BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS PERSPEKTIF KEADILAN JENDER TERHADAP POLIGAMI DALAM ISLAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS PERSPEKTIF KEADILAN JENDER TERHADAP POLIGAMI DALAM ISLAM"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS PERSPEKTIF KEADILAN JENDER TERHADAP POLIGAMI DALAM ISLAM 4.1. Pendahuluan Analisis data penelitian terbagi kedalam dua bagian. Bagian pertamaberisitentang analisis deskriptifterhadap keragaman penafsiran tentang poligami oleh para mufasir, fukaha, dan feminis Muslim sehingga diperoleh gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya hakikat poligami di dalam Islam. Selanjutnya, dilakukan pemetaan atas keragaman penafsiran tentang poligami oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim tersebut ke dalam sebuah tipologi pemikiran Islam melalui tiga kategori: fundamental, moderat, dan liberal. Adapun bagian kedua, berisi tentang analisis kritis perspektif keadilan jender (tinjauan kritis studi jender dan teori keadilan jender Susan Moller Okin) terhadap poligami di dalam Islam. Dalam hal ini, analisis keadilan jender dilakukan terhadap dua hal, yakni: Pertama, ketentuan hukum positif di Indonesia (UUP No.1 tahun 1974 dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI) yang mengatur tentang pelaksanaan poligami di Indonesia; Kedua, data hasil penelitian LBH APIK Jakarta tentang praktik poligami di Indonesia. Secara umum, Bab IV ini berisi: pendahuluan, analisis data penelitian, dan penutup. 142

2 4.2. Analisis Deskriptif terhadap Keragaman Penafsiran tentang Poligami dalam Islam Analisis Deskriptif terhadap Keragaman Penafsiran tentang Poligami dalam Islam oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim. Munculnya persoalan jender dewasa ini tidak terlepas dari adanya benturan antara teks Kitab Suci, penafsiran terhadap teks Kitab Suci dan konteks sosial yang melingkupinya. Ketika umat Muslim mengklaim dirinya sama-sama berpegang pada teks Kitab Suci yang sama, namun kemudian terdapat keragaman persepsi terhadap persoalan keadilan jender yang ada, maka hal ini menjadi penting untuk dikritisi. 1 Menurut penulis, pernyataan di atas sangat tepat jika dikaitkan dengan persoalan poligami di dalam Islam. Meski sama-sama mengacu pada Alquran, khususnya dalam hal ini Q.S. an-nisa /4:3, namun penafsiran dan pemahaman umat Islam terhadap poligami berbeda-beda. Hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Umul Baroroh dalam Sukri (ed.), bahwa pada umumnya para fukaha dan mufasir dalam membicarakan perihal poligami selalu mengacu Q.S. An-Nisa /4:3. Meski demikian, pemahaman mereka sangat beragam dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan konteks kehidupan. Pada masa lalu, para fukaha telah menafsirkan ayat tersebut sebagai sebuah kewenangan bagi kaum laki-laki untuk melakukan poligami, tanpa disertai adanya batasan persyaratan tertentu. Meski ada dari sebagian mereka yang mensyaratkan berlaku adil terhadap para istri, tetapi hal tersebut hanya sebatas keadilan lahiriah. Selanjutnya, para mufasir, 1 Lihat Pengantar Redaksi, Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (terj. Agus Nuryatno), (Yogyakarta: LKis, 2007), v. 143

3 meski tidak secara tegas melarang poligami, namun mereka cenderung sedikit lebih mempersulit pelaksanaan poligami yakni dengan mempersyaratkan perlakuan adil terhadap istri, sebagai perihal yang sulit untuk dipenuhi. Sementara itu, dengan memperhitungkan konteks, para feminis Muslim melarang poligami karena persyaratan keadilan yang ditetapkan di dalam Alquran menurutnya adalah hal yang mustahil untuk dapat dipenuhi. Adapun dalam hukum positif di Indonesia, poligami diperkenankan dengan alasan dan kondisi khusus serta harus mendapatkan izin dari pengadilan. 2 Para fukaha yang dimaksud oleh Baroroh dalam tulisannya tersebut adalah fukaha klasik seperti Imam Syafi i dan Abu Hanifah. Sementara itu, yang disebut mufasir adalah Ibnu Katsir dan Al-Zamakhsyari. Selanjutnya, dalam tesis ini penulis menambahkan para mufasir Indonesia seperti: HAMKA dan Hasbi ash- Shiddiqy. Adapun feminis Muslim yang disebut adalah Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Mukhsin. Di sini, penulis juga menambahkan tokoh lain yang masuk dalam kategori modernis Islam dan feminis Muslim. Tokoh tersebut, antara lain: Muhammad Abduh (Mesir), Nawal El-Saadawi (Mesir), dan Siti Musdah Mulia (Indonesia). Perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang poligami, juga dikemukakan oleh Anik Farida yang menyatakan bahwa dalam memandang persoalan poligami, para ulama telah terbelah kedalam tiga spektrum pandangan yang berbeda. Pertama, kalangan yang berpendirian bahwa poligami merupakan salah satu sunnah Nabi yang seyogyanya diteladani oleh kaum laki-laki, khususnya bagi 2 Umul Baroroh, Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha dalam Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Ed. Sri Suhandjati Sukri),

4 mereka yang memiliki kemampuan secara material dan kesanggupan untuk bertindak adil. Menurut kelompok ini, tidak ada batasan jumlah maksimal perempuan yang bisa dinikahi. Kedua, ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat diperbolehkan dengan batasan maksimal 4 orang istri. Mengenai perihal pernikahan Nabi Muhammad saw yang lebih dari empat istri, oleh kelompok ini diposisikan sebagai khususiyat al-nabi. 3 Sebagaimana pendapat kelompok pertama, pada kelompok kedua ini juga masih dimungkinkan atau dibolehkannya laki-laki menikah lebih dari satu orang istri, namun disini disertai dengan persyaratan mampu dan dapat berlaku adil diantara istri-istrinya. Ketiga, ulama yang melarang praktik poligami. Pendapat ini banyak dikemukakan oleh modernis Islam dan feminis Muslim. 4 Pendapat Baroroh dan Farida di atas, memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa di dalam memandang persoalan poligami di dalam Islam telah terjadi adanya perbedaan penafsiran oleh para ulama (fukaha dan mufasir), modernis Islam dan feminis Muslim. Dari kedua pendapat tersebut, secara tersirat dapat diketahui bahwa penyebab bagi terjadinya perbedaan penafsiran tentang poligami oleh para ulama, modernis Islam dan feminis Muslim adalah terletak pada perbedaan metode pendekatan yang digunakan. Para fukaha klasik cenderung menggunakan metode tekstual, para mufasir menggunakan metode tekstualkontekstual, sementara itu, para modernis Islam dan feminis Muslim menggunakan metode kontekstual. 3 Khususiyat al-nabi atau khususiyat al-rasul adalah arti dari kata kekhususan bagi Nabi sendiri. 4 Farida, Menimbang Dalil Poligami:antara teks, konteks dan praktek,

