BAB I PENDAHULUAN. tingkat pemerintahaan di bawahnya, yaitu pemerintah daerah (Kiz-Katos dan

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desentralisasi berperan penting dalam agenda reformasi kelembagaan di seluruh belahan dunia. Tekanan internal dan eksternal mendorong banyak negara berkembang untuk meningkatkan kekuatan administratif, fiskal dan politik pada tingkat pemerintahaan di bawahnya, yaitu pemerintah daerah (Kiz-Katos dan Sjahrir, 2014). Sejarah panjang desentralisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1987, dimana pemerintah pada waktu itu menerbitkan Paket Kebijakan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Paket kebijakan tersebut menjelaskan bahwa pembangunan dan operasional layanan perkotaan merupakan wewenang pemerintah yang menerima desentralisasi. Berbagai upaya terus dilakukan, namun berbagai kendala seperti buruknya koordinasi antarkementerian, konflik antara pemerintah pusat dan daerah, insentif kinerja pemerintah yang buruk serta perilaku organisasi donor yang kontraproduktif, membuat perkembangan desentralisasi di Indonesia berjalan cukup lambat (Smoke dan Lewis, 1996). Tekanan politk dari berbagai pihak pada saat krisis ekonomi 1998, terutama dari masyarakat, politisi, mahasiswa dan beberapa pemerintah daerah, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagai langkah antisipasi gerakan separatis yang marak di Indonesia. Undang-undang tersebut diharapkan mempermudah berjalannya demokratisasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, meskipun 14

2 sebagian orang berpendapat bahwa alasan utama dibalik terbitnya undang-undang ini bukan memberikan wewenang lebih kepada pemerintah daerah, tetapi untuk menggeser hak dan kewajiban tata kelola dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kebijakan desentralisasi yang baru ini bertujuan untuk membuat pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya melalui pemberdayaan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Undang-undang tersebut kemudian diamandemen pada tahun 2004 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, serta pada akhir 2008 diamandemen lagi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, tanpa mengubah tujuan utamanya (Firman, 2009). Secara teoretis, desentralisasi dapat menciptakan manfaat efisiensi karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti akan permintaan kebutuhan masyarakatnya (allocative efficiency) dan mampu menyalurkannya dengan biaya yang lebih rendah (productive efficiency) dengan menggunakan sumber daya lokal. Dengan melimpahkan fungsi dan atau sumber daya keuangan kepada tingkat pemerintah daerah yang paling rendah (desa/kota dan kabupaten), desentralisasi di Indonesia tanpa disadari telah mengurangi fungsi tingkat pemerintah daerah yang di tengah (provinsi). Pemerintah provinsi di Indonesia secara hierarkis otoritasnya kurang baik terhadap desa dan buruknya koordinasi regional ini telah menyebabkan inefisiensi dalam penyediaan layanan. Efisiensi merupakan salah satu tolok ukur kinerja yang baik dan dapat diukur dengan beberapa indikator. Akan tetapi, hingga saat ini belum banyak indikator yang dapat secara tepat mensinkronkan kinerja dengan efisiensi. Suatu 15

3 pemerintah daerah yang laporan keuangannya mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum tentu efisien beroperasi, meskipun secara kinerja mereka bagus. Suatu pemerintah daerah yang kinerjanya bagus menurut Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (SAKIP), misalnya mendapatkan skor B, juga belum tentu beroperasi secara efisien. Begitu pula suatu pemerintah daerah yang menurut kriteria evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) kinerjanya bagus, misalnya mendapatkan skor AA, belum tentu pemerintah daerah tersebut efisien dalam operasi. Sebagai contoh, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Nganjuk Tahun 2015 mendapatkan opini WTP dari BPK. Akan tetapi, di daerah tersebut pada tahun yang sama terjadi kasus korupsi pengadaan kain batik di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk dengan anggaran sebesar Rp6,3 milyar yang bersumber dari APBD ( Korupsi tersebut menyebabkan inefisiensi dalam pengelolaan keuangan di Kabupaten Nganjuk. Oleh karena itu, pengukuran efisiensi dengan ekonometrika sangat diperlukan untuk menghubungkan kinerja dengan efisiensi suatu pemerintah daerah. Ada dua metode ekonometrika yang umum digunakan untuk mengukur efisiensi pemerintahan, yaitu pendekatan non-parametrik dan pendekatan parametrik.pendekatan non-parametrik yang sering digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA). DEA pertama kali dikembangkan oleh Charnes et. al. (1978). Sementara itu, pendekatan parametrik yang umum digunakan adalah 16

