KEANEKARAGAMAN KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN KARLINA F. KARTIKA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 KEANEKARAGAMAN KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN KARLINA F. KARTIKA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Keanekaragaman Kelelawar Pemakan Serangga Sub Ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, Maret 2008 Karlina F. Kartika E

4 SUMMARY KARLINA F. KARTIKA Insectivorous bats diversity in Way Canguk Research Station at Bukit Barisan Selatan National Park. Under supervised AGUS PRIYONO KARTONO and IBNU MARYANTO. Insectivorous bat have an important ecological role as nocturnal insect population control. They have a numerous feeding capability, one individual can eat up to 600 insect in an hour. The appearance of insectivorous bat from Microchiroptera sub order dependent upon intact expanses of forest. Nowadays, forest as a bat habitat has severe loss caused by logging, forest conversion, and fire. Forest fire caused altered vegetation structure and composition that influence bat diversity within the forest. The aim of this study is to determine the diversity of bats in Way Canguk Station Research and relation between bat diversity and vegetation parameters. The study was conducted at Way Canguk Research Station, Bukit Barisan National Park, Lampung from July to December The research station consists of primary lowland forest and secondary forest which was burnt in Bat sampling was conducted by harp trap of 12 nights trapping in each habitat and terracing transect used for vegetation sampling. This study found as much as 19 species of insectivorous bat from five families, which are Hipposideridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Megadermatidae and Nycteridae. The total numbers of individual that caught in primary forest as much 1072 of 18 species and 304 individuals of 15 species in secondary forest. Fisher alpha diversity index in secondary forest (3,31±0,42) higher than primary forest (3,07±0,29). While Canonical Correspondence Analysis represent by 89.60% of cumulative variance show correlation between insectivorous species and the vegetation parameters. The species which have positive correlation with the vegetation parameters are Kerivoula intermedia, Rhinolophus trifoliatus, Hipposideros cineraceus, Hipposideros bicolor, Murina suila, Hipposideros larvatus dan Rhinolophus bornensis. Hipposideros diadema (Hipposideridae), Kerivoula intermedia, Murina cyclotis (Vespertilionidae), dan Rhinolophus trifoliatus (Rhinolophidae) are insectivorous bat species found in primary forest while Rhinolophus acuminatus (Rhinolopidae) only found in secondary forest. Insectivorous bats diversity were significantly and positively related with sapling (r=0,78) and pole density (r=0,93). Besides, it also related to the number of pole species (r=0,79), tree species (r=0,89), over storey (r=0,76) and tree density (r=0,76).

5 RINGKASAN KARLINA F. KARTIKA Keanekaragaman Kelelawar Pemakan Serangga Sub Ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan IBNU MARYANTO. Kelelawar pemakan serangga memiliki peranan penting sebagai agen penyerbuk tumbuhan yang berbunga pada malam hari dan penyebar biji serta pengendali populasi serangga nokturnal. Kemampuan kelelawar mengkonsumsi serangga sangat besar karena seekor kelelawar mampu mengkonsumsi sebanyak 600 individu serangga dalam waktu 1 jam. Meskipun peranan kelelawar pemakan serangga cukup besar, tetapi populasi kelelawar mengalami penurunan hampir di seluruh dunia. Beberapa jenis kelelawar pemakan serangga telah dinyatakan punah dan jenis-jenis lainnya sedang mengalami proses menuju kepunahan (Falcão et al. 2003). Salah satu penyebab utama penurunan populasi kelelawar ini adalah degradasi habitat akibat penebangan, konversi lahan dan kebakaran hutan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan keanekaragaman kelelawar Sub Ordo Microchiroptera di hutan primer dan hutan bekas terbakar di Stasiun Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Pengumpulan data lapangan dilaksanakan mulai Juli 2007 hingga Desember Penangkapan jenis-jenis kelelawar pemakan serangga dilakukan melalui metode pemerangkapan, yakni dengan menggunakan alat perangkap tipe harpa. Pada setiap tipe habitat, dilakukan pemerangkapan selama 12 malam dengan jumlah perangkap yang dipasang sebanyak empat perangkap setiap malam. Pengumpulan data vegetasi di habitat kelelawar pemakan serangga dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak. Total jumlah jenis kelelawar pemakan serangga yang tertangkap sebanyak 19 jenis dari lima famili, yakni famili Hipposideridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Megadermatidae dan Nycteridae. Total jumlah individu yang tertangkap di hutan primer individu dari 18 jenis, sedangkan di hutan bekas terbakar 304 individu dari 15 jenis. Keanekaragaman kelelawar Sub Ordo Microchiroptera di hutan bekas terbakar lebih tinggi (indeks Fisher alpha = 3,31±0,42) dibanding dengan hutan primer (indeks Fisher alpha = 3,07±0,29). Analisis CCA menunjukkan ragam variasi kumulatif sebesar 89,60%. Dari hasil tersebut beberapa jenis kelelawar pemakan serangga memiliki korelasi positif dengan parameter vegetasi antara lain Hipposideros cervinus, Rhinolophus bornensis, Rhinolophus lepidus, Hipposideros bicolor, Kerivoula intermedia dan Murina suila. Jenis kelelawar Hipposideros diadema, Kerivoula intermedia, Murina cyclotis dan Rhinolophus trifoliatus hanya ditemukan di hutan primer, sedangkan Rhinolophus acuminatus hanya ditemukan di areal hutan bekas terbakar. Keanekaragaman jenis kelelawar di wilayah satsiun penelitian Way Canguk ditentukan oleh kerapatan vegetasi tingkat tiang (r=0,93) dan tingkat pancang (r=0,78), jumlah jenis vegetasi tingkat tiang (r=0,79) dan pohon (r=0,89), tutupan tajuk (r=0,75) serta kerapatan pohon (r=0,76).

6 Judul Skripsi : Keanekaragaman Kelelawar Pemakan Serangga Sub Ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Nama : Karlina Fitri Kartika NIM : E Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua, Anggota, Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. Dr.Ir. Ibnu Maryanto, M.Si NIP NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP Tanggal:

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dan pengumpulan data lapangan tentang keanekaragaman kelelawar pemakan serangga Sub Ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ini dilaksanakan mulai Juli 2007 hingga Desember Kelelawar memegang peranan penting dalam proses ekologi sebagai penyebar biji dan penyerbuk tumbuhan yang berbunga pada malam hari, serta sebagai pengendali populasi serangga nokturnal. Kelelawar dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem darat yang bervegetasi, terutama hutan dataran rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan keanekaragaman jenis kelelawar pemakan serangga di hutan primer dan hutan bekas terbakar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengambilan keputusan tentang pelestarian jenis-jenis kelelawar pemakan serangga yang ada di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Bogor, Maret 2008 Karlina F. Kartika E

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada tanggal 12 Juni 1985 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Imam Suparto dan Endang B. Saptowati. Pada tahun 2003 penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Malang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) di Kelompok Pemerhati Kupu-kupu dan Kelompok Pemerhati Fotografi Konservasi. Penulis pernah mengikuti kegiatan SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) di Taman Nasional Betung Kerihun pada tahun Pada tahun 2006, penulis mengikuti kegiatan SURILI di Taman Nasional Way Kambas, Praktek Umum Pengenalan Hutan di Cagar Alam Kamojang dan Sancang di Jawa Barat serta Praktek Pengelolaan Hutan Lestari di KPH Kuningan, Perhutani Unit III Jawa Barat. Pada tahun 2007, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Keanekaragaman Kelelawar Pemakan Serangga Sub Ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, MSi.

9 UCAPAN TERIMA KASIH Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Karunia dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi. Sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, MSi. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu memberikan curahan waktu, kesabaran dan perhatian dalam membimbing. 2. Ibu dan Bapak, Mbak Fifin, Mbak Nuning, Mas Toni, Mas Anjar dan keluargaku semua atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. 3. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. atas informasi dan saran yang diberikan. 4. Meyner Nusalawo, Sp. dan Dr. Tigga Kingston yang telah mengenalkan kelelawar serta memberikan kesempatan, masukan dan arahan selama penelitian. 5. Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F.Trop selaku penguji dari Departemen Manajemen Hutan atas saran, masukan dan nasihat yang diberikan. 6. WCS-Indonesia Program yang telah memberikan fasilitas selama penelitian. 7. Hesti Prastianingrum sebagai rekan kerja dan diskusi di lapangan atas segala bantuannya. 8. Bat Team 2007 (Janji dan Tarmin) dan asisten Canguk (Marwoto, Sukarman, Waryono, Rahman, Wiroto, Katmi, Sumi, dan Yatmi) yang memberikan bantuan dan semangat selama penelitian. 9. Kepala Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan seluruh staf yang telah memberikan ijin dan masukan. 10. Gunawan, S.Hut., Maryati, S.Hut., Feri dan Marliana yang selalu membantu dan bersama dalam suka dan duka. 11. Semua pihak yang tidak dapat ditulis satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar belakang... 1 B. Tujuan Penelitian... 2 C. Manfaat Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Taksonomi... 4 B. Morfologi... 5 C. Biologi Kelelawar... 5 D. Peranan kelelawar... 7 E. Keanekaragaman Jenis... 8 F. Perangkap Harpa... 9 III. KONDISI UMUM A. Sejarah Kawasan B. Letak dan Luas C. Kondisi Fisik Iklim Hidrologi Tanah D. Kondisi Biologis Ekosistem Flora Fauna IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu B. Alat dan Bahan C. Kerangka Pemikiran D. Metode Pengumpulan Data Kelelawar Vegetasi E. Analisis Data Analisis Vegetasi Indeks Kekayaan Jenis Indeks Keanekaragaman Jenis Indeks Kemerataan Indeks Kesamaan Jenis i iii iv v i

11 6. Hubungan Keanekaragaman Kelelawar dengan Parameter Vegetasi Pengaruh Parameter Vegetasi terhadap Jenis-Jenis Kelelawar V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Primer Hutan Bekas Terbakar B. Penutupan Tajuk C. Keanekaragaman Jenis Kelelawar Kekayaan Jenis Kelelawar Kemerataan Jenis Kelelawar D. Kesamaan Komunitas E. Kondisi Reproduksi Kelelawar F. Hubungan Keanekaragaman Kelelawar dengan Parameter Vegetasi VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi hutan primer stasiun penelitian Way Canguk Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi hutan bekas terbakar stasiun penelitian Way Canguk Jumlah individu tiap jenis kelelawar pada hutan primer dan hutan bekas terbakar Jenis-jenis kelelawar yang tertangkap dalam kondisi hamil berdasarkan bulan penangkapan iii

13 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Desain perangkap harpa Perangkap harpa modifikasi Peralatan pengukuran morfologi kelelawar Kerangka pemikiran penelitian Keanekaragaman Jenis Kelelawar Pemakan Serangga Sub Ordo Microchiroptera di Way Canguk Bentuk unit contoh metode jalur berpetak untuk iventarisasi vegetasi Kurva pendugaan jenis kelelawar berdasarkan total perangkap di stasiun penelitian Way Canguk Kelimpahan jenis kelelawar di stasiun penelitian Way Canguk Hipposideros larvatus Kondisi reproduksi kelelawar berdasarkan bulan penangkapan Ordinasi CCA jenis-jenis kelelawar dengan parameter vegetasi iv

14 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Jenis-jenis tumbuhan di stasiun penelitian Way Canguk Hasil analisis vegetasi tingkat semai pada hutan primer Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada hutan primer Hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada hutan primer Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada hutan primer Hasil analisis vegetasi tingkat semai pada hutan bekas terbakar Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada hutan bakas terbakar Hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada hutan bekas terbakar Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada hutan bekas terbakar Nilai Canonical Correspondence Analysis Kondisi reproduksi kelelawar berdasarkan bulan penangkapan Jenis-jenis kelelawar pemakan serangga v

15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelelawar merupakan mamalia bersayap yang memiliki kekayaan jenis tertinggi di hutan tropis (Primack & Corlett 2005). Kelelawar termasuk dalam Ordo Chiroptera yang terbagi atas 2 sub ordo yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera merupakan kelelawar pemakan buah dan nektar serta berperan sebagai polinator di hutan. Microchiroptera memiliki pakan yang lebih bervariasi namun sebagian besar merupakan pemakan serangga dan sebagian lagi merupakan pemakan mamalia kecil, ikan dan darah (Medellín et al. 2000). Keanekaragaman jenis kelelawar di Indonesia tergolong tinggi yaitu 205 jenis atau sekitar 21% dari 1001 jenis yang ada di dunia saat ini. Kelelawar yang ada di Indonesia terdiri dari 72 jenis pemakan buah dan 133 jenis pemakan serangga (Hutson et al. 2001; Suyanto 2001). Kelelawar memegang peranan penting dalam proses ekologi misalnya kelelawar buah yang berperan sebagai penyebar biji dan penyerbuk tumbuhan yang berbunga pada malam hari. Kelelawar pemakan serangga sub ordo Microchiroptera berperan sebagai pengendali populasi serangga karena menjadi konsumen utama dari serangga nokturnal. Kemampuan kelelawar mengkonsumsi serangga cukup besar karena seekor kelelawar dapat mengkonsumsi sekitar 600 serangga dalam waktu 1 jam. Hal ini dapat memberikan keuntungan karena kelelawar dapat menekan populasi serangga yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian jutaan dolar per tahun di lahan pertanian dan hutan seperti yang banyak terjadi di Amerika Selatan (Hutson et al. 2001). Selain itu kelelawar juga menjadi pemakan serangga yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia seperti nyamuk. Oleh karena itu, kelelawar berperan penting dalam pengaturan populasi serangga di dunia. Meskipun peranan kelelawar pemakan serangga cukup besar, tetapi populasi kelelawar mengalami penurunan hampir di seluruh dunia. Bahkan beberapa jenis telah dinyatakan punah dan jenis-jenis lainnya sedang mengalami proses menuju kepunahan (Falcão et al. 2003). Salah satu penyebab utama penurunan populasi kelelawar adalah degradasi habitat, yakni rusaknya hutan yang merupakan habitat

