Dewan Redaksi. Forum Didaktik. Penanggung Jawab Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M. Pd. Redaktur Ade Maftuh, M. Pd.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Dewan Redaksi. Forum Didaktik. Penanggung Jawab Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M. Pd. Redaktur Ade Maftuh, M. Pd."

Transkripsi

1

2

3 Dewan Redaksi Forum Didaktik Penanggung Jawab Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M. Pd. Redaktur Ade Maftuh, M. Pd. Penyunting Dina Ferisa, M. Pd. Tri Agustini Solihati, M. Pd. Asep Rizki Mukti, M. Pd. Rudi Permadi, M. Pd. Mitra Bestari Prof. Dr. H. Dedi Heriadi, M. Pd. (Universitas Siliwangi) Dr. Dian Indihadi, M. Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia) Desain Grafis Geri Syahril Sidik, M. Pd. Sekretariat Fajar Nugraha, M. Pd. i

4 PANDUAN PENULISAN ARTIKEL BAGI CALON PENULIS PADA JURNAL FORUM DIDAKTIK (JFD) Jurnal Forum Didaktik adalah jurnal ilmiah yang difungsikan untuk menyebarluaskan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah tentang inovasi pendidikan. Jurnal terbit dua kali dalam setahun yaitu bulan Januari dan bulan Juli. Jurnal diperuntukan bagi para pendidik, pemerhati, dan praktisi pendidikan yang berkonstribusi positif dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi-kan sebagai rujukan dan pelengkap dalam merealisasikan tugas mendidik di lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Agar tulisan yang dimuat dalam jurnal forum didaktik memiliki keseragaman, disajikan petunjuk bagi para calon penulis Jurnal Forum Didaktik sebagai berikut: 1. Artikel yang dikirim belum diterbitkan pada jurnal ilmiah lain. 2. Artikel yang ditulis untuk JFD meliputi hasil telaah (hanya atas undangan) dan hasil penelitian di bidang kependidikan. Naskah diketik dengan program Microsoft Word, huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan spasi 1,5 panjang maksimum 30 halaman. Pengiriman naskah melalui forum.didaktik.unper@gmail.com 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah judul; nama penulis, abstrak disertai kata kunci; pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan, simpulan, serta daftar rujukan. 4. Judul artikel dalam bahasa Indonesia sebaiknya tidak lebih dari 15 kata, dan judul artikel dalam bahasa Inggris tidak lebih dari 12 kata. Judul dicetak dengan huruf kapital di tengah-tengah, dengan ukuran 14 poin. Judul tidak mengandung lokasi penelitian. 5. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar akademik, alamat instansi, disertai akun dan ditempatkan di bawah judul artikel. Berjarak 2 spasi dari judul, ukuran huruf Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Abstrak berisi tujuan penelitian, pendekatan atau desain penelitian, hasil penelitian, dan implikasi penelitian. Panjang masing-masing abstrak maksimum 150 kata. Berjarak 2 spasi dari nama penulis. Ukuran huruf 10 poin, menggunakan rata kiri-dan kanan. Kata kunci terdiri atas 3-5 kata atau gabungan kata dan merujuk pada konsep penting penelitian. 7. Bagian pendahuluan berisi latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka, dan tujuan penelitian. Latar belakang memuat 2-3 alasan penting, berisi teori yang digunakan sebagai dasar menjawab rumusan masalah, dan mencantumkan 2-3 penelitian terdahulu yang mirip. Seluruh bagian pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam bentuk paragraf. Panjang pendahuluan 10-15% dari keseluruhan jumlah halaman artikel. 8. Bagian metode berisi paparan dalam bentuk paragraf tentang rancangan penelitian (pendekatan dan desain penelitian). Memuat sumber data/subjek penelitian/populasi/sampel. Mencantumkan instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisis data secara nyata dilakukan oleh peneliti. Panjang halaman 10-15% dari keseluruhan jumlah halaman artikel. 9. Bagian hasil penelitian berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Setiap hasil penelitian berisi deskripsi hasil penelitian dan sesuai dengan tujuan penelitian. Pembahasan berisi jawaban atas masalah penelitian/bagaimana tujuan penelitian itu dicapai. Selain itu dalam pembahasan menafsirkan temuan-temuan, mengintegrasikan temuan penelitian ke dalam kumpulan pengetahuan, dan menyusun ii

5 teori baru/menolak ataupun memodifikasi teori yang sudah ada. Panjang hasil dan pembahasan penelitian 60% dari keseluruhan jumlah artikel. 10. Bagian simpulan berisi temuan penelitian berupa jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk esai yang komunikastif dengan kalimat variatif. 11. Daftar rujukan memuat sumber yang dirujuk dan semua sumber yang dirujuk harus tercantum dalam daftar rujukan. Daftar rujukan berisi sumber relevan, mutahkir (10 tahun terakhir), dan sumber primer 80%. Sumber rujukan primer yang digunakan berupa artikel penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi). 12. Pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: (Syahril, 2017:47). 13. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Buku: Akbar, Sa dun Intrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. Jalongo, M.R Early Childhood Language Arts Fourth Edition. Boston: Pearson Education. Artikel dalam Jurnal atau Majalah: Nurjamin, A Tipe Isi dan Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Buku Ajar SD. Jurnal Ilmu Pendidikan, 20 (1): Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Syahril, G S Analisis Proses Berpikir dalam Pemahaman Matematika Siswa dengan Pemberian Scaffolding. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indoensia. Makalah Seminar, Lokakarya, Penataran: Zamzani Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Berbasis Budaya: Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Jogjakarta, Jakarta, 4 6 November. Internet (tulisan/berita dalam koran, tanpa nama pengarang): Republika.co.id Aduan Bullying Tertinggi. (Online), ( Rabu, 15 Oktober Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia dan istilahistilah yang dibakukan oleh Pusat Bahasa. 15. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahuan secara tertulis melalui pengirim. 16. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan untuk pembuatan naskah terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konkuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel. Dewan Redaksi iii

6 PENGANTAR Forum Didaktik adalah jurnal yang lahir dan terbentuk di bawah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Perjuangan Tasikmalaya. Edisi perdana jurnal ini memuat tujuh karya akademik yang bersumber dari hasil penelitian dan kajian literatur para dosen. Enam diantaranya berasal dari dosen tetap yang berada di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNPER, dan satu orang lainnya berasal dari Perguruan Tinggi negeri di wilayah Priangan Timur. Naskah tersebut terbagi menjadi 3 gagasan utama dalam isu pendidikan, yaitu kompetensi guru, media pembelajaran, dan model pembelajaran. Hasil penelitian Fajar Nugraha menyajikan bahasan mengenai kompetensi guru. Sedangkan hasil penelitian Tri Agustini Solihati, Rudi Permadi, dan Geri Syahril Sidik membahas mengenai penggunaan dan pengembangan media pembelajaran. Topik terakhir yaitu model pembelajaran yang dimunculkan merukan hasil penelitian Dedi Heryadi, Asep Rizki Mukti, dan Dina Ferisa. Redaktur iv

7 DAFTAR ISI Hal. Dewan Redaksi... i Petunjuk Bagi Penulis... ii Pengantar... iv Daftar Isi... v Analisis Proses Berpikir Siswa Sekolah Dasar dalam Memahami Aplikasi Operasi Hitung Matematika dengan Pemberian Scaffolding Geri Syahril Sidik 1, Fajar Nugraha 2, Dina Ferisa3 (Universitas Perjuangan Tasikmalaya)... 1 Menumbuhkan Karakter Akademik dalam Perkuliahan Berbasis Logika Dedi Heryadi (Universitas Siliwangi Tasikmalaya)... 8 The Effects of Short Story and Vocabulary Mastery on the Students Reading Comprehension (Experiment at the Eleventh Grade of Private Islamic Senior High School in Tasikmalaya-West Java) Rudi Permadi (Perjuangan University of Tasikmalaya) Pembelajaran Naskah Drama Melalui Bedah Naskah Ridzky Firmansyah Fahmi (Universitas Siliwangi Tasikmalaya) The Analysis of Students Errors in Making Passive Voice Asep Rizki Mukti, Perjuangan University of Tasikmalaya English Vocabulary Teaching Through Active Learning (Classroom Action Research On English Lesson At Grade One of SDN Banjaran Tasikmalaya) Tri Agustini Solihati, Perjuangan University of Tasikmalaya Analisis Kompetensi Menyusun Instrumen Penilaian IPS Di Sekolah Dasar (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya). Fajar Nugraha (Universitas Perjuangan Tasikmalaya) Penerapan Model Kooperatif Learning dengan Tipe Talking Stick pada Pengajaran IPS untuk Meningkatkan Proses dan Mendapatkan Hasil Belajar Siswa di Kelas VB SDN Karapyak 1 Kabupaten Sumedang Utara Tahun Pelajaran 2015/2016 Rana Gustian Nugraha 1, Dissa Revitasari 2 (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Sebelas April Sumedang) v

8 ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA SEKOLAH DASAR DALAM MEMAHAMI APLIKASI OPERASI HITUNG MATEMATIKA DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING Geri Syahril Sidik 1, Fajar Nugraha 2, Dina Ferisa 3 Universitas Perjuangan Tasikmalaya geri.syahril.unper@gmail.com 1, fajar_ngrha@gmail.com 2, dinaferisa@ymail.com 3 ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi dari keunikan hasil jawaban siswa SD kelas IV mengenai materi aplikasi operasi hitung. Jawaban menggambarkan kemampuan memahami operasi hitung siswa masih rendah. Tujuan penelitian untuk memperoleh gambaran tentang proses berpikir siswa, kesulitan dan scaffolding yang diberikan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Diperoleh data berdasarkan lembar tugas yang diberikan kepada seluruh siswa untuk mengetahui proses berpikir sebelum mendapatkan scaffolding. Dipilih enam orang siswa dengan kemampuan matematika baik, sedang, dan rendah. Siswa yang terpilih melalui tahap wawancara klinis dan scaffolding untuk melihat proses berpikirnya. Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa proses berpikir diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu proses berpikir instrumental dan relasional instrumental. Subjek banyak kesulitan dalam merubah persoalan ke dalam kalimat matematika. Kesulitan yang dialami subjek dapat diatasi dengan pemberian scaffolding. Dengan dasar temuan pada penelitian ini, disarankan pada guru untuk menggunakan teknik scaffolding dalam pembelajaran dengan memperhatikan pemahaman siswa terhadap penguasaan konsep operasi hitung matematika. Kata kunci: proses berpikir, operasi hitung matematika, pemberian scaffolding THE ANALYSIS OF ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS THINKING PROCESS ON COMPREHENDING MATHEMATICS OPERATION THROUGH SCAFFOLDING ABSTRACT The research carried out when seeing the fourth grade elementary school students unique results answer of mathematic counting operation application topic. Those answers described their capabilities of mathematic counting operation is still low. The purpose of the research is to achieve the students thinking process description, the difficulties, and scaffolding given. This is descriptive qualitative research. The data obtained from the tasks given to the students to recognize the students thinking process before getting scaffolding. Six students were chosen with different mathematic capabilities; high, middle and low. The chosen students experienced clinic interview and scaffolding to have their thinking process. The analysis data shows that the thinking process classified into two categories, instrumental thinking process and relational instrumental thinking process. The students got many difficulties in converting the problems into mathematic sentences, and doing counting operation (subtraction, multiplication and division). The difficulties can be maintained by scaffolding. With the research findings,the researchers suggests the teacher to use scaffoldings technique in learning process by noticing the students comprehension on mathematic counting operation concepts Key words: thinking process, mathematic counting operation, scaffolding giving 1

9 PENDAHULUAN Operasi hitung merupakan salah satu materi yang dipelajari untuk menyederhanakan dan memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Operasi hitung dalam matematika terdiri dari operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Hal ini dapat dilihat dalam silabus kurikulum 2013 untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) kelas tiga dalam Kompetensi Dasar 4.1 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, bilangan bulat, waktu, panjang, berat benda dan uang terkait dengan aktivitas sehari-hari di rumah, sekolah, atau tempat bermain dan memeriksa kebenarannya serta menyatakan kalimat matematikanya dan mengemukakan dengan kalimat sendiri. Sejauh ini masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan operasi hitung untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan. Sidik, (2014) menyatakan bahwa pada umumnya subjek kesulitan dalam tahap pemahaman soal. Subjek lemah dalam pemahaman konsep, akibatnya subjek salah menerjemahkan soal ke dalam model matematika. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa bukan disebabkan tidak mampu melakukan perhitungan saja melainkan siswa tidak memahami permasalahan. Memahami konsep matematika merupakan salah satu tujuan diajarkannya matematika. Depdiknas (2006) menyebutkan bahwa salah satu tujuan diajarkannya matematika adalah memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Namun masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami masalah matematika saat belajar. Dalam proses pembelajaran, munculnya kesulitan untuk memahami suatu konsep merupakan hal yang wajar. Itu menggambarkan bahwa siswa sedang melakukan proses berpikir. Mereka berusaha untuk mengintegrasikan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Marpaung (1986) mengatakan proses berpikir adalah proses yang dimulai dari penemuan informasi (dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali informasi itu dari ingatan siswa. Proses berpikir siswa akan terstruktur berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Pengetahuan awal setiap siswa tidaklah sama sehingga kesulitan yang dihadapi setiap siswa pasti berbeda. Suatu situasi mungkin merupakan masalah bagi seseorang pada waktu tertentu, akan tetapi belum tentu merupakan masalah baginya pada saat yang berbeda, Sidik (2014). Sebagai seorang guru atau orang yang membimbing mereka belajar, sebaiknya kita dapat mengenali dan memahami kesulitankesulitan yang dihadapi oleh siswa. Karena jika dibiarkan kesulitan tersebut tidak lagi menjadi sebuah kewajaran, melainkan suatu masalah yang dapat menghambat perkembangan intelektual siswa. Pada kenyataanya justru guru tidak menyadari bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa disebabkan oleh kurangnya perhatian, pemahaman dan peran guru di dalam proses pembelajaran. Selain itu, tidak jarang bantuan atau intervensi yang diberikan guru kurang memperhatikan letak kesulitan siswa. Terkadang guru justru memberikan bantuan di saat siswa mampu, jelas hal ini akan membuat siswa merasa terganggu sedangkan di saat siswa merasa memerlukan bantuan justru diabaikan. Salah satu teori yang membahas mengenai tingkat kesulitan siswa serta konsep pemberian bantuan adalah teori kontruktivisme Vygotsky. Vygotsky (dalam Sidik, 2014) menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan faktor terpenting dalam mendorong perkembangan kognitif seseorang. Seseorang akan dapat menyelesaikan permasalahan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya setelah ia mendapat bantuan dari 2

10 seseorang yang lebih mampu (lebih kompeten). Vygotsky menyebut bantuan yang demikian ini dengan dukungan dinamis atau Scaffolding. Sebenarnya pemberian Scaffolding oleh guru sudah banyak dilakukan saat pembelajaran. Namun praktik pemberian Scaffolding yang telah dilakukan tidak terencana sehingga tidak diperoleh suatu gambaran mengenai pola pikir siswa ketika memperoleh Scaffolding selama pembelajaran berlangsung. Gambaran mengenai pola pikir siswa ini seharusnya dicermati dan selanjutnya dapat dipakai sebagai salah satu bahan acuan untuk melakukan perbaikan perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk memperoleh gambaran tentang proses berpikir, kesulitan dan scaffolding yang diberikan kepada siswa sekolah dasar dalam memahami aplikasi operasi hitung matematika. METODE Penelitian ini mendeskripsikan tahapan proses berpikir siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika dengan pemberian scaffolding. Proses berpikir siswa diamati dengan mencermati (mengkaji) hasil kerja siswa dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi. Ketika siswa menemui kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan, guru mengajukan pertanyaan atau pernyataan untuk memberikan bantuan (scaffolding) pada siswa, supaya siswa dapat melanjutkan penyelesaian masalah yang dihadapinya. Tindakan ini merupakan suatu upaya untuk mengetahui proses berpikir siswa dalam memahami aplikasi operasi hitung dengan pemberian scaffolding. Aktivitas ini diharapkan dapat mengungkap pokok permasalahan mendasar yang dialami oleh siswa ketika menyelesaikan soal matematika yang merupakan masalah. Selanjutnya dicermati tahap-tahap proses berpikir siswa serta bantuan apa saja yang diperlukan siswa tersebut untuk sampai pada kemampuan menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data verbal, oleh karenanya penelitian ini termasuk penelitian kualitatif deskriptif eksploratif. Untuk mengetahui proses berpikir siswa dalam memahami operasi hitung matematika sebelum mendapatkan bantuan dari peneliti (sebelum pemberian scaffolding), peneliti memberikan lembar tugas. Lembar tugas yang digunakan dalam penelitian ini disusun untuk mengetahui proses berpikir siswa kelas IV di SDN Nagarasari 1 Kota Tasikmalaya dalam menyelesaikan masalah sederhana terkait dengan aplikasi operasi hitung matematika. Permasalahan mendasar yang terkait dengan aplikasi operasi hitung matematika adalah siswa kesulitan menerjemahkan soal cerita ke dalam kalimat matematika dan kesulitan mengoperasikan operasi hitung pengurangan, perkalian dan pembagian. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Berpikir Dalam Memahami Aplikasi Operasi Hitung Matematika Secara rinci, proses berpikir dalam memahami aplikasi operasi hitung matematika yang terjadi pada penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Proses berpikir Instrumental Proses berpikir instrumental ditandai dengan jawaban subjek yang tidak relevan dengan maksud soal. Subjek terkesan sembarang dalam menjawab dan hanya memperhatikan angka yang ada dalam soal. Proses ini terjadi pada S 5 dan S 6 ketika mengerjakan Q 2 dan Q 3. b. Proses berpikir relasiona linstrumental Proses berpikir relasional instrumental ditandai dengan subjek yang mencoba mencari makna soal menggunakan logika berpikirnya kemudian melanjutkan perhitungan secara algoritmik. Proses ini dapat dikategorikan menjadi: 1) Relasional kuat, instrumental kuat Proses berpikir ini ditandai dengan jawaban subjek yang relevan dengan maksud soal. Kategori ini terjadi pada S 1 dan S 2 ketika mengerjakan Q 1 dan Q 3, terjadi pada S 3, S 4 dan S 5 ketika mengerjakan Q 1. 3

11 2) Relasional kuat, instrumental lemah Proses berpikir ini ditandai dengan jawaban subjek yang relevan dengan maksud soal, namun masih salah dalam melakukan operasi hitung. Secara konsep sudah sesuai, namun secara teknis pengerjaan masih lemah. Kategori ini terjadi pada S 1, S 2, S 3, S 4 ketika mengerjakan Q 2, terjadi pada S 5 dan S 6 ketika mengerjakan Q 1. 3) Relasional lemah instrumental kuat Proses berpikir ini ditandai dengan jawaban subjek yang tidak relevan dengan maksud soal, namun subjek dapat melakukan perhitungan dengan baik walaupun hasilnya tidak sesuai maksud soal. Subjek keliru membuat model matematika dari soal, tetapi subjek dapat melakukan perhitungan menurut model matematika yang dibuatnya. Secara konsep masih lemah, namun secara teknis pengerjaan sudah bagus.kategori ini terjadi pada S 3, S 5 dan S 6 ketika mengerjakan Q 3. 4) Relasional lemah instrumental lemah Proses berpikir ini ditandai dengan jawaban subjek yang tidak relevan dengan maksud soal dan salah dalam perhitungan, namun dalam pengerjaan masih dalam koridor materi yang dimaksudkan oleh soal. Kategori ini terjadi pada S 5 dan S 6 ketika mengerjakan Q 2. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa proses berpikir merupakan aktifitas kognitif subjek dalam memahami aplikasi operasi hitung matematika ketika menyelesaikan masalah. Proses berpikir subjek tercermin pada langkah-langkah kerja yang mereka tulis dalam memahami masalah matematika yang mereka hadapi, maupun ungkapan verbal yang mereka kemukakan terkait langkah-langkah kerja yang mereka tuliskan. Hal ini sependapat dengan Herbert (dalam Siswono, 2002:46) menyatakan bahwa Proses berpikir dalam belajar matematika adalah kegiatan mental yang ada dalam pikiran subjek. Karena itu untuk mengetahuinya hanya dapat diamati melalui proses cara mengerjakan tes dan hasil yang ditulis secara terurut. Selain itu ditambah dengan wawancara mendalam mengenai cara kerjanya. Kesulitan Dalam Memahami Aplikasi Operasi Hitung Matematika Pada umumnya, subjek kesulitan pada tahap merubah soal cerita ke dalam kalimat matematika. Kesulitan tersebut terjadi karena subjek kurang memahami bahasa, kalimat atau konsep matematika yang ada pada soal. Hal ini menunjukkan bahwa subjek belum mampu menyelesaikan soal pemahaman relasional yaitu soal yang menunjukkan kemampuan subjek dalam menguasai suatu konten yang dikaitkan dengan konten yang lain kemudian menyelesaikannya, (Skemp, 2006). Dalam hal ini yaitu memahami maksud soal dan menghubungkannya dengan model matematika. Menurut Michener (Sumarmo, 1987:24) untuk memahami suatu objek secara mendalam seseorang harus mengetahui: (1) objek itu sendiri; (2) relasinya dengan objek lain yang sejenis; (3) relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis; (4) relasi dual dengan objek lainnya yang sejenis; dan (5) relasi dengan objek dalam teori lainnya. Pendapat lain disampaikan oleh Soekisno, (2002:3) yang mengatakan bahwa: Soal-soal yang berkaitan dengan bilangan tidaklah begitu menyulitkan subjek, namun soal-soal yang menggunakan kalimat, sangat menyulitkan bagi subjek yang kurang memiliki kemampuan dalam berhitung. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi subjek bukan disebabkan tidak mampu melakukan perhitungan saja melainkan subjek tidak memahami permasalahan. Hal ini diakibatkan karena subjek tidak terbiasa mengerjakan soal yang kontekstual atau soal yang dikemas dalam cerita. Subjek berusaha menerjemahkan secara langsung kata-kata kunci dalam soal untuk menyelesaikan masalah yang terdapat dalam soal. Tindakan yang dilakukan oleh subjek akan mengarahkan kepada jawaban yang salah. Kesalahan yang dilakukan subjek dapat terjadi diantaranya karena subjek kurang dapat memahami tentang apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal cerita, sehingga ketika menyusun rencana 4

12 penyelesaian dan dilanjutkan dengan melakukan perhitungan, subjek akan melakukan kesalahan. Kesulitan subjek banyak juga terjadi pada saat melakukan operasi hitung. kesulitan-kesulitan disebabkan karena pemahaman konsep operasi hitung yang dimiliki subjek sangat lemah. Banyak subjek yang masih belum memahami maksud dari operasi hitung dasar seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian. Akibatnya subjek lemah dalam mengoperasikan operasi hitung tersebut. Kebanyakan subjek mengalami kesulitan pada saat melakukan operasi hitung pengurangan, perkalian dan pembagian. Terlihat bahwa pemahaman instrumental menurut Skemp (2006) yaitu kemampuan subjek dalam memahami konten tertentu secara algoritmik, belum dikuasai dengan baik oleh subjek. Kesulitan yang terjadi pada proses berpikir dalam memahami aplikasi operasi hitung matematika ini memberikan gambaran bahwa subjek yang memiliki pemahaman relasional lebih sedikit mengalami kesulitan dibandingkan dengan subjek yang hanya memiliki pemahaman instrumental. Jawaban subjek yang berpikir instrumental lebih mengarah kepada jawaban sembarangan sedangkan jawaban subjek yang berpikir relasional instrumental cenderung ada konstruksi logis dalam menyelesaikan persoalan. Scaffolding Dalam Memahami Aplikasi Operasi Hitung Matematika Kesulitan dalam berpikir subjek dapat terungkap dan teratasi dengan pemberian scaffolding. Scaffolding tersebut dilakukan setelah mengetahui bentuk kesulitan yang dialami subjek. Kegiatan scaffolding dalam proses berpikir subjek yang diberikan mengacu pada tingkatan Scaffolding yang dikemukakan Anghileri (2006) adalah sebagai berikut; Proses Berpikir Instrumental Scaffolding yang diberikan pada jenis berpikir ini antara lain: 1) Meminta subjek mengulangi membaca soal 2) Memberikan kesempatan kepada subjek untuk memahami kalimat yang dibacakan. 3) Memberikan analogi dengan kasus serupa yang cenderung lebih mudah dipahami subjek 4) Memberikan pemahaman konsep terkait materi yang dihadapi 5) Mengajukan pertanyaan arahan hingga subjek memahami masalah. 6) Meminta subjek melakukan refleksi terhadap jawaban sehingga dapat menemukan kesalahan 7) Diskusi tentang jawaban dan memberikan pertanyaan-pertanyaan arahan sampai subjek menyadari kesalahannya 8) Memeriksa kembali kepahaman subjek terhadap masalah 9) Meminta subjek menyusun kembali rancangan jawaban dan memperbaiki pekerjaannya. Proses Berpikir Relasional Instrumental 1) Relasional kuat, instrumental kuat Tidak ada scaffolding yang diberikan peda jenis berpikir ini. 2) Relasional kuat, instrumental lemah Scaffolding yang diberikan pada jenis berpikir ini antara lain: (a) Meminta subjek melakukan refleksi terhadap jawaban sehingga dapat menemukan kesalahan. (b) Diskusi tentang jawaban dan memberikan pertanyaan-pertanyaan arahan sampai subjek menyadari kesalahannya. (c) Memeriksa kembali pemahaman subjek terhadap masalah (d) Meminta subjek menyusun kembali rancangan jawaban dan memperbaiki pekerjaannya 3) Relasional lemah instrumental kuat (a) Meminta subjek mengulangi membaca soal (b) Peneliti memberikan kesempatan kepada subjek untuk memahami kalimat yang dibacakan. (c) Memberikan analogi dengan kasus serupa yang cenderung lebih mudah dipahami subjek 5

13 (d) Memberikan pemahaman konsep terkait materi yang dihadapi (e) Mengajukan pertanyaan arahan hingga subjek memahami masalah. 4) Relasional lemah instrumental lemah (a) Meminta subjek mengulangi membaca soal (b) Peneliti memberikan kesempatan kepada subjek untuk memahami kalimat yang dibacakan. (c) Memberikan analogi dengan kasus serupa yang cenderung lebih mudah dipahami subjek (d) Mengajukan pertanyaan arahan hingga subjek memahami masalah. (e) Meminta subjek melakukan refleksi terhadap jawaban sehingga dapat menemukan kesalahan (f) Diskusi tentang jawaban dan memberikan pertanyaan-pertanyaan arahan sampai subjek menyadari kesalahannya (g) Memeriksa kembali kepahaman subjek terhadap masalah (h) Meminta subjek menyusun kembali rancangan jawaban dan memperbaiki pekerjaannya. Dalam memahami aplikasi operasi hitung matematika, subjek mengalami empat tahapan, yaitu pemahaman soal, mengubah soal ke dalam model matematika, melakukan operasi hitung dan menarik kesimpulan. Sejalan dengan Margaret (2006) menyatakan ada empat dimensi pemahaman matematik sebagai kerangka dasar dalam memecahkan masalah, yaitu: (a) reading/extracting allinformation from the question (membaca/ mendapatkan semua informasi dari pertanyaan); (b) real-life and common sense approach to solving problems (pendekatan kehidupan nyata dan akal sehat untuk menjawab soal); (c) mathematics concepts, mathematisation and reasoning (konsep matematika, matematisasi dan pemberian alasan); dan (d) Standard computational skills andcarefulness in carrying out computations (keterampilan dan ketelitian berhitung standar). KESIMPULAN Dari hasil penelitian tentang proses berpikir yang dilaksanakan di kelas IV SDN Nagarasari 1 Kota Tasikmalaya, disimpulkan bahwa subjek mengalami dua jenis proses berpikir, yaitu proses berpikir instrumental dan proses berpikir relasional instrumental. Proses berpikir relasional instrumental terdiri dari empat bagian, yaitu (1) relasional kuat instrumental kuat, (2) relasional kuat instrumental lemah, (3) relasional lemah instrumental kuat, (4) relasional lemah instrumental lemah. Selain itu terdapat empat tahapan proses berpikir dalam memahami operasi hitung matematika yang ditemukan dalam penelitian yaitu tahapan pemahaman soal, mengubah soal ke dalam model matematika, melakukan operasi hitung dan menarik kesimpulan. Tahapan memahami soal dan mengubah soal ke dalam model matematika digolongkan ke dalam jenis pemahaman relasional sedangkan tahapan melakukan operasi hitung dan menarik kesimpulan di golongkan ke dalam jenis pemahaman instrumental. Pada umumnya subjek kesulitan dalam tahap pemahaman soal.subjek lemah dalam pemahaman konsep, akibatnya subjek salah menerjemahkan soal ke dalam model matematika. Selain itu subjek kesulitan dalam tahap melakukan perhitungan. Kebanyakan subjek mengalami kesulitan pada saat melakukan operasi hitung pengurangan, perkalian dan pembagian. Hal itu menunjukkan bahwa kemampuan memahami aplikasi operasi hitung matematika subjek (pemahaman relasional dan pemahaman instrumental) masih lemah. Scaffolding yang diberikan berkaitan dengan kesulitan yang dialami subjek dalam proses berpikir diantaranya: 1. Proses Berpikir Instrumental Scaffolding yang diberikan berupa pemberian kesempatan kepada subjek untuk memahami setiap kalimat dalam soal, memberikan analogi kasus serupa yang cenderung lebih mudah dipahami subjek, memberikan pemahaman konsep terkait materi yang dihadapi dan memberi penjelasan terkait prosedur pengerjaan. 6

14 Pemberian scaffolding cenderung lebih sulit dan memerlukan waktu yang cukup lama. 2. Proses berpikir Relasional Instrumental a. Relasional kuat, instrumental kuat Scaffolding yang diberikan berupa pertanyaan arahan untuk mencari alternatif lain dalam penyelesaian masalah yang dihadapi. b. Relasional kuat, instrumental lemah Scaffolding yang diberikan berupa permintaan melakukan refleksi terhadap jawaban, pertanyaan-pertanyaan arahan sehingga subjek dapat menemukan kesalahan c. Relasional lemah instrumental kuat Scaffolding yang diberikan berupa pemberian kesempatan kepada subjek untuk memahami setiap kalimat dalam soal, memberikan analogi kasus serupa yang cenderung lebih mudah dipahami subjek. d. Relasional lemah instrumental lemah Scaffolding yang diberikan berupa pemberian kesempatan kepada subjek untuk memahami setiap kalimat dalam soal, memberikan analogi kasus serupa yang cenderung lebih mudah dipahami subjek, memberikan pemahaman konsep terkait materi yang dihadapi dan memberi penjelasan terkait prosedur pengerjaan. Syahril, G S Analisis Proses Berpikir dalam Pemahaman Matematika Siswa dengan Pemberian Scaffolding. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Siswono, Y. E Proses Berpikir Siswa dalam Pengajuan Soal. Jurnal Nasional Matematika, ISSN: , hlm Skemp, R Relational Understanding and Instrumental Understanding, Journal of Mathematics Teaching in The Middle School, 12 (2), Soekisno B.A.R Kemampuan Pemahaman Matematik Matematika Siswa Dengan Strategi Heuristik. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Sumarmo, U Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA dikaitkan dengan kemampuan penalaran logik siswa dan beberapa unsur proses belajar mengajar. Disertasi. Universitas Pendidikan Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Anghileri, J Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning, Journal of Mathematics Teacher Education, 9, Depdiknas Kurikulum Jakarta: Media Makmur Majumandiri. Margaret, W Modelling Mathematics Problem Solving Item Responses Using a Multidimensional IRT Model: University of Melbourne, Mathematics Education Research Journal, 18(2), Marpaung, Y Proses Berpikir Siswa dalam Pembentukan Konsep Algoritma Matematis. Makalah Pidato Dies Natalies XXXI IKIP Sanata Dharma Salatiga, 25 Oktober