4 Stochastic Frontier Analysis (SFA). SFA pertama kali dikembangkan oleh Aigner et. al. (1977) serta Meeusen dan van den Broeck (1977). Metode SFA tidak hanya mengestimasi technical efficiency setiap unit pengambil kebijakan, tetapi juga menganalisis secara kuantitatif dampak faktor-faktor yang menyebabkan disparitas pada technical efficiency (Bai, 2013). Menurut Farrell (1957), technical efficiency adalah kemampuan perusahaan untuk mencapai tingkat kemungkinan output tertinggi dengan sejumlah input dan teknologi tertentu. Penelitian ini menggunakan SFA untuk mengukur technical efficiency pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia pada tahun Studi yang menggunakan SFA untuk mengukur technical efficiency pemerintahan antara lain penelitian De Borger dan Kertens (1996), Grossman et. al. (1999), Kalb (2010, 2014) dan Arcelus et. al. (2015). Penelitian De Borger dan Kertens (1996) mengukur cost efficiency 589 pemerintah daerah di Belgia pada tahun 1985 dengan menggunakan metode Free Disposal Hull (FDH), DEA, deterministic dan stochastic frontier. De Borger dan Kertens berupaya mengakomodasi berbagai macam output yang diproduksi pemerintah daerah di Belgia untuk menghasilkan satu estimasi efisiensi dari keempat metode tersebut. De Borger dan Kertens menemukan bahwa terdapat perbedaan hasil estimasi yang cukup signifikan antara FDH dan DEA. Meskipun demikian, De Borger dan Kertens memandang perlu estimasi dengan berbagai metode untuk menganalisis efisiensi. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa tingkat pajak daerah dan pendidikan berpengaruh positif terhadap efisiensi, sedangkan subsidi per kapita dan pendapatan berpengaruh negatif. 17

5 Penelitian Grossman et. al. (1999) menggunakan sampel 49 kota besar di Amerika Serikat pada tahun 1967, 1972, 1977, 1982 untuk mengukur technical efficiency nilai pasar properti secara keseluruhan. Grossman et. al. menyimpulkan bahwa kota-kota besar di Amerika Serikat beroperasi pada tingkat technical efficiency yang berbeda-beda dan tingkat technical inefficiency berhubungan negatif terhadap tingkat daya saing. Daya saing dalam arti persaingan dengan pusat kota metropolitan, berhubungan positif terhadap technical efficiency sektor publik. Semakin besar jumlah penduduk kota-kota di sekitar pusat kota metropolitan, semakin tinggi peluang kota suburban di sekitarnya berperan sebagai lokasi substitusi yang efektif dan pusat kota semakin mendekati production frontier dalam beroperasi. Sementara itu, tidak ada indikasi fiscal illusion dan faktor kelembagaan yang signifikan mempengaruhi technical inefficiency. Penelitian Kalb (2010) menggunakan sampel observasi di Baden- Wurttemberg, Jerman dari tahun 1990 hingga 2004 untuk menganalisis dampak dana perimbangan terhadap cost efficiency. Kalb (2010) menyimpulkan bahwa dana perimbangan memiliki dampak negatif terhadap cost efficiency pemerintah daerah. Untuk mengurangi inefisiensi, pemerintah sebaiknya memberi otoritas yang lebih kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan demikian, fiscal illusion yang ditimbulkan dari dana perimbangan dapat berkurang. Penelitian selanjutnya oleh Kalb (2014) dengan sampel 660 observasi di Baden-Wurttemberg, Jerman dari tahun 1990 hingga 2004 berupaya untuk menganalisis cost efficiency dalam perawatan jalan umum di daerah tersebut. 18

6 Dengan pendekatan parametrik (stochastic frontier analysis) dan non-parametrik (data envelopment analysis), Kalb (2014) menemukan bahwa pendapatan disposabel penduduk, dana perimbangan untuk pembangunan jalan umum dan dana bantuan dari kota berpengaruh negatif terhadap cost efficiency. Kenaikan jumlah kursi partai yang berhaluan kiri di desa atau kelurahan ternyata tidak mempengaruhi efisiensi. Dengan demikian, hipotesis bahwa efisiensi berkurang seiring dengan meningkatnya konsentrasi politik di desa atau kelurahan tidak terbukti. Studi yang dilakukan oleh Arcelus et. al. (2015) juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab technical efficiency pada pengeluaran pemerintah, dengan objek penelitian di 260 kota kecil di Navarre, Spanyol. Dengan menggunakan data tahun 2005 dan fungsi produksi translog, Arcelus et. al. menemukan bahwa cost-efficiency pemerintah daerah dalam menyediakan layanan meningkat seiring meningkatnya (1) kerjasama penyediaan layanan antarkota; (2) pendanaan yang lebih besar dari pajak; (3) akumulasi investasi pada infrastruktur di masa lalu yang lebih besar; dan (4) keterlibatan akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan di kota tersebut. Dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi seberapa besar technical efficiency pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia dalam operasionalnya. Lalu, peneliti juga ingin mengidentifikasi apakah terdapat perbedaan efisiensi antara kabupaten dan kota dalam beroperasi. Selain itu, peneliti juga mencoba menganalisis faktorfaktor yang menyebabkan technical inefficiency pemerintah daerah tersebut 19