16 2 kunci bagi kelelawar di seluruh dunia akibat penebangan, konversi lahan dan kebakaran hutan baik yang terjadi oleh akibat alam maupun aktivitas manusia. Gangguan tersebut dapat mengubah komposisi dan struktur vegetasi dari kondisi semula sehingga akan mempengaruhi kekayaan dan komposisi jenis kelelawar di suatu lokasi. Kingston et al. (2003) menyatakan bahwa keberadaan kelelawar sub ordo Microchiroptera dipengaruhi oleh keadaan hutan yang masih baik dan belum terganggu. Hal ini karena kelelawar memiliki morfologi sayap dan kemampuan ekolokasi yang mendukung kelelawar mencari pakan dalam hutan dengan vegetasi yang rapat. Kelelawar dapat ditemukan di berbagai tempat yang memiliki ekosistem darat bervegetasi (Medellín et al. 2000). Hutan dataran rendah merupakan tipe hutan yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi dibandingkan tipe hutan lainnya. Areal penelitian Way Canguk berada dalam wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang merupakan perwakilan ekosistem hutan dataran rendah di sepanjang pantai Sumatera. Tipe habitat yang ada di TNBBS diduga sebagai habitat kelelawar subordo Microchiroptera dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Berkaitan dengan peran kelelawar yang penting dalam ekosistem dan kehidupan manusia, maka dipandang perlu dilakukan suatu penelitian untuk memperoleh informasi kekayaan dan komposisi jenis menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan upaya konservasi menuju kelestarian dan keseimbangan ekologis. B. Tujuan Penelitian tentang keanekaragaman kelelawar pemakan serangga Sub Ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian Way Canguk TNBBS ini dilakukan dengan tujuan untuk: a). Menentukan keanekaragaman jenis kelelawar sub ordo Microchiroptera b). Menduga kekayaan jenis kelelawar berdasarkan perbedaan penutupan lahan c). Menentukan kemerataan jenis kelelawar d). Menentukan kesamaan jenis kelelawar berdasarkan penutupan lahan e). Menentukan hubungan keanekaragaman jenis kelelawar dengan parameter vegetasi

17 3 C. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam upaya konservasi jenis kelelawar pemakan serangga sub ordo Microchiroptera beserta habitatnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Kelelawar merupakan satu-satunya mamalia bersayap dan mampu terbang dengan menggunakan sayapnya, sedangkan jenis mamalia bersayap lainnya seperti tupai terbang dan possum hanya dapat melayang. Perbedaan fisik antara kelelawar dan mamalia lain adalah kelelawar memiliki lengan yang berkembang menjadi sayap. Kata Chiroptera berasal dari bahasa Yunani yang berarti tangan bersayap karena struktur sayap saat terbuka mirip dengan tangan manusia. Ordo Chiroptera (kelelawar) terbagi atas 2 sub ordo yaitu Microchiroptera dan Megachiroptera. Berdasarkan struktur anatomi dan ekolokasi, kelelawar yang ada saat ini diklasifikasikan dalam 18 famili yaitu 17 famili termasuk dalam sub ordo Microchiroptera dan 1 famili sub ordo Megachiroptera (Simmons & Conway 1997). Ke-18 famili tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pteropodidae (Old World fruit bats) 2. Rhinolophidae (horseshoe bats) 3. Hipposideridae (Old World leaf-nosed bats) 4. Megadermatidae (false vampire bats) 5. Craseonycteridae (bumblebee bats) 6. Rhinopomatidae (mouse-tailed bats) 7. Nycteridae (slit-faced bats) 8. Emballonuridae (sheath-tailed bats) 9. Phyllostomidae (New World leaf-nosed bats) 10. Mormoopidae (leaf-chinned bats) 11. Noctilionidae (fishing bats) 12. Furipteridae (smoky bats) 13. Thyropteridae (disk-winged bats) 14. Mystacinidae (New Zealand short-tailed bats) 15. Myzopodidae (sucker-footed bats) 16. Vespertilionidae (evening bats) 17. Molossidae (free-tailed bats) 18. Natalidae (funnel-eared bats)

19 5 B. Morfologi Kelelawar Megachiroptera dan Microchiroptera memiliki perbedaan dalam beberapa hal. Microchiroptera menggunakan ekolokasi yang rumit untuk orientasi (navigasi) dan tidak menggunakan penglihatan saat terbang serta umumnya memiliki mata yang kecil. Megachiroptera lebih menggunakan penglihatan saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat dengan jelas, meskipun ada jenis dari marga Rousettus yang menggunakan ekolokasi. Selain itu, sebagian besar Microchiroptera memiliki telinga yang besar dan kompleks, memiliki tragus dan anti tragus yaitu bagian yang menyerupai tangkai dan datar yang terletak dalam telinga. Megachiroptera memiliki kuku pada jari kedua yang tidak dimiliki pada Microchiroptera (Wund & Myers 2005). Microchiroptera menunjukkan variasi bentuk dan struktur tubuh yang berbeda dengan Megachiroptera. Kelelawar sub ordo Microchiroptera memiliki panjang lengan 22,5 mm sampai dengan 115,0 mm. Beberapa famili sub ordo Microchiroptera memiliki daun hidung (lanset), lipatan pada hidung (lapet), membran interfemoral cukup berkembang baik dan ekornya relatif panjang sedangkan pada Megachiroptera memiliki ukuran telinga yang kecil dan sederhana serta tidak memiliki ekor. Mata kelelawar sub ordo Microchiroptera sangat kecil dan berekolokasi melalui mulut dan lipatan hidung (Hutson et al. 2001). C. Biologi Kelelawar Kelelawar dapat ditemukan pada ekosistem darat dan melimpah serta beragam pada daerah tropis. Kelelawar menempati setiap tingkat trofik mulai dari konsumen primer hingga konsumen tersier berkaitan dengan jenis pakannya meliputi buah, nektar, pollen (serbuk sari), serangga, ikan, darah, mamalia kecil dan daun. Kelelawar juga memiliki peran penting dalam proses ekologi melalui interaksi yaitu sebagai pemencar biji, penyerbuk dan pengatur populasi serangga (Medellín et al. 2000). Keberadaan kelelawar pemakan serangga dipengaruhi oleh kualitas habitat, seperti penurunan jumlah luasan habitat dan perubahan kualitas habitat sebagai akibat dari efek daerah tepi, perubahan iklim mikro, serta dampak keberadaan

20 6 serangga. Kelelawar sub ordo Microchiroptera memiliki morfologi sayap dan kemampuan ekolokasi yang mendukung untuk mencari pakan pada vegetasi hutan yang rapat. Hal tersebut menyebabkan kelelawar pemakan serangga sangat mudah terpengaruh oleh kerusakan hutan. Kemampuan ekolokasi untuk membedakan sinyal dari mangsa dengan sinyal dari vegetasi dan kemampuan terbang menghindari pohon dengan cepat merupakan karakteristik spesies-spesies yang mencari pakan di tegakan yang rapat (Kingston et al. 2003). Jenis-jenis kelelawar yang mencari pakan pada habitat yang lebih terbuka menggunakan sinyal dengan frekuensi yang lebih tinggi untuk mendeteksi mangsa dibandingkan dengan kelelawar yang mencari pakan dalam hutan. Penggunaan frekuensi yang lebih panjang merupakan salah satu usaha untuk mengetahui jarak antara kelelawar dengan mangsa yang terdeteksi. Keberadaan kelelawar memiliki kaitan dengan keadaan vegetasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian besar jenis kelelawar menggunakan pohon sebagai tempat bertengger dan memiliki perbedaan dalam memilih lokasi dan karakteristik pohon. Menurut lokasinya beberapa jenis kelelawar lebih memilih pohon yang berada jauh dalam hutan sebagai tempat bertengger namun ada juga yang lebih menyukai pohon di sepanjang daerah tepi. Secara tidak langsung, vegetasi merupakan pendukung kehidupan serangga sebagai pakan kelelawar. Fungsi pepohonan dalam hutan sebagai pemecah angin sangat berpengaruh terhadap serangga. Pada saat kondisi berangin dan tidak ada pelindung dari angin maka serangga tidak dapat terbang sehingga tidak ada sumber pakan bagi kelelawar pemakan serangga (Holmes 1995). Crome & Richard (1988) menyatakan bahwa preferensi habitat berkaitan dengan morfologi sayap dan kemampuan terbang diantara tegakan hutan yang rapat. Jenis-jenis yang mencari makan pada tegakan hutan yang rapat cenderung memiliki kemampuan terbang diantara tegakan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis-jenis yang mencari makan di daerah tepi dan di habitat yang lebih terbuka. Hal ini menunjukkan struktur vegetasi dan karakteristik sayap menentukan penggunaan tipe habitat antar jenis kelelawar (Wunder & Carey 1996).

21 7 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan, kelimpahan dan aktivitas suatu jenis kelelawar pada suatu habitat, yaitu: (1) struktur fisik habitat, (2) iklim mikro habitat, (3) ketersediaan mangsa dan sumber air, (4) kedekatannya dengan tempat bergantung, (5) keamanan dari predator dan (6) kompetisi. Kemampuan suatu jenis kelelawar untuk menggunakan salah satu tipe habitat tergantung pada kemampuan adaptasi mekanik dan perceptual. Kemampuan melakukan manuver, kecepatan dan ketahanan dalam terbang ditentukan oleh morfologi sayap. Fenton (1990) mencatat bahwa kelelawar yang mencari makan di daerah tepi dan area terbuka tidak mampu mencari makan di hutan yang rapat. Sebaliknya, kelelawar yang mencari pakan di hutan juga mampu mengeksploitasi daerah tepi dan daerah yang lebih terbuka (Krusic & Neefus 1995). D. Peranan Kelelawar Kelelawar dapat mempengaruhi komunitas tempat hidupnya karena kebutuhan metabolisme yang tinggi dan keanekaragaman jenis sumber pakan. Kelelawar pemakan buah dan nektar berperan penting sebagai polinator dan penyebar biji khususnya di daerah tropis dan kelelawar pemakan serangga berperan sebagai pengontrol populasi serangga. Kelelawar menjadi spesies kunci dalam komunitas khususnya di daerah tropis yang memiliki kelimpahan dan keanekaragaman jenis tinggi. Sekitar 25% (hampir 240 jenis) dari seluruh jenis yang termasuk dalam ordo Chiroptera dianggap terancam kelangsungan hidupnya oleh IUCN. Megachiroptera cenderung memiliki resiko kepunahan lebih tinggi daripada Microchiroptera namun keduanya menghadapi ancaman yang sama yaitu kehilangan dan fragmentasi habitat. Rusaknya tempat bertengger adalah masalah utama yang dihadapi kelelawar. Penggunaan pestisida secara tidak langsung menimbulkan ancaman bagi kelelawar pemakan serangga, karena serangga yang menjadi pakan kelelawar akan mengandung bahan kimia. Jenis-jenis kelelawar yang berada pada wilayah geografi yang kecil atau memiliki ekologi yang khas memiliki ancaman kepunahan yang tinggi (Wund & Myers 2005). Kelelawar pemakan serangga menjadi konsumen utama serangga malam dengan kemampuan mengkonsumsi relatif besar (mencapai 100% berat badan per malam) dengan jarak terbang mencapai 10 km per malam. Satu individu kelelawar

22 8 dapat menangkap ratusan serangga dalam waktu satu jam dan sebuah koloni yang besar dapat menangkap berton-ton serangga per malam termasuk kumbang dan ngengat. Nyamuk dianggap sebagai sumber pakan yang penting bagi kelelawar pemakan serangga, namun terdapat jumlah dan keragaman jenis serangga lainnya yang berasal dari suku Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera, Hemiptera dan Tricoptera. Kelelawar coklat besar (big brown bat) yang hidup di Amerika diketahui dapat menangkap 3000 nyamuk per malam (Nowak 1994; Anonim 2008). E. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis tersusun atas dua komponen yaitu jumlah jenis dalam suatu komunitas yang mengarah pada kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Kemerataan jenis menunjukkan bagaimana kelimpahan suatu jenis tersebar dalam suatu komunitas. Indeks keanekaragaman merupakan kombinasi dan gabungan beberapa variabel yang menjadi karakteristik struktur komunitas yaitu: (1) jumlah jenis, (2) kemerataan dan (3) homogenitas serta ukuran contoh dari area yang diteliti (Ludwig & Reynolds 1988). Kekayaan jenis kelelawar tertinggi berada di wilayah tropis yang berada di daerah equator. Semakin mendekati wilayah equator kekayaan jenis kelelawar semakin tinggi. Keanekaragaman kelelawar yang tinggi di wilayah tropis dipengaruhi oleh keberadaan hutan hujan tropis (McArthur 1972). Ada tiga lokasi utama di wilayah tropis yang memiliki keanekaragaman jenis kelelawar tertinggi. Dua lokasi berada di hutan hujan tropis Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Satu lokasi lainnya berada di daerah savana Afrika Tengah. Kekayaan jenis adalah metode sederhana yang mudah digunakan untuk menjelaskan dan membandingkan keanekaragaman pada tingkat kemiripan habitat, membandingkan komunitas berkaitan dengan upaya konservasi dan manajemen keanekaragaman hayati, melakukan penilaian dampak aktivitas manusia terhadap kerusakan keanekaragaman hayati serta menentukan kebijakan lingkungan (Chao 2004).

