BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak asasi manusia sekaligus investasi yang bertujuan

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah hak asasi manusia sekaligus investasi yang bertujuan untuk mendorong pembangunan bangsa. Hampir seluruh negara di dunia menempatkan kesehatan sebagai isu strategis pembangunan. Indonesia juga berupaya meningkatkan pembangunan di bidang kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan seperti yang tersirat dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. SKN terdiri atas empat subsistem yaitu subsistem upaya kesehatan, subsistem pemberdayaan masyarakat, sub sistem sumber daya kesehatan, dan subsistem manajemen kesehatan. Masing-masing subsistem saling terkait satu sama lain dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2009). Berkaitan dengan subsistem upaya kesehatan, rumah sakit berperan sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Untuk bisa bertahan dalam lingkungan yang kompetitif, rumah sakit harus selalu berusaha menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan harapan masyarakat. Untuk maksud tersebut rumah sakit yang dibangun dengan padat modal, padat karya, padat tehnologi membutuhkan pimpinan yang visioner, inovatif, kreatif, dan aspiratif. Disamping itu, pimpinan rumah sakit juga harus memiliki komitmen tinggi untuk mentransformasikan budaya kerja yang bermutu 1

2 2 kepada seluruh stafnya (Muninjaya, 2009). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari pandangan negatif masyarakat terhadap citra pelayanan rumah sakit seperti: sikap petugas yang acuh tak acuh, kurang peka dengan keluhan pasien, pelayanan lambat, tidak ramah, dan tidak mengimplementasikan sistem manajemen mutu (Hari, 2001). Untuk mewujudkan citra rumah sakit seperti itu, sumber daya manusia (SDM) yang ada di rumah sakit perlu dikelola dengan baik. SDM kesehatan yang bekerja di rumah sakit secara proporsional terdiri atas 40% perawat dan bidan (P&B). Besarnya proporsi P&B yang bekerja di rumah sakit merupakan potensi untuk pengembangan kiat-kiat manajemen mutu pelayanan kesehatan (Hasanbasri, 2007). Di samping itu, P&B juga merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan yang mempunyai kesempatan paling banyak melakukan kontak langsung dengan pasien. Oleh karenanya, kinerja P&B harus ditingkatkan secara berkelanjutan. Kinerja merupakan hasil nyata yang ditampilkan oleh P&B merupakan prestasi kerjanya sesuai dengan perannya di rumah sakit (Mangkunegara, 2000). Kinerja P&B merupakan hasil kombinasi antara kemampuan, usaha, dan kesempatan (Rivai, 2004). Selain itu kinerja juga dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan kecakapan, pengalaman, dan kesungguhannya melaksanakan tugas-tugasnya (Hasibuan, 2001). Secara umum dalam sebuah organisasi ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja staf yaitu kepuasan kerja, komitmen kerja, dan locus of

3 3 control. Kepuasan kerja merupakan sikap positif terhadap kondisi dan situasi kerja seperti kondisi sosial, dan psikologis. P&B yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya tidak akan bekerja seperti yang diharapkan (Robbins, 2003). Komitmen kerja didefinisikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan keberpihakan terhadap rumah sakit dan patuh pada aturan terkait dengan service excellence (Robbins, 2006). Komitmen kerja dikembangkan berdasarkan hubungan timbal balik antara pemenuhan kebutuhan P&B di tempat kerja dan kontribusinya terhadap rumah sakit (Djati dan Khusaini, 2003). Locus of control (LOC) didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan pengendalian diri. Ada dua jenis yaitu LOC internal dan LOC external. P&B dengan LOC internal yang baik mempunyai keyakinan bahwa berbagai kejadian yang dihadapi dalam hidupnya ditentukan oleh usaha yang telah dilakukannya. LOC internal yang baik memiliki ciri-ciri semangat berkerja, rajin, ulet, mandiri, dan punya daya tahan untuk mengatasi pengaruh sosial dan lingkungannya. LOC external adalah keyakinan bahwa kejadian dalam hidupnya tergantung dari faktor di luar dirinya, seperti: keberuntungan, nasib, kesempatan, dan kondisi diluar dirinya yang tidak mampu dikuasai (Lestari, 2008). LOC external terkait dengan kepribadian negatif yaitu kurang memiliki inisiatif, pasif/kurang berusaha, lebih percaya kepada faktor luar sebagai penentu hidupnya (Kustini, 2005). Untuk mencapai kinerja P&B yang optimal diperlukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kepuasan kerja, komitmen kerja dan locus of control mereka dalam melaksanakan Askep. Salah satu model intervensi yang sudah dikembangkan oleh Kementrian Kesehatan sejak tahun 2005 adalah Manajemen

