SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, November 2011

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, November 2011"

Transkripsi

1 SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI IV KARAKTERISTIK KOMUNITAS KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA (Microchiroptera) DI WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN Immanuel Kristianto 1, Agus Setiawan 2, Nuning Nurcahyani 3 1 Mahasiswa Jurusan Kehutanan FP, 2 Dosen Jurusan Kehutanan FP, 3 Dosen Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Lampung, Bandar Lampung, ntheez_realforester@yahoo.com ABSTRAK Kelelawar pemakan serangga merupakan mamalia terbang yang memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, karena kelelawar pemakan serangga memiliki keterkaitan dan interaksi ekologi dengan spesies lain di dalam hutan, terutama sebagai pengendali populasi serangga agar tidak menjadi hama di dalam ekosistem hutan. Penelitian mengenai karakteristik komunitas kelelawar pemakan serangga penting dilakukan untuk menaksir status dan strategi konservasi yang perlu dilakukan agar kelelawar pemakan serangga tidak terancam punah, sehingga ekosistem di dalam hutan tetap terjaga.penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Pengumpulan data dilakukan di dalam plot permanen seluas 1 km² dengan menggunakan perangkap harpa sebanyak 440 titik yang tersebar di seluruh plot.hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur komunitas kelelawar pemakan serangga terdiri dari 25 spesies yang termasuk ke dalam lima famili. Ukuran komunitas sebesar 5552 individu dan dinominasi oleh jenis Hipposideros larvatus dengan nilai 59,6%. Rasio jantan betina keseluruhan rata-rata adalah 1:1,5. Pendugaan home range kelelawar pemakan serangga dengan radius terpanjang adalah home range dari jenis Hipposideros diadema, yaitu 1.029,56 m. Kata kunci: Karakteristik komunitas, Struktur, Hipposideros larvatus, Home range, Hipposideros diadema PENDAHULUAN Kelelawar merupakan mamalia terbang yang memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis. Kelelawar berperan sebagi penyebar biji dan membantu penyerbukan tanaman, dan pada kelelawar pemakan serangga, fungsinya adalah sebagai pengendali populasi serangga yang mungkin berbahaya bagi stabilitas ekosistem hutan, karena menjadi konsumen utama serangga nocturnal (Hutson, 2001). ISBN Prosiding : Hotel Marcopolo, Bandar Lampung, November 2011

2 Prosiding : BAGIAN II Meski peranan kelelawar pemakan serangga cukup besar, namun sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini banyak jenis kelelawar yang populasinya merosot, dan bahkan ada jenis-jenis tertentu yang terancam punah. Ancaman terbesar terhadap kelelawar adalah kehilangan habitat (Francis, 2001 dalam Suyanto, 2001). Menurut Kingston (Pers. Comm.) kelelawar pemakan serangga lebih rentan terhadap gangguan dan memiliki wilayah jelajah yang lebih sempit dibandingkan dengan kelelawar pemakan buah. Sulit bagi kelelawar pemakan serangga untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sudah rusak dan pindah ke daerah lain, seperti halnya pada kelelawar pemakan buah jika mengalami gangguan habitat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas dan home range kelelawar pemakan serangga sub ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Seksi Konservasi Wilayah Sukaraja, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Objek dalam penelitian ini adalah kelelawar pemakan serangga sub ordo Microchiroptera di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Peralatan yang dibutuhkan dalam penangkapan kelelawar antara lain: harp trap/perangkap harpa, kantong spesimen, pita label, spidol, dan senter, Buku Panduan Lapangan; The Mammals of Borneo, Francis (1987) dan Bats of Krau Wildlife Reserve, Kingston (2003), jangka sorong/kaliper, neraca pegas/timbangan gantung ukuran 30gr, 50gr, dan 100gr, stocking, wing band, necklace band, wing punch, kompas, klinometer, global positioning system (GPS), dan rollmeter. Metode Pengumpulan Data Metode Harp-Trapping Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode harp-trapping (perangkap harpa). Perangkap harpa sangat efektif untuk menangkap kelelawar 26

3 BAGIAN II Prosiding : pemakan serangga, meskipun kelelawar dapat keluar dari kantung perangkap, namun modifikasi pada kantung perangkap dapat membantu mengatasi hal tersebut (Barlow, 1999). Titik Penempatan dan Pemasangan Perangkap Harpa Sebelum melakukan pemasangan perangkap, posisi perangkap telah ditentukan terlebih dahulu, lalu ditandai dengan pipa PVC (Polyvinyl chloride) yang telah diberi nomor. Total posisi perangkap pada penelitian ini adalah 440 titik perangkap di dalam areal penelitian seluas 1 km². Setelah menentukan titik penempatan perangkap yang ditandai dengan pipa PVC yang telah diberi nomor, langkah selanjutnya adalah pemasangan perangkap. Perangkap yang dipasang dalam sehari berkisar antara 4-5 perangkap. Pemasangan perangkap dilakukan secara secara urut, berdasarkan nomor perangkap yang telah ditentukan sebelumnya. Waktu dan Prosedur Penangkapan Kelelawar Perangkap dipasang sebelum senja dan dibiarkan terbuka sepanjang malam. Pengecekan perangkap dilakukan dua kali, pada malam hari pukul 19:00 WIB dan pukul 07:00 WIB keesokan paginya. Waktu pemasangan perangkap harpa terhitung selama 12 jam. Jika terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perangkap harpa harus ditutup sebelum 12 jam (pengecekan pada pagi hari), maka pemasangan perangkap harpa dianggap terhitung selama 6 jam (setengah malam). Kantung kelelawar diberi nomor sesuai dengan nomor posisi perangkap. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan pelepasan kelelawar pada lokasi dimana mereka tertangkap. Karena beberapa spesies kelelawar pemakan serangga memiliki daerah jelajah yang sempit dan mungkin akan tersesat jika dilepaskan di area yang baru atau jauh dari lokasi penangkapan (Kingston, 2007; Prastianingrum, 2008). Prosedur Identifikasi Kelelawar Setelah kelelawar berhasil ditangkap, lalu dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Agar mudah melakukan pengidentifikasian, maka kelelawar harus 27

