BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas Pengertian Efektivitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya) dapat diartikan dapat membawa hasil, berhasil guna, serta dapat pula berarti mulai berlaku. Seorang praktisi ahli mendefenisikan efektivitas sebagai pencapaian sasaran yang telah disepakati secara bersama serta tingkat pencapaian sasaran itu menunjukkan tingkat efektivitas ( Tampubolon, 2008:175). Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target kuantitas, kualitas dan waktu telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Sondang P. Siagian juga menjelaskan bahwa efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. 27

2 Menurut Abdurahman efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Menurut kamus administrasi efektif adalah berhasil guna/tepat guna. Efektif adalah pencapaian sasaran mengenai suasana dagang dan kemungkinan membuat laba/keuntungan. Efektif berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Pekerjaan yang efesien adalah hasil yang dicapai dengan penghamburan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda. Dalam pengertian teoritis dan praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan efektivitas. Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu efektivitas dilihat berdasarkan pencapaian hasil atau pencapaian dari suatu tujuan. Efektivitas berfokus kepada outcome (hasil) dari suatu program atau kegiatan, yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan. Pada dasarnya, dikemukakan bahwa cara yang terbaik untuk meneliti efektivitas ialah memperhatikan secara serempak tiga buah konsep yang saling berhubungan, diantaranya adalah paham mengenai optimal tujuan, prespektif sistematika, tekanan pada segi tingkah laku manusia dalam susunan organisasi. Efektivitas dijabarkan berdasarkan kapasitas suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang langka dan berharga secara sepandai mungkin dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan operasionalnya. Efektivitas dan efisiensi adalah dua hal yang berbeda.efektivitas adalah melakukan hal yang benar sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak 28

3 dicapai.efesiensi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara benar.dalam hal ini efektivitas suatu program dapat menimbulkan sasaran atau tujuan yang telah disepakati bersama dapat terwujud dan dilaksanakan dengan baik maupun tidak. Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya secara komprehensif. Efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokok atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam mengukur efektivitas suatu program atau kegiatan perlu diperhatikan beberapa indikator, yaitu: 1. Pemahaman program 2. Ketetapan sasaran 3. Tepat waktu 4. Tercapainya tujuan 5. Perubahan nyata (Sutrisno, 2007: ) Pendekatan Terhadap Efektivitas Pendekatan terhadap efektivitas dilakukan dengan bagian yang berbeda, dimana perusahaan mendapatkan input berupa berbagai macam sumber darilingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam perusahaan mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan kembali kepada lingkungannya. 29

4 Pendekatanterhadap efektifitas terdiri dari: 1.Pendekatan Sasaran Pendekatan ini mencoba mengatur sejauh mana suatu perusahaan berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut. Sasaran yang perlu diperhatikan dalam pengukuran efektifitas ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkan. Dan memusatkan perhatian terhadap aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output. Pendekatan sasaran dapat direalisasikan apabila organisasimampu melakukan pendekatan kepad awarga binaaan sosial dalam mengarahkan kepada tujuan yang ingin dicapaiyaitu semua warga binaan sosial dapat berfungsi sosial. 2.Pendekatan Sumber Pendekatan sumber mengukur efektivitasmelalui keberhasilan suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkan. Suatu organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu organisasi terhadap lingkungannya, karena perusahaan mempunyai hubungan yang merata dengan lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga dilemparkannya pada lingkungannya. Sementara itu sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan sering kali bersifat 30

5 langka dan bernilai tinggi. Pendekatan sumber dalam organisasi dapat di ukur dari seberapa jauh hubungan antara warga binaan sosial dengan lingkungan sekitarnya. 3.Pendekatan Proses Pendekatan proses menganggap efektivitas sebagai defenisi dan kondisi kesehatan dari suatu organisasi. Pada organisasi yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap berbagai sumber yang dimiliki organisasi, yang menggambarkan tingkat efesiensi serta kesehatan organisasi. Tujuan dari pada pendekatan proses yang dilakukan organisasi adalah bagaimana organisasi mampu menggunakan semua program secara terkoordinir dengan baik kepada warga binaan (Cunningham, 1978:635,dalam jurnal Dhahran Manogi Manurung, 2013) Masalah dalam Pengukuran Efektivitas Kesulitan menilai efektivitas disebabkan oleh beberapa masalah yang tak terpisahkan dari model yang sekarang ada mengenai keberhasilan organisasi. Masalah-masalah pengukuran ini sangat beraneka ragam baik dalam sifat maupun titik asal mereka. Adapun masalah-masalah dalam pengukuran efektivitas yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 1.Masalah kesahihan susunan. 31

6 Maksud susunan disini adalah suatu hipotesis yang abstrak (sebagai lawan dariyang kongkrit) mengenai hubungan antara beberapa variabel yang saling berhubungan. Ia mengungkapkan keyakinan bahwa variabel-variabel tersebut bersama-sama membentuk suatu keseluruhan yang utuh. 2.Masalah stabilitas kriteria Artinya bahwa banyak kriteria evaluasi yang digunakan ternyata relatif tidak stabil setelah beberapa waktu. Yaitu kriteria yang dipakai untuk mengukur efektivitas pada suatu waktu mungkin tidak tepat lagi atau menyesatkan pada waktu berikutnya. Kriteria tersebut berubah-ubah tergantung pada permintaan,kepentingan dan tekanan-tekanan ekstern. 3.Masalah perspektif waktu. Masalah yang ada hubungannya dengan hal diatas adalah perspektif waktu yang dipakai orang pada waktu menilai efektivitas. Masalah bagi mereka yang mempelajari manajemen adalah cara yang terbaik menciptakan keseimbanganantara kepentingan jangka pendek dengan kepentingan jangka panjang, dalam usaha mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan dalam perjalanan waktu. 4.Masalah kriteria ganda. Seperti ditunjukkan sebelumnya, keuntungan utama dari ancangan multivariasi dalam evaluasi efektivitas adalah sifatnya yang komprehensif,memadukan beberapa faktor kedalam suatu kerangka yang kompak. Hal yang terpenting adalah bahwa jika menerima kriteria tersebut untuk efektivitas, maka organisasi 32

