PRODUKSI KEDELAI ORGANIK PANEN KERING DARI DUA VARIETAS KEDELAI DENGAN BERBAGAI JENIS PUPUK ORGANIK DERI KURNIANSYAH A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKSI KEDELAI ORGANIK PANEN KERING DARI DUA VARIETAS KEDELAI DENGAN BERBAGAI JENIS PUPUK ORGANIK DERI KURNIANSYAH A"

Transkripsi

1 PRODUKSI KEDELAI ORGANIK PANEN KERING DARI DUA VARIETAS KEDELAI DENGAN BERBAGAI JENIS PUPUK ORGANIK DERI KURNIANSYAH A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PRODUKSI KEDELAI ORGANIK PANEN KERING DARI DUA VARIETAS KEDELAI DENGAN BERBAGAI JENIS PUPUK ORGANIK Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor DERI KURNIANSYAH A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

3 ii RINGKASAN DERI KURNIANSYAH. Produksi Kedelai Organik Panen Kering dari Dua Varietas Kedelai dengan Berbagai Jenis Pupuk Organik. (Dibimbing oleh MAYA MELATI). Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh tiga jenis pupuk organik yaitu pupuk kandang ayam, setengah dosis pupuk kandang ayam dengan penambahan pupuk hijau Centrosema pubescens, dan setengah dosis pupuk kandang ayam dengan penambahan pupuk hijau Tithonia diversifolia terhadap produksi kedelai panen kering yang dibudidayakan secara organik. Percobaan dilakukan pada bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010 di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design), dua faktor, dan enam ulangan. Faktor pertama adalah jenis pupuk organik yaitu 20 ton pupuk kandang ayam, setengah dosis pupuk kandang ayam (10 ton/ha) dengan penambahan 3.5 ton Centrosema pubescens/ha, dan kombinasi setengah dosis pupuk kandang ayam (10 ton/ha) dengan penambahan 3.5 ton Tithonia diversifolia/ha, sedangkan faktor ke dua adalah varietas kedelai yaitu Anjasmoro dan Wilis. Biomass Centrosema pubescens diperoleh dari budidaya di lahan. Penanaman Centrosema pubescens dosis 25 kg benih/ha selama 10 minggu menghasilkan biomassa tajuk rata-rata sebanyak 6.30 kg/18 m 2 atau sekitar 3.50 ton/ha. Dosis Tithonia diversifolia yang diaplikasikan sama dengan dosis Centrosema pubescens yaitu 3.50 ton tajuk basah/ha. Tithonia diversifolia diperoleh dari penen pucuk 15 cm dari tanaman yang ada di sekitar lokasi percobaan. Pupuk kandang dan pupuk hijau didekomposisikan pada alur tanaman kedelai masing-masing selama 2 dan 4 minggu sebelum penanaman kedelai. Setelah waktu dekomposisi selesai, benih kedelai ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm dan 1 benih/lubang. Satu minggu sebelum penanaman benih, ditanam serai dan tagetes di sekeliling petakan untuk menghambat serangan organisme pengganggu tanaman. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pupuk berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun tetrafoliet, dan intensitas kejadian ii

4 iii penyakit pada 6 MST. Penambahan Tithonia diversifolia mampu meningkatkan tinggi tanaman dan 7.99% lebih tinggi dibandingkan perlakuan pupuk kandang dan penambahan Centrosema pubescens. Intensitas kejadian penyakit pada perlakuan pupuk kandang lebih tinggi % dibandingkan dua perlakuan lainnya. Aplikasi penambahan pupuk hijau Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens menghasilkan produktivitas kedelai kering yang lebih tinggi berturutturut 1.48 dan 1.33 ton/ha daripada yang mendapat pupuk kandang yaitu 1.16 ton/ha. Tingginya produktivitas kedelai yang dihasilkan pada penambahan Tithonia diversifolia sejalan dengan tingginya komponen produksi lainnya antara lain bobot kering biji/tanaman, bobot kering biji petak bersih dan petak pinggir, dan jumlah polong bernas. Varietas Anjasmoro memiliki bobot kering daun, tinggi tanaman, jumlah tanaman saat panen, bobot kering tanaman petak pinggir dan petak bersih, dan bobot 100 butir biji yang lebih tinggi daripada Wilis. Namun jumlah daun, jumlah cabang, bobot kering bintil, jumlah polong bernas, dan intensitas hama Anjasmoro lebih rendah dibandingkan Wilis. Lebih tingginya komponen produksi tersebut menyebabkan produktivitas varietas Anjasmoro lebih tinggi 46.73% daripada Wilis. Produktivitas Anjasmoro dan Wilis berturut-turut adalah 1.57 dan 1.07 ton biji kering/ha. Kadar dan serapan hara NPK daun kedua varietas pada ketiga jenis pupuk menunjukkan nilai yang berbeda. Secara umum terlihat bahwa kadar N, K dan serapan N, P, K daun varietas Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan Wilis. Antar perlakuan pupuk memperlihatkan bahwa kadar dan serapan P daun lebih tinggi dengan pemberian pupuk kandang ayam, sedangkan kadar dan serapan K lebih tinggi dengan pemberian Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia.

5 iv Judul Nama NIM : PRODUKSI KEDELAI ORGANIK PANEN KERING DARI DUA VARIETAS KEDELAI DENGAN BERBAGAI JENIS PUPUK ORGANIK : DERI KURNIANSYAH : A Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc NIP: Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP: Tanggal Lulus:

6 v RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak ketiga dari Bapak Dadin Radian dan Ibu Dedeh Mulyani. Penulis dilahirkan di Sukabumi, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 3 September Penulis menamatkan sekolah dasar pada tahun 2000 di SD Negeri 3 Sukasari, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas di SMP Negeri 1 Cisaat dan SMA Negeri 4 Sukabumi hingga tahun Pada tahun yang sama, penulis mendapatkan Beasiswa Studi Masuk Universitas (BMU) dari Kotamadya Sukabumi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dan kemudian diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Selama studi, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan organisasi antara lain menjadi staf Departemen Komunikasi dan Informasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian IPB periode 2007/2008 dan Staf Divisi Human Development and Scholarship IAAS IPB. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Hortikultura, asisten praktikum mata kuliah Pembiakan Tanaman, dan asisten praktikum mata kuliah Pasca Panen Tanaman Pertanian pada tahun ajaran 2009/2010.

7 vi KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan lancar. Penelitian mengenai pengaruh pemberian pupuk kandang dan pupuk hijau (Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia) terhadap produksi kedelai panen kering dilaksanakan karena keingintahuan penulis terhadap potensi sumberdaya lokal terutama Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia apabila digunakan sebagai pupuk hijau, sehingga di waktu yang akan datang, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi pupuk yang baik untuk budidaya tanaman terutama apabila petani terkendala dengan pupuk kimia yang relatif lebih mahal. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Maya Melati, MS, MSc yang telah bersedia membimbing dan memberikan arahan kepada penulis sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik. Penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen penguji yaitu Dr Ir Iskandar Lubis, MS dan Ir Adolf Pieter Lontoh, MS atas saran dan masukan yang sangat membantu dalam penyusunan dan penyajian skripsi. Penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan dukungan moril dan materil sehingga penelitian ini berjalan sesuai rencana. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Baso Daeng, Bapak Sarta, Ibu Ema, Kak Elrisa, dan teman rekan-rekan Departemen Agronomi dan Hortikultura terutama Raisa Baharuddin yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian di lapang dan di laboratorium. Semoga hasil penelitian ini berguna bagi yang memerlukan. Bogor, Oktober 2010 Penulis

8 vii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Botani dan Morfologi Kedelai... 4 Pertumbuhan Tanaman Kedelai... 4 Syarat Tumbuh Kedelai... 5 Pertanian Organik... 7 Kedelai Organik... 8 Pupuk Organik... 9 Pupuk Hijau Centrosema pubescens Tithonia diversifolia Pupuk Kandang BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Hasil Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN LAMPIRAN ix

9 viii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Kandungan Hara Beberapa Jenis Pupuk Kandang Pengamatan Kondisi Tanah dan Karakter Agronomi Kedelai Intensitas Serangan Hama dan Kejadian Penyakit Kandungan Hara Makro dan Mikro Centrosema Pubescens, Pupuk Kandang Ayam, dan Tithonia diversifolia Sumbangan Unsur Hara Pupuk Organik Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Perlakuan Pupuk dan Varietas Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik Komponen Pertumbuhan pada Perlakuan Dua Varietas Kedelai Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Komponen Produksi pada Perlakuan Dua Varietas Kedelai Pengaruh Interaksi Perlakuan Pupuk dan Varietas pada Beberapa Komponen Produksi serta Intensitas Serangan Hama dan Kejadian Penyakit Kedelai Pengaruh Interaksi Pupuk dan Varietas Terhadap Kadar dan Serapan Hara N, P, K Daun Hasil Analisis Kualitatif Kandungan Senyawa Bioaktif Pupuk Hijau Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia Hubungan Korelasi Antar Peubah terhadap Komponen Hasil Kedelai.. 39

10 ix DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kondisi Tanaman Centrosema pubescens pada (a) 21 HST (b) 70 HST Penampakan Tanah dan Tingkat Dekomposisi Ketiga Jenis Pupuk Sebelum Penanaman Kedelai Hama Tanaman Kedelai pada 14 HST (a) Ulat Grayak, (b) Ulat Bulu, (c) Ulat Api Gejala dan Kerusakan Tanaman yang Disebabkan (a) Lalat Pucuk (b) Lalat Batang Hama tanaman Kedelai pada 7-12 MST (a) Belalang Hijau (b) Kepik Polong (c) Kepik Tungkai Besar Kerusakan Akibat Serangan Rayap pada Pangkal Batang (a) Kedelai (b) Tagetes erecta ix

11 x DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Lay Out Petak Percobaan Hasil Analisis Tanah Sebelum dan Setelah Pemupukan Hasil Analisis Kandungan Hara Arang dan Abu Sekam Data Temperatur, Kelembaban Udara, dan Curah Hujan di Wilayah Dramaga Bulan Januari-Juni Deskripsi Kedelai Varietas Wilis dan Anjasmoro Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah... 60

12 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010), kebutuhan biji kedelai kering nasional mencapai 2.2 juta ton, sedangkan produksi nasional biji kedelai pada tahun 2009 dan perkiraan tahun 2010 baru mencapai ton, sehingga 60% kebutuhan biji kedelai kering masih tergantung impor. Apabila dilihat dari perkiraan produksi kedelai nasional tahun 2010, terjadi penurunan produksi kedelai sebesar 1.07% dibandingkan tahun Penurunan tersebut terjadi karena turunnya luas panen sedangkan produktivitas mengalami peningkatan. Walaupun nilai produktivitas kedelai nasional mencapai 1.3 ton/ha, nilai tersebut masih rendah dibandingkan potensi produksi kedelai sekitar ton/ha. Angka-angka ini menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas kedelai masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan teknik budidaya dan inovasi teknologi. Perbaikan teknik budidaya kedelai pada saat ini umumnya lebih mengutamakan upaya untuk meningkatkan produktivitas kedelai tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan, sehingga keseimbangan ekologi terutama tanah, mikroorganisme tanah, dan tanaman kurang diperhatikan. Oleh sebab itu, teknik budidaya yang diharapkan saat ini lebih mengarah kepada peningkatan produktivitas kedelai sekaligus mempertahankan kelestarian lingkungan. Salah satu alternatif penting untuk mencapai tujuan tersebut yaitu merencanakan sistem pertanian dan agroekosistem buatan secara organik sehingga dihasilkan keseimbangan antara kualitas hasil pertanian dan kelestarian lingkungan. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang memanfaatkan bahan organik dalam bentuk produk buangan tanaman ataupun ternak dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Tanah dan sumber air dikelola dengan baik sehingga residu kimia yang terkandung dalam produk selama budidaya dapat diminimalisasi. Oleh karena itu produk pertanian organik dinilai lebih aman terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2006).

13 2 Menurut Prihandarini (2008), pertanian organik memiliki potensi dan peluang pasar yang menjanjikan. Di Amerika dan Asia seperti Jepang dan Singapura, dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan permintaan produk organik lebih dari 20% setiap tahunnya. Menurut Rigby (2001), penggunaan lahan untuk pertanian organik di Amerika dan Eropa sebelum tahun 2000 sekitar %. Luas lahan tersebut menjadi dua kali lipat setelah tahun Lebih lanjut Prihandarini (2008) menyatakan bahwa Indonesia baru dapat memanfaatkan sekitar ha (0.09%) lahan pertaniannya untuk pertanian organik. Penelitian budidaya organik mengalami perkembangan yang pesat, namun penelitian mengenai kedelai organik masih terbatas. Sejauh ini, penelitian kedelai organik hanya terbatas pada teknik budidaya untuk meningkatkan produksi kedelai panen muda. Barus (2005) menyatakan bahwa panen muda dilakukan pada saat polong masih hijau dan pengisian polong belum maksimal. Kedelai panen muda hanya bisa digunakan untuk konsumsi dan tidak termasuk kriteria panen biji kering karena kandungan air masih tinggi dan polong belum terbentuk sempurna. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat untuk industri dan benih lebih mengarah pada butir kedelai yang dipanen tua. Penelitian yang telah dilakukan terus berkembang antara lain mengenai penggunaan jenis pupuk organik yang berbeda meliputi pupuk hijau (Andriyani, 2005; Barus, 2005; Melati dan Andriyani, 2005; Melati et al., 2008; dan Kurniasih, 2006), pupuk kandang (Andriyani, 2005; Melati dan Andriyani, 2005; Melati et al., 2008; Rahadi, 2008, dan Widiyanti, 2009), sumber P berupa fosfat alam (Barus, 2005), dan pupuk guano (Rahadi, 2008 dan Widiyanti, 2009). Selain itu telah dilakukan penelitian mengenai jenis tanaman yang berpotensi untuk menghambat organisme pengganggu tanaman pada budidaya kedelai organik yang dilakukan oleh Kusheryani dan Aziz (2006). Pupuk organik dapat berasal dari pupuk hijau, pupuk kandang, kompos, atau kombinasi bahan organik. Pupuk hijau yang selama ini telah diteliti dan sesuai untuk penanaman kedelai diutamakan dari jenis tanaman leguminosa karena memiliki unsur hara tinggi terutama unsur nitrogen. Sinaga (2005), Andriyani (2005), dan Kurniasih (2006) meneliti beberapa jenis pupuk hijau yang paling tinggi meningkatkan produksi kedelai. Dari beberapa jenis pupuk hijau

14 3 yang digunakan, Centrosema pubescens merupakan jenis pupuk terbaik karena dapat meningkatkan hasil peubah vegetatif dan generatif lebih tinggi dibandingkan jenis pupuk hijau lainnya. Pupuk hijau lain yang telah diteliti namun belum dikenal luas di Indonesia adalah Tithonia diversifolia. Tumbuhan tersebut dilaporkan mampu meningkatkan produktivitas tanaman budidaya, namun komoditas yang telah diteliti terbatas pada tanaman padi, tomat, okra, dan telah dilaporkan sebagai sumber unsur hara utama untuk penanaman jagung di Kenya, Malawi, dan Zimbabwe (Jama et al., 2000; Sangakkara et al., 2004; Liasu et al., 2007; dan Shisanya et al., 2009). Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh pemupukan Tithonia diversifolia dibandingkan dengan Centrosema pubescens dan pupuk kandang untuk meningkatkan produktivitas kedelai. Varietas benih kedelai yang digunakan adalah dua varietas unggul Wilis dan Anjasmoro. Kedua varietas tersebut memiliki ukuran benih yang berbeda. Varietas Wilis berukuran lebih kecil ( g/100 butir) daripada varietas Anjasmoro ( g/100 butir). Perbedaan ukuran benih tersebut diduga mempengaruhi perbedaan kebutuhan hara dan preferensi masyarakat. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk kandang ayam, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia terhadap produktivitas dua varietas kedelai yaitu varietas Wilis dan Anjasmoro yang dibudidayakan secara organik. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: 1. Terdapat jenis pupuk organik yang memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi kedelai. 2. Terdapat varietas kedelai yang merespon baik terhadap budidaya organik. 3. Terdapat kombinasi terbaik antara perlakuan pupuk organik dan varietas untuk menghasilkan kedelai kering tertinggi.

