BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PENELITIAN"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Situasi HIV dan AIDS Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2009). Menurut Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (2011), 35% perempuan di Asia dan Pasifik hidup dengan HIV dan sebagian besar perempuan terinfeksi HIV dari pasangan tetapnya. Di Indonesia diperkirakan ( ) orang hidup dengan HIV, antara dan infeksi baru serta 8300 ( ) meninggal dikaitkan dengan AIDS di tahun Dan diperkirakan 6 juta orang berisiko terinfeksi HIV dan sebagian besar infeksi HIV disebabkan oleh hubungan seksual (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2011). Sedangkan Di Provinsi Papua epidemi HIV sudah masuk ke dalam masyarakat (generalized epidemic) dengan prevalensi HIV di populasi dewasa sebesar 2,4%. Sedangkan di banyak tempat lainnya dalam kategori terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV >5% pada populasi kunci(komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010). 11

2 12 Kecenderungan epidemi HIV ke depan dengan pemodelan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penularan HIV saat ini dan perubahannya ke depan. Proses pemodelan tersebut menggunakan data demografi, perilaku dan epidemiologi pada populasi kunci. Dimana penyebaran HIV berdasarkan pemodelan tersebut, diproyeksikan terjadi peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada perempuan yang akan berdampak pada meningkatnya jumlah infeksi pada anak (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010). Para ahli epidemiologi Indonesia dalam kajiannya tentang kecenderungan epidemi HIV dan AIDS memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang bermakna, maka pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS menjadi orang dengan kematian orang dan pada tahun 2015 menjadi orang dengan kematian orang. Penularan dari sub-populasi berperilaku berisiko kepada isteri atau pasangannya akan terus berlanjut. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011b). Menurut laporan akhir tahun 2010 Subdit AIDS dan PMS, jumlah kasus AIDS secara kumulatif adalah 24,131 kasus AIDS, dengan penemuan kasus yang baru ditemukan orang, sedangkan yang meninggal orang. Lebih dari 6,5 Juta perempuan di Indonesia menjadi populasi rawan tertular dan menularkan HIV, lebih dari perempuan usia subur di Indonesia telah terinfeksi HIV, lebih dari perempuan HIV positif hamil dalam setiap tahunnya di Indonesia.

3 13 Sedangkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia (2008), mengemukakan persentase kasus AIDS di Indonesia berdasarkan jenis kelamin yaitu 75,1% atau sebesar kasus adalah laki-laki, 24,3% atau sebesar 3684 kasus adalah perempuan Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi. Sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994, hak-hak reproduksi meliputi banyak aspek seperti yang tercantum di bawah ini 1. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi 2. Hak mendapat pelayanan dan kesehatan reproduksi 3. Hak untuk kebebasan berfikir dan membuat keputusan tentang kesehatan reproduksinya. 4. Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak 5. Hak untuk hidup dan terbebas dari resiko kematian karena kehamilan, kelahiran karena masalah jender. 6. Hak atas kebebasan dan pelayanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi 7. Hak untuk bebas dari penganiayan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi 8. Hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi

4 14 9. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan dalam reproduksisnya 10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga 11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam berpolitik yang bernuansa kesehatan reproduksi 12. Hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan reproduksi. (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2008b) Pola Epidemi HIV AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan global. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan, Indonesia pada tahun 2014 akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dibandingkan pada tahun 2008 (dari orang menjadi orang). Ini dapat terjadi bila tidak ada upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bermakna dalam kurun waktu tersebut (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010). Sejak tahun 2000, prevalensi HIV di Indonesia meningkat menjadi di atas 5% pada populasi kunci, sehingga dikatakan Indonesia telah memasuki tahapan epidemi terkonsentrasi. Di Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat pergerakan ke arah generalized epidemic yang dipicu oleh seks tidak aman dengan prevalensi HIV sebesar 2,4% pada penduduk usia tahun (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010). Jumlah populasi dewasa terinfeksi HIV di Indonesia tahun

5 diperkirakan orang, dimana di antaranya 21% adalah perempuan. Pada tahun 2009 diperkirakan jumlah ODHA sudah mencapai dimana proporsi untuk perempuan telah meningkat menjadi 25%. Kondisi ini menunjukkan sedang terjadi feminisasi epidemi HIV di Indonesia. Kecenderungan epidemi HIV ke depan dengan pemodelan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penularan HIV saat ini dan perubahannya ke depan. Gambar 1. Kecenderungan Epidemi HIV ke Depan di Indonesia Sumber: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010 Dari hasil proyeksi tersebut, diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia tahun dari 0,21% pada tahun 2008 menjadi 0,4% di tahun 2014, peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada perempuan sehingga akan berdampak meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak, perlu adanya kewaspadaan terhadap potensi meningkatnya infeksi baru pada pasangan seksual (intimate partner) dari masing-masing populasi kunci.

6 16 Hal ini juga terjadi di Bali dimana terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS pada perempuan hingga mencapai 283 kasus, seperti yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun Gambar 2. Kasus HIV dan AIDS yang Terlaporkan Berdasarkan Gender Reported HIV & AIDS Cases To Bali Health Department ( ) Heterosexual Risk Factors by Gender Sumber: Presentasi Wirawan, 2010 Pola Epidemi HIV di Bali seperti pada gambar 3 berikut, menunjukkan episentrum epidemi HIV adalah pekerja seks perempuan, kemudian ke klien mereka. Dan klien ini memiliki pasangan seksual lainnya baik itu pasangan resmi (istri) maupun pasangan tidak resmi mereka. Peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada perempuan ini akan berdampak meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak.

7 17 Gambar 3. Pola Epidemi HIV di Bali Pattern of HIV Epidemic in Bali Sumber: Presentasi Wirawan, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan Perempuan Terhadap Penularan HIV Infeksi HIV yang masih tinggi di hampir semua negara menandakan epidemi HIV telah tergeneralisasi (World Health Organization, 2009). Diseluruh belahan dunia, perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi terinfeksi IMS dan HIV dibandingkan laki-laki. IMS menjadi masalah yang serius dan menjadi isu utama di Negara-negara berkembang (Lips, 1999). Perempuan berada pada risiko yang tidak aman dan dipaksa melakukan aktivitas seksual yang dapat menyebabkan HIV dan AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman (World Health Organization, 2009). Bagi perempuan, penyakit-penyakit tersebut

8 18 sering tidak menunjukkan gejala sehingga sulit di deteksi dan diobati Hal ini menimbulkan konsekuensi yang lebih serius pada perempuan dibanding laki-laki (Lips, 1999). Faktor biologis yaitu fisiologis alat reproduksi perempuan yang membuat perempuan lebih rentan terinfeksi HIV dibandingkan laki-laki. Selama kontak heteroseksual, virus HIV 17 kali lebih terlihat ditularkan dari laki-laki kepada perempuan daripada sebaliknya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa perempuan dikategorikan dalam pertumbuhan tercepat untuk orang yang hidup dengan HIV diseluruh belahan dunia (Lips, 1999). HIV dan AIDS adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia, sedangkan seks yang tidak aman merupakan faktor risiko utama dari penularan HIV di negara berkembang (World Health Organization, 2009). Selain itu, ketidaksetaraan gender, faktor sosial, ekonomi, budaya, kekerasan, pemerkosaan, kemampuan negosiasi, migrasi, eksploitasi, akses, dukungan, pengetahuan, perilaku individu dan pengaturan masyarakat juga berperan dalam meningkatkan risiko perempuan terinfeksi HIV. (Gupta, 2000, Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2010, Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2011, Letamo, 2003). Dalam hubungan seksual, status sosial yang rendah membuat perempuan memiliki posisi yang lemah untuk melakukan negosiasi dalam hubungan seksual. kontrol berada pada laki-laki sedangkan perempuan harus bersifat pasif dalam hubungan seksual dan dalam segala hal. Dalam beberapa situasi perempuan sering merasa lemah untuk menolak melakukan hubungan seks ataupun menawarkan menggunakan kondom pada pasangannya (Lips, 1999). Bagi sebagian besar

