4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Makrozoobenthos Jumlah makrozoobenthos yang ditemukan di seluruh stasiun selama pengamatan terdiri dari 22 kelas, yaitu Polychaeta, Aplachopora, Priapulida, Sagittoidea, Anthozoa, Hydrozoa, Cirripedia, Malacostraca, Ostracoda, Asteroidea, Holothuroidea, Ophiuroidea, Polythalamea, Bivalvia, Gastropoda, Polyplachopora, Scaphopoda, Nematoda, Anopla, Porifera, Phascolosomatidae, dan Sipunculidea. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 126 genus dari 8 famili. Organisme-organisme makrozoobenthos yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran dan Kepadatan makrozoobenthos Kepadatan makrozoobenthos yang ditemukan selama penelitian berbedabeda antar stasiun. Gambar 4 menjelaskan kepadatan makrozoobenthos di setiap stasiun dan jumlah spesies yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan. Kepadatan (Ind/m 2 ) Stasiun Kepadatan Jumlah Jenis Jumlah Jenis Gambar 4. Kepadatan dan jumlah jenis makrozoobenthos dari seluruh stasiun Stasiun 2 memiliki kepadatan makrozoobenthos paling sedikit dari seluruh stasiun, sedangkan Stasiun 9 memiliki kepadatan makrozoobenthos paling

2 17 banyak. Pada Stasiun 1 ditemukan jumlah jenis yang paling banyak dari seluruh stasiun sedangkan pada Stasiun 8 jumlah jenis yang ditemukan paling sedikit. Stasiun yang dekat dengan wilayah pesisir terlihat memiliki kepadatan dan jumlah jenis yang lebih tinggi dibanding stasiun lainnya Komposisi Makrozoobenthos Selama penelitian ditemukan adanya perbedaan dalam komposisi makrozoobenthos di setiap stasiun pengamatan. Komposisi makrozoobenthos pada Stasiun 1 didominasi oleh Kelas Polychaeta dan Malacostraca, selain itu ditemukan juga organisme dari kelas Ophiuroidea, Holothuroidea, Anopla, Ostracoda, Hydrozoa, dan Polyplachopora. Komposisi makrozoobenthos pada Stasiun 2 didominasi oleh Kelas Polychaeta. Selain itu ditemukan juga makrozoobenthos dari kelas Anopla dan Ostracoda. Komposisi makrozoobenthos pada Stasiun didominasi oleh kelas Polychaeta dan Malacostraca. Selain itu ditemukan juga jenis-jenis dari kelas Anopla. Stasiun 4 didominasi oleh Kelas Polychaeta, Ophiuroidea, dan Malacostraca. Selain kelas tersebut, pada Stasiun 4 juga ditemukan jenis-jenis dari Kelas Holothroidae, Anopla, Phascolomatidae, dan Sipunculidae. Komposisi makrozoobenthos pada Stasiun 5 didominasi oleh Kelas Polychaeta, Malacostraca, dan Ophiuroidea. Selain itu, pada Stasiun 5 juga ditemukan jenis-jenis dari kelas Anopla, Bivalvia, Polythalamea, Sagittoidea, dan Priapulida. Stasiun 6 didominasi oleh kelas Ophiuroidea, Polychaeta, dan Malacostraca. Selain itu ditemukan juga jenis-jenis dari kelas Cirripedia, Ostracoda, Priapulida, Holothuroidea, Bivalvia, Scaphopoda, Adenophora, dan Anopla. Stasiun 7 didominasi oleh kelas Ophiuroidea, Polychaeta, dan Malacostraca. Selain itu ditemukan juga jenis-jenis dari kelas Sipunculidae, Phascolomatidae, Anopla, Adenophora, Bivalvia, Aplachopora, dan Sagittoidea. Pada Stasiun 8, tidak terlalu banyak ditemukan makrozoobenthos. Kelas makrozoobenthos yang ditemukan cukup banyak adalah kelas Polychaeta, Malacostraca, dan Aplachopora. Stasiun 9 didominasi oleh Polychaeta dan Sipunculidae. Selain itu, ditemukan juga jenis-jenis makrozoobenthos dari kelas Anopla, Adenophora,

3 18 Gastropoda, Bivalvia, Ophiuroidea, dan Anthozoa. Stasiun didominasi oleh Polychaeta dan Malacostraca. Selain itu ditemukan pula jenis-jenis dari kelas Sipunculidae, Porifera, Anopla, Polyplachopora, Gastropoda, Ophiuroidea, dan Holothuroidea. Terlihat bahwa jenis-jenis dari kelas Polychaeta ditemukan banyak pada semua stasiun pengamatan. Hal ini dikarenakan makrozoobenthos Polychaeta merupakan organisme yang kosmopolit. Mereka dapat ditemukan pada hampir semua habitat laut. Adapun komposisi makrozoobenthos yang ditemukan selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar Kepadatan (Ind/m 2 ) St 1 St 2 St St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St Sipunculidea Phascolosomatidae Porifera Anopla Adenophorea Scaphopoda Polyplacophora Gastropoda Bivalvia Aplachopora Polythalamea Ophiuroidea Holothuridae Asteroidae Hydrozoa Anthozoa Sagittoidea Priapulida Ostracoda Malacostraca Cirripedia Polychaeta Gambar 5. Komposisi Makrozoobenthos berdasarkan kepadatan Tabel menunjukan nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi makrozoobenthos pada setiap stasiun pengamatan. Secara umum nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,95 hingga 4,62. Stasiun 1 memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi sedangkan Stasiun 8 memiliki nilai indeks keanekaragaman terendah. Nilai indeks keanekaragaman ini berbanding lurus dengan jumlah jenis yang ditemukan pada setiap stasiun,

4 19 semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman semakin banyak jenis makrozoobenthos yang ditemukan pada suatu komunitas (Krebs 1989). Nilai indeks keseragaman pada semua stasiun berkisar antara,77 hingga,98. Stasiun 2 memiliki nilai indeks keseragaman tertinggi sementara Stasiun 6 memiliki nilai indeks keseragaman terendah. Secara umum nilai indeks keseragaman pada setiap stasiun cukup tinggi (mendekati 1). Dengan nilai indeks keseragaman yang tinggi (mendekati 1) suatu komunitas dapat dikatakan berada dalam kondisi yang relatif mantap dan tidak ada ketidakstabilan pada faktor-faktor lingkungan (Krebs 1984). Nilai indeks dominansi pada semua stasiun berkisar antara,6 hingga,. Stasiun 8 memiliki nilai indeks dominansi tertinggi sedangkan Stasiun 1 memiliki nilai indeks dominansi terendah. Secara umum nilai indeks dominansi pada seluruh stasiun cukup rendah (mendekati ). Menurut Odum (1971), nilai indeks dominansi yang tinggi (mendekati 1) terdapat suatu jenis yang mendominasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada seluruh stasiun pengamatan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lainnya. Tabel. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi makrozoobenthos Stasiun Indeks Indeks keanekaragaman 4,64 2,95,62,18 4, 4, 4,24 1,95 4,1 4,7 Indeks keseragaman,86,98,81,96,91,77,81,84,81,82 Indeks dominansi,6,14,14,12,7,1,11,,8, Meiobenthos Selama pengamatan, dari seluruh stasiun penelitian ditemukan 14 kelas meiobenthos yang terdiri dari 5 famili. Contoh meiobenthos hanya diambil pada Stasiun 2, 5, 6, 7, 8, dan 9. Contoh meiobenthos pada Stasiun 1,, 4, dan tidak diambil karena tipe substrat yang berbatu sehingga pengambilan contoh meiobenthos tidak mungkin dilakukan. Organisme-organisme meiobenthos yang ditemukan selama pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Kepadatan Meiobenthos Kepadatan meiobenthos yang ditemukan selama penelitian berbeda-beda di setiap stasiun. Gambar 6 menunjukan kepadatan dan jumlah jenis meiobenthos