15 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan tanaman dikotil dari famili Leguminosa. Tanaman kedelai memiliki percabangan sedikit, sistem perakaran tunggang, dan batang berkambium. Kedelai dapat berubah menjadi tumbuhan setengah merambat dalam keadaan pencahayaan rendah (Adisarwanto, 2008). Tanaman kedelai memiliki akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping dan mencapai jarak 40 cm dengan kedalaman hingga 120 cm. Batang kedelai dapat mencapai cm dan membentuk 3 6 cabang. Pada buku pertama terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada buku di atasnya terbentuk daun majemuk. Permukaan daun berbulu halus (trichoma) pada kedua sisi. Tunas atau bunga muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur (Irwan, 2006). Menurut Irwan (2006), bunga kedelai termasuk bunga sempurna yaitu setiap bunga mempunyai alat kelamin jantan dan betina. Bunga terletak pada ruasruas batang dan berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga kedelai dapat berubah menjadi polong karena 60% bunga rontok sebelum membentuk polong. Setiap tanaman mampu menghasilkan polong yang setiap polongnya berisi 2-3 biji kedelai. Menurut Hidayat (1985), biji kedelai dapat digolongkan menjadi tiga ukuran yaitu biji kecil (7-9 g/100 butir), sedang (10-13 g/100 butir), dan besar (>13 g/100 butir). Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pematangan selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam. Pertumbuhan Tanaman Kedelai Tanaman kedelai memiliki tiga tipe pertumbuhan yaitu determinate, indeterminate, dan semi determinate. Tipe determinate memiliki ciri khas berbunga serentak dan pertumbuhan tinggi berhenti setelah pembungaan, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah, dan daun teratas sama besar dengan daun pada batang bagian tengah. Tipe pertumbuhan indeterminate memiliki ciri berbunga secara bertahap dari bawah ke atas dan batang terus 4

16 5 tumbuh walaupun masa berbunga telah selesai dan ujung batang lebih kecil dari bagian tengah. Tipe semi determinate memiliki karakteristik antara kedua tipe di atas (Adisarwanto, 2008). Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi kedelai baik secara organik ataupun anorganik. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui pola waktu pertumbuhan kedelai mulai benih berkecambah, berbunga, membentuk polong, sampai panen. Hasil tersebut dapat dijadikan sebagai pembanding ataupun acuan kecepatan dan ketepatan waktu pertumbuhan generatif dan vegetatif tanaman kedelai selanjutnya. Berdasarkan penelitian Andriyani (2005), Barus (2005), Asiah (2006), dan Kurniasih (2006), kedelai sudah berkecambah pada 3-4 hari setelah tanam (HST). Kedelai mulai berbunga pada 6 minggu setelah tanam (MST) dan berbunga 75% pada 7 MST. Namun menurut Kurniasih (2006), kedelai mulai berbunga pada 5 MST dan berbunga 75% pada 6 MST. Hal tersebut diduga karena kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda. Berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat keragaman waktu pembentukan polong. Hasil penelitian Barus (2005) dan Asiah (2005) menunjukkan bahwa polong terbentuk pada 7 MST dan terisi pada 9 MST, kemudian biji sudah terisi penuh dan mengeras pada 10 MST. Namun berdasarkan penelitian Andriyani (2005) dan Kurniasih (2006), polong terbentuk lebih lama yaitu pada 7-8 MST. Polong sudah terisi pada 10 MST, kemudian biji terisi penuh dan mengeras pada 11 MST. Panen dilakukan pada MST. Perbedaan hasil tersebut diduga karena perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan (curah hujan, lama penyinaran, dan serangan hama dan penyakit) pada saat penelitian berlangsung. Syarat Tumbuh Kedelai Tanaman kedelai menghendaki kondisi lingkungan dan agroekosistem yang spesifik untuk tumbuh optimal. Secara garis besar, agroekologi lahan tanam kedelai dibagi berdasarkan tingkat ketersediaan air, yaitu lahan sawah, lahan kering, dan lahan pasang surut. Menurut Adisarwanto (2008), penanaman kedelai di lahan kering menghasilkan produksi kedelai per hektar yang tidak terlalu tinggi

17 6 sekitar ton. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan karena air irigasi mengandalkan curah hujan, topografi lahan berlereng, dan tingkat kesuburan tanah rendah. Penanaman kedelai di lahan kering cocok ditanam pada musim hujan kedua yaitu bulan Februari sampai Maret. Kedelai sangat cocok ditanam pada ketinggian m dpl. Menurut Robutzky dan Yamaguchi (1998), kedelai dapat tumbuh di tanah yang agak masam, namun pada ph yang terlalu rendah dapat menimbulkan keracunan Al. Nilai ph tanah yang sesuai berkisar antara Pada ph di bawah 5.0, pertumbuhan bakteri bintil akar dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik. Berdasarkan hasil penelitian Irwan (2006), suhu tanah yang sesuai untuk pertumbuhan bintil akar sekitar 25 0 C. Pada suhu tersebut, pembentukan bintil akar sudah terjadi mulai umur 4-5 HST. Nodul atau bintil akar kemudian dapat mengikat nitrogen dari udara pada umur HST. Beberapa komponen penting yang termasuk dalam faktor iklim antara lain suhu, panjang hari, kelembaban udara, dan curah hujan. Menurut Adisarwanto (2008), pertumbuhan tanaman kedelai pada musim kemarau dengan suhu udara sekitar C menghasilkan pertumbuhan yang optimal dengan kualitas biji yang lebih baik. Namun suhu yang terlalu tinggi (>30 0 C) dapat memperlambat proses pengisian biji sehingga polong lebih cepat masak dan mudah luruh. Menurut Irwan (2006), suhu optimal untuk pembungaan yaitu C. Suhu sekitar 40 C pada masa pembungaan dapat menyebabkan bunga rontok sehingga jumlah polong dan biji kedelai yang terbentuk sedikit. Begitu pula suhu yang terlalu rendah (<10 C) dapat menghambat pembungaan dan pembentukan polong. Kedelai termasuk tanaman hari pendek sehingga sangat peka terhadap perubahan panjang hari. Tanaman ini tidak akan berbunga bila panjang hari melebihi batas kritis yaitu 15 jam/hari. Hal tersebut dapat diketahui dari proses pembungaan kedelai subtropis (panjang hari jam/hari) yang ditanam di daerah tropis (berkisar antara jam/hari). Kedelai subtropis akan berbunga lebih cepat dari 50 hari menjadi 35 hari dan pertumbuhan vegetatif tanaman lebih cepat berhenti sehingga tanaman lebih pendek dan jumlah polong relatif sedikit. Begitu pula sebaliknya. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas kedelai di daerah tropis.

18 7 Kelembaban udara yang optimal untuk pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara 75-90%. Menurut Adisarwanto (2008), selain kelembaban udara, faktor lingkungan tumbuh yang sangat berpengaruh adalah kelembaban tanah. Penurunan kelembaban tanah dari 90% air tersedia menjadi 50% air tersedia dapat menurunkan hasil biji kedelai antara 30-40%. Hal tersebut terjadi bila penurunan kelembaban terjadi pada periode pembentukan polong. Selama pertumbuhan, kedelai membutuhkan air yang cukup. Stadia tumbuh kedelai yang membutuhkan ketersediaan air yang banyak dan kelembaban tanah yang tinggi adalah pada stadia awal vegetatif (perkecambahan), stadia berbunga, serta stadia pembentukan dan pengisian polong. Selama masa stadia pemasakan biji, tanaman kedelai memerlukan kondisi lingkungan yang kering agar diperoleh kualitas biji yang baik. Kondisi lingkungan yang kering akan mendorong proses pemasakan biji lebih cepat dan bentuk biji yang seragam. Pertanian Organik Menurut Rigby (2001), pertanian organik merupakan sistem pertanian yang memanfaatkan siklus organik secara optimal untuk mendukung tercapainya pertanian yang berkelanjutan. Pertanian organik merupakan suatu sistem terpadu yang bertujuan untuk meningkatkan potensi dan daya dukung lingkungan terhadap agroekosistem dalam jangka panjang (long term sustainable agriculture). Meningkatnya dampak kerusakan lingkungan terutama penurunan daya dukung tanah sebagai akibat penggunaan input kimia yang tinggi membawa kesadaran mengenai pentingnya pertanian yang ramah lingkungan. Salah satu wujud kesadaran tersebut adalah perencanaan agroekosistem kembali pada sistem pertanian organik. Menurut Susanto (2002), sistem pertanian organik berusaha mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk residu limbah tanaman maupun ternak. Bahan organik tersebut dapat berupa pupuk hijau, pupuk kandang, ataupun kompos sebagai pengganti input kimia. Budidaya tanaman yang mengarah pada sistem pertanian organik selama ini telah banyak dilakukan. Sistem pertanian organik pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesuburan dan daya dukung tanah terhadap tanaman dengan memanfaatkan siklus hara yang berasal dari bahan-bahan organik. Pertanian

19 8 organik diharapkan dapat menjadi substitusi pertanian konvensional. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan terus berusaha untuk meningkatkan potensi hasil tanaman yang mengarah pada kondisi paling sesuai untuk mendukung pertumbuhan tanaman secara organik. Kedelai Organik Lahan yang telah lama digunakan untuk pertanian konvensional sering mengandung residu kimia sehingga perlu diketahui batas waktu kehilangan residu agar kondisi lahan sesuai dengan kriteria pertanian organik. Menurut Delate (2004), lahan yang seringkali ditanami kedelai dengan budidaya konvensional membutuhkan waktu sekitar tiga musim penanaman kedelai intensif sehingga lahan pertanian memenuhi kriteria organik. Pada musim ke empat, produktivitas kedelai secara organik lebih tinggi dibandingkan produktivitas kedelai yang ditanam secara konvensional. Selain itu, tanah akan semakin responsif terhadap pemupukan bahan organik. Penyesuaian lingkungan mikro untuk penanaman kedelai selama ini dilakukan dengan penggunaan berbagai pupuk organik, pestisida nabati, bahkan mengubah teknik budidaya yang telah ada. Penelitian budidaya dengan menggunakan pupuk organik yang telah dilakukan antara lain penggunaan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman berupa pupuk hijau ataupun kotoran dan limbah peternakan berupa pupuk kandang dan guano. Penelitian yang telah dilakukan antara lain penggunaan pupuk hijau (Andriyani, 2005; Barus, 2005; Melati dan Andriyani, 2005; Kurniasih, 2006; dan Melati et al., 2008), pupuk kandang (Andriyani, 2005; Melati dan Andriyani, 2005; Melati et al., 2008; Rahadi, 2008, dan Widiyanti, 2009), sumber P berupa fosfat alam (Barus, 2005), dan pupuk guano (Rahadi, 2008 dan Widiyanti, 2009). Selain itu telah dilakukan penelitian mengenai jenis tanaman yang berpotensi untuk menghambat organisme pengganggu tanaman pada budidaya kedelai organik yang dilakukan oleh Kusheryani dan Aziz (2006).

20 9 Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari tanaman atau hewan yang telah melalui proses rekayasa secara fisik atau biologi, berbentuk padat atau cair, dan digunakan untuk menyuplai bahan organik dan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2006). Pupuk organik diperlukan untuk menambah hara dalam penanaman kedelai organik. Menurut Ridwan (2006), penambahan pupuk organik ke dalam tanah dapat meningkatkan serapan P tanaman melalui proses khelasi karena asam-asam organik yang dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik akan mengikat Fe dan Al yang mengikat P dalam tanah. Pupuk organik dapat berasal dari pupuk hijau, pupuk kandang, kompos, ataupun bahan organik lainnya. Pupuk hijau dapat berasal dari berbagai jenis tanaman, namun diutamakan dari jenis leguminosa karena memiliki unsur hara tinggi terutama nitrogen. Berdasarkan hasil penelitian Sinaga (2005) dan Andriyani (2005), penggunaan pupuk hijau Centrosema pubescens mampu meningkatkan hasil peubah vegetatif dan generatif kedelai lebih tinggi dibandingkan Calopogonium mucunoides. Lebih lanjut Kurniasih (2006) menambahkan bahwa pupuk hijau Centrosema pubescens mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai lebih tinggi dibandingkan Crotalaria juncea. Berdasarkan hasil penelitian di atas, Centrosema pubescens lebih potensial digunakan sebagai pupuk hijau dibandingkan tanaman legum lain yang telah digunakan sebelumnya. Pupuk kandang yang diberikan pada dosis tertentu dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai. Berdasarkan hasil penelitian Santoso et al. (2004), apabila dibandingkan dengan pupuk kandang lain, pupuk kandang ayam mengandung nitrogen tiga kali lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Melati dan Andriyani (2005), pemberian pupuk kandang ayam dosis 10 ton/ha mampu memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan komponen hasil tanaman kedelai panen muda. Selanjutnya Kurniasih (2006) menambahkan bahwa secara umum, budidaya organik dengan menggunakan pupuk kandang terutama yang berasal dari kotoran ayam menghasilkan produktivitas yang paling tinggi dibandingkan pupuk hijau, budidaya konvensional, ataupun budidaya organik tanpa pupuk.

21 10 Perlakuan kombinasi pupuk organik oleh Andriyani (2005) dan Melati et al. (2008) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap peubah generatif dan vegetatif tanaman. Namun pemberian kombinasi pupuk organik sangat nyata meningkatkan bobot kering bintil akar dan menurunkan intensitas serangan hama. Fosfat alam yang digunakan sebagai sumber P pada penelitian Barus (2005) tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman meskipun nilai bobot basah tajuk lebih tinggi daripada tanpa fosfat alam. Menurut Ridwan (2006), ketersediaan unsur fosfor dapat ditambahkan melalui pengapuran. Pengapuran pada tanah masam berpengaruh baik untuk perkembangan akar tanaman karena dapat mengurangi stress tanaman terhadap keracunan Al dan dapat menyuplai unsur hara yang dibutukan tanaman. Penggunaan kombinasi pupuk kandang dan kapur sangat berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Peningkatan pertumbuhan disebabkan karena tersedianya unsur hara makro dan mikro yang dapat diserap oleh tanaman. Pupuk Hijau Pupuk hijau adalah pupuk yang berasal dari tanaman atau bagian tanaman yang didekomposisikan dengan cara dibenamkan ke dalam tanah atau dibiarkan membusuk. Pupuk hijau digunakan untuk menambah bahan organik dan unsur hara khususnya nitrogen (FFTC, 1995). Tanaman yang digunakan sebagai pupuk hijau diutamakan dari jenis leguminosa karena memiliki kandungan hara terutama nitrogen yang tinggi. Alasan lain dipilihnya tanaman dari jenis leguminosa sebagai pupuk karena lebih mudah terdekomposisi sehingga penyediaan hara menjadi lebih cepat (Rachman et al., 2008). Susanto (2002) menyatakan bahwa daya dekomposisi dan kecepatan aktivitas mikroorganisme pupuk hijau dipengaruhi oleh nisbah C/N dan kadar air bahan. Apabila nisbah C/N terlalu lebar akan terjadi immobilisasi N sehingga tidak tersedia untuk tanaman, sedangkan apabila nisbah C/N kecil akan terjadi mineralisasi N. Selanjutnya, kadar air bahan berhubungan dengan kelembaban dan tingkat kelarutan bahan oleh aktivitas mikroorganisme. Kadar air paling sedikit sekitar 25-30% berat kering bahan. Kadar air optimum untuk dekomposisi adalah 50-60%. Apabila kadar air di bawah 20%, proses dekomposisisi akan berhenti.

