Survei GAVI-HSS Ditjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Survei GAVI-HSS Ditjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI"

Transkripsi

1

2 Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Ind a Indonesia.Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Assessment GAVI - HSS Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA : Laporan akhir Provinsi Banten,-- Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Judul I. VACCINES II. IMUNIZATION III. SOCIAL CONDITION IV. PROGRAM DEVELOPMENT

3 DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KIA KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN Kegiatan imunisasi merupakan upaya yang paling cost effective dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang diharapkan akan berdampak pada penurunan angka kematian bayi dan balita. Universal Child Immunization (UCI) Desa/Kelurahan secara nasional setiap tahunnya selalu tidak mencapai target. Dalam upaya mengatasi permasalahan mengenai terjadinya kemerosotan cakupan pelayanan kesehatan dalam berbagai program termasuk program imunisasi, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan melakukan berbagai langkah untuk menganalisa kondisi yang terjadi di masyarakat. Beberapa permasalahan telah diidentifikasi dan diantaranya perlu mendapat perhatian dan penanganan secepatnya, yaitu: dukungan masyarakat yang lemah dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), termasuk imunisasi, kapasitas petugas kesehatan yang menurun, khususnya petugas di bidang KIA dan imunisasi, kemitraan yang belum dikembangkan dengan institusi swasta dan non pemerintah/masyarakat, dan keterbatasan jumlah tenaga dan motivasi petugas kesehatan menurun di beberapa lokasi tertentu. GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization), suatu organisasi kesehatan internasional yang berkedudukan di Geneva, telah memberikan bantuan hibah kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui 3 (tiga) komponen yaitu ISS (Immunization Service Support), HSS (Health System Strengthening), dan CSO (Civil Society Organization) dalam rangka pelaksanaan program pembangunan kesehatan terkait dengan upaya mengatasi masalah tersebut. Beberapa alasan yang melatarbelakangi pemberian bantuan GAVI pada 3 (tiga) komponen tersebut antara lain bahwa penguatan program imunisasi sendiri saja tidak cukup untuk meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi. Kelemahan dalam sistem kesehatan dapat menghambat pencapaian cakupan imunisasi, dan penguatan sistem kesehatan tidak hanya dapat meningkat cakupan imunisasi, cakupan pelayanan, kesehatan ibu dan anak, tetapi juga berdampak pada kesehatan lain. Sejalan dengan maksud diatas, kegiatan Healths System Strengthening (HSS) difokuskan pada pencapaian 4 (empat) tujuan, yaitu Mobilisasi masyarakat untuk mendukung Program KIA dan Imunisasi, Peningkatan kemampuan manajemen petugas kesehatan, Kemitraan dengan Organisasi Non Pemerintah/ CSO (LSM), Pilot Project tentang mekanisme insentif dan kontraktual tenaga KIA. Untuk mendukung tujuan tersebut telah dilakukan penilaian dan pemetaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa (Village Mapping) dan ketersediaan pelayanan kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit (Service Availlability Mapping) di 5 Provinsi GAVI, i

4 yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua dan Papua Barat, yang mencakup 62 Kabupaten/Kota, Puskesmas, Desa. Kegiatan ini melibatkan Universitas terdekat dengan daerah GAVI HSS, yang terdiri dari : Universitas Indonesia untuk daerah Banten, Universitas Pajajaran untuk daerah Jawa Barat, Universitas Hasanudin untuk daerah Sulawesi Selatan, dan Universitas Cendrawasih untuk daerah Papua dan Papua Barat, dengan koordinasi oleh Universitas Gajah Mada. Hasil penilaian dan pemetaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa (Village Mapping) dan ketersediaan pelayanan kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit (Service Availlability Mapping) di 5 Provinsi GAVI yang telah dilakukan, disusun dan disajikan pada buku laporan hasil akhir VM dan SAM GAVI-HSS untuk masing-masing daerah provinsi GAVI. Saya mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan atas kerjasama dan segala dukungan yang telah diberikan oleh seluruh mitra dari Universitas dan semua pihak yang telah berkonstribusi dalam penyusunan buku Laporan Assesment GAVI-HSS ini. Semoga data dan informasi yang tersedia pada buku laporan ini bermanfaat untuk menjadi bahan masukan dalam menelaah keadaan yang ada di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan juga sebagai dasar untuk menyusun kebijakan, perencanaan, implementasi dan evaluasi program sehingga pencapaian pelayanan kesehatan yang maksimal menuju Indonesia Sehat dapat terwujud. Disadari bahwa data dan informasi yang tersaji dalam buku ini belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan data dan informasi, sehingga masukan berupa saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan kedepan sangat kami harapkan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-nya serta memberi petunjuk kepada kita sekalian dalam melaksanakan pembangunan kesehatan hingga terwujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Jakarta, November 2011 Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Dr. dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H,MARS ii

5 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta ala atas segala Rahmat dan Petunjuk-Nya sehingga pelaksanaan penelitian hingga penulisan laporan dapat dilakukan dengan baik. Kegiatan penelitian Global Alliance for Vaccines and Immunization Health System Strengthening (GAVI-HSS). Laporan ini menyajikan data Hasil Survei GAVI-HSS berupa Village Mapping (VM) dan Service Availability Mapping (SAM) di Provinsi Jawa Barat. Kegiatan ini terselenggara berkat dukungan dari GAVI-HSS, Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kami mengucapkan terima kasih kepada para responden dan informan yang mau menyisihkan waktunya di sela-sela kesibukannya dan kepada semua pihak yang turut terlibat dalam penelitian ini. Kami menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik membangun senantiasa kami harapkan dari semua pembaca. Semoga Allah Subhanahu wa Ta ala memberi Ridho atas semua niat dan amal baik kita. Jakarta, 18 Oktober 2011 Tim Penyusun iii

6 DAFTAR ISI SAMBUTAN... i KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... x I. PENDAHULUAN... 1 A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN... 1 B. LATAR BELAKANG... 2 C. TUJUAN... 6 II. METODOLOGI PENELITIAN... 7 A. RANCANGAN PENELITIAN... 7 B. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN... 7 C. SAMPEL... 7 D. PENGUMPULAN DATA... 8 E. PENGOLAHAN DATA... 9 F. TAHAPAN ANALISA DATA... 9 III. HASIL PENELITIAN A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT Pelaku Pelayanan Kesehatan Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi Desa Siaga a. Poskesdes dan Polindes b. Kelompok Donor Darah c. Pendataan Ibu Hamil, Bayi dan Balita d. Ambulans Desa Posyandu Pembiayaan Dalam Mobilisasi Masyarakat a. Musrembang Desa b. Operasional Posyandu dan Rujukan B. ISU MANAJEMEN PUSKESMAS Sumber Daya Manusia (SDM) a. Pelatihan Bidan b. Tenaga Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak c. Pelatihan Petugas Puskesmas Sumber Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Wilayah Puskesmas iv

7 4. Logistik Puskesmas Sarana dan Prasarana Puskesmas KIA dan Pelayanan Puskesmas Cakupan Pelayanan KIA dan Imunisasi Lingkungan Geografis Kejadian Luar Biasa C. ISSUE MANAJEMEN RUMAH SAKIT DAN DINAS KESEHATAN Sumber Daya Manusia Logistik D. CIVIL SOCIETY ORGANIZATION (CSO) A. Peranan Makro B. Peran Mikro IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN KEPUSTAKAAN v

8 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi Jumlah Desa Siaga Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA Posyandu di Wilayah Provinsi Banten Pelatihan Bidan Distribusi Dokter, Bidan, Perawat Menurut Provinsi, Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Pelatihan Petugas Puskesmas (Dokter) Pelatihan Petugas Puskesmas (Perawat) Pelatihan Petugas Puskesmas (Bidan) Puskesmas yang tidak memiliki satupun dokter, perawat maupun bidan yang dilatih Persentase Desa yang melakukan Pembahasan Anggaran, memiliki Alokasi Anggaran dan Sumber Anggaran Kegiatan KIA Karakteristik Puskesmas Sarana Yang Dimiliki Puskesmas Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas Sarana dan Prasarana Puskesmas Sarana Imunisasi Puskesmas Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas Cakupan Program KIA dan Imunisasi Puskesmas Alat Transportasi Yang Digunakan Dari Puskesmas Ke Desa Terjauh Akses ke Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (KLB PD3 di Puskesmas dalam 1 tahun Terakhir Karakteristik Rumah Sakit Karakteristik Rumah Sakit Ketenagaan RS Terkait Pelayanan KIA di Rumah Sakit Jumlah RS dengan Kondisi Refrigerator Sarana Freezer Rumah Sakit 75 vi

9 DAFTAR GRAFIK GRAFIK Halaman 1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota 13 di Provinsi Banten, Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkan 13 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Pendidikan Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Jumlah Dukun di Provinsi Banten tahun Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan Dukun 19 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan Dukun 20 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada Dukun Berdasarkan 20 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Desa/Kelurahan Siaga Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, Jumlah Polindes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah Berfungsi 24 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 25 Kota di Provinsi Banten, Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota 25 di Provinsi Banten, Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan Berdasarkan 26 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan ke Puskesmas 26 per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/ 30 Kota di Provinsi Banten, Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang Berdasarkan 31 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 31 Kota di Provinsi Banten, 2010 vii

10 24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota 32 di Provinsi Banten, Sumber Biaya bila Bidan Desa Merujuk ke PKM Berdasarkan Kabupaten/Kota 45 di Provinsi Banten, Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas berdasarkan 54 di Provinsi Banten, Cakupan K1 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan K4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan Persalinan Nakes Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan Kunjungan Nifas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan Deteksi Faktor risiko per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan TT WUS Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan TT Bumil per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan HB0 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan BCG Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan DPT3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan BIAS Kelas 1 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan BIAS Kelas 2 SD per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan Bias Kelas 3 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Cakupan Bias Campak per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Tipe Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, Kategori letak puskesmas se-banten, Kondisi Fisik Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Banten, viii

11 DAFTAR GAMBAR GAMBAR Halaman 1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten, Peta Wilayah Provinsi Banten 2 3. Keberadaan Bidan Desa Peta Sebaran Puskesmas di Provinsi Banten Peta Cakupan DPT3 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, Peta Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, Peta Cakupan Campak Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, Cakupan BIAS Kelas 1 SD BerdasarkanKab/Kota di Prov. Banten, Sebaran Puskesmas berdasarkan Kriteria Terpencil-Biasa, dan Perawatannon perawatan di Banten, Peta Waktu Tempuh ke Puskesmas di Provinsi Banten Peta Sebaran Puskesmas dan RS di Provinsi Banten 79 ix

12 DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ADD : Anggaran Dana Daerah AFP non Polio : Accute Flaccid Paralysis non Polio AMP : Audit Maternal Perinatal APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah BCG : Bacillus Calmette Guerin CSO : Civil Society Organization D1 : Diploma satu D2 : Diploma Dua D3 : Diploma Tiga D4 : Diploma Empat Dinkes : Dinas Kesehatan Dll : Dan Lain lain DPT : Difteri Pertusis Tetanus GAVI : Global Alliance for Vaccines and Immunization HB 0 : Hepatitis B 0 (nol) HSS : Health System Strengthening Kab. : Kabupaten Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan KIA : Kesehatan Ibu dan Anak KLB : Kejadian Luar Biasa Kt. : Kota LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MMD : Musyawarah Masyarakat Desa Monev : Monitoring dan Evaluasi MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Otsus : Otonomi Khusus P4K : Program Perencanaan dan Pencegahan Komplikasi PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi Pemkab : Pemerintah Kabupaten Pemkot : Pemerintah Kota Perda : Peraturan Daerah PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Polindes : Pondok Bersalin Desa PONED : Pelayanan Obstetri, Neonatologi, dan Emergensi Dasar Poskesdes : Pos Kesehatan Desa Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat Pustu : Puskesmas Pembantu RR : Reporting and Recording RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah S1 : Strata Satu S2 : Strata Dua SAM : Service Availabillity Mapping TT : Tetanus Toxoid UKBM : Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat VM : Village Mapping x

13 BAB I PENDAHULUAN A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN Provinsi Banten yang menjadi lokasi pada penelitian ini mempunyai luas wilayah 8.800,83 km 2, dengan jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun 2009 sebanyak jiwa. Banten terletak di bagian Barat Pulau Jawa. Sebelumnya, Banten masuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Di Provinsi Banten ada berbagai kelompok etnis. Sejak tahun 2000, Banten terpisah dari Jawa Barat dan berdiri sendiri sebagai Provinsi 30 Indonesia. Dengan lebar 8867,96 km 2, Banten memiliki empat kabupaten dan empat kota yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Secara geografis, Banten di batasi oleh Laut Jawa di sebelah Utara, Samudra Hindia di sebelah Selatan, Selat Sunda di sebelah Barat, DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat di sebelah Timur. Gambar 1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten Banten terdiri dari dataran tinggi (pegunungan), dataran rendah (lembah) dan rawa. Di daerah ini beberapa sungai mengalir dan berfungsi sebagai irigasi persawahan. Bahasa yang umum digunakan adalah Sunda Banten. Bahasa ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan bahasa Sunda lainnya, terutama dalam pengucapan. Bahasa lain yang populer adalah Banten Jawa yang dituturkan oleh penduduk Banten Utara. Daerah Banten memiliki sejarah latar belakang yang kuat. Hal ini memotivasi peneliti domestik dan asing banyak untuk meneliti reruntuhan artefak dari zaman pra-sejarah. Banten terkenal sebagai salah satu Kerajaan Islam besar selama abad ke-16. Banten memiliki banyak situs, gunung, sungai dengan berbagai 1

14 latar belakang sejarah dan keyakinan dari masyarakatnya. Mata pencaharian masyarakat umumnya dibidang pertanian persawahan. Selain itu, mereka juga memproduksi kopi, cengkeh, jengkol, pisang, durian dan makanan pokok lainnya. Gambar 2. Peta Wilayah Provinsi Banten B. LATAR BELAKANG Pembangunan kesehatan di Indonesia sudah mulai dirancang pada tahun 50-an, namun baru dilaksanakan secara sistematik mulai tahun 1968/1969 dengan disusunnya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) dengan mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam jangka waktu tiga dekade ( ), pembangunan kesehatan di Indonesia telah berhasil meningkatkan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar secara lebih merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keadaan gizi masyarakat dan memperpanjang harapan hidup rata-rata penduduk. Namun dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan kesehatan menghadapi tantangan yang cukup besar dalam mempertahankan laju peningkatan status kesehatan masyarakat. Indikasi ini terlihat dari melambatnya penurunan kematian ibu, kematian bayi dan meningkatnya tingkat kekurangan gizi pada balita. Dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah , permasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah disparitas status kesehatan, baik antar wilayah geografis, antar golongan pendapatan dan perkotaan-perdesaan, beban ganda penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, dan perilaku masyarakat yang kurang mendukung perilaku hidup bersih dan sehat serta kurangnya pemberdayaan masyarakat itu sendiri. 2

15 Permasalahan kesehatan lainnya adalah rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; terbatasnya jumlah dan distribusi yang tidak merata tenaga kesehatan; serta rendahnya status kesehatan penduduk miskin. Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Sasaran dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya Umur Harapan Hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun; 2. Menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dari 35 menjadi 26 per kelahiran hidup; 3. Menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) dari 307 menjadi 226 per kelahiran hidup; 4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 25,8 menjadi 20,0 %. Dampak pembangunan kesehatan di Indonesia dari waktu ke waktu sesungguhnya menunjukkan adanya perbaikan status kesehatan masyarakat. Namun, pencapaian tersebut disertai dengan semakin melebarnya disparitas status kesehatan serta masih kalah cepat dengan perbaikan status kesehatan di regional Asia Timur. Secara umum peningkatan Umur Harapan Hidup berjalan stabil dan mengarah pada tercapainya target Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah yaitu 70,2 tahun. Pada 1967, Angka Kematian Bayi per kelahiran hidup masih sangat tinggi yaitu 142 (Sensus Penduduk, 1971). Dalam waktu sekitar 25 tahun, angka ini menurun dengan cepat menjadi 46 pada Sejak itu, Angka Kematian Bayi menurun relatif lambat. Dalam waktu sekitar 5 tahun, Angka Kematian Bayi hanya menurun menjadi 35 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, ). Selajutnya, selama lima tahun berikutnya penurunan Angka Kematian Bayi semakin melambat, yaitu hanya menurun satu per kelahiran hidup menjadi 34 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007). Angka Kematian Ibu cenderung mengalami penurunan yang sangat lambat. Angka Kematian Ibu menurun dari 390 selama periode menjadi 334 selama periode dan akhirnya menjadi 307 selama periode (BPS dan OCR Macro, 2003). Laporan Sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007) menunjukkan penurunan Angka Kematian Ibu menjadi 248. Dengan kecenderungan seperti ini, selama jangka waktu 25 tahun (dalam hal ini selama periode waktu ), diperkirakan Angka Kematian Ibu akan mengalami penurunan sebesar 52 %. Secara umum status gizi anak balita membaik pada periode Dalam kurun waktu ini, kekurangan gizi menurun dari 37,5 % menjadi 24,7 %. Pada periode 2000 hingga 2005, terjadi peningkatan prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 28,0 % (2005). Pada periode ini kenaikan terutama disebabkan oleh meningkatkan prevalensi gizi buruk yang meningkat dari 6,3 % menjadi 8,8 % pada tahun Dengan angka ini, maka pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 5,7 juta anak balita yang mengalami kekurangan gizi dan 1,8 juta di antaranya mengalami gizi buruk. 3