15 MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA Dedi Heryadi Universitas Siliwangi Tasikmalaya ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji urutan perkuliahan berbasis logika, dan mengetahui pengaruhnya terhadap tumbuhnya karakter akademik mahasiswa (ketelitian berpikir, sikap kritis, dan tanggung jawab). Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian dan Pengembangan, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi, wawancara dan pengukuran (test). Pelaksanaan penelitian dilakukan pada mahasiswa semester pertama di FKIP, Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Data dioleh secara kuantitatif dan kualitatif. Hasilnya diketahui bahwa urutan model perkuliahan berbasis logika berpengaruh positif terhadap tumbuhnya karakter akademik mahasiswa (ketelitian berpikir, sikap kritis, dan tanggung jawab). Diharapkan hasil penelitian ini ditindaklanjuti dan divalidasi oleh orang-orang yang memiliki profesi yang sama. Kata kunci: model perkuliahan, logika, karakter akademik, ketelitian berpikir, sikap kritis, tanggung jawab GROWING ACADEMIC CHARACTERS IN LOGICAL-BASED LECTURING ABSTRACT The aim of this research are to study a logical-based lecturing order, and to recognize it s impact toward the growth student accademic characters ( precision thinking, critical atitude, and responsibility). The method used in this study is Research and Development. Besides the tecnique of data collecting was taken by observation, interview, and examination. The research held for student in 1st semester of 2015/2016 accademic year at Faculty of Teacher Training and Education Siliwangi University Tasikmalaya. The data were processed quantitativeli and qualitatively. The result know that syntax of lacturing based on the logic model have a positive impact toward student accademic characters ( precision thinking, critcal attitude, and reponsibility). To strether this research result the it is suggested that the research should be followed up and validated by whom in the same profesion. Key words : lecturing model, logic, accademic characters, precision thinking, critical attitude, and responsibility. PENDAHULUAN Dalam interaksi belajar mengajar di Universitas Siliwangi Tasikmalaya peristiwa menyimak penjelasan dosen masih merupakan andalan yang ditempuh mahasiswa. Dari hasil Audit Mutu Internal Universitas Siliwangi pada tahun 2014 diketahui bahwa rata-rata dua pertiga dari alokasi waktu perkuliahan yang tersedia digunakan oleh mahasiswa untuk mendengarkan kuliah dari para dosennya. Keadaan demikian sejalan dengan temuan Fahinu (2013:163) bahwa proses pembelajaran di perguruan tinggi masih banyak penekanannya pada pembelajaran berupa hapalan bukan penalaran, sehingga kemampuan berpikir kritis mahasiswa tidak berkembang. Perkuliahan yang bersifat ekspositori tersebut tidak berkategori jelek, jika perkuliahan itu menghantarkan para mahasiswa menjadi manusia yang kritis, kreatif, mandiri, demokratis, kompetitif, serta bertanggung jawab dalam menghadapi pelbagai masalah kehhidupan. Perkuliahan di perguruan tinggi tidak hanya diarahkan 8

16 untuk menumbuhkan kemampuan mahasiswa dalam memahami apa yang diperoleh dari dosennya karena hal tersebut berdampak tumbuhnya sikap konformisme (yaitu sikap penerima dan penurut). Pendidikan tinggi harus menghindarkan mahasiswa dari konformisme, sebab konformisme merupakan musuh kreativitas yang terbesar. Untuk membentuk model perkuliahan yang dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, teliti, dan tanggung jawab, para dosen perlu memiliki pijakan teoretis (approach) yang tepat. Salah satu teori yang dipertimbangkan sebagai pendekatan dalam pengembangan model perkuliahan adalah teori logika (Heryadi, 2013). Pertimbangan ini bertolak pada hasil kajian teoretis tentang hakikat proses perkulihan dari sudut teori psikolinguistik dan teori logika. Perkuliahan (khusus yang bersifat ekspositori) merupakan proses mental dengan berpola pada berpikir logis ketika menangkap gagasan-gagasan yang disampaikan dosennya. Yang dimaksud dengan pola berpikir logis atau berlogika dalam pernyataan tersebut adalah bernalar secara sistematis dalam menghasilkan keputusan-keputusan yang benar. Berlogika dengan benar dalam proses mendengarkan kuliah meliputi tiga tahapan, yaitu diawali dengan tahap pemahaman konsep (conception), kemudian tahap pembentukan proposisi-proposisi (conceptuali-sation), dan diakhiri dengan tahap pengambilan keputusan (conlusion). Untuk membuktikan gambaran pola berlogika yang terjadi saat proses mendengarkan kuliah dapat dijelaskan dalam 3 tahap berikut ini. Tahap 1 mahasiswa mentransmisi dan mempersepsi bunyi-bunyi ujaran, hingga ia memahami konsep-konsep yang terkandung dalam materi wacana perkuliahan. Tahap 2 mahasiswa mengonseptualisasi konsepkonsep yang dipahaminya menjadi proposisi-proposisi; kemudian ia menggabungkan proposisi-proposisi itu menjadi wacana baru atau mengulang bentuk yang mengandung isi yang sama dengan wacana perkuliahan yang disimaknya. Tahap 3 mahasiswa memverifikasi isi wacana perkuliahan yang dipahaminya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya hingga ia memunculkan kesimpulan sebagai respon terhadap isi perkuliahan yang disimaknya (Heryadi, 2013). Pengetahuan tersebut manjadi dasar keyakinan bahwa dalam proses mendengarkan kuliah para mahasiswa perlu memiliki kemampuan berlogika dengan benar. Keyakinan tersebut memunculkan sebuah pemikiran bahwa dalam upaya menumbuhkan ketelitian, ketajaman berpikir, sikap kritis, dan kejujuran mahasiswa dalam perkuliahan dosen perlu membiasakan mahasiswanya menerapkan pola berlogika. Dasar pemikiran ini menjadi pijakan pokok dimunculkan model perkuliahan berlandasan atau berbasis logika. Dengan model tersebut prosedur perkuliahan dikembangkan secara bertahap dan bersistem dengan tujuan lebih diarahkan pada penumbuhan dan pemantapan kemampuan mahasiswa dalam hal: (1) memahami konsep-konsep yang terkandung dalam materi yang disimaknya; (2) membentuk dan menggabungkan proposisiproposisi berdasarkan konsep-konsep yang dipahaminya sehingga membentuk pemahaman pesan yang sama dengan pesan/isi perkuliahan yang disimaknya; dan (3) memverifikasi pesan yang dipahaminya dengan melalui pertimbangan-pertimbangan yang logis sehingga menghasilkan respons yang tepat terhadap isi perkuliahan yang disimaknya. Gabungan dari ketiga kemampuan tersebut diyakini dapat membangun kemampuan memahami materi dari kuliahnya, serta tumbuh karakter ketelitian, kekritisan, dan kejujuran yang baik. Sebagai realisasi dari dasar pemikiran di atas dicoba dikembangkan model perkulihan berbasis logika. Untuk menguji ketepatannya, model perkuliahan tersebut dicoba diaplikasikan pada mahasiswa semester pertama di FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya. 9

17 Atas dasar pemikiran yang dikemukakan dalam uraian di atas, maka dirumuskanlah masalah penelitian sebagai berikut. 1) Bagaimanakah langkah-langkah (syntax) model perkuliahan yang dilandasi teori logika? 2) Bagaimana dampak model perkuliahan berbasis logika terhadap karakter ketelitian, berpikir kritis, dan tanggung jawab para mahasiswa? Penerapan teori berpikir logis dalam pengembangan model perkuliahan yang dilaksanakan kepada mahasiswa FKIP di lingkungan Universitas Siliwangi Tasikmalaya, bertujuan untuk 1) mengetahui langkah-langkah (syntax) model perkuliahan yang dilandasi oleh teori logika, dan 2) mengetahui dampak model perkuliahan berbasis logika terhadap tumbuhnya karakter akademik yang terukur dalam perilaku ketelitian, kekritisan, dan kejujuran berpikir para mahasiswa. Model perkuliahan berbasis logika merupakan model baru dalam khazanah perkuliahan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini untuk pengembangan model perkuliahan di perguruan tinggi sangat bermanfaat sebagai pelengkap model-model perkuliahan yang sudah ada. Jika diamati secara seksama, model perkuliahan yang saat ini sering digunakan di perguruan tinggi berupa model-model yang hanya diarahkan untuk menumbuhkan kemampuan mahasiswa dalam memahami materi kuliahnya. Model seperti demikian belum menyokong tumbuhnya kebiasaan bernalar dengan baik. Dalam perkuliahan berbasis logika, tahapan-tahapan perkuliahan yang dilaksanakan tidak hanya diarahkan untuk menumbuhkan kemahiran memahami isi kuliah yang disampaikan dosennya melainkan juga untuk tumbuhnya kemampuan bernalar dengan baik. Oleh karena itu, hasil perkuliahan yang dicapai dengan menggunakan model ini tidak semata-mata hanya menumbuhkan keterampilan para mahasiswa memahami materi kuliah yang disampaikan para dosennya, melainkan juga dapat bermanfaat untuk menumbuhkan kebiasaan mahasiswa dalam berpikir teliti, kritis, dan jujur atau tanggung jawab terhadap segala hal yang didengarnya. Karakter Akademik Mahasiswa Berdasarkan Kebijakan Pemerintah Karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, tabiat, watak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter dapat menjadi penciri seseorang atau sekelompok orang yang menduduki profesi, kesukuan dan keyakinan. Lingkungan sangat dominan mempengaruhi karakter seseorang. Namun, ada karakter khas yang dibentuk berdasarkan status atau keprofesian. Contohnya, mahasiswa sebagai sivitas akademika di perguruan tinggi wajib ditumbuhkan karakter yang khas sebagai dasar menjadi manusia yang berkualitas untuk dipersiapkan menjadi pemimpin masyarakat yang dapat membawa kehidupan yang semakin sejahtera. Mahasiswa harus menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Sebagai penjabaran dari tujuan pendidikan tinggi yang harus diwujudkan oleh setiap lembaga perguruan tinggi, dikembangkanlah ranah-ranah kompetensi yang saling berkaitan antara ranah satu dengan ranah lainnya. Ranah-ranah yang dimaksud adalah sikap pengetahuan, keterampilan. Sebagaimana dijelaskan di dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun 2015, tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, pasal 5 ayat (1) yang diterbitkan oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, bahwa standar kompetensi lulusan merupakan keriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dinyatakan dalam rumusan capaian pembelajaran lulusan. Terkait dengan ranah sikap dan keterampilan umum, rumusan capaian pembelajaran sebagai karakter yang harus dimiliki oleh mahasiswa sudah ditetapkan oleh pemerintah yang tertera dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan 10

18 Permenristek Dikti Nomor 44 tahun Perlu ditegaskan bahwa salah satu capaian pembelajaran keterampilan umum yang harus menjadi penciri karakter para mahasiswa adalah mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang keahliannya. Memperhatikan peraturan menteri tersebut sangat jelas bahwa menumbuhkan karakter mahasiswa sebagai generasi penerus pimpinan bangsa harus menjadi sasaran dalam pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi. Karakter-karakter yang harus ditumbuhkan di antaranya adalah karakter ketelitian, berpikir kritis, dan tanggung jawab. Karakter tersebut penulis kategorikan karakter akademik dengan alasan kerakter tersebut menjadi penciri orang cendikia. Pengembangan Model Perkuliahan Pelaksanaan perkuliahan di perguruan tinggi sebagian besar orang masih memandang sebagai bentuk interaksi searah antara dosen dan mahasiswa. Model ceramah masih menjadi andalan dosen dalam proses perkuliahan. Kejadian seperti ini tidak berarti salah, asalkan dosen melalui model ceramahnya memberi kesempatan untuk mengkreatifkan dan mengaktifkan pikiran para mahasiswanya. Dalam Permenristek Dikti, No 44, Tahun 2015 pasal 11 ayat 1 yang diterbitkan oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dijelaskan bahwa untuk dapat mewujudkan Standar Kompetansi Lulusan model perkuliahan yang dikembangkan harus bersifat interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa. Atas dasar penjelasan tersebut dosen perlu mengembangkan model-model perkuliahan yang inovatif. Oleh karena itu, pemahaman tentang model perkuliahan yang hanya membekali pengetahuan dan keterampilan adalah keliru. Model perkuliahan yang diharapkan adalah model perkuliahan yang dapat menambah pengetahuan, keterampilan, serta membekali kebiasaan berpikir teliti, kritis dan jujur atau tanggung jawab para mahasiswa. Model perkuliahan merupakan pola kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan oleh dosen berdasarkan teori pembelajaran yang dianggap tepat untuk mencapai tujuan perkuliahanan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Tokoh pembelajaran yang cukup terkenal pada abad XX, namun teorinya saat ini masih sangat berpengaruh di LPTK yaitu Joice and Weil (2009 : 1) mengemukakan, A model of teaching is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (longterm courses of studies), to design intructional materials, an to guide intruction in classroom and other setting. Menurut beliau (Joice dan Weil) dalam mengembangkan model pembelajaran terdapat tiga hal yang perlu dilalui, ketiga hal tersebut yaitu menentukan pendekatan (orientasi model), metode (desain pembelajaran) dan teknik (prosedur yang dilksanakan dalam kelas). Dalam mengembangkan model pembelajaran pengajar harus dapat menciptakan lingkungan yang memberikan dampak langsung (intructional effect) dan dampak sampingan (nurturent effect). Dampak langsung adalah dampak yang telah diprogramkan sebagai tujuan pembelajaran, sedangkan dampak tidak langsung atau dampak penyerta adalah dampak tidak diprogramkan secara langsung dalam rancangan pembelajaran. Contoh dampak tidak langsung dalam pembelajaran adalah tumbuhnya sikap kejujuran, kerja sama, demokratis, dan kritis sebagai dampak dari model pembelajaran yang digunakan di kelas. Sebagai contoh, ada penelitian yang bertujuan menemukan cara menumbuhkan sikap logis, kritis, analitis, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak menyerah dalam pembelajaran matematika. Peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dalam pembelajaran matematika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran 11

19 berbasis masalah selain meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika dapat pula menunjang tumbuhnya sikap logis, kritis, analitis, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak menyerah dalam pembelajaran matematika (Wijaya, 2014 : 1). Model pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model yang menuntut berpikir yang cukup tinggi, karena bernalar atau berlogika dalam model pembelajaran tersebut sangat dituntut. Diketahui pula penelitian yang bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis para siswa. Untuk itu, dilaksanakan penelitian dengan menggunakan strategi pembelajaran berbasis inkuiri dengan siklus 5 E (engagement, explorasi, explanation, elaborasi, and evaluation). Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran berbasis inkuiri dengan siklus belajar 5 E sangat signifikan dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis dibandingkan dengan strategi pembelajaran konvensional (Asna, 2014:154). Jika dikaji tentang strategi pembelajaran inkuiri dengan siklus 5E, pasti akan ditemukan bahwa setiap tahapan dalam pembelajaran tersebut para peserta didik sangat dituntut berlogika, sehingga dapat berdampak pada tumbuhnya keterampilan berpikir kritis. Dalam menumbuhkan karakter, selain melalui model pembelajaran dapat pula melalui pengemangan media dan buku pelajaran. Sebagai contoh, terdapat hasil penelitian yang mencoba mengembangkan media pembelajaran berbasis logika. Hasilnya menunjukkan bahwa media berbasis logika berdampak positif dalam menumbuhkan kreativitas dan kecerdasan anak (Sulchan, 2014 : 19). Kemudian, ada hasil penelitian tentang penguatan karakter di perguruan tinggi dengan cara pengembangan buku ajar yang berbasis pembelajaran kolaboratif (Diana, 2016). Teori Logika Istilah Logika berasal dari bahasa Yunani logos artinya, sabda, pikiran, ilmu. Secara etimologis logika adalah ilmu tentang pikiran atau ilmu menalar. Logika sering didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum pemikiran. Berlogika adalah proses mental. Oleh karena itu, berlogika dapat dipastikan merupakan suatu kegiatan yang bertahap. Proses berlogika pada pokoknya meliputi tiga langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan ( Suryabrata, 2012 : 54). Pembentukan pengertian atau konsep merupakan unsur paling mendasar dalam berpikir. Manusia tidak dapat berpikir tanpa didasari oleh kemampuan memahami konsep yang hendak dipikirkan. Memahami konsep atau pengertian menjadi isi pokok berpikir. Seseorang dapat berpikir atau menyusun jalan pikirannya hanya melalui pemahaman konsep atau pengertianpengertian. Setelah pengertian/konsep terbentuk tahap berikutnya dalam berlogika adalah pembentukan pendapat/pernyataan. Membentuk pernyataan atau proposisi yaitu meletakan hubungan antara dua buah atau lebih pengertian. Hasil pengamatan terhadap suatu objek atau kejadian secara umum tidak terjadi hanya sekedar munculnya pengertian melainkan terjadinya perangkaian pengertian. Rangkaian pikiran itulah yang membentuk pendapat atau pernyataan tentang suatu objek atau kejadian. Dari pernyataan-pernyataan yang dimunculkan berdasarkan konsep-konsep yang muncul dalam pikiran, tahap berikutnya terjadi suatu proses nalar untuk munculnya proposisi baru sebagai simpulan atau respons terhadap objek/kejadian yang diamati. Penyimpulan adalah kegiatan pikir manusia, yang diawali dari pengetahuan yang dimiliki dan berdasarkan pengetahuan itu melakuan evaluasi atau pertimbangan yang bergerak kepada pengetahuan baru. Di dalam proses penyimpulan ini tindakan penimbangan/judgement pemikiran yang tepat merupakan syarat dasar untuk 12

20 memperoleh proposisi baru sebagai kesimpulan yang benar. Berlogika dalam Proses Mendengarkan Kuliah Tujuan utama mendengarkan adalah memahami dan merespons pesan yang disampaikan oleh pembicara. Untuk dapat mencapai tujuan mendengarkan, pendengar harus beraktivitas mental yang tinggi dalam melaksanakan tahapan-tahapan menyimak. Menurut Heryadi (2013), Tahapan proses menyimak terbagi atas hearing (mendengar), understanding (memahami pesan), evaluating (mempertimbangkan pesan), dan responding (memberi tanggapan terhadap pesan yang dipahami). Pada tahap hearing, pendengar menangkap dan mengenali rangkaian bunyibunyi ujar. Jika bunyi-bunyi ujar yang didengar itu merupakan bunyi-bunyi yang dikenal maka akan terjadilah rangkaian bunyi membentuk kata, frase, klausa dan kalimat. Pada tahap ini kemampuan dasar yang harus dimiliki pendengar adalah kemampuan linguistik yang dapat membangun konsep-konsep (conceptus). Pada tahap understanding terjadi tranformasi bunyi-bunyi ujaran ke dalam syaraf-syaraf pendengaran, kemudian melalui proses persepsi bunyi-bunyi itu diterjemahkan menjadi pesan-pesan bermakna yang dipahami. Pada tahap ini pendengar dituntut mampu mempersepsi konsep-konsep yang terkandung dalam unsur-unsur bahasa lisan. Untuk memperoleh pemahaman seorang penyimak harus menggunakan pengetahuan linguistik untuk mengidentifikasi bunyi ujar, kemudian dengan menggunakan strategi linguistiknya disertai dengan kemampuan lain (mengusai situasi, gerak-gerik tubuh, dan lain-lain), ia dapat mengolah bunyibunyi ujar yang telah membentuk konsep menjadi rangkaian pesan yang bermakna. Pada tahap evaluating atau memverifikasi pesan, pendengar dituntut untuk mampu secara intelektual mempertimbangkan pesan yang diperolehnya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. Pada tahap ini dalam kognisi pendengar terjadi proses pengujian, penelaahan dan penilikan dari berbagai segi. Apakah pesan yang diterimanya didukung oleh fakta-fakta atau tidak, apakah pesan itu baik atau jelek dan sebagainya. Yang pada akhirnya pendengar memutuskan untuk menerima atau menolak. Pada tahap responding, pendengar dituntut mampu memberi respon yang benar-benar sesuai dengan keputusan hasil verifikasi pesan. Respons itu dapat berupa verbal atau nonverbal. Apabila muncul aktivitas verbal maka aktivitas berlogika sangat dituntut pula. Dari uraian di atas sangat tampak bahwa aktivitas mental berlogika dalam kuliah sangat diperlukan. Aktivitas mental dalam memahami konsep, memahami hubungan konsep-konsep menjadi pesan yang dipahami, dan kemampuan memverifikasi pesan hingga menjadi keputusan untuk munculnya respons terjadi dalam proses mendengarkan kuliah. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan prosedur penelitian dan pengembangan dengan melalui tahapan-tahapan: (1) studi pendahuluan yang meliputi kajian teoritis dan empiris untuk mendapatkan landasan dalam pengembangan model pembelajaran menyimak; (2) pembentukan model pembelajaran menyimak; (3) uji lapangan model yang diikuti dengan analisis dan revisi model, (4) validasi model; dan (5) diseminasi model. Pada tahap studi pendahuluan dilakukan dua kegiatan yaitu studi lapangan dengan tujuan untuk mengenali masalah yang ada dalam pelaksanaan perkuliahan di Universitas Siliwangi, dan studi literatur dalam mengkaji hakikat mendengarkan saat proses perkuliahan dari sudut psikolinguistik dan logika. Hasil pengkajian teoretis diperoleh dasar pemikiran yang dijadikan landasan dalam pengembangan model perkuliahan pada mahasiswa FKIP Universitas Silliwangi Tasikmalaya. Dasar pemikiran yang diperoleh yaitu (1) Mendengarkan adalah proses berpikir logis dalam menangkap informasi yang didengar, 13

21 (2) mendengarkan dalam proses perkuliahan merupakan aktivitas berpikir logis mahasiswa dalam menangkap informasi, menimbang, dan memberi keputusan tentang materi kuliah yang didengarnya. Dasar-dasar pemikiran di atas dijadikan pertimbangan dalam menyusun draf model. Draf model perkuliahan yang disusun dimulai dengan draf kasar yang masih bersifat konseptual sehingga memerlukan pengkajian lebih seksama dan perinci. Dari hasil pengkajian terhadap model konseptual dapat dihasilkan model awal yang siap untuk diuji lapangan. Model awal yang dapat dibentuk dapat dilihat pada diagram 1. ORIENTASI MODEL PEMBEN-TUKAN MODEL FASE 1 Pemaham -an konsep tahapan berlogika dalam kuliah FASE 5 Evaluasi Hasil - Mendengarkan adalah proses berpikir logis dalam menangkap yang didengar. - Mendengarkan perkuliahan adalah upaya berpikir logis dalam menangkap, memahami, menimbang dan memberi keputusan tentang materi kuliah yang didengar. PENENTUAN TUJUAN PEMBELAJARAN - dapat mengenali konsepkonsep pokok perkuliahan dengan teliti - dapat menceritakan kembali materi perkuliahan dengan tanggung jawab - dapat merespons materi perkuliahan dengan kritis. PENENTUAN MATERI & ALAT EVALUASI PROSEDUR PEMBELAJARAN FASE 2 Penerapan pemahaman tahapan berpikir logis dalam menyimak a. mendengarkan kuliah dari dosen b. memahami konsepkonsep penting dalam materi perkuliahan c. membuat pernyataan pernyataan berdasarkan konsepkonsep penting d. menceritakan isi perkuliahan dengan tanggung jawab e. merespon isi wacana dengan pertimbangan kritis dan tanggung jawab Diagram 1 FASE 4 Pembimbingan FASE 3 Pembahasa n hasil penerap-an fase 2 Model Awal Perkuliahan Berbasis Logika Untuk memperoleh model yang siap pakai, model awal perlu diuji lapangan terlebbih dahulu. Uji lapangan model dilakukan dengan melalui tujuh tahapan, yaitu: 1) melaksanakan tes awal ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung jawab dalam mendengarkan materi ceramah; 2) melaksanakan proses perkuliahan dengan melalui prosedur yang telah dirancang; 3) melaksanakan tes akhir ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung jawab dalam mendengarkan materi perkuliahan; 4) melakukan analisis hasil; 5) melakukan interpretasi; 6) meminta umpan balik; dan 7) melakukan penyempurnaan. Setelah melalui uji lapangan, hasilnya dievaluasi, dianalisis, dan direvisi sehingga diperoleh model perkuliahan berbasis logika yang efektif. Untuk memperoleh model Perkuliahan berbasis Logika yang konsisten perlu pengujian kembali melalui validasi model. Validasi model dilakukan dengan uji lapangan kembali kepada kelompok mahasiswa yang memiliki tingkatan yang sama dengan jumlah yang nomal dalam rombongan kelas. Tahapan uji validasi dilakukan melalui tahapan yang sama dengan pengujian sebelumnya. Hasilnya dianalisis dan dibahas. Hasil dari proses validasi diperoleh model perkuliahan berbasis logika yang siap didesiminasikan atau dipublikasikan. Pendesiminasian dilakukan dalam bentuk seminar yang diikuti para dosen di Universitas Siliwangi dan publikasi pada jurnal penelitian yang siap menerbitkan. Variabel dan Desain Penelitian Penyelenggaraan perkuliahan mencakup banyak komponen, di antaranya adalah kurikulum, dosen, mahasiswa, model (metode) sarana pendukung, dan evaluasi untuk menentukan hasil yang dicapai. Di dalam penelitian ini semua aspek perkuliahan terlibat, namun ada dua aspek yang menjadi fokus yaitu model perkuliahan yang digunakan dan hasil perkuliahan yang berupa sikap (karakter akdemik) yang dapat terbentuk oleh model perkuliahan yang digunakan. Oleh karena itu, variabel 14

22 penelitian ada dua yaitu model perkuliahan berbasis logika sebagai variabel bebas, dan hasil belajar yang berupa karakter akademik sebagai variabel terikat. Desain penelitian yang dikembangkan dalam diagram 2. landasa n Teori Logika dalam mendengark an kuliah Toeri model Perkuliahan dosen Materi Kuliah Pelaksanaan Perkuliahan Proses perkuliahan berbasis logika mahasis wa Sarana pendu kung Diagram 2 Desain Penelitian Hasil Karakter akademik : (ketelitian, kekritisan & tanggung ja- wab) Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data primer yang dibutuhkan adalah karakter akademik (yaitu ketelitian, kekritisan dan tanggung jawab) mahasiswa sebagai dampak dari perkuliahan berbasis logika. Selain data primer diperlukan pula data pendukung (data skunder) seperti informasi tentang aktivitas mahasiswa saat proses perkuliahan berlangsung, serta informasi tentang pendapat mahasiswa mengenai perkuliahan yang telah ditempuhnya. Untuk mendapatkan data tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik pengukuran, pengamatan dan wawancara. Untuk merealisasikan teknik pengumpulan data tentang karakter akademik mahasiswa disiapkan instrumen pengukuran ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung jawab mahasiswa. Cara pengukuran ketelitian dilakukan dengan pengukuran kemampuan membuat ringkasan materi perkuliahan. Cara pengukuran kekritisan berpikir dilakukan dengan pengukuran kemampuan memberi respons kritis terhadap keputusan yang telah ditetapkan. Cara pengukuran sikap tanggung jawab dilakukan dengan pengukuran kemampuan memberi alasan atau solusi terhadap respons kritis yang dibuatnya. Untuk mendapatkan data pendukung disiapkan instumen pengamatan tentang aktivitas mahasiswa saat proses perkuliahan berlangsung. Yang diamati meliputi kreativitas, dan kesungguhan, mahasiswa saat proses perkuliahan berlangsung. Kemudian, untuk mendapatkan informasi tambahan tentang motivasi mahasiswa mengikuti kuliah dengan pola penerapan logika digunakan instrumen wawancara. Data yang terkumpul ada dua kategori, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Yang tergolong data kualitatif adalah uraian tahapan/langkah-langkah pelaksanaan perkuliahan berbasis logika. Yang termasuk data kuantitatif adalah skor hasil pengukuran ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung jawab mahasiswa. Berdasar pada dua jenis data primer yang diperoleh, maka penganalisisan data dilakukan dengan dua cara yaitu cara kualitatif dan cara kuantitatif. Pengolahan data dengan cara kualitatif dilakukan pada pengkajian data tentang tahapan-tahapan proses perkuliahan berbasis logika. Setiap langkah perkuliahan yang dilalui dikaji dan dipertimbangkan efektivitasnya sehingga diperoleh langkah-langkah (syntax) perkuliahan yang layak untuk dibakukan dalam sebuah model perkuliahan. Data kuantitatif dianalisis, dengan menggunakan teknik statistika, seperti uji rata-rata dan uji beda. Uji rata-rata digunakan untuk mengetahui kecenderungan memusat skor ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung jawab. Uji beda digunakan untuk mengetahui kemajuan karakter akademik (ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung jawab) mahasiswa dari sebelum dengan sesudah perlakuan perkuliahan berbasis logika. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Setelah melalui proses pembentukan model koseptual, uji lapangan, revisi model, dan uji validasi model diperolehlah hasil penelitian yang berupa langkah-langkah (sintax) perkuliahan berbasis logika yang 15

23 Uji Validasi 30,0 18,0 20,2 22,7 75,8 72,6 74,5 74,3 20,2 0,0 Uji Lapangan 29,9 21,2 23,9 24,4 70,2 62,0 67,0 66,4 9,2 0,0 signif Kategori Kegiatan Nilai Taraf Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017 telah teruji kefektifannya, serta gambaran ringkas data skor karakter akademik (ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung jawab) mahasiswa dari hasil uji lapangan dan hasil uji validasi. Langkah-langkah (sintax) model perkuliahan berbasis logika yang telah terbukti efektif dalam menumbuhkan karakter akademik adalah sebagai berikut. Fase pendahuluan Memberikan orientasi tentang perkuliahan yang akan dilaksanakan Fase Inti a. mendengarkan kuliah dari dosen dengan penuh konsentrasi; b. memahami konsep-konsep pokok materi perkuliahan dengan teliti (terbentuk dalam peta konsep); c. menceritakan kembali ringkasan materi perkuliahan dengan teliti; d. merespon materi perkuliahan dengan pertimbangan kritis dan bertanggung jawab; e. membahas/mendiskusikan hasil kerja setiap mahasiswa; f. memberi bimbingan khusus pada mahasiswa yang menghadapi kesulitan. Fase Penutup a. merefleksi hasil perkuliahan b. pengukuran hasil Hasil penelitian dari uji lapangan dan validasi model perkuliahan berbasis logika dalam menumbuhkan karakter akademik yang meliputi gabungan dari karakter ketelitian berpikir, sikap kritis, dan tanggung jawab tertera pada tablel berikut. N o 1. 2 Tabel 1 Hasil Perlakuan Model Perkuliahan Berbasis Logika Sebelum Perlakuan PBL Setelah Perlakuan PBL x1 x2 x3 ẋ y1 y2 y3 ý T Pembahasan Hasil Penelitian Dari hasil penelitian ini diperoleh temuan-temuan yang dapat menjadi khasanah pengetahuan dan pengalaman, khususnya tentang pelaksanaan perkuliahan. Temuan-temuan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Teori logika sangat efektif dijadikan landasan atau pendekatan pelaksanaan perkuliahan di perguruan tinggi. Temuan ini telah dibuktikan dengan terbentuknya model Perkuliahan Berbasis Logika yang dilaksanakan kepada mahasiswa semester pertama FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Temuan ini menjadi pendukung pandangan tentang pentingnya kajian teori indisipliner sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan metode perkuliahan. Pemahaman hakikat mendengarkan dan hakikat proses mendengarkan dalam perkuliahan, serta teori logika ternyata sangat berguna sebagai dasar pijakan (approach) dalam menetapkan model perkuliahan di perguruan tinggi. Dari tabel hasil perlakuan perkuliahan berbasis logika dapat dijelaskan bahwa model perkuliahan berbasis logika diujicobakan dua kali yaitu uji lapangan sebagai tahap pengujian model untuk mencari bagian-bagian yang harus direvisi, dan uji validasi untuk menjastifikasi keefektifan model yang sudah direvisi. Hasil uji lapangan pada mahasiswa kelompok pertama dengan jumlah 30 orang diperoleh hasil pengukuran tentang karakter akademik (yang meliputi ketelitian berpikir, sikap kritis, dan tanggung jawab) sebelum diberi perlakuan memperoleh rata-rata skor 24,4 dengan kategori sangat rendah sedangkan sesudah perlakuan memperoleh rata-rata skor 66,4 dengan kategori cukup. Skor yang diperoleh pada tahap uji lapangan menjadi umpan balik untuk revisi model. Tahapan yang direvisi dalam syntax model Perkuliahan Berbasis Logika yaitu pada tahap pembimbingan yang masih kurang, sehingga dalam revisi perlu ada penambahan aktivitas. Setelah dilakukan revisi model sesuai dengan hasil analisis, maka dilakukan uji validasi model dengan melaksanakan perlakuan perkuliahan pada mahasiswa kelompok kedua dengan jumlah 35 orang. Hasilnya diperoleh bahwa rata-rata karakter 16