4 Prosiding : BAGIAN II dipegang. Caranya adalah dengan mengapit kedua lengan kelelawar ke belakang menggunakan ibu jari dan jari tengah. Kelelawar diidentifikasi berdasarkan ciriciri morfologis mengikuti Francis et al. (1985), dan Kingston et al. (2006). Selain melihat ciri-ciri morfologis, kelelawar juga diukur bagian tubuhnya. Bagian yang dilihat, diukur, dan dicatat antara lain: panjang lengan bawah, berat badan, panjang paha/tibia, ekor, telinga, jenis kelamin, kondisi reproduksi. Setelah diidentifikasi, kelelawar diberi penanda berupa nomor seri agar individu dapat dikenali kembali saat tertangkap. Hal ini dapat bermanfaat untuk menduga kemelimpahan individu dan jarak penangkapan kembali (recapture distance) dapat dijadikan informasi mengenai daya jelajah (home range) kelelawar. Analisis Data Ukuran dan komposisi komunitas Ukuran dan komposisi komunitas ditentukan dari jumlah individu yang tertangkap selama pengamatan. Dilakukan pengelompokan berdasarkan jenis, jenis kelamin, rasio jenis kelamin, tingkatan umur (dewasa, remaja, bayi), dan status reproduksi betina (NR, P, L, RPL, PL). Indeks dominansi Indeks dominansi dapat dihitung dengan rumus: ni Di Pi 100% ; Pi N Dominansi jenis dalam komunitas dikelompokkan menurut kriteria Jorgenssen menjadi tiga kelas dominansi, yaitu dominan (D i > 5%), subdominan (D i = 2% 5%), nondominan (D i < 2%) (Abdullah, 2009). Home Range Home range atau daerah jelajah kelelawar pemakan serangga dapat diketahui dengan melakukan pengukuran jarak antar trap dan areal penelitian terlebih dahulu. Untuk menghindari bias data dalam pengukuran, maka penggunaan GPS dilakukan seminimal mungkin. GPS hanya digunakan pada lokasi yang benarbenar terbebas dari tutupan tajuk. Pengukuran jarak antar trap dan areal penelitian lebih banyak menggunakan cara manual, yaitu dengan kompas, 28

5 BAGIAN II Prosiding : klinometer, dan roll meter. Setelah mendapatkan koordinat dalam bentuk UTM, selanjutnya data dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.2. Kemudian areal penelitian dan posisi perangkap dipetakan. Untuk mengetahui home range kelelawar, menggunakan bantuan fasilitas Auto filter dan Pivot table pada perangkat lunak Microsoft Excel Setelah informasi diekstrak, kemudian kembali dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.2 (Kingston, Pers. Comm., 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Komunitas Ukuran dan Komposisi Komunitas Ukuran komunitas dikalkulasikan dari keseluruhan individu yang tertangkap selama pengamatan. Penelitian ini dilakukan dengan usaha pemasangan perangkap harpa (harp trap) sebanyak 440 perangkap secara bertahap selama ± 6 bulan pengamatan. Jumlah total kelelawar pemakan serangga yang berhasil ditangkap di areal penelitian adalah sebanyak 7413 individu, 1861 individu diantaranya merupakan kelelawar yang berhasil tertangkap kembali (recaptured). Sehingga ukuran komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk yang berhasil ditangkap adalah sebesar 5552 individu yang terdiri dari 25 jenis, dan masuk ke dalam 5 famili, yaitu Hipposideridae, Nycteridae, Emmbalonuridae, Rhinolophidae, dan Vespertilionidae. Berdasarkan kriteria Jorgenssen dalam pengelompokan dominansi jenis, terdapat tiga spesies yang mendominasi komunitas kelelawar pemakan serangga di areal penelitian Way Canguk, namun yang paling mendominasi adalah dari jenis Hipposideros larvatus, dengan indeks dominansi sebesar 59.6%, disusul oleh Rhinolophus affinis dengan indeks dominansi sebesar 21.4%, dan yang terakhir Hipposideros cervinus dengan indeks dominansi sebesar 6.1% (Tabel 1). Dalam penelitian ini Hipposideros larvatus begitu melimpah jika dibandingkan dengan spesies lainnya. Nowak (1994) menyatakan, Hipposideros larvatus biasa tinggal bersama dalam koloni pada sebuah ruangan besar di bagian dalam gua yang 29