7 dalam operasionalnya pada tahun Penelitian ini berbeda daripada penelitian-penelitian sebelumnya karena menggunakan pendekatan pendapatan, dimana pendapatan yang bersumber dari kabupaten/kota itu sendiri, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, belanja modal serta kualitas pembangunan manusia di kabupaten/kota itu sendiri menjadi faktor-faktor yang menjelaskan PDRB riil per kapita. Sementara itu, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi technical efficiency adalah karakteristik yang dimiliki oleh kabupaten/kota itu sendiri. Gambar 1.1 berikut menjelaskan kerangka pikir penelitian ini. dijelaskan oleh Pendapatan dari kabupaten/kota itu sendiri (PAD) Pendapatan dari pemerintah provinsi (DAK) PDRB riil per kapita Pendapatan dari pemerintah pusat (DAU) Belanja pembangunan (Belanja modal) Kualitas pembangunan manusia di kabupaten/kota itu sendiri (IPM) Ada faktor yang menyebabkan operasional tidak efisien Kepadatan penduduk, tingkat pengangguran terbuka, sex ratio penduduk, dummy kabupaten/kota Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian 20

8 1.2 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab oleh peneliti dalam penelitian iniadalah sebagai berikut. 1. Berapa besar technical efficiency pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia dalam operasionalnya pada tahun 2015? 2. Apakah terdapat perbedaan technical efficiency antara kota dan kabupaten di Indonesia pada tahun 2015? 3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan technical inefficiency pada operasional pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2015? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengidentifikasi seberapa besar technical efficiency pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia dalam operasionalnya pada tahun 2015; 2. mengidentifikasi apakah terdapat perbedaan technical efficiency antara kota dan kabupaten di Indonesia pada tahun 2015 atau tidak; dan 3. menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan technical inefficiency pada operasional pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia pada tahun Manfaat Penelitian dan Kontribusi Penelitian bagi Ilmu Pengetahuan Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kontribusi, baik secara teoretis maupun praktis, adalah sebagai berikut. 21

9 1. Manfaat Teoretis a. Kajian teoretis mengenai technical efficiency dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu ekonomi yang berkaitan dengan pemerintahan atau publik. b. Dengan lokasi, periode dan variabel penelitian yang berbeda diharapkan penelitian ini dapat memperluas studi empiris tentang technical efficiency. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan tentang technical efficiency. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti sebagai bentuk nyata langkah intelektual dalam mengaplikasikan bidang Ekonomika Pembangunan yang diperoleh dari bangku kuliah. b. Bagi pengambil kebijakan penelitian ini dapat menjadi masukan untuk meningkatkan efisiensi operasional pemerintah daerah yang bersangkutan. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dari penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab 1 Pendahuluan, berisi latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, kemudian pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, lalu tujuan dan manfaat dari adanya penelitian ini. Bab II Studi Literatur, membahas teori-teori yang relevan 22

10 dengan penelitian ini, yaitu tentang Technical Efficiency (TE), Stochastic Frontier Approach (SFA), Maximum Likelihood Methods (MLE) serta studi empiris yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Selain itu, definisi variabelvariabel operasional juga dijelaskan dalam bab ini. Bab 3 Metoda Penelitian, menjelaskan jenis dan sumber data, model yang digunakan serta metodologi analisis data. Selain itu, hipotesis yang ingin dibuktikan oleh peneliti juga dijelaskan dalam bab ini. Bab IV Hasil dan Pembahasan, menjelaskan data secara deskriptif, korelasi antar variabel penelitian, lalu hasil estimasi stochastic frontier model dan inefficiency effects model. Selain itu, hasil estimasi technical efficiency juga dijelaskan dalam bab ini. Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi, berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini, kelemahan studi ini dan potensi penelitian selanjutnya serta rekomendasi kebijakan yang coba ditawarkan oleh peneliti. 23