24 akademik (ketelitian, kekritisan, dan tanggung jawab) sebelum diberi perlakuan diperoleh rata-rata skor 22,7 dengan kategori rendah. Setelah diberi perlakuan diperoleh rata-rata skor 74,3 dengan kategori baik. Data tersebut dijadikan dasar bahwa Perkuliahan berbasis logika dapat dinyatakan efektif dalam menumbuhkan karakter akademik mahasiswa yang meliputi ketelitian berpikir, sikap kekritis, dan tanggung jawab. Setelah dilakukan pengkajian ternyata dalam model perkuliahan berbasis logika dapat mengkolaborasikan teori belajar kognitif, teori belajar komunikatif, teori belajar kooperatif, teori belajar mahasiswa aktif (student active learning theory), dan teori belajar behavioristik. Temuan ini mendukung salah satu asumsi teori pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran, guru/dosen sebaiknya dapat mengkolaborasikan banyak teori pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan mengkolaborasikan teori-teori belajar tersebut dapat membangun sebuah proses perkuliahan yang cukup variatif, sehingga dapat membuat para mahasiswa lebih kreatif, sungguhsungguh, dan tumbuh motivasi belajar sehingga mereka terhindar dari kejenuhan. Karena model perkuliahan berbasis logika mengkolaborasikan model kognitif dan koperatif, maka hasil penelitian ini secara tidak langsung dapat memperkuat pula beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah membuktikan bahwa model pembelajaran koperatif dapat berpengaruh positif terhadap hasil belajar perilaku. Di antaranya hasil penelitian yang menunjukkan bahwa model kooperatif kelompok sindikat berpengaruh positif pada tumbuhnya sikap terhadap lingkungan. Model kelompok sindikat memiliki kekuatan dalam mengembangkan sikap bertanggung jawab, terutama dalam proses belajar yang dilakukannya (Dewi, 2011: 75). Selain itu, ada pula hasil penelitian tentang dampak model koperatif numbered head dan model koperatif jigsaw, yang menyimpulkan bahwa kedua model tersebut berpengaruh positif terhadap hasil belajar afektif. Kedua model tersebut sangat berfungsi untuk meningkatkan rasa tanggung jawab, motivasi, mengembangkan gagasan, dan kemampuan berkomunikasi (Rahmawati, 2014 : 106). Model lainnya di luar model koperatif yang telah diteliti pengaruhnya terhadap tumbuhnya sikap yaitu model discovery learning. Model ini memiliki pengaruh yang sangat positif terhadap motivasi belajar dan kemampuan berpikir kritis (Rahmayanti, 2015:121). Kemudian, ada pula hasil penelitian yang menunujukkan bahwa kekritisan berpikir mahasiswa dapat disokong oleh kompetensi akuntansi. Jika keterampilan berpikir mahasiswa mau ditingkatkan, maka tingkatkanlah kompetensi akuntansinya (Pujiastuti, 2013 :1). Mahasiswa semester pertama FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya sangat antusias dan bermotivasi tinggi diberi perkuliahan berlandasan logika. Hal ini terjadi karena mereka merasakan dan menyadari kompetensi yang dipelajari melalui Perkuliahan Berbasis Logika sangat diperlukan dalam kehidupannya; kemudian materi sajian tersusun secara sistematis; dan didukung pula oleh sistem pelaksanaan pembelajaran yang cukup bervariasi. Temuan ini mendukung teori pembelajaran bahwa dalam meningkatkan motivasi belajar, dosen perlu menyajikan materi pembelajaran yang diperlukan dalam kehidupan pembelajar, serta urutan penyajian materi pembelajaran harus memiliki keterjalinan dengan baik. Selain dari kajian pokok penelitian yang dapat ditemukan, ada beberapa temuan yang perlu diungkapkan, yaitu: (1) Mahasiswa sangat cocok diberi perkuliahan dengan model perkuliahan berbasis logika adalah mahasiswa yang berkecerdasan baik dan memiliki motivasi belajar yang tinggi; (2) Usia dan jenis kelamin yang dimiliki mahasiswa tampak tidak secara signifikan mempengaruhi keberhasilannya dalam mengikuti model perkuliahan ini. Temuan hasil penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan usia dan jenis kelamin pembelajar tampak ada kontradiksi dengan 17

25 pandangan para ahli psikologi, seperti Alfred Binet, yang terkenal dengan keahliannya dalam pengukuran intelegensi, kemudian Piaget yang terkenal dengan keahliannya dalam bidang pentahapan kematangan berpikir, selalu mengaitkan kemampuan berpikir seseorang dengan usia yang dimilikinya. Dari hasil kajian mereka tergambarkan bahwa bertambahnya usia akan seiring dengan bertambahnya kematangan berpikir. Namun dari temuan hasil penelitian ini dengan sumber data mahasiswa yang berusia antara 18 tahun sampai dengan 45 tahun ternyata usia tidak mempengaruhi karakter mereka melalui model perkuliahan ini. Dari hasil penelitian ini, peneliti hanya bisa menyatakan bahwa model perkuliahan berbasis logika cocok diberikan kepada peserta didik di tingkat perguruan tinggi. Untuk tingkat pendidikan menengah masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Sebagai contoh di antaranya adalah di lingkungan pesantren penumbuhan karakter (kemandirian dan kedisiplinan) ternyata lebih cocok melalui metode pembiasaan, pemberian nasihat, metode pahala dan sanksi, serta metode keteladanan dari para kiyai dan ustad (Tanshzil, 2012:1). Kemudian, di lingkungan anak prasekolah penumbuhan tingkah laku prososial ternyata cocok dengan menggunakan model pembelajaran berdasarkan permainan (Chin & zakaria, 2015). KESIMPULAN Melalui tahapan metode penelitian pengembangan yang meliputi pembentukan model konseptual, pengujicobaan model secara empiris, dan validasi model, maka terbentuklah model Perkuliahan Berbasis Logika. Tahapan (syntax) perkuliahan dengan model tersebut pada garis besarnya adalah a) mendengarkan kuliah dengan penuh konsetrasi dari dosen, b) memahami konsep-konsep pokok dalam materi perkuliahan yang dibuat dalam bentuk peta konsep, c) menceritakan/menuliskan ringkasan isi perkuliahan dengan teliti, d) merespon isi perkuliahan dengan sikap kritis dan bertanggung jawab, e) membahas/mendiskusikan hasil kerja setiap mahasiswa, dan f) memberi bimbingan khusus kepada mahasiswa yang menghadapi kesulitan. Dampak yang muncul dari sistem interaksi model perkuliahan berbasis logika yaitu dapat tumbuh sikap-sikap positif yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa dalam menjalani kehidupan, yang meliputi: tumbuhnya sikap ketelitian dalam memahami konsep dan menyampaikan kembali materi perkuliahan yang diterima dari dosen; kritis dan tanggung jawab dalam menanggapi dan menyimpulkan materi perkuliahan yang dipahaminya. Berdasarkan temuan dan simpulan penelitian peneliti menyampaikan 4 rekomendasi sebagai berikut. Pertama, sebaiknya para dosen dalam melaksakan perkuliahan yang bersifat ekspositori (ceramah) landasilah dengan teori logika karena selain meningkatkan pemahaman isi kuliah juga menunjang tumbuhnya karakter akademik. Kedua, perkuliahan di perguruan tinggi lebih cenderung bersifat ekspositori (model ceramah satu arah) yang lebih diarahkan untuk mencapai sasaran tumbuhnya pengetahuan dan keterampilan para mahasiswa. Pemahaman seperti demikian sebaiknya sudah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan saat ini dan masa depan. Ketiga, dalam melaksanakan perkuliahan sudah saatnya para dosen menciptakan modelmodel perkuliahan yang dapat menciptakan lingkungan yang dapat membentuk karakter yang sesuai dengan tuntutan kehidupan. Untuk dapat menciptakan model perkuliahan yang diharapkan dosen perlu mengkaji teori yang dapat dijadikan landasan pengembangan perkuliahan. Keempat, agar temuan hasil penelitian ini menjadi pengetahuan yang bermanfaat dalam pengembangan model perkliahan di perguruan tinggi, agar para peneliti dan pemerhati pembelajaran untuk mengembangkan lebih lanjut dalam bentuk penelitian pada sumber data yang lebih luas dengan tingkat/jenjang pendidikan yang berbeda. 18

26 DAFTAR RUJUKAN Asna, Hamdatul Implementasi Strategi Pembelajaran Berbasis Inquiri dengan Siklus 5E untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis. Jurnal Penelitan Pendidikan UPI 2 (14), hlm Chin, Lu Chung & Efendi Zakaria Effect of Game-Based Learning Activities on Childeren s Positive Learning and Prosocial Behaviours. Jurnal Pendidikan Malaysia 40 (2), hlm Dewi, I P Perbedaan Hasil Belajar antara Model Pembelajaran Kelompok Sindikat dan Model Pembelajaran Ceramah pada Pendidikan Lingkungan Hidup Tesis. Tasikmalaya: PPS Universitas Siliwangi. Diana, P Z Pengembangan Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Pembelajaran Kolaboratif untuk Penguatan Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Disertasi. Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. Fahinu Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar Matemati-ka pada Mahasiswa Melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi. Bandung : PPS UPI Heryadi, Dedi Penerapan Teori Berpikir Logis dalam Pengembangan Menyimak Bahasa Indonesia. Disertasi. Bandung : PPS Universitas Pendidikan Indonesia. Joice, Bruce, Marsha Weil, Emily Calkom Model of Teaching. New Jersey : Pearson/Allyn and Bacon Publisher. Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Permen Ristek Dikti, Nomor 44 Tahun 2015, tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Jakarta : Biro Hukum Kemenristek-Dikti. Pujiastuti Pengaruh Kompetensi Akuntansi terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa. Jurnal Penelitian Pendidikan UPI. 13 (2). hlm 1-7 Rahmawati, S Perbedaan Hasil Belajar Siswa pada Model Pembelajaran Koperatif Tife Numbered Head Togather dengan Model Pembelajaran Tife Jigsaw. Tesis. Tasikmalaya: PPS Universitas Siliwangi. Rahmayanti, Ai Ade Perbedaan Motivasi Belajar dan Kemamuan Berpikir Kritis antara Model Problem Based Learning dan Discovery Learning dengan Pendekatan Scientific. Tesis. Tasikmalaya: PPS Universitas Siliwangi. Sulchan, Ali Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Logika dan Kreativitas sebagai Peningkatan Kecerdasan Anak Usia Dini. Tersedia pada http//p4tksbjogja.com/arsip/index.php? option- Ali Sulchan- Pengembangan media berbasis logika. Suryabrata, Sumadi Psikologi Pendidikan. Jakarta : CV Rajawali. 19

27 PENGARUH CERITA PENDEK DAN PENGUASAAN KOSAKATA TERHADAP PEMAHAMAN MEMBACA (EKSPERIMEN DI KELAS SEBELAS MADRASAH ALIYAH DI TASIKMALAYA JAWABARAT) Rudi Permadi Universitas Perjuangan Tasikmalaya ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek cerita pendek terhadap pemahaman membaca, efek penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca, dan efek interaksi cerita pendek dan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca. Metodologi penelitian yang digunakan adalah eksperimen. Teknik pengumpulan data adalah tes penguasaan kosakata dan pemahaman membaca. Teknik analisis data menggunakan Anova dua jalur. Hasil penelitian menyimpulkan ada pengaruh signifikan cerita pendek terhadap pemahaman membaca, ada pengaruh signifikan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca dan tidak ada pengaruh signifikan interaksi cerita pendek dan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca. Berdasarkan hasil penelitian, maka diharapkan pengajar bahasa Inggris menggunakan media pembelajaran cerita pendek dan memotivasi siswa untuk menguasai dan selalu menambah penguasaan kosakata dalam pembelajaran bahasa Inggris. Kata kunci: cerita pendek, penguasaan kosakata, pemahaman membaca THE EFFECTSOF SHORT STORY AND VOCABULARY MASTERY ON THE STUDENTS READING COMPREHENSION ABSTRACT The objectives of the research are to find the effect of using short story on the students reading comprehension, the effect of vocabulary mastery on the students reading comprehension, and the interaction effect of short story and vocabulary mastery on the students reading comprehension. The research methodology used is experiment. Data collection is obtained by testing their vocabulary mastery and reading comprehension. Data analysis usesdescriptive statistics, normality test, homogeneity test, and two ways ANOVA to test hypothesis testing. The research results conclude 1) There is a significant effect of short story on the students reading comprehension. This can be drawn by the result of significance value (sig) is and F observed = Because Sig.=0.000 < 0.05 and F observed = >F table (2.838), then H o is refused and H 1 is accepted, 2) There is a significant effect of vocabulary mastery on the student s reading comprehension. This is proved by the result of significance value (sig) is and F observed = Because Sig.=0.000 < 0.05 and F observed = >F table (2.838), then H o is refused and H 1 is accepted, 3) There is no significant interaction effect of short story and vocabulary jointly on the student s reading comprehension. This can be seen by the results of significance value (sig) is and F observed = Because Sig.=0.563 > 0.05 and F observed = <F table (2.838), then H o is accepted and H 1 is refused. Keywords: short story, vocabulary mastery, reading comprehension. 20

28 INTRODUCTION Reading lets one live and travel to various places through his imagination and become familiar with other people and cultures. Therefore, ideas can be transmitted from the author s mind to the reader s mind. Reading is an active, which does not encompass one skill but a large number of interrelated skills, which increase gradually.grabe, William and L. Stoller, Fredricka(2002:18) point out that Reading is also interactive in the sense that linguistic information from the text interacts with information activated by the reader from long-term memory, as background knowledge. Reading involves an active search for information and interaction with the text. It requires the constant constructive involvement of the reader in what he is doing. It requires the use of high level mental abilities and background knowledge. Nowadays, reading has become the need for many people. It is a medium to learn about the world and other things that we want to know. By reading, people can enrich their knowledge and get written messages. When learning reading, it is found some problems. The first, students often feel boring around ten minutes when the process of learning it has just begun because the teacher uses conventional teaching. As the fact, they had some difficulties in comprehending the texts. They used to read word by word, got confused with unfamiliar words, and did not comprehend the text messages. The second, students were still difficult to comprehend, determine the meaning of unfamiliar words. The problem on the teaching and learning process is one of the normal obstacles. The researcher thinks that knowledge can be reached through teaching learning process which involves teacher and learner. Weil, Marsha (1972:1) stated Teaching as a process by which teacher and students can create a shared environment including set of values and beliefs (agreements about what is important) which is turn color their view of reality. Based on the case above, language learning should be done in many ways. According to J. McCaryty, Donald (1968:56) All over the country educators are making efforts to improve learning in the school through the use of new and imaginative approaches that break down lockstep routines. The notions above inspire the writer to find way out on the problems of teaching reading. This will help the students acquire the knowledge particularly in reading. He thinks that short story is one of the solutions to disappear the first teaching reading problem, the boredom. Learning is a process to acquire knowledge. It needs hard work and sometimes will make students frustrated and get bored, so that they lose their attention to a lesson. In this case, the use of media in teaching- learning process is needed to attract students attention and to make teaching- learning activities more interesting and also effective. The usage of short story is really needed recently. It will improve student s willingness, motivation, stimulus and even influencing strategy to the students. The teaching and learning will attract the students, so it will increase the student s motivation in learning. In addition, the material will be clearer. It is easy to be understood by the students. Besides, the method of teaching will be vary. It is not verbal communication occur in the class, so the student will not boring. Moreover, the students will do more activities in the teaching and learning process. It has the students to observe, do, act, analyse, and others. Short story helps the students to learn the four language skills; those are listening, speaking, reading, and writing. According to Rocha Erkaya, Odilea (2004:1): Some instructors may still believe that teaching EFL encompasses focusing on linguistic benefits only, so eventually their students will communicate in the target language, others who have integrated literature in the curricula have realized that literature adds a new dimension to the 21

29 teaching of EFL. Short stories, for example, help the students to learn the four language skills (listening, speaking, reading, and writing) more effectively because of the motivational benefit embedded in the stories. In addition, with short stories instructors can teach literary, cultural, and higher order thinking aspects. It means that teaching by using short story has many functions and more effective. It helps the students to master the four language skills (listening, speaking, reading, and writing) easily. The second problem of the student s difficulties in learning reading is the difficulties to comprehend, determine the meaning of unfamiliar words. The writer thinks that vocabulary mastery will get the students understand easily when they do reading. Vocabulary mastery plays a great role in determining the success of foreign language learning. Schmitt, Norbert (2000:19) points out that one of the key elements in learning a foreign language is mastering the L2 vocabulary. Meaning that without having enough vocabulary, a foreign language learner will have problems in understanding a language and expressing his ideas. Besides, Notion, Paul (1990:2) states that learners feel that many of their difficulties in both perceptive and productive language use result from an inadequate vocabulary. Students need a productive knowledge of at least 3000 high frequency English words in order to be able to cope with English tasks. It means that if students do not have enough vocabulary, English tasks will be frustrating as they have to look the dictionary up in the most of time. It is absolutely clear that learners especially senior high students master the vocabulary. K Baker, Scott et all. (1995:100) states that Most people feel that there is a common sense relationship between vocabulary and comprehension the messages are composed of ideas and the ideas are expressed in words. Most theorists and researchers in education have assumed that vocabulary mastery and reading comprehension are closely related, and numerous studies have shown the strong correlation between the two. There are a number of ways how to encourage the student s vocabulary development, but the most important and effective is through reading and comprehension. The bottom line is that reading is still the best way for the students to develop their vocabulary. The secret to success is making sure the students comprehend what they are reading. The students think reading is simply reading aloud the words they see on a page. This is reading, but not necessarily on comprehension. In order to help the students, it is needed to be actively involved in the students reading and use their school lessons to further challenge their vocabulary development. By taking extra steps to help the students build their vocabulary while reading for school, it is important to provide the students with the tools needed for academic and career success. Words are the tools for thought; the more words the student learns, the more tools they will have to achieve great things. By improving students vocabulary skills, their reading comprehension will increase as well. This studywas undertaken to explore the role of vocabulary in readingcomprehension. There is an assumption where a student s success in grade school, high school, college and later in his or her career is dependent almost entirely on vocabulary. Those notions above makes the writer to formulate the problems, as follows: 1) Is there any effect of teaching media on the students reading comprehension at private Islamic senior high school in Tasikmalaya-West Java? 2. Is there any effect of vocabulary mastery on the students reading comprehension at private Islamic senior high school in Tasikmalaya- West Java? 3. Is there any interaction effect of teaching media and vocabulary mastery on students reading comprehension at private Islamic senior high school in Tasikmalaya-West Java? The objectives of the research are 1) To know the effect of teaching media on the students reading comprehension at private Islamic senior high school in Tasikmalaya-West Java 2. To know the 22

30 effect of vocabulary mastery on the students reading comprehension at private Islamic senior high school in Tasikmalaya- West Java 3. To know the interaction effect of teaching media and vocabulary mastery on students reading comprehension at private Islamic senior high school in Tasikmalaya-West Java? Short Story The short story is a kind of literature. It is a printed material made by people, scholars, researcher, literary writer, etc. Short story usually tells us about many kinds of aspect if life, like philosophy, history, culture, religion, and region. The short story is a literary genre. According to Library>Refference>Wordnet The short story is a literary genre of fictional prose narrative that tends to be more concise and to the point than longer works of fiction such as novellas (in the modern sense of the term) and novels. It means that short story is a literary genre that is not too long. Short story is a short fictional prose. According to Library>Refference>Wordnet. Short story is a fictional prose tale of no specified length, but too short to be published as a volume on its own, as novellas sometimes and novels usually are. It means that short story is a short fictional prose, like novel. Furthermore, Ghasemi, Parvin and Hajizadeh, Rasool (2011:69) states the short story is a compact literary genre in which much is left unsaid in order for the reader to draw implication. The short story is a literary that can be valuable of the language skills development. Ghasemi, Parvin and Hajizadeh, Rasool (2011:69) states the short story as a multi-dimensional literary genre can be profitably used in the acquisition of various language skills. The short story s distinctive feature s i.e. its brevity, modernity, and variety make it appealing and interesting to language learners. From the definitions above, the writer concludes that short story is a fictional prose and it can be categorized as a literature tends to be more concise and to the point than longer works of fiction such as novellas (in the modern sense of the term) and novels. The short story is really short to be published as a volume on its own, as novellas sometimes and novels usually are but the short story as a multi-dimensional literary genre can be profitably used in the acquisition of various language skills. The short story s distinctive feature s i.e. its brevity, modernity, and variety make it appealing and interesting to language learners. The Characteristics of Short Story In the old time, the short story comes from the tales. It is conveyed in the beautiful poem form. It is made to help the people to remember the story easily. Library>Refference>Wordnet.states Short stories date back to oral story-telling traditions which originally produced epics such as Homer s Iliad and Odyssey. Oral narratives were often told in the form of rhyming or rhythmic verse, often including recurring sections or, in the case of Homer, Homeric epithets. Such stylistic devices often acted as mnemonics for easier recall, rendition and adaptation of the story. It means that the short story are from the tales (story-telling traditions).it is conveyed to the people by using beautiful rhythmic poem in the old time because the people will remember it easily. The short story is shorter than novel. It usually describes only one incident. It has only one setting and plot. Moreover, the short story has a small number of characters, and covers a short period of time. According to Library>Refference>Wordnet. Short stories tend to be less complex than novels. Usually short story focuses on only one incident, has a single plot, a single setting, a small number of characters, and covers a short period of time. It means that short story tells us about one event and has only one plot and setting. It also has only a few characters, and happened in short period of time. Short story has many elements namely theme, character, setting, plot, and 23

31 conflict. The theme in a piece of fiction is its controlling idea or its central insight. It is the author's underlying meaning or main idea that he is trying to convey. The theme may be the author's thoughts about a topic or view of human nature. The title of the short story usually points to what the writer is saying and he may use various figures of speech to emphasize his theme, such as: symbol, allusion, simile, metaphor, hyperbole, or irony. The second is character There are two meanings for the word character: 1) The person in a work of fiction.2) The characteristics of a person. Persons in a work of fiction - Antagonist and Protagonist. Short stories use few characters. One character is clearly central to the story with all major events having some importance to this character - he/she is the protagonist. The opposer of the main character is called the antagonist. The Characteristics of a Person.In order for a story to seem real to the reader its characters must seem real. Characterization is the information the author gives the reader about the characters themselves. The third is setting. The time and location in which a story takes place is called the setting. For some stories the setting is very important, while for others it is not. There are several aspects of a story's setting to consider when examining how setting contributes to a story (some, or all, may be present in a story): a) place - geographical location. Where is the action of the story taking place? b) time - When is the story taking place? (historical period, time of day, year, etc) c) weather conditions - Is it rainy, sunny, stormy, etc? d) social conditions - What is the daily life of the characters like? Does the story contain local colour (writing that focuses on the speech, dress, mannerisms, customs, etc. of a particular place)? e) mood or atmosphere - What feeling is created at the beginning of the story? Is it bright and cheerful or dark and frightening? The plot is how the author arranges events to develop his basic idea; It is the sequence of events in a story or play. The plot is a planned, logical series of events having a beginning, middle, and end. The short story usually has one plot so it can be read in one sitting. There are five essential parts of plot: Plot a) Introduction - The beginning of the story where the characters and the setting is revealed. b) Rising Action - This is where the events in the story become complicated and the conflict in the story is revealed (events between the introduction and climax). c) Climax - This is the highest point of interest and the turning point of the story. The reader wonders what will happen next; will the conflict be resolved or not? d) Falling action - The events and complications begin to resolve themselves. The reader knows what has happened next and if the conflict was resolved or not (events between climax and denouement). e) Denouement - This is the final outcome or untangling of events in the story. The last is conflict. It is essential to plot. Without conflict there is no plot. It is the opposition of forces which ties one incident to another and makes the plot move. Conflict is not merely limited to open arguments, rather it is any form of opposition that faces the main character. Within a short story there may be only one central struggle, or there may be one dominant struggle with many minor ones. There are two types of conflict: 1) External - A struggle with a force outside one's self.2) Internal - A struggle within one's self; a person must make some decision, overcome pain, quiet their temper, resist an urge, etc. There are four kinds of conflict: 1) Man vs. Man (physical) - The leading character struggles with his physical strength against other men, forces of nature, or animals. 2) Man vs. Circumstances (classical) - The leading character struggles against fate, or the circumstances of life facing him/her. 3) Man vs. Society (social) - The leading character struggles against ideas, practices, or customs of other people. 4) Man vs. Himself/Herself (psychological) - The leading character struggles with himself/herself; with his/her own soul, ideas 24

32 of right or wrong, physical limitations, choices, etc. From the explanations above the writer concludes that the characteristics of short story are focusing only on one incident, having a single plot and setting and having a few characters. The five important elements of short story are theme, character, setting, plot, and conflict. The short story as teaching media and its benefit in reading comprehension In the previous, the writer concludes that there are two kinds of short story, those are electronic media and simple media. The example of simple media is short story because it is easy to make, to get, and to use. The researcher believes that short story is a short story. It helps the students to get the knowledge, concepts, and theories through using short story. Furthermore, it can develop the students motivation in learning something. Therefore, the writer concludes that short story is a short story. Short story is a short story that can be practiced everywhere. Reading short story is a suggested way to be done in the classroom. Collie, Joanne and Slater, Stephen (1995:1) states Reading stories in a classroom first, rather than in armchair. Working with other people in groups gives you a lot of advantages: it can help each other with the difficulties, and can share ideas, reactions, and interpretation. Reading comprehension, as a fundamental language skill, requires a complex acquisition process which can account for the way that the learners comprehend what they read. Some materials such as textbook are needed to enhance reading comprehension, such as word analysis, structural analysis, dictionary use, and learning the meaning of words from the context. Short stories could be beneficial since literature has the quality of being universal and short stories will allow the teacher to deal with human problem. Pourkalhor, Omid and Kohan, Nasibeh (2013:1) states The following advantages for pedagogical advantages of short stories over other literary texts: 1. Short stories makes the students reading task easier because it is simple and short Give learners a better view of other people and other cultures. 2. Requires more attention and analysis helps students to be more creative and 3. Raise cultural awareness. 4. Reduce students anxiety and helps them feel more relax. 5. Is good for multicultural contexts because of its universal language. 6. Offers a fictional and interesting world The teaching and learning process by using short story will increase the students reading comprehension. According to Rocha Erkaya, Odilea (2004:1) The results of a comparison between a group of students that read literary texts and a second group that read non-literary texts at a university in Hong Kong is the group who read literary texts showed improvement in vocabulary and reading comprehension. It means that the students who use literary text is better than the students who do not use it. Short story will improve reading comprehension. Ghasemi, Parvin and Hajizadeh, Rasool (2011:69) states Many ESL/EFL experts agree that the content knowledge is an important factor in the learning process of reading comprehension. The short story distinctive features, i.e., its brevity, modernity, and variety make it appealing and interesting to language learners and a value source for the improvement of language learning reading comprehension. The short story can offer learners adequate linguistic, intellectual, and emotional involvement and enrich their learning experience. Furthermore, Ghasemi, Parvin and Hajizadeh, Rasool (2011:69) states A good number of ESL/EFL experts do agree that content knowledge is an important factor in the learning process of reading comprehension. A valuable source of knowledge is, undoubtedly, literary texts, and more appropriately and for reading comprehension process, the short story. 25

33 Using the short story to enhance students reading proficiency has another privilege. The short story is a compact literary genre in which much is left unsaid in order for the reader to draw implication. Therefore, it makes students sensitive to the hidden and implied meaning. Teaching Reading by Using Short Story Many techniques has been implemented to teach reading, one of the is by using short story. Pourkalhor, Omid and Kohan, Nasibeh (2013:1) states Reading is not just a single skill but a combination of many skills and processes in which the readers interact with printed words and texts for content and pleasure. Through reading, one can teach writing, speaking, vocabulary items, grammar, spelling and other language aspects. There are some essential goals of reading such as enabling the students to understand the world, growing their interest, and finding solution to their own problems. The use of literature as a technique for teaching both basic language skills (i.e. reading, writing, listening and speaking) and language areas (i.e. vocabulary, grammar and pronunciation) is very popular within the field of foreign language learning and teaching nowadays. Moreover, in translation courses, many language teachers make their students translate literary texts like drama, poetry courses, and short story into their mother language. Short story has valuable benefit if it is chosen in the development in language skills, particularly in reading comprehension. Ghasemi, Parvin and Hajizadeh, Rasool (2011:69-70) states when the short story is chosen based on the student s level of English proficiency, it can offer them adequate linguistic, intellectual, and emotional involvement and enrich their learning experience. The short story can provide ESL/EFL learners with a suitable study resource which is both delightful and instructive to improve their English linguistics proficiency and reading comprehension. There are five main parts of short story. They are theme, character, setting, plot, and conflict. Five important elements of a short story are: 1. Theme The theme is the central idea or belief in a short story. 2. Character A character is a person, or sometimes even an animal, who takes part in the action of a short story or other literary work. 3. Setting The setting of a short story is the time and place in which it happens. Authors often use descriptions of landscape, scenery, buildings, seasons or weather to provide a strong sense of setting. 4. Plot A plot is a series of events and character actions that relate to the central conflict. 5. Conflict The conflict is a struggle between two people or things in a short story. The main character is usually on one side of the central conflict. The writer concludes that the main parts of short story are theme, character, setting, plot, and conflict. The writer assumes if the students regularly read by identifying the elements of the short story, it will influence into their reading comprehension. In the teaching reading process, the teacher should get the students to read short story first. The next, they are led to identify the theme, character, setting, plot, and conflict. After they succeed to label all the elements of the short story, the teacher should explain the function why they must know them. Knowing the theme of the short story, it will help the students easy to find out the main idea on the passages subsequently. In addition, they can categorize what types of main ideas available on the text. By labeling the characters on the short story, the students will easy to find out to the existing characters on the passages. In addition, the student can be able to find out how the character s physical/appearance on the passages easily. Moreover, the student is easy to find out what the character s say, think, feel, do or does on the passages. This 26

34 step will drive the students to decide the supporting ideas on the passages. The next step of teaching reading by using short story based on the writer s opinion is identifying setting on the short story. This will assist the students easy to naming the places available on the passages. The next, it helps the student easy to identify the time available on the passages. The last, the students think easy to identify the conditions available on the passages. This benefit of this activity is the same as labeling the character. It incubates the students think easy to decide the supporting ideas on the passages. Comprehending the plot and the conflict on the passages has some functions. It will make the student understand the genres, the generic structures in passages, the structure and grammar on the passages, the tenses, the moral value, the meaning, comprehend the passages served. The Nature of Vocabulary Mastery Speaking of vocabulary mastery, the first thing that should be explained is the definitions of mastery since the primary goal of vocabulary, which is mastery. According to Allen, Robert (2000:856), Mastery is skill or knowledge that makes one master of a subject. From the definitions stated previously, mastery is someone s skill or knowledge of a subject. Subject in this case is vocabulary in a foreign language, which is learnt by students. In addition, Harmer, Jeremy (2002:13) points out that without grammar very little can be conveyed, without vocabulary nothing can be conveyed. Meaning that the existence of vocabulary cannot be separated by the existence of a language. In other words, no language exists without vocabulary. In The World Book Encyclopedia vocabulary is the total number of words in a language, it is also the collection of words a person knows and uses in speaking or writing. Furthermore, Read, John (2000:11) states A basic assumption in vocabulary is knowledge of words. A word is a microcosm of human consciousness. Vocabulary therefore has an important role to help the students understand the meaning of words. Referring to the concept of mastery, vocabulary mastery is someone s proficiency in using words and their meaning appropriately in language. By reading a text, learners will be accustomed to looking the dictionary up, guessing the words, and using the words in the context properly. Good mastery of vocabulary helps the learners express their ideas precisely. By having many stocks of words, learners will be able to comprehend the reading materials, catch someone s talk, give a response, speak fluently, and write some kinds of topics. On the contrary, if the learners are unfamiliar with the meaning of the words by those who address them, they will be unable to participate in conversation, ask for the information or express some ideas and thoughts. From the previous statements, it can be inferred that vocabulary is a collection of words, which is collected through language, conversation and a dictionary used by people in verbal communication. Vocabulary mastery is someone s proficiency in using words and meaning and English language which frequently come up. Besides, vocabulary is also important in language learning which has to be mastered by students to develop the language skills; especially in reading that students should have adequate vocabulary as a result they can understand the reading materials. Aspects of Vocabulary According to Thornbury, Scott (2002:3-9) There are some ways of presenting a word meaning namely: a) Word classes; the words play different roles in a text. They fall into one of eight different word classes such as nouns, pronouns, verbs, adjectives, adverb, prepositions, conjunction, and determiner. b) Word families; how words may share the same base or root but take different endings. A word family comprises the 27