6 Prosiding : BAGIAN II menyerupai kubah (chamber). Selama periode pengamatan, Hipposideros larvatus sering tertangkap dalam satu kelompok besar di setiap perangkap yang dipasang. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Hipposideros larvatus juga mencari makan dalam suatu kelompok besar. Tabel 1. Kelimpahan Jenis dan Indeks Dominansi Kelelawar Jenis Jumlah Indeks Dominansi (%) Emballonoura monticulla Harpiocephalus harpia Hipposideros bicolor Hipposideros cervinus Hipposideros cineraceus Hipposideros diadema Hipposideros larvatus Kerivoula hardwickii Kerivoula intermedia Kerivoula minuta Kerivoula papillosa Kerivoula pellucida Kerivoula sp Miniopterus pusillus Murina cyclotis Murina rozendaali Murina suilla Nycteris tragata Phoniscus atrox Rhinolophus acuminatus Rhinolophus affinis Rhinolophus borneensis Rhinolophus lepidus Rhinolophus macrotis Rhinolophus trifoliatus Total Rhinolophus affinis dan Hipposideros cervinus yang juga merupakan spesies dominan dalam komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, seringkali ditemukan bertengger bersama-sama dengan Hipposideros larvatus dan Hipposideros lepidus pada sebuah kubah besar (chamber) di goa-goa yang terdapat di Way Canguk. Goa diketahui sebagai tempat tinggal sebagian besar spesies yang berasal dari famili Hipposideridae dan Rhinolophidae, dua famili yang mendominasi di Way Canguk. Keberadaan beberapa goa yang terletak dekat 30

7 BAGIAN II Prosiding : plot penelitian sebagai tempat tinggal beberapa spesies sangat mempengaruhi struktur komposisi komunitas di areal penelitian ini. Berdasarkan Tabel 1, jenis kelelawar yang paling jarang tertangkap oleh perangkap harpa adalah jenis Emballonoura monticulla, Harpiocephalus harpia, Kerivoula sp, Kerivoula minuta, Phoniscus atrox, dan Rhinolophus macrotis, yaitu masing-masing 1 individu yang tertangkap atau hanya 0,018% dari jumlah keseluruhan kelelawar yang tertangkap. Sebagian besar spesies yang jarang dan sangat jarang ditemui berasal dari famili Vespertilionidae. Famili Vespertilionidae merupakan famili yang memiliki banyak anggota spesies. Terdiri dari 42 genus dengan 355 spesies yang penyebarannya luas di seluruh dunia mulai dari daerah temperate hingga tropis. Beberapa spesies dari famili Vespertilionidae merupakan spesies yang soliter atau dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 2-7 individu dalam satu kelompok. Banyak faktor yang menyebabkan adanya variasi spesies yang tergolong dominan hingga sangat jarang pada studi ini. Medellin et al. (2000) menyatakan bahwa jumlah dan kehadiran spesies jarang adalah efek dari sebuah metode pengambilan sampling. Definisi jarang bisa disebabkan oleh konsekuensi dari bias yang terjadi pada sebuah metode perangkap atau disain pengambilan sampel atau bisa juga karena memang minimnya kemelimpahan spesies tersebut pada daerah studi (Kingston, 2003). Terlepas dari berbagai faktor baik internal maupun metode pengambilan sampel, faktor eksternal lainnya seperti habitat, juga merupakan faktor yang paling mempengaruhi hasil tangkapan. Melimpahnya individu dominan dimungkinkan karena adanya dukungan sumber daya, baik biotik dan abiotik yang melimpah. Pada distribusi spasial spesies dominan hanya dipengaruhi oleh sedikit faktor, sedangkan spesies yang jarang ditemui memiliki spesifikasi habitat yang sangat terbatas sebagai faktor pendukung, sehingga kombinasi beberapa faktor yang harus terpenuhi menyebabkan spesies tertentu sangat jarang ditemukan di alam (Estrada et al., 1993). 31

8 Prosiding : BAGIAN II Rasio Jenis Kelamin, Tingkatan Umur, dan Status Reproduksi Betina Menurut Hill and Smith (1984), secara teori rasio jenis kelamin pada fetus, bayi yang lahir dan anakan yang sedang menyusu adalah 1:1, dan perbedaaan yang terjadi pada populasi paska pemeliharaan muncul karena perbedaan daya tahan hidup dari masing masing jenis kelamin. Berdasarkan hal tersebut, jika jumlah dari salah satu jenis kelamin lebih besar, bisa diasumsikan bahwa daya hidup dari individu berjenis kelamin tersebut lebih besar dibandingkan dengan individu dari jenis kelamin lainnya. Tabel 2. Rasio Jenis Kelamin dan Tingkatan Umur Jenis Jenis Kelamin Sex Ratio Tingkatan Umur Jantan Betina Remaja Dewasa E. monticulla - 1 -:1-1 H. harpia - 1 -:1-1 H. bicolor :2,3-57 H. cervinus ,5: H. cineraceus :1, H. diadema :1,7-19 H. larvatus :1, K. hardwickii :4,75-23 K. intermedia ,3:1-28 K. minuta 1-1:- - 1 K. papillosa ,2:1-41 K. pellucida :3,4-22 K. sp 1-1:- - 1 M. pusillus 3 3 1:1-6 M. cyclotis :1-29 M. rozendaali 2 1 2:1-3 M. suilla 8 9 1:1-17 N. tragata 4 5 1:1-9 P. atrox 1 - -:1-1 R. acuminatus 2 5 1:2,5-7 R. affinis : R. borneensis :3,4-133 R. lepidus :1-234 R. macrotis 1-1:- - 1 R. trifoliatus ,4:1-22 Total :1, Individu kelelawar yang sedang menyusui (lactating) ditandai dengan kelenjar mamae yang membesar dan berwarna putih. menekan puting susu perlahan. Air susu dapat dilihat dengan Individu kelelawar yang baru saja selesai 32