5 2 yang ditemukan selama pengamatan. Terlihat bahwa pada Stasiun 8 memiliki kepadatan dan jumlah jenis terendah dibandingkan stasiun lainnya. Hal ini dikarenakan tipe substrat pada stasiun tersebut didominasi oleh lempung dan liat, sehingga menyebabkan diameter partikel dan pori-pori substrat lebih kecil. Diameter partikel dan pori-pori substrat yang lebih kecil akan mengurangi ruang untuk meiobenthos yang merupakan biota intersitial (biota yang menempati ruang kosong pada substrat). Hal yang berbeda terlihat pada Stasiun 9 dimana meiobenthos memiliki kepadatan dan jumlah jenis yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena tipe substratnya yang didominasi oleh pasir sehingga memberikan ruang lebih banyak bagi meiobenthos untuk hidup. Kepadatan (Ind/m ) Jumlah Jenis Stasiun Kepadatan Jumlah Jenis Gambar 6. Kepadatan dan jumlah jenis meiobenthos dari seluruh stasiun Komposisi Meiobenthos Selama penelitian ditemukan adanya perbedaan dalam komposisi meiobenthos di setiap stasiun pengamatan. Gambar 7 menunjukan komposisi meiobenthos yang ditemukan selama pengamatan. Terlihat bahwa hampir di setiap stasiun, meiobenthos yang ditemukan didominasi oleh kelas Adenophorea. Kelas Adenophorea termasuk kedalam Filum Nematoda. Nematoda merupakan organisme meiobenthos yang paling banyak ditemukan di alam.

6 21 Kepadatan (Ind/m ) Stasiun 2 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8 Stasiun 9 Sipunculidea Sipuncula K1 Sarcomastigophora K1 Eurotaria Turbellaria Nemertina K1 Adenophorea Kynorhryncha Priapulida Ostracoda Maxillopoda Malacostraca Polychaeta Clitellata Gambar 7. Komposisi meiobenthos berdasarkan kepadatan Tabel 4 menunjukan nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi makrozoobenthos pada setiap stasiun pengamatan. Secara umum nilai indeks keanekaragaman makrozoobenthos berkisar antara 2,2 hingga 4,11. Stasiun 9 memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi sedangkan Stasiun 8 memiliki nilai indeks keanekaragaman terendah. Nilai indeks keanekaragaman ini berbanding lurus dengan jumlah jenis yang ditemukan pada setiap stasiun. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman semakin banyak jenis makrozoobenthos yang ditemukan pada suatu komunitas (Krebs 1989). Nilai indeks keseragaman meiobenthos pada semua stasiun berkisar antara,82 hingga,96. Stasiun 8 memiliki nilai indeks keseragaman tertinggi sementara Stasiun 6 memiliki nilai indeks keseragaman terendah. Secara umum nilai indeks keseragaman pada setiap stasiun cukup tinggi (mendekati 1). Dengan nilai indeks keseragaman yang tinggi (mendekati 1) maka suatu komunitas dapat dikatakan berada dalam kondisi yang relatif mantap dan tidak ada ketidakstabilan pada faktor-faktor lingkungan (Krebs 1984). Nilai indeks dominansi meiobenthos pada semua stasiun berkisar antara, hingga,2. Stasiun 8 memiliki nilai indeks dominansi tertinggi sedangkan Stasiun 9 memiliki nilai indeks dominansi terendah. Secara umum nilai indeks

7 22 dominansi pada seluruh stasiun cukup rendah (mendekati ). Menurut Odum (1971), nilai indeks dominansi yang tinggi (mendekati 1) menunjukan adanya suatu jenis tertentu yang mendominasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada seluruh stasiun pengamatan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lainnya. Tabel 4. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi meiobenthos Indeks Stasiun Indeks Keanekaragaman,7,62,69,68 2,2 4,11 Indeks Keseragaman,87,87,82,88,96,86 Indeks Dominansi,12,1,15,12,2, Karakteristik fisika kimia perairan Karakteristik fisika kimia perairan di sekitar dasar perairan dapat mempengaruhi kehidupan suatu organisme, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan dekat dasar yang dilakukan selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian, kekeruhan di stasiun pengamatan berkisar antara,7-,7 NTU dengan kekeruhan tertinggi terdapat pada Stasiun 6, yaitu,7 NTU. Padatan tersuspensi (TSS) di stasiun pengamatan berkisar antara 5-12 mg/l. Nilai padatan tersuspensi tertinggi terdapat pada Stasiun 6, yaitu 12 mg/l. Kekeruhan yang tinggi akan mengganggu kehidupan makrozoobenthos karena mengganggu daya lihat dan sistem pernafasan. Tingginya kekeruhan di suatu perairan disebabkan tingginya bahan organik yang terakumulasi dan mengendap di daerah ini. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai padatan tersuspensi (TSS). Suhu perairan dekat dasar pada stasiun pengamatan berkisar antara 2 C-29 C. Stasiun-stasiun yang tidak terlalu dalam (Stasiun 1, Stasiun, Stasiun ) memiliki suhu perairan dekat dasar yang cukup tinggi. Sedangkan setelah melewati kedalaman 2 m, suhu menurun dari C hingga 2 C. Hal ini terkait dengan kurangnya transfer kalor yang berasal dari cahaya matahari dari air permukaan. Air laut dalam sendiri memiliki suhu yang dingin, berkisar antara C pada kedalaman 2 m hingga 2 C pada kedalaman di bawah m (Carney 211 in Kropp 24).

8 Dissolve Oxygen (ml/l) Salinitas (PSU) TSS (mg/l) BOD5(mg/L) Suhu ( C) Kekeruhan (NTU) 2 5,,8,,7 25,,6 2,,5,4 15,,,,2 5,,, Stasiun, Stasiun 14 7, 12 6, 5, 8 6 4,, 4 2, 2 1, Stasiun, Stasiun,5 6 5,5 2, ,5 1,5 4,5 1,5 2, Stasiun Stasiun Gambar 8. Nilai parameter fisika-kimia perairan dekat dasar di lokasi penelitian Salinitas di perairan dekat dasar pada setiap stasiun berkisar antara -5 PSU. Salinitas dari setiap stasiun tidak terlalu berbeda, namun terlihat bahwa pada stasiun yang lebih dalam nilai salinitas lebih tinggi dibanding stasiun yang lebih dangkal. Kandungan oksigen di perairan dekat dasar pada stasiun pengamatan berkisar antara 1,19 ml/l hingga 2,89 ml/l. Kandungan oksigen terendah terdapat pada Stasiun 5 sedangkan kandungan oksigen tertinggi terdapat pada Stasiun. Rendahnya kandungan oksigen dikarenakan kedalaman perairan yang cukup dalam. Effendi (2) menyatakan bahwa semakin dalam suatu