23 9 F. Perangkap Harpa Perangkap harpa adalah perangkap yang mirip alat musik harpa. Awalnya merupakan ide dan kreasi dari Constantine, perangkap tersebut terdiri dari satu frame yang luas dilengkapi banks (teralis) dengan benang/kabel halus dan berjarak 2.5 cm. Prinsip kerja perangkap ini menggunakan benang/kabel yang tidak mudah dideteksi oleh ekolokasi kelelawar dan teralis yang dapat menghentikan kelelawar saat terbang. Perangkap harpa ini dilengkapi dengan tas besar di bagian bawah yang berfungsi untuk menampung dan mengumpulkan kelelawar yang jatuh. Perangkap harpa memiliki beberapa keuntungan dibandingkan metode penangkapan kelelawar saat terbang lainnya. Beberapa perangkap dapat dipasang secara bersamaan saat kehadiran kelelawar minimum. Selain itu, kelelawar yang tertangkap akan terlindung dari cuaca yang dingin dan basah. Namun, yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya predator yang mengganggu kelelawar dalam tas tersebut (Kunz 1988). Perangkap harpa adalah salah satu alat untuk menangkap kelelawar saat terbang yang terdiri dari satu atau lebih teralis (banks). Kelelawar akan menabrak teralis dan jatuh ke dalam kantong penampung di bawah bingkai perangkap. Efisiensi perangkap ini tinggi baik pada pintu masuk tempat bertengger maupun pada jalur-jalur terbang kelelawar. Perangkap harpa memiliki beberapa kelebihan daripada penggunaan jala kabut (mist net) antara lain: 1) pada kondisi tertentu, rata-rata penangkapan lebih tinggi daripada menggunakan jaring atau jala kabut sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Francis (1989), LaVal & Fitch (1977) dan Tideman & Woodside (1978), 2) proses pengambilan kelelawar dari jala kabut menyita banyak waktu dan merugikan kelelawar yang terlilit oleh jala. Sebaliknya, proses pengambilan kelelawar yang tertangkap di perangkap harpa sangat mudah dan memungkinkan menangkap individu dalam jumlah besar jika diletakkan pada pintu masuk tempat bertengger, 3) pemeriksaan jala kabut dilakukan sesering mungkin karena beberapa spesies dapat mengunyah jala dan melarikan diri sedangkan sedangkan perangkap harpa dapat ditinggalkan dalam waktu yang lebih lama. Kekurangan penggunaan perangkap harpa adalah ukurannya besar dan berat serta hanya dapat menangkap kelelawar pada ketinggian tertentu (tidak lebih dari 3 m) (Palmeirim & Rodrigues 1993).

24 10 Sumber : Palmeirim & Rodrigues, 1993 Gambar 1. Desain perangkap harpa.

25 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Kawasan Bukit Barisan Selatan dinyatakan sebagai taman nasional oleh Menteri Pertanian pada tahun 1982 dengan luas ha. Dalam pertemuan World Heritage Committee ke 28 di Suzho-China tahun 2004, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan bersama dengan Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Kerinci Seblat resmi ditetapkan sebagai Cluster World Natural Heritage of Sumatera dengan nama Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS). B. Letak dan Luas Secara geografis, TNBBS terletak pada koordinat LS, BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS termasuk ke dalam tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Bengkulu yang terdapat di dua propinsi yaitu Propinsi Lampung dan Propinsi Bengkulu. Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk-PHKA/Wildlife Conservation Society - Indonesia Program (WCS-IP), secara administatif terletak di Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. Terletak pada 5 o 39' 25" LS dan 104 o 24'21" BT dengan ketinggian berkisar antara mdpl. C. Kondisi Fisik 1. Iklim Taman Nasional Bukit Barisan Selatan memiliki dua zona iklim. Di bagian barat taman nasional memiliki tipe iklim A menurut Schmidt dan Ferguson dengan 9 bulan basah per tahun dengan curah hujan rata-rata antara mm sampai mm. Sementara itu bagian timur memiliki tipe iklim B yang lebih kering daripada tipe A, sekitar 7 bulan basah per tahun dengan rata-rata curah hujan antara mm dan mm. Suhu rata-rata berkisar antara 20 sampai 28 C. Ketinggian tempat mulai dari 0 hingga mdpl. Curah hujan di areal penelitian Way Canguk berkisar antara mm pada saat musim kemarau dan mm pada musim hujan, dengan musim kemarau yang pendek secara umum

26 12 antara bulan Juni hingga September. Suhu minimum rata - rata di areal penelitian berkisar antara 21,50 o C - 24,60 o C dan suhu maksimum rata - rata berkisar antara 30,55 o C 35,15 o C, sedangkan curah hujan perbulan berkisar antara 0 mm di musim kering dan 447,7 mm di musim hujan. 2. Hidrologi Karakteristik hidrologi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagian besar adalah daerah tangkapan air dari sungai-sungai di dua propinsi. Sungai-sungai penting tersebut antara lain Nasal Kiri, Nasal Kanan, Menula, Simpang dan Lali di bagian utara taman nasional; Tenumbang, Morong, Ngambur Bunuk, Tembuti, Ngaras, Pemerihan, Semuang, dan Semangka di bagian tengah. Selanjutnya Canguk, Menangka Kiri, Menangka Kanan, Paya, Kejadian Sulaiman, dan Belambangan di bagian selatan. Karakteristik lain dari hidrologi kawasan adalah keberadaan Danau Menjukut (150 ha), Danau Asam (160 ha), Danau Lebar (60 ha), Danau Minyak (10 ha) dan Danau Belibis (3 ha) (PHKA 2003). 3. Tanah Sebagian besar wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan memiliki tipe tanah podsolik yang kurang subur dan mudah terkena erosi. Pada areal penelitian Way Canguk struktur tanah terdiri dari jenis podsolik merah-kuning, latosol, andosol, dan aluvial. D. Kondisi Biologis 1. Ekosistem Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan perwakilan dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang terdiri dari tipe vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan pamah tropika sampai pegunungan di Sumatera. Hutan pantai menutupi sekitar 1% dari total kawasan (3.568 ha). Hutan dataran rendah (0-600 mdpl) yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati tertinggi, menutupi 45% ( ha) dari total kawasan. Kemudian hutan dataran tinggi ( mdpl) menutupi 34% dari total kawasan ( ha). Hutan submontana ( mdpl) menutupi 17% dari total kawasan ( ha). Hutan montana (>1.500 mdpl) sekitar 3% dari luas kawasan ( ha). Luas areal penelitian Way Canguk yaitu ±800 Ha dan di dalamnya terdapat

27 13 hutan primer, hutan terbakar serta hutan terganggu secara alami yang dipisahkan oleh Sungai Way Canguk. 2. Flora Flora yang ditemukan di TNBBS diantaranya adalah pidada (Sonneratia sp.), nipah (Nypa fruticans), cemara laut (Casuarina equisetifolia), pandan (Pandanus sp.), cempaka (Michelia champaka), meranti (Shorea sp.), mersawa (Anisoptera curtisii), ramin (Gonystylus bancanus), keruing (Dipterocarpus sp.), damar (Agathis sp.), rotan (Calamus sp.), dan bunga raflesia (Rafflesia arnoldi). Tumbuhan yang menjadi ciri khas taman nasional ini adalah bunga bangkai jangkung (Amorphophallus decus silvae), bunga bangkai raksasa (A. titanum) dan anggrek raksasa/tebu (Grammatophylum speciosum). Tinggi bunga bangkai jangkung dapat mencapai lebih dari 2m. 3. Fauna Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga merupakan habitat beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), siamang (H. syndactylus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos fuscamurina), kancil (Tragulus javanicus), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).

28 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Penelitian Way Canguk, Seksi Konservasi Wilayah Sukaraja, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada bulan Juli hingga Desember B. Alat dan Bahan 1. Obyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini adalah kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera) dan habitatnya. 2. Peralatan Penangkapan a. Harp trap atau perangkap harpa Gambar 2. Perangkap Harpa (Harp trap) modifikasi b. Kantong kelelawar untuk membawa kelelawar dari lokasi penangkapan ke tempat identifikasi c. Kertas label untuk memberi tanda berupa nomor perangkap pada kantong kelelawar d. Spidol e. Headlamp 3. Peralatan Identifikasi a. The Mammals of Borneo Francis (1987) dan Bats of Krau Wildlife Reserve, Kingston (2003) untuk panduan identifikasi

29 15 b. Kaliper untuk mengukur lengan bawah kelelawar c. Timbangan gantung 30gr dan 100gr untuk mengukur berat kelelawar d. Stocking untuk membungkus kelelawar dalam proses pengukuran berat Gambar 3. Peralatan pengukuran morfologi kelelawar: (a) kaliper, (b) timbangan 30gr, (c) stocking e. Wing band dan necklace band untuk memberikan tanda pada kelelawar yang tertangkap f. Wing punch untuk melubangi sayap pada kelelawar 4. Peralatan Pengambilan Data Vegetasi a. Densiometer untuk menduga kerapatan tajuk b. Tali ukuran 20m untuk membantu membuat batas-batas petak pengamatan c. Tally sheet vegetasi untuk data tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang, dan pohon d. Phi-band untuk mengukur diameter pohon e. Range finder untuk menduga tinggi pohon f. Meteran untuk mengukur jarak pohon dari jalur g. Kompas untuk mengetahui azimuth jalur C. Kerangka Berpikir Hutan merupakan habitat penting bagi banyak flora dan fauna. Dewasa ini, hutan mengalami penurunan baik dalam hal kuantitas maupun kualitasnya sebagai habitat satwaliar. Hutan tidak terlepas dari gangguan baik secara alami maupun yang terjadi akibat perbuatan manusia. Gangguan-gangguan tersebut membawa dampak yang berbeda sesuai dengan intensitas gangguan. Kebakaran merupakan salah satu gangguan dan penyebab terjadinya fragmentasi hutan. Hal ini akan berdampak terhadap komposisi jenis vegetasi maupun satwaliar. Kelelawar

30 16 pemakan serangga sangat dipengaruhi oleh keadaan hutan yang masih baik dan cenderung mengalami penurunan seiring dengan peningkatan degradasi dan fragmentasi habitat (Kingston et al. 2003). Komposisi vegetasi dan penutupan tajuk memiliki hubungan dengan keanekaragaman jenis kelelawar. Komposisi vegetasi ditinjau dari kerapatannya memiliki hubungan positif dengan kelelawar karena kelelawar membutuhkan vegetasi sebagai tempat bertengger. Hubungan kelelawar dengan penutupan tajuk juga menunjukkan hubungan positif karena tajuk pohon memberikan perlindungan terhadap kelelawar saat siang hari. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 4. Gangguan Kebakaran Penutupan Tajuk Habitat Komposisi vegetasi Keanekaragaman Jenis Kelelawar Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian Keanekaragaman Jenis Kelelawar Sub Ordo Microchiroptera di Way Canguk D. Metode Pengumpulan Data 1. Data Kelelawar Kegiatan penangkapan kelelawar sub ordo Microchiroptera dengan menggunakan perangkap harpa dilakukan untuk mendapat data mengenai jenis serta jumlah individu tiap jenis. Area penelitian berbentuk grid permanen yang berukuran 200x200 m tiap gridnya. Total jumlah grid yang digunakan pada tiap habitat adalah 4 grid dengan luas 16 ha. Perangkap harpa ditempatkan pada titik di jalur pengamatan yang telah ada dengan jarak 50±3 m antar perangkap. Pemasangan harpa dilakukan selama 12 malam dengan pemasangan 4 perangkap per malam.

