Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan"

Transkripsi

1 Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Febrian Mulya Santausa 1, Danny Surya, Eka Satya Nugraha, Leonita Ariesta Putri, Prissilia Prasetyo, Vionnie Violetta Tantri, Saleha Sungkar (Departemen Parasitologi) Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter ABSTRAK Prevalensi enterobiasis tergolong tinggi pada murid SD. Melalui penyuluhan terhadap guru SD, informasi mengenai enterobiasis diharapkan lebih mudah disampaikan kepada murid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Penelitian dilakukan di Jakarta dengan mengundang perwakilan guru SD Jakarta ke acara penyuluhan. Desain penelitian adalah quasi-eksperimental dengan intervensi penyuluhan kesehatan mengenai enterobiasis. Semua guru yang hadir saat penyuluhan dijadikan subyek penelitian. Pengambilan data menggunakan kuesioner berisi pertanyaan mengenai siklus hidup, patogenesis, gejala, penularan, dan pencegahan enterobiasis yang dibagikan sebelum dan sesudah penyuluhan. Jumlah responden 67 orang, 31,3% laki-laki dan 68,7% perempuan. Sebelum penyuluhan responden dengan tingkat pengetahuan baik sebanyak 16,4%, cukup 35,8%, dan kurang 47,8%. Sesudah penyuluhan, responden dengan tingkat pengetahuan baik menjadi 83,6%, cukup 13,4%, dan kurang 3%. Dari uji marginal homogeneity didapatkan nilai p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Jika ditinjau per nomor, uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada semua skor jawaban kecuali pertanyaan mengenai gejala enterobiasis (p=0,083). Hal tersebut disebabkan sebelum penyuluhan 95,5% responden telah menjawab pertanyaan tersebut dengan benar dan menjadi 100% setelah penyuluhan. Dapat disimpulkan penyuluhan efektif meningkatkan pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis. The Knowledge Level of Enterobiasis Among Elementary School Teachers in Jakarta in 2011 Before and After Health Education ABSTRACT The prevalence of enterobiasis is high among elementary school students. Through providing health education to the teachers, information can be easily delivered to the students. Our study was aimed to assess the difference between knowledge level of enterobiasis among elementary school teachers before and after health education. This quasi-experimental study was held in Jakarta by inviting representatives of elementary school teachers in Jakarta to follow health education about enterobiasis. The teachers (n=67), 31,3% male and 68,7% female, completed pre-test and post-test questionnaire consisting of questions about life cycle, pathogenesis, symptoms, transmission, and prevention of enterobiasis. Prior to health education, there were 16,4% respondents with good knowledge level, 35,8% average, and 47,8% poor. After health education, 83,6% respondents knowledge level was good, 13,4% average, and 3% poor. Based on marginal homogeneity test, the difference is significant (p<0,01). If we assess the score of each number before and after health education, Wilcoxon test shows significant difference in all numbers, except question about enterobiasis symptoms (p=0,083). It is because 95,5% respondents had already answered the question correctly before health education, and became 100% after health education. In conclusion, health education effectively improves knowledge level of enterobiasis among elementary school teachers. Keywords: elementary school teachers; enterobiasis; health education; knowledge

2 Pendahuluan Enterobiasis merupakan penyakit infeksi cacing yang disebabkan oleh Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis) atau cacing kremi. Prevalensi enterobiasis di dunia masih tergolong tinggi baik di negara berkembang maupun negara maju. 1-3 Prevalensi enterobiasis pada anak usia 5-14 tahun di Argentina adalah 23,8%. 4 Di Turki, prevalensi enterobiasis pada murid SD adalah 17%, 5 sedangkan di Thailand prevalensinya di daerah rural sebesar 41,6%. 6 Prevalensi enterobiasis pada murid SD di Korea Selatan tidak jauh berbeda dengan Turki, yaitu sebesar 18,5%. 7 Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis, kelembaban udara yang tinggi, dan sanitasi kurang baik sehingga sesuai untuk perkembangan cacing kremi. Oleh karena itu, prevalensi enterobiasis di Indonesia cukup tinggi, yaitu berkisar antara 13-60%. 8 Di Malang, prevalensi enterobiasis adalah 13%. 9 Prevalensi enterobiasis pada anak berusia di bawah 6 tahun di Cikaret, Jawa Barat, sebesar 53,8%. 10 Di Jakarta Timur, prevalensi enterobiasis adalah 34,1% dan terbanyak pada kelompok usia 5-9 tahun, yaitu 54,1% dari 85 anak yang diperiksa, 8 sedangkan di Menteng, Jakarta Pusat, prevalensi enterobiasis berkisar 5-62,5%. 11 Enterobiasis bersifat ringan dan jarang menyebabkan masalah kesehatan yang serius dibanding infeksi cacing lain seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, atau cacing tambang. Meskipun demikian, enterobiasis menyebabkan gatal yang hebat di daerah perianal terutama pada malam hari. Penderita, khususnya anak-anak, menjadi terganggu tidurnya dan mengantuk pada siang hari sehingga sulit berkonsentrasi di sekolah Penularan infeksi cacing kremi sangat mudah terjadi pada kelompok orang yang hidup dalam satu lingkungan yang sama seperti asrama, panti asuhan, atau sekolah. Telur cacing dapat diisolasi dari debu ruangan sekolah atau kafetaria dan menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Selain itu, reinfeksi mudah sekali terjadi jika tidak dilakukan pencegahan yang tepat. 2 Infeksi cacing kremi dapat terjadi pada seluruwh golongan usia, namun lebih sering ditemukan pada anak usia sekolah dasar. Mengingat rentannya murid SD terhadap infeksi E. vermicularis, perlu dilakukan upaya pencegahan. Guru yang sehari-hari mengajar murid SD merupakan salah satu pihak yang paling dekat dengan murid dan dapat diandalkan untuk menyampaikan upaya pencegahan enterobiasis. Dengan demikian, guru SD perlu diberikan informasi mengenai infeksi E.vermicularis.

3 Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu cara penyampaian informasi yang mudah dilakukan, namun belum banyak penelitian yang membahas mengenai sejauh apa efektivitas metode ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan survei tingkat pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Hipotesis penelitian adalah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan, sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah diketahuinya karakteristik guru SD di Jakarta dan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis sebelum dan setelah penyuluhan. Tinjauan Teoritis Enterobiasis E. vermicularis (Oxyuris vermicularis) atau cacing kremi (human pinworm) merupakan cacing parasit pada manusia dari filum Nematoda kelas Secernentea. Cacing tersebut pertama kali ditemukan pertama kali oleh Karl Linnaeus pada tahun Ditemukan spesies lain yang dianggap serupa dengan E. vermicularis, yaitu E. gregorii, namun masih banyak peneliti yang meragukan validitas spesies ini. Telur dan cacing betina E. gregorii tidak bisa dibedakan dengan E. vermicularis, sedangkan cacing jantan memiliki spikula yang lebih pendek dan sederhana. 1-3 E. vermicularis merupakan nematoda kecil, silindris, tanpa buccal capsule. Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Di ujung anterior, terdapat pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus terlihat jelas terutama bagian posteriornya yang menjadi ciri khas ordo Oxyurida. Panjang ekornya mencapai 1/3 panjang keseluruhan tubuh dan bentuknya runcing. Uterus cacing gravid melebar biasanya penuh berisi telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm x 0.2 mm, juga memiliki sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya. Spikulum kopulatori panjangnya µm namun jarang ditemukan. Biasanya cacing jantan mati setelah kopulasi dan dapat ditemukan di feses manusia. 1-2

