunan Kab. Garut Selain itu beberapa perangkat tambahan juga digunakan dengan fungsi dan tujuan yang berbeda. Pengolahan data spasial berbasis vektor dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 sedang pengolahan data yang berbasis raster dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imangine 9.2 dan EN 4.5. Perangkat lain yang digunakan adalah Global Position System (GPS), kamera digital dan alat pencatat yang digunakan untuk kepentingan survey lokasi dan verifikasi lapangan. 17

37 Tabel 3 Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis, dan keluaran No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran 1. Identifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut Pemanfaatan lahan aktual Tahun Citra satelit Landsat 7 ETM+ Tahun 2009 Path 121 dan 122 Row 065 tanggal 24 Maret 2009 dan 27 Mei 2009 serta 6 Agustus 2009 dan 21 Juli Citra Alos AVNIR Tahun Klasifikasi terbimbing - Interpretasi visual Peta Pemanfaatan Lahan Aktual 2. Identifikasi kelas kemampuan lahan di Kabupaten Garut Kemampuan lahan pada tingkat kelas dan sub kelas - Digital Elevation Model (DEM) - Peta Landunit DAS Cimanuk Hulu skala 1: Peta Landsystem Pulau Jawa skala 1: Deliniasi bentuk lahan - Spatial Join - Merge Peta Kelas Kemampuan Lahan 18

38 No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran 3. Evaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan - Peta Kelas Kemampuan Lahan - Peta Pemanfaatan Lahan Aktual - Peta Rencana Pemanfaatan Ruang - Tabel Keputusan - Overlay - Operasi atribut - Peta Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Kelas Kemampuan Lahan - Peta Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Kelas Kemampuan Lahan - Peta Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Rencana Pemanfaatan Ruang 4. Identifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut a. Daya Dukung Lahan : - Ketersediaan Lahan - Kebutuhan Lahan b. Daya Dukung Air - Ketersediaan Air - Kebutuhan Lahan - Jumlah penduduk - Produksi padi/beras - Produksi non-padi - Harga satuan beras - Harga satuan tiap jenis komoditas selain beras pada tingkat produsen - Koefisien Limpasan Analisis Kuantitatif - Status Daya Dukung Lahan - Status Daya Dukung Air 19

39 No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran Tertimbang - Curah hujan ratarata 5. Merumuskan pola pemanfaatan lahan yang optimal di Kabupaten Garut yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidupnya - Kawasan Lindung - Kawasan Budidaya - Peta Kelas Kemampuan Lahan - Peta Penunjukan Kawasan Hutan - Peta Pemanfaatan Lahan Aktual - Overlay - Analisis Pola Spasial Arahan Ruang Pemanfaatan 20

40 Analisis dan Pengolahan Data Pemanfaatan Lahan Aktual Pemanfaatan lahan aktual diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit. Identifikasi setiap kelas pemanfaatan mengacu kepada sistem klasifikasi yang digunakan oleh Departemen Kehutanan dengan generalisasi terhadap beberapa kelas pemanfaatan. Generalisasi dilakukan terhadap kelas pemanfaatan lahan hutan primer dan sekunder menjadi kelas pemanfaatan hutan dan kelas pemanfaatan sawah irigasi dan sawah tadah hujan menjadi kelas pemanfaatan sawah atau pertanian lahan basah (PLB). Proses interpretasi pemanfaatan lahan aktual dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Interpretasi pemanfaatan lahan aktual tahun 2009 Persiapan awal sebelum dilakukan pengolahan lanjutan antara lain : perbaikan stripping, koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Perbaikan stripping dilakukan khusus terhadap citra Landsat 7 ETM+ yang sejak tanggal 31 Mei 2003 sensor Scan Line Corrector (SLC) satelit citra Landsat ETM 7+ 21

41 mengalami kegagalan operasi yang menyebabkan terjadinya stripping pada produk citra Landsat ETM 7+ yang dihasilkan dan bersifat permanen hingga saat ini (USGS, 2009). Perbaikan dapat dilakukan dengan menggunakan citra pengisi yang berada pada path dan row yang sama namun tanggal akuisisi yang berbeda. Persyaratan utama adalah stripping pada citra utama dengan citra pengisi harus bersilangan sehingga area stripping pada citra utama dapat menutup secara penuh. Penelitian ini menggunakan 4 (empat) scene citra Landsat ETM 7+, dimana untuk citra utama pada path 121 dan row 065 digunakan citra pada tanggal akuisisi 24 Maret 2009 sedangkan sebagai pengisi menggunakan citra path dan row yang sama dengan tanggal akuisisi 27 Mei Pada citra utama path 122 dan row 065 digunakan citra pada tanggal 06 Agustus 2009 sedangkan sebagai pengisi digunakan citra pada tanggal akuisisi 21 Juli Proses pengisian citra utama dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak EN 4.5 yang telah disisipi oleh script library Landsat Gapfill. Script ini dibuat oleh Mari Minari pada tahun 2009 berdasarkan metodologi yang dibangun oleh Pat Scaramuzza, Esad Micijevic dan Gyanesh Chander pada tahun Hasil perbaikan citra Landsat ETM 7+ dapat dilihat pada Gambar 7. a. Citra Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065, sebelum perbaikan b. Citra Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065 sesudah perbaikan Gambar 7 Perbandingan perbaikan citra Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065 tanggal akuisisi 24 Maret 2009 Band

42 Koreksi geometrik dilakukan untuk menyamakan sistem proyeksi yang digunakan terhadap basis data yang ada. Sistem proyeksi yang digunakan dalam penelitian adalah UTM 48 South Datum WGS 84. Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki penampakan citra sehingga lebih mudah untuk membedakan obyek. Kombinasi kanal yang digunakan yaitu kanal 5, kanal 4 dan kanal 2. Tahapan selanjutnya adalah melakukan interpretasi digital dengan menggunakan strategi klasifikasi terbimbing metode Maximum Likelihood (MLC). Penting untuk dipahami, penggunaan metode MLC dapat mempercepat identifikasi obyek dengan memberikan akurasi yang cukup tinggi. Namun demikian metode ini memiliki kelemahan terutama terhadap obyek-obyek berbeda yang memiliki nilai digital berdekatan akan diklasifikasikan sebagai obyek yang sama. Terhadap hal ini perlu dilakukan perbaikan melalui interpretasi secara visual. Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk menilai kualitas hasil interpretasi yang dilakukan. Penentuan titik lokasi pemeriksaan dilakukan secara selektif dengan memperhatikan hasil interpretasi yang dianggap meragukan. Indikator yang digunakan untuk menilai kualitas hasil interpretasi dengan menggunakan nilai bilangan Kappa dimana, jika nilai yang diperoleh melebihi ambang nilai 85%, maka kualitas hasil interpretasi dinyatakan cukup baik untuk digunakan dalam proses pengolahan selanjutnya. Sebaliknya jika nilai tersebut kurang dari ambang batas yang ditetapkan (85%) maka dilakukan perbaikan terhadap hasil interpretasi. Kemampuan Lahan Peta kelas kemampuan lahan wilayah Kabupaten Garut dibuat dengan menurunkan data spasial dan atribut pada peta landunit skala 1: wilayah DAS Cimanuk dan peta landsystem skala 1: Peta landunit digunakan pada daerah Kabupaten Garut bagian Utara, sedangkan peta landsystem digunakan pada daerah Kabupaten Garut bagian selatan, sebagaimana terlihat pada Gambar 8. 23

43 Peta Landsystem skala 1: Peta Landunit DAS Cimanuk Hulu skala 1: Gambar 8 Pemanfaatan peta landunit dan landsystem Peta landsystem skala 1: pada tingkat analisis regional kabupaten tidak dapat langsung digunakan karena informasi dan satuan poligon yang ada masih terlalu kasar sehingga memerlukan penyesuaian melalui deliniasi terhadap bentuk lahan dan relief. Deliniasi dilakukan dengan bantuan data Digital Elevation Model (DEM) yang diunduh secara bebas dari situs sebagai data pendukung. Data DEM yang diperoleh dari situs ini memiliki resolusi spasial 30 meter sehingga dapat dikatakan memiliki tingkat kedetilan yang lebih baik dibandingkan data SRTM yang memiliki resolusi spasial 90 m. Sukarman (2005) menyatakan bahwa data DEM dapat digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di daerah bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform (bentuk lahan) dan relief dengan baik. Tahapan proses penyesuaian peta landsystem secara rinci dapat dilihat pada Gambar 9. 24

44 a. Citra Digital Elevation Model (DEM) b. Konversi citra DEM menjadi Hillshade c. Tumpang tindih dengan peta landsystem d. Hasil dijitasi manual Gambar 9 Penyesuaian peta landsystem menggunakan data DEM Pada tahap awal, data DEM dikonversi menjadi bentuk hillshade dengan menggunakan fasilitas 3D Analysis pada perangkat lunak ArcGIS 9.3 (Gambar 9b). Konversi ini dilakukan untuk menampilkan bentuk lahan dari area penelitian. Hasil konversi ditumpangtindihkan dengan peta landsystem untuk kemudian dilakukan deliniasi terhadap bentuk lahan melalui proses dijitasi manual (Gambar 9c). Hasil akhir dari proses ini adalah peta landsystem yang telah disesuaikan dengan penajaman yang dilakukan terhadap aspek bentuk lahan (Gambar 9d). Secara lengkap tahapan proses pembuatan peta Kemampuan Lahan dapat dilihat pada Gambar

45 Gambar 10 Alur proses pembuatan peta kelas kemampuan lahan Selain terhadap bentuk lahan, penajaman juga dilakukan terhadap aspek kelerengan, sehingga diperoleh hasil peta landsystem yang telah mengalami penyesuaian terhadap aspek bentuk lahan dan kelerengan sedangkan atribut lainnya tetap menggunakan atribut yang terdapat pada peta landsystem. Hasil pada proses ini akan akan digabungkan dengan peta landunit yang telah memiliki skala lebih detail. Identifikasi faktor pembatas dilakukan untuk menentukan indikator yang akan digunakan sebagai penentu kelas kemampuan lahan. Indikator tersebut antara lain : (1) tekstur, (2) lereng permukaan, (3) drainase, (4) kedalaman efektif, (5) keadaan erosi, (6) kerikil/batuan dan (7) banjir. Interpretasi terhadap ketujuh indikator tersebut dilakukan dengan memanfaatkan atribut peta landsystem dan landunit. Tidak semua indikator tersebut terdapat informasinya dalam atribut peta landsystem dan landunit. 26