4 4 Kinerja Klinik (MKK). Instrumen manajemen ini sudah menjadi kebijakan nasional (SK Menteri Kesehatan Nomor: 36/MENKES/SK/VI/2005) untuk pengembangan kinerja P&B di Indonesia (Kuntjoro, 2005). Pengembangan MKK ini didasarkan hasil survei Depkes dan WHO tahun 2000 di beberapa Provinsi (Kalimantan Timur, Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DKI Jakarta). Hasilnya menunjukkan bahwa 70,9% P&B belum pernah mengikuti pelatihan, 39,8% P&B melakukan tugas-tugas non keperawatan, 47,4% P&B memiliki uraian tugas secara tertulis tetapi belum pernah dievaluasi kinerja klinisnya. Disamping itu, belum pernah dilaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja P&B. Kondisi tersebut ditindaklanjuti oleh Direktorat Pelayanan Keperawatan bekerjasama dengan WHO dan PMPK UGM pada tahun Hasil evaluasi penerapan MKK di Kabupaten Sleman (DIY), Magelang, Semarang, Grobongan (Jateng), dan Kabupaten Tabanan (Bali) menunjukkan adanya peningkatan pendokumentasian pelayanan kesehatan sebesar 62%, peningkatan angka kehadiran pegawai sebesar 16%, peningkatan kepatuhan penggunaan SOP sebesar 49%, ketersediaan uraian tugas sebesar 53%, peningkatan pertemuan membahas kasus sebesar 65% dan monitoring kinerja klinis sebesar 70% (Kemenkes RI, 2009). MKK selanjutnya dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi klinis P&B dengan memperbaiki proses pada sistem mikro pelayanan kesehatan termasuk memberikan kejelasan peran dan fungsi, pengembangan profesi, dan pembelajaran bersama (Kuntjoro, 2005).

5 5 Komponen MKK terdiri atas (1) pengembangan standar operasional prosedur (SOP) sebagai acuan dasar P&B melaksanakan Askep; (2) pengembangan uraian tugas/job discription (JD) yaitu seperangkat fungsi, tugas dan tanggung jawab yang dijabarkan dalam suatu pekerjaan sehingga dapat dibedakan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya; (3) penetapan indikator kinerja klinik (IKK) yaitu ukuran kuantitas untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas Askep; (4) penerapan diskusi refleksi kasus (DRK) yaitu suatu metode untuk merefleksikan pengalaman klinis P&B menerapkan tugasnya sesuai dengan SOP dan 5) penerapan monitoring dan evaluasi (Monev) dengan mengumpulkan data dan menganalisisnya dibandingkan dengan indikator kinerja yang sudah ditetapkan. Hasil Monev menunjukkan ada tidaknya penyimpangan kinerja P&B (Kuntjoro, 2005). Penerapan kebijakan pengembangan MKK ke dalam instrumen manajemen bertujuan untuk meningkatkan kinerja P&B. Dengan penerapan MKK di rumah sakit diharapkan P&B menjadi tenaga kesehatan yang lebih profesional (Muninjaya, 2008). Pelaksanaan MKK sudah sejalan dengan asas-asas penyelenggaraan SKN yaitu hak asasi manusia, komitmen dan tata kelola yang baik (Good Governance), dukungan regulasi, antisipatif, proaktif, responsif terhadap masalah jender dan kearifan lokal (Kemenkes RI, 2009). Atas dasar kajian tersebut penerapan MKK di rumah sakit bertujuan untuk meningkatkan kinerja P&B yang dipadukan dengan aspek budaya lokal sehingga MKK di berbagai wilayah Indonesia bisa diperkaya dengan kearifan lokal.