16 Data kinerja pembangunan kesehatan di atas menunjukkan bahwa sejak 2004 secara umum status kesehatan mengalami peningkatan. Namun peningkatan yang lebih besar diperlukan agar sasaran Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah dapat tercapai. Perlu diperhatikan bahwa pencapaian target status kesehatan dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah bukanlah hanya ditentukan oleh sektor kesehatan semata. Tingkat kematian bayi, kematian ibu dan kekurangan gizi juga sangat ditentukan oleh ketersediaan dan akses prasarana umum seperti air bersih dan sanitasi lingkungan, ketersediaan bahan makanan dan bahan bakar, tingkat pendidikan orang tua, penghasilan keluarga, transportasi, serta iklim/musim. Dalam konteks regional Asia, status dan pelayanan kesehatan Indonesia masih tergolong relatif rendah. Ketertinggalan Indonesia misalnya dapat dilihat dari angka kematian bayi, kematian ibu serta berbagai indikator pelayanan kesehatan seperti cakupan imunisasi dan persalinan oleh tenaga kesehatan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara lain. Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia memberikan kontribusi yang sangat besar pada beban penyakit dan kematian baik di tingkat regional, maupun di tingkat dunia, seperti misalnya beban penyakit akibat Tuberkulosis, campak dan beberapa penyakit lain yang sebenarnya bisa dicegah dengan upaya imunisasi dan pencegahan lain. Tabel 1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, 2006 Persalinan Negara PDB/ UHH AKK AKB AKBA Imunisasi Imunisasi AKI Oleh kapita DPT Campak Nakes 1. Indonesia ,8 7,3 28,0 36, Kamboja ,0 10,4 68,0 87, ,8 3. Malaysia ,7 4,7 10,0 12, Vietnam ,7 6,0 16,0 19, Thailand ,9 7,2 18,0 21, t.a.d. 6. Filipina ,0 4,9 25,0 33, ,8 7. India ,5 7,6 56,0 64, Cina ,8 6,5 23,0 27, ,3 Regional Asia ,7 6,7 26,4 32,7 83,7 83,4 t.a.d. 86,9 Sumber: World Bank,

17 Depkes RI menetapkan visi Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat (Depkes RI, 2006). Orientasi visi Depkes RI untuk memandirikan masyarakat hidup sehat, salah satunya didasari atas isu strategis bahwa selama ini pembangunan kesehatan masih menempatkan masyarakat sebagai objek, belum sebagai subjek. Berbagai masalah kesehatan dewasa ini tidak perlu terjadi, bila kemandirian dan peran aktif masyarakat telah meningkat serta dapat dipertahankan di masa lalu (Depkes RI, 2006). Adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, turut menyebabkan menurunnya kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan. Krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah masyarakat miskin, dari 11,3% atau 22,4 juta penduduk pada tahun 1996, menjadi 24,2% atau 49,5 juta penduduk pada tahun 1998 (Depkes RI, 2003:p.1). Masyarakat miskin lebih rentan untuk terjangkit dan tertular penyakit. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan dan pemukiman yang buruk, pengetahuan dan perilaku hidup bersih dan sehat yang masih kurang, serta kesulitan terhadap akses pelayanan kesehatan. Dampak selanjutnya adalah meningkatnya kerentanan masyarakat miskin terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, seperti termasuk kesehatan (Depkes RI, 2008). Sebagai upaya menanggulangi dampak krisis tersebut, mulai tahun 1999 pemerintah menjalankan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakatnya. Kebijakan tersebut ditujukan terutama kepada cakupan pelayanan kesehatan dasar, seperti cakupan KIA maupun Vaksin dan Imunisasi. Diharapkan agar seluruh wilayah Indonesia dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik, cakupan imunisasi lengkap di Indonesia anak dibawah dua tahun hanya mencapai 46,2 %. Secara nasional, cakupan imunisasi campak dalam Riskesdas 2010 sebesar 74,5 %, menurun 6,1 % dibanding Riskesdas 2007 (81,6%). Cakupan imunisasi terendah di Provinsi Papua (47,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (96,4%). Terdapat 19 Provinsi cakupan imunisasi campak di bawah rata-rata nasional. Salah satunya adalah Provinsi Banten yang cakupan imunisasinya hanya mencapai 69,3%. Selain program imunisasi, program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia, program ini bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan, bayi, dan anak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan program KIA dan imunisasi yang ada di Provinsi Banten. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mencari jalan guna mengatasi masalah kesehatan masyarakat, khususnya imunisasi dan KIA. 5

18 C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari kegiatan ini adalah menilai dan mendapatkan gambaran dasar: (1) Kegiatan gerakan/mobilisasi masyarakat; (2) pengelolaan program KIA dan Imunisasi di Puskesmas terpilih; (3) ketersediaan sarana yang berkaitan dengan KIA dan imunisasi di 5 provinsi termasuk Provinsi Banten. 6

19 BAB II METODOLOGI PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan operasional studi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Studi kuantitatif dengan desain survei melalui pengumpulan data primer dan sekunder (data dan laporan kegiatan Puskesmas yang terkait, profil Kesehatan Kabupaten/ Kota serta data-data yang menunjang lainnya). 1. Metode Kuantitatif Metode kuantitatif digunakan untuk memperoleh informasi kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dengan menggunakan kuesioner dan untuk memperoleh informasi pemetaan pelayanan kesehatan atau Service Availability Mapping (SAM) dengan menggunakan instrumen survei. 2. Metode Kualitatif Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi secara mendalam melalui wawancara (indepth interview) dalam rangka mendukung data-data kuantitatif. B. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu bulan November sampai Desember 2011 di seluruh wilayah kerja Provinsi Banten. C. SAMPEL Sampel dalam penelitian ini di ambil untuk kuantitatif dan kualitatif. Berikut adalah penjelasan sampel kuantitatif dan kuantitatif. 1. Sampel Kuantitatif Sampel kuantitatif dalam penelitian ini adalah seluruh desa (village mapping), puskesmas utama (Service Availability Mapping Puskesmas) dan rumah sakit (Service Availability Mapping Hospital) di Provinsi Banten. Pengumpulannya dilakukan dengan wawancara ke seluruh desa perangkat desa (Kades atau Sekdes), puskesmas utama (Kepala puskesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi) dan rumah sakit (Dirut RS/Dir. Pelayanan, Unit/bagian Obgyn dan Anak dan Imunisasi) se-provinsi Banten. 7

20 2. Sampel Kualitatif Sampel kualitatif diambil di level desa, kecamatan dan kabupaten. Responden di level desa diambil dari perangkat desa (Kades atau Sekdes), Koordinator kader desa/ PKK, dan Bidan desa. Responden di level Puskesmas adalah Kepala puskesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi. Responden di level kabupaten adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Kesehatan dan Keluarga,dan Kepala bidang P2. Berikut adalah penjelasan kriteria inklusi sampel di level desa: 1. Mempunyai bidan desa 2. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan) 3. Ada desa siaga Kriteria inklusi di level Kecamatan/Puskesmas: 1. Puskesmas ibukota kecamatan 2. Mempunyai bidan desa 3. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan) 4. Ada desa siaga D. PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data diseluruh desa (village mapping) untuk assesment masyarakat dalam program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Enumerator. 1. Pengumpulan Data Kualitatif Di Desa Pengumpulan data kualitatif disalah satu desa pada kecamatan yang sama dan kabupaten yang sama dengan wawancara mendalam untuk assessment masyarakat dalam program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan (Korlap). Penentuan desa/kelurahan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kecamatan. 2. Pengumpulan Data Di Kecamatan Pengumpulan data kualitatif di kecamatan (Puskesmas) untuk kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan (Korlap). Penentuan kecamatan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kabupaten. 3. Pengumpulan Data Kualitatif di Dinkes Kabupaten Pengumpulan data kualitatif ditingkat kabupaten dalam hal kegiatan masyarakat dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan dengan Informan Kadinkes dan atau staf yang paling mengetahui data dan kondisi yang ada. 8

21 E. PENGOLAHAN DATA Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: - Coding data, pada tahap ini dilakukan pemberian kode pada setiap informasi yang telah terkumpul pada setiap pertanyaan kuesioner pada kotak yang tersedia disebelah kanan daftar pertanyaan. - Editing data, tahap ini dilakukan kegiatan mengedit/menyunting data yang telah terkumpul, misalnya kelengkapan pengisian jawaban dari kuesioner. - Entry data, memasukkan seluruh data ke dalam perangkat lunak yang telah diplilih. - Cleaning data, sebelum dilakukan analisis data maka dilakukan cleaning/ pembersihan data terlebih dahulu, untuk mengkoreksi kesalahan saat dilakukan entry. F. TAHAPAN ANALISA DATA Analisa data digunakan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan dilakukan interpretasi. Adapun tahapan dalam analisis menggunakan ukuran frekuensi, bertujuan untuk menjelaskan berapa kerap suatu peristiwa terjadi di populasi. 9

22 10

23 BAB III HASIL PENELITIAN A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT Data atau informasi mengenai kegiatan mobilisasi pelayanan kesehatan masyarakat di sini mencakup penjelasan tentang Pelaku Pelayanan Kesehatan meliputi Bidan Desa, Desa Siaga, Pemberi Layanan KIA, Kemitraan Bidan dan Dukun, dan Karakteristik kader. Selanjutnya mengenai Dukungan Materil dan Non-materil Pelayanan Kesehatan meliputi Dukungan Pelayanan KIA, Dukungan Pelayanan Kesehatan di Polindes, Dukungan Transportasi Rujukan, Dukungan Pelayanan Kesehatan di Posyandu, dan Dukungan Aktivitas Desa Siaga. 1. Pelaku Pelayanan Kesehatan Peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak dibutuhkan oleh ibu khususnya saat dan segera setelah persalinan. Selain meningkatkan pelayanan kesehatan, perubahan perilaku masyarakat yang paling rentan terhadap kematian ibu juga harus dilakukan, termasuk peningkatan pengetahuan keluarga tentang status kesehatan dan gizi, serta pemberitahuan tentang jangkauan dan jenis layanan yang dapat mereka gunakan. Pemerintah juga perlu meningkatkan sistem pemantauan untuk mencapai MDG 5. Peningkatan sistem pengumpulan data, terutama aspek manajemen dan aliran informasi, data kesehatan dasar khususnya infrastruktur, dan koordinasi antar instansi terkait dengan masyarakat donor juga perlu ditingkatkan untuk menghindari tumpang tindih dan kegiatan yang tidak perlu, sehingga peningkatan kesehatan ibu dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Salah satu aktor dalam pelayanan kesehatan yang utama di desa adalah bidan desa. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997), bidan di desa adalah bidan yang ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya, yang meliputi 1 sampai 2 desa. Fungsi Bidan di desa adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan KIA termasuk KB, di wilayah desa tempat tugasnya. Dalam menjalankan fungsinya, bidan desa diwajibkan tinggal di desa tempat tugasnya dan melakukan pelayanan secara aktif sehingga tidak selalu menetap atau menunggu di suatu tempat pelayanan namun juga melakukan kegiatan atau pelayanan keliling dan kunjungan rumah sesuai dengan kebutuhan. Untuk menunjang seluruh upaya pembangunan kesehatan diperlukan tenaga yang mempunyai sikap nasional, profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berilmu dan terampil. Kemampuan serta persebarannya dapat mendukung penyelenggaraan pembangunan 11

24 kesehatan disetiap tingkatan khususnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Di Provinsi Banten dari jumlah 1532 desa, tercatat 1414 (92,3%) memiliki bidan desa, dan bidan yang menetap didesa tersebut sebanyak 80,8 % atau 1143 orang. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tidak 100 % desa yang terdapat di Provinsi Banten memiliki bidan desa, sehingga masih ada sekitar 118 desa yang tidak memiliki tenaga yang kompeten didalam memberikan pelayanan/pertolongan persalinan. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Gambar 3. Keberadaan Bidan Desa Berdasarkan data yang ada, berkisar 43,8 % Bidan desa yang terdapat di Provinsi Banten berstatus PNS. Sedangkan untuk tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan D3 yaitu sebanyak 85,8% atau 1306 orang, sehingga bisa dikatakan dari segi pendidikan formal sebagian besar sudah cukup memadai. Meskipun pendidikan tetap harus ditingkatkan sebagai upaya peningkatan kompetensi didalam memberikan pelayanan/pertolongan persalinan. Peran ibu sangat besar dalam pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang dialami seorang ibu yang sedang hamil dapat mempengaruhi kesehatan janin dalam kandungannya hingga kelahiran dan masa pertumbuhan anaknya. Resiko kematian ibu paling banyak terjadi pada periode kelahiran/persalinan. Periode persalinan merupakan periode yang berkontribusi besar terhadap angka kematian ibu di Indonesia, kematian saat bersalin dan 1 minggu pertama diperkirakan 60% dari seluruh kematian ibu (lancet,2006). Pertolongan persalinan aman dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Berdasarkan survey sosial ekonomi nasional (susenas)2009, sebesar 77,34% kelahiran pada balita ditolong oleh tenaga kesehatan, Presentase penolong kelahiran tertinggi oleh bidan 61,24%, dukun 21,29%, dan dokter 15,28%. 12

25 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Dari Grafik di atas dapat terlihat bahwa Kota Tangerang memiliki persentase terendah jumlah bidan desa (9,60). Sedangkan secara rata rata Provinsi jumlah proporsinya relative baik (92,3%). Dengan angka ini sebetulnya Banten cukup baik dalam hal keberadaan bidan desa, namun jika dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), jumlah ini masih kurang. Menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota (Kepmenkes, 2008) seharusnya setiap desa memiliki minimal satu bidan desa. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 2. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

26 Dalam meningkatkan kelangsungan hidup ibu, terdapat tiga komponen yang menjadi sasaran, yaitu peningkatan penggunaan tenaga kesehatan terampil di fasilitas, peningkatan kualitas pelayanan, dan mengimplementasi rujukan yang tepat (dan efektif). Komponen tersebut saling terkait satu sama lain, dimana membuat ibu melahirkan dengan persalinan tenaga kesehatan terampil di fasilitas harus disertai dengan rujukan yang tepat (dan efektif), ketika rujukan diperlukan. Dalam kaitannya dengan kebijakan penempatan bidan desa, menempatkan bidan desa juga harus disertai dengan kompetensi bidan yang cukup. Sehingga, pemempatan bidan di setiap desa yang belum memiliki bidan desa sesuai dengan harapan agar pelayanan kesehatan yang merata dapat terwujud. Dari data yang ada meskipun proporsi rata rata penempatan bidan desa sudah tinggi, namun persoalan kematian ibu di Banten dari waktu kewaktu belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten Grafik 3. Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga 2009 Persoalan lain yang sering muncul adalah masalah bidan menetap di desa. Bidan desa yang tidak menetap di wilayah kerjanya diharapkan dapat tinggal menetap di wilayah kerjanya agar dapat mendeteksi secara dini apabila ada masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Tentunya hal ini harus didukung oleh ketersediaan fasilitas yang memadai. 14

27 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 4. Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 5. Pendidikan Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