46 Beberapa kriteria yang digunakan serta hubungannya dengan informasi pada peta landsystem dan landunit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hubungan kriteria kelas kemampuan lahan dan atribut peta landsystem dan peta landunit No. Indikator Kelas Kemampuan Informasi Peta Landsystem dan Landunit 1. Tekstur Tektur Lapisan Atas/Bawah 2. Lereng Permukaan Lereng 3. Drainase Drainase 4. Kedalaman Efektif Kedalaman Tanah 5. Keadaan Erosi Bahaya Erosi 6. Kerikil/Batuan Singkapan Batuan 7. Banjir Ancaman Banjir Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan Analisis kesesuaian dilakukan terhadap tiga aspek, yaitu : (1) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, (2) kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan dan (3) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang. Tahapan proses yang dilakukan adalah dengan melakukan tumpang tindih terhadap masing-masing peta sesuai dengan kriteria tersebut untuk kemudian dilakukan interpretasi kesesuaian berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data atribut hasil tumpang tindih. Proses interpretasi dilakukan dengan memanfaatkan bantuan tabel keputusan yang dibuat sesuai kriteria kesesuaian sebagaimana terlihat pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7. Secara singkat alur proses pembuatan peta kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar

47 Gambar 11 Alur pelaksanaan pembuatan peta kesesuaian Penggunaan tabel hanya dapat dilakukan satu arah secara horisontal dari kiri ke kanan dengan penilaian antara kondisi yang pertama terhadap kondisi kedua. Tabel 5 menunjukkan penilaian antara pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan suatu lahan, Tabel 6 menunjukkan penilaian antara rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan suatu lahan sedangkan Tabel 7 menunjukkan penilaian kesesuaian antara rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual yang ada. Penentuan kondisi sesuai, sesuai bersyarat dan tidak sesuai dapat memiliki latar pertimbangan yang berbeda. Pada penilaian kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, penilaian kondisi kesesuaian lebih memperhatikan aspek dampak pemanfaatan lahan yang dilakukan terhadap lingkungan. Penilaian kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan selain memperhatikan aspek dampak yang mungkin dapat terjadi juga mempertimbangkan aspek faktor biaya jika kegiatan tersebut dilaksanakan. Sedangkan penilaian kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual lebih merupakan potensi kemungkinan perubahan pemanfaatan suatu lahan atau ruang menjadi pemanfaatan lainnya. 28

48 II (k0) II (l1/k0) III (b0/e1) III (k1) III (l2) III (l2/b0/e1) III (l2/k1) III (l2/t1/t4) III (l2/t1/t4/e1) III (t1/t4) III (t1/t4/e1) III (t1/t4/k1) IV (b1) IV (e2) IV (k2) IV (l3) IV (l3/b1) IV (l3/e2) IV (l3/k2) V (o4) (e3) (l4) (l4/e3) I (e4) I (l5) II (l6) II (l6/t5) Tabel 5 Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kelas kemampuan lahan Sub Kelas Kemampuan Lahan Pemanfaatan Lahan Aktual Hutan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S Perkebunan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS Permukiman S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS PLK S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS PLB S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS Pertambangan S S S S S S S S S S S S S TS S TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS Rumput S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS Tanah Terbuka S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS S TS TS TS TS TS TS TS Tubuh Air S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S Keterangan : S : Sesuai Faktor Pembatas : PLK : Pertanian Lahan Kering TS : Tidak Sesuai t : tekstur tanah k : kedalaman efektif o : banjir PLB : Pertanian Lahan Basah SB : Sesuai Bersyarat l : lereng permukaan e : keadaan erosi d : drainase b : kerikil/batuan 29

49 II (k0) II (l1/k0) III (b0/e1) III (k1) III (l2) III (l2/b0/e1) III (l2/k1) III (l2/t1/t4) III (l2/t1/t4/e1) III (t1/t4) III (t1/t4/e1) III (t1/t4/k1) IV (b1) IV (e2) IV (k2) IV (l3) IV (l3/b1) IV (l3/e2) IV (l3/k2) V (o4) (e3) (l4) (l4/e3) I (e4) I (l5) II (l6) II (l6/t5) Tabel 6 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuan lahan Sub Kelas Kemampuan Rencana Pemanfaatan Ruang A. Kawsan Lindung 1. Hutan Lindung S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 2. Rawan Tsunami S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 3. Resapan Air S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 4. Hutan Konservasi S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 5. Sempadan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S Pantai/Sungai 6. Perlindungan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S Geologi 7. Rwn Gerakan Tanah S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S 8. Bahaya Gn Api S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S B. Kawasan Budidaya 1. Hutan Produksi S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB TS TS Terbatas 2. Hutan Produksi S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB SB TS TS TS TS 3. Pertanian Lahan S S S S S S S S S S S S SB TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS Basah 4. Pertanian Lahan S S S S S S S S S S S S S SB SB SB SB SB SB TS TS TS TS TS TS TS TS Kering 5. Perkebunan S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SB SB SB TS TS TS TS 6. Peternakan S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS 7. Perikanan Budidaya S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS 8. Permukiman S S S S S S S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS TS 9. Pertambangan S S S S S S S S S S S S S S S SB SB SB SB TS TS TS TS TS TS TS TS Keterangan : Faktor Pembatas : S : Sesuai t : tekstur tanah k : kedalaman efektif o : banjir TS : Tidak Sesuai l : lereng permukaan e : keadaan erosi SB : Sesuai Bersyarat d : drainase b : kerikil/batuan 30

50 Tabel 7 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Rencana Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan Lahan Aktual Hutan Perkebunan Permukiman PLK PLB Pertambangan Padang Rumput Tanah Terbuka Tubuh Air A. Kawsan Lindung PLK : Pertanian Lahan Kering 1. Hutan Lindung S S TS TS TS SB S S S 2. Hutan Konservasi S S TS TS TS SB S S S PLB : Pertanian Lahan 3. Sempadan Pantai/Sungai S S TS TS TS SB S S S Basah 4. Resapan Air S S TS TS TS TS S TS S 5. Perlindungan Geologi Karst S S TS TS TS TS S S S S : Sesuai Keterangan 6. Rawan Tsunami S S TS TS S TS S S S TS : Tidak Sesuai 7. Rwn Gerakan Tanah S S TS SB TS TS S S S 8. Bahaya Gn Api S S TS S S SB S S S SB : Sesuai Bersyarat B. Kawasan Budidaya 1. Hutan Produksi Terbatas S S TS TS TS SB S S S 2. Hutan Produksi S S TS TS TS SB S S S 3. Pertanian Lahan Basah S S TS TS S SB S S S 4. Pertanian Lahan Kering S S TS S S SB S S TS 5. Perkebunan S S TS TS TS SB S S TS 6. Peternakan S S S S S SB S S TS 7. Perikanan Budidaya S S S S S SB S S S 8. Permukiman S S S S S SB S S TS 9. Pertambangan SB SB SB SB SB S S SB TS Catatan: Pembacaan tabel ini dilakukan dengan cara melihat kondisi pemanfaatan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang yang akan diimplementasikan, sebagai ilustrasi perpotongan sel antara kolom padang rumput dan baris hutan lindung dikatakan sebagai sesuai, artinya kondisi padang rumput sesuai untuk perencanaan sebagai hutan lindung. 31

51 Daya Dukung Lingkungan Hidup Penentuan status daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu ketersediaan dan kebutuhan lingkungan hidup. Melalui pendekatan dengan metode ini, dapat diketahui status daya dukung lingkungan hidup di suatu wilayah, apakah dalam kondisi surplus atau defisit. Kondisi surplus diperoleh jika ketersediaan lingkungan hidup lebih besar daripada kebutuhan lingkungan hidup. Perhitungan status mengenai daya dukung lingkungan hidup sepenuhnya mengacu kepada metode perhitungan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Indikator yang digunakan untuk menentukan daya dukung lingkungan hidup adalah dengan pendekatan perhitungan terhadap ketersediaan dan kebutuhan lahan dan air. Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak. Perhitungan kebutuhan lahan dilakukan dengan menggunakan rumus : DL = N KHL L Dimana : DL = Total kebutuhan lahan setara beras (ha) N = Jumlah penduduk (orang) KHL L = Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk, dimana : a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk merupakan kebutuhan hidup layak per penduduk dibagi produktifitas beras lokal. b. Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar 1 ton setara beras/kapita/tahun. c. Daerah yang tidak memiliki data produktifitas beras 32

52 lokal, dapat menggunakan data rata-rata produktfitas beras nasional sebesar kg/ha/tahun. Perhitungan ketersediaan lahan dilakukan dengan menggunakan rumus : SL = (Pi Hi) 1 Hb Ptvb Dimana : SL = Ketersediaan Lahan (ha) Pi = Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan tergantung kepada jenis komoditas) Komoditas yang diperhitungan meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan Hi = Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/satuan) di tingkat produsen Hb = Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen Ptvb = Produktivitas beras (kg/ha) Faktor konversi yang digunakan untuk menyetarakan produk non beras dengan beras adalah harga. Agar mempermudah dalam perhitungan konversi harga dapat digunakan contoh seperti terlihat pada Tabel 8 dalam menghitung total nilai produksi {Σ(Pi Hi)}. Secara garis besar alur proses perhitungan daya dukung lahan dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 Alur proses perhitungan daya dukung lahan. (Sesuai Permen LH Nomor 17 Tahun 2009) 33

53 Perhitungan ketersediaan air ditentukan dengan menggunakan koefisien limpasan yang dimodifikasi dari metode rasional berdasarkan informasi penggunaan lahan serta data curah hujan tahunan. Sementara itu, perhitungan kebutuhan air dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak. Perhitungan ketersediaan air dilakukan dengan menggunakan rumus : SA = 10 C R A Nilai C dan R didekati dengan menggunakan rumus : C = Σ(Ci Ai)/ΣAi R = ΣRi / m Dimana : S A = Ketersediaan air (m 3 /tahun) C = Ketersediaan limpasan tertimbang Ci = Koefisien limpasan penggunaan lahan (Tabel 9) Ai = Luas penggunaan lahan i (ha) dari data BPS atau Daerah Dalam Angka atau dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) R = Rata-rata aljabar curah hujan tahunan wilayah (mm/tahunan) dari data BPS atau BMG atau dinas terkait setempat Ri = Curah hujan tahunan pada stasiun i m = Jumlah stasiun pengamatan curah hujan A = Luas wilayah (ha) 10 = Faktor konversi dari mm.ha menjadi m 3 Tabel 8 No. Contoh perhitungan nilai produksi total Komoditas 1. Padi dan palawija, antara lain : Padi, Jagung, dst 2. Buah-buahan, antara lain : Mangga, Jeruk, dst 3. Sayur mayur, antara lain : Bawang merah, Bawang Putih, dst Produksi (Pi) Harga Satuan (Hi) Nilai Produksi (Pi Hi) 34