6 6 Kearifan lokal merupakan perpaduan sikap, pandangan dan kemampuan suatu komunitas mengelola lingkungan hidupnya, baik yang bersifat rohani maupun jasmani. Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah menjadi tradisi di berbagai daerah di Indonesia, di samping perpaduan antara nilai-nilai keagamaan dengan nilai sosial kemasyarakatan (Idrus, 2008). Di kalangan umat Hindu juga dikenal kearifan lokal yaitu keseimbangan/harmoni antara lingkungan dengan lingkungan/alam semesta (makrokosmos) dan dengan Sang Pencipta/Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Konsep keseimbangan tersebut di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana (THK) yang terdiri atas tiga aspek: (1) parahyangan yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan/Sang Pencipta. Manusia harus menyadari bahwa di dalam dirinya ada atman yang harus disujudkan ke hadapan Tuhan (parama atman); (2) pawongan yaitu unsur manusia sebagai individu dan makhluk ciptaan Tuhan. Dalam diri manusia harus berkembang keseimbangan antara kehidupan material dan spiritual; (3) palemahan yaitu unsur lingkungan hidup manusia yang terdiri atas lingkungan biologis, sosial, kimia dan fisik. Keseimbangan antara manusia dan lingkungannya harus terjaga agar berkembang harmoni antara bhuana agung (makrokosmos) dengan bhuana alit (mikrokosmos). Pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat dikembangkan mutunya jika ketiga aspek THK bisa diterapkan oleh P&B dalam melayani pasien dan pengguna jasa rumah sakit (Muninjaya, 2009). Rumah Sakit Umum Bangli sebagai rumah sakit tipe C+ dengan 81 tempat tidur dituntut untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu. Area rumah Sakit ini sejak 17 April 2011 diperluas dari m2 menjadi 2 ha. Perluasan ini

7 7 merupakan bagian dari pengembangan kapasitas pelayanan rumah sakit. Hal ini mendukung keberhasilan untuk mencapai visi RSU Bangli menjadi rumah sakit kebanggaan masyarakat Bangli. Di samping itu, rumah sakit ini juga punya motto pelayanan 4S: Sayang, Senyum, Sopan, Sapa, dilengkapi dengan janji pelayanan cepat dan tepat yang dirumuskan dalam standar prosedur pelayanan. Untuk mewujudkan prinsip kerja tersebut penerapan MKK perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan di seluruh unit (Program Bidang Keperawatan RSU Bangli, 2008). Berdasarkan hasil kajian lapangan tanggal 31 Desember 2010 tentang penerapan MKK di Unit Rawat Inap RSU Bangli menunjukkan bahwa: (1) semua SOP yang ditetapkan di masing-masing unit belum pernah direvisi dan format nomor SOP tidak seragam; (2) baru 10% P&B yang memiliki JD spesifik dan bersifat individu; (3) Pelaksanaan DRK sesuai dengan jadwal 20%; (4) penetapan IKK 33% sesuai dengan SOP. Situasi seperti itu menunjukkan bahwa penerapan MKK-THK di RSU Bangli perlu dikembangkan. Belum optimalnya penerapan MKK merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi rendahnya mutu pelayanan di RSU Bangli. Hal tersebut dapat dilihat dari survei kepuasan pasien yang dilaksanakan pada minggu ke empat Juni Sampelnya adalah pasien rawat inap sebanyak 40 orang. Hasil penilaiannya <50% (tidak puas) terhadap pelayanan RSU Bangli berkaitan dengan perkenalan diri kepada pasien hanya dilakukan 10%, kecepatan pertolongan hanya dilakukan 20%, dan lama menunggu kamar sebesar 40%. Hasil semua ini menunjukkan