5 Terkait dengan penggunaan metode tafsir oleh para ulama di dalam menafsirkan ayat tentang poligami, penulis menemukan sejumlah literatur yang didalamnya membahas tentang metode tafsir yang lazim digunakan oleh para mufasir di dalam menafsirkan ayat-ayat poligami di dalam Alquran. Literatur tersebut berupa buku-buku yang dikarang oleh para pemerhati masalah jender dan tafsir jender di Indonesia, antara lain: Nashruddin Baidan, Nurjannah Ismail, Hamka Hasan, Nasaruddin Umar dan Siti Ruhaini Dzuhayatin. Dalam literatur tersebut dijelaskan bahwa ada empat metode yang lazim digunakan oleh para mufasir di dalam menafsirkan ayat tentang poligami dalam Alquran. Keempat metode tafsir tersebut meliputi: ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu i. Secara lebih detail, Nurjannah Ismail menjelaskan keempat metode tafsir tersebut sebagai berikut: pertama, tafsir ijmali adalah penjelasan ayat-ayat Alquran secara ringkas tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca; Kedua, tafsir tahlili adalah cara penafsiran yang menggunakan penalaran dimana mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Ketiga, tafsir Muqarin adalah membandingkan teks ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; membandingkan ayat Alquran dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Alquran; dan Keempat, tafsir maudhu i adalah membahas ayat-ayat Alquran 146

6 sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. 5 Sementara itu, Nurjannah membedakan tafsir tahlili, menjadi dua macam yakni tafsir bi al-ma tsur dan tafsir bi ar-ra yi. 6 Terkait tafsir bi al-ma tsur dan tafsir bi ar-ra yi, Dzuhayatin menyatakan bahwa di dalam menafsirkan Alquran, sebagian mufasir ada yang menggunakan metode tafsir bi al-ma tsur (penafsiran Alquran yang bersandarkan pada Alquran, hadist atau ijtihad sahabat) dan sebagian yang lain menggunakan metode tafsir bi ar-ra yi (penafsiran Alquranyang bersandar pada logika berpikir penafsir sendiri). 7 Terkait dengan adanya perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para fukaha, mufasir dan feminis Muslim di dalam memandang persoalam poligami dalam Islam, di dalam teori Okin telah disebutkan, bahwa sudah menjadi sebuah keharusan, bahwa segala sesuatu itu akan terus berada dibawah perbedaan pendapat. 8 Dengan demikian, berarti bahwa, perbedaan penafsiran tentang perihal poligami dalam Islam oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim merupakan hal yang wajar terjadi. Apalagi hal ini terkait erat dengan pembahasan tentang keadilan sebagai salah satu syarat dibolehkannya poligami dalam Islam. Selanjutnya beralih kepada persoalan keadilan jender, bahwa seiring dengan munculnya kesadaran akan keadilan dan kesetaraan jender dikalangan perempuan, persoalan poligami dalam Islam kini menjadi sebuah persoalan 5 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Kata Pengantar, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002), viiiix. 8 Okin, Justice, Gender, and The Family,

7 keadilan jender yang sangat penting untuk dikritisi. Menurut Hamka Hasan, untuk mewujudkan kesetaran jender, kesadaran jender dapat muncul dengan melibatkan faktor teologis yakni melalui reinterpretasi terhadap ajaran agama. 9 Adapun Fakih berpendapat bahwa dengan dilakukannya kajian kritis, diharapkan akan mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama. 10 Jika kedua pendapat tersebut kemudian dikaitkan dengan maraknya kemunculan pandangan para feminis Muslim terhadap poligami dalam Islam khususnya pada beberapa dekade terakhir ini, maka dapat dikatakan bahwa penafsiran tentang poligami oleh feminis Muslim merupakan hasil kajian kritis yang dilakukan melalui reinterpretasi terhadap ayat tentang poligami yang dianggap bias jender. Melalui tafsir jender, para feminis Muslim mencoba mengkritisi persoalan poligami di dalam Alquran. Terkait hal ini, Yunahar Ilyas dengan menyitir Engineer, menyatakan bahwa sesungguhnya yang digugat oleh para feminis Muslim bukanlah teks kitab suci Alquran itu sendiri, tetapi lebih kepada penafsiran para mufasir yang dianggap tekstual dan bias jender. Engineer mengkritik dengan tajam penggunaan metode para mufasir yang dalam memahami ayat Alquran semata-mata hanya berdasarkan pendekatan teologis semata tanpa mempertimbangkan pendekatan sosiologis. Bagi Engineer, penafsiran terhadap teks Alquran seharusnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosio-teologis. 11 Sederet nama terkenal dengan latar belakang yang berbeda, seperti: Asghar Ali Engineer, Nawal El-Saadawi, Fatima Mernissi, dan 9 Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, Seri Disertasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir,

8 Amina Wadud Muchsin, telah membahas perihal poligami dalam Islam. Adapun feminis Muslim Indonesia yang sangat keras menentang terjadinya praktik poligami adalah Siti Musdah Mulia, sebagaimana terdapat dalam karyanya Islam menggugat Poligami. Dari pembahasan mengenai metode tafsir yang lazim digunakan di dalam penafsiran terhadap ayat tentang poligami, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menafsirkan ayat tentang poligami, ada kecenderungan para fukaha menggunakan metode tafsir tahlili, sementara itu para mufasir menggunakan metode tafsir muqarin. Adapun kaitannya dengan metode tafsir bi al-ma tsur dan metode tafsir bi ar-ra yi sebagaimana yang dinyatakan oleh Dzuhayatin, maka ada kecenderungan bahwa para fukaha telah menggunakan metode tafsir bi alma tsur, para mufasir menggunakan gabungan antara tafsir bi al-ma tsur dan tafsir bi ar-ra yi, adapun para feminis Muslim menggunakan tafsir bi ar-ra yi. Poligami merupakan sebuah fenomena sosial keagamaan yang keberadaannya dari dulu hingga kini terus diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Jika dicermati secara seksama, maka terjadinya perdebatan tentang poligami di dalam Islam sesungguhnya bersumber pada adanya perbedaan metode pendekatan yang digunakan di dalam menafsirkan ayat tentang poligami di dalam Alquran oleh para ulama (baik Fukaha maupun Mufasir). Perbedaan tersebut menjadi semakin jelas terlihat ketika para feminis Muslim yang dengan melibatkan konteks turunnya Alquran, telah mengkritisi penafsiran ayat poligami yang dianggap tekstual dan bias jender. Intinya disini dapat disimpulkan bahwa, perbedaan penggunaan metode pendekatan dan sudut pandang di dalam penafsiran 149