54 No. Komoditas Produksi (Pi) Harga Satuan (Hi) Nilai Produksi (Pi Hi) 4. Tanaman obat-obatan, antara lain : Jahe, Lengkuas, dst 5. Produksi daging, antara lain : Sapi, Kambing, dst 6. Produksi telur, antara lain : Ayam kampung, Ras, dst 7. Produksi susu, antara lain : Sapi 8. Perikanan 9. Perkebunan, antara lain : Kelapa, Kopi, dst 10. Kehutanan : Kayu dan Non Kayu TOTAL Perhitungan kebutuhan air dilakukan dengan menggunakan rumus : D A = N KHL A Dimana : D A = Total kebutuhan air (m 3 /tahun) N = Jumlah penduduk (orang) KHL A = Kebutuhan air untuk hidup layak = m 3 air/kapita/tahun Tabel 9 No. Koefisien limpasan Deskripsi Permukaan Koefisien Limpasan (Ci) 1. Kota, jalan aspal, atap genteng 0,7 0,9 2. Kawasan industri 0,5 0,9 3. Permukaan multi unit, pertokoan 0,6 0,7 4. Kompleks perumahan 0,4 0,6 5. Villa 0,3 0,5 6. Taman, pemakaman 0,1 0,3 7. Pekarangan tanah berat : a. > 7% b. 2 7% c. < 2% 0,25 0,35 0,18 0,22 35

55 No. Deskripsi Permukaan Koefisien Limpasan (Ci) 8. Pekarangan tanah ringan : a. > 7% b. 2 7% c. < 2% 0,13 0,17 0,15 0,2 0,10 0,15 0,05 0,10 9. Lahan berat 0, Padang rumput 0, Lahan budidaya pertanian 0, Hutan produksi 0,18 Sumber : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah Gambar 13. Secara singkat alur proses perhitungan daya dukung air dapat dilihat pada Gambar 13 Alur proses perhitungan daya dukung air. (Sesuai dengan Permen LH Nomor 17 Tahun 2009) Status daya dukung lingkungan hidup, baik lahan maupun air diperoleh dengan membandingkan nilai antara ketersediaan lahan/air dan kebutuhan lahan/air. Jika ketersediaan lahan/air lebih besar daripada kebutuhan lahan/air 36

56 maka daya dukung lahan/air tersebut dinyatakan surplus, sedangkan jika ketersediaan lahan/air lebih kecil daripada kebutuhan lahan/air maka daya dukung lahan/air tersebut dinyatakan defisit. Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup Arahan pemanfaatan ruang dibuat sebagai arahan dalam merumuskan wilayah-wilayah yang dapat digunakan sebagai kawasan budidaya atau kawasan lindung. Faktor utama yang digunakan dalam merumuskan arahan pemanfaatan ruang yaitu kelas kemampuan lahan. Alasan utama digunakannya faktor kelas kemampuan lahan sebagai dasar dalam menyusun arahan pemanfaatan ruang yaitu sesuai dengan konsep utama daya dukung lingkungan hidup, pengalokasian pemanfaatan ruang harus mempertimbangkan aspek kemampuan lahannya sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan. Pengalokasian pemanfaatan ruang yang dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan lahan hanya terkait dengan aspek fisik lahan sedangkan aspek lainnya seperti keanekaragaman hayati dipertimbangkan dengan memperhatikan kriteria kawasan lindung sesuai dengan peraturan perundangan. Secara singkat tahapan analisis yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 Alur penyusunan arahan pemanfaatan lahan 37

57 Berdasarkan alur pada Gambar 14, akan diperoleh tiga skenario yang akan digunakan sebagai pertimbangan dalam arahan pemanfaatan ruang. Masingmasing skenario memiliki satu atau lebih faktor utama yang digunakan sebagai kriteria dalam menyusun arahan pemanfaatan ruang. Secara rinci kaitan antara skenario, fungsi kawasan dan kriteria yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Keterkaitan antara skenario, faktor pertimbangan dan kriteria yang digunakan untuk mernyusun arahan pemanfaatan ruang No Skenario Fungsi Kawasan Kriteria 1. Skenario I a. Lindung Kelas Kemampuan I dan II b. Budidaya Kelas Kemampuan I sampai IV 2. Skenario II a. Lindung Kelas Kemampuan I dan II atau Kawasan Hutan Negara Berfungsi Lindung (Hutan Lindung dan Hutan Konsevasi) b. Budidaya Bukan termasuk dalam kriteria lindung pada skenario II 3. Alternatif a. Lindung Kelas Kemampuan I dan II atau Kawasan Hutan Negara atau Pemanfaatan lahan aktual yang mampu berfungsi lindung b. Budidaya Bukan termasuk dalam kriteria lindung pada Alternatif Proses analisis spasial dilakukan terhadap masing-masing skenario yang dihasilkan dengan memperhatikan aspek sebaran, distribusi, ukuran dan luasan. Dalam penelitian ini analisis spasial dilakukan secara manual dengan melihat visualisasi obyek yang tergambar dalam peta. Pemilihan skenario terpilih dari tiga skenario yang dihasilkan dengan mempertimbangkan kriteria proporsi luasan kawasan lindung. Di dalam peraturan perundangan, proporsi luasan minimal kawasan lindung yang terdapat dalam suatu wilaya ditetapkan sebesar 30% dari luas wilayah. Kawasan lindung yang 38

58 dimaksud dalam penelitian adalah areal atau wilayah yang memiliki fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam maupun sumber daya buatan. Selain itu terdapat pertimbangan lain yang berkaitan dengan kecukupan luasan pemenuhan penetapan areal kawasan lindung sebesar 74,2% sebagaimana ditetapkan dalam rancangan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut Batasan-batasan Beberapa batasan yang terdapat dalam kajian ini antara lain: 1. Wilayah kajian adalah Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat 2. Pemanfaatan lahan aktual adalah penutupan dan atau penggunaan lahan pada saat dilakukan analisis yang dihasilkan dari interpretasi citra satelit 3. Rencana pemanfaatan ruang adalah rencana pengalokasian pemanfaatan ruang yang terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai arahan dalam pemanfaatan ruang di suatu wilayah. 4. Semua data yang digunakan dalam melakukan perhitungan daya dukung lingkungan hidup diolah berdasarkan sumber data sekunder (data statistik kabupaten) sedangkan data harga beberapa komoditas diperoleh melalui survey harga pada tingkat produsen 5. Data peta yang diperoleh tidak semuanya mempunyai standar dan format yang sama sehingga memerlukan beberapa penyesuaian sebelum dapat diolah lebih lanjut 6. Luasan yang diperoleh dari hasil analisis dapat berbeda dengan luasan yang terdapat dalam statistik. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan metode perhitungan dan tingkat ketelitian alat dan bahan yang digunakan. Oleh sebab itu pemanfaatan data yang diperoleh melalui penelitian ini disarankan lebih mengedepankan nilai proporsi (persen) terhadap luas keseluruhan. 39

59 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur dan secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat. Selain itu, Kabupaten Garut berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung di sebelah Barat, Kabupaten Sumedang di sebelah Utara, Kabupaten Tasikmalaya di sebelah Timur dan dibatasi oleh Samudera Hindia di Bagian Selatan. Luas wilayah Kabupaten Garut sebesar hektar, yang dibagi menjadi 42 Kecamatan dan terdiri dari 21 Kelurahan dan 403 Desa. Kecamatan Cibalong, merupakan wilayah kecamatan dengan luasan terbesar, yaitu seluas hektar (6,97% wilayah Kabupaten Garut) sedangkan Kecamatan Kersamanah merupakan wilayah dengan luasan terkecil, yaitu seluas hektar (0,54% dari luas wilayah Kabupaten Garut). Kondisi Fisik Wilayah Topografi Karakteristik topografi Kabupaten Garut sebelah Utara terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan, sedangkan bagian Selatan sebagian besar permukaannya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat labil. Wilayah terendah dengan ketnggian kurang dari 100 m terdapat di kecamatan Cibalong, Paemeungpeuk, Cikelet, Mekarmukti, Pakenjeng, Bungbulang dan Caringin. Sedangkan wilayah yang terletak pada ketinggian m dpl terdapat di kecamatan Cibalong, Cisompet, Cisewu, Cikelet dan Bungbulang. Kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan berada pada ketinggian m dpl sedangkan wilayah yang berada pada ketinggian m dpl terdapat di Kecamatan Cikajang, Pakenjeng, Pamulihan, Cisurupan dan Cisewu.