9 19 perempuan yang harus terlibat dalam kegiatan seksual berisiko merupakan sebuah fenomena dari kemiskinan yang dialami yaitu survival sex, seks untuk bertahan hidup. Pekerjaan seperti ini juga tidak memberikan kreativitas bagi perempuan dan kemampuan menciptakan sumber daya. sebaliknya laki-laki tidak perlu melakukan pekerjaan seperti itu dan diberi kebebasan untuk melakukan berbagai kemungkinan kreatif di pasar kerja sehingga perempuan tidak memiliki kompetensi, pengetahuan khusus dan tidak mampu bersaing. Hal ini membatasi kemampuan perempuan untuk membahas masalah seks, perselingkuhan, meninggalkan hubungan dan perilaku berisiko, menegosiasikan penggunaan kondom atau menolak berhubungan seks, sehingga membuat mereka terjerumus lebih dalam pada aktivitas seksual yang berisiko demi memenuhi kebutuhannya (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific). Selain itu adanya diskriminasi dan stigma menyebabkan perempuan lebih sering disalahkan sebagai penyebab infeksi walaupun pada kenyataannya banyak perempuan yang tertular IMS dari pasangannya yang berperilaku seksual berisiko, lingkungan sosial dan budaya tempat perempuan tinggal dan dibesarkan juga menyebabkan perempuan harus patuh pada fungsi sosial yang salah, yang merupakan hasil dari sosial budaya yang tidak berpihak pada perempuan, seks tabu untuk dibicarakan oleh perempuan sehingga tidak memahami pentingnya menjaga organ reproduksi dan seksualnya serta norma-norma sosial yang ada disekelilingnya menyebabkan adanya ketimpangan gender yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku seksual suami atau pasangan tetapnya, pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual,

10 20 hubungan incest dan pemaksaan hubungan seks bukan melalui vagina, seperti lewat dubur yang memungkinkan lebih mudah terjadi perdarahan. Perempuan termarginalkan apalagi yang tidak bersuami, norma budaya mengajarkan perempuan menjadi sasaran kesalahan ketika terjadi hubungan seks sebelum menikah dan terjadi kehamilan (Avert, 2011c, Illinois Department of Public Health, Mitra dan Sarkar, 2011, United Nations, 2004, United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization, 2010). Faktor ekonomi yaitu kurangnya peluang memperoleh pendapatan. kaum perempuan tergantung pada pasangan laki-lakinya, terutama di negara-negara yang mana hanya memberikan income yang rendah bagi perempuan-perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan rendah, kemiskinan membuat perempuan harus mengandalkan pasangannya untuk dukungan keuangan, yang menyebabkan perempuan menjadi lebih rentan karena dirinya tidak bisa menolak berhubungan atau meminta suaminya mengenakan alat pelindung (kondom), kemiskinan juga seringkali memaksa perempuan untuk melakukan pekerjaan yang beresiko, seperti melakukan transaksi seks demi mempertahankan hidup keluarganya dan ini meningkatkan kerentanan mereka terinfeksi HIV (Avert, 2011c, Illinois Department of Public Health, Mitra dan Sarkar, 2011, United Nations, 2004, United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization, 2010). Tidak adanya layanan dukungan bagi perempuan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan perempuan, padahal banyak dari mereka

11 21 yang tergantung pada keluarga, teman dan lingkungannya (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2011). Akses yang terbatas terhadap informasi baik dari pendidikan formal maupun paparan media massa, pelayanan publik dan perawatan kesehatan, pencegahan dan pengobatan IMS bagi perempuan seringkali tidak dipandang sebagai kondisi yang perlu mendapat prioritas, sehingga membuat perempuan di banyak negara tidak menyadari bahaya HIV dan AIDS (Avert, 2011c, Illinois Department of Public Health, Mitra dan Sarkar, 2011, United Nations, 2004, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization, 2010). Faktor migrasi baik itu migrasi internal maupun international juga mempengaruhi kerentanan terhadap HIV (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2011). Saat ini arus perpindahan didominasi laki-laki dan perempuan muda. Kaum perempuan yang terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan mulai meningkat dan meningkatkan kerentanan perempuan mengalami permasalahan termasuk HIV dan AIDS. Eksploitasi seksual, pemerkosaan, kekerasan seksual dan tidak mampu memperoleh akses ke layanan medis dan edukasi meningkatkan kerentanannya terinfeksi HIV (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS/World Health Organization, 2000). Kemudian Chantavanic, Beesey dan Paul (2000), menyatakan bahwa kaum laki-laki yang melakukan hubungan seks sebelum menikah dan di luar pernikahan masih dapat ditoleransi. Laki-laki dapat mengunjungi pekerja seks, berhubungan dengan istri dan pacar mereka. Bahkan saat ini sejumlah kecil perempuan juga melakukan hal yang sama dengan laki-laki. Ini semua adalah

12 22 hasil dari ketidakseimbangan status sosial antara laki-laki dan perempuan yang menyuburkan lahan bagi penularan IMS termasuk HIV pada perempuan. Norma gender di Asia dan Pasifik dibedakan dari budaya satu dengan budaya lainnya, tetapi mereka mempengaruhi kerentanan individu terhadap HIV dan juga bentuk akses ke pengobatan, perawatan dan dukungan bagi orang yang hidup dengan HIV (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2011). Sebuah "budaya diam/silence culture" dalam banyak masyarakat menuntut bahwa perempuan yang baik harus tidak mempedulikan tentang seks dan pasif dalam interaksi seksual. Hal ini membuat sulit bagi perempuan untuk memutuskan halhal terbaik untuk diri mereka sendiri, untuk melindungi diri dari penularan HIV dan menegosiasikan seks yang aman. Budaya ini juga menstigma perempuanperempuan yang mencari pengobatan untuk infeksi menular seksual yang dialaminya sehingga hal tersebut membatasi perempuan untuk mencari informasi tentang HIV dan AIDS karena takut dianggap sebagai seksual aktif (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific).

13 Partner Notification dan Disclosure Partner Notification (PN) atau memberitahu pasangan diakui sebagai bagian yang esensial dan langkah penting dalam manajemen penanganan infeksi menular seksual yaitu untuk memutus penularan IMS, mencegah reinfeksi dan mencegah komplikasi (Alam dkk., 2010, Population Council, 2007, Ellison, 2004, Mercer dkk., 2011, Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, 2000). Di Amerika, PN adalah intervensi tradisional dalam kesehatan masyarakat untuk mengontrol perkembangan IMS termasuk sipilis, gonorrhea dan HIV (Ellison, 2004). Pendekatan utama PN adalah pasien yang melakukan PN dan provider yang melakukan PN. Objektif dari PN adalah berpusat pada pasien atau klien, seperti menurunkan risiko reinfeksi dengan cara mengobati pasangannya. Kedua, berpusat pada pasangan, seperti mencegah penularan berikutnya dengan melakukan tes dan pengobatan pada pasangan seksual. Selain itu PN juga berperan dalam memotivasi perubahan perilaku klien dan pasangannya serta menurunkan beban penyakit (the burden of diseases) dimasyarakat (Alam dkk., 2010, Mercer dkk.., 2011). Strategi PN efektif dan feasible dilakukan di Negara maju, namun kurang berlaku di Negara berkembang. Orientasi PN oleh provider ditemukan efektif untuk menjangkau pasangan dari orang dengan IMS (Alam dkk.., 2010). Di Afrika, intervensi PN yang berorientasi pada pasien termasuk konseling pasien dan rujukan pasien ke pelayanan medis menunjukkan peningkatan. Namun, implementasi program PN untuk penanggulangan IMS di Negara berkembang