7 menurut defenisinya tidak dapat menjadi efektif, mereka tidak dapat memaksimalkan kedua dimensi tersebut secara serempak. 5.Masalah ketelitian pengukuran. Pengukuran terdiri dari peraturan atau prosedur untuk menentukan beberapa nilai atribut dalam rangka agar atribut-atribut ini dapat dinyatakan secara kuantitatif. Jadi, berbicar amengenai pengukuran efektivitas organisasi,dianggap ada kemungkinan menentukan kuantitas dari konsep ini secara konsisten dan tetap. Tetapi penentuan kuantitas atau pengukuran demikian sering sulit karena konsep yang diteliti rumit dan luas. Dihadapkan dengan masalah tersebut, orang harus berusaha mengenali kriteria yang dapatdiukurdengan kesalahan minimum atau berusaha mengendalikan pengaruh yang menyesatkan dalam proses analisis. 6.Masalah kemungkinan generalisasi Apabila berbagai masalah pengukuran diatas dapat dipecahkan, masih akan timbul persoalan mengenai seberapa jauh orang dapat menyatakan kriteria evaluasi yang dihasilkannya dapat berlaku juga pada organisasi lainnya. Jadi, pada waktu memilih kriteria orang harus memperhatikan tingkat konsistensi kriteria tersebut dengan tujuan dan maksud organisasi yang sedang dipelajari. 7.Masalah relevansi teoritis Tujuan utama dari setiap ilmu adalah merumuskan teori-teori dan model-model yang secara tepat mencerminkan sifat subyek yang dipelajari. Jadi, dari sudut pandang teoritis harus diajukan pertanyaan yang logis sehubungan dengan relevansi model-model tersebut. Jika model tersebut tidak membantu kita dalam memahami proses, struktur dan tingkah laku organisasi, maka mereka kurang bernilai pandang dari sudut teoritis. 33

8 8.Masalah tingkat analisis Kebanyakan model efektivitas hanya menggarap tingkat makro saja, membahas gejala keseluruhan organisasi dalam hubungannya dengan efektivitas tetap imengabaikan hubungan yang kritis antara tingkah laku individu dengan persoalan yang lebih besar yaitu keberhasilan organisasi. Jadi, hanya ada sedikit integrasi antar model makro dengan apayang dapat kita sebut model mikro dari karya dan efektivitas (Steers, 1980: dalam jurnal Dhahran Manogi Manurung, 2013). 2.2 Pengertian Program Program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu kegiatan. Di dalam program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa di dalam setiap program dijelaskan mengenai: 1. Tujuan kegiatan yang akan dicapai. 2. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan. 3. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui. 4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan. 5. Strategi pelaksanaan. Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebihmudah untuk diopersionalkan. Hal ini sesuai dengan pengertian program yangdiuraikan. A programme is collection of interrelated project designed to harmonize and integrated various action an activities for achieving averral policy abjectives (suatu program adalah kumpulan proyek-proyek yang berhubungan telah 34

9 dirancang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang harmonis dan secara integraft untuk mencapai sasaran kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan. Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu: 1. Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program. 2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran. 3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik. Program terbaik didunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik (Jones, 1996:295 dalam jurnal Benni Susanto Kembara, 2010). 2.3 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan 35

10 kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. (Siagian,2012:165) Pemberdayaan masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai proses pengupayaan masyarakat yang di dalamnya terkandung gagasan dan maksud kesadaran tentang martabat dan harga diri, hak-hak masyarakat mengambil sikap, membuat keputusan dan selanjutnya secara aktif melibatkan diri dalam menangani perubahan.(bahari dalam Siagian dan Suriadi, 2012:152) Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah mengembangkan kemampuan, kemandirian dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat dapat membangun diri dan lingkungannya secara mandiri dengan menciptakan demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pembangunan. Untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dalam pembangunan, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan kewenangan secara proporsional kepada masyarakat untuk mengambil keputusan secara mandiri tentang program program yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian pemerintah berperan sebagai fasilitator melalui pemberian bantuan, pembinaan/arahan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan (( diakses Selasa, 27 Januari 2015 pukul WIB). Dalam pemberdayaan, peran serta masyarakat diharapkan dapat terwujud bukan hanya dalam bentuk kerja bakti dan donasi, tetapi masyarakat juga harus diberi kesempatan untuk ikut serta dalam menemukan masalah-masalah serta pengambilan keputusan dan penyusunan program pembangunan sehingga 36

11 program yang disusun lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. pemberdayaan masyarakat dewasa ini bangkit menggeliat menuntut haknya yaitu hak berdaulat, hak berkuasa, hak berencana, hak melaksanakan, hak mengawasi dan menikmati hasil pembangunan.(sulaeman, 2012:8) Pembangunan masyarakat dengan pemberdayaan dipandang sangat penting berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut: (1) masyarakat yang produktif adalah masyarakat yang sehat, (2) proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa, (3) proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai sikap masa bodoh, (4) proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-upaya kemasyarakatan merupakan dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis dan mandiri. (Sulaeman, 2012:7) Pada prakteknya ruang lingkup program pemberdayaan masyarakat dapat diawali dari iktiar sederhana dalam suatu kelompok kecil. Ikhtiar tersebut selanjutnya dapat dikembangkan menjadi program dan aktivitas yang lebih luas,dan pada kelompok sasar yang lebih luas pula. Efektivitas pemberdayaan masyarakat dapat dicapai jika dirancang dalam masa panjang, melalui rancangan yang tepat, menyeluruh dan akurat, mengembangkan ikhtiar dan dukungan anggota masyarakat sebagai kelompok sasarkan masyarakat, dan berakhir pada pengalaman yang berkesan (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:153) Pemikiran Smith tersebut secara keseluruhan sesuai dengan asas-asas kaidah yang dikembangkan dalam pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial. Semua metode pekerjaan sosial, baik yang utama maupun pendukung senantiasa meletakkan manusia, baik secara 37