60 Gambar 15 Peta kelas ketinggian Kabupaten Garut Berdasarkan hasil analisis pada peta, seperti terlihat pada Gambar 15, sebagian besar wilayah Kabupaten Garut berada pada ketinggian lebih dari 500 m dpl, dengan persentase luasan mencapai lebih dari 75 persen. Di wilayah Garut bagian tengah, ketinggian tempat dapat mencapai lebih dari m dpl, dimana pada wilayah ini merupakan komplek Gunung Papandayan dan Cikuray yang posisinya berdekatan. Sedangkan di wilayah Garut bagian Selatan, variasi ketinggian dapat dikatakan lebih beragam dibandingkan dengan wilayah Garut 41

61 bagian Utara yang hanya didominasi oleh 2 (dua) kelas ketinggian. Secara terperinci luas dan persentase masing-masing kelas ketinggian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Luasan dan persentase Kabupaten Garut berdasarkan kelas ketinggian No. Kelas Ketinggian Luas (Ha) Persen (%) Meter , Meter , Meter , Meter ,9 5. Lebih dari Meter ,1 Jumlah Total ,0 Data hasil analisis pada Tabel 12, menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Garut memiliki kelas lereng kurang dari 40%, dimana kelas lereng 16% - 25% merupakan kelas yang paling dominan meliputi luasan sebesar ,50 hektar (32,12% dari seluruh wilayah Kabupaten Garut). Tabel 12 Luasan dan persentase Kabupaten Garut berdasarkan kelas lereng No. Kelas Lereng Bentuk Wilayah Luas (Ha) Persen (%) 1. Kurang dari 8 % Datar , % - 15 % Landai , % - 25 % Agak Curam , % - 40 % Curam ,8 5. Lebih dari 40 % Sangat Curam ,9 Jumlah Total ,00 Sumber: analisis pada peta Dilihat dari penyebarannya, seperti terlihat pada Gambar 16, wilayah Garut bagian Utara umumnya datar dengan sebagian kecil wilayah merupakan wilayah agak curam sampai dengan curam yang akan dijumpai pada wilayah sebelah Barat dan Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Tasikmalaya. 42

62 Gambar 16 Peta kelas kelerengan Klimatologi Secara umum iklim di wilayah Kabupaten Garut dapat dikatagorikan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropical climate) karena termasuk tipe Af sampai Am dari klasifikasi iklim Koppen. Berdasarkan studi data sekunder, iklim dan cuaca di daerah Kabupaten Garut dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu : pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation pattern), topografi regional yang bergunung-gunung di bagian tengah Jawa Barat; dan 43

63 elevasi topografi di Bandung. Curah hujan rata-rata harian di sekitar Garut berkisar antara 13,6 mm/hari 27,7 mm/hari dengan bulan basah 9 bulan dan bulan kering 3 bulan, sedangkan di sekeliling daerah pegunungan mencapai mm sebagaimana terlihat pada Gambar 17. Gambar 17 Peta curah hujan Selama musim hujan, secara tetap bertiup angin dari Barat Laut yang membawa udara basah dari Laut Cina Selatan dan bagian barat Laut Jawa. Pada 44

64 musim kemarau, bertiup angin kering bertemperatur relatif tinggi dari arah Australia yang terletak di tenggara. Hidrologi Berdasarkan arah alirannya, sungai-sungai di wilayah Kabupaten Garut dibagi menjadi enam daerah aliran sungai (DAS) yaitu DAS Cimanuk yang bermuara di Laut Jawa serta DAS Cilaki, DAS Cikandang, DAS Cipalebuh, DAS Cisanggiri dan DAS Cikangeang yang bermuara di Samudera Indonesia. Karakteristik sungai pada wilayah DAS yang bermuara di Samudera Indonesia pada umumnya relatif pendek, sempit dan berlembah-lembah dibandingkan dengan DAS Cimanuk. Jumlah sungai yang terdapat di wilayah ini adalah sebanyak 63 buah sungai beserta anak sungainya dengan panjang keseluruhan mencapai 1.397,34 km dimana sepanjang 92 km diantaranya merupakan panjang aliran Sungai Cimanuk dengan anak sungainya. Jenis Tanah Dilihat dari jenis tanahnya, secara garis besar Kabupaten Garut terdapat jenis tanah aluvial, asosiasi andosol, asosiasi litosol, asosiasi mediteran, asosiasi podsolik, dan asosiasi regosol. Jenis tanah tersebut memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat menjadi suatu potensi maupun kendala dalam pemanfaatan lahan tertentu. Asosiasi podsolik dan regosol merupakan jenis tanah yang paling dominan terdapat di wilayah ini, menyebar di wilayah Selatan dan sepanjang perbatasan bagian Barat dan Timur Kabupaten Garut sampai ke wilayah Utara. Selain itu terdapat tanah andosol yang penyebarannya berada di wilayah tengah Kabupaten Garut. Jenis tanah ini umumnya berwarna hitam, memiliki penampang yang berkembang, dengan horizon-a yang tebal, gembur dan kaya bahan organik. 45

65 Gambar 18 Peta jenis tanah Kependudukan Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk Kabupaten Garut pada Tahun 2008 sebanyak jiwa, sedangkan pada tahun 2009 mengalami kenaikan menjadi jiwa. Jumlah anggota keluarga per kepala keluarga sebanyak 4-5 orang. Tingkat kepadatan penduduk rata-rata sebesar 742,2 jiwa per km 2, dimana indeks tingkat kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Tarogong Kidul 46

66 sebesar 4.998,36 jiwa per km 2, sedangkan tingkat kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Pamulihan, yaitu sebesar 136 jiwa per km 2. Dilihat dari aspek mata pencaharian, 38,63% penduduk di Kabupaten Garut, menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, 26,63% berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restauran sedangkan sisanya berada di sektor lain, seperti jasa, industri dan sektor lainnya. Tabel 13 Jumlah dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Garut No Tahun Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) Sex Ratio (%) LPP (%) , ,6 1, ,5 1, ,5 1, ,4 1, ,4 1,53 Sumber:diolah dari berbagai sumber Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut Secara umum, di dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Garut Tahun , Kabupaten Garut terbagi menjadi 2 (dua) kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung, umumnya didominasi oleh hutan lindung, hutan konservasi dan sempadan sungai/pantai. Kawasan budidaya terbagi menjadi kawasan budidaya non hutan, yaitu hutan produksi terbatas dan hutan produksi, perikanan budidaya, perkebunan, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan peternakan. Secara spasial, pola pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut dapat dilihat pada Gambar 19, sedangkan luasan dan persentase masing-masing bentuk kawasan dapat dilihat pada Tabel

67 Gambar 19. Rencana Pola Ruang RTRW Kabupaten Garut

68 Tabel 14 Luas dan persentase Rencana Pola Ruang revisi RTRW Kabupaten Garut No. Kawasan/Pola Ruang Luas (Ha) Persen (%) 1. Kawasan Budidaya ,8 25,8 a. Hutan Produksi Terbatas 8.977,72 2,9 b. Hutan Produksi 147,26 0,1 c. Perkebunan ,64 6,2 d. Permukiman 5.119,99 1,7 e. Pertanian Lahan Basah ,70 6,6 f. Pertanian Lahan Kering ,65 8,4 g. Perikanan Budidaya 8,57 0,0 h. Peternakan 326,29 0,1 2. Kawasan Lindung ,62 74,2 a. Hutan Lindung ,47 25,6 b. Hutan Konservasi ,16 3,9 c. Sempadan Sungai/Pantai ,62 4,5 d. KLNH-Gerakan Tanah ,38 21,7 e. KLNH-Gunung Api ,24 6,0 f. KLNH-Rawan Tsunami 3.435,28 1,1 g. KLNH-Resapan Air ,48 11,3 Jumlah Total ,45 100,0 Sumber: draft RTRW Kabupaten Garut Berdasarkan informasi pada Tabel 14, proporsi kawasan lindung mencapai 74,2% sedangkan kawasan budidaya mencapai 25,8% dari keseluruhan wilayah. Pada kawasan lindung, terdapat dua pola ruang yang proporsinya cukup besar, yaitu hutan lindung (25,6%) dan kawasan lindung non hutan rawan gerakan tanah (21,7%). Pada kawasan budidaya, teradapat tiga pola ruang yang proporsinya cukup besar, yaitu pertanian lahan kering, pertanian lahan basah dan perkebunan. 49

69 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan terbesar terdapat pada pertanian lahan kering (PLK), dengan luasan mencapai hektar atau meliputi 45,4% wilayah Kabupaten Garut, sedangkan penutupan terkecil terdapat pada pemanfaatan penambangan seluas 200 hektar atau hanya meliputi 0,1% wilayah Kabupaten Garut yang dimanfaatkan sebagai areal penambangan pasir. Pemanfaatan lahan lain yang cukup dominan adalah hutan dan pertanian lahan basah (PLB), dengan masingmasing luasan sebesar hektar dan hektar. Secara terperinci luas dan persentase penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Luas dan persentase pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 No. Pemanfaatan Lahan Aktual Luas (Ha) Persen (%) 1. Hutan ,8 2. Padang Rumput 230 0,1 3. Perkebunan ,2 4. Permukiman ,6 5. Penambangan 200 0,1 6. Pertanian Lahan Basah ,9 7. Pertanian Lahan Kering ,4 8. Tanah Terbuka ,7 9. Tubuh Air 790 0,3 Jumlah Total ,00 100,0 50

70 Secara spasial, seperti terlihat pada Gambar 20, sebaran pertanian lahan kering, menyebar merata hampir di semua wilayah kabupaten. Namun secara visual, proporsi penyebarannya terlihat lebih banyak berada di wilayah Selatan Kabupaten Garut, sedangkan pada wilayah Garut bagian Utara, pemanfaatan lahannya lebih didominasi oleh pertanian lahan basah. Gambar 20 Pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 Pemanfaatan lahan hutan termasuk di dalamnya hutan primer dan hutan sekunder sedangkan pemanfaatan perkebunan, berdasarkan hasil interpretasi umumnya didominasi oleh jenis komoditas kelapa sawit, karet dan teh sedangkan jenis komoditas perkebunan lainnya tidak dapat teridentifikasi dengan jelas. 51

71 Gambar 21 Perkebunan sawit Gambar 22 Perkebunan karet 52

72 Gambar 23 Perkebunan teh Pada pemanfaatan lahan pertanian lahan kering, umumnya didominasi oleh jenis komoditas palawija dan banyak ditemukan di wilayah Selatan seperti kecamatan Caringin, Bungbulang, Pakenjeng, Cikelet, Pameungpeuk dan Cibalong, sedangkan untuk sebagian wilayah Utara, jenis tanaman yang umum dibudidayakan pada areal pertanian lahan kering umumnya palawija dan sayuran dataran rendah. Di beberapa kecamatan yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, jenis tanaman yang banyak dibudidayakan adalah sayuran dataran tinggi. Kondisi ini dapat ditemukan di kecamatan Cikajang, Cigedug, Cisurupan, Pasirwangi dan Samarang. Penyebaran pemanfaatan lahan pertanian lahan basah, hampir dapat ditemukan di semua wilayah di Kabupaten Garut. Pada jenis pemanfaatan lahan ini termasuk pertanian lahan basah yang ditunjang oleh pengairan irigasi teknis, irigasi perdesaan maupun areal sawah tadah hujan. Varietas yang umum diusahakan adalah IR-64 dan varietas Ciherang pada sawah yang memiliki pengairan teknis maupun perdesaan, sedangkan pada areal sawah tadah hujan varietas yang diusahakan adalah Situ Bagendit dan Situ Patenggang dan banyak dibudidayakan pada lahan-lahan di wilayah Selatan yang memiliki jumlah curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan daerah Tengah maupun Utara. 53