14 24 sangat terbatas dihubungkan dengan sumber yang kurang adekuat, miskin infrastruktur dalam mendiagnosa dan manajemen IMS, serta stigma sosial. Stigma dan diskriminasi pada orang dengan IMS dan HIV melemahkan kemampuan mereka untuk mencari pelayanan kesehatan dan melemahkan kepedulian mereka untuk menginformasikan status IMSnya kepada pasangan tetapnya dan pasangan lainnya (Alam dkk.., 2010). Di Negara berkembang, isu yang mengikuti program PN ini adalah kepedulian dan kesadaran klien untuk memberitahu pasangan mereka, proporsi pasangan yang telah diberitahu atau dirujuk, hambatan yang dilaporkan oleh klien dalam memberitahu pasangan, hambatan infrastruktur yang dilaporkan oleh staff atau investigator dalam memberitahukan pasangan dan pendekatan PN yang telah dievaluasi. Dalam sebuah studi dilaporkan bahwa 77% dari 406 laki-laki mengekspresikan ketidaksadaran dan ketidakpedulian untuk memberitahukan pasangan mereka tentang status IMS mereka dihubungkan dengan stigma. Motivasi pasien untuk memberitahukan sendiri kepada pasangan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Banyak perempuan yang merasa yakin bahwa suami mereka sumber infeksi dan oleh karena itu diperlukan pengobatan. Beberapa perempuan di Bolivia dilaporkan memberitahu suaminya untuk mendapat informasi tentang IMS dan mengatasi perselingkuhan dalam pernikahan mereka. Laki-laki yang mengalami IMS di Kenya dilaporkan memberitahu istrinya untuk menghindari infertilitas pada diri mereka dan istri mereka. Rendahnya penggunan kondom dengan istri sebagai faktor yang memicu untuk memberitahukan,

15 25 ketakutan akan penyebaran infeksi ke istri mereka dan re-infeksi pada diri mereka sendiri (Alam dkk.., 2010). Sebuah studi menunjukkan sesuatu yang sangat ekstrim dalam PN yaitu 0% memberitahu pasangan kasual, tetapi 94% untuk pasangan resminya. Dua hambatan utama untuk memberitahukan status kepada pasangan kasual atau komersial termasuk pasangan yang tidak dapat dilacak dan laki-laki yang tidak peduli untuk memberitahu pasangan karena mereka tidak punya rencana dan alasan yang lebih jauh untuk memiliki hubungan seksual dengan pasangan kasualnya. Studi lain oleh Kamali dkk.. tahun 2002 menunjukkan dari 59% pasien yang menerima kartu untuk memberitahupasangan, hanya 25% pasangan yang berhasil dirujuk ke pelayanan kesehatan untuk mendapat pengobatan (Alam dkk.., 2010). Menurut Nuwaha dkk., 2002 dalam Alam dkk.. (2010), perempuan memiliki niat yang lebih tinggi untuk merujuk pasangan dibandingkan dengan laki-laki, namun dari 34% pasangan yang berhasil dirujuk, jumlah pasangan yang berhasil dirujuk oleh perempuan lebih rendah dari laki-laki yaitu 22% pasangan dirujuk oleh perempuan dan 43% pasangan dirujuk oleh laki-laki. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wang dkk., 2007 dalam Alam dkk. (2010), menunjukkan persentase perempuan yang menginformasikan status IMS mereka pada pasangan lebih rendah dari laki-laki yaitu 46% perempuan yang menginformasikan status pada pasangan laki-laki dan 64% laki-laki menginformasikan status IMS pada perempuan. Menurut Alam dkk. (2010), beberapa hambatan yang ditemui dalam beberapa penelitian tentang PN adalah sebagai berikut

16 26 Tabel 1. Hambatan dalam memberitahu pasangan tentang status IMS Hambatan memberitahukan status IMS pada pasangan ketakutan mendapat penolakan dan rasa malu, ketidakmampuan mencari pasangan dan persepsi bahwa menginformasikan status pada pasangan tidak tetap adalah hal yang tidak penting Rasa malu, takut akan terjadi kekerasan dan konflik dalam pernikahan, pasangan kasual dan tenaga kesehatan tidak menjelaskan pentingnya pengobatan pada pasangan Peneliti Clarke dkk., 2007 Grosskhurt dkk., 2000 Ketakutan akan terjadinya kekerasan, sebagai penyebab penyakit disalahkan Gichangi dkk., 2000 Reaksi dari pasangan laki-laki setelah diberitahukan, menolak status IMSnya, disalahkan sebagai penyebab infeksi, menjadi agresif melakukan penghinaan dan teriakan Pasangan berada jauh, takut akan kehilangan respect dari pasangan, malu, takut akan terjadi perceraian, takut kehilangan dukungan keuangan, tidak bisa melakukan hubungan seks lagi dengan pasangan tersebut Takut hubungan tidak resminya akan terungkap ke suami, menunjukkan dia tidak setia dan perpisahan atau perceraian Menunjukkan bahwa dirinya berisiko terhadap HIV dan AIDS, menciptakan ketidakpercayaan, menunjukkan ketidaksetiaan, mendapat penolakan dalam hubungan seks, hubungan berakhirm perpisahan atau perceraian Klisch dkk., 2007 Moyo dkk., 2002 Nuwaha dkk., 2001 Nuwaha dkk., 2000 Sumber : Alam dkk. BMC Public Health 2010

17 27 Individu yang sadar mereka terinfeksi HIV dan yang terlibat dalam hubungan seksual memiliki tanggung jawab sosial dan hukum untuk mengungkapkan infeksi mereka kepada pasangannya. Pemotongan informasi ini meningkatkan potensi penularan HIV karena ia menciptakan situasi di mana aktivitas seksual tidak aman yang lebih mungkin terjadi. Rantai peristiwa ini menunjukkan bahwa menjaga rahasia infeksi HIV kepada pasangan seksual mungkin merupakan penyebab penting dari epidemi HIV yang berkelanjutan (Marks dkk., 1991). Keterbukaan terhadap status HIV, memungkinkan orang yang tidak terinfeksi tetap tidak terinfeksi dan mereka yang terinfeksi untuk merencanakan masa depan dan mencegah penularan HIV kepada orang lain. Mengetahui status HIV juga dapat memungkinkan ODHA untuk mengakses secara awal program pengobatan, perawatan dan dukungan. Selain itu, perempuan terinfeksi HIV yang mengetahui status HIV mereka berada dalam posisi yang lebih baik untuk membuat pilihan informasi tentang kehidupan reproduksi mereka dan jika hamil mampu untuk mengakses intervensi tertentu. Pengungkapan status HIV kepada pasangan seksual merupakan sebuah upaya pencegahan penting yang ditekankan oleh WHO dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dalam protokol mereka untuk tes HIV dan konseling. Pengungkapan status menawarkan sejumlah manfaat penting bagi individu yang terinfeksi dan masyarakat umum seperti rasa cemas berkurang, dukungan sosial yang meningkat, peningkatan akses terhadap pencegahan HIV dan program pengobatan, meningkatkan peluang

18 28 untuk pengurangan risiko dan meningkatkan kesempatan untuk merencanakan masa depan (Medley dkk., 2004) Posisi Tawar Perempuan Kemampuan perempuan dalam melakukan negosiasi untuk perilaku seksual yang aman seperti dalam penggunaan kondom adalah komponen vital dalam strategi penanggulangan HIV dan AIDS serta promosi kesehatan reproduksi (Pulerwitz dkk., 2002). Di Amerika, perempuan merupakan kelompok dengan pertumbuhan HIV yang sangat tinggi dan sebagian dari infeksi ini disebabkan oleh heteroseksual. Kondom merupakan alat utama yang tersedia untuk pencegahan penularan IMS, HIV dan AIDS yang efektif. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan pada komunitas Latin ditemukan bahwa status hubungan (relationship) diidentifikasi sebagai prediktor yang penting dalam penggunaan kondom. Perempuan minoritas maupun mayoritas, remaja dan dewasa mempraktekkan seks yang aman lebih rendah pada pasangan resmi dibandingkan dengan pasangan kasualnya. Selain itu, penggunaan kondom ada hubungannya dengan ketimpangan gender. Perbedaan akses antara perempuan dan laki-laki dalam hal power atau kekuatan dapat mempengaruhi keputusan dalam hubungan seksual, termasuk tipe hubungan seksual, frekuensi dan perilaku aman. Laki-laki memiliki kontrol selama inisiasi hubungan seksual dan menolak sesuatu. Menurut Theory of Gender and Power dan Social Exchange Theory mengatakan bahwa ketimpangan gender di dalam masyarakat, mengarahkan kontrol kepada laki-laki