12 pribadi, kelompok ataupun masyarakat sebagai fokus utama. Mereka tidak menerima begitu saja program dari pihak lain atau pihak luar, tetapi dilibatkan dalam proses supaya mereka berubah. Meminjam prinsip pekerjaan sosial, dalam program pemberdayaan masyarakat, maka masyarakat sebagai kelompk sasar tidak diberi ikan, tetapi diberi pancing. Efektivitas program pemberdayaan masyarakat hanya akan tercapai muatan program tersebut berisian peluang dan masyarakat bersikap tanggap. Selanjutnya masyarakat sadar atas kemampuan dan keterbatasannya dan mau bertindak bersama untuk menacapi keuntungan bersama, dan semua perubahan yang terjadi ditanggapi secara positif (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:154). 2.4 Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial Kebijakan Publik Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti goverment yang hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula govermance yang menyeluruh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Banyak defenisi mengenai kebijakan publik. Sebagian ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan sesuatu tindakan yang dianggap akan membawa 38

13 dampak bagi kehidupan warganya. Kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai whatever goverment choose to do or not to do. Artinya kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. (Brigdman dan Davis, dalam Suharto, 2008:3) Tidak berarti bahwa dalam kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi non pemerintah, organisasi sosial dan lembagalembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena kebijakan mereka tidak memakai sumber daya publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah. Kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut (Hogwood dan Gunn, dalam Suharto, 2008:5): 1. Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataanpernyataan yang ingin dicapai. 2. Proposal tentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih. 3. Kewenanangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah. 4. Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan. 5. Keluaran, yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah sebagai produk dari kegiatan tertentu. 6. Teori yang menjelaskan bahwa jika melakukan X maka diikuti oleh Y. 7. Proses yang panjang dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang. 39

14 Brigdman dan Davis menerangkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang salung bertautan, yakni: 1. Kebijakan publik sebagai tujuan Kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untuk mencapai sebuah tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah. 2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal Melalui kebijakan-kebijakan, pemerintah membuat ciri khas kewenangannya. Artinya, kompleksitas dunia politik disederhanakan menjadi pilihan-pilihan tindakan yang sah dan legal untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik. 3. Kebijakan publik sebagai hipotesis Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan selalu memuat disinsetif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu Kebijakan Sosial Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang 40

15 bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Watts, Dalton dan Smith secara singkat kebijakan sosial menunjukkan pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (Suharto, 2008:10). Kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori yakni: 1. Peraturan perundang-undangan yakni pemerintah memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan. 2. Program pelayanan sosial yakni sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial. 3. Sistem perpajakan yakni dikenal sebagai kebijakan fiskal, selaian sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupaka instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju bantuan publik dan asuransi sosial adalah dua bentuk jaminan sosial yang dananya sebagian berasal dari pajak. (Suharto, 2008:11) Kebijakan sosial dan kebijakan publik yang penting dinegara-negara maju atau modern dan demokratis, semakin maju dan modern suatu negara maka semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya di negara-negara miskin dan otoriter kebijakan sosial kurang 41

16 mendapat perhatian. Kebijakan sosial pada hakekatnya merupakan kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial. Dengan demikian makna dari kebijakan sosial adalah kebijakan publik, sedangkan pada makna sosial adalah menunjuk pada bidang-bidang atau sektor yang menjadi garapannya yaitu bidang kesejahteraan sosial. Ada dua pendekatan dalam mendefenisikan kebijakan sosial sebagai sebuah kebijakan publik yaitu pendekatan pertama mendefenisikan kebijakan sosial sebagai seperangkat kebijakan negara yang dikembangkan untuk mengatasi masalah sosial melalui pemberian pelayanan sosial, dan jaminan sosial. Pendekatan kedua mendefenisikan kebijakan sosial sebagai disiplin studi yang mempelajari kebijakan-kebijakan kesejateraan, perumusan dan konsekuensinya. Meskipun kedua pendekatan ini memiliki orientasi yang berbeda baik sebagai ketetapan pemerintah maupun sebagai bidang studi keduanya memiliki atau menekankan bahwa kebijakan sosial adalah salah satu kebijakan publik yang menyangkut pembangunan kesejahteraan sosial (Spicker, Bregman dan Davis dalam Suharto, 2008:11-12). 2.5 Kemiskinan Ditinjau dari pihak yang mempersoalkan dan mencoba mencari solusi atas masalah kemiskinan, dapat dikemukakan bahwa kemiskikan merupakan masalah pribadi, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia. PBB sendiri memiliki agenda khusus sehubungan dengan penanggulangan masalah kemiskinan. Dalam Millenium Development Goals, institusi sejagat tersebut memiliki target tertentu sehubungan dengan upaya penyelesaian masalah kemiskinan di muka bumi ini. 42

17 Demikian halnya dengan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui berbagai kementrian, dinas maupun badan memiliki berbagai program penanggulangan masalah kemiskinan. Kemiskinan identik dengan suatu penyakit.oleh karena itu, langkah pertama penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu masalah. Cara berpikir seperti ini mengikuti alur berpikir dalam manajemen perencanaan strategik. Secara manajemen, memahami suatu masalah berarti menapaki 50% jalan penyelesaian masalah tersebut. Untuk memahami masalah kemiskinan, kita perlu memandang kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan kemiskian sebagai suatu proses. Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara, sebagai suatu proses kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok oarang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Secara umum istilah miskin atau kemiskinan dapat dengan mudah kita artikan sebagai suatu kondisi yang kurang atau minim. Dalam hal ini konsep kurang maupun minim dilihat secara komparatif antara kondisi nyata kehidupan pribadi atau sekelompok orang di satu pihak dengan kebutuhan pribadi atau sekelompok orang di lain pihak. Pengertian minim di sini bersifat relatif, dapat 43

18 berbeda dengan rentang waktu yang berbeda. Dapat pula berbeda dengan lingkungan yang berbeda. (Siagian, 2012:15). Kemiskinan merupakan produk dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan modal dengan sumber daya manusia serta kelembagaan (Pearce, dalam Siagian 2012:7). Analisis kemiskinan seperti ini didasarkan pada hipotesis bahwa berbagai unsur yang menjadi elemen suatu ekosistem senantiasa terlibat dalam suatu interaksi. Dalam hal ini kemiskina itu merupakan suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi yang bersifat timpang diantara berbagai elemen yang ada dalam ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Interaksi diantara berbagai elemen yang telah dikemukakan sesungguhnya menentukan kondisi kehidupan manusia dan masyarakat, karena interaksi tersebut menentukan corak, bagaimana daya dukung suatu wilayah bagi kehidupan manusai atau masyarakat yang hidup di sekitarmya. Secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan secara ketegoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian besar, yaitu (Siagian, 2012: ): 1. Faktor Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, yang meliputi: a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan. b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi. c. Mental emosional atau tempramental, seperti: malas, mudah menyerah dan putus asa. 44