9 24 perairan maka kelarutan gas-gas yang ada di dalamnya akan semakin berkurang. Selain itu, pada perairan laut dalam sumber oksigen seperti difusi gas antara air dan udara serta proses fotosintesis tidak terjadi. Perairan laut dalam biasanya memiliki kandungan oksigen yang rendah, mencapai ml/l (Kropp 24). Nilai kebutuhan oksigen biologis (BOD) di stasiun pengamatan berkisar antara,77-6,62 mg/l. Nilai BOD tertinggi terdapat pada Stasiun 7 (6,62 mg/l) dan Stasiun 6 (6,27 mg/l), sedangkan nilai BOD terendah terdapat pada Stasiun 1 (,77 mg/l). Hal ini diduga karena tingginya partikel tersuspensi pada stasiun tersebut Karakteristik Substrat Karakteristik substrat dasar suatu perairan akan mempengaruhi kehidupan benthos yang hidup pada substrat tersebut. Karakteristik substrat akan mempengaruhi keefektifan gerak maupun cara makan benthos. Pada penelitian ini tipe substrat ditentukan berdasarkan Skala Wentworth. Ukuran butiran substrat disajikan dalam grafik kumulatif ukuran butiran substrat yang dapat dilihat pada Lampiran 8, sedangkan Tabel 5 menunjukan karakteristik substrat berdasarkan skala Wentworth pada setiap stasiun serta komposisi penyusun substrat tersebut (kerikil, pasir, lempung dan liat). Sedangkan untuk Stasiun 1 dan, penentuan tipe substrat dilakukan dengan pengamatan secara visual. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan karakteristik substrat antar stasiun pengamatan. Median diameter substrat terbesar terdapat pada substrat Stasiun sedangkan yang terkecil terdapat pada substrat Stasiun 6. Median diameter substrat diperoleh dengan cara memplotkan persentase 5% pada grafik kumulatif fraksi ukuran partikel substrat, sehingga nilai mediannya dapat diketahui. Berdasarkan klasifikasi kelas Wentworth (Buchanan 1984), Stasiun 2 bertipe substrat pasir sangat halus, Stasiun dan 4 bertipe substrat pasir kasar, Stasiun 5; 6; 7; dan 8 bertipe substrat lempung, dan Stasiun 9 bertipe substrat pasir sedang. Terlihat bahwa Stasiun 1 dan bertipe substrat batuan. Stasiun 5, 6, 7, dan 8 memiliki kandungan lempung dan liat (lumpur) lebih banyak dibanding stasiun lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kedalaman di stasiun tersebut lebih tinggi dibanding stasiun lain. Lokasi stasiun yang lebih dalam memungkinkan partikel halus terakumulasi di bagian tersebut. Dengan tipe

10 25 substratnya yang halus, stasiun tersebut memiliki diameter partikel dan pori-pori yang lebih kecil (Plaser 2 in Honata 2). Hal yang berbeda terjadi pada Stasiun 2,, 4, dan 9 dengan kandungan pasir lebih tinggi dibanding stasiun lainnya. Stasiun tersebut berada pada lokasi dekat pesisir dengan kedalaman perairan lebih dangkal sehingga partikel halus tidak terakumulasi karena biasanya pada daerah dekat pantai terdapat arus yang kencang. Odum (1971) menyatakan bahwa partikel halus akan mengendap dan menjadi substrat bila arusnya lemah. Tabel 5. Karakteristik substrat di lokasi penelitian berdasarkan Skala Wentworth Stasiun Fraksi Substrat (%) Kerikil Pasir Lempung Liat Median Diameter Substrat (mm) Tipe Subtrat Kedalaman (m) 1,*,*,*,* - Batuan* 29,4 2, 5,97 8,78,25, Pasir Sangat Halus,4 5,9 9,97,,,667 Pasir Kasar 85, 4 1,66 98,2,2,,662 Pasir Kasar 29, 5, 6,28 45,22 18,5,177 Lempung 59, 6, 27, 52,15 2,75,8 Lempung 184, 7,,8 42,87 2,75,15 Lempung 1547, 8, 4,4 7,85 21,75,7 Lempung 2549, 9, 99,6,64,,266 Pasir Sedang 29, 9,*,*,*,* - Batuan* 46 *Visual Pengelompokan Stasiun stasiun. Pengelompokan stasiun dilakukan untuk mengetahui kesamaan antar Pengelompokan stasiun dilakukan dengan menggunakan Indeks Similaritas Bray-Curtis (berdasarkan kepadatan makrozoobenthos dan meiobenthos) dan Indeks Similaritas Canberra (berdasarkan karakteristik substrat dasar) dengan bantuan program Minitab 15. Pada penelitian ini, stasiun yang diamati dikelompokan berdasarkan kepadatan makrozoobenthos, kepadatan meiobenthos dan karakteristik substrat dasar perairan. Gambar 9 menunjukan pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobenthos. Terlihat dengan taraf kesamaan 65,74%, terdapat enam kelompok stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobenthosnya. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 1 dan, hal ini sangat mungkin terjadi karena

11 26 karakteristik habitat yang mirip antara kedua stasiun. Kelompok kedua terdiri dari Stasiun 2, 5, 6, dan 7. Sementara Stasiun 9, 8, 4, dan membentuk kelompok sendiri. Gambar 9. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobenthos (K= Kelompok) Gambar menunjukan pembagian kelompok stasiun berdasarkan kepadatan meiobenthos. Terlihat bahwa dengan taraf kesamaan 98,2% terbentuk 2 kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 2, 5, 9, 6, dan 7 sedangkan Stasiun 8 membentuk kelompok sendiri. Hal ini dapat dikarenakan tipe substrat pada Stasiun 8 yang sangat berbeda dengan stasiun lainnya. Gambar 11 menunjukan pengelompokan stasiun berdasarkan karakteristik substrat dasar perairan. Berdasarkan taraf kesamaan 96,7%, terbentuk 4 kelompok. Kelompok pertama hanya terdiri dari Stasiun 1 dan. Kelompok kedua terdiri dari Stasiun 2, 5, 7, dan 6. Kelompok ketiga hanya terdiri dari Stasiun 8. Kelompok keempat terdiri dari Stasiun, 4, dan 9.

12 27 Gambar. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan meiobenthos (K= Kelompok) Gambar 11. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan karakteristik substrat (K= Kelompok) Berdasarkan pengelompokan stasiun, terlihat adanya kemiripan antara pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobenthos, kepadatan meiobenthos, dan karakteristik substrat. Kemiripan tersebut mengindikasikan adanya suatu kelompok benthos (baik meiobenthos maupun makrozoobenthos) yang lebih menyukai jenis substrat tertentu. Misalnya pada Stasiun 8 yang selalu