4 Cacing dewasa biasanya hidup di dalam sekum dan apendiks. Makanannya adalah isi usus. Pada infeksi berat cacing dewasa bisa juga ditemukan pada ileum atau kolon ascendens. Cacing betina yang gravid mengandung butir telur, namun telur tersebut jarang dikeluarkan dalam usus, oleh karena itu telur E. vermicularis sulit ditemukan pada feses. 1-3 Telur berbentuk lonjong dan salah satu sisinya lebih datar (asimetrik). Dinding telur bening dan sedikit lebih tebal jika dibandingkan dengan cacing tambang. Dinding telur mulai dari bagian luar ke dalam tersusun atas satu lapisan albuminosa, dua lapisan berkitin, dan satu lapisan lipoidal. Ukuran telur sekitar (rata-rata 54) µm x µm. Biasanya telur akan dikeluarkan dalam keadaan semi-embrio. Telur menjadi lebih matang dalam waktu 6 jam (kisaran 4-7 jam) setelah dikeluarkan dan mengandung larva rhabditiform pada suhu 35 o C (larva tidak tumbuh di bawah suhu 22 o C). Telur membutuhkan oksigen untuk berkembang sehingga biasanya ditemukan di daerah perianal. Lapisan albuminosa dinding telur sangat lengket sehingga dapat melekat pada daerah perianal hospes. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Kopulasi cacing jantan dan betina kemungkinan besar terjadi di sekum. Cacing jantan umumnya mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur. E. vermicularis memiliki keunikan yang tidak dimiliki cacing nematoda lainnya, yaitu sifatnya yang haplodiploid. Cacing betina bersifat diploid, sedangkan cacing jantan bersifat haploid karena berasal dari telur yang tidak dibuahi. 1-3 Manusia adalah satu-satunya hospes bagi E. vermicularis sehingga daur hidupnya sebagian besar terjadi dalam tubuh manusia. Ketika uterus penuh dengan telur, cacing betina akan bermigrasi sepanjang kolon hingga sampai ke daerah perianal. Di daerah ini cacing betina akan mengeluarkan seluruh telurnya ( butir) dengan cara kontraksi uterus dan vagina, kemudian setelah itu cacing betina akan mati. Sekitar 6 jam kemudian, telur akan menjadi infektif dan tetap bertahan di sana (telur dapat hidup hingga 13 hari pada kondisi udara yang lembap). Cacing betina dan telur-telur yang berada pada daerah perianal tersebut akan mensensitisasi kulit dan menyebabkan rasa gatal. Akibatnya, hospes (umumnya anak-anak) biasanya berusaha menggaruk dan akhirnya telur terbawa bersama kuku hospes. Infeksi cacing kremi dapat terjadi dengan cara hospes menelan telur fase infektif karena autoinfeksi (dari kuku yang membawa telur akibat menggaruk daerah perianal) atau dari debu yang membawa terbang telur, misalnya karena mengibaskan alas tidur. Cara lainnya adalah larva telur yang menetas di perianal kembali ke usus besar (retroinfeksi). 1-3

5 Bila telur matang tertelan, telur akan menetas menjadi larva (ukuran 145 µm x 10 µm) di duodenum dan larva rhabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejunum dan bagian atas ileum. Cacing dewasa muda akan bermigrasi ke kolon, melekat ke mukosa, dan berkembang sekitar hari hingga menjadi sepenuhnya dewasa dan dapat melanjutkan siklus. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal, berlangsung 2 minggu hingga 2 bulan. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri. Bila tidak ada reinfeksi, infeksi dapat berakhir tanpa pengobatan. 1-3 Enterobiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh E. vermicularis. Penyakit ini relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang paling menonjol adalah iritasi di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid dan telurnya sehingga penderita mengeluhkan gatal di daerah tersebut. Erosi dan ekskoriasi dapat ditemui di daerah tersebut akibat garukan penderita. Umumnya rasa gatal sering terjadi pada malam hari sehingga penderita sering merasa terganggu tidurnya dan menjadi lemah. 1-3 Cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal, saluran urin, lambung, esofagus, dan hidung sehingga dapat menyebabkan gangguan iritasi atau radang di daerah tersebut. Pada wanita, cacing betina dapat mengembara hingga tuba fallopi sehingga menyebabkan radang di saluran telur. Meskipun cacing ini sering ditemukan di apendiks, tetapi E. vermicularis jarang menyebabkan apendisitis. Beberapa gejala infeksi lain adalah kurangnya nafsu makan, berat badan turun, cepat marah, enuresis, gigi menggertak, mual, diare, insomnia, tetapi terkadang sukar untuk menemukan hubungan sebab-akibat dengan infeksi cacing kremi. 1-3 Enterobiasis dapat dicurigai pada pasien yang mengeluhkan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Cacing betina dewasa dapat terlihat pada feses maupun di sekitar anus, namun telur sulit sekali ditemukan pada feses. Dengan anal swab, telur dapat ditemukan dengan mudah di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum penderita buang air besar dan mencuci bokong. Anal swab merupakan alat dari spatel lidah atau batang gelas yang pada ujungnya dilekatkan scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ditempelkan di anus maka telur cacing akan menempel pada perekatnya. Selanjutnya, adhesive tape diratakan pada kaca benda, dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopis. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga sampai tujuh hari berturut-turut. 1-3 Enterobiasis merupakan salah satu penyakit cacingan yang mudah untuk diobati karena berbagai variasi obat efektif untuk membunuh parasit. Obat sebaiknya diberikan

6 kepada seluruh anggota keluarga penderita untuk mencegah reinfeksi. Pemberian obat dapat diulang satu bulan setelah konsumsi terakhir untuk memastikan penderita bebas dari E. vermicularis. 8,11 Obat yang dapat diberikan adalah pirantel pamoat, mebendazol dan albendazol. Pirantel pamoat diberikan dengan dosis tunggal 10 mg per kilogram berat badan atau diulang satu kali pemberian satu minggu setelah konsumsi pertama. Pirantel pamoat tidak efektif terhadap stadium telur. Mebendazol efektif terhadap seluruh stadium perkembangan cacing kremi diberikan dengan dosis tunggal 500 mg, sedangkan albendazol diberikan dengan dosis tunggal 400 mg atau dengan dosis 200 mg diberikan dua kali dalam sehari. Keberhasilan pengobatan mendekati 100% pada anak usia di atas 2 tahun dan orang dewasa. 8,10 Pencegahan berperan penting khususnya untuk mencegah reinfeksi berulang enterobiasis pada penderita atau orang-orang terdekatnya. Higienitas pribadi dan lingkungan merupakan faktor paling penting untuk mencegah infeksi E. vermicularis. Kuku harus selalu dipotong pendek, cuci tangan sebelum makan, pakaian tidur dan alas kasur dicuci dan disetrika setiap hari. Daerah perianal harus dicuci bersih saat mandi. Anak yang sudah terinfeksi cacing kremi sebaiknya memakai celana panjang saat tidur sehingga alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan dari tangan yang diduga mengandung telur. Meskipun demikian, pada kenyataannya terkadang sulit untuk mencegah reinfeksi pada anak yang sudah terinfeksi cacing kremi, oleh karena itu perlu dibantu dengan pengobatan yang sesuai Pemerintah sendiri telah berusaha menyusun program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) untuk mencegah penyakit-penyakit infeksi. Menurut Pedoman PHBS Kementrian Kesehatan RI tahun 2011, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. 19 Cakupan PHBS tergolong luas hingga ke bidang gizi dan farmasi. PHBS secara umum dapat dikelompokkan dalam lima tatanan, yaitu PHBS dalam tatanan rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan pertemuan terakhir yaitu Rapat Koordinasi Promosi Kesehatan Tingkat Nasional pada tahun 2007, PHBS rumah tangga memiliki sepuluh indikator, yaitu persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan, menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik nyamuk, mengonsumsi buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitas fisik setiap hari dan