9 BAGIAN II Prosiding : menyusui (recently post lactating), ditandai dengan puting susu yang kendur, tidak terdapat lagi air susu, dan kelenjar mamae tidak lagi berwarna keputihan. Kemudian jika puting susu ramping memanjang dan kendur, serta rambut-rambut di sekitar puting susu tidak ada, maka masuk dalam kategori post lactating. Dari pengamatan yang telah dilakukan di areal penelitian, diketahui ada 5 famili kelelawar pemakan serangga yang menghuni kawasan penelitian Way Canguk. Famili Vespertilionidae memiliki jumlah anggota yang paling beragam. Selama pengamatan tertangkap 12 jenis dari famili ini, atau hampir 50% dari jumlah keseluruhan jenis yang tertangkap. Meskipun jenis dari famili ini paling beragam, namun kelimpahannya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan anggota famili Hipposideridae dan Rhinolophidae. Harpiocephalus harpia selama pengamatan hanya tertangkap 1 kali, berjenis kelamin betina dan status reproduksinya Post Lactating atau telah menyusui. Anggota famili Vespertolionidae lainnya yang tertangkap hanya satu individu di antaranya yaitu Kerivoula minuta, Kerivoula sp, dan Phoniscus atrox. Dari ketiga jenis tersebut, semuanya berjenis kelamin jantan. Menyusul kemudian Murina rozendaali yang tertangkap sebanyak 3 individu, terdiri dari 2 jantan dan 1 betina. Status reproduksi betinanya telah menyusui. Miniopterus pusillus juga merupakan anggota dari famili Vespertilionidae, tertangkap sebanyak 6 individu dengan rasio jenis kelamin 1:1. Saat tertangkap pada bulan Desember, ketiga individu betina berstatus reproduksi pregnant. Meskipun hanya 3 individu betina yang berhasil tertangkap, namun dapat diasumsikan bahwa masa kehamilan spesies ini terjadi pada bulan Desember. Murina suilla tertangkap sebanyak 17 individu, memiliki rasio jenis kelamin mendekati 1:1, sehingga dari data tersebut, jenis ini ternyata memiliki ketahanan hidup yang hampir sama antara individu jantan dan betina. Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan Murina suilla, Kerivoula pellucida berhasil tertangkap sebanyak 22 individu, namun memiliki rasio jenis kelamin yang cukup berbeda, yaitu 1:3. Kondisi reproduksi betinanya sudah siap kawin, hanya 2 individu yang berstatus non reproductive. Kerivoula hardwickii berhasil tertangkap sebanyak 23 individu 33

10 Prosiding : BAGIAN II dengan rasio jenis kelamin mendekati 1:4. Kerivoula intermedia dan Murina cyclotis berhasil tertangkap sebanyak 28 dan 29 individu, masing-masing rasio jenis kelaminnya mendekati 1:1, dan anggota famili Vespertilionidae yang paling banyak tertangkap adalah dari jenis Kerivoula pappilosa, dengan jumlah individu yang tertangkap sebanyak 41 individu, dan memiliki rasio jenis kelamin yang hampir mendekati 1:1. Tabel 3. Status Reproduksi Betina Jenis Status Reproduksi NR P L RPL PL E. monticulla H. harpia H. bicolor H. cervinus H. cineraceus H. diadema H. larvatus K. hardwickii K. intermedia K. minuta K. papillosa K. pellucida K. sp M. pusillus M. cyclotis M. rozendaali M. suilla N. tragata P. atrox R. acuminatus R. affinis R. borneensis R. lepidus R. macrotis R. trifoliatus Total Keterangan: NR : Non Reproductive (belum bereproduksi) P : Pregnant (bunting) L : Lactating (menyusui) RPL : Recently Post Lactating (baru selesai menyusui) PL : Post Lactating (telah menyusui) Dari famili Emballonuridae, hanya ditemukan satu jenis yaitu Emballonura monticola, dengan jumlah tangkapan hanya satu individu berjenis kelamin betina 34

11 BAGIAN II Prosiding : dan berstatus reproduksi pregnant. Famili Nycteridae juga hanya ditemukan satu jenis, yaitu Nycteris tragata, dengan jumlah tangkapan sebanyak 9 individu, terdiri dari 4 jantan dan 5 betina. Status reproduksi dari kelima individu betina berstatus non reproductive. Famili Hipposideridae didominasi oleh jenis Hipposideros larvatus, dengan jumlah individu yang tertangkap sebanyak 3316 individu atau 59,6% dari total keseluruhan individu yang tertangkap selama penelitian. Menurut kriteria Jorgenssen, jenis ini merupakan jenis yang mendominasi komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk (Di>5%). Jenis ini juga memiliki frekuensi relatif yang paling tinggi, yaitu 29,15% sehingga jenis ini merupakan jenis yang penyebarannya hampir merata di areal penelitian. Rasio jenis kelamin dari H. larvatus mendekati 1:2, dengan jumlah individu jantan sebanyak 1173 individu dan 2143 individu betina. Hipposideros cervinus menurut kriteria Jorgenssen merupakan jenis yang juga mendominasi komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, dengan total individu yang tertangkap sebanyak 341 individu atau 6,13%, terdiri dari 205 individu jantan dan 136 individu betina dengan rasio jantan betina sebesar 1,5:1. Anggota famili Hipposideridae yang berhasil ditangkap berikutnya adalah jenis H. bicolor, dengan total individu sebanyak 57 individu, terdiri dari 17 jantan dan 40 betina, sehingga perbandingan jenis kelamin jantan dan betina hampir mendekati 1:2. H. cineraceus tertangkap sebanyak 47 individu yang terdiri dari 19 jantan dan 28 betina, dengan sex ratio mendekati 1:1,5. Jenis ini merupakan jenis yang memiliki ukuran tubuh terkecil dari famili Hipposideridae, dengan panjang lengan bawah rata-rata hanya 38,5 mm dan berat rata-rata 5gr. Jenis yang memiliki ukuran tubuh terbesar dalam anggota famili Hipposideridae dan juga merupakan jenis yang terbesar dalam komunitas kelelawar pemakan serangga adalah H. diadema, dengan panjang lengan bawah mencapai 95mm dan berat mencapai 61 gr. Jenis ini berhasil ditangkap sebanyak 19 individu, terdiri dari 7 individu jantan dan 12 individu betina, dengan sex ratio 1:1,7. Status 35