13 28 mengelompok sendiri baik dalam pengelompokan stasiun menurut kepadatan makrozoobenthos, meiobenthos, maupun karakteristik substrat. Hal tersebut dapat menunjukan bahwa organisme benthos baik makrozoobenthos maupun meiobenthos yang dominan pada Stasiun 8 merupakan organisme yang lebih menyukai karakteristik substrat Stasiun 8 yang lebih didominasi lempung. Contoh lain terlihat pada Stasiun 1 dan yang merupakan satu kelompok baik berdasarkan kepadatan makrozoobenthos maupun karakteristik subtrat. Hal tersebut mengindikasikan adanya organisme benthos yang lebih menyukai tipe substrat pada Stasiun 1 dan Hubungan benthos dan karakteristik substrat dasar perairan Analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik substrat dan benthos (makrozoobenthos dan meiobenthos). Analisis komponen utama akan mereduksi banyaknya peubah yang digunakan dalam sejumlah data sehingga didapat suatu komponen utama yang menggambarkan keragaman total yang terkandung dalam sejumlah variabel. Dalam analisis ini benthos yang didapat dikelompokan berdasarkan kebiasaan makannya. Pengelompokan ini dilakukan melalui studi literatur dan dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. Pengelompokan dilakukan karena diduga benthos akan mengelompok pada tipe substrat tertentu karena kebiasaan makannya. Gambar 12 menunjukan tipe-tipe kebiasaan makan pada benthos yang ditemukan pada seluruh stasiun yang diamati. Makrozoobenthos dari seluruh stasiun memiliki beberapa kebiasaan makan yang berbeda. Dari seluruh stasiun ditemukan 5 jenis makrozoobenthos deposit feeder, 28 jenis carnivore, 22 jenis omnivore, 2 jenis suspension feeder dan jenis yang belum diketahui kebiasaan makannya. Seperti makrozoobenthos, meiobenthos yang ditemukan dari seluruh stasiun juga memiliki kebiasaan makan yang berbeda. Dari seluruh stasiun, ditemukan 18 jenis yang bersifat deposit feeder, 14 jenis yang bersifat carnivore, 12 jenis omnivore, dan 6 jenis yang belum diketahui kebiasaan makannya.

14 29 MAKROZOOBENTHOS MEIOBENTHOS Unknown; Suspension Feeder; 2 Carnivore; 28 Unknown; 6 Carnivore; 14 Omnivore; 22 Omnivore; 12 Deposit feeder; 5 Deposit feeder; 18 Gambar 12. Kebiasaan makan benthos pada seluruh stasiun Variabel yang digunakan untuk Analisis Komponen Utama makrozoobenthos adalah kepadatan dari setiap kebiasaan makan makrozoobenthos, persentase kerikil, persentase pasir, persentase lempung, persentase debu, dan median diameter substrat. Sedangkan untuk Analisis Komponen Utama meiobenthos variabel yang digunakan adalah kepadatan dari setiap kebiasaan makan meiobenthos, persentase kerikil, persentase pasir, persentase lempung, persentase debu, dan median diameter substrat. Hasil Analisis Komponen Utama dapat dilihat pada Lampiran 9. Gambar 1 menunjukan hubungan benthos (makrozoobenthos dan meiobenthos) dengan karakteristik substrat dasar perairan. Semakin sempit sudut yang dibentuk antar dua variabel maka kedua variabel tersebut berkorelasi positif yang kuat, sebaliknya jika posisi kedua variabel berlawanan satu sama lain, makan kedua variabel tersebut berkorelasi negatif yang kuat. Berdasarkan Gambar 1 tampak bahwa hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis) makrozoobenthos menunjukan komponen utama pertama memiliki nilai eigenvalue sebesar 5,47 dan memberikan kontribusi sebesar 54,7%. Komponen utama kedua memiliki nilai eigenvalue sebesar 2,4 dan memberikan kontribusi sebesar 24,%. Kedua komponen utama dapat menjelaskan sebesar 79,1% dari variasi data yang ada. Kepadatan makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder memiliki korelasi positif yang kuat

15 dengan persentase lempung dan liat. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin besar komposisi lempung dan liat dalam substrat maka makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder akan semakin banyak. Hal ini menunjukan makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder akan ditemukan lebih banyak pada substrat halus. Gambar 1. Hubungan benthos dengan karakteristik substrat (atas=makrozoobenthos, bawah=meiobenthos)

16 1 Makrozoobenthos yang bersifat suspension feeder, omnivore, dan carnivore memiliki korelasi positif yang kuat dengan persentase kerikil dan pasir. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin banyak komposisi kerikil dan pasir dalam substrat maka makrozoobenthos yang bersifat suspension feeder, omnivore, dan carnivore akan semakin banyak. Makrozoobenthos suspension feeder, omnivore, dan carnivore akan lebih banyak ditemukan pada substrat kasar. Berdasarkan Gambar 1 hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis) untuk meiobenthos menunjukan komponen utama pertama memiliki nilai eigenvalue sebesar 6,68 dan memberikan kontribusi sebesar 8,6% sedangkan komponen utama kedua memiliki nilai eigenvalue sebesar,74 dan memberikan kontribusi sebesar 9,% sehingga kedua komponen utama dapat menjelaskan data yang ada sebesar 92,9% dari data yang ada. Terlihat bahwa meiobenthos dari berbagai tipe kebiasaan makan memiliki korelasi positif yang kuat dengan persentase pasir dalam substrat. Hal tersebut menunjukan bahwa meiobenthos akan semakin banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi pasir lebih banyak. Tabel 6. menunjukan jenis-jenis makrozoobenthos yang dominan pada stasiun yang memiliki karakteristik substrat tertentu. Terlihat bahwa jenis-jenis makrozoobenthos deposit feeder lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi substrat lempung maupun liat. Sedangkan jenis-jenis makrozoobenthos suspension feeder, omnivora, dan carnivore lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi substrat kerikil maupun pasir lebih banyak. Walaupun begitu, terdapat pula makrozoobenthos deposit feeder yang ditemukan lebih banyak pada substrat yang berkomposisi kerikil maupun pasir lebih banyak dan makrozoobenthos suspension feeder, carnivore dan omnivore yang lebih banyak ditemukan substrat yang berkomposisi lempung maupun liat lebih banyak.

17 2 Tabel 6. Jenis makrozoobenthos dominan sesuai dengan kebiasaan makan dan tipe substrat % Tipe Substrat % Kerikil % Pasir Kebiasaan makan Carnivore Deposit feeder Suspension feeder Omnivore Omnivore Suspension feeder Genus Amphicteis sp., Phylodoce sp., Aphrodita sp., Parahesione sp., Eunice sp. (Polychaeta), Heterotanais sp., Maera sp. (Malacostraca); Pherusa sp., Myriochele sp. (Polychaeta), Paramoera sp., Ampelisca sp., (Malacostraca); Luidia sp., Cucumaria sp., Thyone sp. (Echinodermata), Atylus sp., Munida sp., Rhithropanopeus sp., Pasiphaea sp. (Malacostraca) Atylus sp., Dardanus sp., (Malacostraca) Cucumaria sp. (Holothuroidea), Ophiopholis sp., Ophiarachnella sp. (Ophiuroidea), Paramoera sp. (Malacostraca), Potamilla sp. (Polychaeta) Carnivore % Lempung Deposit feeder Deposit feeder % Liat Carnivore Unknown Glycera sp. (Polychaeta) Cossura sp., Scoloplos sp. (Polychaeta) Pectinaria sp., Maldane sp., Aricidea sp., Paraonis sp. (Polychaeta), Yoldia sp. (Bivalvia), Phascolion sp. (Sipunculidea) Onuphis sp. (Polychaeta), Sagitta sp. (Chaetognata), Prochaetoderma sp. (Aplachopora) Thalassolaimus sp. (Adenophorea) Tabel 7 menunjukan jenis-jenis meiobenthos yang dominan pada stasiun yang memiliki tipe substrat tertentu. Walaupun secara keseluruhan meiobenthos akan lebih banyak ditemukan lebih banyak pada substrat yang memiliki komposisi pasir lebih banyak, terdapat pula meiobenthos yang lebih dominan pada substrat yang memiliki komposisi lempung maupun liat lebih banyak.