7 tidak merokok di dalam rumah. Program PHBS merupakan upaya promosi kesehatan yang penting sebagai lini pertama pencegahan penyakit, terutama kelainan tumbuh-kembang dan penyakit infeksi. 19 Pengetahuan Menurut KBBI, 20 pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian. Menurut Notoatmodjo, pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang setelah melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Proses penginderaan hingga terbentuknya pengetahuan dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi manusia itu sendiri terhadap objek. Secara garis besar, pengetahuan dapat dibagi menjadi enam tingkat, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin besar pemahamannya terhadap objek tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat memahami, seseorang hanya dapat mengidentifikasi objek secara benar, namun pada tingkat evaluasi, seseorang dapat melakukan penilaian terhadap objek tersebut berdasarkan faktor-faktor lain. 21 Penyuluhan Menurut KBBI, penyuluhan memiliki arti penerangan. 22 Penyuluhan kesehatan adalah proses pembelajaran untuk mencapai suatu keadaan di mana individu, keluarga, dan kelompok masyarakat secara keseluruhan memiliki keinginan untuk hidup secara sehat, serta mengetahui bagaimana cara untuk mencapai hidup sehat tersebut. Menurut WHO, 23 tujuan penyuluhan kesehatan adalah perubahan perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemberian penyuluhan kesehatan antara lain tingkat pendidikan, tingkat sosial-ekonomi, adat istiadat, kepercayaan masyarakat, dan ketersediaan waktu dari masyarakat. Materi yang disampaikan diharapkan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta dapat menggunakan media atau alat bantu untuk mempermudah penyampaian pesan. Metode pemberian penyuluhan dapat bersifat searah atau dua arah. Contoh metode penyuluhan searah adalah metode didaktik, yaitu memberikan penerangan biasa tanpa melibatkan pendengar secara aktif. Metode penyuluhan dua arah dapat dilakukan dengan diskusi atau praktik langsung. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. 23 Pada intinya, faktor-faktor di atas harus disesuaikan dengan sasaran penyuluhan kesehatan agar informasi yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

8 Metode Penelitian Desain penelitian ini adalah quasi-eksperimental dengan metode pre-post study untuk menilai perbedaan tingkat pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan diukur dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi kemudian dianalisis. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober November Pengambilan data dilakukan di Jakarta tanggal 12 Oktober Populasi target penelitian adalah guru SD, populasi terjangkau penelitian adalah guru SD di Jakarta pada tahun 2011 yang hadir di acara penyuluhan, dan sampel penelitian adalah guru SD di Jakarta pada tahun 2011 yang hadir di acara penyuluhan serta memenuhi kriteri inklusi dan tidak tercakup dalam kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah guru SD di Jakarta yang hadir dan mengikuti penyuluhan cacingan, serta mengerjakan pre-test dan post-test. Kriteria eksklusi adalah guru tidak bersedia menjadi subyek penelitian. Terdapat dua kriteria drop out, yaitu guru SD di Jakarta yang hadir pada penyuluhan cacingan, namun tidak mengerjakan pre-test dan atau post-test, serta guru SD di Jakarta yang tidak mengisi kuisioner secara lengkap. Semua guru SD yang hadir saat penyuluhan (populasi terjangkau) dijadikan subyek penelitian sehingga pengambilan sampel menggunakan total populasi. Guru yang hadir adalah perwakilan SD di Jakarta yang dipilih oleh sekolah masing-masing. Variabel dependen pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis. Variabel independen penelitian ini adalah penyuluhan. Variabel perancu adalah usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan, sumber informasi, dan pengalaman cacingan. Penelitian diawali dengan pembuatan proposal penelitian yang kemudian diserahkan dan disetujui oleh pembimbing dan pengurus modul riset Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah itu, peneliti bekerja sama dengan PT Johnson & Johnson untuk mengadakan acara penyuluhan cacingan di Jakarta yang mengundang guru-guru perwakilan SD di seluruh Jakarta. Setiap SD yang mendapatkan undangan berhak memilih sendiri guru SD yang dikirim sebagai perwakilan untuk mengikuti acara penyuluhan cacingan. Peneliti melakukan pengambilan data di tempat penelitian, yakni di acara penyuluhan tersebut. Sebelum pengambilan data dilakukan, terlebih dahulu dijelaskan tujuan penelitian kepada subjek secara lisan sebagai bentuk informed consent. Setelah itu, peneliti membagikan kuesioner pre-test yang telah divalidasi. Peneliti meminta subjek mengisi data diri dan menjawab semua soal yang terdapat di dalam kuesioner tersebut. Setelah semua subjek mengisi kuesioner dengan lengkap, peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali. Apabila

9 terdapat nomor pertanyaan yang kosong, peneliti akan meminta subjek tersebut untuk melengkapinya. Setelah pengisian kuesioner selesai, subjek akan mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh tiga narasumber, yaitu dokter spesialis anak, ahli kesehatan masyarakat, dan guru besar parasitologi. Subjek berhak memberikan pertanyaan setelah pembicara selesai melakukan presentasi. Setelah seminar selesai, peneliti membagikan kuesioner post-test yang berisi soal yang sama dengan kuesioner sebelumnya. Subjek kembali diminta kesediaannya untuk mengisi seluruh soal yang terdapat di dalam kuesioner tersebut. Setelah semua subjek mengisi kuesioner dengan lengkap, peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali seluruh pertanyaan. Setelah semua kuesioner diisi, peneliti kembali mengumpulkan kuesioner post-test dan mengolahnya. Data yang telah dicatat kemudian akan dimasukkan dan diolah menggunakan SPSS for Windows versi 11.5 melalui editing, coding, cleaning, dan entry. Data dianalisis dengan uji marginal homogeneity karena data yang digunakan bersifat berpasangan dan uji hipotesis yang dilakukan merupakan uji hipotesis komparatif kategorik berpasangan dengan kategori lebih dari dua (baik, cukup, kurang). Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel dependen dan independen, sedangkan analisis bivariat digunakan untuk menilai hubungan antara variabel dependen dan independen. Hasil analisis data tersebut akan ditulis dan disusun dalam laporan penelitian. Penelitian ini menggunakan istilah yang dapat menimbulkan keracuan (ambiguitas) bagi pembaca. Oleh karena itu, istilah yang menimbulkan ambiguitas perlu diterangkan secara eksplisit untuk menghindari kesalahan persepsi. Responden adalah guru SD di Jakarta pada tahun 2011 yang hadir pada saat penelitian dilaksanakan. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden mengenai enterobiasis. Tingkat pengetahuan terhadap enterobiasis diukur menggunakan kuisioner yang telah divalidasi sebelumnya. Di dalam kuesioner terdapat 30 pertanyaan, lima di antaranya, yaitu nomor (dalam laporan ditulis nomor 1-5), mengenai siklus hidup, patogenesis, gejala, transmisi, dan pencegahan enterobiasis. Masing-masing pertanyaan memiliki kisaran skor maksimal 5 dan poin (yang berkisar antara 0-5) didistribusikan ke setiap pilihan jawaban sesuai dengan tingkat kebenaran jawaban tersebut. Responden diperbolehkan memilih lebih dari satu pilihan jawaban. Skor total yang diperoleh setelah penjumlahan digolongkan tingkat pengetahuannya. Pengetahuan tergolong baik apabila nilai 80%, cukup jika nilai 60% - 79%, dan kurang jika nilai<60%. Penyuluhan pada penelitian ini merupakan pemberian informasi mengenai siklus hidup E. vermicularis, patogenesis, gejala, transmisi, dan pencegahan enterobiasis. Penyuluhan