28 Berdasarkan Grafik diatas sebagian besar bidan desa yang berada di wilayah kabupaten/ kota di Provinsi Banten berpendidikan D3. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Status kepegawaian bidan desa yang berada di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten sebagian besar berstatus PNS. 2. KEMITRAAN BIDAN DAN DUKUN Masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu sebanyak 208/ kelahiran hidup pada tahun 2007 melatarbelakangi beragamnya program pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu diantaranya ialah kemitraan bidan dan dukun. Kemitraan ini didasari pada kenyataan bahwa masih banyaknya masyarakat yang memilih dukun paraji sebagai penolong pertama persalinan disebabkan potensi yang dimilikinya seperti kedekatannya dengan masyarakat; memiliki ilmu praktek persalinan yang menghargai nilai-nilai sosial dan budaya; pelayanan yang lebih lengkap (termasuk mengurut dan mencuci); kedudukannya sebagai orang yang di-tua-kan sehingga memiliki pengaruh yang besar dan sangat dipercaya di masyarakat; dan dianggap lebih sabar dan telaten dalam pelayanan persalinan. Potensi ini melahirkan persepsi rasa nyaman dan aman di kalangan ibu hamil dan masyarakat. Potensi ini juga yang tampaknya memberikan kewenangan pada dukun paraji sebagai pihak yang memutuskan apakah seorang ibu perlu dirujuk ke tenaga kesehatan atau tidak. Di lain pihak, tidak bisa dipungkiri, ada banyak kematian ibu dan bayi disebabkan oleh dukun paraji, termasuk didalamnya karena terlambat mengambil keputusan dan merujuk ke fasilitas kesehatan. 16

29 Di beberapa daerah seperti di Kabupaten Takalar, Subang dan Trenggalek keberhasilan pelaksanaan kemitraan bidan-dukun sudah terlihat signifikasinya dalam meningkatkan persalinan dengan tenaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu. Bahkan di Kabupaten Takalar dalam waktu 6 bulan semenjak diberlakukannya kemitraan bidan dan dukun pada pertengahan tahun 2007 di 2 kecamatan percontohan, cakupan persalinan dengan tenaga kesehatan sudah mencapai 100% dan tidak ada kejadian kematian ibu sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama dengan dukun paraji memegang peranan yang sangat penting dalam penurunan angka kematian ibu secara drastis dan dalam waktu singkat. Definisi Kemitraan Bidan dan Dukun sendiri adalah suatu bentuk kerjasama bidan dan dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi, dengan menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dan bayi pada masa nifas, dengan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara bidan dan dukun serta melibatkan seluruh unsur/elemen masyarakat yang ada. Kerjasama antara dukun bayi dengan bidan telah ada di beberapa tempat di Banten. Ada pula peraturan yang mendukung, namun kurang berjalan dengan baik. Seperti yang dikatakan oleh informan (bidan desa) berikut ini, Surat tertulis, dari puskesmas ada...ada berbentuk,...ada tanda tangan. Dengan kemitraan tersebut dukun mendapatkan insentif dari bidan, Ada... kalau misalnya di dampingi sama dukun, kita bidan ngasih fee 100 ribu Jika melihat data dari Dinkes Provinsi Banten, tidak terlihat penurunan jumlah absolut dukun bayi di Provinsi Banten, bahkan terlihat trend peningkatan jumlah dukun dari waktu ke waktu. Tabel di bawah ini memperlihatkan kondisi jumlah dukun di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga tahun Sumber: Dinkes Provinsi Banten 2010 Grafik 7. Jumlah Dukun di Provinsi Banten tahun

30 Berdasarkan pengumpulan data di lapangan, dukun bayi yang terdapat di Provinsi Banten sebanyak 88,3% atau 1343 orang, dan dukun bayi tersebut sudah melakukan kemitraan dengan bidan baik itu secara formal ataupun tidak formal. Tabel 2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi No Kemitraan Jumlah Persentase 1 Jumlah desa yang memiliki kemitraan bidan dan dukun bayi ,3% 2 Bentuk kemitraan bidan dan dukun bayi : a. Formal ,3% b. Tidak formal ,7% 3 Bentuk kemitraan formal yang sudah didukung dengan ,9% peraturan 4 Jumlah dukun bayi yang mendapat insentif dari bidan yang telah bermitra ,2% Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Jumlah dukun bayi yang sudah melakukan kemitraan secara formal dan didukung oleh peraturan sebanyak 62,9% dan yang melakukan kemitraan secara tidak formal sebanyak 15,7% sedangkan sisanya melakukan kemitraan secara formal hanya saja belum didukung oleh peraturan. Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah desa di Banten yang memiliki kemitraan bidan desa dengan dukun sudah mencapai 88,3%, berarti masih ada sekitar 11,7% desa/kelurahan yang belum memiliki kemitraan bidan dan dukun. Hal ini bisa jadi karena masih tingginya tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggunakan dukun. Tabel 3. Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi No Dukun Bayi Minimum Maksimum Mean 1 Jumlah Dukun bayi per desa/kelurahan ,51 2 Besaran insentif yang diterima dukun bayi Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Jika dilihat dari nilai rata rata, maka di setiap desa di Provinsi Banten terdapat paling kurang 3 dukun di setiap desanya. Angka ini cukup menggambarkan bahwa bidan di desa paling tidak dikelilingi 3 orang dukun. Dari insentif yang diberikan ke dukun, rata rata insentif yang di terima adalah Rp ,- dengan median Rp ,-. 18

31 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan Dukun Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Jika dilihat dari Grafik di atas, terlihat bahwa mayoritas kabupaten/kota sudah melakukan kemitraan dan sebagian besar adalah kemitraan dukun yang formal. Hanya Kota Tangerang dan Kota Cilegon yang jumlah kemitraannya dibawah 60%. Sekilas terlihat bahwa kemitraan sudah berjalan dengan baik. Namun jika ditelusuri lebih jauh, kemitraan bidan dukun yang ada yang ada yang ada tidak sepenuhnya berjalan. Kemitraan hanya akan berjalan dengan optimal jika menggunakan prinsip prinsip keterbukaan, kesetaraan dan lain sebagainya. Harus di bangun sebuah pemahaman akan peran sosial dan hubungan yang saling menguntungkan antara bidan dan dukun. Pengaturan, jasa dukun dihargai sebesar lima puluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah per kelahiran dari pihak Puskesmas. Merasakan kesetaraan peran dan manfaat ekonomi yang layak, para dukun mulai bersemangat mengidentifikasi ibu hamil, membawa mereka ke bidan, dan mengajak ibu hamil menjalan insentif dan penghargaan terhadap dukun adalah kunci yang mesti diaplikasikann. Bidan pun diharapkan dapat mengambil kepercayaan dari masyarakat dan pengguna kesehatan. Tanpa hal tersebut di atas, kemitraan yang ada hanya berjalan semu. 19

32 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 9. Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan Dukun Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Grafik di atas menunjukkan bahwa bentuk kemitraan formal di Banten yang didukung dengan adanya peraturan sebanyak 74,6%. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 10. Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada Dukun Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Grafik 10 menunjukkan bahwa di Banten sekitar 87,2% dukun yang memperoleh insentif dari bidan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 12,8% dukun yang bermitra tidak mendapatkan intensif dari bidan. Kondisi ini disebabkan karena setelah persalinan biasanya pasien/ ibu bersalin langsung memberikan uang/insetif kepada dukun jadi bidan merasa tidak perlu lagi memberikan insetif. 20

33 Proporsi pemberian insentif di wilayah Kabupaten umumnya lebih tinggi daripada yang ada di Kota. Dibeberapa desa insentif kemitraan bidan dan dukun desanya tidak hanya dalam bentuk uang saja tapi juga dalam bentuk jasa pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pelayanan khusus kepada dukun jika ada keperluan di sarana kesehatan, seperti berobat gratis, mendapatkan prioritas dan fasilitas khusus. 3. Desa Siaga Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri (DEPKES 2007). Dalam bidang kesehatan ibu dan anak (KIA) pemberdayaan masyarakat ini diharapkan mampu membangun sebuah sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat terkait kehamilan dan persalinan. Tabel 4. Jumlah Desa Siaga No Variabel Jumlah Persentase 1 Jumlah Desa Siaga ,4% Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Di wilayah Provinsi Banten terdapat 1092 (71,4%) desa siaga, sehingga masih ada 25,6% desa yang belum terbentuk menjadi desa siaga. Hal ini perlu didorong mengingat desa siaga sebagai komunitas kesehatan yang berbasis masyarakat akan mampu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 11. Desa/Kelurahan Siaga Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten,

34 Salah satu kriteria dari desa siaga adalah adanya pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa adalah pondok persalinan desa (Polindes), dan pos kesehatan desa (Poskesdes). Adapun kriteria lain desa siaga adalah adanya forum masyarakat desa, adanya pelayanan kesehatan dasar, adanya UKBM Mandiri yang dibutuhkan masyarakat, dibina puskesmas PONED, memiliki sistem surveilans (faktor risiko dan penyakit) berbasis masyarakat, memiliki sistem kewaspadaan dan kegawatdaruratan bencana berbasis masyarakat, memiliki sistem pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat, memiliki lingkungan yang sehat, dan masyarakatnya berperilaku hidup bersih dan sehat. Tabel 5. Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA No Variabel Jumlah Persentase 1 Jumlah Desa yang telah memiliki poskesdes ,0% 2 Jumlah Desa yang masih mempunyai polindes ,3% 4 Jumlah poskesdes yang berfungsi sebagai polindes ,5% 5 Jumlah Desa yang memiliki kelompok donor darah ,7% 6 Jumlah Desa yang memilki kelompok donor darah yang ,6% sudah berfungsi 7 Jumlah desa yang melakukan koordinasi dan musyawarah terhadap hasil kegiatan pemantauan KIA ,1% 8 Jumlah desa yang menggunakan hasil kegiatan pemantauan KIA untuk pengambilan keputusan di ,6% tingkat desa Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 11 diatas menunjukkan bahwa diantara 8 Kabupaten/Kota di Banten, Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang dan Kota Cilegon memiliki proporsi desa siaga diatas angka Provinsi Banten yaitu 71,4%. Sedangkan di Kab. Tangerang, Kota Tangerang, Kota Serang, dan Kota Tangerang Selatan proporsi desa siaganya lebih rendah dari proporsi desa siaga Provinsi Banten. Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan tahun 2008 menargetkan pada tahun 2015 jumlah desa siaga aktif mencapai 80%. a) Poskesdes dan Polindes Menurut konsep yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Poskesdes adalah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa. Hal ini menjadi syarat dalam pembentukan desa siaga. Sebagai salah satu kriteria desa siaga, Pos kesehatan desa (Poskesdes) memiliki fungsi pelayanan kesehatan dasar ditingkat masyarakat desa. Kepala desa/lurah:...poskesdes itu manfaatnya kalo ada masyarakat yang sakit sedikit apa segala berobat sudah kumpulnya itu seminggu 3 kali, seminggu 3 kali itu standby 22

35 bidannya kader-kader itu kumpul disitu jadi masyarakat kumpul disitu menanyakan ato segala macam. Poskesdes sudah ada (Transkrip wawancara). Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 12. Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 Sedangkan Polindes adalah bangunan yang dibangun dengan bantuan dana pemerintah dan partisipasi masyarakat desa untuk tempat pertolongan persalinan dan pemondokan ibu bersalin, sekaligus tempat tinggal Bidan di desa. Di samping pertolongan persalinan juga dilakukan pelayanan antenatal dan pelayanan kesehatan lain sesuai kebutuhan masyarakat dan kompetensi teknis bidan tersebut. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 13. Jumlah Polindes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten,

36 b) Kelompok Donor Darah Dalam konsep Desa Siaga, desa diharapkan memiliki kelompok pendonor darah sebagai penyedia darah bagi PMI yang dapat digunakan oleh ibu bersalin yang memerlukan darah. Dari data dilapangan, Kota Serang memiliki proporsi kelompok donor darah tertinggi. Sedangkan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah kota/ kabupaten dengan proporsi kelompok donor darah yang paling rendah. Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan merupakan kabupaten/kota dengan proporsi desa yang kelompok donor darah di bawah proporsi Provinsi Banten yang angkanya 34,7%. Demikian pula jika dilihat dari proporsi kelompok donor darah yang berfungsi, daerah daerah tersebut angkanya di bawah proporsi Provinsi Banten yang berjumlah 43,6%. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 14. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah Berfungsi Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Dari data diatas, terlihat bahwa kelompok donor darah lebih banyak di wilayah rural seperti Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Berbeda dengan wilayah perkotaan, kelompok donor ini justru tidak terlalu banyak. Hal ini bisa jadi membuktikan bahwa masyarakat mencoba mengatasi kesulitannya sendiri dengan melakukan pemberdayaan dari diri sendiri. Pada data ini, angka Provinsi Banten sendiri hanya sejumlah 34,7%. c) Pendataan Ibu Hamil, Bayi dan Balita Data adalah hal yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak. Pendataan ibu hamil, bayi maupun balita dimaksudkan untuk mempermudah mengontrol faktor-fakktor resiko yang mungkin bisa terjadi, sehingga bila kasus yang beresiko petugas kesehatan cepat bergerak. 24

37 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 15. Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 16. Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten,

38 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 17. Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Banyak kabupaten memiliki angka pendataan bumil, bayi, dan balita oleh kader didesa yang sudah mencapai 100%. Di Banten pendataan bumil mencapai 98,7%. Angka ini cukup baik dan diharapkan kedepannya, pendataan tetap dapat dilakukan sehinggamencapai angka optimal. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 18. Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan ke Puskesmas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Dari Grafik di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang adalah kabupaten yang proporsi pelaporan surveilans KIAnya di bawah angka Provinsi Banten (95,7%). 26

39 d) Ambulans Desa Berdasarkan Grafik di bawah ini bahwa kepemilikan ambulans desa sangat bervariasi antar kabupaten kota. Terlihat bahwa Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak adalah wilayah yang memiliki proporsi ambulans desa terbanyak. Hal sebaliknya, proporsi ambulans desa justru rendah di wilayah perkotaan, kecuali Kabupaten Tangerang. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat di wilayah selatan (remote) umumnya lebih berperan dalam mencari solusi yang terkait dengan persoalan kesehatannya. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 19. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Grafik berikut ini memperlihatkan proporsi ambulan desa yang masih berfungsi di semua kabupaten/kota di Provinsi Banten. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 20. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

40 Hal yang sama dengan Grafik sebelumnya memperlihatkan bahwa ambulans desa yang berfungsi lebih banyak di wilayah kabupaten (Pandeglang, Lebak, dan Serang). Hal sebaliknya, proporsi ambulans desa berfungsi rendah di wilayah perkotaan. Kondisi masyarakat di wilayah sulit memaksa penggunaan ambulans desa lebih berfungsi. 4. Posyandu Pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada msayarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar (Depkes 2006). Kegiatan Posyandu dilapangan meliputi beberapa kegiatan seperti imunisasi, penimbangan balita, penyuluhan, dan yang lainnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh kader Posyandu. Kepala desa/lurah: Posyandu sepanjang kegiatan belum lama ini, ada kegiatan imunisasi campak dan polio, penimbangan balita, ibu hamil, pemberian gizi, tapi rata-rata, posyandu itu perpanjangan tangan dari puskesmas. Jadi nanti ada bidan pembina yang turun langsung ke posyandu, ada kegiatan namanya BKB (bina keluarga balita), pendidikan anak usia dini, itu sudah berjalan sejak 2006 sejak saya kemari, sudah tahun lebih itu, kalau penyuluhan yang keterkaitan gizi balita dengan ada asi eksklusif ya, kemudian ada lagi KDRT ya? Juga diberikan sosialisasi, reproduksi, disini juga ada digalakkan tentang DBD. Keterkaitan bagaimana kita bisa meminimalisir sedapat mungkin demam berdarah, bahkan khusus di kota tangerang kita punya yang namanya jumantik, itu mewujud agar setiap RT peduli terhadap sarang-sarang nyamuk. (Transkrip wawancara) Kader: Selain imunisasi juga ada penimbangan, penyuluhan, PMT, itu tiap bulan rutin, kita punya donatur dari dokter gigi, dulu kan jadi pembina kelurahan karena skrg di tugaskan ke dinas jadi kita dapat PMT, pembagiannya waktu lokmin disini. (Transkrip wawancara) Permasalahan Posyandu yang terdapat di Provinsi Banten khususnya di wilayah perkotaan adalah kurangnya tingkat kehadiran ibu dan anak pada saat kegiatan Posyandu. Seperti yang diungkapkan oleh informan pada saat wawancara. Petugas Puskesmas: Ya kurangnya cakupan..kalau saya ya. Kalau sudah ditaksir segini, ternyata didesa kok lebih susah. Apalagi kalau dulu desa yang terbelakang gitu ya. Kalau sekarang masalahnya bukan ini, malah kita..rumahnya. Rumah elit tuh kita mau masuk susah. Itu caranya gimana walaupun ada posyandu tapi kok ga datang. Padahal posyandunya sudah bagus-bagus, tapi kok yang datang juga sedikit. (Transkrip wawancara) Ada beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya kehadiran pada saat kegiatan Posyandu, untuk daerah perkotaan salah satunya adalah faktor kemampuan keluarga untuk melakukan imunisasi kepada dokter swasta. Sehingga mengakibatkan mereka enggan datang pada saat kegiatan posyandu. 28