9 ayat tentang poligami dalam Alquran, telah menjadi penyebab bagi terjadinya perbedaan pemahaman terhadap ayat tentang poligami diantara para ulama dan feminis Muslim. Perbedaan penafsiran tersebut selanjutnya berimbas kepada adanya keragaman pemahaman umat Islam dalam memandang persoalan poligami di dalam Islam Tipologi Pemikiran Islam (Fundamental, Moderat dan Liberal) tentang Penafsiran tentang Poligami dalam Islam. Untuk membuat sebuah tipologi pemikiran terhadap penafsiran tentang poligami dalam Islam, penulis mengalami tingkat kesulitan tersendiri karena harus diakui bahwa term yang dipilih (fundamental, moderat dan liberal), belum lazim diterapkan khususnya dalam pembahasan mengenai tipologi pemikiran Islam. Di sini penulis benar-benar harus melakukannya dengan penuh kehati-hatian agar nantinya tidak terpeleset ke arah bias dan pejoratif (meminjam istilah Syahrin Harahap). Hal ini sebagaimana dinyatakan Syahrin Harahap ketika membahas tentang Islam dan fundamentalisme. Menurutnya, term fundamentalisme sangat merepotkan bila dihubungkan dengan Islam. Selain karena tidak tepat jika digunakan terhadap corak keberagaman, berbagai diskusi di kalangan umat Islam juga telah menolak penggunaan istilah tersebut dengan menyebutnya sebagai istilah yang bias dan pejoratif. 12 Meski demikian, dalam pembahasannya lebih lanjut, Harahap menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut kini tidak dapat lagi dihindari karena kita hidup di era global. Adapun, menyitir Bernald Lewis, seorang ahli sejarah Islam menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut saat ini 12 Syahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997),

10 sudah mapan dan dapat diterima. 13 Pendapat inilah yang akhirnya mendorong penulis untuk berani menggunakan istilah-istilah seperti fundamental, moderat dan liberal di dalam membuat sebuah tipologi pemikiran Islam terkait keragaman penafsiran poligami dalam Islam. Hal ini dipilih penulis dengan sebuah pertimbangan, yakni: agar dapat lebih mudah untuk dipahami. Setelah dilakukan pendekatan melalui pemahaman makna dari berbagai istilah, akhirnya dapat disimpulkan oleh penulis, bahwa pandangan mengenai poligami dalam Islam dapat dipetakan kedalam tiga kategori pemikiran Islam, yakni: fundamental, moderat dan liberal. Pertama, Pemikiran Islam Fundamental. Pemikiran ini terdapat pada ulama yang berpendapat bahwa poligami adalah sunnah Nabi yang seyogyanya diteladani, khususnya bagi laki-laki yang memiliki kemampuan secara material dan kesanggupan untuk bertindak adil. Poligami disini dapat dilakukan tanpa adanya batasan mengenai jumlah isteri yang boleh dipoligami. Pemikiran ini terdapat pada fukaha klasik seperti Imam Syafi i dan Abu Hanifah. Kedua, pemikiran Islam Moderat. Pemikiran ini terdapat pada ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat diperbolehkan dalam batas maksimal 4 orang perempuan, dengan catatan mampu dan dapat berlaku adil diantara istri-istrinya. Pemikiran ini terdapat pada para mufasir seperti Ibnu Katsir dan Al-Zamakhsyari. Ketiga, pemikiran Islam Liberal. Pemikiran ini terdapat pada pemikiran ulama yang melarang praktek poligami, termasuk didalamnya adalah pendapat modernis Islam dan feminis Muslim. Pemikiran ini antara lain 13 Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur an dalam Kehidupan Modern di Indonesia,

11 terdapat pada Muhammad Abduh, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernisi, Amina Wadud Mukhsin, dan di kalangan Indonesia seperti Siti Musdah Mulia. Untuk lebih mudah dipahami, berikut ini penulis tuangkan ke dalam bentuk sebuah bagan mengenai tipologi pemikiran Islam tentang keragaman penafsiran terhadap poligami di dalam Islam. 152

12 Bagan Tipologi Pemikiran Islam tentang Keragaman Penafsiran terhadap Poligami di dalam Islam. Kitab Suci Alquran (Q.S. 4:3) Tafsir terhadap Q.S. 4:3 Fukaha: Poligami merupakan sunnah Nabi. Dilakukan tanpa adanya batasan jumlah istri. Tokoh: Imam Syafi i dan Imam Hanafi. Dalil: Q.S. 4:3 Metode Penafsiran: tekstual, tahlili, bi-al ma tsur. Mufasir: Poligami adalah hal yang dibolehkan oleh agama. Dilakukan dengan batasan maksimal 4 istri disertai syarat mampu berlaku adil diantara istri-istri. Tokoh: Ibnu Katsir, Al-Zamakhsyari, HAMKA, Hasbi ash- Shiddiqy. Dalil: Q.S. 4:3 dan Q.S. 4:129 Metode Penafsiran: tekstual - kontekstual, muqarin, bi-al ma tsur-bi-ar rayi. Modernis Islam dan Feminis Muslim: Poligami sebaiknya dilarang. Tokoh: Muhammad Abduh, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud Mukhsin, Fatima Mernisi, Nawal El-Saadawi, Siti Musdah Mulia. Dalil: Q.S. 4:3, Q.S. 4:129 dan semua ayat yang membahas perkawinan Penafsiran secara kontekstual, bi-ar rayi. Pemikiran Islam Fundamental Pemikiran Islam Moderat Pemikiran Islam Liberal Sumber: Data diolah oleh penulis (Pebruari 2016). 153

13 4.3. Analisis Kritis Keadilan Jender terhadap poligami dalam Islam Analisis kritis terhadap ketentuan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan Poligami. Teori keadilan jender Susan Moller Okin merupakan sebuah teori politik, moral dan sekaligus jender, yang berisikan tentang bagaimana seharusnya keadilan jender itu dapat diterapkan di dalam sebuah keluarga yang telah dibentuk melalui lembaga perkawinan. Teori ini berangkat dari sebuah isu utama feminisme bahwa perempuan adalah manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang berhak mendapat tempat yang sama dengan laki-laki, baik dalam teori politik maupun moral. 14 Secara tersirat, Okin juga menyatakan bahwa sistem jender yang berkembang dalam masyarakat merupakan hal yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi khususnya terkait dengan nilai kebebasan dan keadilan untuk semua. 15 Teori Okin memang tidak secara khusus membahas tentang perkawinan poligami sebagaimana yang menjadi tema utama dari tesis ini. Namun, pembahasan yang ada di dalam teori tersebut sangatlah penting untuk diangkat sebagai starting point bagi penulisan tesis ini. Salah satu diantaranya adalah pernyataan Okin yang mengatakan bahwa kehidupan sebuah rumah tangga itu harus adil. Adapun keadilan itu sendiri harus diperkuat oleh negara melalui sistem hukumnya. 16 Dalam pandangan Okin, kesetaraan antara jenis kelamin termasuk 14 Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family,