22 11 Berdasarkan hasil penelitian Kurniasih (2006), produksi kedelai pada budidaya organik dengan menggunakan pupuk hijau lebih tinggi dibandingkan budidaya organik tanpa pupuk dan budidaya konvensional. Namun intensitas serangan hama dan kejadian penyakit pada budidaya organik dengan penggunaan pupuk hijau lebih tinggi daripada budidaya organik tanpa pupuk ataupun secara konvensional. Hal tersebut diduga karena tingginya unsur nitrogen dalam pupuk hijau. Bennet (1994) menyatakan bahwa nitrogen merupakan bagian integral dari klorofil dan merupakan unsur pokok struktural dinding sel. Kemudian Marschner (1995) menambahkan bahwa kelebihan unsur N pada tanaman dapat menyebabkan daun hijau tua, kasar, dan lebar (abnormal), batang lebih lunak, dan mudah rebah sehingga tanaman lebih mudah terserang penyakit. Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai pupuk hijau antara lain Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Kedua jenis tanaman tersebut memiliki unsur hara yang tinggi terutama unsur N dan K. Selain itu, Centrosema pubescens merupakan tanaman dari jenis legum yang mampu mengikat nitrogen bebas dari udara dengan bantuan bakteri Rhizobium japonicum. Penggunaan tanaman tersebut sebagai pupuk hijau diharapkan dapat menyuplai unsur hara bagi tanaman dengan prinsip transfer hara pupuk hijau-tanaman setelah mengalami proses dekomposisi. Centrosema pubescens. Centrosema pubescens termasuk tanaman merambat dari famili Leguminosa. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan telah ditanam dengan hasil baik di daerah tropis dan subtropis. Centrosema pubescens merupakan tanaman yang berumur panjang, batang berbulu, dan panjang dapat mencapai lima meter. Tanaman ini memiliki daun trifoliet, berbentuk elips, dan berbulu pada kedua permukaanya. Bunga Centrosema pubescens berbentuk kupu-kupu dan berwarna violet (Sutedi et al., tanpa tahun). Lebih lanjut Sutedi et al. (tanpa tahun) menyatakan bahwa Centrosema pubescens mampu memfiksasi nitrogen yang efektif dengan kandungan N sekitar %. Potensi produksi bahan keringnya mencapai 12 ton/ha. Nodulasi Centrosema pubescens dapat berlangsung optimal pada ph Nodulasi paling banyak terjadi pada akar sekunder yang memiliki arah pertumbuhan

23 12 menyebar. Nodulasi pertama kali terjadi pada dua minggu setelah perkecambahan dan nodul yang masih muda dilaporkan lebih aktif memfiksasi nitrogen. Terdapat beberapa penelitian mengenai efektivitas Centrosema pubescens terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai. Berdasarkan hasil penelitian Sinaga (2005) dan Kurniasih (2006), pemberian pupuk hijau Centrosema pubescens meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan produksi kedelai yang lebih baik daripada Calopogonium mucunoides. Centrosema pubescens memiliki kandungan lignin dan nisbah C/N yang rendah (13.3) sehingga cepat terdekomposisi. Berdasarkan hasil penelitian Muhr et al. (1999), masa dekomposisi efektif bahan kering Centrosema pubescens dapat dilakukan sekitar 2-8 minggu. Tithonia diversifolia. Tithonia diversifolia merupakan tanaman semak (shrub) dari famili Asteraceae. Tanaman ini menyebar luas di kawasan tropis basah Afrika. Tithonia diversifolia merupakan tanaman annual, pertumbuhan vegetatif cepat, tinggi tanaman mencapai 2.5 meter, dan mampu beradaptasi pada berbagai jenis tanah. Biomassa Tithonia diversifolia telah diketahui sebagai sumber hara untuk padi dataran rendah Asia, jagung, dan sayuran (Jama et al., 2000). Cong (2000) menyatakan bahwa Tithonia diversifolia menghasilkan biomassa tanaman yang tinggi. Penanaman Tithonia diversifolia sebagai tanaman pagar dapat menghasilkan biomassa rata-rata kg/m 2 /tahun. Hartatik (2007) menyatakan bahwa Tithonia diversifolia merupakan gulma tahunan yang berpotensi tinggi sebagai pupuk hijau karena mengandung 3.50% N, 0.36% P, dan 4.10% K. Selanjutnya Olabode et al. (2007) menambahkan bahwa selain memiliki unsur hara yang tinggi, Tithonia diversifolia memiliki kemampuan untuk menyerap hara secara maksimal sehingga penggunaan Tithonia diversifolia sebagai pupuk hijau sangat dianjurkan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan Tithonia diversifolia sebagai sumber hara yang efektif telah dilaporkan untuk tanaman padi dan jagung di Kenya, Malawi, dan Zimbabwe. Berdasarkan penelusuran Wanjau et al. (2002) penggunaan Tithonia diversifolia sebagai sumber hara penanaman jagung memberikan produktivitas paling tinggi. Lahan yang diberikan pupuk TSP menghasilkan produktivitas kg/ha lebih

24 13 tinggi daripada kontrol yang tidak menggunakan pupuk sama sekali, sedangkan pada lahan yang dipupuk Tithonia diversifolia, produktivitas jagung 1 ton/ha lebih tinggi dibandingkan kontrol. Selanjutnya dapat diketahui bahwa pemindahan biomassa tersebut ternyata meningkatkan hasil sampai musim tanam ke tiga setelah aplikasi. Penelitian Olabode et al. (2007) mengenai evaluasi Tithonia diversifolia untuk meningkatkan kesuburan tanah diperoleh hasil bahwa konsentarasi unsur nitrogen Tithonia diversifolia (1.76%) sebanding dengan unsur N dari pupuk kotoran ayam (1.78%). Kandungan unsur P Tithonia diversifolia (0.82%) lebih rendah dari kotoran ayam (2.9%) namun lebih tinggi dari kotoran sapi (0.52%). Namun Tithonia diversifolia memiliki kandungan unsur K paling tinggi (3.92%) daripada kotoran ayam (1.80%) dan kotoran sapi (0.95%). Tithonia diversifolia merupakan sumber bahan organik yang baik karena memiliki nisbah C/N rendah (8-8.5), fraksi terlarut bahan organik tinggi, dan kandungan lignin yang rendah (6.5%) sehingga mudah terdekomposisi dan cepat menyediakan unsur hara ke dalam tanah. Namun Tithonia diversifolia mengandung unsur Mg yang sangat rendah (0.005%) sehingga perlu tambahan pupuk kandang yang memiliki kandungan Mg tinggi untuk mencegah defisiensi unsur Mg. Pupuk kandang yang seringkali digunakan bersamaan dengan aplikasi Tithonia diversifolia adalah kotoran sapi karena mengandung unsur Mg paling tinggi (0.86%) dibandingkan pupuk kandang dari jenis lain (Olabode et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian Sangakkara et al. (2004), aplikasi Tithonia diversifolia dan Crotalaria juncea sebagai pupuk hijau pada kondisi jenuh air selama tiga tahun pada penanaman jagung dapat memperbaiki ketegaran tanaman karena dapat meningkatkan perkembangan tunas awal dan pertumbuhan akar. Selain itu, Tithonia diversifolia yang diaplikasikan secara tunggal dapat menginduksi perkembangan dan perluasan sistem perakaran, meningkatkan panjang, tebal, dan berat jenis akar, dan mampu menginduksi perkembangan akar seminal dan nodal pada perkecambahan jagung. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Hartatik (2007) bahwa Tithonia memiliki sifat alelopati dan mengandung senyawa fitotoksik penghambat pertumbuhan yang dapat menghambat perkecambahan benih dan pertumbuhan

25 14 biji. Aktivitas penghambatan tergantung dari bagian tanaman yang digunakan. Ekstrak daun diketahui memberikan aktivitas penghambatan yang lebih tinggi daripada ekstrak batang atau akar. Pupuk Kandang Wiwik dan Widowati (2008) menyatakan bahwa pupuk kandang adalah semua produk buangan (limbah) ternak berupa padat atau cair yang digunakan untuk menambah unsur hara dan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kandungan unsur hara dalam pupuk kandang tergantung dari jenis ternak, makanan dan air yang diberikan, umur ternak, dan bentuk fisik ternak. Kandungan unsur hara tersebut sangat menentukan kualitas pupuk yang digunakan. Menurut Santoso et al. (2004), pupuk kandang memiliki sifat yang alami dan tidak merusak tanah, menyediakan unsur makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan belerang) dan mikro (besi, seng, boron, kobalt, dan molibdenum). Selain itu, pupuk kandang berfungsi untuk meningkatkan daya pegang air tanah, meningkatkan aktivitas mikrobiologi, meningkatkan nilai kapasitas tukar kation, serta memperbaiki struktur tanah. Menurut Lingga (1991), kotoran ternak yang seringkali digunakan sebagai pupuk kandang umumnya berasal dari kotoran ruminansia (sapi, kuda, domba) dan kotoran unggas. Apabila dibandingkan kandungan unsur haranya, kotoran unggas memiliki kandungan hara makro yang lebih tinggi yaitu kandungan N, P 2 O 5, K 2 O, dan CaO sebanyak 1.5, 1.3, 0.8, dan 4.0% serta memiliki persentase bahan organik yang relatif tinggi sekitar 29%. Kandungan hara pada beberapa jenis pupuk kandang dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil penelitian Santoso et al. (2004), apabila dibandingkan dengan bahan organik yang lain, pupuk kandang ayam memiliki kandungan hara N, P, dan K yang tinggi masing-masing 2.6, 2.9, dan 3.4% dengan perbandingan C/N ratio 8.3. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pupuk kandang ayam mengandung nitrogen tiga kali lebih tinggi daripada pupuk kandang jenis lainnya. Selain itu, kandungan unsur hara pupuk kandang ayam lebih tinggi karena bagian cair (urin) bercampur dengan bagian padat.

26 15 Tabel 1. Kandungan Hara Beberapa Jenis Pupuk Kandang Sumber pukan Kadar air Bahan organik N P 2 O 5 K 2 O CaO Rasio C/N % Sapi Kerbau Kambing Ayam Babi Kuda Sumber: Lingga (1991) Berdasarkan hasil penelitian Kurniasih (2006), budidaya organik dengan menggunakan pupuk kandang ayam menghasilkan produktivitas tertinggi dibandingkan pupuk hijau, budidaya konvensional, ataupun budidaya organik tanpa pupuk. Produktivitas kedelai pada budidaya konvensional, organik dengan pupuk kandang ayam, dan organik tanpa pupuk berturut-turut adalah 1.80, 6.03, dan 2.00 kg/10 m 2. Namun perlakuan pupuk kandang dapat meningkatkan intensitas serangan hama. Sebaliknya intensitas kejadian penyakit dilaporkan lebih rendah dibandingkan aplikasi pupuk hijau. Hal tersebut diduga karena pada proses dekomposisi pupuk kandang dihasilkan asam organik yang lebih tinggi untuk menekan serangan patogen.

27 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus Areal penelitian memiliki topografi datar dengan curah hujan rata-rata mm/bulan. Analisis tanah dan hara dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian adalah benih dua varietas kedelai yaitu varietas Wilis (dosis 27.5 kg/ha) dan Anjasmoro (dosis kg/ha) untuk populasi sebanyak tanaman/ha. Kebutuhan benih varietas Anjasmoro lebih banyak karena memiliki ukuran dan bobot 100 biji yang lebih tinggi. Bobot 100 biji kedelai varietas Anjasmoro sekitar g, sedangkan Wilis hanya g. Sebelum dilakukan penanaman, benih kedelai diinokulasi dengan pemberian rhizoplus dosis 5 g/kg benih. Pupuk dasar yang digunakan yaitu 2 ton kapur dolomit dan 10 ton pupuk kandang ayam/ha untuk petak tanam pupuk hijau. Pupuk organik yang digunakan yaitu pupuk hijau Centrosema pubescens Benth dosis 25 kg benih/ha, pupuk hijau Tithonia diversifolia Hemsl dengan dosis yang disesuaikan dengan hasil panen Centrosema pubescens, dan pupuk kandang ayam dengan dosis 20 ton/ha untuk lahan perlakuan khusus pupuk kandang. Sebagai pengganti pestisida kimia, digunakan Tagetes erecta dan serai (Cymbopogon nardus). Berdasarkan hasil penelitian Kusheryani dan Aziz (2005), penggunaan Tagetes erecta dan serai dapat menurunkan intensitas serangan hama (OPT) dan intensitas kejadian penyakit pada tanaman kedelai.

28 17 Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi (Split plot design) dengan enam ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu pupuk organik sebagai petak utama dan varietas sebagai anak petak. Petak utama dibagi menjadi tiga jenis perlakuan pupuk organik yaitu pupuk kandang ayam dosis 20 ton/ha, setengah dosis pupuk kandang ayam (10 ton/ha) dengan penambahan biomass Centrosema pubescens dari dosis 25 kg benih/ha, dan setengah dosis pupuk kandang ayam (10 ton/ha) dengan penambahan Tithonia diversifolia yang disesuaikan dengan dosis Centrosema pubescens. Centrosema pubescens yang diperoleh sebanyak 3.5 ton biomass/ha. Anak petak berupa dua varietas kedelai yaitu Anjasmoro dan Wilis, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Untuk pembahasan selanjutnya, perlakuan pupuk kandang dengan penambahan Tithonia diversifolia hanya diistilahkan sebagai perlakuan Tithonia diversifolia, begitu pula perlakuan pupuk kandang dengan penambahan Centrosema pubescens hanya diistilahkan sebagai perlakuan Centrosema pubescens. Model aditif linier yang digunakan adalah: Y ijk Y ijk = µ + B i + P j + α ij + V k + (PV) jk + ε ijk ; dimana: = Pengamatan blok ke-i, perlakuan pupuk ke-j, dan varietas ke-k. µ = Rataan umum B i = Pengaruh blok ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6) P j = Pengaruh perlakuan pupuk ke-j (j = 1, 2, 3) α i j = Galat pada blok ke-i, perlakuan pupuk ke-j V k = Pengaruh perlakuan varietas ke-k (k = 1, 2) (PV) jk = Interaksi antara pupuk dan varietas, pada pupuk ke-j dan varietas ke-k ε ijk = Galat pada blok ke-i, perlakuan pupuk ke-j, dan varietas ke-k Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan apabila hasilnya berbeda nyata pada taraf kesalahan 1, 5, atau 10% maka diteruskan dengan melakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test).

29 18 Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Tempat Tumbuh Pengolahan lahan dilakukan dengan metode dua kali olah tanah yaitu pembalikan dan perataan tanah. Pengolahan tanah pertama untuk semua petakan sedangkan pengolahan kedua hanya untuk petak tanam Centrosema pubescens. Total lahan penanaman kedelai yaitu 425 m 2 dengan setiap anak petak berukuran 2 m x 4 m. 2. Penanaman a. Perlakuan dengan Centrosema pubescens Enam belas (16) minggu sebelum penanaman kedelai, 12 anak petak diberi 10 ton pupuk kandang ayam dan 2 ton dolomit/ha untuk mendukung pertumbuhan Centrosema pubescens. Selanjutnya dua minggu setelah pemupukan, ditanam 25 kg benih Centrosema pubescens/ha pada alur tanam benih kedelai. Setelah 10 minggu, Centrosema pubescens dipanen berikut akarnya, ditimbang, dipotongpotong, kemudian didekomposisikan dengan cara dimasukkan kembali ke dalam alur dengan penambahan 5 ton pupuk kandang ayam/ha dan 2 ton arang sekam/ha. b. Perlakuan dengan Tithonia diversifolia Penanaman Tithonia diversifolia tidak dilakukan karena tanaman tersebut sudah cukup tersedia di sekitar lahan. Dekomposisi Tithonia diversifolia dilakukan 4 minggu sebelum penanaman kedelai. Dekomposisi dilakukan dengan cara membenamkan potongan segar pada alur tanam benih kedelai. Pada saat dekomposisi, dilakukan pemberian 10 ton pupuk kandang ayam, 2 ton dolomit, dan 2 ton arang sekam/ha. c. Perlakuan dengan pupuk kandang Dua minggu sebelum tanam kedelai, petakan khusus pupuk kandang dipupuk dengan 20 ton pupuk kandang ayam/ha. Bersamaan dengan kegiatan dekomposisi, dilakukan pemberian dolomit dan arang sekam dengan dosis masing-masing 2 ton/ha.

30 19 d. Penanaman Tagetes erecta dan serai Tagetes erecta dan serai ditanam berselang-seling mengelilingi petakan pada masing-masing ulangan. Satu baris Tagetes erecta ditanam di bagian tengah petakan (arah barat-timur) dengan lebar 40 cm untuk memisahkan setiap petak utama menjadi dua anak petak. Penanaman Tagetes erecta dan serai dilakukan satu minggu sebelum benih kedelai ditanam. e. Penanaman kedelai Setelah proses dekomposisi selesai, benih kedelai ditanam di semua petakan dengan jarak tanam 40 cm x 10 cm, 1 benih/lubang, dengan kedalaman tanam 3-5 cm. Sebelum benih kedelai ditanam, terlebih dahulu dilakukan seed treatment dengan pemberian inokulan rhizoplus dengan dosis 5 g/kg benih. 3. Pemeliharaan Penyiangan gulma dan penyiraman dilakukan secara manual sesuai kebutuhan. Pemangkasan tanaman Tagetes erecta dan serai dilakukan untuk mencegah pengaruh naungan terhadap tanaman kedelai, mempertahankan bagian vegetatif, dan menstimulasi pengeluaran bau yang dapat mengurangi serangan organisme pengganggu tanaman. Pengendalian hama dilakukan dengan penyemprotan pestisida nabati dari ekstrak daun mimba sesuai dengan kejadian serangan hama di lahan. Menurut Irwan (2006), penyiangan gulma hendaknya dilakukan pada HST dan setelah tanaman berbunga (40 HST). Penyiraman dilakukan pada pagi atau sore hari. Tanaman kedelai memerlukan air saat perkecambahan (0-5 HST), stadium awal vegetatif (15-20 HST), serta masa pembungaan dan pembentukan biji (35-65 HST). 4. Panen Panen kedelai dilakukan pada saat tanaman sudah memenuhi kriteria masak panen antara lain: sebagian besar daun sudah menguning dan gugur, polong dan batang berubah warna menjadi kuning kecoklatan, dan pengisian polong sudah maksimal (stadia generatif R8).