41 Petugas Puskesmas: Karena sudah ke dokter, mungkin gengsi ya ke posyandu gitu kali ya. Kalau menurut saya sih, gengsi ke posyandu, mendingan ke dokter. Padahal kan ke dokter kan mahal. Kadang-kadang malah ada yang kaya gitu, dikira murahanlah, inilah (Transkrip wawancara). Persoalan Posyandu lainnya adalah masih banyaknya Posyandu yang tidak memiliki tempat pelayanan yang layak, sehingga kegiatan diselenggarakan dirumah penduduk. Kepala desa/lurah: Posyandu ini kan sementara di kelurahan ciwedus itu masih menumpang di rumah warga memang ada sebagian yang sudah tetap dibangun oleh swadaya masyarakat jadi kita minta bantu ke pemerintah cilegon pada tahun 2009 untuk alokasi di (Transkrip wawancara) Kepala desa/lurah: Kita punya posyandu 9 buah, 2 udah pemerintah (terbangun dengan dana APBD), 7 masih ke RW, nah yang bergerak di posyandu itu para PKK. (Transkrip wawancara) Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang kepala desa/lurah terlihat bahwa masih banyaknya kegiatan Posyandu yang dilakukan di rumah warga, ini artinya sebagian besar Posyandu belum memiliki tempat pelayanan yang layak. Dibawah ini tabel mengenai Pos pelayanan terpadu (Posyandu) diwilayah Provinsi Banten. Tabel 6. Posyandu di Wilayah Provinsi Banten No Variabel Posyandu Minimum Maksimum Mean Median 1 Jumlah posyandu per desa , Jumlah posyandu aktif per desa , Rata-rata jumlah kader per posyandu , Rata-rata jumlah kader aktif per posyandu , Jumlah kader yang sudah dilatih program KIA per posyandu ,4 2 6 Jumlah posyandu a. Pratama ,02 0 b. Madya ,04 3 c. Purnama ,16 0 d. Mandiri , Jumlah ibu hamil per desa , Jumlah bayi (< 1 tahun) yang ada di desa , Jumlah anak balita (1 - < 5 tahun) yang ada di Desa ini , Responden yang menyatakan pernah merujuk bayi/balita ke puskesmas978 63,9% Sumber : Survey GAVI HSS,

42 5. Pembiayaan Dalam Mobilisasi Masyarakat a) Musrenbang Desa Melalui Musrenbang Desa diharapkan agar masyarakat memiliki kemampuan dalam menemukan permasalahan yang ada, kemudian merencanakan dan melakukan pemecahannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Penekanan ini sangat jelas dalam program yang canangkan oleh Departemen Kesehatan. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 21. Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan variabel pembahasan KIA dalam musrenbang desa dan penggunaan hasil Musrenbang dalam keputusan desa terlihat bahwa Kab. Lebak, Kab. Pandeglang dan Kota Serang umumnya rendah dan berada dibawah proporsi Provinsi Banten. Hal yang menarik terlihat di Kota Cilegon, dimana pembahasan KIA dalam Musrenbang desa proporsinya 93% namun hasil pembahasan KIA digunakan dalam keputusan desa hanya sebesar 67,4%. Hasil pemantauan KIA di Banten relatif belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh seluruh perangkat desa dalam pengambilan keputusan ataupun kebijakan di tingkat desa. Dari data Provinsi Banten, pembahasan KIA di musrenbang sebanyak 82,1%, sedangkan penggunaan hasil pembahasan KIA sebagai keputusan desa hanya sejumlah 73,6%. Diskusi dalam musrembang lebih didominasi oleh diskusi hal lain seperti pembangunan fisik, dan infrastuktur lainnya. Pelaksanaan musrenbang desa juga tidak akan berjalan secara maksimal jika pemerintahan desa juga tidak terlalu berperan aktif membantu masyarakatnya. 30

43 Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 22. Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Grafik di atas menunjukkan bahwa proporsi tertinggi desa yang membahas anggaran KIA dalam musrenbang desa adalah Kota Tangerang Selatan dan yang terendah adalah Kota Serang dan Kabupaten Lebak. Jumlah proporsi dilevel proporsi sendiri sebanyak 49,7%. Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 23. Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

44 Grafik di atas menunjukkan bahwa di Kabupaten Lebak hanya 13,8% desa yang memiliki anggaran KIA. Sedangkan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah wilayah dengan proporsi desa tertinggi. Proporsi di level Provinsi Banten sejumlah 31,75. Angka ini terbilang rendah mengingat angkanya yang ada dibawah 50%. Variasi antar kabupaten kota juga sangat tinggi. b) Operasional Posyandu dan rujukan Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Grafik 24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Grafik di atas menunjukkan bahwa posyandu di Provinsi Banten hanya 42,6% yang memiliki dana operasional. Kota Serang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang angkanya masing masing 9,1%, 24,4% dan 35%. Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah dua wilayah yang memiliki proporsi tertinggi dalam hal posyandu yang memiliki dana operasional. Anggaran kegiatan kesehatan ibu dan anak (KIA) ditingkat desa sebagian besar menggunakan dana APBD (62,9%), yang diajukan setelah melalui proses musrenbang desa lalu kecamatan dan terakhir musrenbang kota/kabupaten. Bidan desa: tapi memang kan..waktu itukan kita pernah kita musrenbang, tapi musrenbangnya bukan desa siaga sih. Tapi biasanya eee...apa...ada dana untuk kegiatan di posyandu, ee..apa namanya...kegiatan untuk bikin gedung posyandu juga Ada..kita minta gitukan.. untuk anggaran ke situ..gitu kan.. 32

45 Kepala Desa/Lurah: Kalo kita disini itu Musrenbang kalo kita kan musyawarah pembangunan kelurahan jadi kita kumpulkan RT, RW, tokoh masyarakat, tokoh agama termasuk ketua pemuda dan karang taruna itu kita kumpulkan kita membicarakan apa kendala atau masalah yang ada di kelurahan kemudian kedepan untuk kemajuan kelurahan apa aja, contoh kalo untuk bidang kesehatan itu kita minta seperti foging karena disini kan banyak DBD kita ajukan disitu foging per triwulan itu salah satunya kemudian untuk fisiknya kita banyak.. (Transkrip wawancara) Penggunaan dana APBD ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang pada dasarnya merupakan pemberian wewenang yang lebih besar pada suatu daerah dalam pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tersebut. Sayangnya, saat ini perhatian pemerintah daerah terhadap persoalan kesehatan ibu dan anak (KIA) atau kesehatan pada umumnya masih kecil. Anggaran APBD cenderung lebih banyak digunakan untuk administrasi dan pembangunan fisik, sementara program-program kesehatan pada umumnya dipandang sebagai program nonfisik yang tidak menarik perhatian pemerintah daerah. Sedangkan Pendanaan untuk kegiatan Posyandu berasal dari dana APBD, selain dana APBD ada juga dana bantuan dari pihak swasta/perusahaan dalam kerangka coorporate social responsibility (CSR), dana ini merupakan bentuk pertanggung jawaban sosial perusahaan terhadap masyarakat dimana perusahaan tersebut beroperasi. Potensi dana CSR ini merupakan salah satu aset penting didalam membantu keterbatasan pemerintah daerah didalam mendanai pelayanan kesehatan. Sehingga tidak ada pungutan biaya pelayanan kesehatan bagi bayi/ balita. Pewawancara: Kalau yang posyandu itu jadi dari APBD ya? Petugas Puskesmas: Dari APBD. (Transkrip wawancara) Lurah: Sejauh ini, tidak dipungut, bahkan setiap pemeriksaan mendapatkan PMT, bahkan kita dapat dari kemitraan perusahaan, mereka bisa bantu biskuit buat balita, telur dan kacang hijau, diolah oleh para kader, bantuan rutin dari perusahaan yang peduli. (Transkrip wawancara) Kalau pun terdapat pungutan lebih bersifat sukarela, yang dananya digunakan untuk operasional kader dan bidan dilapangan. Hal ini dikatakan salah seorang kader yang menjadi informan. Kader: Jadi mungkin bu, mengenai posyandu kita lanjutkan jadi begini secara resmi diwajibkan biaya memang tidak ada,, Cuma kegiatan posyandu itu artinya supaya berjalan sehingga kader itu semacam kensceng lah, tetapi tidak diwajibkan atau tidak dipaksa misalnya harus Rp atau harus Rp tidak begitu, sehingga berapa aja si ibu itu seikhlasnya untuk memberi ke posyandu. Apalagi yang jamkesmas bu, itu 100% kami melarang untuk memungut.. Jadi ke kader itu beberapa kali sudah diumumkan baik dipertemuan kader kan kami melaksanakan pertemuan kader bu, setiap 1 bulan sekali di minggu kedua setiap hari 33

46 rabu, Itu dihimbau semacau himbauan baik juga dibahas dalam pertemuan lintas program, pelayanan yang mempunyai atau keluarga jamkesmas pelayanan dilarang menarik, baik di posyandu di pusling di pustu, di puskesmas termasuk persalinan sehingga pelayanan di posyandu sudah begitu tetapi bagi yang tidak memiliki jamkesma, sifatnya menyumbang saja ke posyandu kan ada kencleng seikhlasnya, ada yang ngasih sebesar 500 atau yang ngasih 1000 nah uangnya kemana? Ya.. Disimpan di posyandu ya.. Jadi begitu bu kami hanya seikhlasnya saja. (transkrip wawancara) Kader: Jadi begitu aja, keuangannya untuk apa bu, ya itu di situ..di.posyandu saja ada bendahara kader dicatet, kadang kadang mungkin saya mungkin bukan membela teman.teman bidan desa kadang kadang si bidan desanya dengan loyal u. teman2 posyandu tiu ee kader itu mengeluarkan sendiri ini bu kader ini untuk baso. Ya mungkin walaupun tidak besar (bercanda membahas bidan yang memberikan dana untuk kader membeli baso) Karena memang betul betul darimana kader itu, (oke.. Gpp bu). Jadi untuk pendanaan di posyandu, kami tidak sengaja menarik, harus sekian tidak termasuk imunisasi atau ANC Tetapi hanya itu saja, untuk operasional, itupun ke kader semua itu nantinya malahan tetapi terkadang si bidan desanya yang memberi untuk beli baso setiap posyandu itu. Tapi mudah2an rejekinya lebih dari yang dikasih (hehehe ) amiin itu saja yang saya tahu begitu (Transkrip wawancara). Apabila kader memberikan rujukan ke puskesmas, itu tidak dikenakan biaya. Untuk transport kader itu sendiri tergantung dari kesadaran pasien yang meminta rujukan. Akan tetapi biasanya nanti kader diganti dari jamkesmas, karena di jamkesmas ada dana rujukan. Kader: Nah kebetulan setau saya tidak. Kebanyakan kalo dirujuk rujuk saja, ya paling tidak mungkin ya..mereka hanya untuk biaya ongkosnya mereka saja ke sini... (Transkrip wawancara) Kader: Ya tidak mengikat tidak, kesadaran dari pengunjung aja, iya begitu, Jadi kalo merujuk minta tolong kader, (Transkrip wawancara) Kader: Tapi bu biasanya begini kalo jamkesmas kan ada dana rujukan jadi nanti digantinya dari situ si kadernya, apalagi yang punya jamkesmas, tidak sama sekali.. (Transkrip wawancara) B. ISU MANAGEMEN PUSKESMAS Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang berada di wilayah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan kesehatan. Pembangunan puskesmas di tiap kecamatan memiliki peran yang sangat penting dalam memelihara kesehatan masyarakat. Organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pembangunan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu pada masyarakat di suatu wilayah kerja tertentu dalam bentuk usaha kesehatan pokok. 34

47 1. SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) a) Pelatihan Bidan Program pelatihan bidan desa pernah berubah beberapa kali dalam hal materi dan metodenya. Semuanya dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan keterampilan bagi bidan sehingga mempunya kompetensi yang cukup. Membimbing dan melaksanakan gerakan pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan, Membimbing dan melaksanakan pelayanan kegawat daruratan kesehatan sehari-hari dan berencana, Membimbing dan melaksanakan tanggap darurat bencana (safe community), Melaksanakan pelayanan medis dasar sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang dimiliki oleh bida itu sendiri. Ada beberapa pelatihan bidan yang dilakukan untuk menunjang program kesehatan ibu dan anak yaitu pelatihan MTBS, pelatihan imunisasi, pelatihan P4K. Jumlah bidan desa diprovinsi banten yang sudah mendapatkan pelatihan tersebut adalah: 18,2% MTBS, 52,4% imunisasi, dan 62,1% P4K. Seperti yang tertera pada tabel dibawah ini. Tabel 7. Pelatihan Bidan No Variabel Jumlah Persentase 1 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan MTBS ,2% 2 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan imunisasi ,4% 3 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan P4K ,1% Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 b) Tenaga Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia terus bertambah dengan pesat selama tiga dekade terakhir. Pada 2006, diperkirakan terdapat dokter (terdiri dari dokter umum dan dokter spesialis), perawat dan bidan. Dengan jumlah tenaga kesehatan seperti ini, maka rasio tenaga kesehatan untuk dokter, spesialis, perawat, dan bidan secara berturut-turut adalah sekitar 20; 5,5; 138; dan 35 per penduduk. Jumlah dan rasio jumlah tenaga kesehatan-penduduk ini meningkat dari periode sebelumnya. Dalam hal mutu tenaga kesehatan, penilaian tentang mutu tenaga kesehatan sulit dilakukan karena tidak ada data tentang hal tersebut. Namun berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, misalnya pengembangan kurikulum berbasis kompetensi untuk dokter, pengembangan standar kompetensi untuk 10 jenis tenaga kesehatan, penyelenggaraan berbagai training, pembenahan regulasi, lisensi dan sertifikasi tenaga kesehatan. 35

48 Tabel 8. Distribusi Dokter, Bidan, Perawat Menurut Provinsi, Provinsi Dokter Bidan Perawat Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimatan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Sumber data: Survei PODES (BPS, 2006) 36

49 Dengan mengacu pada jumlah dan rasio jumlah tenaga kesehatan-penduduk yang diharapkan pada 2010, maka sebenarnya telah terjadi kekurangan pada semua jenis tenaga kesehatan yang ada. Jika dibandingkan dengan dengan negara-negara lain di regional Asia Tenggara, jumlah dan rasio tenaga kesehatan Indonesia relatif rendah. Dibandingkan dengan negara-negara yang mempunyai tingkat pendapatan yang sama, rasio dokter per penduduk di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan Filipina (58) dan Malaysia (70), bahkan dibandingkan dengan negara dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah seperti Vietnam dan Kamboja, rasio jumlah tenaga kesehatan-penduduk di Indonesia masih lebih rendah. Walaupun demikian, untuk jumlah dan rasio bidan dan perawat, di Indonesia lebih baik dari rata-rata di wilayah Asia Tenggara yaitu perawat 62 dan bidan 50 per penduduk. Tenaga kesehatan yang paling dibutuhkan saat ini adalah dokter spesialis, perawat, bidan dan tenaga gizi. Berdasarkan pengumpulan data di Banten, dari jumlah total puskesmas yang ada, tenaga yang melakukan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) 46,6% dokter, 24,76% perawat, dan 76.7% bidan. Untuk imunisasi jumlah tenaga yang tersedia adalah: 24,27 % dokter, 45,63 % perawat, 72,3 % bidan, dan 0,97 % puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter, perawat, dan bidan dalam pelayanan imunisasi. Sedangkan tenaga untuk pelayanan keluarga berencana (KB) adalah 20,38 % dokter, 24,76 % perawat, 72,3 % bidan. Dari data tersebut bisa dilihat bahwa selain masih rendahnya proporsi tenaga kesehatan yang ada, juga masih ada puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga yang melayani imunisasi, meskipun jumlah sangat kecil. Tabel 9. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase 1 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) 1.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam % pelayanan KIA 1.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam % pelayanan KIA 1.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam % pelayanan KIA 1.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter, perawatan, dan bidan dalam pelayanan KIA 0 0% 2 Imunisasi 2.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam pelayanan imunisasi % 2.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam pelayanan imunisasi % 2.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam pelayanan imunisasi % 37