19 d. Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin. e. Sosial psikologis, seperti: kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi, stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan. f. Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja. g. Asset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja. 2. Faktor eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, meliputi: a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai aset dan alat memenuhi kebutuhan hidup. c. Terbatasnya lapangan perkerjaan formal dan kurang terlindunginya usahausaha sektor informal. d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro. e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak. f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal, seperti zakat. g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (structural adjusment program) h. Budaya yang kurang medukung kemajuan dan kesejahteraan. 45

20 i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana. j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin 2.6 Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Tujuan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni 1) Tersedianya pelayanan perumahan yang layak huni bagi keluarga fakir miskin 2) Meningkatnya kemampuan keluarga dalam melaksanakan peran dan fungsi keluarga untuk memberikan perlindungan, bimbingan, dan pendidikan keluarga. 3) Meningkatnya kualitas kesehatan lingkungan pemukiman keluarga miskin 4) Meningkatnya kualitas hidup masyarakat 5) Berkembangnya kegotong-royongan dan kesetiakawanan sosial 6) Meningkatnya kondisi perekonomian keluarga fakir miskin 7) Terentaskannya masalah kemiskinan Kriteria Kepala Keluarga Penerima Bantuan RS-RTLH Adapun kriteria yang harus dimiliki kepala keluarga penerima bantuan RS-RTLH adalah sebagai berikut: 1. Memiliki KTP/identitas diri yang berlaku; 46

21 2. Kepala keluarga /anggota keluarga tidak mempunyai sumber mata pencaharian atau mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiian; 3. Kehidupan sehari-hari masih memerlukan bantuan pangan untuk penduduk miskin seperti zakat dan raskin; 4. Tidak memiliki asset lain apabila dijual tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup anggota keluarga selama 3 bulan kecuali tanah dan rumah yang ditempati; 5. Memiliki rumah di atas tanah milik sendiri yang dibuktikan dengan sertifikat atau girik atau ada surat keterangan kepemilikan dari kelurahan /desa atas status tanah. 6. Rumah yang dimiliki dan ditempati adalah rumah tidak layak huni yang tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial, dengan kondisi sebagai berikut : a. Tidak permanen dan / atau rusak; b. Dinding dan atap dibuat dari bahan yang mudah rusak/lapuk, seperti : papan, ilalang, bamboo yang dianyam/gedeg, dsb; c. Dinding dan atap sudah rusak sehingga membahayakan, mengganggu keselamatan penghuninya; d. Lantai tanah/semen dalam kondisi rusak; e. Diutamakan rumah tidak memiliki fasilitas kamar mandi, cuci dan kakus Kriteria Sarana dan Prasarana Lingkungan Sarana prasarana lingkungan yang menjadi sasaran kegiatan adalah : 47

22 a. Terletak pada lokasi RS-RTLH; b. Merupakan fasilitas umum yang mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat terutama warga miskin; c. Menjadi kebutuhan dan diusulkan oleh masyarakat; d. Legal dan tidak berpotensi menimbulkan konflik sosial; e. Masyarakat setempat bersedia untuk mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki seperti : lahan, tenaga dan material Kelompok Penerima Bantuan Kepala Keluarga penerima bantuan dengan difasilitasi oleh Dinas Sosial Kab/Kota membentuk kelompok dengan anggota berjumlah 5 sampai dengan 10 KK. Tugas kelompok adalah : a. Membentuk pengurus kelompok terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara; b. Membuka rekening di Bank Pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara; c. Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi; d. Menetapkan toko bangunan yang akan menjamin penyediaan barang; e. Mengusulkan pelaksana yang ahli dalam bidang bangunan (tukang); f. Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp ,- setiap rumah untuk disetujui oleh Dinas SosialKab/Kota; 48

23 g. Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok; h. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan RS-RTLH kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi dengan malampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan telah diselesaikannya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah Tim Pembangunan Sarling ( Sarana Prasana Lingkungan) Dalam pelaksanaan pembangunan Sarling di RS-RTLH tim pembangunan sarling mempunyai tugas sebagai berikut: a. Menyusun pengurus Tim Sarling yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota; b. Membuka rekening di bank pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara; c. Menentukan jenis Sarling yang akan dibangun sesuai kebutuhan masyarakat; d. Menggali dan mendayagunakan potensi dan sumber local; e. Menggerakkan masyarakat dan dunia usaha untuk berpartisipasi; 49

24 f. Menunjuk tenaga ahli (tukang); g. Melaksanakan pembangunan Sarling secara bergotong-royong; h. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; i. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan Sarling kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi, dengan melampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan selesainya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah Prosedur Pengusulan Kegiatan Prosedur pengusulan penerima bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungfan adalah sebagai berikut : a. Dinas Sosial Kab/Kota bersama TKSK/PSM/Karang Taruna/Orsos/Aparat desa/kelurahan melakukan pendataan KK calon penerima RTLH; b. Berdasarkan hasil pendataan tersebut, Dinas Sosial/Instansi Kab/Kota mengajukan permohonan bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni ke Kementerian Sosial dengan rekomendasi Dinas Sosial Provinsi dengan melampirkan data 50

25 lokasi, data calon penerima (by name by address) dan foto rumah; c. Ditjen Pemberdayaan Sosial cq Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi lapangan; d. Berdasarkan hasil verifikasi administrasi dan lapangan Ditjen Pemberdayaan Sosial mengeluarkan SK Penerapan KK penerima bantuan RS-RTLH dan alokasi Sarling; e. Nama penerima bantuan yang sudah ditetapkan dalam SK Dirjen Pemberdayaan Sosial tidak dapat diganti Pelaksanaan Kegiatan Prinsip Pelaksanaan Prinsip pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan sarling adalah: a. Swakelola; Baik secara individu maupun kelompok sesuai pasal 39 dan lampiran I Bab III Keppres No.80 tahun b. Kesetiakawanan; Dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang. c. Keadilan; Menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif dan seimbang antara hak dan kewajiban. d. Kemanfaatan; Dilaksanakan dengan memperhatikan kegunaan atau fungsi dari barang/ruang/kondisi yang diperbaiki atau diganti. e. Keterpaduan; Mengintegrasikan berbagai komponen terkait sehingga dapat berjalan secara terkoordinir dan sinergis. 51