31 20 pada Tabel 2. Pengamatan Kondisi tanah dan karakter agronomi tanaman yang diamati dapat dilihat Tabel 2. Pengamatan Kondisi Tanah dan Karakter Agronomi Kedelai No Karakter agronomi Satuan Waktu pengamatan Cara 1 Analisis tanah awal tergantung unsur 2 Bobot basah pupuk Kg hijau (Centrosema pubescens) 3 Kadar air tajuk pupuk hijau 4 Analisis hara pupuk hijau ( C.pubescens dan T. diversifolia) 5 Analisis tanah sebelum tanam kedelai 6 Analisis hara pupuk kandang 7 Kondisi umum tanaman 8 Jenis hama dan penyakit serta intensitas serangannya A. Fase Vegetatif Sebelum penanaman pupuk hijau Analisis satu sampel tanah secara komposit. 10 minggu setelah tanam Menimbang bobot basah Centrosema pubescens tajuk pupuk hijau setelah panen. % Setelah panen Menimbang bobot basah Centrosema pubescens sampel pupuk hijau, kemudian di-oven pada suhu 60 0 C selama 3x24 jam, lalu ditimbang bobot kering bahan dan dihitung kadar airnya. % Sebelum aplikasi pupuk Menganalisis hara ma kro (N, hijau. P, K), hara mikro, dan nisbah C/N sampel tajuk pupuk hijau di laboratorium. % 0 MST Analisis tiga sampel tanah sesuai jenis perlakuan pupuk secara komposit dari enam ulangan. % Sebelum aplikasi pupuk kandang Setiap minggu Menganalisis hara makro dan mikro pupuk kandang di laboratorium. Mengamati kondisi tanaman, lingkungan, dan serangan hama dan penyakit. % 7-10 MST Dihitung jumlah tanaman yang terserang hama dan penyakit pada setiap anak petak kemudian dihitung persentase kejadiannya dengan menggunakan rumus intensitas serangan hama dan kejadian penyakit. 9 Tinggi tanaman cm Setiap 2 minggu Mengukur tinggi pada 10 tanaman contoh dari pangkal batang hingga titik tumbuh tanaman. 10 Jumlah daun tri, tetra, dan pentafoliate 11 Analisis kadar NPK daun 7 MST Menghitung daun tri, tetra, dan pentafoliate pada 10 tanaman contoh. % 7 MST Tiga sampel per kombinasi perlakuan, komposit setiap 2 ulangan.

32 21 No Karakter Agronomi Satuan Waktu Cara 12 Bobot basah tajuk/akar 13 Bobot kering bintil akar aktif B. Fase Generatif g 7 MST Menimbang bobot akar dan tajuk dari empat tanaman pinggir per anak petak pada 7 MST. Akar dan batang dioven pada suhu C selama 1x24 jam, sedangkan daun di-oven pada suhu 60 0 C selama 3x24 jam. g 7 MST Menimbang bobot kering bintil akar dari empat tanaman pinggir per anak petak setelah dilakukan pengeringan pada suhu 60 0 C selama 3x24 jam. 14 Umur berbunga hari Saat 75% tanaman berbunga 15 Umur panen hari Daun, batang, dan polong menguning serta pengisian polong sudah maksimal (stadia generatif R8) 16 Jumlah tanaman Panen saat panen Visual Visual Menghitung jumlah tanaman petak bersih pada masingmasing anak petak untuk memperkirakan produktivitas tanaman pada setiap kombinasi perlakuan. 17 Tinggi tanaman cm Panen Mengukur tinggi 10 tanaman contoh dari pangkal batang hingga titik tumbuh tanaman. 18 Jumlah cabang produktif 19 Jumlah polong isi dan polong hampa per tanaman 20 Bobot basah dan bobot kering tajuk/akar 21 Bobot kering biji dan kulit polong Panen Menghitung jumlah cabang yang menghasilkan polong pada 10 tanaman contoh per anak petak g Panen Menghitung jumlah polong isi dan hampa pada 10 tanaman contoh per anak petak. g Panen Menimbang bobot basah tajuk dan akar pada 10 tanaman contoh per anak petak kemudian dikering anginkan di bangunan pengeringan selama 3x24 jam kemudian ditimbang bobot kering akar dan tajuk. g Panen Menimbang bobot kering biji dan kulit polong 10 tanaman contoh per anak petak setelah dikeringkan manual di bangunan pengeringan selama 3x24 jam.

33 22 No Karakter Agronomi Satuan Waktu Cara 22 Bobot kering 100 butir biji 23 Bobot kering biji petak bersih dan petak pinggir g Panen Menimbang bobot kering 100 butir b iji pada masingmasing kombinasi perlakuan. Pengeringan dilakukan secara manual di bangunan pengeringan selama 3x24 jam. g/m 2 Panen Menimbang bobot kering biji petak bersih dan petak pinggir pada setiap anak petak. 24 Kadar air biji % Panen Tiga sampel per kombinasi perlakuan, komposit setiap dua ulangan. 25 Analisis kadar NPK biji dan kulit polong 26 Analisis tanah setelah panen % Panen Dua sampel per kombinasi perlakuan, komposit setiap 3 ulangan untuk setiap bahan. Setelah panen 18 sampel (komposit dari 2 ulangan, 6 perlakuan) Pengamatan intensitas hama dan penyakit dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: IP= Keterangan: IP = Intensitas serangan hama atau kejadian penyakit. n = Jumlah tanaman dengan skor serangan ke-i. vi = Skor tanaman 0, 1, 2, 3, 4. V = Skor serangan tertinggi. N = Jumlah sampel tanaman yang diamati. Skor intensitas serangan hama dan kejadian penyakit dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Intensitas Serangan Hama dan Kejadian Penyakit Skor Keterangan 0 Bagian tanaman yang terserang 0-5% 1 Bagian tanaman yang terserang 6-15% 2 Bagian tanaman yang terserang 16-30% 3 Bagian tanaman yang terserang 31-50% 4 Bagian tanaman yang terserang >50%

34 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan hasil analisis tanah awal, tanah bereaksi agak masam dengan ph sebesar Kandungan C-organik sangat rendah (bernilai kurang dari 1%) dan ketersediaan unsur N dan P tergolong rendah yaitu 0.10% dan 3.30 ppm. Unsur makro K, Ca, Mg, Na, dan kapasitas tukar kation tergolong sedang berturut-turut 0.38, 2.31, 1.87, 0.41, dan me/100g. Di sisi lain, tingkat kejenuhan basa tergolong rendah yaitu 26.91% dan tekstur tanah termasuk liat dengan perbandingan pasir, debu, dan liat berturut-turut 6.48, 32.37, dan 61.15%. Ketersediaan unsur Al dan unsur mikro Fe dan Mn sangat tinggi bahkan bersifat racun, sedangkan unsur logam berat Cu dan Zn tergolong sangat rendah yaitu 1.16 dan 3.08 ppm. Rendahnya kandungan hara makro dan mikro diduga karena lahan penelitian merupakan bukaan baru dan belum pernah digunakan untuk budidaya tanaman, sehingga sebelumnya tidak ada tambahan unsur hara dari luar sistem. Berdasarkan hasil penelitian Nursyamsi dan Suprihati (2005), jenis tanah di areal penelitian (Kecamatan Dramaga, Bogor) merupakan jenis tanah Latosolinceptisol. Tipe tanah inceptisol memiliki kriteria: tanah agak masam, kandungan N-organik, C-organik, P total, K, Ca, dan Mg tergolong rendah namun kandungan Al dan Fe tergolong tinggi. Sifat kimia dan mineralogi tanah termasuk baik karena masih mengandung mineral mudah lapuk sehingga potensi kesuburannya masih relatif tinggi. Setelah dilakukan pemberian kapur dan pupuk organik, terjadi peningkatan status hara makro, kemasaman tanah, dan tingkat kejenuhan basa. Sedangkan kandungan hara mikro Fe dan Mn serta logam berat Cu dan Zn mengalami penurunan Hasil analisis tanah sebelum dan setelah pemupukan disajikan pada Lampiran 2. Penggunaan arang sekam berperan sebagai pembenah tanah dan penyumbang unsur hara apabila terdekomposisi dengan baik. Setelah dilakukan analisis hara, arang sekam yang digunakan memiliki nisbah C/N tinggi yaitu 59%, kandungan unsur makro dan mikro antara lain N, P, K, Ca, dan Mg masing- 23

35 24 masing 0.58, 0.13, 0.35, dan 0.93%, sedangkan kandungan logam berat Cu dan Zn sebesar 2.0 dan 37 ppm. Hasil analisis kandungan hara arang dan abu sekam (sebagai pembanding) disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis pupuk organik, masing-masing pupuk memiliki keunggulan dalam unsur hara tertentu. Kandungan N tertinggi terdapat pada pupuk Centrosema pubescens yaitu 3.49%, kandungan P tertinggi pada pupuk kandang yaitu 0.68%, dan kandungan K tertinggi pada Tithonia diversifolia yaitu 5.75%. Kandungan unsur N kedua pupuk hijau lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang. Tithonia diversifolia dapat menyumbangkan unsur N (sesuai dengan pernyataan Hartatik, 2007) dan K (sesuai dengan pernyataan Hartatik, 2007 dan Olabode et al., 2007). Sumbangan unsur P Tithonia diversifolia lebih rendah dibandingkan dengan pupuk kandang ayam sesuai dengan Olabode et al. (2007). Tabel 4. Kandungan Hara Makro dan Mikro Centrosema Pubescens, Pupuk Kandang Ayam, dan Tithonia diversifolia Pupuk Kandungan Hara N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn.... (%) ( ppm ) Centrosema pubescens* Pupuk kandang ayam Tithonia diversifolia *berdasarkan analisis pupuk yang dilakukan oleh Melati et al. (2008) Sumbangan hara N, P, K setiap pupuk organik dapat diketahui dari perkalian antara pupuk organik yang digunakan (ton atau kg) dan kadar unsur dalam pupuk (%) (Tabel 5). Hasil tersebut berupa dugaan karena tidak mempertimbangkan kemungkinan kehilangan hara, kecepatan dekomposisi setiap jenis pupuk, dan perbedaan waktu ketersediaan hara ke dalam tanah. Namun nilai tersebut dapat digunakan sebagai perkiraan sumbangan hara potensial dari masing-masing pupuk organik. Tabel 5. Sumbangan Unsur Hara Pupuk Organik Pupuk organik Sumbangan unsur hara N, P, dan K pupuk organik (kg) N P K 20 ton pupuk kandang ayam ton pupuk kandang ayam ton Centrosema sp ton pupuk kandang ayam ton Tithonia sp

36 25 Penanaman Centrosema pubescens sebanyak 25 kg benih/ha menghasilkan biomassa rata-rata sebanyak 6.30 kg bobot basah/18 m 2 atau sekitar 3.50 ton bobot basah/ha. Hasil tersebut jauh lebih rendah daripada hasil penelitian Melati et al. (2008) yang memperoleh biomassa rata-rata sebanyak 16.5 ton bobot basah Centrosema pubescens/ha. Perbedaan tersebut diduga disebabkan perbedaan waktu tanam dan curah hujan selama penanaman Centrosema pubescens. Pada penelitian ini, kondisi tanah sangat kering karena tidak turun hujan selama penanaman dan pertumbuhan Centrosema pubescens sedangkan pada penelitian Melati et al. (2008) musim hujan sudah masuk saat 4 MST penanaman Centrosema pubescens. Ditinjau dari waktu tanam, penanaman Centrosema pubescens pada penelitian Melati et al. (2008) dilakukan selama 12 minggu, sedangkan penelitian ini selama 10 minggu. Setelah dilakukan analisis kadar air pupuk hijau, diperoleh hasil bahwa kadar air Centrosema pubescens lebih rendah (59.00%) daripada Tithonia diversifolia (62.20%). Berdasarkan perbedaan nilai kadar air tersebut, diharapkan Tithonia diversifolia akan terdekomposisi lebih cepat daripada Centrosema pubescens. Kondisi tanah pada saat penanaman Centrosema pubescens sangat kering, sehingga dilakukan penyiraman secara manual pada awal perkecambahan benih dan awal vegetatif tanaman. Benih mulai berkecambah pada 12 HST dan daun pertama membuka pada 14 HST. Kondisi lahan yang kering diduga menyebabkan tanaman tumbuh lambat dan lebih rentan terhadap serangan hama. Serangan hama mulai muncul pada 28 HST yaitu ulat penggulung daun (Omiodes indicata) dan belalang hijau (Nympahea sp.) dengan kerusakan tanaman mencapai 5%. Centrosema pubescens mulai membentuk bintil akar pada 40 HST dan panen dilakukan pada 70 HST dengan rata-rata penutupan mencapai 80% (Gambar 1). (a) (b) Gambar 1. Kondisi Tanaman Centrosema pubescens pada (a) 21 HST (b) 70 HST

37 26 Setelah waktu dekomposisi biomass Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia selesai selama 30 hari dan pupuk kandang selama 15 hari, terlihat bahwa Tithonia diversifolia dan pupuk kandang memiliki tingkat dekomposisi yang lebih cepat dibandingkan Centrosema pubescens. Hal tersebut terlihat dari residu biomass Centrosema pubescens yang masih tersisa bahkan masih utuh sampai waktu dekomposisi selesai (Gambar 2). Gambar 2. Penampakan Tanah dan Tingkat Dekomposisi Ketiga Jenis Pupuk Sebelum Penanaman Kedelai. Satu hari sebelum penanaman kedelai, dilakukan penggenangan lahan untuk mempermudah penanaman, meningkatkan perkecambahan, dan mengurangi serangan lalat bibit. Penanaman kedelai dilakukan pada bulan kering dengan curah hujan terendah (periode Januari-Juni) sekitar 42.9 mm/bulan, sehingga diperlukan penyiraman manual untuk mendukung perkecambahan. Pada 1 HST, dilakukan penutupan lahan dengan mulsa jerami padi untuk mencegah terjadinya serangan lalat bibit (Ophiomya phaseoli). Data curah hujan ditampilkan pada Lampiran 3. Benih mulai berkecambah pada 10 HST dengan daya berkecambah sebesar 63%. Rendahnya daya berkecambah benih tersebut diduga karena keterbatasan air dan kondisi tanah yang kering sehingga proses imbibisi untuk perkecambahan menjadi terhambat. Selain itu, sebagian besar benih tidak tumbuh karena terserang Aspergillus flavus. Gejala serangan cendawan tersebut dilihat dari permukaan benih yang ditutupi hifa berwarna putih sampai kecoklatan sehingga banyak benih yang mati. Pertumbuhan kedelai cukup baik dan daya berkecambah benih meningkat menjadi 94% setelah dilakukan penyulaman pada 14 HST. Jenis hama yang menyerang tanaman kedelai berubah sejak awal munculnya daun pertama hingga panen. Perubahan jenis hama tersebut ternyata sesuai dengan perkembangan organ tanaman pada fase vegetatif dan generatif yang menjadi sumber makanan hama. Saat 14 HST, terjadi serangan ulat grayak

38 27 (Spodoptera litura), ulat bulu, ulat penggulung daun (Omiodes indicata), dan ulat api (Setora nitens) (Gambar 3). (a) (b) (c) Gambar 3. Hama Tanaman Kedelai pada 14 HST: (a) Ulat Grayak, (b) Ulat Bulu, (c) Ulat Api Serangan keempat jenis hama tersebut semakin berkurang hingga 28 HST, kemudian digantikan dengan jenis hama lain yaitu lalat pucuk (Melanagromiza dolicostigma), lalat batang (Melanagromiza sojae), dan beberapa jenis belalang antara lain Valanga sp. dan Nympahea sp. Kedua jenis lalat tersebut menyerang tanaman hanya sampai akhir fase pembungaan dan fase awal pembentukan polong pada 49 HST, sedangkan serangan belalang masih berlanjut hingga panen pada 13 MST, namun hama yang ditemukan semakin berkurang. Kerusakan yang disebabkan oleh kedua jenis lalat tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. (a) (b) (b) Gambar 4. Gejala dan Kerusakan Tanaman yang Disebabkan oleh (a) Lalat Pucuk (b) Lalat Batang Pada saat pembentukan polong, pengisian polong, hingga satu minggu sebelum panen (7-12 MST), jenis hama dominan yang menyerang antara lain belalang hijau (Nympahea sp), kepik polong (Riptortus linearis), dan kepik tungkai besar (Anoplocnemis phasina) (Gambar 5). Saat memasuki panen, terjadi serangan rayap (Macrotermes gilvus) yang mengakibatkan hampir seluruh

39 28 tanaman kedelai dan tagetes rebah karena pangkal batang terpisah dengan akarnya (Gambar 6). (a) (b) (c) Gambar 5. Hama tanaman Kedelai pada 7-12 MST (a) Belalang Hijau (b) Kepik Polong (c) Kepik Tungkai Besar (a) (b) Gambar 6. Kerusakan Akibat Serangan Rayap pada Pangkal Batang (a) Kedelai (b) Tagetes erecta Secara umum, jenis penyakit yang menyerang adalah penyakit karat dan virus mozaik kedelai (SMV), namun intensitas kejadian penyakit tidak setinggi intensitas serangan hama. Penyakit karat ditemukan dominan pada penelitian budidaya kedelai organik yang dilakukan oleh Kusheryani dan Aziz (2006). Sejalan dengan hal tersebut, Adisarwanto (2008) menambahkan bahwa penurunan hasil oleh serangan karat daun berkisar antara 30-60% yang diikuti oleh penurunan kualitas biji. Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai dapat dilihat pada Tabel 6.