35 base word plus its inflexions and its most common derivatives.(e.g. play, play + er = player, re + play = replay, play + ful = playful). c) Collocations; how words couple up to form compounds, and how they hunt in packs in the shape of multi-word units. It is seen as part of a continuum of strength of association: a continuum that moves from compound words (second-hand, record player), through multi-word units or lexical chunks (bits and pieces), including idioms (out of the blue) and phrasal verbs (do up), to collocations of more or less fixedness (set the record straight, set a new world record). d) Synonyms; Words that share a similar meaning. Thus: old, ancient, antique, aged, elderly are all synonyms in that they share the common meaning of not young/new. Synonyms are similar, but seldom the same. e) Antonyms; words with opposite meanings like old and new. The implication of the aspects just mentioned in presenting a word meaning, learning the vocabulary of a second language presents the following implications for teaching as stated by Thornbury, Scott (2002:30): a) Learners need tasks and strategies to help them organise their mental lexicon by building networks of association the more the better. b) Teachers need to accept that the learning of new words involves a period of initial fuzziness. c) Learners need to wean themselves off a reliance on direct translation from their mother tongue d) Words need to be presented in their typical contexts, so that learners can get a feel for their meaning, their register, their collocations, and their syntactic environments. e) Teaching should direct attention to the sound of new words, particularly the way they are stressed. f) Learners should aim to build a threshold vocabulary as quickly as possible. g) Learners need to be actively involved in the learning of words. h) Learners multiple exposures to words and they need to retrieve words from memory repeatedly. i) Learners need to make multiple decisions about words. j) Memory of new words can be reinforced if they are used to express personally relevant meanings. k) Not all the vocabulary that the learners need can be taught. Learners will need plentiful exposure to talk and text as well as training for self-directed learning. From the explanation stated previously, it can be seen that so many components in mastering vocabulary because it consists of words, which have special features, and when someone only knowing the content words, without knowing the function words, and other components of words, he or she will never understand English sentence in a paragraph, or in a passage. Having lack of vocabulary will make students difficult in expressing their ideas; they will find many difficulties in using language skills. In enriching student s vocabulary therefore the first thing has to do before starting lesson, students are introduced with the new vocabulary in the context of a passage. As a result, vocabulary mastery is the student s ability in finding out the words meaning in a sentence or paragraph, in the content, functional words, idioms, and also phrasal verbs. The vocabulary mastery can be enriched by giving a test to the students about words implementation, labeling a word to a picture, describing someone or something, finding the synonyms or antonyms from the text or the passage. RESEARCH METHODOLOGY The method used in this research is experiment. Short story will be implemented in teaching and learning process in treatment or experiment class and conventional method used in control class.the conventional method uses lecturing. The 28

36 students only listens what the teacher explained. Variables and Design of the Research The variables of the research consist of: 1. First Independent Variable, teaching media (A) 2. Second Independent Variable, Vocabulary mastery (B) 3. Dependent Variable, the students reading comprehension (Y) two-way ANOVA which the calculation process helped by SPPSS version 20 for windows. The following is the result of the computation IndependentVariables Dependent Variable Diagram 1 Variables of the Research The following is design of the research: Short story Vocabulary Mastery Short Story (A1) Conventional (A2) High (B1) (A1B1) (A2B1) Low (B2) (A1B2) (A2B2) Total A B Diagram 2 Research Design Technique of Collecting and Analysing Data The primary data of the research are test of vocabulary mastery and reading comprehension. Both are multiple choices test. All the questions have been examined before for getting the validity and reliability rules. The research aims to analyse the difference the score rate of the two independent variables, therefore the he uses the two-way ANOVA to analyse the data. Research Findings and Discussion Research Findings The analysis of the students reading comprehension data done by using Diagram 3 Research Findings By seeing diagram 3, it can be drawn the conclusion as follows: 1. There is a significant effect of short story on the students reading comprehension Hypothesis tested by seeing significant coefficient. If Sig. value > 0.05 then H o accepted and H 1 is refused. If Sig. value < 0.05 then H 1 accepted and H o is refused Based on the table,the researcher gets the result of ANOVA of short story with sig. = < 0.05 and F observed = >F table (2,838). Therefore, there is a significant effect of short story on the students reading comprehension 2. There is a significant effect of vocabulary mastery on the students reading comprehension Hypothesis tested by seeing significant coefficient. If Sig. value > 0.05 then H o accepted and H 1 is refused. If Sig. value < 0.05 then H 1 accepted and H o is refused Based on the table 4.13, the researcher gets the result of ANOVA of vocabulary mastery with sig. = < 0.05 and F observed = >F table (2,838). Therefore, there is a significant effect of vocabulary mastery on the students reading comprehension. 3. There is not interaction effect of short story and vocabulary mastery on the students reading comprehension 29

37 Hypothesis tested by seeing significant coefficient. If Sig. value > 0.05 then H o accepted and H 1 is refused. If Sig. value < 0.05 then H 1 accepted and H o is refused Based on the table 4.13, the researcher gets the result of ANOVA of short story and vocabulary mastery with sig. = > 0.05 and F observed = <F table (2,87). Therefore, there is no significant interaction effect of short story and vocabulary mastery on the students reading comprehension. Discussion There are many students who are still difficult in reading comprehension. The teacher has main role to must help the students who are still difficult to understand the material given. There so many ways to solve the student s difficulties and teaching and learning process. One of the ways is by using the teaching media. It assists the students to achieve the material and to achieve the teaching objective. Teaching media means several things, graphic, or electronic tools that can be used to send the messages of several objectives of teaching to the students. In addition, media is tool to deliver message and can stimulate thought, feeling, and audience willingness so it can motivate them to become attractive in teaching and learning process (Usman, Basyi pn and Asnawir, 2002: 11). A good teacher must fix the objectives of teaching to lead a well teaching and learning process. To achieve that objective, the teacher must consider the students, the available facilities, situation and condition when the students learning the material. In addition, teaching using media is an extraordinary method used to achieve the goal of learning. Someone communication skill is influenced by the quantity and quality of his vocabulary mastery. The more he is rich of vocabulary mastery, the more he can communicate well. Then, reading comprehension is the process or activity of taking meaning to a text in order to obtain meaning from the text. An individual may be said that he is able to comprehend the text fully when he can recognize the words and sentences of the text, make value judgments and based on the reading experience. Seeing the result of the research which supported by statistics analysis, the normality and homogeneity test can be obtained. It stated that the data is normally distributed and coming from same variance (homogenous). Because of that reason, the research can be continued into hypothesis testing. The following are the hypothesis test: 1. Hypothesis 1: There is a significant effect of teaching media on the students reading comprehension. From the hypothesis testing, it is obtained that significance value (sig) is and F observed = Because Sig.=0.000 < 0.05 and F observed = >F table (2.838), then H o is refused and H 1 is accepted. It means that there is a significant effect between A variable (teaching media) on Y variable (students reading comprehension). Operationally, the students reading comprehension is measured by objective test (multiple choices with five possible answer). Theoretically, it can be assumed that the students reading comprehension is influenced by short story teaching media. The students who taught by short story took some enjoyable condition in learning than the student who taught conventionally. They did not feel boredom and have fun in the class because they read some interesting short stories from all over the countries. It enlarged their knowledge on the literature, culture and assist them to get the new concept of reading comprehension by using short story. In contrast, the students who taught conventionally has low result in reading comprehension because they teach by lecturing. They feel sleep and boring. They are not active and has no new experience on the teaching and learning process. From the explanation above, the researcher concludes that there is a significant effect of teaching media on the students reading comprehension 30

38 2. Hypothesis 2 : There is a significant effect of vocabulary mastery on the students reading comprehension. From the hypothesis testing, it is obtained that significance value (sig) is and F observed = Because Sig.=0.000 < 0.05 and F observed = >F table (2.838), then H o is refused and H 1 is accepted. It means that there is a significant effect between B variable (vocabulary mastery) on Y variable (students reading comprehension). Operationally, the vocabulary mastery is measured by objective test (multiple choices with five possible answer). Theoretically, it can be assumed that the more someone has high vocabulary mastery, the more he can get good result in learning reading. In contradictory, if the student has low vocabulary mastery, he may get lower result of learning than the high one. From the explanation above, the researcher concludes that there is a significant effect of vocabulary mastery on the students reading comprehension. 3. There is a significant interaction effect of teaching media and vocabulary on the students reading comprehension. From the hypothesis testing, it is obtained that significance value (sig) is and F observed = Because Sig.=0.000 > 0.05 and F observed = <F table (2.838), then H o is accepted and H 1 is refused. It means that there is a significant effect between A variable (teaching media) and B variable (vocabulary mastery) on Y variable (students reading comprehension). Operationally, the students reading comprehension is measured by objective test (multiple choice with five possible answer). Theoretically, it can be assumed that the students reading comprehension is not influenced by short story teaching media and vocabulary mastery. From the explanation above, the researcher concludes that there is no significant interaction effect of teaching media and vocabulary mastery on the students reading comprehension. CONCLUSION Based on the objective of the research and the data analysis, the writer is able to make conclusion as follows: 1. There is a significant effect of short story on the students reading comprehension 2. There is a significant effect of vocabulary mastery on the students reading comprehension. 3. There is no significant interaction effect of short story and vocabulary on the students reading comprehension. Seeing the research findings above, the writer suggests to the teacher of Private Senior Islamic School to use short story as teaching media to improve their students reading comprehension. Furthermore, the writer suggests that the teacher improve the students vocabulary mastery by various kinds of technique to support not only reading but also all English language skills. Bibliographies Allen, Robert The New Penguin English Dictionary. London: Penguin Books. Collie, Joanne. and Slater, Stephen Short Stories for Creative Language Classroom. Great Britain: Cambridge University Press. Grabe, William and L Stoller, Fredricka Teaching and Researching Reading. Longman: Pearson Education. Harmer, Jeremy How to Teach Vocabulary. England: Longman. J. Mc Carty, Donald News Perspectives on Teacher Education. San Fransisco California: Jossey-Bass, Inc. Publisher. Read, John Vocabulary Assessment. Cambridge: Cambridge University Press. K Baker, Scott et al Vocabulary Acquisition: Curricular and Instructional Implications for Diverse Learners Technical Report: Eugene: National Center to Improve the Tools of Educators. Notion, Paul Teaching and Learning Vocabulary. Boston: Heinle&Heince Publisher. 31

39 Schmitt, Norbert Vocabulary in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Thornbury, Scott How to Teach Vocabulary. Longman: Pearson Education Limited Usman, Basyirudin and Asnawir Media Pembelajaran. Jakarta: Delia Citra Utama. Weil, Marsha.1972.Models of Teaching. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Englewood Clift. Journals Ghasemi, Parvin and Hajizadeh, Rasool Teaching L2Reading Comprehension through Short Story. Iran: Shiraz University. Kuswandono, Paulus Reading as an Active Process. Jurnal FKIP of Sanata Dharma University, Widya Dharma. No.1, Th. XI, October Pourkalhor, Omid and Kohan, Nasibeh Teaching Reading Comprehension Through Short Stories in Advanced Class. Iran: Department of English Islamic Azad University. Rocha Erkaya, Odilea Benefits of Using Short Story in the EFL Context. Turkey: Eskisehir Osmangazi University Turkey. Internet caattiioonn/the-use-of-media-in-teachinglearning-process/ 32

40 PEMBELAJARAN NASKAH DRAMA MELALUI BEDAH NASKAH Ridzky Firmansyah Fahmi Universitas SIliwangi Tasikmalaya ABSTRAK Pembelajaran drama sebaiknya bermula dari naskah bukan langsung dari sebuah pementasan drama. Sebuah pementasan drama bermula dari naskah drama, itu sebabnya pengenalan dan pembahasan drama sebagai sebuah karya sastra akan membantu proses alih wahana dari bentuk teks bacaan menjadi bentuk tuturan panggung. Dalam pembahasan mengenai naskah drama, dialog sebagai teks utama dalam naskah menjadi hal yang penting untuk dikaji. Makna kata atau kalimat, maksud pengarang atas bahasa yang dituangkannya dalam bentuk dialog, serta tema dapat ditelusuri dengan mudah dan cermat melalui proses mengkaji naskah yang di kalangan praktisi drama lebih dikenal dengan istilah bedah naskah. Bedah naskah membantu para pihak yang terlibat (dalam rencana pementasan) menafsirkan dengan baik maksud pengarang atas naskah yang ditulisnya. Kata kunci: naskah drama, bedah naskah, pembelajaran drama DRAMA LEARNING THROUGH PLAY SCRIPT REVIEW ABSTRACT Learning drama should be started from a script rather than directly from a staging drama. A staging drama stems from a play, which is why the introduction and discussion of the drama as a literary work will help the transfer of a vehicle from reading text form into a form of speech stage. In the discussion about the plays, dialogue as the main text in the script becomes important to be studied. Meaning of words or sentences, the author's intention over language that poured in the form of a dialogue, and themes can be traced easily and accurately through the process of reviewing the manuscript among the practitioners of drama better known surgical text. Surgical manuscript to help the parties involved (in the staging plan) properly interpret the author's intention on a script he wrote. Keyword: play script, manuscript review, drama learning PENDAHULUAN Pembelajaran drama selalu diidentikkan dengan masalah praktika. Baik di sekolah maupun di kelompok-kelompok teater, terdapat stereotip yang sama mengenai pembelajaran drama. Drama hampir selalu identik dengan sebuah seni pertunjukan lengkap dengan segala atribut pentasnya. Jangankan di sekolah, di kelompok-kelompok teater pun, sedikit sekali yang mengedepankan naskah drama sebagai titik tolak pembelajaran. Padahal, sebuah pertunjukan drama bermula dari sebuah teks teks drama teks yang berupa karya sastra. Itu sebabnya drama tidak dapat dipisahkan dari segi sastranya, baik berupa teks (naskahnya) maupun berupa teks lisan (dialog) yang diucapkan para aktor di atas panggung. Pembicaraan mengenai naskah drama memang belum sebanyak pembicaraan karya sastra lainnya seperti puisi atau novel. Pembicaraan mengenai naskah drama dianggap telah dapat diwakili dengan pengalihan bentuk dari naskah menjadi pementasan. Alhasil, pembicaraan pun tidak berpusat pada naskah, namun pada segi performansi, seperti properti atau gerak aktor. Di antara penonton drama yang mengapresiasi sebuah pementasan drama, sedikit sekali yang benar-benar memahami dan memaknai dialog anatartokoh sehingga tahu betul maksud pengarang dan tahu betul wacana atau tema yang ingin disampaikan pengarang yang telah ditafsirkan terlebih 33

41 dahulu oleh sutradara. Dialog aktor ialah kunci, kunci dari makna kata, kunci dari maksud pengarang memunculkan kata-kata tersebut. Persoalan lingkup artistik ialah persoalan visual yang menguatkan maksud yang ingin disampaikan pengarang sebab semuanya berpusat pada teks, pada naskah drama. Tujuan Pembelajaran Drama Tujuan pembelajaran drama sekaitan dengan tujuan pembelajaran sastra. BSNP (2006:110) menetapkan tujuan pembelajaran sastra mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai berikut. a. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. b. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. c. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. d. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial e. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. f. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. PEMBAHASAN Drama Dalam buku Dramaturgi (1993: 1), Harymawan mengatakan drama berasal dari bahasa Yunani yakni draomai yang berarti bertindak, berlaku, berbuat, beraksi, dan sebagainya. Drama lebih banyak dihubungkan dengan karya sastra, bisa juga berarti naskah lakon. Tjahyono (1988: 186) menyebutkan bahwa drama dapat diartikan sebagai bentuk seni yang berusaha mengungkapkan hal kehidupan manusia melalui gerak atau aksi dan percakapan atau yang lebih dikenal dengan dialog. Brunetire dan Balthazar Verhagen (Toni, 2006: 17) menyebutkan bahwa drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Moulton berpendapat bahwa drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, menyaksikan kehidupan manusia yang diekspresikan secara langsung. Dapat disimpulkan bahwa drama adalah cerita konflik manusia dalam naskah kemudian dipentaskan pemain teater di tempat pertunjukan dan ditonton (langsung). Drama yang dipentaskan sebagai tontonan atau pertunjukan inilah yang biasa disebut dengan istilah teater. Teater berasal dari bahasa Yunani, yaitu teatron, yang artinya sebuah tempat pertunjukan yang kadang dapat memuat sekitar penonton. Peristiwa teater tersebut berawal dari ritual keagamaan memuja Dewa Dyonisius (Dewa Kesuburan). Teater dapat juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas atau peristiwanya). Menurut Akhmad (1993:29), teater moderen merupakan bentuk teater nontradisional yang tumbuh di kota-kota besar sebagai hasil kreativitas bangsa Indonesia dalam persinggungan dengan kebudayaan Barat, lewat teaternya. Teater moderen bertolak dari sastra tulis, sastra Indonesia yang berbentuk lakon dan diikat oleh konvensi dan hukum dramaturgi. Ikun (2006:29) mengemukakan bahwa teater sebagai seni pertunjukan sering menempatkan bahasa sebagai salah satu potensi ekspresinya. Berkait dengan itu, kehadiran dan keberadaan aktor menjadi penting ketika ia harus mengartikulasikan bahasa itu. Ikun (2006: 39) menambahkan bahwa Butet menandai dua fungsi bahasa dalam seni pertunjukan yakni sebagai penyampai informasi dan sebagai alat untuk menyampaikan pikiran. Melalui media bahasa, pikiran menjadi terartikulasikan. Adapun informasi, lebih berkait pada cerita yang disajikan: kisahnya, konfliknya. Menurut Butet, makna yang berada di balik cerita itu atau pikiran-pikiran yang dibawa oleh cerita menjadi terartikulasikan oleh adanya bahasa. 34

42 Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kekuatan drama atau teater terletak pada bahasa pada kata-kata pada dialog. Bahasa (dialog) menjadi penyampai gagasan yang efektif dalam drama, baik dalam konteks sebagai teks sastra maupun dalam konteks kelisanan di atas panggung. Menurut Hae (2006:18) jika dalam sastra representasi melulu bertumpu pada bahasa, sementara pada seni lainnya, seperti seni rupa atau film, citra visual justru hadir setelah dipahami dan diuraikan oleh mata, maka teater menggabungkan keduanya. Dalam sebuah pementasan lakon kita bukan hanya menonton serangkaian lakuan, segala rupa, bentuk, suara, tetapi sekaligus masuk ke dalam tindak berbahasa tertentu. Dengan berbahasa tokoh-tokoh lakon itu bukan hanya menghidupkan karakter masingmasing melainkan juga melukiskan sesuatu kepada penonton, menceritakan dan menunjukkannya. Semua itu untuk meyakinkan mereka bahwa dunia rekaan itu layak dipercaya sebab ia tiruan yang paling meyakinkan dari dunia nyata. Atar Semi (1988: ) mengemukakan perbedaan drama dengan jenis karya sastra lainnya. 1. Drama mempunyai tiga dimensi, yakni dimensi sastra, gerakan, dan ujaran. 2. Drama memberi pengaruh emosional yang lebih kuat dibandingkan dengan karya sastra lain. 3. Bagi sebagian besar orang, menonton drama lebih menyenangkan dan menghasilkan pengalaman yang lebih lama diingat dibandingkan dengan membaca novel. 4. Drama disusun dengan suatu keterbasan. Ia dibatasi oleh dua konvensi, yaitu: intensitas dan konsentrasi. 5. Kekhususan drama yang amat penting pula adalah keterbatasan pemain-pemain secara fisik. 6. Drama memiliki keterbatasan pemanfaatan objek material. 7. Drama dapat memiliki keterbatasan bukan saja dari segi artistik tetapi juga dari segi kepentasan. 8. Keterbatasan lain yang dimiliki drama dibandingkan dengan karya sastra yang lain adalah, bahwa drama dibatasi oleh keterbatasan intelegensi rata-rata penonton. 9. Drama memiliki episode dan jumlah alur yang terbatas. 10. Naskah drama merupakan suatu karya yang isinya melalui percakapan. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hal yang membedakan antara drama dengan karya sastra lainnya, yaitu pada segi cerita, dialog, dan maksud pengarang. Dari segi cerita, isinya berupa rangkaian peristiwa yang dikaitkan secara logis dan kronologis yang dikembangkan dengan adanya konflik. Dalam drama, dialog menjadi elemen bahasa yang penting dan dominan. Jika dikaitkan dengan maksud pengarang, naskah drama dibuat oleh pengarang dan dimaksudkan untuk dapat dipentaskan di atas panggung. Drama sebagai Karya Sastra dan Pertunjukan Fortier (Azwar, 2002: 37) menegaskan bahwa drama sebagai suatu karya sastra mempunyai kekhususan dibandingkan dengan puisi atau novel. Kekhususan drama disebabkan karena tujuan penulis drama tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara imajinatif oleh para penikmat, namun harus diteruskan dengan kemungkinan dapat dipentaskan dalam suatu pertunjukan. Hasanuddin (1996:2) berpendapat bahwa selayaknya proporsi drama ditempatkan sebagai suatu karya yang mempunyai dua dimensi karakter, yaitu sebagai genre sastra dan sebagai seni lakon, peran, atau seni pertunjukan. Meskipun drama ditulis dengan tujuan dipentaskan, tidaklah berarti bahwa semua karya drama yang ditulis pengarang haruslah dipentaskan. Tanpa dipentaskan, karya drama tetap dapat dipahami, dimengerti, dan dinikmati. Pemahaman dan penikmatan atas karya sastra drama tersebut tentu lebih pada aspek cerita sebagai ciri karya sastra, dan bukan sebagai karya seni lakon. 35

43 Pendekatan terhadap drama dilakukan melalui dua cara, pertama drama sebagai sebuah bentuk kesusastraan dan kedua sebagai seni pertunjukan. Sebagai bentuk kesusastraan, hanya memperhatikan aspek tertulis saja atau yang biasa disebut dengan lakon atau naskah. Sebagai karya kreatif, drama didukung oleh beberapa hal, antara lain kreativitas pengarangnya dan realitas objektif. Selain itu, drama mengandung unsur alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar, konflik-konflik, gagasan-gagasan, serta aspek gaya bahasa. Drama sebagai seni pertunjukan dibentuk oleh unsur-unsur yang menyebabkan suatu pertunjukan dapat terlaksana dan terselenggara. Menurut Sapardi Djoko Damono (1983: 23) terdapat tiga unsur yang merupakan suatu kesatuan yang membuat drama dapat dipertunjukkan, yaitu unsur naskah, unsur pementasan, dan unsur penonton. Dalam unsur pementasan ada bagian penting lagi, yaitu komposisi pentas, tata busana, tata rias, pencahayaan, tata suara, dan unsur sutradara serta pemain. Jadi untuk membicarakan drama harus ditentukan terlebih dahulu sudut yang akan dibahas, unsur sastra atau pertunjukan, atau kedua-duanya sebagai karya drama yang terpadu. Teks dramatik dalam drama membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan teks lakon yang akan dipertunjukan. Marco de Marinis (Azwar, 2002: 38) mengemukakan pandangannya mengenai hubungan yang tercipta antara teks dramatik dan miss-en-scene, yaitu terwujudnya teks drama menjadi pertunjukan. Ia menambahkan bahwa masih terdapat kecenderungan pada para ahli teori drama untuk menempatkan teks dramatik pada posisi yang lebih prioritas dalam hubungannya dengan perwujudan teks dramatik dalam pertunjukan, namun banyak juga yang menganggap sebaliknya. Ia melanjutkan bahwa sebetulnya para penulis drama telah membayangkan bagaimana naskah tertulisnya dapat diwujudkan pada waktu penulis menuliskannya. Teks pertunjukan membahas segala hal yang berkaitan dengan pertunjukan. Dalam hal ini, Marco de Marinis (Azwar, 2002: 28) mengatakan bahwa bila kita membicarakan tentang suatu teks pertunjukan, ini berarti pertunjukan teater tersebut dapat dianggap sebagai teks. Hubungan karya sastra sebagai sebuah genre dapat dilihat pada bagan yang dikemukakan oleh Arthur S. Nalan (1993: 49). Sebagai genre sastra, domain penelitian meliputi drama, naskah, teater, dan pertunjukan. Drama merupakan domain seorang pengarang, naskah adalah domain sutradara, teater adalah domain sumber kreativitas sutradara, dan pertunjukan adalah domain publik. Kompleksitas adalah ciri dunia teater, saling terikat dan saling ketergantungan, satu saja terlepas dari domainnya, tidak tepat dikatakan sebagai ciri dunia teater (bagan 1); domain drama memiliki hubungan keutuhan yang diperlihatkan oleh lingkaran demi lingkaran (bagan 2); domain teater merupakan interaksi timbal balik dalam dua unikom (khusus) kelompok; pertunjukan adalah domain publik, tanpa publik, pertunjukan tak berarti apa-apa, keduanya merupakan pasangan abadi (bagan 3). Saini K.M. (1993: 23-24) mengatakan bahwa sebagai suatu genre, sastra-lakon tidak semata-mata berbeda secara anatomis dan fisiologis dari genre sastra lainnya, melainkan juga secara ekologis. Sebuah karya sastra lakon tidak semata-mata berbeda dari genre lain karena kenyataan sebagian besar terdiri dari dialog, 36

44 atau karena hubungan dialog dan petunjukpengarang (author s direction). Seorang dramawan dikelilingi oleh empat pihak yang mungkin menjadi pembacanya, yaitu (calon) sutradara, (calon) pemeran, (calon) penata artistik, dan sedikit pembaca biasa. Nalan (1993: 47-48) mengemukakan bahwa naskah adalah domain seorang pengajar, guru, dan master. Ketiga sebutan tersebut adalah sebuah peranan dari seorang sutradara yang juga seorang pengajar, guru, dan master. Naskah adalah sumber kreativitas sutradara. Kreativitas yang didasari n Ach (singkatan dari need for Achievement, kemampuan untuk meraih hasil dan prestasi). Pembelajaran Naskah Drama Dalam kondisi normal, sebuah lakon yang dipentaskan bersumber dari seorang penulis lakon. Ia akan melahirkan naskahnaskah konvensional dengan segala tertib teknisnya, tetapi mungkin pula ia melahirkan naskah-naskah eksperimental dengan sosok bentuk yang lebih bebas (Anirun, 1998: 53). Naskah drama selalu berhubungan erat dengan kisah manusia yang tak bisa lepas dari hukum sebab dan akibat (Riantiarno, 2003: 15). Anirun (2002: 56) mengungkapkan dalam mempersiapkan sebuah pertunjukan drama, naskah lakon adalah instansi pertama yang berperan sebelum sampai ke tangan para sutradara dan para aktor. Naskah lakon dapat berdiri sendiri sebagai bacaan berupa buku cerita, tetapi ketika naskah itu akan dimainkan, biasanya diproses kembali dalam format yang khusus, yang digunakan oleh para pemain dan awak produksi. Naskah lakon merupakan penuangan dari ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan lakon. Seorang penulis lakon dalam proses berkaryanya biasanya bertolak dari tema cerita. Tema itu disusun menjadi sebuah cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa yang memiliki alur jelas. Dalam penyusunannya, penulis lakon harus berpegang pada azas kesatuan atau unity. Aristoteles menggariskan tiga azas kesatuan yakni kesatuan waktu, tempat, dan lakon. Menyikapi keterkaitan naskah drama dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, lebih lanjut Anirun (2002: 58) mengungkapkan naskah lakon adalah sumber ide-ide laku bagi seorang pemain atau aktor. Fungsi pertama naskah lakon adalah memberi inspirasi kepada para seniman penafsir. Fungsi kedua adalah memasok kata-kata yang harus diucapkan oleh aktor. Itu sebabnya naskah lakon biasa disebut buku kata-kata atau buku teks. Dari teks dialog dan petunjuk laku, aktor mendapatkan banyak petunjuk pola laku dan tindakan-tindakan yang harus dilakukannya. Menurut Anirun (2002: 59), sutradara adalah pihak yang paling kritis dalam menghadapi sebuah naskah. Dari naskah yang baik, sutradara akan mendapatkan rangsangan-rangsangan ke arah terbukanya konsep-konsep teateral. Sutradara akan mengkaji naskah secermat mungkin, meliputi tema, titik pandang, semangat, dan gaya atau bentuk. Tema cerita adalah ide filosofis dari lakon. Tema adalah dasar penentuan sosok lakon dalam satu citra kesatuan. Titik pandang adalah kecenderungan nilai-nilai subjektif yang berkembang dari naskah menjadi kenyataan atau realita di pentas. Semangat atau spirit dikembangkan dari tema cerita menjadi peristiwa-peristiwa yang hidup, yang mampu mengembangkan semangat penonton untuk terlibat dalam atmosfer teateral tertentu. Gaya penampilan bertolak dari tema, titik pandang dan semangat yang dikembangkan melalui suatu perencanaan dengan pola-pola pengadegan dan pola-pola laku. Anirun (2002: 59) mengungkapkan dalam naskah lakon untuk panggung, pengertian bingkai waktu dan tempat perlu dijabarkan sebagai keharusan adanya penyesuaian atau konsentrasi terhadap keberadaan panggung sebagai sarana utama penampilan lakon. Panggung dengan segala kemungkinan tekniknya, tata cahaya, tata suara, dan tata peralatan yang tersedia adalah persinggahan terakhir dari karya lakon yang dipentaskan. Untuk mencapai efek optimal yaitu tercapainya peristiwa teater yang ideal, para pemain harus 37

45 mendapatkan sarana laku dan peristiwa yang didapatkan dari naskah lakon, yang harus memenuhi kebutuhan transformasi dari bentuk ide-ide ke dalam kenyataan laku teater. Pembelajaran naskah drama acap kali terlupakan sebab naskah drama baru dianggap dapat berbicara atau berfungsi ketika sudah mendapatkan perlakuan alih wahana berupa sebuah pementasan. Padahal, dialog yang diucapkan aktor di atas panggung, semuanya bermula dari sebuah teks sastra. Terlebih, pembelajaran drama di sekolah tidak terlaksana sebagaimana mestinya disebabkan guru bidang studi yang tidak menguasai seni peran. Sesungguhnya, guru bidang studi tidak perlu menguasai seni peran secara mumpuni. Seorang guru bahasa dan sastra Indonesia idealnya sudah menguasai masalah logika kalimat. Setiap kalimat memiliki logikanya tersendiri, memiliki maknanya sendiri, terlebih lagi memiliki emosinya sendiri. Setiap dialog yang terdapat dalam naskah dibuat dari kalimat-kalimat tokoh yang suatu saat akan diperankan oleh seorang aktor. Setiap dialog tersebut memiliki maknanya tersendiri sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan pengarang yang diwakili oleh tokoh yang dibuatnya. Dialog dalam naskah drama harus dapat diucapkan atau disampaikan dengan tepat. Untuk dapat menyampaikan dialog/kalimat dengan benar, otomatis seorang aktor harus memahami makna dialog/kalimat yang diucapkannya. Sekaitan dengan hal tersebut, guru bahasa Indonesia sudah semestinya menguasai mengenai makna kalimat. Pembelajaran naskah drama dapat dimulai dari bedah naskah sebab drama memiliki dimensi sebagai teks dan dimensi sebagai pertunjukan. Pembicaraan drama sebagai sebuah teks acap kali dikaitkan pula dengan segi performansinya sebab kepentingan pembuatan teks drama pada akhirnya untuk dipentaskan. Bedah naskah dilakukan secara bersama-sama oleh guru dan siswa agar siswa dapat memahami dialog yang terdapat dalam naskah drama. Bedah naskah ialah suatu kegiatan yang berupaya mengetahui hal-hal yang terdapat di dalam naskah. Hal tersebut di antaranya meliputi tema, maksud pengarang, maksud kata atau kalimat, dan kemungkinan konsep pemanggungannya. Bedah naskah berfungsi untuk mengetahui seluk-beluk mengenai teks drama. Karakter tokoh, motivasi, konflik, termasuk gerak atau lakuan tokoh. Bedah naskah menjadi satu peristiwa awal yang sering dilupakan oleh banyak kelompok teater dalam mempersiapkan pertunjukan. Terlebih lagi dalam pengajaran drama di sekolah. Alokasi waktu menjadi alasan mutlak dilewatkannya proses bedah naskah padahal sebuah pementasan bermula dari sebuah teks. Selain persoalan alokasi waktu, persoalan guru yang beralasan pembelajaran naskah drama identik dengan mementaskan drama menjadi satu permasalahan pengajaran drama di sekolah. Bedah teks tidak melulu selalu membutuhkan waktu yang lama, namun dapat disiasati dengan sekali pertemuan untuk membicarakan hal-hal menarik atau penting yang terdapat dalam naskah, tentunya diawali kegiatan membaca naskah terlebih dahulu. Untuk memulai bedah naskah, pertama-tama dapat memunculkan persoalan yang dialami tokoh lalu dapat beralih pada persoalan motivasi respon tokoh atas dialog atau motivasi tokoh yang dilatarbelakangi peristiwa yang telah atau akan terjadi (dalam teks). Melalui cara seperti itu, para siswa tergerak untuk mengetahui karakter tokoh, motivasi dialog, dan maksud pengarang. Kegiatan membaca naskah (reading) dapat menjadi titik awal memahami isi naskah yang berupa dialog dan kramagung. Dalam menyikapi naskah drama, semua siswa mendapatkan porsi yang sama yakni sebagai penafsir, sebagai penerjemah teks agar dapat menafsirkan karakter tokoh dengan benar sehingga dapat memainkan peran sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang. Pembelajaran drama di sekolah sebenarnya bermula dari drama sebagai teks sastra, bukan drama sebagai seni pertunjukan. Meskipun pembelajaran drama sebagai seni pertunjukan, namun tetap pertunjukan tersebut bermula dari sebuah teks/naskah. Itu sebabnya, kemampuan 38