31 17 2. Data Vegetasi Pengambilan data vegetasi dilakukan untuk mengetahui kondisi habitat kelelawar di area penelitian Way Canguk secara umum dengan mengetahui komposisi vegetasinya. Data yang dikumpulkan pada tingkat pohon dan tiang adalah jenis, jumlah individu tiap jenis, diameter batang setinggi dada, tinggi total pohon dan tinggi bebas cabang sedangkan untuk tingkat permudaan pancang dan semai data yang dikumpulkan adalah jenis dan jumlah individu tiap jenis dalam petak pengamatan. Metode yang digunakan dalam analisa vegetasi yaitu metode jalur berpetak. Panjang jalur pengamatan sejauh 200 m dengan lebar 20 m sehingga luas tiap jalur adalah 0,4 Ha. Jumlah jalur pengambilan data vegetasi masing-masing sebanyak 4 jalur pada lokasi hutan primer dan hutan bekas terbakar. Bentuk metode garis berpetak disajikan pada Gambar 5. b c d a 20 m d 10 m a b c 200m Gambar 5. Bentuk unit contoh metode garis berpetak dalam pengambilan data vegetasi; (a) petak berukuran 2 x 2 m untuk tingkat semai, (b) petak berukuran 5x5 m untuk tingkat pancang, (c) petak ukuran 10x10 m untuk tingkat tiang,dan (d) petak 20x20 m untuk tingkat pohon. Kusmana & Istomo (2005) menjelaskan bahwa pada tingkat semai (a) digunakan ukuran petak 2x2 m, sedangkan untuk pertumbuhan pancang (b) digunakan ukuran petak 5x5 m. Pada tingkat tiang (c) ukuran petak yang

32 digunakan yaitu 10x10 m sedangkan untuk tingkat pohon digunakan ukuran petak 20x20 m. E. Analisis Data 1. Analisis Vegetasi Vegetasi merupakan komponen penting bagi kelelawar sub ordo Microchiroptera terutama sebagai tempat bertengger siang dan malam hari. Analisis vegetasi dilakukan untuk menentukan komposisi dan dominasi suatu jenis pohon sehingga dapat menggambarkan kondisi habitat pada suatu komunitas. Indeks Nilai Penting menunjukkan dominasi suatu jenis yang diperoleh dari penjumlahan kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) untuk tingkat semai dan pancang. Untuk tingkat tiang dan pohon, INP diperoleh dari penjumlahan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif. Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut: Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh Kerapatan relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100 % Kerapatan total jenis Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah total plot Frekuensi relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100% Total frekuensi Dominansi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh Dominansi relatif (DR) = Dominansi suatu jenis x 100 % Dominansi seluruh jenis Pendugaan penutupan tajuk pada titik-titik penempatan perangkap harpa menggunakan sperichal densiometer adalah sebagai berikut: %bukaan tajuk = (skyimagine/4) x 1.04 Penutupan tajuk = 99.84% - % bukaan tajuk Selanjutnya hasil penutupan tajuk dalam bentuk persen ditransformasi menggunakan tabel tranformasi arcsin. 2. Indeks Kekayaan Jenis Kekayaan jenis kelelawar sub ordo Microchiroptera diduga dengan menggunakan metode rarefaction. Metode rarefaction menunjukkan jumlah jenis 18

33 minimum dan maksimum dugaaan yang dapat diperoleh pada suatu habitat. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Estimate S versi 7.0 (Colwell 2004). Persamaan yang digunakan untuk menduga kekayaan jenis adalah sebagai berikut: E( Sˆ ) = n s i= 1 dengan E(S) : jumlah jenis yang diharapkan n N N N n 1 N n : ukuran contoh yang distandardkan : jumlah individu yang tercatat Nі : jumlah individu jenis ke- i 3. Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis kelelawar dihitung menggunakan indeks keanekaragaman Fisher alpha (log series). Model logaritmik seri (α) mencoba mendeskripsikan hubungan antara jumlah jenis dan jumlah individu dalam jenis tersebut secara matematis. Indeks keanekaragaman Fisher alpha digunakan untuk mengurangi ketimpangan nilai karena kelimpahan dari jenis yang dominan ditemukan dengan kelimpahan dari jenis yang jarang ditemukan (Maryanto & Yani 2002). Taylor (1978) menyatakan bahwa indeks keanekargaman Fisher alpha memiliki kemampuan pengelompokan yang cukup baik dan tidak terlalu dipengaruhi oleh ukuran contoh. Persamaan indeks keanekaragaman Fisher alpha adalah sebagai berikut: S = α log e (1 + N/ α) Keterangan : S : Jumlah jenis dalam unit contoh N : Jumlah seluruh individu α : Indeks keanekaragaman 4. Indeks Kemerataan (J ) Ludwig & Reynold (1988) meyatakan bahwa proporsi kelimpahan tiap jenis pada lokasi pengamatan dapat dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan. Indeks kemerataan menunjukkan ada tidaknya dominasi suatu jenis pada lokasi pengamatan. Persamaan yang digunakan adalah: i 19

34 20 J = H /ln S Keterangan: J : Indeks kemerataan H : Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener S : Jumlah jenis Kategori kemerataan jenis kelelawar yang digunakan yaitu: rendah untuk nilai indeks kemerataan 0,10 sampai dengan 0,30 sedang untuk nilai indeks kemerataan 0,40 sampai dengan 0,60 tinggi untuk nilai indeks kemerataan 0,70 sampai dengan 1,00 5. Indeks Kesamaan Jenis Penghitungan koefisien kesamaan didasarkan pada keberadaan suatu jenis yang dinotasikan dengan angka 1 dan tidak terdapatnya suatu jenis yang dinotasikan dengan 0 dalam habitat yang dibandingkan. Metode yang digunakan dalam penghitungan indeks kesamaan jenis adalah indeks Jaccard dengan persamaan : JI = a a+b+c Keterangan : a : jumlah jenis yang ditemukan pada kedua habitat b : kelelawar hanya ditemukan pada hutan primer c : kelelawar hanya ditemukan pada hutan bekas terbakar 6. Hubungan Keanekaragaman Kelelawar dengan Parameter Vegetasi Untuk menentukan hubungan antara keanekaragaman kelelawar dengan komposisi vegetasi dan penutupan tajuk digunakan uji regresi. Data keanekaragaman jenis kelelawar sub ordo Microchiroptera yang digunakan adalah total individu dan jumlah jenis yang tertangkap sedangkan parameter vegetasi terdiri dari kerapatan vegetasi, tutupan tajuk dan jumlah jenis pohon. Dalam melakukan uji regresi digunakan program SPSS 12 dengan nilai uji p<0.05 yang menunjukan pengaruh nyata dan nilai uji p >0.05 menunjukan pengaruh yang tidak nyata antara keanekaragaman kelelawar dengan parameter vegetasi. 7. Pengaruh Parameter Vegetasi terhadap Jenis-Jenis Kelelawar Untuk menentukan pengaruh komposisi vegetasi dan penutupan tajuk terhadap jenis-jenis kelelawar digunakan analisis gradien langsung (direct gradient analysis) menggunakan CCA (Canonical Corespondence Analysis) yaitu

35 21 suatu teknik analisis multivariat yang mengkombinasikan aspek dari teknik ordinasi dengan aspek dari teknik regresi untuk mengetahui hubungan antara distribusi jenis dengan faktor lingkungan. Analisis ini digunakan untuk mendeteksi pola variasi dari data jenis yang dapat dijelaskan sebagai akibat pengaruh dari variabel lingkungan yang teramati. Selain itu, hasil dari CCA juga memperlihatkan hubungan antara jenis dengan variable lingkungan (ter Braak 1995). Perangkat lunak yang digunakan untuk analisis CCA adalah Canoco for Windows versi 4.5 (ter Braak 2002). Data yang dimasukan dalam CCA ada dua yaitu data utama yang berisi kelimpahan jenis dan data dari parameter vegetasi. Hasil CCA diuji menggunakan Monte Carlo test of significance dengan hipotesis yang akan diuji adalah : Ho: keberadaan jenis-jenis kelelawar tidak dipengaruhi oleh parameter vegetasi H 1 : keberadaan jenis-jenis kelelawar dipengaruhi oleh parameter vegetasi

36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Struktur dan Komposisi Vegetasi Stasiun penelitian Way Canguk merupakan hamparan hutan dataran rendah yang terbagi atas 2 tipe hutan yaitu hutan primer dan hutan bekas terbakar. Keanekaragaman jenis tumbuhan di stasiun penelitian Way Canguk tergolong tinggi dengan nilai indeks Shanon-Wienner sebesar 5,95. Menurut Soerianegara (1996) keanekaragaman jenis dikatakan tinggi jika nilai indeks Shanon-Wienner lebih dari 3,50. Jumlah jenis tumbuhan yang ditemukan pada stasiun penelitian Way Canguk sebanyak 142 jenis pohon dari 35 suku (Lampiran 1). Jenis tumbuhan didominasi suku Euphorbiaceae dengan 22 jenis tumbuhan. 1. Hutan Primer Hutan primer berada di sebelah tenggara Sungai Way Canguk dan berada pada ketinggian mdpl. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada hutan primer cukup tinggi dengan nilai indeks Shanon-Wiener sebesar 5,63 dengan jumlah jenis tumbuhan yang ditemukan sebanyak 114 jenis. Jenis pohon yang dominan di hutan primer yaitu Popowia bancana (INP=41,08%) dan Rinorea lanceolata (INP=18,37%) pada tingkat pertumbuhan semai. Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi hutan primer. Tingkat Nama Lokal Nama jenis Famili INP(%) Semai Popowia Popowia bancana Annonaceae 41,08 Rinorea Rinorea lanceolata Violaceae 18,37 Anopucuk Saccopetallum horsfieldi Annonaceae 16,33 Pancang Popowia Popowia bancana Annonaceae 44,96 Drypetes 2 Drypetes laevis Euphorbiaceae 15,93 Suduvaria Pseudovaria sp Annonaceae 11,70 Tiang Tima Croton argyratus Euphorbiaceae 34,48 Rinorea Rinorea lanceolata Violaceae 21,99 Terongan Strombosia javanica Olacaceae 21,26 Pohon Terongan Strombosia javanica Olacaceae 29,77 Meluang Dipterocarpus retusus Dipterocarpaceae 29,74 Sisoseton Chisoceton sandoricocarpus Meliaceae 16,99 Pada tingkat pertumbuhan pancang yaitu Popowia bancana (INP=44,96%) dan Drypetes laevis (INP=15,93). Jenis pohon yang dominan pada tingkat

37 pertumbuhan tiang yaitu Croton argyratus (INP=34,48%) dan Rinorea lanceolata (INP=21,99%), sedangkan pada tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh jenis Strombosia javanica (INP=29,77%) dan Dipterocarpus retusus (INP=29,74%). Jenis-jenis tumbuhan yang dominan pada hutan primer disajikan pada Tabel 1 dan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2 sampai dengan Lampiran Hutan Bekas Terbakar Habitat hutan bekas terbakar merupakan hutan yang mengalami kebakaran akibat kemarau panjang pada tahun 1997 dengan luasan sebesar 165 Ha (WCS-IP 2001). Pada hutan bekas terbakar ditemukan vegetasi pioner yaitu macaranga (Macaranga sp), tabu (Tertameles nudiflora) dan klampean (Antocephalus chinensis). Jenis-jenis vegetasi yang termasuk dalam famili Euphorbiaceae, Datiscaceae, Rubiaceae, Ulmaceae dan Moraceae merupakan jenis-jenis yang mampu hidup pada lahan bekas terbakar (Goldamert 1996). Kebakaran berdampak besar terhadap ekosistem hutan karena mengakibatkan hampir 100% kematian vegetasi dengan diameter <10 cm dan 50% angka kematian pohon dengan diameter >10 cm (Silk 2007). Pada hutan bekas terbakar masih terdapat pohon-pohon berdiameter >50 cm namun kerapatan tingkat pancang dan tingkat tiang rendah. Tabel 2. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi hutan bekas terbakar Tingkat Nama Lokal Nama jenis Famili INP(%) Semai Klandri Bridelia monoica Euphorbiaceae 29,75 Anopucuk Saccopetalum horsefieldii Annonaceae 15,56 Gelam putih Syzygium racemosum Myrtaceae 12,00 Pancang Cengkehan Glochidion arborescens Euphorbiaceae 40,41 Klandri Bridelia monoica Euphorbiaceae 15,27 Simpur Dillenia excelsa Dilleniaceaea 12,10 Tiang Tabu Tetrameles nudiflora Datiscaceae 57,64 Kembang Cananga odorata Annonaceae 48,21 Klandri Bridelia monoica Euphorbiaceae 39,45 Pohon Tabu Tetrameles nudiflora Datiscaceae 40,10 Meluang Dipterocarpus retusus Dipterocarpaceae 27,77 Macaranga Macaranga sp. Euphorbiaceae 23,00 Jenis pohon yang mendominasi pada hutan bekas terbakar yaitu Bridelia monoica (INP=29,75%) dan Saccopetalum horsefieldii (INP=15,56%) pada tingkat semai. Pada tingkat pertumbuhan pancang yaitu Glochidion arborescens (INP= 40,41%) dan Bridelia monoica (INP=15,27%). Jenis yang dominan pada 23

38 24 tingkat pertumbuhan tiang yaitu Tetrameles nudiflora (INP=57,64%) dan Cananga odorata (INP=48,21%) sedangkan pada tingkat pertumbuhan pohon didominasi oleh Tetrameles nudiflora (INP=40,10%) dan Dipterocarpus retusus (INP=27,77%). Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi di hutan bekas terbakar disajikan pada Tabel 2 dan lebih lengkap disajikan pada Lampiran 6 sampai dengan Lampiran 9. B. Penutupan Tajuk Hutan primer terdiri dari beragam strata yang menyebabkan persen penutupan tajuk tinggi. Nilai penutupan tajuk pada titik penempatan perangkap di hutan primer berkisar antara 95,16% sampai 99,84% sedangkan pada hutan bekas terbakar berkisar antara 79,82% sampai 99,06%. Penutupan tajuk antara kedua tipe hutan berbeda nyata berdasarkan nilai uji beda t hitung(0.025;95) = 9,33 lebih besar dari t tabel(0.025;95) = 2,36. Perbedaan penutupan tajuk antara kedua habitat disebabkan pada hutan bekas terbakar memiliki nilai penutupan tajuk lebih beragam dan rentang nilai yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai penutupan tajuk pada hutan primer. Rendahnya kerapatan pada tingkat pertumbuhan pancang (1.070 individu/ha) dan tingkat pertumbuhan tiang (110 individu/ha) pada hutan bekas terbakar menyebabkan penutupan tajuk relatif terbuka. Pada hutan primer kerapatan tingkat pancang yaitu individu/ha dan kerapatan tingkat tiang 290 individu/ha. Berdasarkan perbedaan penutupan tajuk diantara kedua habitat tersebut jumlah individu kelelawar yang ditemukan berbeda jauh. Jumlah individu kelelawar lebih banyak ditemukan pada hutan primer dengan perolehan sebesar individu bila dibandingkan dengan jumlah individu pada hutan bekas terbakar dengan perolehan 334 individu. Hal ini menunjukkan kelelawar lebih banyak ditemukan pada habitat yang memiliki penutupan tajuk tinggi. Menurut Krusic & Neefus (1995) keberadaan kelelawar dipengaruhi oleh iklim mikro dan penutupan tajuk mempengaruhi iklim mikro dalam hutan.