50 2.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter, perawatan, dan bidan dalam pelayanan imunisasi % 3 Keluarga Berencana (KB) 3.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam % pelayanan KB 3.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam % pelayanan KB 3.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam % pelayanan KB 3.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter, perawat, dan bidan dalam pelayanan KB % Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter, perawat, dan bidan untuk pelayanan KIA. Dari data tenaga bidan di puskesmas, masih 25% puskesmas yang tidak memiliki tenaga bidan dan berkisar 50% yang tidak memiliki dokter. Penyebaran tenaga kesehatan adalah satu hal yang seringkali menjadi kendala dalam memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di banyak wilayah. Konsentrasi tenaga kesehatan yang ada disetiap unit pelayanan cenderung berada dititik titik tertentu. Kewenangan daerah untuk merekrut tenaga kesehatan di tingkat daerah belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota yang mempunyai kewenangan untuk mengangkat pegawai tidak banyak merekrut tenaga kesehatan karena berbagai kendala. Penelitian Bappenas (2005) menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi oleh kabupaten/kota dalam pengangkatan pegawai baru adalah keterbatasan formasi dan keterbatasan dana kemudian disusul berturut-turut oleh masalah regulasi, peminat yang terbatas, lulusan yang terbatas dan lain-lain. Tenaga kesehatan juga seringkali harus merangkap kegiatan lain, yang bisa jadi berhubungan atau malah kurang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang dimiliki. Kebijakan tentang pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan sangat dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan sektor lain, seperti: kebijakan sektor pendidikan, kebijakan sektor ketenagakerjaan, sektor keuangan dan peraturan kepegawaian. Kebijakan sektor kesehatan yang berpengaruh terhadap pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan antara lain: kebijakan tentang arah dan strategi pembangunan kesehatan, kebijakan tentang pelayanan kesehatan, kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, dan kebijakan tentang pembiayaan kesehatan. Selain dari pada itu, beberapa faktor makro yang berpengaruh terhadap pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan, yaitu: desentralisasi, globalisasi, menguatnya komersialisasi pelayanan kesehatan, teknologi kesehatan dan informasi. Oleh karena itu, kebijakan pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan harus memperhatikan semua faktor di atas. 38

51 c) Pelatihan Petugas Puskesmas Pelatihan petugas puskesmas merupakan upaya didalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Menurut Solter (2002) pelatihan diprogramkan untuk menjaga pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja masing-masing. Akan tetapi program pelatihan yang bersifat sentral tidak banyak membantu menyelesaikan masalah ketrampilan SDM didaerah. Ini terjadi karena kurangnya informasi mengenai kebutuhan pelatihan di daerah. Kepala Dinas Kesehatan: Ya jangan banyak-banyak pelatihanlah..jangan. Saya polanya bukan ditarik tapi justru dilihat dari sini ke sana, on job. Saya ga terlalu mengizinkan staf saya mengikuti banyak pelatihan karena banyak waktu yang ditinggalkan. Karena setiap tahun itu staf saya yang KIA itu seminggu itu kadang-kadang terus-menerus dia pertemuan kesanakesini. Jadi saya engga terlalu setuju terlalu banyak pelatihan. Ini minggu ini saja KIA itu ada 4 yang harus dia hadiri. Kapan dia bekerjanya?! Makanya saya tidak terlalu setuju kecuali yang urgent. (Transkrip wawancara) Kepala Dinas Kesehatan: misalnya Kementerian Kesehatan mengundang dari daerah, dari kita. Provinsi mengundang dari kita, kita sendiri menyelenggarakan. Jadi dana pelatihan itu luar bisa dan itu tidak dirasakan oleh masyarakat. Sebab perilaku petugas begitu pelatihan sama aja begitu-begitu saja. (Transkrip wawancara) Pada era desentralisasi yang terjadi pada saat ini telah memberikan kesempatan kepada daerah untuk melakukan training need assessment secara mandiri sebagai dasar membuat program pelatihan, yang tepat sasaran, tepat tujuan dan tepat metode. Seperti yang dilakukan oleh salah satu dinas kesehatan yang ada diwilayah Provinsi banten. Kepala Dinas Kesehatan: Jadi nanti kalau memang dia itu tidak mampu baru dilatih. Tapi pelatihannya itu tidak usah ditarik, dimagangkan. Kemudian lebih baik di on job. Untuk itu kenapa pelatihannya ga usah dilapangan, ditempat dia kerja itu lebih bagus hasilnya (Transkrip wawancara). Kepala Dinas Kesehatan: Kalau on job itu misalnya, permasalahan dia diketahui dilapangan dia. Contoh misalnya, Bu saya tidak bisa, sterilitasnya kurang., kenapa? saya tidak punya, (misalnya) seterilisator. Ada juga yang ini. Langsung dion jobkan kan. oh, ya udah nanti saya catat. Berikutnya kita nanti diadakan, diberikan. Jadi langsung apa yang jadi kebutuhan di lapangan. Langsung tercatat, dan nanti bagaimana penggunaan dilapangan. Misal buku KIA,Nah, ayo kita cari Ibu hamil. ayo cara ngisinya (Transkrip wawancara). Dengan pola desentralisasi yang memberikan kemandirian kepada daerah maka pelatihan tersebut akan berdasarkan kepada kebutuhan petugas dilapangan. Sehingga diharapkan mampu mengefektifkan kinerja petugas kesehatan di daerah. 39

52 Berikut ini jumlah petugas puskesmas di Provinsi banten yang sudah mengikuti pelatihan kesehatan ibu dan anak (KIA). Tabel 10. Pelatihan Petugas Puskesmas (Dokter) No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase 1.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % APN 2.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % manajemen asfiksia bayi baru lahir 3.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % manajemen bayi berat lahir rendah 4.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % PONED 5.1. Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % fasilitator Desa Siaga 6.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % MTBS 7.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % AMP 8.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % manajemen puskesmas 9.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 68 33% Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku KIA 10.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % Cold Chain Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % safe injection/vaksinator 12.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 7 3.4% pengelola imunisasi 13.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih % SDITK Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Berdasarkan tabel 10 di atas ditemukan proporsi tenaga dokter yang diberikan pelatihan umumnya hanya di bawah 15%, kecuali pada pelatihan PONED, fasilitator desa siaga, MTBS, manajemen puskesmas dan P4K/ pelatihan penggunaan buku KIA. Tenaga dokter yang dilatih hal hal yang berkaitan dengan imunisasi seperti Cold Chain, safe injection dan pengelola imunisasi sangat rendah. 40

53 Tabel 11. Pelatihan Petugas Puskesmas (Perawat) No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase 1.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % APN 2.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % manajemen asfiksia bayi baru lahir 3.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 5 2.4% manajemen bayi berat lahir rendah 4.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % PONED 5.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % fasilitator Desa Siaga 6.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % MTBS 7.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 6 2.9% AMP 8.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % manajemen puskesmas 9.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku KIA 10.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % Cold Chain 11.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % safe injection/vaksinator 12.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % pengelola imunisasi 13.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih % SDITK Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Berdasarkan tabel 10 di atas ditemukan proporsi tenaga perawat yang diberikan pelatihan yang berkaitan dengan imunisasi seperti Cold Chain, safe injection dan pengelola cukup baik. Namun angka ini tidak terlalu tinggi (40%, 36.4%, da 42,7%), proporsinya tidak lebih dari 50%. 41

54 Tabel 12. Pelatihan Petugas Puskesmas (Bidan) No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase 1.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % APN 2.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % manajemen asfiksia bayi baru lahir 3.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % manajemen bayi berat lahir rendah 4.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % PONED 5.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % fasilitator Desa Siaga 6.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % MTBS 7.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % AMP 8.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % manajemen puskesmas 9.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku KIA 10.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % Cold Chain 11.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % safe injection/vaksinator 12.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % pengelola imunisasi 13.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih % SDITK Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Berdasarkan tabel 10 di atas terlihat bahwa tenaga bidan mendapatkan pelatihan relative lebih banyak, khususnya dengan pelatihan KIA maupun imunisasi. Namun untuk angka pelatihan imunisasi, proporsinya juga belum mencapai angka yang optimal. Gambaran ini bisa jadi memperlihatkan tingginya beban dan tanggung jawab bidan dilapangan. Hal lain, table di atas juga memperlihatkan bahwa bidan dianggap membutuhkan banyak bekal dilapangan. 42

55 Tabel 13. Puskesmas yang tidak memiliki satupun dokter, perawat maupun bidan yang dilatih No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase 1.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 0 0% dokter, perawatan, dan bidan dilatih APN 2.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 7 3.4% dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen asfiksia bayi baru lahir 3.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga % dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen bayi berat lahir rendah 4.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga % dokter, perawat, dan bidan dilatih PONED 5.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 7 3.4% dokter, perawat, dan bidan dilatih fasilitator Desa Siaga 6.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 6 2.9% dokter, perawat, dan bidan dilatih MTBS 7.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga % dokter, perawatan, dan bidan dilatih AMP 8.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga % dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen puskesmas 9.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga % dokter, perawat, dan bidan dilatih Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikas) / Pelatihan Penggunaan Buku KIA 10.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga % dokter, perawat, dan bidan dilatih Cold Chain 11.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga % dokter, perawat, dan bidan dilatih safe injection/vaksinator 12.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 5 2.4% dokter, perawat, dan bidan dilatih pengelola imunisasi 13.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga % dokter, perawat, dan bidan dilatih SDITK Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Berdasarkan tabel di atas ditemukan masih ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter, perawat, ataupun bidan yang pernah mengikuti pelatihan manajemen asfiksia bayi baru lahir (3,4%), manajemen BBLR (4,85%), PONED (8,25%), fasilitator desa siaga (3,4%), MTBS (2,9%), AMP (8,7%), manajemen puskesmas (8,25%), P4K/pelatihan penggunaan buku KIA (1,94%), cold chain (1,46%), safe injection/vaccinator (4,85%), pengelola imunisasi (2,4), dan SDIDTK (8,25%). 43

56 2. Sumber Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan secara umum bertanggung jawab pada kebijakan kesehatan nasional, mengoperasikan beberapa rumah sakit vertikal, rumah sakit khusus dan rumah sakit pendidikan, rekrutmen dan alokasi tenaga kesehatan secara terbatas serta operasionalisasi beberapa program vertikal seperti untuk pengendalian penyakit menular. Kementerian Kesehatan juga masih memegang fungsi penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan. Pangalokasian dana di Kementerian Kesehatan (dan Kementerian dan lembaga lainnya) oleh Kementerian Keuangan masih berdasarkan pada anggaran tahun-tahun sebelumnya, dan belum sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan. Kementerian Kesehatan juga mempunyai alokasi untuk membayar klaim rumah sakit dan pemberian dana berdasarkan kapitasi untuk puksemas melalui skema jamkesmas. Pemerintah kabupaten/kota mempunyai tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pengalokasian dana untuk membayai pelayanan kesehatan. Pemerintah kabupaten/kota merupakan penanggung jawab bagi ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan di tingkat daerah termasuk pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan. Peran Provinsi hanya terbatas pada capacity building dan koordinasi. Dengan setting seperti ini, hubungan antara pusat, Provinsi dan kabupaten/kota menjadisering terhambat, misalnya dalam sistem informasi, yang tidak dapat mengalir dengan mulus dari kedua arah. Sejak era desentralisasi (mulai dari 2000), pembagian peran antar pemerintah pusat, Provinsi dan kabupaten/kota dalam pembangunan kesehatan masih belum jelas. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, sebenarnya telah dirumuskan secara lebih rinci mengenai pembagian urusan dalam bidang kesehatan ini. Namun aturan ini masih belum secara tegas dan eksplisit mengatur pembagian kewenangan tersebut, misalnya intervensi apa yang seharusnya dilakukan setiap tingkat pemerintahan, dan bagaimana pembagian tanggung jawab untuk pembiayaannya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, sebenarnya telah ditetapkan perlunya Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah termasuk pembiayannya. Kementerian Kesehatan telah menetapkan SPM bidang kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 yang menetapkan 18 indikator kesehatan yang dikelompokkan dalam 4 kategori yaitu (i) pelayanan kesehehatan dasar; (ii) pelayanan kesehatan rujukan; (iii) surveilans epidemiologi, serta (iv) promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan adanya SPM ini, maka pemerintah kabupaten/kota wajib mengalokasikan anggaran untuk pencapaian SPM sesuai dengan target waktunya. Apabila daerah tidak melaksanakan SPM ini maka pemerintah pusat dapat mengambil alih pelaksanaannya dengan biaya dari daerah itu sendiri dan memberi sanksi kepada daerah yang bersangkutan. Alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapat Asli Daerah (PAD) atau Dana Bagi Hasil (DBH) untuk membiayai pembangunan kesehatan cukup kecil. Berbagi studi menunjukkan bahwa rata-rata proporsi anggaran kesehatan terhadap total APBD adalah sebesar 6 % (Bappenas, 2008). 44

57 Walaupun puskesmas dan rumah sakit milik daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, dalam pelaksanaannya, anggaran daerah sangat terbatas, sehingga sebagain besar akan mengandalkan pada ketersediaan subsidi dari pemerintah pusat, misalnya melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dalam kesehatan, Pembiayaan memegang peranan yang sangat penting untuk memastikan penyelenggaraan akan pelayanan kesehatan itu sendiri. Dengan hal ini, diharapkan agar pemerintah mencapai berbagai tujuan, termasuk merencanakan dan mengatur pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) Tabel 14. Persentase Desa yang melakukan Pembahasan Anggaran, memiliki Alokasi Anggaran dan Sumber Anggaran Kegiatan KIA No Variabel Jumlah Persentase 1 Jumlah desa yang melakukan pembahasan anggaran ,7% untuk kegiatan KIA di dalam musrenbang Desa 2 Jumlah Desa yang memiliki alokasi anggaran untuk ,7% kegiatan KIA di tingkat desa 3 Sumber anggaran kegiatan KIA di tingkat Desa a. ADD 58 12,0% b. APBD ,9% c. PNPM 23 4,7% d. Otsus 8 1,6% e. Lain-lain 91 18,8% Sumber : Survey GAVI HSS, 2010 Tabel diatas menunjukkan besarnya biaya transportasi bayi/balita ke puskesmas ratarata sebesar Rp ,66 dengan sumber biaya 87,3% berasal dari orang tua/keluarga bayi atau balita. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 26. Sumber Biaya bila Bidan Desa Merujuk ke PKM Berdasarkan Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten,

58 3. Wilayah Puskesmas Berikut mapping wilayah Puskesmas di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 3. Peta Puskesmas di Provinsi Banten Tahun 2010 Berdasarkan peta sebaran puskesmas di Provinsi Banten, di Kabupaten Lebak dan Pandeglang masih ada wilayah yang jumlah puskesmasnya sangat kurang. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 27. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

59 Berdasarkan Grafik sebagian besar puskesmas di kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten telah memiliki fasilitas listrik, air bersih dan komputer. 4. Logistik Puskesmas Sarana dan prasarana di puskesmas sangat diperlukan agar dapat tercapai pelayanan kesehatan yang optimal. 5. Sarana dan prasarana Puskesmas Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) adalah sarana unit fungsional kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Puskesmas mempunyai fungsi utama menjalankan pelayanan kesehatan untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, terutama menggerakkan pogram promosi kesehatan, penanggulangan dan pencegahan penyakit menular (P2M). Dengan fungsinya yang strategis sebagai penggerak pembangunan kesehatan ditengah masyarakat, maka diperlukan dukungan sarana dan prasarana yang cukup memadai sehingga pelayanan puskesmas dapat berjalan secara maksimal. Secara nasional jumlah Puskesmas dan jaringannya terus meningkat. Pada 2004, jumlah Puskesmas mencapai unit, sedangkan pada 2006 meningkat menjadi unit. Peningkatan jumlah puskesmas ini diperkirakan telah mampu mengikuti pertambahan penduduk. Rasio puskesmas terhadap penduduk juga meningkat dari 3,5 pada 2004, menjadi 3,6 puskesmas per penduduk Peningkatan jumlah puskesmas ini diikuti dengan peningkatan fasilitas jejaring Puskesmas yaitu Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling. Secara nasional jumlah puskesmas sudah cukup baik dibandingkan dengan penduduk yang dilayani. Namun jika dilihat menurut provinsi, maka terdapat disparitas rasio jumlah puskesmas-penduduk yang cukup besar. Rasio jumlah puskemas-penduduk tertinggi adalah di Provinsi Maluku yaitu 8,7 per penduduk, sedangkan yang terrendah adalah di Provinsi Banten, yaitu 1,92 per penduduk. Pada provinsi dengan jumlah penduduk besar, maka rasio jumlah puskesmas-penduduk menjadi relatif kecil. Namun demikian, peningkatan jumlah puskemas, seharusnya tidak hanya dilihat dari rasio per penduduk, namun lebih pada cakupan luas wilayah yang ditangani oleh puskesmas. Rasio jumlah puskemas-penduduk sebenarnya tidak dapat menggambarkan tingkat aksesibilitas penduduk terhadap fasilitas kesehatan, terutama pada daerah-daerah dengan wilayah geografi yang luas, daerah terpencil dan daerah perbatasan. Pada wilayah-wilayah dengan cakupan wilayah kerja yang luas, akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan masih terbatas. Pembangunan puskesmas dan jejaringnya pada periode diutamakan pada daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan daerah kepulauan. 47