10 dilakukan menggunakan slide powerpoint dengan penjelasan secara lisan oleh narasumber (dokter). Jenis kelamin subyek digolongkan menjadi laki-laki dan perempuan, sedangkan tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang telah dijalani sampai tamat oleh subyek pada saat pengambilan data. Pengalaman cacingan merupakan pengalaman subyek menderita cacingan atau mengetahui anggota keluarga/orang lain yang menderita cacingan, dan sumber informasi merupakan media pemberian informasi mengenai penyakit cacingan kepada subyek. Agar penelitian ini tidak melanggar kode etik, peneliti memberikan informed consent kepada calon subyek penelitian sebelum diikutsertakan dalam penelitian. Sebelumnya peneliti memberikan gambaran dan penjelasan penelitian serta manfaat yang akan diperoleh bagi subyek jika bersedia berpartisipasi, kemudian informed consent diberikan berupa pernyataan secara lisan bahwa subyek bersedia secara sukarela terlibat dalam penelitian. Data dijaga kerahasiaannya dan subyek berhak menolak untuk ikut dalam penelitian. Hasil Penelitian Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah SD di Jakarta tahun ajaran 2011/2012 adalah 3006 sekolah; sebanyak 2224 sekolah merupakan SD negeri dan 782 merupakan SD swasta. Jumlah murid SD di Jakarta adalah siswa, terdiri atas murid SD negri dan murid SD swasta. Jumlah guru SD di Jakarta adalah orang, terdiri atas guru SD negri dan guru SD swasta. Berdasarkan jenjang pendidikannya, sebagian besar guru SD di Jakarta memiliki tingkat pendidikan Sarjana/S-1 (72,48%), diikuti PGSLA/D-2 (12,45%). Penyebaran guru SD di Jakarta paling padat di Jakarta Timur (21,72%) dan paling sedikit di Kepulauan Seribu (0,005%). Demikian juga halnya dengan penyebaran SD dan murid SD Jakarta. Pada penelitian ini, diundang guru perwakilan SD di Jakarta untuk diberikan penyuluhan mengenai enterobiasis. Dari 90 guru SD yang hadir, 67 responden mengisi kuesioner pre-test dan post-test secara lengkap. Sebanyak 23 orang datang setelah pelaksanaan pre-test atau pulang sebelum mengerjakan kuesioner post-test sehingga tidak diikutsertakan dalam analisis data. Tabel 1 menunjukkan distribusi subjek penelitian berdasarkan karakteristik demografi.

11 Tabel 1. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi Variabel Kategori Jumlah Persentase Jenis kelamin Laki-laki 21 31,3% Perempuan 46 68,7% Pendidikan SMA 3 4,5% D ,4% S1 S ,7% 4,5% Pengalaman Cacingan Tidak ada Diri sendiri Anggota keluarga Orang lain Diri sendiri dan keluarga ,3% 4,5% 23,9% 14,9% 7,5% Tabel 2. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Penyuluhan Tingkat Pengetahuan Uji Baik Cukup Kurang Sebelum 11 (16,4%) 24 (35,8%) 32 (47,8%) Sesudah 56 (83,6%) 9 (13,4%) 2 (3,0%) Marginal homogeneity (p<0,01) Tabel 2 menunjukkan peningkatan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik dari 16,4% menjadi 83,6%. Responden dengan tingkat pengetahuan kurang menurun dari 47,8% menjadi 3,0%. Analisis perbandingan tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan mendapatkan nilai p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan. Tabel 3. Skor Jawaban Responden Tiap Nomor Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Penyuluhan Median (Minimum - Maksimum) No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5 Sebelum 5 (0-5) 0 (0-5) 5 (0-5) 1 (0-5) 3 (0-5) Sesudah 5 (0-5) 5 (0-5) 5 (5-5) 5 (1-5) 5 (2-5) Nilai p 0,016 <0,01 0,083 <0,01 <0,01

12 Berdasarkan Tabel 3, hasil uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada skor responden sebelum dan sesudah penyuluhan pada setiap nomor kuesioner yang berkaitan dengan E. vermicularis. Pada nomor 1, 2, 4, dan 5 didapatkan nilai p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan pada setiap nomor tersebut. Nomor 1 berisi pertanyaan mengenai tempat bertelur cacing kremi, nomor 2 mengenai penyebab seseorang dapat mengandung cacing kremi, nomor 4 mengenai cara penularan infeksi cacing kremi, dan nomor 5 mengenai pencegahan cacing kremi. Berbeda dengan nomor lain, hasil analisis pada nomor 3 menunjukkan nilai p = 0,083 yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden mengenai gejala cacing kremi sebelum dan sesudah penyuluhan. Pembahasan Pada penelitian ini didapatkan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik sebelum penyuluhan sebesar 16,4% dan yang tergolong kurang sebesar 47,8%. Rendahnya tingkat pengetahuan responden terhadap enterobiasis kemungkinan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi enterobiasis pada masyarakat termasuk guru SD. Penyakit cacingan yang menjadi perhatian pemerintah adalah soil-transmitted helminths yaitu askariasis, trikuriasis dan infeksi cacing tambang karena komplikasinya berupa gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kurang gizi, anemia, dan diare. Enterobiasis umumnya menyebabkan gejala gatal di daerah perianal dan jarang menimbulkan komplikasi sehingga kurang diperhatikan. Hal tersebut kemungkinan membuat responden menyamakan informasi mengenai soil-transmitted helminths dengan enterobiasis sehingga memilih pilihan yang tidak tepat saat mengisi kuesioner. Pada soal nomor 1 mengenai tempat bertelur cacing kremi, sebanyak 35,8% responden memilih jawaban yang tidak tepat sebelum penyuluhan. Jawaban yang tepat adalah anus. Pilihan jawaban yang tidak tepat antara lain lambung, usus halus, dan usus besar. Lima responden memilih lambung sebagai jawaban pertanyaan nomor 1, sisanya memilih usus halus dan atau usus besar. Usus halus dan usus besar merupakan tempat bertelur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Besar kemungkinan responden kurang mengetahui tentang enterobiasis sebelum penyuluhan sehingga menyamakan siklus hidup E. vermicularis dengan A. lumbricoides atau T. trichiura. Soal nomor 2 adalah mengenai penyebab seseorang mengandung cacing kremi

13 (patogenesis). Hanya 47,8% responden yang memilih jawaban tepat sebelum penyuluhan. Jawaban yang tepat adalah tertelan telur cacing. Pilihan yang salah adalah makan kelapa parut, makan sayuran mentah, dan tidak tahu. Alasan responden memilih jawaban makan kelapa parut kemungkinan karena terdapat mitos di masyarakat bahwa penyakit cacing kremi disebabkan makan kelapa parut karena bentuk cacing kremi menyerupai parutan kelapa. Makan sayuran mentah merupakan patogenesis cacing lain seperti A. lumbricoides sehingga penyebab responden memilih jawaban tersebut kemungkinan karena tertukar dengan patogenesis A. lumbricoides. Pada soal nomor 3 mengenai gejala infeksi cacing kremi, 95,5% responden mendapat poin maksimal sebelum penyuluhan. Jawaban yang tepat adalah gatal di sekitar anus. Pilihan lain adalah anemia, kurang gizi, dan tidak tahu. Hal tersebut berarti sebelum penyuluhan sebagian besar responden telah memiliki pemahaman yang baik mengenai gejala enterobiasis. Soal nomor 4 dan 5 membahas penularan dan pencegahan enterobiasis. Jumlah responden yang memilih jawaban yang benar sebelum penyuluhan untuk nomor 4 dan 5 berturut-turut adalah 4,5% dan 37,3%. Pada kedua nomor tersebut responden harus memilih lebih dari satu jawaban untuk mendapatkan nilai maksimal. Apabila responden hanya memilih salah satu jawaban yang tepat maka nilainya tidak maksimal. Sebagian besar responden hanya mengetahui sebagian dari seluruh pilihan yang tepat sehingga skor tidak maksimal. Hanya sebagian kecil responden yang memilih jawaban tidak tahu. Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan bermakna (p<0,01) yang berarti penyuluhan efektif dalam meningkatkan tingkat pengetahuan responden mengenai enterobiasis. Peningkatan pengetahuan yang bermakna tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai hal. Responden yang berprofesi sebagai guru SD seharusnya memiliki kemampuan pemahaman yang baik, didukung latar belakang pendidikan responden yang sebagian besar adalah S-1. Selain itu, guru SD sehari-hari di sekolah terbiasa untuk belajar dan mengajar sehingga seharusnya tidak kesulitan memahami kuliah/ceramah. Pembicara pada penelitian ini merupakan dokter ahli kesehatan masyarakat, dokter anak, dan dokter spesialis parasitologi yang berpengalaman dalam memberikan penyuluhan sehingga materi penyuluhan dapat disampaikan secara jelas. Selain itu, media presentasi menggunakan slide powerpoint dengan teks, gambar dan bagan yang dijelaskan secara lugas dan perlahan sehingga dapat mempermudah responden untuk memahami materi penyuluhan. Responden juga diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai materi yang belum dimengerti untuk menghindari kesalahan persepsi. Penelitian oleh Radhitya 14 juga menunjukkan hasil serupa, yaitu penyuluhan efektif