12 Prosiding : BAGIAN II reproduksi individu betina pada umumnya berstatus post lactating, yaitu 10 individu, dan 2 individu lainnya berstatus non reproductive. Famili Rhinolophidae merupakan famili yang juga mendominasi komposisi komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk. Jenis yang memberikan kontribusi terbesar dari famili ini adalah jenis R. affinis, yaitu dengan jumlah tangkapan sebanyak 1192 individu atau 21,45% dari total keseluruhan individu yang tertangkap selama pengamatan, terdiri dari 590 individu jantan dan 602 individu betina, dengan sex ratio mendekati 1:1. Anggota Famili Rhinolophidae yang menempati urutan kedua terbanyak adalah jenis R. lepidus, dengan jumlah total individu yang tertangkap sebanyak 234 individu, yang terdiri dari 121 individu jantan dan 113 individu betina, sehingga perbandingan jantan dan betina hampir mencapai 1:1. Anggota Famili Rhinolophidae berikutnya yang berhasil tertangkap adalah Rhinolophus borneensis. Jenis kelelawar ini pada umumnya tersebar di Indonesia Tengah, namun ternyata kelelawar ini merupakan kelelawar yang cukup sering tertangkap di areal penelitian Way Canguk, dengan total individu yang tertangkap sebanyak 133 individu yang terdiri dari 30 individu jantan dan 103 individu betina, sehingga perbandingan jantan dan betina adalah 1:3,4. Rhinolophus trifoliatus berhasil ditangkap sebanyak 22 individu, yang terdiri dari 13 individu jantan dan 9 individu betina, dengan rasio jantan dan betina sebesar 1,4:1. Dari 9 individu betina yang berhasil tertangkap, hanya 1 individu yang berstatus reproduksi non reproductive. Jenis yang paling jarang ditemui dalam Famili Rhinolophidae ini adalah jenis R. macrotis, yaitu hanya tertangkap 1 individu jantan. Pendugaan Daerah Jelajah (Home Range) Kelelawar Pendugaan home range kelelawar dalam penelitian ini didasarkan pada data individu kelelawar yang tertangkap kembali (recapture). Kelelawar yang telah ditandai dan kemudian tertangkap kembali dikelompokkan, kemudian dianalisis menggunakan program ArcView 3.2. Dari hasil analisis data, didapat home range terjauh dari jenis Hipposideros diadema, yaitu dengan radius m, dan 36

13 BAGIAN II Prosiding : home range terdekat yaitu m yang didapat dari jenis kelelawar Rhinolophus trifoliatus. Perbedaan antara kedua jenis ini secara morfologis dapat dilihat dengan mudah. H. diadema memiliki ukuran tubuh yang besar, dengan panjang lengan bawah berkisar antara 85,3 92 mm, sedangkan pada R. trifoliatus, panjang lengan bawah hanya berkisar antara 48,5 54,2 mm. Semakin panjang ukuran lengan bawah, maka bentangan sayap akan semakin lebar, sehingga berpengaruh terhadap kemampuan terbang dan daya jelajah kelelawar. Kendala yang dihadapi dalam pengumpulan data recapture adalah kelelawar pemakan serangga memiliki kecenderungan yang unik, yaitu bahwa kelelawar sangat jarang tertangkap kembali lebih dari 2 kali. Kecenderungan ini juga yang mungkin mengakibatkan jumlah kelelawar yang tertangkap pada penelitian ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Karakteristik Habitat Kelelawar pemakan serangga cenderung mencari makan pada bagian bawah hutan, serasah, semai, dan bukaan tumbuhan bawah. Serasah berasal dari dedaunan tua pada pohon yang berguguran di lantai hutan, yang merupakan habitat penting bagi beberapa serangga mangsa kelelawar. Semai merupakan tumbuhan perintis dengan ketinggian kurang dari 1 meter yang banyak tersebar di lantai hutan. Sebagai tumbuhan perintis, semai memiliki daun muda yang tepat untuk peletakan telur, sumber pakan, serta tempat tinggal berbagai jenis serangga. Serangga yang sering dijumpai pada lantai hutan diantaranya meliputi ordo Lepidoptera (ngengat), Isoptera (rayap), Orthoptera (belalang, cenggeret), Homoptera (wereng), Hymenoptera (lebah, tawon, semut), Coleoptera (kumbang) dan Diptera (nyamuk). Menurut Jones and Rydell (2003) serangga-serangga tersebut merupakan sumber pakan bagi kelelawar pemakan serangga. Spesifikasi tipe sarang dan bertengger pada kelelawar umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti morfologi, kemampuan ekolokasi dan terbang, ketersediaan sumber daya (makanan, air, tempat hibernasi), faktor iklim, dan ketersediaan tempat sarang dan bertengger (Wunder and Carey 1996, Kunz and Lumsden 2003). Kelelawar menggunakan berbagai tipe tempat bersarang/bertengger. Sebagian besar spesies biasanya memanfaatkan pohon (lubang/celah, pada 37