60 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 4. Peta Sebaran Puskesmas di Provinsi Banten Saat survei dilakukan, kondisi fisik gedung puskesmas yang ada di provinsi Banten 76,2% kondisinya baik. Dari jumlah tersebut, 13,1% rusak ringan, 5,8% rusak sedang, adapun kondisi gedung puskesmas yang rusak berat dan sedang dalam perbaikan masing masing berjumlah 2,4%. Dengan masih adanya kondisi fisik gedung puskesmas yang rusak berat, berakibat pada tidak maksimalnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tabel 15. Karakteristik Puskesmas No Karakteristik Puskesmas Jumlah Persentase 1 Jumlah puskesmas Tipe puskesmas 2.1 Perawatan Non Perawatan Letak puskesmas 3.1 Biasa Daerah terpencil Sangat terpencil- - 4 Kondisi fisik gedung puskesmas 4.1 Baik Rusak ringan Rusak sedang Rusak Berat Sedang dalam perbaikan Sumber : Survey GAVI-HSS,

61 Untuk sarana penunjang pelayanan kesehatan, dapat dilihat pada tabel dibawah ini, Tabel 16. Sarana Yang Dimiliki Puskesmas No Sarana Puskesmas Minimum Maksimum Mean Median 1 Jumlah puskesmas keliling roda Jumlah puskesmas keliling air Jumlah puskesmas pembantu Jumlah polindes di wilayah kerja Jumlah posyandu Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Tabel 17. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas No Sarana Puskesmas Jumlah Persentase 1 Memiliki fasilitas listrik PLN Memiliki fasilitas telepon Memiliki fasilitas air bersih Memiliki fasilitas komputer dengan kondisi bagus Memiliki fasilitas internet Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Untuk fasilitas listrik, air bersih, dan komputer sebagian besar puskesmas diprovinsi Banten memiliki fasilitas tersebut. Sedangkan untuk sarana dan prasarana penunjang kegiatan kesehatan ibu dan anak (KIA) baik itu medik ataupun non medik bisa dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 18. Sarana dan Prasarana Puskesmas No Sarana Jumlah Jumlah puskesmas dengan kondisi sarana baik dan tidak baik Tidak Baik/berfungsi baik/tidak berfungsi n % n % n % 1 Jumlah puskesmas yang memiliki bidan kit 2 Jumlah puskesmas yang memiliki resusitasi kit 3 Jumlah puskesmas yang memiliki alat pengukur tekanan darah 4 Jumlah puskesmas yang memiliki stetoskop 5 Jumlah puskesmas yang memiliki stetoskop laenec 49

62 6 Jumlah puskesmas yang memiliki termometer 7 Jumlah puskesmas yang memiliki ARI Timer/Timer ISPA 8 Jumlah puskesmas yang memiliki tensimeter dengan manset anak 9 Jumlah puskesmas yang memiliki meja alat 10 Jumlah puskesmas yang memiliki tempat tidur periksa 11 Jumlah puskesmas yang memiliki timbangan dewasa 12 Jumlah puskesmas yang memiliki timbangan bayi 13 Jumlah puskesmas yang memiliki pengukur tinggi badan 14 Jumlah puskesmas yang memiliki stok buku KIA 15 Jumlah puskesmas yang memiliki stok Buku KMS 16 Jumlah puskesmas yang memiliki wastafel 17 Jumlah puskesmas yang memiliki poster/iklan layanan masyarakat 18 Jumlah puskesmas yang memiliki PONED kit 19 Jumlah puskesmas yang memiliki stok buku bagan MTBS 20 Jumlah puskesmas yang memiliki stok formulir MTBS bayi < 2 bulan 21 Jumlah puskesmas yang memiliki stok formulir MTBS bayi 2 59 bulan 22 Jumlah puskesmas yang memiliki stok register kohort bayi 23 Jumlah puskesmas yang memiliki stok register kohort balita 24 Jumlah puskesmas yang memiliki stok pedoman teknis Vitamin K Jumlah puskesmas yang memiliki stok obat terkait KIA (oksitosin, Fe, Vit. A, Vit K1 ampul, oralit, zinc, antibiotik oral, antibiotik injeksi, cairan infus) 26 Jumlah puskesmas yang memiliki ruang persalinan 27 Jumlah puskesmas yang memiliki tempat tidur kebidanan Sumber : Survey GAVI-HSS,

63 Data berikut ini adalah tentang sarana imunisasi puskesmas yang ada di Provinsi Banten. Tabel 19. Sarana Imunisasi Puskesmas No Sarana Jumlah Jumlah puskesmas dengan kondisi sarana baik dan tidak baik Tidak Baik/berfungsi baik/tidak berfungsi n % n % n % 1 Jumlah puskesmas yang memiliki cool pack 3 Jumlah puskesmas yang memiliki alat suntik 4 Jumlah puskesmas yang memiliki refrigerator 5 Jumlah puskesmas yang memiliki vaccine carrier/termos 6 Jumlah puskesmas yang memiliki safety box 7 Jumlah puskesmas yang memiliki wastafel 8 Jumlah puskesmas yang memiliki genset 9 Jumlah puskesmas yang memiliki poster/iklan layanan masyarakat 10 Jumlah puskesmas yang memiliki termostat 11 Jumlah puskesmas yang memiliki lembar pemantauan suhu 12 Jumlah puskesmas yang memiliki stok vaksin HbO 13 Jumlah puskesmas yang memiliki stok vaksin DPT 14 Jumlah puskesmas yang memiliki stok vaksin polio 15 Jumlah puskesmas yang memiliki stok vaksin campak 16 Jumlah puskesmas yang memiliki stok vaksin BCG 17 Jumlah puskesmas yang memiliki stok format RR Sumber : Survey GAVI-HSS,

64 Dari data tabel diatas bisa dilihat bahwa hanya 30.6% saja puskesmas yang memiliki genset, ini berakibat pada tidak akan berjalannya pelayanan kesehatan yang membutuhkan aliran listrik apabila terjadi gangguan listrik PLN. Masih terdapat puskesmas dengan sarana imunisasi belum lengkap. Ada sekitar 4% puskesmas yang tidak memiliki refrigerator. Puskesmas dengan kepemilikan wastafel hanya 64% dari jumlah keseluruhan puskesmas. 6. KIA dan Pelayanan Puskesmas Pelayanan kesehatan dasar antara lain meliputi kesehatan ibu dan anak, imunisasi, keluarga berencana, manajemen terpadu balita sakit, perbaikan gizi, penanganan penyakit infeksi dan penghentian merokok. Dalam Sistem Kesehatan Nasional terdapat 15 jenis pelayanan kesehatan dasar yang harus diselenggarakan melalui puskesmas dan jejaringnya. Pada tahun 1970-an hingga 1990-an terjadi ekspansi yang cukup besar dalam penyediaan infrastruktur puskesmas dan puskesmas pembantu. Dengan ekspansi ini, maka puskesmas tersedia minimal disetiap kecamatan, sehingga memudahkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar. Setelah 2000, puskesmas dan puskesmas pembantu masih terus bertambah walaupun tidak secepat dua dekade sebelumnya. Pada 2006, terdapat lebih dari puskesmas kecamatan, dimana 27 % di antaranya merupakan puskesmas dengan tempat perawatan. Rasio puskesmas per penduduk juga terus meningkat hingga mencapai 3,6 pada Selain itu kegiatan outreach juga semakin meningkat dengan semakin bertambahnya Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pada 2005, terdapat posyandu yang tersebar di seluruh pelosok nusantara (Profil Kesehatan Indonesia, 2006). Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan yang bergerak diwilayah kerjanya, dituntut meningkatkan mutu pelayanannya. Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu dan memuaskan di Puskesmas dalam rangka terwujudnya peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dibawah ini adalah jenis pelayanan terkait kesehatan ibu dan anak (KIA) di puskesmas di wilayah Provinsi Banten. Tabel 20. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase 1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan penyuluhan/promosi kesehatan 2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan lingkungan 3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan penyuluhan/promosi kesehatan 52

65 4 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak 4.1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan persalinan normal 4.2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan imunisasi HbO bayi baru lahir ( < 7 hari) 4.3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan MTBS pada bayi balita 4.4 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan Audit Maternal Perinatal 4.5 Jumlah puskesmas yang melakukan otopsi verbal pada kematian maternal/neonatal 4.6 Jumlah puskesmas yang melakukan kunjungan neonatus 4.7 Jumlah puskesmas yang melakukan kunjungan bayi Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan tumbuh kembang bayi - balita 4.9 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan KIA di luar gedung 5 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan Keluarga Berencana 6 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan - - gizi 7 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan perbaikan gizi 8 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan imunisasi 8.1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan imunisasi dasar lengkap pada bayi 8.2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan imunisasi anak sekolah 8.3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan imunisasi TT pada WUS/ibu hamil 9 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan pengobatan Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Dari tabel di atas diketahui bahwa semua jenis pelayanan terkait KIA, belum mencapai 100% bahkan jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan persalinan normal hanya 73,8%. 53

66 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 28. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas berdasarkan Kabupaten dan Kota 7. Cakupan Pelayanan KIA dan Imunisasi Pelayanan KIA dan Imunisasi adalah indikitor indikator penting yang dipakai dalam menentukan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM diharapkan dapat menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan di kabupaten/kota. IPKM sendiri dibentuk oleh kombinasi 4 variabel input (Proporsi Akses Air Bersih, Proporsi Akses Sanitasi, Rasio Dokter dan Rasio Bidan), 2 variabel process (Proporsi Cuci Tangan, Proporsi Merokok Tiap Hari), 4 variabel output (Cakupan Persalinan Oleh Nakes, Cakupan Pemeriksaan Neonatal 1, Cakupan Imunisasi Lengkap, dan Cakupan Penimbangan Balita), 6 variabel effect (Prevalensi Balita Gizi Buruk dan Kurang, Prevalensi Balita Sangat Pendek dan Pendek, Prevalensi Sangat Kurus dan Kurus, Prevalensi Balita Gemuk), serta 6 variabel impact (Prevalensi Diare, Prevalensi Pneumonia, Prevalensi Hipertensi, Prevalensi Gangguan Mental, Prevalensi Asma, dan Prevalensi Penyakit Gigi dan Mulut). Tabel 21. Cakupan Program KIA dan Imunisasi Puskesmas No Indikator Cakupan Minimum Maksimum Mean Median 1 Kunjungan antenatal ke-1 (K1 akses) Kunjungan antenatal ke-4 (K-4) Persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) Kunjungan nifas lengkap (KF) Deteksi faktor risiko/komplikasi oleh masyarakat Penanganan komplikasi obstetrik (PK) Kunjungan neonatal Pertama (KN1) Kunjungan Neonatal Lengkap (KNL)

67 9 Neonatus dengan komplikasi yang ditangani (NK) Kunjungan bayi (Kby) Pelayanan anak balita (Kbal) Pelayanan KB (PUS Aktif ber KB) TT WUS TT ibu hamil HbO BCG DPT Polio Campak DT Kelas 1 SD (BIAS) TT Kelas 2 SD (BIAS) TT Kelas 3 SD (BIAS) Campak Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Di Provinsi Banten terlihat bahwa rata - rata cakupan K1-nya adalah 91,40%. Untuk rata rata cakupan K4 Provinsi Banten sejumlah 75,85%. Dari beberapa indikator cakupan KIA dan Imunisasi, hanya cakupan pelayanan KB yang relatif rendah, sedangkan cakupan lain meskipun tidak berada di angka nasional, namun angkanya secara provinsi relatif baik. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 29. Cakupan K1 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

68 Berikut adalah Grafik berdasarkan gambaran Cakupan K4 perkabupaten kota di Banten: Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 30. Cakupan K4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan grafik di atas, Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang angkanya lebih rendah dibandingkan dengan angka Provinsi. Angka ini juga jauh di bawah target SPM. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit 4 kali di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan adalah ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan persalinan sesuai standar. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 31. Cakupan Persalinan Nakes Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

69 Sebagian besar persalinan berjalan normal, namun sekitar 15% diperkirakan akan mengalami komplikasi. Pencegahan komplikasi kebidanan, identifikasi dini, dan penanganan persalinan dengan komplikasi yang tepat dan adekuat merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai kelangsungan hidup ibu. Dalam konteks Indonesia dan banyak Negara berkembang lainnya, jalan pertama adalah dimulai di tingkat masyarakat, dimana ibu pertama kali mencari pelayanan persalinan terkait dengan prognosis dari keluaran persalinan. Banyak komplikasi kebidanan tidak dapat diprediksi, akan tetapi dapat dicegah. Pencegahan dan identifikasi dini komplikasi akan mengarah kepada rujukan yang efektif, menentukan rujukan yang tepat dan tindakan stabilisasi yang diberikan akan adekuat. Probabilitas kelangsungan ibu tinggi ketika langkah-langkah tersebut disertai dengan pelayanan kedaruratan kebidanan yang tepat dan berkualitas di rumah sakit Persalinan oleh Tenaga Kesehatan adalah peraturan yang pernah digaungkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka kematian ibu dan neonatal. Demi tercapainya hal tersebut, Pemerintah mencanangkan Program Penempatan Bidan di Desa yang sampai saat ini baru 40% desa memiliki Bidan Desa. Tetapi faktanya angka kematian ibu dan neonatal tidak mengalami penurunan yang signifikan, disebabkan oleh berbagai faktor seperti luasnya jangkauan wilayah dan banyaknya populasi yang menjadi tanggung jawab Bidan Desa; masih tingginya persalinan yang terjadi di rumah masyarakat; masih banyaknya persalinan yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan; tidak ada fasilitas persalinan yang terstandar di desa; terbatasnya alat dan obat emergency dasar yang dimiliki oleh Poskesdes, Polindes dan BPS; geografis dan transportasi yang sulit sehingga akses kepada pelayanan rujukan menjadi kendala tersendiri. Grafik di atas menunjukkan bahwa cakupan persalinan di Provinsi Banten oleh tenaga kesehatan yang angkanya 74,1 % belum mencapai target. Cakupan persalinan terendah ada di Kabupaten Lebak dan Pandeglang, sedangkan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi ada di Kab. Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Persoalan akses di wilayah rural menjadi salah satu masalah yang mendasar. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 32. Cakupan Kunjungan Nifas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

70 Penyebab kematian kasus-kasus kebidanan (maternal) terbanyak adalah perdarahan, dimana perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab terbanyak dari kematian tersebut. Akan tetapi, sebagian besar dari perdarahan pasca persalinan ini dapat dicegah bila pengelolaan aktif kala tiga dilakukan dengan baik. Penyebab kematian lain yang tidak kalah penting adalah preeklampsia dan eklampsia. Akan tetapi, pencegahan terhadap preeklampsia dan eklampsia tidaklah sederhana. Selain perdarahan pasca persalinan, hal yang perlu dicermati untuk perbaikan pelayanan kebidanan di Rumah Sakit. Cakupan Kunjungan Nifas di Banten hanya berada pada angka 78,61%, hal ini belum dapat dikatakan mencapai target. Beberapa kabupaten angka cakupannya sebetulnya sudah mencapai 80%, namun ini lebih banyak pada wilayah urban. Cakupan deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh masyarakat adalah cakupan ibu hamil dengan faktor risiko atau komplikasi yang ditemukan oleh kader atau dukun bayi atau masyarakat serta dirujuk ke tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Masyarakat disini, bisa keluarga ataupun ibu hamil, bersalin, nifas itu sendiri. Indikator ini menggambarkan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 33. Cakupan Deteksi Faktor risiko per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Dari Grafik hasil survei GAVI untuk variabel cakupan deteksi risiko di atas, terlihat bahwa cakupan deteksi risiko di Banten sejumlah 78,6%. Angka ini masih perlu ditingkatkan agar resiko komplikasi dapat dicegah. Komplikasi kebidanan yang ditangani adalah ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas dengan komplikasi yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan (Polindes, Puskesmas, Puskesmas PONED, Rumah Bersalin, RSIA/RSB, RSU, dan RSU PONEK). 58

71 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 34. Cakupan TT WUS Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Pandeglang, Tangerang, Serang dan Lebak adalah kabupaten yang cakupannya rendah. Untuk Kabupaten pandeglang, Tangerang, dan Kabupaten Serang, angkanya bahkan jauh dibawah angka cakupan Provinsi. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 35. Cakupan TT Bumil per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten pandeglang, dan Lebak cakupannya rendah dan jauh di bawah angka Provinsi Banten. Cakupan TT Bumil Provinsi Banten sebanyak 76,21%. Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan cakupannya diatas 90% dan berada diatas angka cakupan Provinsi Banten. 59

72 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 36. Cakupan HB0 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten pandeglang, dan Lebak cakupannya rendah dan jauh di bawah angka Provinsi Banten. Cakupan TT Bumil Provinsi Banten sebanyak 72,03%. Sedangkan daerah urban seperti Kota Serang, Cilegon, Tangerang dan Kota Tangerang Selatan cakupannya berada diatas angka cakupan Provinsi Banten. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 37. Cakupan BCG Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan Grafik di atas terlihat bahwa tidak seluruh kabupaten di Banten telah memenuhi standar UCI untuk imunisasi HB0. Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang juga menjadi kabupaten dengan cakupan paling rendah. 60

73 Sebaran cakupan BCG Provinsi Banten berdasarkan hasil pemetaan yang telah dilakukan, titik-titik yang berwarna merah menunjukkan bahwa cakupan BCG pada daerah tersebut telah mencapai 99%, sehingga berdasarkan hasil berikut dapat diketahui bahwa sebagian besar di kabupaten/kota di Provinsi Banten target cakupan imunisasi BCG belum mencapai standar. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 5. Peta Cakupan DPT 3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 38. Cakupan DPT3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Pandeglang dan Lebak adalah kabupaten yang cakupannya rendah. Untuk Kabupaten/kota yang lain, cakupannya angkanya diatas angka 61

74 cakupan Provinsi. Angka cakupan Provinsi Banten sendiri adalah 88,16%, adapun hasil pemetaan yang telah dilakukan dapat diketahui sebaran cakupan imunisasi tersebut. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 6. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 39. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Tangsel adalah kabupaten yang cakupannya diatas 90%. Untuk kabupaten Lebak dan kabupaten Pandeglang angka cakupan dibawah angka cakupan Provinsi. 62

75 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 7. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 40. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Cakupan imunisasi campak Banten adalah 87,77%. Kabupaten Lebak dan Pandeglang memiliki proporsi yang paling rendah (78.68% dan 80.18%) dibandingkan dengan kabupaten/ kota yang lain. 63

76 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 8. Cakupan BIAS Kelas 1 SD BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Bulan Imunisasi Anak sekolah atau yang dikenal dengan istilah BIAS adalah suatu program pelayanan imunisasi dengan sasaran seluruh siswa SD/MI kelas 1,2 dan 3 termasuk pula institusi lain setara SD. BIAS dilakukan pada bulan November setiap tahunnya. Jenis imunisasi yang diberikan adalah imunisasi DT dan Campak untuk kelas 1 serta imunisasi TT untuk kelas 2 dan 3 dengan dosis masing-masing 0,5 cc. Berdasarkan hasil pemetaan yang telah dilakukan, imunisasi campak sudah dilakukan di semua daerah. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 41. Cakupan BIAS Kelas 1 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,

77 Untuk imunisasi DT kelas 1 SD (BIAS 1 SD), cakupan imunisasi kota Tangerang lebih rendah dibandingkan angka Provinsi Banten begitu pula dengan kabupaten Tangerang. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 42. Cakupan BIAS Kelas 2 SD per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan grafik diatas, cakupan imunisasi TT kelas 2 SD (BIAS) menunjukkan bahwa cakupan kabupaten dan kota Tangerang lebih rendah dibandingkan dengan angka Provinsi Banten dan kabupaten/kota lainnya yang ada di Provinsi Banten. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 43. Cakupan Bias Kelas 3 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Data untuk cakupan imunisasi TT BIAS kelas 3 SD menunjukkan hasil tidak jauh berbeda dengan hasil cakupan imunisasi TT kelas 2 SD, yaitu bahwa proporsi cakupan imunisasi kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan dengan cakupan imunisasi kabupaten/kota lainnya. 65

78 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 44. Cakupan Bias Campak per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Berdasarkan grafik diatas, rata-rata cakupan BIAS Provinsi Banten diatas 90%, kecuali untuk kota Tangerang dan Tangerang Selatan (73.38% dan 88.4%). 8. Lingkungan Geografis Aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dapat dilihat antara lain dari jarak dan waktu tempuh dari rumah ke sarana kesehatan. Secara nasional, akses masyarakat dalam mencapai sarana pelayanan kesehatan cukup baik, yaitu 94% masyarakat dapat mengakses sarana kesehatan kurang dari 5 kilometer (km) dan 97,3% dapat mencapai sarana kesehatan kurang dari 60 menit. Sebanyak 47,6% masyarakat bertempat tinggal kurang dari 1 km, sebanyak 46,4% masyarakat bertempat tinggal antara 1-5 km, dan sebanyak 6,0% yang bertempat tinggal lebih dari 5 km dari sarana pelayanan kesehatan. Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa sebanyak 67,2% masyarakat memerlukan waktu tempuh kurang dari 15 menit, sebanyak 23,6 antara menit, sebanyak 9,3% memerlukan waktu tempuh lebih dari 30 menit. Walaupun secara nasional angkanya seperti ini, namun distribusinya tetap tidak merata. Terlebih bahwa aksesibiltas yang tinggi belum menjamin pelayanan yang baik, jika tidak diikuti dengan kualitas sarana yang memadai. Misalnya pelayanan yang lengkap untuk penanganan komplikasi kelahiran merupakan bagian dari pelayanan obstetri esensial yang disebut dengan pelayanan obstetri emergensi yang terdiri dari Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK). Menurut standar internasional, untuk mampu menangani persalinan komplikasi, setidaknya terdapat 1 fasilitas PONEK dan 4 fasilitas PONED untuk setiap penduduk. 66

79 Untuk mencapai manfaat yang maksimal bagi penduduk, pelayanan ini seyogyanya tersedia 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Di Indonesia, ditetapkan bahwa dalam setiap kabupaten/ kota, paling sedikit terdapat 4 Puskesmas Perawatan yang mampu melakukan PONED (selanjutnya disebut Puskesmas PONED) dan seluruh rumah sakit harus mampu melakukan PONEK (selanjutnya disebut RS PONEK) selama 24 jam penuh dalam sehari. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 45. Tipe Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 Data Provinsi Banten menunjukkan bahwa Puskesmas perawatan yang seharusnya tersedia terutama untuk wilayah rural/kabupaten dengan akses sulit justru memperlihatkan hasil sebaliknya. Proporsi puskesmas dengan perawatan di Kabupaten Lebak dan Kabupaten masih belum sesuai dengan kondisi dan akses diwilayah tersebut. Kota Tangerang dan kota kota lainnnya meskipun jumlah puskesmas sedikit namun aksesnya tidak terlalu sulit dan banyak tersedia fasilitas swasta dan rumah sakit. Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 46. Kategori letak puskesmas se-banten,

80 Grafik di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki banyak puskesmas di daerah terpencil. Jumlah di Pandeglang kurang lebih 25% dan di Lebak 15 %. Kedua kabupaten ini penyumbang signifikan di angka Provinsi Banten yang memiliki 8,7% puskesmas terpencil. Berdasarkan hasil pemetaan dapat dilihat sebaran letak puskesmas sebagai berikut : Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 9. Sebaran Puskesmas berdasarkan Kriteria Terpencil-Biasa, dan Perawatannon perawatan di Banten, 2010 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Grafik 47. Kondisi Fisik Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Banten,

81 Dari Grafik di atas dapat dilihat bahwa hampir di semua kabupaten ada yang rusak. Yang menarik bahwa meskipun Kota Tangerang Selatan berada di daerah urban, namun terdapat banyak puskesmas yang kondisinya kurang baik atau rusak. Aksesibilitas puskesmas ke desa terjauh sebagian besar menggunakan alat transportasi sepeda motor (87,4%), dengan waktu tempuh dari mulai 10 menit sampai dengan 5 jam perjalanan. Dan secara keseluruhan waktu yang ditempuh dari puskesmas ke desa terjauh diprovinsi Banten rata rata memiliki waktu tempuh 52,35 menit. Untuk jarak tempuh puskesmas ke desa terjauh memiliki jarak 2 km sampai dengan 100 km, sedangkan jarak tempuh secara keseluruhan memiliki jarak tempuh rata rata 11,69 km. Dari sini bisa dilihat bahwa lamanya waktu tempuh dan jarak yang harus ditempuh dari puskesmas menuju desa terjauh bisa menjadi faktor penghambat masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan. Tabel 22. Alat Transportasi Yang Digunakan Dari Puskesmas Ke Desa Terjauh No Jumlah Persentase 1 Jalan kaki Sepeda Sepeda motor Kendaraan roda Perahu Lainnya Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Tabel 23. Akses ke Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) No Minimum Maksimum Mean Median 1 Waktu tempuh dari puskesmas ke desa 10 menit 5 jam menit 30 menit terjauh 2 Jarak tempuh dari puskesmas ke desa 2 km 100 km km 10 km terjauh 3 Biaya transport dari puskesmas ke desa Rp 0,00 Rp ,00 Rp ,87 Rp ,00 terjauh (PP) Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Hasil pemetaan yang telah dilakukan menunjukkan sebaran waktu tempuh ke pelayanan kesehatan. 69

82 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 10. Peta Waktu Tempuh ke Puskesmas di Provinsi Banten Akses menjadi permasalahan yang sangat krusial di wilayah Banten. Waktu tempuh dari puskesmas ke desa/kelurahan terjauh dalam wilayah puskesmas rata-ratanya hampir satu jam. Bahkan ada wilayah yang harus di tempuh selama 5 jam. Radius jarak Puskesmas ke desa terjauh juga ada yang mencapai 100 km.dari segi biaya, ongkos transportasi ke ke desa/ kelurahan terjauh sejumlah Rp ,-. Kondisi geografi banten yang terdiri dari pegunungan, hutan dan sungai menjadi kendala tersendiri bagi petugas kesehatan. Berikut adalah buffer puskesmas ke wilayah sekitarnya berdasarkan kabupaten/kota. 9. Kejadian Luar Biasa Lingkungan ini meliputi aksesibilitas puskesmas dan kejadian luar biasa yang terjadi dan dapat dicegah dengan imunisasi dipuskesmas dalam satu tahun terakhir. Diwilayah provinsi Banten, kejadian luar biasa yang paling banyak terjadi adalah campak dengan persentase 88,3%, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 24. Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (KLB PD3I) di Puskesmas dalam 1 tahun Terakhir No Penyakit Jumlah Persentase 1 Campak ,3% 2 Difteri % 3 Pertusis 0 0% 4 Tetanus % 5 Hepatitis B 4 1.3% 6 Polio Non AFP % Sumber : Survey GAVI-HSS,

83 Dalam kurun waktu satu tahun terakhir juga pernah terjadi KLB difteri, tetanus, hepatitis B, dan polio/non AFP (Acute Flaccid Paralysis). Adapun kasus yang terbanyak adalah campak (1,9%). KLB pertusis tidak pernah terjadi dalam waktu 1 tahun terakhir. C. Issue Managemen Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Berbagai isu terkait dengan Rumah sakit sudah lama diketahui. Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki keunikan tersendiri karena selain sebagai unit bisnis, usaha rumah sakit juga nemiliki misi sosial, disamping pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada status kepemilikan rumah sakit. Jika tidak disikapi dengan hati hati maka peran dan misi sebuah rumah sakit bisa berubah. Jumlah rumah sakit juga terus meningkat walaupun dalam pertumbuhan yang relatif lambat dibandingkan dengan peningkatan jumlah penduduk. Pada 2005, terdapat 452 rumah sakit pemerintah (Kementerian Kesehatan dan Pemda) dengan tempat tidur. Di sektor swasta jumlah rumah sakit dan tempat tidur meningkat lebih cepat dibanding milik pemerintah. Pada tahun 1990 terdapat 352 rumah sakit swasta dengan tempat tidur, kemudian meningkat menjadi 626 rumah sakit dengan tempat tidur pada tahun Pada 2006, seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah unit dengan jumlah tempat tidur sebanyak unit. Dari jumlah rumah sakit tersebut, sebanyak 49,4% adalah milik swasta, dengan jumlah tempat tidur sebanyak 37,2% dari total tempat tidur yang ada se Indonesia. Hal ini terjadi karena pada umumnya kapasitas RS swasta lebih kecil (rata-rata mempunyai 99 tempat tidur) dibandingkan dengan kapasitas RS pemerintah (rata-rata mempunyai 146 tempat tidur). Rasio tempat tidur rumah sakit terhadap penduduk secara nasional pada tahun 2006 adalah 1 tempat tidur per penduduk. Sasaran pada 2010 adalah satu tempat tidur untuk penduduk (Rencana Strategis Kementerian Kesehatan ). Jika dibandingkan dengan negara lain, rasio jumlah tempat tidur per jumlah penduduk di Indonesia juga masih kecil. Pada 2001, rasio jumlah tempat tidur per penduduk adalah 330, sedangkan di Indonesia rasio dimaksud baru mencapai 63,8 (Kosen, 2008). Dengan terjadinya transisi demografi dan transisi epidemiologi, ke depan jumlah tempat tidur yang diperlukan akan semakin tinggi. Berdasarkan mapping yang dilakukan, berikut adalah gambaran distribusi Rumah sakit dan puskesmas di wilayah Banten. 71

84 Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010 Gambar 11. Peta Sebaran Puskesmas dan RS di Provinsi Banten Gambar diatas menunjukkan bahwa setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten memiliki satu Rumah Sakit Daerah kecuali untuk kabupaten Lebak memiliki dua buah rumah sakit, sedangkan untuk kabupaten Tangerang rumah sakit daerah yang digunakan sama dengan kota Tangerang yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang. Tabel 25. Karakteristik Rumah Sakit No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase 1 Tipe Rumah Sakit 1.1 Jumlah RS Kelas A Jumlah RS Kelas B % 1.3 Jumlah RS Kelas C % 1.4 Jumlah RS Kelas D Kondisi Fisik Gedung RS 2.1 Baik % 2.2 Rusak Ringan Rusak Sedang % 2.4 Rusak Berat % 2.5 Sedang dalam Perbaikan Jumlah RS yang memiliki fasilitas telepon 7 100% 4 Jumlah RS yang memiliki fasilitas faksimile % 5 Jumlah RS yang memiliki fasilitas komputer 7 100% Sumber : Survey GAVI-HSS,

Survei GAVI-HSS Ditjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Survei GAVI-HSS Ditjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI 614.47 Ind a Indonesia.Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Assessment GAVI - HSS 2010-2011 Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

Village Activity Mapping Service Availability Mapping Provinsi Jawa Barat

Village Activity Mapping Service Availability Mapping Provinsi Jawa Barat FORUM NASIONAL II : Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Village Activity Mapping Service Availability Mapping Provinsi Jawa Barat Deni K Sunjaya, Dewi MDH Universitas Padjadjaran HOTEL HORISON MAKASSAR,

Lebih terperinci

Laporan Akhir VM & SAM Gavi-HSS Banten, jawa barat, Sulawesi selatan, Papua barat dan Papua

Laporan Akhir VM & SAM Gavi-HSS Banten, jawa barat, Sulawesi selatan, Papua barat dan Papua 614.47 Ind l Laporan Akhir VM & SAM Gavi-HSS Banten, jawa barat, Sulawesi selatan, Papua barat dan Papua KEMENTERIAN KESEHATAN RI 2011 614.47 Ind l Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia.Kementerian

