BAB I PENDAHULUAN. adanya arus urbanisasi yang cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik. bekerja sekitar 183 juta jiwa pada akhir agustus 2014.

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia pertumbuhan lahan pekerjaan tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk aktif bekerja yang bertambah setiap tahunnya. Mulai dari mereka yang baru lulus sekolah sampai mereka yang masuk pada masa pensiun. Khususnya untuk Ibukota DKI Jakarta permasalahan lahan pekerjaan menjadi bertambah berat, hal ini dikarenakan adanya arus urbanisasi yang cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik menginformasikan bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk aktif bekerja sekitar 183 juta jiwa pada akhir agustus Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintahan Indonesia dan apabila tidak ditangani maka akan mengakibatkan bertambahnya angka pengangguran, yang akan berakibat dengan timbulnya masalah-masalah sosial yang baru. Dalam menanggapi permasalahan pengembangan lapang pekerjaan pada saat ini, menjadi seorang wirausaha merupakan salah satu pilihan profesi dari seseorang. Pilihan profesi ini menjadi marak dan berkembang di kota-kota besar yang ada di Indonesia dan salah satunya adalah DKI Jakarta. Peran wirausaha di Indonesia diulas olehm Yunus (2015). Dalam tulisannya yang menceritakan kisah nyata dari 33 pengusaha muda, M Yunus memaparkan peran wirausaha pada masa krisis ekonomi di Indonesia 1

2 memberikan kontribusi yang besar dengan berusaha bertahan dan mencoba memperluas lapangan kerja. Perkembangan wirausaha di Indonesia tersebut diungkapkan juga oleh Prof.Dr.H.Mansyur Ramly (dalam Echdar.Saban, 2013) yang menyatakan bahwa kewirausahaan oleh pemerintah secara nasional telah dijadikan semacam katup penyelamat guna mengatasi terbatasnya lapangan kerja. Bentuk usaha pemerintah dalam membantu mengembangkan wirausaha telah diulas dan dipublikasikan melalui Tribunnews.com tanggal 28 April Dalam Tribunnews.com ditulis tindak lanjut dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga yang secara resmi meluncurkan Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK) dan Hak Cipta untuk para wirausahawan. Dengan demikian, UMK yang ada di Kupang dan seluruh Indonesia bisa bersaing ditingkat internasional, terutama menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN akhir tahun Selain usaha pemerintah tersebut diatas, pengembangan wirausaha dilakukan juga oleh perusahaan-perusahaan besar mulai pengembangan sistem franchise dan menjalankan program pelatihan kewirausahaan terhadap para karyawan yang masuk pada masa pensiun. Didalam dunia pendidikan pengembangan wirausaha dilakukan dengan cara memasukan program peminatan, dimana mahasiswa diwajibkan untuk mempelajari mata kuliah kewirausahaan yang bertujuan untuk membangun mind-set entrepreneur bagi yang berminat dan berpotensi menjadi entrepreneur 2

3 (Katalog Mata Ajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2010), dalam M Shalimar P, 2012). Namun dari semua dukungan-dukungan yang diberikan terhadap pengembangan kewirausahaan yang ada saat ini dan khususnya di Indonesia. Untuk menjadi seorang wirausaha dan mempertahankan usahanya tidak semudah membalikan telapak tangan. Hal tersebut melalui proses yang panjang. Dimana dalam dunia bisnis permasalahan ekonomi dari suatau negara dan persaingan antar pebisnis merupakan hal yang harus dihadapi oleh para wirausaha. Sehingga untuk menjadi seorang wirausaha dibutuhkan metal yang kuat dan pemikiran-pemikiran yang inovatif. Richard Cantillion (1755) mengungkapkan karakteristik utama wirausaha yaitu memiliki keberanian mengambil resiko, perannya mengambil keputusan untuk mendapatkan dan menggunakan sumber daya, dan mencari peluang yang terbaik untuk memperoleh hasil yang terbesar. Karakteristik wirausaha juga disebutkan oleh Harper (1991; dalam Yusuf, 1999), yang menyatakan bahwa Seorang wirausaha memiliki karakteristik suka mencari peluang, berorientasi kedepan, marker-driven dan berorientasi konsumen, realistic, tidak mudah bosan dan ulet atau pantang menyerah. Dari karakteristik wirausaha yang diungkapkan oleh Richard C dan Harper tersebut diatas, termasuk kedalam ciri dari optimism yang diungkap oleh Mardoko (dalam Shofia F., 2009) yaitu memiliki visi pribadi, bertindak konkret, berpikir realistis, menjalin hubungan sosial, berpikir proaktif dan berani melakukan trial and error. Ciri dari optimis diungkap juga oleh 3