19 29 atas segala keputusan termasuk dalam arena seksual. Kekuatan dapat diekspresikan sebagai dominasi dalam membuat keputusan termasuk kemampuan untuk berperilaku ikut terlibat terhadap keinginan-keinginan pasangannya. Hal ini yang menyebabkan perempuan tidak memiliki kapasitas untuk menegosiasikan penggunaan kondom dengan sukses. Kekuatan dan gender menjadi hambatan utama dalam menurunkan risiko penularan HIV. Berdasarkan hasil penelitian Pulerwitz dkk. (2002), perempuan yang statusnya belum menikah (dating) lebih konsisten menggunakan kondom dibandingkan perempuan yang telah menikah. Diestimasikan 52% kurang konsistennya penggunaan kondom di populasi dikaitkan dengan kekuatan yang rendah dalam hubungan seksual. Di India, negosiasi kondom sangat kompleks dan terstigma. Negosiasi kondom sulit dilakukan oleh sebagian besar orang karena dikaitkan dengan status HIV positif. Bagi perempuan yang telah menikah membicarakan masalah seks, negosiasi kondom adalah hal yang tidak biasa, sulit dan memalukan. Penggunaan kondom dan membuat keputusan seksual dihubungkan dengan gender dan aturanaturan dalah hubungan seksual. Bagi orang yang telah menikah penggunaan kondom selalu menjadi perdebatan. Ketika perempuan menawarkan kondom, maka hal tersebut akan menimbulkan kecurigaan bahwa perempuan tersebut adalah pekerja seks atau memiliki hubungan gelap, atau mencurigai pasangan atau suami sering mengunjungi pekerja seks perempuan atau mencurigai suami tidak setia. Perempuan setuju bahwa laki-laki atau suami memiliki kekuatan untuk memutuskan kapan dan bagaimana seks dilakukan dan menggunakan kondom.

20 30 Selain itu ada anggapan bahwa hanya pekerja seks perempuan yang bisa menginisiasi penggunaan kondom. Hambatan utama dalam penggunaan kondom adalah persepsi bahwa mengunakan kondom akan mengurangi kepuasan atau kesenangan dalam hubungan seksual, kurangnya pengetahuan tentang penularan HIV dan perilaku mencegah seperti survey yang dilakukan di India National Family Health Survey menyatakan bahwa paparan informasi melalui media lebih rendah pada perempuan dibandingkan laki-laki yaitu 34,6% perempuan tidak terpapar media dan hanya 18,3% pria yang tidak terpapar media (Mitra dan Sarkar, 2011). Pengetahuan tentang AIDS dan pengetahuan tentang penggunaan kondom dapat menurunkan risiko mendapat HIV dan AIDS dikalangan perempuan dan laki-laki juga berbeda. Di daerah pedesaan (rural area) hanya 46,4% perempuan yang pernah mendengar tentang HIV dan AIDS sedangkan laki-laki hampir dua kali lipatnya yaitu sekitar 73%. Untuk pengetahuan tentang kondom dapat menurunkan risiko mendapat HIV dan AIDS, hanya 25,1% perempuan yang mengetahuinya sedangkan untuk laki-laki sebesar 59,5%. Fenomena di daerah perkotaan (urban area) nampaknya tidak berbeda jauh. Pada kelompok perempuan yang pernah mendengar tentang HIV dan AIDS sebesar 80,7% namun pada laki-laki 94,2%. Sedangkan pengetahuan tentang penggunaan kondom dapat menurunkan risiko mendapat HIV dan AIDS pada perempuan sebesar 56,3% dan pada laki-laki 85,6% (Mitra dan Sarkar, 2011). Penelitian yang dilakukan di Korea Selatan tahun 2007, menemukan fakta bahwa persepsi perempuan tentang menggunakan kondom dapat melindungi

21 31 dirinya dari IMS dan HIV serta kehamilan tidak diinginkan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Untuk persepsi bahwa kondom dapat melindungi diri dari IMS dan HIV, perempuan yang mengetahui keuntungan tersebut sebesar 59,4% dan laki-laki sebesar 70,9%. Untuk persepsi bahwa kondom dapat melindungi diri dari kehamilan tidak diinginkan, perempuan yang mengetahui keuntungan tersebut sebesar 76,8% sedangkan laki-laki sebesar 79,4% (A Sohn dan Chun, 2007). Penelitian lain yang dilakukan oleh Melissa Bolton, dkk. (2010), menyatakan bahwa peserta penelitian ketika ditanyakan secara langsung alasan menggunakan kondom, 10 dari 13 partisipan mengatakan menggunakan kondom untuk pencegahan kehamilan adalah alasan utamanya. Mereka tidak benar-benar memikirkan menggunakan kondom adalah untuk melindungi diri dari IMS. Dari penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa penggunaan kondom bukan sebagai alasan untuk menurunkan risiko terinfeksi IMS tetapi digunakan hanya untuk back up metode kontrasepsi lainnya untuk mencegah kehamilan (Melissa Bolton dkk., 2010). Penelitian yang dilakukan di India yang konteks norma dan budaya yang berlaku sering mendevaluasi perempuan ketika mereka menjadi subjek kekerasan dan diskriminasi. Norma-norma patriarkal dan budaya juga mencegah istri untuk menanyakan tentang kesetiaan suami khususnya dalam hal seksual (Krishnan dkk., 2007, Lifshay dkk., 2009, Mitra dan Sarkar, 2011). Penelitian juga menunjukkan bahwa di antara pria yang telah menikah, sekitar 70% tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan pasangan mereka bahkan ketika mereka membawa virus dalam tubuhnya (Mitra dan Sarkar, 2011).

22 32 Ketidakseimbangan kekuatan antara laki-laki dan perempuan menyebabkan ketidakberhasilan negosiasi kondom. Jika negosiasi efektif, hal tersebut dapat mencegah risiko dan banyak hal yang dapat diperoleh. Bagaimanapun juga jika negosiasi kondom tidak efektif, hal tersebut dapat menghasilkan outcome negatif, pasangan akan menolak permintaan, ia mungkin saja marah dan bersikap mempertahankan diri. Seperti penelitian yang dilakukan pada orang afrika-amerika, laki-laki akan marah ketika pasangan seksual menawarkan untuk menggunakan kondom karena mengimplikasikan perselingkuhan. Sehingga sebagian besar perempuan dalam penelitian tersebut tidak melihat diri mereka memiliki kekuatan untuk membuat pasangannya menggunakan kondom. Sebagian perempuan mengekspresikan ketakutan akan kekerasan yang akan dialami atau menggambarkan pengalaman mereka terhadap kekerasan yang dialami saat menegosiasikan penggunaan kondom kepada pasangan mereka (Otto-Salaj dkk., 2010). Penelitian lain yang dilakukan oleh Mitra dan Sarkar tahun 2011 di 6 wilayah di India mengungkapkan bahwa walaupun sebagian besar perempuan percaya bahwa mereka memiliki hak untuk menolak hubungan seks ketika pasangan mereka terinfeksi virus, namun banyak yang setuju bahwa suami akan melakukan kekerasan kepada istri mereka jika mereka menolak berhubungan seks. 10% laki-laki percaya bahwa suami atau pasangan sebaiknya menolak dukungan financial atau menggunakan kekerasan ketika istri mereka menolak melakukan hubungan seks.

23 33 Kurangnya pemahaman konsep gender dalam keluarga membuat posisi tawar perempuan sangat rendah dalam pengambilan berbagai keputusan, termasuk dalam aspek kesehatan dan kesehatan reproduksi. Pemahaman peran-peran gender dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat melalui peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan menjadi suatu kebutuhan untuk memperoleh akses dan kontrol dalam berbagai kehidupan (United Nations Population Fund, 2003, Imelda Bates dkk., 2004). Risiko penularan HIV yang meningkat ini terutama terjadi di kalangan perempuan dan remaja putri. Perempuan lebih sulit melindungi dirinya terinfeksi HIV karena perilaku seksual pasangannya. Selain itu, ditemukan infeksi HIV pada perempuan tidak semata-mata disebabkan oleh ketidakpahaman akan cara-cara pencegahan HIV, melainkan karena perempuan dan remaja putri tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi untuk melindungi diri mereka (United Nations Population Fund, 2003). Peranan sosial dan budaya yang berjalan hingga saat ini, perempuan dan remaja putri seringkali berada dalam posisi tidak setara untuk melakukan negosiasi penundaan hubungan seks atau negosiasi penggunaan kondom sehingga peluang terinfeksi HIV masih akan terjadi tanpa dapat dicegah (United Nations Population Fund, 2003).