14 didalamnya adalah keluarga atau dimanapun, tidak akan pernah terwujud selama tidak ada perubahan hukum, politik dan sosial yang menyertainya. 17 Menurut Okin, pernikahan dan keluarga yang selama ini dipraktikkan di dalam masyarakat memiliki ciri khas, yakni tersusun berdasarkan jender. Hal ini merupakan sebuah bentuk ketidakadilan. 18 Bagi Okin, keluarga dan perkawinan merupakan poros dari sistem sosial jender yang membuat perempuan rentan terhadap ketergantungan, eksploitasi, dan kekerasan. 19 Sebuah pernikahan secara tidak disadari telah menyembunyikan ketimpangan sosial yang dibangun perempuan melalui pernikahannya. 20 Pembagian kerja secara seksual telah menjadi bagian fundamental dari adanya sebuah kontrak pernikahan. 21 Intinya bahwa, keluarga dan perkawinan dalam praktiknya telah menjadi sebuah lembaga yang tidak adil. Bagi Okin, keluarga yang ideal adalah keluarga yang menjadikan keadilan sebagai suatu kebajikan yang penting. 22 Keluarga adalah sekolah moral pertama yang mengajarkan tentang nilai-nilai keadilan kepada generasi penerus bangsa. 23 Ketika terjadi persoalan ketidak-adilan pada perempuan dan anak-anak, khususnya dalam kehidupan institusi rumah tangga, maka hal penting yang diusulkan oleh Okin didalam teorinya adalah perlunya dilakukan sebuah reformasi sosial seperti perubahan kebijakan publik dan reformasi hukum Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila,

15 Itulah sekilas gambaran dari teori keadilan jender Susan Moller Okin yang telah menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan sebuah analisis kritis terhadap Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pelaksanaan poligami. Sebagaimana telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, bahwa dalam hukum positif di Indonesia, poligami telah di atur pelaksanaanya di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 3, 4 dan 5) dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI (pasal 55 s/d 59). Pada UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 1 dinyatakan secara tersirat bahwa pada dasarnya asas perkawinan di Indonesia adalah monogami. Selanjutnya, pada ayat 2 disebutkan bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Jika dicermati dengan seksama maka kedua ayat tersebut telah memperlihatkan adanya sebuah ambiguitas. Pada ayat 1, disebutkan bahwa asas perkawinan adalah monogami, namun pada ayat 2, dimunculkan asas monogami terbuka. Hal ini ditandai dengan sebuah pernyataan bahwa, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka seorang suami dapat beristri lebih dari seorang, yang dalam hal ini setelah diberikan izin oleh pengadilan. Selanjutnya, beralih pada pihak yang boleh melakukan poligami menurut UUP No 1 tahun Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (2) disebut dengan jelas bahwa pihak yang berhak mendapat izin dari pengadilan untuk melakukan poligami adalah kaum laki-laki (suami). Hal ini menunjukkan bahwa secara 156

16 legalitas hukum, poligami hanya diperbolehkan bagi kaum laki-laki, dan tidak bagi kaum perempuan. Jika hal tersebut dicermati dari sudut pandang hukum Islam, maka sejatinya ketentuan tersebut tidak berbeda dengan ketetapan yang ada di dalam Alquran, dimana laki-laki diberi kebolehan untuk melakukan poligami dengan syarat-syarat tertentu (Q.S. An-Nisa /4:3), sedangkan poliandri merupakan hal yang diharamkan atau terlarang bagi perempuan (Q.S. An-Nisa /4:24). Masih berkaitan dengan pasal 4 UUP. Dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa pemberian izin untuk poligami dilakukan oleh pengadilan kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang karena adanya tiga alasan, yakni: (a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Jika pasal 4 ayat 2 point (a) UUP diperhatikan dengan seksama, maka disana terlihat adanya sebuah istilah yang memiliki makna ambigu dan bias jender, yakni tentang kewajiban istri. Dalam point (a) tersebut, tidak disebutkan dengan jelas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah kewajiban istri. Kewajiban istri dalam hal apa? Apakah yang dimaksud adalah kewajiban istri dalam hal seksual, ataukah yang lainnya? Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian lebih lanjut, agar nantinya menjadi lebih jelas di dalam penerapannya. Selanjutnya, jika pasal 4 ayat 2 ditinjau dari sudut pandang jender, maka disana terlihat adanya sifat patriarkis dan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Hal ini dapat terlihat dari tiga alasan yang disebut terkait dengan syarat pemberian izin poligami oleh pengadilan. Hanya karena alasan seorang istri tidak dapat 157

17 melayani suami dengan baik, cacat tubuh, dan tidak dapat melahirkan keturunan, undang-undang kemudian memberi celah kepada kaum laki-laki untuk beristri lebih dari seorang. Lantas, disini pun muncul sebuah pertanyaan: bagaimana jika ternyata keadaanya justeru kebalikannya, yakni: suami tidak dapat melayani istri dengan baik, suami mengalami cacat tubuh, dan mandul? Apakah seorang istri kemudian juga boleh berpoligami (poliandri)? Ternyata jawabannya adalah tidak! Namun demikian, ada sebuah solusi yang mungkin dapat menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Undang-undang perkawinan kita ternyata memberi celah kepada seorang istri yang merasa tidak bahagia dengan perkawinannya untuk melakukan gugat cerai terhadap suami. Setelah terjadi perceraian, barulah seorang perempuan dapat menikah lagi dengan laki-laki lain (hal ini tentunya bagi perempuan yang masih menghendaki untuk menikah lagi). Beralih pada pasal 5 UUP tahun Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa bagi suami yang akan mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk melakukan poligami, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undangundang ini, maka harus dipenuhi syarat-syarat: (a) adanya persetujuan dari istri/istri-istri; (b) adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Selanjutnya, dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa persetujuan yang dimaksudkan pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama 158