14 dalam meningkatkan pengetahuan responden mengenai askariasis (p<0,01). Metode pemberian penyuluhan pada penelitian tersebut adalah ceramah tanya-jawab menggunakan powerpoint. Pembicara dalam penelitian tersebut juga merupakan dokter yang telah berpengalaman dalam memberikan penyuluhan. Perbedaannya, responden dalam penelitian Radhitya adalah santri dan materi yang diberikan mengenai A. lumbricoides. Penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang sehingga selanjutnya diharapkan mampu melakukan pencegahan penyakit dan menurunkan prevalensi penyakit. Amri 15 melaporkan bahwa terdapat hubungan antara penyuluhan dengan prevalensi penyakit cacingan. Pada penelitian Amri, 15 penyuluhan terbukti meningkatkan pengetahuan responden sehingga mereka dapat melakukan upaya pencegahan infeksi cacing usus seperti menjaga kebersihan kuku dan buang air besar di jamban. Perubahan perilaku kemudian dibuktikan berpengaruh terhadap prevalensi penyakit cacingan pada subyek penelitian tersebut. Meskipun penyuluhan terbukti meningkatkan tingkat pengetahuan guru SD, sesudah penyuluhan masih ada subjek dengan tingkat pengetahuan cukup atau kurang. Tingkat pengetahuan ini juga belum tentu bertahan lama hingga beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, penyuluhan secara berkala penting untuk dilakukan agar tingkat pengetahuan yang baik dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, dengan melakukan penyuluhan secara berkala kita juga dapat mengetahui seberapa besar perubahan tingkat pengetahuan subjek setelah jangka waktu tertentu dan menentukan frekuensi penyuluhan yang efektif untuk mempertahankan tingkat pengetahuan subjek. Analisis perbandingan skor nomor 1 mengenai tempat bertelur E. vermicularis sebelum dan sesudah penyuluhan mendapatkan nilai p=0,016 sehingga dapat dikatakan berbeda bermakna. Jumlah responden yang mendapatkan nilai maksimal meningkat sebanyak 16,4%. Hal yang mendukung hasil tersebut antara lain bagan siklus hidup E. vermicularis yang mudah dipahami disertai penjelasan oleh narasumber, baik secara tertulis maupun lisan. Pada slide juga ditampilkan gambar anus penderita enterobiasis sehingga mempermudah responden mengingat lokasi bertelurnya. Pada nomor 2, terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden mengenai patogenesis enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Median skor responden meningkat dari 0 menjadi 5 (poin maksimal) dengan nilai p<0,01. Jumlah responden dengan nilai maksimal meningkat sebanyak 35,8%. Beberapa hal yang mendukung hasil tersebut antara lain bagan siklus hidup E. vermicularis yang ditampilkan di slide menarik dan mudah dimengerti. Selain itu, narasumber juga memberi penjelasan secara perlahan mengenai patogenesis enterobiasis dari bagan yang ditampilkan.

15 Skor responden pada nomor 3 mengenai gejala enterobiasis tidak meningkat karena sebelum penyuluhan jumlah responden yang mendapatkan skor 5 (poin maksimal) sudah sangat tinggi, yaitu 95,5% dan meningkat menjadi 100% sesudah penyuluhan. Dengan kata lain, tanpa diberikan penyuluhan pun pengetahuan responden mengenai gejala cacing kremi sudah baik. Gejala infeksi cacing kremi, yaitu gatal di sekitar anus, memang sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat, apalagi bagi guru SD yang latar belakang pendidikannya sebagian besar sarjana. Median skor responden nomor 4 dan 5 mengenai penularan dan pencegahan enterobiasis meningkat sesudah penyuluhan dengan nilai p<0,01 untuk kedua nomor. Dapat dikatakan penyuluhan berpengaruh terhadap skor pengetahuan responden mengenai penularan dan pencegahan enterobiasis Peningkatan jumlah responden yang mendapat nilai maksimal pada nomor 4 dan 5 merupakan peningkatan tertinggi dibanding nomor lain, yaitu berturutturut sebanyak 53,7% dan 52,3%. Beberapa hal yang mendukung hasil ini antara lain penjelasan dari narasumber yang lugas dan sederhana, serta materi cara penularan enterobiasis yang ditulis bukan dalam bentuk narasi, melainkan poin-poin dalam slide presentasi sehingga lebih mudah diingat oleh responden. Kekurangan penelitian ini adalah jumlah drop out yang cukup besar. Dari 90 guru SD yang hadir, sebanyak 23 orang datang setelah pelaksanaan pre-test atau pulang sebelum mengerjakan kuesioner post-test sehingga termasuk ke dalam kategori drop out. Waktu penyuluhan yang melewati jam makan siang kemungkinan menyebabkan beberapa subjek memilih untuk keluar mencari makan dan tidak kembali lagi untuk mengerjakan post test. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian selanjutnya agar memilih waktu penyuluhan yang tepat dan kondusif untuk subjek penelitian. Kesimpulan Dari hasil penelitian didapatkan karakteristik responden perempuan 21 orang (68,7%) dan laki-laki 46 orang (31,3%) berpendidikan SMA 4,5%, vokasi 22,4%, S1 68,7%, dan S2 4,5%. Sebanyak 49,3% tidak memiliki pengalaman cacingan dan 31,3% mendapat informasi mengenai cacingan dari satu sumber. Sebelum penyuluhan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik adalah 16,4%, cukup 35,8%, dan kurang 47,8%. Sesudah penyuluhan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik menjadi 83,6%, cukup 13,4%, dan kurang 3,0%. Dari hasil analisis dengan uji marginal homogeneity, perbedaan tersebut bermakna (p<0,01). Dapat disimpulkan terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta

16 mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlunya pemberian penyuluhan secara berkala terhadap guru SD dengan jumlah peserta yang lebih banyak agar tingkat pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis semakin baik, khususnya di Jakarta. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan analisis multivariat untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap, perilaku, dan penyuluhan terhadap prevalensi penyakit agar dapat diketahui interaksi antara komponen tersebut. Daftar Referensi 1. Muller, R. (2002). Worms and human disease. New York: CAB International. 2. Sutanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., & Sungkar, S. (2008). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran (4th ed). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 3. Gillespie, S. & Pearson, R.D. (2001). Principles and practice in clinical parasitology. England: John Wiley & Sons Ltd. 4. Pezzani, B.C., Minvielle, M.C., Luca, M.M.D., Cordoba, M., Apeztugia, M.C., & Basualdo, J.A. (2004). Enterobius vermicularis infection among population of General Mansilla, Argentina. World J Gastroenterol, 10(17), Celiksoz, A., Acioz, M., Degerli, S., Oztop, A., & Alim, A. (2010). Effects of enterobiasis in primary school children. African Journal of Microbiology Research, 4(8), Chaisalee, T., Tuakew, A., Wiwanitkit, V., Suyaphan, A., Thiamtip, S., Suwansaksri, J. (2004). Very high prevalence of enterobiasis among the Hilltribal children in rural district Mae Suk, Thailand. Med Gen Med, 6(2), Lee, S.E., Lee, J.H., Ju, J.W., Lee, W.J., & Cho, S.H. (2011). Prevalence of Enterobius vermicularis among preschool children in Gimhae-si, Gyeongsangnam-do, Korea. Korean J Parasitol, 49(2), Rachmiawati, A. (1993). Beberapa aspek epidemiologis enterobiasis pada keluarga di RT001/RW01, Condet Balekambang, Jakarta Timur. Maj Kedokt Fak Kedokt UKI, 17, Soebaktiningsih & Nurtjahjono. (1989). Enterobius vermicularis pada anak yang di-rawat tinggal di UPF/Lab. Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Saiful Anwar/FK Unibraw Malang. Maj Kedokt Tropis Indon, 2(1-2), 21-6.

17 10. Yuliati & Omposungsu, S. (1994). Enterobiasis pada anak usia di bawah 6 tahun di desa Cikaret. Cermin Dunia Kedokteran, 97, Handoyo, I. & Kartanegara, D. (1981). Penyelidikan pengobatan pada oxyuriasis dengan piperazine hydrate dan pyrantel pamoate, dan dengan alat usap anus modifikasi "Graham swab". Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional Ke-II. Jakarta: Grafiti Medika Pers. 12. Behrman, R.E., Kliegman, R.M., & Arvin, A.M. (2000). Nelson: Ilmu Kesehatan Anak (2nd ed). Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC. 13. Natadisastra, D., Agoes, R. (2005). Parasitologi Kedokteran: Ditinjau Dari Organ Tubuh Yang Diserang. Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC. 14. Radhitya, R. (2011). Efektivitas penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan santri mengenai A. lumbricoides di Pesanten X, Jakarta Timur. Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta. 15. Amri, Z. & Rivai, A. (2005). Efek penyuluhan terhadap infeksi penyakit cacing usus dan pencapaian target pemetik teh di Perkebunan Teh X, Jawa Barat. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA EFEKTIVITAS PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN MENGENAI MORFOLOGI DAN SIKLUS HIDUP A.LUMBRICOIDES PADA GURU SD DI JAKARTA

UNIVERSITAS INDONESIA EFEKTIVITAS PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN MENGENAI MORFOLOGI DAN SIKLUS HIDUP A.LUMBRICOIDES PADA GURU SD DI JAKARTA UNIVERSITAS INDONESIA EFEKTIVITAS PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN MENGENAI MORFOLOGI DAN SIKLUS HIDUP A.LUMBRICOIDES PADA GURU SD DI JAKARTA EDUCATION S EFFECTIVENESS TOWARDS MORPHOLOGY AND LIFE CYCLE

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Cacing Kremi Penyakit infeksi cacing kremi atau enterobiasis adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

Lebih terperinci

Efektivitas Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Mengenai Pencegahan Cacingan, Tahun 2011

Efektivitas Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Mengenai Pencegahan Cacingan, Tahun 2011 Efektivitas Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Mengenai Pencegahan Cacingan, Tahun 2011 Danny Surya, 1 Saleha Sungkar 2 1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. E. Vermicularis (Cacing Kremi) 1. Pengertian Umum Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk ke tubuh melalui makanan, pakaian, bantal, sprai serta inhalasi debu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dan penyakitnya disebut Enterobiasis atau Oxyuriasis. lingkungan yang sesuai.( Sutanto I. dkk, 2008)

TINJAUAN PUSTAKA. dan penyakitnya disebut Enterobiasis atau Oxyuriasis. lingkungan yang sesuai.( Sutanto I. dkk, 2008) B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis 1. Distribusi geografis Enterobius vermicularis (cacing kremi, pinworm,seatworm) telah diketahui sejak dahulu dan telah dilakukan penelitian mengenai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan 1. Definisi Kecacingan secara umum merupakan infeksi cacing (Soil transmitted helminthiasis) yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini juga paling rentan dialami anak usia Sekolah Dasar (SD). Cacingan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya parasit berupa cacing di dalam tubuh manusia. Kecacingan merupakan penyakit dengan insiden

Lebih terperinci

GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN

GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN Salbiah Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Enterobius vermicularis adalah Nematoda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enterobius vermicularis atau cacing kremi adalah salah satu jenis cacing usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini mempunyai daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dan menyerang semua kelas sosioekonomi (Kim et al., 2013). Hampir 400

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dan menyerang semua kelas sosioekonomi (Kim et al., 2013). Hampir 400 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enterobiasis atau oksiuriasis adalah infeksi cacing usus yang disebabkan oleh Enterobius vermicularis atau cacing kremi. Infeksi oleh cacing ini paling sering terjadi

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Cirebon, kecacingan, Pulasaren

ABSTRAK. Kata Kunci: Cirebon, kecacingan, Pulasaren ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU SISWA-SISWI SEKOLAH DASAR KELAS VI MENGENAI PENYAKIT KECACINGAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PULASAREN KOTA CIREBON TAHUN 2013 Mentari Inggit Anggraini,

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH FAKTOR KEBIASAAN PADA SISWA SD TERHADAP PREVALENSI ASCARIASIS DI DESA CANGKUANG WETAN KABUPATEN BANDUNG

ABSTRAK PENGARUH FAKTOR KEBIASAAN PADA SISWA SD TERHADAP PREVALENSI ASCARIASIS DI DESA CANGKUANG WETAN KABUPATEN BANDUNG ABSTRAK PENGARUH FAKTOR KEBIASAAN PADA SISWA SD TERHADAP PREVALENSI ASCARIASIS DI DESA CANGKUANG WETAN KABUPATEN BANDUNG Octaviany P. Harjo, 2008. Pembimbing I: Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc. Pembimbing

Lebih terperinci

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh: KHOIRUN NISA NIM. 031610101084 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Nematoda Usus ini yang tergolong Soil

Lebih terperinci

Hubungan antara Tingkat Pengetahuan mengenai Oxyuris Vermicularis dan Karakteristik Guru SD di Jakarta tahun 2011

Hubungan antara Tingkat Pengetahuan mengenai Oxyuris Vermicularis dan Karakteristik Guru SD di Jakarta tahun 2011 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan mengenai Oxyuris Vermicularis dan Karakteristik Guru SD di Jakarta tahun 0 Jimmy Falmer Sembiring Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran,, Jalan Salemba

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Higiene Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh

Lebih terperinci

Pemeriksaan Kualitatif Infestasi Soil Transmitted Helminthes pada Anak SD di Daerah Pesisir Sungai Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Riau

Pemeriksaan Kualitatif Infestasi Soil Transmitted Helminthes pada Anak SD di Daerah Pesisir Sungai Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Riau Pemeriksaan Kualitatif Infestasi Soil Transmitted Helminthes pada Anak SD di Daerah Pesisir Sungai Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Riau Lilly Haslinda, Esy Maryanti, Suri Dwi Lesmana, Mislindawati Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ascariasis yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau cacing gelang merupakan penyakit usus halus yang pada sebagian besar kasus ditandai dengan sedikit gejala

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan permasalahan yang banyak ditemukan di masyarakat namun kurang mendapat perhatian. Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.