24 Dampak yang Ditimbulkan Akibat HIV Pada Perempuan Semua penyakit berdampak terhadap perempuan, tetapi karena berkaitan erat dengan perilaku dan isu gender yang kental, maka HIV dan AIDS merupakan Penyakit Kegawatan (emerging disease) yang paling berdampak terhadap perempuan (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2008). Perempuan dan remaja putri menanggung beban yang paling berat akibat epidemi HIV dan AIDS. Diseluruh dunia perempuanlah yang diharapkan melakukan pekerjaan rumah, merawat anggota keluarga yang sakit, sambil mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, pada saat suaminya jatuh sakit dan meninggal karena AIDS. Adapun dampak yang ditimbulkan akibat HIV adalah dampak ekonomi, dampak fisik, psikologis, sosial baik pada keluarga, anak, maupun ODHA itu sendiri (Avert, 2011b, World Health Organization Europe, 2005, Carr-Hill dkk., 2002, Ugwu, 2009). Menurunnya pendapatan rumah tangga, sebagai individu yang memberikan pendapatan bagi rumah tangga, karena HIV dan AIDS pada dirinya atau harus merawat anggota keluarga dengan HIV dan AIDS membuat mereka tidak bisa bekerja dan mengurangi bahkan menghilangkan pendapatan keluarga. Situasi seperti ini cenderung memiliki dampak bagi setiap anggota keluarga. Anak-anak mungkin terpaksa harus meninggalkan pendidikan mereka dan dalam beberapa kasus perempuan mungkin dipaksa untuk beralih ke pekerjaan seks (prostitusi). Hal ini dapat menyebabkan risiko lebih tinggi penularan HIV, yang selanjutnya memperburuk situasi kesehatannya. Sebuah penelitian di Afrika Selatan menemukan bahwa rumah tangga miskin dan harus merawat anggota

25 35 keluarga yang sakit karena HIV dan AIDS membuat mereka mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya. Biaya paling mungkin dipotong adalah pakaian (21%), listrik (16%) dan jasa lainnya (9%). Menurunnya pendapatan sebesar 6% memaksa mereka untuk mengurangi jumlah makanan yang mereka habiskan hampir setengahnya (Avert, 2011b). Produksi pangan, Epidemi HIV dan AIDS meingkatkan kerawanan pangan di banyak daerah. Karena terinfeksi HIV dan jatuh sakit, pekerjaan pertanian diabaikan atau ditinggalkan. Di Malawi, telah diakui bahwa HIV dan AIDS telah mengurangi hasil pertanian negara tersebut. Dihitung pada tahun 2006, bahwa tahun 2020, diperkirakan tenaga kerja pertanian di Malawi akan 14% lebih rendah dibandingkan dengan tidak adanya HIV dan AIDS. Di negara lain, seperti Mozambik, Botswana, Namibia dan Zimbabwe, penurunan tersebut kemungkinan akan lebih dari 20%. Sebuah studi di Kenya menunjukkan bahwa secara umum kematian laki-laki mengurangi produksi tanaman (seperti kopi, teh dan gula), sedangkan kematian perempuan mengurangi produksi biji-bijian dan hal lain yang diperlukan untuk ketahanan rumah tangga (Avert, 2011b). Diperkirakan bahwa rata-rata, perawatan terkait HIV dapat menyerap satusepertiga dari pendapatan rumah tangga tiap bulannya. Kematian karena HIV juga menyerap tujuh kali total pendapatan bulanan. Selain beban keuangan, menyediakan perawatan bagi orang yang hidup dengan HIV dan AIDS menyita kesehatan fisik dan mental dari keluarga, teman atau kerabat dari orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. Risiko tersebut menjadi lebih tinggi jika anggota

26 36 keluarga tidak terlatih atau tidak didukung oleh layanan kesehatan (Avert, 2011b, Ugwu, 2009). Karena jumlah waktu yang dihabiskan untuk merawat ODHA, keluarga menjadi terisolasi dari rekan-rekan mereka. Mereka tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan kontak sosial yang perlu dipupuk untuk mencegah isolasi dan kesepian. Selain itu anak-anak juga menjadi yatim piatu akibat ditinggalkan olah Ibu dan Ayah mereka yang meninggal karena infeksi HIV. Hal ini menyebabkan anak terpaksa untuk berhenti sekolah (terutama anak perempuan) (Avert, 2011b). Selain hal-hal tersebut, stigma menjadi salah satu dampak yang timbul akibat HIV dan AIDS. Stigma pada perempuan dengan HIV lebih besar dibandingkan dengan laki-laki karena status sosial yang rendah, kurang akses, ketidaksetaraan gender, kemiskinan, tidak diperhatikannya hak-hak perempuan (Ugwu, 2009). Hal ini juga meningkatkan jumlah bayi yang lahir dengan infeksi HIV yang didapat dari ibu mereka (Avert, 2011b) Kedudukan Perempuan Indonesia merupakan negara yang pluralistik dari segi etnik dan kebudayaannya, sehingga kita tidak menggeneralisasi bahwa perempuan Indonesia sejak semula memiliki kedudukan yang rendah, tanpa kita mempelajari kedudukan perempuan dalam konteks kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa. Namun dalam perkembangannya, dari hasil suatu proses interaksi, berbagai faktor sosial dan politik yang berkembang di negara kita telah menempatkan situasi dilematis yang saat ini dihadapi oleh perempuan Indonesia. Ketidakadilan

27 37 terhadap perempuan berasal dari faktor budaya, sistem nilai atau norma yang berlaku di masyarakat, agama atau kekeliruan cara pandang para perencana dan pengambil keputusan terhadap peran dan status perempuan Kedudukan Perempuan di Masyarakat Norma-norma sosial dan gender yang berlaku di komunitas, beberapa melindungi kesehatan dan hak perempuan dan beberapa tidak. Norma-norma tersebut memberi tantangan khusus termasuk pembatasan bagi kemerdekaan dan mobilitas perempuan, ketimpangan dalam kesempatan pendidikan dan pekerjaan, tekanan untuk menikah dan melahirkan anak pada usia dini dan hubungan kekuasaan yang tidak setara yang membatasi kendali perempuan atas kehidupan seksual dan reproduksi mereka. Dibayak Negara, keluarga dan masyarakat memperlakukan perempuan dan laki-laki dengan tidak setara. Perempuan menghadapi kemelaratan, kurang kesempatan dalam mengakses kesehatan, nutrisi dan pendidikan. Ketimpangan gender terus berlanjut hingga perempuan memasuki usia dewasa. Untuk perempuan, pernikahan dan pengalaman seksual mereka dimulai ketika mereka masih muda. Suami yang lebih tua dipilih oleh orang tua mereka. Terkadang mereka tidak pernah bertemu dengan pasangannya sebelum hari pernikahannya. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan bahwa laki-laki harus lebih terdidik di bandingkan perempuan, sehingga orang tua khawatir jika mendidik anak perempuan secara berlebihan. Sehingga banyak perempuan yang akhirnya harus ditarik atau dikeluarkan dari sekolah. Hal ini menyebabkan

28 38 perempuan kurang mendapat akses pada pendidikan dan informasi yang memadai khususnya kesehatan sehingga paparan IMS dan HIV meningkat di kalangan perempuan. Perempuan yang menikah umumnya tidak dapat menegosiasikan penggunaan kondom atau menolak untuk melakukan hubungan seksual dan lebih mungkin untuk menikah dengan laki-laki yang lebih tua dengan pengalaman seksual yang lebih tinggi sehingga meningkatkan kerentanan perempuan terhadap IMS dan HIV. Penelitian terbaru di Kenya dan Zambia menunjukkan bahwa perempuan yang telah menikah lebih mungkin untuk menjadi HIV positif dibandingkan dengan rekannya yang belum menikah. Perempuan seringkali tidak dapat mencari layanan kesehatan tanpa ijin suami atau anggota keluarga lainnya karena mereka umumnya tidak mampu membayar biaya perawatan. Para suami dan keluarga juga menerapkan tekanan yang cukup besar pada perempuan jika tidak segera memiliki anak setelah ia menikah, sehingga meningkatkan risiko kematian ibu, cedera dan kekerasan dalam hubungan seksual yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi IMS dan HIV. Perempuan memiliki posisi yang lemah dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ia hidup dalam isolasi dan sedikit kesempatan untuk mendapat dukungan sosial dan hukum untuk memperbaiki situasi menikah di usia muda (Imelda Bates dkk., 2004). Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia yaitu 206,2 juta penduduk, hampir setengah dari penduduk Indonesia adalah perempuan (49,85%). Ketidaksetaraan gender masih merupakan masalah yang membatasi keterlibatan penuh dari perempuan dalam pembangunan. Norma-norma sosial dan budaya