39 25 C. Keanekaragaman Jenis Kelelawar 1. Kekayaan Jenis Kelelawar Keanekaragaman tersusun atas dua komponen yang berbeda yaitu jumlah jenis dan kemerataan. Kekayaan jenis menggambarkan jumlah jenis yang terdapat dalam suatu komunitas dan besar nilainya ditentukan oleh faktor jumlah jenis dan jumlah individu. Jumlah jenis kelelawar sub ordo Microchiroptera yang ditemukan di wilayah stasiun penelitian Way Canguk sebanyak 19 jenis berasal dari 5 famili, yaitu Hipposideridae (5 jenis), Vespertilionidae (7 jenis), Rhinolophidae (5 jenis), Megadermatidae (1 jenis), serta Nycteridae (1 jenis). Jumlah individu yang tertangkap di hutan primer sebanyak individu dari 18 jenis kelelawar (total individu dengan penangkapan bertanda 310 individu) dan 304 individu dari 15 jenis di hutan bekas terbakar (total 339 individu dengan penangkapan bertanda 35 individu). Pendugaan kekayaan jenis dihitung berdasarkan total perangkap yang dipasang. Kekayaan jenis di stasiun penelitian Way Canguk hampir membentuk garis datar dengan memiliki jumlah jenis maksimum yang diharapkan sebanyak 22 jenis dan jumlah jenis minimum yang diharapkan sebanyak 20 jenis. Pendugaan jenis pada hutan primer (22 jenis) lebih tinggi dibandingkan di hutan bekas terbakar (17 jenis). Hal ini menunjukkan kemungkinan menemukan jenis kelelawar lebih besar pada hutan primer. Grafik yang menggambarkan jumlah jenis yang diperoleh berdasarkan total perangkap yang dipasang disajikan pada Gambar 6. Pada hutan primer jumlah jenis dugaan sebanyak 22 jenis dengan selisih antara perolehan jenis yang sebenarnya sebanyak 4 jenis. Menurut Azlan et al. (2003) tipe dan struktur hutan mempengaruhi jumlah jenis dan kelimpahan individu kelelawar yang ditemukan. Kemungkinan 4 jenis yang belum tertangkap tidak menggunakan lokasi di sekitar plot penelitian hutan primer dalam melakukan aktivitasnya karena kelelawar memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi. Hutan primer menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh kelelawar terutama sebagai tempat bergantung. Selain itu, hutan primer merupakan habitat yang mendominasi dan lebih luas daripada hutan bekas terbakar di Way Canguk

40 Jumlah Jenis Jumlah Perangkap Gambar 6. Kurva pendugaan jenis kelelawar berdasarkan total perangkap yang dipasang di stasiun penelitian Way Canguk; garis lurus menunjukkan pendugaan jenis pada hutan primer dan garis putus-putus pendugaan jenis pada hutan bekas terbakar 2. Kemerataan Jenis Kelelawar Kemerataan jenis menunjukkan kelimpahan individu tiap jenis yang ada dalam komunitas (Maguran 1988). Nilai kemerataan akan maksimum apabila proporsi kelimpahan individu pada tiap jenis yang terdapat dalam suatu komunitas sama. Sebaliknya nilai kemerataan akan semakin menurun jika ada jenis yang dominan. Hutan bekas terbakar memiliki nilai indeks kemerataan (0,71) yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer (0,55). Hal ini menunjukkan sedikitnya jumlah jenis dominan yang ditemukan pada hutan bekas terbakar. Berdasarkan Maguran (2004) suatu jenis disebut jenis dikatakan dominan apabila kelimpahan relatif jenis tersebut lebih dari 5%. Nilai kemerataan pada hutan bekas terbakar sebesar 71% dan pada hutan primer sebesar 55%. Secara keseluruhan, nilai kemerataan jenis di stasiun penelitian Way Canguk tergolong sedang karena nilai indeks kemerataan jenis sebesar 60%. Hal ini mengindikasikan adanya jenis yang dominan di stasiun penelitian Way Canguk. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelimpahan kelelawar adalah ketersediaan serangga sebagai pakan kelelawar dan keanekaragaman serangga yang menjadi pakan kelelawar lebih

41 27 tinggi pada habitat yang lebih terbuka (Erickson & West 1996; Krusic & Neefus 1995). Gambar 7 menunjukkan kelimpahan jenis kelelawar di wilayah stasiun penelitian Way Canguk. Jenis H.d iad ema R.acuminatus K.s p Meg.spasma Mu.cyclotis R.trifoliatus K.intermed ia N.tragata M u.suilla K.p ap ilo sa K.p ellucid a H.cineraceus H.b ico lo r R.bornensis K.hard wickii R.lepidus 113 H.cervinus 150 R.affinis 207 H.larvat us Jumlah Individu Gambar 7. Jumlah individu jenis kelelwar pemakan serangga yang ditemukan di stasiun penelitian Way Canguk; H = Hipposideros, R = Rhinolophus, K = Kerivoula, Me = Megaderma, N = Nycteris dan Mu = Murina Hipposideros larvatus (Gambar 8) dari famili Hipposideridae merupakan jenis yang dominan di Way Canguk dengan total individu yang tertangkap sebanyak 663 individu (48,18%). Banyaknya individu yang tertangkap dari jenis ini juga dipengaruhi oleh letak gua dari lokasi penelitian yang berjarak ± 2 km. Di sekitar lokasi penelitian pada hutan primer terdapat 3 gua yaitu Gua Gimbar 1, Gimbar 2 dan Gua Archa yang menjadi tempat bertengger Hipposideros larvatus. Kelelawar Hipposideros larvatus merupakan jenis kelelawar yang hidup berkoloni dalam jumlah besar di dalam gua (Kingston et al. 2003).

42 28 Gambar 8. Hipposideros larvatus Nilai kemerataan jenis berbanding lurus dengan nilai keanekaragaman. Semakin tinggi nilai kemerataan maka keanekaragaman juga semakin meningkat. Keanekaragaman jenis kelelawar pemakan serangga di hutan bekas terbakar (indeks Fisher alpha = 3,31±0,42) lebih tinggi daripada di hutan primer (indeks Fisher alpha = 3,31±0,29). Hal ini berkaitan dengan keberadaan jenis yang jarang yaitu jenis dengan jumlah individu yang tertangkap kurang dari sama dengan 10 dan jenis umum yaitu jenis dengan jumlah individu yang tertangkap lebih dari sama dengan 100 (Maguran 2004). Semakin banyak ditemukan jenis umum pada suatu habitat maka keanekaragaman pada habitat tersebut semakin menurun. Pada hutan bekas terbakar terdapat 8 jenis yang ditemukan termasuk dalam jenis yang jarang dan tidak terdapat jenis umum. Pada hutan primer terdapat 9 jenis termasuk kategori jenis jarang dan 3 jenis kelelawar yang termasuk dalam kategori jenis umum, yaitu Hipposideros larvatus, Hipposideros cervinus, dan Rhinolophus affinis. Jumlah individu kelelawar pada hutan primer lebih banyak daripada di hutan bekas terbakar tetapi jumlah jenis yang ditemukan tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan aktivitas kelelawar lebih banyak pada hutan primer dibandingkan pada hutan bekas terbakar. Hutan primer merupakan habitat penting bagi kelelawar karena berperan sebagai commuting area dan sebagai tempat bertengger (Krusic & Neefus 1995). Jenis umum lain adalah Rhinolophus affinis dari famili Rhinolophidae dengan jumlah individu yang tertangkap sebanyak 207 individu (15,04%). Jenis yang hanya ditemukan sebanyak 1 individu adalah Hipposideros diadema dan Rhinolophus acuminatus. Hal ini dapat disebabkan karena disekitar

43 titik penempatan perangkap jauh dari sungai, sedangkan Hipposideros diadema membutuhkan sungai sebagai salah satu tempat mencari pakan. Kelelawar Hipposideros diadema lebih menyukai mencari pakan di sepanjang sungai di dalam hutan (Nowak 1999). Jumlah individu tiap jenis kelelawar pada masingmasing tipe hutan disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Jumlah individu tiap jenis kelelawar pada hutan primer dan hutan bekas terbakar. Famili Nama Jenis Jumlah Individu HPrim HBT Hipposideridae Hipposideros bicolor Hipposideros cervinus Hipposideros cineraceus Hipposideros diadema 1 0 Hipposideros larvatus Verspetilionidae Kerivoula hardwickii 3 53 Kerivoula intermedia 5 0 Kerivoula papillosa 12 2 Kerivoula pellucida 9 5 Kerivoula sp. 1 1 Murina cyclotis 4 0 Murina suilla 10 3 Rhinolophidae Rhinolophus acuminatus 0 1 Rhinolophus affinis Rhinolophus bornensis 39 7 Rhinolophus lepidus Rhinolophus trifoliatus 5 0 Megadermatidae Megaderma spasma 1 3 Nycteridae Nycteris tragata 4 7 Total D. Kesamaan Komunitas Indeks kesamaan merupakan suatu nilai yang menunjukkan ada tidaknya suatu jenis di dua atau lebih habitat yang diteliti. Semakin mendekati nilai satu maka komposisi jenis pada dua habitat atau lebih semakin sama. Sebaliknya semakin mendekati nol maka komposisi pada habitat yang diteliti semakin berbeda. Kesamaan jenis pada hutan primer dan hutan bekas terbakar sebesar 74% (nilai indeks=0,74) yang berarti komposisi jenis kelelawar di hutan primer dan

44 30 hutan bekas terbakar mendekati sama. Hal ini ditunjukkan oleh 14 jenis dari 15 jenis kelelawar yang ditemukan di hutan bekas terbakar juga ditemukan di hutan primer, hanya 1 jenis dari famili Rhinolophidae yang ditemukan di hutan bekas terbakar yaitu Rhinolophus acuminatus. Jenis yang hanya ditemukan di hutan primer sebanyak 4 jenis yaitu Hipposideros diadema, Rhinolophus trifoliatus, Murina cyclotis, Kerivoula intermedia. Kesamaan yang relatif tinggi pada dua tipe habitat tersebut karena hutan primer dan hutan bekas terbakar masih menjadi satu kesatuan habitat bagi kelelawar yang sifatnya saling melengkapi, baik sebagai habitat mencari makan maupun tempat bertengger. E. Kondisi Reproduksi Kelelawar Komposisi kelelawar sub ordo Microchiroptera yang tertangkap berdasarkan jenis kelamin di hutan primer yaitu 53,36% atau sebanyak 572 individu adalah betina dan 46,36% atau sebanyak 497 individu adalah jantan. Kondisi reproduksi betina terbagi menjadi 5 kategori yaitu: (1) non reproduktif (NR) yaitu individu betina yang belum bereproduksi, (2) pregnant (P) yaitu individu betina hamil, (3) lactating (L) yaitu individu betina sedang menyusui, (4) recent post lactating (RPL) yaitu individu betina yang baru saja berhenti menyusui dan (5) post lactating (PL) yaitu individu betina yang sudah pernah menyusui (Kingston 2004). Berdasarkan kategori reproduksi tersebut maka komposisi individu betina di hutan primer yaitu 40,21% (230 individu) belum bereproduksi, 16,78% (96 individu) dalam kondisi hamil, 0,87% (5 individu) menyusui, 2,45% (14 individu) baru saja selesai menyusui dan 39,34% (225 individu) sudah pernah menyusui. Sedangkan jika dilihat dari tingkat kedewasaannya maka kelelawar dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu (1) pup atau bayi, (2) juvenil, (3) sub adult atau hampir dewasa dan (4) adult atau dewasa. Menurut tingkat kedewasaannya, 98,60% (1.057 individu) yang tertangkap adalah individu dewasa, 0,56% juvenil (6 individu) dan 0,09% (1 individu) sub adult. Pada lokasi hutan bekas terbakar dari 304 penangkapan, 45,43% atau sebanyak 135 individu adalah betina dan 54,57% atau 169 individu adalah jantan. Sedangkan berdasarkan kondisi reproduksi sebesar 43,70% (59 individu) merupakan individu yang belum bererpoduksi, 22,22% (30 individu) dalam

45 31 kondisi hamil, 1,48% (2 individu) sedang menyusui, dan 32,59% (44 individu) sudah pernah menyusui. Pada lokasi ini seluruh individu yang tertangkap adalah individu dewasa. Kondisi reproduksi kelelawar yang ditemukan berdasarkan bulan (Juli- November 2007) dapat membantu mengetahui masa-masa kehamilan (reproduktif) jenis-jenis kelelawar yang ditemukan (Tabel 4). Masa kehamilan kelelawar berkisar antara 5-6 bulan namun sangat sulit mendeteksi kehamilan muda pada kelelawar. Pada bulan Juli dari 152 individu betina dari 16 jenis yang tertangkap memiliki kondisi repoduksi sebagai berikut: 81 individu belum bereproduksi, 5 individu baru saja berhenti menyusui dan 66 individu sudah pernah menyusui. Tabel 4. Jenis-jenis yang mengalami kehamilan berdasarkan bulan penangkapan Bulan H.bi H.ce H.ci H.la R.ac R.af R.bo R.le K.pa Juli Agt Sept 37 1 Okt Nov Pada bulan Agustus kondisi reproduksi pada betina yang tertangkap yaitu: 101 individu belum pernah bereproduksi, 6 individu hamil, 4 individu menyusui, 5 individu baru saja berhenti menyusui dan 95 individu pernah menyusui. Pada bulan September dari 154 individu betina yang tertangkap memiliki kondisi reproduksi: 2 individu menyusui, 38 individu hamil, 65 belum bereproduksi dan 49 individu sudah pernah menyusui. Pada bulan Oktober dari 117 kondisi reproduksi individu betina yang tertangkap yaitu: sebanyak 1 individu menyusui, 37 individu belum bereproduksi, 21 individu hamil dan 58 individu sudah pernah menyusui. Kemudian pada bulan Nopember sebanyak 43 individu belum bereproduksi, 138 individu hamil, 67 pernah menyusui dan 7 baru berhenti menyusui. Kondisi reproduksi betina berdasarkan bulan penangkapan disajikan pada Gambar 9.