46 menafsirkan teks dengan benar sudah menjadi hal mutlak para calon awak pentas. Naskah drama memiliki daya tarik yang tidak dimiliki prosa. Jika prosa kurang bisa diapresiasi jika dibacakan secara bergantian, maka tidak demikian dengan naskah drama. Beberapa siswa dapat membacakan dialog tokoh kemudian siswa lainnya mendapat giliran serupa. Mempelajari naskah drama dengan cara seperti itu akan membuat siswa merasa mempersiapkan diri untuk berpraktik secara utuh, meskipun hanya baru pada tingkatan membaca saja. Dalam hal ini, guru dapat memberikan penjelasan pada bagian kramagung yang harus menjadi perhatian siswa sebagai calon awak pentas, dan juga dialog yang harus diperhatikan dari segi jeda, intonasi, tempo, dan ekspresi yang merupakan perwujudan dari emosi, juga makna kalimat. Melalui kegiatan bedah naskah, siswa diajak secara bersama-sama merumuskan karakter tokoh, latar, jalan cerita, dan hal lainnya sebagai kristalisasi dari kegiatan berdiskusi. Dalam konteks pertunjukan umum (profesional, bukan untuk kebutuhan pembelajaran di sekolah), bedah naskah dilakukan dengan membongkar naskah secara bersama-sama. Bedah naskah diikuti oleh sutradara, para aktor, dan para penata. Tak jarang pula, bedah naskah diikuti oleh tim produksi guna mendapatkan pemahaman yang sama, terlebih untuk kebutuhan promosi dan publikasi. Bahkan, seyogianya bedah naskah dilakukan dengan menghadirkan seorang dramaturg, yakni orang yang memahami konvensi aturan drama dan memahami naskah yang akan dipentaskan. Seorang dramaturg bahkan akan memberikan saran mengenai kalangan publik yang dirasa cocok untuk mengapresiasi pertunjukan yang sedang dipersiapkan tersebut. Pada beberapa kelompok teater di Indonesia, kehadiran seorang dramaturg nyaris dirasa kurang penting sebab fungsinya dalam hal mengulas dan menginterpretasikan naskah (untuk pertama kali) sudah diwakili oleh sutradara. Itu sebabnya pada beberapa kelompok teater di Indonesia, jarang ditemukan keterlibatan seorang dramaturg dalam sebuah pementasan. Beberapa kelompok lebih memilih menghadirkan konsultan literatur yang hanya mengulas persoalan isi naskah tanpa mengulas elemen-elemen lainnya dalam hal keutuhan sebuah seni pertunjukan_pementasan. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran naskah drama dapat dilakukan dengan kegiatan bedah naskah. Melalui bedah naskah, terjalin komunikasi yang terpadu dan terarah untuk menafsirkan dialog/kalimat. Melalui bedah naskah, kesulitan dalam memahami dialog atau menginterpretasikan karakter tokoh akan dapat teratasi sebab terjadi diskusi secara simultan selama proses latihan. Bedah naskah dapat dilakukan untuk kepentingan persiapan pementasan atau bahkan tidak sama sekali. Bedah naskah dapat dilakukan guna mengetahui karakteristik atau maksud pengarang atas pembuatan suatu naskah, tanpa harus mengalihwahanakannya terlebih dahulu menjadi sebuah pementasan. Bedah naskah pun dapat menjadi solusi menumbuhkan minat baca terhadap naskah drama pada siswa di sekolah mengingat pengajaran naskah drama di sekolah acap kali selalu dikaitkan dengan penampilan tiap kelompok dalam bentuk rangkaian pentas. DAFTAR RUJUKAN Akhmad, A. Kasim. (1993). Bentuk dan Pertumbuhan Teater Kita. Teater untuk Dilakoni: Kumpulan Tulisan tentang Teater. Bandung: CV Geger Sunten. Anirun, Suyatna. (1998). Menjadi Aktor: Pengantar kepada Seni Peran untuk Pentas dan Sinema. Bandung: Rekamedia Multiprakarsa. Anirun, Suyatna. (2002). Menjadi Sutradara. Bandung: STSI Press. BSNP. (2007). Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP. Hae, Zae. (2006). Ihwal Kelisanan di Atas Panggung. Lebur 05. Edisi 05: 39

47 halaman 17. Yogyakarta: Yayasan Teater Garasi. Harymawan, RMA. (1993). Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Saini. (1993). Teater dan Sastra Lakon Dasawarsa Teater untuk Dilakoni: Kumpulan Tulisan tentang Teater. Bandung: CV Geger Sunten. Saini. (1983). Teater sebagai Lembaga Pendidikan. Bagi Masa Depan Teater Indonesia. Bandung: PT Granesia Bandung. Nalan, Arthur S. (1993). Domain Teater. Teater untuk Dilakoni: Kumpulan Tulisan tentang Teater. Bandung: CV Geger Sunten. Riantiarno, Nano. (2003). Menyentuh Teater: Tanya Jawab Seputar Teater Kita. Jakarta: MU:3 Books. Ikun. (2006). Interview: Landung Simatupang. Lebur 05. Edisi 05: halaman 29. Yogyakarta: Yayasan Teater Garasi. Ikun. (2006). Interview: Butet Kertaredjasa. Lebur 05. Edisi 05: halaman 39. Yogyakarta: Yayasan Teater Garasi. Tjahjono, Tengsoe Liberatus. (1988). Sastra Indonesia: Pengantar, Teori, dan Apresiasi. Ende: Nusa Indah. Toni. (2006). Sarkasme Remaja dalam Pementasan Babi-babi Disko oleh Mainteater Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Hasanuddin. (1996). Drama dalam Karya Dua Dimensi: Kajian Sejarah dan Analisis. Bandung: Angkasa. 40

48 ANALISIS KESALAHAN SISWA PADA PEMBUATAN KALIMAT PASIF Asep Rizki Mukti Universitas Perjuangan Tasikmalaya Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesalahan yang dibuat oleh siswa penyebab kesulitan yang dihadapi siswa dalam membuat penelitian voice. Penelitian ini dilakukan di kelas XI SMA Muhammadiyah Tasikmalaya. Sumber data adalah kelas XI IA2 yang terdiri dari 20 siswa dan wawancara dilakukan dengan tiga siswa untuk mengetahui kesulitan yang dialami. Dalam pengumpulan data, penulis memberikan tes dan wawancara. Untuk menghitung data yang diperoleh, penulis menggunakan metode deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 'kesalahan dalam penggunaan subjek 'adalah 31,37%, sedangkan kesalahan dalam penggunaan to be adalah 34.07%, dan sebanyak 34,56% adalah kesalahan dalam penggunaan past participle. Kesalahan yang sering dilakukan oleh siswa adalah pada bentuk past tense dan kalimat tanya. Untuk menentukan jenis kesalahan siswa, penulis melakukan analisis berdasarkan jenis kesalahan: omission, addition, misformation, misordering, dan blends. Faktor yang menyebabkan kesalahan antara lain: overgeneralization, simplification, developmetal error, error based communication, induced error, error of avoidance, dan error of overpro-. Secara umum, siswa membuat kesalahan karena siswa masih tidak mengerti bagaimana membuat kalimat pasif. Kata kunci: Analisis kesalahan, kalimat pasif, omission, addition, misformation, misordering, blends, overgeneralization, simplification, developmetal error, communication based error, induced error, error of avoidance, dan error of overpro- THE ANALYSIS OF STUDENTS ERRORS IN MAKING PASSIVE VOICE ABSTRACT The aim of this research are to find out error made by the students in making passive voice and what the causes of students difficulties in making passive voice.this research was done in class XI SMA Muhammadiyah Tasikmalaya. The data source is a class XI IA2 consisting of 20 students and interviews were conducted with three students to know the difficulties what they experienced.in collecting the data, the writer provides a test and interview. To calculate the data obtained, the writer uses descriptive method.the results shows that students' errors in using the 'subject' is 31.37%, 34.07% error in using the 'to be', and 34,56% error in using 'past participle'. Errors often made by students are in using past tense and interogative form. To determine the type of students error, the writer analyzed based on the type of error: omission, addition, misformation, misordering and blends. Factors causing the errors: overgeneralization, simplification, developmetal error, error based communication, induced error, error of avoidance, and error of overpro-. In general, students make mistakes because the students still do not understand how to make passive voice. Keywords : Error analysis, passive voice, omission, addition, misformation, misordering, blends, overgeneralization, simplification, developmetal error, communication based error, induced error, error of avoidance, dan error of overpro- INTRODUCTION Language is a means of communication used by humans in the process of interaction. It is in line with the opinion that is cited by Priestley as quoted by Alwasilah, A. Chaedar (1993:9), "Language is a method of conveying our ideas to the minds of other persons; and the grammar of any language is a collection of observations on the structure of it and a system of rules for proper use of it." It means that language is a way of delivering our ideas to the minds of others; and grammar of any language is a set of top review of its structure, and usage rules system which is perfect. Based on this 41

49 opinion, a good and correct grammar effect the language used in interaction. As social human beings, humans can not be separated from the process of interaction. It is required a good and correct grammar mastery of the language, so that there will be no communication errors occur in the process of interaction. By a good communication, it will certainly produce a good relationship as well. Students are required to formulate a sentence correctly. It is intended that the students can apply English skills in their daily life. To be able to speak and to write in English properly, the students need to master in learning English. One of them is mastering the grammar. The sentences in correct grammar will be easy to understand, or misunderstanding can be avoided. This statement is in line with the opinion of Frank Palmer, as quoted by Alwasilah, A. Chaedar (1993:31), "Grammar is something that can be good or bad, correct or incorrect. It is (bad), incorrect grammar to say 'It's me', for instance." It means that grammar is something that can make sentences good or bad, right or wrong. It is wrong when people say 'It's me'. Grammar Mastery has a role in communication. Writing sentences in correct grammar will avoid misunderstanding. One of the grammatical discussions is the use of passive voice. Passive voice is a sentence using the subject or the culprit as the object of the change in the active voice. In this case, the perpetrator in the passive voice structure turned into an object because of the change from an active voice. In learning passive voice needs comprehension to formulate the words correctly, to place the words, and to choose the right words in making passive voice in English. The students have difficulties in learning passive voice because of the lack of knowledge, particularly in the rule of language (Grammar) about passive voice. It requires knowledge about the rules of language, so that in learning process, students can avoid errors. Errors in passive voice is generally caused by the lack of knowledge about the rules of language (Grammar). This statement is stated by Chomsky and Corder as quoted by Tarigan, Henry Guntur and Djago Tarigan (1995:143), "Kesalahan yang diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai kaidah-kaidah bahasa sebagai faktor kompetensi merupakan penyimpangan-penyimpangan sistematis yang disebabkan oleh pengetahuan pelajar yang sedang berkembang mengenai sistem B2 (atau bahasa kedua) disebut errors. It means that errors caused by the lack of knowledge about the rules of language as a competence factor is the systematic deviations caused by the students knowledge which is developing about the system of L2 (or second language) called 'errors'. Competence factors also effect on the students' knowledge and because of the lack of students competence so that students often deviate and make errors in using language, especially in making passive voice which is called students' errors. Definitions of Active and Passive Voice To be able to make passive voice, the students have to learn how to make active voice. According toramlan (2001:139), "Kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai pelaku actor." It means that active voice is the sentence that the subject takes the role as an actor. Thepattern of active voice is that the subject is put as the perpetrator. Activevoice is the sentence that the subject of the sentence is the perpetrators of an action. According toswan, Michael (2005:xvii), "The subject of an active verb is usually the person or thing that does the action, or that is responsible for what happens. The subject in active voice has a role as an actor that takes an action. In the active voice, there are several patterns of words that have meaning so as to form a series of sentences. The subject in active voice takes an action in the sentence. There is passive voice besides active voice in the sentence. According to Thomson, A.J. and A. V. Martinet (1986:263), "The passive of an active tense is formed by putting the verb to be into the 42

50 same tense as the active verb and adding the past participle of the active verb. Passive voice from active voice is the tense whichis formed by putting the verb to be into the same tense as the verb and adding the past participle of the active verb. Passive voice uses the past participle and adding to be so that becoming different sentences pattern with active voice. Whereas passive voice according toswan, Michael (2005:xxii),"A passive verb form is made with be + past participle, the subject of a passive verb form is usually the person or thing that is affected by the action of the verb." It means that passive participle is a verb phrase that serves as a form of adjective in a passive sense (ending -ed) it does not irregular. Based on these definitions, the researcher concludes that the passive voice is a sentence that has verb form as subject and the subject is affected by the action of the verb that adds to be and past participle.it is produced as a change in the active voice that uses the subject as an actor. Forms of Passive Voice The following chart shows the passive form of the various tenses: Table 1.1 Various of Passive Voice Forms From the chart above, the researcher concludes that not all of the active forms can be changed into passive forms, they are: Present Perfect Continuous, Past Perfect Continuous, Future Continuous, Past Future Continuous, Future Perfect Continuous, and Past Future Perfect Continuous. There are many kinds of passive forms, According to Thomson, A.J. and A. V. Martinet (1986:263), The subject of the active verb becomes the agent of the passive verb, the agent is very often not mentioned, when it is mentioned it is preceded by by and placed at the end of the clause. They divide kinds of passive forms into 5 forms, as follows: 1) Examples of present, past and perfect passive tenses: Active: We keep the butter here. Passive: The butter is kept here Active: They broke the window. Passive: The window was broken. Active: People have seen wolves in the streets. Passive: Wolves have been seen in the streets. 2) The passive of continuous tenses requires the present continuous forms of to be, which are not otherwise much used: Active: They are repairing the bridge. Passive: The bridge is being repaired. Active: They were carrying the injured player off the field. Passive: The injured player was being carried off the field. Other continuous tenses are exceedingly rarely used in the passive, so that the sentences such as: They have/had been repairing the road and They will/would be repairing the wood. Are not normally put into passive. 3) Auxiliary + infinitive combinations are made passive by using a passive infinitive: Active: You must/should shut these doors. Passive: These doors must/should be shut. Active: They should/ought to have told him. (Perfect Infinitive Active) Passive: He should/ought to have been told. (Perfect Infinitive Passive) 4) Other Infinitive Combinations Verbs of liking/loving/wanting/wishing etc. + object + infinitive form their passive with the passive infinitive: Active: He wants someone to take photographs. Passive: He wants photographs to be taken. 43

51 With verbs of command/request/advice/invitation + indirect object + infinitive we form the passive by using the passive form of the main verb: Active: He invited me to go. Passive: I was invited to go. But with advise/beg/order/recommend/urge + indirect object + infinitive + object we can form the passive in two ways: by making the main verb passive, as above, or by advise etc. + that... should + passive infinitive: Active: He urged the Council to reduce the rates. Passive: The Council was/were urged to reduce the rates or He urged that the rates should be reduced. Agree/be anxious/arrange/be determined/determine/decide/ demand + infinitive + object are usually expressed in the passive by that... should. As above: Active: He decided to sell the house. Passive: He decided that the house should be sold. 5) Gerund Combinations Advise/insist/propose/recommend/sug gest + gerund + object are usually expressed in the passive by that... should. as above: Active: He recommended using bulletproof glass. Passive: He recommended that bulletproof glass should be used. It/they + need + gerund can also be expressed by it/they/ + need + passive infinitive. Both forms are passive in meaning. Other gerund combinations are expressed in the passive by the passive gerund: Active: I remember them taking me to the zoo. Passive: I remember being taken to the zoo. (Thomson, A.J. and A. V. Martinet 1986:263) Based on the descriptions above, not all of the tenses can be changed into passive forms, and there are several forms that have functions as passive forms. Definitions of Error Analysis Error is a deviance caused by some failures that can not be realized. According to Corder, S.Pit as quoted by James, Carl (1998:79), "Errors are the result of some failures of performance."therefore, students' errors are the errors that are resulted from the students performance. In linguistic studies, the error is a failure in the process of learning a languageresulted from an incident, background, nature, and causes of failure itself. According to Edge as quoted by James, Carl (1998:80), "Errors are wrong forms that the pupil could not correct even if their wrongness were able to be pointed out." Errors can not be realized by the students and it can not be self-corrected. There are differences between error and mistake, According to James, Carl (1998:83), Mistakes can only be corrected by their agent if their deviance is pointed out to him or her. If somebody does a mistake then it can be corrected by self and it can be realized, but it is different with error, Errors can not be self-corrected until further relevant (to that error) input (implicit or explicit) has been provided and require further relevant learning to take place before they can be self-corrected. Error can not be corrected by self and realized then it needs learning to correct the error. In an appearance and case studies,error can be describedby a mistake in applying the theory. According tocorder, S. Pit (1981:36), "Errors are described by the application of linguistic theory to the data of erroneous utterances produced by a learner or a group of learners." Mistake and error can be found from the linguistic theories used by students who may cause a failure. Error analysis is an analysis of errors conducted to determine students' difficulties in learning subject. According to Corder, S.Pit (1981:45), The theoretical aspect of 44

52 error analysis is part of the methodology of investigating the language learning process. In this case, error analysis has role to find out the students errors especially in language learning process particularly in English. From the discussions above, it can be concluded that the error is the deviance due to the failures caused by thelinguistic theory applied, and errors occur in communication unconsciously. To find out the students errors, it uses error analysis particularly in language learning in English. Based on the discussions above, the researcher concludes that the errors of students in using passivevoice can be analysed because it is directly related to the function of grammarused in terms of morphology and syntax that haverelationship with linguistics. The analysing of the errors can use the theory that emphasizes on the function of linguistic and grammar. Subtypes of Error There are several indicators in the error analysis, which consists of error subtypes. According to Dulay, Burt, and Krashen, as quoted by James, Carl (1998:106), there are five different subtypes that are more complete. They are: a. Omission This is to be distinguished from ellipsis (E), and from zero (Z), elements which are allowed by the grammar (indeed are powerful grammatical resources), whereas omission is ungrammatical. it tends to affect function words rather than content words at least in the early stages. b. Addition This manifestation of error, Dulay, Burt, and Krashen suggest, is the result of alltoo-faithful use of certain rules, and they suggest there are subtypes. first, regularization, which involves overlooking exceptions and spreading rules to domains where they do not apply, for example producing the regular buyed for bought. c. Misformation This is Dulay, Burt, and Krashen's third category, and again they identify three subtypes. they define misformation as use of the wrong form of a structure or morpheme, and give examples like: i seen her yesterday. d. Misordering This category is relatively uncontroversial. Part of linguistical competence, in addition to selecting the right order. Some languages have stricter word-order regulation than others. e. Blends There is one category that complements the Target Modification taxonomy. It is typical of situations where there is not just one well-defined target, but two. The learner is undecided about which of these two targets he has 'in mind'. In such situations the type of error that materializes is the blend error, sometimes called the contamination of crossassociation or hybridization error. Blending is exemplified in which arises when two alternative grammatical forms are combined to produce an ungrammatical blend according to Erica's opinion. Based on the subtypes of errorabove, it can be concluded that the error is occurred because of some indicators that can lead to errors. Mistake usually occurs in the placement, preparation, selection, and use of the theory applied to make a passive voice. Factors Influencing Error Errors in the performanceare caused by the failure as the effect ofthe errors,the nature, appearance, incidence,and educationalbackgrounds. According toselinker as quoted by Tarigan, HenryGuntur and Djago Tarigan (1995:171), Kesalahan interlingual yaitu kesalahan yang diperkirakan sebagai akibat kesalahan interlingual transfer bahasa dengan yang dikategorisasikan sebagai: 45

53 1) Overgeneralization Kesalahan yang disebabkan oleh perluasan kaidah-kaidah bahasa sasaran pada konteks-konteks yang tidak tepat. 2) Simplification Kesalahan yang diakibatkan oleh reduksi atau pengurangan yang berlebihan. 3) Developmental Error Kesalahan yang mencerminkan tahaptahap yang terjadi dalam perkembangan linguistik. 4) Communication Based Error Kesalahan yang diakibatkan oleh siasatsiasat komunikasi. 5) Induced Error Kesalahan yang berasal dari pengurutan dan penyajian unsur-unsur bahasa sasaran. 6) Error of Avoidance Kesalahan yang diakibatkan oleh kegagalan yang menggunakan tipe-tipe tertentu ciri-ciri bahasa sasaran karena adanya kesukaran yang terasa. 7) Error of Overpro- Kesalahan yang diakibatkan oleh penggunaan ciri-ciri bahasa sasaran yang benar tetapi dipakai terlalu sering. It means that: Interlingual errors are errors that expected as a result of language transfer interlingual errors with a categorized as follows: 1) Overgeneralization Errors caused by the expansion rules of the target language in contextsthatare not appropriated. 2) Simplification Errors caused by the reduction or reduction of overload. 3) Developmental Error Errors that reflect the stages that occur in linguistic development. 4) Communication Based Error Errors caused by the tricks of communication. 5) Induced Error Errors come from the sorting and presentation of the elements of the target language. 6) Error of Avoidance Errors caused by failure to use certain types of characteristics of the target language because of the difficulties that felt. 7) Error of Overpro- Errors caused by the use of the characteristics of the correct target language which is right but used too often. Erros can be corrected if there is no intention to change it and certainly have the ability in linguistic theory used to make passive voice and to use it properly and well. So that the errors will not be happened in applying language particularly in using passive voice RESEARCH METHODOLOGY In this research, the researcher uses the descriptive method to know the difficulties faced by the students in using passive voice. This method is used to analyse the errors faced by the students in using passive voice. Technique of Collecting the Data To get the complete data, the researcher uses test and interview. Test is used to find out the students errors in using passive voice. The type of test used is subjective test. The test consists of 10 numbers about passive voice that is converting tests. Interview is used to get the data about students difficulties more complete in using passive voice. The interview is done by recording interviews. In doing interview the researcher chooses 3 students to be interviewed, they consist of 1 student who gets the highest mark, 1 student who gets medium mark, and 1 student who gets the lowest mark. The interview consist of 3 questions. Data and Source of the Data Data in this research are obtained from the result of the testand interview about the difficulties faced by students in using passive voice.in this research, the researcherconductes a research on the subject of the research to obtain the desired data. In this research, the researcher takes the students in grade XI IA2 consisting of 20 students and 3 students to be interviewed. 46

54 This research was conducted in August 2011 in class XI SMA MuhammadiyahTasikmalaya. Technique and Analysis of the Data In this research, the researcherclassifies the students' errors in using passive voice in two general categories, namely in terms of the use of to be and past participle. Furthermore, the researcher uses percentage formulafrom Ali, Mohammad (1985:184): P = x 100% Where: P :Percentage of the students errors of each category. N :Total numbers of the students errors of each category. N : Total numbers of the students errors. Furthermore,the researcheridentifies, analyses and classifies the responses and the questionnaire based on the reasons of the students difficulties in usingpassivevoice. To determine the types of students errors, the researcher uses the error indicator as follows: 1. Omission is the type of error that students make the words disappear. 2. Addition is the type of error that students add the words in the sentence. 3. Misformation is the type of error that students can not select the correct words to make the sentence. 4. Misordering is the type of error that students can not select the right forms to use in the right context. 5. Blends is the type of error that students are fail to make a clear choice in producing structure of the sentence. Meanwhile, to find out the cause of the students errors, the researcher uses the following indicators of error analysis: 1. Overgeneralization is factor of the error that occurs because of the expansion of the rules of the target language that are not appropriated. 2. Simplification is factor of the error caused by overload reduction. 3. Developmental Error is factor of the error that reflect the stages occur in linguistic development. 4. Communication Based Error is factor of the error caused by the tricks of communication. 5. Induced Error is factor of the error comes from arrangement and presentation of the target language elements. 6. Error of Avoidance is factor of the error caused by the failure to use certain types of the characteristic of the target language. 7. Error of Overpro- is factor of the error caused by the use of the characteristics of the correct target language. To make the data easy to analyse, the researcher makes some codes, as follows: Table 2.1 The Coding of the Data The uses of coding are (1) to ease the identification of phenomenon, (2) to ease the calculation of the frequency of existing phenomenon, (3) to show the tendency of collected data from the frequency of existing code, and (4) to help in arranging categories and subcategories. Steps of the Research In doing this research, the researcher takes the following steps: 1. Formulating the problem and the aim of the research; 2. Determining the data and source of the data; 3. Makingthe research instruments; 4. Giving tests to the sample groups; 5. Collecting test results and identifying the mistakes made by students; 6. Giving an interview to find out the difficulties faced by students; 7. Analysing the data of test results; 8. Analysing the result of interview; 9. Makingthe research report. 47

55 RESEARCH FINDINGS AND DISCUSSION After analysing the data, the researcher gets the result of this research, as follows: 1. The percentage of the students errors in using subject in making passive voice is as follows: P = x 100% = x 100% = 31.37% 2. The percentage of the students errors in using to be in making passive voice is as follows: P = x 100% = x 100% = 34.07% 3. The percentage of the students errors in using past participle in making passive voice is as follows: P = x 100% = x 100% = 34.56% Based on the research result above, the highest error is in using past participle (34.56%), medium error is in using to be (34.07%), and the lowest error is in using subject (31.37%). This result indicates that the students understanding in making passive voice is still weak. Furthermore, the researcher presents the errors made by the students and the factors causing the students to make error in using passive voice are as follows: Question number 1 We usually do the homework together. There are 18 students who make error in answering this number. It means that 2 students answer it correctly. Incorrect answer : *The homework usually did together by we. Correct answer : The homework is usually done by us together. The type of error made by the students are omission and misformation. Omission occurs because the students do not use to be (is). Misformation occurs because the students are wrong to select the correct verb did it should be done. The factors causing the errors are simplification, induced error, and error of avoidance. Simplification is caused by the overload reduction. The students do not use to be (is) in making passive voice. Induced error is caused by the arrangement and presentation in making sentence. The students arrange and presentate passive voice incorrectly. Error of avoidance is caused by the failure and difficulty in using certain types of the characteristics of the target language. The students do not use to be and they are wrong to select the word did it should be done, and they are wrong to use the subject we it should be us. Question number 2 Did you put your shoes in the shelf? All students make error in answering this number. Incorrect answer : *Did your shoes put by you in the shelf? Correct answer : Are your shoes put by you in the shelf? The type of error made by the students is omission. Omission occurs because the students do not use to be (are). The factors causing the error is simplification. Simplification is caused by overload reduction. The students do not use to be (are) in making passive voice. Question number 3 Where did they sell the book? All students make error in answering this number. Incorrect answer : *Where did the book sold by you? Correct answer : Where was the book sold by you? The type of error made by the students is omission. Ommision occurs because the students do not use to be (was). The factors causing the error is simplification. Simplification is caused by overload reduction. The students do not use to be (was) in making passive voice. 48

56 Question number 4 Does she write the letter every day? There are 19 students who make error in answering this number. It means that there is only one student answer it correctly. Incorrect answer : *Does the letter is written by her every day? Correct answer : Is the letter written by her every day? The type of error made by the students is addition. It occurs because the students add the words does. The factors causing the errors are induced error and developmental error. Induced error is caused by wrong arrangement and presentation of the sentence. The students are wrong to arrange the sentences into passive voice. Developmental error is caused by the steps that occur in linguistic development. The students add the word does that should not be used in making passive voice. Question number 5 They offered me a new job last week. There are 13 students who answer this number correctly. It means that 7 students make error in answering it. Incorrect answer : *A new job is offered by them last week. Correct answer : A new job was offered by them last week. The type of error made by the students is misformation because the students are wrong in selecting to be (is). It should be past form (was) The factor causing the error is overgeneralization. It is caused by the expansion rules of the target language in contexts that are not appropriated. The students should make passive voice in past form not in present form. Question number 6 My mother always makes me a cup of tea every morning. There are 5 students who make error in answering this number. It means that 15 students answer it correctly. Incorrect answer : *My mother is always makes me a cup of tea every morning. Correct answer : A cup of tea is always made by my mother every morning. The type of error made by the students are addition and misformation. Addition occurs because the students add to be (is). Misformation occurs because the students are wrong to select the verb makes it should be made. The factors causing the errors are induced error, error of avoidance, and developmental error. Induced error is caused by wrong arrangement and presentation in selecting the characteristics of target language. The students are wrong to arrange the sentences into passive voice. Error of avoidance is caused by the students failure to use certain types in the target language characteristics because of the difficulties that they feel. The students do not change the sentences into passive voice. Developmental error is caused by the steps that occur in linguistic development. The students add to be (is) that should not be used. Question number 7 He didn t borrow me a pen last week. There is only one student who answers this number correctly. It means that there are 19 students make error in answering it. Incorrect answer : *A pen was didn t borrow me by him last week. Correct answer : A pen was not borrowed by him last week. The type of error made by the students are addition and misformation. Addition occurs because the students add the word did. Misformation occurs because the students are wrong to select the verb borrow it should be borrowed. The factors causing the errors are overgeneralization, developmental error, and induced error. Overgeneralization is caused by the expansion rules of the target language in the contexts that are not appropriated. The students should not add the word did in making passive voice. Developmental error is caused by the steps that occur in linguistic development. The students add the word did that should not be used because there is to be (was). Induced error is caused by the error of arrangement and presentation of 49

57 the target language elements. The students are wrong to arrange the sentences into passive voice. Question number 8 She didn t bring my bag last month. There are 18 students who make error in answering this number. It means that there are only 2 students answer it correctly. Incorrect answer : *My bag was didn t bring by her last month. Correct answer : My bag was not brought by her last month. The type of error made by the students are addition and misformation. Addition occurs because the students add the word did. Misformation occurs because the students are wrong to select the verb bring it should be brought. The factors causing the errors are overgeneralization, developmental error, and induced error. Overgeneralization is caused by the expansion rules of the target language in contexts that are not appropriated. The students should not add the word did in making passive voice. Developmental error is caused by the steps that occur in linguistic development. The students add the word did that should not be used because there is to be (was). Induced error is caused by the error of arrangement and presentation of the target language elements. The students are wrong to arrange the sentences into passive voice. Question number 9 I always use a car to go to campus. There are 11 students who answer this number correctly. It means that there are 9 students who make error in answering it. Incorrect answer : *I always use a car to go to campus. Correct answer : A car is always used by me to go to campus. The type of error made by the students are omission and misformation. Omission occurs because the students do not use to be (is). Misformation occurs because the students are wrong to select the verb use it should be used. The factors causing the errors are simplification, induced error, and error of avoidance. Simplification is caused by overload reduction. The students do not use to be (is) in making passive voice. Induced error is caused by error of arrangement and presentation of the target language characteristics. The students are wrong to arrange the sentences into passive voice. Error of avoidance is caused by the failure to use the certain types of the target language characteristics because of the difficulties that feels. The students do not change the sentences into passive voice. Question number 10 Do they buy him a bread? All students make error in answering this number. Incorrect answer : *Do the bread is bought by them? Correct answer : is the bread bought by them? The type of error made by the students is addition. Addition occurs because the students add the word do. The factors causing the errors are developmental error and induced error. Developmental error is caused by the steps that occur in linguistic development. The students should not add the word do because there is to be (is) in making passive voice. Induced error is caused by error of arrangement and presentation of the target language elements. The students are wrong to arrange the sentences into passive voice. Furthermore, to find out the students difficulties in using passive voice, the researcher presents the results of interview are as follows: 1. Apakah anda dapat memahami materi tentang passive voice? (Do you understand the material about passive voice?) R 1 : Saya mengerti tapi selanjutnya saya lupa lagi (I understand but henceforth I forget it). R 2 : Saya cukup mengerti (I understand). R 3 : Saya mengerti, tapi kalau sudah terlalu lama saya lupa lagi ( I understand, but if it takes too long, I forget it). 2. Apakah anda menemukan kesulitan dalam mengerjakan tes tentang passive 50