26 f. Kemitraan; Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan fakir miskin dan masyarakat pada umumnya dibutuhkan kemitraan dengan berbagai pihak. g. Keterbukaan; Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini berhak mendapatkan informasi yang benar dan bersedia menerima masukan bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan RS- RTLH. h. Akuntabilitas; Berbagai sumber daya digunakan dengan penuh tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administratif. i. Partisipasi; Pelaksaan RS-RTLH dan Sarling dilaksanakan dengan melibatkan unsur masyarakat termasuk dunia usaha dengan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimilikinya. j. Profesional; Dilaksanakan dengan menggunakan manajemen yang baik dan pendekatan /konsep yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. k. Keberlanjutan; Dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian Tahapan Pelaksanaan Bantuan a. Verifikasi proposal RS-RTLH dan Sarling; b. Penjajagan calon lokasi kegiatan, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kesiapan daerah dan masyarakat, kelayakan 52

27 calon penerima bantuan dan faktor lainnya yang akan mendukung keberhasilan kegiatan; c. Sosialisasi Sosialisasi dilaksanakan dalam rangka memperoleh kesamaan pemahaman dan gerak langkah setiap pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan SarlingSasaran kegiatan sosialisasi mencakup : 1) Dinas/Instansi Sosial Provinsi; 2) Dinas/Instansi Sosial Kabupaten/Kota; 3) Unsur Masyarakat; 4) Pendamping (TKSK). d. Membangun dan mengembangkan komitmen untuk menyepakati berbagai sumber daya yang dapat dan akan dialokasikan oleh Pemerintah Daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mencapai keberhasilan pelaksanaan program; e. Penentuan lokasi dan calon penerima; f. Verifikasi Calon Penerima Bantuan; g. Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling : 1) Melakukan penilaian dan menentukan bagian rumah yang akan diperbaiki; 2) Menetapkan prioritas bagian rumah yang akan diperbaiki berdasarkan pada fungsi dan ketersediaan dana dan sumber lainnya; 53

28 3) Membuat rincian jenis/bahan bangunan yang diperlukan serta besarnya biaya; 4) Melaksanakan pembelian bahan bangunan; 5) Melaksanakan kegiatan perbaikan rumah dan pembangunan Sarling; 6) Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling telah selesai selambat-lambatnya 100 hari setelah dana masuk ke rekening kelompok Pelaporan Pelaporan hasil pelaksanaan kegiatan oleh Dinas Sosial Kab/Kota kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, mencakup : a. Laporan pertanggungjawaban keuangan dana operasional dan Sarling masing-masing Kab/Kota selambat-lambatnya akhir tahun anggaran; b. Laporan pertanggungjawaban keuangan bantuan RS-RTLH masing-masing kelompok dan Sarling setelah selesai pelaksanaan pekerjaan; c. Laporan hasil pelaksanaan kegiatan dengan melampirkan foto rumah dan Sarling dalam kondisi sebelum, proses dan hasil akhir kegiatan dengan disertakan surat pernyataan penyelesaian pekerjaan untuk kelompok, disampaikan selambat-lambatnya 14 hari setelah pekerjaan selesai Pelaksanaan Program 1) Unsur Pemerintahan 54

29 Kementrian Sosial Dinas Sosial Provinsi Jajaran Pemkot/Pemkab Dinas Sosial Kota/Kabupaten Dinas/Instansi/Lembaga terkait 2) Unsur Masyarakat Penerima Bantuan Tokoh Masyarakat, tokoh Agama, tokoh adat TKSK, PSM, Karang Taruna, Tagana WKSBM, FCU Organisasi Sosial / LSM 3) Dunia Usaha Peran Pihak-Pihak Terkait 1. Kementrian Sosial Menyusun pedoman pelaksanaan Bedah Kampung Menyiapkan anggaran Bedah kampung Melakssanakan penjajakan dan verifikasi ke lokasi calon penerima kegiatan Melaksanakn Koordinasi dengan pihak-pihak terkait Menetapkan lokasi Bedah kampung berdasarkan usulan daerah Menyalurkan bantuan Bedah Kampung Melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi Membuat laporan kegiatan 55

30 2. Provinsi Menerima usulan dari kab/kota data calon penerima bantuan RS-RLTH, Sarling, dan UEP KUBE serta memberikan rekomendasi Mengusulkan lokasi yang menjadi prioritas kegiatan Menggali potensi dan sumber untuk mengoptimalkan pelaksanaan bedah kampung Bersama dengan kementrian sosial RI melakukan penjajakan, pematuhan evaluasi 3. Kabupaten Melakukan pendataan/ menyiapkan mengajukan data lokasi bedah kampung dan data by name by addres calon kepala keluarga penerima kegiatan bantuan RS- RLTH, Sarling, dan UEP KUBE kepada kementrian sosial melalui dinas sosial provinsi Melibatkan TKSK untuk menggerakan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan bedah kampung Melakssakan sosial kegiatan bedah kampung kepada penerima bantuan pihak-pihak terkait wilayah kerjanya Melaksanakan verifikasi calon penerima RS-RLTH, Sarling, UEP KUBE dalam rangka bedah kampung Membentuk kelompok penerima bantuan UEP KUBE Membentuk tim Sarling 56

31 Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan bedah kampung Membuat/ menginformasikan rekening kelompok penerima bantuan dan menyiapkan rrekening untuk bantuan dana operasional untuk bantuan yang bersumber dari dana APBN Mengalokasikan dana untuk optimalisasi pelaksanaan bedah kampung Menggerakkan potensi sumber kesejahteraan sosial Melaksanakan monitoring serta evaluasi Bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaan pelaksanaan kegiatan bedah kampung Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bedah kampung kepada kementrian sosial. 4. Pendamping (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) Membantu membuat rencana usulan kebetuhan perbaikan rumah dan sarling dalam rangka bedah kampung Membantu monitoring pelaksanaan kegiatan bedah kampung Melaksanakan pendampingan terhadap KUBE Membantu memobilisasi massa dalam pelaksanaan bedah kampung Membantu pembuatan laporan 57