46 32 Jumlah Individu P NR PL NR PL NR NR PL PL PL P NR P RPL P L RPL RPL P L L RPL L RPL L Juli Agt Sept Okt Nop Bulan Penangkapan Gambar 9. Kondisi reproduksi betina berdasarkan bulan penangkapan; NR=belum bereproduksi, P=hamil, L=menyusui, RPL=baru berhenti menyusui dan PL=sudah pernah menyusui F. Hubungan Keanekaragaman Kelelawar dengan Parameter Vegetasi Medellín et al. (2004) menyatakan kelelawar dapat ditemukan di ekosistem darat yang bervegetasi. Vegetasi berperan penting sebagai tempat bertengger bagi beberapa jenis kelelawar. Selain itu, vegetasi mendukung ketersediaan pakan kelelawar sub ordo Microchiroptera karena menjadi habitat bagi seranggaserangga pakan kelelawar. Fungsi pepohonan sebagai pemecah angin juga melindungi serangga-serangga pakan karena serangga tidak dapat terbang dalam kondisi berangin. Orrock & Pagels (2003) menyatakan bahwa komunitas dari jenis-jenis tumbuhan dalam suatu habitat dapat berpengaruh terhadap jenis satwaliar dan jumlah individunya di setiap habitat. Berkaitan dengan fungsi vegetasi bagi kelelawar maka hubungan yang akan dicari adalah komponen keanekaragaman yaitu jumlah jenis dan jumlah individu dengan parameter vegetasi. Kerapatan pohon (r=0,76) memiliki korelasi terhadap jumlah jenis

47 33 kelelawar yang ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan pepohonan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan keberadaan kelelawar. Karena pepohonan dapat berfungsi sebagai tempat bertengger bagi beberapa jenis kelalawar. Pepohonan memiliki potensi sebagai tempat bertengger bagi kelelawar terutama pada siang hari. Kelelawar sub ordo Microchiroptera telah beradaptasi untuk bertahan hidup dengan kehidupan malam dan menghindari sinar matahari saat siang hari atau saat periode istirahatnya (Kwiecinski et al. 2001). Jumlah individu berkorelasi positif dengan kerapatan tiang (r=0,93), kerapatan pancang (r=0,78), tutupan tajuk (r=0,75), jumlah jenis pohon (r=0,89) dan jumlah jenis vegetasi tingkat tiang (r=0,79). Hal ini dapat diartikan suatu lokasi dengan beragam jenis vegetasi pada tingkat tiang maupun pohon dan memiliki tutupan tajuk yang relatif rapat akan lebih dipilih kelelawar, baik sebagai tempat mencari pakan, commuting area maupun sebagai tempat bergantung. Keberadaan tingkat permudaan dapat menjadi penarik serangga sebagai pakan kelelawar. Produksi daun muda pada tingkat tiang dan pancang yang cukup tinggi dapat menjadi area mencari bagi berbagai jenis serangga pemakan daun. Hasil regresi berganda menunjukkan kerapatan vegetasi tingkat pancang dan tiang berpengaruh nyata terhadap jumlah individu kelelawar (y=1,58+0,32x-0,01z). Parameter vegetasi lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah individu dan jumlah jenis kelelawar. Kelelawar menggunakan vegetasi yang terdapat di area mencari pakan sebagai tempat bertengger sehingga kelelawar dapat bertengger dan mengunyah makanan yang telah dibawa dalam waktu singkat (Hill & Smith 1984). Kondisi vegetasi di suatu wilayah akan mempengaruhi keberadaan jenis-jenis kelelawar karena tiap jenis kelelawar memiliki strategi mencari pakan dan pemilihan tempat bertengger yang berbeda. Perbedaan dalam hal mencari pakan berkaitan dengan morfologi sayap dan kemampuan terbang kelelawar. Kingston et al membagi strategi mencari pakan kelelawar pemakan serangga berdasarkan morfologi sayap menjadi 3 kategori yaitu: 1) jenis-jenis yang mencari pakan dalam hutan (narrow space insectivorous), 2) jenis-jenis yang mencari pakan pada daerah tepi (edge or gap insectivorous) dan 3) jenis-jenis yang mencari pakan pada habitat yang terbuka (open space insectivorous).

48 34 Berdasarkan hasil analisis CCA variasi ragam kumulatif jenis kelelawar dan faktor lingkungan menunjukkan nilai sebesar 89,60%. Pengaruh parameter vegetasi terhadap jenis-jenis kelelawar dilihat dari panjang dan arah panah. Jarak antara ujung panah dengan titik-titik jenis kelelawar menunjukkan seberapa besar pengaruh parameter vegetasi relatif terhadap jenis-jenis kelelawar. Arah panah menunjukkan korelasi antara parameter vegetasi dengan jenis-jenis kelelawar. Jenis-jenis kelelawar pada axis 1 yang memiliki hubungan positif dengan parameter vegetasi adalah Kerivoula intermedia, Rhinolophus trifoliatus, Hipposideros cineraceus, Hipposideros bicolor, Hipposideros larvatus, Rhinolophus bornensis dan Murina suila. Jenis-jenis yang berkorelasi positif terhadap parameter vegetasi 5 diantaranya yaitu Kerivoula intermedia, Rhinolophus trifoliatus, Hipposideros cineraceus, Hipposideros bicolor, Murina suila yang termasuk dalam kategori 1 dan Hipposideros larvatus termasuk dalam kategori 1 dan 2 yang berarti jenis ini dapat mencari pakan tidak hanya pada vegetasi yang rapat tetapi juga di daerah tepi. Selain itu, hasil studi yang dilakukan oleh Kudus (2006) Kerivoula intermedia merupakan jenis dengan kelimpahan individu paling tinggi di hutan dataran rendah Cagar Alam Krau Malaysia. Famili Hipposideridae umumnya menggunakan gua sebagai tempat bergantung sehingga memiliki wilayah mencari pakan yang lebih jauh daripada jenis-jenis dari famili yang tidak tinggal di gua. Famili Megadermatidae diketahui menggunakan gua tetapi lebih banyak ditemukan bergantung pada lubang pohon, celah-celah batu serta bangunan. Serangga-serangga berukuran besar seperti belalang, kecoak, dan ngengat merupakan pakan dari jenis Megaderma spasma dari famili Megadermatidae. Selain itu, jenis ini juga diketahui memangsa vertebrata berukuran kecil seperti katak dan tikus (Kingston et al.2006). Famili Rhinolophidae hanya memiliki satu marga yaitu Rhinolophus dengan jumlah jenis yang ditemukan di wilayah stasiun penelitian Way Canguk sebanyak 5 jenis. Rhinolophus trifoliatus merupakan salah satu jenis dari famili tersebut yang hanya tertangkap di hutan primer. Berdasarkan hasil pemantauan menggunakan radiotracking di Malaysia, jenis ini diketahui hanya terbang sejauh m dari tempat bergantungnya dalam mencari pakan.

49 SP KP H.ce Cover KT ST R.bo R.le H.ci H.bi R.af H.la K.in M.su R.tr R.ac K.pe K.sp M.sp K.ha N.tr SPo -1.0 KPo Gambar 10. Ordinasi CCA jenis-jenis kelelawar dengan parameter vegetasi. Pengelompokan jenis-jenis kelelewar berdasarkan axis kanonikal 1 dan 3; H=Hipposideros, R=Rhinolophus, K=Kerivoula, M=Megaderma, N=Nycteris, M=Murina, KP=kerapatan pancang, KT=kerapatan tiang, KPo=kerapatan pohon, SP=jumlah jenis tingkat pancang, ST=jumlah jenis tingkat tiang dan Spo=jumlah jenis pohon. Jenis-jenis letaknya jauh dari perpotongan sumbu diartikan sebagai jenis yang berkorelasi negatif dengan parameter vegetasi. Jenis Kerivoula hardwickii tidak ditemukan di hutan primer Cagar Alam Krau Malaysia dan hasil studi di Sulawesi jenis ini ditemukan di hutan musim yang kondisinya lebih terbuka daripada hutan dataran rendah (Kingston T 16 Februari 2008, komunikasi pribadi). Jenis kelelawar lain yang lebih banyak ditemukan di hutan bekas terbakar adalah Nycteris tragata. Nycteris tragata merupakan jenis yang ditemukan pada hutan dataran rendah, perbukitan dan hutan pegunungan (Kingston et al. 2006). Hasil ordinasi CCA menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada seluruh kategori axis berdasarkan Monte Carlo test dengan nilai F hitung

50 36 0,05 =0,00; p=1,00. Hal ini berarti parameter vegetasi tidak mempengaruhi keberadaan jenis-jenis kelelawar. Beberapa studi menyebutkan bahwa keberadaan kelelawar dipengaruhi nyata oleh ketersediaan serangga pada suatu wilayah (Meyer et al. 2004). Meskipun parameter vegetasi yang diukur tidak memiliki pengaruh nyata terhadap keberadaan kelelawar namun vegetasi berperan bagi kelelawar dan ekosistem secara keseluruhan.

51 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Keanekaragaman jenis kelelawar pemakan serangga di habitat hutan bekas terbakar sebesar 3,31±0,42 lebih tinggi dibandingkan di hutan primer 3,31±0, Kekayaan jenis kelelawar pemakan serangga di hutan primer sebanyak 22 jenis dan di hutan bekas terbakar sebanyak 17 jenis. Jenis-jenis kelelawar yang ditemukan di areal stasiun penelitian Way Canguk sebanyak 19 jenis dari 5 famili yaitu Hipposideridae, Rhinolopidae, Nycteridae, Megadermatidae dan Vespertilionidae. 3. Kemerataan jenis kelelawar di Way Canguk sebesar 60% sehingga digolongkan dalam kategori sedang. 4. Kesamaan jenis kelelawar di hutan primer dan hutan bekas terbakar sebesar 74%. 5. Keanekaragaman jenis kelelawar di wilayah satsiun penelitian Way Canguk ditentukan oleh kerapatan vegetasi tingkat tiang dan pancang, jumlah jenis vegetasi tingkat tiang dan pohon serta tutupan tajuk serta kerapatan pohon. B. Saran 1. Pencegahan pengurangan luasan hutan sebagai habitat kelelawar baik akibat kebakaran maupun perambahan oleh masyarakat. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai keanekaragaman serangga pada hutan primer dan hutan bekas terbakar berkaitan dengan ketersediaan pakan bagi kelelawar.

52 DAFTAR PUSTAKA Anonim Bat. [20 Jan 2008] Azlan M, I Maryanto, and AP Kartono Diversity, relative abundance and conservation of chiropterans in Kayan Mentarang National Park, East Kalimantan, Indonesia. In: A Mardiastuti and T Soehartono, editor. Join Biodiversity Expedition in Kayan Mentarang National Park. Ministry of Forestry-WWF-Indonesia-ITTO. Jakarta. Chao A Species Richness Estimation. Tidak dipublikasikan. Chao A, RL Chazdon, RK Colwell and TJ Shen A new statistical approach for assessing similarity of species composition with incidence and abundance data. Ecological Letters 8: Colwell RK EstimateS version Crampton LH and RMR Barclay Habitat Selection by Bats in Fragmented and Unfragmented Aspen Mixedwood Stands of Different Ages. In: Bats and Forest Symposium Working Paper October 19-21, 1995.Victoria- British Columbia-Canada. Erickson JL and SD West Managed Forests in the Western Cascades: The Effects of Seral Stage on Bat Habitat Use Patterns. In: Bats and Forest Symposium Working Paper October 19-21, Victoria-British Columbia-Canada. Falcão FDC, VF Rebêlo and SA Talamoni Structure of Bat Assemblages (Mammalia, Chiroptera) in Serra do Caraça, South-East Brazil. Revista Brasileira de Zoologia 20(2): Goldammer JG, B Siebert and W Schindele Fire in Dipterocarp Forest. In: A Schulte and D Schöne, editor. Dipterocarp Forest Ecosystem: Toward Sustainable Management. World Scientific. Singapore. Grindal S Impact of Harvesting on Habitat Use by Foraging Bats. http//: [11 Februari 2008] Hill JE and JD Smith Bats: A Natural History. In: Rianti IP Keanekaragaman Jenis dan Pola Penggunaan Ruang Bertengger Kelelawar di Beberapa Gua di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur [skripsi]. Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Holmes M Bats and Trees in Britain. In: Bats and Forest Symposium Working Paper October 19-21, 1995.Victoria-British Columbia-Canada. Hutson A, SP Mickleburgh and PA Racey Microchiropteran Bats: Global Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN/SSC Chiroptera Specialist Group.