18 sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Dari bunyi Pasal 5 ayat 2 di atas, terlihat bahwa persetujuan dari istri/istriistri, bukanlah hal yang mutlak sebagai sebuah persyaratan untuk seorang suami dapat melakukan poligami. Hal ini karena persyaratan tersebut ternyata dapat diselesaikan melalui putusan Hakim Pengadilan. Dalam pandangan penulis, pasal 5 ayat 2 terlihat sangat kontradiktif dengan pasal 5 ayat 1 huruf a. Dalam hal persetujuan istri terhadap suami yang akan berpoligami, kewenangan hakim adalah lebih kuat kedudukannya daripada izin dari istri yang akan dipoligami. Beralih kepada analisis terhadap Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI. Bahwa ketentuan pelaksanaan poligami dalam KHI terdapat pada Buku Pertama tentang Hukum Perkawinan, khususnya pada pasal 55 sampai dengan 59. Dengan melihat pasal-pasal tersebut maka dapat terlihat bahwa ketentuan tentang pelaksanaan poligami tersebut adalah hampir sama dengan ketentuan yang terdapat pada UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat disoroti dari pasal-pasal tentang ketentuan pelaksanaan poligami di dalam KHI sebagai berikut: 1. Pasal 55 KHI dalam pandangan penulis adalah merupakan pengejawantahan dari Q.S. 4:3, yakni tentang jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami adalah 4 orang istri dan adanya syarat harus mampu berlaku adil diantara istri-istri dan anak-anak yang dimiliki. 2. Pasal 56 ayat 1 yang menyatakan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Menurut penulis, 159

19 ketentuan ini dapat dipandang sebagai hal yang kurang adil bagi istri yang hendak dipoligami, sebab izin dari istri dalam ketentuan ini terlihat seolah kekuatan hukumnya lebih rendah dibanding dengan izin dari Pengadilan Agama. 3. Pasal 57 KHI tentang tiga alasan Pengadilan Agama dalam pemberian izin bagi suami yang hendak berpoligami. Dalam pasal ini, ketiga alasan yang diberikan menurut penulis tidak pernah sedikitpun disebut di dalam Islam (baik Alquran maupun Hadits). Dalam Islam, disebutkan bahwa kaum laki-laki yang hendak berpoligami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya (Q.S. An-Nisa /4: 3), yakni sebuah syarat yang sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sangat sulit di dalam penerapannya. 4. Pasal 58 dan 59 berisikan ketentuan mengenai persetujuan/izin istri yang hendak dipoligami. Dalam pasal 58 ayat 1 point (a) dan (b) disebutkan tentang syarat-syarat untuk memperoleh izin bagi suami yang hendak berpoligami, yakni adanya persetujuan dari istri dan kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan istri dan anak-anak mereka. Adapun dalam pasal 58 ayat 2 dan 3 serta pasal 59, menunjukkan bahwa kedudukan dari persetujuan istri lagi-lagi berada dibawah kedudukan dari persetujuan final yang diberikan oleh Pengadilan Agama yakni melalui penilaian Hakim. Jika kedua hukum positif tersebut diperhatikan dengan seksama maka terlihat bahwa diantara keduanya memiliki banyak kesamaan, diantaranya adalah: Pasal 4 ayat 1 memiliki kesamaan substansi dengan pasal 56 ayat 2; Pasal 4 ayat 2 160

20 memiliki kesamaan substansi dengan pasal 57, pasal 5 ayat 1 (point a dan b) memiliki kesamaan substansi dengan pasal 58 (point a dan b); dan terakhir adalah pasal 5 ayat 2 memiliki kesamaan substansi dengan pasal 58 ayat 3. Dengan melihat adanya kesamaan diantara kedua hukum positif tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa UU No.1 tahun 1974 lebih merupakan pengejawantahan dari hukum Islam semata. Dalam pandangan penulis, jika UU tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan umat Islam, mungkin tidak akan menjadi sebuah persoalan yang berarti. Persoalannya menjadi berbeda, ketika pasal-pasal tersebut ternyata menjadi bagian dari Undang-undang Perkawinan Nasional, yakni sebuah undang-undang yang seharusnya dapat menjadi payung hukum bagi setiap warga negara yang ada di Indonesia tanpa boleh memandang perbedaan apapun, khususnya dalam hal ini agama. Oleh karena itu, disini penulis berpendapat bahwa sebagaimana halnya keadilan, sebuah undang-undang dalam sebuah negara juga seyogyanya ditujukan secara universal kepada seluruh warga negara, tanpa melihat adanya faktor pembeda seperti agama dan jenis kelamin. Ketika sebuah undang-undang hanya berpihak kepada kepentingan salah satu agama dan jenis kelamin tertentu saja, maka hal tersebut harus dapat ditinjau kembali agar nantinya dapat menjadi sebuah undang-undang nasional yang lebih egaliter dan berkeadilan jender. Secara garis besar, inti yang dapat ditarik dari analisis terhadap Pasal 3, 4, dan 5 adalah bahwa Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 tahun 1974 adalah bersifat ambigu, patriarkis dan bias jender. Dikatakan bersifat ambigu, karena di dalam ketiga pasal tersebut ditemukan beberapa hal yang terlihat saling bertentangan di 161

21 antara ayat yang ada. Misalnya adalah : pada pasal 3 (antara ayat 1 dengan ayat 2) menyangkut asas perkawinan monogami; selanjutnya pada pasal 5 (antara ayat 1 point (a) dengan ayat 2) menyangkut perihal persetujuan dari istri. Pada ayat 1 point (a) disebutkan bahwa untuk mengajukan permohonan izin kepada pengadilan, harus disertai adanya persetujuan dari istri, namun pada ayat 2 Persetujuan istri terhadap suami yang akan berpoligami dikatakan menjadi tidak diperlukan lagi, apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, dan sebagainya. Menurut penulis, selain ambigu, pasal ini juga telah memberi ruang/celah bagi kaum laki-laki untuk melakukan poligami. Selanjutnya, dikatakan bersifat patriarki. Hal ini karena substansi yang ada dari ketiga pasal tersebut menurut penulis tidak memihak kaum perempuan. Hal ini dapat terlihat dengan jelas di dalam Pasal 4 ayat 2 mengenai tiga butir persyaratan terkait pemberian izin oleh pengadilan terhadap suami yang akan melakukan poligami, yakni: (a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (b) Istri mengalami cacat badan; dan (c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan/mandul. Adapun dikatakan sebagai bias jender, hal ini tercermin pada kalimat yang terdapat pada pasal 4 ayat 2 point (a), yakni Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri Analisis Kritis terhadap Data LBH-APIK Jakarta tentang Realita Poligami di Indonesia. LBH_APIK Jakarta adalah salah satu lembaga yang melakukan pendampingan hukum bagi perempuan pencari keadilan, terutama perempuan 162