14 Prosiding : BAGIAN II batang/ranting), dedaunan (di balik daun/di dalam dedaunan), gua atau pada celah bebatuan (Kunz and Lumsden, 2003). Pada penelitian ini sarang dan tempat bertengger dikelompokkan menjadi 3 tipe berdasarkan ketersediaannya di lokasi penelitian. Tipe dedaunan, gua dan lubang-lubang. Lubang-lubang di sini termasuk di dalamnya adalah lubang pada tegakan pohon mati, pohon mati yang telah roboh, celah pohon, atau celah bebatuan. Pembagian ini berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya (WCS-IP, data tidak terpublikasi) maupun pengamatan selama penelitian. Wunder and Carey (1996) menyatakan sebagian spesies kelelawar di daerah tropis memanfaatkan dedaunan sebagai tempat sarang/bertengger. Penggunaan dedaunan sebagai tempat sarang/bertengger lebih potensial ditemukan dibandingkan lubang-lubang dan gua. Namun, tempat yang lebih terbuka membuat spesies yang memanfaatkannya beresiko dimangsa oleh satwa lain. Satwa yang pernah terlihat sedang memangsa kelelawar adalah elang kelelawar (Macheiramphus alcinus). KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pengamatan selama penelitian dan pengolahan data, maka dapat disimpulkan bahwa ukuran komunitas kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang berhasil ditangkap adalah 5552 individu, dengan komposisi terdiri dari 25 jenis yang termasuk ke dalam lima famili. Menurut kriteria Jorgenssen, Hipposideros larvatus, Rhinolophus affinis, dan Hipposideros cervinus merupakan jenis yang mendominasi komunitas kelelawar, dengan nilai masing-masing sebesar 59.6%, 21.4%, dan 6.13%. Rasio jenis kelamin antara jantan dan betina secara keseluruhan adalah 1:1,5, hal ini menunjukkan bahwa jumlah betina dalam komunitas kelelawar pemakan serangga di lokasi penelitian lebih banyak dibandingkan jumlah jantan. Tingkatan umur pada komunitas ini didominasi oleh dewasa, yaitu mencapai 99.6%, dan status reproduksi pada betina didominasi oleh status reproduksi non reproductive dengan persentase sebesar 43%. Pendugaan home range kelelawar pemakan serangga diperoleh radius terjauh dari jenis Hipposideros diadema, yaitu sejauh 1.029,56 m. 38

15 BAGIAN II Prosiding : Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai faktor penyebab terjadinya penurunan kelimpahan kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, serta menentukan metode yang lebih efektif, guna menduga home range kelelawar pemakan serangga di Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A Proposal Manajemen Konservasi Monitoring Biodiversitas pada Hutan di Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT Sampoerna Agro Sumatera Selatan. Program Pascasarjana Biologi, Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Depok. Tidak Dipublikasikan. Barlow, K Expedition Field Techniques Bats. Kensington Gore, London. Tidak dipublikasikan. Estrada, A., Coates-Estrada, R. and Meritt, D.Jr Bat Species Richness and Abundance in Tropical Rain Forest Fragments and In Agricultural Habitats at Los Tuxtlas, Mexico. Ecography 16: Hutson, A., Mickleburgh, S.P. and Racey, P.A Microchiropteran Bats: Global Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN/SSC Chiroptera Specialist Group. Jones, G. and Rydell, J Attack and Defense: Interaction between Echolocating Bats and Their Insect Prey. Pp In: Bat Ecology. Kunz, T. H and Fenton M. B (ed). The University of Chicago Press. Chicago and London. Kingston, T Analysis of Species Diversity of Bat Assemblages. In : Kunz, T.H & Parsons, S (ed.). Behavioral and Ecological Methods for Study of Bats. Smithsonian Institution Press. Washington. In press. Kingston, T., Francis, C.M., Akbar, Z. and Kunz, T.H Species Richness in an Insectivorous Bat Assemblage from Malaysia. Journal of Tropical Biology, 19, pp Kingston, T., Liat, L.B. and Akbar, Z Bats of Krau Wildlife Reserve. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi. Kunz, T.H. and Lumsden, L.F Ecology of Cavity and Foliage Roosting Bats. pp in Kunz, T.H & Fenton, M.B (ed.). Bat Ecology. The University of Chicago Press. United States of America. Medellin, R.A., Equihua, M. and Almin, M.A Bat Diversity and Abundance as Indicators of Disturbance in Neotropical Rainforest. Conservation Biology 14, 6, pp

16 Prosiding : BAGIAN II Payne, J. and Francis, C.M A Field Guide to the Mamals of Borneo, Sabah and Serawak. World Wildlife Fund. Prastianingrum, H Keanekaragaman Kelelawar Pemakan Serangga Pada Jalur Baru dan Jalur Lama di Hutan Primer Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung, Sumatra. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tidak Dipublikasikan. Suyanto, A Seri Panduan Lapangan:Kelelawar Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Bogor. Wildlife Conservation Society-Indonesia Program Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Dalam Ruang dan Waktu. Laporan Hasil Penelitian Juli Juni PKHA/WCS-IP. Bogor. Tidak dipublikasikan. Wunder, L. and Carey, A.B Use of the Forest Canopy by Bats. Northwest Science Vol

