PENGELOLAAN SAMPAH KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT MENUJU ZERO WASTE DI TPA GALUGA KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR AINI MUTHMAINNAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN SAMPAH KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT MENUJU ZERO WASTE DI TPA GALUGA KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR AINI MUTHMAINNAH"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN SAMPAH KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT MENUJU ZERO WASTE DI TPA GALUGA KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR AINI MUTHMAINNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat Menuju Zero Waste di TPA Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 11 Agustus 2008 Aini Muthmainnah P /PSL

3 ABSTRACT Aini Mutaminnah, City Waste Management Based on People Participation to ward the Zero Waste Mechanism in TPA Galuga, Cibungbulang District, Bogor. Under the direction of Siti Amanah and Catur Herison. Waste management oriented on open dumping final disposal location can no longer be used in big cities because of limited land availability system of land and require expensive operational cost. Waste management in big cities needs a serious management and should be based on sustainable development principle. This study aimed at analyzing waste management system and determining the most effective and efficient waste management alternative at TPA Galuga. The methods used to analyze economic benefit of zero waste concept conducted by garbage pickers at the study site were R/C Ratio and BEP (Break Even Point). Analytical Hierarchy Process (AHP) was used to analyze the role of related stakeholders on zero waste management at the TPA. The financial analysis showed that an-organic waste could be was more than 28 tons per day or 840 tons per month. While the economic profit was more than 10,7 millions rupiahs per day. The R/C Ratio the of waste composting industry was more than 1. From the study, it can be recommended that the success of city waste management by zero waste concept at TPA Galuga, needs commitment and moral responsibilities from the related side, especially the government to promote the waste management system. Key words: waste management, zero waste, stakeholder, garbage pickers

4 RINGKASAN AINI MUTHMAINNAH. Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat Menuju Zero Waste. Dibimbing oleh SITI AMANAH sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan CATUR HERISON sebagai anggota. Meningkatnya jumlah dan jenis sampah di kota-kota besar telah jauh melebihi kapasitas pelayanan dan sarana pengelolaan sampah yang ada, sehingga jumlah sampah yang masuk ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) semakin melimpah, akibatnya muncul masalah lingkungan dan kesehatan seperti pencemaran bau, pencemaran air akibat leachate, menurunnya tingkat estetika, tempat berkembangnya serangga dan nyamuk serta TPA semakin cepat penuh dan pendek umurnya, menimbulkan kekhawatiran tidak ada lagi lahan untuk TPA. Apabila hal itu sampai terjadi maka boleh jadi manusia akan terbenam dalam tumpukan sampah yang mereka hasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengelolaan sampah di TPA Galuga, alternatif pemanfaatan sampah kota melalui usaha daur ulang, pengomposan dan pengarangan secara ekonomi, dampak positifnya terhadap lingkungan, serta menganalisis peran para pihak (stakeholder) dan alternatif tata kelola sampah yang efektif dan efisien di TPA Galuga. Besarnya nilai (manfaat) ekonomi pengelolaan sampah melalui usaha daur ulang, pengarangan dan pengomposan didasarkan pada analisis kelayakan usaha secara finansial dengan menggunakan metode analisis finansial yaitu R/C Ratio dan BEP (Break Event Point). Sedangkan analisis peran para pihak atau stake holder serta alternatif tata kelola sampah melalui pembuatan hierarki penentuan prioritas dengan Analytical Hierarchy Process (AHP). Pemilihan variabel dalam pengembangan hierarki didasarkan atas diskusi dengan pakar. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa sampah anorganik yang dapat dimanfaatkan kembali oleh pemulung di TPA Galuga sebesar 28 ton per hari atau 840 ton per bulan, dengan demikian usaha pemanfaatan bahan dauran sampah dapat menyerap 21,63 % (28 ton) dari total 129,45 ton sampah kota layak daur atau sekitar 4,3 % dari total produksi sampah kota yang terbuang ke TPA Galuga. Sedangkan nilai ekonomi yang diperoleh kurang lebih Rp per hari. Usaha yang dilakukan oleh para pemulung secara langsung dapat

5 mengurangi volume sampah di TPA Galuga dan mengurangi beban lingkungan menerima bahan pencemar dari sampah anorganik. Hasil analisis kelayakan dengan R/C Ratio menunjukkan bahwa nilai R/C Ratio daur ulang sampah dengan cara pengomposan dan pengarangan adalah 1.06 dan Sebagai suatu unit usaha, pengomposan yang dilakukan oleh pengusaha kompos dan kegiatan pengarangan yang dilakukan oleh pemulung secara ekonomis menguntungkan karena nilai R/C Ratio dari usaha pengomposan lebih dari 1 artinya penerimaan lebih besar dari biaya produksi yang dikeluarkan. Dengan demikian pendekatan cost recovery berdasarkan bisnis untuk mencari keuntungan, peningkatan PAD ataupun penyediaan lapangan kerja baru dapat diterapkan melalui pengomposan dan pengarangan di TPA Galuga. Besarnya manfaat ekonomi pengolahan sampah organik menjadi kompos jika dilakukan oleh pemulung dalam satu bulan di TPA Galuga adalah sebesar Rp atau sebesar Rp ,50 per orang. Apabila kegiatan pengomposan ini dilakukan oleh seluruh pemulung yang ada di TPA Galuga yaitu sebanyak 400 orang maka jumlah sampah organik yang di daur ulang menjadi 320,76 ton per bulannya. Berdasarkan hasil analisis metode perbandingan berpasangan kebijakan pemerintah memiliki skor tertinggi, artinya bahwa keberhasilan pengelolaan sampah kota dengan konsep zero waste di TPA Galuga memerlukan komitmen dan tanggungjawab moral pembangunan dari pihak pemerintah dalam bentuk kebijakan, sehingga pengelolaan sampah kota di TPA dapat dilakukan secara efektif, efisien, terintegrasi, dan sinkron dengan sistem kelembagaan dan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak yang terlibat. Namun demikian, keberhasilan pengelolaan sampah berbasis partisipasi oleh pemulung dan masyarakat menuju zero waste di TPA Galuga, tidak saja ditentukan oleh faktor kebijakan pemerintah, tetapi perlu didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti pengetahuan masyarakat, kelembagaan pengelolaan sampah yang menjamin keberhasilan penanganan sampah kota misalnya perlu dibentuk komisi khusus penanganan sampah kota yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, para ahli dan aparat penegak hukum. Pemerintah merupakan aktor yang paling penting dalam pengelolaan sampah kota di TPA Galuga artinya pemerintah

6 diharapkan mampu menfasilitasi setiap kegiatan pengelolaan sampah dari sistem pengangkutan sampai pada pemusnahan sampah di TPA dalam bentuk pendanaan melalui dana subsidi, program-program pengelolaan sampah yang dapat dilaksanakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam menjalankan program pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat menuju zero waste, tentunya didukung olah para stakeholder yang terkait seperti pihak swasta, masyarakat, dan pemulung. Melalui kebijakan pengelolaan sampah dengan pendekatan zero waste oleh pemulung di TPA Galuga, dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terkait, diharapkan konsep zero waste ini dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan akibat adanya penumpukan sampah, mengurangi beban pemerintah dalam menanggulangi biaya operasional pengelolaan sampah, memberdayakan masyarakat sekitar TPA sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial dan konflik tentang keberadaan TPA yang diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat di kawasan tersebut.

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan Atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 PENGELOLAAN SAMPAH KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT MENUJU ZERO WASTE DI TPA GALUGA KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR AINI MUTHMAINNAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr.Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS

10 Judul Tesis : Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat Menuju Zero Waste di TPA Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Nama : Aini Muthmainnah NIM : P Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir. Siti Amanah, M.Sc Ketua Dr.Ir. Catur Herison, M.Sc. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr.Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS NIP NIP Tanggal Ujian: 17 Juli 2008 Tanggal Lulus:

11 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan karunia dan ridhonya peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tesis ini banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Tesis ini berupaya menjelaskan secara komprehensif pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi oleh pemulung dan masyarakat menuju zero waste. Diharapkan hasil penelitian ini mampu berkonstribusi dalam pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan dalam level komunitas pemulung. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang tulus kepada Ibu Dr.Ir. Siti Amanah, M.Sc dan Dr.Ir. Catur Herison, M.Sc atas kesediaannya menjadi Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing. Perhatian, jasa dan budi baiknya sangat besar melalui bimbingan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Penghargaan dan ucapan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi PSL yang banyak memotivasi penulis dan memberikan dukungan moril dalam penyelesaian tesis. Akhirnya penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga terutama kepada Bapak (Djafar Shadiq, S.Pdi) dan Mama (Fatmawati, S.Sos) serta kakakku (Khairul Umam, S.Sos) tercinta atas dorongan doanya yang tidak pernah putus siang-malam.tidak lupa juga untuk suami (Drs. Tri Wahyudi, M.Si) dan anakku tercinta (Diva Dian Laila) serta sahabat-sahabat karibku, yang telah banyak berkorban dalam suka dan duka, selalu memberikan dorongan dan selalu mendampingi penulis dengan sabar dan tawakal, sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik semuanya, Jazaakumullahu khoiron katsiron dan Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunia-nya kepada kita semua. Bogor, Agustus 2008 Aini Muthmainnah

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 20 Juli 1977, putri dari Bapak Djafar Shadiq, S.Pdi dan Ibu Fatmawati, S.Sos. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan penulis pada tahun 1989 di SD Negeri No. 6 Sumbawa Besar, pendidikan menengah pertama pada tahun 1993 di SMP Negeri 1 Sumbawa Besar, dan pendidikan menengah atas pada tahun 1996 SMA Negeri 1 Sumbawa Besar. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian pada Jurusan Sosial Ekonomi. Program Studi Agribisnis Universitas Mataram, lulus pada tahun Dalam karier bekerja dan berkarya penulis pernah menjadi staf proyek Alsintan dan Staf Honorer di Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB) mulai tahun Pada akhir tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dengan biaya sendiri. Penulis menikah dengan Tri Wahyudi pada tahun 2004 dan dikaruniai satu orang putri Diva Dian Laila.

13 HALAMAN PERSEMBAHAN Doa, cinta, kasih sayang, kesabaran dan ketekunan modal kesuksesan Tulisan ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku (Ayahnda Djafar Shadiq dan Ibunda Fatmawati), kakakku tercinta (Khairul Umam) yang selalu memberikan doa dan motivasi, suami yang selalu sabar mendampingi dan anakku tercinta Diva Dian Laila.

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Kerangka Pemikiran... 3 Rumusan Permasalahan... 6 Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Sampah dan Usaha Pengelolaannya di Perkotaan Pengertian Sampah Permasalahan Sampah Pemanfaatan dan Pengelolaan Sampah Kelembagaan Penanganan Sampah Aspek Organisasi Aspek Teknik Operasional Aspek Pembiayaan dan Retribusi Aspek Hukum dan Pengaturan Penanganan Sampah Oleh Pemulung III. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Teknik Penentuan Responden Rancangan Penelitian Studi Pola Pengelolaan Sampah Kota di TPA Galuga Analisis Nilai Ekonomi Pengelolaan Sampah serta Dampak Positifnya terhadap Lingkungan Studi Peranan Sistem Kelembagaan dalam Pengelolaan Sampah

15 di TPA Galuga Analisis Peran Stakeholder dan Alternatif Tata Kelola Sampah yang Efektif dan Efisien di TPA Galuga Batasan-Batasan Penelitian IV. GAMBARAN UMUM TPA GALUGA V. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Pola Pengelolaan Sampah di TPA Galuga Karakteristik Pemulung Umur Pemulung Status Daerah Asal Pemulung Status Perkawinan dan Tanggungan Keluarga Pemulung Status Pendidikan Pemulung Tingkat Kesehatan Pemulung Jenis Sampah yang Diambil oleh Pemulung Pemulung Menurut Lama Kerja setiap Hari Lama Bekerja Sebagai Pemulung Frekuensi Pengambilan Sampah oleh Pemulung Pendapatan Pemulung di TPA Galuga Ketergantungan/Ikatan Pemulung dengan Lapak Karakteristik Lapak Umur Responden Lapak Lama menjadi Lapak Jumlah Jam Kerja Setiap Hari Jumlah Modal yang Dikeluarkan Lapak Pendap atan Lapak Arus Pemasaran Bahan Dauran... 57

16 Pola Pengelolaan Sampah di TPA Galuga Nilai Ekonomi Pengelolaan Sampah dan Dampaknya terhadap Lingkungan Nilai (Manfaat) Ekonomi Bahan Dauran dari Sampah Anorganik yang Dikumpulkan oleh Pemulung di TPA Galuga Analisis Ekonomi Usaha Pengomposan dari Sampah Organik Sistem Kelembagaan dalam Pengelolaan Sampah di TPA Galuga Peran Stakeholder dan Alternatif Tata Kelola Pengelolaan Sampah di TPA Galuga Kota Bogor VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran-Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

17 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah fisik timbulan sampah per sumber sampah Kota Bogor Jenis sampah yang dihasilkan Kota Bogor Skala angka Saaty Penggunaan lahan di TPA Galuga Jenis dan harga sampah yang dikumpulkan oleh pemulung di TPA Galuga Lama bekerja responden sebagai pemulung di TPA Galuga Pendapatan responden sebagai pemulung di TPA Galuga Lama kerja lapak setiap hari di TPA Galuga Modal awal, biaya operasi dan daya tampung per bulan dalam rupiah Pendapatan responden sebagai lapak di TPA Gunung Galuga Jenis dan volume sampah yang terbuang ke TPA Gunung Galuga setiap hari Volume dan harga jual bahan dauran sampah anorganik per hari oleh pemulung Biaya operasional daur ulang sampah organik menjadi kompos dengan kapasitas 1608 M 3 sampah Daur ulang sampah melalui pengomposan oleh pemulung di TPA Gunung Galuga dengan kapasitas 32,076 ton sampah organik per bulan Biaya operasional daur ulang sampah organik menjadi kompos oleh pemulung secara swadaya dengan kapasitas 2,4 ton sampah Biaya operasional pembuatan arang dari sampah organik padat di TPA Gunung Galuga Peraturan Daerah tentang kebersihan lingkungan di Kota Bogor... 81

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pikir Perumusan masalah Siklus keseimbangan bahan Elemen-elemen dalam pengelolaan limbah Struktur hirarki tata kelola dan kelembagaan pengelolaan sampah kota di TPA Galuga Tata guna lahan di sekitar TPA Galuga Kondisi umum TPA Galuga Proses pengangkutan sampah ke TPA Galuga Aktivitas pemulung di TPA Galuga Kisaran umur pemulung di TPA Galuga Jumlah tanggungan keluarga responden pemulung di TPA Galuga Distribusi tingkat pendidikan pemulung di TPA Gunung Galuga Jenis penyakit yang diderita pemulung di TPA Gunung Galuga Lama kerja setiap hari (jam) responden pemulung di TPA Gunung Galuga Pemulung menurut ikatan dengan lapak di TPA Gunung Galuga Kisaran umur lapak Lama responden menjadi lapak Pemasaran bahan dauran sampah di Kota Bogor Proses pembuatan kompos Proses pembuatan kompos Bagan alir pembuatan arang dari sampah padat Alat (reaktor pirolisis) pembuatan arang Arang yang dihasilkan reaktor pirolisis Hirarki sistem pengelolaan dan tata kelembagaan dalam pengelolaan sampah kota di TPA Galuga Tingkat kepentingan setiap faktor terhadap sistem pengelolaan

19 dan tata kelembagaan sampah Kota di TPA Gunung Galuga Tingkat kepentingan setiap aktor terhadap alternatif tata kelola sampah di TPA Galuga Tingkat kepentingan setiap tujuan pengelolaan sampah di TPA Galuga Tingkat kepentingan setiap alternatif pada tata kelola sampah di TPA Galuga... 92

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Karakteristik responden pemulung Jumlah tanggungan keluarga, lama menjadi pemulung, dan jumlah jam kerja sehari Pemulung Jenis sampah yang dikumpulkan pemulung Pendapatan pemulung mengumpulkan bahan dauran Keragaan lapak Jenis sampah yang ditampung oleh lapak di TPA Galuga Aktivitas pemulung mengumpulkan sampah organik untuk kompos Partisipasi pemulung dalam kegiatan pengomposan dan pengarangan

21 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri, khususnya di kota-kota besar telah menimbulkan dampak negatif, antara lain: (1) Terjadinya ketidakseimbangan ekologi sebagai akibat dari meningkatnya jumlah timbulan sampah; (2) Semakin sempitnya lahan terbuka hijau akibat tekanan dari pembangunan perumahan dan fasilitas komersial. Meningkatnya jumlah dan jenis sampah di kota-kota besar telah jauh melebihi kapasitas pelayanan dan sarana pengelolaan sampah yang ada, sehingga jumlah sampah yang masuk ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) semakin melimpah, akibatnya muncul masalah lingkungan dan kesehatan seperti pencemaran bau, pencemaran air akibat leachate, menurunnya tingkat estetika, tempat berkembangnya serangga dan nyamuk serta TPA semakin cepat penuh dan pendek umurnya, menimbulkan kekhawatiran tidak ada lagi lahan untuk TPA. Apabila hal itu sampai terjadi maka boleh jadi manusia akan terbenam dalam tumpukan sampah yang mereka hasilkan. Berdasarkan hasil studi terhadap perkiraan besarnya sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, melalui pendekatan jumlah penduduk dan standart timbulan sampah Kota Bogor dengan jumlah penduduk jiwa pada Tahun 2004 adalah sebesar liter/hari atau setara dengan 2.700m 3 /hari yang berarti pula sebesar m 3 /tahun. Gambaran umum timbulan sampah per sumber sampah dari tahun ke tahun di Kota Bogor dapat lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah fisik timbulan sampah per sumber sampah Kota Bogor No. Sumber Sampah Timbulan (m 3 ) Pemukiman Pasar Pertokoan, Restoran, dan Hotel Fasilitas Umum dan Sosial Sapuan Jalan Kawasan Industri Jumlah Sumber : Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bogor (2004)

22 Permasalahan sampah sangat kompleks sehingga memerlukan penanganan yang serius dan berpegang pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan prinsip tersebut maka Agenda 21 menyebutkan bahwa pengelolaan limbah padat (sampah) mempunyai prinsip tidak boleh terakumulasi di alam sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien, bahwa sampah harus dibatasi pada tingkat yang tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran dan menerapkan sistem tertutup dalam penggunaan materi seperti daur ulang dan pengomposan harus dimaksimalkan (Djajadiningrat, 2001). Pemerintah Kota Bogor perlu menerapkan kebijakan program 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan model pengelolaan sampah terpadu yang disebut dengan konsep zero waste (BPPT,1999), yaitu konsep yang bertujuan untuk mereduksi sampah semaksimal mungkin guna mengurangi beban pencemaran dan pengelolaan sampah perkotaan, hal ini sangat berkaitan dengan pilihan teknologi yang didasari oleh konsep yang jelas dan lugas serta dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, ekonomis dan lingkungan. Konsep ini memungkinkan peningkatan derajat dan harkat para pemulung sampah menjadi lebih mulia dan manusiawi dengan memperlakukan mereka sebagai mitra kerja dalam penanggulangan masalah sampah di Kota Bogor karena pemanfaatan barang dauran dari sampah oleh para pemulung dapat dilihat sebagai suatu potensi yang mengandung nilai ekonomis. Uraian diatas memperlihatkan bahwa penanganan sampah yang berorientasi pada TPA dengan sistem open dumping tidak dapat diterapkan lagi di kota-kota besar, karena disamping keterbatasan lahan juga memerlukan biaya operasional yang sangat mahal, dan tingginya tuntutan terhadap penanganan permasalahan sampah khususnya di Kota Bogor. Semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan persampahan harus senantiasa meningkatkan kemampuan kerjanya baik secara kuantitas maupun kualitas. Kecepatan pertumbuhan populasi dan tingkat timbulan sampah membuat pihak pengelola harus terus berlomba dengan jumlah sampah yang harus dikelola. Keterbatasan dana dan teknologi membuat seringkali terpaksa mengalami kegagalan dalam mengelola sampah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang alternatif pengelolaan sampah kota dalam rangka memperbaiki ketidaksempurnaan pengelolaan persampahan Kota Bogor.

23 1.2. Kerangka Pemikiran Pertambahan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan meningkatnya aktivitas sosial ekonomi manusia sehingga menghasilkan suatu produk yaitu sampah. Sampah, baik kuantitas maupun kualitasnya dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah: 1. Jumlah penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk, semakin banyak pula jumlah sampahnya. Pengelolaan sampah berpacu dengan laju pertambahan penduduk. 2. Keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi seseorang, semakin banyak sampah yang dibuang. Kualitas sampahnyapun semakin banyak dan bersifat tidak dapat membusuk. Kenaikan kesejahteraan inipun akan mengubah pola konsumsi masyarakat. Masyarakat lebih cenderung mengkonsumsi makanan instant yang pembungkusnya berbahan plastik, meningkatkan kegiatan konstruksi dan pembaharuan bangunan-bangunan, transportasipun bertambah, dan produk pertanian, industri dan lain-lain akan bertambah dengan konsekuensi bertambahnya volume dan frekuensi sampah. 3. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam pula. Jumlah dan jenis sampah dari tahun ke tahun terus meningkat secara drastis. Keadaan ini juga diperburuk bahwa sejauh ini pemahaman masyarakat terhadap konsep zero waste yaitu mengurangi atau meminimalisasi jumlah sampah dari sumber sangat rendah. Akibatnya jumlah sampah yang masuk ke TPA semakin melimpah dan akhirnya TPA semakin cepat penuh. Jika sampah yang menumpuk di TPA tidak segera ditanggulangi maka akan menimbulkan masalah dan dampak pada masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Timbunan sampah yang akhirnya terdegradasi dan menimbulkan lindi mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3), yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Dampak negatif dari pencemaran tersebut terhadap kesehatan dan produktivitas individu, rumah tangga, komunal, dan ekosistem akan terjadi secara langsung sebagai akibat terjadinya kongesti, pencemaran air dan

24 udara, kekurangan fasilitas sanitasi, serta ketidakteraturan dalam penanganan sampah dan limbah industri. Selain dampak negatif, pengelolaan sampah di TPA ditinjau dari aspek ekonomi dan sosial juga memberikan dampak positif dengan tersedianya lapangan kerja bagi masyarakat yang bermukim di sekitar TPA seperti pemulung (lapak atau bandar) serta pedagang. Besarnya dampak yang ditimbulkan akibat adanya pengelolaan TPA sampah, baik dampak positif dan negatif ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan estetika mendorong Pemerintah Kota Bogor menerapkan model penanganan sampah dengan pendekatan zero waste melalui usaha pengomposan dan daur ulang yang melibatkan berbagai pihak untuk bekerjasama sebagai pengelola yang terdiri atas Pemerintah Kota Bogor yaitu Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, masyarakat yaitu Swasta (pengusaha kompos), kreditur, lapak/bandar, industri daur ulang dan pemulung. Diharapkan dengan menerapkan konsep zero waste untuk meminimalisasi limbah dalam pengelolaan persampahan masing-masing pihak memperoleh manfaat dan keuntungan. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan sampah yang lebih memadai dari aspek finansial yaitu melalui pengembangan bisnis dalam kegiatan pengelolaan sampah, yang diharapkan akan dapat membantu memecahkan persoalan persampahan. Beberapa keuntungan jika tujuan di atas dilakukan di Bogor adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan efisiensi penanganan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah; 2. Masa pemakaian TPA Galuga Bogor akan bertambah panjang karena dengan adanya proses pemilahan sampah anorganik dan organik yang dapat didaur ulang diharapkan mampu mengurangi jumlah tumpukan sampah dan rembesan air sampah (leachete) di sekitar TPA; 3. Memanfaatkan kembali sampah plastik dan mengubah sampah organik menjadi arang dan pupuk kompos yang bermanfaat untuk bahan bakar dan tanah-tanah pertanian ; 4. Meningkatkan pendapatan pemulung dan semua pihak yang terkait dalam industri daur ulang;

25 5. Mengoptimalkan kapasitas pemulung di Bogor sebagai rekan (partner) dalam menanggulangi penumpukan sampah. Pemulung yang mengumpulkan sampah memperoleh manfaat pribadi dan manfaat sosial. Secara pribadi pemanfaatan sampah bagi pemulung adalah pendapatan yang diperolehnya. Sedangkan yang dimaksud sebagai manfaat sosial adalah dimana sampah dikategorikan sebagai barang yang tidak mempunyai nilai ekonomi, menjadi suatu yang kembali memiliki nilai ekonomi. Pengelolaan sampah padat (Solid Waste Management / SWM), usaha daur ulang (recycling) baik yang dilakukan oleh pemulung maupun institusi mempunyai titik singgung dan tidak dapat terpisah dengan lainnya. Namun, selama ini kegiatan yang dilakukan oleh Perusahaan Daerah Kebersihan, para pemulung dan industri daur ulang terkesan berjalan secara sendiri-sendiri, kegiatan para pemulung dan usaha daur ulang belum diintegrasikan dalam sistem penanganan sampah secara menyeluruh. Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan efisiensi penanganan sampah di berbagai kota diperlukan suatu usaha memadukan berbagai aktor dan kegiatan yang telah ada sehingga memberi kontribusi yang lebih besar terhadap kebersihan kota. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

26 Pertumbuhan Penduduk Aktivitas Manusia Produksi Sampah Meningkat Ekologis Ekonomi Sosial Estetika / Keindahan Penanganan Sampah Kota Daur ulang Pengomposan Karakteristik Fisik Pengelolaan Sampah Jenis Sampah Sumber dan Volume Timbunan Sampah Kebutuhan Dana, Sarana dan Prasarana Pemda Pemulung Lapak/bandar Pengusaha Masyarakat Model Pengelolaan (Zero Waste) Pengelola Tata Kelola Sampah Berkelanjutan Gambar 1. Bagan kerangka pikir 1.3. Perumusan Masalah Meningkatnya jumlah sampah dari waktu ke waktu mengakibatkan terbatasnya lahan yang dapat dipergunakan untuk pembuangan akhir, keperluan dana yang cukup besar dan konflik untuk pembebasan lahan TPA serta sulitnya memperoleh ruang yang pantas untuk pembuangan menambah peliknya persoalan untuk mengatasi permasalahan sampah. Karena sampah-sampah yang tertimbun di TPA akan mengalami proses akumulasi dan degradasi (penguraian), dimana hasilhasil degradasi tersebut akan tersebar ke dalam ekosistem dan dapat

27 membahayakan lingkungan dan kelangsungan hidup masyarakat disekitarnya. Dalam kaitannya dengan kesehatan, sampah mempunyai peran sebagai tempat hidup dan berkembang biaknya lalat dan tikus (vektor penyakit), sampah mengandung bahan-bahan kimia toksik, mempunyai pengaruh dari hasil degradasi/penguraian sampah terhadap kesehatan secara tidak langsung mengenai seseorang/masyarakat, pengaruh sampah terhadap kenyamanan, karena bentuk dan sifatnya telah memberi kesan yang tidak estetik. Selain itu dalam melakukan proses daur ulang kapasitas dan kemampuan pihak pemerintah lebih kecil dibandingkan sampah yang harus dikelola sehingga tidak mampu mendanai seluruh biaya pengelolaan sampah. Agar sampah tidak menimbulkan dampak yang merugikan sampah dapat dijadikan sebagai komoditi yang bernilai ekonomi bagi manusia yang akhirnya dapat mengurangi subsidi yang akan diberikan oleh pemerintah maka perlu suatu sistem pengelolaan sampah yang memadai dari berbagai macam aspek antara lain aspek ekonomi, aspek sosial, aspek kelembagaan maupun aspek estetika lingkungan. Untuk mengolah sampah menjadi komoditi yang bernilai ekonomi harus berpedoman pada baku mutu lingkungan. Maka perlu adanya penyempurnaan pengelolaan sampah melalui pemanfaatan dan pengolahan sampah melalui pendekatan zero waste yaitu mendayagunakan kembali sampah melalui proses reusing, recycling dan composting guna mengurangi beban pencemaran lingkungan. Dalam pengelolaan sampah perlu melibatkan berbagai pihak. Artinya bahwa dalam pengelolaan sampah pemerintah tidak hanya dibantu oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan tetapi perlu bantuan beberapa pihak misalnya pemulung. Beroperasinya pemulung mempunyai akibat dari segi positif menyebabkan: (1) Berkurangnya volume sampah yang akan ditimbun; (2) Adanya pemanfaatan kembali sampah yang masih dapat digunakan lagi (recycling); dan (3) Memberikan kesempatan kerja bagi para pemulung serta penduduk di sekitar TPA. Sedangkan segi negatif dari pemulungan sampah adalah dapat menimbulkan kecelakaan kerja dan kesehatan, juga efek estetika dan konflik sosial. Hal ini menggambarkan pentingnya kapasitas pemulung dalam pengelolaan sampah kota.