73 Gambar 24 Pertanian lahan kering Gambar 25 Pertanian lahan basah Perbedaan yang sangat nyata dari penampakan ketiganya dapat dilihat dari bentuk dan pola penutupannya. Pada pertanian lahan basah yang ditunjang oleh 54

74 jaringan irigasi teknis, penampakan secara spasial membentuk hamparan yang luas dan berkesinambungan dan berada pada wilayah dengan topografi datar sampai landai. Hal ini dapat dilihat pada pemanfaatan pertanian lahan basah yang ada di wilayah Tengah sampai Utara Kabupaten Garut. Sedangkan pada areal pertanian lahan basah yang ditunjang oleh jaringan irigasi perdesaan maupun sawah tadah hujan, umumnya memiliki bentuk dan pola spasial yang terpisah dengan bentuk hamparan yang relatif lebih kecil dan umumnya banyak ditemukan di daerah yang berbukit atau bergelombang. Areal permukiman, seperti halnya pemanfaatan lahan pertanian lahan basah dan kering, juga hampir dapat ditemukan di semua wilayah. Perbedaan antara pola dan bentuk areal permukiman menunjukkan karakteristik suatu wilayah. Pada areal permukiman yang memiliki bentuk luas dan pola yang lebih kompak umumnya terdapat pada daerah perkotaan sedang di wilayah perdesaan pola dan bentuk areal permukiman lebih tersebar dalam bentuk yang lebih kecil. Gambar 26 Permukiman Pemanfaatan lahan tanah terbuka berdasarkan hasil interpretasi berada di kaki gunung Guntur. Luas areal ini mencapai Hektar atau meliputi 0,7% wilayah Kabupaten Garut. Areal ini sebenarnya termasuk ke dalam wilayah Hutan 55

75 Lindung yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kementerian Kehutanan, namun karena memiliki deposit pasir yang cukup banyak, material ini banyak digali oleh masyarakat sebagai bahan bangunan. Gambar 27 Tanah terbuka Secara umum berdasarkan interpretasi citra satelit, terlihat bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Garut (70,4%) dimanfaatkan untuk aktifitas yang berkaitan dengan pertanian, yaitu pertanian lahan kering (45,4%), pertanian lahan basah (16,9%) dan perkebunan (8,2%). Kondisi ini ditunjang oleh jenis tanah yang umumnya cocok dimanfaatkan bagi kegiatan pertanian seperti aluvial, andosol, regosol dan podsolik. Selain itu kondisi topografi yang sebagian besar merupakan daerah yang datar sampai dengan landai (48,1%) dan agak curam (32,1%) serta curah hujan yang cukup tinggi (> mm/tahun) merupakan faktor yang sangat mendukung untuk budidaya pertanian. Hampir semua jenis komoditas pertanian dapat dibudidayakan pada wilayah ini. Berdasarkan data statistik pertanian, terdapat 104 komoditas yang ditanam dan dibudidayakan oleh masyarakat di Kabupaten Garut, diluar komoditas kehutanan, ternak dan perikanan. Namun hanya beberapa komoditas yang proporsi produksinya cukup besar antara lain: ubi kayu, padi dan jagung pada kelompok padi dan palawija serta beberapa komoditas kelompok biofarmaka (jahe, kunyit, laos dan kapolaga). 56

76 Dilihat dari segi pemanfaatan lahan, pada areal pertanian lahan basah, umumnya ditanami oleh padi, palawija atau sayuran. Padi merupakan tanaman yang dominan ditanam pada areal pertanian lahan basah dimana intensitas penanamannya dapat dilakukan sampai dengan 3 kali musim tanam setiap tahunnya. Namun kondisi ini dapat tercapai hanya pada areal pertanian lahan basah yang telah ditunjang oleh pengairan teknis, maupun semi teknis. Palawija atau sayuran yang ditanam pada areal lahan basah umumnya merupakan tanaman penyela musim sebelum kembali ditanami padi pada musim berikutnya. Pada areal pertanian lahan kering, komoditas yang ditanam jauh lebih beragam. Hampir semua komoditas termasuk komoditas perkebunan rakyat ditanam pada areal pertanian lahan kering. Namun demikian dominasi komoditas yang ditanam umumnya di manfaatkan untuk budidaya palawija dan sayuran. Pada komoditas palawija, penanaman umumnya dilakukan pada areal pertanian lahan kering yang berada pada dataran rendah (ketinggian kurang dari 800 m dpl), sedangkan komoditas sayuran selain pada areal pertanian lahan kering dataran rendah juga ditanam pada dataran tinggi. Dibandingkan dengan areal pertanian lahan kering pada dataran rendah, pertanian lahan kering pada dataran tinggi umumnya berada pada areal yang memiliki bentuk wilayah agak curam sampai curam. Karakteristik tanaman sayuran yang umumnya sangat sensitif terhadap kelembaban menyebabkan para petani di areal ini sering mengabaikan aspek konservasi tanah sehingga sangat berpotensi terjadinya erosi pada musim penghujan. Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan indikator yang digunakan dalam penilaian kesesuaian penggunaan lahan secara umum. Pelaksanaan penilaian terhadap kemampuan lahan dilakukan sebelum dilakukan evaluasi kesesuaian untuk penggunaan tertentu. Di dalam penelitian ini, penentuan kemampuan lahan dilakukan sampai ke tingkat sub kelas sehingga dapat diketahui faktor penghambat utama untuk semua penggunaan secara umum pada setiap kelas kemampuan lahan. Secara rinci, informasi penyebaran dan luas setiap kelas kemampuan dapat dilihat pada Gambar 28 dan Tabel 16, sedangkan luas dan 57

77 penyebaran setiap sub kelas kemampuan dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 29. Tabel 16 Luas dan persentase kelas kemampuan lahan No. Kelas Kemampuan Luas (Ha) Persen (%) 1. Kelas II ,5 2. Kelas III ,0 3. Kelas IV ,4 4. Kelas V 170 0,1 5. Kelas ,7 6. Kelas I ,8 7. Kelas II ,4 8. Unclassified 160 0,1 Jumlah Total ,0 Gambar 28 Kelas kemampuan lahan 58

78 Berdasarkan informasi yang terdapat pada Tabel 16 dan Gambar 28 di Kabupaten Garut tidak terdapat lahan yang memiliki kelas kemampuan I. Luas kelas kemampuan terbesar terdapat pada kelas kemampuan IV seluas hektar sedangkan kelas kemampuan dengan luasan terendah terdapat pada kelas kemampuan V. Wilayah yang termasuk dalam Unclassified merupakan daerah permukiman kota dan kaldera gunung Papandayan. Terdapat 27 (dua puluh tujuh) sub kelas kemampuan lahan yang ada di Kabupaten Garut. Luas terbesar merupakan sub kelas kemampuan IV dengan faktor penghambat utama kelerengan (l) dan batuan (b). Sub kelas ini secara spasial penyebarannya terdapat di wilayah Garut bagian Selatan. Sedangkan sub kelas kemampuan terkecil merupakan sub kelas kemampuan V dengan faktor penghambat utama ancaman banjir (o). Sub kelas kemampuan ini pada kenyataannya merupakan daerah aluvial pada muara sungai yang terbentuk dari sedimentasi material tanah yang terbawa aliran sungai. Gambar 29 Sub kelas kemampuan lahan 59

79 Dilihat dari aspek faktor pembatas utama, kelerengan (l) merupakan faktor pembatas dominan ditemukan di semua kelas kemampuan. Faktor ini merupakan merupakan faktor terberat yang dapat menjadi penghambat utama dalam pemanfaatan suatu lahan khususnya pemanfaatan pertanian. Selain faktor kelerengan, faktor erosi (e) juga cukup menjadi penghambat yang ditemukan hampir disemua kelas kemampuan. Faktor kedalaman tanah, batuan, tekstur dan bahaya banjir walaupun bukan merupakan penghambat yang berat, namun pada beberapa kelas kemampuan lahan, faktor ini merupakan faktor pembatas utama. Tabel 17 Luas dan persentase sub kelas kemampuan lahan No. Sub Kelas Kemampuan Luas (Ha) Persen (%) Keterangan 1 II-k ,4 Faktor Pembatas : 2 II-lk ,1 b = Batuan 3 III-be ,7 e = Erosi 4 III-k ,3 k = Kedalaman Tanah 5 III-l ,6 l = Lereng 6 III-lbe ,7 t = Tekstur Tanah 7 III-lk ,3 o = Bahaya Banjir 8 III-lt 870 0,3 d = Drainase 9 III-lte ,5 10 III-t ,2 11 III-te ,5 12 III-tk ,8 13 IV-b ,4 14 IV-e ,9 15 IV-k 910 0,3 16 IV-l ,8 17 IV-lb ,9 18 IV-le ,2 19 IV-lk ,9 20 V-o 170 0,1 21 -e ,2 22 -l ,0 23 -le ,5 24 I-e ,7 25 I-l ,2 26 II-l ,5 27 II-lt ,0 28 Unclassified 150 < 0,1 Jumlah Total ,0 60

80 Berdasarkan deskripsi tersebut, sebagian besar lahan (55,9%) merupakan areal yang cocok dimanfaatkan untuk berbagai macam penggunaan. Lahan ini terdapat pada kelas kemampuan lahan II (1,5%), kemampuan lahan III (18,0%) dan kemampuan lahan IV (36,4%). Sedangkan pada kelas kemampuan lahan V (0,1%) dan kemampuan lahan (28,7%) masih dapat digunakan untuk penggunaan yang terbatas dengan memperhatikan faktor penghambat pada tiap kelas kemampuan lahan. Pada kelas kemampuan lahan V, secara alamiah terdapat faktor ancaman banjir sebagai penghambat utama. Namun faktor ini dapat menjadi penghambat yang berat jika wilayah tersebut merupakan wilayah dengan frekwensi kejadian banjir tinggi atau pada periode waktu tertentu sering dilanda banjir. Pada kelas kemampuan lahan, dominasi faktor penghambat yang terluas terdapat pada faktor erosi. Hal ini menunjukkan secara umum, karakteristik lahan yang ada rentan terhadap terjadinya erosi. Dalam jangka pendek dampak erosi tidak akan terlalu terasa, namun dalam jangka panjang, erosi akan menurunkan kesuburan tanah akibat hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Arsyad (2010) secara rinci membagi dampak erosi menjadi empat golongan, yaitu: (1) berbentuk langsung dan berdampak di tempat kejadian erosi, (2) berbentuk langsung dan berdampak di luar tempat kejadian erosi, (3) berbentuk tidak langsung dan berdampak di tempat kejadian erosi, dan (4) berbentuk tidak langsung dan berdampak di luar tempat kejadian erosi. Memperhatikan dampak tersebut, penanganan erosi merupakan hal yang penting dan perlu mendapat perhatian yang utama, diantaranya melalui penerapan metode konservasi tanah dan air. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan Tahapan penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauhmana kesesuaian pemanfaatan aktual lahan terhadap kelas kemampuannya, rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuannya dan rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual. Evaluasi ketiga aspek tersebut dilakukan dengan 61