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS),

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2011 bertempat di Stasiun Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

KERAGAMAN KELELAWAR INSEKTIVORA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

KERAGAMAN KELELAWAR INSEKTIVORA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN KERAGAMAN KELELAWAR INSEKTIVORA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK, TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (Insectivorous bats diversity of Microchiroptera Sub Order in Way Canguk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian tentang tanda keberadaan tidak langsung kelelawar pemakan buah telah dilakukan pada bulan Desember 2014 - Maret 2015. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

KOMUNITAS KELELAWAR MICROCHIROPTERA DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. KENCANAA SAWIT INDONESIA (KSI) SOLOK SELATAN TESIS.

KOMUNITAS KELELAWAR MICROCHIROPTERA DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. KENCANAA SAWIT INDONESIA (KSI) SOLOK SELATAN TESIS. KOMUNITAS KELELAWAR MICROCHIROPTERA DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. KENCANAA SAWIT INDONESIA (KSI) SOLOK SELATAN TESIS Oleh: FAUZIAH SYAMSI 09 21208 007 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni Lampung Barat pada bulan Juni sampai bulan Oktober 2012. Penelitian ini berada

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA Diversity of Bats (Chiroptera) at The Mountain of Ambawang Forest Protected Areas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Sumatera Barat banyak ditemukan kawasan berkapur (karst) dengan sejumlah goa. Goa-goa yang telah teridentifikasi di Sumatera Barat terdapat 114 buah goa (UKSDA, 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah karst sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia. Istilah aslinya adalah krst / krast yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

Karakteristik Populasi dan Habitat Kelelawar Hipposideros cervinus (Sub ordo Microchiroptera) di Gua Bratus Kecamatan Air Besar Kabupaten Landak

Karakteristik Populasi dan Habitat Kelelawar Hipposideros cervinus (Sub ordo Microchiroptera) di Gua Bratus Kecamatan Air Besar Kabupaten Landak Karakteristik Populasi dan Habitat Kelelawar Hipposideros cervinus (Sub ordo Microchiroptera) di Gua Bratus Kecamatan Air Besar Kabupaten Landak Fetronius Piter 1, Tri Rima Setyawati 1, Irwan Lovadi 1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kelelawar memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan menempati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kelelawar memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan menempati II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kelelawar Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Chiroptera Kelelawar memiliki

Lebih terperinci

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage 69 Nama Spesies : Cynopterus brachyotis sunda lineage Nama Lokal : Codot Nama Inggris : Lesser Short-nosed Fruit Bat Deskripsi : Panjang lengan = 55-65 mm, Panjang ekor =8-10 mm, panjang telinga= 14-16

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Brower JE, Zar JH Field dan Laboratory Methods for General Ecology. Third Editon. Dubuque, Lowa: C. Brown Publisher.

DAFTAR PUSTAKA. Brower JE, Zar JH Field dan Laboratory Methods for General Ecology. Third Editon. Dubuque, Lowa: C. Brown Publisher. DAFTAR PUSTAKA Apridani J. 2004. Keanekaragaman dan kekerabatan jenis kelelawar berdasarkan kondisi fisik mikroklimat tempat bertengger pada beberapa gua di kawasan gua Gudawang. Skripsi Sarjana Departemen

Lebih terperinci

Inventarisasi Serangga Pada Pohon Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) INVENTARISASI SERANGGA PADA POHON TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb)

Inventarisasi Serangga Pada Pohon Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) INVENTARISASI SERANGGA PADA POHON TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb) INVENTARISASI SERANGGA PADA POHON TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb) Ria Rosdiana Hutagaol Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang Email : riarose.h@gmail.com Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar masuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai sayap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar masuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai sayap 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelelawar Kelelawar masuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai sayap tangan, karena tungkai depannya termodifikasi sebagai sayap, sehingga kelelawar memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN MODUL PENGAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR Subordo Microchiroptera DI GUNUNGKIDUL BAGI SISWA SMA

PENYUSUNAN MODUL PENGAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR Subordo Microchiroptera DI GUNUNGKIDUL BAGI SISWA SMA 14 Jurnal Prodi Pendidikan Biologi Vol 6 No 2 Tahun 2017 PENYUSUNAN MODUL PENGAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR Subordo Microchiroptera DI GUNUNGKIDUL BAGI SISWA SMA ARRANGING OF ENRICHMENT MODULE OF

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar termasuk ke dalam Ordo Chiroptera, merupakan salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar termasuk ke dalam Ordo Chiroptera, merupakan salah satu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Ekologi Kelelawar Kelelawar termasuk ke dalam Ordo Chiroptera, merupakan salah satu kelompok mamalia yang sukses beradaptasi hingga saat ini, hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

Megaerops Peters, Megaerops ecaudatus (Temminck, 1837) Pteropodidae

Megaerops Peters, Megaerops ecaudatus (Temminck, 1837) Pteropodidae Megaerops Peters, 1865 Marga Megaerops Peters, 1865 terdiri tiga jenis, tetapi hanya dua jenis yang dijumpai di Pulau Sumatera yaitu Megaerops ecaudatus (Temminck, 1837) dan Megaerops wetmorei (Taylor,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