28 Selain pemulung bantuan pihak investor sangat dibutuhkan untuk menanamkan modal demi keberlanjutan industri kompos agar dapat bersaing dengan industri lain yang sejenis. Koordinasi dan kerjasama yang baik antara Pemerintah, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, masyarakat baik sebagai penyedia/penghasil sampah maupun masyarakat sebagai pengelola serta pemanfaat sampah, pihak swasta/pengusaha dalam sistem pengelolaan sampah dari tempat pembuangan sementara (tingkat rumah tangga) sampai pada skala industri pengomposan menjadi salah satu solusi penanggulangan masalah sampah yang terjadi di kota Bogor. Keberhasilan dari suatu sistem pengelolaan sampah kota, tidak terlepas dari peran berbagai input pengelola yang ada didalamnya yaitu rumah tangga, RT/RW, perusahaan daerah kebersihan, pemerintah daerah, para pemulung dan pengusaha daur ulang barang bekas dari sampah. Berdasarkan uraian tersebut, melalui penelitian ini permasalahan pokok yang perlu dikaji adalah : 1. Bagaimana penerapan zero waste dalam pengelolaan sampah di TPA Galuga? 2. Apakah pemanfaatan sampah kota melalui pendekatan zero waste dengan usaha pengomposan, pengarangan dan daur ulang berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat? 3. Bagaimana peranan sistem kelembagaan khususnya hubungan antara pemulung, lapak, industri daur ulang serta pengusaha kompos dan Pemda? 4. Bagaimana alternatif tata kelola sampah di TPA Galuga?

29 Pengelolaan sampah di Kota Bogor Degradasi Lingkungan Timbulan Sampah Meningkat Setiap Tahun Terbatasnya Lahan Untuk TPA Pengelolaan sampah Berkelanjutan Pendekatan Zero Waste Daur Ulang Pengomposan Pengarangan Analisis Deskriptif Kualitatif Analisis R/C Ratio Analisis Titik Impas (BEP) Analisis Deskriptif Kuantitatif Pola Pengelolaan Sampah di TPA Galuga Nilai Ekonomi Pemanfaatan Sampah Kota Manfaat Sosial dan Lingkungan Pengelolaan Sampah AHP Alternatif Tata Kelola Sampah Berkelanjutan Gambar 2. Skema Perumusan Masalah

30 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif tata kelola sampah yang berkelanjutan di TPA Galuga. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan pola pengelolaan sampah di TPA Galuga 2. Untuk mengetahui apakah alternatif pemanfaatan sampah kota melalui usaha daur ulang, pengomposan dan pengarangan secara ekonomi menguntungkan atau tidak serta dampak positifnya terhadap lingkungan. 3. Untuk mengetahui peranan sistem kelembagaan khususnya hubungan antara pemulung, lapak, industri daur ulang, pengusaha kompos dan Pemda. 4. Mengetahui peran para pihak (stakeholder) dan alternatif tata kelola sampah yang berkelanjutan di TPA Galuga Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai media untuk pengembangan ilmu oleh peneliti sendiri untuk meningkatkan kemampuan akademik dalam menganalisis penanganan sampah serta memberikan informasi untuk penelitian lebih lanjut terutama bagi pihak-pihak yang berminat meneliti masalah sampah demi menjaga keseimbangan dan kualitas lingkungan untuk generasi yang akan datang 2. Sebagai masukan bagi pemerintah kota untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penanganan sampah di kota

31 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permasalahan Sampah dan Usaha Pengelolaannya di Perkotaan Pengertian Sampah Pengertian sampah yang umum digunakan di Indonesia adalah mengikuti konsep yang dikembangkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (1989), yakni sampah merupakan limbah padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia dalam suatu lingkungan, terdiri dari bahan organik dan anorganik, dapat dibakar dan tidak dibakar, yang tidak termasuk kotoran manusia. Sedangkan Tchobanoglous et al. (1977) lebih menyederhanakan lagi, bahwa sampah intinya adalah benda sisa yang tidak dipakai dan harus dibuang. Sampah mempunyai bentuk yang bermacam-macam dan berbeda-beda sifat serta karak teristiknya satu dengan lainnya, mungkin merupakan bahan-bahan yang mudah terbakar atau bahan-bahan organik yang mudah membusuk, benda padat dari logam, kayu atau bekas pengerjaan bangunan. Sumber, komposisi dan karakteristik sampah sangat penting dalam pembahasan sampah sangat penting karena berkaitan dengan teknis operasional pengelolaan dan pengolahan sampah di suatu wilayah, khususnya dalam menentukan sistem yang tepat dan fasilitas yang diperlukannya. Dilihat dari sumbernya, Peavy et al. (1985) membagi menjadi 4 kelompok: (1) sampah berasal dari pemukiman (domestic waste), (2) sampah komersial (comercial waste), (3) sampah industri (industrial waste) dan (4) sampah alami (sampah jalan, perkebunan, dan lain-lain). Kondisi geografis, iklim, jumlah penduduk, jumlah fasilitas komersial dan industri, status sosial dan pola konsumsi masyrakat sangat mempengaruhi jumlah dan kepadatan (densitas) sampah. Masyarakat dengan status sosial yang tinggi cenderung menghasilkan sampah yang lebih besar daripada masyarakat dengan status sosial yang lebih rendah, tetapi kepadatannya lebih rendah (Sandra, 1982). Dalam teknis operasional pengelolaan sampah, informasi kadar air dan nilai kalor sampah sangat diperlukan. Kadar air menunjukkan perbandingan antara berat kadar air sampah dengan berat basah sampah secara total, atau dengan berat kering. Informasi kadar air ini diperlukan untuk keperluan sistem

32 pengangkutan. Sedangkan nilai kalor merupakan besaran panas yang dihasilkan oleh sampah pada saat pembakaran, dan dinyatakan dalam kkal/kg. Data nilai kalor ini diperlukan untuk perencanaan pengolahan sampah dengan pembakaran (insenerator). Pembakaran sampah akan efisien bila nilai kalor di atas 800 kkal/kg (Tchobanoglous et al., 1977). Di negara-negara industri, kandungan kadar air sampah bervariasi antara 15% - 30%, dan umumnya rata-rata 20%. Sementara itu di negara-negara berkembang berkisar antara 40% - 70% (Flintoff, 1976). Menurut Tchobanoglous (1985), besar kecilnya kandungan air dalam sampah dipengaruhi oleh komposisi sampah itu sendiri, musim, kelembaban, curah hujan dan pola konsumsi masyarakat Permasalahan Sampah Mahluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan dalam sistem kehidupan. Kecuali manusia, mahluk hidup yang lain menyebabkan timbulnya perubahan secara alami yang bercirikan keseimbangan dan keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk merubahnya secara berbeda, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai khususnya, serta perkembangan kebudayaan pada umumnya. Perubahan itu seringkali sangat kolosal, drastis dan bahkan dramatis. Kerusakan sumberdaya alam serta lingkungan hidup yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan pola penyebarannya yang tidak seimbang dengan jumlah dan penyebaran sumberdaya alam. Serta daya dukung lingkungan yang ada. Contohnya di daerah perkotaan. Sebagai pusat pertumbuhan (growth center) kota merupakan tempat meletakkan berbagai fasilitas perdagangan, industri, pemukiman, pemerintahan, pusat pelayanan jasa, dan distribusi nilai-nilai dalam masyarakat. Pesatnya perkembangan wilayah kota menimbulkan pula tekanan-tekanan pada daya dukung lingkungan alam maupun pada daya dukung lingkungan binaan karena meningkatnya aktivitas ekonomi selain memberi dampak positif yang mengarah pada economic scale, bersamaan dengan bertambah banyaknya penduduk kota dalam waktu yang relatif pendek dan dalam ruang yang terbatas/sempit akan meningkatkan konsentrasi pencemaran yang berasal dari manusia dan aktivitasnya. Salah satu penyebab

33 pencemaran lingkungan hidup di perkotaan akibat perilaku dan aktivitas manusia adalah sampah. Menurut Azwar (1990), sampah (refuse) adalah bagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri). Sampah mempunyai sumber, bentuk yang bermacam-macam dan berbeda sifat dan karakteristiknya satu dengan lainnya, mungkin merupakan bahan-bahan yang mudah terbakar atau bahan-bahan organik yang mudah membusuk, benda padat dari logam, kayu atau bekas pengerjaan bangunan. Begitu pula jumlah sampah yang dihasilkan berbeda antara satu komunitas lainnya, hal tersebut dibedakan oleh iklim, sifat dan hidup macam aktivitas manusia itu sendiri, serta faktor-faktor lainnya. Sampah dan pengelolaannya merupakan masalah yang semakin mendesak di kota-kota di Indonesia. Proses urbanisasi yang terus berlangsung dan masyarakat yang makin konsumtif, menambah produksi dan kompleksnya komposisi sampah kota. Meningkatnya biaya transportasi, peralatan dan administrasi serta makin sulitnya memperoleh ruang yang pantas untuk pembuangan, sehingga semakin jauh letaknya dari kota dan membuat biaya pengelolaan semakin tinggi (Iriani, 1994). Pada tiap kegiatan yang menggunakan sumberdaya, selalu dihasilkan sampah. Sampah terakumulasi di dalam lingkungan dan sangat tergantung pada kemampuan lingkungan untuk mengasimilasinya, jumlahnya akan semakin bertamabah dan tidak sepenuhnya dapat diserap oleh lingkungan, maka perlu adanya teknologi untuk pengolahan sumberdaya, seperti bentuk model siklus keseimbangann bahan yang dianggap sebagai model alternatif dalam rangka melihat hubungan antara manusia dengan lingkungannya (Gambar 3). Energi Teknologi Masukan Bahan Mentah Keluaran atau Produk Konservasi Akumulasi Dekomposisi Sampah Gambar 3. Siklus keseimbangan bahan Pemanfaatan oleh Manusia

34 Sejumlah sampah akan dihasilkan dalam proses ini, dan sampah yang dihasilkan tersebut dapat pula menjadi sumberdaya yang dimanfaatkan kembali setelah terjadi proses konservasi. Sampah dapat mengalami akumulasi, dekomposisi maupun konservasi menjadi bahan mentah kembali, namun tidak semua sampah dapat mengalami siklus. Dengan demikian, meningkatnya jumlah akumulasi sampah berarti akan terjadi pengrusakan sumberdaya tanpa dikembalikan lagi secara sempurna. Sumberdaya semakin habis, sementara itu sampah semakin menumpuk dan inilah yang akan menjadi malapetaka. Di Kota Bogor Permasalahan sampah semakin pelik dan butuh penanganan yang cukup serius karena volume sampah dari tahun ke tahun terus meningkat. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota Bogor menyebabkan meningkatnya aktivitas ekonomi yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pola konsumsi masyarakat, sehingga jenis sampah yang dihasilkanpun semakin beragam (Tabel 2). Tabel 2. Jenis sampah yang dihasilkan Kota Bogor No Timbulan (m Jenis Sampah ) Organik Kertas Plastik Logam Kaca/Gelas Karet Kain/tekstil Kayu Lain-lain Jumlah Sumber : Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup Kota Bogor (2004) Pemanfaatan dan Pengelolaan Sampah Soemarwoto (1989) menegaskan bahwa limbah domestik atau sampah rumah tangga, jika tidak dikelola untuk didaur ulang dapat menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya. Oleh karena itu, apabila limbah tersebut dimasukkan kembali menjadi sumberdaya maka limbah dapat berfungsi sebagai sumberdaya sekunder sehingga dapat memperkecil entropinya. Syamsuddin (1985) menyatakan bahwa di negara-negara yang memiliki teknologi tinggi, bahan-bahan yang tidak mempunyai nilai ekonomi dapat diubah

35 menjadi bahan yang bernilai ekonomi, sehingga dapat bermanfaat bagi manusia dan mahluk lainnya. Soewedo (1983), menyatakan pengelolaan sampah adalah perlakuan terhadap sampah untuk memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Kebersihan lingkungan yang merupakan faktor penting untuk mencapai kesehatan lingkungan merupakan masalah tersendiri dalam program sanitasi lingkungan. Lingkungan yang kotor, misalnya akibat pengelolaan sampah yang kurang baik, dapat menimbulkan penyakit bagi masyarakat. Di samping masalah estetika (kebersihan) kota, sampah juga dapat berfungsi sebagai tempat berkembangnya faktor-faktor penyakit (lalat, tikus, serangga) yang dapat menularkan penyakit pada manusia sekitarnya. Damanhuri (1994), pengelolaan limbah yang sudah terbentuk bukan hanya terbatas pada segi bagaimana mengolahnya dan menyingkirkannya agar tidak mencemari lingkungan. Pengolahan, pendaur ulangan atau pemusnahan limbah merupakan inti dalam usaha mengurangi dampak negatif dari limbah yang sudah terbentuk. Untuk lebih jelasnya diperlihatkan pada Gambar 4. Bahan Terbuang Penyimpanan Pengumpulan Pengangkutan Daur Ulang Pengolahan Pemusnahan Gambar 4. Elemen-elemen dalam pengelolaan limbah a. Konsep Zero Waste Konsep zero waste merupakan konsep pengolahan sampah yang mengintegrasikan prinsip 3R : reduce, reuse dan recycle dengan pengolahan

36 sedekat mungkin pada sumbernya. Reduce adalah mengurangi timbulan sampah pada sumbernya. Reuse merupakan upaya pemanfaatan kembali sampah atau barang yang sudah tidak berguna lagi, sedangkan recycle adalah pendaur ulangan dari sampah (barang yang tidak berguna) menjadi produk lain yang lebih ekonomis. Konsep zero waste memiliki 3 manfaat (Bebasari, 2004): (1) Mengurangi ketergantungan terhadap TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah yang semakin sulit didapatkan; (2) Meningkatkan efisiensi pengolahan sampah perkotaan; dan (3) Terciptanya peluang usaha bagi masyarakat. Penerapan konsep zero waste akan berhasil dengan baik bila dilakukan terpadu dan holistik dengan melibatkan seluruh aktor (stakeholder) terkait, seperti pemerintah, pengusaha, LSM, dan masyarakat. Penerapan konsep zero waste dilakukan dengan mendirikan tempat pembuatan kompos dan industri kecil daur ulang (recycle) sampah di daerah (kawasan) sumber sampah dengan pemberdayaan masyarakat sekitar untuk berperan aktif. Konsep dasar pengelolaan sampah dengan zero waste ini adalah oleh, dari dan untuk masyarakat, dengan menerapkan beberapa jenis pengolahan secara simultan untuk menghasilkan produk dari hasil daur ulang. Pemerintah dalam konsep pengelolaan sampah model ini lebih berperan sebagai fasilisator dan penyediaan prasarana seperti jalan, sarana komunikasi, dan lain sebagainya. Konsep zero waste merupakan bagian dari sistem pengelolaan sampah secara terpadu. Di mana didalamnya dilakukan suatu penyeleksian terhadap teknik-teknik yang cocok, teknologi yang tepat dan program pengelolaan yang dapat diterapkan, sehingga sampah spesifik yang ada di masing-masing wilayah atau sumber dapat diminimalisasi dengan baik. Contohnya melalui kegiatan daur ulang (recycling) dan pengomposan (composting). b. Daur Ulang Daur ulang merupakan faktor penting dalam membantu meminimalisasi sampah yang terus dihasilkan. Beberapa hal yang termasuk daur ulang adalah : 1. Pemisahan dan pengumpulan sampah; 2. Persiapan sampah ini untuk digunakan kembali, diproses ulang dan dibuat baru kembali; 3. Memperoleh materi atau sampah yang bisa dimanfaatkan.

37 Pemisahan sampah bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu pemisahan sampah secara terpusat (centralizad source) dan pemisahan sampah di sumber (source separation). Menurut Robinson (1993), pemisahan sampah secara terpusat tidaklah berbeda dengan yang ada sekarang, dimana sampah dihasilkan terbuang dan tercampur begitu saja di TPS. Pemisahan ini tetap memperlakukan sampah sebagai penyebab masalah. Beberapa alasan mengenai sistem ini diabaikan hanya karena mahal, tidak fleksibel, tidak efisien, dan menimbulkan masalah pencemaran. Pemisahan sampah di sumber dirasa lebih menguntungkan dibanding pemisahan secara terpusat (Robinson, 1993). Beberapa keuntungan pemisahan sampah di sumber adalah (Lardinois dan Van de Klunder, 1993). 1. Materi-materi yang dapat diatur ulang bersih dan jumlah jualnya lebih tinggi; 2. Tidak menimbulkan waktu yang lama untuk memisah/memilah van-bahan yang terkandung dalam sampah; 3. Kualitas produk akhir, seperti kompos lebih baik; 4. Sistem pengelolaan sampah menjadi lebih baik karena sampah yang terangkut sedikit, artinya : - Biaya transportasi berkurang dan sampah yang dibuang ke TPA menjadi sedikit; - Pemilihan incenerator sebagai pengolah sampah menjadi masuk akal, karena van yang basah dan yang kering sudah terpisah. 5. Mengurangi kecelakaan yang tiba-tiba dan penyakit yang ditimbulkan melalui sampah. c. Pengomposan Menurut Haugh (1980) mendefinisikan pengomposan sebagai proses dekomposisi dan stabilisasi bahan secara biologis dengan produk akhir yang cukup stabil untuk digunakan di lahan pertanian tanpa pengaruh yang merugikan. Fauzi dan Suprihatin (1991), menambahkan bahwa pengomposan adalah dekomposisi dan stabilisasi dan substrat organik secara biologis pada kondisi termofilik. Produk akhir hasil pengompasan cukup stabil untuk disimpan dan digunakan untuk pupuk tanpa menimbulkan efek yang menggangu lingkungan.

38 Gaur (1983), mendefinisikan kompos sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk granula-granula tanah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat memperbaiki struktur, tekstrur, dan lapisan tanah sehingga akan memperbaiki pula aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk mengandalikan erosi tanah. Banyak faktor, baik biotik maupun abiotik mempengaruhi proses pengomposan yang sudah diselidiki dan diketahui sejak lama. Beberapa faktor yang harus diketahui di dalam proses pengompasan adalah sebagai berikut (Suriawiria, 1993): 1. Pemanasan lahan; bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar untuk didegredasi/diurai, harus dipisahkan baik yang berbentuk logam, batu maupun plastik. Bahkan, bahan-bahan tertentu yang bersifat toksik serta dapat menghambat pertumbuhan mikroba, harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan, misalnya residu pestisida. 2. Bentuk bahan; semakin kecil dan homogen bentuk bahan semakin cepat dan baik pula proses pengompasan. Karena dengan bentuk bahan yang kecil dan homogen lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba. Selain itu, bentuk bahan berpengaruh pula terhadap kelancaran difusi oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO 2 yang dihasilkan. 3. Nutrien; seperti pula jasad hidup lainnya, untuk aktivitasnya mikroba di dalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrient karbohidrat, misalnya antara 20 hingga 40 persen yang digunakan akan diasimilasikan menjadi komponen sel. CO 2 kalau dibandingkan sumber nitrogen dan sumber karbohidrat yang terdapat di dalamnya (C/N-rasio) = 10:1. berdasarkan kepada komposisi di atas, perhatian harus lebih ditekankan terhadap C/Nrasio di dalam bahan; untuk proses pengomposan nilai optimum adalah 25:1 sedangkan maksimum 10:1 4. Kadar air bahan tergantung kepada bentuk dan jenis bahan misalnya, kadar air optimum di dalam pengompasan bernilai antara 50-70, terutama selama

39 proses fase pertama. Kadang-kadang dalam keadaan tertentu kadar air bisa bernilai sampai 85 persen misalnya pada jerami. Di samping persyaratan di atas, masih diperlukan pula persyaratan lain yang ada pada pokoknya bertujuan untuk mempercepat proses serta menghasilkan kompos dengan nilai yang baik, antara lain, homogenitas (pengerjaan yang dilakukan agar bahan yang dikomposisikan selalu dalam keadaan homogen), aerasi (suplai oksigen yang baik agar proses dekomposisi untuk bahan-bahan yang memerlukan), penambahan starter (preparat narkoba) kompos, dapat pula dilakukan, misalnya untuk jerami (Suriawiria, 1993). Kompos sebagai pengganti humus mempunyai arti yang penting untuk memelihara kesuburan dan kestabilan tanah guna menjamin kesuburan pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur dan senyawa yang terkandung di dalamnya, seperti zat arang, fosfat, kapur, pospor, nitrogen dan senyawa organik (Harada, 1990) Kelembagaan Penanganan Sampah Penanganan sampah tidak mudah, melibatkan banyak pihak, memerlukan teknologi, memerlukan dana yang cukup besar, dan partisipasi dari berbagai pihak baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kelembagaan merupakan organisasi dan aturan main (rules of the game). Kelembagaan sebagai suatu organisasi menggambarkan koordinasi yang didasarkan atas mekanisme administratif sehingga mengarah pada pengertian lembaga yang bersifat formal seperti departemen dalam pemerintahan, perusahaan, koperasi, bank dan sebagainya. Menurut Anwar (1995), apabila dikaji lebih cermat berdasarkan konsep kelembagaan, ternyata organisasi merupakan bagian (unit) pengambilan keputusan yang didalamnya diatur oleh sistem kelembagaan atau aturan main. Aturan main disini mencakup keserasian yang lebih luas dalam bentuk konstitusi suatu negara sampai pada kesepakatan diantara dua pihak (individu) yang menyepakati aturan bersama mengenai pembagian manfaat dan beban yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan defenisi dan terminologi yang berlaku di masyarakat, maka lembaga adalah kombinasi dari : 1. Kebijakan dan tujuan

40 2. Hukum, aturan main, dan peraturan 3. Organisasi 4. Rencana operasi dan prosedur 5. Mekanisme insentif 6. Mekanisme pertanggungjawaban 7. Norma, tradisi, praktek, dan kebiasaan. Kelembagaan yang baik merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan negara, pembangunan, pasar, perdagangan atau bisnis. Demikian pula halnya dengan kelembagaan penanganan persampahan. Kelembagaan penanganan sampah kota tidak hanya terdiri dari organisasi yaitu hubungan keterkaitan berbagai pihak (stakeholder) tetapi dapat juga berupa aturan dan kebijakan yang akan berpengaruh dalam mengimplementasikan sistem pengelolaan sampah baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, lingkungan maupun teknologi. Kebijakan dan strategi penanganan sampah mengacu pada Undang-undang Lingkungan Hidup yang tertuang dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yaitu upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Untuk kemudian masing-masing daerah menjabarkannya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Sedangkan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Hardjosoemantri, 2000). Menurut Djogo et al. (2003), mengatakan bahwa unsur-unsur dan aspek kelembagaan antara lain meliputi: 1. Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat. 2. Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur. 3. Peraturan dan penegakan aturan/hukum.