40 29 Tabel 6. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Perlakuan Pupuk dan Varietas Peubah Umur (MST) Pupuk (P) Varietas (V) P*V KK (%) Tinggi tanaman 3 tn *** tn tn *** tn * *** tn * *** tn * *** tn 9.13 Jumlah daun trifoliet 3 tn tn tn tn tn tn tn *** tn tn *** tn Jumlah daun tetrafoliet 7 * tn tn Jumlah daun pentafoliet 7 tn tn tn Jumlah cabang 3 tn *** tn (x 5 tn *** tn (x 7 tn *** tn tn *** tn Bobot basah tajuk 7 tn tn tn Bobot basah akar 7 tn tn tn Bobot kering tajuk 7 tn tn tn Bobot kering daun 7 tn * tn Bobot kering akar 7 tn tn tn Bobot kering bintil Jumlah cabang produktif 7 13 tn tn ** ** tn tn Jumlah tanaman (panen) 13 tn *** ** Intensitas serangan hama 6 tn *** *** Intensitas kejadian penyakit 6 ** tn tn Jumlah polong bernas 13 tn *** tn Jumlah polong hampa 13 tn tn tn (x Bobot kering tajuk 13 tn tn tn Bobot kering kulit polong 13 tn tn tn Bobot kering biji 13 tn tn tn Bobot kering akar 13 tn tn tn Bobot 100 butir biji 13 tn *** * 5.44 Kadar air biji 13 * tn tn 5.81 Bobot kering biji petak bersih (5.12 m 2 ) 13 *** *** tn Bobot kering biji petak pinggir 13 ** *** tn Produktivitas (ton/ha) 13 *** *** tn Kadar N daun (%) 7 tn ** tn 6.98 Kadar P daun (%) 7 ** tn *** 3.90 Kadar K daun (%) 7 *** * ** Serapan N daun (mg/tanaman) 7 tn *** * 9.51 Serapan P daun (mg/tanaman) 7 tn ** tn 8.50 Serapan K daun (mg/tanaman) 7 tn ** * Keterangan: (tn) Tidak berbeda nyata; (*) Berbeda nyata pada taraf 10%; (**) Berbeda nyata pada taraf 5%; (***) Berbeda nyata pada taraf 1%; x) Hasil transformasi (x + 0.5) Hasil A. Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Pertumbuhan Kedelai Penggunaan pupuk kandang, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia berpengaruh nyata pada tinggi tanaman 7, 10, dan 13 MST, jumlah

41 30 daun tetrafoliet, serta intensitas kejadian penyakit pada 6 MST. Namun, perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun trifoliet, jumlah cabang, jumlah daun pentafoliet, bobot basah dan bobot kering tajuk, bobot basah dan bobot kering akar, bobot kering bintil, bobot kering daun, dan intensitas serangan hama. Pemberian Tithonia diversifolia mampu meningkatkan tinggi tanaman ratarata dan 7.99% lebih tinggi dibandingkan perlakuan pupuk kandang dan Centrosema pubescens. Di sisi lain, perlakuan pupuk kandang mampu meningkatkan jumlah daun tetrafoliet lebih tinggi rata-rata dan 24.44% dibandingkan perlakuan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia, namun intensitas kejadian penyakit pada perlakuan yang sama lebih tinggi % dibandingkan dua perlakuan lainnya (Tabel 7). Tabel 7. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Organik Umur (MST) Pupuk Centrosema Ratarata Peubah Uji F Kandang Tithonia Ayam Tinggi tanaman (cm) 3 tn tn * 55.30b 58.17ab 62.77a * 60.05b 62.04ab 67.27a * 60.78b 62.03ab 66.78a Jumlah daun trifoliet 3 tn tn tn tn Jumlah daun tetrafoliet 7 * 1.7a 1.3b 1.4ab 1.4 Jumlah daun pentafoliet 7 tn Jumlah cabang 3 tn tn tn tn Jumlah cabang produktif 13 tn Jumlah tanaman panen 13 tn Bobot basah tajuk (g) 7 tn Bobot basah akar (g) 7 tn Bobot kering tajuk (g) 7 tn Bobot kering daun (g) 7 tn Bobot kering akar (g) 7 tn Bobot kering bintil (g) 7 tn Intensitas serangan 6 tn hama (%) Intensitas kejadian penyakit (%) 6 ** 10.72a 5.32b 5.08b 7.04 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada α = 10% (*) atau 5% (**)

42 31 B. Pengaruh Varietas terhadap Komponen Pertumbuhan Kedelai Varietas Anjasmoro dan Wilis mempunyai karakter pertumbuhan yang berbeda. Varietas Anjasmoro menghasilkan tinggi tanaman, jumlah tanaman saat panen, dan bobot kering daun yang lebih tinggi masing-masing sebesar 9.60, 32.46, dan 17.20% daripada varietas Wilis. Di sisi lain, jumlah daun, jumlah cabang, bobot kering bintil akar, dan intensitas serangan hama varietas Wilis lebih tinggi 50.60, , 27.88, dan 16.38% daripada Anjasmoro. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa varietas Wilis lebih rentan terhadap serangan hama (Tabel 8). Tabel 8. Komponen Pertumbuhan pada Perlakuan Dua Varietas Kedelai Peubah Umur Varietas Uji F (MST) Anjasmoro Wilis Rata-rata Tinggi tanaman (cm) 3 *** 20.83a 14.81b *** 43.00a 31.30b *** 64.50a 52.99b *** 69.07a 57.16b *** 66.09a 60.30b Jumlah daun trifoliet 3 tn tn *** 16.9b 25.5a *** 20.0b 27.3a 23.6 Jumlah daun tetrafoliet 7 tn Jumlah daun pentafoliet 7 tn Jumlah cabang 3 *** 0.2b 0.9a *** 0.3b 1.5a *** 2.3b 3.6a *** 3.7b 4.7a 4.2 Jumlah cabang produktif 13 ** 3.7b 4.5a 4.1 Jumlah tanaman panen 13 *** 97.9a 73.9b 85.9 Bobot basah tajuk (g) 7 tn Bobot basah akar (g) 7 tn Bobot kering tajuk (g) 7 tn Bobot kering daun (g) 7 * 17.98a 15.34b Bobot kering akar (g) 7 tn Bobot kering bintil (g) 7 ** 1.04b 1.33a 1.19 Intensitas serangan hama (%) 6 *** 13.92b 16.20a Intensitas kejadian penyakit (%) 6 tn Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada α = 10% (*), 5% (**) atau 1% (***).

43 32 C. Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Produksi Kedelai Aplikasi Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens menghasilkan produktivitas kedelai kering yang lebih tinggi berturut-turut 1.48 dan 1.33 ton/ha daripada yang mendapat pupuk kandang yaitu 1.16 ton/ha. Tingginya produktivitas kedelai yang dihasilkan pada pemupukan Tithonia diversifolia sejalan dengan tingginya komponen produksi lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari bobot kering biji petak bersih yang lebih tinggi dan 27.01% dibandingkan perlakuan Centrosema pubescens dan perlakuan pupuk kandang. Begitu pula bobot kering biji petak pinggir Tithonia diversifolia lebih tinggi dan 37.35% dibandingkan perlakuan Centrosema pubescens dan perlakuan pupuk kandang. Di sisi lain, kadar air biji pada perlakuan Tithonia diversifolia (8.66%) lebih tinggi daripada perlakuan pupuk kandang (8.27%) namun lebih rendah daripada perlakuan Centrosema pubescens (9.00%), namun ketiga nilai kadar air biji tersebut masih berada dalam batas standar kadar air biji untuk benih kedelai menurut Sadjad et al. (1974) yaitu 8-9% (Tabel 9). Tabel 9. Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis Pupuk Pupuk Peubah Uji F Kandang Rata-rata Centrosema Tithonia Ayam Jumlah polong bernas tn Jumlah polong hampa tn Bobot kering tajuk (g) tn Bobot kering kulit polong (g) tn Bobot kering biji (g) tn Bobot kering akar (g) tn Bobot 100 butir biji (g) tn Kadar air biji (%) * 8.27b 9.00a 8.66a 8.64 Bobot kering biji petak bersih (g/5.12 m 2 ) *** b a a Bobot kering biji petak pinggir (g) ** b b a Produktivitas (ton/ha) *** 1.16b 1.33a 1.48a 1.32 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada α = 10% (*), 5% (**), atau 1% (***). D. Pengaruh Varietas terhadap Komponen Produksi Kedelai Varietas Anjasmoro menghasilkan nilai lebih tinggi pada hampir semua komponen produksi yaitu bobot kering biji petak bersih, bobot kering biji petak pinggir, dan bobot 100 butir biji masing-masing sebesar 46.22, 51.28, dan 51.68%

44 33 Tingginya komponen produksi tersebut menyebabkan produktivitas varietas Anjasmoro lebih tinggi 46.73% daripada varietas Wilis (Tabel 10). Tabel 10. Komponen Produksi pada Perlakuan Dua Varietas Kedelai Peubah Varietas Uji F Anjasmoro Wilis Rata-rata Jumlah polong bernas *** 68.8b 90.6a 79.7 Jumlah polong hampa tn Bobot kering tajuk (g) tn Bobot kering kulit polong (g) tn Bobot kering biji (g) tn Bobot kering akar (g) tn Bobot 100 butir biji (g) *** 16.67a 10.99b Kadar air biji (%) tn Bobot kering biji petak bersih (g/5.12 m 2 ) *** a b Bobot kering biji petak pinggir (g) *** a b Produktivitas (ton/ha) *** 1.57a 1.07b 1.32 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada α =1% (***). E. Interaksi Jenis Pupuk Organik dan Varietas Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 6, interaksi pupuk organik dan varietas kedelai berpengaruh nyata pada peubah jumlah tanaman saat panen, bobot 100 butir biji, dan intensitas serangan hama. Selain itu, dilakukan analisis interaksi terhadap beberapa komponen pertumbuhan dan produksi lainnya (Tabel 11) dengan tujuan untuk melihat pola dan respon terbaik yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan tersebut terutama terhadap komponen produksi yang mempengaruhi produktivitas kedelai. Kombinasi perlakuan pupuk Tithonia diversifolia dan varietas Anjasmoro menghasilkan jumlah tanaman saat panen yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi perlakuan yang lain. Jumlah tanaman saat panen pada kombinasi perlakuan Tithonia diversifolia dan Anjasmoro lebih tinggi 43.95% dibandingkan varietas Wilis pada perlakuan pupuk yang sama. Perbedaan jumlah tanaman saat panen mengindikasikan berbedanya daya adaptasi varietas terhadap kondisi lingkungan yang relatif sama. Apabila daya adaptasi tanaman lebih tinggi maka pertumbuhan tanaman akan lebih baik dan produksinya akan lebih optimal. Bobot 100 butir biji tertinggi dihasilkan pada kombinasi perlakuan pupuk Tithonia diversifolia dan Anjasmoro dengan nilai g/100 butir. Bobot biji

45 34 terendah dihasilkan pada kombinasi perlakuan pupuk kandang dan varietas Wilis yaitu g/100 butir. Berdasarkan data interaksi (Tabel 11), terlihat bahwa perlakuan pupuk kandang menghasilkan bobot 100 butir biji lebih rendah daripada perlakuan pupuk hijau baik pada varietas Anjasmoro ataupun Wilis. Tabel 11. Pengaruh Interaksi Perlakuan Pupuk dan Varietas pada Beberapa Komponen Produksi serta Intensitas Serangan Hama dan Kejadian Penyakit Kedelai Varietas Pupuk Kandang ayam Centrosema Tithonia Rata-rata varietas Jumlah tanaman saat panen** Anjasmoro 82.7a 105.7a 105.6a 98.0a Wilis 81.3b 67.2b 73.3b 73.9b Rata-rata jumlah tanaman Jumlah polong bernas Anjasmoro b Wilis a Rata-rata jumlah polong bernas Bobot Kulit Polong (g) Anjasmoro Wilis Rata-rata bobot kulit polong Bobot biji petak bersih (g/5.12m 2 ) Anjasmoro a Wilis b Rata-rata bobot biji petak bersih b a a Bobot 100 butir biji (g)*** Anjasmoro 16.30a 17.12a 16.60a 16.67a Wilis 11.12b 10.60b 11.27b 11.00b Rata-rata bobot 100 butir Bobot kering biji/ tanaman (g) Anjasmoro Wilis Rata-rata bobot kering biji Produktivitas (ton/ha) Anjasmoro a Wilis b Rata-rata produksi (ton/ha) 1.16b 1.33a 1.48a Intensitas serangan hama (%)* Anjasmoro 15.99ab 15.88b 9.89b 13.92b Wilis 17.09a 16.02a 15.49b 16.20a Rata-rata int. serangan hama (%) Intensitas kejadian penyakit (%) Anjasmoro Wilis Rata-rata int. kejadian penyakit (%) 10.72a 5.32b 5.06b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 10% (*), 5% (**) atau 1% (***).

46 35 Selain dilakukan analisis interaksi terhadap komponen pertumbuhan dan produksi kedelai, dilakukan pula analisis kadar dan serapan hara daun kedelai pada setiap perlakuan jenis pupuk organik (Tabel 12) dan analisis kualitatif kandungan senyawa bioaktif pupuk hijau (Tabel 13). Analisis kadar hara NPK daun mengindikasikan rata-rata kandungan hara N, P, dan K (%) dalam daun pada setiap kombinasi pupuk organik dan varietas kedelai. Analisis serapan hara daun mengindikasikan jumlah unsur hara yang diserap tanaman (mg/tanaman) sebagai hasil perkalian antara persentase kadar hara daun dengan bobot kering daun pada masing-masing kombinasi pupuk organik dan varietas kedelai. Sedangkan analisis kualitatif senyawa bioaktif menunjukkan ada atau tidaknya senyawa bioaktif tertentu yang dikandung tanaman yang diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Tabel 12. Pengaruh Interaksi Pupuk dan Varietas Terhadap Kadar dan Serapan Hara N, P, K Daun Varietas Pupuk Kandang ayam Centrosema Tithonia Rata-rata Varietas A. Kadar hara daun N (% ) Anjasmoro a Wilis b Rata-rata kadar N P (% )*** Anjasmoro 0.38a 0.37ab 0.37ab 0.37 Wilis 0.37ab 0.37ab 0.37ab 0.37 Rata-rata kadar P 0.38a 0.37b 0.37b K (% )** Anjasmoro 1.70bc 2.19a 2.05ab 1.98a Wilis 1.41c 1.81abc 2.01ab 1.74b Rata-rata kadar K 1.55b 2.00a 2.03a B. Serapan hara tanaman N (mg/tanaman)* Anjasmoro 55.60ab 60.63ab 71.35a 62.53a Wilis 50.74b 45.71b 48.71b 48.39b Rata-rata N P (mg/tanaman) Anjasmoro a Wilis b Rata-rata P K (mg/tanaman)* Anjasmoro 26.47ab 40.33a 41.08a 35.96a Wilis 21.35b 29.00ab 29.57ab 26.64b Rata-rata K Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 10% (*), 5% (**), dan 1% (***).