32 Memberikan motivasi kepada masyarakat penerima bantuan 5. Penerima bantuan RS-RLTH Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp untuk disetujui dinas sosial Kab/kota Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok 6. Masyarakat Mengalokasikan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk keberhasilan kegiatan Melaksanakan penanggulangan dana dan sumber lainnya yang dibutuhkan Bersama kelompok dan tim pembangunan sarling melaksanakan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungan Melaksanakan pemeliharaan dan peningkatan hasil kegiatan bedan kampung Penyaluran, Pencairan dan Penggunaan Dana 58

33 Penyaluran a. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas penanggung jawab pengelola anggaran (nama dan alamat kantor, penanggung jawab program, nama bendahara pengeluaran, nomor rekening bank dan nomor pokok wajib pajak) ke Dit. PFM untuk dana operasional (tembusan disampaikan kepada Dinas/Instansi Sosial Provinsi); b. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas dan nomor rekening Dinas Sosial yang sudah ada, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening Tim Sarling; c. Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin mengajukan SPP-LS ke bagian keuangan Direktorat bjenderal Pemberdayaan Sosial dengan melampirkan SK Dirjen Pemberdayaan Sosial tentang penetapan penerima bantuan serta nomor rekening Dinas Sosial Kb/Kota, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening tim Sarling untuk dibuatkan SPM-LS; d. Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan SPM-LS ke KPPN dilampiri SK Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial tentang penerima bantuan RS-RTLH dan Sarling, serta dana operasional; e. KPPN menerbitkan SP2D dan menyalurkan ke rekening Dinas Sosial Kab/Kota, rekening kelompok penerima bantuan RS- RTLH dan rekening tim Sarling; 59

34 f. Pencairan dana kegiatan RS-RTLH dari rekening kelompok dapat dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi/persetujuan dari Dinas Sosial Kab/Kota Penggunaan Dana a. Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit rumah; Rp ,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut : Tabel 2.1 Rincian Penggunaan Dana Bantuan RS-RTLH Uraian % Jumlah (Rp) Pembelian bahan bangunan dan konsumsi ,- Biaya tukang ,- J u m l a h ,- b. Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit Sarling; Rp ,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut : Tabel 2.2 Rincian penggunaan Dana Bantuan sarling Uraian % Jumlah (Rp) Pembelian bahan bangunan dqn konsumsi ,- 60

35 Biaya tukang ,- J u m l a h ,- c. Jumlah dana untuk operasional kegiatan sebesar Rp ,- yang digunakan untuk: Sosialisasi Monitoring dan Evaluasi Pelaporan d. Apabila sampai dengan akhir tahun anggaran masih terdapat sisa dana operasional, maka Dinas Sosial kab/kota harus segera menyetor ke kas Negara dengan blanko Surat Setoran Pengembalian Belanja, belanja barang non operasional lainnya dengan kode an. Direktorat PFM kode Satker e. Seluruh pajak dan penerima Negara bukan pajak dalam pelaksanaan kegiatan dana operasional disetorkan ke kas Negara oleh pihak Dinas Sosial Kab/Kota sesuai peraturan perpajakan yang berlaku dengan menyampaikan bukti setoran pajak dan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin Sanksi 61

36 Sanksi hukum akan dikenakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku apabila : a. Dinas Sosial selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana operasional tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya; b. Kelompok penerima bantuan stimulan RS-RTLH selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana bantuan tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya; c. Tim Sarling selaku pengelola dan penanggung jawab dana Sarling tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya Landasan Hukum a. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 (ayat 2), 28 Huruf H ayat 3, 33, 34 ayat 1dan 2 b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tenteng Kesejahteraan Sosial c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan fakir Miskin d. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1981 tentang Pelayanan kesejahtraan sosial Bagi masyarakat Miskin e. PP 33Tahun 2007 tentang Pembagian Tugas pemerintahan antara pemerintah daerah, provinsi, dan pemerintah Kab/Kota. 2.7 Kesejahteraan Sosial 62

37 Kesejahteran berasal dari kata sejahtera. Sejahtera ini mengandung pengertian dari bahasa Sansekreta Catera yang berarti Payung. Dalam konteks ini, kesejahteraan yang terkandung dalam arti cartera (payung) adalah orang yang sejahtera yaitu orang yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir maupun batin. Sedangkan sosial berasal dari kata Socius yang berarti kawan, teman, dan kerja sama. Orang yang sosial adalah orang yang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial adalah orang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkungannya secara baik (Fahrudin,2012:8-9). Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayananpelayanan sosial dan institusi-institusi yang dirancang untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat ( Friedlander dalam Fahrudin, 2012:9). Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kesejahteraan sosial merupakan suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan lingkungan sosialnya. 63

38 Undang-undang No.06 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial ialah suatu tatanan kehidupan dan penghidupan sosial, materiil ataupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tingi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 yang menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Terdapat perbedaan yang signifikan pengertian kesejahteraan sosial dalam UU Nomor 6 Tahun 1974 dan UU Nomor 11 Tahun Perbedaan yang menyolok terletak pada cara pemenuhan kesejahteraan sosial di mana dalam UU Nomor 6 Tahun 1974 sangat tegas dinyatakan dengan tetap menunjang hak-hak asasi dan Pancasila, namun dalam UU No. 11 Tahun 2009 tidak dijelaskan dalam pengertian kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial mempunyai tujuan yaitu: 1. Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti tercapainya standar kehidupan pokok seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial yang harmonis dengan lingkungannya. 64

39 2. Untuk mencapai penyesuaian diri yang baik khususnya dengan masyarakat di lingkungannya, misalnya dengan menggali sumbersumber, meningkatkan, dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan. Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan-tekanan yang diakibatkan terjadinya perubahanperubahan sosio-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensikonsekuensi sosial yang negatif akibat pembangunan serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat (Friedlander dan Apte dalam Fahrudin, 2012:12). Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial tersebut antara lain: 1. Fungsi Pencegahan ( Preventive) Kesejahteraan sosial ditujukan untuk memperkuat individu, keluarga, dan masyarakat supaya terhindar dari masalah-masalah sosial baru. Dalam masyarakat transisi, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk membantu menciptakan pola-pola baru dalam hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial baru. 2. Fungsi Penyembuhan (Curative) Kesejahteraan sosial ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi ketidakmampuan fisik, emosional, dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungi kembali secara wajar dalam masyarakat. dalam fungsi ini tercakup juga fungsi pemulihan (rehabilitasi). 65