22 yang mengalami ketidakadilan dan lemah secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam tesis ini, penulis melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian terkait masalah poligami oleh LBH-APIK Jakarta, meliputi: 1). Data Pertama. Tindak kekerasan poligami, seringkali diikuti dengan tindak pidana lain. Dari 60,1% ada sebanyak 4,97% kasus pelaku menikah lagi secara resmi (dicatatkan) dengan memalsukan identitas dan tanpa sepengetahuan istri (Mitra) atau atas Mitra yang dengan terpaksa merelakan suaminya menikah resmi. Istri (Mitra) yang merelakan pelaku menikah lagi biasanya dikarenakan faktor ketergantungan ekonomi, demi kepentingan anak atau karena bujuk rayu suami. Sementara Pelaku yang melakukan pernikahan Siri (dibawah tangan) tanpa sepengetahuan istri (Mitra) sebanyak 17,67%, dan sebanyak 8,28% korban mengakui pelaku (suami) menikah tetapi korban tidak mengetahui apakah pelaku menikah resmi atau siri sedangkan 69,06% Mitra menyampaikan bahwa Pelaku tetap memilih untuk selingkuh sembunyi-sembunyi. 25 2). Data Kedua Berdasarkan pengaduan dari sejumlah istri (korban poligami) ke LBH- APIK Jakarta, dapat terungkap bahwa dilihat dari jumlah variasi dampak, maka poligami telah berdampak pada adanya: istri tidak diberi nafkah (37 orang); ditelantarkan/ditinggalkan suami (23 orang); mendapat teror dari istri kedua (22 orang), tekanan psikis (21 orang), pisah ranjang (11 orang), penganiayaan fisik (7 orang), dicerai oleh suami (6 orang). 26 Jika kedua data tentang kasus poligami pada LBH_APIK Jakarta tersebut dianalisis dengan ketentuan agama (Islam) dan hukum positif yang mengatur tentang pelaksanaan poligami di Indonesia (UU No. tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI), maka dapat disimpulkan sedikitnya ada dua hal, sebagai berikut: 25 Diambil dari Laporan Tahun 2010 LBH_APIK Jakarta melalui Judul Jerat Birokrasi, Patriarki, dan Formalisme Hukum Bagi Perempuan Pencari Keadilan. 26 Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara Teks, Konteks dan Praktek, 77. Pada catatan bawah data, disebutkan bahwa ada istri yang menerima dampak lebih dari satu jenis. 163

23 a) Bahwa dari sebagian praktiknya, poligami ternyata telah dilakukan tanpa mengindahkan ketentuan yang ada, baik ketentuan agama maupun hukum positif yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, misalnya adalah poligami dilakukan tanpa izin/sepengetahuan dari istri pertama. b) Dalam sebagian praktiknya, poligami ternyata juga diikuti dengan tindak pidana, seperti: pemalsuan identitas, pemaksaan dan perselingkuhan. Adapun jika data tersebut dianalisis menggunakan perspektif keadilan jender, maka sebagian praktiknya, poligami telah menyebabkan terjadinya ketidakadilan jender yang berupa terjadinya tindak KDRT, khususnya dalam hal ini, terhadap perempuan (istri) dan anak-anak Penutup. Pembahasan tentang poligami di dalam Islam sejatinya merupakan sebuah pembahasan yang sedemikian kompleks. Dalam pandangan penulis, persoalan poligami ini baru akan dapat dipahami dengan benar dan bijak, manakala poligami dikritisi secara holistik melalui berbagai pendekatan dan aspek sudut pandang, seperti: teologis, jender, hukum, kultur, historis, sosiologis, dan sebagainya. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya tersebut. Dalam tesis ini, penulis sama sekali tidak menakankan bahwa monogami itu lebih baik dari poligami, ataupun poligami itu lebih buruk dari monogami. Hal ini karena pada kenyataannya, perempuan yang berada pada pernikahan monogami juga terkadang tidak luput dari berbagai permasalahan rumah tangga, seperti: tidak diberi nafkah, mendapat kekerasan fisik, ditelantarkan suami, dan sebagainya. Intinya bahwa, poligami di dalam Islam hanyalah salah satu dari 164

24 sekian banyak fenomena sosial keagamaan yang harus dapat dipahami secara bijak, karena sejatinya tidak ada kata benar dan salah untuk menilai sebuah keimanan di dalam berteologi. Selanjutnya, beralih pada perihal keadilan jender. Dalam studi jender, disebutkan bahwa budaya patriarki telah menempatkan perempuan sebagai sosok yang tersubordinasi dan banyak mengalami opresi, termasuk didalamnya adalah pada ranah perkawinan. Dalam ranah perkawinan, kondisi tersebut semakin diperparah dengan keberadaan hukum keluarga yang bersifat patriarkis dan bias jender. Dalam teori keadilan Okin, disebutkan bahwa keluarga seyogyanya menjadi sekolah moral pertama bagi penanaman nilai-nilai keadilan pada anak. Namun pada kenyataannya, pernikahan dan keluarga yang selama ini dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat, justeru telah menjadi lembaga yang tidak adil. Selain anak-anak, perempuan adalah sosok yang paling rentan terhadap ketergantungan, eksploitasi dan kekerasan yang terjadi di dalam perkawinan. Terkait ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perkawinan jender terstruktur, Okin menawarkan sebuah reformasi sosial yakni dirubahnya hukum keluarga yang bersifat patriarkis menjadi sebuah hukum keluarga yang berkeadilan jender. 165

BAB III POLIGAMI DALAM ISLAM. Bab ini berisi tentang: Pengertian (hakikat), rukun, hikmah, tujuan, dan

BAB III POLIGAMI DALAM ISLAM. Bab ini berisi tentang: Pengertian (hakikat), rukun, hikmah, tujuan, dan BAB III POLIGAMI DALAM ISLAM 3.1. Pendahuluan Bab ini berisi tentang: Pengertian (hakikat), rukun, hikmah, tujuan, dan prinsip perkawinan dalam Islam; Landasan teologis poligami dalam Islam; Sejarah poligami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi, antara lain:

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi, antara lain: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang terbentuk melalui sebuah lembaga perkawinan. Menurut Soerjono Soekanto, perkawinan

Lebih terperinci

Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran

Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran Amina Wadud Konsep terstruktur untuk menafsirkan Al Qur

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya feminisme memang tak lepas dari akar persoalan yang ada di kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih dianggap sebagai makhluk inferior.

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menguraikan tentang pembahasan dan analisis sesuai dengan memperhatikan pokok-pokok permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, yang berjudul Pendapat Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan. Sebelum diturunkannya al-quran perempuan kedudukannya

BAB I PENDAHULUAN. perempuan. Sebelum diturunkannya al-quran perempuan kedudukannya BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Membicarakan kesetaraan gender didalam hukum Islam tidak bisa lepas dari tuntunan Al Qur`an dan al-hadist sebagai sumber pokok dari hukum islam. Karena al-qur an

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME 51 BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME A. Analisis Terhadap Perlindungan Hak Nafkah Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam Hak perkawinan

Lebih terperinci

BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006

BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006 BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006 A. Landasan Hukum Penetapan Harta Bersama Dalam Permohonan Izin Poligami Dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi

Lebih terperinci

BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 49 BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA A. Poligami di Indonesia 1. Poligami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Kata poligami berasal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam perkawinan, sudah selayaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang normal.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang normal. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang normal. Perjodohan adalah ikatan yang paling mesra dari segala macam ikatan dan hubungan manusia. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Malang dalam Penolakan Izin Poligami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapat ulama Banjar terhadap akad nikah tidak tercatat secara resmi di

BAB VII PENUTUP. Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapat ulama Banjar terhadap akad nikah tidak tercatat secara resmi di BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapat ulama Banjar terhadap akad nikah tidak tercatat secara resmi di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, hukum poligami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Poligami merupakan masalah yang kontroversial dalam Islam. Para ulama ortodoks

BAB I PENDAHULUAN. Poligami merupakan masalah yang kontroversial dalam Islam. Para ulama ortodoks BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Poligami merupakan masalah yang kontroversial dalam Islam. Para ulama ortodoks berpendapat bahwa poligami adalah bagian dari syariat Islam dan karenanya pria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini dikarenakan pada hakikatnya kehidupan setiap manusia diawali dengan perjanjian dengan-nya untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN A. Persamaan antara Pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN 55 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN A. Analisis Tentang Praktik Penjatuhan Talak Seorang Suami Melalui

Lebih terperinci

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam rumah tangga, mutlak memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang mensyari atkan pernikahan bagi umatnya. Menikah dalam Islam adalah salah satu sarana untuk menggapai separuh kesempurnaan dalam beragama.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT MASDAR FARID MAS UDI DAN KIAI HUSEN MUHAMMAD

BAB IV ANALISIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT MASDAR FARID MAS UDI DAN KIAI HUSEN MUHAMMAD BAB IV ANALISIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT MASDAR FARID MAS UDI DAN KIAI HUSEN MUHAMMAD A. Persamaan dan Perbedaan Pandangan Masdar Farid Mas udi dan Kiai Husen Muhammad Tentang Kepemimpinan Perempuan

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. 1. Konstruksi pemahaman aktivis organisasi keagamaan Muhammadiyah,

BAB VII PENUTUP. 1. Konstruksi pemahaman aktivis organisasi keagamaan Muhammadiyah, 277 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konstruksi pemahaman aktivis organisasi keagamaan Muhammadiyah, NU dan HTI tentang hadis-hadis misoginis dapat diklasifikasikan menjadi empat model pemahaman, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera. BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah suatu proses penyatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, karena itu perkawinan dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin Dalam laporan penelitian di atas telah disajikan 2

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat. Seperti dikatakan Horton

BAB I PENDAHULUAN. yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat. Seperti dikatakan Horton BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan cara paling mulia yang dipilih Pencipta alam semesta untuk mempertahankan proses regenerasi pengembangbiakan, dan keberlangsungan dinamika kehidupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pasuruan Fitrah yang diciptakan Allah atas manusia mengharuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpendidikan menengah ke atas dengan penghasilan tinggi sekalipun sering

BAB I PENDAHULUAN. berpendidikan menengah ke atas dengan penghasilan tinggi sekalipun sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan bukan merupakan hal yang baru lagi, pemikiran masyarakat kebanyakan selama ini adalah kekerasan hanya terjadi pada golongangolongan berpendidikan rendah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Sebelum menjelaskan mengenai kasus posisi pada putusan perkara Nomor 321/Pdt.G/2011/PA.Yk., penulis akan memaparkan jumlah perkara poligami yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah di dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, menyeluruh, berlaku

Lebih terperinci

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NO. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda A. Analisis Yuridis Pertimbangan Dan Dasar

Lebih terperinci

DILEMATIKA PERIJINAN POLIGAMI. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Diskursus tentang poligami selalu menjadi kajian aktual.

DILEMATIKA PERIJINAN POLIGAMI. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Diskursus tentang poligami selalu menjadi kajian aktual. DILEMATIKA PERIJINAN POLIGAMI Oleh: Ahsan Dawi Mansur Diskursus tentang poligami selalu menjadi kajian aktual. Terlepas dari kontroversi mengenai setuju atau tidak setuju, masalah poligami merupakan realitas

Lebih terperinci

BAB III PANDANGAN DAN METODE IJTIHAD HUKUM JILTERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA. A. Pandangan JIL terhadap Perkawinan Beda Agama

BAB III PANDANGAN DAN METODE IJTIHAD HUKUM JILTERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA. A. Pandangan JIL terhadap Perkawinan Beda Agama BAB III PANDANGAN DAN METODE IJTIHAD HUKUM JILTERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA A. Pandangan JIL terhadap Perkawinan Beda Agama Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL mempunyai pandangan bahwa larangan kawin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Luxemburg (1989:6) mengatakan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ 59 BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ A. Kedudukan Mediator dan Hakam Dalam Menyelesaikan Perkara Syiqaq 1) Kedudukan Mediator Dalam Penyelesaian

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER. A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer

BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER. A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer Dalam sebuah rentetan sejarah, telah terjadi dominasi laki-laki dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

( aql) dan sumber agama (naql) adalah hal yang selalu ia tekankan kepada

( aql) dan sumber agama (naql) adalah hal yang selalu ia tekankan kepada 130 BAB V ANALISA ATAS PANDANGAN SHAIKH MUHAMMAD AL-GHAZAli> memang tidak akan mungkin dilupakan dalam dunia pemikiran Islam. Karena

Lebih terperinci

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA 3 IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA Oleh : Alip No. Mhs : 03410369 Program Studi : Ilmu Hukum UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI TANPA ADANYA SYARAT ALTERNATIF PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA MALANG NO. 913/Pdt.P/2003/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang

Lebih terperinci

1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4.

1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada dasarnya apabila hubungan perkawinan antara suami dan istri telah terputus karena perceraian, maka akan ada beberapa hukum yang berlaku sesudahnya. Salah satu di

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan BAB IV ANALISIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO MENGENAI PENOLAKAN GUGATAN NAFKAH MAD{IYAH DALAM PERMOHONAN CERAI TALAK NOMOR : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda A. Analisis Undang-Undang Perkawinan dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri 198 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dipaparkan pada bab terdahulu dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri Pondok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Setelah melihat data tentang relasi jender pada tafsir al-sya`râwî, dan

BAB VI PENUTUP. Setelah melihat data tentang relasi jender pada tafsir al-sya`râwî, dan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Setelah melihat data tentang relasi jender pada tafsir al-sya`râwî, dan menganalisisnya, ada kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim * Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling kenal-mengenal

Lebih terperinci

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN 1 TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparatif Pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam Kajian Hermeneutika dan Lintas Perspektif) Pendahuluan

Lebih terperinci

Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam

Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam Muhammad Ilyas Program Studi Pendidikan Islam, Fakultas Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun ABSTRAK Tulisan ini mengkaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia melewati beberapa fase dalam siklus kehidupannya. Fase kedua dari siklus kehidupan manusia adalah terbentuknya pasangan baru (new couple), di mana

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut dan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut dan 170 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut dan sebagaimana yang telah dideskripsikan di dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menuntut dan mempertanyakan kembali segala bentuk tradisi dan aturan agama

BAB I PENDAHULUAN. menuntut dan mempertanyakan kembali segala bentuk tradisi dan aturan agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Fenomena mutakhir dari perkembangan sosial masyarakat saat ini adalah menuntut dan mempertanyakan kembali segala bentuk tradisi dan aturan agama yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. 1

BAB I PENDAHULUAN. sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Islam merupakan proses perubahan menuju kearah yang lebih baik. Dalam konteks sejarah, perubahan yang positif ini adalah jalah Tuhan yang telah dibawa oleh

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. penelitian, maka dalam bab ini akan membahas satu persatu fokus penelitian yang

BAB V PEMBAHASAN. penelitian, maka dalam bab ini akan membahas satu persatu fokus penelitian yang BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas dan menghubungkan antara kajian pustaka dengan temuan yang ada di lapangan. Terkadang apa yang ada di dalam kajian pustaka dengan kenyataan yang ada di lapangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Istilah profil dalam penelitian ini mengacu pada Longman Dictionary of

BAB III METODE PENELITIAN. Istilah profil dalam penelitian ini mengacu pada Longman Dictionary of 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Fokus Penelitian Istilah profil dalam penelitian ini mengacu pada Longman Dictionary of Contemporary English yang mencantumkan salah satu pengertian profile adalah "a short

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA KECAMATAN SUKODONO MENURUT KHI DAN FIQIH MADZHAB SYAFI I 1. Analisis Implikasi Hukum perkawinan

Lebih terperinci

Mam MAKALAH ISLAM. Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan

Mam MAKALAH ISLAM. Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan Mam MAKALAH ISLAM Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan 20 Oktober 2014 Makalah Islam Pernikahan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan H. Anwar Saadi (Kepala Subdit Kepenghuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU. DINA MARTIANY, S.H., M.Si.

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU. DINA MARTIANY, S.H., M.Si. LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU DINA MARTIANY, S.H., M.Si. PERSEPSI KALANGAN PESANTREN TERHADAP RELASI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI (STUDI DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH) PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR-RI TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia berlainan jenis yaitu seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri tersebut diantaranya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. telah terdapat beberapa kesimpulan sebagaimana berikut: perempuan tercermin dalam kalimat wa bimaa anfaqu min amwaalihim yang

BAB V PENUTUP. telah terdapat beberapa kesimpulan sebagaimana berikut: perempuan tercermin dalam kalimat wa bimaa anfaqu min amwaalihim yang BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian penelitian pada bab-bab sebelumnya, maka setidaknya telah terdapat beberapa kesimpulan sebagaimana berikut: 1. Kelebihan laki-laki atas perempuan yang terdapat

Lebih terperinci

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. ISLAM DAN ISU-ISU KONTEMPORER Oleh E.S

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. ISLAM DAN ISU-ISU KONTEMPORER Oleh E.S PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ISLAM DAN ISU-ISU KONTEMPORER Oleh E.S ISLAM dan ISU-ISU KONTEMPORER P A I Demokrasi dan Kepemimpinan Islam Musyawarah Islam Versus Demokrasi Teokrasi dan Demokrasi Titik Temu Demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terjemahan antarbahasa pada dasarnya merupakan perbandingan dinamis yang

BAB I PENDAHULUAN. Terjemahan antarbahasa pada dasarnya merupakan perbandingan dinamis yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Terjemahan antarbahasa pada dasarnya merupakan perbandingan dinamis yang melibatkan dua bahasa dan dua kultur sekaligus. Perbandingan ini pada kenyataannya

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya hubungan perkawinan (suami isteri) serta hubungan darah (anak kandung)

Lebih terperinci

PENGANTAR KULIAH GENDER KH. HUSEIN MUHAMMAD

PENGANTAR KULIAH GENDER KH. HUSEIN MUHAMMAD PENGANTAR KULIAH GENDER KH. HUSEIN MUHAMMAD MEMBAHAS GENDER KEADILAN SOSIAL, PROBLEM MASYARAKAT 216.000 KASUS KEKERASAN PEREMPUAN, YANG BANYAK KDRT (PELAKU SUAMI) KEKERASAN RANAH SOSIAL (PELECEHAN SEKSUAL,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK A. Alasan-alasan Pengajuan Izin Perceraian Pegawai Negeri

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PERKARA IZIN POLIGAMI BAGI PNS TANPA IZIN ATASAN DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO DALAM PERSPEKTIF YURIDIS

PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PERKARA IZIN POLIGAMI BAGI PNS TANPA IZIN ATASAN DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO DALAM PERSPEKTIF YURIDIS BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PERKARA IZIN POLIGAMI BAGI PNS TANPA IZIN ATASAN DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO DALAM PERSPEKTIF YURIDIS A. Analisis pertimbangan Hakim tentang perkara izin Poligami Bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang. atau hala-hal yang tidak diinginkan terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang. atau hala-hal yang tidak diinginkan terjadi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI 1) TITIN APRIANI, 2) RAMLI, 3) MUHAMMAD AFZAL 1),2) Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN Menurut Imam Asy-Syathibi jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai

Lebih terperinci

MEMAHAMI KETENTUAN POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM Oleh: Marzuki

MEMAHAMI KETENTUAN POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM Oleh: Marzuki MEMAHAMI KETENTUAN POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM Oleh: Marzuki Takada seorang perempuan yang dengan rela mau dimadu. Inilah pernyataan yang hampir menjadi aksioma di kalangan kaum perempuan terkait dengan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. Pada dasarnya hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan sesama manusia. Salah satu hubungan sesama manusia adalah melalui perkawinan, yaitu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI. dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti kawin. Kawin banyak disini

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI. dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti kawin. Kawin banyak disini 11 BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI A. Pengertian Perkawinan Poligami. Dari sudut pandang terminologi, poligami berasal dari bahasa Yunani, dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara naluri insani, setiap pasangan suami isteri berkeinginan untuk mempunyai anak kandung demi menyambung keturunan maupun untuk hal lainnya. Dalam suatu rumah tangga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sunnah Allah, berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini,

BAB I PENDAHULUAN. Sunnah Allah, berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pandangan Islam, perkawinan itu merupakan suatu ibadah, di samping ibadah, perkawinan juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka untuk menegakkan

BAB I PENDAHULUAN. dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka untuk menegakkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk

Lebih terperinci