47 36 Berdasarkan hasil analisis kadar dan serapan NPK daun varietas Wilis dan Anjasmoro pada ketiga jenis pupuk menunjukkan nilai yang berbeda (Tabel 12). Secara umum terlihat bahwa kadar N, K dan serapan N, P, K daun varietas Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan Wilis. Antar perlakuan pupuk memperlihatkan bahwa kadar dan serapan P daun lebih tinggi dengan pemberian pupuk kandang ayam, sedangkan kadar dan serapan K lebih tinggi dengan pemberian Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Tabel 13. Hasil Analisis Kualitatif Kandungan Senyawa Bioaktif Pupuk Hijau Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia Sampel pupuk hijau Kandungan senyawa bioaktif Alkaloid Flavonoid Triterpenoid Saponin Tannin Centrosema pubescens Tithonia diversifolia Keterangan: semakin banyak (+), kandungan senyawa bioaktif semakin tinggi, sedangkan tanda (-) menunjukkan tidak terdeteksi adanya kandungan senyawa bioaktif pada bahan. Berdasarkan hasil analisis kualitatif senyawa bioaktif pupuk hijau (Tabel 13), Centrosema pubescens mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, dan tannin. Tithonia diversifolia mengandung alkaloid, flavonoid, dan saponin, sedangkan senyawa triterpenoid tidak ditemukan pada kedua sampel daun pupuk hijau. F. Hubungan Korelasi Antar Peubah Korelasi merupakan suatu teknik statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih yang bersifat kuantitatif. Tabel 14 menunjukkan korelasi antara komponen pertumbuhan dan produksi antara lain tinggi tanaman, jumlah daun tri, tetra, dan pentafoliet, jumlah cabang, jumlah cabang produktif, jumlah tanaman saat panen, dan bobot kering tanaman terhadap komponen produksi meliputi produktivitas, bobot kering biji per tanaman, bobot 100 butir biji, jumlah polong bernas, jumlah polong hampa, dan bobot kering biji petak bersih. Selain itu, terdapat hubungan korelasi antara intensitas serangan hama dan kejadian penyakit terhadap komponen produksi kedelai. Tinggi tanaman berkorelasi positif pada semua komponen produksi kedelai. Jumlah cabang dan jumlah daun berkorelasi positif terhadap bobot kering biji/tanaman serta jumlah polong bernas dan polong hampa per tanaman. Jumlah

48 37 daun tetra dan pentafoliet berkorelasi negatif pada semua komponen produksi kedelai. Ditinjau dari bobot kering bagian tanaman, bobot kering tajuk dan daun berkorelasi positif pada hampir semua komponen produksi kedelai kecuali jumlah polong hampa per tanaman. Bobot kering akar berkorelasi positif pada produktivitas dan bobot kering biji petak bersih, sedangkan bobot kering bintil berkorelasi positif pada hampir semua komponen produksi kecuali jumlah polong hampa per tanaman. Tinggi tanaman saat panen berkorelasi positif pada semua komponen produksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tanaman, maka semakin tinggi bobot kering biji per tanaman, bobot 100 butir biji, jumlah polong bernas per tanaman, jumlah polong hampa per tanaman, bobot kering biji petak bersih, dan produktivitas tanaman. Di sisi lain, tinggi tanaman berkorelasi nyata pada hampir semua komponen produksi kecuali terhadap jumlah polong hampa per tanaman. Jumlah cabang produktif berkorelasi positif pada hampir semua komponen produksi namun berkorelasi negatif terhadap bobot 100 butir biji. Artinya, walaupun semakin banyak cabang produktif, semakin tinggi pula jumlah polong yang dibentuk baik polong hampa ataupun polong bernas, namun semakin rendah bobot 100 butir biji. Hal tersebut diduga karena semakin banyak biji yang di bentuk, maka semakin banyak pula sink biji yang yang memerlukan fotosintat untuk perkembangannya sehingga semakin rendah pula ukuran dan bobot biji. Bobot kering tajuk, bobot kering kulit polong, dan bobot kering akar memiliki korelasi positif pada semua komponen produksi walaupun pada beberapa karakter, terdapat nilai yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi bobot kering tanaman (tajuk, kulit polong, dan akar kecuali bintil dan biji), maka semakin tinggi pula produktivitas tanaman, bobot kering biji, bobot 100 butir biji, jumlah polong, dan bobot biji petak bersih. Intensitas serangan hama berkorelasi terhadap produktivitas, bobot kering biji, dan jumlah polong hampa namun nilainya tidak berbeda nyata. Pada karakter lain, intensitas serangan hama berkorelasi negatif terhadap bobot 100 butir biji dan bobot biji petak bersih. Artinya, semakin tinggi intensitas hama, maka

49 38 semakin rendah bobot 100 butir biji dan semakin rendah pula bobot biji petak bersih. Di sisi lain, intensitas kejadian penyakit berkorelasi negatif terhadap semua komponen produksi tanaman. Berdasarkan tanda nilai korelasi tersebut dapat ditarik pernyataan bahwa semakin tinggi intensitas kejadian penyakit, maka semakin rendah bobot kering biji, bobot 100 butir biji, jumlah polong, bobot biji petak bersih, dan produktivitas tanaman. Tingginya produktivitas tanaman sejalan dengan semakin tingginya komponen produksi yang lain antara lain bobot kering biji, bobot 100 butir biji, jumlah polong, dan bobot biji petak bersih. Semakin tinggi jumlah polong, maka kemungkinan terbentuk polong bernas dan polong hampa semakin tinggi. Namun korelasi positif tersebut tidak berlaku pada pengaruh karakter jumlah polong bernas terhadap bobot 100 butir biji. Semakin tinggi jumlah polong bernas maka semakin banyak biji yang dibentuk sehingga terbatasnya fotosintat menyebabkan ukuran biji dan bobot biji akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya.

50 39 Tabel 14. Hubungan Korelasi Antar Peubah terhadap Komponen Hasil Kedelai Peubah Produktivitas (ton/ha) Bobot kering biji (g/tanaman) Bobot 100 butir biji (g) Jumlah polong bernas/tanaman Jumlah polong hampa/tanaman Bobot biji petak bersih (g/5.12 m 2 ) Vegetatif Tinggi tanaman 0.469*** 0.650*** 0.593*** 0.385** 0.141tn 0.649*** Jumlah cabang/tanaman tn 0.516*** *** 0.779*** 0.322** tn Jumlah daun trifoliet/tanaman tn 0.676*** *** 0.876*** 0.290** tn Jumlah daun tetrafoliet/tanaman tn *** tn *** tn tn Jumlah daun pentafoliet/tanaman tn tn tn tn tn tn Bobot kering tajuk/tanaman (g) 0.242tn 0.258tn 0.228tn 0.130tn tn 0.245tn Bobot kering daun/tanaman (g) 0.289** 0.329** 0.301* 0.152tn tn 0.292* Bobot kering akar/tanaman (g) 0.128tn tn tn tn tn 0.130tn Bobot kering bintil/tanaman (g) 0.285** 0.100tn 0.287* 0.027tn tn 0.285* Generatif dan Saat Panen Tinggi tanaman saat panen (cm) 0.646*** 0.721*** 0.473*** 0.476*** 0.143tn 0.647*** Jumlah cabang produktif 0.004tn 0.508*** tn 0.662*** 0.377** 0.004tn Bobot kering tajuk/tanaman (g) 0.440*** 0.990*** 0.199tn 0.848*** 0.373** 0.441*** Bobot kering kulit polong /tanaman (g) 0.275tn 0.906*** 0.102tn 0.851*** 0.505*** 0.276tn Bobot kering akar/tanaman (g) 0.376** 0.771*** 0.199tn 0.675*** 0.186tn 0.376** Intensitas serangan hama (%) 0.000tn 0.146tn tn 0.290* 0.093tn tn Intensitas kejadian penyakit (%) ** tn tn tn tn ** Produktivitas (ton/ha) 0.476*** 0.747*** 0.092tn 0.099tn 1.000*** Bobot kering biji/tanaman (g) 0.220tn 0.823*** 0.279* 0.477*** Bobot 100 butir biji (g) tn 0.181tn 0.747*** Jumlah polong bernas/tanaman 0.309* 0.093tn Jumlah polong hampa/tanaman 0.099tn Keterangan: tn Tidak berbeda nyata * Berbeda nyata pada taraf 10% ** Berbeda nyata pada taraf 5% *** Berbeda nyata pada taraf 1% 39 39

51 40 Pembahasan A. Pengaruh Pupuk terhadap Komponen Pertumbuhan Kedelai Berdasarkan hasil analisis data (Tabel 6), pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun tetrafoliet, dan intensitas kejadian penyakit. Diantara ketiga pupuk yang digunakan, pemberian Tithonia diversifolia mampu meningkatkan tinggi tanaman paling tinggi rata-rata dan 7.99% dibandingkan perlakuan pupuk kandang dan Centrosema pubescens (Tabel 7). Berdasarkan penelitian Asiah (2005), perlakuan pupuk kandang mampu meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun lebih tinggi karena lebih cepat terdekomposisi dibandingkan pupuk hijau atau kombinasinya. Mengel et al. (1987) menyatakan bahwa semakin cepat bahan organik terdekomposisi, maka semakin cepat pula unsur hara tersedia bagi tanaman. Sebaliknya pada percobaan ini, pemberian pupuk kandang menghasilkan tinggi tanaman terendah. Hal tersebut diduga karena pupuk kandang mempunyai kandungan P yang lebih tinggi dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia sehingga serapan daun pada perlakuan pupuk kandang juga lebih tinggi masing-masing 3.79 dan 3.96% daripada pemberian Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia (Tabel 12). Adam et al. dalam Mengel et al. (1987) menyatakan bahwa kandungan P yang tinggi dapat menyebabkan kahatnya unsur Zn di dalam tanah. Hal serupa dilaporkan oleh Sutanto (2002) bahwa panggunaan bahan organik yang berlebih menyebabkan ketersediaan Zn menurun. Leiwakabessy dan Sutandi (2004) menyatakan bahwa pada tanah yang kekurangan Zn, penyerapan P tidak dapat dikendalikan sehingga pada dosis P yang tinggi akan terjadi keracunan P dengan gejala seperti kekurangan Zn. Defisiensi Zn pada tanaman berhubungan dengan berkurangnya RNA dan ribosom dalam sel. Tanaman yang kekurangan Zn ternyata juga kekurangan zat pengatur tumbuh sehingga pertumbuhan tanaman tertekan dan terjadi pemendekan ruas (internode). Bennett (1994) menyatakan bahwa Zn merupakan salah satu unsur penyusun Auksin yang mendorong pertumbuhan tanaman dan pemanjangan batang. Tingginya serapan P selain disebabkan oleh kandungan P dalam pupuk kandang mungkin juga didukung oleh cara penempatan pupuk. Weltch et al. 40

52 41 dalam Mengel et al. (1987) melaporkan bahwa penempatan pupuk P dengan cara alur mampu meningkatkan serapan P lebih tinggi daripada disebar atau dicampur pada saat pengolahan tanah. Berdasarkan penelitian Tongma et al. (1998), ekstrak daun Tithonia diversifolia yang diaplikasikan sebagai pupuk dapat menghambat perkembangan tajuk dan akar tanaman tetapi tidak menghambat perkecambahan benih. Namun secara umum, efek tersebut semakin berkurang pada 4 MSA dan berbeda pada setiap spesies tanaman. Namun pada penelitian ini, pertumbuhan tajuk tanaman kedelai pada perlakuan pupuk Tithonia diversifolia tumbuh normal terutama dilihat dari tinggi tanaman rata-rata sebesar cm (Tabel 7). Tinggi tanaman tersebut masih sesuai dengan data Balitkabi (2008) yakni tinggi tanaman Wilis dan Anjasmoro masing-masing 50 dan cm. Hal tersebut mengindikasikan bahwa aktivitas alelopatik ekstrak daun Tithonia diversfolia dipengaruhi oleh waktu dekomposisi, aktivitas mikroorganisme, dan daya serap tanah terhadap zat-zat penghambat pertumbuhan. Sejalan dengan efek penghambatan tumbuh pupuk organik terhadap tanaman, Sutanto (2002) melaporkan bahwa kotoran ayam yang digunakan untuk pupuk sering mengandung koksidiostat. Zat tersebut seringkali berperan sebagai penghambat tumbuh tanaman dan herbisida. Apabila pupuk kandang yang mengandung koksidiostat dimanfaatkan untuk pupuk dengan dosis tinggi, maka kemungkinan besar dapat berfungsi sebagai zat alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama pada tahap perkembangan awal tanaman (benih ataupun bibit). Perlakuan pupuk hijau pada percobaan ini mampu menghasilkan nilai karakter pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi daripada perlakuan pupuk kandang. Komponen bobot basah dan bobot kering (tajuk, akar, dan daun) pada perlakuan kedua jenis pupuk hijau lebih tinggi daripada perlakuan pupuk kandang. Tingginya nilai komponen pertumbuhan tersebut diduga karena Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens mengandung unsur N (3.49 dan 3.06%) lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang (1.14%). Sinclair (1994) menyatakan bahwa N sangat diperlukan tanaman kedelai dalam jumlah cukup walaupun secara alami kedelai mampu mensintesis N melalui nodulasi bakteri Rhizobium

53 42 japonicum. Unsur N sangat penting untuk membentuk organ vegetatif yang lebih baik. Defisiensi N mengakibatkan berkurangnya ketegaran tanaman, daun menggulung, tanaman kerdil, bahkan menimbulkan efek pengguguran daun. Perlakuan pupuk kandang mampu meningkatkan jumlah daun tetrafoliet dan 24.44% lebih tinggi dibandingkan perlakuan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Jumlah daun pentafoliet pada tanaman yang mendapat pupuk kandang juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain namun tidak berbeda nyata secara statistik (Tabel 7). Banyaknya jumlah daun tetra dan pentafoliet merupakan indikasi kesuburan tanah yang tinggi terutama serapan P yang lebih tinggi pada pupuk kandang (Tabel 12). Kondisi tersebut diduga karena serapan dan kandungan P yang tinggi tidak mampu disalurkan tanaman ke bagian lain karena keterbatasan fase pertumbuhan tanaman sehingga menginduksi bagian tanaman lain untuk berkembang. Perlakuan pupuk kandang ayam menghasilkan intensitas serangan hama dan kejadian penyakit yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia. Intensitas pada perlakuan pupuk kandang, Centrosema pubescens, dan Tithonia diversifolia masing-masing untuk hama sebesar (16.54, 15.95, dan 12.69%) dan penyakit sebesar (10.72, 5.32, dan 5.08%). Hal tersebut dikarenakan tanaman kedelai pada perlakuan pupuk kandang memiliki kadar dan serapan unsur K yang paling rendah dibandingkan Centrosema dan Tithonia (Tabel 12). Setelah dilakukan analisis kualitatif senyawa bioaktif (alkaloid, flavonoid, triterpenoid, saponin, dan tannin) pada dua jenis pupuk hijau (Tabel 12), diketahui bahwa Centrosema pubescens mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, dan tannin. Tithonia diversifolia diketahui mengandung alkaloid, flavonoid, dan saponin, sedangkan senyawa triterpenoid tidak ditemukan pada kedua sampel daun pupuk hijau (Lampiran 7). Menurut Lenny (2006), senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya memiliki kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya. Namun belum ditemukan adanya informasi mengenai transfer senyawa metabolit sekunder ataupun pengaruhnya

54 43 terhadap ketahanan tanaman apabila tumbuhan tersebut digunakan sebagai pupuk organik. Intensitas serangan hama pada penelitian ini masing-masing untuk perlakuan pupuk kandang dan pupuk hijau sebesar dan 14.32%. Nilai intensitas serangan pada penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian Asiah (2005) masing-masing untuk perlakuan pupuk kandang dan pupuk hijau sebesar 9.17%. Terdapat perlakuan berbeda di antara kedua penelitian yang diduga menyebabkan perbedaan tersebut. Penelitian ini menggunakan arang sekam sedangkan penelitian Asiah (2005) menggunakan abu sekam. Walaupun diaplikasikan dalam dosis yang sama (2 ton/ha), kedua bahan tersebut memiliki sifat, kandungan hara, dan kecepatan dekomposisi yang berbeda. Namun, abu dan arang sekam sama-sama mampu menyuplai unsur hara terutama unsur K bagi tanaman (Lampiran 3). Mengel et al. (1987) menyatakan bahwa unsur K berperan untuk mengatur potensial sel dan aktivitas membran sehingga dapat merangsang perkembangan akar, mengatur serapan hara lain, dan meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit. Lebih lanjut Marschner (1995) menambahkan bahwa unsur K berperan dalam memperkuat jaringan dan organ tanaman sehingga buah tidak mudah rontok dan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Penggunaan abu atau arang sekam dianjurkan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Namun penggunaan abu sekam dinilai lebih baik karena ukurannya lebih kecil sehingga penyediaan hara lebih cepat karena waktu dekomposisi lebih singkat. Hadas et al. (2004) melakukan penelitian terhadap daya dekomposisi dan kandungan hara pada beberapa bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekam padi cukup resisten terhadap dekomposisi karena mengandung selulosa dan lignin yang tinggi. Kandungan Si yang tinggi menyebabkan kerasnya kulit sekam sehingga lebih sulit tertembus air dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk terdekomposisi. Yukamgo dan Yuwono (2007) melaporkan bahwa Si memberikan efek positif bagi pertumbuhan dan produksi tanaman tebu karena selain dapat meningkatkan ketersediaan P, unsur ini berperan untuk meningkatkan ketegakan batang dan menginduksi ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik seperti hama dan penyakit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Si dapat menurunkan

55 44 intensitas kejadian penyakit karat daun. Secara mekanis, deposit Si pada sel epidermis daun dapat menghalangi serangan hifa jamur penyebab karat. Selanjutnya Bollich dan Matichenkov dalam Yukamgo dan Yuwono (2007) menyatakan bahwa Si dihipotesiskan bergabung dengan selulosa daun membentuk membran Si-Selulosa yang dapat melindungi daun dari serangan penyakit. B. Pengaruh Pupuk terhadap Komponen Produksi Kedelai Pemupukan Tithonia diversifolia menghasilkan nilai komponen produksi dan produktivitas kedelai tertinggi dibandingkan perlakuan Centrosema pubescens dan pupuk kandang. Hasil serupa dilaporkan oleh Ganunga et al. (2005) bahwa biomass Tithonia diversifolia yang digunakan sebagai pupuk mampu meningkatkan hasil jagung lebih tinggi dibandingkan pupuk hijau jenis leguminosa (Crotalaria juncea dan Mucuna utilis). Jama et al. (2000) menyatakan bahwa biomass Tithonia diversifolia dapat menyebabkan produksi jagung lebih tinggi karena dapat meningkatkan kandungan P dan K dalam tanah. Kemudian George et al. (2002) menyatakan bahwa pada daerah perakaran Tithonia diversifolia ditemukan asam organik dan polifenol. Kedua eksudat tersebut ditemukan pula pada biomass tanaman dan dilaporkan mampu meningkatkan kelarutan P dengan melepaskan P terikat dalam tanah sekaligus meningkatkan mineralisasi P sehingga kandungan P terlarut akan semakin tinggi. Phiri et al. (2003) melaporkan bahwa Tithonia diversifolia telah lama digunakan sebagai pupuk organik yang mampu meningkatkan unsur P pada tanah-tanah kahat P di Columbia. Menurut Sinclair (1994), kecukupan unsur P dalam tanah sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi kedelai. Unsur P berperan dalam aktivitas nodulasi dan fiksasi N oleh Rhizobium japonicum. Tersedianya unsur P dalam larutan tanah secara langsung akan meningkatkan ketersediaan unsur N untuk pertumbuhan tanaman. Selanjutnya dijelaskan bahwa konsentrasi N, lignin, dan polifenol dalam Tithonia diversifolia memiliki peran sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman. Hasil penelitian Kayuki dan wortmann (2001) menunjukkan bahwa dekomposisi 4 ton bahan kering Tithonia diversifolia/ha mampu meningkatkan

56 45 produksi jagung dan kacang hijau setara dengan aplikasi setengah dosis pupuk anorganik untuk jagung. Apabila pemupukan dilakukan setiap musim, maka respon tanaman terhadap pupuk organik akan sama seperti respon tanaman terhadap pupuk anorganik. C. Pengaruh Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Varietas Anjasmoro dan Wilis memiliki karakter pertumbuhan, karakter produksi, dan morfologi tanaman yang berbeda. Perbedaan karakter pertumbuhan dapat dilihat dari tingkat viabilitas benih yang berbeda. Varietas Anjasmoro menunjukkan daya berkecambah benih yang lebih tinggi dibandingkan Wilis pada pemberian pupuk dan kondisi lingkungan yang relatif sama. Hal tersebut diduga karena ukuran benih varietas Anjasmoro lebih besar sehingga mempunyai cadangan makanan dan energi yang lebih besar untuk berkecambah dan pertumbuhan awal tanaman. Menurut Sadjad et al. (1974), kandungan cadangan makanan akan mempengaruhi berat dan ukuran benih. Benih berukuran besar akan memiliki cadangan makanan yang lebih banyak. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi kecepatan tumbuh dan produksi benih sehingga menghasilkan energi yang lebih besar untuk berkecambah. Selain itu, ukuran benih akan mempengaruhi besarnya kecambah yang keluar dan berat tanaman saat panen. Kecepatan tumbuh kecambah juga akan meningkat dengan meningkatnya ukuran benih. Varietas Anjasmoro menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada hampir semua karakter pertumbuhan yaitu bobot basah dan bobot kering tajuk dan akar serta tinggi tanaman. Tingginya bobot tajuk disebabkan bobot daun dan batang varietas Anjasmoro lebih besar daripada varietas Wilis. Lebih besarnya bobot daun tersebut disebabkan karena ukuran daun yang lebih lebar walaupun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan varietas Wilis. Di sisi lain, lebih tingginya varietas Anjasmoro ternyata tidak diikuti dengan banyaknya jumlah daun dan cabang yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan varietas Anjasmoro memiliki jarak internode yang lebih lebar sehingga lebih sedikit daun dan cabang yang terbentuk (Tabel 8).

57 46 Ukuran dan bentuk tanaman varietas Anjasmoro lebih besar, sehingga varietas Anjasmoro menghasilkan nilai lebih tinggi pada semua pengamatan bobot basah dan bobot kering tanaman (tajuk dan akar). Selain itu, tinggi dan lebar daun varietas Anjasmoro lebih besar sehingga tanaman seringkali rebah karena ketegaran tanaman lebih rendah dan kurang kuat terhadap terpaan angin. Tanaman yang rebah masih tetap tumbuh namun arah pertumbuhan menjadi menjalar. Hal tersebut seringkali menyebabkan produktivitas varietas Anjasmoro lebih rendah dari potensi produksinya karena terganggunya pembentukan bunga dan polong, tanaman lebih rentan terhadap serangan penyakit, dan banyak polong isi bahkan tanaman yang busuk karena seluruh bagian tajuk kontak langsung dengan tanah. Varietas Wilis secara visual memiliki ketegaran yang lebih tinggi karena batang tanaman lebih tegak sehingga tidak ditemukan tanaman yang roboh karena terpaan angin pada awal perkembangan, pembentukan biji, hingga polong siap dipanen. Namun varietas Wilis memiliki kelemahan karena polong lebih mudah pecah apabila terlambat dilakukan pemanenan sehingga mampu menurunkan produksi tanaman. Terdapat perbedaan kulit polong pada saat polong sudah terisi penuh dan siap dilakukan pemanenan. Kulit polong varietas Anjasmoro lebih tebal dan seringkali akan mengerut dan menempel pada biji sehingga lebih mampu menahan pecahnya biji. Hal tersebut sejalan dengan keterangan deskripsi varietas kedelai menurut Balitkabi (2008) bahwa varietas Anjasmoro memiliki keunggulan karena polong tidak mudah pecah pada saat polong sudah masak (Lampiran 5). Sebaliknya, polong varietas Wilis memiliki kulit lebih tipis, lebih liat, dan seringkali tidak menempel pada biji. Tidak menempelnya kulit dan biji menyebabkan ruang udara diantaranya lebih besar sehingga apabila terpanasi, udara akan mengembang dan menekan kulit biji sehingga polong akan lebih mudah pecah. Jumlah tanaman saat panen kedua varietas menujukkan perbedaan yang cukup jauh (Tabel 8). Varietas Anjasmoro menghasilkan jumlah tanaman yang lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan lebih rendahnya intensitas hama dan kejadian penyakit Anjasmoro dibandingkan Wilis. Dari total populasi sebanyak 108 tanaman per petak bersih, jumlah tanaman varietas Anjasmoro lebih banyak

58 47 (97 tanaman) daripada varietas Wilis (73 tanaman). Salah satu penyebab lebih rendahnya populasi varietas Wilis adalah lebih banyaknya tanaman yang terserang rayap sehingga tanaman patah dan polong keriput karena biji belum terisi sempurna pada saat terjadi serangan. Selain tingginya populasi tanaman saat panen, varietas Anjasmoro pun menghasilkan bobot biji lebih tinggi (16.67 g/100 butir) daripada varietas Wilis (10.99 g/100 butir) (Tabel 10). Hal tersebut menyebabkan hasil biji pada petak bersih dan produktivitas varietas Anjasmoro lebih tinggi dan 46.73% daripada varietas Wilis. Nilai produktivitas varietas Anjasmoro dan Wilis sekitar 1.57 dan 1.07 ton/ha. Nilai produktivitas tersebut lebih rendah dari potensi produksi menurut Balitkabi (2008) bahwa produktivitas varietas Anjasmoro dan Wilis sekitar dan 1.60 ton/ha. Tingginya jumlah tanaman saat panen dan bobot biji pada kombinasi perlakuan pupuk Tithonia diversifolia dan Anjasmoro ternyata diikuti oleh rendahnya intensitas serangan hama. Intensitas serangan hama pada perlakuan Tithonia diversifolia yang dikombinasikan dengan Anjasmoro ataupun Wilis menunjukkan nilai intensitas terendah dengan nilai sebesar 9.89 dan 15.69%. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pada perlakuan pupuk yang sama, varietas Wilis lebih rentan terhadap serangan hama. Di sisi lain, serangan hama tertinggi terjadi pada kombinasi perlakuan pupuk kandang dan varietas Wilis dengan persentase serangan sebesar 17.09%. D. Interaksi Pupuk dan Varietas terhadap Komponen Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Berdasarkan data hasil interaksi komponen pertumbuhan dan produksi kedelai (Tabel 11), Anjasmoro yang mendapat Tithonia diversifolia mempunyai daya adaptasi terhadap cekaman lingkungan yang lebih baik dibandingkan kombinasi perlakuan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah tanaman saat panen pada kombinasi perlakuan Tithonia diversifolia dan Anjasmoro lebih tinggi 43.93% daripada Wilis pada perlakuan pupuk yang sama. Di sisi lain, perlakuan Centrosema pubescens dan Anjasmoro menghasilkan jumlah tanaman lebih tinggi sebesar 57.32% daripada Wilis pada perlakuan pupuk yang sama.

59 48 Hasil serupa diperoleh pula pada jumlah tanaman varietas Anjasmoro dengan pupuk kandang lebih tinggi sebesar 1.65% daripada varietas Wilis, namun banyaknya jumlah tanaman pada kedua varietas tersebut tidak berbeda nyata menurut uji statistik. Secara umum, varietas Anjasmoro mampu mempertahankan jumlah tanaman saat panen lebih tinggi dibandingkan varietas Wilis pada semua perlakuan pemupukan. Kombinasi perlakuan Tithonia diversifolia dan Wilis menghasilkan jumlah polong bernas dan bobot kulit polong tertinggi. Kombinasi perlakuan tersebut mampu meningkatkan jumlah polong bernas dan bobot kering kulit polong lebih tinggi masing-masing dan 4.41% dibandingkan varietas Anjasmoro dengan perlakuan pupuk yang sama. Perlakuan Centrosema pubescens tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong bernas dan bobot kulit polong baik pada varietas Wilis maupun Anjasmoro. Di sisi lain, perlakuan pupuk kandang menghasilkan jumlah polong bernas dan bobot kulit polong terendah baik pada varietas Anjasmoro ataupun Wilis. Perlakuan kombinasi pupuk Tithonia diversifolia dan Anjasmoro menghasilkan nilai tertinggi pada hampir seluruh komponen produksi tanaman antara lain bobot biji petak bersih, bobot 100 butir biji, bobot kering biji, dan produktivitas tanaman. Kombinasi pupuk Tithonia diversifolia dan varietas Anjasmoro menghasilkan bobot biji petak bersih lebih tinggi 34.30% daripada Wilis pada perlakuan pupuk yang sama dan lebih tinggi 27.80% dibandingkan Anjasmoro pada perlakuan pupuk kandang. Namun bobot biji petak bersih varietas Anjasmoro tidak berbeda nyata pada perlakuan pupuk Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Secara umum dapat diketahui bahwa Anjasmoro menghasilkan bobot biji petak bersih lebih tinggi rata-rata 47.56% dibandingkan Wilis pada semua perlakuan pupuk. Bobot 100 butir biji masing-masing varietas tidak berbeda nyata terhadap jenis pupuk yang digunakan. Bobot biji rata-rata varietas Anjasmoro dan varietas Wilis per 100 butir masing-masing dan g. Hasil tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan standar bobot biji varietas kedelai yang dikeluarkan oleh Balitkabi (2008) untuk varietas Anjasmoro dan Wilis sebesar dan 10 g.

60 49 Kombinasi pupuk Tithonia diversifolia dan Anjasmoro menghasilkan produktivitas biji kering tertinggi yaitu ton/ha, sedangkan kombinasi perlakuan Centrosema pubescens dan Anjasmoro sebesar ton/ha. Di sisi lain, produktivitas terendah diperoleh pada kombinasi perlakuan pupuk kandang dan Wilis sebesar 1 ton/ha. Secara umum, Wilis menghasilkan produktivitas rata-rata lebih rendah 40.89% dibandingkan varietas Anjasmoro pada perlakuan pupuk yang sama. Tingginya produktivitas biji kering pada kombinasi perlakuan pupuk Tithonia diversifolia dan Anjasmoro ternyata diikuti oleh rendahnya intensitas serangan hama dan kejadian penyakit. Intensitas serangan hama dan kejadian penyakit pada perlakuan Tithonia diversifolia dan varietas Anjasmoro masingmasing 9.89 dan 4.10%, sedangkan intensitas serangan hama dan kejadian penyakit tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan pupuk kandang dan Wilis sebesar dan 10.43%. Intensitas serangan hama dan kejadian penyakit pada kombinasi perlakuan Centrosema pubescens dan Anjasmoro atau Wilis berada diantaranya, sehingga dapat diketahui bahwa intensitas serangan hama dan kejadian penyakit pada perlakuan Centrosema pubescens lebih tinggi dari perlakuan Tithonia diversifolia, namun lebih rendah dari perlakuan pupuk kandang.

61 50 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perlakuan penambahan Tithonia diversifolia memberikan pengaruh terbaik pada komponen pertumbuhan dan produksi kedelai dibandingkan penambahan Centrosema pubescens ataupun perlakuan pupuk kandang secara tunggal. Produktivitas kedelai dengan pada penambahan Tithonia diversifolia, penambahan Centrosema pubescens, dan pupuk kandang berturut-turut 1.48, 1.33, dan 1.16 ton biji kering/ha. Berdasarkan varietas, Anjasmoro memberikan respon lebih baik terhadap budidaya organik daripada Wilis. Produktivitas Anjasmoro dan Wilis masing-masing 1.57 dan 1.07 ton biji kering/ha. Kombinasi perlakuan pupuk dan varietas memberikan pengaruh yang sama terhadap produktivitas kedelai. Interaksi perlakuan penambahan Tithonia diversifolia dan varietas Anjasmoro menghasilkan intensitas serangan hama (9.89%) dan kejadian penyakit (4.10%) paling rendah, meskipun pengaruh interaksi terhadap kejadian penyakit tidak nyata. Saran Tithonia diversifolia dan arang sekam mengandung unsur K yang tinggi, sehingga penggunaan arang sekam mungkin dapat ditiadakan apabila Tithonia diversifolia digunakan sebagai pupuk organik.

62 51 DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T Budi Daya Kedelai Tropika. Penebar Swadaya. Jakarta. 76 hal. Andriyani, W Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Ayam dan Pupuk Hijau Calopogonium mucunoides Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glicine max (L.) Merr) Panen Muda dengan Budidaya Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 46 hal. Asiah, A Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glicine max (L.) Merr) Panen Muda dengan Budidaya Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 41 hal. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Mutu kedelai nasional lebih baik dari kedelai impor. Siaran Pers Badan Pusat Statistik Produksi padi, jagung, dan kedelai (angka sementara tahun 2009 dan angka ramalan I tahun 2010). Berita Resmi Statistik, XIII(18):1-10. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Pupuk Organik dan Pupuk Hayati: Organik Fertilizer and Biofertilizer. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. 283 hal. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Bogor. Barus, L.E Pengaruh Pemberian Pupuk Hijau dan Fosfat Alam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glicine max (L.) Merr) Panen Muda dengan Budidaya Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bennett, W.F., Plant nutrient utilization and diagnostic plant symptoms. P In W.F. Bennett (Ed.). Nutrient Deficiencies & Toxicities in Crop Plant. American Phytopatological Society. Minnesota. Cong, P.T Improving Phosphorus Availability in Selected Soil From Upland Case Study: Tithonia diversifolia. Lemen University. Belgium. Delate, K. and C.A. Cambardella Organik production agroecosystem performance during transition to certified organik grain production. Agron.J. 96:

63 52 FFTC Soil Conservation Handbook. Prepared by the Food and Fertilizer Technology Centre for the Asian and Fasific Region. Taiwan. ROC. Ganunga, R.P., O.A. Yerokun, dan J.D.T. Kumwenda Contribution of Tithonia diversifolia to yield and nutrient uptake of maize in Malawian small-scale agriculture. S. Afr. Tydskr. Plant Grond, 22(4): George, T.S., P.J. Gregory, M. Wood, D. Read, dan R.J. Buresh Phosphatase activity and organic acids in the rhizosphere of potential agroforestry species and maize. Soil Biology and Biochemistry. 34: Hadas, A., L. Kautsky, M. Goek, dan E.E. Kara Rate of decomposition of plant residues and available nitrogen in soil, related to residue composition through simulation of carbon and nitrogen turnover. Soil Biology and biochemistry. 36: Hartatik, W Tithonia diversifolia sebagai pupuk hijau. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29(5):3-5. Hidayat, O.D Morfologi tanaman kedelai. Hal Dalam S. Somaatmadja et al. (Eds.). Kedelai. BPPP, Bogor. Irwan, A.W Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung. 43 hal. Jama, B., C.A. Palm, R.J. Buresh, A. Niang, C. Gachengo, G. Nziguheba, and B. Amadalo Tithonia diversifolia as a green manure for soil fertility improvement in western Kenya. Journal of Agroforestry System 49(2): Kurniasih, W Pengaruh Jenis, Dosis Benih, dan Umur Tanaman Pupuk Hijau Terhadap Produksi Kedelai (Glicine max (L.) Merr) Panen Muda dengan Budidaya Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 46 hal. Kusheryani, I. dan S.A. Azis Pengaruh tanaman penghambat organisme tanaman terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai panen muda (Glicine max (L.) Merr) yang diusahakan secara organik. Bul. Agron. 34(1): Leiwakabessy, F.M., dan A. Sutandi Diktat kuliah pupuk dan pemupukan. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 208 hal.