41 4. Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota. 5. Kode etik 6. Kontrak 7. Pasar 8. Hak milik (property rights atau tenureship) 9. Organisasi 10. Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan Aspek Organisasi Untuk mengoperasikan penanganan sampah dibutuhkan sistem pengelolaan yang baik yang meliputi seluruh tindakan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Oleh karena itu, manajemen dan organisasi yang baik memegang peranan penting. Organisasi penanganan persampahan di Indonesia tampak cukup beragam, umumnya disesuaikan dengan jumlah sampah yang harus ditangani. Organisasi adalah jaringan dari peran yang diatur dalam hirarki dengan tujuan membatasi kewenangan individual dan mengkoordinasi kegiatan sesuai dengan sistem aturan dan prosedur (Cernea, 1987 dalam Bandaragoda, 2000). North (1990) dalam Bandaragoda (2000) mendefenisikan organisasi sebagai sesuatu yang diciptakan untuk memaksimalkan kesejahteraan, pendapatan, atau tujuan lainnya dengan cara menciptakan kesempatan melalui struktur kelembagaan dalam masyarakat Aspek Teknik Operasional Teknis operasional pengelolaan sampah meliputi kegiatan pewadahan/ pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir berikut peralatan serta teknologi yang digunakan. Pewadahan dilakukan oleh sumber sampah, yaitu rumah tangga, toko, restoran, hotel, pedagang pasar, pengelola sekolah, dan sebagainya. Bentuk wadah yang digunakan ditentukan sendiri sesuai selera dan kemampuan pemiliknya, dapat berupa tong logam, bin plastik, kotak kayu, atau bak pasangan bata. Setelah

42 terkumpul di dalam wadah, sampah dapat diolah sendiri oleh pemiliknya, misalnya dijadikan kompos, atau menunggu untuk diambil petugas. Pengumpulan sampah adalah mengambil sampah dari sumber untuk dikelola lebih lanjut. Pekerjaan pengumpulan sampah di daerah pemukiman umumnya dikelola dan dilakukan oleh organisasi masyarakat, misalnya RT/RW (Rukun Tetangga/Rukun Warga). Kegiatan ini dibiayai dari iuran yang dipungut dari masyarakat yang dilayani. Di daerah non pemukiman, termasuk penyapuan jalan, umumnya pengumpulan sampah dilakukan oleh pengelola persampahan kota, misalnya pada daerah komersial, taman kota, pasar,dan sebagainya. Pengumpulan sampah juga dapat dilakukan oleh perusahaan swasta yang bekerja sesuai kontrak kerja. Setelah dikumpulkan di lokasi pemindahan (transfer depo) proses akhir dari pengelolaan sampah adalah pembuangan akhir ke TPA (Arianto dan Darwin, 2003). Flintoff (1976) menyatakan secara umum ada 3 bentuk sistem pengolahan sampah di TPA yaitu: 1. Open dumping Open dumping merupakan cara yang paling sederhana, sampah dibuang saja pada tanah kosong, dan dibiarkan sampai akhirnya membusuk. Mengingat sampah hanya dibuang begitu saja, maka akan timbal dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya, seperti pencemaran bau, tempat berkembangnya serangga dan nyamuk serta pencemaran air akibat leachate. Menurut Bebasari (2000) sistem open dumping ini cocok digunakan di kota kecil, yang masih memiliki tanah kosong yang luas. 2. Controlled landfill Controlled landfill merupakan pengembangan dari sitem open dumping, pada sistem ini sampah dibuang dan diratakan dengan alat berat (bulldozer), kemudian ditutup dengan tanah. Sistem open dumping dan controlled landfill telah digunakan di 57 kota besar di Indonesia (Bebasari, 2000). 3. Sanitary landfill Merupakan sistem pembuangan sampah yang paling baik dibandingkan dua sistem terdahulu. Pada sistem ini sampah ditimbun dalam statu lubang yang telah disiapkan, dilanjutkan dengan pemadatan, kemudian ditutup dengan tanah

43 sebagai lapisan penutup. Dalam sistem ini telah dilengkapi instalasi pengolah leachate dan gas sebagai hasil sampingan. Kelemahan dari sistem sanitary landfill menurut Bebasari (2000) adalah biaya operasionalnya yang sangat mahal, diperkirakan untuk setiap 1 (satu) ton sampah menelan biaya Rp Aspek Pembiayaan dan Retribusi Aspek pembiayaan meliputi sumber dana dan biaya pengelolaan persampahan yang terdiri dari biaya operasi, pemeliharaan dan administrasi. Seperti telah disebutkan bahwa pembiayaan pengelolaan sampah pada umumnya selain dibebankan pada masyarakat juga disubsidi oleh Pemerintah Daerah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aspek Hukum dan Pengaturan Peraturan perundang-undangan pemerintah baik pusat maupun daerah berkaitan dengan pengelolaan lingkungan merupakan aspek yang penting dalam mengarahkan program penanganan sampah. Peraturan tersebut selain bersifat mengarahkan juga bersifat memaksa masyarakat untuk mematuhinya karena adanya sanksi bagi warga yang tidak mematuhinya. Karena sifat inilah maka hukum dan peraturan menjadi aspek vital. Berdasarkan kriteria Direktorat Jenderal Cipta Karya Pekerjaan Umum (1996) bahwa peraturan daerah tentang penyelenggaraan pengelolaan persampahan yang harus dimiliki oleh suatu kota terdiri dari : - Peraturan Daerah tentang Pembentukan Institusi Pengelola - Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Kebersihan Kota - Peraturan Daerah tentang Tarif dan Retribusi Kebersihan Hukum dan peraturan yang efektif dan efisien perlu didukung oleh aparat pelaksana dan pengawas serta pemberi sanksi. Disamping itu materi peraturan itu sendiri diharapkan cukup lengkap sehingga dapat mengatur dan memantau permasalahan yang ada secara cepat dan tepat dalam mengambil kebijakannya Penanganan Sampah oleh Pemulung Peran pemulung dalam penanganan sampah kota sangat penting. Karena kegiatan pemulungan dapat mengatasi penumpukan sampah di sumber dan tempat pembuangan akhir. Pengelolaan sampah dengan menggunakan teknologi mesin

44 sangat tidak mungkin dilakukan saat ini, khususnya di Kota Bogor. Hal ini lebih disebabkan oleh keterbatasan modal baik finansial maupun tenaga kerja. Karena operasional alat membutuhkan tenaga dan keterampilan khusus. Artinya tidak semua orang menguasai teknologi tersebut. Sehingga peran serta pemulung dalam kegiatan daur ulang guna menekan beban pencemaran lingkungan sangat dibutuhkan. Menurut (Dinas Kebersihan Provinsi DKI, 1990), kesepakatan cara pandang mengenai pemulung adalah : 1. Pemulung merupakan bagian masyarakat atau WNI yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan UUD Pemulung adalah pelaku penting dalam proses daur ulang (recycling) sampah sebagai salah satu bagian dalam penanganan sampah perkotaan maupun pedesaan. 3. Pemulung adalah salah satu pemelihara lingkungan hidup yang menyerap sebagian sampah untuk dapat diolah menjadi barang yang berguna bagi masyarakat. 4. Pemulung adalah orang yang bekerja memunguti dan mengumpulkan sampah serta memanfaatkan sampah-sampah tersebut untuk menambah penghasilan mereka. Seperti diketahui bahwa para pemulung, pengusaha daur ulang dan pengomposan memiliki kemampuan yang terbatas (bounded rationality) mengingat ada unsur ketidakpastian (uncertainty) dalam melakukan usahanya (kuantitas dan kualitas sampah organik dan anorganik, tidak terjaminnya daya serap pasar kompos dan barang bekas) serta menghadapi kompleksitas keadaan seperti penyortiran, penyimpanan, pengangkutan, dan sebagainya. Dalam kondisi demikian, jika transaksi dicapai melalui mekanisme pasar maka para pemulung, pengusaha daur ulang dan kompos dipastikan akan menanggung biaya transaksi yang tinggi. Dalam kasus usaha daur ulang sampah, para pemulung dan lapak menerima tingkat harga dan perolehan margin yang lebih rendah dari pada bandar dan pengusaha daur ulang. Salah satu aspek yang tidak menguntungkan dalam bisnis daur ulang sampah disebabkan oleh perilaku pasar dari bandar/lembaga pembeli komoditas

45 barang bekas yang menentukan harga secara searah karena terjadinya informasi asimetrik sehingga menimbulkan struktur pasar yang tidak bersaing. Informasi yang asimetrik (tentang kuantitas dan kualitas barang bekas yang dapat didaur ulang tingkat harganya dan demand barang bekas sampai dapat dipergunakan sebagai bahan baku industri) menimbulkan adanya biaya transaksi yang tinggi. Dengan demikian baik Perusahaan Daerah Kebersihan (PDK) para pemulung dan pengusaha daur ulang akan sama-sama memiliki keuntungan apabila transaksi dilakukan melalui mekanisme organisasi (non market organization) (Anwar 1997). Melalui kegiatan pemulungan dan perdagangan bahan-bahan sampah, kelompok masyarakat di sektor ini mendapatkan penghasilan untuk kehidupan sehari-harinya, sekaligus menyediakan bahan baku dalam jumlah cukup besar untuk memenuhi permintaan dari pabrik berskala besar atau industri rumah tangga. Oleh karenanya fungsi pemulungan dalam daur ulang akan terus berlanjut dan berkembang sebagai salah satu alternatif dalam memusnahkan sampah. Pemulung juga merupakan katub pengaman yang efektif dalam mengatasi kesulitan dan keterbatasan lapangan pekerjaan di kota. Kehadiran pemulung di satu sisi telah turut memberikan bantuan kepada Pemerintah Daerah, dalam membenahi permasalahan-permasalahan di kawasan perkotaan. Namun disisi lain pertumbuhan sektor ini juga semakin memperberat beban Pemerintah, khususnya dalam menyediakan lahan pemukiman beserta fasilitas-fasilitas pendukung. Seperti diketahui bahwa kondisi kehidupan pemulung pada umumnya masih sangat menyedihkan, dengan lingkungan pemukiman yang kotor dan kumuh di sekitar lokasi pembuangan sampah sementara dan lokasi pembuangan sampah akhir. Adanya pembinaan terhadap pemulung dalam bentuk penyuluhan, aksi sosial, pelayanan kesehatan, serta peningkatan keterampilan kiranya dapat meningkatkan kinerja pemulung tersebut sehingga suatu saat dapat beralih ke profesi lain yang lebih baik. Dengan pengertian generasi berikutnya dari pemulung tersebut tidak perlu harus bekerja menjadi pemulung juga (Anwar, 1997).

46 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gunung Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor yang merupakan lokasi pembuangan akhir sampah dari Kota Bogor dengan luas 9,6 Ha. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan dengan cara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa sistem penanganan sampah di TPA Galuga tidak terbatas pada proses pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan atau pemusnahan tetapi sudah sampai pada tahap daur ulang sampah menjadi kompos. Penentuan wilayah Kota Bogor sebagai daerah sumber sampah didasarkan pada pertimbangan bahwa Kota Bogor adalah wilayah penyangga yang sangat potensial untuk menampung migrasi penduduk dari wilayah kota metropolitan Jakarta. Hal ini menyebabkan Kota Bogor mempunyai potensi produksi sampah yang cukup tinggi Teknik Penentuan Responden Dalam penelitian ini responden terbagi menjadi 3 kategori. Pertama adalah responden yang jumlahnya ditentukan secara stratified random sampling, terdiri dari pemulung dan lapak. Kedua responden juga diambil dari pihak pengusaha yaitu pengusaha kompos yang ada di sekitar TPA Galuga. Dari hasil perhitungan dengan galat 10% responden pemulung yang akan diwawancarai sebanyak 40 orang dari populasi 400 orang sedangkan untuk pengusaha kompos dan lapak yang ada di TPA Galuga pengambilan sampel secara keseluruhan karena jumlahnya sedikit yaitu 15 orang untuk lapak sedangkan pengusaha kompos 1 orang karena pengusaha kompos yang ada di TPA Galuga hanya ada 1 orang dari Paguyuban Tumaritis. Ketiga responden yang berasal dari pakar untuk pengkajian peran para pihak (stakeholder) dalam menentukan alternatif tata kelola sampah yang berkelanjutan. Dasar pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan pakar/responden digunakan kriteria sebagai berikut : 1. Keberadaan dan kesedian pakar/responden untuk dimintakan pendapat. 2. Memiliki reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli atau pakar pada subtansi yang diteliti.

47 3. Telah memiliki pengalaman dalam bidangnya, dalam hal ini kebijakan lingkungan dan standarisasi. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka responden yang terpilih adalah wakil pemerintah (Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor), wakil swasta (pengusaha daur ulang) yang ada di Kota Bogor, tokoh masyarakat dan pemulung Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang terkait dalam pengelolaan sampah kota di TPA Galuga. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari penelitian dapat tercapai Studi Pola Pengelolaan Sampah Kota di TPA Gunung Galuga Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persoalan yang terkait dengan pola pengelolaan sampah kota di TPA Galuga. a. Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengukuran langsung dari lapangan dengan teknik observasi dan wawancara secara langsung dengan responden menggunakan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kajian pustaka baik pemerintah maupun swasta yaitu data teknis pengelolaan sampah kota di TPA Galuga. b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data menggunakan metode survei dengan teknik wawancara kepada responden dan informan terkait, kemudian digambarkan secara deskriptif terhadap data contoh. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, pemulung, lapak dan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan sampah kota. c. Metode Analisis Data penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga dapat memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai kegiatan pengelolaan sampah yang sedang berlangsung saat ini.

48 Analisis Nilai Ekonomi Pengelolaan Sampah serta Dampak Positifnya terhadap Lingkungan a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dilakukan dengan observasi dan wawancara langsung terhadap responden yang menjadi sasaran dalam penelitian ini yaitu pemulung, lapak dan pengusaha kompos Paguyuban Tumaritis di TPA Galuga. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui kepustakaan terhadap buku-buku, laporan-laporan, hasil penelitian. b. Metode Pengumpulan Data Untuk analisis nilai ekonomi pengelolaan sampah serta dampak positifnya terhadap lingkungan instrumen yang digunakan adalah kuisioner berdasarkan variabel-variabel yang diamati yaitu dari aspek ekonomi antara lain data pembiayaan pengelolaan sampah (biaya variabel maupun biaya tetap), biaya pembuatan sampah organik menjadi kompos, data pemasaran kompos, laba atau keuntungan dari penjualan bahan dauran, jenis dan sumber sampah, serta komposisi sampah dengan jumlah responden 40 orang yang berasal dari pemulung dan 15 orang yang berasal dari lapak dan 1 orang dari pengusaha kompos. Penentuan responden dilakukan secara stratified random sampling. c. Metode Analisis Untuk mengetahui sejauhmana keuntungan yang akan diperoleh dari usaha daur ulang dan pengomposan sampah kota maka perlu menghitung besarnya pendapatan dan cost supaya dalam usaha tersebut tidak mengalami kegagalan maupun kerugian secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Perhitungan Pendapatan Usaha Pendapatan (TI) = TR - TC dimana : TI = Total Income (Total Pendapatan) TR TC = Total Penerimaan (Total Revenue) = Total Biaya (Total Cost) TR = n i 1 p 1 y 1 = p 1y 1 + p 2 y 2 +. p n y n

49 TC = n i 1 p 1 x 1 = p 1x 1 + p 2 x 2 +. p n x n 2. Analisis Nilai Ekonomi Pemanfaatan Sampah Kota Selanjutnya karena biaya usaha berpengaruh terhadap produktivitas maka untuk melihat nilai ekonomi dan keuntungan yang diperoleh agar kegiatan perusahaan pengelola sampah layak dilaksanakan atau tidak dilakukan dengan cara membandingkan total penerimaan dan total biaya secara matematis dinyatakan sebagai berikut : R/C Ratio = TotalPenerimaan TotalBiaya Nilai R/C Ratio mengandung tiga arti penting yaitu : 1. Jika nilai R/C Ratio > 1 maka kegiatan layak dilaksanakan (karena memberikan keuntungan dan manfaat) 2. Jika nilai R/C Ratio = 1 berarti tidak memberikan keuntungan (hanya kembali modal) tergantung kepada pihak manajemen perusahaan. 3. Apabila nilai R/C Ratio < 1 berarti kegiatan mengalami kerugian (tidak layak dilaksanakan) karena keuntungan lebih kecil dari biaya. 3. Analisis Titik Impas (Break Even Point/BEP) Batas dimana usaha dikatakan tidak rugi dan tidak laba disebut Break Even Point (BEP). BEP menunjukkan hubungan antara biaya tetap, biaya variable, keuntungan dan volume kegiatan sehingga akan nampak posisi volume usaha dimana penghasilannya sama dengan biaya totalnya. Analisis BEP dikenal juga dengan nama Cost Profit Volume Analisis (CPV Analysis). Secara matematis, Break Even Point dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Keterangan : P V FC Q FC BEP (Q) = X100% P V = Harga jual per unit (Rp) = Biaya variabel per unit (Rp) = Biaya tetap (Rp) = Jumlah unit / kuantitas produk

50 4. Analisis Sosial dan Lingkungan Pengelolaan Sampah Analisis data menggunakan metode deskriptif dan kuantitatif. Secara kuantitatif dapat dirumuskan dengan menghitung jumlah reduksi sampah yaitu sampah yang diolah ditambah sampah yang tidak diolah. Sedangkan secara deskriptif dapat dirumuskan melalui penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya Studi Peran Sistem Kelembagaan dalam Pengelolaan Sampah di TPA Gunung Galuga Kajian ini bertujuan untuk mengetahui peranan sistem kelembagaan sehingga jelas keterkaitan dan hubungan antara pemulung, lapak, pengusaha kompos, pengusaha daur ulang dan pemerintah terkait dengan pengelolaan sampah kota di TPA Galuga. a. Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengukuran langsung dari lapangan dengan teknik observasi dan wawancara secara langsung dengan responden menggunakan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kajian pustaka baik pemerintah maupun swasta yaitu data teknis pengelolaan sampah kota di TPA Galuga. b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data menggunakan metode survei dengan teknik wawancara kepada responden dan informan terkait, kemudian digambarkan secara deskriptif terhadap data contoh. Responden dalam penelitian ini adalah pakar yang terkait dengan penelitian (pakar dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat). Responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Pakar yang dipilih adalah orang-orang yang berkompeten dan ahli dalam pengelolaan sampah. Variabel yang diamati adalah peran sistem kelembagaan dalam pengelolaan sampah seperti hubungan pemulung, pengusaha kompos, lapak, bandar dan pemerintah, aspek organisasi, aspek organisasi dan peraturan, aspek teknik operasional, dan pembiayaan. c. Metode Analisis

51 Data penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga dapat memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai kegiatan pengelolaan sampah yang sedang berlangsung saat ini Analisis Peran Stakeholder dan Alternatif Tata Kelola Sampah yang Efektif dan Efisien di TPA Galuga a. Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan adalah data primer melalui wawancara mendalam (dept interview) dengan beberapa responden yang berasal dari beberapa stakeholder dari pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, pihak swasta, pemulung dan masyarakat. b. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan untuk peran stakeholder dan alternatif tata kelola sampah yang efektif dan efisien dalam penanganan sampah dilakukan secara deskriptif dengan cara diskusi-diskusi dengan pihak terkait seperi Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, pihak swasta, pemulung dan masyarakat yang terdiri dari 4 orang pakar. Dasar pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan pakar/responden digunakan kriteria sebagai berikut : 1. Keberadaan dan kesedian pakar/responden untuk dimintakan pendapat. 2. Memiliki reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli atau pakar pada subtansi yang diteliti. 3. Telah memiliki pengalaman dalam bidangnya, dalam hal ini kebijakan lingkungan dan standarisasi. Variabel yang diamati adalah Kebijakan dan aturan tentang pengelolaan sampah kota. Berdasarkan wawancara mendalam (dept interview) dengan pakar ditentukakan struktur AHP berdasarkan tingkat kepentingan setiap level dalam pengelolaan sampah di TPA Galuga yaitu ada 5 lima tingkat (level) hirarki yang terkait secara nyata mempengaruhi keberhasilan alternatif tata kelola sampah dengan konsep zero waste di TPA Galuga yaitu : (1) level fokus; (2) level faktor; (3) level aktor; (4) level tujuan dan (5) level alternatif. Level-level tersebut kemudian diuraikan lagi menjadi sub level yaitu: 1. Level Fokus yaitu sistem pengelolaan dan tata kelembagaan dalam pengelolaan sampah kota di Kota Bogor (SPTK)

52 2. Level Faktor terdiri dari kebijakan pemerintah (KP), pengetahuan masyarakat (PM), modal (Md), kelembagaan (KLB) dan pemasaran (Pms) 3. Level Aktor terdiri dari pemerintah, swasta, masyarakat dan pemulung. 4. Level tujuan terdiri dari mengurangi ketergantungan dengan lahan TPA (MKL TPA), mengurangi biaya operasional (MBO), meningkatkan kebersihan dan kesehatan lingkungan (MKKL), peningkatan pendapatan masyarakat (PP), dan perluasan lapangan kerja (PLK). 5. Level alternatif terdiri dari sublevel kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia(kksdm), pengolahan sampah melalui pengomposan, pengarangan dan daur ulang (PPDU), keterlibatan masyarakat (KB), sarana dan prasarana (SP), peningkatan teknologi dalam pengolahan sampah (PT). c. Metode Analisis Analisis faktor dan sub-faktor peran para pihak (stakeholder) dan alternatif tata kelola sampah yang efektif dan efisien di TPA Galuga dilakukan melalui pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process). Pembuatan hierarki penentuan prioritas ini amat penting, khususnya untuk mengetahui kriteria atau sub-kriteria yang digunakan, sehingga akan memudahkan dalam tahapan selanjutnya. Setelah diketahui kriteria dan sub-kriterianya, maka dilakukan penentuan seberapa pentingnya suatu kriteria terhadap kriteria atau subkriteria lainnya. Untuk mengetahui hal ini maka dilakukan Metode Delphi yang menggunakan Metode Survei dengan membuat kuesioner dan mengirimkannya kepada ahli atau orang yang berkompeten dalam bidang kelembagaan di sekitar TPA Galuga daerah penelitian. Kekuatan metode ini adalah penilaian dilakukan secara independen, tapi metode ini juga memiliki kelemahan seperti: 1) Seringkali terjadi salah pengertian dari responden terhadap kuesioner yang dibuat; 2) Memerlukan waktu yang lama dikarenakan jika penilaian tidak konsisten, maka survei harus dilakukan secara berulang-ulang. Metode ini dilakukan untuk penentuan prioritas suatu kegiatan yang jumlahnya banyak. Asumsi-asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Harus terdapat sedikit kemungkinan tindakan, yakni: 1, 2, 3,..., n yang merupakan tindakan positif; 2) Responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberikan tingkat urutan (skala) pentingnya tujuan-tujuan; 3)

53 Skala yang digunakan dapat bermacam-macam bentuknya, namun dalam penelitian ini digunakan metode skala angka Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu tujuan terhadap tujuan lainnya sama penting dan untuk tujuan yang sama selalu bernilai satu, atau 9 yang menggambarkan satu tujuan ekstrim penting terhadap tujuan lainnya. Tabel 3 berikut disajikan skala angka Saaty beserta definisi dan penjelasannya. Tabel 3. Skala Angka Saaty (Saaty, 1988) Intensitas / Definisi Keterangan Pentingnya 1 Sama penting Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan 3 Perbedaan penting yang lemah antara yang satu terhadap yang lain Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu lebih disukai daripada yang lain 5 Sifat lebih pentingnya kuat Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang 7 Menunjukkan sifat sangat penting satu lebih disukai dari yang lain Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan 9 Ekstrim penting Bukti antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai 2, 4, 6, 8 Nilai tengah antara dua penilaian Diperlukan kesepakatan (kompromi) Resiprokal Jika aktivitas i, dibandingkan Asumsi yang masuk akal dengan j, mendapat nilai bulan nol, maka j jika dibandingkan dengan i, mempunyai nilai kebalikannya Rasional Rasio yang timbul dari skala Jika konsistensi perlu dipaksakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks Sebelum menggunakan penilaian hasil survei tersebut, terlebih dahulu harus diuji kekonsistenan penilaian dengan menggunakan Consistency Ratio (CR). Apabila CR 0.10 maka penilaian responden tersebut konsisten, sehingga hasil

54 penilaian orang tersebut kemungkinan dapat digunakan. Namun apabila nilai CR > 0.10 maka penilaiannya tidak konsisten, sehingga hasil penilaiannya tidak dapat dipakai. Adapun Algoritma penentuan prioritas pengembangan dan kekonsistenannya diuraikan sebagai berikut: 1. Menjumlahkan unsur-unsur matriks menurut kolom tujuan 2. Selanjutnya dilakukan penormalan matriks yaitu dengan membagi unsurunsur matriks dengan jumlah masing-masing kolom tujuan dan akan didapatkan jumlah untuk masing-masing baris tujuan 3. Mengalikan nilai jumlah masing-masing baris tujuan dengan masing-masing kolom tujuan pada tabel awal sebelum penjumlahan 4. Membagi vektor kolom nilai jumlah baris tujuan pada tabel hasil perkalian matriks dengan vektor kolom nialai jumlah baris tujuan sehingga diperoleh vektor kolom untuk menentukan λ maks 5. Untuk menentukan λ maks diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai dalam vektor kolom dibagi dengan ukuran matriks (n) 6. Mencari nilai indeks konsistensi (Consistency Index/CI) dengan rumus: CI = maks n n 1 7. Untuk mengetahui rasio konsistensi (CR) terlebih dahulu nilai CI dibagi dengan nilai acak konsistensi. Setelah diketahui bobot dari masing-masing tujuan, kemudian ditentukan prioritas pengembangan masing-masing kegiatan dengan memberikan skor kepada kegiatan sehubungan dengan keterkaitannya dalam tujuan. Skor yang digunakan yaitu 0,1,2,3 dengan penjelasan sebagai berikut : 0 = apabila kegiatan ke-i tidak mempunyai keterkaitan dengan tujuan ke-j 1 = apabila kegiatan ke-i mempunyai keterkaitan yang lemah dengan tujuan ke-j 2 = apabiala kegiatan ke-i mempunyai keterkaitan yang cukup kuat dengan tujuan ke-j 3 = apabila kegiatan ke-i mempunyai keterkaitan yang kuat dengan tujuan ke-j Setelah dilakukan pemberian skor, kemudian nilai skor tersebut dikalikan dengan bobot tujuan sehingga akan dapat ditentukan prioritas pengembangan utama,

55 seperti pada Gambar 5 tentang struktur hirarki tata kelola dan kelembagaan pengelolaan sampah kota TPA Galuga Kabupaten Bogor. Sistem Pengelolaan dan Tata Kelembagaan dalam Pengelolaan Sampah Kota di TPA Galuga Fokus Kebijakan Pemerintah Pengetahuan Masyarakat Modal Kelembagaan Pemasaran Faktor Pemerintah Swasta Masyarakat Pemulung Aktor Mengurangi Ketergantungan Dengan Lahan TPA Mengurangi Biaya Operasional Peningkatan Pendapatan Masyarakat Perluasan Lapangan Kerja Meningkatkan Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan Tujuan Keterlibatan Masyarakat Kualitas dan Kuantitas SDM Sarana dan Prasarana Pengomposan, Pengarangan dan Daur Ulang Peningkatan Teknologi dalam Pengolahan Sampah Alternatif Gambar 5. Struktur hirarki tata kelola dan kelembagaan pengelolaan sampah kota di TPA Galuga 3.4. Batasan-Batasan Penelitian Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara secara langsung terhadap responden yang menjadi sasaran dalam penelitian ini yaitu pemulung, lapak/bandar, pengusaha daur ulang, dan pengusaha kompos di sekitar TPA Galuga.

56 Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap buku, laporan-laporan, hasil penelitian, dan peraturan perundangundangan terutama dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, Bappedalda, Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup, Dinas Tata Kota, dan instansi yang erat kaitannya dengan pengelolaan sampah, serta personil dan pihak swasta yang terllibat dalam kegiatan tersebut. Penelitian dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Desa Galuga Lewiliang Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Tahun 2006/2007 dengan objek masalah penerapan zero waste di TPA Galuga, dampak positif pemanfaatan sampah kota terhadap lingkungan, aspek ekonomi, sosial dan kelembagaan. Diharapkan dalam penelitian ini akan dapat merumuskan tata kelola sampah secara optimal khususnya di Tempat Pembuangan Akhir Sampah di Kota Bogor. Batasan-batasan dalam penelitian ini adalah : 1) Keragaan pemulung menggambarkan tentang peran dan kapasitas pemulung dalam pengelolaan sampah kota dengan tujuan memperoleh manfaat pribadi dan sosial, dimana manfaat secara pribadi adalah memperoleh pendapatan sedangkan yang dimaksud sebagai manfaat sosial adalah dimana sampah dikategorikan sebagai barang yang tidak mempunyai nilai ekonomi, menjadi suatu yang kembali mempunyai nilai ekonomis. 2) Keragaan lapak menggambar tentang kapasitas lapak dalam menampung sampah yang dikumpulkan pemulung berdasarkan jenis sampah dengan cara membeli dari pemulung melalui kerjasama dengan memberikan pinjaman modal cash sehingga memotivasi pemulung untuk mendapatkan produk sampah yang lebih banyak yang akan mempengaruhi tingkat pendapatan di pihak lapak. Selain itu peubah ini juga menggambarkan sumber dan besarnya modal lapak dalam melakukan setiap kegiatan dan berapa omset lapak setelah dikurangi dengan pengeluaran setiap melakukan kegiatannya. 3) Peran Kelembagaan menggambarkan aturan main (rule of the game) serta hubungan keterkaitan berbagai pihak (stakeholder) dalam organisasi pengelolaan sampah yang dapat berupa aturan dan kebijakan berdasarkan adanya pola norma dan tingkah laku yang terbentuk karena bernilai dan bermanfaat.

57 4) Teknik Pengelolaan Sampah menjelaskan tentang perlunya suatu teknologi yang tepat, mampu meminimalisasi volume sampah dari sumber sampah baik dari TPS maupun TPA, ramah lingkungan dan mampu dipertanggungjawabkan secara akademis dengan melibatkan berbagai pihak pengelola sehingga konsep zero waste (nir limbah) dapat berjalan optimal. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pengelolaan sampah adalah tindakan yang mengarah pada keseluruhan proses dan sistem (manajemen) penanganan sampah yaitu mulai dari pengumpulan, pewadahan, pengangkutan maupun pemusnahan sampah di TPA baik melalui daur ulang, pengomposan dan lain sebagainya. Sedangkan pengolahan sampah adalah tindakan yang mengarah pada perlakuan terhadap sampah untuk mengubah citra sampah agar bernilai ekonomi melalui proses produksi dengan menggunakan teknologi sehingga dapat dimanfaatkan kembali.