Lebih terperinci

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Julia Suwandi, Susy Tjahjani, Meilinah Hidayat Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Antonius Wibowo, Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto Lana, dr

ABSTRAK. Antonius Wibowo, Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto Lana, dr ABSTRAK HUBUNGAN PERILAKU SISWA KELAS III DAN IV DENGAN HASIL PEMERIKSAAN FESES DAN KEADAAN TANAH TERHADAP INFEKSI SOIL TRANSMITED HELMINTHS DI SDN BUDI MULYA 3 CIPAGERAN-CIMAHI Antonius Wibowo, 2007.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kecacingan merupakan salah satu diantara banyak penyakit yang menjadi masalah masyarakat di Indonesia. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih dari satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH) (Freeman et al, 2015).

Lebih terperinci

ABSTRAK Ascaris lumbricoides 82,4%-90,6%, 90%. Ascaris lumbricoides 97,8% 88%. 98,4% 96,2% Curcuma aeruginosa 60% 65%. 68% 4,1% 80,7% 29,4%

ABSTRAK Ascaris lumbricoides 82,4%-90,6%, 90%. Ascaris lumbricoides 97,8% 88%. 98,4% 96,2% Curcuma aeruginosa 60% 65%. 68% 4,1% 80,7% 29,4% ABSTRAK Masalah penyakit parasit khususnya penyakit cacingan yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides adalah salah satu problema kesehatan masyarakat Indonesia, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak Sekolah Dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia masih menghadapi masalah tingginya prevalensi penyakit infeksi, terutama yang berkaitan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang

Lebih terperinci

Peran Penyuluhan Terhadap Pengetahuan Murid SD X Bantar Gebang, Bekasi Mengenai Pencegahan dan Pengobatan Cacingan Sheli Azalea a, Saleha Sungkar b

Peran Penyuluhan Terhadap Pengetahuan Murid SD X Bantar Gebang, Bekasi Mengenai Pencegahan dan Pengobatan Cacingan Sheli Azalea a, Saleha Sungkar b Skripsi S1 Peran Penyuluhan Terhadap Pengetahuan Murid SD X Bantar Gebang, Bekasi Mengenai Pencegahan dan Pengobatan Cacingan Sheli Azalea a, Saleha Sungkar b a Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara tropis yang sedang berkembang seperti Indonesia, masih banyak penyakit yang masih menjadi permasalahan di dunia kesehatan, salah satunya adalah infeksi

Lebih terperinci

Eka Muriani Limbanadi*, Joy A.M.Rattu*, Mariska Pitoi *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

Eka Muriani Limbanadi*, Joy A.M.Rattu*, Mariska Pitoi *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi HUBUNGAN ANTARA STATUS EKONOMI, TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PENYAKIT KECACINGAN DENGAN INFESTASI CACING PADA SISWA KELAS IV, V DAN VI DI SD NEGERI 47 KOTA MANADO ABSTRACT Eka Muriani

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi cacing usus terutama yang ditularkan melalui tanah atau disebut soil-transmitted helmint infections merupakan salah satu infeksi paling umum di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah atau Soil- Transmitted Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health Oganization

Lebih terperinci

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA PREVALENSI INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH PADA MURID MADRASAH IBTIDAIYAH ISLAMIYAH DI DESA SIMBANG WETAN KECAMATAN BUARAN KOTA PEKALONGAN JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Diajukan sebagai syarat kelulusan program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit cacing kremi merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis dan tersebar luas di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI Oleh: Muhammad Fawwaz (101211132016) FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 1 DAFTAR ISI COVER... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I... 3 A. LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Rancangan penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi

III. METODOLOGI PENELITIAN. Rancangan penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi Experimental Pre-Post Test dengan intervensi senam otak. Penelitian ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional analitik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi ibu menyusui. 3.. Tempat dan Waktu

Lebih terperinci

INDIVIDUAL IN CHILDREN AGED 5-18 YEARS IN VILLAGE SUB KARANGASEM

INDIVIDUAL IN CHILDREN AGED 5-18 YEARS IN VILLAGE SUB KARANGASEM KORELASI ANTARA PREVALENSI ENTEROBIASIS VERMICULARIS DENGAN HIGIENES PERORANGAN PADA ANAK USIA 5 18 TAHUN DI DESA KARANGASEM KECAMATAN KUTOREJO KABUPATEN MOJOKERTO Oleh: Heru Setiawan, Mas Mansyur, E.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dibutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sistem imun masih lemah sehingga lebih mudah terkena

BAB 1 PENDAHULUAN. dibutuhkan zat gizi yang lebih banyak, sistem imun masih lemah sehingga lebih mudah terkena BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Anak pra sekolah merupakan kelompok yang mempunyai resiko besar terkena gizi kurang. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut tumbuh kembang anak dalam masa yang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang hidup di sekum dan kolon ascending manusia. Pejamu utama T.trichiura adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN Oleh : Kelompok 7 Program Profesi PSIK Reguler A Prilly Priskylia 115070200111004 Youshian Elmy 115070200111032 Defi Destyaweny 115070200111042 Fenti Diah

Lebih terperinci

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 7 / No. 2 / Agustus 2012

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 7 / No. 2 / Agustus 2012 Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 7 / No. 2 / Agustus 212 Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Tentang Kecacingan Terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa Madrasah Ibtidaiyah An Nur Kelurahan Pedurungan Kidul

Lebih terperinci

STUDI DESKRIPSI PENGETAHUAN IBU TENTANG INFEKSI CACING PADA BALITA DI DESA KARANGENDEP PATIKRAJA BANYUMAS

STUDI DESKRIPSI PENGETAHUAN IBU TENTANG INFEKSI CACING PADA BALITA DI DESA KARANGENDEP PATIKRAJA BANYUMAS 354 PROSIDING: Seminar Nasional dan Presentasi Hasil-Hasil Penelitian Pengabdian Masyarakat STUDI DESKRIPSI PENGETAHUAN IBU TENTANG INFEKSI CACING PADA BALITA DI DESA KARANGENDEP PATIKRAJA BANYUMAS Yuli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

METODOLOGI. n = 2 (σ 2 ) (Zα + Zβ) δ 2

METODOLOGI. n = 2 (σ 2 ) (Zα + Zβ) δ 2 17 METODOLOGI Desain, Waktu dan Tempat Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah experimental study yaitu percobaan lapang (field experiment) dengan menggunakan rancangan randomized treatment trial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang bersifat kronis yang ditularkan melalui tanah dan menyerang sekitar 2 milyar penduduk di dunia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 35 BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian mencakup bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian Lokasi penelitian

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASILTERAPI TABLET EKSTRAK BIJI PINANG (Areca cathecu L) PADA INVESTASI CACING USUS DI KECAMATAN MUMBULSARI- JEMBER

PERBANDINGAN HASILTERAPI TABLET EKSTRAK BIJI PINANG (Areca cathecu L) PADA INVESTASI CACING USUS DI KECAMATAN MUMBULSARI- JEMBER PERBANDINGAN HASILTERAPI TABLET EKSTRAK BIJI PINANG (Areca cathecu L) PADA INVESTASI CACING USUS DI KECAMATAN MUMBULSARI- JEMBER SKRIPSI oleh Taufiq Gemawan NIM 072010101040 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anak usia sekolah di Indonesia ± 83 juta orang (www.datastatistik-indonesia.com)

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anak usia sekolah di Indonesia ± 83 juta orang (www.datastatistik-indonesia.com) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak usia sekolah merupakan tumpuan bagi masa depan bangsa. Mereka merupakan sasaran yang strategis untuk pelaksanaan program kesehatan, karena selain jumlahnya yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing golongan nematoda usus yang penularannya melalui tanah. Dalam siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan tanah untuk proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kelembaban tinggi. Pedikulosis kapitis merupakan infestasi kutu kepala Pediculus

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kelembaban tinggi. Pedikulosis kapitis merupakan infestasi kutu kepala Pediculus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian infestasi kutu kepala di Indonesia cukup tinggi karena sering menyerang masyarakat luas, hal ini berkaitan dengan iklim negara kita yang tropis dan memiliki

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN Disain Penelitian Disain penelitian yang digunakan adalah metode survei yaitu dengan rancangan cross-sectional.

BAB 3 METODE PENELITIAN Disain Penelitian Disain penelitian yang digunakan adalah metode survei yaitu dengan rancangan cross-sectional. BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Disain Penelitian Disain penelitian yang digunakan adalah metode survei yaitu dengan rancangan cross-sectional. 3.2. Waktu Penelitian Kegiatan pembuatan proposal dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lumbricoides dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia, dengan rata-rata kejadian

BAB 1 PENDAHULUAN. lumbricoides dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia, dengan rata-rata kejadian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Askariasis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia, dengan rata-rata kejadian 73%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Pada tahun 2007, infeksi cacing di seluruh dunia mencapai 650 juta sampai 1 milyar orang, dengan prevalensi paling tinggi di daerah tropis. Populasi di daerah pedesaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helmithiasis) disebut juga penyakit infeksi kecacingan STH, masih merupakan problema kesehatan

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 dalam Bab I Pasal 1 disebutkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIGIENE TANGAN DAN KUKU DENGAN KEJADIAN ENTEROBIASIS PADA SISWA SDN KENJERAN NO. 248 KECAMATAN BULAK SURABAYA

HUBUNGAN HIGIENE TANGAN DAN KUKU DENGAN KEJADIAN ENTEROBIASIS PADA SISWA SDN KENJERAN NO. 248 KECAMATAN BULAK SURABAYA HUBUNGAN HIGIENE TANGAN DAN KUKU DENGAN KEJADIAN ENTEROBIASIS PADA SISWA SDN KENJERAN NO. 248 KECAMATAN BULAK SURABAYA Correlation between Hands and Nails Hygiene with Enterobiasis Incidence on Student

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun 20 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminthiasis Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun yang tersering penyebarannya di seluruh dunia adalah cacing gelang

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau disebut dengan askariasis merupakan salah satu penyakit yang banyak ditemui di masyarakat. Infeksi cacing nematoda

Lebih terperinci

Efektifitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Trichuris trichiura di Pesantren X, Jakarta Timur

Efektifitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Trichuris trichiura di Pesantren X, Jakarta Timur Efektifitas Penyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan Santri Mengenai Trichuris trichiura di Pesantren X, Jakarta Timur Rio Wikanjaya 1, Saleha Sungkar 2 1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit parasit baik yang disebabkan oleh cacing, protozoa, maupun serangga parasitik pada manusia banyak terdapat di negara berkembang dan beriklim tropis,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Desy Apriani Sari, Pembimbing: drg. Donny P. SKM

ABSTRAK. Desy Apriani Sari, Pembimbing: drg. Donny P. SKM ABSTRAK Pengetahuan Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Penyakit Cacingan Pada Anak Kelas 3 SDN Cibogo Kecamatan Sarijadi Dan Hubungannya Dengan Kadar Hemoglobin (Hb) Desy Apriani Sari, 2006. Pembimbing:

Lebih terperinci

Shinta Shabrina; Dewi Mayangsari; Dyah Ayu Wulandari. Prodi DIV Bidan Pendidik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Karya Husada Semarang

Shinta Shabrina; Dewi Mayangsari; Dyah Ayu Wulandari. Prodi DIV Bidan Pendidik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Karya Husada Semarang HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN INFEKSI CACING OXYURIS VERMICULARIS PADA SISWA KELAS 1 SDN KEMIJEN 02 KELURAHAN KEMIJEN KECAMATAN SEMARANG TIMUR KOTA SEMARANG Shinta Shabrina; Dewi Mayangsari;

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. putih. Yang betina jauh lebih besar dari pada jantan. Ukuran cacing betina sampai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. putih. Yang betina jauh lebih besar dari pada jantan. Ukuran cacing betina sampai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Kremi (Enterobius vermicularis) 1. Morfologi Cacing Kremi (Enterobius vermicularis) Cacing kremi (Enterobius vermicularis) dewasa berukuran kecil, berwama putih. Yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan metode penelitian Pra Eksperimental yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan metode penelitian Pra Eksperimental yaitu BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian menggunakan metode penelitian Pra Eksperimental yaitu penelitian yang menggunakan seluruh subjek dalam kelompok untuk diberi perlakuan. Dengan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA PERILAKU KEBIASAAN DENGAN KASUS ENTEROBIASIS PADA SISWA KELAS III SDN CIBOGGO

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA PERILAKU KEBIASAAN DENGAN KASUS ENTEROBIASIS PADA SISWA KELAS III SDN CIBOGGO ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA PERILAKU KEBIASAAN DENGAN KASUS ENTEROBIASIS PADA SISWA KELAS III SDN CIBOGGO Alogo Octavianus, 2005. Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes PembimbingII : Susy Tjahyani, dr.,

Lebih terperinci

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN Fitria Nelda Zulita, Gustina Indriati dan Armein Lusi Program Studi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi

BAB 1 PENDAHULUAN. Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi pembangunan kesehatan, yaitu memelihara kesehatan yang bermutu (promotif), menjaga kesehatan (preventif),

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI ASKARIASIS DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI SEPTEMBER 2011

ABSTRAK PREVALENSI ASKARIASIS DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI SEPTEMBER 2011 ABSTRAK PREVALENSI ASKARIASIS DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2007- SEPTEMBER 2011 Buntoro Indra Dharmadi, 2011, Pembimbing I : dr, Freddy Tumewu A., M.S., Pembimbing II : Budi Widyarto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang. termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths

BAB I PENDAHULUAN. Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang. termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ascaris lumbricoides merupakan cacing gelang yang termasuk ke dalam golongan Soil Transmitted Helminths (STH) yaitu cacing yang menginfeksi manusia dengan cara penularannya

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu (quasi-experiment) pelatihan-pelatihan lainnya (Notoatmodjo, 2005).

METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu (quasi-experiment) pelatihan-pelatihan lainnya (Notoatmodjo, 2005). 43 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu (quasi-experiment) dengan rancangan pretest-posttest group design (Dahlan, 2010). Rancangan ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan merupakan masalah kesehatan yang tersebar luas didaerah tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 lebih dari

Lebih terperinci

EFEK PENYULUHAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN MURID MENGENAI GEJALA ASKARIASIS DI SD X, BANTAR GEBANG, BEKASI

EFEK PENYULUHAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN MURID MENGENAI GEJALA ASKARIASIS DI SD X, BANTAR GEBANG, BEKASI Skripsi S1 EFEK PENYULUHAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN MURID MENGENAI GEJALA ASKARIASIS DI SD X, BANTAR GEBANG, BEKASI Oviliani Wijayanti a, Saleha Sungkar b a Program Studi Pendidikan Dokter

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR NO HATOGUAN TERHADAP INFEKSI CACING PERUT DI KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2005

HUBUNGAN PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR NO HATOGUAN TERHADAP INFEKSI CACING PERUT DI KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2005 HUBUNGAN PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR NO.174593 HATOGUAN TERHADAP INFEKSI CACING PERUT DI KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2005 Oleh: Rahmat A. Dachi,S.K.M., M.Kes. PENDAHULUAN Penyakit cacingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian quasy experimental, control group pre test post test design. Jenis

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian quasy experimental, control group pre test post test design. Jenis 49 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, menggunakan desain penelitian quasy experimental, control group pre test post test design. Jenis penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang prevalensinya sangat tinggi di Indonesia, terutama cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth

Lebih terperinci