KEANEKARAGAMAN KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN KEANEKARAGAMAN KELELAWAR PEMAKAN SERANGGA SUB ORDO MICROCHIROPTERA DI STASIUN PENELITIAN WAY CANGUK TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN KARLINA F. KARTIKA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Pengumpulan data di lakukan di dua resor kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu Resor Belimbing untuk plot hutan primer dan Resor Tampang untuk

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA KECIL PADA TIGA HABITAT YANG BERBEDA DI LHOKSEUMAWE PROVINSI ACEH

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA KECIL PADA TIGA HABITAT YANG BERBEDA DI LHOKSEUMAWE PROVINSI ACEH KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA KECIL PADA TIGA HABITAT YANG BERBEDA DI LHOKSEUMAWE PROVINSI ACEH Muhammad Nasir, Yulia Amira dan Abdul Hadi Mahmud Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Harpiocephalus harpia Serangga Rhinolophus keyensis Serangga Hipposideros cervinus Serangga

MATERI DAN METODE. Harpiocephalus harpia Serangga Rhinolophus keyensis Serangga Hipposideros cervinus Serangga MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kota Tual, desa Ohoira, desa Ohoidertawun dan desa Abean, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian lapang dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah Kopi termasuk komoditas perkebunan yang banyak diperdagangkan di dunia internasional. Negara Indonesia merupakan peringkat ke-4 penghasil kopi terbesar di dunia

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro

Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro ISSN: 2252-3979 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/lenterabio Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro Hendrik Nurfitrianto, Widowati Budijastuti,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN KARAKTERISTIK HABITAT KELELAWAR DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU BAGIAN BARAT (HBTBB), SUMATERA UTARA AJENG MIRANTI PUTRI

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN KARAKTERISTIK HABITAT KELELAWAR DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU BAGIAN BARAT (HBTBB), SUMATERA UTARA AJENG MIRANTI PUTRI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN KARAKTERISTIK HABITAT KELELAWAR DI KAWASAN HUTAN BATANG TORU BAGIAN BARAT (HBTBB), SUMATERA UTARA AJENG MIRANTI PUTRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelelawar

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelelawar TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelelawar Kelelawar merupakan mamalia yang dapat terbang yang termasuk ordo Chiroptera. Hewan ini merupakan satu-satunya mamalia yang dapat terbang dengan menggunakan sayap.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-Jenis Predator pada Tanaman Padi Hasil pengamatan predator pada semua agroekosistem yang diamati sebagai berikut: 1. Tetragnatha sp. Klas : Arachnida Ordo : Araneae

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR DI DESA CIKARAWANG KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR PROVINSI JAWA BARAT AKBAR SUMIRTO

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR DI DESA CIKARAWANG KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR PROVINSI JAWA BARAT AKBAR SUMIRTO KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR DI DESA CIKARAWANG KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR PROVINSI JAWA BARAT AKBAR SUMIRTO DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA

BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA Serangga merupakan kelompok hama paling banyak yang menyebabkan kerusakan hutan. Hama tanaman hutan pada umumnya baru menimbulkan kerugian bila berada pada tingkat populasi

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) PADA BEBERAPA TIPE EKOSISTEM DI CAMP LEAKEY

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) PADA BEBERAPA TIPE EKOSISTEM DI CAMP LEAKEY BIOMA 12 (1), 2016 Biologi UNJ Press ISSN : 0126-3552 STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) PADA BEBERAPA TIPE EKOSISTEM DI CAMP LEAKEY KAWASAN TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING (TNTP), KALIMANTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung 21 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung Balak Resort Muara Sekampung Kabupaten Lampung Timur. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI priyambodo@fmipa.unila..ac.id #RIPYongki Spesies dan Populasi Species : Individu yang mempunyai persamaan secara morfologis, anatomis, fisiologis dan mampu saling

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel : 19-20 November KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA Yusrina Avianti Setiawan 1), Muhammad Kanedi 1), Sumianto 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008). I. PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung dengan luas ± 3.528.835 ha, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan dapat diandalkan, mulai dari pertanian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

2 k e s erta tahun, seperti : pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, penebangan liar t ersebut Nasional pembukaan akses jalan m erupakan ancaman

2 k e s erta tahun, seperti : pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, penebangan liar t ersebut Nasional pembukaan akses jalan m erupakan ancaman 1 I. P ENDAHULUAN A. L atar Belakang I ndonesia t i nggi, sehingga adalah negara merupakan negara memiliki keanekaragaman hayati sangat negara kepulauan ini d ikenal s ebagai memiliki negara megabiodiversi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

STUDI DINAMIKA POPULASI KELELAWAR KUBAR JANGGUT-HITAM (Taphozous melanopogon Temminck, 1841) DI GUA SRUNGGO DI KAWASAN KARST TUBAN

STUDI DINAMIKA POPULASI KELELAWAR KUBAR JANGGUT-HITAM (Taphozous melanopogon Temminck, 1841) DI GUA SRUNGGO DI KAWASAN KARST TUBAN 9-073 STUDI DINAMIKA POPULASI KELELAWAR KUBAR JANGGUT-HITAM (Taphozous melanopogon Temminck, 1841) DI GUA SRUNGGO DI KAWASAN KARST TUBAN Dinamics Population Study of Black-Bearded Tomb Bat (Taphozous Melanopogon

Lebih terperinci

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacg) berasal dari Nigeria, Afrika

PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacg) berasal dari Nigeria, Afrika PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacg) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika selatan yaitu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. B. Alat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur selama 9 hari mulai tanggal

Lebih terperinci