18 Tabel 7. Jenis meiobenthos dominan sesuai dengan kebiasaan makan dan tipe substrat % Tipe Substrat Kebiasaan Makan Genus % Pasir % Lempung % Liat Carnivore Deposit feeder Unknown Unknown Deposit feeder Unknown Sigambra sp. (Polychaeta), Encentrum sp., Brachionus sp., (Eurotaria), Capitellidae sp1, Nodellum sp. (Polythalamea) Cervinia sp., Harpacticus sp.,oncaea sp. (Maxillopoda), Echinoderes sp. (Kynorhyncha) Pselionema sp. Sarcomastigophora sp2, Sipuncula sp1 (Sipunculidae), Philomedes sp., Cypridina sp. (Ostracoda), Syllidae sp1, Cirratulidae sp1, Sabellidae sp1, Polychaeta sp1, Hubungan antara benthos dengan karakteristik substrat dasar perairan juga dapat terlihat pada Gambar 14. Gambar 14 menunjukan penyebaran makrozoobenthos maupun meiobenthos pada setiap stasiun. Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa makroozoobenthos yang ditemukan pada setiap stasiun memiliki kebiasaan makan yang bervariasi. Komposisi benthos pada Grup 1 terlihat lebih bervariasi dibandingkan komposisi benthos pada Grup 2 dan. Hal ini disebabkan oleh karakteristik stasiun pada Grup 1 yang lebih bervariasi dibanding Grup 2 dan Grup. Pada gambar tersebut terlihat bahwa makrozoobenthos deposit feeder lebih banyak ditemukan pada stasiun yang memiliki komposisi substrat lempung maupun liat yang lebih banyak dibanding stasiun lainnya. Misalnya pada Stasiun 2 yang memiliki tipe substrat pasir sedang dan Stasiun 8 yang bertipe substrat dasar lempung. Sedangkan makroozoobenthos suspension feeder, carnivore maupun omnivore ditemukan lebih banyak pada stasiun yang memiliki komposisi substrat dasar kerikil maupun pasir yang lebih banyak dibanding stasiun lainnya. Misalnya pada Stasiun dan 4 yang bertipe substrat dasar pasir kasar.

19 8,78,25 9,97,1 5,9,2 98,2 5,97 1,66 18,5 45,22 6,28 2,75 52,15 52,15 27,1 27,1,64,64 99,6 99, ,78,25 18,5 45,22 5,97 6, ,97 1,66 Gambar 14. Penyebaran benthos pada seluruh stasiun (atas=makrozoobenthos, bawah=meiobenthos) Komposisi meiobenthos pada seluruh stasiun yang ditemukan tidak terlalu berbeda. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis komponen utama yang menunjukan bahwa hubungan meiobenthos dengan substrat lebih ditunjukan oleh jumlahnya yang akan lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi pasir lebih banyak ,78 8, ,25, ,25, , ,8 21,75 7,85 42, ,78 8,78 5,97 5,97 72,1,1 5,9 5,9 9, ,75 2,75, ,97 42, ,97,1,1 5,9 5,9 57 5,97 5,97 21,75 4, , , , ,25 8, ,97 1,1 15 8, ,9 8,78,25, ,2,1 5, ,2 9,97 9,97 1,2 298,2,1 5, ,66 18,5 Legenda 5,9,1 5,9 1, ,22 6,28 57 % Pasir 1 5,97,25 % Lempung % Liat 2 5, Pasir,2 18,5 Sedang 98,2 15 Pasir,2 Sangat Halus 1 1, , ,97 Suspension Feeder 2 2 Omnivore 2 2 Deposit Feeder Unknown ,2 1 % Kerikil Carnivore Batuan Pasir Kasar 45,22 Lempung ,66 45, , , , , Pembahasan Stasiun-stasiun penelitian dapat dikelompokan menjadi tiga grup, yaitu Grup 1 (Stasiun 1, 2,, 4, dan 5), Grup 2 (Stasiun 6, 7, dan 8) dan Grup (Stasiun 9 dan ). Kepadatan dan jumlah jenis makrozoobenthos pada Grup 1 terlihat

20 5 lebih bervariasi dibanding Grup 2 maupun. Pada Grup 1 kondisi perairan maupun substrat dasarnya lebih bervariasi hal tersebut akan menyebabkan lebih bervariasi pula makrozoobenthos yang ditemukan pada Grup 1. Stasiun 1 memiliki kepadatan dan jumlah jenis makrozoobenthos yang tinggi, Stasiun dan 5 sedang dan Stasiun 2 dan 4 rendah. Penyebaran makrozoobenthos berdasarkan kebiasaan makanannya pada Grup 1 juga menunjukan hasil yang lebih bervariasi dibanding grup lainnya. Stasiun-stasiun di Grup 1 memiliki komposisi kebiasaan makanan makrozoobenthos yang sangat berbeda satu sama lain. Hal yang berbeda terlihat pada stasiun-stasiun pada Grup 2, pada grup ini komposisi kebiasaan makanan makrozoobenthos secara umum cenderung sama yaitu makrozoobenthos deposit feeder ditemukan lebih dominan pada setiap stasiun. Hal yang serupa juga terlihat pada kepadatan dan jumlah jenis pada mieobenthos. Selama penelitian, makrozoobenthos ditemukan paling banyak pada Stasiun 9. Makrozoobenthos yang paling melimpah pada seluruh stasiun berasal dari filum Annelida kelas Polychaeta. Fauchald & Jumars (1979) menyatakan bahwa Polychaeta merupakan salah satu hewan laut yang paling sering dan paling banyak ditemukan pada lingkungan dasar perairan. Kelas Polychaeta memiliki berbagai macam cara hidup tergantung tempat hidupnya masing-masing. Meiobenthos ditemukan paling melimpah pada Stasiun 9. Meiobenthos yang paling melimpah pada seluruh stasiun ditemukan berasal dari kelas Adenophorea (Nematoda). Genus yang paling banyak ditemukan adalah Thalassolaimus sp. Giere (199) menyatakan bahwa pada umumnya filum Nematoda merupakan meiobenthos yang mendominasi baik dari segi kepadatan maupun biomassa. Mereka memiliki struktur tubuh yang sangat sesuai untuk substrat lumpur maupun pasir. Lebih bervariasinya makrozoobenthos maupun meiobenthos pada Grup 1 juga didukung oleh lebih bervariasinya karakteristik fisika-kimia perairan dekat dasar maupun karakteristik substrat dasar pada Grup 1 yang disebabkan oleh perbedaan kontur kedalaman yang lebih bervariasi dibanding pada Grup 2 dan yang memiliki kedalaman lebih homogen. Suhu pada perairan dekat dasar berkisar antara 2 C hingga 29 C. Stasiun yang memiliki kedalaman yang tinggi memiliki nilai suhu yang rendah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya penyinaran dari matahari. Kekeruhan