8 8 bahwa tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan RSU Bangli masih rendah. (Laporan Survei Bidang Keperawatan RSU Bangli, 2009). Berdasarkan laporan kinerja pelayanan tahun 2006 sampai 2009 menunjukkan bahwa: net death rate (NDR) pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 29% (batas ideal <25%). Pemanfaatan tempat tidur atau bed occufancy rate (BOR) pada tahun 2009 masih rendah hanya 59% (batas ideal 60% s.d. 85%). Indikator tersebut memberikan gambaran bahwa kualitas pelayanan RSU Bangli belum optimal (Laporan Tahunan RSU Bangli, 2009). Data referal pasien atas permintaan sendiri ke rumah sakit di luar Kabupaten Bangli terus meningkat rata-rata 30% pada tahun 2007 (120 orang), 2008 (156 orang), dan 2009 (201 orang). Demikian juga dengan kasus phlebitis akibat kegagalan pemasangan infus di ruang Penyakit Dalam, Bedah dan Saraf dalam empat tahun terakhir (2006 s.d. 2009). Angka ini cenderung meningkat rata-rata 15% setiap tahun. Hal ini juga erat kaitannya dengan penerapan SOP yang belum optimal (Data Rekam Medik RSU Bangli, 2009). Berdasarkan uraian tersebut di atas, mutu pelayanan di RSU Bangli perlu ditingkatkan. Model intervensinya adalah dengan menerapkan manajemen kinerja klinik berbasis Tri Hita Karana (MKK-THK).

9 9 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Yang manakah berpengaruh dominan di antara kepuasan kerja, komitmen kerja, dan locus of control terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli sebelum penerapan MKK-THK? 2. Yang manakah berpengaruh dominan di antara kepuasan kerja, komitmen kerja, dan locus of control terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli setelah penerapan MKK-THK? 3. Apakah penerapan MKK-THK pada kepuasan kerja berpengaruh terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli? 4. Apakah penerapan MKK-THK pada komitmen kerja berpengaruh terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli? 5. Apakah penerapan MKK -THK pada locus of control berpengaruh terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli? 6. Apakah kepuasan kerja, komitmen kerja dan locus of control berpengaruh terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji pengaruh penerapan MKK-THK terhadap kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli.

10 Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini diarahkan untuk mengidentifikasi: 1. Pengaruh dominan di antara kepuasan kerja, komitmen kerja dan locus of control terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli sebelum penerapan MKK-THK. 2. Pengaruh dominan di antara kepuasan kerja, komitmen kerja dan locus of control terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli setelah penerapan MKK-THK. 3. Pengaruh penerapan MKK-THK pada kepuasan kerja terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli. 4. Pengaruh penerapan MKK-THK pada komitmen kerja terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli. 5. Pengaruh penerapan MKK-THK pada locus of control terhadap peningkatan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli. 6. Kepuasan kerja, komitmen kerja dan locus of control secara bersama-sama meningkatkan kinerja P&B di Unit Rawat Inap RSU Bangli. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Akademik Secara akademik, studi ini bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman tentang pengaruh MKK-THK terhadap peningkatan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit khususnya yang terkait dengan Askep.

11 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu dipahami secara menyeluruh bahwa penerapan MKK-THK berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja, komitmen kerja, dan locus of control P&B. Di samping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan mempengaruhi kinerja P&B di instalasi tersebut. Dengan diketahuinya pengaruh MKK-THK terhadap peningkatan kinerja P&B sebelum dan setelah pelatihan, seluruh P&B di RSU Bangli akan lebih termotivasi melaksanakan MKK-THK sebagai upaya peningkatan kinerjanya secara profesional.