81 menggunakan tabel keputusan yang dibuat untuk mempermudah dalam menentukan keputusan kesesuaian ketiga aspek tersebut. Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual terhadap Kemampuan Lahan Berdasarkan hasil analisis, kesesuaian pemanfaatan lahan aktual dengan kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 30, sedangkan distribusi luasan untuk masing-masing kelas kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 18. Kriteria yang disusun meliputi dua kondisi kesesuaian, yaitu sesuai (S) dan tidak sesuai (TS). Pemanfaatan lahan hutan dan tubuh air dikatakan sesuai untuk semua kelas kemampuan. Gambar 30 Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Pada Tabel 17 terlihat bahwa, hektar (49,6%) lahan yang ada di Kabupaten Garut, pemanfaatannya telah sesuai dengan kemampuan lahan 62

82 sedangkan hektar (50,4%) dikatakan pemanfaatannya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Pemanfaatan lahan tidak sesuai merupakan potensi terjadinya degradasi lahan. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengendalikan dan mengurangi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Tabel 18 Luas dan persentase kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan Pemanfaatan Lahan Aktual Luas (Ha) Sesuai Tidak Sesuai Jumlah Total Persen (%) Luas (Ha) Persen (%) Luas (Ha) Persen (%) Hutan , ,8 Padang Rumput 49 0, , ,1 Perkebunan , , ,2 Permukiman , , ,6 Pertambangan 17 0, , ,1 Pertanian Lahan Basah , , ,9 Pertanian Lahan Kering , , ,4 Tanah Terbuka , ,7 Tubuh Air 793 0, ,3 Jumlah Total , , ,0 Lahan yang tidak sesuai pemanfaatannya terhadap kemampuan lahan umumnya berada pada lahan yang terdapat aktifitas manusia, antara lain: pertanian lahan kering, pertanian lahan basah dan permukiman. Pertanian lahan kering merupakan pemanfaatan yang paling tinggi persentase ketidaksesuaiannya, yaitu seluas hektar (38,4%), sedangkan pertanian lahan basah seluas hektar (9,0%). Hasil analisis pada Lampiran 4 menunjukkan, ketidaksesuaian pertanian lahan kering sebagian besar terdapat pada kelas kemampuan lahan sampai dengan II. Secara umum, lahan yang memiliki kelas kemampuan lebih dari, memiliki faktor penghambat utama kelerengan dan bahaya erosi. Lereng yang agak curam sampai dengan sangat curam merupakan areal yang rawan terhadap timbulnya longsor dan erosi, apabila dibiarkan dalam kondisi yang sangat terbuka. Pada lahan yang terbuka, tanah menjadi sangat mudah terkikis oleh air, terutama 63

83 pada saat musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi serta berpotensi mengalami longsor. Gambar 31 Pertanian lahan kering pada daerah berbukit Karakteristik budidaya pertanian lahan kering, seperti terlihat pada Gambar 31, umumnya didominasi oleh tanaman palawija dan sayuran. Komoditas sayuran yang banyak mendominasi pertanian pada lahan kering umumnya adalah sayuran dataran tinggi yang banyak ditanam pada daerah-daerah dengan kelerengan di atas 30%. Pada kondisi demikian, para petani umumnya tidak menerapkan metode konservasi tanah yang sesuai dengan kondisi yang ada. Hal ini akan menyebabkan tanah secara perlahan akan tererosi dan menurunkan kesuburannya. Pada pemanfaatan lahan pertanian lahan basah, ketidaksesuaian terbesar terdapat pada kelas kemampuan lahan sampai dengan II. Kondisi demikian akan menyebabkan areal pertanian lahan basah, menjadi rawan terhadap bahaya longsor. Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Pemanfaatan Lahan Aktual Hasil analisis, kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual dapat dilihat pada Gambar 32, sedangkan luas dan persentase kondisi 64

84 kesesuaian pada masing-masing pemanfaatan lahan aktual dapat dilihat pada Tabel 19. Gambar 32 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Gambar 32 menunjukkan secara keruangan kondisi kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual. Secara visual kondisi sesuai lebih dominan dibandingkan kondisi tidak sesuai, namun jika dilihat dari aspek lokasional, kondisi sesuai lebih banyak ditemukan di wilayah Garut bagian Utara, sedangkan di wilayah Garut bagian Selatan secara lokasional kondisinya lebih didominasi oleh areal pemanfaatan lahan aktual yang tidak sesuai. Tabel 19 menunjukkan bahwa luas kondisi sesuai mencapai hektar atau 65,4% dari pemanfaatan lahan aktual. Kondisi sesuai bersyarat seluas 202 hektar atau 0,1% dari pemanfaatan lahan aktual dan kondisi tidak sesuai seluas hektar atau sebesar 34,6% dari pemanfaatan lahan aktual. Besarnya nilai kondisi sesuai, menunjukkan struktur pola ruang yang dibuat, dibentuk berdasarkan pemanfaatan lahan aktual yang ada. 65

85 Tabel 19 Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) Sesuai Hutan Konservasi ,6 Hutan Lindung ,0 Hutan Produksi 126 0,0 Hutan Produksi Terbatas ,2 Perikanan Budidaya 39 0,0 Perkebunan ,2 Permukiman ,5 Pertanian Lahan Basah ,1 Pertanian Lahan Kering ,5 Peternakan 431 0,1 Sempadan Sungai/Pantai ,1 Jumlah ,4 Sesuai Bersyarat Hutan Konservasi 78 0,0 Hutan Lindung 4 0,0 Perkebunan 26 0,0 Pertanian Lahan Basah 10 0,0 Pertanian Lahan Kering 76 0,0 Peternakan 7 0,0 Jumlah 202 0,1 Tidak Sesuai Hutan Konservasi ,3 Hutan Lindung ,6 Hutan Produksi 45 0,0 Hutan Produksi Terbatas ,8 Perkebunan ,7 Perlindungan Geologi Karst 34 0,0 Permukiman 9 0,0 Pertanian Lahan Basah ,0 Pertanian Lahan Kering ,5 Peternakan 6 0,0 Sempadan Sungai/Pantai ,5 Jumlah ,6 Jumlah Total ,0 Kesesuaian Rencana Pemanfaatan Ruang terhadap Kemampuan Lahan Secara umum hasil analisis ini menunjukkan sejauhmana rencana yang telah dibuat telah sesuai dengan aspek kemampuan lahan. Pertimbangan ini perlu dilakukan mengingat sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang bersifat tetap dalam luasan sehingga pemanfaatannya harus dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Hasil analisis menunjukkan, bahwa hektar (58,4%) lahan, dalam perencanaannya telah sesuai dengan kemampuan lahannya, hektar 66

86 (17,2%) dalam kondisi sesuai bersyarat dan hektar (24,2%) perencanaannya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya yang secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 20. Informasi pada Gambar 33 menunjukkan kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan didominasi oleh kondisi sesuai. Kondisi tidak sesuai dapat ditemukan pada wilayah Garut bagian Selatan, sebagian di ujung Utara dan di wilayah komplek pegunungan pada daerah perbatasan bagian Barat dan Timur yang memanjang dari Utara ke Selatan. Gambar 33 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan Rencana pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kemampuan lahan meliputi hutan lindung, hutan konservasi, sempadan sungai/pantai, perlindungan geologi karst, hutan produksi terbatas, hutan produksi, perkebunan, perikanan budidaya, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan peternakan. Kondisi sesuai bersyarat ditemukan pada rencana pemanfaatan ruang hutan 67

87 produksi terbatas, perkebunan dan pertanian lahan kering, sedangkan kondisi tidak sesuai terdapat pada rencana pemanfaatan ruang hutan produksi, perikanan budidaya, perkebunan, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan peternakan. Tabel 20 Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan Rencana Pemanfaatan Ruang Kesesuaian terhadap Kemampuan Lahan (Ha) Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Jumlah Total Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Perikanan Budidaya Perkebunan Perlindungan Geologi Karst Permukiman Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Peternakan Sempadan Sungai/Pantai Jumlah Total Persen (%) 58,4 17,2 24,4 100,0 Secara umum, berdasarkan hasil analisis kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan, dapat dikatakan perencanaan yang dilakukan belum sepenuhnya memperhatikan aspek kemampuan lahan. Pada kondisi tidak sesuai seperti terlihat pada Tabel 20, bahwa sebagian area tidak sesuai rencana pemanfaatannya akan digunakan sebagai pertanian lahan kering dan lahan basah. Jika dikaitkan dengan kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual dapat dikatakan bahwa, dari 34,6% areal rencana 68

88 pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan pemanfaatan lahan, 24,4% merupakan areal rencana pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Daya Dukung Lingkungan Hidup Daya Dukung Lahan Perhitungan daya dukung lahan dilakukan dengan melihat ketersedian lahan dan kebutuhan lahan. Ketersediaan lahan dipengaruhi oleh aspek kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan bioproduk sehingga mampu memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan kebutuhan lahan dipengaruhi oleh jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Pada dasarnya metode ini dibuat untuk memudahkan penilaian status daya dukung suatu wilayah yang secara prinsip mengadopsi konsep Ecological Footprints. Perhitungan ketersediaan dilakukan dengan menghitung jumlah nilai produksi dari seluruh bioproduk yang dihasilkan pada wilayah tersebut terhadap nilai produksi beras. Konversi yang digunakan untuk menyetarakan antara produk beras dengan non beras adalah harga (Rustiadi et al. 2010). Sedangkan pada perhitungan kebutuhan lahan asumsi yang digunakan adalah kebutuhan hidup layak untuk setiap penduduknya sebesar kg beras. Tabel 21 Perhitungan ketersediaan lahan No. Faktor Satuan Nilai 1. Total Nilai Produksi Rp ,50 2. Harga Beras Rp/Kg Total Beras dari Padi Sawah dan Ladang Kg ,00 4. Luas Panen Padi Ha ,25 5. Produktivitas Beras Kg/Ha 3.298,63 Ketersediaan Lahan Ha ,38 Berdasarkan perhitungan seperti terlihat pada Tabel 21, ketersediaan lahan di Kabupaten Garut sebesar ,8 hektar pada harga beras Rp /Kg. Secara matematis, sensitifitas nilai ketersediaan lahan sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1) jumlah produksi seluruh komoditas dan (2) harga. Kedua faktor 69

89 tersebut secara umum memiliki karakteristik nilai yang sangat dinamis, dipengaruhi oleh musim dan permintaan pasar. Oleh sebab itu interpretasi dari nilai ketersedian lahan yang diperoleh berdasarkan perhitungan ini perlu melihat aspek lainnya, seperti ketersediaan komoditas di pasaran serta harga komoditas yang digunakan. Total nilai produksi diperoleh dari perhitungan nilai produksi 11 (sebelas) kelompok komoditas yaitu (1) padi dan palawija, (2) kelompok sayur mayur, (3) biofarmaka, (4) bunga-bungaan, (5) buah-buahan, (6) perkebunan rakyat, (7) kehutanan, (8) daging, (9) telur, (10) susu dan (11) perikanan. Secara terperinci nilai produksi masing-masing komoditas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Nilai produksi setiap kelompok komoditas No. Kelompok Komoditas Jumlah Komoditas Nilai Produksi (Rp) Persen (%) 1. Padi dan Palawija 7 Komoditas ,- 43,01 2. Sayur Mayur 21 Komoditas ,- 33,28 3. Biofarmaka 14 Komoditas ,- 0,70 4. Bunga-bungaan 20 Komoditas ,- 0,01 5. Buah-buahan 21 Komoditas ,- 8,29 6. Perkebunan Rakyat 21 Komoditas ,- 2,98 7. Kehutanan 19 Komoditas ,- 2,48 8. Daging 7 Komoditas ,- 1,26 9. Telur 2 Komoditas ,- 0, Susu 1 Komoditas ,- 0, Perikanan 9 Komoditas ,- 7,30 Jumlah Nilai Produksi ,- 100,00 Persentase nilai produksi terbesar terdapat pada kelompok padi dan palawija sebesar 43,01% dari total nilai produksi, sedangkan nilai terkecil terdapat pada kelompok bunga-bungaan, yaitu sebesar 0,01% dari total nilai produksi. Kelompok komoditas lain yang memiliki kontribusi cukup tinggi adalah sayur mayur dengan persentase sebesar 33,28%. Kontribusi kelompok komoditas lain di luar padi dan palawija serta sayur mayur umumnya kurang dari 10%, bahkan 70

90 kelompok komoditas biofarmaka, bunga-bungaan, telur dan susu memiliki kontribusi di bawah satu persen. Berdasarkan perhitungan, kebutuhan lahan di Kabupaten Garut dengan jumlah penduduk jiwa sebesar ,97 hektar. Mengacu kepada nilai ini, dimana nilai kebutuhan lahan ( ,97 hektar) lebih besar daripada nilai ketersediaan lahan ( ,96 hektar) dapat dikatakan kondisi ketersediaan lahan dalam keadaan defisit. Kondisi defisit berdasarkan hasil pehitungan menggunakan metode ini dapat dikatakan sebagai keadaan ketersediaan bioproduk yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak dimana kebutuhan tersebut diasumsikan setara dengan kebutuhan satu ton beras perkapita setiap tahunnya. Namun metode perhitungan ini sangat dipengaruhi oleh produksi dan harga bioproduk yang dicatat pada saat pengambilan data. Pengambilan dan perhitungan data pada waktu yang berbeda sangat mungkin akan mengakibatkan perbedaan kondisi status daya dukung lahan sehingga perlu dipertimbangkan pula faktor musim dan kondisi pasar pada saat perhitungan. Besarnya peluang perbedaan tersebut akan menyebabkan status daya dukung lahan yang dihasilkan melalui perhitungan ini bersifat sangat dinamis. Informasi pada Tabel 22 juga menunjukkan bahwa, terdapat dua kelompok komoditas, yaitu padi dan palawija serta sayur mayur yang memiliki kontribusi nilai bioproduk cukup besar terhadap total nilai bioproduk yang dihasilkan, yaitu sebesar 76,3%. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok komoditas tersebut merupakan kelompok komoditas yang dominan diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Garut. Selain itu kontribusi nilai yang cukup besar akan berpengaruh terhadap sensitifitas status daya dukung lahan atau dapat dikatakan, perubahan produksi dan harga pada kedua kelompok komoditas tersebut akan mempengaruhi status daya dukung lahannya. Terminologi defisit dalam perhitungan menggunakan metode ini, menurut Rustiadi et al. (2010) lebih tepat diartikan sebagai kondisi ketersedian pangan pada suatu wilayah yang tertutup. Kondisi ini berarti suatu wilayah dianggap tidak memperoleh aliran keluar dan aliran masuk bioproduk dari wilayah lain sehingga dalam keadaan yang sebenarnya hal ini bisa bertolak belakang dengan 71

91 kenyataan yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Christina (2011) menunjukkan bahwa dilihat dari ketersedian bahan makanan pokok, Kabupaten Garut berada dalam kondisi yang surplus sampai dengan 20 tahun yang akan datang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa, dilihat dari ketersediaan bahan makanan pokok, Kabupaten Garut dikatakan dalam kondisi yang surplus, sedangkan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan kebutuhan seluruh bioproduk dapat dikatakan defisit. Kondisi defisit dalam penelitian diduga berasal dari kebutuhan lain diluar kebutuhan pangan pokok yang tidak terpenuhi, hal ini beradasarkan analisa, jika kebutuhan pangan pokok sudah terpenuhi maka kondisi defisit terdapat pada ketersediaan bioproduk selain pangan pokok. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut antara lain meningkatkan produktifitas, penerapan sistem budidaya tanaman sesuai anjuran, pemeliharaan tanaman dan penggunaan benih atau bibit bermutu. Daya Dukung Air Perhitungan dilakukan dengan memperhitungkan aspek ketersediaan dan kebutuhan air. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan air adalah koefisien limpasan, curah hujan dan luas wilayah sedangkan kebutuhan air dipengaruhi oleh jumlah penduduk serta kebutuhan air untuk hidup layak bagi setiap penduduk. Tabel 23 Perhitungan status daya dukung air Faktor Rumus Nilai Satuan A. KETERSEDIAAN AIR Koefisien Limpasan Tertimbang 0,27 Curah Hujan Tahunan R 1.975,08 mm/tahun Luas Wilayah A ,45 Ha Ketersediaan Air SA = 10 x C x R x A ,12 m 3 /tahun B. KEBUTUHAN AIR Jumlah Penduduk N ,00 Jiwa Kebutuhan Air untuk Hidup Layak KHLA 1.600,00 m 3 /tahun Kebutuhan Air DA = N x KHLA ,00 m 3 /tahun 72

92 Faktor Rumus Nilai Satuan C. STATUS DDA Ketersediaan Air SA ,12 m 3 /tahun Kebutuhan Air DA ,00 m 3 /tahun Status Daya Dukung Air Defisit Suplus SA > DA Defisit SA < DA Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 23, kondisi ketersediaan air di Kabupaten Garut mencapai sebesar ,12 m 3 /tahun sedangkan kebutuhan air mencapai ,00 m 3 /tahun, status daya dukung air dianggap dalam keadaan defisit. Nilai koefisien limpasan tertimbang sebesar 0,27 menunjukkan besarnya air hujan mengalir di permukaan yang dapat dimanfaatkan, yaitu sebesar 27% dari keseluruhan air hujan. Rustiadi et al. (2010) menyatakan bahwa penentuan status daya dukung air dengan menggunakan metode ini tidak tepat. Hal ini disebabkan ketersediaan air yang ada tidak mencerminkan ketersediaan air yang sesungguhnya. Departemen Pekerjaan Umum (1994) dalam Kodoatie dan Sjarief (2008) memperhitungkan besarnya ketersedian air berdasarkan besaran aliran mantap, yaitu air yang tertampung dalam waduk, danau, sungai dan air yang masuk ke dalam tanah. Sedangkan kebutuhan air dilihat dari penggunaan air untuk kebutuhan domestik dan pertanian. Penggunaan indikator nilai limpasan air sebagai penentu ketersediaan akan membawa kepada pemahaman semakin besar limpasan air akan meningkatkan ketersediaan air sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah terhadap makna dari ketersediaan air itu sendiri. Limpasan air lebih tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi aliran permukaan yang dikaitkan dengan kondisi tutupan suatu wilayah. Semakin besar areal terbuka atau terbangun di suatu wilayah akan meningkatkan nilai koefisien limpasan air. Hal ini secara langsung akan berdampak kepada peningkatan debit puncak. Akumulasi aliran permukaan yang mengalir dalam jumlah besar serta waktu bersamaan akan menimbulkan bencana banjir. 73

93 Permasalahan air yang utama sesungguhnya bukan terletak pada seberapa besar ketersediaan air, tetapi lebih menekankan kepada bagaimana pengelolaan terhadap air yang tersedia. Letak geografis Indonesia yang berada pada daerah beriklim tropika basah, menjadikan wilayah ini mendapat pasokan air hujan yang cukup berlimpah, namun demikian hanya 25% air hujan yang mampu diserap oleh tanah sedangkan sisanya mengalir kembali ke laut dalam bentuk aliran permukaan (Kodoatie dan Sjarief 2008). Peningkatan serapan air oleh tanah perlu dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air sebagai cadangan yang akan dimanfaatkan pada musim kemarau. Upaya ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya meningkatkan daerah-daerah yang berfungsi sebagai resapan air serta membuat bangunan fisik penampung air limpasan permukaan sehingga tidak langsung mengalir ke laut. Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup Ditinjau dari aspek kemampuan lahan, areal yang dapat dimanfaatkan dikelompokan menjadi tiga fungsi utama, yaitu (1) kawasan budidaya, (2) kawasan budidaya terbatas dan (2) kawasan lindung. Kawasan budidaya meliputi lahan-lahan yang memiliki kelas kemampuan II sampai dengan IV dan kawasan budidaya terbatas meliputi lahan dengan kelas kemampuan V dan, sedangkan kawasan lindung adalah lahan yang memiliki kelas kemampuan I dan II. Luas dan persentase masing-masing pemanfaatan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Luas dan persentase pemanfaatan pemanfaatan ruang No. Arahan Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) 1. Kawasan Lindung ,4 2. Kawasan Budidaya Terbatas ,3 3. Kawasan Budidaya ,3 Jumlah Total ,0 Informasi pada Tabel 23 menunjukkan bahwa, luas areal kawasan lindung yang dianalisis berdasarkan kemampuan lahan seluas hektar (17,4%), kawasan budidaya terbatas seluas hektar (27,3%) sedangkan kawasan 74