21 6 pada air dekat dasar pada seluruh stasiun berkisar antara,7-,7 NTU sedangkan padatan tersuspensi (TSS) dari seluruh stasiun berkisar antara 5-12 mg/l. Kekeruhan yang tinggi dapat mengganggu kehidupan makrozoobenthos karena mengganggu daya lihat dan sistem pernafasan. Tingginya kekeruhan di suatu perairan disebabkan oleh tingginya bahan organik yang terakumulasi dan mengendap di daerah ini. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai padatan tersuspensi (TSS). Kandungan oksigen terlarut pada dasar perairan berkisar antara 1,19 mg/l hingga 2,89 mg/l. Kandungan oksigen pada perairan dekat dasar ini tergolong rendah karena tidak adanya sumber oksigen misalnya aktivitas fotosintesis dari organisme autotrof maupun difusi oksigen dari udara. Walaupun kandungan oksigen ini dapat meningkat apabila terjadi aliran air dari tempat lain yang memiliki kandungan oksigen yang tinggi (Kropp 24). Nilai kebutuhan oksigen biologis (BOD) di stasiun pengamatan berkisar antara,77-6,62 mg/l. Nilai BOD ini menunjukan oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara biologis. Bahan organik ini merupakan salah satu sumber makanan bagi benthos. Secara umum, karakteristik fisika-kimia perairan pada air dekat dasar di seluruh stasiun masih dapat ditolerir oleh benthos. Substrat dasar merupakan tempat hidup bagi organisme makrozoobenthos maupun meiobenthos. Karakteristik substrat dasar akan mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos maupun meiobenthos yang hidup pada substrat tersebut. Dari seluruh stasiun ditemukan lima tipe substrat dasar perairan. Berdasarkan skala Wentworth, ditemukan empat tipe substrat dasar perairan pada stasiun penelitian, yaitu lempung (Stasiun 5, 6, 7, dan 8), pasir sangat halus (Stasiun 2), pasir sedang (Stasiun 9), dan pasir kasar (Stasiun dan 4). Berdasarkan pengamatan visual Stasiun 1 dan bertipe substrat batuan. Terlihat bahwa pada stasiun yang berada di tengah laut dimana kondisinya sangat dalam, jenis substrat lebih lunak/lembut dibanding stasiun yang berada di dekat daerah pesisir. Hal tersebut dikarenakan arus pada daerah pesisir biasanya lebih deras dibandingkan daerah tengah laut, sehingga menyebabkan partikel-partikel kecil tidak mengalami sedimentasi. Odum (1971) menyatakan bahwa partikel halus akan mengendap dan menjadi substrat apabila arusnya lemah. Bervariasinya karakteristik stasiun menunjukan perbedaan yang ada antar stasiun. Pengelompokan stasiun dengan indeks similaritas dilakukan untuk

22 7 mengetahui kemiripan antar stasiun, sehingga akan diketahui stasiun-stasiun tertentu yang memiliki karakteristik yang sama. Pengelompokan dilakukan berdasarkan kepadatan makrozoobenthos, kepadatan meiobenthos dan karakteristik substrat. Berdasarkan kepadatan makrozoobenthos terdapat enam kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 1 dan. Kelompok kedua terdiri dari Stasiun 2, 5, 6, 7. Kelompok, 4, dan 5 merupakan Stasiun, 4, 8, dan 9 yang masing-masing membentuk kelompok tersendiri. Pengelompokan stasiun tersebut dapat terjadi karena kemiripan jenis makrozoobenthos maupun kepadatan makrozoobenthos pada masing-masing stasiun yang mengelompok. Pengelompokan ini juga diduga karena tipe substrat pada stasiun tersebut yang mirip sehingga makrozoobenthos yang ditemukan pada stasiun tersebut hampir sama. Seperti pada Stasiun 1 dan dimana terdapat genus Dulichia sp., Alpheus sp., dan Pasiphaea sp. yang lebih melimpah dibanding stasiun lainnya. Berdasarkan kepadatan meiobenthos terdapat dua kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 2, 5, 6, 7 dan 9 sedangkan kelompok kedua terdiri dari Stasiun 8 yang membentuk kelompok tersendiri. Pengelompokan stasiun tersebut dapat terjadi karena kemiripan jenis meiobenthos maupun kepadatan meiobenthos pada masing-masing stasiun yang mengelompok. Pengelompokan ini juga diduga karena tipe substrat pada stasiun tersebut yang mirip sehingga meiobenthos yang ditemukan pada stasiun tersebut hampir sama. Seperti pada Stasiun 2, 5, 6, 7 dimana terdapat jenis Paraonidae sp1 yang melimpah pada stasiun tersebut namun tidak ditemukan pada Stasiun 8. Berdasarkan karakteristik substrat terdapat empat kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 1 dan. Kelompok kedua terdiri dari Stasiun 1, 5, 6, dan 7. Kelompok ketiga terdiri dari Stasiun 8. Kelompok keempat terdiri dari Stasiun, 4, dan 9. Pengelompokan stasiun ini disebabkan karena kemiripan komposisi penyusun substrat (kerikil, pasir, lempung, dan liat) pada stasiun tersebut. Misalnya pada stasiun 1 dan yang sama-sama memiliki komposisi kerikil lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lain. Pengelompokan yang dibentuk dengan menggunakan Indeks Similaritas mengindikasikan adanya makrozoobenthos tertentu ataupun meiobenthos tertentu yang menyukai karakteristik substrat dasar tertentu. Misalnya pada Stasiun 8

23 8 yang selalu mengelompok sendiri baik dalam pengelompokan stasiun menurut kepadatan makrozoobenthos, meiobenthos, dan karakteristik substrat. Hal tersebut dapat menunjukan bahwa organisme benthos baik makrozoobenthos maupun meiobenthos yang dominan pada Stasiun 8 merupakan organisme yang lebih menyukai karakteristik substrat Stasiun 8 yang lebih didominasi lempung. Contoh lain terlihat dari dekatnya pengelompokan Stasiun 2, 5, 6, dan 7 baik berdasarkan makrozoobenthos, meiobenthos, maupun substrat. Hal tersebut mengindikasikan adanya organisme benthos yang lebih menyukai tipe substrat pada Stasiun 2, 5, 6, dan 7. Korelasi antara makrozoobenthos maupun meiobenthos dengan karakteristik substrat tertentu dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis/PCA). Berdasarkan PCA diketahui bahwa makrozoobenthos yang bersifat suspension feeder akan ditemukan lebih banyak pada substrat yang memiliki komposisi kerikil dan pasir yang lebih banyak (substrat kasar). Seperti hasil penelitian Craig & Jones (1966) yang menunjukan bahwa benthos suspension feeder akan lebih banyak ditemukan pada substrat dasar yang kasar. Melimpahnya makrozoobenthos suspension feeder pada substrat kasar disebabkan karena makrozoobenthos suspension feeder mendapat makan dengan cara menyaring makanan dari perairan. Organisme ini memerlukan arus yang akan membawa makanan ke arahnya. Pada stasiun yang memiliki komposisi kerikil maupun pasir yang lebih banyak (substrat kasar) diduga memiliki arus dasar yang lebih deras. Arus yang deras akan menghambat proses sedimentasi dan membawa bahan makanan kepada organisme suspension feeder. Makrozoobenthos suspension feeder seperti Potamilla sp. (Polychaeta), Dulichia sp., Thyone sp. (Malacostraca), dan Cucumaria sp. (Holothuroidea) lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi kerikil dan pasir yang lebih banyak (substrat kasar). Namun demikian dalam penelitian ini ditemukan pula makrozoobenthos suspension feeder yang ditemukan pada substrat halus, misalnya Anadara sp. dan Gafrarium sp. (Bivalvia). Ditemukannya makrozoobenthos suspension feeder pada substrat halus ini diduga karena organisme tersebut selain bersifat suspension feeder ia juga secara fakultatif bersifat deposit feeder.