53 Kingston T, CM Francis, Z Akbar and TH Kunz Species Richness in an Insectivorous Bat Assemblage from Malaysia. Journal of Tropical Biology 19: Kingston T Analiysis of Species Diversity of Bat Assemblages. In : TH Kunz & S Parsons, editor. Behavioral and Ecological Methods for Study of Bats. 2 nd Ed. Smithsonian Institution Press. Washington. In press. Kingston T, LB Liat, and Z Akbar Bats of Krau Wildlife Reserve. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi. Krusic RA and CD Neefus Habitat Association of Bat Species in the White Mountain Forest. In: Bats and Forest Symposium Working Paper October 19-21, 1995.Victoria-British Columbia-Canada. Kunz TH Ecological and Behavioral Study of Bats. Smithsonian Institution Press. Washington. Kusmana C dan Istomo Ekologi Hutan Panduan Praktikum. Laboraturium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kwiecinski GG, ZL Chen and TC Holick Observation on Serum 25- Hydroxyvitamin D and Calcium Concentraitions from Wild-Caught and Captive Neotropical Bats (Artibeus jamaicensis). Gen Comp Endocrinol 122(2): Ludwig JA and JF Reynolds Statistical Ecology: A primer on methods and computing. JohnWilwy & Son. New York. Magurran AE Ecological Diversity and Its Measurement. Cambridge University Press. Cambridge. Magurran AE Measuring Biodiversity. In: Yanto C Coleoptera sebagai Indikator dari Kondisi Lahan yang berbeda di Kawasan Gunung Tangkuban Parahu, Jawa Barat [tesis]. Bidang Ekologi Program Studi Biologi Institut Teknologi Bandung. Bandung. McArthur Geographical ecology. In: Kudus RS Temporal variability in insectivorous bat assemblages in the Krau Wildlife Reserve, Pahang, Peninsular Malaysia. Masters [tesis]. Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi. Tidak dipublikasikan. Maryanto I dan M Yani The Diversity and Abundance of Bats from Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia: Association wih altitude, landsystem, vegetation and habitats. In: Proceedings of the International Symposium on Land Management and Biodiversity in South East Asia. Bali. Medellín RA, M Equihua and MA Amin Bat Diversity and Abundance as Indicators of Disturbance in Neotropical Rainforest. Conservation Biology 14(6): Nowak RM Hipposideros diadema. Animal Diversity Web. [20 Februari 2008] 39

54 Orock JL and JF Pagels Tree Communities, Microhabitat Characteristics and Small Mammals Associated with the Endangered Rock, Microtus chrotorrhinus, in Virginia. In: Gunawan Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Komposisi Vegetasi dan Ketinggian Tempat di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai [skripsi]. Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Palmeirim JA & Rodrigues L The 2-Minutes Harp Trap for Bats. Bats Research News Vol 34 No 2&3. PHKA Submission for Nomination of Tropical Rainforest Heritage of Sumatra. (Perlindungan Hutan Konservasi Alam). whc.unesco.org/ p_dynamic/sites/passfile. [13 Juni 2007] Primack C and W Corlett Tropical Rain Forest: An Ecological and Biogeographical Comparison. Blackwell Publishing. Malden Oxford Victoria. Silk F Apakah Hutan Hujan Dataran Rendah Kalimantan Bekas Pembalakan dan Kebakaran Masih Cukup Berharga untuk Pelestarian Keragaman Pohon. [29 Februari 2008] Simmons NB and T Conway Microchiroptera: Ecolocating Bats. [15 Mei 2007] Soerianegara I Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. ter Braak CJF Ordination. In: Yanto C Coleoptera sebagai Indikator dari Kondisi Lahan yang berbeda di Kawasan Gunung Tangkuban Parahu, Jawa Barat [tesis]. Bidang Ekologi Program Studi Biologi Institut Teknologi Bandung. Bandung. Ter Braak CJF Canoco for Windows version 4.5. Biometris - Quantitative Methods in The Life and Earth Sciences Plant Research International, Wageningen University and Research Centre. the Netherlands. [WCS-IP] World Conservation Society-Indonesia Program Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Dalam Ruang dan Waktu: Laporan Hasil Penelitian WCS-IP & PHKA. Bogor. Wund M and P Myers Chiroptera. Animal Diversity Web a.html. [15 Mei 2007] Wunder L and AB Carey Use of the Forest Canopy by Bats. Northwest Science Vol

55 47 Lampiran1. Jenis-jenis tumbuhan di stasiun penelitian Way Canguk No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili 1 Angingu Saurauia cauliflora Actinidiaceae 2 Alangium Alangium javanicum Alangiaceae 3 Dau Dracontomelon dao Anacardiaceae 4 Dondong Spondias pinnata Anacardiaceae 5 Rengasan Melanochyla caesia Anacardiaceae 6 Popowia bancana Annonaceae 7 Kembang Cananga odorata Annonaceae 8 Pseudovaria sp. Annonaceae 9 Pseudovaria reticulata Annonaceae 10 Bandotan Polyalthia grandiflora Annonaceae 11 Polyalthia lateriflora Annonaceae 12 Polyalthia beccarii Annonaceae 13 Ano pucuk Saccopetalum horsfieldii Annonaceae 14 Burahol Stelechocarpus burahol Annonaceae 15 Meiogyne virginata Annonaceae 16 Cembirit Tabernaemontana corymbosa Apocynaceae 17 Kibatalia maingayi Apocynaceae 18 Sphatodea campanulata Bignoniaceae 19 Randu alas Bombax valetonii Bombacaceae 20 Canarium denticulatum Burseraceae 21 Dacryodes rostrata Burseraceae 22 Canarium sp. Burseraceae 23 Bhesa paniculata Celastraceae 24 Mammea malayana Clusiaceae 25 Manggisan Garcinia parvifolia Clusiaceae 26 Garcinia lateriflora Clusiaceae 27 Callophylum sp. Clusiaceae 28 Harupang Terminalia citrina Combretaceae 29 Jaha kuning Terminalia bellirica Combretaceae 30 Tabu Tetrameles nudiflora Datiscaceae 31 Bernung Octomeles sumatrana Datiscaceae 32 Simpur Dillenia excelsa Dilleniaceae 33 Dillenia sumatrana Dilleniaceae 34 Meluang Dipterocarpus retusus Dipterocarpaceae 35 Balem Dipterocarpus palembanicus Dipterocarpaceae 36 Paitan Vatica obovata Dipterocarpaceae 37 Hata Shorea ovata Dipterocarpaceae 38 Anisoptera costata Dipterocarpaceae 39 Diospyros aurea Ebenaceae 40 Diospyros curranii Ebenaceae

56 48 Lampiran 1. Lanjutan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili 41 Diospyros daemona Ebenaceae 42 Diospyros korthalsiana Ebenaceae 43 Diospyros macrophylla Ebenaceae 44 Diospyros pendula Ebenaceae 45 Diospyros sp. Ebenaceae 46 Klandri Bridelia monoica Euphorbiaceae 47 Macaranga sp. Euphorbiaceae 48 Preh palsu Cleistanthus myrianthus Euphorbiaceae 49 Tima Croton argyratus Euphorbiaceae 50 Aporosa arborea Euphorbiaceae 51 Jahle merah Baccaurea sumatrana Euphorbiaceae 52 Glochidion obscurum Euphorbiaceae 53 Cengkehan Glochidion arborescens Euphorbiaceae 54 Meniran Phyllantus indicus Euphorbiaceae 55 Neoscortechinia nicobarica Euphorbiaceae 56 Konki air Ostodes macrophylla Euphorbiaceae 57 Aporosa lunata Euphorbiaceae 58 Glochidion philippicum Euphorbiaceae 59 Aporosa whitmorei Euphorbiaceae 60 Mallotus paniculatus Euphorbiaceae 61 Drypetes longifolia Euphorbiaceae 2 Drypetes 2 Drypetes laevis Euphorbiaceae 63 Drypetes mucronata Euphorbiaceae 64 Mallotus peltatus Euphorbiaceae 65 Drypetes (1) Euphorbiaceae 66 Drypetes macrophyllus Euphorbiaceae 67 Sindur Sindora leiocarpa Fabaceae 68 Dialium platysepalum Fabaceae 69 Caesalpinia sp. Fabaceae 70 Lithocarpus sp Fagaceae 71 Litsea sp. Fagaceae 72 Balem sawo Hydnocarpus gracilis Flacourtiaceae 73 Homalium gandiflorum Flacourtiaceae 74 Casearia grewiaefolia Flacourtiaceae 75 Mara putih Cratoxylon polot Clusiaceae 76 Medang cengkeh Ixonanthes icosandra Ixonanthaceae 77 Medang telur Cryptocarya ferrea Lauraceae 78 Medang Dehaasia microcephala Lauraceae 79 Medang kuning Litsea resinosa Lauraceae 80 Medang Actinodaphne sp Lauraceae

57 49 Lampiran 1. Lanjutan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili 81 Medang payung Litsea umbellata Lauraceae 82 Medang talas Alseodaphne falcata Lauraceae 83 Litsea noronhae Lauraceae 84 Beilschmedia dyctiniura Lauraceae 85 Litsea sp Lauraceae 86 Jaha putat Planchonia valida Lecythidaceae 87 Medang seluang Chydenanthus excelsus Lecythidaceae 88 Chisoceton sandoricocarpa Meliaceae 89 Kulut Dysoxyllum arborescens Meliaceae 90 Aglaia sp Meliaceae 91 Dysoxylum alliaceum Meliaceae 92 Mindi Melia azidarach Meliaceae 93 Kulut buah besar Dysoxylum macrocarpum Meliaceae 94 Aglaia argentea Meliaceae 95 Kulut duku Aglaia dookoo Meliaceae 96 Kulut belirang Dysoxylum densiflorum Meliaceae 97 Aglaia odoratissima Meliaceae 98 Dysoxylum caulostachyum Meliaceae 99 Walsura robusta Meliaceae 100 Aglaia edulis Meliaceae 101 Dysoxylum sp Meliaceae 102 Dysoxylum renniformis Meliaceae 103 Kecapi Sandoricum koetjapie Meliaceae 104 Gelam putih Syzygium racemosum Myrtaceae 105 Gelam merah Syzygium gracile Myrtaceae 106 Eugenia zollingeriana Myrtaceae 107 Eugenia zyzygioides Myrtaceae 108 Jambuan Eugenia sp Myrtaceae 109 Ardisia sp Myrsinaceae 110 Jering Archidendron bubalinum Mimosaceae 111 Kibara coriacea Monimiaceae 112 Luwingan Ficus hispida Moraceae 113 Terongan Strombosia javanica Olacaceae 114 Strombosia zeylanica Olacaceae 115 Zizyphus angustifolia Rhamnaceae 116 Nangi Adina polycephala Rubiaceae 117 Jahle putih Hypobathrum frutescens Rubiaceae 118 Nauclea officinalis Rubiaceae 119 Chantium glabrum Rubiaceae

58 50 Lampiran 1. Lanjutan No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili 121 Plectronia didyma Rubiaceae 122 Evodia sp Rutaceae 123 Geruntang Xerospermum noronhianum Sapindaceae 124 Konki biasa Pometia pinnata Sapindaceae 125 Paranephelium nitidium Sapindaceae 126 Payena accuminata Sapotaceae 127 Palaquium hexandrum Sapotaceae 128 Ailanthus sp Simaroubaceae 129 Bayur daun kecil Pterospermum javanicum Sterculiaceae 130 Bayur daun sedang Pterospermum diversifolium Sterculiaceae 131 Lumpang batu Heritiera javanica Sterculiaceae 132 Iwil-iwil Pterocymbium javanicum Sterculiaceae 133 Adinanra acuminata Theaceae 134 Pyrenaria serrata Theaceae 135 Anggrung Trema orientalis Ulmaceae 136 Celtis rigescens Ulmaceae 137 Rinorea lanceolata Violaceae 138 Vitex vinata Verbenaceae 139 Kayu lanang Radermachera gigantea Bignoniaceae 140 Firmiana malayana Sterculiaceae 141 Ptychopyxis costata Euphorbiaceae 142 Mezitia sp Annonaceae

59 51 Lampiran 2. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di hutan primer Nama Ilmiah F FR K KR INP Trema orientalis Popowia bancana Aporosa whitmorei Pterospermum javanicum Croton argyratus Dipterocarpus palembanenicus Cleistanthus myrianthus Eugenia jamboloides Pseudovaria reticulata Pseudovaria sp Actinodaphne sp Cananga odorata Rinorea lanceolata Polyalthia grandiflora Planchonia valida Mallotus paniculatus Saccopetallum horsfieldi Drypetes longifolia Garcinia parvifolia Shorea ovata Aglaia sp Hypobathrum frutescens Adinanra accuminatissima Drypetes longifolia Strombosia javanica Diospyros aurea Litsea umbellata Ixonanthes icosandra Diospyros macrophylla Dipterocarpus retusus Saurauia cauliflora Diospyros curanii Sindura leiocarpa Pletronia didyma Neoscortechinia nicobarica Cryptocarya ferrea Eugenia clavimyrthus Diospyros sp Total

60 52 Lampiran 3. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di hutan primer Nama Ilmiah F FR K KR INP Strombosia javanica Drypetes longifolia Vitex vinata Popowia bancana Cleistanthus myrianthus Eugenia clavimyrthus Litsea recinosa Payena acuminata Diospyros buxifolia Archidendron bubalinum Polyalthia grandiflora Aglaia argentea Garcinia lateriflora Ostodes macrophylla Dipterocarpus retusus Pseudovaria sp Knema laurina Croton argyratus Pterospermum javanicum Aglaia dookoo Rinorea lanceolata Drypetes laevis Homalium gandiflorum Saccopetalum horsfieldii Drypetes mucronata Dillenia excelsa Diospyros macrophylla Ixonanthes icosandra Chisocheton sardoricocarpus Litsea umbellata Glochidion arborescens Canarium denticulatum Dysoxylum densiflorum Eugenia sp Alangium javanicum Mallotus peltatus Pterospermum diversifolium Garcinia parvifolia Saurauia cauliflora