29 39 yang ada kadang-kadang membatasi perempuan untuk peran ibu dan istri, yang tercermin dalam berbagai hukum dan kebijakan. Kebijakan dan program yang dikembangkan pada stereotip ini, batas partisipasi perempuan dan hak-hak dan hambatan yang besar ini untuk kemajuan perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan ada dalam hukum keluarga dan pernikahan, termasuk masalah poligami, pernikahan dini dan perceraian. Di bawah hak ekonomi, ada ketimpangan dalam kepemilikan dan warisan tanah. Di sektor tenaga kerja, perempuan tidak memiliki hak untuk manfaat kesehatan dan sosial lainnya. Undang-undang tentang kesehatan mencakup persyaratan bahwa istri mendapatkan persetujuan suaminya berkaitan dengan sterilisasi atau aborsi, bahkan ketika hidupnya dalam bahaya (United Nations Population Fund). Keterlibatan dan partisipasi pria dalam program kesehatan reproduksi juga belum mendapat dukungan luas. Terlihat dari partisipasi pria dalam program kesehatan reproduksi yaitu penggunaan kondom dan sterilisasi pria masih rendah. Yaitu hanya 1,3%. Hubungan kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan juga membuat perempuan tidak dapat menegosiasikan seks yang aman. Komitmen politik yang terbatas, rendahnya tingkat pemahaman tentang reproduksi pria, kesehatan seksual, gender, kepercayaan sosial, budaya dan tradisi yang berkaitan dengan peran gender merupakan kendala utama untuk keterlibatan pria dalam program kesehatan reproduksi (United Nations Population Fund).

30 Kedudukan Perempuan Bali Karakter perempuan Bali sering digambarkan secara strereotif, sebagai figur manusia yang memiliki etos kerja tinggi, ulet, mandiri dan memiliki kepedulian yang tinggi pada keluarga. Perempuan berperan multidimensi dan multigender, selain sebagai pekerja perempuan juga berperan sebagai anggota keluarga dan anggota sosial, serta sebagai penyelenggara praktik keagamaan. Dan praktik agama hindu adat Bali sebagian besar digerakkan oleh mayoritas kaum perempuan. Namun seringkali beban yang diambil oleh sebagian besar kaum perempuan Bali ini tidak sepadan dengan hak-hak yang mereka dapatkan. Dalam realitas, sebagian besar keluarga di Bali, kaum perempuan lebih banyak mengambil porsi sebagai pelaksana kegiatan sedangkan laki-laki mengambil peran dalam pembuatan keputusan yang kemudian dilaksanakan oleh anggota banjar termasuk perempuan. Dalam keluarga Bali anak lelaki mendapat keistimewaan khususnya dalam hal warisan, dimana hal ini didasari oleh pemikiran yang menganggap kapasitas-kapasitas yang dijalani di dalam relasi keluarga dan sosial lebih banyak pada laki-laki. Namun sesungguhnya, hampir semua peran ini dapat dilakukan oleh kaum perempuan. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan perempuan lebih miskin dan tergantung kepada laki-laki dari segi ekonomi (Bali Sruti). Bukan hanya dari segi ekonomi, ketimpangan gender masih banyak terjadi di Bali seperti dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, politik dan kesehatan (Arjani).

31 41 Perempuan hanya dianggap sebagai kembang di halaman (bungan natah), yang berarti anak perempuan semata-mata sebagai pelengkap atau perempuan itu dipersiapkan sebagai penjaga tradisi dan ritual adat istiadat dengan segala konsekuensinya. Perempuan ini diharapkan melayani kepentingan keluarga dan kaum laki-laki di rumah mereka sehingga perempuan tidak memiliki kekuatan dalam menentukan nasib mereka sendiri terutama kesehatannya. Tradisi atau budaya ini secara tidak langsung menempatkan perempuan dalam posisi yang lemah dalam keluarga. Posisi yang lemah ini membuat perempuan harus rela diperlakukan tidak adil dan mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakkan seperti pelecehan dan kekerasan seksual, perempuan tidak memiliki kekuatan untuk menolak hubungan seksual sehingga menyebabkan perempuan menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Kesempatan belajar dan bekerja bagi perempuan Bali juga ditujukan untuk melayani kepentingan para laki-laki. Hasil kerja perempuan inipun digunakan untuk memenuhi kepentingan keluarga. Sehingga meskipun perempuan Bali muncul sebagai pekerja keras, sebagian besar dari mereka tetaplah kelompok yang tak berdaya dan dimiskinkan inilah keberadaan perempuan Bali, dipuji karena kemampuan kerjanya yang luar biasa namun miskin penghargaan karena kurang dihargai hasil kerjanya. Ada tiga katagori perempuan yang dianggap tidak sempurna di Bali, yakni, perempuan yang tidak menikah, perempuan yang tidak punya keturunan dan perempuan yang tidak memiliki keturunan laki-laki. Sehingga perempuan Bali

32 42 tidak jarang mendapat tekanan dari keluarga dan lingkungan sosial untuk menikah ataupun melahirkan bayi laki-laki. Apabila tidak memiliki anak laki-laki maka pihak keluarga ataupun suami menekan perempuan ini dan suami memiliki kecenderungan untuk menikah kembali. Disini kita lihat ika suami pada akhirnya mencari pasangan lain maka kerentanan perempuan untuk terinfeksi IMS termasuk HIV akan meningkat karena pasangan memiliki lebih dari satu pasangan seksual, namun perempuan tidak bisa menolaknya. Inilah bentuk pengorbanan perempuan Bali (Bali Sruti). Ketimpangan-ketimpangan tersebut terjadi karena kuatnya budaya patriarkhi, sehingga laki-laki dalam keluarga lebih diutamakan dibandingkan perempuan. Budaya patriarkhi yang kuat ini mengakibatkan rendahnya pembahasan mengenai perilaku berisiko dan akibat yang ditimbulkan seperti terinfeksi IMS, HIV dan AIDS serta pemakaian kondom antara suami dan istri (Badan Pusat Statistik, 2003, Restri dan Yuwanto, 2010). Perempuan dituntut pasif, penurut, setia dan tidak memahami seks. Perempuan percaya pada kesetiaan pasangannya dan enggan mempermasalahkan hal ini. Sementara laki-laki adalah pihak dominan, agresif, paham dan berpengalaman. Akibat konstruksi ini, perempuan tidak dapat menolak hubungan seks atau menuntut seks aman, meskipun tahu pasangannya berisiko menularkan penyakit. Ketidaksetaraan ini juga menganggap wajar bila laki-laki mempunyai lebih dari satu pasangan. Fenomena sosial ini yang juga mengakibatkan perempuan menjadi rentan terhadap infeksi IMS, HIV dan AIDS karena kedudukannya di dalam keluarga