24 9 Makrozoobenthos yang bersifat carnivore terlihat memiliki korelasi kuat dengan persentase substrat kerikil dan pasir. Hal ini menunjukan bahwa makrozoobenthos carnivore akan lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi pasir maupun kerikil yang lebih banyak (substrat kasar). Menurut Craig & Jones (1966) penyebaran organisme carnivore lebih dipengaruhi keberadaan mangsanya dibandingkan karakteristik substrat dasar perairan. Dari seluruh stasiun penelitian, terlihat bahwa stasiun yang bertipe substrat kasar (Stasiun 1,, 4, 9, dan ) memiliki kepadatan makrozoobenthos yang lebih tinggi, sehingga mangsa bagi makrozoobenthos carnivore tersebut akan lebih banyak pada stasiun tersebut. Beberapa makrozoobenthos carnivore seperti Lepidonotus sp. dan Amblyosyllis sp. lebih banyak ditemukan pada stasiun yang memiliki substrat kasar. Makrozoobenthos yang bersifat omnivore secara umum memiliki korelasi kuat dengan persentase kerikil dan pasir dalam substrat, yang berarti mereka akan lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi kerikil dan pasir lebih banyak (substrat kasar). Keberadaan benthos pada substrat kasar juga dipengaruhi oleh kemampuan geraknya, misalnya Amphicteis sp. yang bersifat carnivore juga suspension feeder (fakultatif) merupakan organisme sessile sehingga memerlukan substrat yang kokoh sebagai tempat hidup (Fauchald & Jumars 1979). Makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder memiliki korelasi yang kuat dengan persentase lempung dan liat dalam substrat. Hal ini berarti makrozoobenthos deposit feeder akan lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi substrat lempung dan liat lebih banyak (substrat halus). Menurut Craig & Jones (1966) benthos deposit feeder akan ditemukan lebih banyak pada substrat halus. Selain itu Stewart et al. (1985) menyatakan bivalvia yang bersifat deposit feeder akan lebih banyak ditemukan pada substrat halus. Benthos deposit feeder ini merupakan organisme pemakan partikel organik yang telah tersedimentasi pada dasar perairan. Pada stasiun yang bertipe substrat halus sumber makanan bagi organisme ini lebih melimpah. Contoh makrozoobenthos deposit feeder yang lebih banyak ditemukan pada substrat halus adalah Maldane sp., Paraonis sp., dan Scoloplos sp. (Polychaeta); Maera sp., dan Westwoodila sp. (Malacostraca); Yoldia sp. dan Tellina sp. (Bivalvia). Beberapa makrozoobenthos ini juga hidup di dalam substrat (infauna), mencari makan dengan menggali dan

25 4 memakan sedimen yang terdeposit pada substrat (Fauchald & Jumars 1979) seperti Cossura sp. Secara umum, meiobenthos berkorelasi dengan persentase pasir dalam substrat, yang berarti meiobenthos akan lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi pasir lebih banyak. Hal tersebut diduga karena substrat pasir akan memberikan ruang untuk tempat hidup meiobenthos yang merupakan hewan interstitial. Misalnya meiobenthos dari genus Cervinia sp. dan Harpacticus sp. (Malacostraca) yang lebih banyak ditemukan pada stasiun yang bertipe substrat lebih kasar. Namun demikian, dalam penelitian ini ditemukan pula beberapa meiobenthos yang ditemukan lebih melimpah pada stasiun yang memiliki komposisi lempung dan liat lebih banyak, misalnya Pselionema sp. (Kelas Adenophorea). Kelas Adenophorea yang memiliki korelasi erat dengan substrat halus merupakan meiobenthos yang merupakan deposit feeder (Giere 199). Substrat sebagai tempat hidup benthos akan mempengaruhi penyebaran benthos di dasar perairan. Pada Selat Bali bagian selatan ditemukan berbagai tipe substrat dasar perairan mulai dari tipe substrat kasar hingga halus, dimana substrat kasar cenderung berada pada stasiun yang dekat pesisir dan substrat yang halus terdapat pada perairan laut dalam. Perairan Selat Bali bagian selatan termasuk ke dalam laut dalam dengan kedalaman yang dapat mencapai lebih dari 2 m. Di Selat Bali bagian selatan, ditemukan berbagai macam jenis benthos, beberapa di antaranya merupakan biota yang cenderung ditemukan pada laut dalam seperti Cirriformia sp., Pholoe sp., Pherusa sp., Aricidea sp. (Polychaeta), Elphidium sp. (Polythalamea), Cuspidaria sp., Nuculana sp. (Bivalvia), dan Amphioplus sp. (Ophiuroidea). Keberadaan beranekaragam benthos pada laut dalam membuktikan bahwa laut dalam merupakan salah satu habitat dengan keanekaragaman yang cukup tinggi. Komunitas benthos pada perairan laut dalam ini mendapat ancaman dari berbagai kegiatan manusia pada perairan lepas pantai. Misalnya kegiatan penggelaran kabel telekomunikasi antar pulau yang akan memberikan gangguan pada komunitas benthos pada dasar laut, namun dengan seiring waktu komunitas benthos tersebut akan terbentuk lagi pada lokasi penggelaran kabel tersebut, namun kegiatan lain seperti kegiatan penambangan mineral dari dasar laut,

26 41 penambangan minyak lepas pantai maupun praktek pembuangan limbah pada laut dalam akan memberikan ancaman yang lebih besar bagi komunitas benthos laut dalam. Dengan masih sedikitnya pemahaman kita tentang komunitas benthos laut dalam masih sangat terbatas dan berbagai ancaman di atas, komunitas benthos laut dalam perlu dijaga kelestariannya serta pengkajian lebih lanjut.

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam TINJAUAN PUSTAKA Benthos Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan. Bentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN Lani Puspita Dosen Tetap Prodi Pendidikan Biologi UNRIKA Batam Abstrak Makroozoobenthos adalah salah satu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Kerang tahu (Meretrix meretrix L. 1758)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Kerang tahu (Meretrix meretrix L. 1758) 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Kerang Tahu (Meretrix meretrix) Kerang merupakan hewan filter feeders yang memasukkan pasir kedalam tubuhnya kemudian mengakumulasikan pasir tersebut dilapisan tubuhnya.

Lebih terperinci

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL KWRAKTERlSTIK #OMUNITAS FAUNA BENTHOS DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL KECAMWTWN PEHJARINGAH, JAKARTA UFARA C/"&lsp/ 'Oh,! L>;2nzt KARYA ILMIAH Oleh IMSTITUT PERTANlAN BOGOR FAKULTAS PERIMAMAN 1989 YENNI,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi

TINJAUAN PUSTAKA. diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi 6 TINJAUAN PUSTAKA Zona Intertidal Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan

TINJAUAN PUSTAKA. pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan 47 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari 7 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Jenis dan komposisi makrozoobentos Jenis makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian di Pantai Mayangan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis makrozoobentos

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran adalah peristiwa perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat fisik-kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air (Odum, 1971),

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Organisme makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Organisme makrozoobenthos 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan 2.1.1. Organisme makrozoobenthos Organisme benthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar perairan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Perairan dibagi dalam tiga kategori utama yaitu tawar, estuaria dan kelautan. Habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi bila

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN PANDANSARI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN PANDANSARI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK Journal of Marine Research. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 62-66 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN PANDANSARI KECAMATAN SAYUNG

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Brantas adalah sungai terpanjang yang ada di provinsi Jawa Timur. Panjangnya yaitu mencapai sekitar 320 km, dengan daerah aliran seluas sekitar 12.000 km 2

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Pantai Pantai memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan

Lebih terperinci

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi Habitat berbagai organisme makrobentik Kelompok makrobentik infauna yang berperan penting pada ekosistem substrat lunak Berperan dalam proses