94 budidaya seluas hektar (55,3%). Kawasan lindung merupakan areal yang secara fisik memiliki hambatan yang cukup berat dan sulit untuk dimodifikasi sehingga perlu dipertahankan kondisinya secara alami. Terminologi kawasan lindung dalam skenario ini merupakan kawasan yang memiliki vegetasi cukup rapat sehingga mampu meminimalkan dampak yang terjadi terhadap lahan berupa erosi dan longsor akibat kondisi wilayah yang sangat curam. Kawasan budidaya terbatas, secara kemampuan masih memungkinkan untuk dilakukan budidaya, namun pemanfaatannya perlu memperhatikan faktor penghambat utama. Pada kawasan ini faktor penghambat utama yang dapat menyebabkan penurunan kualitas lahan secara keseluruhan adalah faktor kelerengan dan erosi. Pemilihan komoditas yang akan dibudidayakan menjadi sangat penting disamping teknik budidaya digunakan dengan meminimalkan areal yang terbuka. Sedangkan pada kawasan budidaya, tidak memiliki faktor pembatas yang berarti sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal. Secara spasial penyebaran arahan pemanfaatan ruang menurut skenario I dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34 Arahan pemanfaatan ruang skenario I. 75

95 Gambar 34 memperlihatkan bahwa secara spasial penyebaran kawasan budidaya relatif merata pada semua wilayah sedangkan kawasan budidaya terbatas, berada di wilayah selatan, dimana pada wilayah ini berdasarkan hasil identifikasi merupakan daerah yang berbukit dengan karakteristik lahan yang memiliki faktor penghambat utama erosi. Pola penanaman yang tepat dengan memperhatikan aspek konservasi tanah sangat dianjurkan untuk menjaga agar lahan tidak mengalami degradasi akibat erosi. Analisis kedua dilakukan dengan menggunakan skenario II, yaitu dengan menambahkan aspek kawasan hutan negara yang berfungsi lindung (hutan lindung dan hutan konservasi). Secara keruangan hasil analisis arahan pemanfaatan ruang skenario II dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35 Arahan pemanfaatan ruang skenario II Berdasarkan analisis, areal kawasan budidaya yang memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya sebesar 61,2% atau setara dengan luasan 76

96 hektar, sedangkan areal yang memungkinkan untuk diarahkan pemanfaatannya sebagai kawasan lindung sebesar 38,8% atau setara dengan luasan hektar. Kedua hasil analisis tersebut memperlihat bahwa dalam kondisi yang optimal pemanfaatan lahan yang diarahkan sebagai kawasan lindung hanya sebesar 38,82% dari keseluruhan wilayah yang ada. Kondisi ini jauh berbeda dengan rencana pola pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam RTRW Kabupaten Garut Tahun , yaitu sebesar 74,16%. Secara rinci perbandingan arahan pemanfaatan ruang menurut skenario dengan luasan minimal kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Perbandingan arahan pemanfaatan ruang menurut skenario dengan luasan minimal kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang RTRW Kabupaten Garut No. Skenario Arahan Pemanfaatan Ruang Fungsi Luas (Ha) Persen (%) Luas Minimal menurut UU (%) Rancangan RTRW Garut (%) 1. I (Pertama) Kawasan Lindung ,4 30,0 74,16 Kawasan Budidaya Terbatas ,3 - - Kawasan Budidaya , II (Kedua) Kawasan Lindung ,8 30,0 74,16 Kawasan Budidaya ,2 - - Tabel 24 menunjukkan, skenario I tidak memungkinkan digunakan karena memiliki luasan kawasan lindung dibawah kondisi yang dipersyaratkan dalam undang-undang sebesar 30%. Penambahan kawasan lindung pada skenario I masih memungkinkan dengan memanfaatkan kawasan budidaya terbatas yang dapat difungsikan sebagai kawasan lindung. Penambahan ini akan menambah proporsi kawasan lindung menjadi sebesar 44,7%. Menurut konteks peraturan perundangan, luasan ini dianggap telah sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, namun proporsi ini masih jauh dibawah nilai yang ditetapkan dalam rancangan RTRW Garut sebesar 74,16%. 77

97 Hasil analisis menggunakan skenario II sebagaimana terlihat pada Tabel 24 juga menunjukkan bahwa penetapan kawasan lindung dengan mempertahankan areal kawasan hutan negara yang berfungsi lindung hanya menambah proporsi kawasan lindung menjadi 38,8% atau meningkat 21,4% dibandingkan penetapan arahan pemanfaatan ruang berdasarkan kemampuan lahan. Kedua skenario tersebut menunjukkan bahwa, penetapan kawasan lindung di kawasan lindung berdasarkan kemampuan lahan sebesar 17,4 44,7% sedangkan jika ditambahkan dengan faktor kawasan hutan negara yang berfungsi lindung sebesar 38,8%. Hal ini menjadikan penetapan kawasan lindung sebesar 74,16% merupakan angka yang tidak realistis dilihat dari aspek kemampuan lahan maupun kondisi hutan yang ada sehingga perlu bagi pemerintah daerah untuk melakukan revisi ulang terhadap target capaian luas kawasan lindung yang direncanakan. Alternatif lain yang mungkin dapat digunakan adalah dengan menetapkan kawasan budidaya yang juga memiliki fungsi lindung. Kawasan ini dalam wujud fisik pemanfaatan lahan dapat berbentuk hutan (rakyat), perkebunan dan atau pertanian lahan kering yang dilakukan perubahan terhadap komoditas yang dibudidayakan. Pembentukan kawasan lindung yang berfungsi lindung dapat dilakukan berdasarkan arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario I dengan kawasan budidaya bersyarat ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sedangkan kawasan budidaya berfungsi lindung diperoleh dari hasil analisis terhadap kawasan budidaya pada skenario I dengan mempertimbangkan aspek pemanfaatan lahan aktual yang ada. Hasil analisis spasial skenario diperoleh arahan pemanfaatan alternatif sebagaimana terlihat pada Tabel 26 sedangkan penyebaran areal secara keruangan dapat dilihat pada Gambar 36. Tabel 26 Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif No. Arahan Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) Persen (%) 1. Kawasan Lindung ,8 2. Kawasan Budidaya berfungsi Lindung ,3 3. Kawasan Budidaya ,9 Jumlah Total ,0 78

98 Tabel 26 menunjukkan bahwa penetapan kawasan budidaya sebagai kawasan yang juga berfungsi lindung menambah proporsi areal yang berfungsi lindung sebesar 61,1% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Garut yang secara langsung akan berdampak terhadap semakin luasnya areal yang berfungsi sebagai resapan air. Gambar 36 Arahan pemanfaatan ruang berdasarkan skenario alternatif Selain itu struktur arahan tersebut telah memperhitungkan aspek kemampuan lahan, yang mengarahkan pemanfaatan lahan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Namun penambahan ini tetap tidak dapat memenuhi capaian kawasan lindung yang ditetapkan dalam rancangan RTRW Kabupaten Garut Tahun sebesar 74,16%. Hasil analisis ini memperkuat analisis sebelumnya yang menyatakan bahwa sulit bagi Kabupaten Garut untuk mencapai target penetapan kawasan lindung seluas 74,16% dari keseluruhan wilayah, baik dilihat dari aspek kemampuan lahan, status kawasan hutan maupun kondisi tutupan yang ada. 79

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP Study of Spatial Pattern of Environmental Carrying Capacity in Garut Ardhy Firdian 1), Baba Barus 2) *, Didit Okta

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

KONSEP EVALUASI LAHAN

KONSEP EVALUASI LAHAN EVALUASI LAHAN KONSEP EVALUASI LAHAN Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya memertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ APLIKASI TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ESTIMASI KOEFISIEN LIMPASAN PERMUKAAN SUB DAS PADANG JANIAH DAN PADANG KARUAH PADA DAS BATANG KURANJI KECAMATAN PAUH KOTA PADANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability LOGO Contents Potensi Guna Lahan AY 12 1 2 Land Capability Land Suitability Land Capability Klasifikasi Potensi Lahan untuk penggunaan lahan kawasan budidaya ataupun lindung dengan mempertimbangkan faktor-faktor

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian.

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi Lahan Penilaian kinerja lahan (land performance) untuk penggunaan tertentu Kegiatan Evaluasi Lahan meliputi survai lahan interpretasi data hasil survai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Bidang kajian perencanaan pengembangan wilayah mempunyai ruang lingkup dari berbagai disiplin keilmuan, yaitu ilmu-ilmu fisik (geografi,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan 1. Pengertian Pengertian lahan meliputi seluruh kondisi lingkungan, dan tanah merupakan salah satu bagiannya. Menurut Ritohardoyo, Su (2013) makna lahan dapat disebutkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Penelitian Strategis Unggulan IPB

Penelitian Strategis Unggulan IPB Penelitian Strategis Unggulan IPB PENGEMBANGAN KONSEP ALOKASI LAHAN UNTUK MENDUKUNG REFORMA AGRARIA DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI SPASIAL Oleh : Baba Barus Dyah Retno Panuju Diar Shiddiq Pusat Pengkajian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang berlandaskan UU No. 32 tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan yang sangat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani Abstrak Daerah penelitian adalah DAS Deli yang meliputi tujuh subdas dan mempunyai luas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI PENERAPAN EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI Pengertian Daya Dukung Kemampuan dari suatu sistem untuk mendukung (support) suatu aktivitas sampai pada level tertentu Pengertian Daya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI SKRIPSI Oleh: MEILAN ANGGELIA HUTASOIT 061201019/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1343, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Daerah. Aliran Sungai. Penetapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.59/MENHUT-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE SKRIPSI Oleh: MARDINA JUWITA OKTAFIA BUTAR BUTAR 080303038 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk kemakmuran rakyat, memerlukan keseimbangan antar berbagai sektor. Sektor pertanian yang selama ini merupakan aset penting karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan ruang ekosistem yang menyediakan berbagai sumberdaya alam baik berupa barang, maupun jasa untuk memenuhi segala kebutuhan

Lebih terperinci