58 voice? (Do you find difficulty in doing the test about passive voice?) R 1 : Ada beberapa soal yang tidak bisa dipahami. (There are some questions that can not be understood). R 2 : Kesulitannya yaitu kurang memahami. (The difficulty is my less understanding). R 3 : Saya bingung dalam menggunakan verb. (I am confuse in using the verb). 3. Apa kesulitan anda dalam menggunakan passive voice? (What is your difficulty in using passive voice?) R 1 : Terkadang ada beberapa kalimat yang tidak bisa dipahami. (Sometimes there are some sentences that can not be understood). R 2 : Dalam penggunaan verb dan to be. (In using verb and to be). R 3 : Dalam penggunaan rumus passive voice. (In using the formula of passive voice). From the result of the interview, it shows that most of the students still find the difficulties in using passive voice, especially in using past participle and to be because they do not understand the rules of using passive voice. Based on the research result above, the researcher gets the percentage of the students errors in using subject (31.37%), the percentage of the students errors in using to be (34.07%), and the percentage of the students errors in using past participle (34.56%). The students still find difficulties in making passive voice especially in using subject, to be, and past participle. It proves that their ability in understanding passive voice is still weak. From the result of interview, all respondents state that they still find difficulties in using subject, to be, and past participle in making passive voice. It is proven by the test result that they still make some errors in using subject, to be, and past participle. In answering the test item number 1, most of the students (18 students) answer this number incorrectly, it means that there are only two students who answer correctly. The question is We usually do the homework together. The students answer The homework usually did together by we. It should be The homework is usually done by us together. The students make error of omission and misformation. According to Dulay, Burt, and Krashen, as quoted by James, Carl (1998:107), More advanced learners tend to be aware of their ignorance of content words, and rather than omit one is called omission. Misformation as use of the wrong form of a structure or morpheme. The students do not use to be (is) in the sentence and they can not select the right verb (done) to make the correct sentence. The factors causing the errors are simplification, induced error, and error of avoidance. According to Selinker as quoted by Tarigan, HenryGuntur and Djago Tarigan (1995:171), Simplification : Kesalahan yang diakibatkan oleh reduksi ataupengurangan yang berlebihan. Induced Error : Kesalahan yang berasal dari pengurutan dan penyajianunsur-unsur bahasa sasaran. Error of Avoidance : Kesalahan yang diakibatkan oleh kegagalan yang menggunakan tipe-tipe tertentu ciri-ciri bahasa sasaran karena adanya kesukaran yang terasa. It means that Simplification : Errors caused by the reduction or reduction of overload. Induced Error : Errors come from the sorting and presentationof the elements of the target language. Error of Avoidance : Errors caused by failure to use certain types of characteristics of the target language because of the difficulties that felt. The students make error because the factors caused by overload reduction. The students do not use to be (is). The students make error of arrangement and presentation of the target language elements. They are wrong to arrange the sentence into passive voice. The students are failure in using certain types to make sentence. They do not 51

59 use to be (is) that should be used in making passive voice and they are wrong to select the verb did it should be done and they are wrong to use the subject we it should be us. In answering the question number 2, all students make error. The question is Did you put your shoes in the shelf?. The students answer Did your shoes put by you in the shelf?. It should be Are your shoes put by you in the shelf?. The students make error of omission. According to Tarigan, HenryGuntur and Djago Tarigan (1995:148), Kesalahankesalahan yang bersifat penghilangan ini ditandai oleh ketidakhadiran suatu butir yang seharusnya ada dalam ucapan yang baik dan benar. It means that errors characterized by this omission is markedby the absenceof the item that should be in a good and rightoral. The students do not use to be (was) in making passive voice. The factor causing the error is simplification because of the overload reduction. The students do not use to be (was) that should be used in making passive voice. In answering question number 3, all students make error. The question is Where did they sell the book?. The students answer Where did the book sold by you?. It should be Where was the book sold by you?. The students also make error of omission because they do not use to be (was). The factor causing the error is simplification because of the overload reduction. The students do not use to be (was) that should be used in making passive voice. In answering question number 4, there are 19 students who make error. It means that there is only one student answer it correctly. The question is Does she write the letter every day?. The students answer Does the letter is written by her every day?. It should be Is the letter written by her every day?. The students make error of addition. According to Dulay, Burt, and Krashen, as quoted by James, Carl (1998:107), Addition occurs when a productive process such as affixation is not applied. The students add the word does that should not be used in the sentence. The factor causing the error is developmental error. According to Selinker as quoted by Tarigan, HenryGuntur and Djago Tarigan (1995:171), Developmental Error adalah kesalahan yang mencerminkan tahap-tahap yang terjadi dalam perkembangan linguistik. It means that Developmental Error is the errors that reflect the stages that occur in linguisticdevelopment. The students make error of omission because the factor of developmental error that they add the word does in the sentence. In answering question number 5, there are 13 students who answer this number correctly. It means that 7 students make error in answering it. The question is They offered me a new job last week. The students answer A new job is offered by them last week. It should be A new job was offered by them last week. The students make error of misformation. According to Tarigan, HenryGuntur and Djago Tarigan (1995:154), Kesalahan yang berupa misformation atau salah formasi ini ditandai oleh pemakaian bentuk morfem atau struktur yang salah. It means that errors in the form ofmisformationare characterized by the use of form or structure of the wrong morpheme. The students are wrong to select to be, it should be was not is. The factor causing the error is overgeneralization. The students should make passive voice in past form not in present form. According to James, Carl (1998:187), This strategy leads to the overindulgence of one member of a set of forms and the underuse of others in the set. The students make passive voice in present form it should be in past form. In answering question number 6, there are 5 students who make error. It means that 15 students answer this number correctly. The question is My mother always makes me a cup of tea every morning. The students answer My mother is always makes me a cup of tea every morning. It should be A cup of tea is always made by my mother every morning. The students make error of addition and misformation because the students add to be (is) and they are wrong to select the word makes it should be made. The factors causing the errors are induced error, error of avoidance, and developmental error. 52

60 The students are fail to arrange the sentence into passive voice and to choose the verb makes it should be made and to be (is) in the wrong form and they do not change the sentence into passive voice. In answering question number 7, there is only one student answers it correctly. It means that there are 19 students who make error in answering this number. The question is He didn t borrow me a pen last week. The students answer A pen was didn t borrow me by him last week. It should be A pen was not borrowed by him last week. The students make error of addition and misformation. They add the word did and they are wrong to select the verb borrow it should be borrowed. The factors causing the errors are overgeneralization, developmental error, and induced error. The students make error because of the steps in linguistic development. They add the word did that should not be used in making passive voice because there is to be (was) and they are wrong to arrange the sentence into passive voice. In answering question number 8, there are 18 students who make error. It means that there are only 2 students answer it correctly. The question is She didn t bring my bag last month. The students answer My bag was didn t bring by her last month. It should be My bag was not brought by her last month. The students also make error of addition and misformation. The students add the word did that should not be used in the sentence and they are wrong to select the verb bring it should be brought. The factors causing the errors are overgeneralization, developmental error, and induced error. The students add the word did that should not be used in making passive voice because there is to be (was) and they are wrong to arrange the sentence into passive voice. In answering question number 9, there are 11 students who answer it correctly. It means that there are 9 students make error in answering this number. The question is I always use a car to go to campus. The students answer I always use a car to go to campus. It should be A car is always used by me to go to campus. The students make error of omission and misformation. The students do not use to be (is) and they are wrong to select the verb make it should be made. The factors causing the errors are simplification, induced error, and error of avoidance. The students do not use to be (is) and the verb used that should be used in making passive voice and they are wrong to arrange the sentence into passive voice and do not change the sentence into passive voice. In answering the question number 10, all students make error. The question is Do they buy him a bread?. The students answer Do the bread is brought by them?. It should be Is the bread bought by them?. The students make error of addition. According to Tarigan, HenryGuntur and Djago Tarigan (1995:151), Kesalahan penambahan ini ditandai oleh hadirnya suatu butir atau unsur yang seharusnya tidak muncul dalam ucapan yang baik dan benar. It means that the additional error is characterized by the presence of an item or element that should not appear in a good andright oral. The students add the word do that should not be used in the sentence. The factor causing the errors are developmental error and induced error. The students add the word do that should not be used in making passive voice and they are wrong to arrange the sentence into passive voice. Errors made by the students can be caused by the lack of knowledge about the language particularly passive voice. According to Chomsky and Corder as quoted by Tarigan, Henry Guntur and Djago Tarigan (1995:143), Kesalahan diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai kaidah-kaidah bahasa sebagai faktor kompetensi merupakan penyimpangan-penyimpangan sistematis yang disebabkan oleh pengetahuan pelajar yang sedang berkembang mengenai sistem B2 (atau bahasa kedua). It means that errors caused by the lack of knowledge about the rules of language as a competence factor, is the systematic deviations caused by the developing of students knowledge about the system of L2 (or second language). Competence factors also effect on the students knowledge, and the lack of 53

61 students knowledge may cause students errors, particularly in using passive voice. The researcher concludes that the case above belongs to the students errors, because the students still do not understand about the language of lingusitic system that they use, and the students can not correct themselves in making errors. Based on the test result, it is found that most of the students make error in making passive voice particularly in using past tense. In addition their mistakes also happen in the form of interogative sentence. Almost all students make error in using past tense and interogative sentence. It means that they are still difficult to do the test of passive voice especially in using past tense and interogative sentence. Furthermore, based on the respondents responses on interview, most of the students find the difficulties in using passive voice, especially in using to be and past participle, because they do not understand about the rules of using it, besides, the teacher does not give many examples and exercises about the appropriate use of passive voice in sentences particularly in using past tense and interogative sentence so that the students feel very confuse when they are given a test about passive voice. To solve this problem, the teachers should give more exercises and example in sentences in making passive voice so that the students can understand well. CONCLUSION After analysing the data, the researcher gets the conclusion of this research. Based on the test result, it is concluded that the percentage of the students errors in making passive voice is in using subject (31.37%), the percentage of the students errors in using to be (34.07%), and the percentage of the students errors in using past participle (34.56%). Thus, the highest error is in using past participle, medium error is in using to be, and the lowest error is in using subject, However, from the interview result, the researcher gets that all respondents state that they do not understand the rules of using passive voice, especially in using past participle and to be, providing that the test result shows that their highest error is in using past participle. Nevertheless, this result proves that the students still find the difficulties in using passive voice because they are still confuse about the appropriate use of passive voice, especially in making passive voice particularly in using to be, and past participle in a sentence of passive voice. Based on the test result that the students are still difficult to do the test of passive voice especially in past tense particularly in making interogative sentence. Almost all students make error in past tense particularly in making interogative sentence. Most of the students make error of addition, omission, and misformation because the factors of overgeneralization, simplification, developmental error, induced error, and error of avoidance. After doing this research, the researcher would like to give some suggestions and hopefully useful for all readers, particularly for English teachers and the students. The teachers should:encourage the students to keep practicing to use passive voice in making sentence, be more creative in explaining the materials, for example by using the suitable teaching techniques, such as more game and suitable teaching media such as using slide of power point multimedia, keep improving their teaching skill to make the teaching learning process run well, and give more exercises to the students to improve their ability in learning passive voice especially in past tense particularly in interogative sentence. For students, they focus their mind on the material discussed, review the materials not only at school but also at home, be more active in teaching learning process, improve their structure ability, especially about passive voice, solve their problems about the materials by asking to the teacher or discussing them with their friends, andkeep practicing to use passive voice in making sentence. 54

62 BIBLIOGRAPHIES Ali, Mohammad. (1985). Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung:Angkasa. Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Kaji Ulang Kata Kerja Bahasa Inggris. Bandung: Angkasa. Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa. Alwasilah, A. Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Arikunto, Suharsimi. (2006). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:PT Asdi Mahasatya. Bagus Putrayasa, Ida. (2007). Analisis Kalimat. Bandung: Refika Aditama. Corder, S.Pit. (1981). Error Analysis and Interlanguage. London: Oxford UniversityPress. Insani, Ruly. (2006). The Analysis of Students Mistakes In Using Simple Past TenseAt The Second Grade of SMA Negeri 1 Cikijing Majalengka. Tasikmalaya: Unpublished. James, Carl. (1998). Errors in Language Learning and Use. London: Longman. Ramlan. (2001). Frasa, Klausa, Kalimat, dan Sintaksis. [Online]. Tersedia: [10 Desember 2010]. Swan, Michael. (2005). Practical English Usage. London: Oxford University Press. Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. (1995). Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Thomson, A. J. dan A. V. Martinet. (1986). A Practical English Grammar. Oxford: Oxford University Press. 55

63 PENGAJARAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS MELALUI ACTIVE LEARNING Tri Agustini Solihati Universitas Perjuangan Tasikmalaya ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kosakata bahasa Inggris dengan topik warna, makanan dan minuman, bagian tubuh, dan keluarga melalui Pembelajaran Aktif di kelas satu (kelas 1b) dari SDN Banjaran, Tasikmalaya. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode proses siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siklus I terdiri dari aktivitas guru dalam pelaksanaan Pembelajaran Aktif sebanyak 80% dan suasana kelas sebanyak 65,15%. Hasil yang dicapai oleh siswa sebanyak 7,64 untuk rata-rata worksheet, 8.68 untuk tes formatif, dan 74% untuk hasil pengajaran analisis kosa kata bahasa Inggris. Pada siklus II, aktivitas guru dalam pelaksanaan Pembelajaran Aktif dalam jumlah sebanyak 90% dan suasana kelas sebanyak 89,15%. Hasil yang dicapai oleh siswa sebanyak 8,05 untuk rata-rata worksheet, 8.86 untuk tes formatif, dan 84% untuk hasil pengajaran analisis kosa kata bahasa Inggris. Dalam hal ini, jelas bahwa manfaat pembelajaran aktif dalam studi kosakata bahasa Inggris akan membantu kegiatan belajar siswa dalam menghafal bahkan menguasai kosa kata. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan media yang begitu dekat dengan kegiatan sehari-hari dan metode yang menarik siswa. Implikasi dari hasil penelitian diharapkan Pembelajaran Aktif meningkatkan kualitas pembelajaran kosakata bahasa Inggris di kelas satu SDN Banjaran, Tasikmalaya. Kata kunci: kosakata, pembelajaran aktif, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ENGLISH VOCABULARY TEACHING THROUGH ACTIVE LEARNING ABSTRACT The objective of this research is to improve the quality of learning English vocabulary with the topics of colors, food and drink, parts of the body, and family through Active Learning at grade one (class 1b) of the SDN Banjaran, Tasikmalaya. This research is implemented by using cycle process method, namely cycle I and cycle II. The result of this research indicated that cycle I comprises of the teacher s activity in the implementation of Active Learning as much as 80% and classroom atmosphere as much as 65.15%. The result achieved by the students as much as 7.64 for the average of worksheet, 8.68 for the formative test, and 74% for the result of teaching English vocabulary analyses. In cycle II, teacher s activity in the implementation of Active Learning in the amount of as much as 90% and classroom atmosphere as much as 89.15%. The result achieved by the students as much as 8.05 for the average of worksheet, 8.86 for the formative test, and 84% for the result of teaching English vocabulary analyses. In this case, it is obvious that the utility of Active Learning in the study of English vocabulary will help students learning activity in memorizing even mastering vocabulary. The study is carried out by using media finding in daily activity and the method attracts students. The implication of the research result is hoped that Active Learning improves quality of learning English vocabulary at grade one of the SDN Banjaran, Tasikmalaya. Keywords: vocabulary, active learning, classroom action research 56

64 INTRODUCTION Vocabulary is a number of words in language (Oxford, 1995: 461). It is a list of words or expression, which in arranged based on alphabet by enclosing their meaning (Salim, 1998: 242). It can be concluded from the statement above that vocabulary is the basis of language, because it consists of words that is meaningful. Vocabulary is an important skill for speaking, writing, and reading as language skill, which have to be mastered by all students. However every child at elementary school, where they go through their first experience in studying English, finding difficulties when facing some different language aspects, such as style of writing, reading, and speaking. English subject at the elementary school in Tasikmalaya is a part of local curriculum. According to 1994 Curriculum, English is given for the first time at elementary school as one of effective lessons in local curriculum. Students of elementary school usually have a tendency to know something and an enthusiasm to learn a new thing, which is related to their surroundings. One thing that must be remembered, that every child builds their understanding based on experience and acts a good imitator. Perhaps learning English subject at elementary school will help them to find an early description and a sense of interest to learn more deeply in the next level (Junior High School). But in fact, English vocabulary of students at grade 1 of elementary school needs to be improved a lot. It is found from their achievements that show lower than the average 60 as successful standard. It is too apprehensive, whereas English as international language that is taught in every year. If the problem hasn t been solved, it will give at least three effects. Firstly, they are psychology effect; students do not have any motivation to study, they are afraid of learning English as they consider English is a difficult lesson. They are afraid or unrespectable to their teachers, even at the time they do not want to go to school any more. The next effect is academic. Students will find difficulties in learning English or other materials like tenses, reading, writing, speaking, and listening. Finally, the social effect gives difficulties to students in solving daily problems. For example, they cannot mention objects pointed in English. Mihaly Csikzantmihalyi in Flow (1990) described the attention as mental and emotional energy. Flowis aware condition in which someone is lost in an activity, so he does not feel the time passed. Flow can be experienced easier when students experience something called Dan Rea by term seriousfun. Educator can support Serious-fun by having a high quality target of learning result and managing classroom activities that occupy students. Active Learning emphasize on serious-fun can help students to pay attention, improve their desire to study, and manage the atmosphere in order Flow experience happened. In this case, teachers need to find strategies to encourage students in order to proper learning habit that can lead to successful learning. Hopkins (1993) said Teacher is not only demanded to master materials and present them correctly in front of the students but also is demanded to be able in assessing their work. This ability is correlated with Classroom Action Research (CAR) or Penelitian Tindakan Kelas (PTK). According to Carr and Kemmis (1991), CAR is a research which is done by teachers in theirclassrooms through reflection with the aim to evaluate their work as teacher in order to leave negative learning and create positive learning perfectly. There are four components in doing CAR (Kemmis and Taggar, 2006: 22). First, planning, it is an action done to improve or attitude changing as solution. Second, action, it is what teachers should do as the effort in repairing, improving or changing hoped. Third, observation, it is an observation toward the result or effect of some actions done by students. Forth, reflection, it means that the observer observe, look, and consider the 57

65 result or action effect from some criteria. Based on this reflection result, revising in repairing toward first planning is done. Students at elementary school, especially at grade one of SDN Banjaran, face some difficulties in reading English language, one of the difficulties is because English is a foreign language and the limited time provided in teaching English, so they can t recall much vocabularies. Whereas vocabulary is good to be taught to elementary school students, especially grade 1, to introduce them everything around them in English. So in this research, the researcher decides to take the single word as an appropriate material to be absorbed by elementary school students. As we know that in learning English, there are four skills which should be mastered by students such as speaking, reading, listening, and writing (Tarigan, 1990: 11). That mastery of language skill especially English language needs sufficient vocabulary, in other word, that somebody s language will determine the quality and quantity of his or her skill. The quality of somebody s language skill depends on the quality and quantity of his or her vocabulary. More vocabulary somebody has, more possibly to master of language skill (Tarigan, 1986: 2). According to that theory, the writer concerns to the improving of students vocabulary with the right approach and strategy, they are apart of comment that will be achieved to the aim. The ways to make the students feels happy are from the approach and strategy that the teacher used to applied. The teacher should motivate the students interest on the subject matter, for instance, English language (Sudjana, 1988: 39). To solve the problem, a strategic thing that must be done is looking for the causes of the problem. Like an identification problem done by researcher with another teacher, reflection toward learning done is caused by several problems. Some of them are English learning is still teacher-centered include teacher explanation, giving an example of question, giving a task, and assessment. From the available time, the biggest allocation is still in teacher activities. By this learning model, so the role of students and students involved in teaching learning process is in a small. Students listen portion just to teacher s explanation. Sometimes they answer and give their opinion, but time presentation for student s activities is still little. For example, when teacher is teaching about colors, students can memorize almost vocabularies well. But when teacher ask them to color a picture by certain color, they do it incorrectly. They succeed in answer the question is not from their comprehending toward the object and vocabulary taught, but through the explanation or knowledge transfer from the teacher. Learning model above causes impermanent comprehension. Teacher needs to retell the material that students have learnt if they will face the same problem. The impermanent comprehension they got, make them cannot implement it in their daily life. Whereas English will be faced as long as their education, and is suggested to be used in their daily activities. Active Learning is an effort in education and learning revolution. Although this approach is new, actually this concept has been improved in years, but its implementation in our schools is new. This fact causes the difficulties in defining Active Learning. Gulo (2002) told that Active Learning adalah pendekatan pembelajaran dengan melibatkan aktifitas siswa secara maksimal dalam proses belajar baik kegiatan mental intelektual, kegiatan emosional, maupun kegiatan fisik secara terpadu. Conny Setiawan (1990) defines Active Learning as Cara belajar siswa aktif yang mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan. Learning through Active Learning approach demands in three components and its supporter, they are performances of students, teachers, and classroom. Students in Active Learning are suggested to get learning experience directly. For example when the teacher is going to teach about fruits, students are asked to bring one of their favorite fruit. So 58

66 when they learn the word banana and they know what banana is, their memory will be survive in long time when they get it themselves and experience it directly. By this activity, students curiosity and thinking creativity can be improved. So to get the best mastery in English vocabulary, it is needed English learning students-centered approach. Students get learning experience that is packed in enjoy atmosphere so it can dig the potential up, students creativity and they are hoped can implement it daily life. Because when they only heard in learning, they will forget, when they see, they will remember, and when they do, the will understand, and those are in Active Learning. RESEARCH METHODOLOGY 1. The location and time of research This research is done to the students at grade 1 of SDN Banjaran, Kp. Banjaran Desa Linggaraja Kecamatan Sukaraja Kanupaten Tasikmalaya. The research is held in semester II of 2009 / 2010 year; on March till June The method and design of action intervention This kind of research is Action Research which is proposed to repair affectivity and efficiency of education practice. Reminding this action research is done in the class, so the method used in this research is method of Classroom Action Research(CAR). The implementation of this research based on progressive program in SDN Banjaran by the number of English time 2 hours in a week. Design of action intervention or research cycleplanning uses Kemmis model and Mc. Taggart which is include some steps 1. Planning, 2. Action 3. Observation, 3. Reflection. So the activity in this research through certain steps and cycle such as the picture below: 3. The subject of research The subject of this research is students of grade 1 of SDN Banjaran, Tasikmalaya consist of 25 students. Consist of 12 male students and 13 female students. The assistant researchers of this research are two regular teachers of grade one, Mrs. Een Nuraeni, S.Pd.I and Mrs. Nani Rohaeni, S.Pd.I which do the observation when researcher implements the learning. 4. The role and position of the researcher in research The role of researcher in this research is the main doer, so in pre-research she does the reflection toward English learning process in class, and then make an action planning will be done in class where she teaches. As researcher position in this research is main doer, she implements directly what will be improved in the class. She feels and does the reflection from the learning done in order to support her to do every step of the research. Beside that, she writes a report which makes everything done and observes the research closely. In doing all of these, she is helped by school s head master and teachers. 5. The steps of action intervention Cycle 1 1. Reflection Teacher does the reflection toward learning done, consist of how the teacher teach is, how the students learn is, how the atmosphere of class is, and think the way to repair them. 2. Action planning Make a lesson plan by implementing Active Learning. 59

67 3. Action implementation Teacher implements English learning by using Active Learning 4. Observation Head master and another teacher observe and evaluate the learning which is doing by researcher. 5. Reflection Teacher (researcher) investigates evaluation and observation result to decide the next step. Cycle 2 1. Action planning Researcher makes improvement planning based on reflection and observation result. 2. Action implementation Teacher teaches based on improvement planning I made. 3. Observation Observing and evaluating the improvement of implementation. 4. Reflection Investigating evaluation and observation result to decide the result got during the research (in two cycles). 6. Aims of action intervention The success aiming to every action done in English learning by implementing Active Learning approach is oriented to: 1. The improvement of students English vocabulary mastery. 2. The improvement of learning result. In this case success standard is 80% get the score up to 60 in every cycle. 7. Data and collecting data a. Data Data is taken from data of observing action and research data. Data of observing action is data that is used to control the suitable action implementation with action planning in this case the learning by using Active Learning. Whereas research data of students English vocabulary mastery is data about research variable; learning results. The data is used for the necessity of research data analysis to get the illustration of the improving of students English vocabulary mastery. b. Resource of data Resource of data in this research divides into two parts; assistant researcher action data is English learning process in grade 1 by using Active Learning and resource of research data; the learning result of students of grade The technique in collecting data and instrument used The collecting data done by using implementation learning instrument includes the observation of teacher teaches, students study, and class atmosphere which is related to learning implementation by Active Learning. Beside that, the instrument used to collect research data about students English vocabulary mastery is test instrument. The test learning result refers to curriculum 2006 and the book used is Active English. The test learning result is 10 multiple choice questions. 9. The technique of validity Triangulation is used to check data validity. Triangulation done by resource, compare what the researcher feels with the assistant researcher idea. That refers to research toward students English vocabulary mastery and try-out test to look the students learning result. 10. The analysis of data and interpretation of analysis result The analysis of researcher data done by looking students involved when learning process, teacher attitude in learning implementation, and students learning result. By implementing Active Learningapproachis hoped that students can be more active in learning process. Teacher in learning is not the only one resource of study but can be friend and partner for students. So students can master English vocabulary well. RESEARCH FINDINGS AND DISCUSSION Cycle I From the result analyses of cycle I, so the result gotten was the researcher who was a teacher in this case was lake of openself and could not appear students initiative 60

68 and creativity yet. The researcher was also lake of involving all students in group learning, because only some students were enthusiastic and did what had been commanded well. Beside that, teacher s tense was looked in learning and high level of anxiety in students vocabularymastery. It was looked from teacher s attitude that was soonest in helping students; teacher was lake of giving students opportunity to communicate with others. So by those attitudes gave the effect of students tense too. Learning atmosphere did not please enough so students initiative and curiosity were not dug up well. And it was still looked the tense and hurried in doing learning. In other word, the learning which should be centered on students was still dominated by teacher although in a small scale. There were two things hoped in Active Learning; learning was students centered and students did the learning happily. Beside that students were hoped to do their activity alone, solve the problem, and could reflect the activity done. Teacher s role was only as motivator, gave the clarification of material learnt. The result of teaching-learning process was 7.64 for worksheet average, 8.68 for formative test, and analyses of teaching English vocabulary as 74%, those numbers had not reach successful standard determined by researcher, so cycle II was needed to be able in improving teaching English vocabulary through Active Learning. Cycle II The attitude and activity of students and teacher in learning was describing learning process through Active Learning. Students curiosity was growing up. The interaction and communication were looked not only between students and teacher but also among students. Beside that students did learning activity happily. There were also the harmonious among abilities; social, emotional, and intellectual. So it would dig students potential up. The allocation was getting centered on students and teacher gave stimulus in order students had motivation to activate in learning, were sportive, and were motivated to be able in repairing the mistake to reach the better mastery of vocabulary. From the activities done in four meetings in cycle II were looked students and teacher s activity hoped. The result gotten from teachinglearning process was 8.06 for worksheet average, 8.86 for formative test, and researcher s analyses on formative test result that described students vocabulary mastery as 84%, the whole reached the standard hoped by researcher. Interpretation of Analysis Result and Discussion According to the data gotten in learning action of English vocabulary using Active Learning, it showed the improvement of students vocabulary mastery. Observing the result of action intervention done by researcher through dividing action into cycle I and II, its result observation described the improvement of percentage in SDN Banjaran students vocabulary mastery with 7.9 for worksheet average, 8.67 for formative test, 84% for observation of teacher s attitude, 77.15% for observation of classroom atmosphere, and 80% for the observation of students English vocabulary mastery. Looking at the result gotten, it proved that learning approach could be used to improve elementary school students English vocabulary mastery; it was looked from score improvement, the percentage of observation of learning action, and English vocabulary mastery in each learning cycle. From the explanation of cycle I and II, it could be said that learning process in cycle I was still influenced by teacher s attitude that was lake of open-self, tense, giving the strengthen so students attitude in learning was influenced. Learning situation was also boring and it caused students could not improve their activity well. Because teacher had been trained more in cycle II in doing learning through Active Learning, the tense and anxiety of 61

69 learning target were decrease. Learning situation was more vivid. In cycle II learning situation described the principles and characteristics of Active Learning. When teacher had given open-self attitude, the width and full trust to the students, they would more believe in their potential so they were able to dig up and develop it. Students could learn well, solve their problem, and apply what they had in their daily life. The implementation of such approach was not separated from teacher s effort in developing innovation and creativity in making learning plan and process in using Active Learning approach. CONCLUSION, IMPLICATION AND RECOMMENDATION Conclusion The observation result showed the result of students vocabulary mastery through Active Learning was able to involve the ability of social, emotional, and intellectual in harmony so it could appear students potential, stimulate to think, and learn in solving problem alone. Beside that, there was a significance improvement of students ability when teacher gave the trust and open-self in learning. Students more enjoyed the learning and followed it enthusiastically and happily, so students mastery was better. Beside that, the good students conditioning and choosing correct method with the material that would be presented by paying attention on grade one students characteristics and individual differences, would appear good communication and interaction between students and teacher and among students. By this condition, students would be able to present the information they got to others and train their bravery and self-confidence. Learning through Active Learning could improve students mastery because basically children learned and worked or did activities, because work was demand of children statement. What children got through working activity, searching, and finding their selves would not be forgotten easily. Students would be very happy if they were given the opportunity to distribute their working ability. By Active Learning, students could know and develop more their potential and capacity fully. They also had ability in thinking regularly and critically, and solving their daily problem. They were more creative in digging, searching, and developing useful information for them. It was proved by the observation held. By 77.25% of students activities, it meant that more than a half of students did the activity in learning and it showed the improvement of students English vocabulary mastery. Students with good mastery could be a tutor of their friends, so it could help the improvement of students English vocabulary mastery. Even less when students activities in learning reached more than 90%-100%, so the students English vocabulary mastery would improve more. Implication Actually Active Learning approach was suitable with learning goal that would be reached to the elementary school students of grade one. Because in this age, students wanted to move, communicate, and interact was still big enough. By implementing Active Learning, it gave students to be creative in learning alone, stimulating their thinking and they could reflect and want to present their best. The implemented Active Learning was suitable with elementary school students characteristics, especially at SDN Banjaran. Recommendation The result gotten in observation conclusion showed one of suitable ways to look and know directly the weakness either from students or teacher. Because of that, the researcher recommends: The educator to use Active Learning in teachinglearning process, because it was suitable with elementary school students characteristics. to repair their work by developing teacher s creativity in arranging learning. The head master to give teachers motivation, support, and guidance in 62

70 order they are able to implement Active Learning. The instance and government to give the support by providing means of education and its infrastructure based on the necessity. The university students and readers to follow this paper up by doing observation to get more accurate data. BIBLIOGRAPHIES, The World Book Encyclopedia Volume 15, USA: Field Enterprises Educational Corporation, 1964, Oxford Learner s Pocket Dictionary, USA: Oxford University Press, 1991 Allen, Virginia French, Techniques in Teaching Vocabulary, London: Macmillan Press, 1983 Alwasilah, A. Chaedar, Politik Bahasa dan Pendidikan, Tasikmalaya: Rosda, 1997 Alwasilah, A. Chaedar, Pengajaran Bahasa Komunikatif, Tasikmalaya: Rosda, 2000 Alwasilah, A. Chaedar, Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global, Tasikmalaya: Andira, 2000 Brown, H. Douglas, Teaching by Principles, USA: Paramount, 1994 Dewi, Ida Kusuma, dkk, Active English 1, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembeljaran, Jakarta: Rineka Cipta, 1999 Finocchiaro, Mary, Tecahing Children Foreign Language, New York: McGraw-Hill Book Company, 1964 Gulo W., Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Grafindo, 2002 Ihsan, Fuad H, Dasar-dasar Kependidikan; Komponen MKDK, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Jarvis, Peter, The Sociology of Adults and Continuing Education, USA: Croom Helm Ltd, 1985 Hurlock, Elizabeth, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga Kasbolah, Kasihani, Penelitian Tindakan Kelas, Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998 Kemmis, S. & Mc. Taggart, R. (Eds), The Action Research Reader, Victoria: Deakin University, 1990 b Musthafa, Bachrudin, EFL for Young Learners, Tasikmalaya: The Writing Team of Crest, 2002 Quirk, Randolph and Stein Gabriele, English in Use, England: Longman, 1990 Scott, Wendy A. and Ytreberg, Lisbeth H., Longman Keys to Language Teaching; Teaching English to Children, USA: Longman Inc, 2004 Setiawan Conny, et al, Pendekatan Keterampilan Proses; Bagaimana Mengaktifkan Siswa Belajar, Jakarta: Gramedia, 1990 Silberman, Mel, Active Learning, Yogyakarta: Yappendis, 2001 Silberman, Melvin L, Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif, Tasikmalaya: Nusamedia, 2009 Stern, Fundamental Concepts of Language Teaching, USA: Oxford University Press, 1983 Sudjana, Nana, Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, Tasikmalaya: Sinar Baru Algesindo, 1996 Sukandi, Ujang dkk, Belajar Aktif dan Terpadu, Jakarta: The British Council, 2001 Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar, Jakarta: Logos, 1999 Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Keterampilan Berbahasa, Tasikmalaya: Angkasa, 1986 Tim Redaksi Fokusmedia, Guru dan Dosen, Tasikmalaya: Fokusmedia, 2006 Wallace, Michael J, Teaching Vocabulary, Britian: English Language Book Society,

71 ANALISIS KOMPETENSI MENYUSUN INSTRUMEN PENILAIAN IPS DI SEKOLAH DASAR Fajar Nugraha Universitas Perjuangan Tasikmalaya Penelitian ini memiliki ruang lingkup kompetensi guru dalam menyusun instrumen penilaian meliputi konsep penilaian pembelajaran IPS SD, kemampuan dalam menyusun instrumen penilaian IPS SD, dan dinamikanya. Analisis ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, menggambarkan secara sitematis penemuan fakta-fakta selama penelitian. Analisis ini menggunakan lima subjek penelitian dengan kriteria guru kelas tinggi yang telah lulus sertifikasi guru. Penelitian ini menggunakan studi dokumentasi dan wawancara sebagai sumber data. Sedangkan pengolahan data dilakukan dengan reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan temuan penelitian, pengetahuan guru tentang penyusunan instrumen penilaian secara umum berkategori baik. Pengelolaan pembinaan guru yang baik berbanding lurus dengan pengetahuan serta pemahaman guru. Kemudian kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian berkategori baik. Hal ini terbukti dari dokumen-dokumen yang kami analisis memenuhi kriteria standar penyusunan instrumen penilaian. Perlu upaya dan konsistensi dari berbagai pihak yang berkaitan langsung dengan guru agar pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan guru terus menerus meningkat. Kata kunci: analisis kompetensi, instrumen penilaian COMPETENCY ANALYSIS ON DEVELOPING ASSESSMENT INSTRUMENTS OF SOCIAL SCIENCE SUBJECT IN PRIMARY SCHOOL ABSTRACT The scope of this study is teachers competency on developing assessment instrument including the concept of learning social sciece in primary school, the ability on creating its assesment instruments, and its dinamycs. This analysis uses qualitative descriptive approach which systematically describes the facts finding during the study. This analysis uses five criteria of the study subjects with high-grade teacher who has passed the certification of teachers. This study uses documentary studies and interviews as a data source. While the data processing is done through data reduction, data display, and taking conclusion. Based on the findings, the teacher's knowledge of preparing assessment instruments are generally categorized as adequate. Management coaching of good teacher is in line to the knowledge and teachers understanding. Then the teachers have adequate ability in preparing assessment instrument. It is proved from the documents that meet the criteria of the standard preparation of assessment instruments. Effort and consistency are needed from various parties associated directly with the teacher so that the knowledge, understanding, and the ability of teachers continuously better. Key words: Competency Analysis, Assessment instrument 64

72 PENDAHULUAN Peran guru pada era otonomi sekolah semakin penting karena kemajuan pendidikan berada ditangan para guru. Figur guru menjadi sorotan strategis dalam pendidikan karena guru terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan dan pembaharuan pendidikan tergantung pada peran guru. Menurut Quisumbing (Kunandar, 2007:10) kualitas pendidikan bersifat dinamis, saat ini pendidikan berkualitas tapi saat mendatang bisa jadi ketinggalan. Oleh karena itu tuntutan atas guru yang profesional menjadi sesuatu yang mutlak. Menurut Depdiknas 2001 Kompetensi guru merupakan seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerja secara tepat dan efektif. Lebih lanjut telah termaktub dalam permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru secara garis besar terdapat empat kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Peranan guru Sekolah Dasar (SD) sebagai guru kelas harus menguasai seluruh mata pelajaran di SD. Begitu pula salah satu mata pelajaran khusunya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tentu dapat dikuasai oleh guru. Jarolimek (2003:5) menyatakan Social studies focuses specifically on citizenship education which means learning to participate in group life. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa IPS berperan dalam kelompok kehidupan. Menurut Depdiknas (2003:9) Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah dasar mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial serta berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan Negara. Tujuan pembelajaran IPS sebagaimana dimaksud Depdiknas (2006:47) sebagai berikut : 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Dengan memahami tujuan pembelajaran IPS di SD, guru dapat melaksanakan pembelajaran IPS di SD secara terarah. Apabila seorang guru telah memiliki pemahaman yang mumpuni, maka bukan suatu hal yang sulit untuk menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Penilaian pembelajaran merupakan seperangkat proses pengolahan informasi dalam rangka menentukan pencapaian hasil belajar. Segendang sepenarian dengan pernyataan Nitko (1996:32) assessment is a board term defined as a process for obtaining information that is used for making decisions about students.. lebih lanjut Widaningsih (2011:11) mengemukakan Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk mementukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan, proses pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran. Dapat disimpulkan bahwa rangkaian proses penilaian pembelajaran terdapat pada perencanaan, pelaksanaan, pengolahan penilaian. Maka suatu keharusan bagi guru untuk mempersiapkan penialain pembelajaran sejak penyusunan perencanaan pembelajaran berupa instrumen penilaian yang sesuai dengan prinsip dan prosedur penialaian. Berdasarkan hasil Uji Kompetensi Awal (UKA) guru yang dilaksanakan secara nasional pada tahun 2012 untuk hasil UKA 65

73 guru SD memperoleh nilai rata-rata 36,86 dari skala nilai 100. Unifah Rosyidi selaku Kepala Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Badan Pengembangan Sumber Daya Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud mengatakan bahwa selama ini guru dibina tanpa arah dan dasar. Akibatnya, pendidikan dan pelatihan untuk guru yang dilakukan oleh pemerintah menjadi kurang tepat sasaran karena adanya ketidaksesuaian dengan kondisi dan kebutuhan guru (Kompas, edisi 21 November 2012). Selanjutnya Hadiyanti Tahun 2012 di SD fullday school Al-Mutaqin kota Tasikmalaya dalam penelitiannya mengemukakan guru di sekolah tersebut mengetahui dan memahami langkah-langkah menyusun instrumen penilaian. Namun dalam pelaksanaannya sering mengabaikan tahaptahap penyusunan instrumen. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti akan menganalisis yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian di kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya. Rumusan masalah penelitian ini yaitu sejauhmanakah kompetensi guru sekolah dasar dalam menyusun instrumen penilaian pada mata pelajaran IPS?. Lebih lanjut rumusan masalah dapat diperinci sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pemahaman guru terhadap instrumen penilaian? 2. Bagaimanakah kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian? 3. Bagaimanakah kesulitan guru dalam menyusun instrumen penilaian? Adapun tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu : 1. Untuk mengetahui pemahaman guru terhadap instrumen penilaian. 2. Untuk mengetahui kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian. 3. Untuk mengetahui kesulitan guru dalam menyusun instrumen penilaian. Kompetensi guru merupakan kemampuan-kemampuan yang wajib dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Slameto (2011) mengemukakan bahwa kompetensi guru memiliki tiga kriteria yaitu knowledge criteria, performance criteria, dan product criteria. Kemampuan guru tersebut terutama berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan, serta tugas yang dibebankan kepada guru. Menurut Nitko (1996:18) dalam buku Educational Assessment of students menyatakan guru perlu untuk membuat keputusan keputusan tentang siswanya setiap saat. Untuk itu seorang guru profesional dituntut untuk memiliki kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Guru yang berkompeten dalam menyusun instrumen penilaian IPS SD yaitu memiliki kemampuan intelektual meliputi penguasaan konsep penilaian dan konsep IPS SD, kemampuan menyusun dan mengembangkan instrumen penilaian IPS SD yang menghasilkan produk instrumen penilaian IPS SD yang telah disusun oleh guru. Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, dijelaskan lebih spesifik pada kompetensi pedagogik, yaitu kompetensi menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman prinsip penilaian, mampu menentukan aspek-aspek penting untuk dinilai, mampu menentukan prosedur penilaian, dan mampu mengembangkan instrumen penilaian. Pemahaman prinsip penilaian mutlak dimiliki oleh guru profesional. Hal ini sejalan dengan prinip penilaian dalam Permendiknas nomor 66 tahun 2013 tentang standar penilaian adalah sebagai berikut: 1. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai. 2. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. 3. Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya. 4. Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak. 66

74 5. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya. 6. Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru. Dengan memahami prinsip penilaian guru memiliki pengetahuan dasar dalam menentukan aspek-aspek yang akan dinilai, dalam hal ini mata pelajaran IPS. Kompetensi guru dalam menentukan aspekaspek penting untuk dinilai ini berkenaan pula dengan kompetensi profesional guru dalam menguasai konsep materi mata pelajaran IPS, standar kompetensi IPS, kompetensi dasar IPS, serta tujuan pembelajaran IPS. Berkenaan dengan itu, pembelajaran IPS adalah mata pelajaran yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial serta berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan Negara, (Depdiknas, 2003 : 9). IPS di sekolah dasar merupakan penyederhanaan dari beberapa konsep ilmu sosial. Konsep-konsep ilmu sosial tersebut meliputi sosiologi, antropologi, geografi, sejarah, ekonomi, psikologi, dan politik (Supardan, 2008 : ). Lebih spesifik, penyederhanaan ilmu sosial yang terdapat di sekolah dasar yaitu (a) sosiologi terdiri dari interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, perubahan sosial; (b) antropologi terdiri dari perkembangan manusia, perkembangan dan persebaran aneka ragam kebudayaan manusia, perkembangan dan persebaran aneka ragam bahasa; (c) geografi terdiri dari lingkungan, tata ruang, tempat; (d) sejarah terdiri dari sejarah keluarga, sejarah sosial, sejarah ekonomi sejarah kebudayaan; (e) ekonomi terdiri dari skarsitas, produksi, konsumsi, pasar, uang, bank, koperasi, kewirausahaan, perseroan terbatas; (f) psikologi terdiri dari psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, psikologi sosial; (g) politik terdiri dari teori politik, lembaga politik, sejarah politik, perwakilan politik, birokrasi politik, teori kenegaraan, hubungan internasional. Sapriya (2011: ) menyatakan tujuan mata pelajaran IPS sebagai berikut: 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. IPS di SD tidak hanya mengenalkan tentang pengetahuan sosial semata, melainkan disertai dasar-dasar keterampilan sosial. Kedua hal tersebut membentuk kekuatan pribadi siswa yang berkompeten dalam menghadapi kehidupan masyarakat yang majemuk sedangkan fungsi mata pelajaran IPS, menurut Jarolimek (1986: 9) berpendapat bahwa: The major mission of social studies education is to help children learn about the social world in which they live and how it got that way; to learn to cope with social realities; and to develop the knowledge, attitudes, and skills, needed to help shape an enlightened humanity. Artinya, bahwa misi utama pendidikan IPS adalah untuk membantu siswa belajar tentang masyarakat dunia di mana mereka hidup dan memperoleh jalan, untuk belajar menerima realitas sosial, dan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan untuk membantu mengasah pencerahan manusia. Berdasarkan fungsi dan tujuan IPS diatas, guru harus memiliki asumsi bahwa siswa akan menghadapi tantangan kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan. Maka, IPS di SD akan mengarah pada mempersiapkan siswa sebagai warga negara yang memiliki pengetahuan sosial yang dapat digunakan 67

75 sebagai kemampuan mengatasi masalah dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik. Penilaian IPS SD bertumpu pada aspek pengetahuan, aspek kemampuan berpikir, aspek nilai dan sikap, serta aspek tindakan. Keempat aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut : a. Pengetahuan Menurut Depdiknas (2003:9) konseptual, pengetahuan mencakup fakta, konsep, dan generalisasi. Secara umum penilaian tentang pengetahuan IPS hendaknya disajikan berupa peristiwa dan hal-hal yang bersifat konkret. Ciri soal yang menitik beratkan aspek pengetahuan menggunakan kata tanya untuk menyebutkan, mengidentifikasi, menamakan, menyatakan, menentukan lokasi, dan menceritakan suatu peristiwa. b. Kemampuan berpikir Dalam IPS SD, siswa harus memiliki kemampuan berpikir kritis. Penilaian yang menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa diharapkan memberi efek positif terhadap kemampuan diri anak. Implementasinya dalam penilaian IPS SD berupa soal yang mendorong siswa untuk berpikir kritis menggunakan pertanyaan untuk merumuskan sebab akibat dan pendapat. c. Nilai dan sikap Penilaian IPS yang memiliki unsur nilai dan sikap menonjolkan keyakinan dan prinsip yang telah tertanam dalam diri siswa. Ciri soal yang mengandung unsur nilai dan sikap menggunakan pertanyaan untuk merumuskan pandangan. d. Tindakan Penilaian IPS yang memiliki aspek tindakan meliputi kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan mengambil keputusan. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan tahap paling tinggi dari akumulasi pengetahuan, kemampuan, nilai, dan sikap dan tindakan. Oleh karena itu, ciri soal yang memiliki aspek pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yaitu soal yang merumuskan beberapa alternatif jawaban dari permasalahan atau situasi yang terdapat pada soal. Selain itu, soal yang merumuskan pemilihan solusi adri beberapa alternatif solusi yang terdapat pada soal. BSNP telah mengeluarkan pedoman penilaian yang dapat digunakan oleh pendidik. Adapun prosedur yang dimaksud meliputi penentuan tujuan penilaian, penyusunan kisi-kisi, perumusan indikator pencapaian, penyusunan instrumen, telaah instrumen, pelaksanaan penilaian, pengolahan dan penafsiran hasil penilaian, serta pemanfaatan dan pelaporan hasil penilaian. Untuk tercapainya perencanaan penilaian yang baik, maka harus dilakukan langkah-langkah seperti yang dijabarkan oleh BNSP (2010:15) yaitu : (1) menentukan tujuan tes, (2) menentukan kompetensi yang akan diujikan, (3) menentukan materi yang diujikan, (4) menetapkan penyebaran butir soal berdasarkan kompetensi, materi, dan bentuk penilaiannya (tes tertulis: bentuk pilihan ganda, uraian; dan tes praktik), (5) menyusun kisi-kisinya, (6) menulis butir soal, (7) menelaah secara kualitatif, (8) merakit soal menjadi perangkat tes, (9) menyusun pedoman penskorannya METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menggambarkan sejauhmana pemahaman dan kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian IPS SD. Penelitian ini dilakukan di wilayah kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya dengan kriteria guru kelas tinggi, PNS, telah lulus PPG, dan telah lulus sertifikasi. Berdasarkan kriteria tersebut, didapat 5 (lima) orang guru SD yang sesuai. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan analisis dokumen, dan wawancara. Dokumen yang dikumpulkan untuk mengetahui data rekam jejak pelaksanaan penyususnan instrumen penilaian IPS pada masa lalu. Adapun dokumen yang dijadikan data penelitian yaitu seperangkat instrumen penilaian setelah pembelajaran dan Ujian Tengah Semester (UTS). Wawancara dilakukan untuk mengetahui lebih mendalam tentang pemahamandan hambatan guru dalam menyususn instrumen penilaian. Maka, dalam penelitian ini dilakukan wawancara secara bebas terpimpin. 68

76 Agar dokumentasi dan hasil wawancara dapat dianalisis, maka perlu adanya instrumen penelitian. Dalam penelitian ini, instrumen penelitian disusun berdasarkan Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, Permendiknas nomor 20 tahun 2007 tentang standar penilaian, BNSP tentang pedoman penilaian, dan konsep dasar IPS di SD. Pengembangan instrumen penelitian ini menggambarkan kompetensi guru tentang penyusunan instrumen penilaian. Kompetensi tersebut yaitu sub kompetensi pedagogik yang mencakup penyelenggaraan penilaian dan evaluasi dan hasil belajar, dan sub kompetensi profesional yang mencakup penguasaan konsep materi dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran IPS. Adapun kriteria penilaian instrumen penelitian ini menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono (2012:134) Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena. Kemudian Sugiono (2012:135) menyatakan Jawaban tiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Maka, peneliti menentukan lima kategori penilaian tiap indikator, yaitu : sangat baik (SB) untuk keterangan item indikator yang terpenuhi total, baik (B) untuk keterangan item indikator yang sebagian besar terpenuhi, cukup (C) untuk keterangan antara terpenuhi dan tidak terpenuhi yang seimbang terhadap item indikator, kurang (K) untuk keterangan item indikator yang sebagian kecil terpenuhi, dan sangat kurang (SK) untuk keterangan item indikator yang tidak terpenuhi total atau bukan merupakan hasil subjek penelitian sendiri. Dalam menganilisis data, peneliti mengacu kepada tiga alur proses analisis data menurut Miles and Huberman (2007: 16) Kami anggap bahwa analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi. Tahapan-tahapan tersebut meliputi penelaahan data secara seksama, yaitu data harus benar-benar hasil karya subjek penelitian. Dengan kata lain bukan hasil karya orang lain yang digunakan oleh subjek penelitian. Data yang bukan hasil karya subjek penelitian tidak dapat digunakan untuk menganalisis kompetensi subjek penelitian dalam menyusun istrumen penilaian. Setelah data benar-benar sesuai dengan kriteria tersebut, dilanjutkan dengan diklasifikasikan berdasarkan rumusan masalah. Kemudian penemuan-penemuan yang diperoleh dicantumkan dalam instrumen penelitian. Setelah penelaahan, data ditriangulasikan berdasarkan tujuan penelitian dan dibandingkan dengan kajian teori dan penelitian lain yang telah disajikan pada bab sebelumnya. Langkah terahir, peneliti menarik kesimpulan berdasarkan analisis data yang telah dilakukan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara, hanya satu dari lima subjek penelitian yang memiliki pemahaman yang cukup tentang penyusunan instrumen penilaian IPS di SD. Kemudian, tiga dari lima subjek penelitian memiliki pemahaman yang baik tentang penyusunan instrumen penilaian IPS di SD. Sedangkan satu dari lima subjek penelitian memiliki pemahaman yang sangat baik tentang penyusunan instrumen penilaian IPS di SD. Secara umum, pemahaman guru tentang penyusunan instrumen penilaian di kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya memperoleh kriteria baik. Dari hasil analisis dokumentasi menunjukkan bahwa satu dari lima subjek penelitian memiliki kemampuan dalam menyusun instrumen penilaian IPS SD dengan kriteria cukup. Empat dari lima subjek penelitian memiliki kemampuan dalam menyusun instrumen penilaian IPS SD dengan kriteria baik. Kesuliatan guru yang terungkap pada penelitian ini diantaranya seluruh subjek penelitian tidak melakukan analisis butir soal. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu yang cukup panjang. Guru hanya mendokumentasikan soal-soal kedalam bank soal yang dispesifikasikan sesuai dengan materi ajar. 69

77 KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis mengenai kompetensi guru kelas dalam menyusun instrumen penilaian mata pelajaran IPS sekolah dasar di kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya, maka dapat disimpulkan berdasarkan rumusan masalah yaitu mengenai pemahaman, kemampuan, dan kesulitan guru dalam menyusun instrumen penilaian IPS di SD. Pada segi pemahaman penyusunan instrumen penilaian IPS SD di kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya memiliki kecenderungan berkompeten baik. Pada segi kemampuan menyusun instrumen penilaian IPS SD di kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya memiliki kecenderungan berkompeten baik. Kesulitan guru dalam menyusun instrumen penilaian bertumpu pada guru tidak melakukan analisis butir soal. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu yang cukup panjang. Guru hanya mendokumentasikan soal-soal kedalam bank soal yang dispesifikasikan sesuai dengan materi ajar. DAFTAR RUJUKAN BSNP. (2010). Panduan Penulisan Butir Soal. [Online]. Tersedia : /08/panduan-penulisan-butirsoal.pdf (3 Desember 2016) Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004 Pedoman Penilaian Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. CV. Timur Putra Mandiri. Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan untuk SD/MI. [document]. Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Hadiyanti, H. (2012). Studi Deskriptif Pelaksanaan Evaluasi Pembelajaran IPA Siswa Sekolah Dasar Al-Muttaqin Fullday School Kota Tasikmalaya. Skripsi Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar UPI; Tidak Diterbitkan. Jarolimek, J Social Studies in Elementary Education. New York : Macmillan Publishing. Kunandar Guru Profesional. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Miles, B. Matthew dan Huberman, A. M. (2007). Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI-Press. Nitko, Anthony J. (1996). Educational Assessment of Students. Second Edition. New Jersey : Englewood Cliffs. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun Standar Penilaian Pendidikan. [Online]. Tersedia : m/2013/06/04-a-salinan-permendikbudno-66-th-2013-ttg-standarpenilaian.pdf(1 November 2016) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. ess.com/standar-kompetensi-gurustandar-kompetensi-kepala-sekolahstandar-kompetensi-pengawaspermendiknas-no / (1 Desember 2016) Sapriya, (2011). Konsep dan Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Slameto, (2011). Pengembangan Kompetensi Pedagogik dan Profesional Guru. Jurnal. 1/11/pengembangan-kompetensipedagogik-dan.html (19 Oktober 2012) Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Widaningsih, Dedeh. (2011). Perencanaan Pembelajaran. Tasikmalaya, Rizqi Press. 70

78 PENERAPAN MODEL KOOPERATIF LEARNING DENGAN TIPE TALKING STICK PADA PENGJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN PROSES DAN MENDAPATKAN HASIL BELAJAR SISWA Rana Gustian Nugraha 1, Dissa Revitasari 2 Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Sebelas April Sumedang ranaagustian@upi.edu ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi oleh rendahnya hasil belajar siswa pada pembelajaran IPS materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah di kelas VB SDN Karapyak 1. Alternatif cara untuk meningkatkan proses dan hasil belajar, guru harus menggunakan penerapan model pembelajaran. Model yang efektif yaitu dengan penerapan model pembelajaran kooperatif talking stick. Untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS maka dilakukan penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VB SDN Karapyak 1 tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 38 siswa. Hasil penelitian yang diperoleh persentase hasil belajar siswa pretest dengan persentase 0% meningkatkan pada siklus I dengan presentase 68%, dan meningkat pada siklus II dengna presentase 92%. Sedangkan untuk hasil proses belajar siswa diperoleh presentase 29% untuk kategori baik, 63% untuk kategori cukup, dan 8% untuk kategori kurang pada siklus I dan meningkat pada siklus II dengan presentase kategori baik 66%, kategori cukup 34% dan 0% untuk kategori kurang. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, penerapan model kooperatif tipe talking stick pada mata pelajaran IPS materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah mulai dari perencanaan yang tepat, pelaksanaan yang sesuai dengan prosedur penelitian, pengamatan, dan refleksi maka dihasilkan proses dan hasil belajar siswa meningkat dengan baik. Kata kunci: Model Pembelajaran Kooperatif, Talking Stick THE IMPLEMENTATION OF MODEL COOPERATIVE LEARNING TYPE TALKING STICK IN SOCIAL SCIENCE THIS MATERIAL IS NEEDED TO IMPROVE THE PROCESS AND OBTAIN THE RESULT OF LEARNING STUDENTS ABSTRACT Based on this research by low the resultsin social science subject on Indonesian Resistance Against The Colonialist material to increase the process and the result of learning students at VB class SDN Karapyak 1. The Alternative ways to improve process and obtain the result of learning students then the teacher will decide a learning model. Models are effective by applying model learning is cooperative model type talking stick. To improve the process and the result of learning students in the social science subject is classroom action research which consists of two cycle. Every cycle consist of planning, acting, observing, and reflecing. The subject of this research are students of VB class SDN Karapyak 1 year of lesson 2015/2016 consist of 38 students. As a result of this research established the result percentage of learning students pre-cycle percentage 0% increase at first cycle percentage 68%, and increase at second cycle is 92%. Meanwhile, as for the result of the learning process students established percentage : 29% for high category, 63% for middle category, and 8% for low category on first cycle and increase on second cycle percentage : 66% for high category, 34% for middle category, and 0% for low category. According on the research results can be concluded that the implementation of model cooperative learning type talking stick in social science subject social on Indonesian Resistance Against The Colonialist material begin from right planning, acting with right procedure, observing, and finally reflecting of the process and the results of learning students increased. Key Words : Cooperative Learning, Talking Stick 71

79 PENDAHULUAN Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran untuk menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Tujuan dari Mata Pelajaran IPS, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif, dan terampil mengatasi masalah setiap masalah baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Perkembangan IPTEK saat ini semakin bertambah maju dan modern. Sebagai seorang guru, kita dapat memanfaatkan perkembangan tersebut dalam pembelajaran. Namun, tidak semua guru memanfaatkan itu, karena ada guru yang masih menggunakan strategi dan metode pembelajaran tradisional. Akibatnya, guru menjadi malas untuk melakukan inovasi. Dalam pembelajaran, inovasi sangat diperlukan (Shoimin, 2013 : 19). Di dunia Internasional, mutu pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 127 negara berdasarkan laporan UNESCO EFA Global Monitoring Report 2011.Ditingkat Asia, saat ini Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam dan Jepang (disdikpora.palangkaraya.go.id). Dalam proses pembelajaran seorang guru harus memperhatikan komponenkomponen pembelajaran. Komponen pembelajaran itu terdiri dari tujuan pembelajaran, guru, siswa, model, materi, media, sumber belajar dan evaluasi. Pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah salah satu faktor pemicunya, yaitu pembelajaran kurang dikemas sebaik dan semenarik mungkin oleh guru sehingga belajar terkesan membosankan dan anakanak ingin segera kembali ke rumahnya masing-masing atau siswa yang tidak mau mencoba ikut serta atau terlibat ketika proses pembelajaran sedang berlangsung di kelas. Akhirnya, tujuan pembelajaran tidak tercapai ketika proses dan evaluasi. Siswa tidak merasakan proses belajar yang baik dan tidak membuat siswa untuk berfikir kritis serta holistik dalam memecahkan masalah. Indonesia masih mempunyai kekurangan terutama dalam bidang pendidikan baik dari penyusunan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa, kualitas guru, sistem, sarana, dan prasarana yang menunjang pembelajaran, dan lain-lain. Kegiatan belajar mengajar di kelas erat korelasinya dengan proses atau aktivitas siswa yang akan berdampak pada hasil belajar siswa. Keaktifan siswa di kelas tergantung pada penyajian guru dalam menstimulasi anak ketika belajar. Hasil belajar siswa adalah hasil yang dicapai seorang siswa setelah mengalami proses belajar dan melewati tahap evaluasi diakhir proses pembelajaran. Biasanya hasil belajar siswa berbentuk laporan hasil belajar (raport). Tolok ukur keberhasilan siswa adalah guru. Maka dari itu, guru harus membuat RPP sebaik mungkin agar tujuan pembelajaran tercapai. Berdasarkan pengalaman nyata dan hasil refleksi dari penulis, ada satu kendala yang penulis temukan dari guru, yaitu kurang memperhatikan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Kualitas pembelajaran seorang guru diawali dengan pembuatan RPP (Chatib, 2009 : 150). Seharusnya model pembelajaran harus selalu diperbaharui dan sering dimodifikasi agar lebih bervariasi yang tak terlepas dari kebutuhan siswa dalam proses belajar mengajar di kelas. Dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar, penyajian model pembelajaran seorang guru dituntut agar bervariatif dan inovatif guna merangsang motivasi siswa untuk belajar dan mencegah siswa dari kejenuhan proses belajar, sehingga memberi kesegaran agar proses belajar menjadi suatu proses yang menyenangkan bagi siswa, dengan demikian tujuan dari pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan data awal yang penulis peroleh, bahwa belum ada siswa yang memenuhi KKM untuk sub materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan 72

80 Penjajah. Nilai KKM IPS kelas V di SDN Karapyak 1 adalah 72. Model pembelajaran kooperatif ada berbagai tipe diantaranya, yaitu Jigsaw, Think Pair Share, Numbered Heads Together, Group Investigation, Make a match, Talking Stick, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Model pembelajaran kooperatif tipe Talking Stick. Menurut Shoimin (2014 : 192) talking stick (tongkat berbicara) adalah metode yang digunakan penduduk Amerika untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum. Model ini merupakan model pembelajaran kelompok dengan bantuan tongkat. Kelompok yang memegang tongkat terlebih dahulu wajib menjawab pertanyaan dari guru. Kegiatan ini diulang terus menerus sampai semua kelompok mendapatkan giliran untuk menjawab pertanyaan dari guru. Langkah-langkah talking stick (Shoimin, 2014 : ) : 1) Guru menyiapkan tongkat; 2) Menyiapkan materi; 3) Siswa membaca materi pada wacana; 4) Guru meminta kepada peserta didik untuk menutup bukunya; 5) Guru mengambil tongkat yang telah dipersiapkan sebelumnya; 6) Guru memberikan kepada salah satu peserta didik dan peserta didik yang mendapat tongkat diwajibkan menjawab pertanyaan dari guru demikian seterusnya; 7) Guru memberikan kesimpulan; 8) Guru melakukan evaluasi; 9) Guru menutup pelajaran. Ada beberapa kelebihan dan kelemahan talking stick (Shoimin, 2014 : 199) : No Kelebihan Kelemahan 1 Menguji kesiapan peserta didik dalam pembelajaran 2 Melatih peserta didik memahami materi dengan cepat 3 Memacu agar peserta didik lebih giat belajar 4 Peserta didik berani mengemukakan pendapat Siswa individu cenderung Materi yang diserap kurang Guru kesulitan melakukan pengawasan Ketenangan kelas kurang terjaga Tabel 1. Kelebihan dan Kelemahan Talking Stick Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan oleh peneliti, maka fokus penelitian tersebut adalah : 1) Untuk mengetahui bagaimana proses belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe talking stick? 2) Untuk mengetahui bagaimana hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran tipe kooperatif talking stick? METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dalam bahasa Inggris PTK disebut Classroom Action Research (CAR). Penelitian Tindakan Kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat mengorganisasikan kondisi praktik pembelajaran mereka, dan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Pada intinya, PTK dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Mereka dapat mencobakan suatu gagasan perbaikan dalam praktik pembelajaran mereka, dan melihat pengaruh nyata dari upaya itu (Wiriaatmadja, 2005 : 13). Penelitian adalah suatu proses atau suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis guna mendapatkan pemecahan masalah/mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu (Suryabrata, 1983 : 11). Dalam KBBI tindakan adalah sesuatu yang dilakukan; perbuatan sedangkan kelas adalah tingkat; ruang tempat belajar. Ciri Khas PTK adalah adanya tindakan kolaboratif partisipan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa PTK merupakan suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan tertentu yang dapat memperbaiki proses pembelajaran di kelas. Terkait dengan PTK, peneliti menggunakan desain Kemmis dan Mc.Taggart yang dianggap sederhana dan mudah dipahami. Penelitian Tindakan Kelas termasuk dalam penelitian kualitatif. Creswell (1998) menjabarkan bahwa 73

81 penelitian kualitatif adalah sebuah proses inkuiri yang menyelidiki masalah-masalah sosial dan kemanusiaan dengan tradisi metodologi yang berbeda. Menurut Wiriaatmadja (2005) PTK partisipan ialah suatu penelitian tindakan kelas di mana orang akan melaksanakan penelitian sejak awal sampai dengan membuat hasil penelitian yang berupa laporan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan PTK Partisipan artinya peneliti terlibat langsung di dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Wiriaatmadja (2005) Penelitian Tindakan Kelas mempunyai beberapa karakteristik diantaranya: 1) Didasarkan pada masalah yang dihadapi oleh guru dalam instruksional; 2) Adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; 3) Peneliti sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; 4) Bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik instruksional; 5) Dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus; 6) Pihak yang melakukan tindakan adalah guru sendiri. Berdasarkan jenis penelitian sebagaimana dipaparkan sebelumnya, rancangan atau desain PTK yang digunakan adalah menggunakan desain PTK kemmis dan Mc.Taggart yang dalam alur penelitiannya meliputi beberapa langkah (Wiriaatmadja, 2005 : 66). Langkah-langkah desain PTK kemmis dan Mc.Taggart adalah sebagai berikut : 1. Perencanaan (plan); rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan PTK, mulai dari materi atau bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode, teknik mengajar, instrumen, observasi, dan evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini. 2. Melaksanakan tindakan (act); pelaksanaan tindakan menyangkut apa yang dilakukan peneliti sebagai upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang dilaksanakan berpedoman pada rencana tindakan. Jenis yang dilakukan pada PTK hendaknya selalu didasarkan pada pertimbangan teoritik dan empirik. 3. Melaksanakan pengamatan (observe); peneliti mengamati hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan siswa; kegiatan analisis, sintesis, interpretasi terhadap semua informasi yang diperoleh saat kegiatan tindakan (act). 4. Refleksi (reflection); Dalam kegiatan ini peneliti mengkaji, melihat, dan mempertimbangkan hasil-hasil atau dampak dari tindakan. Gambar 1 Desain Spiral Kemmis dan Mc Taggart (Wiriaatmadja, 2005 : 66) HASIL DAN PEMBAHASAN Upaya perbaikan pembelajaran yang menyangkut aktivitas guru maupun siswa dengan pembelajaran yang dilakukan dengan memodifikasi model pembelajaran dan memadukannya dengan media pembelajaran audio-visual yang menayangkan film dokumenter berdurasi singkat terbukti sangat membantu pencapaian tujuan pembelajaran, terbukti data empiris dilapangan, hasil belajar siswa dalam pelajaran IPS pada materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah yang dilakukan pembelajaran sampai pada siklus II persentase hasil belajar meningkat 24% yang semula pada siklus I 68% menjadi 92% pada siklus ke II dan untuk proses belajar siswa selama proses pembelajaran pada siklus I, yakni 29% menjadi 66% pada siklus II yang 74

82 termasuk kategori baik. Terjadi peningkatan 37% untuk proses belajar siswa, persentase kinerja guru juga meningkat dari persentase 81% pada siklus I menjadi 96% pada siklus II. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : No. Nama Siswa Pra Siklus Nilai Siklus I Siklus II 1 S S S S S S S S S S S S S ,5 14 S S S S S S S S S S Keterangan Naik Turun Tetap 24 S S S S S S S S S S S S35 Izin S S S Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa Kelas VB SDN Karapyak I Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II Pengolahan dan Analisis Data Berikut ini data perkembangan kemajuan proses dan hasil belajar siswa melalui pengamatan langsung ke lapangan mengenai materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah di kelas VB SDN Karapyak I Kel. Situ Kec. Sumedang Utara Kabupaten Sumedang pada setiap siklusnya. T= Tuntas BT= Belum Tuntas B= Baik C= Cukup K= Kurang Tabel 3. Perkembangan Kemajuan Hasil Belajar, Proses Belajar, dan Kinerja Guru MenggunakanModel Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Stick Dari tabel di atas diketahui terjadi perubahan pencapaian target pada setiap siklusnya, hal ini membuktikan pembelajaran IPS menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe talking stick pada kelas VB SDN Karapyak 1 Kel. Situ Kec. Sumedang Utara Kabupaten Sumedang berhasil dilakukan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pemaparan data dan pembahasan mengenai Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Stick Pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Pada Materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah Untuk Meningkatkan Proses Dan Hasil Siswa Di Kelas VB SDN Karapyak I Kel Situ Kec. Sumedang Utara Kab Sumedang. maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Hasil proses belajar siswa siswa pada siklus I bahwa siswa yang termasuk dalam kategori baik (B) ada 11 orang, siswa yang termasuk kategori cukup (C) ada 24 orang, dan siswa yang termasuk kategori kurang (K) ada 3 orang. Maka, persentase proses 75

83 belajar siswa pada siklus I yang termasuk dalam kategori baik (B) ada 11 siswa = 29%, kategori cukup (C) ada 24 siswa = 63%, kategori kurang (K) ada 3 siswa = 8%. Sedangkan pada siklus II bahwa siswa yang termasuk dalam kategori baik (B) ada 25 orang, siswa yang termasuk kategori cukup (C) ada 13 orang, dan tidak ada siswa yang termasuk kategori kurang (K). Proses belajar siswa terjadi peningkatan pada siklus II. Maka, persentase proses belajar siswa pada siklus I yang termasuk dalam kategori baik (B) ada 25 siswa = 66%, kategori cukup (C) ada 13 siswa = 34%, dan tidak ada siswa yang masuk pada kategori kurang = 0%. Nilai hasil belajar pra siklus adalah 0% untuk siswa yang tuntas dan 100% untuk siswa yang belum tuntas. Persentase nilai hasil belajar siswa pada siklus I, yakni 68% untuk siswa yang tuntas dan 32% untuk siswa yang belum tuntas. Nilai hasil belajar yang tertinggi pada siklus I adalah 95. Persentase ketuntasan belajar siswa mengalami peningkatan dari penilaian hasil pra siklus. Sedangkan pada siklus II persentase nilai hasil belajar siswa yang tuntas, yakni 92% dan 8% siswa yang belum tuntas. Nilai hasil belajar yang tertinggi pada siklus II adalah 100. Ada 18 siswa yang mendapatkan nilai 100 pada saat evaluasi. DAFTAR PUSTAKA Chatib, M Sekolah Manusia. Bandung : Kaifa kualitas-pendidikan-indonesiaranking-69-tingkat-dunia.html (diakses pada 22 Maret 2016) Shoimin, A Model Pembelajaran Inovatif Dalam Kurikulum Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Suryabrata, S Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Raja Grafindo Persada. Wiriaatmadja, R Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Rosda. 76

84

ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA SEKOLAH DASAR DALAM MEMAHAMI APLIKASI OPERASI HITUNG MATEMATIKA DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING

ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA SEKOLAH DASAR DALAM MEMAHAMI APLIKASI OPERASI HITUNG MATEMATIKA DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA SEKOLAH DASAR DALAM MEMAHAMI APLIKASI OPERASI HITUNG MATEMATIKA DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING Geri Syahril Sidik 1, Fajar Nugraha 2, Dina Ferisa 3 Universitas Perjuangan Tasikmalaya

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES BERPIKIR DALAM PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING

ANALISIS PROSES BERPIKIR DALAM PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING ANALISIS PROSES BERPIKIR DALAM PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING PGSD FKIP, Universitas Perjuangan Tasikmalaya geri.syahril.unper@gmail.com Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi

Lebih terperinci

MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA GROWING ACADEMIC CHARACTERS IN LOGICAL-BASED LECTURING

MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA GROWING ACADEMIC CHARACTERS IN LOGICAL-BASED LECTURING MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA Dedi Heryadi Universitas Siliwangi Tasikmalaya dediheryadi61@yahoo.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji urutan perkuliahan

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X SMA NEGERI 2 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh : LAKSMI PUSPITASARI K4308019

Lebih terperinci

MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA

MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA Dedi Heryadi Universitas Siliwangi Tasikmalaya Email: dediheryadi 61 @ yahoo.com Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji urutan

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN ACTIVE KNOWLEDGE SHARING

PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN ACTIVE KNOWLEDGE SHARING PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN ACTIVE KNOWLEDGE SHARING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR RANAH KOGNITF DAN RANAH AFEKTIF SISWA KELAS X SEMESTER GENAP SMA NEGERI 2 KARANGANYAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Operasi hitung campuran bilangan bulat merupakan salah satu kompetensi bagi siswa kelas V. Kompetensi tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Standar Isi Sekolah

Lebih terperinci

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X MA DINIYAH PUTERI PEKANBARU

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X MA DINIYAH PUTERI PEKANBARU 1 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X MA DINIYAH PUTERI PEKANBARU Oleh: Adillah Harniati 1 Sehatta Saragih 2 Syarifah Nur Siregar 2 flo_anteredium@yahoo.com

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA PECAHAN DENGAN METODE PROBLEM SOLVING LEARNING (PSL)

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA PECAHAN DENGAN METODE PROBLEM SOLVING LEARNING (PSL) PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA PECAHAN DENGAN METODE PROBLEM SOLVING LEARNING (PSL) Atika Santi Rosana 1), St. Y. Slamet 2), Kuswadi 3), Siti Kamsiyati 4) PGSD FKIP Universitas Sebelas

Lebih terperinci

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini disampaikan pendahuluan penelitian yang meliputi latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian

Lebih terperinci

Pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe student facilitator and explaining terhadap pemahaman matematik peserta didik

Pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe student facilitator and explaining terhadap pemahaman matematik peserta didik Jurnal Penelitian Pendidikan dan Pengajaran Matematika vol. 2 no. 1, pp. 29 34, Maret 2016 Pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe student facilitator and explaining terhadap pemahaman matematik

Lebih terperinci

2013 PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR

2013 PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan dasar bagi pengetahuan manusia. Bahasa juga dikatakan sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh setiap manusia dengan yang lain. Sebagai alat

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA TENTANG PERKALIAN DAN PEMBAGIAN PECAHAN PADA SISWA KELAS V SDN 1 TAMANWINANGUN TAHUN AJARAN 2016/2017 Khusnul Khotimah

Lebih terperinci

MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA ACADEMIC CHARACTERS DEVELOPMENT THROUGH LOGICAL-BASED LECTURING

MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA ACADEMIC CHARACTERS DEVELOPMENT THROUGH LOGICAL-BASED LECTURING MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA ACADEMIC CHARACTERS DEVELOPMENT THROUGH LOGICAL-BASED LECTURING Dedi Heryadi Universitas Siliwangi Tasikmalaya Jln. Siliwangi 24, kode pos

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL (SPLDV) DAN SCAFFOLDING- NYA BERDASARKAN ANALISIS KESALAHAN NEWMAN

ANALISIS KESALAHAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL (SPLDV) DAN SCAFFOLDING- NYA BERDASARKAN ANALISIS KESALAHAN NEWMAN Analisis Kesalahan Menyelesaikan... (Puspita Rahayuningsih&Abdul Qohar) 109 ANALISIS KESALAHAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL (SPLDV) DAN SCAFFOLDING- NYA BERDASARKAN ANALISIS

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE ROLE PLAYING DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS DI KELAS V SD

PENGGUNAAN METODE ROLE PLAYING DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS DI KELAS V SD PENGGUNAAN METODE ROLE PLAYING DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS DI KELAS V SD Oleh: Faisal Rahman Luthfi 1, Suripto 2, Harun Setyo Budi 3 FKIP, PGSD Universitas Sebelas Maret E-mail: luthfifaisal@ymail.com

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF GROUP INVESTIGATION (GI) TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS X SMA NEGERI 4 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh

Lebih terperinci

peningkatan kualitas kehidupan, serta pertumbuhan tingkat intelektualitas, dimensi pendidikan juga semakin kompleks. Hal ini tentu membutuhkan desain

peningkatan kualitas kehidupan, serta pertumbuhan tingkat intelektualitas, dimensi pendidikan juga semakin kompleks. Hal ini tentu membutuhkan desain Eni Sukaeni, 2012 Penggunaan Model Penemuan Konsep BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kualitas kehidupan, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan di sekolah bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan intelektual dalam bidang

Lebih terperinci

Premiere Educandum Jurnal Pendidikan Dasar dan Pembelajaran

Premiere Educandum Jurnal Pendidikan Dasar dan Pembelajaran Premiere Educandum Jurnal Pendidikan Dasar dan Pembelajaran PE Premiere Educandum 7(1) 87 94 Juni 2017 Copyright 2017 PGSD Universitas PGRI Madiun P ISSN: 2088-550/E ISSN: 2528-517 Available at: http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/pe

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN SERVICE LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2011/2012

PENGARUH PENERAPAN SERVICE LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2011/2012 PENGARUH PENERAPAN SERVICE LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh : VITA ANGGUN CAHYANI K4308059 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI ALAT PERAGA LINGKARAN SISWA KELAS IV SDN SOKA 1

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI ALAT PERAGA LINGKARAN SISWA KELAS IV SDN SOKA 1 Peningkatan Hasil Belajar... (Lilik Endang Dewani) 1.353 PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI ALAT PERAGA LINGKARAN SISWA KELAS IV SDN SOKA 1 IMPROVING MATHEMATICS LEARNING ACHIEVEMENT THROUGH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam perkembangan ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan penting guna meningkatkan kualitas dan potensi

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan penting guna meningkatkan kualitas dan potensi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memiliki peranan penting guna meningkatkan kualitas dan potensi sumber daya manusia. Melalui pendidikan akan terjadi proses pendewasaan diri sehingga di dalam

Lebih terperinci

Petunjuk bagi Calon Penulis Jurnal Pendidikan dan Pengajaran

Petunjuk bagi Calon Penulis Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Petunjuk bagi Calon Penulis Jurnal Pendidikan dan Pengajaran 1. Artikel yang ditulis untuk JPP meliputi hasil penelitian (paling lama 5 tahun saat naskah diajukan) dan pemikiran dalam bidang pendidikan

Lebih terperinci

PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA DITINJAU BERDASARKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA

PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA DITINJAU BERDASARKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA DITINJAU BERDASARKAN KEMAMPUAN MATEMATIKA (THE STUDENT THINKING PROCESS IN SOLVING MATH STORY PROBLEM) Milda Retna (mildaretna@yahoo.co.id) Lailatul

Lebih terperinci

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS SISWA SD KELAS III MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERBASIS PERMAINAN TRAD ISIONAL

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS SISWA SD KELAS III MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERBASIS PERMAINAN TRAD ISIONAL 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar matematika bukan hanya merupakan akumulasi pengetahuan tetapi bagaimana proses dalam berpikir untuk menerjemahkan fakta-fakta yang berkembang dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di Indonesia yang sederajat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Perbedaan yang

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INQUIRING MINDS WANT TO KNOW (IMWK)

PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INQUIRING MINDS WANT TO KNOW (IMWK) PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN INQUIRING MINDS WANT TO KNOW (IMWK) TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS X SEMESTER GENAP SMA NEGERI 2 KARANGANYAR TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CORE

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CORE UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) (PTK Pembelajaran Matematika Bagi Siswa Kelas VIIB Semester Genap

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) TERHADAP HASIL BELAJAR BIOLOGI DITINJAU DARI GAYA BELAJAR SISWA SMA NEGERI 5 SURAKARTA SKRIPSI Oleh : VERA IRAWAN WINDIATMOJO NIM K4308058

Lebih terperinci

PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV PADA PEMELAJARAN IPS MELALUI METODE PROBLEM SOLVING DI SD NEGERI 03 KOTO KACIAK MANINJAU

PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV PADA PEMELAJARAN IPS MELALUI METODE PROBLEM SOLVING DI SD NEGERI 03 KOTO KACIAK MANINJAU PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV PADA PEMELAJARAN IPS MELALUI METODE PROBLEM SOLVING DI SD NEGERI 03 KOTO KACIAK MANINJAU Desi Fitria 1, Pebriyenni 1, Asrul Thaher 2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATA KULIAH KONSEP DASAR BILANGAN UNTUK MAHASISWA PGSD FKIP UNIVERSITAS BENGKULU

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATA KULIAH KONSEP DASAR BILANGAN UNTUK MAHASISWA PGSD FKIP UNIVERSITAS BENGKULU JPD: Jurnal Pendidikan Dasar P-ISSN 2086-7433 E-ISSN 2549-5801 DOI: doi.org/10.21009/jpd.091.09 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATA KULIAH KONSEP DASAR BILANGAN UNTUK MAHASISWA PGSD FKIP UNIVERSITAS BENGKULU

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN MURDER TERHADAP PARTISIPASI DAN KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS SISWA SMA NEGERI 1 GOMBONG PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI

EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN MURDER TERHADAP PARTISIPASI DAN KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS SISWA SMA NEGERI 1 GOMBONG PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN MURDER TERHADAP PARTISIPASI DAN KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS SISWA SMA NEGERI 1 GOMBONG PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI SKRIPSI Oleh: DISKA ASANI K4308016 FAKULTAS KEGURUAN

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN. Oleh RANTI EFRIZAL NPM

ARTIKEL PENELITIAN. Oleh RANTI EFRIZAL NPM ARTIKEL PENELITIAN PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV PADA PEMBELAJARAN IPA DENGAN MODEL DISCOVERY LEARNING DI SD NEGERI 37 ALANG LAWEH PADANG Oleh RANTI EFRIZAL NPM 1210013411035 PROGRAM

Lebih terperinci

Mivafarlian et al., Penerapan Metode Diskusi Berbantuan Garis Bilangan. 1

Mivafarlian et al., Penerapan Metode Diskusi Berbantuan Garis Bilangan. 1 Mivafarlian et al., Penerapan Metode Diskusi Berbantuan Garis Bilangan. 1 Penerapan Metode Diskusi Berbantuan Garis Bilangan untuk Meningkatkan dan Hasil Belajar Kelas IV Materi Penjumlahan dan Pengurangan

Lebih terperinci

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS MELALUI PENERAPAN PENGAJARAN REMEDIAL INCREASE OF LEARNING ENGLISH THROUGH APPLICATION REMEDIAL TEACHING

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS MELALUI PENERAPAN PENGAJARAN REMEDIAL INCREASE OF LEARNING ENGLISH THROUGH APPLICATION REMEDIAL TEACHING MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS MELALUI PENERAPAN PENGAJARAN REMEDIAL INCREASE OF LEARNING ENGLISH THROUGH APPLICATION REMEDIAL TEACHING Rahmatiah SMP Negeri 33 Makassar Rahmatiah33makassar@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa pembentukan Pemerintah Negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perwujudan dari amanat itu, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Dengan pendidikan seseorang dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup Negara, juga merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas

Lebih terperinci

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG BILANGAN BULAT MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG BILANGAN BULAT MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG BILANGAN BULAT MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION Eka Puji Lestari 1), Kuswadi 2), Karsono 3) PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret, Jalan Slamet Riyadi

Lebih terperinci

Seprotanto Simbolon 1, Sakur 2, Syofni 3 Contact :

Seprotanto Simbolon 1, Sakur 2, Syofni 3  Contact : 1 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TSTS (TWO STAY TWO STRAY) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PESERTA DIDIK KELAS VII B SMPN 10 TAPUNG Seprotanto Simbolon 1, Sakur 2, Syofni 3 Seprotantobest@yahoo.co.id,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MEDIA VISUAL PADA PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU JURNAL. Oleh FENTI MIFTAHUL JANNAH ASMAUL KHAIR RAPANI

PENGGUNAAN MEDIA VISUAL PADA PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU JURNAL. Oleh FENTI MIFTAHUL JANNAH ASMAUL KHAIR RAPANI PENGGUNAAN MEDIA VISUAL PADA PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU JURNAL Oleh FENTI MIFTAHUL JANNAH ASMAUL KHAIR RAPANI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2014 ABSTRAK PENGGUNAAN

Lebih terperinci

Penerapan Pendekatan Auditory Intellectually Repetition (AIR) pada Materi Pertidaksamaan Di Kelas X-C SMAN 1 Kauman Tulungagung Anisa Fatmawati

Penerapan Pendekatan Auditory Intellectually Repetition (AIR) pada Materi Pertidaksamaan Di Kelas X-C SMAN 1 Kauman Tulungagung Anisa Fatmawati Penerapan Pendekatan Auditory Intellectually Repetition (AIR) pada Materi Pertidaksamaan Di Kelas X-C SMAN 1 Kauman Tulungagung Anisa Fatmawati Program Studi Pendidikan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa dari siswa tingkat sekolah dasar, menengah hingga mahasiswa perguruan tinggi. Pada tiap tahapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Perubahan perubahan itu terjadi karena telah dilakukan berbagai usaha pembaharuan dalam pendidikan,

Lebih terperinci

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS LAPORAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE KARYA WISATA

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS LAPORAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE KARYA WISATA PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS LAPORAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE KARYA WISATA (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas VIII SMP Islam ASB Miftahul Ulum Kecamatan Cihaurbeuti Tahun Ajaran 2015/2016)

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING

IMPLEMENTASI STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING IMPLEMENTASI STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING (SFAE) DENGAN MEDIA PRESENTASI UNTUK MENINGKATKAN PEMBELAJARAN IPS PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 1 NGADIROJO TAHUN AJARAN 2014/2015 Shinta Ayu Indriyanti

Lebih terperinci

Keywords: Teams Games Tournament (TGT), visual media, social science

Keywords: Teams Games Tournament (TGT), visual media, social science PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) DENGAN MEDIA VISUAL DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS PADA SISWA KELAS IV SDN 1 BRECONG TAHUN AJARAN 2015/2016 Nurul Hidayati¹, Suripto²,

Lebih terperinci

Departement of Mathematic Education Mathematic and Sains Education Major Faculty of Teacher Training and Education Riau University

Departement of Mathematic Education Mathematic and Sains Education Major Faculty of Teacher Training and Education Riau University 1 THE IMPLEMENTATION OF COOPERATIVE LEARNING MODEL WITH STRUCTURAL NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) APPROACH TO IMPROVE MATHEMATICS LEARNING ACHIEVEMENT IN CLASS VII 3 SMP NEGERI 16 SIJUNJUNG Nadhilah Andriani

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN CBSA PADA PESERTA DIDIK KELAS V.A SDN 18 LEMBAH MELINTANG Arjuni 1)

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN CBSA PADA PESERTA DIDIK KELAS V.A SDN 18 LEMBAH MELINTANG Arjuni 1) UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN CBSA PADA PESERTA DIDIK KELAS V.A SDN 18 LEMBAH MELINTANG Arjuni 1) 1 SDN 18 Lembah Melintang email: arjuni@gmail.com Abstract The problems

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL (SPLDV) MELALUI STRATEGI PROBLEM SOLVING

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL (SPLDV) MELALUI STRATEGI PROBLEM SOLVING PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL (SPLDV) MELALUI STRATEGI PROBLEM SOLVING Saeful Bahri SMP Negeri 14 Balikpapan, Jl. Kutilang Kelurahan Gunung Bahagia,

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBING-PROMPTING DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBING-PROMPTING DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBING-PROMPTING DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA 1 Weny Atika (1), Tina Yunarti (2), Pentatito Gunowibowo (3) Pendidikan Matematika, Universitas Lampung atikaweny@yahoo.com

Lebih terperinci

KESULITAN MAHASISWA PPG PENDIDIKAN FISIKA FKIP UNSYIAH DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN DI BANDA ACEH

KESULITAN MAHASISWA PPG PENDIDIKAN FISIKA FKIP UNSYIAH DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN DI BANDA ACEH 288 Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Pendidikan Fisika. Vol. 2 No.3 Juli 2017, 288-294 KESULITAN MAHASISWA PPG PENDIDIKAN FISIKA FKIP UNSYIAH DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN DI BANDA ACEH Rahmat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2):

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2): BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu. Karena itu matematika sangat diperlukan, baik untuk

Lebih terperinci

MODEL KOOPERATIF MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN AKTIVITAS BELAJAR IPS SISWA KELAS IV

MODEL KOOPERATIF MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN AKTIVITAS BELAJAR IPS SISWA KELAS IV ISSN Cetak 2476-9886 ISSN Online 2477-0302 Jurnal EDUCATIO, Hlm 80-85 Akses Online : http://jurnal.iicet.org Dipublikasikan oleh : Indonesian Institute for Counseling, Education and Therapy (IICET) Info

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, memanfaatkan

Lebih terperinci

Kemampuan Komunikasi Dan Pemahaman Konsep Aljabar Linier Mahasiswa Universitas Putra Indonesia YPTK Padang

Kemampuan Komunikasi Dan Pemahaman Konsep Aljabar Linier Mahasiswa Universitas Putra Indonesia YPTK Padang Kemampuan Komunikasi Dan Pemahaman Konsep Aljabar Linier Mahasiswa Universitas Putra Indonesia YPTK Padang Syelfia Dewimarni UPI YPTK Padang: Syelfia.dewimarni@gmail.com Submitted : 25-03-2017, Revised

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA Prabawati, M. N. p-issn: 2086-4280; e-issn: 2527-8827 ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA THE ANALYSIS OF MATHEMATICS PROSPECTIVE TEACHERS MATHEMATICAL LITERACY SKILL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem Pendidikan Nasional (BNSP, 2006) menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia karena merupakan kebutuhan manusia sepanjang hidupnya. Pendidikan menjadi sarana untuk mengembangkan

Lebih terperinci

Keywords: STAD, Social Skill, Civic Education

Keywords: STAD, Social Skill, Civic Education PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN MEDIA GRAFIS DALAM PENINGKATAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA PADA MATA PELAJARAN PKN KELAS IV SDN MUNGGU TAHUN AJARAN 2014/2015 Oleh: Ikhwati Nurjanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan cara untuk mencerdaskan bangsa dan mencapai tujuan pendidikan nasional, perkembangan jaman saat ini menuntut adanya sumber daya manusia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mewujudkan

PENDAHULUAN Pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mewujudkan PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS SISWA KELAS IV SD NEGERI KEMIRI KIDUL TAHUN AJARAN 2016/2017 Bangkit Yogi Faedoni 1, Suripto 2, Rokhmaniyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan pada setiap jenjang

Lebih terperinci

Indah Purnama *) Kartini dan Susda Heleni **) Progam Studi Pendidikan Matematika FKIP UR HP :

Indah Purnama *) Kartini dan Susda Heleni **) Progam Studi Pendidikan Matematika FKIP UR   HP : APPLICATION OF STRUCTURAL APPROACHES COOPERATIVE LEARNING MODEL THINK PAIR SQUARE TO IMPROVE STUDENT LEARNING MATHEMATICS CLASS OF IV SD NEGERI 036 SERUSA KECAMATAN BANGKO KABUPATEN ROKAN HILIR Indah Purnama

Lebih terperinci

Key Word : Students Math Achievement, Realistic Mathematics Education, Cooperative Learning Model of STAD, Classroom Action Research.

Key Word : Students Math Achievement, Realistic Mathematics Education, Cooperative Learning Model of STAD, Classroom Action Research. 1 PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION DALAM MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PESERTA DIDIK KELAS VIII 6 SMP NEGERI 20 PEKANBARU Andita

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN METODE SOCRATIC CIRCLES DISERTAI MEDIA GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SKRIPSI OLEH: IHDA NURIA AFIDAH K

PENGARUH PENERAPAN METODE SOCRATIC CIRCLES DISERTAI MEDIA GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SKRIPSI OLEH: IHDA NURIA AFIDAH K PENGARUH PENERAPAN METODE SOCRATIC CIRCLES DISERTAI MEDIA GAMBAR TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SKRIPSI OLEH: IHDA NURIA AFIDAH K4308091 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN MENULIS TEKS EKSPOSISI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 GADINGREJO. Oleh

PEMBELAJARAN MENULIS TEKS EKSPOSISI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 GADINGREJO. Oleh PEMBELAJARAN MENULIS TEKS EKSPOSISI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 GADINGREJO Oleh Yuni Setiawati Iqbal Hilal Mulyanto Widodo Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan e-mail: yunisetiawati520@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan tepat. Hal tersebut diperjelas dalam Undang - Undang No 2 Tahun BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pendidikan merupakan faktor yang berperan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dihasilkan dari sistem pendidikan yang baik dan tepat.

Lebih terperinci

kemajuan. Begitu pula sebaliknya, jika Pendidikan merupakan kebutuhan PENDAHULUAN pendidikan berkualitas buruk, bisa

kemajuan. Begitu pula sebaliknya, jika Pendidikan merupakan kebutuhan PENDAHULUAN pendidikan berkualitas buruk, bisa PENERAPAN METODE PROBLEM SOLVING LEARNING (PSL) DENGAN MEDIA BENDA KONKRET TENTANG BANGUN RUANG DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS V SDN 7 KUTOSARI TAHUN AJARAN 2015/2016 Slamet Waryanto

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS PESERTA DIDIK KELAS 1 SD ARTIKEL PENELITIAN OLEH:

PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS PESERTA DIDIK KELAS 1 SD ARTIKEL PENELITIAN OLEH: PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS PESERTA DIDIK KELAS 1 SD ARTIKEL PENELITIAN OLEH: MAKSIMUS F 34211556 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN BERPIKIR KREATIF SISWA PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI SKRIPSI OLEH: YENNY PUTRI PRATIWI K4308128 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan umum pendidikan di Indonesia tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pondasi utama dalam upaya memajukan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pondasi utama dalam upaya memajukan bangsa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan pondasi utama dalam upaya memajukan bangsa. Suatu bangsa dapat dikatakan maju apabila pendidikan di negara tersebut maju dan dapat mengelola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Semakin berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada masa global ini, menuntut sumber daya manusia yang berkualitas serta bersikap kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global sekarang ini menuntut individu untuk berkembang menjadi manusia berkualitas yang memiliki

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE TGT DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS V SD NEGERI 2 BOCOR

PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE TGT DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS V SD NEGERI 2 BOCOR PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE TGT DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA SISWA KELAS V SD NEGERI 2 BOCOR Gatot Prayitno 1, Suripto 2, Chamdani 3 PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret, Jl. Kepodang 67A

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS TERHADAP SOAL-SOAL OPEN ENDED

ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS TERHADAP SOAL-SOAL OPEN ENDED ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS TERHADAP SOAL-SOAL OPEN ENDED Dian Nopitasari Universitas Muhammadiyah Tangerang, Jl. Perintis Kemerdekaan 1/33, d_novietasari@yahoo.com ABSTRAK Tujuan penelitian

Lebih terperinci

Rahayu 6, Chumi Z F 7, Ika L R 8

Rahayu 6, Chumi Z F 7, Ika L R 8 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN IPS POKOK BAHASAN MASALAH SOSIAL PADA SISWA KELAS IV SDN JATISARI 02 JEMBER Rahayu

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR

PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR Ulfatun Rohmah 1, Suhartono 2, Ngatman 3 PGSD FKIP Universitas Negeri Sebelas Maret, Jalan Kepodang 67A Panjer Kebumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tingkat dasar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. di tingkat dasar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang pendidikan dewasa ini dapat dilihat dari peningkatan sistem pelaksanaan pendidikan dan pengembangan pembelajaran yang selalu diusahakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA DI KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

ANALISIS KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA DI KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA P ANALISIS KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA DI KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Paskalina Aprilita, Ade Mirza, Asep Nursangaji Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan, Pontianak Email :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dapat kita rasakan

Lebih terperinci

Oleh : Destyana Ayu Wulandari A

Oleh : Destyana Ayu Wulandari A OPTIMALISASI PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL MELALUI STRATEGI PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA KELAS VIIA SMP N 3 POLOKARTO TAHUN AJARAN 2015/2016 PUBLIKASI ILMIAH Disusun sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK PESERTA DIDIK

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK PESERTA DIDIK PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK PESERTA DIDIK (Penelitian di Kelas VII SMP Negeri 3 Tasikmalaya) Mopyani Cahyaty e-mail: mopyani.cahyaty@student.unsil.ac.id

Lebih terperinci

PROSES SCAFFOLDING BERDASARKAN DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT DENGAN MENGGUNAKAN MAPPING MATHEMATICS

PROSES SCAFFOLDING BERDASARKAN DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT DENGAN MENGGUNAKAN MAPPING MATHEMATICS PROSES SCAFFOLDING BERDASARKAN DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT DENGAN MENGGUNAKAN MAPPING MATHEMATICS Yusi Hartutik, Subanji, dan Santi Irawati SMK Negeri 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana pendidikan merupakan usaha sadar dan penuh tanggung jawab dari orang dewasa dalam membimbing, memimpin, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan pondasi utama dalam upaya memajukan bangsa. Suatu bangsa dapat dikatakan maju apabila pendidikan di negara tersebut dapat mengelola sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat sangat membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya yaitu aspek pendidikan.

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DENGAN MEDIA MUATAN DALAM PENINGKATAN

PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DENGAN MEDIA MUATAN DALAM PENINGKATAN PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DENGAN MEDIA MUATAN DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT PADA SISWA KELAS IV SDN 2 GEMEKSEKTI TAHUN AJARAN 2015/2016 Siti Rokhmah 1, Wahyudi

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA Rian Setiawan 1), Sukarno 2), Karsono 3) PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret Jalan Slamet Riyadi 449 Surakarta

Lebih terperinci

Oleh: Ririne Kharismawati* ) Sehatta Saragih** ) Kartini*** ) ABSTRACT

Oleh: Ririne Kharismawati* ) Sehatta Saragih** ) Kartini*** ) ABSTRACT MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF PENDEKATAN STRUKTURAL THINK PAIR SQUARE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X-A SMA AL-HUDA PEKANBARU Oleh: Ririne Kharismawati* ) Sehatta Saragih** )

Lebih terperinci

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS V DENGAN MODEL GUIDED TEACHING DI SD NEGERI 23 TAMPUNIK PESISIR SELATAN

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS V DENGAN MODEL GUIDED TEACHING DI SD NEGERI 23 TAMPUNIK PESISIR SELATAN PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS V DENGAN MODEL GUIDED TEACHING DI SD NEGERI 23 TAMPUNIK PESISIR SELATAN Seprianti I, Fazri Zuzano 1, Erwinsyah Satria I I) Program Studi Pendidikan Guru

Lebih terperinci

P 75 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI INTERKONEKSI

P 75 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI INTERKONEKSI P 75 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI INTERKONEKSI Suparni Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta suparni71@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan penuh tanggung jawab dari orang dewasa dalam membimbing, memimpin dan mengarahkan peserta didik dengan berbagai problema

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, ini berarti bahwa manusia berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Berpikir merupakan kemampuan alamiah yang dimiliki manusia sebagai pemberian berharga dari Allah SWT. Dengan kemampuan inilah manusia memperoleh kedudukan mulia

Lebih terperinci