58 IV. GAMBARAN UMUM TPA GALUGA Lokasi TPA Galuga terletak di Kampung Lalamping, Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi TPA tersebut sekitar 3 km dari ibukota kecamatan atau 25 km dari pusat Kota Bogor. Walaupun secara administratif lokasi TPA Galuga berada di Kabupaten Bogor, tetapi lahan seluas 9,8 hektar tersebut adalah milik Pemerintah Kota Bogor. Kegiatan lain di sekitar lokasi TPA Galuga adalah sebagai berikut: Sebelah Barat : Jalan beraspal Sebelah Utara : Permukiman Sebelah Timur : Lahan pertanian dan permukiman Sebelah Selatan : Lahan pertanian dan permukiman Permukiman yang paling dekat dengan TPA Galuga adalah Kampung Lalamping dan Cimangir, sedangkan lahan pertanian berupa sawah, lahan kering tegalan, lahan kering kebun campuran, dan semak belukar. Penggunaan lahan dan kegiatan lain di sekitar TPA Galuga disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Tata guna lahan di sekitar TPA Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Luas lahan TPA Galuga milik Pemerintah Kota Bogor sekitar 9,8 ha dengan alokasi penggunaannya sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Dibandingkan dengan keadaan tahun 2003 penggunaan lahan saat ini mengalami

59 perubahan, antara lain adanya pabrik pengolahan pupuk kompos dengan luas lahan sekitar m 2 dan tambahan kolam pengolahan lindi sekitar 100 m 2. Tabel 4. Penggunaan lahan TPA Galuga No Penggunaan lahan Luas (ha) % 1 Areal pembongkaran sampah 1,040 10,6 2 Sarana jalan dan saluran drainase 0,510 5,2 3 Saluran dan kolam pengolahan lindi 0,110 1,1 4 Kantor dan Pos pengawas 0,003 <0,1 5 Pos Pelayanan Kesehatan 0,004 <0,1 6 Lahan penampungan sampah 7,200 73,5 7 Pabrik kompos 0,100 1,0 8 Penggunaan lainnya 0,833 8,5 T o t a l 9, ,0 TPA Galuga merupakan cekungan-cekungan rawa yang dulunya terisolir dari pusat pemukiman, tetapi sejak TPA Galuga berdiri sampai saat ini kegunaan lahan makin terdesak untuk penyediaan kebutuhan perumahan sehingga jarak TPA Galuga dengan pemukiman terdekat hanya + 1 km. Adapun kondisi TPA Galuga pada Gambar 7. Lahan TPA Galuga ini merupakan milik Pemerintah Kabupaten Bogor dan disewakan kepada Pemerintah Kota Bogor sebagai tempat pembuangan akhir sampah yang berasal dari Kota Bogor. Penggunaan lahan TPA Galuga bersifat jangka pendek.upaya untuk menggunakan TPA Galuga terus dilakukan bekerjasama dengan pemerintah Bogor. Dan dengan keputusan Bupati Bogor No /246/KPTS/2005 tanggal 25 Juli 2005 tentang perpanjangan Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga atas nama Pemerintah Kota Bogor, TPA Galuga diizinkan digunakan sampai dengan tahun 2008 (25 Juli s/d 24 Juli 2008). Pada tahun 2002 ada tuntutan Class Action dari LSM yang mewakili masyarakat agar pengelolaan TPA lebih baik dan tuntutan ini dapat diselesaikan dengan baik melalui perjanjian damai No 63/PDT/6/2002/PN CBN (Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor). Konflik penggunaan lahan di TPA Galuga sering terjadi. Hal ini disebabkan karena ada sebagian dari anggota masyarakat sekitar TPA tidak merasakan manfaat terhadap keberadaan TPA tetapi

60 dampak terhadap bau akibat lalulintas truk sampah yang melewati permukiman yang ada di sekitar TPA. Gambar 7. Kondisi umum TPA Galuga Untuk menghindari agar kejadian tersebut tidak terulang kembali, pemerintah kota Bogor secara bertahap melakukan perubahan-perubahan dalam kegiatan pengolahan sampah di TPA Galuga dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan dan tidak menutup kemungkinan untuk bekerjasama dengan pihak lain (investor). Kegiatan pembuangan akhir sampah dimaksudkan untuk mengamankan sampah yang telah dikumpulkan dan diangkut dari seluruh pelosok kota agar tidak membahayakan kehidupan manusia. Dalam rangka memaksimalkan kegiatan pengelolaan sampah TPA Galuga tersedia sarana tempat pengolahan sampah menjadi kompos, penampungan lindi, bulldozer, eksavator dan tracktoader.

61 Berdasarkan data yang ada sampah yang terangkut dan terbuang di TPA Galuga tiap hari 1086 m 3 atau 152 rit ( Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, 2007). Proses pengangkutan sampah ke TPA Galuga pada Gambar 8. Gambar 8. Proses pengangkutan sampah ke TPA Galuga Pengelolaan sampah di TPA Galuga tidak terlepas dari peran petugas TPA dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, pemulung serta keberadaan penampung (lapak), karena secara langsung para pemulung lapak mampu memberikan kontribusi terhadap pengurangan volume tumpukan sampah di TPA Galuga. Jumlah pemulung yang melakukan aktifitas di TPA Galuga sampai saat ini orang yang terdiri dari anak-anak, dewasa dan orang tua (laki-laki dan perempuan). Aktifitas di TPA Galuga dimulai dari pkul pagi sampai sore (16 jam) tanpa ada hari libur dan kegiatan dilakukan secara bergilir. Jenis sampah di TPA Galuga dapat dibedakan menjadi sampah organik merupakan sampah yang volumenya paling tinggi kemudian plastik,kertas,kaca atau gelas, kain/tekstil, logam, karet, dan kayu yang secara keseluruhan sampah-sampah tersebut dari sumber pasar, pabrik/industri dari kota bogor, Leuwiliang, Cisarua dan Ciomas, pemukiman, Perhotelan dan sapuan jalan.

62 Volume timbulan sampah diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat kota besar yang berbanding lurus dengan jumlah sampah/sisa bahan tersebut (Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, 2005). Aktivitas di TPA Galuga tidak terlepas dari pemandangan sekelompok pemulung yang sedang berlomba mengumpulkan sampah. Mereka seakan tidak perduli dengan terik matahari dan bau menyengat sampah yang sudah membusuk. Bahkan ada diantara mereka yang berlomba dengan alat berat mengeruk sampah. Fenomena ini berlangsung setiap hari di TPA Galuga. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Aktivitas pemulung di TPA Galuga Kapasitas dan peran pemulung di TPA Galuga sangat penting dalam mengurangi jumlah timbulan sampah di TPA terutama dalam pemanfaatan sampah-sampah anorganik. Kapasitas dan peran pemulung serta partisipasi masyarakat sekitar akan mampu mengurangi beban lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan memperoleh manfaat secara ekonomi dengan adanya lapangan kerja. Sehingga beban pendanaan untuk pengelolaan sampah dapat diperkecil.

63 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Pola Pengelolaan Sampah di TPA Galuga Karakteristik Responden Pemulung Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan terdapat ± 400 orang pemulung di TPA Galuga yang diantaranya diorganisir oleh Lapak atau penampung. Sebagian besar pemulung berasal dari Kabupaten Bogor (Jawa Barat) dan Luar Bogor (Yogya/Jawa Tengah). Hasil estimasi menunjukkan bahwa diperkirakan jumlah pemulung yang berada di lokasi TPA Galuga 95% merupakan penduduk asli dan 5% merupakan pemulung pendatang. Untuk mengetahui kapasitas dari para pemulung tersebut perlu dilihat karakteristik pemulung. Karakteristik sosial ekonomi pemulung dibatasi pada beberapa aspek yaitu umur, daerah asal, status, jumlah anggota keluarga, pendidikan, kesehatan, tempat berobat, MCK, harga jual dan jenis sampah yang dipulung, lama jam kerja, lama menjadi pemulung, frekuensi pengambilan sampah, frekuensi penjualan sampah, pendapatan, ketergantungan dengan lapak Umur Responden Pemulung Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan fisik dalam bekerja, cara berpikir serta keinginan untuk menerima ide-ide baru berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membantu mengarahkan pemulung dalam mengelola usahanya yaitu dalam kegiatan persampahan. Secara rinci rata-rata umur pemulung dapat dilihat pada Gambar 10. Kisaran Umur Pemulung (Tahun) 35 42,5 15 7, Gambar 10. Kisaran umur pemulung di TPA Galuga

64 Kisaran umur pemulung terbanyak yaitu umur tahun sebanyak 17 orang (42,5%), kisaran umur tahun sebanyak 14 orang (35%), 6 orang (15%) pemulung berumur antara tahun dan 3 orang (7,5%) pemulung berumur tahun. Gambar 9 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (92,5%) pemulung tergolong ke dalam usia produktif, artinya secara fisik maupun mental mempunyai kemampuan menghasilkan barang dan jasa. Berkaitan dengan pekerjaan yang digeluti saat ini menjadi pemulung merupakan alternatif terakhir karena untuk mencari pekerjaan yang lebih baik selain pemulung memerlukan keterampilan, keahlian dan tingkat pendidikan minimal tamat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) sedangkan untuk menjadi pemulung tidak terikat usia, keterampilan dan pendidikan. Banyak pemulung di TPA Galuga adalah mantan karyawan atau pedagang di Jakarta. Mereka menjadi pemulung karena tidak mampu lagi mengikuti kejamnya kehidupan di Ibu Kota Jakarta. Bagi mereka hidup sebagai pemulung lebih tenang, ketimbang mempertahankan status karyawan di perusahaan besar. Menutupi kebutuhan hidup dengan mengandalkan penghasilan sebagai pemulung, tidak saja dilakukan mereka yang masih berusia produktif. Tetapi ada juga yang umurnya lebih dari 54 tahun pun masih ikut mengumpulkan sampah dan mengais rezeki di TPA Galuga. Kondisi inilah yang menyebabkan kehidupan pemulung sangat tergantung dengan keberadaan TPA Galuga. Pemulung mengharapkan TPA Galuga tidak ditutup Status Daerah Asal Pemulung Pemulung yang berada dilokasi TPA Galuga 95%, mereka berasal dari desa-desa di Kabupaten Bogor sekitar TPA Galuga, yaitu 50% berasal dari Desa Dukuh, 35% berasal dari Desa Galuga, 5% Desa Cijujung dan masing-masing 2,5% berasal dari Desa Moyan dan Desa Cimangir. Sedangkan sisanya 5% berasal dari luar Kabupaten Bogor yaitu Yogyakarta dan Solo (Jawa Tengah). Hal ini menggambarkan bahwa pemulung di TPA Galuga di dominasi oleh penduduk asli. Karena tujuan dari adanya TPA Galuga adalah memberi peluang dan lapangan kerja untuk penduduk sekitar untuk menghindari konflik sosial dan mampu memberikan manfaat ekonomi. Adanya keterlibatan masyarakat setempat untuk menjamin keberlangsungan TPA. TPA Galuga merupakan lapangan kerja utama

65 bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan maupun sebagai pekerjaan sampingan Status Perkawinan dan Tanggungan Keluarga Pemulung Dari sejumlah responden tersebut status perkawinan 95% kawin dan 5% tidak kawin. Jumlah Pemulung yang mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 3 4 orang sebesar 52,5%, yang menanggung > 4 orang sebesar 25%, dan 22,5% mempunyai tanggungan 1 2 orang. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut 100% pemulung memiliki tanggungan keluarga. Hal ini membuktikan bahwa jumlah tanggungan keluarga pemulung cukup besar, sehingga beban ekonomi pemulung sebagai salah satu penopang ekonomi keluarga agar kebutuhan sandang, pangan dan papan dapat terpenuhi setiap hari sangat berat dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh sehari-hari, karena jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh suatu rumah tangga. Semakin besar jumlah tanggungan keluarga, maka biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan lainnya semakin tinggi. Keterbatasan modal, pendidikan, keterampilan dan meningkatnya harga bahan pokok menambah keterpurukan dan kemiskinan keluarga pemulung. Gambar 11 menjelaskan distribusi pemulung berdasarkan jumlah tanggungan keluarga. Kisaran Jumlah Tanggungan Keluarga Responden > 4 Gambar 11. Jumlah tanggungan keluarga responden pemulung di TPA Galuga

66 Status Pendidikan Pemulung Mengenai latar belakang pendidikan responden diketahui bahwa, 40% dari pemulung tamat Sekolah Dasar, 37,5% tidak tamat Sekolah Dasar, sedangkan 12,5% tidak sekolah serta 10% pemulung tamat Sekolah Menengah Pertama. Rendahnya tingkat pendidikan para pemulung lebih disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua untuk membiayai sekolah. Bagi mereka pendidikan sangat mahal pada waktu itu karena tidak seperti saat ini pendidikan di tingkat sekolah dasar dan selanjutnya mendapat subsidi dari pemerintah daerah maupun pusat. Kondisi inilah yang memaksa mereka untuk menekuni pekerjaan sebagai pemulung. Selain itu pekerjaan sebagai pemulung menjadi pilihan terakhir karena sebagian dari pemulung awalnya berprofesi sebagai pedagang, kerasnya persaingan di kota besar menyebabkan mereka bangkrut dan kehabisan modal untuk berdagang lagi. Sehingga mereka terpaksa jadi pemulung untuk menutupi kebutuhan keluarga Untuk lebih jelas tingkat pendidikan pemulung dapat dilihat pada Gambar 12. Tingkat Pendidikan 10% 13% 39% 38% Tidak sekolah Tamat SD Tidak Tamat SD Tamat SMP Gambar 12. Distribusi tingkat pendidikan pemulung di TPA Galuga Tingkat Kesehatan Pemulung Tingkat kesehatan masyarakat masih belum dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Hal ini disebabkan adanya pendapat para pemulung yang berbeda dalam menanggapi jenis penyakit. Sebagian dari merekadmenganggap bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit biasa yang lebih disebabkan oleh rasa capek dan lelah setelah melakukan aktivitas. Namun

67 demikian hasil penelitian ini diharapkan sedikit dapat menggambarkan beberapa jenis penyakit yang diderita oleh pemulung, yaitu 50% sering batuk, 17,5% sakit kepala, Demam 10%, dan asma 2,5% sedangkan 20% mengatakan tidak pernah sakit. Karena mereka sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada. Tempat pengobatan yang sering dikunjungi 100 % Puskesmas. Karena sebagian besar dari pemulung memiliki kartu miskin dan menganggap puskesmas adalah tempat berobat yang paling murah. Secara rinci jenis penyakit yang diderita responden pemulung di TPA Galuga dapat dilihat pada Gambar 13. Jenis Penyakit Batuk Sakit Kepala Demam Asma Tidak Pernah Sakit Gambar 13. Jenis penyakit yang diderita pemulung di TPA Galuga Sedangkan sarana MCK yang digunakan adalah 35% menggunakan WC Umum, 47,5% MCK di sungai dan 2,5% WC Plung sedangkan sisanya 12,5% sudah memiliki WC Septik Tank Jenis Sampah yang Diambil Oleh Pemulung Jenis sampah yang dikumpulkan dan dapat dimanfaatkan oleh keseluruhan pemulung cukup beragam. Sebanyak 100% responden mengumpulkan sampah anorganik jenis plastik karena sampah dari bahan plastik tersedia dalam jumlah yang banyak dan selalu ada di TPA Galuga. Bahan Plastik ini sangat mudah dipilah oleh para pemulung dan tidak memerlukan keterampilan khusus hanya mengandalkan kecepatan tangan. Kecepatan tangan mengais menentukan banyak

68 tidaknya hasil yang di dapat. Sedangkan Sampah anorganik dari bahan aluminium, tembaga membutuhkan ketelitian dan waktu untuk mengumpulkan. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan tersebut jumlahnya sedikit dan langka. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lokasi jenis dan harga barang yang dikumpulkan oleh pemulung adalah seperti Tabel 5. No. Tabel 5. Jenis dan harga sampah yang dikumpulkan oleh pemulung di TPA Galuga 1. Plastik - PE - HD - PP - Ember Jenis Sampah yang Dikumpulkan Harga Lapak (Rp/Kg) Harga Agen (Rp/Kg) Kertas Kardus Besi Tembaga Botol Kaleng Karung Aluminium Aqua Botol Aqua Gelas Volume bahan pencemar plastik terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin banyaknya bahan makanan kemasan instant yang menggunakan plastik sebagai pembungkus. Kondisi yang demikian secara langsung memberikan konstribusi terhadap peningkatan volume bahan pencemaran. Sementara sampah organik belum dimanfaatkan oleh pemulung untuk didaur ulang sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomi Pemulung Menurut Lama Kerja Setiap Hari Sebanyak 62,5% responden menggunakan waktu untuk memungut barang bekas antara 8 10 jam per hari dan masing-masing 17,5% pemulung bekerja antara 5-7 jam per hari begitu pula pemulung yang bekerja antara jam per hari, sedangkan sisanya 2,5% bekerja lebih dari (> 13 jam) per hari (Gambar 14). Pekerjaan sebagai pemulung tidak terikat waktu tetapi tergantung pada daya tahan dan kemampuan setiap individu pemulung. Semakin lama jam kerja maka bahan

69 dauran yang diperoleh semakin banyak dan pendapatan meningkat. Tetapi berdasarkan wawancara dan pengamatan langsung di TPA Galuga pada umumnya pemulung tidak tahan terlalu lama di tumpukan sampah karena baunya yang menyengat dan dering mengalami sesak nafas dan batuk-batuk. Terkadang pemulung sampai tiga kali istirahat terutama pemulung wanita. Jam Kerja Setiap Hari Pemulung > 13 Gambar 14. Lama kerja setiap hari (jam) responden pemulung di TPA Galuga Lama Bekerja Sebagai Pemulung Sebanyak 40% responden mengatakan telah menekuni pekerjaan sebagai pemulung 3 4 tahun, 35% mengatakan sudah menjadi pemulung selama lebih dari (> 4) tahun sedangkan sisanya 25% baru 1 2 tahun menjadi pemulung. Secara rinci lama bekerja pemulung (tahun) terlihat pada Tabel 6. No Tabel 6. Lama bekerja responden sebagai pemulung di TPA Galuga Lama Bekerja Sebagai Pemulung (Tahun) Orang Persentase < > Jumlah Frekuensi Pengambilan Sampah oleh Pemulung Frekuensi pengambilan dan penjualan sampah oleh pemulung rata-rata dilakukan setiap hari, hanya barang-barang tertentu yang penjualannya dilakukan satu minggu sekali dan bahkan satu bulan sekali seperti aluminium, tembaga,

70 plastik aqua baik botol maupun gelas. Karena bahan plastik seperti PE dan Aqua jika dilakukan proses pencucian atau pembersihan terlebih dahulu maka harga bahan tersebut menjadi lebih mahal. Tetapi pemulung pada umumnya menjual setiap hari dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap hari dengan kata lain agar asap dapur terus mengepul Pendapatan Pemulung di TPA Galuga Pendapatan pemulung di TPA Galuga sangat variatif tergantung dari jumlah jam kerja, keuletan, jumlah, harga dan jenis sampah yang dikumpulkan. Kondisi ekonomi pemulung dapat dicerminkan dari keadaan pengeluaran dan pendapatan rata-rata per harinya. Besarnya pengeluaran untuk kebutuhan pokok para pemulung tergantung pada jumlah keluarga yang menjadi tanggungannya. Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa pengeluaran pemulung setiap hari rata-rata sekitar Rp , dengan perincian pengeluaran seperti makan di warung satu kali, rokok, dan jajan gorengan seadanya. No Tabel 7. Pendapatan responden sebagai pemulung di TPA Galuga Kisaran Pendapatan Sebagai Orang Persentase Pemulung (Rp/Bulan) ,5 62,5 15,0 Jumlah ,0 Berdasarkan uraian Tabel 7 di atas mengenai besarnya pendapatan para pemulung selama satu bulan berkisar antara Rp Rp Berdasarkan hasil wawancara sekitar 62,5% pemulung pendapatannya berkisar antara Rp Rp , pemulung yang berpendapatan Rp Rp sekitar 22,5% sedangkan sisanya sebanyak 15% pendapatannya Rp Rp Jika dirata-ratakan pendapatan pemulung sebesar Rp Meskipun penghasilan sebagai pemulung tidak mampu mendongkrak kondisi ekonomi ke arah yang lebih layak, tapi pekerjaan itu sulit untuk ditinggalkan. Para pemulung tidak punya modal atau keahlian lain yang bisa diandalkan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tingkat

71 pendidikan dan keterampilan merupakan kendala utama pemulung untuk mencari pekerjaan lain yang dapat meningkatkan pendapatan mereka Ketergantungan/Ikatan dengan Lapak Hasil perolehan data penelitian menunjukkan sebagian besar yaitu sebanyak 75% pemulung di TPA Galuga mempunyai ikatan dengan lapak, selebihnya yaitu 25% tidak memiliki ikatan seperti yang ditunjukkan Gambar 15. Ikatan dengan Lapak 25% 75% Ada Ikatan Tidak Ada Ikatan Gambar 15. Pemulung menurut ikatan dengan lapak di TPA Galuga Ikatan pemulung dengan lapak dapat berupa ikatan kerja artinya bahwa pemulung akan menjual barang di lapak yang sama selama mereka menjadi pemulung, artinya pemulung tidak boleh menjual ke lapak lain. Ikatan yang terjadi tidak secara tertulis. Ikatan terjadi karena adanya kepercayaan dari masing-masing pihak. Pemulung biasanya memperoleh bantuan dalam bentuk alat untuk memulung seperti keranjang, pengait, dan sepatu boat. Selain itu pemulung sewaktu-waktu memperoleh pinjaman mendadak. Sementara yang tidak mempunyai ikatan berhak menjual barang ke lapak manapun Karakteristik Lapak Lapak adalah orang yang membeli barang bekas/sampah anorganik layak daur yang telah dikumpulkan oleh pemulung. Sampah anorganik yang dikumpulkan oleh pemulung sebelum dijual ke lapak dipilah dan diseleksi terlebih

72 dahulu sesuai dengan jenis barangnya. Salah satu contohnya adalah plastik karena plastik terbagi atas 4 jenis yaitu plastik PE, PP, HD dan Ember. Adapula pemulung yang langsung menjual barangnya tanpa proses pemilahan jika jenis relatif beragam. Karena semakin beragamnya sampah yang dikumpulkan akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memilah. Sehingga waktu untuk memungut akan berkurang. Untuk mengetahui peran dan kapasitas lapak dalam pengelolaan sampah di TPA maka perlu diketahui karakteristik masing-masing lapak Umur Responden (Lapak) Karakteristik lapak berdasarkan umur dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar umur lapak yang berada di TPA Galuga merupakan tenaga kerja produksi yang berumur antara tahun sebanyak 5 orang (33,3%), tahun sebanyak 4 orang (26,7%), dan sisanya masing-masing sebanyak 3 orang (20%) berumur antara tahun dan tahun. Kisaran Umur Lapak Umur Lapak Gambar 16. Kisaran umur lapak di TPA Galuga Lama Menjadi Lapak Para lapak di TPA Galuga rata-rata sudah bekerja sebagai lapak > 4 tahun sebanyak 60%, 3 4 tahun sebanyak 26,7% dan sisanya 13,3% baru bekerja sebagai lapak sekitar 1 2 tahun seperti yang dijelaskan pada Gambar 17.

73 Lama Menjadi Lapak (Tahun) 0% 13% 60% 27% < > 4 Gambar 17. Lama responden menjadi lapak di TPA Galuga Berdasarkan hasil penelitian diperoleh juga informasi bahwa beberapa lapak pada awalnya berprofesi sebagai pemulung dan sebagian lagi mempunyai latar belakang keluarga yang sama yaitu sebagai penampung barang bekas atau lapak. Mereka mempunyai keyakinan bahwa jika pekerjaan sebagai lapak ditekuni dengan baik maka prospeknya akan baik pula Jumlah Jam Kerja Setiap Hari Aktivitas Lapak di TPA Galuga dimulai sejak pagi hari, mereka bekerja setiap hari tanpa hari libur. Lama kerja lapak setiap hari rata-rata 5 7 jam sebanyak 53,3% dan sisanya bekerja selama 8 10 jam setiap hari sebanyak 46,7%. Untuk lebih jelasnya seperti tergambar pada Tabel 8. No Tabel 8. Lama kerja lapak setiap hari di TPA Galuga Lama Kerja Setiap Hari (Jam) Orang > 13 0 Persentase 53,3 46,7 0,0 0,0 Jumlah , Jumlah Modal yang di Keluarkan oleh Lapak Aktivitas lapak sangat tergantung pada modal yang dimiliki. Karena modal merupakan faktor utama yang menunjang lapak dalam proses transaksi dengan pemulung. Modal awal yang dimiliki lapak di TPA Galuga berupa

74 bangunan rumah, gudang dan timbangan. Nilai modal awal tersebut berkisar antara Rp Rp Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan seperti yang ditunjukkan Tabel 18 bahwa tidak semua lapak memiliki bangunan rumah atau gudang. Sebagian lapak hanya memiliki timbangan dan tenda seadanya. Hal ini lebih disebabkan karena lapak yang dimaksud langsung menjual barangnya ke agen. Walaupun ada barang yang tersisa di gudang atau di tenda lapak tetap merasa aman karena sudah mengeluarkan biaya untuk keamanan setiap bulannya Rp per lapak. Biaya operasi yang meliputi biaya sewa tempat, tenaga kerja dan keamanan berkisar antara Rp Rp per bulan.besar kecilnya daya tampung lapak tidak tergantung pada besar kecilnya modal yang dimiliki. Karena modal untuk proses transaksi bukan hanya berasal dari modal sendiri melainkan ditambah pinjaman modal yang diberikan oleh penampung yang lebih tinggi (agen) sebagai penerima barang yang dikumpulkan oleh lapak. Antara lapak dan agen mempunyai ikatan dalam rantai distribusi barang bekas dari sampah, keduanya memiliki kepentingan yang sama. Besarnya daya tampung berkisar antara Rp Rp Sedangkan omset pembelian bahan dauran oleh lapak berkisar antara 215 kg 1610 kg per hari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Modal awal, biaya operasi dan daya tampung per bulan dalam rupiah Nama Penampung (1) Penampung 1 Jenis Modal (2) Timbangangan Gudang Nilai (Rp) (3) Jenis Biaya Operasi (4) Sewa tanah Tenaga Kerja Keamanan Nilai (Rp) (5) T o t a l Jenis Barang (6) Plastik Kertas Kardus Besi Botol Kaleng Daya Tampung Nilai (Rp) (7) Penampung 2 Timbangan Bangunan Rumah Gudang Sewa Tanah Tenaga Kerja Keamanan T o t a l Plastik Kertas Besi Botol Kardus Kaleng

75 Nama Penampung (1) Penampung 3 Jenis Modal (2) Timbangan Bangunan Rumah Nilai (Rp) (3) Jenis Biaya Operasi (4) Sewa Tanah Tenaga Kerja Keamanan Nilai (Rp) (5) T o t a l Penampung 4 Timbangan Bangunan Rumah Sewa Tanah Tenaga Kerja Keamanan T o t a l Penampung 5 Timbangan Sewa Tempat Tenaga Kerja Keamanan T o t a l Penampung 6 Timbangan Gudang Sewa Tempat Tenaga Kerja Keamanan T o t a l Penampung 7 Timbangan Sewa Tempat Tenaga Kerja Keamanan T o t a l Penampung 8 Timbangan Sewa Tempat Tenaga Kerja Keamanan T o t a l Penampung 9 Timbangan Gudang Bangunan Rumah Sewa Tempat Tenaga Kerja Keamanan T o t a l Jenis Barang (6) Plastik Kardus Besi Tembaga Botol Kaleng Karung Plastik Kardus Besi Karung Karet Kaleng Botol Besi Kardus Kertas Plastik Plastik Besi Plastik Kertas Kardus Besi Botol Kaleng Plastik Kardus Botol Kaleng Karung Aqua Botol Daya Tampung Nilai (Rp) (7)