40 3. Fungsi Pengembangan (Development) Kesejahteraan sosial berfungsi untuk memberikan sumbangan langsung atau tidak langsung dalam proses pembangunan atau pengembangan tatanan dan sumber-sumber daya sosial dalam masyarakat Usaha Kesejahteraan Sosial Usaha kesejahteraan sosial atau social welfare service pada umumnya hanya disebut sebagai pelayanan sosial atau social service. Cassidy seperti dikutip oleh Friedlander (1980) mengatakan sebagai kegiatan-kegiatan terorganisasi yang terutama dan secara langsung berhubungan dengan pemeliharaan, perlindungan, dan penyempurnaan sumer-sumber manusia, dan kegiatan ini meliputi usaha-usaha asistensi sosial, asuransi sosial, kesejahteraan anak, pencegahan kriminalitas, kesehatan mental, kesehatan masyarakat, pendidikan, rekreasi, perlindungan buruh dan perumahan. Dalam UU No. 06 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa Usaha Kesejahtraan sosial adalah semua upaya, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial. Sementara UU No. 11 Tahun 2009 dinyatakan usaha kesejahteraan sosial itu merupakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yaitu yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang 66

Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dan Sarana Prasarana Lingkungan

Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dan Sarana Prasarana Lingkungan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dan Sarana Prasarana Lingkungan Rumah memiliki fungsi yang sangat besar bagi individu dan keluarga tidak saja mencakup aspek fisik, tetapi juga mental dan sosial.

Lebih terperinci

BUPATI BINTAN HASIL PERBAIKAN PAK JAROT

BUPATI BINTAN HASIL PERBAIKAN PAK JAROT BUPATI BINTAN HASIL PERBAIKAN PAK JAROT PERATURAN BUPATI BINTAN NOMOR 6 TAHUN 2013TAHUN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN BANTUAN REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI (RS-RTLH) TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DAN SARANA PRASARANA LINGKUNGAN

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DAN SARANA PRASARANA LINGKUNGAN PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DAN SARANA PRASARANA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Dengan demikian usaha. dan keseimbangan dalam hidupnya, baik secara rohani dan jasmani.

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Dengan demikian usaha. dan keseimbangan dalam hidupnya, baik secara rohani dan jasmani. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah Pembangunan Nasional Indonesia seutuhnya dan Pembangunan Masyarakat seluruhnya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 59 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 37 TAHUN : 2015 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 36 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201 No.403, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPU-PR. BSPS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2018 2018 TENTANG BANTUAN STIMULAN PERUMAHAN

Lebih terperinci

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN BIAYA PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN BIAYA PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN BIAYA PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI Menimbang : a. bahwa peraturan daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. diakses secara online oleh masyarakat guna mengetahui data-data kemiskinan

BAB III PEMBAHASAN. diakses secara online oleh masyarakat guna mengetahui data-data kemiskinan BAB III PEMBAHASAN 3.1 Aplikasi Madani Sinangkis Aplikasi Madani Sinangkis merupakan aplikasi berbasis web yang dapat diakses secara online oleh masyarakat guna mengetahui data-data kemiskinan yang dikeluarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARIMUN NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI KARIMUN NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN BUPATI KARIMUN NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI RUMAH TIDAK LAYAK HUNI (RTLH) KABUPATEN KARIMUN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN NOMOR PER- 54 /PB/2007 TENTANG PETUNJUK PENCAIRAN DAN PENYALURAN DANA PENGUATAN MODAL

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 411, 2014 KEMENSOS. Sosial. Lembaga Kesejahteraan Sosial. Lanjut Usia. Asistensi. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG ASISTENSI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a.bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi memiliki arti penilaian. Penilaian berarti pengukuran atau penentuan manfaat daripada suatu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN BANTUAN SOSIAL PEMBANGUNAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DI KABUPATEN KARAWANG

PETUNJUK PELAKSANAAN BANTUAN SOSIAL PEMBANGUNAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DI KABUPATEN KARAWANG I. PENDAHULUAN LAMPIRAN : NOMOR : 38 TAHUN 2011 TANGGAL : 23 DESEMBER 2011 a. Latar Belakang Salah satu program pembangunan Kabupaten Karawang adalah Pembangunan Rumah Tidak Layak Huni merupakan Program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI

PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI W A L I K O T A K E D I R I PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KOTA KEDIRI Menimbang WALIKOTA KEDIRI, : a. bahwa pelaksanaan pembangunan merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan, pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat : : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 58 / HUK /2008 TENTANG PENGELOLAAN DANA KESEJAHTERAAN SOSIAL MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS I. KETENTUAN UMUM

PETUNJUK TEKNIS I. KETENTUAN UMUM SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA.

BAB II PERENCANAAN KINERJA. BAB II PERENCANAAN KINERJA. A. RENCANA STRATEGIS Perencanaan Strategis Dinas Sosial Provinsi Gorontalo Tahun 2012 2017 adalah suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dan dilaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI. Antonius Erwandi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kapuas

IMPLEMENTASI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI. Antonius Erwandi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kapuas IMPLEMENTASI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI Antonius Erwandi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kapuas ABSTRAK: Masalah sosial yang masih dihadapi oleh masyarakat yaitu

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

2013, No

2013, No 2013, No.834 8 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

PERATURAN DEPUTI BIDANG PEMBIAYAAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA. Nomor : 01/Per/Dep.