33 43 masih berada di bawah laki-laki (Subiyantoro, 2007, Mohamad, 2007). (Yayasan Puspa Keluarga dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2010) 2.2. Konsep Penelitian HIV dan AIDS merupakan krisis yang penuh dengan ambiguitas dan kontroversi, tepatnya karena epidemiologinya terutama karena banyak menyangkut masalah perilaku. Dimana perilaku berisiko yang mendorong terjadinya penularan IMS dan HIV dapat berasal dari perilaku berisiko perempuan dan perilaku berisiko pasangan seksual dari perempuan diantaranya memiliki lebih dari satu pasangan seksual, hubungan seksual dengan pemaksaan dan penggunaan kondom yang tidak konsisten. Tiga jalur utama penyebaran IMS dan HIV dapat melalui hubungan seksual yang mana sebagian besar melalui hubungan heteroseksual, berbagi jarum suntik, dari ibu ke anak dan pada beberapa kasus pemakaian produk darah yang tercemar melalui tranfusi. Perempuan menjadi kelompok rentan terhadap penularan IMS dan HIV dapat dilihat dari 3 tingkatan yang berbeda yaitu pada tingkat individu, tingkat rumah tangga dan masyarakat, serta tingkatan yang lebih luar (makro). Dimana juga menyangkut isu-isu tentang moral, agama, kebudayaan, sosial ekonomi, gender, yang saling berinteraksi di saat yang sama. Pemahaman tentang hubungan seksual, merupakan pusat dari sistem moralreligius yang ada dalam setiap masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, perilaku seksual terkait erat dengan gender dan hubungan lintas budaya dan pasti menyangkut isu-isu kemiskinan dan kemakmuran yang menjadikan perempuan tidak menyadari bahaya IMS dan HIV (Avert, 2011c, Illinois Department of

34 44 Public Health, Imelda Bates dkk., 2004, United Nations, 2004, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization, 2010, Edberg, 2010). Perempuan menjadi kelompok rentan karena adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Keluarga dan masyarakat memperlakukan perempuan berbeda sehingga adanya ketimpangan dalam kesempatan pendidikan, pekerjaan, mengakses layanan kesehatan, tekanan untuk menikah dan melahirkan anak pada usia dini, ketidaksetaraan ini juga membatasi kendali perempuan atas kehidupan seksual dan reproduksi mereka. Hal ini meningkatkan risiko terinfeksi IMS dan HIV (Imelda Bates dkk., 2004) 2.3. Landasan Teori Kondisi sosial di mana orang hidup dengan kuat mempengaruhi peluang mereka untuk menjadi sehat. Faktor-faktor seperti kemiskinan, pengucilan sosial dan diskriminasi, perumahan yang buruk, tidak sehat kondisi anak usia dini dan status pekerjaan rendah merupakan penentu penting dari kebanyakan penyakit, kematian dan kesenjangan kesehatan di dalam suatu negara (Dahlgren, G. dan Whitehead, M.,2006). Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi, maka digunakanlah konsep Human Ecosystem of Health (The Mandala of Health) dari Trevor Hancock,dan Social Determinant of Health dari Dahlgren G. And Whitehead M. Kedua model ini memberi fokus kesehatan pada individu dan faktor lingkungan sosial sebagai target untuk setiap intervensi. Karena untuk memahami perilaku, diasumsikan tidak ada faktor tunggal yang dapat mempengaruhi perilaku manusia, melainkan interaksi kompleks antara individu dan suatu lingkungan yang merupakan suatu proses yang secara

35 45 bersamaan mempengaruhi perilaku. Dengan kata lain perilaku tidak terjadi dengan sendirinya. Lingkungan disini didefinisikan sebagai sesuatu di luar individu yang bisa berupa lingkungan sosial/budaya/kelompok, lingkungan sosioekonomi dan struktural, politik dan lingkungan fisik (Campbell, C., 2001). Human Ecosystem of Health Model (The Mandala of Health) adalah model dari ekosistem manusia dan menyajikan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan dalam bentuk tingkatan-tingkatan yang keluar dari individu seperti yang terlihat pada Gambar 4 berikut. Gambar 4. The Mandala of Health, Trevor Hancock, 1993 (Hancock, T., 1993) Sistem yang berkembang keluar dari individu yang holistik (pikiran, tubuh, roh) adalah keluarga, masyarakat & lingkungannya dan budaya & biosfer di kulit atau lapisan terluar. Model ini juga menyediakan untuk dimasukkannya

36 46 ilmu-ilmu sosial di atas dan ilmu-ilmu alam di bagian bawah. Sistem pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor kesehatan, selain kerja dan gaya hidup, yang mana mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan fisik. Hal ini dijelaskan sebagai model tiga dimensi yang sangat dinamis di mana di setiap potongan dapat berubah dalam bentuk dan ukuran tergantung pada kebutuhan melebihi waktu dan dalam komunitas yang berbeda. Inti dari Human Ecosystem of Health Model (The Mandala of Health) adalah gagasan bahwa untuk setiap intervensi kesehatan agar menjadi sukses, pendekatan yang digunakan harus berbagai tingkatan (multilevel), berbagai segi (multi-faceted) dan berbagai disiplin (multidisciplinary)(campbell, 2001). Kerangka kerja lainya yang digunakan untuk membantu untuk mengidentifikasi berbagai faktor penentu sosial, digunakanlah model Dahlgren dan Whitehead. Dahlgren dan Whitehead (1991) berbicara tentang lapisan-lapisan yang berpengaruh terhadap kesehatan. Mereka menggambarkan sebuah teori sosial ekologi untuk kesehatan. Mereka berusaha untuk memetakan hubungan antara individu, lingkungan dan penyakit. Faktor penentu kesehatan (determinant of health) adalah faktor yang mempengaruhi kesehatan secara positif atau negatif. Model ini berfokus pada Faktor individu yaitu memiliki karakteristik jenis kelamin, usia, faktor konstitusional berada di pusat yang mempengaruhi kesehatan mereka dan sebagian besar tetap dan faktor disekitar mereka adalah pengaruh terhadap kesehatan yang secara teoritis dapat dimodifikasi oleh kebijakan. Pada lapisan pertama adalah faktor perilaku individu dan cara hidup yang dapat

37 47 mempromosikan atau merusak kesehatan, misalnya dipengaruhi oleh pola persahabatan dan norma-norma masyarakat. Lapisan berikutnya adalah pengaruh sosial dan masyarakat, individu berinteraksi dengan rekan-rekan mereka dan masyarakat, mereka saling mendukung bagi anggota masyarakat dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Tapi mereka juga dapat tidak mendukung atau memiliki efek negatif. Lapisan ketiga, kemampuan seseorang untuk menjaga kesehatan mereka dipengaruhi oleh hidup mereka dan kondisi kerja, perumahan, produksi makanan dan pertanian, pendidikan, lingkungan kerja, pengangguran, air dan sanitasi, akses ke layanan dan penyediaan fasilitas, pemukiman. Lapisan paling luar sebagai mediator kesehatan penduduk yaitu kondisi sosial ekonomi, budaya dan lingkungan secara keseluruhan (Dahlgren, G. dan Whitehead, M.,2006, Bambra, C. et.all, 2010). Gambar 5. Social Determinant of Health Model, Dahlgren dan Whitehead, 1991 (Bambra, C. et.all, 2010) Model ini menekankan interaksi antara gaya hidup individu yang tertanam dalam norma-norma sosial dan jaringan dan dalam kondisi hidup dan kerja, yang

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan telah terpengaruh oleh HIV sejak awal epidemi terjadi dan dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010). Secara global HIV dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai penanggulangannya, merupakan masalah yang sangat kompleks. Penularan HIV- AIDS saat ini tidak hanya terbatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Insiden maupun prevalensi yang

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV merupakan famili retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia terutama limfosit (sel darah putih) dan penyakit AIDS adalah penyakit yang merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat 36.700.000 orang hidup dengan HIV termasuk sebanyak 2,25 juta anak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan peningkatan pelayanan kesehatan dan sosial bagi remaja semakin menjadi perhatian di seluruh dunia sejalan dengan rekomendasi International Conference

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

Oleh: Logan Cochrane

Oleh: Logan Cochrane Oleh: Logan Cochrane Pengenalan P. Kepanjangan dari apakah HIV itu? J.Human Immuno-deficiency Virus P. Kepanjangan dari apakah AIDS? J. Acquired Immune Deficiency Syndrome Keduanya memiliki hubungan sebab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut merusak sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS sebagai salah satu epidemik yang paling menghancurkan pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health Organization (WHO) 2012 menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun adalah suatu periode masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga pengidap akan rentan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bonus demografi, dimana penduduk usia produktif yaitu penduduk dengan usia 15

BAB I PENDAHULUAN. bonus demografi, dimana penduduk usia produktif yaitu penduduk dengan usia 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan penduduk terbanyak keempat di dunia yaitu sebesar 256 juta jiwa pada tahun 2015. Pada tahun 2025 diproyeksikan jumlah penduduk