76 Nama Penampung (1) Penampung 10 Jenis Modal (2) Timbangan Bangunan Rumah Gudang Nilai (Rp) (3) Jenis Biaya Operasi (4) Tenaga Kerja Keamanan Nilai (Rp) (5) T o t a l Penampung 11 Timbangan Bangunan Rumah Tenaga Kerja Keamanan Jenis Barang (6) Kaleng Botol Besi Kardus Kertas Plastik Plastik Botol Daya Tampung Nilai (Rp) (7) T o t a l Penampung 12 Timbangan Bangunan Rumah Tenaga Kerja Sewa Tempat Keamanan T o t a l Plastik Besi Botol Penampung 13 Timbangan Bangunan Tenaga Kerja Sewa Tempat Keamanan Plastik Kertas Tulang Karung Aqua Botol Aqua gelas T o t a l Penampung 14 Timbangan Bangunan Rumah Tenaga Kerja Sewa tempat Keamanan T o t a l Penampung 15 Timbangan Bangunan Rumah Tenaga Kerja Sewa Tempat Keamanan T o t a l Plastik Tembaga Karung Plastik Botol Kaleng Tulang Karung Aluminium Pendapatan Lapak Pendapatan yang diterima lapak merupakan selisih antara harga penjualan lapak ke agen dikurangi dengan harga beli bahan dauran dari pemulung. Pendapatan lapak setiap bulannya berkisar antara Rp Rp Besarnya pendapatan lapak tergantung pada selisih harga yang ditetapkan oleh

77 pemilik modal yaitu agen atau pihak pabrik yang membeli bahan dauran yang dikumpulkan oleh lapak. Semakin tinggi selisih antara harga penjualan lapak ke agen dengan harga beli lapak di tingkat pemulung maka pendapatan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam hal ini lapak tidak mampu menentukan harga. Harga ditetapkan oleh agen atau bandar besar pemilik modal yaitu pabrik/ industri daur ulang. Tabel 10 menjelaskan kisaran pendapatan responden sebagai lapak di TPA Galuga. Besarnya modal juga cukup berpengaruh terhadap pendapatan. Semakin besar modal maka bahan dauran yang dapat dibeli dan dikumpulkan semakin beragam. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dengan lapak bahwa pendapatan yang diperoleh saat ini dirasakan cukup membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari mengingat sulitnya mencari lapangan kerja lain. Sehingga keberadaan TPA Galuga bagi para lapak sangat penting untuk menopang ekonomi keluarga. No Tabel 10. Pendapatan responden sebagai lapak di TPA Galuga Kisaran Pendapatan Sebagai Lapak Orang Persentase (Rp/Bulan) < > ,3 13,3 6,7 6,7 Jumlah , Arus Pemasaran Bahan Dauran Bahan dauran sampah yang dapat dikumpulkan oleh pemulung beraneka ragam yaitu plastik, kertas, kardus, botol, besi, tembaga, kaleng, karung, tulang, aluminium, aqua botol, dan aqua gelas. Bahan dauran tersebut dijual kepada lapak/penampung untuk selanjutnya mengikuti jalur perdagangan sampah sampai pada pabrik pengolahan/daur ulang. Berikut adalah skema jalur perdagangan sampah yang ada di Kota Bogor (Gambar 18). Pada industri daur ulang tertentu seperti besi, kertas dan botol, lapak atau agen tidak dapat secara langsung menjual bahan dauran pada pabrik dengan alasan sudah mempunyai ikatan pemasaran tertentu. Di pihak lain pengusaha industri tidak mau membeli langsung bahan dauran dari lapak atau agen tetapi melalui pemasok pabrik yang telah ditunjuk sebagai perantara dalam transaksinya. Pada pabrik pengolah bahan dauran skala

78 industri rumah tangga dan industri kecil transaksi pembayaran dilakukan secara tunai. Pemulung Lapak/ Penampung Agen/Lapak Besar Supplier/pem asok Pabrik Pengolah BahanBaku Pabrik Pengolah Bahan Jadi Gambar 18. Skema pemasaran bahan dauran sampah di Kota Bogor Perolehan keuntungan antara lapak dan agen tentunya tidak akan sama. Lapak mendapat keuntungan dari selisih harga jual dengan harga beli bahan dauran dengan omset yang terbatas, sedangkan keuntungan agen/lapak besar diperoleh dari optimalisasi antara jumlah dan kecepatan perputaran uang dan barang. Hal ini dimungkinkan karena agen mempunyai akses yang lebih besar terhadap modal dan informasi pasar Pola Pengelolaan Sampah di TPA Galuga Jumlah sampah di Kota Bogor terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Timbulan sampah Kota Bogor pada tahun 2005 mencapai m 3 /tahun atau sekitar m 3 /hari dengan rata-rata sampah terangkut baru mencapai 1437 m 3 /hari. Kondisi yang demikian secara langsung memberikan konstribusi terhadap peningkatan volume timbulan sampah dan bahan pencemar di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berada di TPA Galuga. Peningkatan jumlah sampah di TPA Galuga mengharuskan Pemerintah Kota Bogor untuk mencari peluang penggunaan teknologi ramah lingkungan yang

79 melibatkan petugas di TPA itu sendiri, masyarakat sekitar dan lembaga swadaya masyarakat. Sistem pengelolaan sampah di TPA Galuga saat ini adalah masih menggunakan sistem open dumping yaitu pembuangan sampah secara terbuka, dimana sampah dibuang saja pada tanah kosong dan dibiarkan membusuk tanpa ada proses penimbunan, pemadatan dan penutupan dengan tanah sehingga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya, seperti pencemaran bau, tempat berkembangnya serangga dan nyamuk. Untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat penumpukan sampah di TPA Galuga, Pemerintah Kota Bogor mendirikan pabrik kompos melalui pola kemitraan dengan Paguyuban Tumaritis. Kegiatan pengomposan bertujuan untuk mengurangi beban TPA terhadap timbulan sampah yang terus meningkat jumlahnya, mengurangi biaya pengelolaan sampah, penggunaan teknologi yang sederhana,, memberikan nilai tambah dan dapat menyerap tenaga kerja. Sistem kemitraan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor belum mampu mengurangi jumlah sampah secara keseluruhan karena selama ini sampah yang dikomposkan hanya sampah yang berasal dari sampah pasar sedangkan sampah yang berasal dari sampah rumah tangga, pertokoan, industri, fasilitas umum dan sosial, sapuan jalan dan lain-lain. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak sampah yang terbuang ke lingkungan dan tidak termanfaatkan. Sehingga kemungkinan besar sampah akan terakumulasi dan mencemari lingkungan sekitar seperti akan berpengaruh pada banyaknya volume air lindi yang terbuang ke dalam tanah akibatnya kualitas air tanah akan menurun. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lokasi, sampah pasar merupakan sampah organik yang mudah membusuk dan 75 % dari sampah tersebut dapat dikomposkan yang terdiri dari sampah sayursayuran, buah-buahan, dan dedaunan. Sampah pasar masih merupakan bahan baku utama pembuatan kompos di TPA Galuga karena bagi pengusaha kompos, sampah pasar tidak membutuhkan biaya dan tenaga terlalu besar untuk memilah sampah dari sampah anorganik sehingga biaya produksi dapat ditekan. Selain itu sampah pasar sangat kecil kemungkinan tercampur bahan-bahan yang berbahaya.

80 Sampah organik yang berasal dari rumah tangga, kawasan industri, sapuan jalan serta fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos dan fasum) belum mampu diolah oleh pengusaha kompos maupun pemerintah karena terbatasnya tenaga kerja dan biaya. Jika tenaga yang digunakan semakin banyak maka efisiensi dalam proses produksi tidak dapat tercapai baik dari segi waktu, tenaga maupun biaya. Artinya pengusaha kompos tidak menginginkan penambahan biaya produksi karena dengan harga kompos saat ini, akan sangat merugikan. Sampah yang berasal dari rumah tangga, kawasan industri, fasos dan fasum serta sapuan jalan merupakan sampah yang paling tinggi volumenya. Pabrik kompos hanya mampu memproduksi kompos sebanyak 20 ton per bulan dari 80 ton bahan baku sampah sementara sampah yang terbuang ke TPA setiap harinya mencapai 651,64 ton. Terdiri dari sampah organik 369,75 ton atau sekitar 4437 ton setiap bulan dan sampah anorganik sebanyak 128,76 ton. Sedangkan sampah yang terbuang yang tidak dapat dimanfaatkan lagi sekitar 153,13 ton setiap hari. Artinya hanya 1,8% sampah organik yang dapat diolah oleh pabrik kompos dari keseluruhan jumlah sampah organik yang terbuang ke TPA Galuga setiap bulan. Jumlah ini sangat kecil. Jika kondisi ini terus berlanjut TPA Galuga akan cepat penuh dan membutuhkan biaya yang sangat mahal untuk pembebasan lahan baru. Bukan hanya konflik finansial yang dihadapi tetapi konflik sosial pun akan muncul karena tidak semua masyarakat mau menerima keberadaan TPA sampah. Karena pada umumnya masyarakat sudah tahu dampak yang akan ditimbulkan oleh TPA yaitu dampak negatif terhadap kualitas lingkungan seperti pencemaran air, tanah dan udara. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan pengusaha kompos hanya melibatkan tenaga kerja yang berasal dari pabrik kompos saja. Sementara pemulung tidak diberdayakan dan diikutsertakan dalam kegiatan pengomposan, pemulung hanya berperan sebagai pengumpul bahan dauran dari sampah anorganik kemudian dijual ke lapak. Keberadaan pemulung tidak terikat atau spontanitas tanpa ada pengaturan yang jelas artinya kapanpun mereka bisa datang dan pergi tanpa ada aturan yang mengikat sehingga tidak menjamin keberadaan mereka dalam jangka panjang, selain itu resiko kecelakaan dan keselamatan kerja masih rawan. Pemulung hanya memiliki hubungan kerja (ikatan) dengan lapak sebagai penampung untuk membeli barang yang mereka

81 pungut. Secara tidak langsung kondisi ini memberikan stigma negatif terhadap pemulung. Pemulung hanya dilihat sebelah mata dan seakan-akan mereka tidak berdaya karena ketidak mampuan dan ketidaktahuan tentang besarnya peran pemulung jika terlibat dalam kegiatan pengelolaan sampah di TPA Galuga. Padahal secara tidak langsung pemulung memiliki andil besar dalam mengurangi beban pencemaran lingkungan. Kondisi ini lebih disebabkan oleh anggapan masyarakat bahwa penanganan kebersihan merupakan tanggungjawab para petugas kebersihan. Pengetahuan dan rasa memiliki masyarakat terhadap TPA sangat rendah. Selain kendala non teknis, kendala teknis juga berpengaruh dalam kegiatan pengelolaan di TPA. Antara lain keterbatasan petugas operasional di lapangan, kondisi alat berat yang rusak sehingga jumlah alat berat yang dioperasionalkan sangat terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah berbasis partisipasi pemulung dan masyarakat menuju zero waste di TPA Galuga belum sepenuhnya dapat diterapkan. Karena hanya pengusaha kompos yang dilibatkan oleh Pemerintah Kota Bogor. Kondisi inilah yang menyebabkan pengelolaan sampah di TPA Galuga belum optimal. Permasalahan sampah tidak mungkin terselesaikan jika pengelolaannya hanya dilakukan oleh pengusaha kompos dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, mengingat jumlah sampah yang meningkat setiap harinya sedangkan kapasitas pabrik kompos sangat kecil dalam mengolah sampah. Sampah yang diolah hanya sampah organik sedangkan sampah anorganik sebagian besar dimanfaatkan oleh pemulung. Dapat dibayangkan jika keberadaan pemulung tidak mendapat perhatian dan tempat sebagai parner bisnis, maka TPA Galuga sejak dulu sudah menjadi lautan sampah. Sementara lahan untuk pembuangan sampah sangat terbatas dan untuk pembebasan lahan membutuhkan biaya yang sangat mahal. TPA Galuga bukan satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Kota Bogor tetapi ada juga TPA Rancamaya. TPA Rancamayapun belum dapat digunakan karena konflik dengan masyarakat sekitar. Sungguh ironisnya sistem pengelolaan sampah yang ada di Kota Bogor. Konflik kepentingan selalu melatarbelakangi keberadaan TPA. Terkadang konflik yang terjadi sangat membingungkan karena sebagian besar pemulung, lapak, dan pedagang yang mencari nafkah di TPA Galuga sebagian besar adalah penduduk sekitar TPA. Keberadaan TPA sangat membantu

82 masyarakat perekonomian masyarakat sekitar yang mencari nafkah di TPA. Konflik yang terjadi akibat adanya kesenjangan antara mereka yang terlibat secara langsung dan yang tidak mendapat bagian atau manfaat dari keberadaan TPA. Jika tidak segera di antisipasi kondisi ini akan menjadi masalah besar terutama bagi Pemerintah Kota Bogor dan juga pemulung, lapak, pabrik kompos, industri pengolahan sampah daur ulang dan pedagang yang hidupnya bergantung dari keberadaan TPA. Oleh karena itu Pemerintah Kota Bogor harus mencari solusi terbaik dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terkait dengan keberadaan TPA Galuga tidak terkecuali pemulung, lapak, industri pengolahan sampah dan masyarakat sekitar agar tidak timbul konflik baru. Sudah saatnya Pemerintah Kota Bogor memberikan peluang dan kesempatan kepada pemulung dan masyarakat sekitar dan bukan monopoli suatu kelompok sehingga pemerataan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat sekitar sehingga timbul rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap keberadaan TPA. Kendala lain adalah kendala yang dihadapi oleh pengusaha kompos itu sendiri yaitu dalam hal pemasaran. Stok berlimpah tetapi harga pokok pupuk sangat rendah dan tidak mungkin untuk dinaikkan lagi. Untuk menghindari kelebihan produksi sejak musim hujan bulan Desember 2006 pabrik menghentikan proses produksi sampai saat ini. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko agar perusahaan tidak merugi. Untuk mengantisipasi hal ini pengusaha kompos beralih ke pengolahan air lindi menjadi pupuk cair yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pertanian yang pemasarannya saat ini sudah ke daerah sukabumi dan garut walaupun produk tersebut belum mendapat legalisasi dari instansi terkait. Untuk meningkatkan peran dan kapasitas pemulung di TPA Galuga pada saat penelitian dilakukan sosialisasi tentang pentingnya penanggulangan sampah secara mandiri dan swadaya melalui kegiatan pengomposan dan pembuatan arang dari kayu dan ranting serta bahan sisa perabotan rumah tangga, kantor, pabrik dan lain-lain.. Kegiatan ini mendapat respon positif dari pemulung. Pada dasarnya pemulung di TPA Galuga mau dilibatkan secara langsung, asalkan kegiatan tersebut dapat memberikan manfaat dan keuntungan secara ekonomi, tidak menyita banyak waktu serta tidak mengganggu pekerjaan mereka dalam

83 memulung sampah. Pemulung akan termotivasi untuk melakukan kegiatan daur ulang sampah jika didukung modal secara finansial dan ada masukan teknologi yang mudah diterima dan dijangkau baik secara individu maupun berkelompok. Dan yang terpenting adalah bahwa setiap produk yang mereka hasilkan mendapat jaminan dan pasar yang jelas. Artinya bahwa kegiatan tersebut akan berkesinambungan dalam jangka panjang karena adanya pasar dan manfaat ekonomi yang diterima. Pemerintah Kota Bogor harus mampu memberdayakan dan meningkatkan kapasitas dan peran pemulung serta partisipasi masyarakat sekitar sehingga mampu mengurangi beban lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan memperoleh manfaat secara ekonomi dengan adanya lapangan kerja. Sehingga beban pendanaan untuk pengelolaan sampah dapat diperkecil Nilai Ekonomi Pengelolaan Sampah dan Dampaknya terhadap Lingkungan Berdasarkan hasil penelitian jumlah sampah organik dan sampah anorganik yang terbuang ke TPA Galuga setiap harinya 80 unit dump truck (87 rit) berisi 8 m 3 sampah dan 25 Amroll truk (65 rit) dengan kapasitas 6 m 3. Sehigga jumlah sampah yang masuk ke TPA Galuga dengan memperkirakan berat jenis sampah 0,6 kg/liter maka jumlah sampah secara keseluruhan sebanyak 1086 m 3 atau 651,6 ton per hari. Sampah tersebut terdiri atas sampah organik dan anorganik seperti plastik, kertas, botol, besi, kaleng, karung, tulang dan lain-lain. Mengenai besarnya volume sampah yang terbuang ke TPA Galuga dapat dilihat pada Tabel 11. Sampah organik merupakan sampah dengan volume tertinggi yaitu sebanyak 369,75 ton (56,75%) yang umumnya berasal dari sampah rumah tangga dan sampah pasar. Besarnya jumlah sampah organik yang terbuang ke TPA lebih disebabkan pengelolaan sampah umumnya dilakukan dengan sistem angkut dan buang karena rendahnya kesadaran masyarakat di Kota Bogor untuk mengolah sampah secara swadaya di sumber. Sehingga sampai saat ini pengelolaan persampahan seakan-akan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya sampah anorganik jenis plastik sebanyak 81,48 ton (12,50%), sampah jenis plastik akan terus mengalami peningkatan hal ini disebabkan oleh

84 berubahnya gaya hidup masyarakat kota yang lebih menyukai makanan instant karena lebih praktis. Tabel 11. Jenis dan Volume Sampah yang Terbuang ke TPA Galuga Setiap Hari No. Jenis Sampah Volume Persentase (ton) (%) 1. Sampah organik 369,75 56,75 2. Sampah anorganik layak daur Plastik Kertas Botol/gelas/kaca Besi/logam Kaleng 81,48 21,53 13,55 8,80 3,40 12,50 3,30 2,08 1,35 0,52 3. Sampah terbuang (tidak dapat 153,13 23,50 dimanfaatkan) J u m l a h 651,64 100,00 Keadaan ini dimanfaatkan oleh pelaku industri makanan untuk menyediakan makanan instant dimana kemasannya banyak menggunakan plastik sebagai pembungkus. Kondisi yang demikian secara langsung memberikan konstribusi terhadap peningkatan volume bahan pencemar. Bahan lainnya seperti kertas sebanyak 21,53 ton (3,30%), botol sebanyak 13,55 ton (2,08%), besi/logam sebanyak 8,80 ton (1,35%), kaleng sebanyak 3,40 ton (0,52%), serta sampah yang terbuang (tidak dapat dimanfaatkan lagi) sebanyak 153,13 ton (23,50%) terdiri dari sampah anorganik dan organik yang tidak layak daur seperti plastik pembungkus deterjen, snack (chiki, cheetos dll) baterai, tekstil dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut akan terus mengalami peningkatan disebabkan oleh banyaknya penggunaan bahan tersebut seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat kota besar yang berbanding lurus dengan jumlah sampah/sisa bahan tersebut Nilai (Manfaat) Ekonomi Bahan Dauran dari Sampah Anorganik yang Dikumpulkan oleh Pemulung di TPA Galuga Ada berbagai jenis bahan dauran sampah yang dicari oleh para pemulung (Tabel 5), masing-masing mempunyai nilai jual yang berbeda-beda. Sebelum pemulung menjual bahan dauran kepada lapak terlebih dahulu dipilah-pilah sesuai dengan jenisnya, hal ini dilakukan untuk mendapat nilai lebih dari barang yang

85 dikumpulkan misalnya plastik. Plastik terdiri dari berbagai jenis dan harga yang berbeda. Tetapi ada juga diantara pemulung yang langsung menjual bahan dauran terutama tanpa proses pemilahan sehingga harga yang diterima pun disama ratakan misalnya dari jenis plastik seperti plastik jenis PE (poly ethylene) dan plastik jenis PP (poly prophyline). Padahal PE lebih mahal dibandingkan dengan PP. Terkadang hal ini dilakukan lebih disebabkan terbatasnya waktu dan terbatasnya jumlah plastik PE. Harga bahan dauran telah ditentukan dan sistem pembayarannya dilakukan secara kontan. Mengenai hasil yang diperoleh para pemulung dari berbagai jenis bahan dauran sampah di TPA Galuga serta harga jualnya dapat dilihat pada Tabel 12. Data yang tertera pada Tabel 12 berdasarkan hasil wawancara dari 40 orang pemulung sebagai responden di TPA Galuga. No. Tabel 12. Volume dan harga jual bahan dauran sampah anorganik per hari oleh Pemulung Jenis Barang Volume Harga Jual (ton) (Rp/Kg) 1. Plastik - PE - HD - PP - Ember - Aqua Gelas - Aqua Botol 0,32 1,31 0,63 0,032 0,002 0, Manfaat Ekonomi (Rp) Kertas Kardus 0, Besi 0, Tembaga 0, Botol 0, Kaleng 0, Karung 0, Aluminium 0, Jumlah 2, Dari informasi Tabel 12 menggambarkan pada kita,bahwa sampah anorganik yang dapat dimanfaatkan kembali oleh pemulung sebesar 2,693 ton per hari atau 80,79 ton per bulan. Selanjutnya nilai (manfaat) ekonomi yang diperoleh oleh pemulung di TPA Galuga dapat diketahui dari perkiraan volume bahan dauran sampah yang dapat dipungut oleh pemulung dikalikan dengan nilai jualnya. Besarnya manfaat ekonomi bahan dauran sampah kota bagi para pemulung dalam

86 satu hari di TPA Galuga adalah sebesar Rp atau sebesar Rp per orang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para pemulung mengenai tingkat pendapatan yang diperolehnya sehari-hari lebih dari Rp sebanyak 17 orang (42,5%), pemulung yang berpendapatan berkisar antara Rp Rp sekitar 13 orang (32,5 %), sedangkan sisanya sebanyak 10 orang (25%) pendapatannya berkisar antara Rp Rp Menurut petugas dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor, pemulung tetap yang tercatat sehari-hari bekerja di lokasi TPA Galuga berjumlah 400 orang. Maka sampah anorganik layak daur yang dapat dimanfaatkan kurang lebih 28 ton per hari atau 840 ton per bulan, dengan demikian usaha pemanfaatan bahan dauran sampah dapat menyerap 21,63 % (28 ton) dari total 129,45 ton sampah kota layak daur atau sekitar 4,3 % dari total produksi sampah kota yang terbuang ke TPA Galuga. Sedangkan nilai ekonomi yang diperoleh kurang lebih Rp per hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemulung mengenai kemampuan mereka mengumpulkan bahan dauran dari sampah anorganik, diketahui bahwa dalam satu hari rata-rata para pemulung dapat mengumpulkan 40 kg sampai dengan 70 kg dari berbagai jenis bahan dauran. Kegiatan yang dilakukan oleh pemulung dalam mengumpulkan bahan dauran dari sampah kota di TPA Galuga sangat menguntungkan karena mereka dapat mengumpulkan setidaknya Rp Rp setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemulung mendapat keuntungan secara ekonomi dengan memungut bahan dauran dari sampah kota. Selain itu untuk melakukan pekerjaan sebagai pemulung tidak terikat waktu, tidak membutuhkan modal, keterampilan atau tingkat pendidikan tertentu. Pekerjaan sebagai pemulung lebih mengutamakan kekuatan/tenaga dan kecekatan pemulung untuk mengumpulkan bahan dauran setiap harinya. Kegiatan memulung bisa dijadikan pekarjaan sampingan maupun pekerjaan utama. Usaha yang dilakukan oleh para pemulung secara langsung dapat mengurangi volume timbulan sampah di TPA Galuga dan mengurangi beban lingkungan menerima bahan pencemar dari sampah anorganik. Adanya penghematan sumber daya alam artinya dengan adanya pemenuhan kebutuhan bahan baku pabrik dari sampah yang dipasok oleh perangkas ini dapat menggantikan bahan yang ditambang atau

87 diimpor seperti biji besi, aluminium, gelas dan sebagainya, sehingga penggunaan material alami sebagai bahan baku produksi dapat ditekan. Usaha pemulungan sampah oleh para pemulung telah menjadi bagian dari sektor usaha informal yang mampu menangkal kefakuman penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang tidak mempunyai keterampilan khusus. Peluang usaha pemulungan sampah ini tercipta karena adanya permintaan dari industri-industri yang mengalami kelangkaan sumber bahan baku seperti industri plastik, industri kertas, industri logam dan industri-industri lainnya yang dapat mendaur ulang bahan-bahan bekas Analisis Ekonomi Usaha Pengomposan dari Sampah Organik Pengomposan sampah kota merupakan kegiatan yang memberikan nilai ekonomis, baik dilihat sebagi unit produksi maupun sebagai subsistem dari keseluruhan operasional pengelolaan sampah. Untuk saat ini pengelolaan sampah organik menjadi kompos hanya dilakukan oleh pengusaha kompos yang ada di TPA Gunung Galuga dan disubsidi oleh Pemerintah Kota Bogor tanpa melibatkan pemulung. Kegiatan pengomposan yang dikembangkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor dengan pengusaha kompos adalah menggunakan teknologi sederhana dengan bantuan inokulen Effective Microorganism 4 (EM4) dan setelah mengalami pematangan, maka kompos dicacah dan dihaluskan dengan bantuan mesin pencacah, penggiling dan pengayak sampah organik. Sistem pengomposan yang dilakukan oleh pabrik kompos di TPA Galuga adalah open windrow terlihat pada Gambar 19. Kegiatan dan proses pengomposan dilakukan di tempat terbuka. Sehingga pada musim hujan seringkali pabrik tidak melakukan proses produksi kompos. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko gagalnya proses pengomposan.

88 Gambar 19. Proses pembuatan kompos Untuk mengatasi kendala ini, pada bulan November tahun 2007 pengusaha kompos mendirikan bangunan semi permanen (di belakang pabrik) sehingga proses pengomposan dapat dilakukan pada musim hujan. Proses pembuatan kompos secara sederhana dilukiskan dalam diagram pada Gambar 20. Sampah Pemilahan Pembuatan Gundukan Sampah yang Ditutup Terpal EM4 Pembalikan Pertama Setelah 3 Hari, Untuk Selanjutnya Setiap 7 Hari Sekali Selama 35 Hari Pembalikan/Pengadukan, Pemilahan dan Pembuatan Gundukan Kembali Pengeringan Pencacahan Penggilingan dan Penyaringan Penyiraman Monitoring Suhu Kompos Matang Gambar 20. Proses pembuatan kompos di TPA Galuga

89 Sampah organik yang terbuang ke TPA Galuga setiap harinya sebanyak 369,75 ton (56,75%) dari total 651,6 ton (1086 m 3 ) sampah kota yang terbuang ke TPA Gunung Galuga. Paling tidak terdapat 361,31 ton (602,18 m 3 ) sampah organik yang potensial untuk dijadikan kompos setiap harinya. Berdasarkan hasil analisis ekonomi Tabel 13 menggambarkan besarnya biaya produksi, hasil produksi dan satuan biaya pengomposan pabrik kompos di TPA Galuga setiap tahun. Tabel 13. Biaya operasional daur ulang sampah organik menjadi kompos dengan kapasitas 1608 M 3 sampah Jenis Biaya Satuan Jumlah Satuan Biaya Variabel BBM (Solar) Ganti Olie Sewa Doser Sewa Beko Gaji Karyawan Langsung Listrik Air Pengemasan (@ 25 kg) Benang Jahit Input Lain : EM4 Liter Liter Unit Unit Orang Watt M 3 Bungku s Roll Harga per Satuan Faktor Perkalian Nilai (Rp) Liter Jumlah Biaya Tetap Depresiasi Bangunan Paket Depresiasi Peralatan Paket Gaji Karyawan Tetap Orang Gaji Pimpinan Orang Jumlah Total Biaya Output Ton R/C Ratio 1.06 Setiap 1 m 3 sampah rata-rata dihasilkan 150 kg kompos, maka satuan biaya pengolahan kompos Rp per m 3 sampah atau Rp. 725 per kilogram kompos. Nilai ekonomi pemanfaatan sampah kota diperhitungkan dari selisih antara total penerimaan dengan total biaya produksi kompos. Dengan harga jual kompos Rp.500 per kg, pendapatan yang diperoleh dari pengolahan kompos oleh pabrik kompos selama setahun sebesar Rp Berdasarkan hasil analisis kelayakan dengan R/C Ratio menunjukkan bahwa nilai R/C Ratio daur

90 ulang sampah dengan cara pengomposan adalah 1,06. Sebagai suatu unit usaha, pengomposan yang dilakukan oleh pengusaha kompos secara ekonomis menguntungkan karena nilai R/C Ratio dari usaha pengomposan lebih dari 1 artinya penerimaan yang diterima lebih besar dari biaya produksi yang dikeluarkan yaitu setiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan maka penerimaan pengusaha kompos sebesar Rp 1,6. Dengan demikian pendekatan cost recovery berdasarkan bisnis untuk mencari keuntungan dapat diterapkan melalui pengomposan di TPA Galuga. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem kerjasama yang terorganisasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menjamin keberadaan pabrik kompos. Artinya agar pemerintah dapat memberikan jaminan pemasaran produk tersebut misalnya dengan membuat kebijakan khusus dengan cara membeli produk kompos melalui Departemen Pertanian, Departemen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Pertamanan Kota. Sedangkan pihak swasta diharapkan mampu menjadi mitra pemerintah untuk berinvestasi dalam pengelolaan sampah dan menjadikannya sebagai peluang usaha. Masyarakat diharapkan tidak menggunakan material atau sumberdaya secara berlebihan yang dapat menghasilkan timbulan sampah dan mau memanfaatkan kembali produk daur ulang dari sampah seperti kompos dan arang. Berhubung terbatasnya sumberdaya modal untuk kegiatan mengolah sampah menjadi kompos maka perlu diketahui batas dimana usaha dikatakan tidak rugi dan tidak laba perlu dilakukan analisis titik impas (Break Even Point Analysis). Untuk dapat mementukan tingkat break even maka biaya yang terjadi harus dapat dipisahkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap tidak berubah dalam range output tertentu, tetapi untuk setiap satuan produksi akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan produksi. Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya akan naik turun sebanding dengan hasil produksi atau volume kegiatan, tetapi untuk setiap satuan produksi akan tetap (Munawir, 1979). Berdasarkan informasi Tabel 22 maka dapat diketahui BEP, yakni posisi keuangan perusahaan dimana akan diketahui volume penjualan berapa, penghasilan dari penjualan dapat menutup biaya totalnya.

91 Biaya Tetap BEP (Q) = X 100 % Harga jual per unit Biaya variabel per unit berikut: = X 100 % = kg atau dapat juga dihitung dengan formula sebagai Biaya Tetap BEP (Q) = Margin per satuan barang Penjualan = Rp = 100 % Jumlah Biaya Variabel = Rp = 47,10 % Marginal Income = Rp = 52,90 % Total Biaya Tetap = Rp = 47,44 % Laba = Rp = 5,45 % Dari data tersebut dapat diketahui bahwa: 1. Setiap penjualan sebesar Rp 100 maka Rp 47,10 merupakan biaya variabel (hasil penjualan yang diserap oleh biaya variabel), jika perusahaan tidak berproduksi (berhenti), maka biaya variabel ini tidak akan timbul. 47,10% adalah ratio antara biaya variabel dengan hasil penjualan yang disebut juga variable cost ratio. 2. Setiap penjualan sebesar Rp 100 maka yang dapat digunakan untuk menutup biaya tetap sebesar Rp 52,90 atau 52,90%, biaya tetap ini akan selalu dalam jumlah yang tetap baik pada saat perusahaan berproduksi maupun tidak. 52,90% merupakan ratio antara margin dengan hasil penjualan yang disebut marginal income ratio atau P/V ratio yang memberikan informasi bahwa 48% dari penjualannya tersedia untuk menutupi biaya tetap dan laba (Munawir, 1979). Berdasarkan data perusahaan kompos tersebut dapat ditentukan tingkat break even point (BEP) sebagai berikut:

92 Rp Rp BEP (Q) = atau = ,12 52,90 % 1 47,10% Untuk menentukan jumlah per kg kompos yang harus dijual agar perusahaan mencapai break even dapat pula ditentukan dengan membagi hasil penjualan pada tingkat break even dengan harga jual per kg kompos sebagai berikut: Rp ,12 = Rp 500 = kg kompos Hasil analisis titik impas memperlihatkan bahwa keadaan balik modal akan terjadi pada saat produksi sebanyak kg kompos. Artinya perusahaan tersebut hanya mampu menjual barangnya atau akan balik modal atau tidak mengalami kerugian dimana besarnya biaya produksi dapat tertutupi pada saat produksi kompos sebanyak kg (215,249 ton) dengan harga jual Rp 500,-. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut: Penjualan Rp ,12 Biaya tetap...rp ,00 Biaya variabel 47,10% x Rp ,12 = Rp ,12 Rp ,12 Laba... Rp. 0 Dengan demikian kalau perusahaan merencanakan untuk memperoleh keuntungan/laba tertentu, maka perusahaan harus mampu menjual barangnya sebanyak lebih dari kg. Dengan demikian perusahaan akan memperoleh keuntungan setelah perusahaan berproduksi selama 1 tahun karena selama setahun pabrik kompos mampu berproduksi sekitar 20 ton setiap bulan. Artinya selama setahun produksi kompos mencapai 240 ton. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sudah melebihi nilai BEP dan perusahaan dapat memperoleh keuntungan dari selisih penerimaan dengan nilai BEP. Sebagai suatu unit usaha (perusahaan), daur ulang sampah organik melalui pengomposan tidak menguntungkan secara ekonomi, untuk itu peneliti melakukan

93 analisis ekonomi pengomposan sampah organik jika dilakukan secara swadaya oleh pemulung. Data yang dikumpulkan berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dengan 40 orang pemulung sebagai responden. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Daur ulang sampah melalui pengomposan oleh pemulung di TPA Galuga dengan kapasitas 32,076 ton sampah organik per bulan Volume Sampah Organik Sebelum Dikomposkan (Kg) Volume Kompos yang Dihasilkan (Kg) Harga Jual (Rp/Kg) Nilai Ekonomi (Rp) Jumlah , ,0 500, ,0 Rata-Rata 801,90 200,48 500, ,50 Tabel 14 menggambarkan pada kita, bahwa sampah organik yang dapat dimanfaatkan kembali oleh pemulung sebesar 32,076 ton per bulan. Selanjutnya nilai (manfaat) ekonomi yang diperoleh oleh pemulung di TPA Galuga dapat diketahui dari perkiraan volume bahan dauran sampah yang dapat dikomposkan oleh pemulung dikalikan dengan nilai jualnya. Besarnya manfaat ekonomi pengolahan sampah organik menjadi kompos bagi para pemulung dalam satu bulan di TPA Galuga adalah sebesar Rp atau sebesar Rp ,50 per orang. Apabila kegiatan pengomposan ini dilakukan oleh seluruh pemulung yang ada di TPA Galuga yaitu sebanyak 400 orang maka jumlah sampah organik yang di daur ulang menjadi 320,76 ton per bulannya. Artinya jumlah sampah yang tertumpuk di TPA akan berkurang sebanyak 320,76 ton per bulan. Dengan demikian semua sampah organik layak daur yang terbuang ke TPA dapat dimanfaatkan dan sampah yang terbuang dari sampah organik hanya sampah tidak layak daur. Sehingga mengurangi volume timbulan sampah yang tertumpuk dan tidak dimanfaatkan di TPA Galuga, mengurangi ketergantungan dan memperpanjang umur TPA serta menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak menimbulkan bau busuk dan menyengat akibat tumpukan sampah yang tidak diolah dan dimanfaatkan. Apabila keadaan ini benar-benar dapat diwujudkan, diharapkan akan mendorong investasi dan tumbuhnya kegiatan usaha di sektor produksi seperti produksi jasa dan pusat-pusat bisnis. Tabel 15 menggambarkan tingkat kelayakan ekonomi kegiatan pengomposan jika dilakukan secara swadaya oleh pemulung.

94 Tabel 15. Biaya operasional daur ulang sampah organik menjadi kompos oleh pemulung secara swadaya dengan kapasitas 2,4 ton sampah Jumlah Harga Faktor Jenis Biaya Satuan Nilai Satuan Per Satuan Perkalian Biaya Variabel Upah Tenaga Kerja Langsung Orang 1 50, ,000 Pengemasan (@ 25 kg) Bungkus 8 1, ,000 Input Lain : - EM4 Liter 1 4, ,000 Jumlah 744,000 Biaya Tetap Depresiasi Peralatan Upah Tenaga Kerja Paket 1 1, , Orang 1 20, ,000 Jumlah 260, Total Biaya 1,004, Output Kg ,200,000 R/C Ratio 1.20 Dari hasil analisis ekonomi usaha pengomposan secara swadaya menggunakan Analisis R/C Ratio yang dilakukan oleh pemulung secara ekonomi akan mendatangkan keuntungan dan layak untuk dijalankan. Karena nilai R/C Ratio lebih besar dari 1 (satu) yaitu 1,20 sehingga penerimaan lebih besar dari biaya produksi yang dikeluarkan oleh pemulung. Pemulung hanya mengorbankan waktu 1 3 jam sehari untuk memilah dan menumpuk sampah organik yang layak kompos. Bahan baku sampah dapat diperoleh dengan mudah dan gratis. Sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan hanya untuk biaya tenaga kerja, pengemasan, EM4 dan peralatan yang hanya menggunakan peralatan sederhana yang harga terjangkau. Keuntungan ini dapat dinikmati oleh pemulung jika pemerintah ikut mendukung dan menjamin ketersediaan pasar, harga dasar dan adanya kebijakan pengelolaan sampah di TPA Galuga yang menjamin keterlibatan pemulung dalam kegiatan pengelolaan sampah sehingga dapat mengoptimalkan peran dan kapasitas pemulung sebagai mitra baik bagi pemerintah maupun

95 pengusaha kompos yang ada di TPA Galuga. Artinya kegiatan pemulung tidak terbatas untuk memungut sampah anorganik saja tetapi terlibat dalam kegiatan pengolahan sampah organik. Apabila kegiatan pengomposan ini dilakukan secara bersama oleh pengusaha kompos dan pemulung maka jumlah sampah yang terbuang ke lingkungan dapat dikurangi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan hanya melibatkan pengusaha kompos di TPA Galuga. Karena pabrik kompos hanya memanfaatkan sampah pasar sebagai bahan baku. Sampah pasar tidak memerlukan proses pemilahan sehingga dapat dilakukan efisiensi biaya produksi. Untuk mencapai tujuan zero waste di TPA Galuga peneliti juga melakukan kegiatan daur ulang sampah dari sampah organik padat yang sukar dikomposkan seperti bambu, kayu dan ranting. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan pemulung secara berkelompok. Kegiatan ini mendapat respon positif dari pemulung di TPA Galuga. Dalam kegiatan ini peneliti hanya ingin menggambarkan berapa besar sampah organik yang dapat didaur ulang menjadi arang. Proses pembuatan arang dari sampah organik padat dapat dilihat pada Gambar 21. Sampah Organik Perkotaan Pemilahan Secara Manual Dikeringkan, Kemudian dipotong-potong menjadi 10 cm Sampah Padat Reaktor Pirolisis Dikarbonisasi pada suhu C Serbuk Gergaji Arang Gambar 21. Bagan alir pembuatan arang dari sampah padat

96 Gambar 22. Alat (reaktor pirolisis) pembuatan arang Dalam setiap proses pengarangan sampah organik padat yang dibutuhkan sekitar 13 kg. Karena kapasitas alat sangat kecil. Proses pembuatan arang berlangsung selama 24 jam. Setelah menjadi arang jumlahnya mengalami penyusutan sekitar 69,23 % atau hanya 30,77 % (4 kg) arang yang dihasilkan (Gambar 23). Gambar 23. Arang yang dihasilkan reaktor pirolisis

97 Secara ekonomi kegiatan daur ulang sampah padat menjadi arang layak (menguntungkan). Dengan harga jual arang yaitu Rp. 4000/kg. Dari jumlah arang yang dihasilkan (4 kg) secara ekonomi pemulung memperoleh pendapatan per tahun atau Rp setiap bulannya. Sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan seperti untuk serbuk gergaji Rp. 600/kg. Untuk pembakaran dalam proses pengarangan dibutuhkan 50 kg. Untuk serbuk gergaji pemulung harus mengeluarkan biaya sebesar Rp Sedangkan untuk pembuatan alat dibutuhkan biaya sekitar Rp Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan hasil analisis nilai R/C Ratio dari kegiatan pengarangan adalah 1,25 maka kegiatan ini layak dilaksanakan karena nilai R/C Ratio lebih dari 1 berarti keuntungan lebih besar dari biaya produksi. Keuntungan yang diperoleh juga dapat diperoleh dengan menyederhanakan alat sehingga harga lebih murah dengan kapasitas yang lebih besar serta jaminan kualitas arang tetap diperhatikan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut. Tabel 16. Biaya operasional pembuatan arang dari sampah organik padat di TPA Galuga Jenis Biaya Satuan Jumlah Satuan Faktor Perkalian Nilai (Rp) Biaya Variabel Serbuk Gergaji Pengemasan Gaji Karyawan Langsung Kg Karung Orang Harga per Satuan Rp Jumlah Biaya Tetap Depresiasi Peralatan Gaji Karyawan Tetap Paket Orang Jumlah Total Biaya Output Kg R/C Ratio 1,25 Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara bahwa ketersediaan pasar untuk penjualan arang masih luas dan terbuka lebar. Agar kegiatan terlaksana

98 perlu adanya dukungan baik dari pihak swasta maupun pemerintah dengan memberikan bantuan dalam bentuk modal maupun pengetahuan sehingga bermanfaat dalam penguasaan teknologi. Dari segi lingkungan pengolahan sampah organik menjadi kompos dan arang memberikan dampak positif karena dapat mengurangi volume sampah organik yang terakumulasi sebagai bahan pencemar yang menyebabkan degradasi terhadap lingkungan seperti pencemaran udara, air dan tanah. Posisi keuangan perusahaan dimana akan diketahui volume penjualan berapa, penghasilan dari penjualan dapat menutup biaya totalnya dapat diketahui dengan menghitung nilai BEP. Biaya Tetap BEP (Q) = X 100 % Harga jual per unit Biaya variabel per unit = X 100 % Hasil analisis titik impas memperlihatkan bahwa keadaan balik modal akan terjadi pada saat produksi sebanyak 486,5 kg kompos. Artinya perusahaan akan balik modal atau tidak mengalami kerugian dimana besarnya biaya produksi dapat tertutupi pada saat produksi kompos mencapai 486,5 kg. Usaha pemanfaatan sampah kota khususnya oleh pemulung memberikan manfaat yang besar terhadap keseluruhan sistem penanganan sampah kota. Terutama penurunan volume timbulan sampah dan mengurangi biaya pemusnahan sampah di TPA, menghemat penggunaan sumberdaya alam melalui pemenuhan bahan baku pabrik dari sampah yang dipasok oleh pemulung ini dapat menggantikan bahan yang ditambang atau diimpor seperti biji besi, aluminium, gelas dan sebagainya. Sehingga penggunaan material alami sebagai bahan baku industri dapat ditekan. Selanjutnya kapasitas pemulung secara langsung mampu mengurangi resiko pencemaran akibat adanya kegiatan pemulungan sampah dari bahan-bahan anorganik yang tidak mudah terurai secara alamiah dan akan mengakibatkan pencemaran terhadap tanah, udara maupun sumber air yang ada di sekitarnya akibat tanah maupun air permukaan dan air bawah tanah

99 terkontaminasi oleh cairan lindi dari sampah yang menumpuk dan tidak dimanfaatkan serta dengan adanya sistem kemitraan diharapkan konflik kepentingan antara beberapa pihak dapat diminimalisasi dan dicegah sehingga menjamin keberadaan dan keberlangsungan TPA dalam jangka panjang dan siapapun yang terlibat dapat memperoleh manfaat baik secara ekonomi, sosial maupun ekologis Sistem Kelembagaan dalam Pengelolaan Sampah di TPA Galuga Bahan dauran sampah merupakan komoditas yang dapat diperjualbelikan oleh pemulung, lapak, agen dan pemasok/suplier pabrik sebagai bahan baku industri yang mempunyai nilai ekonomis. Ketersediaan pasar untuk bahan dauran sampah saat ini cukup luas hal ini didukung tumbuhnya industri-industri/pabrik daur ulang yang dalam proses produksinya menggunakan bahan baku dari bahan dauran sampah kota seperti plastik,besi, aluminium, kaca/botol dan lain-lain. Adanya informasi asimetrik antara pemulung, lapak, agen mengenai harga dan kualitas bahan dauran sampah, menyebabkan agen/ yang bermodal besar dan pembeli akhir dalam hal ini pabrik daur ulang sebagai pihak yang lebih dominan dalam menentukan harga. Keadaan ini lebih disebabkan oleh langka dan kurangnya akses terhadap informasi pasar, sifat kekhasan dari bahan dauran sampah yaitu sifatnya sebagai sampah (waste), kualitasnya yang bervariasi dan bercampur baur sehingga sulit untuk menentukan posisi tawar menawar dan harga berdasarkan kualitas produk (product grading) serta persepsi masyarakat terhadap nilai sampah masih sangat rendah akan mempengaruhi ketertarikan orang untuk berbisnis bahan dauran sampah. Transaksi bahan dauran sampah berlangsung melalui mekanisme organisasi dalam bentuk hubungan principal agen (induk semang dan anak semang) yag memiliki kepentingan yang saling terkait. Pihak agen diharapkan bekerja secara optimal sehingga akan memberikan pendapatan yang optimal bagi principal. Kondisi ini terkadang memberikan tekanan pada pihak agen karena untuk mengumpulkan bahan dauran dalam jumlah besar membutuhkan waktu, tenaga dan modal yang cukup besar pula. Dengan demikian untuk memotivasi semangat para agen perlu adanya semacam insentif yang diberikan oleh principal. Insentif dapat berupa pemberian hak pakai (use right) atas peralatan seperti

100 timbangan, gerobak, gacok, keranjang dan modal kerja dalam bentuk panjar serta uang pengikat sehingga pihak agen tidak beralih ke principal lain. Pinjaman juga dapat berupa pinjaman mendadak yang biasanya digunakan untuk keperluan biaya berobat (biaya kesehatan) serta tunjangan hari raya setiap tahun yang berkisar antararp Rp Bantuan modal berstatus sebagai uang pengikat yang diterima hanya satu kali dan dikembalikan jika lapak memutuskan hubungan, sedangkan uang panjer modal diterima secara berkala dengan syarat uang muka yang diterima sebelumnya telah dibayar. Melalui mekanisme organisasi tersebut kemungkinan kerugian yang dapat menimpa agen maupun principal sangat kecil karena masing-masing pemulung, lapak, sudah memiliki lapak besar/pabrik daur ulang yang menampung dan membeli bahan dauran yang sudah dikumpulkan baik oleh pemulung maupun lapak dan agen. Artinya pihak baik pemulung, lapak dan agen terhindar dari resiko barang tidak laku, fluktuasi harga yang tinggi dan biaya bongkar muat dan biaya transportasi untuk pengangkutan. Oleh karena itu baik pemulung maupun lapak bersedia menerima tingkat harga yang lebih rendah dari harga jual bandar kepada pabrik daur ulang. Bentuk kelembagaan ini diharapkan mampu menurunkan biaya transaksi, kepastian mendapat pasokan bahan baku dengan kualitas dan volume sesuai dengan permintaan lapak, agen/pabrik daur ulang. Untuk mengimplementasikan peran kelembagaan dalam operasional penanganan sampah maka eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat (Paguyuban Tumaritis) sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pabrik kompos termasuk didalamnya pemulung-pemulung dan lapak harus ditetapkan secara legal, bahwa mereka adalah mitra kerja Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor dalam pengelolaan sampah di TPA. Karena selama ini hanya pemulung yang mempunyai ikatan atau kerjasama dengan lapak. Sedangkan Pengusaha kompos hanya bermitra dengan pemerintah sedangkan pemulung hanya sebagai pemungut bahan dauran yang bekerja secara spontanitas tanpa ada jaminan baik secara ekonomi maupun sosial. Hal ini menyebabkan lemahnya kedudukan pemulung dalam sistem kelembagaan pengelolaan sampah.

101 Peran pemerintah dalam kelembagaan persampahan saat ini hanya sebagai pembuat kebijakan melalui undang-undang dan peraturan-peraturan dan pemberi subsidi dalam pengelolaan persampahan. Untuk keberhasilan pengelolaan persampahan diharapkan pemerintah mampu menjadi fasilisator baik sebagai penyedia informasi maupun sebagai penyedia sarana dan prasarana dalam pengelolaan sampah sehingga mampu menjembatani semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sampah terutama merangkul pihak swasta untuk berinvestasi dalam pengelolaan sampah. a. Aspek Organisasi dan Peraturan Penanganan masalah sampah di Wilayah Kota Bogor berada di bawah tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor. Mengingat bahwa pelayanan kebersihan lingkungan di Kabupaten Bogor merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Daerah dan masyarakat, maka dalam Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pengelolaan kebersihan lingkungan di Kabupaten Bogor yang pernah dibuat mulai tahun 1987 sampai sekarang diantaranya dijelaskan pada Tabel 17. Tabel 17. Peraturan Daerah tentang Kebersihan Lingkungan di Kabupaten Bogor No. Nomor Perda Perihal 1. Nomor 3 Tahun 1987 Kebersihan, keindahan dan ketertiban di Kabupaten Bogor 2. Nomor 1 tahun Nomor 8 Tahun Nomor 19 Tahun Nomor 25 Tahun 2001 Sumber : Lembaran Daerah Kota Bogor (2004) Perubahan pertama Perda No. 3/1987 tentang kebersihan, keindahan dan ketertiban di Kabupaten Bogor Perubahan kedua Perda No. 3/1987 tentang kebersihan, keindahan dan ketertiban di Kabupaten Bogor Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan Pembentukan Struktur Organisasi Tata Pemerintahan Kabupaten Bogor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana teknis di bidang lingkungan hidup dan kebersihan, yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab

102 kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan otonomi pemerintah di bidang lingkungan hidup dan kebersihan yang menjadi urusan rumah tangga daerah. Berdasarkan Pasal 48 Peraturan Daerah Tahun 2004 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan mempunyai fungsi: 1. Perumusan kebijakan teknis di bidang lingkungan hidup dan kebersihan; 2. Pelaksanaan teknis operasional di bidang lingkungan hidup dan kebersihan, meliputi bidang pencegahan dampak lingkungan, bidang pengendalian pencemaran lingkungan, konservasi, dan bidang kebersihan; 3. Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum; 4. Pembinaan terhadap UPTD dalam lingkup tugasnya; 5. Pengelolaan urusan ketatausahaan Dinas. Struktur organisasi dan tata kerja Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2004 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam struktur organisasi tersebut hubungan tanggung jawab dinyatakan dalam bentuk garis komando dari unsur pimpinan kepada unsur pelaksana dan selanjutnya hubungan antara pelaksana dengan unsur pembantu pimpinan dinyatakan dalam garis koordinasi. Struktur Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan terdiri dari : a. Kepala Dinas; b. Bagian Tata Usaha membawahkan : 1. Sub Bagian Umum; 2. Sub Bagian Keuangan; c. Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan membawahkan : 1. Seksi Analisis Dampak Lingkungan; 2. Seksi Pembinaan dan Kemitraan Lingkungan; d. Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan dan Konservasi membawahkan : 1. Seksi Pengendalian Pencemaran Lingkungan; 2. Seksi Pemulihan Kualitas dan Sumber Daya Alam; e. Bidang Kebersihan membawahkan : 1. Seksi Penyapuan;

103 2. Seksi Pengangkutan; f. UPTD Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL); g. UPTD Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tata kerja, tugas pokok dan fungsi, serta uraian tugas Kepala Dinas, Kepala Bagian, Kepala Sub Bagian, Kepala Bidang, dan Kepala Seksi, serta Kepala UPTD pada Dinas Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan ditetapkan dengan Keputusan Walikota. Berdasarkan peraturan daerah Kota Bogor Tahun 2005 pengelolaan TPA Galuga berada di bawah UPTD TPA pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor. Pada saat ini sumberdaya manusia yang langsung terkait dengan pengelolaan TPA Galuga terdiri atas 7 orang dengan status PNS dan 8 orang tenaga kontrak. Di lokasi TPA Galuga terdapat sekitar 400 orang pemulung aktif yang mengolah dan memanfaatkan sampah anorganik sehingga dapat didaur ulang (recycle) dan/atau dipergunakan kembali (reuse) yang pada akhirnya memberikan pendapatan bagi para pemulung tersebut. Selain itu ada sekitar 60 orang yang terkait dengan kegiatan pembuatan kompos. Para pembuat kompos adalah anggota dan pengurus dari LSM Paguyuban Tumaritis, Desa Galuga. Dinas kebersihan selain berfungsi sebagai pengelola persampahan kota, juga berfungsi sebagai pengatur, pengawas, dan pembina pengelola persampahan. Sebagai pengatur, Dinas Kebersihan bertugas membuat peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh operator pengelola persampahan. Sebagai pengawas, fungsi Dinas kebersihan adalah mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah dibuat dan memberikan sangsi kepada operator bila dalam pelaksanaan tugasnya tidak mencapai kinerja yang telah ditetapkan, fungsi Dinas kebersihan sebagai pembina pengelolaan persampahan, adalah melakukan peningkatan kemampuan dari operator. Pembinaan tersebut dapat dilakukan melalui pelatihanpelatihan maupun menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat untuk mendapatkan umpan balik atas pelayanan pengelolaan persampahan. b. Aspek teknik Operasional Hal pertama yang perlu diketahui dalam mengelola persampahan adalah karakter dari sampah yang ditimbulkan oleh masyarakat perkotaan.berbagai

104 karakter sampah perlu dikenali, dimengerti dan difahami agar dalam menyusun sistem pengelolaan yang dimulai dari perencanaan strategi dan kebijakan serta hingga pelaksanaan penanganan sampah dapat dilakukan secara benar. Karakter sampah dapat dikenali sebagai berikut: (1) tingkat produksi sampah, (2) komposisi dan kandungan sampah, (3) kecenderungan perubahannya dari waktu ke waktu. Karakter sampah tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran serta gaya hidup dari masyarakat perkotaan. Oleh karena itu sistem pengelolaan yang direncanakan haruslah mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dari karakter sampah yang ditimbulkan. Penanganan sampah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor saat ini secara garis besar meliputi kegiatan pengumpulan sampah dari sumber, pengangkutan sampah ke TPA, pembakaran sebagian kecil sampah ke incinerator dan mulai melakukan pengolahan sampah menjadi kompos di lokasi TPA Galuga. Secara umum pengelolaan sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Kota Bogor tetapi masyarakat beranggung jawab untuk mengumpulkan atau menempatkan sampah rumah tangga pada tempat sampah (TPS) individu atau komunal, kemudian pengagkutan dari TPS ke TPA menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor. Sampah hasil penyapuan jalan, fasilitas umum langsung dikumpulkan dan diangkut ke TPA Galuga oleh DLHK Kota Bogor dan dalam upaya penanganan sampah tersebut didukung oleh armada pengangkuta sebanyak72 unit armada truck dan 4 unit kijang pick up, alat berat sebanyak 5 unit dan petugas operasional yang terdiri dari petugas penyapuan sebanyak 272 orang, petugas angkutan sampah sebanyak 274 orang dan petugas TPA sebanyak 33 orang (DLHK, 2005). Pada dasarnya daerah pelayanan kebersihan yang menjadi tanggung jawab DLHK adalah: 1. Daerah Permukiman - Pemukiman teratur yaitu pemukiman dengan kondisi struktur jalan dan perumahan yang teratur, pada umumnya merupakan pemukiman masyarakat dengan tingkat penghasilan tinggi/menengah.

105 - Pemukiman tak teratur yaitu permukiman dengan kondisi struktur jalan dan perumahan yang belum teratur, perkampungan, gang-gang sempit atau daerah permukiman kumuh pada umumnya merupakan pemukiman masyarakatt dengan tingkat penghasilan rendah. 2. Daerah Komersial, merupakan daerah kegiatan perdagangan/jual beli dan usaha jasa yang dibagi atas: perkotaan, pasar dan industri. 3. Fasilitas Umum, meliputi tempat hiburan, taman kota dan perkantoran. 4. Penyapuan Jalan, Selokan dan Taman Jalur Sistem pengumpulan dan penyapuan dibagi dalam 3 kategori yang disesuaikan dengan timbulan sampah yang dihasilkan oleh daerah tersebut yaitu: 1. Daerah primer/protokol/komersial dengan timbulan sampah tinggi mendapat layanan 3 (tiga) kali penyapuan dalam satu hari. 2. Daerah sekunder/protokol/komersial dengan timbulan sampah sedang mendapat pelayanan 2 (dua) kali penyapuan dalam satu hari. 3. Daerah tersier dengan timbulan sampah sedang/kurang, mendapat layanan penyapuan satu kali dalam satu hari. Sistem angkutan dibagi dalam 3 (tiga) kategori yang disesuaikan dengan timbulan sampah yang dihasilkan oleh daerah tersebut yaitu: 1. Daerah primer/protokol/komersial dengan timbulan sampah tinggi mendapat layanan 2 (dua) kali pengangkutan dalam satu hari mencakup 13,95% dari layanan atau 53 TPS dari 380 TPS. 2. Daerah sekunder/protokol/komersial dengan timbulan sampah sedang mendapat pelayanan 1 (satu) kali pengangkutan dalam satu hari yaitu mencakup 25,26% dari layanan atau 96 tps dari 380 TPS. 3. Daerah tersier dengan timbulan sampah sedang/kurang, mendapat layanan satu kali pengangkutan dalam satu hari yang mencakup 60,79% dari layanan atau 231 TPS dari 380 TPS yang tersebar di seluruh wilayah Kota Bogor. c. Pembiayaan

106 Pembiayaan pengelolaan kebersihan diperoleh melalui sumber persentase untuk pengelolaan sampah yang dialokasikan oleh Pemda berasal dari sumber APBD dan dari masyarakat sendiri melalui iuran retribusi jasa pelayanan persampahan. Pada umumnya ketersediaan dana pemerintah untuk menangani persampahan sangat kecil, demikian juga retribusi yang diperoleh dari konsumen juga sedikit. Rata-rata retribusi yang diperoleh dinas kebersihan pada kota-kota besar adalah Rp /bulan/konsumen. Jumlah perolehan retribusi tersebut masih jauh dari biaya pemulihan yang diperlukan untuk mengelola pelayanan sampah. Untuk menarik retribusi tersebut sering digunakan jasa petugas - petugas dari penyedia jasa lainnya, seperti PLN, PDAM. Hal tersebut disebabkan karena jumlah petugas DLHK sangat terbatas dan tidak menguntungkan. Hasil retribusi yang diperoleh dari pelayanan pengelolaan sampah akan semakin kecil karena banyak retribusi yang tidak tertagih, hal ini menjadi semakin sulit karena enforcement terhadap penunggak retribusi tersebut tidak dilakukan, bila enforcement tersebut tidak juga dilakukan maka kecenderungan pelanggan tidak membayar akan meningkat. Untuk mengatisipasi hal ini pemerintah Kota Bogor harus mampu bermitra dengan pihak swasta dan masyarakat. Selain itu pemerintah perlu melakukan kegiatan pengolahan sampah sehingga sampah memiliki nilai secara ekonomis yang pada akhirnya dapat dijadikan biaya pengganti terhadap pengelolaan sampah pada tahap berikutnya dan mengurangi beban APBD terhadap subsidi persampahan Peran Stakeholder dan Alternatif Tata Kelola Sampah di TPA Galuga Kota Bogor Sebagaimana telah diuraikan pada Bab III, bahwa untuk mengetahui peran para pihak (stakeholder) dan alternatif tata kelola sampah di TPA Galuga digunakan analisis AHP (Analytical Hierarchy Process). Berdasarkan hasil diskusi dengan pakar persampahan dan penelitian di lapangan ada lima tingkat (level) hirarki yang terkait secara nyata mempengaruhi keberhasilan alternatif tata kelola sampah dengan konsep zero waste di TPA Galuga yaitu : (1) level fokus; (2) level faktor; (3) level aktor; (4) level tujuan dan (5) level alternatif. Level-level tersebut kemudian diuraikan lagi menjadi sub level berdasarkan diskusi dengan pakar seperti yang terlihat pada Gambar 22.

107 Gambar 24. Hirarki Sistem Pengelolaan dan Tata Kelembagaan dalam Pengelolaan Sampah Kota di TPA Galuga. 1. Level Fokus Peran masing-masing stakeholder dan alternatif tata kelola sampah difokuskan pada sistem pengelolaan dan tata kelembagaan dalam pengelolaan sampah kota di Kota Bogor (SPTK) karena besaran (size) dan kompleksitas struktur kelembagaan merupakan alat yang paling berpengaruh untuk efisiensi pencapaian tujuan pelaksanaan kebijakan suatu organisasi. 2. Level Faktor Hasil diskusi dengan pakar, pihak terkait dan penelitian dilapangan level faktor ini diuraikan lagi menjadi 5 sub level : (1) Kebijakan pemerintah (KP) (2) Pengetahuan Masyarakat (PM) (3) Modal (Md) (4) Kelembagaan (KLB) (5) Pemasaran (Pms) Hasil analisis dengan menggunakan AHP terhadap 5 sub level faktor tersebut diperoleh bahwa sub level kunci dari level faktor adalah kebijakan pemerintah (1) dengan skor 0,544 dan pengetahuan masyarakat (2) dengan skor 0,195 selanjutnya kelembagaan, modal dan pemasaran yang masing-masing skornya 0,137, 0,064, 0,061. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 25.

108 Gambar 25. Tingkat kepentingan setiap faktor terhadap sistem pengelolaan dan tata kelembagaan sampah kota di TPA Galuga Tingginya kontribusi kebijakan pemerintah berdasarkan hasil analisis metode perbandingan berpasangan ini memberikan arti bahwa untuk keberhasilan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi pemulung dan masyarak menuju konsep zero waste di TPA Galuga diperlukan komitmen dan tanggungjawab moral pembangunan dari pihak yang terkait terutama pemerintah dalam bentuk kebijakan, sehingga pengelolaan sampah kota di TPA dapat dilakukan secara efektif, efisien, terintegrasi, dan sinkron dengan sistem kelembagaan dan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak yang terlibat. Namun demikian, keberhasilan pengelolaan sampah di TPA dengan konsep zero waste, tidak saja ditentukan oleh faktor kebijakan pemerintah, tetapi perlu didukung oleh faktorfaktor lainnya seperti pengetahuan masyarakat, kelembagaan pengelolaan sampah yang menjamin keberhasilan penanganan sampah kota misalnya perlu dibentuk komisi khusus penanganan sampah kota yang melibatkan tokoh masyarakat,tokoh agama, LSM, para ahli dan aparat penegak hukum. Selanjutnya faktor modal. Pengelolaan sampah kota sangat tergantung pada ketersediaan modal. Untuk mengurangi beban pemerintah dalam membiayai pengelolaan sampah pemerintah dapat melakukan sistem kemitraan baik dengan masyarakat maupun dengan pihak swasta, masing-masing pihak memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang yang jelas yang tertuang dalam perjanjian kerjasama sehingga dalam menjalankan tugas tidak terjadi ketimpangan. Faktor terakhir adalah faktor pemasaran faktor ini sangat menentukan dalam keberlanjutan dan keberhasilan pengelolaan sampah dalam jangka panjang. Karena pasar merupakan tempat terjadinya transaksi antara produsen dan konsumen yang akan memberikan dampak pada pendapatan. Dalam

109 hal ini peran pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai penentu kebijakan, pelaksana dan pengguna produk mampu menjamin distribusi produk yang akan dihasilkan. Kebijakan mengenai sistem pengelolaan sampah di TPA Galuga dapat dilakukan secara bertahap berorientasi jangka panjang, dimulai dengan program jangka pendek yang bersifat rintisan yang pada tahap pertama perlu diberikan stimulan yang diberikan oleh pemerintah dan dilaksanakan bersama dengan masyarakat setempat. Kebijakan pemerintah dapat berupa keputusan pembentukan komisi penanganan sampah sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap penanganan sampah kota, adanya subsidi terhadap kebijakan daur ulang sampah baik yang dilakukan oleh pengusaha maupun oleh pemulung, dan kebijakan yang memberikan sanksi yang berat terhadap sumber sampah yang menimbulkan pencemaran lingkungan, sebaliknya memberikan penghargaan (apresiasi) terhadap sumber sampah yang secara nyata memberikan konstribusi positif terhadap peningkatan kebersihan lingkungan yang diatur dalam peraturan perundangan, dan adanya pedoman-pedoman pengelolaan sampah dengan konsep zero waste yang mudah diakses dan diterapkan oleh masyarakat. 3. Level Aktor Pada level aktor (stakeholder) untuk tata kelola sampah di TPA Galuga diuraikan lagi menjadi 4 sub level yaitu (1) Pemerintah (2) Swasta (3) Masyarakat (4) Pemulung Pada level aktor hasil analisis (Lampiran 8) memperlihatkan bahwa aktor yang memiliki nilai tertinggi adalah pemerintah yang diikuti oleh Swasta, masyarakat dan pemulung yang ditunjukkan Gambar 26.

110 Gambar 26. Tingkat kepentingan setiap aktor terhadap alternatif tata kelola sampah di TPA Galuga Tingginya kontribusi pemerintah berdasarkan pendapat pakar tidak saja dilihat dari kebijakannya dalam menetapkan sistem pengelolaan sampah dengan mengeluarkan surat keputusan atau peraturan-peraturan, tetapi juga menfasilitasi setiap kegiatan pengelolaan sampah dari sistem pengangkutan sampai pada pemusnahan sampah di TPA dalam bentuk pendanaan melalui dana subsidi, program-program pengelolaan sampah yang dapat dilaksanakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga masyarakat mendapat manfaat baik secara pendidikan maupun ekonomi. Dalam menjalankan program pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi pemulung dan masyarakat menuju konsep zero waste, tentunya didukung olah para stakeholder yang terkait seperti pihak swasta, masyarakat, dan pemulung. 4. Level Tujuan Pada level tujuan, berdasarkan hasil analisis, tujuan yang ingin dicapai pada pengelolaan sampah dengan pendekatan zero waste yang memberikan skor tertinggi adalah mengurangi ketergantungan dengan lahan TPA (MKL TPA), kemudian, mengurangi biaya operasional (MBO), meningkatkan kebersihan dan kesehatan lingkungan (MKKL), peningkatan pendapatan masyarakat (PP) dan perluasan lapangan kerja (PLK), dengan nilai skor masing-masing tujuan adalah 0,2; 0,19; 0,17; 0,16; dan 0,14.

111 Gambar 27. Tingkat kepentingan setiap tujuan terhadap pengelolaan sampah di TPA Galuga Tingginya nilai skor tujuan mengurangi ketergantungan dengan lahan TPA dalam pengelolaan sampah kota di TPA Galuga dibandingkan dengan tujuan lainnya menunjukkan bahwa ketergantungan dengan lahan TPA karena ketersediaan lahan semakin terbatas dan tidak seimbang dengan peningkatan volume timbulan sampah. Keadaan ini akan semakin sulit jika volume timbulan sampah meningkat setiap tahun tanpa sistem pengelolaan yang baik akan mendatangkan bencana baik dari segi lingkungan, sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat. Karena untuk pengadaan lahan baru sebagai tempat pembuangan akhir sampah selalu menimbulkan konflik antara pemerintah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Hal ini dapat disebabkan, kurangnya sosialisasi, rendahnya pengetahuan masyarakat, minimnya infrastruktur pendukung, tidak ada jaminan terhadap kesehatan, keselamatan, kelestarian lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar, serta belum optimalnya pengelolaan dan pemanfaatan sampah di TPA. Melalui kebijakan pengelolaan sampah dengan pendekatan zero waste oleh pemulung di TPA Galuga, dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terkait, diharapkan konsep zero waste ini dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan akibat adanya penumpukan sampah, mengurangi beban pemerintah dalam menanggulangi biaya operasional pengelolaan sampah, memberdayakan masyarakat sekitar TPA sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial dan konflik tentang keberadaan TPA yang diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat di kawasan tersebut.

112 5. Level Alternatif Berdasarkan hasil analisis tersebut terlihat bahwa alternatif keterlibatan masyarakat memiliki nilai skor 0,491, yang selanjutnya diikuti oleh kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia (SDM), pengolahan sampah melalui pengomposan, pengarangan dan daur ulang (PPDU) sampah anorganik dengan nilai 0,118, sarana prasarana dan peningkatan teknologi pengelolaan sampah, dengan nilai skor atau masing-masing 0,093 dan 0,091 sesuai yang diuraikan Gambar 26. Tingginya nilai skor pendapat pakar terhadap alternatif keterlibatan masyarakat tersebut disebabkan oleh adanya keinginan perubahan pelaksanaan program pengelolaan sampah berbasis nir limbah atau zero waste dapat tercapai. Kenyataannya selama ini masyarakat sebagian besar hanya sebagai penghasil sampah bukan sebagai pengolah sampah. Hal ini menyebabkan tingginya jumlah sampah yang terbuang ke TPA. Gambar 28. Kepentingan setiap alternatif pada tata kelola sampah di TPA Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat para pakar berpendapat untuk perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan melalui sosialisasi dan penyuluhan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan kemampuan melalui (capacity development) di bidang lingkungan. Peningkatan pengetahuan masyarakat akan mampu merubah sikap mental dan perilakunya. Perubahan ini dapat menjadi unsur pendorong dalam keterlibatan masyarakat mengelola sampah secara sukarela (swadaya) misalnya melakukan pemilahan pada proses awal pengelolaan sampah,

113 pengurangan volume sampah (reduce), penggunaan kembali (reuse) dan pendaur ulangan sampah (recycle) misalnya melalui pengomposan, pengarangan dan daur ulang sampah anorganik. Untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah yaitu zero waste di TPA Galuga pakar juga mengharapkan adanya usaha untuk meningkatkan teknologi pengelolaan sampah yang didukung oleh kelembagaan yang ada yang selama ini masih tergantung pada pabrik kompos yang dikelola oleh pemerintah dan pabrik kompos tanpa melibatkan pemulung dan masyarakat sekitar. Teknologi yang digunakan merupakan teknologi ramah lingkungan dan dapat dipertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun akademik. Selain itu teknologi yang akan digunakan merupakan teknologi yang murah, mudah didapat dan dijangkau oleh masyarakat yang mampu menghasilkan produk yang berkualitas. Artinya teknologi tersebut mampu memberikan keuntungan baik secara finansial maupun secara lingkungan. Sehingga akan memberikan peluang usaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja yang akan mendorong dan memotivasi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan sampah. Dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sampah melalui konsep zero waste di TPA Galuga dengan alternatif pengambilan keputusan adalah keterlibatan masyarakat, maka hal-hal lain yang turut menentukan adalah faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan sampah di TPA Galuga, para stakeholder yang terlibat, dan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan uraian di atas untuk mengelola persampahan hal pertama yang harus diperhatikan (Arianto dan Darwin, 2003) adalah kebijakan dari pemerintah yang dibuat dengan pendekatan menyeluruh sehingga dapat dijadikan payung bagi penyusunan kebijakan ditingkat pusat maupun daerah. Belum adanya kebijakan pemerintah tersebut menyulitkan pengelolaan persampahan. Kebijakan strategis yang telah ditetapkan oleh pemerintah baru pada tahap aspek teknis yaitu dengan melakukan pengurangan timbulan sampah dengan menerapkan Reduce, Reuse dan Recycle ( 3 R ), dengan harapan pada tahun 2025 tercapai zero waste. Pendekatan pengelolaaan persampahan yang semula didekati dengan wilayah administrasi, dapat diubah dengan melalui pendekatan pengelolaan persampahan secara regional dengan menggabungkan beberapa kota dan kabupaten dalam pengelolaan persampahan. Hal ini sangat menguntungkan karena akan mencapai skala ekonomis baik dalam tingkat pengelolaan TPA, dan pengangkutan dari TPS

114 ke TPA. Berbagai prinsip yang perlu dilakukan dalam menerapkan pelaksanaan pengelolaan persampahan secara regional ini adalah sebagai berikut: 1. Membentuk peraturan daerah bersama yang mengatur pengelolan persampahan. Peraturan tersebut berisi berbagai hal dengan mempertimbangkan aspek hukum dan kelembagaan, teknik, serta aspek keuangan. 2. Dari aspek kelembagaan telah ada pemisahan peran yang jelas antara pembuat peraturan, pengatur/pembina dan pelaksana. Dengan adanya pemisahan yang jelas ini, diharapkan penerapan peraturan dapat dilakukan dengan optimal termasuk unsur pembinaan yang berupa sangsi-sangsi yang tegas. 3. Dari aspek teknis telah diterapkan beberapa indikator-indikator pelayanan, antara lain : a. Tidak terdapat timbunan sampah pada tempat terbuka; b. Pengumpulan sampah dilakukan secepat mungkin dan menjangkau seluruh kawasan perkotaan termasuk kawasan rumah tinggal, niaga, fasilitas umum dan tempattempat wisata; c. Sampah hanya dikumpulkan pada TPS atau kontainer sampah yang telah ditentukan; d. Sampah yang terkumpul pada TPS harus sudah diangkat ke TPA dalam waktu yang kurang dari 24 jam; e. Pengangkutan dari TPS dan dibuang ke TPA harus tidak menyebabkan kemacetan lalulintas serta tidak menimbulkan ceceran sampah maupun cairannya di sepanjang jalan; f. Pengoperasian TPA dilakukan dengan sistem sanitary landfill; g. Mengoptimalkan manfaat nilai tambah dari sampah dengan menerapkan daur ulang atau melakukan pengomposan. 4. Dari aspek keuangan, indikator minimal yang harus diterapkan adalah Biaya untuk pengelolaan persampahan harus menerapkan prinsip pemulihan biaya (full cost receovery), dan sedapat mungkin menghindari dana subsidi dari pemerintah.

115 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Pola pengelolaan sampah di TPA Galuga masih menggunakan sistem open dumping yaitu sampah dibuang begitu saja dan dibiarkan membusuk tanpa ada proses pengolahan selanjutnya. 1. Kegiatan pengomposan, pengarangan dan pemanfaatan bahan dauran oleh pengusaha kompos dan pemulung secara ekonomi menguntungkan sehingga mampu meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar TPA Galuga serta dapat mereduksi (mengurangi) beban lingkungan penerima bahan pencemar dari sampah organik maupun anorganik, menghemat penggunaan sumberdaya alam sebanyak 6,06% dari material alami. 2. Kelembagaan pengelolaan sampah di TPA Galuga secara keseluruhan tidak berjalan optimal karena tidak ada kerjasama antara pemerintah dengan pemulung dan masyarakat sekitar tetapi hanya bermitra dengan kelompok tertentu yaitu pengusaha kompos. 3. Berdasarkan hasil analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) alternatif kebijakan terbaik untuk menangani sampah kota dengan konsep zero waste di TPA Gunung Galuga adalah peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah Saran-saran Untuk mencapai sasaran dan tujuan pengelolaan sampah dengan pendekatan zero waste Kota Bogor dimasa mendatang dimana sampah kota tidak hanya dibuang dan dimusnahkan saja tetapi juga dimanfaatkan secara maksimal, maka penulis menyarankan 1. Agar kapasitas pemulung meningkat, dan pengelolaan sampah kota dengan pendekatan zero waste melalui usaha daur ulang dapat berjalan dan berkembang diharapkan dibentuk suatu sistem kerjasama (kemitraan) yang terorganisasi dan dapat memberikan manfaat secara finansial maupun sosial untuk merangsang keterlibatan pemulung dalam pengelolaan sampah di TPA Gunung Galuga.

116 2. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah kota masih tergolong rendah, untuk itu pemerintah daerah perlu melakukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat melalui capacity building melalui kegiatan sosialisasi, penyuluhan, pembinaan dan kemudahan demi kesinambungan usaha pengelolaan sampah di TPA Gunung Galuga dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) 3. Ketersediaan pasar produk daur ulang terutama kompos sampai saat ini masih menjadi kendala bagi pemulung maupun pengusaha daur ulang sampah, untuk itu pemerintah perlu menjamin pemasaran produk tersebut dengan membuat kebijakan khusus misalnya dengan cara membeli produk kompos melalui instansi maupun departemen yang mempunyai kebutuhan akan produk kompos misalnya melalui Departemen Pertanian, Departemen Perkebunan atau Dinas Pertamanan Kota.

117 DAFTAR PUSTAKA Anwar, A Analisa Ekonomi Biaya-biaya Transaksi. Bahan Mata Kuliah Sistem Organisasi Kelembagaan Ekonomi Pedesaan. Program Pascasarjana. Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Institut Pertanian Bogor. Arianto Wibowo & Darwin T Djajawinata Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu. Azwar, A Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Yayasan Mutiara, Jakarta Bandaragoda, D.J A Frame for Institutional Analysis for Water Resource Management in a River Basin Context. Working Paper 5. International Water Management Institute. Silverton. Bebasari, S Sistem Pengelolaan Sampah secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Teknologi Pengolahan Sampah Kota secara Terpadu Menuju Zero Waste. Jakarta 5-7 Oktober BPPT Penerapan Konsep Zero Waste Sampah Perkotaan di Indonesia. Kelompok Teknologi Pengelolaan Sampah dan Limbah Padat. BPPT. Jakarta. Damanhuri, E Pengelolaan Limbah Padat. Kursus Pengelolaan dan Teknologi Limbah. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Dinas Kebersihan DKI Jakarta Pengelolaan Kebersihan di Wilayah DKI Jakarta. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Jakarta. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemerintah Kota Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Kegiatan TPA Sampah Galuga. Pemerintah Kota Bogor. Bogor. Ditjen Cipta Karya Proyek Pengembangan Institusi Untuk Menjunjung Unit Implementasi Proyek di Kotamadya Bogor. Laporan Akhir Project Loan No. IIII-INO Bogor Urban Development Project. Dit. Bina Program Cipta Karya dan Pemda Kotamadya Dati II Bogor. Bogor. Djogo, T., Sunaryo, D. Suharjito dan M. Sirait Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bahan Ajar Agroforestri 8. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. Bogor. Fauzi, M.A. dan Suprihatin Bioteknologi lingkungan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

118 Flintoff, F Management of Solid Waste in the Developing Countries. World Health Organization, New Delhi. Gaur, A.C A. Manual of Rular Composting. Division of Microbiology. Indian Agriculture Research Institute. New Delhi. Goldsmith, A. dan D.W. Brinkerhoff Sustainability and Rural Agricultural and Rural Development. Global Perspective. New York. Harada, Y Composting and Aplication of Animal Wastes. ASPAC Food and Fertilizer Technology Center. Extention Buletin. 311: Hardjosoemantri, K Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta. Haug, R,T Compasting Engineering, Principle and Practice. Ann Arbor Science. Michigan. Iriani, Sistem Organisasi Pengelolaan Sampah Pemukiman di Kotamadya Medan (Tesis) Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup-Pemerintah Kota Bogor Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Bogor Buku III. Basis Data Lingkungan Hidup SLDH Kota Bogor Pemerintah Kota Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kantor Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Lardinois, I. dan Van de Klunder Organic Waste; Option for Small Scale Resource Recovery. Technology Transfer for Development. Amsterdam. Peavy, H.S,. D.R. Rowe and Tchobanoglous Environmental Engineering. Mc Graw Hill-Book Company, New York. Robinson, W. D The Solid Waste Handbook A Practical Guide. Willey. New. York. Saaty, T.L Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decisions in a complex World. RWS Publication, Pittsburgh. Soemarwoto, O Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan Jakarta. Soewedo, H Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu. Jakarta.

119 Solimun, M.S Struktural Equation Modelling (SEM). Aplikasi Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Psikologi, Sosial, Kedokteran dan Agrokompleks. Universitas Brawijaya. Malang. Suriawiria, U Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan Secara Biologis. Penerbit Alumni. Bandung. Syamsuddin, A Studi Tentang Pengelolaan Sampah di Kotamadya Ujung Pandang. [Thesis]. Program Pascasarjana KPK IPB-Unhas Bogor. Tchobanoglous, G., H. Theisen and R. Eliassen Solid Wastes: Engineering Principless and Management Issues. Mc. Graw Hill, Kogakusga, LTD, Tokyo.

120 Lampiran : 1 Karakteristik Responden Pemulung No. Nama Responden Jenis Kelamin (L/P) Asal Daerah (Desa) Status (K/TK) Umur (Thn) Pendidikan Pekerjaan Sampingan Jumlah Kerja sehari (Jam) 1 Iyah P Galuga Kawin 50 TTSD Buruh 8 2 Dayat M L Cijujung Kawin 28 TSMP Tdk ada 8 3 Adi L Cijujung Kawin 30 TSMP Tdk ada 8 4 Eni P Galuga Kawin 33 TTSD Buruh 12 5 Gani Ghozali L Galuga Kawin 34 TSD Tdk ada 10 6 Samah P Galuga Kawin 35 TSD Buruh 13 7 Yusuf L Dukuh Kawin 37 TSMP Buruh 10 8 Muhidin L Dukuh Kawin 35 Tdk Sekolah Buruh 7 9 Aceng L Galuga Kawin 40 TTSD Tdk Ada 8 10 Kosasi L Dukuh Kawin 25 TSD Tdk ada 9 11 Suminta L Dukuh Kawin 42 TTSD Buruh 9 12 Sariati P Dukuh Kawin 30 TSD Tdk ada 7 13 Yakub L Dukuh Kawin 40 TSD Dagang 6 14 Marsih P Galuga Kawin 30 TTSD Tdk ada 6 15 Emong L Galuga Kawin 25 TSD Tdk ada 8 16 Sar P Yogya Kawin 40 Tdk Sekolah Tdk ada 7 17 Wati P Yogya Kawin 40 TTSD Tdk ada 7 18 Uun P Galuga Kawin 25 TTSD Tdk ada 7 19 Atmunah P Galuga Kawin 50 Tdk Sekolah Buruh 8

121 Lanjutan lampiran : 1 Karakteristik Responden Pemulung No. Nama Responden Jenis Kelamin (L/P) Asal Daerah (Desa) Status (K/TK) Umur (Thn) Pendidikan Pekerjaan Sampingan Jumlah Kerja sehari (Jam) 20 Alek L Dukuh Tidak Kawin 19 Tdk Sekolah Tdk ada Siti Aisyah P Galuga Kawin 45 TTSD Tdk ada 8 22 Bezo L Dukuh Kawin 20 TSD Buruh Dian L Galuga Tidak Kawin 17 TSD Tdk ada Nanang L Moyan Kawin 40 TTSD Tdk ada Ahim L Dukuh Kawin 32 TSD Tdk ada Ipat P Dukuh Kawin 50 TSD Tdk ada 7 27 Salmah P Galuga Kawin 41 TTSD Tdk ada 8 28 Sarmi P Dukuh Kawin 30 TSD Tdk ada 8 29 Abeng L Cimangir Hilir Kawin 42 TSMP Tdk ada Udin L Dukuh Kawin 40 TSD Buruh 6 31 Deni L Dukuh Kawin 39 TTSD Buruh 6 32 Marni P Dukuh Kawin 28 Tidak Sekolah Tdk ada 8 33 Usup L Dukuh Kawin 39 TSD Tdk ada 9 34 Martin L Dukuh Kawin 31 TTSD Tdk ada 8 35 Unus L Dukuh Kawin 42 TTSD Tdk ada 8 36 Rozak L Galuga Kawin 32 TSD Tdk ada 8 37 Adang L Galuga Kawin 40 TSD Tdk ada 7 38 Fitri P Dukuh Kawin 29 TTSD Tdk ada 9 39 Erna P Dukuh Kawin 42 TSD Tdk ada Ujang L Dukuh Kawin 45 TTSD Tdk ada 7 Jumlah Purata 35,175 8,525

122 Lanjutan lampiran : 1 Karakteristik Responden Pemulung Jenis Penyakit yang Pernah di Derita Lama Menganggur (Tahun) Mempunyai Ikatan Dengan Lapak Tempat Berobat yang Dikunjungi Lama Bekerja Dengan Lapak (Thn) Tempat Mandi, Cuci, dan Kakus Frekuensi Penjualan Sampah Fasilitas yang di Berikan Lapak Batuk 0 Ya Puskesmas 15 WC Umum Setiap hari Alat untuk memulung Tdk Ada 1 Ya Puskesmas 2 WC Umum Setiap hari Pinjaman Mendadak Tdk Ada 1 Ya Puskesmas 2 WC Umum Setiap hari Pinjaman Mendadak Tdk Ada 1 Ya Puskesmas 3 WC Umum Setiap hari Alat untuk memulung Batuk 2 Ya Puskesmas 4 WC Septik Tank Setiap hari Alat untuk memulung Batuk 1 Ya Puskesmas 4 WC Septik Tank Setiap hari Alat untuk memulung Demam 3 Ya Puskesmas 1 WC Umum Setiap hari Pinjaman Mendadak Demam 2 Ya Puskesmas 4 WC Umum Setiap hari Alat untuk memulung Tdk Ada 0 Ya Puskesmas 1 Sungai Setiap hari Alat untuk memulung Batuk 1 Ya Puskesmas 3 Sungai Setiap hari Alat untuk memulung Pinjaman Mendadak Tdk Ada 1 Ya Puskesmas 8 Sungai Setiap hari dan Alat Skt Kepala 0 Tidak Puskesmas 2 Sungai Setiap hari Tidak Ada Skt Kepala 5 Ya Puskesmas 3 Sungai Setiap hari Alat untuk memulung Skt Kepala 0 Tidak Puskesmas 2 Sungai Setiap hari Tidak Ada Sakit Kepala 1 Ya Puskesmas 2 Sungai Setiap hari Pinjaman Mendadak Batuk 1 Ya Puskesmas 20 Sungai Setiap hari Pinjaman Mendadak dan Alat Batuk 1 Ya Puskesmas 20 Sungai Setiap hari Pinjaman Mendadak dan Alat

123 Lanjutan lampiran : 1 Karakteristik Responden Pemulung Jenis Penyakit yang Pernah di Derita Lama Menganggur (Tahun) Mempunyai Ikatan Dengan Lapak Tempat Berobat yang Dikunjungi Lama Bekerja Dengan Lapak (Thn) Tempat Mandi, Cuci, dan Kakus Frekuensi Penjualan Sampah Fasilitas yang di Berikan Lapak Batuk 3 Tidak Puskesmas 2 Sungai Setiap hari Tidak Ada Batuk 0 Ya Puskesmas 13 Sungai Setiap hari Pinjaman Mendadak dan Alat Sakit Kepala 0 Ya Puskesmas 7 Sungai Setiap hari Alat untuk memulung Asma 0 Tidak Puskesmas 15 Sungai Setiap hari Tidak Ada Demam 1 Ya Puskesmas 1 WC Umum Setiap hari Alat untuk memulung Batuk 0 Tidak Puskesmas 1 Sungai Setiap hari Tidak Ada Batuk 0 Ya Puskesmas 4 WC Plung Setiap hari Pinjaman Mendadak Batuk 1 Tidak Puskesmas 1 WC Septik Tank Setiap hari Tidak Ada Batuk 0 Tidak Puskesmas 1 Sungai Setiap hari Tidak Ada Batuk 0 Tidak Puskesmas 8 Sungai Setiap hari Tidak Ada Batuk 2 Ya Puskesmas 3 Sungai Setiap hari Pinjaman Mendadak Tdk Ada 1 Ya Puskesmas 9 Sungai Setiap hari Alat untuk memulung Demam 1 Ya Puskesmas 8 WC Septik Tank Setiap hari Pinjaman Mendadak Tdk Ada 2 Tidak Puskesmas 4 WC Umum Setiap hari Tidak Ada Batuk 3 Ya Puskesmas 3 WC Umum Setiap hari Pinjaman Mendadak Batuk 2 Ya Puskesmas 9 WC Umum Setiap hari Pinjaman Mendadak Batuk 1 Ya Puskesmas 4 WC Umum Setiap hari Alat untuk memulung Sakit Kepala 2 Ya Puskesmas 4 WC Umum Setiap hari Alat untuk memulung Sakit Kepala 2 Tidak Puskesmas 5 WC Umum Setiap hari Tidak Ada

124 Lanjutan lampiran : 1 Karakteristik Responden Pemulung Jenis Penyakit yang Pernah di Derita Lama Menganggur (Tahun) Mempunyai Ikatan Dengan Lapak Tempat Berobat yang Dikunjungi Lama Bekerja Dengan Lapak (Thn) Tempat Mandi, Cuci, dan Kakus Frekuensi Penjualan Sampah Fasilitas yang di Berikan Lapak Tidak Ada 2 Ya Puskesmas 2 WC Septik Tank Setiap hari Alat untuk memulung Batuk 3 Ya Puskesmas 4 Sungai Setiap hari Tidak Ada Batuk 2 Ya Puskesmas 7 Sungai Setiap hari Tidak Ada ,375 5,2

125 Lampiran: 2 Jumlah Tanggungan Keluarga, Lama menjadi Pemulung dan Jumlah Jam Kerja Sehari Pemulung Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah Anggota Keluarga yang Jumlah Anak (Orang) No. Nama Resp (Orang) Bekerja > > > 4 1 Iyah 2 Dayat M 3 Adi 4 Eni 5 Gani Ghozali 6 Samah 7 Yusuf 8 Muhidin 9 Aceng 10 Kosasi 11 Suminta 12 Sariati 13 Yakub 14 Marsih 15 Emong 16 Sar 17 Wati 18 Uun 19 Atmunah 20 Alek 21 Siti Aisyah 22 Bezo

126 Lanjutan lampiran: 2 Jumlah Tanggungan Keluarga, Lama menjadi Pemulung dan Jumlah Jam Kerja Sehari Pemulung No. Nama Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah Anggota Keluarga yang Jumlah Anak (Orang) Responden (Orang) Bekerja 23 Dian 24 Nanang 25 Ahim 26 Ipat 27 Salmah 28 Sarmi 29 Abeng 30 Udin 31 Deni 32 Marni 33 Usup 34 Martin 35 Unus 36 Rozak 37 Adang 38 Fitri 39 Erna 40 Ujang

127 Lanjutan lampiran: 2 Jumlah Tanggungan Keluarga, Lama menjadi Pemulung dan Jumlah Jam Kerja Sehari Pemulung No. Nama Responden Lama Menjadi Pemulung (Tahun) Jumlah Jam Kerja Sehari (Jam) < > > 13 1 Iyah 2 Dayat M 3 Adi 4 Eni 5 Gani Ghozali 6 Samah 7 Yusuf 8 Muhidin 9 Aceng 10 Kosasi 11 Suminta 12 Sariati 13 Yakub 14 Marsih 15 Emong 16 Sar 17 Wati 18 Uun 19 Atmunah 20 Alek 21 Siti Aisyah 22 Bezo 23 Dian

128 Lanjutan lampiran: 2 Jumlah Tanggungan Keluarga, Lama menjadi Pemulung dan Jumlah Jam Kerja Sehari Pemulung No. Nama Responden Lama Menjadi Pemulung (Tahun) Jumlah Jam Kerja Sehari (Jam) < > > Nanang 25 Ahim 26 Ipat 27 Salmah 28 Sarmi 29 Abeng 30 Udin 31 Deni 32 Marni 33 Usup 34 Martin 35 Unus 36 Rozak 37 Adang 38 Fitri 39 Erna 40 Ujang

129 Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Oleh Pemulung No. Nama Responden HD Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Jenis Sampah Yang Dikumpulkan Plastik Harga PP Jumlah (Kg) (Rp/Kg) PE Jumlah (Kg) 1 Iyah , Dayat M Adi Eni Gani Ghozali Samah Yusuf Muhidin Aceng Kosasi Suminta Sariati Yakub Marsih Emong Sar Wati Uun Atmunah Alek Siti Aisyah Bezo Harga (Rp/Kg)

130 Lanjutan Lampiran 3: Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung No. Nama Responden HD Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Jenis Sampah Yang Dikumpulkan Plastik Harga PP Jumlah (Kg) (Rp/Kg) PE Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) 23 Dian Nanang Ahim Ipat Salmah Sarmi Aceng Udin Deni Marni Usup Martin Unus Rozak Adang Fitri Erna Ujang Jumlah Purata

131 Lanjutan Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung Jenis Sampah Yang Dikumpulkan Plastik Harga Kertas Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Kardus Ember Jumlah (Kg) (Rp/Kg) Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

132 Lanjutan Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung Jenis Sampah Yang Dikumpulkan Ember Plastik Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Kertas Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Kardus Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

133 Lanjutan Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung Jenis Sampah yang Dikumpulkan Jumlah Harga Jumlah Harga Besi Tembaga (Kg) (Rp/Kg) (Kg) (Rp/Kg) Botol Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) , , ,

134 Lanjutan Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung Jenis Sampah yang Dikumpulkan Jumlah Harga Jumlah Harga Besi Tembaga (Kg) (Rp/Kg) (Kg) (Rp/Kg) Botol Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

135 Lanjutan Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung Jenis Sampah yang Dikumpulkan Harga Harga Kaleng Jumlah (Kg) Tulang Jumlah (Kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg) Karung Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

136 Lanjutan Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung Kaleng Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Jenis Sampah yang Dikumpulkan Harga Tulang Jumlah (Kg) (Rp/Kg) Karung Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

137 Lanjutan Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung Jenis Sampah yang dikumpulkan Aluminium Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Aqua Botol Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Aqua Gelas Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

138 Lanjutan Lampiran : 3 Jenis Sampah yang Dikumpulkan Pemulung Aluminium Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Jenis Sampah yang dikumpulkan Aqua Harga Jumlah (Kg) Botol (Rp/Kg) Aqua Gelas Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) , , , , , , , ,

139 Lampiran : 4 Pendapatan Pemulung dari Hasil Mengumpulkan Bahan Dauran Sampah Anorganik Pendapatan Utama (Rp)/hari Pendapatan (Rp/Bulan) dari Pulungan Sampah Pengeluaran (Rp/hari) Pengeluaran (Rp/bln) Pendapatan Bersih hasil pulungan (Bln) (A) Pendapatan Sampingan (Rp/Bulan) (B) Pendapatan /Bln (A+B) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,050, , , , , , , , , , , , , , , , , ,042, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,000.00

140 Lanjutan lampiran : 4 Pendapatan Pemulung dari Hasil Mengumpulkan Bahan Dauran Sampah Anorganik Pendapatan Utama (Rp)/hari Pendapatan (Rp/Bulan) dari Pulungan Sampah Pengeluaran (Rp/hari) Pengeluaran (Rp/bln) Pendapatan Bersih hasil pulungan (Bln) (A) Pendapatan Sampingan (Rp/Bulan) (B) Pendapatan /Bln (A+B) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,275, , , , , ,125,000.00

141 Lanjutan lampiran : 4 Pendapatan Pemulung dari Hasil Mengumpulkan Bahan Dauran Sampah Anorganik Pendapatan Utama (Rp)/hari Pendapatan (Rp/Bulan) dari Pulungan Sampah Pengeluaran (Rp/hari) Pengeluaran (Rp/bln) Pendapatan Bersih hasil pulungan (Bln) (A) Pendapatan Sampingan (Rp/Bulan) (B) Pendapatan /Bln (A+B) , , , , , ,155, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,089, , , , , , , , , , , ,020, , , , , , , , , , , , , , , ,000.00

142 Lanjutan lampiran : 4 Pendapatan Pemulung dari Hasil Mengumpulkan Bahan Dauran Sampah Anorganik Pendapatan Utama (Rp)/hari Pendapatan (Rp/Bulan) dari Pulungan Sampah Pengeluaran (Rp/hari) Pengeluaran (Rp/bln) Pendapatan Bersih hasil pulungan (Bln) (A) Pendapatan Sampingan (Rp/Bulan) (B) Pendapatan /Bln (A+B) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,300 29,799, ,000 8,220,000 21,538,500 1,680,000 23,218,500

143 Lampiran : 5 Keragaan Lapak No. Nama Responden Jenis Kelamin (L/P) Umur (Tahun) Jumlah Anak (Orang) Jumlah Tanggungan Keluarga (Orang) > > 4 1 Muhammad Enoh L 28 2 Inta B L 53 3 Heri L 24 4 Adin L 31 5 Maman Pancir L 50 6 Yani L 46 7 Aja L 40 8 Dadang L 44 9 Maman Hermansyah L Sri Wahyuni P Ahmad L Ati P Nuh L Andi L Adi L 30 Jumlah 624 Rata-rata 42

144 Lanjutan lampiran : 5 Keragaan Lapak Jumlah Anggota Keluarga yang Bekerja Lama Menjadi Lapak (Tahun) Jumlah Jam Kerja Sehari (Jam) > 4 < > > 13

145 Lampiran : 6 Jenis Sampah yang Ditampug Oleh Lapak di TPA Gunung Galuga No Nama Responden HD Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Jenis Sampah Yang Dikumpulkan Plastik Jumlah Harga PP PE (Kg) (Rp/Kg) Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) 1 Muhammad Enoh Inta B Heri Adin Maman Pancir Yani Aja Dadang Maman Hermansyah Sri Wahyuni Ahmad Ati Nuh Andi Adi Jumlah Rata-Rata

146 Lanjutan lampiran : 6 Jenis Sampah yang Ditampug Oleh Lapak di TPA Gunung Galuga Ember Plastik Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Kertas Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Kardus Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Besi Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

147 Lanjutan lampiran : 6 Jenis Sampah yang Ditampug Oleh Lapak di TPA Gunung Galuga Tembaga Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Botol Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Kaleng Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Tulang Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

148 Lanjutan lampiran : 6 Jenis Sampah yang Ditampug Oleh Lapak di TPA Gunung Galuga Karung Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Aluminium Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Aqua Botol Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Aqua Gelas Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg)

149 Lanjutan lampiran : 6 Jenis Sampah yang Ditampug Oleh Lapak di TPA Gunung Galuga Jenis Sampah yang Dikumpulkan Karet Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Pendapatan (Rp/Bln) Modal (Rp/Hari) Modal (Rp/Bln) ,800, , ,500, ,000, , ,000, ,500, , ,000, ,200, , ,000, ,500, , ,000, ,600, , ,000, ,500, , ,600, ,800, , ,500, ,000, ,000, ,000, ,000, , ,000, ,200, , ,000, ,500, , ,000, ,800, , ,500, ,000, , ,000, ,500, , ,500,

150 Lanjutan lampiran : 6 Jenis Sampah yang Ditampug Oleh Lapak di TPA Gunung Galuga Sewa Tempat Pengeluaran Rp/Bln Makan/Minum Rokok Tenaga Kerja Listrik Sewa Keamanan Sekolah Total Pengeluaran Rp/Bln 100, , , , , , , , , , , , , , ,005, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,000.00

151 Lanjutan lampiran : 6 Jenis Sampah yang Ditampug Oleh Lapak di TPA Gunung Galuga Sewa Tempat Pengeluaran Rp/Bln Makan/Minum Rokok Tenaga Kerja Listrik Sewa Keamanan Sekolah Total Pengeluaran Rp/Bln 200, , , , , , , ,455, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

152 LAMPIRAN

153 Lampiran 7: Aktivitas pemulung mengumpulkan sampah organik untuk dikomposkan Lampiran 8 : Partisipasi pemulung dalam kegiatan Pengomposan dan Pengarangan

154

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permasalahan Sampah dan Usaha Pengelolaannya di Perkotaan Pengertian Sampah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permasalahan Sampah dan Usaha Pengelolaannya di Perkotaan Pengertian Sampah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permasalahan Sampah dan Usaha Pengelolaannya di Perkotaan 2.1.1. Pengertian Sampah Pengertian sampah yang umum digunakan di Indonesia adalah mengikuti konsep yang dikembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari keterkaitannya terhadap lingkungan. Lingkungan memberikan berbagai sumberdaya kepada manusia dalam

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN SAMPAH SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri atas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI DAN KARAKTERISTIK SAMPAH KOTA BOGOR 1. Sifat Fisik Sampah Sampah berbentuk padat dibagi menjadi sampah kota, sampah industri dan sampah pertanian. Komposisi dan jumlah

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan kota. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang semakin meningkat secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya laju konsumsi dan pertambahan penduduk Kota Palembang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume dan keragaman sampah. Peningkatan volume dan keragaman sampah pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari sebuah pembangunan. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang makin meningkat drastis akan berdampak

Lebih terperinci

INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO. Oleh: Chrisna Pudyawardhana. Abstraksi

INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO. Oleh: Chrisna Pudyawardhana. Abstraksi INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO Oleh: Chrisna Pudyawardhana Abstraksi Pengelolaan sampah yang bertujuan untuk mewujudkan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta menjaga keindahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan yang kotor merupakan akibat perbuatan negatif yang harus ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang dibangun di atas lahan seluas 27 Ha di Dusun Betiting, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten

Lebih terperinci

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah

AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI. Antung Deddy Radiansyah AN JUDUL ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGOMPOSAN BERSUBSIDI Antung Deddy Radiansyah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii RINGKASAN H. Antung Deddy R. Analisis Keberlanjutan Usaha

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait antar satu dengan lainnya. Manusia membutuhkan kondisi lingkungan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Pemodelan merupakan suatu aktivitas pembuatan model. Secara umum model memiliki pengertian sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sadar atau tidak dalam proses pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan

VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan TPA Bakung kota Bandar Lampung masih belum memenuhi persyaratan yang ditentukan, karena belum adanya salahsatu komponen dari

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN DI KAWASAN PERDESAAN KABUPATEN PONOROGO ( STUDI KASUS KECAMATAN BUNGKAL )

PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN DI KAWASAN PERDESAAN KABUPATEN PONOROGO ( STUDI KASUS KECAMATAN BUNGKAL ) PRESENTASI TESIS PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN DI KAWASAN PERDESAAN KABUPATEN PONOROGO ( STUDI KASUS KECAMATAN BUNGKAL ) DOSEN PEMBIMBING Prof. Dr. YULINAH TRIHADININGRUM, MApp.Sc OLEH : MALIK EFENDI (3310202708)

Lebih terperinci

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI Sampah?? semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 54 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DAN ZAT KIMIA PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA DAN BANDAR UDARA DENGAN

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan sampah memerlukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup, menuntut berbagai pengembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak ada

Lebih terperinci

1. Pendahuluan ABSTRAK:

1. Pendahuluan ABSTRAK: OP-26 KAJIAN PENERAPAN KONSEP PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU DI LINGKUNGAN KAMPUS UNIVERSITAS ANDALAS Yenni Ruslinda 1) Slamet Raharjo 2) Lusi Susanti 3) Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Andalas Kampus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick, 1984). Saat ini

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 3R BERBASIS MASYARAKAT Sri Subekti Fakultas Teknik, Teknik Lingkungan Universitas Pandanaran Semarang

PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 3R BERBASIS MASYARAKAT Sri Subekti Fakultas Teknik, Teknik Lingkungan Universitas Pandanaran Semarang PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 3R BERBASIS MASYARAKAT Sri Subekti Fakultas Teknik, Teknik Lingkungan Universitas Pandanaran Semarang ABSTRAK Pengelolaan sampah merupakan suatu pendekatan pengelolaan sampah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sampah merupakan material sisa hasil proses suatu aktifitas, baik karena kegiatan industri, rumah tangga, maupun aktifitas manusia lainnya. Sampah selalu menjadi masalah lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA., Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk dan perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan merupakan tempat hidup mahluk hidup untuk aktivitas kehidupannya. Selain itu,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa dengan adanya pertambahan penduduk dan pola konsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat, peningkatan konsumsi masyarakat dan aktivitas kehidupan masyarakat di perkotaan, menimbulkan bertambahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah menjadi persoalan serius terutama di kota-kota besar, tidak hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah menurut SNI 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri atas bahan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa memenuhi ketentuan pasal 18 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Daerah

Lebih terperinci

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang PERANSERTA MASYARAKAT DALAM USAHA MEMPERPANJANG MASA PAKAI TPA KEBON KONGOK KOTA MATARAM Imam Azhary, Ellina S. Pandebesie Program Pascasarjana Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Email: imam_dpu@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.

Lebih terperinci

VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR

VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR 6.1. Pengelolaan Sampah Pasar Aktivitas ekonomi pasar secara umum merupakan bertemunya penjual dan pembeli yang terlibat dalam

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM)

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) EPI RATRI ZUWITA PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI ABAS KURIB SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU

SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU Alfi Rahmi, Arie Syahruddin S ABSTRAK Masalah persampahan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain. masyarakat tidak ingin berdekatan dengan sampah.

BAB I PENDAHULUAN. dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain. masyarakat tidak ingin berdekatan dengan sampah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masalah sampah merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH REGIONAL JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN 1 Sampah merupakan konsekuensi langsung dari kehidupan, sehingga dikatakan sampah timbul sejak adanya kehidupan manusia. Timbulnya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam program pembangunan kesehatan masyarakat salah satunya adalah program lingkungan sehat, perilaku

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari instansi yang terkait dengan penelitian, melaksanakan observasi langsung di Tempat Pembuangan

Lebih terperinci

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Drs. Chairuddin,MSc PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Reduce, Reuse, Recycling

Lebih terperinci

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 1. Latar Belakang Sampah yang menjadi masalah memaksa kita untuk berpikir dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu berhubungan erat dengan perkembangan lahan baik dalam kota itu sendiri maupun pada daerah yang berbatasan atau daerah sekitarnya. Selain itu lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Berbagai aktifitas manusia secara langsung maupun tidak langsung menghasilkan sampah. Semakin canggih teknologi di dunia, semakin beragam kegiatan manusia di bumi, maka

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH ABSTRAK KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH Peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kuantitas sampah kota. Timbunan sampah yang tidak terkendali terjadi

Lebih terperinci

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R

PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R PENERAPAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS 3R Drs. Chairuddin,MSc P E NE RAPAN P E NG E L O L AAN S AM PAH B E RB AS I S 3 R Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 6A TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN / KEBERSIHAN BUPATI LOMBOK BARAT, Menimbang : a. bahwa salah satu faktor

Lebih terperinci

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK Joko Widodo dan Yulinah Trihadiningrum Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Lingkungan FTSP - ITS Surabaya ABSTRAK Pembuangan akhir sampah yang

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGOLAHAN SAMPAH DI TPA PUTRI CEMPO MOJOSONGO SURAKARTA TUGAS AKHIR

PENGOLAHAN SAMPAH DI TPA PUTRI CEMPO MOJOSONGO SURAKARTA TUGAS AKHIR PENGOLAHAN SAMPAH DI TPA PUTRI CEMPO MOJOSONGO SURAKARTA TUGAS AKHIR Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya (A.Md.) pada Program Studi DIII Teknik Sipil Jurusan Teknik Sipil Fakultas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalahan Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan, terutama

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT)

PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT) JRL Vol.7 No.2 Hal. 153-160 Jakarta, Juli 2011 ISSN : 2085.3866 No.376/AU1/P2MBI/07/2011 PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT) Rosita Shochib Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persampahan merupakan isu penting khususnya di daerah perkotaan yang selalu menjadi permasalahan dan dihadapi setiap saat. Akibat dari semakin bertambahnya jumlah

Lebih terperinci

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA Shinta Dewi Astari dan IDAA Warmadewanthi Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP Program Pascasarjana, Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Di samping itu, pola konsumsi masyarakat memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupannya sehari-hari, manusia tidak bisa dilepaskan dari suatu benda. Benda ini ada yang dapat digunakan seutuhnya, namun ada juga yang menghasilkan sisa

Lebih terperinci

POTENSI PENERAPAN PRINSIP 3R DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI DESA NGENEP KECAMATAN KARANGPLOSO KABUPATEN MALANG

POTENSI PENERAPAN PRINSIP 3R DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI DESA NGENEP KECAMATAN KARANGPLOSO KABUPATEN MALANG Spectra Nomor 22 Volume XI Juli 2013: 24-31 POTENSI PENERAPAN PRINSIP 3R DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI DESA NGENEP KECAMATAN KARANGPLOSO KABUPATEN MALANG Puji Ariyanti Sudiro Program Studi Teknik Lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR + BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI Perumusan strategi dalam percepatan pembangunan sanitasi menggunakan SWOT sebagai alat bantu, dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada tiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampah merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Selain itu, sampah juga berpotensi besar menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara jumlah sampah yang dihasilkan dengan sampah yang diolah tidak seimbang. Sampah merupakan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang TUGAS AKHIR 108 Periode Agustus Desember 2009 Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Oleh : PINGKAN DIAS L L2B00519O Dosen Pembimbing : Ir. Abdul Malik, MSA Jurusan Arsitektur Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati dan banyak manfaatnya bagi masyarakat. Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati dan banyak manfaatnya bagi masyarakat. Lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lingkungan pantai merupakan suatu kawasan yang spesifik, dinamis, kaya keanekaragaman hayati dan banyak manfaatnya bagi masyarakat. Lingkungan pantai ini sangat

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH KERTAS DI INDONESIA

PENGELOLAAN SAMPAH KERTAS DI INDONESIA PENGELOLAAN SAMPAH DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyono *) Abstract Paper waste is one type of municipal solid wastes that is not properly manage yet. It contributes about ten percent of MSW. Indonesia paper

Lebih terperinci

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT Oleh : Setiyono dan Sri Wahyono *) Abstract Recently, problems of municipal solid waste have appeared in the indonesian metropolitan city,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian sampah Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi bagi sebagian orang masih bisa dipakai jika dikelola

Lebih terperinci

TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak

TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pengelolaan sampah di TPA Piyungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Limbah padat atau sampah padat merupakan salah satu bentuk limbah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Limbah padat atau sampah padat merupakan salah satu bentuk limbah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Limbah padat atau sampah padat merupakan salah satu bentuk limbah yang terdapat di lingkungan. Masyarakat awam biasanya hanya menyebutnya sampah saja. Bentuk, jenis,

Lebih terperinci

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGELOLAAN SAMPAH PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR TATI MURNIWATI

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGELOLAAN SAMPAH PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR TATI MURNIWATI ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGELOLAAN SAMPAH PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR TATI MURNIWATI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRACT TATI MURNIWATI. Willingness to Pay Analysis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aktivitas manusia dalam memanfaatkan alam selalu meninggalkan sisa yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai barang buangan, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia akhir-akhir ini mengalami tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia akhir-akhir ini mengalami tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia akhir-akhir ini mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi dan pertumbuhan ini akan berlangsung terus dengan percepatan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 3R BERBASIS MASYARAKAT

PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 3R BERBASIS MASYARAKAT PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 3R BERBASIS MASYARAKAT Sri Subekti Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik UNPAND Jl.Banjarsari barat No. 1. Semarang E-mail: bek1_04@yahoo.co Abstrak Peningkatan jumlah

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah,

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya pastilah tidak terlepas dengan adanya sampah, karena sampah merupakan hasil efek samping dari adanya aktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk

I. PENDAHULUAN. anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan usaha tani yang intensif telah mendorong pemakaian pupuk anorganik terus meningkat. Akibat jangka panjang dari pemakaian pupuk anorganik yang berlebihan adalah

Lebih terperinci

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan

Lebih terperinci

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampah merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Sampah dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan jumlah

Lebih terperinci

OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN

OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN E-3-1 OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN Achmad Safei, Joni Hermana, Idaa Warmadewanthi Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Kampus ITS Sukolilo ABSTRAK Penyebab utama permasalahan sampah

Lebih terperinci