61 53 Lampiran 3. Lanjutan Nama Ilmiah F FR K KR INP Aglaia odoratissima Stelechocarpus burahol Eugenia jamboloides Ardisia sp Drypetes (1) Litsea sp Kibara coriacea Aporosa whitmorei Alseodaphne falcata Dysoxylum caulostachyum Paranephelium nitidium Total

62 54 Lampiran 4. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di hutan primer Nama Ilmiah F FR K KR D DR INP Aporosa arborea Dipterocarpus retusus Chantium glabrum Diospyros buxyfolia Polyalthia grandiflora Strombosia javanica Pseudovaria reticulata Plectronia didyma Rinorea lanceolata Dacrycodes rostrata Ixonanthes icosandra Aglaia sp Popowia bancana Croton argyratus Eugenia clavimyrthus Glochidion arborescens Diospyros curanii Mammea malayana Walsura robusta Homalium grandiflorum Spondias pinnata Diospyros sp Lithocarpus sp Canarium denticulatum Dillenia excelsa Drypetes longifolia Meiogyne virgata Palaquium hexandrum Terminalia citrina Litsea umbellata Saurauia cauliflora Chisoceton sandoricocarpus Polyalthia beccarii Aporosa whitmorei Dysoxylum alliaceum Paranephelium nitidum Adinandra accuminatisima Aglaia edulis Hydnocarpus gracilis Aglaia odoratisima

63 55 Lampiran 4. Lanjutan Nama Ilmiah F FR K KR D DR INP Eugenia jamboloides Kibara coriacea Dysoxylum arborescens Aglaia argentea Dysoxylum sp Saccopetalum horsfieldii Alseodaphne falcata Cratoxylon polot Total

64 56 Lampiran 5. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di hutan primer Nama Ilmiah F FR K KR D DR INP Dipterocarpus retusus Eugenia clavimyrthus Pometia pinnata Celtis rigescens Homalium grandiflorum Croton argyratus Tetrameles nudiflora Strombosia javanica Polyalthia lateriflora Pseudovaria reticulata Casearia grewiaefolia Strombosia zeylanica Eugenia sp Saccopetalum horsfieldii Meiogyne virgata Callophyllum sp Dysoxylum renniformis Chisoceton sandoricocarpus Aglaia odoratisima Litsea noronhae Dillenia excelsa Macaranga sp Heritiera javanica Canarium denticulatum Terminalia bellirica Aelanthus sp Palaquium hexandrum Aglaia argentea Aglaia sp Polyalthia grandiflora Cananga odorata Pterospermum diversifolium Dysoxylum macrocarpum Glochidion arborescens Lithocarpus sp Dracontomelon dao Dysoxylum densiflorum Chydenanthus excelsus Dacryodes rostrata Aporosa arborea

65 57 Lampiran 5. Lanjutan Nama Ilmiah F FR K KR D DR INP Neoscortechinia nicobarica Hydnocarpus gracilis Tabernaemontana corymbosa Beilschmedia dyctiniura Vatica obovata Dysoxylum arborescens Drypetes macrophyllus Actinodaphne sp Litsea umbellata Cryptocarpa ferrea Anthocephalus chinensis Diospyros khorthalsiana Alseodaphne falcata Pyrenaria serrata Dillenia sumatrana Pterospermum javanicum Litsea sp Paranephelium nitidum Dysoxylum sp Octometes sumatrana Shorea ovata Xerospermum noronhianum Rinorea lanceolata Dialium platysepalum Drypetes laevis Dysoxylum alliaceum Total

66 58 Lampiran 6. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di hutan bekas terbakar Nama Ilmiah F FR K KR INP Pterospermum javanicum Pterospermum diversifolium Bridelia monoica Saccopetalum horsfieldii Popowia bancana Strombosia javanica Dracontomelon dao Ixonanthes icosandra Adinandra accuminatissima Macaranga sp Cleistanthus myrianthus Cratoxylon polot Archidendron bubalinum Zizyphus angustifolia Eugenia jamboloides Chisoceton sandoricocarpa Croton argyratus Adina polycephala Terminalia bellirica Hydnocarpus gracilis Eugenia clavimiyrthus Dipterocarpus palembanicus Aporosa arborea Xerospermum noronhianum Dysoxyllum arborescens Rinorea lanceolata Baccaurea sumatrana Mammea malayana Spatodea campanulata Saurauia cauliflora Dipterocarpus retusus Cananga odorata Hypobathrum frutescens Planchonia valida Diospyros aurea Evodia sp Glochidion obscurum Eugenia zyzygioides Bombax valetonii Dillenia excelsa Cryptocarya ferrea Heritiera javanica Glochidion arborescens Anisoptera costata Ficus hispida Phyllantus indicus Diospyros curanii Diospyros pendula

67 59 Lampiran 6. Lanjutan Nama Ilmiah F FR K KR INP Melanochyla caesia Sandoricum koetjapie Vatica obovata Diospyros macrophylla Neoscortechinia nicobarica Firmiana malayana Pterocymbium javanicum Payena accuminata Dacryodes rostrata Total

68 Lampiran 7. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di hutan bekas terbakar Nama Ilmiah F FR K KR INP Dracontomelon dao Dillenia excelsa Pterospermum diversifolium Archidendron bubalinum Macaranga sp Strombosia javanica Popowia bancana Polyalthia beccarii Glochidion arborescens Bridelia monoica Glochidion obsucurum Ardisia sp Ostodes macrophylla Dipterocarpus retusus Cleistanthus myrianthus Croton argyratus Adina polycephala Mammea malayana Bombax valetonii Xerospermum noronhianum Pterospermum javanicum Heritiera javanica Canarium denticulatum Anisoptera costata Aporosa lunata Radermachera gigantea Ixonanthes icosandra Eugenia zollingeriana Eugenia jamboloides Cratoxylon polot Diospyros curanii Glochidion philippicum Tetrameles nudiflora Nauclea officinalis Diospyros macrophylla Total

69 61 Lampiran 8. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di hutan bekas terbakar Nama Ilmiah F FR K KR D DR INP Macaranga sp Tetrameles nudiflora Bridellia monoica Ptychopyxis costata Strombosia javanica Chantium glabrum Cleistanthus myrianthus Eugenia zollingerii Cananga odorata Diospyros curanii Polyalthia grandiflora Dracontomelon dao Glochidion arborescens Glochidion obsucurum Croton argyatus Aglaia sp Ixonanthus icosandra Chisoceton sandoricarpus Total

70 Lampiran 9. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di hutan bekas terbakar Nama Ilmiah F FR K KR D DR INP Tetrameles nudiflora Cananga odorata Hypobathrum frutescens Macaranga sp Dipterocarpus palembanicus Archidendron bubalinum Aporosa arborea Zizyphus angustifolia Dipterocarpus retusus Chisoceton sandoricocarpus Dillenia excelsa Antocephalus chinensis Pterospermum diversifolium Strombosia javanica Dracontomelon dao Vatica obovata Sindora leiocarpa Bridelia monoica Canarium sp Alangium javanicum Diospyros macrophylla Dehaasia microcephala Planchonia valida Dacryodes rostrata Bhesa paniculata Adina polycephala Pterocymbium javanicum Pometia pinnata Mezetia sp Litsea recinosa Canarium denticulatum Eugenia clavimyrthus Dysoxylum alliaceum Glochidion arborescens Caesalpinia sp Terminalia bellirica Glochidion obscurum Bombax valetonii Chydenanthus excelsus

71 63 Lampiran 9. Lanjutan Nama Ilmiah F FR K KR D DR INP Saccopetalum horsfieldii Phyllanthus indicus Melia azidarach Octomeles sumatrana Diospyros pendula Diospyros daemona Dysoxylum macrocarpum Payena accuminata Kibatalia maingayi Total

72 64 Lampiran 10. Nilai Canonical Correspondence Analysis Axes Total inertia Eigen values Species-environment correlations Cumulative percentage variance of species data of species-environment relation Sum of all eigenvalues Sum of all canonical eigenvalues Summary of Monte Carlo test eigenvalue F-ratio P-value Trace Test of significance of first canonical axis Test of significance of all canonical axes

73 Lampiran 11. Kondisi reproduksi kelelawar yang tertangkap berdasarkan bulan penangkapan. a. Bulan Juli Nama Jenis NR PL RPL Hipposideros bicolor Hipposideros cervinus Hipposideros cineraceus Hipposideros diadema Hipposideros larvatus Kerivoula hardwickii Kerivoula intermedia Kerivoula papillosa Kerivoula pellucida Murina cyclotis Murina suilla Nycteris tragata Rhinolophus affinis Rhinolophus bornensis Rhinolophus lepidus Rhinolophus trifoliatus b. Bulan Agustus Nama Jenis L NR P PL RPL Hipposideros bicolor Hipposideros cervinus Hipposideros cineraceus Hipposideros larvatus Kerivoula hardwickii Kerivoula intermedia Kerivoula papillosa Kerivoula pellucida Kerivoula sp Megaderma spasma Murina cyclotis Murina suilla Nycteris tragata Rhinolophus affinis Rhinolophus bornensis Rhinolophus lepidus Rhinolophus trifoliatus

74 66 c. Bulan September Nama Jenis L NR P PL Hipposideros bicolor Hipposideros cervinus Hipposideros cineraceus Hipposideros larvatus Kerivoula hardwickii Kerivoula papillosa Kerivoula pellucida Kerivoula sp Megaderma spasma Murina suilla Nycteris tragata Rhinolophus acuminatus Rhinolophus affinis Rhinolophus bornensis Rhinolophus lepidus d. Bulan Oktober Nama Jenis L NR P PL Hipposideros bicolor Hipposideros cervinus Hipposideros cineraceus Hipposideros larvatus Kerivoula intermedia Kerivoula papillosa Kerivoula pellucida Murina cyclotis Murina suilla Rhinolophus affinis Rhinolophus bornensis Rhinolophus lepidus e. Bulan November Nama Jenis NR P PL RPL Hipposideros bicolor Hipposideros cervinus Hipposideros cineraceus Hipposideros larvatus Kerivoula intermedia Kerivoula papillosa Kerivoula pellucida Murina suilla

75 67 Lampiran 11. Lanjutan Nama Jenis NR P PL RPL Nycteris tragata Rhinolophus affinis Rhinolophus bornensis Rhinolophus lepidus Rhinolophus trifoliatus

76 Lampiran 12. Jenis-jenis kelelawar sub ordo Microchiroptera yang ditemukan di area penelitian Way Canguk. No Gambar Famili Jenis 1. Hipposideridae Hipposideros cervinus Hipposideridae Hipposideros cineraceus 3. Hipposideridae Hipposideros diadema 4. Hipposideridae Hipposideros bicolor 5. Verspetilonidae Kerivoula intermedia 6. Verspetilonidae Kerivoula papilosa

77 63 Lampiran 12. Lanjutan No Gambar Famili Jenis 7. Verspetilonidae Kerivoula pellucida 8. Verspetilonidae Kerivoula hardwickii 9. Verspetilonidae Kerivoula sp. 10. Verspetilonidae Murina cyclotis 11. Rhinolophidae Rhinolophus bornensis 12. Rhinolophidae Rhinolophus affinis

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kelelawar memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan menempati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kelelawar memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan menempati II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kelelawar Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Chiroptera Kelelawar memiliki

Lebih terperinci

KERAGAMAN KELELAWAR INSEKTIVORA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

KERAGAMAN KELELAWAR INSEKTIVORA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN KERAGAMAN KELELAWAR INSEKTIVORA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (Insectivorous bats diversity of Microchiroptera Sub Order in Way Canguk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Tanah Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis dan ekosistem pada suatu daerah.

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2011 bertempat di Stasiun Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS),

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah karst sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia. Istilah aslinya adalah krst / krast yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar masuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai sayap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar masuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai sayap 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelelawar Kelelawar masuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai sayap tangan, karena tungkai depannya termodifikasi sebagai sayap, sehingga kelelawar memiliki kemampuan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, November 2011

SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, November 2011 SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV KARAKTERISTIK KOMUNITAS KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA (Microchiroptera) DI WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN Immanuel Kristianto 1, Agus Setiawan 2, Nuning

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian tentang tanda keberadaan tidak langsung kelelawar pemakan buah telah dilakukan pada bulan Desember 2014 - Maret 2015. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

KOMUNITAS KELELAWAR MICROCHIROPTERA DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. KENCANAA SAWIT INDONESIA (KSI) SOLOK SELATAN TESIS.

KOMUNITAS KELELAWAR MICROCHIROPTERA DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. KENCANAA SAWIT INDONESIA (KSI) SOLOK SELATAN TESIS. KOMUNITAS KELELAWAR MICROCHIROPTERA DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. KENCANAA SAWIT INDONESIA (KSI) SOLOK SELATAN TESIS Oleh: FAUZIAH SYAMSI 09 21208 007 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN Struktur vegetasi tumbuhan bawah diukur menggunakan teknik garis berpetak. Garis berpetak tersebut ditempatkan pada setiap umur tegakan jati. Struktur vegetasi yang diukur didasarkan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia dan harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI GUNAWAN

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI GUNAWAN KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT SKRIPSI MHD. IKO PRATAMA 091201072 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada 104 27-104 54 BT dan 5 5-5 22 LS. KPHL Batutegi meliputi sebagian kawasan Hutan Lindung

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988).

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988). 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Dibuktikan dengan terdapat berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan endemik yang hanya dapat

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci