BAB II MEDIA GAMBAR SEBAGAI UPAYA MELATIH DAYA INGAT DALAM PENGAJARAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNARUNGU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II MEDIA GAMBAR SEBAGAI UPAYA MELATIH DAYA INGAT DALAM PENGAJARAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNARUNGU"

Transkripsi

1 BAB II MEDIA GAMBAR SEBAGAI UPAYA MELATIH DAYA INGAT DALAM PENGAJARAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNARUNGU BAGI A. Konsep Ketunarunguan. 1. Pengertian Tunarungu. Istilah tunarungu diambil dari Tuna dan Rungu. Tuna artinya kurang dan Rungu artinya pendengaran (Depdikbud, 1996 : 26). Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Berbagai pengertian tunarungu menurut para ahli pada umumnya ada kesamaan yakni dapat ditinjau dari segi medis, pendidikan, dan semuanya sudah merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Amin (1984: 3) mendefinisikan anak tunarungu sebagai berikut: Dalam pendidikan luar biasa yang disebut tuli adalah hanya yang tidak dapat mendengar suara sama sekali, sekalipun dibantu dengan alat bantu dengar. Sedangkan orang yang masih dapat mendengar suara (sekalipun dengan suara keras atau dengan alat bantu dengar) disebut kurang dengar. Salim (1984: 8) meninjau pengertian dari dua segi, segi medis dan pedagogis. Kedua batasan tersebut disesuaikan dengan tujuan dalam dunia pendidikan, yaitu untuk memudahkan dalam memberikan pelayanan penedidikan. Batasan tersebut adalah sebagai berikut: Secara medis, tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran. Secara pedagogis : Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus.

2 Sedangkan menurut Andreas Dwijosumanto (1990: 1) seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua katagori yaitu: Tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, dalam taraf berat sehingga tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar baik dengan alat maupun tanpa alat Bantu dengar (hearing aid). Dari batasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau keseluruhan yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari. 2. Klasifikasi Tunarungu Klasifikasi menurut taraf pendengaran anak tunarungu sangat efektif dilakukan bagi seorang pendidik, untuk memudahkan dalam pemberian layanan pendidikan bagi anak tunarungu sesuai dengan taraf ketunarunguannya. Salim (1984: 2) mengklasifikannya sebagai berikut: a. Mereka yang kehilangan pendengaran antara db. Gejala umum ialah kurang mampu menangkap percakapan sehingga timbul kesalahpahaman. Ucapannya sering tidak mengerti dan susunan bahasanya terbatas. Sebaiknya pelayanan di SLB/ B berkisar pada latihan bicara, latihan mendengar. Bimbingan khusus pemakaian bahasa lisan atau tertulis hendaknya dilakukan sehingga anak bisa belajar bahasa. b. Mereka yang kehilangan pendengaran antara db.

3 Gejala umum ialah hanya mendengar suara dalam jarak dekat. Spontanitas bahasa tidak dapat berkembang. Dapat membedakan vokal, tetapi konsonan tidak dapat dibedakan. Kebutuhan pelayanan pendidikan adalah latihan bicara, latihan membaca ujaran serta penggunaan alat bantu dengar perlu diberikan didahului dengan latihan mendengar. c. Mereka yang kehilangan pendengaran antara 75 sampai dengan tanpa reaksi terhadap bunyi. Klasifikasi tunarungu menurut Samuel A. Kirk dalam Somad dan Hernawati (1995: 27): a. 0 db : Menunjukkan pendengaran yang optimal. b db : Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal. c db :Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan) d db : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat Bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang). e db : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunarungu agak berat). f db : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat). g. 91 keatas : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak tergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses

4 menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (dianggap tunarungu berat sekali). Sedangkan klasifikasi ketunarunguan menurut Empu Driyanto, Taufik Boesorie, Tatang S (1981: 3), yang dikutip oleh Edja Sadja ah dan Dardjo Sukardja (1995: 46-47) adalah sebagai berikut: a. Cacat dengar ringan (Mild hearing loss), yaitu derajat cacat dengar dengan hitungan dalam db antara db. b. Kelompok cacat debgar sedang (Moderate hearing loss) yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat antara db. c. Cacat dengar sedang berat (Moderate severe hearing loss) yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat antara db. d. Cacat dengar berat (Severe hearing loss) yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat antara db. e. Cacat dengar terberat (Profound hearing loss) yaitu kelompok cacat dengar dengan derajat diatas 91 db. Diatas 91 db biasanya disebut tuli, sedangkan yang mencapai batas tanpa reaksi disebut tuli total. Gejala umum adalah bahasa dan ucapannya tidak berkembang, tanpa pembinaan yang intensif. Latihan membaca ujaran sangat diutamakan sebagai alat penerima pendidikan dan pembantukan ucapan dilatihkan menurut kesanggupan anak. Menurut Ballantyne (1970), ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan, klasifikasi anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut : a. Tunarungu Konduktif

5 Ketunarunguan tipe konduktif ini terjadi karena beberapa organ yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga luar, seperti liang telinga, selaput gendang serta ketiga tulang pendengaran yang terdapat di telinga bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami gangguan. Ada beberapa kondisi yang menghalangi masuknya getaran suara atau bunyi ke organ yang berfungsi sebagai penghantar, yaitu tersumbatnya liang telinga oleh kotoran telinga atau kemasukan benda-benda asing lainnya; mengeras, pecah, berlubang pada selaput gendang telinga dan ketiga tulang pendengaran (malleus,incus dan stapes) sehingga efeknya dapat menyebabkan hilangnya daya hantaran organ tersebut. Oleh karena itu tipe tunarungu ini disebut tunarungu konduktif b. Tunarungu Perseptif Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya organ-organ pendengaran yang terdapat di belahan telinga bagian dalam. Sebagaimana diketahui, organ telinga di bagian dalam memiliki fungsi sebagai alat persepsi dari getaran suara yang dihantarkan oleh organ-organ pendengaran di belahan telinga bagian luar dan tengah. Ketunarunguan perseptif ini terjadi jika getaran suara yang diterima oleh telinga bagian dalam (terdiri dari rumah siput, serabut saraf pendengaran, corti) yang bekerja mengubah rangsang mekanis menjadi rangsang elektris, tidak dapat diteruskan ke pusat pendengaran di otak. Oleh karena itu, tunarungu tipe ini disebut juga tunarungu saraf karena saraflah yang berfungsi untuk mempersepsi bunyi atau suara c. Tunarungu campuran Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa pada telinga yang sama, rangkaian organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima rangsangan suara mengalami gangguan, sehingga yang tampak pada telinga tersebut telah terjadi campuran antara ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan perpektif.

6 3. Karakteristik Tunarungu Gangguan yang tidak tampak pada anak kebutuhan khusus dalam hal ini gangguan pendengaran, sebab secara fisik anak ini tidak kelihatan mengalami gangguan. Hanya saja sebagai akibat ketunarunguannya anak ini memiliki karakteristik yang khas. Ada beberapa karakteristik anak tunarungu yang berarti menunjukkan kekhasannya sebagai berikut: a. Karakteristik dalam hal inteligensi. Kecerdasan seseorang seringkali dihubungkan dengan prestasi akademis sehingga orientasi akademis tertentu yang dicapai seseorang merupakan gambaran riil kecerdasannya. Gambaran tentang tingkat kecerdasan itu sendiri secara spesifik hanya dapat diketahui melalui tes kecerdasan. Distribusi kecerdasan yang dimiliki anak tunarungu sebenarnya tidak berbeda dengan anak normal umumnya. Hal ini disebabkan anak tunarungu ada yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata (superior), rata-rata (average), maupun di bawah rata-rata (subnormal). Namun, untuk menggambarkan secara riil keragaman kecerdasan anak tunarungu seringkali mengalami kesulitan. Untuk mengetahui kondisi kecerdasan anak tunarungu memerlukan cara yang agak berbeda dibandingkan dengan anak normal umumnya. Kehilangan pendengaran yang dialami anak tunarungu berdampak pada kemiskinan kosa kata, kesulitan berbahasa dan berkomunikasi, efeknya dapat menyebabkan perbedaan sangat signifikan tentang apa yang tidak dapat dan apa yang dapat dilakukan oleh anak tunarungu maupun anak normal. Tanpa memerhatikan kenyataan ini, jelas akan mengakibatkan kekeliruan dalam mengambil kesimpulan tentang kondisi kecerdasan anak tunarungu. Atas dasar itulah dalam menyajikan perangkat tes apapun terhadap anak tunarungu, hendaknya

7 mempergunakan perintah-perintah yang akurat dan mudah dipahami anak tunarungu. Hal ini disebabkan tidak mustahil kekeliruan seorang tester dalam menyampaikan perintah tes kepada anak tunarungu berdampak pada kesesatan interpretasi terhadap kondisi kecerdasan anak tunarungu yang sebenarnya. Cruickshank (1980) mengemukakan bahwa anak tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak, melainkan juga tergantung kepada potensi kecerdasan yang dimilikinya. Rangsangan mental serta dorongan dari lingkungan sekitar dapat memberikan kesempatan bagi anak tunarungui untuk mengembangkan kecerdasannya. Pintner, seorang psikolog yang bekerja pada lembaga pendidikan anak tunarungu mengemukakan bahwa anak tunarungu hanya dapat menunjukkan kemampuan dalam bidang motorik dan mekanik, serta intelegensi konkret, tetapi memiliki keterbatasan dalam intelegensi verbal dan kemampuan akademik (Siregar, 1981). b. Karakteristik bicara dan bahasa. Terdapat kecenderungan bahwa seseorang yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara. Kondisi ini tampaknya sulit dihindari, karena keduanya dapat menjadi suatu rangkaian sebab dan akibat. Seseorang penderita tunarungu, terutama jika terjadi pada sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, dapat dipastikan bahwa akibat berikut yang terjadi pada diri penderita adalah kelainan bicara (tunawicara). Namun tidak demikian halnya seorang penderita tunawicara, tidak ditemukan rangkaian langsung dengan kondisi tunarungu. Kasuskasus seperti penderita gagap (stuttering), dan kekacauan artikulasi (cluthering) adalah contoh-

8 contoh kelainan bicara yang sebenarnya kecil kemungkinannya berkaitan dengan kondisi ketunarunguan. Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan anak tunarungu dalam aspek kebahasaannya. Pertama, konsekuensi akibat kelainan pendengaran (tunarungu) berdampak pada kesulitan dalam menerima segala macam rangsang bunyi atau peristiwa bunyi yang ada disekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada gilirannya penderita akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada disekitarnya. Kemunculan kedua kondisi tersebut pada anak tunarungu, secara langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan bahasa dan bicaranya. Anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan bahasanya bila tidak dilatih atau tidak dididik secara khusus akibat dari ketidakmampuannya dibandingkan dengan anak yang mendengar dengan usia yang sama, maka dalam perkembangan bahasanya akan jauh tertinggal. Kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan anak yang mendengar hal ini disebabkan karena perkembangan bahasa erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu sampai masa meraban tidak mengalami hambatan karena meraban merupakan kegiatan alami pernapasan dan pita suara. Setelah masa meraban perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Pada masa meniru anak tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat. Bahasa adalah alat berfikir dan sarana utama seseorang untuk berkomunikasi, menyampaikan ide dan perasaannya, termasuk untuk mengetahui makna kata serta kaidah bahasa dan penerapannya. Kemampuan membaca, menulis, berbicara dan mendengar merupakan alat komunikasi bahasa. Pada anak tunarungu kemampuan berbicara akan berkembang dengan jalan

9 latihan dan bimbingan secara terus-menerus, walaupun hasilnya tidak akan seperti anak normal yang mendengar. c. Karakteristik emosi dan sosial. Fungsi emosi diartikan sebagai persepsi seseorang tentang dirinya, dan fungsi sosial adalah sebagai persepsi tentang hubungan dirinya dengan orang lain dalam situasi sosial (Boothroyd, 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa pendengaran memegang peran yang berarti (signifikan) dalam perkembangan awal emosi-sosial namun bukan esensial. Sedangkan pada tahap perkembangan yang lebih lanjut bahasalah yang memegang peran berarti dan esensial. Anak tunarungu mengetahui akan kehadiran atau kasih sayang ibunya hanya kalau ada kontak visual atau taktil, sedangkan anak mendengar memiliki pula kontak melalui pendengaran. Kontak melalui pendengaran yaitu nada suara ibu, menurut Marschark (1993), bahkan sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan. Janin yang berpendengaran normal akan mampu mendengar suara ibu dan rupanya relasi ibu-anak sudah mulai berkembang sejak itu. Setelah lahir, suara ibu merupakan sesuatu yang dikenal dan menentramkannya atau menyejukkan hatinya, dengan daya tarik yang lebih besar daripada suaru manusia lainnya. Dengan demikian bayi tunarungu kehilangan suatu komponen berarti yang berkaitan dengan konteks sosial yang bermakna. Hal ini telah terbukti membawa konsekuensi dalam bidang perilaku dan emosi. Dalam kasus dimana orang tua sudah menyadari bahwa anak mereka tunarungu, keadaan itu dapat dikompensasi dengan memberikan rasa aman melalui perabaan (belaian, sentuhan), melalui penglihatan, dan ekspresi muka yang nyata. Bila orang tua belum menyadari ketunarunguan anak, kompensasi seperti itu tidak terjadi dan ini kemungkinan besar mengakibatkan suatu kendala atau keterlambatan dalam pembentukan perilaku sinkron/selaras antara ibu dan anak. Sinkron dalam hal ini menunjuk pada terjalinnya pola perilaku ibu dan anak yang menyatu pada

10 suatu interaksi yang khas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Ikatan antara ibu dan bayi menyebabkan mereka saling tanggap, mengembangkan suatu pola interaksi timbal balik yang biasanya berbeda dari hubungan antara bayi dan orang lain. Bagi orang tua yang mengikuti program intervensi dini dimana konseling dan penyuluhan orang tua merupakan unsur penting, seorang ibu telah diberi kesempatan untuk membangun kembali relasi sosial dengan anaknya, yaitu setelah mereka melalui masa-masa guncangan emosiaonal yang ditimbulkan sebagai akibat diterimanya diagnosa tentang ketunarunguan anak. Marschark mengamati manfaat yang dapat dipetik orang tua anak tunarungu yang mengikuti program seperti itu dibandingkan dengan mereka yang tidak mengikutinya, yaitu baik dalam relasi orang tua-anak maupun interaksi sosial anak sewaktu di pra-sekolah. Dalam berbagai teori tentang perkembangan kepribadian dan sosial ditekankan pada pengalaman seseorang semasa kecil yang memberi pengaruh dalam membentuk perilaku dan penyesuaian diri dalam hidup di kemudian hari. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan secara kontinu, Van Uden (1971) berhasil mencatat beberapa sifat kepribadian anak tunarungu, antara lain: 1. Egosentris (sifat keakuan) yang melebihi anak normal. Daerah pengamatan anak tunarungu lebih sempit jika dibandingkan dengan anak yang mendengar. Daerah unsur penglihatan jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan daerah pengamatan pendengaran, kalau melihat hanya ada pada bagian depan saja yang terlihat, sedangkan pendengaran bisa ada disekelilingnya. Oleh karena itu bagi anak tunarungu dunia menjadi sepi dan amat kecil. Jadi semakin sempit perhatiannya, egonya semakin menutup dan mempersempit kesadarannya. Karena besarnya peran penglihatan dalam pengamatan maka anak tunarungu menjadi sifat sangat ingin tahu seolah-olah mereka selalu haus untuk melihat dan

11 hal ini semakin menambah besar egosentrisme karena anak tunarungu sebagai pemata, sifatnya selalu ingin menarik kedekatannya apa-apa yang mau dilihatnya, kadang-kadang mereka ingin memilikinya bahkan bisa merebut dari tangan orang lain. 2. Mempunyai perasaan takut menghadapi lingkungan yang lebih luas. Hal ini disebabkan karena sering merasa kurang menguasai keadaan yang diakibatkan oleh pendengarannya yang terganggu, sehingga ia sering merasa khawatir dan menimbulkan ketakutan. 3. Ketergantungan terhadap orang lain. Sikap ketergantungannya terhadap orang lain atau terhadap orang yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka mudah putus asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang lain. 4. Perhatiannya lebih sukar dialihkan. Suatu hal yang biasa terjadi pada anak tunarungu ialah menunjukkan keasyikan bila mengerjakan sesuatu, apabila ia menyukai benda atau pandai mengerjakan sesuatu. Alam pikiran tunarungu selamanya tertuju pada hal-hal yang konkrit. Jadi jalan pikiran anak tunarungu tidak mudah berfikir ke hal-hal lain yang tidak atau belum nyata. 5. Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tanpa banyak masalah. Karena kemiskinan dalam mengekspresikan perasaan dalam berbagai cara seakan-akan tidak mempunyai beban, dianggap mudah menyampaikan perasaan tanpa memikirkan baik buruknya terhadap orang lain. Contoh: Temanku mencuri penghapus, padahal hanya meminjam sebentar. Hal ini bisa disampaikan dengan cara yang halus tidak perlu dengan cara yang kasar. Anak tunarungu hampir tidak menguasai suatu ungkapan dengan baik, sehingga ia akan mengatakan

12 langsung apa yang dimaksudnya. Contoh: Saya haus sekali, anak tunarungu akan mengatakan saya minum. 6. Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung, tetapi juga bisa baik hati. Seringnya mengalami kekecewaan yang timbul dari kesukaran menyampaikan perasaan dan pikiran kepada orang lain dan sulitnya mengerti apa yang disampaikan orang lain kepadanya, bisa menimbulkan salah pengertian yang memicu kemarahan. Semakin luas bahasa yang mereka miliki semakin mudah pula mereka berbicara serta semakin mudah memahami maksud orang lain, sehingga mereka akan lebih komunikatif dan dapat menguasai diri. Sifat pengendalian diri ini dikombinasikan dengan perasaan anak tunarungu yang lebih halus dapat menyebabkan mereka bersifat lebih ramah dan lembut terhadap orang lain. Sebagai bagian yang integral dari masyarakat yang mendengar, anak tunarungu tidak dapat lepas dari nilai sosial yang berlaku dan harus dilaksanakan. Oleh karena itu, penerimaan nilainilai sosial bagi anak tunarungu merupakan jembatan dalam pengembangan kematangan sosial sebab kematangan sosial merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam penyesuaian sosial di masyarakat. Siregar (1981) berpendapat untuk mencapai kematangan sosial, anak tunarungu setidaknya memiliki : 1. Pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai sosial dan kebiasaan-kebiasaan di masyarakat, 2. Mempunyai kesempatan yang banyak untuk menerapkan pengetahuan-pengetahuan tersebut, 3. Cukup mendapat kesempatan mengalami berbagai macam bentuk hubungan

13 sosial, 4. Mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman di atas, 5. Struktur kejiwaan yang sehat dapat mendorong motivasi yang baik. Dengan memahami karakteristik kepribadian anak tunarungu secara spesifik dalam kaitannya dengan proses penyesuaian sosial, maka harus diupayakan lang kah-langkah untuk mengeliminasi masalah-masalah yang akan menghambat anak tunarungu dalam melakukan penyesuaian sosial secara akurat. Masalah penyesuaian sosial anak tunarungu memang tidak lepas dari saat dimulainya intervensi dan diagnosisnya. Semakin dini diketahui letak kelainan dan karakteristiknya, maka akan semakin baik pelaksanaan intervensi habilitasinya. B. Kemampuan Membaca Permulaan Anak Tunarungu Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis. Dan membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk memahami yang tersirat dalam tersurat melihat pikiran yang terkandung di dalam kata-kata yang tertulis (Henri Guntur Tarigan, 1986:7). Membaca permulaan adalah menuturkan lambang-lambang tulisan yang bermakna, Wardani (1995;24) mengemukakan, membaca permulaan adalah menyuarakan tulisan tetapi yang dibaca haruslah bermakna. Sedangkan menurut Purwanto dan Alim (1977;29) mengemukakan suatu proses yang dipergunakan oleh pembaca untuk mengubah rangkaianrangkaian huruf menjadi rangkaian-rangkaian bunyi yang bermakna dan melancarkan teknik membaca pada anak-anak.

14 Membaca permulaan apabila diperhatikan dari pernyataan di atas, merupakan langkah awal dalam mengingat (memahami) huruf dan merangkaikannya menjadi sesuatu yang bermakna serta menyuarakannya. Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru. Jika tidak, maka dalam membaca lanjut siswa akan mengalami kesulitan sehingga kemampuan membaca tidak memadai. Membaca permulaan pada anak-anak tunarungu secara umumnya tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya (anak mendengar) yaitu merupakan tahap menerima dan memahami informasi melalui lambang-lambang tulisan yang telah dikuasai maknanya dalam bentuk lambang lisan atau bentuk lainnya atau merupakan transfer informasi bentuk-bentuk lambang bunyi ujaran atau bentuk-bentuk lainnya yang telah difahami dan dikuasainya ke dalam bentuk informasi lambang tulisan. Untuk itu, bahan-bahan bacaan atau materi pembelajaran harus merupakan materi yang telah dikuasai isinya (maknanya). Dalam membaca permulaan disamping dituntut kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan cara-cara mengakses bunyi, juga dituntut kemampuan mengingat dan memahami sistem lambang bunyi serta cara-cara memproduksi bunyi bahasa. Tetapi karena gangguan dalam fungsi pendengaran menjadikan anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam ingatan auditori yang diperlukan untuk memahami sistem lambang bunyi dan dalam memproduksi bunyi bahasa, akibatnya dalam hal membaca permulaan mereka banyak mengalami kesulitan.

15 Kekurangmampuan anak tunarungu dalam mengakses bunyi bahasa melalui pendengarannya akan mempengaruhi kemampuan mengingat dan memehami lambang bunyi serta kemampuan menirukan (memproduksi) bunyi bahasa, karena ketunarunguan dan kemampuan mengingat memiliki korelasi yang kuat. Uden dalam Somad dan Hernawati (1996 : 12) mengemukakan bahwa : Data auditif lebih diingat karena bersifat ritmis (berirama). Data dapat dinyanyikan atau dibaca dengan berirama, penekanan secara ritmis pada bagian-bagian tertentu dapat menunjang ingatan. Bertitik tolak pentingnya kemampuan mengingat dalam belajar membaca permulaan, maka dalam membantu anak-anak tunarungu belajat membaca permulaan, tampaknya perlu dicari suatu strategi tertentu yang mampu meningkatkan kemampuan anak dalam mengingat. Dengan meningkatnya kemampuan ingatan anak tersebut, diharapkan dapat memberikan kemudahan pada anak dalam mengingat dan memahami sistem lambang bunyi dan dalam memproduksi bunyi bahasa, yang berarti memberikan kemudahan pada anak dalam belajar membaca. C. Pengajaran Membaca Permulaan. Membaca pada dasarnya merupakan upaya untuk mengerti dan dan menafsirkan pikiran, kehendak, dalam bentuk lisan. Bagian yang tersulit dalam pelajaran membaca adalah membaca permulaan, sulit karena merupakan pelajaran yang paling banyak menuntut sistematika. Dalam kegiatan belajar membaca ini sering dibedakan antar membaca permulaan dengan membaca lanjut. Membaca lanjut dilakukan setelah membaca permulaan. Membaca permulaan adalah menuturkan lambang-lambang tulisan yang bermakna, Wardani (1995: 24) mengemukakan, membaca permulaan adalah menyuarakan tulisan, tetapi yang dibaca

16 haruslah bermakna. Sedangkan menurut Purwanto & Alim (1977: 29) mengemukakan, suatu proses yang dipergunakan oleh pembaca untuk mengubah rangkaian-rangkaian bunyi yang bermakna dan melancarkan teknik membaca pada anak-anak. Membaca permulaan apabila diperhatikan dari pernyataan di atas, merupakan langkah awal dalam mengingat (memahami) huruf dan merangkaikannya menjadi sesuatu yang bermakna serta menyuarakannya. Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru. Jika tidak, maka dalam membaca lanjut siswa akan mengalami kesulitan sehingga kemampuan membaca tidak memadai. Ada beberapa metode membaca permulaan, namun pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu metode sintesis, metode analisis, dan metode Fernald 1). Dalam metode sintesis yang mula-mula diajarkan adalah unsur-unsur seperti huruf dan bunyinya, kemudian rangkaian-rangkaiannya. Dalam metode ini sering dikenal dengan metode abjad, metode suara, dan metode suku kata. a. Metode Abjad Dalam metode ini bukan mengajarkan huruf-huruf satu demi satu dari a sampai z, melainkan mengajar huruf-huruf sebagaimana bunyinya dalam abjad, bunyi T dibaca te dan sebagainya. Perihal urutan tergantung kebutuhan, Jika anak sudah menguasai beberapa huruf bentuklah menjadi suku kata dan kata.huruf yang pertama disodorkan hendaknya terdiri dari huruf vokal dan konsonan agar mudah ketika merangkainya menjadi suku kata atau kata. Hurufhuruf baru diajarkan sejalan dengan melatih rangkaian huruf- huruf tadi..

17 b. Metode Suara Di lihat dari urutannya metode suara sama dengan metode abjad, hanya saja huruf-huruf yang dibunyikan tidaklah sama sebagaimana yang dibunyikan pada abjad melainkan lepas dari bunyi vocal, misalnya bunyi s tidak dibunyikan menjadi es melainkan seperti bunyi s pada kata lepasss. Dalam membunyikan huruf melalui metode ini dialami kesulitan ketika akan membunyikan huruf konsonan. Agar tidak terlalu banyak mengalami kesulitan jika huruf konsonan yang akan diberikan, maka konsonan seperti m, n, s, r, yang disodorkan lebih awal. Huruf huruf tadi akan terasa lebih lama dibunyikan tanpa vocal, coba rasakan, mmmmmmm,nnnnnnn,sssssss,rrrrrrrr, tetapi jika anak itu cadel maka konsonan r dapat diberikan kemudian. c. Metode Suku kata. Dalam metode ini yang mula-mula diajarkan adalah suku kata, setelah anak menguasai beberapa suku kata, selanjutnya anak diajarkan untuk merangkaikan menjadi kata. Hal penting yang harus disadari oleh pemakai metoda ini, bahwa murid harus menyadari adanya unsur suku kata dalam setiap kata dan harus melihat bahwa suku kata yang sama bunyinya mempunyai tulisan yang sama pula, dan yang berbeda bunyinya mempunyai tulisan yang berbeda pula. Perlu diingat pula bahwa suku kata itu berbeda-beda, ada yang terdiri dari konsonan-vokal, dan vokal konsonan atau satu vokal diapit dua konsonan (i-tu). Menurut Abdullah Ambary ada 4 pola umun suku kata Yaitu: 1. Vokal : a-nak, i-tu, ma-u 2. Vokal- konsonan : om-bak, in-ti 3. Konsonan-vokal : ma-in, pa-rit 4. Konsonan-vokal-konsonan: pin-ta, ma-lang

18 Untuk metoda suku kata, mungkin baik didahulukan konsonan-vokal, bagi huruf konsonan yang tidak dapat dibunyikan tanpa vocal seperti:t (to-pi) akan sulit dibunyikan tanpa vokal. Dalam menggunakan metoda ini perlu diperhatikan huruf mana yang akan diperkenalkan. Sebaiknya perkenalan pada anak dengan huruf yang terbatas, namun dapat melahirkan kombinasi suku kata atau kata yang bermacam-macam. Ada kalanya metoda ini dimulai dari kata yang mengandung suku kata yang sama, sehingga ada kesan sebagai metode kata lembaga, di Indonesia sering ditemukan kata, yang suku katanya sama seperti: kaka, kaki,kuku. Metode ini dianggap cocok di Indonesia karena sesuai dengan struktur bahasa Indonesia, dimana struktur bahasa Indonesia terbentuk dari suku kata. 2). Dalam metode analisis, yang pertama diajarkan adalah keseluruhan(kalimat atau kata)kemudian unsur-unsurnya. Dengan metode ini sering dikenal dengan istilah metode kata, dan metode kalimat, atau dengan sebutan SAS/structural analisis sintesis (Lovitt,1989). a. Metode Kata. Metode kata ini berlawanan dengan ketiga metode di atas. Dalam metode kata anak langsung diperkenalkan kepada kata dan pengertiannya. Setelah anak dapat membaca beberapa kata, selanjutnya anak dilatih untuk merangkaikan kata-kata tersebut menjadi kalimat. Anak harus melihat bahwa kata-kata itu dapat berubah tempatnya tetapi bunyinya tetap sama dan yang berubah hanyalah tempatnya.anak juga harus menyadari bahwa perubahan tempat adakalanya mengubah arti yang dikandungnya, misalnya: dia makan ikan menjadi ikan makan dia. ini buku dia menjadi buku dia ini. Pada kalimat pertama terjadi perubahan makna, sedangkan pada kalimat ke dua tidak.

19 Agar segera dibuat kalimat, kata-kata yang mula-mula disodorkan hendaknya meliputi berbagai jenis kata(kata benda, kata kerja, nama orang) dan sebagainya. Untuk kata kerja sebaiknya tidak langsung diperkenalkan kata kerja yang memakai awalan atau akhiran, seperti: makan, tidur, main dll. Sebaiknya kata-kata yang diperkenalkan adalah kata-kata yang digunakan dalam percakapan anak sehari-hari. Sambil berlatih membaca kata-kata dan kalimat-kalimat tadi, perkenalkan kepadanya kata-kata baru, selanjutnya langkah ini disusul dengan memperkenalkan kepada unsur-unsur seperti suku kata dan huruf dari masing-masing kata yang dipelajarinya.. Langkah ini disusul dengan penggabungan baru sehingga terjadi kata-kata dan kalimat-kalimat baru sekaligus perkenalan dengan kata-kata dan huruf-huruf yang terkandung didalamnya. Hal lain yang harus diperhitungkan guru adalah mempertimbangkan huruf-huruf mana yang harus diajarkan lebih awal, mana yang diajarkan sesudahnya. Begitupula halnya jika bermaksud merangkai kata-kata menjadi kalimat, maka buatlah dalam kalimat yang sederhana dan pendek, hindari pula kata-kata asing yang tidak akan dimengerti anak. Keunggulan dari metode ini sesuai dengan ilmu jiwa Gestalt dan anak tidak hanya diajak untuk mengenal tanda-tanda melainkan memahami apa yang ada dibalik tanda-tanda tadi sehingga kata atau kalimat yang dipelajari langsung dimengerti anak. Sedangkan yang menjadi kelemahan metode ini dalam kenyataan anak menjadi sering menerka-nerka, sehingga menjadi kurang teliti dalam membaca. b. Metode kalimat Metode ini terkenal dengan sebutan metode SAS (structural analisis sintesis), sesuai dengan sifatnya maka yang mula-mula diperkenalkan tidak langsung segera kepada unsur-unsur seperti huruf, melainkan keseluruhan yaitu kalimat. Sehubungan dengan hal ini anak harus