PERATURAN DEPUTI BIDANG PEMBIAYAAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA. Nomor : 01/Per/Dep. KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEPUTI BIDANG PEMBIAYAAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 01/Per/Dep.3/II/2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat. PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 58 Tahun 2010 TENTANG PROGRAM DESA MANDIRI DALAM PERWUJUDAN DESA PERADABAN DI JAWA BARAT

Gubernur Jawa Barat. PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 58 Tahun 2010 TENTANG PROGRAM DESA MANDIRI DALAM PERWUJUDAN DESA PERADABAN DI JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 58 Tahun 2010 TENTANG PROGRAM DESA MANDIRI DALAM PERWUJUDAN DESA PERADABAN DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa sebagai salah

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMBA TIMUR NOMOR 216 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL DI KABUPATEN SUMBA TIMUR

PERATURAN BUPATI SUMBA TIMUR NOMOR 216 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL DI KABUPATEN SUMBA TIMUR PERATURAN BUPATI SUMBA TIMUR NOMOR 216 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL DI KABUPATEN SUMBA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERMENDAGRI NOMOR 32 TAHUN 2011 PERMENDAGRI NOMOR 39 TAHUN 2012 PERMENDAGRI NOMOR 14 TAHUN 2016

PERMENDAGRI NOMOR 32 TAHUN 2011 PERMENDAGRI NOMOR 39 TAHUN 2012 PERMENDAGRI NOMOR 14 TAHUN 2016 MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH, PERATURAN

Lebih terperinci

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL - 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pe

2016, No Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pe No. 24, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMSOS. Kelompok Usaha Bersama. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2015 TENTANG KELOMPOK USAHA BERSAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 36 TAHUN : 2017 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mengenai Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal. Peran

Lebih terperinci

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR SAMISAKE

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR SAMISAKE SALINAN WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR SAMISAKE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN NOMOR PER-19/PB/2005 TENTANG PETUNJUK PENYALURAN DANA BANTUAN MODAL USAHA BAGI KELUARGA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 36 TAHUN 2011 TANGGAL 23 AGUSTUS 2011

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 36 TAHUN 2011 TANGGAL 23 AGUSTUS 2011 SALINAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 36 TAHUN 2011 TANGGAL 23 AGUSTUS 2011 PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2011 UNTUK PENINGKATAN

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR 1 BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 35 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN ALOKASI DANA DESA DENGAN

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DESA TAHUN ANGGARAN 2012

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DESA TAHUN ANGGARAN 2012 WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DESA TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, WALIKOTA BANJAR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 32 TAHUN 2011 TANGGAL 9 AGUSTUS 2011

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 32 TAHUN 2011 TANGGAL 9 AGUSTUS 2011 SALINAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 32 TAHUN 2011 TANGGAL 9 AGUSTUS 2011 PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2011 UNTUK SEKOLAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian proses multidimensial yang berlangsung secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu terciptanya

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENATAAN DAN RELOKASI PERUMAHAN MASYARAKAT

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENATAAN DAN RELOKASI PERUMAHAN MASYARAKAT SALINAN BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENATAAN DAN RELOKASI PERUMAHAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR,

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN UMUM BANTUAN SOSIAL KEGIATAN REHABILITASI RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DI KABUPATEN PURBALINGGA

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KABUPATEN PASURUAN

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KABUPATEN PASURUAN BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN PARTISIPATIF KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL I. UMUM Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR Rancangan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DENGAN PERATURAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM BANTUAN KEUANGAN KEPADA PEMERINTAH DESA UNTUK KEGIATAN PENGEMBANGAN BADAN USAHA MILIK DESA DAN PASAR DESA DARI

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 15

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 15 BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 15 PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGALOKASIAN ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dampak Dampak secara sederhana dapat di artikan adalah suatu perubahan yang terjadi akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik sosial,

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL I. UMUM PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 10 TAHUN 2014

PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 10 TAHUN 2014 PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk menanggulangi kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode tahun 1974-1988,

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 37 TAHUN 2010

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 37 TAHUN 2010 SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN HIBAH DALAM BENTUK UANG KEPADA BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROGRAM

Lebih terperinci

Pembangunan Desa pada semua Desa dalam wilayah

Pembangunan Desa pada semua Desa dalam wilayah BUPATI BONE PROVINS! SULAWESI SELATAN PER.t\TURAN BUPATI BONE NOMOR11 2 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM DANA BANTUAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONE, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 11 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 11 TAHUN 2006 TENTANG SALINAN 1 BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN POTENSI KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT (P2KSM) KABUPATEN PURWOREJO

Lebih terperinci

- 1 - KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA

- 1 - KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA - 1 - KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEPUTI BIDANG PEMBIAYAAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH NOMOR 08 / Per / Dep.2 / XII / 2016 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.563, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Belanja. Bantuan Sosial. Kementerian/Lembaga. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81/PMK.05/2012 TENTANG BELANJA BANTUAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu isu penting dalam pelaksanaan pembangunan, bukan hanya di Indonesia melainkan hampir di semua negara di dunia. Dalam Deklarasi Millenium Perserikatan

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN. 12. Kemitraan.../3 AZIZ/2016/PERATURAN/KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

- 2 - MEMUTUSKAN. 12. Kemitraan.../3 AZIZ/2016/PERATURAN/KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG POLA KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK TEKNIS REHABILITASI RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 20 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 20 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 20 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA PINJAMAN BERGULIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BUPATI BENGKULU SELATAN

BUPATI BENGKULU SELATAN BUPATI BENGKULU SELATAN PERATURAN BUPATI BENGKULU SELATAN NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN BENGKULU

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, 2 Menimbang : a. bahwa salah satu sumber pendapatan

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS I. KETENTUAN UMUM

PETUNJUK TEKNIS I. KETENTUAN UMUM SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DAK BIDANG PENDIDIKAN MENENGAH TAHUN ANGGARAN 2013 I. KETENTUAN UMUM

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN KEUANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN POTENSI KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT (P2KSM) KABUPATEN PURWOREJO DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1192, 2012 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH. Bantuan Sosial. Mikro dan Kecil. Pedoman

BERITA NEGARA. No.1192, 2012 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH. Bantuan Sosial. Mikro dan Kecil. Pedoman BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1192, 2012 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH. Bantuan Sosial. Mikro dan Kecil. Pedoman PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 45 TAHUN 2013

SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 45 TAHUN 2013 SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN BANTUAN SOSIAL DALAM BENTUK UANG KEPADA BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK UTARA NOMOR 9A TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK UTARA NOMOR 9A TAHUN 2017 TENTANG BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK UTARA NOMOR 9A TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN SOSIAL RUMAH TIDAK LAYAK HUNI YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN

Lebih terperinci