4 Ginnis (dalam Shofia F., 2009) yaitu jarang terkejut, mencari pemecahan sebagian permasalahan, memiliki keyakinan atas masa depan dan kemampuannya, meciptakan pembaharuan, menghentikan pikiran yang negatif, kreativ, dan membina cinta dalam kehidupan. Gambaran karakteristik wirausaha dengan ciri dari optimis ini dapat kita temukan pada pemikiran Fajar Mosta dalam membangun bisnisnya (M. Yunus, 2015). Menurut Fajar pada dasarnya hidup itu tidak ada kepastian. Sama seperti menjadi seorang pengusaha yang belum tentu sukses secara pasti, namun apabila jatuh, bangkit lagi. Pernyataaa ini pun didukung oleh pengalaman hampir semua wirausaha yang diulas oleh M. Yunus, bahwa bangkrut, tertipu dan persaingan adalah hal yang harus diantisipasi oleh seorang wirausaha. Sementara saat seorang wirausaha dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya selain optimis, mereka juga dituntut untuk dapat mengelola sumber daya perusahaannya. Sumber daya tersebut terdiri dari manusia dan benda. Sumber daya manusia bisa berupa relasi/rekan bisnis dan karyawan. Wirausaha yang menganggap penting untuk memberdayakan sumber daya disekitarnya untuk lebih effektif dan efisien. Dapat kita lihat dari Gambaran kepemimpinan Hanry Ford yang mengenalkan fordisman, yaitu budaya industry seperti penerapan 8 jam kerja. Selain Hanry Ford, salah satu wirausaha di Indonesia yang mampu bertahan dengan usahanya adalah Liem Seng Tee, yang dalam pengembangan usahanya dari beberapa 4

5 karyawan menjadi sebanyak orang karyawan yang dipekerjakan dalam 2 (dua) shift di tahun Dari tokoh-tokoh wirausaha tersebut diatas, dimana mereka berasal dari latarbelakan yang berbeda dan kemampuan yang berbeda. Memberikan gambaran bahwa siapapun yang menjadi pemimpin, itu dituntut untuk mampu menjalankan sumber daya untuk mencapai target yang diinginkan. Hal tersebut diungkapkan oleh Stuart R.L dan Michael A.C (1993; dalam Tuntun S, 1996) yang menyatakan bahwa tidak ada satu cara yang benar dalam memimpin, pemimpin berbakat muncul dalam banyak tipe kepribadian, dari semua usia, ras, jenis kelamin, dan dari setiap kelompok yang ada. Teknik-teknik kepemimpinan yang paling dapat membantu adalah teknik-teknik yang dikembangkan dari dalam diri sendiri. Sementara dalam pengembangan kepemimpinan pada diri yang terpenting adalah keterampilan dan keahlian (Lord dan Hall, 2005). Pengembangan teknik-teknik kepemimpinan dalam diri seseorang ini sesuai dengan pembahasan yang diulas dalam ranah leadership education, yaitu bagaimana mengembangkan kepemimpinan dalam diri individu, atau bagaimana mengembangkan identitas kepemimpinan (leadership Identity) yang ada dalam diri individu (Komives, 2005). Komives mengembangkan suatu pola stage development yang terkait dengan kepemimpinan. Pola ini disebut dengan Leadership Identity Development (LID). 5

6 Dalam pengembangan LID,Komives (2005) mengungkapkan faktor development self dimana salah satu aspeknya adalah rasa percaya diri. Rasa percaya diri ini termasuk kedalam ciri dari Optimisme yang diungkapkan oleh Ginnis (dalam Shofia., 2009). Ginnis menyebutkan orang yang optimis adalah orang yang merasa yakin bahwa dia mampu mengendalikan masa depannya dan yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Hal ini diungkapkan juga oleh Saraso (dalam Nurlela, 2001: 13) yang menyebutkan bahwa percaya diri merupakan bentuk interpretasi langsung dari individu terhadap kemampuan sendiri, evaluasi terhadap seluruh tingkah lakunya, dan harapan individu terhadap keberhasilan. Dari ulasan karakteristik seorang wirausaha yang diungkapkan oleh Richard C (1755) dan Harper (1991), serta aspek percaya diri dari LID yang diungkapkan oleh Komives. Keduanya masuk dalam ciri dari optimisme. Untuk melihat keterkaitan antara LID dan optimisme pada wirausaha,maka dalam kesempatan ini peneliti ingin meneliti langsung secara kuantitatif, apakah ada hubungan antara tahapan yang ada dalam LID dengan tingkat Optimism pada diri wirausaha. Penelitian yang dilakukan secara kuantitatif ini dilakukan di area DKI Jakarta yang memiliki tingkat urbanisasi yang cukup tinggi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka didapat suatu rumusan masalah adalah apakah ada hubungan antara tahapan 6

7 perkembangan identitas kepemimpinan dan optimism pada wirausaha di area Jakarta? C. Maksud dan Tujuan Penelitian 1. Maksud Untuk mengetahui gambaran secara generalisasi hubungan antara tahapan perkembangan identitas kepemimpinan dan tingkat optimis pada wirausaha. 2. Tujuan Untuk melihat hubungan antara tahapan identitas kepemimpinan dan tingkat optimis yang ada pada wirausaha. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memperkaya hasil penelitian bagi psikologi kepemimpinan, psikologi sosial dan psikologi organisasi untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan. Dalam penelitian ini berusaha untuk memberikan gambaran hubungan antara Leadership Identiity Development (LID) dan optimism pada wirausaha. 2. Secara praktis : a. Dapat memberikan informasi bagi para pihak yang berkepentingan dalam strategi pengembangan kewirausahaan. b. Dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait lainnya agar lebih memperhatikan aspek psikologis dari para wirausaha 7