Lebih terperinci

stasiun 2 dengan stasiun 3 dengan stasiun 3 Stasiun 1 dengan Stasiun 1 Morishita Horn

stasiun 2 dengan stasiun 3 dengan stasiun 3 Stasiun 1 dengan Stasiun 1 Morishita Horn Didapatkan hasil sungai Wonorejo Surabaya mempunyai indeks kesamaan komunitas makrozoobenthos antara stasiun 1 dengan stasiun 2 yaitu 0.88. Perbandingan dari kedua stasiun ini memiliki indeks kesamaan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muka bumi ini oleh karena itu di dalam Al-Qur an menyebutkan bukan hanya

BAB I PENDAHULUAN. muka bumi ini oleh karena itu di dalam Al-Qur an menyebutkan bukan hanya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman makhluk hidup begitu banyak dalam kehidupan di muka bumi ini oleh karena itu di dalam Al-Qur an menyebutkan bukan hanya tumbuhan, hewan pun memiliki

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun

I. PENDAHULUAN. perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok dalam pengembangan industri budidaya perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun eksternal. Sebagai media

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA Usaha pelestarian dan pembudidayaan Kultivan (ikan,udang,rajungan) dapat dilakukan untuk meningkatkan kelulushidupan

Lebih terperinci

STUD1 HABITAT KOMUNITAS POLIKAETA DI PERAIRAN PANTAI TECUK LAMPUNG

STUD1 HABITAT KOMUNITAS POLIKAETA DI PERAIRAN PANTAI TECUK LAMPUNG STUD1 HABITAT KOMUNITAS POLIKAETA DI PERAIRAN PANTAI TECUK LAMPUNG Oleh: HENDRIVAN AFTAWAN C02498034 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara umum berada di Kabupaten Indramayu tepatnya di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Wilayah pesisir di sepanjang pantai

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Perairan Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi antar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Pulau Barrang Lompo adalah salah satu pulau di kawasan Kepulauan Spermonde, yang berada pada posisi 119 o 19 48 BT dan 05 o 02 48 LS dan merupakan salah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN SIMBIOSA, 5 (2): 118-125 Desember 2016 ISSN Cetak. 2301-9417 STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI INTERTIDAL BUKIT PIATU KIJANG, KABUPATEN BINTAN MACROZOOBENTHIC COMMUNITY STRUCTURE AT BUKIT PIATU INTERTIDAL-

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR Lili Kasmini 11 ABSTRAK Desa Ladong memiliki keanekaragaman mangrove yang masih tinggi yang berpotensi untuk tetap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan jumalah Individu 1 BAB V PEMBAHASAN A. Familia Bivalvia yang didapatkan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus, di mana penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03LU '6.72 BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km. 8 menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos. 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Makrozoobentos Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau di permukaan substrat dasar perairan (Odum, 1994). Organisme ini terdiri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 pada 3 (tiga) lokasi di Kawasan Perairan Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 60 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ekostruktur Mangrove Pengamatan struktur ekosistem mangrove dilokasi penelitian terbagi menjadi 5 lokasi penelitian yaitu Tanjung Tembing, Panamparan, Pajan Barat, Tanjung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Ekosistem perairan dapat dibedakan menjadi air tawar, air laut dan air payau seperti terdapat di muara sungai yang besar. Dari ketiga ekosistem perairan tersebut,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

Bencana Baru di Kali Porong

Bencana Baru di Kali Porong Bencana Baru di Kali Porong Pembuangan air dan Lumpur ke Kali Porong menebarkan bencana baru, air dengan salinitas 38/mil - 40/mil akan mengancam kualitas perikanan di Pesisir Porong. Lapindo Brantas Inc

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

POSTER KERAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI OGAN, SUMATERA SELATAN 1 Marson 2

POSTER KERAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI OGAN, SUMATERA SELATAN 1 Marson 2 POSTER KERAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI OGAN, SUMATERA SELATAN 1 Marson 2 ABSTRAK Sungai Ogan dimanfaatkan penduduk untuk kepentingan sosial dan ekonomi, dampak kegiatan tersebut mengakibatkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 - Agustus 2006 dengan lokasi penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. Pengambilan contoh air dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR 3 Dhani Dianthani Posted 3 May, 3 Makalah Falsafah Sains (PPs ) Program Pasca Sarjana /S3 Institut Pertanian Bogor Mei 3 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Dr Bambang Purwantara IDENTIFIKASI

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungai merupakan salah satu sumber air utama bagi masyarakat luas baik

BAB I PENDAHULUAN. Sungai merupakan salah satu sumber air utama bagi masyarakat luas baik 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan salah satu sumber air utama bagi masyarakat luas baik yang digunakan secara langsung ataupun tidak langsung. Sungai Konto merupakan salah satu anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air permukaan yang ada seperti sungai dan situ banyak dimanfaatkan

TINJAUAN PUSTAKA. Air permukaan yang ada seperti sungai dan situ banyak dimanfaatkan TINJAUAN PUSTAKA Sungai Air permukaan yang ada seperti sungai dan situ banyak dimanfaatkan untuk keperluan manusia seperti tempat penampungan air, alat transportasi, mengairi sawah dan keperluan peternakan,

Lebih terperinci

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DI PERAIRAN SEPANJANG JEMBATAN SURAMADU KABUPATEN BANGKALAN

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DI PERAIRAN SEPANJANG JEMBATAN SURAMADU KABUPATEN BANGKALAN Jurnal KELAUTAN,Volume 4, No.2 Oktober 2011 ISSN : 1907-9931 SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DI PERAIRAN SEPANJANG JEMBATAN SURAMADU KABUPATEN BANGKALAN Kurratul Ainy 1, Aries Dwi Siswanto 2, dan Wahyu

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Perairan Estuari Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Sungai Naborsahan Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara

Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Sungai Naborsahan Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Sungai Naborsahan Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara Diversity and Abundance of Macrozoobenthos in Naborsahan River of Toba Samosir Regency, North Sumatera

Lebih terperinci

4. KONDISI HABITAT SIMPING

4. KONDISI HABITAT SIMPING 4. KONDISI HABITAT SIMPING Kualitas habitat merupakan tempat atau keadaan dimana simping dalam melakukan proses-proses metabolisme, pertumbuhan, sampai produksi. Proses biologi tersebut ditentukan oleh

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS PADA BANGUNAN PENAHAN OMBAK DI PERAIRAN MOROSARI DEMAK

KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS PADA BANGUNAN PENAHAN OMBAK DI PERAIRAN MOROSARI DEMAK KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS PADA BANGUNAN PENAHAN OMBAK DI PERAIRAN MOROSARI DEMAK Ari Kristiningsih Universitas Diponegoro kristiningsihari@gmail.com Abstrak: Pesisir Demak yang potensial bagi berbagai

Lebih terperinci

STUDI KEPADATAN DAN PENYEBARAN ECHINODERMATA DI SEKITAR RATAAN TERUMBU KARANG DI DESA WAEURA KECAMATAN WAPLAU KABUPATEN BURU

STUDI KEPADATAN DAN PENYEBARAN ECHINODERMATA DI SEKITAR RATAAN TERUMBU KARANG DI DESA WAEURA KECAMATAN WAPLAU KABUPATEN BURU STUDI KEPADATAN DAN PENYEBARAN ECHINODERMATA DI SEKITAR RATAAN TERUMBU KARANG DI DESA WAEURA KECAMATAN WAPLAU KABUPATEN BURU Cornelia Pary Jurusan Pendidikan Biologi, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 13 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di perairan Pesisir Manokwari Provinsi Papua Barat, pada empat lokasi yaitu Pesisir Perairan Rendani, Wosi, Briosi dan

Lebih terperinci