Lebih terperinci

Juknis Operasional SPM

Juknis Operasional SPM DIREKTORAT JENDERAL OTONOMI DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI Juknis Operasional SPM 1. KESEHATAN KABUPATEN/KOTA PROVINSI KABUPATEN : Jawa Timur : Tulungagung KEMENTERIAN KESEHATAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

Lebih terperinci

Standar Pelayanan Minimal Puskesmas. Indira Probo Handini

Standar Pelayanan Minimal Puskesmas. Indira Probo Handini Standar Pelayanan Minimal Puskesmas Indira Probo Handini 101111072 Puskesmas Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN IV.1. IV.2. VISI Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu dari penyelenggara pembangunan kesehatan mempunyai visi: Masyarakat Jawa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 272 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DI KABUPATEN SERDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tingginya AKI di suatu negara menunjukkan bahwa negara tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tingginya AKI di suatu negara menunjukkan bahwa negara tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat. Tingginya AKI di suatu negara menunjukkan bahwa negara tersebut dikategorikan

Lebih terperinci

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PERSALINAN AMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang : a. bahwa kesehatan

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS APBD PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1

HASIL ANALISIS APBD PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 HASIL ANALISIS APBD PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 A. POTRET AKI/AKB DI PROVINSI NTB 1. Trend Kematian Bayi 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 276 300 248 265 274 240 Tren Angka Kematian Bayi Provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih merupakan masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mereduksi AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia

Lebih terperinci

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN 2017-2019 Lampiran 2 No Sasaran Strategis 1 Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan dengan masyarakat, lintas sektor, institusi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tertinggi di Asia Tenggara. Hal itu menjadi kegiatan prioritas departemen

BAB 1 PENDAHULUAN. tertinggi di Asia Tenggara. Hal itu menjadi kegiatan prioritas departemen BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi tahun 2003 di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Hal itu menjadi kegiatan prioritas departemen kesehatan pada periode 2005-2009.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 738 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SERANG Menimbang : DENGAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU dr. Budihardja, DTM&H, MPH Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Pertemuan Teknis Program Kesehatan Ibu Bandung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat, bangsa

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) UNIT KERJA : DINAS KESEHATAN A. Tugas Pokok : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan serta melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya, selain indikator Angka Kematian Ibu (AKI), Angka

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya, selain indikator Angka Kematian Ibu (AKI), Angka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator untuk menilai kesejahteraan suatu negara dilihat dari derajat kesehatan masyarakatnya, selain indikator

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehamilan, persalinan, dan menyusukan anak merupakan proses alamiah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehamilan, persalinan, dan menyusukan anak merupakan proses alamiah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan, persalinan, dan menyusukan anak merupakan proses alamiah bagi kehidupan seorang ibu dalam usia produktif. Bila terjadi gangguan dalam proses ini, baik itu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DINAS KESEHATAN

PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DINAS KESEHATAN PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH DINAS KESEHATAN KANTOR PEMERINTAH KOTA PRABUMULIH LANTAI V JL. JEND SUDIRMAN KM 12 CAMBAI KODE POS 31111 TELP. (0828) 81414200 Email: dinkespbm@yahoo.co.id KOTA PRABUMULIH Lampiran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan Pembangunan Millennium Development Goals (MDGs) mencerminkan adanya dukungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan. Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan. Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.7. LATAR BELAKANG Cakupan imunisasi secara global pada anak meningkat 5% menjadi 80% dari sekitar 130 juta anak yang lahir setiap tahun sejak penetapan The Expanded Program on Immunization

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Millenium Development Goals (MDG) yaitu goal ke-4 dan ke-5. Target

BAB I PENDAHULUAN. dalam Millenium Development Goals (MDG) yaitu goal ke-4 dan ke-5. Target BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu yang menjadi tujuan dalam Millenium Development Goals (MDG) yaitu goal ke-4 dan ke-5. Target MDG 2015 berkaitan dengan

Lebih terperinci

LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013

LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA UTAMA TARGET PROGRAM /KEGIATAN (1) (2) (3) (4) (5) I Meningkatnya kualitas air 1 Persentase

Lebih terperinci

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 DAFTAR ISI hal. KATA SAMBUTAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN i ii iv v x BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 A. KEADAAN PENDUDUK 3 B. KEADAAN EKONOMI 8 C. INDEKS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh, untuk BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perbaikan kualitas manusia di suatu negara dijabarkan secara internasional

BAB 1 PENDAHULUAN. Perbaikan kualitas manusia di suatu negara dijabarkan secara internasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbaikan kualitas manusia di suatu negara dijabarkan secara internasional dalam Millenium Development Goal s (MDG s). Salah satu tujuan MDG s adalah menurunkan 2/3

Lebih terperinci

Tabel 4.1 Keterkaitan Sasaran Strategi dan Arah Kebijakan dalam Pencapaian Misi Renstra Dinas Kesehatan

Tabel 4.1 Keterkaitan Sasaran Strategi dan Arah Kebijakan dalam Pencapaian Misi Renstra Dinas Kesehatan Tabel 4.1 Keterkaitan Sasaran Strategi dan Arah Kebijakan dalam Pencapaian Misi Renstra Dinas Kesehatan 2013 2018 No Sasaran Strategi Arah Kebijakan Misi I : Meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang Bermutu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Deklarasi pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan hasil kesepakatan 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan di bidang kesehatan adalah mewujudkan manusia yang sehat, cerdas dan produktif. Pembangunan kesehatan menitikberatkan pada programprogram yang mempunyai

Lebih terperinci

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat.

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat. Pada misi V yaitu Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat telah didukung dengan 8 sasaran sebagai

Lebih terperinci

Angka kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator penting yang

Angka kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator penting yang Angka kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator penting yang digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini juga menjadi fokus dalam pencapaian Millenium Development Goals

Lebih terperinci

Filosofi. Mendekatkan Akses pelayanan kesehatan yg bermutu kepada masyarakat. UKM_Maret

Filosofi. Mendekatkan Akses pelayanan kesehatan yg bermutu kepada masyarakat. UKM_Maret Filosofi Mendekatkan Akses pelayanan kesehatan yg bermutu kepada masyarakat UKM_Maret 2006 1 MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS Tujuan Pembangunan Millenium (MDG) yg meliputi : 1 Menghapuskan kemiskinan & kelaparan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar dalam kelompok penyakit infeksi dan merupakan ancaman besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. terbesar dalam kelompok penyakit infeksi dan merupakan ancaman besar bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular mematikan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi dan merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjamin bahwa proses alamiah dari kehamilan berjalan normal. Tujuan dari

BAB 1 PENDAHULUAN. menjamin bahwa proses alamiah dari kehamilan berjalan normal. Tujuan dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan antenatal care merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan professional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat)

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

Lebih terperinci

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor DATA/INFORMASI KESEHATAN KABUPATEN LAMONGAN Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI 2012 Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan ketertiban dunia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan ketertiban dunia yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembukaan UUD 1945, mencantumkan tujuan nasional bangsa Indonesia yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN

HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014 Nia¹, Lala²* ¹Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Prima

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA - 1- PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MURUNG RAYA SEHAT 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MURUNG RAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan merupakan faktor

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2015

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2015 UNIT KERJA : DINAS KESEHATAN A. Tugas Pokok : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan serta melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. millenium (MDG s) nomor 5 yaitu mengenai kesehatan ibu. Adapun yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. millenium (MDG s) nomor 5 yaitu mengenai kesehatan ibu. Adapun yang menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komitmen Indonesia untuk mencapai MDG s (Millennium Development Goals) mencerminkan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya yang tinggi. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-empat

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya yang tinggi. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-empat 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kepadatan penduduknya yang tinggi. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-empat dalam hal kepadatan penduduk,

Lebih terperinci

Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal, Angka Kematian Ibu (AKI)

Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal, Angka Kematian Ibu (AKI) kesehatan ibu dan anak, penyediaan SDM yang berkulitas dan penyediaan sarana dan prasarana dalam upaya percepatan penurunan AKI di Kabupaten Bangka Tengah. Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia. Sehat mencantumkan empat sasaran pembangunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia. Sehat mencantumkan empat sasaran pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010-2014 mencantumkan empat sasaran pembangunan kesehatan, yaitu: 1) Menurunnya disparitas status kesehatan

Lebih terperinci

RPJMD Kab. Temanggung Tahun I X 47

RPJMD Kab. Temanggung Tahun I X 47 2 KESEHATAN AWAL TARGET SASARAN MISI 212 213 214 215 216 217 218 218 Kunjungan Ibu Hamil K4 % 92,24 95 95 95 95 95 95 95 Dinas Kesehatan Jumlah Ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kematian ibu semasa hamil dan bersalin masih sangat tinggi. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Kematian ibu semasa hamil dan bersalin masih sangat tinggi. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kematian ibu semasa hamil dan bersalin masih sangat tinggi. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005, lebih dari 529.000 wanita di dunia meninggal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh timbulnya penyulit persalinan yang tidak dapat segera dirujuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik yang cepat disertai dengan perubahan dalam kebutuhan

Lebih terperinci

RENCANA AKSI KINERJA DAERAH (RAD) DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Target ,10 per 1000 KH

RENCANA AKSI KINERJA DAERAH (RAD) DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Target ,10 per 1000 KH Sasaran No. Strategis 1. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan dengan masyarakat, lintas sektor, institusi swasta, organisasi profesi dan dunia usaha dalam rangka sinergisme, koordinasi diantara pelaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menyukseskan program kabinet SBY jilid 2, khususnya dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menyukseskan program kabinet SBY jilid 2, khususnya dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam rangka menyukseskan program kabinet SBY jilid 2, khususnya dalam hal ini departemen kesehatan RI mencanangkan program Meningkatkan Kesehatan Masyarakat, maka

Lebih terperinci

PP No 38/2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMDA PROVINSI DAN KAB/KOTA PP 65/2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN

PP No 38/2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMDA PROVINSI DAN KAB/KOTA PP 65/2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN EVALUASI PENCAPAIAN SPM BIDANG KESEHATAN (Perbaikan SK Menkes) Dr Siti Noor Zaenab,M.Kes Dinas Kab. Bantul DASAR HUKUM UU No 32 /2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PP No 38/2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN

Lebih terperinci

BUPATI SERANG PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 5 TAHUN 2011

BUPATI SERANG PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 5 TAHUN 2011 BUPATI SERANG PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGARAAN KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 73 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA PENCAPAIAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 3 TAHUN 2009 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2016

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TAHUN 2016 UNIT KERJA : DINAS KESEHATAN A. Tugas Pokok : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan serta melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN BULUNGAN

BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN BULUNGAN BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN BULUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 3 TAHUN 2009 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 3 TAHUN 2009 T E N T A N G KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DI KABUPATEN CIREBON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) sangat tinggi di dunia, tercatat 800 perempuan meninggal setiap hari akibat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) sangat tinggi di dunia, tercatat 800 perempuan meninggal setiap hari akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) sangat tinggi di dunia, tercatat 800 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan dan kelahiran anak. Pada tahun 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Program pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Program pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat secara mandiri agar derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan sasaran Milenium Development Goals (MDGs) telah menunjukkan menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan sasaran Milenium Development Goals (MDGs) telah menunjukkan menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laporan Pencapaian Tujuan Milenium Indonesia Tahun 2010 ditegaskan, penurunan angka kematian ibu melahirkan (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan sasaran Milenium

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan di bidang kesehatan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan di bidang kesehatan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional secara menyeluruh. Masalah kesehatan ibu dan anak merupakan masalah

Lebih terperinci

EVALUASI PERSIAPAN PUSKESMAS PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI DASAR (PONED) DI KABUPATEN BREBES TAHUN 2012

EVALUASI PERSIAPAN PUSKESMAS PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI DASAR (PONED) DI KABUPATEN BREBES TAHUN 2012 EVALUASI PERSIAPAN PUSKESMAS PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI DASAR (PONED) DI KABUPATEN BREBES TAHUN 2012 Karya wijaya Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro ABSTRAK Puskesmas PONED

Lebih terperinci

PENGUKURAN INDIKATOR KINERJA SASARAN

PENGUKURAN INDIKATOR KINERJA SASARAN Satuan Kerja Perangkat Daerah : DINAS KESEHATAN Tahun Anggaran : 2015 PENGUKURAN INDIKATOR KINERJA SASARAN No. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA 1 Peningkatan Mutu Aktivitas Perkantoran Terselenggaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut perlu dilakukan secara bersama-sama dan berkesinambungan oleh para

BAB I PENDAHULUAN. tersebut perlu dilakukan secara bersama-sama dan berkesinambungan oleh para BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan ibu dan perinatal merupakan masalah nasional yang perlu dan mendapat prioritas utama karena sangat menentukan kualitas sumber daya manusia pada generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) yang melaksanakan sebagian tugas dari Dinas Kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dari 189 negara yang menyepakati Deklarasi Millenium di New York pada bulan September 2000. Deklarasi Millenium ini dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan Kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 1762,4 km2 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 desa 270+ kel 10 = 280 3 JUMLAH PENDUDUK 1 341700 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 2388161 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. RENCANA STRATEGI 1. Visi Visi 2012-2017 adalah Mewujudkan GorontaloSehat, Mandiri dan Berkeadilan dengan penjelasan sebagai berikut : Sehat, adalah terwujudnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Program

BAB I PENDAHULUAN. utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Program BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurunkan kesakitan dan kematian ibu telah menjadi salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Program Pembangunan Nasional.

Lebih terperinci

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi baik untuk jajaran manajemen kesehatan maupun untuk masyarakat umum perlu disediakan suatu paket data/informasi kesehatan yang ringkas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Kesehatan Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkunagan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Oleh

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang :

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, No.16, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Pelayanan Kesehatan. Di Fasilitas Kawasan Terpencil. Sangat Terpencil. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 167 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 151 3 JUMLAH PENDUDUK 1 1260565 1223412 2483977 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 1083136 1048577 2131713 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE

Lebih terperinci

DEFISI DAERAH TERPENCIL

DEFISI DAERAH TERPENCIL DEFISI DAERAH TERPENCIL Daerah Terpencil adalah daerah yang sulit dijangkau karena berbagai sebab seperti keadaan geografi (kepulauan, pegunungan, daratan, hutan dan rawa), transportasi, sosial dan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang terjadi di dunia saat ini adalah menyangkut kemiskinan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang terjadi di dunia saat ini adalah menyangkut kemiskinan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah yang terjadi di dunia saat ini adalah menyangkut kemiskinan, ekonomi dan kesehatan. Masalah kesehatan sampai saat ini masih belum dapat diselesaikan. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan seutuhnya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan seutuhnya untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan seutuhnya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada semua kelompok umur. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011),

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA (KIBBLA) DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. keharmonisan hubungan suami isteri. Tanpa anak, hidup terasa kurang lengkap

BAB I. Pendahuluan. keharmonisan hubungan suami isteri. Tanpa anak, hidup terasa kurang lengkap 16 BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Anak merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada Pasangan Suami Isteri (PASUTRI). Semua pasangan suami isteri mendambakan kehadiran anak ditengah-tengah

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 4037,6 ha 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 15 3 JUMLAH PENDUDUK 1 558178 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 327536 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan tantangan yang lebih sulit dicapai dibandingkan dengan target Millenium

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan tantangan yang lebih sulit dicapai dibandingkan dengan target Millenium 19 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan tantangan yang lebih sulit dicapai dibandingkan dengan target Millenium Development Goals

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 1118KM2 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 367 3 JUMLAH PENDUDUK 1 576,544 561,855 1,138,399 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 469,818 464,301 934,119.0 5 PENDUDUK 10 TAHUN

Lebih terperinci

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013

RESUME HASIL DESK PROFIL KESEHATAN 2013 A. GAMBARAN UMUM 1 LUAS WILAYAH 1 1.753,27 KM 2 JUMLAH DESA/KELURAHAN 1 309 3 JUMLAH PENDUDUK 1 2,244,772 4 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MELEK HURUF 4 5 PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DENGAN PENDIDIKAN TERTINGGI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP 27 November 2014 KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Indikator

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Indikator 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang menunjukkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Indikator derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan bidang kesehatan merupakan bagian terpenting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan bidang kesehatan merupakan bagian terpenting dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan bidang kesehatan merupakan bagian terpenting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui upaya pelayanan kesehatan menyeluruh. Pembangunan kesehatan

Lebih terperinci