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan penyakit yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi HIV adalah melalui kontak seksual;

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sudah diketahui sejak dari zaman dahulu kala dan tetap ada sampai zaman sekarang. Penyakit infeksi menular seksual ini penyebarannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial. Batasan usia

BAB I PENDAHULUAN. baik secara biologis, psikologis maupun secara sosial. Batasan usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan. Dengan pernikahan, seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis maupun secara

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan IMS seperti perubahan demografi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik yang sering dikaitkan dengan kesehatan reproduksi terutama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit infeksi dan salah satunya adalah penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Selain itu, pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI KOTA BANDUNG DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG

ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI KOTA BANDUNG DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI KOTA BANDUNG DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG KEBIJAKAN DALAM PERMENKES 21/2013 2030 ENDING AIDS Menurunkan hingga meniadakan infeksi baru Menurunkan hingga meniadakan kematian

Lebih terperinci

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 1 Outline Paparan Bagaimana Transmisi HIV Terjadi Situasi HIV

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mengakomodasi kesehatan seksual, setiap negara diharuskan untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang mengakomodasi kesehatan seksual, setiap negara diharuskan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan yang ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Menyadarkan para wanita tuna susila tentang bahaya HIV/AIDS itu perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Hal ini penting karena para wanita tuna susila itu dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di dunia termasuk di Indonesia. Kebutuhan akan adanya program penanggulangan IMS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Sifilis bersifat kronik dan sistemik karena memiliki masa laten, dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa pancaroba yang pesat, baik secara fisik, psikis, dan sosial. Modernisasi dan globalisasi zaman, menyebabkan remaja rentan terhadap pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pandangan bahwa hubungan seksual adalah tabu, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksinya dengan orang lain. Menurut WHO remaja adalah penduduk

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES GORONTALO TAHUN 2013 DAFTAR ISI Daftar Isi... 2 Pendahuluan... 3 Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami pubertas dan mulai mencari jati diri mereka ingin menempuh jalan sendiri dan diperlakukan secara khusus. Disinilah

Lebih terperinci

komisi penanggulangan aids nasional

komisi penanggulangan aids nasional 1 komisi penanggulangan aids nasional Pendahuluan: Isi strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014. Strategi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, manusia untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesehatan fisik, mental dan sosial secara menyeluruh dalam semua hal berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi-fungsi serta proses-prosesnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang sampai saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya (CDC, 2016). WHO (2016) menunjukkan bahwa terdapat

Lebih terperinci

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual a. Penyebab penyakit (agent) Penyakit menular seksual sangat bervariasi dapat berupa virus, parasit, bakteri, protozoa (Widyastuti, 2009).

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World Health Organization (WHO) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 KEBERMAKNAAN HIDUP PADA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) WANITA (STUDI KUALITATIF MENGENAI PENCAPAIAN MAKNA HIDUP PADA WANITA PASCA VONIS TERINFEKSI HIV/AIDS) Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih sering terjadi. Seorang perempuan bernama Mairinda yang kini menjabat

BAB I PENDAHULUAN. masih sering terjadi. Seorang perempuan bernama Mairinda yang kini menjabat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV dan AIDS (Odha) masih sering terjadi. Seorang perempuan bernama Mairinda yang kini menjabat sebagai manajer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting dalam skala global. Pada tahun 2005, terdapat 1.21 miliar

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Indonesia, sejak tahun Kementerian Kesehatan telah mengembangkan model pelayanan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Indonesia, sejak tahun Kementerian Kesehatan telah mengembangkan model pelayanan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program kesehatan reproduksi remaja diintegrasikan dalam program kesehatan remaja di Indonesia, sejak tahun 2003. Kementerian Kesehatan telah mengembangkan model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Nilai - nilai yang ada di Indonesiapun sarat dengan nilai-nilai Islam. Perkembangan zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan Rubonucleat Acid (RNA) yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia dan menyebabkan Aqciured

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Desiminasi Hasil Analisa Pendokumentasian Data Kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS di 8 provinsi di Indonesia.

Kerangka Acuan Desiminasi Hasil Analisa Pendokumentasian Data Kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS di 8 provinsi di Indonesia. Kerangka Acuan Desiminasi Hasil Analisa Pendokumentasian Data Kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS di 8 provinsi di Indonesia. Latar Belakang Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. belum ditemukan, yang dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. belum ditemukan, yang dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya di bidang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

HIV/AIDS (Human Immunodeficiency/Acquired Immune Deficiency. Syndrome) merupakan isu sensitive dibidang kesehatan. HIV juga menjadi isu

HIV/AIDS (Human Immunodeficiency/Acquired Immune Deficiency. Syndrome) merupakan isu sensitive dibidang kesehatan. HIV juga menjadi isu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan isu sensitive dibidang kesehatan. HIV juga menjadi isu internasional karena HIV telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang

BAB I PENDAHULUAN. HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS atau Acquired

Lebih terperinci

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti Ragu? Jangan cuma Ikut VCT, hidup lebih pasti Sudahkah anda mengetahui manfaat VCT* atau Konseling dan Testing HIV Sukarela? *VCT: Voluntary Counselling and Testing 1 VCT atau Konseling dan testing HIV

Lebih terperinci

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! 4 dari 5 laki-laki seluruh dunia pada satu masa di dalam hidupnya akan menjadi seorang ayah. Program MenCare+ Indonesia adalah bagian dari kampanye global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan dan perkembangan yang cepat baik fisik, mental, dan psikososial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang dari 30 jenis mikroba (bakteri, virus,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Informed Consent. Penjelasan prosedur

Lampiran 1. Informed Consent. Penjelasan prosedur Lampiran 1 Penjelasan prosedur Informed Consent Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian yang yang akan dilakukan oleh Gaby Gabriela Langi, SKM, mahasiswa Minat Utama Epidemiologi Lapangan Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada Millenium Development Goals (MDGs), memiliki 5 pondasi yaitu manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini merupakan era globalisasi dimana sering terjadi perdagangan manusia, budaya luar dengan mudahnya masuk dan diadopsi oleh masyarakat sehingga memunculkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab penyakit yang di

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab penyakit yang di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV (Human Imunodeficiency Virus) merupakan penyebab penyakit yang di kenal sebagai AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). AIDS merupakan penyakit yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodefeciency Virus).

BAB I PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodefeciency Virus). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodefeciency Virus). Kasus HIV dan AIDS pertama kali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masih terdapat banyak penyakit di dunia yang belum dapat diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang sebelumnya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) semakin meningkat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus RNA yang dapat menyebabkan penyakit klinis, yang kita kenal sebagai Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep dan strategi pembangunan kesehatan telah mengalami pergeseran, yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah berorientasi kepada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa, 10 BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa, terutama kapasitas reproduksi yaitu perubahan alat kelamin dari tahap anak ke dewasa. Masa remaja yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi menurut International Cooperation Populatiom and Development (ICPD) 1994 adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja ialah suatu waktu kritis seseorang dihadapkan pada berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan AIDS sungguh mengejutkan.

Lebih terperinci

PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI

PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S1 Diajukan Oleh : SLAMET WIDODO

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari. penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari. penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari Human Imunno deficiency Virus dalam bahasa Indonesia berarti virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS), merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan karena menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh human immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Program For Appropriate Technology in Health (PATH, 2000)

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Program For Appropriate Technology in Health (PATH, 2000) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Program For Appropriate Technology in Health (PATH, 2000) hampir 1 diantara 6 manusia di bumi ini adalah remaja. Dimana 85% antaranya hidup di negara berkembang.

Lebih terperinci

Peningkatan Pengetahuan Remaja dan Pemuda tentang Kesehatan Reproduksi dan Hubungannya dengan Lingkungan Sosial di Palangka Raya ABSTRAK

Peningkatan Pengetahuan Remaja dan Pemuda tentang Kesehatan Reproduksi dan Hubungannya dengan Lingkungan Sosial di Palangka Raya ABSTRAK 60 Peningkatan Pengetahuan Remaja dan Pemuda tentang Kesehatan Reproduksi dan Hubungannya dengan Lingkungan Sosial di Palangka Raya Oleh : Septi Handayani ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk meningkatan

Lebih terperinci