64 53 Lenny, S Senyawa Terpenoida dan Steroida. Karya Ilmiah. Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Medan. 25 hal. Liasu, M.O. and A.K.K. Achakzai Influence of Tithonia diversifolia leaf mulch and fertilizer aplication on the growth and yield of potted tomato plants. American-Eurasian J. Agric & Environ science. 2(4): Lingga, P Jenis dan Kandungan Hara pada Beberapa Kotoran Ternak: Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya. Antanan. Bogor. Marschner, H Mineral Nutrition in Higher Plants. Academic Press. New York. 889 p. Melati, M., A. Asiah., dan D. Rianawati. Aplikasi pupuk organik dan residunya untuk produksi kedelai panen muda (The aplication of organik manure and its residue of vegetable soybean production). Bul. Agron. 36(3): Melati, M. dan W. Andriyani Pengaruh pupuk kandang dan pupuk hijau Calopogonium mucunoides terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (Glicine max (L.) Merr) panen muda yang dibudidayakan secara organik. Bul. Agron. 33(2):8-15. Mengel, D.B., W. Segars., dan G.W. Rehm Soil fertility and liming, p In Wilcox, J. R (Eds.). Soybeans: Improvement, Production, and Uses. American, Crop Science, and Soil Science Society of America, inc. Madison. Muhr, L., S.A. Tarawali, M. Peters, and R. Schultzekraft Forage legumes for improved fallows in agropastoral systems of subhumid West Africa. II. Green manure production and decomposition after incorporation into the soil.tropical Grasslands Journal 33: Nursyamsi, D., dan Suprihati Sifat-sifat Kimia dan Mineralogi Tanah serta Kaitannya dengan Kebutuhan Pupuk untuk Padi (Oriza sativa), Jagung (Zea mays), dan Kedelai (Glycine max). Bul. Agron. 33(3): Olabode, O.S., O. Sola, W.B. Akanbi, G.O. Adesina, and P.A. Babajide Evaluation of Tithonia diversifolia (Hemsl) a gray for soil improvement. World Journal of Agriculture Science 3(4): Phiri, S., I.M. Rao, E. Barrios, B.R. Singh Plant growth, mycorrhizal association, nutrient uptake and phosphorus dynamics in a volcanic-ash soil in Colombia as affected by the establishment of Thitonia diversifolia. Journal of Sustainable Agriculture, 21(3): Prihandarini, R Teknologi budidaya organik. http// [12 November 2009]

65 54 Rachman, A., A. Dariah, dan D. Santoso Pupuk organik dan pupuk hayati. Jurnal pertanian 02: Rahadi, V.P Pengaruh Pupuk Kandang sapi dan Pupuk Guano Terhadap Produksi Kedelai (Glicine max (L.) Merr) Organik Panen Muda. Skripsi. Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal. Rianawati, D Pengaruh Residu Kombinasi Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glicine max (L.) Merr) Panen Muda yang Diusahakan Secara Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 44 hal. Ridwan Kotoran ternak sebagai pupuk dan sumber energi. [30 Desember 2009]. Rigby. D., and D. Caceres Organik farming and the sustainability of agricultural systems. Journal of Agricultural Systems 68: Robutzky, V.E. dan Yamaguchi Sayuran Dunia: Prinsip dan Gizi. Terjemahan dari: World Vegetable, Principle and Nutrition. Penerjemah: Horison, C. ITB. ITB Press. Sadjad, S.M., Z. Jusup, dan Z.A. Pian Penuntun Praktikum Teknologi Benih. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sangakkara, U.R., M. Liedgens, A. Soldati, and P. Stamp Root and shoot growth of maize (Zea mays) as affected by incorporation of Crotalaria juncea and Tithonia diversifolia as green manures. Journal of Agronomy and Crop Science 190(5): Santoso, B., F. Haryanti, dan S.A. Kadarsih Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Serat Tiga Klon Rami di Lahan Aluvial Malang. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. Shisanya, C.A., M.W. Mucheru, D.N. Mugendhi, and J.B. Kung u Effect of organik and inorganik nutrient source on soil mineral nitrogen and maize yields in central highland of Kenya. World Journal of agriculture Science 3(4): Sinaga, Y.A.S.Br Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glicine max (L.) Merr) Panen Muda yang Diusahakan Secara Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

66 55 Sinclair, J.B., 1994.Soybeans In W.F. Bennett (Ed.). Nutrient Deficiencies & Toxicities in Crop Plant. American Phytopatological Society. Minnesota. Susanto, R Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogjakarta. Sutanto, B Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan & Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta. Sutedi, E., Sajimin, dan B.R. Prawiradiputra. Tanpa tahun. Agronomi dan Pemanfaatan Centrosema pubescens. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian Ternak. Bogor Tongma, S., K. Kobayashi., dan K. Usui Allelopathic activity of mexican sunflower (Tithonia diversifolia) in soil. Weed Science. 46: Wanjau, S., J. Mukalama, dan R. Thijssen Pemindahan biomassa: Panen pupuk cuma-cuma. Salam 1:8-9. Widiyanti, E Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Guano Terhadap Produksi Kedelai (Glicine Max (L.) Merr) Panen Muda dengan Budidaya Organik. Skripsi. Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 63 hal. Widowati, L.R., S. Widati, dan D. Setyorini Pengaruh Kompos Pupuk Organik yang Diperkaya dengan Bahan Mineral dan Pupuk Hayati Terhadap Sifat-Sifat Tanah, Serapan Hara, dan Produksi Sayuran Organik. Laporan Proyek Penelitian Program Pengembangan Agribisnis. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Wiwik, dan L.R. Widowati Pupuk Kandang dan Aplikasinya. Balitsa. Bandung Yukamgo, E., dan N.W. Yuwono Peran silikon sebagai unsur bermanfaat pada tanaman tebu. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 7(2):

67 LAMPIRAN 56

68 57 Lampiran 1. Lay Out Petak Percobaan U 57

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010. Areal penelitian memiliki topografi datar dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikarawang, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Oktober 2010 sampai dengan Februari 2011.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011. Analisis tanah dan hara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Februari-Agustus 2009 dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan jenis tanah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Kedelai Berdasarkan klasifikasi tanaman kedelai kedudukan tanaman kedelai dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2007):

Lebih terperinci

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan 12 METODE PERCOBAAN Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan petani di Dusun Jepang, Krawangsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Lokasi berada pada ketinggian 90 m di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan tanaman yang telah dibudidayakan sejak tahun 2500 SM di dataran Cina, berasal dari daerah Manchuria dan Jepang, Asia Timur (Suprapto,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kedelai TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan tanaman yang telah dibudidayakan sejak tahun 2500 SM di dataran China. Tanaman ini berasal dari daerah Manchuria dan Jepang, Asia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Kedelai Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja, atau Soja max. Namun demikian, pada tahun 1984 telah disepakati bahwa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dari bulan Juni sampai bulan Oktober 2011. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS, DOSIS BENIH DAN UMUR TANAMAN PUPUK HIJAU TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) PANEN MUDA SECARA ORGANIK

PENGARUH JENIS, DOSIS BENIH DAN UMUR TANAMAN PUPUK HIJAU TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) PANEN MUDA SECARA ORGANIK PENGARUH JENIS, DOSIS BENIH DAN UMUR TANAMAN PUPUK HIJAU TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) PANEN MUDA SECARA ORGANIK Oleh WIWIN KURNIASIH A34102022 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Penanaman Padi Gogo Pertanian Organik

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Penanaman Padi Gogo Pertanian Organik TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Penanaman Padi Gogo Secara umum presentasi pengembangan tanaman padi di Indonesia adalah padi sawah 63 %, padi gogo 14 %, padi rawa 3 % dan padi tadah hujan 20 % (Prasetyo

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan China Utara atau kawasan subtropis. Kedelai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2012 di Dusun Bandungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dengan kondisi lahan sebelum pertanaman adalah tidak ditanami tanaman selama beberapa bulan dengan gulma yang dominan sebelum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu tanaman pangan penting

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu tanaman pangan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merill) merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah padi dan jagung. Menurut Irwan (2006), kandungan gizi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. Susunan morfologi kedelai terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kacang Tanah

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kacang Tanah TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kacang Tanah Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea, L.) merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika, khususnya dari daerah Brazilia (Amerika Selatan). Awalnya kacang tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Hara Tanah Analisis kandungan hara tanah pada awal percobaan maupun setelah percobaan dilakukan untuk mengetahui ph tanah, kandungan C-Organik, N total, kandungan

Lebih terperinci

BAHAN METODE PENELITIAN

BAHAN METODE PENELITIAN BAHAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan penelitian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl, dilaksanakan pada

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Oktober 2007 di kebun percobaan Cikabayan. Analisis klorofil dilakukan di laboratorium Research Group on Crop Improvement

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Percobaan dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010. Bahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 di rumah kaca Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Kampus Dramaga, Bogor dan Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 Februari 2010. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BIO URIN SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill).

PENGARUH PEMBERIAN BIO URIN SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill). PENGARUH PEMBERIAN BIO URIN SAPI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill). SISCHA ALFENDARI KARYA ILMIAH PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JAMBI 2017

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah Dramaga, keadaan iklim secara umum selama penelitian (Maret Mei 2011) ditunjukkan dengan curah

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara lain kemantapan agregat yang rendah sehingga tanah mudah padat,

TINJAUAN PUSTAKA. antara lain kemantapan agregat yang rendah sehingga tanah mudah padat, TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol Beberapa masalah fisik yang sering dijumpai dalam pemanfaatan ultisol antara lain kemantapan agregat yang rendah sehingga tanah mudah padat, permeabilitas yang lambat dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Vegetatif Dosis pupuk kandang berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman (Lampiran 5). Pada umur 2-9 MST, pemberian pupuk kandang menghasilkan nilai lebih

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Tanaman Caisin Tinggi dan Jumlah Daun Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan pupuk hayati tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun caisin (Lampiran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kacang Tanah Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika, khususnya dari daerah Brizilia (Amerika Selatan). Awalnya kacang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai memiliki biji berbentuk polong, setiap polong berisi 1-4 biji.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai memiliki biji berbentuk polong, setiap polong berisi 1-4 biji. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Morfologi Kedelai Tanaman kedelai memiliki biji berbentuk polong, setiap polong berisi 1-4 biji. Biji umumnya berbentuk bulat atau bulat pipih sampai bulat

Lebih terperinci

Gambar 1. Tata Letak Petak Percobaan

Gambar 1. Tata Letak Petak Percobaan 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di lapang dilakukan sejak dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di kebun percobaan pertanian organik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Desa Muara Putih Kecamatan Natar Lampung Selatan dengan titik

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan di desa Cengkeh Turi dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember sampai

Lebih terperinci

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting, baik karena kandungan gizinya, aman dikonsumsi, maupun harganya yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan menguntungkan untuk diusahakan karena

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kec. Natar Kab. Lampung Selatan dan Laboratorium

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemupukan pada Tanaman Tomat 2.1.1 Pengaruh Aplikasi Pupuk Kimia Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada tanaman tomat tertinggi terlihat pada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. Penelitian terdiri dari percobaan lapangan dan analisis tanah dan tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kandungan karotin, Vitamin A, Vitamin B dan Vitamin C. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. adanya kandungan karotin, Vitamin A, Vitamin B dan Vitamin C. Oleh karena itu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sayuran sangat erat hubungannya dengan kesehatan, sebab sayuran banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh terutama adanya kandungan karotin,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. krim, susu kedelai, tepung kedelai, minyak kedelai, pakan ternak,dan bahan baku

PENDAHULUAN. krim, susu kedelai, tepung kedelai, minyak kedelai, pakan ternak,dan bahan baku Latar Belakang PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max (L.) Merr) menjadi komoditas pangan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia yang saat ini diposisikan sebagai bahan baku industri pangan. Beberapa produk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kedelai Suprapto (1999) mennyatakan tanaman kedelai dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Kelas: Dicotyledone, Ordo:

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kesadaran manusia akan kesehatan menjadi salah satu faktor kebutuhan sayur dan buah semakin meningkat. Di Indonesia tanaman sawi merupakan jenis sayuran

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu pembibitan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, dan penanaman dilakukan di

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan sawah Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dengan jenis tanah latosol. Lokasi sawah berada pada ketinggian tempat 230 meter

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat Tanaman tomat diduga berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan terutama Peru dan Ekuador, kemudian menyebar ke Italia, Jerman dan negaranegara Eropa lainnya. Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah dikenal sejak dulu. Ada beberapa jenis tomat seperti tomat biasa, tomat apel, tomat keriting,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Susunan akar kedelai pada umumnya sangat baik, pertumbuhan akar tunggang lurus masuk kedalam tanah dan mempunyai banyak akar cabang. Pada akar-akar cabang banyak terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) termasuk dalam famili leguminosae, sub famili Papilionidae dan genus Glycine, merupakan tanaman semusim yang berupa semak rendah,

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN DOSIS PUPUK KOTORAN KAMBING TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) LOKAL MADURA SKRIPSI

PENGARUH BENTUK DAN DOSIS PUPUK KOTORAN KAMBING TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) LOKAL MADURA SKRIPSI PENGARUH BENTUK DAN DOSIS PUPUK KOTORAN KAMBING TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) LOKAL MADURA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pada perakaran lateral terdapat bintil-bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri

TINJAUAN PUSTAKA. pada perakaran lateral terdapat bintil-bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Siahaan dan Sitompul (1978), Klasifikasi dari tanaman kedelai adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

PUPUK KANDANG MK : PUPUK DAN TEKNOLOGI PEMUPUKAN SMT : GANJIL 2011/2011

PUPUK KANDANG MK : PUPUK DAN TEKNOLOGI PEMUPUKAN SMT : GANJIL 2011/2011 PUPUK KANDANG MK : PUPUK DAN TEKNOLOGI PEMUPUKAN SMT : GANJIL 2011/2011 TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami definisi pupuk kandang, manfaat, sumber bahan baku, proses pembuatan, dan cara aplikasinya Mempelajari

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai ekonomis, serta harus terus dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan di jalan Depag, Komplek Perumahan. Wengga 1 Blok B Nomor 54 Kelurahan Kasongan Lama, Kecamatan Katingan

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan di jalan Depag, Komplek Perumahan. Wengga 1 Blok B Nomor 54 Kelurahan Kasongan Lama, Kecamatan Katingan 1717 III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di jalan Depag, Komplek Perumahan Wengga 1 Blok B Nomor 54 Kelurahan Kasongan Lama, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor. Lokasi ini memiliki ketinggian tempat 240 m di atas permukaan laut.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Cair Industri Tempe Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses industri maupun domestik (rumah tangga), yang lebih di kenal sebagai sampah, yang kehadiranya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Caisim diduga berasal dari Tiongkok (Cina) dan Asia Timur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Caisim diduga berasal dari Tiongkok (Cina) dan Asia Timur. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4.1 Sejarah Tanaman Caisim Tanaman Caisim diduga berasal dari Tiongkok (Cina) dan Asia Timur. Konon di daerah Cina, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 2.500 tahun yang lalu,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Kebun Jagung University Farm IPB Jonggol, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Departemen Tanah, IPB. Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Konidisi Umum Penelitian Berdasarkan hasil Laboratorium Balai Penelitian Tanah yang dilakukan sebelum aplikasi perlakuan didapatkan hasil bahwa ph H 2 O tanah termasuk masam

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN

TATA CARA PENELITIAN III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tamantirto, Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I.Y.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Kacang Tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Kacang Tanah TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Kacang Tanah Kacang tanah tergolong dalam famili Leguminoceae sub-famili Papilinoideae dan genus Arachis. Tanaman semusim (Arachis hypogaea) ini membentuk polong dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai April sampai Juni 2010 di Vegetable Garden, Unit Lapangan Darmaga, University Farm, IPB Darmaga, Bogor. Lokasi penelitian berada pada ketinggian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang sebelumnya dilakukan oleh

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang sebelumnya dilakukan oleh 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang sebelumnya dilakukan oleh Anjani (2013) pada musim tanam pertama yang ditanami tanaman tomat,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung, Bandar lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai

Lebih terperinci

PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK

PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK The Effect of

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Tanaman padi saat berumur 1-3 MST diserang oleh hama keong mas (Pomacea caanaliculata). Hama ini menyerang dengan memakan bagian batang dan daun tanaman yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman mentimun berasal dari kaki pegunungan Himalaya. Domestikasi dari tanaman liar ini berasal dari India utara dan mencapai Mediterania pada 600 SM. Tanaman ini dapat tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Pada saat jagung berkecambah, akar tumbuh dari calon akar yang berada dekat ujung biji yang menempel pada janggel, kemudian memanjang dengan diikuti oleh akar-akar samping.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor pada ketinggian 240 m dpl. Uji kandungan amilosa dilakukan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600-

I. PENDAHULUAN. Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600- 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600-700 ribu ton per tahun dengan kebutuhan kedelai nasional mencapai 2 juta ton

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Pengembangan Teknologi Lahan Kering Desa Singabraja, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Waktu pelaksanaan penelitian mulai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung manis (Zea mays sacharata Sturt.) dapat diklasifikasikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung manis (Zea mays sacharata Sturt.) dapat diklasifikasikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Jagung Manis Tanaman jagung manis (Zea mays sacharata Sturt.) dapat diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Sub-divisi: Angiospermae,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu jenis tanaman pangan yang menjadi mata pencaharian masyarakat adalah tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di lahan sawah Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor dan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci