HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010
|
|
- Veronika Hermawan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 Anik Tri Haryani 1) dan Tiara OliviarizkyToersina 2). 1). 2) Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun triharyanianik@yahoo.com, toersinatiara@yahoo.com Abstract The question at issue in family law concerns the origins of the paternity of a child born out of wedlock focused on the legal relationship between the father, while the legal relationship with the mother almost never be a problem because the relationship has created its own without having to be preceded by acts anyway. Whereas under Article 43 Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 mentions that a child born out of wedlock has only civil relationship with her mother and her mother's family. Provisions of article is when moderation it will contain meaning that the law bestows the burden and risk for birth children from outside the mating relationship to the mother and her child.with the birth of the Constitutional Court's Decision No. 46/PUU-VIII/2010 about judicial review of Article 2 paragraph (2) and Article 43 paragraph (1) of Act No. 1 of 1974 and is expected right off his mating position under the law or in the community can be followed fairly and without discrimination. Rights as children who have been laid out in Act No. 39 of Keywords : Foreign children married, Civil Rights Unmarried Son Out, Article 2 paragraph (2) and Article 43 paragraph (1) of Act No. 1 of 1974 and the Constitutional Court's Decision No. 46/PUU-VIII/2010. PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, tujuan utama dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya sebagai manusia, membentuk dan mengatur rumah tangga atas dasar cinta dan kasih sayang, memelihara manusia dari kejahatan, dan menumbuhkan kesungguhan mencari rejeki yang halal dan memperbesar tanggung jawab. 1 BW (Burgerlijk Wetboek) tidak memberikan definisi atau pengertian mengenai perkawinan secara jelas. Hanya saja, dalam Pasal 26 BW (Burgerlijk Wetboek) memberikan batasan perkawinan sebagai berikut : 1 Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986, h Undang-undang tidak memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan -hubungan perdata. Undang-Undang Perkawinan merumuskan pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan sebagai berikut : 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 12
2 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan adalah agama yang dianut oleh kedua calon mempelai. 2 Perkawinan tersebut juga harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan ini merupakan tindakan administratif sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34 ayat (1) 3 dan ayat (2) 4 serta Pasal 37 ayat (1) 5 dan ayat (4) 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut seperti halnya BW (Burgerlijk Wetboek) juga menganut asas monogami. Hanya saja, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agamanya mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan 2 R. Subekti, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, h Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. 4 Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan. 5 Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa perkawinan warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di Negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia. 6 Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada instansi pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. 7 Oleh karena itu, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini dikatakan menganut asas monogami terbatas (asas monogami terbuka). Lebih lanjut mengenai syarat-syarat untuk berpoligami diatur dalam Pasal 3 ayat (2) 8, Pasal 4 9, dan Pasal 5 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun Asas hukum lain yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut adalah sebagai berikut : 11 7 Penjelasan Umum Butir 4 Huruf c jo Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 9 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 10 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undnag-undang ini, harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri, b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, (2) persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. 11 Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, h Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 13
3 1. Asas persetujuan kedua belah pihak. Perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin, harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan, tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun. 2. Asas proporsional. Kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, dengan pembagian tugas dimana suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. 3. Asas persatuan dan pemisahan. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami-istri yang penggunaannya harus ada persetujuan salah satu pihak, sedangkan harta benda yang dibawa oleh suami istri dikuasai masing-masing kecuali kalau ditentukan lain dalam perjanjian. Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini maka asas persatuan bulat sudah dihapus. Dengan adanya suatu perkawinan maka akan memberikan beberapa akibat hukum perkawinan antara lain, akibat hukum terhadap hubungan suami istri, akibat hukum terhadap hubungan hukum atas harta kekayaan, serta akibat hukum terhadap kedudukan anak. Perbandingan pengaturan terhadap akibat hukum perkawinan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dilihat sebagai berikut : Anik Tri Haryani dan Tiara Oliviarizky Toersina, Hak Mewaris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris BW (Burgerlijk Wetboek) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-VIII/2010, Jurnal Sosial Vol. 14 No. 1 Maret 2013, h. 3. Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 14
4 Akibat Hukum Perkawinan Menurut BW (Burgerlijk Wetboek) Hubungan suami Diatur dalam Pasal 103 istri sampai dengan Pasal 118 BW (Burgerlijk Wetboek) Harta Kekayaan Diatur dalam Pasal 119 sampai dengan Pasal 167 BW (Burgerlijk Wetboek) Kedudukan Anak Diatur dalam Pasal 250 sampai dengan Pasal 271a BW (Burgerlijk Wetboek) untuk anak sah dan Pasal 272, Pasal 273, dan Pasal 283 sampai dengan Pasal 289 BW (Burgerlijk Wetboek). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Diatur dalam Pasal 29, Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 1 Tahun Diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 Undang- Undang Nomor 1 Tahun Dalam sebuah perkawinan yang ideal, kehadiran seorang anak memberikan peranan yang penting dalam sebuah kehidupan rumah tangga, karena tujuan awal pada saat melangsungkan perkawinan adalah untuk membangun mahligai rumah tangga yang bahagia, untuk mempersatukan dua keluarga besar, serta untuk meneruskan keturunan, namun kenyataan yang ada tidaklah selalu demikian. Beberapa orang tua telah tega membuang dan bahkan membunuh anaknya sendiri demi menutupi aib dirinya dan keluarganya, dikarenakan kelahiran si anak yang berasal dari hubungan di luar nikah yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama dan etika yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Banyak persoalan yang melatarbelakangi terjadinya kehamilan di luar pernikahan, antara lain sebabsebab yang berasal dari faktor lingkungan, pendidikan, kemapanan ekonomi, dan kemapanan sosial. Beberapa faktor yang melatarbelakangi kehamilan dan kelahiran anak luar kawin antara lain : Karena usia pelaku masih di bawah batas usia yang diijinkan untuk melangsungkan perkawinan. 2. Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan. 3. Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan. 4. Karena akibat dari tindak pidana (pemerkosaan). 5. Karena tidak mendapat restu orang tua. 6. Karena si laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapat ijin untuk melakukan poligami. 7. Karena adanya pergaulan bebas. 8. Karena terjadinya prostitusi. Kelahiran seorang anak merupakan sebuah peristiwa hukum yang menimbulkan banyak akibat hukum, antara lain dari peristiwa kelahiran dapat menimbulkan hubungan waris, hubungan keluarga, hubungan perwalian dan hubungan-hubungan 13 D. Y. Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012, h. 9. Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 15
5 lainnya yang berkaitan dengan lahirnya subyek hukum baru ke dunia dengan segala status dan kedudukannya di mata hukum. 14 Dalam hukum waris, kelahiran anak merupakan peristiwa hadirnya ahli waris yang akan menduduki peringkat tertinggi dalam pewarisan. Menurut hukum keluarga, kelahiran seorang anak akan menjadi awal dari timbulnya hak dan kewajiban alimentasi orang tua kepada anaknya. Sedangkan dalam hal perwalian, akan timbul hak dan kewajiban pada saat orang tua si anak tidak sanggup memikul tanggung jawab terhadap anaknya. Undang-undang telah menjamin hak seorang anak sejak ia masih berada dalam kandungan. 15 Jika si anak ternyata lahir dalam keadaan meninggal, maka hak-hak itu dianggap tidak pernah ada 16, hal tersebut menunjukkan bahwa hukum telah memandang bayi di dalam kandungan sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak keperdataan. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah di mata hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin. 14 Ibid, h Pasal 2 ayat (1) BW (Burgerlijk Wetboek) menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. 16 Pasal 2 ayat (2) BW (Burgerlijk Wetboek) menyatakan bahwa mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada. Secara alamiah tidak ada perbedaan mendasar antara anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah dengan anak yang lahir di luar perkawinan. Keduanya merupakan subyek hukum yang harus dilindungi oleh Negara dan undang-undang. Perbedaan status dan kedudukan yang diciptakan oleh hukum semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan sepihak dan parsial. Seharusnya hal itu tidak terjadi agar setiap anak dapat memperoleh kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita dan masa depan seorang anak. Persoalan mengenai kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah merupakan persoalan yang rumit dan sensitif. Namun terlepas dari kerumitan yang terjadi, hukum harus melihat persoalan kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah sebagai permasalahan yang harus dipecahkan, mengingat dampak dari persoalan tersebut bukan hanya berhubungan dengan hukum tetapi juga menimbulkan permasalahan sosial yang dapat mengganggu kelangsungan hidup anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan pasal tersebut mengandung makna bahwa undang-undang melimpahkan semua beban dan resiko atas lahirnya anak di luar perkawinan tersebut hanya kepada ibu dan anaknya, sedangkan ayahnya belum tersentuh secara hukum. Padahal tidak mungkin seorang anak terlahir ke dunia tanpa ada peran seorang laki-laki sebagai ayah biologisnya. Dilihat dari kepentingan si anak dan ibunya, ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung ketidakadilan karena si anak dan ibunya tidak diberikan kesempatan untuk membuktikan siapa Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 16
6 ayah biologis si anak. Sedangkan menurut undang-undang, hak-hak keperdataan si anak baru lahir bagi si anak jika ada pengakuan dari ayah biologisnya. Hal tersebut menunjukkan ketidakseimbangan perlakuan hukum yang diberikan oleh undang-undang, karena status dan kedudukan hukum si anak hanya digantungkan pada pengakuan ayah biologisnya. Dengan adanya perbedaan status dan kedudukan yang demikian maka dikeluarkanlah judicial review atas Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, sehingga kemudian terdapat beberapa perubahan terhadap hak dan kedudukan anak luar kawin, salah satunya adalah akibat hukum perkawinan terhadap hak menuntut warisan bagi anak luar kawin. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian fakta tersebut, maka dapat disimpulkan mengenai rumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah hak dan kedudukan anak luar kawin menurut hukum perdata? 2. Apakah ada perbedaan mengenai hak keperdataan anak luar kawin sebelum dan sesudah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010? Tujuan Penelitian Penulisan penelitian ini mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu adalah untuk menganalisa eksistensi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasca dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, khususnya terkait dengan hak keperdataan anak luar kawin. Manfaat Penulisan Penelitian Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Bagi lembaga, yakni lembaga perkawinan dan lembaga administrasi penduduk diharapkan meningkatkan perhatiannya terhadap hak dan kedudukan anak luar kawin pasca judicial review Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/ Bagi kalangan akademis dan praktisi diharapkan dapat memberikan bahan pembelajaran di bidang hukum perdata, khususnya hak keperdataan yang berkaitan dengan anak luar kawin. Dengan adanya penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas isu-isu hukum yang berkaitan dengan hak keperdataan anak luar kawin. Sehingga dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hak dan kedudukan keperdataan anak luar kawin menjadi lebih jelas. 3. Bagi masyarakat umum, penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai hak dan kedudukan hukum anak luar kawin di mata hukum. Sehingga nantinya stigma negatif yang saat ini disandang oleh anak-anak luar kawin, baik di mata hukum maupun di mata masyarakat umum bisa sedikit mereda dan bahkan menghilang. Karena semua perlakuan yang tidak manusiawi terhadap anakanak yang lahir di luar perkawinan telah menjadi fenomena yang tidak kunjung ada solusinya. Padahal sesungguhnya, anak-anak luar kawin ini tidak pernah meminta untuk dilahirkan dan tidak pula diberikan kesempatan untuk memilih akan terlahir dalam perkawinan-perkawinan yang tidak dicatatkan. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 17
7 hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 17 Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 18 Fakta yang ada dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan yang masih berlaku. Memahami kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan permasalahan hukum yang dihadapi. Undang-undang dan regulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, BW (Burgerlijk Wetboek), serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Selanjutnya dalam penulisan penelitian ini setelah menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), yang digunakan kemudian adalah pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. 19 Dalam penulisan ini, pendekatan konseptual (conceptual approach) yang digunakan adalah pandanganpandangan dan doktrin-doktrin di dalam hukum perdata, khususnya hukum perkawinan serta hukum tentang perlindungan anak. 2. Bahan Hukum 17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h Ibid., h Ibid., h. 95. Untuk memecahkan suatu rumusan masalah, diperlukan adanya sumbersumber penelitian. Sumber-sumber tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai kekuasaan. 20 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan, dan putusan-putusan hakim. 21 Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. 22 Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian, maka sumber hukum dalam penulisan penelitian ini meliputi : a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi dengan permasalahan-permasalahan hukum yang diteliti dan dibahas. Bahan hukum primer dalam penulisan penelitian ini antara lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, BW (Burgerlijk Wetboek), serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi, buku-buku literatur, kamus hukum, jurnaljurnal hukum, serta komentarkomentar para ahli atas putusan pengadilan. Terutama yang berkaitan dengan hak dan kedudukan anak luar kawin dalam hal hak keperdataan. 20 Ibid.. h Ibid. 22 Ibid. Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 18
8 3. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Prosedur pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yakni inventarisasi, kategorisasi, dan analisa. Tahap-tahap penulisan penelitian ini meliputi : a. Tahap pertama. Inventarisasi sumber-sumber bahan hukum positif dan bahanbahan hasil karya ilmiah ahli hukum yang memiliki relevansi terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dianalisa dan dibahas. Dalam tahap ini dilakukan proses identifikasi dengan cara : 1) Penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma hukum positif. 2) Seleksi terhadap norma-norma yang diidentifikasi sebagai norma hukum positif. 3) Pengorganisasian terhadap normanorma hasil identifikasi ke dalam sistem yang komprehensif. b. Tahap kedua. Mengidentifikasi sumber-sumber bahan hukum positif dan bahanbahan hasil karya ilmiah ahli hukum yang memiliki relevansi terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dianalisa dan dibahas. Apabila berkaitan dengan rumusan masalah yang sedang dibahas dapat dilakukan pengutipan jika diperlukan. 4. Analisa Bahan Hukum Dalam penelitian ini, semua bahan hukum, baik sumber bahan hukum primer maupun sumber bahan hukum sekunder, dianalisis dengan menggunakan metode deduktif, yaitu metode yang menganalisis ketentuanketentuan hukum sebagai suatu hal yang umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. PEMBAHASAN Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Idealnya seorang anak yang dilahirkan ke dunia akan mendapatkan seorang laki-laki sebagai ayahnya dan seorang perempuan sebagai ibunya. Namun tidak demikian dalam pandangan hukum, seorang anak dapat dilahirkan ke dunia tanpa keberadaan seorang ayah secara yuridis bahkan dapat pula terjadi tanpa keberadaan kedua orang tuanya sama sekali. Persoalan mengenai hak dan kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah merupakan persoalan yang rumit. Namun terlepas dari semua kerumitan tersebut, hukum melihat persoalan kedudukan anak luar kawin merupakan problematika yang harus diselesaikan dengan serius, mengingat dampaknya yang tidak hanya berhubungan dengan hukum semata dan segala aspek yang menyertainya, namun juga menimbulkan persoalan-persoalan sosial yang dapat mengganggu kelangsungan hidup anak-anak yang dilahirkan dari suatu hubungan di luar pernikahan. Keberadaan seorang anak tidak bisa dilepaskan dari lingkungan keluarga yang membesarkannya. Begitu pula dalam ruang lingkup hukum, seorang anak akan selalu tersangkut paut erat dengan persoalan hukum keluarga. Hukum keluarga meliputi beberapa persoalan, antara lain : Hubungan anak dengan orang tuanya. 2. Hubungan anak dengan keluarga. 3. Pemeliharaan anak piatu. 4. Mengambil anak atau mengangkat anak (adopsi). Pokok persoalan dalam hukum keluarga menyangkut asal usul keturunan seorang anak yang lahir di luar perkawinan bertumpu pada hubungan hukum antara si anak dengan ayah biologisnya, sedangkan hubungan hukum dengan pihak ibu 23 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, CV. Rajawali, Jakarta, 2001, h Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 19
9 hampir tidak pernah menjadi persoalan karena hubungan itu telah tercipta dengan sendirinya tanpa harus didahului dengan perbuatan apapun 24, kecuali terhadap apa yang disebutkan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) yang menganut prinsip pengakuan mutlak dimana seorang ibu biologis tidak secara otomatis akan menjadi ibu yang memiliki hubungan perdata dengan anaknya tanpa tindakan pengakuan 25. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal adanya lembaga pengakuan anak oleh ibu kandung karena undang-undang telah menentukan bahwa anak yang lahir demi hukum langsung memiliki hubungan keperdataan dengan pihak ibu dan pihak keluarga ibunya. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa tidak terlalu sulit untuk menentukan siapa ibu biologis si anak dibandingkan untuk menentukan siapa ayah biologisnya tanpa didahului oleh adanya perkawinan. Dari sudut pandang hukum positif, perkawinan merupakan sebuah perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang melangsungkannya, walaupun perikatan yang timbul bukan termasuk dalam ruang lingkup hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III BW (Burgerlijk Wetboek), karena hak dan kewajiban yang lahir dari sebuah perkawinan adalah hak dan kewajiban dalam hukum keluarga. 26 Perkawinan kemudian diatur dalam Undang- 24 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 25 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 BW (Burgerlijk Wetboek) yang menyatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya. 26 D. Y. Witanto, Op. Cit., h Undang Nomor 1 Tahun Perkawinan berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat 2 (dua) unsur, yaitu unsur religius dan unsur administratif. Unsur religius dari perkawinan terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unsur religius dari perkawinan juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurt hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan unsur administratif terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Sebelum Dan Sesudah Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki kedudukan yang sama sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 28 B ayat (2) 27 dan Pasal 28 D ayat (1) 28 Undang-Undang Dasar Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Negara pada prinsipnya melindungi hak-hak setiap anak dan melarang adanya pengelompokkan status dan 27 Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 28 Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 20
10 kedudukan terhadap seorang anak, khususnya terhadap anak-anak yang lahir dalam di luar perkawinan yang sah. Sehingga apabila terjadi perbedaan status dan kedudukan anak di mata hukum, sesungguhnya Negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak yang menjadi bagian dari warga negaranya. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan diskriminasi adalah : Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengatur secara khusus mengenai hak asasi anak, baik kedudukannya sebagai warga Negara maupun sebagai manusia antara lain terdapat dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66. Apabila dikaitkan dengan hak dan kedudukan anak luar kawin dengan ketentuanketentuan mengenai hak asasi anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, maka tidak ada satu pun ketentuan yang menyebutkan bahwa ketentuanketentuan tersebut hanya berlaku bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Berkenaan dengan persoalan tersebut, Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan pendapat dalam pertimbangan hukum sebagai berikut : Tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Kemudian apabila kita melihat pada judicial review Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut : Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Rumusan tersebut mengandung makna bahwa hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu demi hukum terjadi secara otomatis. Tapi berbeda dengan hubungan keperdataan si anak dengan pihak ayahnya tetap tidak terjadi dengan sendirinya. Pihak-pihak yang berkepentingan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa si ayah tersebut adalah ayah biologisnya. KESIMPULAN a. Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan pasal Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 21
11 tersebut apabila ditelaah maka akan mengandung makna bahwa undang-undang melimpahkan beban dan risiko atas lahirnya anak dari hubungan di luar kawin hanya kepada ibu dan anaknya. b. Hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu demi hukum terjadi secara otomatis. Tapi berbeda dengan hubungan keperdataan si anak dengan pihak ayahnya tetap tidak terjadi dengan sendirinya. Pihak-pihak yang berkepentingan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa si ayah tersebut adalah ayah biologisnya. SARAN Dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang judicial review terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diharapkan hak dan kedudukan anak luar kawin di mata hukum maupun di masyarakat dapat ditindaklanjuti dengan adil dan tanpa diskriminasi. Sebagaimana hak-hak asasi anak yang telah diatur di dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun DAFTAR PUSTAKA Meliala, Djaja S., Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Prawirohamidjojo, Soetojo, Pluralisme dalam Perundang- Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, Subekti, R, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, PT. Intermasa, Jakarta, Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Rajawali, Jakarta, Tri Haryani, Anik, Oliviarizky Toersina, Tiara: Hak Mewaris Anak Luar Kawin menurut Hukum Waris BW (Burgerlijk Wetboek) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jurnal Sosial Vol. 14 No. 1 Maret Witanto, D. Y., Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Pustaka, Jakarta, PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 22
HAK MEWARIS ANAK DILUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010. Ismawati Septiningsih,SH,MH
HAK MEWARIS ANAK DILUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 Ismawati Septiningsih,SH,MH Fakultas Hukum - Universitas Surakarta Email : septiningsihisma@yahoo.co.id ABSTRAK:
Lebih terperinciDwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK
KAJIAN YURIDIS PASAL 43 AYAT 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SETELAH ADANYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH Dwi Astuti S Fakultas
Lebih terperinciBAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan
Lebih terperinciPERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh
PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria
Lebih terperinci2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,
Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia
Lebih terperinciKAJIAN YURIDIS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KAJIAN YURIDIS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh : Komang Juniarta Ni Putu Purwanti Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Jurnal ini berjudul
Lebih terperinciHAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN
HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN oleh Bellana Saraswati I Dewa Nyoman Sekar Hukum Bisnis Fakultas Hukum
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang
Lebih terperinciBAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR
BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.
Lebih terperinciFH UNIVERSITAS BRAWIJAYA
NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan
Lebih terperinciBAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk
Lebih terperinciTINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan,
Lebih terperinciABSTRAK. Adjeng Sugiharti
ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMBERIKAN STATUS KEPADA ANAK LUAR KAWIN (KASUS MACHICA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.
Lebih terperinciADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) definisi dari Perseroan Terbatas (selanjutnya
Lebih terperinciKEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)
KEDUDUKAN HUKUM SUAMI ISTRI DALAM HAL JUAL BELI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN (KAJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN) Oleh I Gusti Ayu Oka Trisnasari I Gusti Ayu Putri Kartika I
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling
Lebih terperinciJURNAL ILMIAH PROSES PELAKSANAAN PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN. ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Mataram )
i JURNAL ILMIAH PROSES PELAKSANAAN PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Mataram ) Oleh : L I S M A Y A D I D1A 009 211 FAKULTAS HUKUM
Lebih terperinciImplikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Oleh: Pahlefi 1 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas dan menganalisis apakah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
Lebih terperinciBAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk
Lebih terperinciPELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS
PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS Bambang Eko Mulyono Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan. ABSTRAK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam masyarakat Indonesia adalah mutlak adanya dan merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri saja tetapi
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI Anggyka Nurhidayana 1, Amnawati 2, Kasmawati 3. ABSTRAK Upaya perlindungan hukum dalam perkawinan sirri atau disebut perkawinan tidak dicatatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjalani kehidupan sebagai suami-isteri hanya dapat dilakukan dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, arah
Lebih terperinciHAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2
HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2 Abstrak Setiap anak yang dilahirkan atau dibuahkan dalam ikatan perkawinan sah adalah anak sah. Anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup
Lebih terperinciPENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI
PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Lebih terperinciBAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010
BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 A. Sekilas Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **
Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 1 Maret 2017 Perlindungan Hukum Terhadap Wanita Dan Anak ( Sukma Rochayat) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945. Hal ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan Negara,
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016
TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN STATUS HUKUM ANAK LUAR KAWIN MENURUT KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA Skripsi Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang dialami dua insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari karunia Tuhan Yang Maha Esa
Lebih terperinciThe Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict
The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN
AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN Oleh Claudia Verena Maudy Sridana I Ketut Suardita Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper, entitled Effects
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain mengikatkan
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI
AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan
BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat beraneka ragam kebudayaan yang berbeda-beda tiap daerahnya. Sistem pewarisan yang dipakai di Indonesia juga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga
Lebih terperinciLex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016
KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
Lebih terperinciBAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu
BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut
Lebih terperinciPOLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK
POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam perkawinan, sudah selayaknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya seorang anak dilahirkan sebagai akibat dari hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, yang hubungannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,
BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari
Lebih terperinciBentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia berlainan jenis yaitu seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri tersebut diantaranya
Lebih terperinciBAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE
30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL
Lebih terperinciKEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010
199 KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010 Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRACT Konstitutional Court Decision
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan
Lebih terperinciHUBUNGAN KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010
1 HUBUNGAN KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 Oleh : Suphia, S.H., M.Hum. Abstract The birth of a child is a legal event. Legal events such as births due
Lebih terperinciPENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi
Lebih terperinciADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akibat hukum dari suatu perkawinan itu adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembagian harta dibidang hukum harta benda perkawinan perlu menjadi perhatian untuk dibahas mengingat sebelum pekawinan dilakukan, masing-masing pihak membawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam kehidupannya manusia memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk bertahan
Lebih terperinciHAK WARIS ANAK HASIL PROSES BAYI TABUNG DITINJAU DARI KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA
HAK WARIS ANAK HASIL PROSES BAYI TABUNG DITINJAU DARI KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA Oleh : Ketut Sri Ari Astuti Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Udayana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah norma atau peraturan mengikat bagi sebagian atau seluruh masyarakat yang harus dipatuhi untuk mewujudkan suatu tatanan kemasyarakatan. Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan
Lebih terperinciKEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI
KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Oleh: MONA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama
Lebih terperinciBAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN
52 BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN Perkawinan dibawah tangan banyak sekali mendatangkan kerugian daripada kebaikan terutama terhadap
Lebih terperinciBAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo
BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya
Lebih terperincicommit to user BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu kehidupan manusia tidak lepas dari keinginan untuk memiliki seorang keturunan. Keinginan untuk memiliki keturunan atau mempunyai anak merupakan suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia juga membutuhkan pendamping hidup.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1994), hlm 453 Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Allah SWT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
Lebih terperinciBAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NO. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda A. Analisis Yuridis Pertimbangan Dan Dasar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALU, Menimbang
Lebih terperinciBAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.
BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam menghadapi perkembangan era globalisasi pekerja dituntut untuk saling berlomba mempersiapkan dirinya supaya mendapat pekerjaan yang terbaik bagi dirinya sendiri.
Lebih terperinciBAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN IMPLIKASI TERHADAP HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA TENTANG ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
Lebih terperinciH.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6
BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan institusi atau lembaga yang sangat penting dalam, masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip prinsip hukum, maupun doktrin doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi. Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat di suatu negara. Keluarga yang baik, harmonis, penuh cinta kasih, akan dapat memberi pengaruh yang baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk selanjutnya disebut UUP memberikan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
Lebih terperinci