20 tahu bahwa gugus ini dibaca begini, dan gugus itu dibaca begitu sesuai dengan bacaannya. Bila gugus tadi dirubah, maka susunan kata ikut berubah. Secara singkat urutan dari metode ini sebagai berikut: - Sodorkan kalimat kepadanya - Pecah kalimat tadi menjadi unsur kalimat (kata) - Kata-kata tadi dipecah menjadi unsur kata (suku kata) - Selanjutnya suku kata tadi dipecah lagi menjadi huruf kemudian dikembalikan lagi kepada kalimat sebagaimana urutan semula. Contoh: 1. ini bapak budi 2. ini bapak budi 3. i-ni ba-pak bu-di 4. I n i b a p a k b u d i 3. i-ni ba-pak bu-di 2. ini bapak budi 1. ini bapak budi Metode ini memusatkan perhatian murid pada isi bacaan. Yang perlu diperhatikan adalah kalimat yang disodorkan kepadanya. Perkenalkan kalimat yang sederhana dan dipahami anak, jangan diselipkan kata-kata asing yang tidak atau kurang dimengerti anak sebab isi kalimat menjadi tidak bermakna. Jika hal ini terjadi tujuan dari metode ini menjadi gagal. 3). Metode Fernald Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multisensoris yang sering dikenal pula dengan metode VAKT (Visual,Auditory,Kinesthetic, dan Tactile). Metode ini

21 menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata yang diucapkan oleh anak, dan tiap kata diajarkan secara utuh. Metode ini memiliki empat tahapan : Tahapan pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (Tactile and Kinesthetic). Pada saat menelusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan (Visual), dan mengucapkannya dengan keras (Auditory). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan. Pada tahapan kedua, anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis sambil mengucapkannya. Pada tahapan ketiga, anak-anak mempelajari kata-kata baru dengan melihat tulisan yang ditulis di papan tulis atau tulisan cetak, dan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak mulai membaca tulisan dari buku. Pada tahapan keempat anak mampu mengingat kata-kata baru berdasarkan kesamaan katakata tersebut dengan kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari. Setelah mempelajari ketiga metode pembelajaran di atas, maka metode yang sangat cocok dalam pengajaran membaca permulaan bagi anak tunarungu adalah Metode Fernald atau metode VAKT, karena pada metode ini pemahaman anak terhadap materi yang diberikan lebih mendalam sehingga daya ingat anak lebih lama dan ini cocok dengan karakteristik anak tunarungu yang memerlukan pemahaman bahasa yang mendalam dan daya ingat yang lebih lama untuk menunjang kemampuan bahasanya.

22 D. Kemampuan Daya Ingat. Daya ingat merupakan bagian dari suatu proses perolehan informasi yang berhubungan dengan kemampuan berfikir seseorang dalam melaksanakan tugas pemecahan masalah. Proses ini umumnya terdiri dari suatu rangkaian yang dimulai dari kegiatan menangkap informasi, menyimpannya, dan mengungkapkannya kembali. Sumadi Suryabrata (1987) menyatakan bahwa ingatan yang baik mempunyai sifat-sifat : Cepat atau mudah mencamkan; setia, teguh, dan luas dalam menyimpan; dan siap atau sedia dalam memproduksi kesan-kesan. Kemampuan individu untuk menyimpan informasi dapat bersifat permanent atau temporer tergantung pada kebutuhan. Adakalanya penyimpanan tersebut hanya berlangsung dalam beberapa detik atau bahkan kurang, atau dapat pula disimpan sepanjang kehidupan. Pengertian ingatan di atas sekaligus menunjukkan bagaimana proses ingatan itu berlangsung. Pada umumnya para ahli membagi proses ingatan dalam tiga tahapan yaitu : (1) Tahap pemasukan pesan (informasi) dalam ingatan (mencamkan, encoding, reseptif, registratif, atau acquisition), (2) Tahap penyimpanan informasi (storage, preservasi, retention, atau menahan), dan (3) Tahap mengingat kembali atau reproduksi kesan-kesan (retrieving, recall, atau reproduksi). Dilihat dari tingkatannya (ada juga yang menyebut jenis ingatannya), pada umumnya ingatan anak tuna rungu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.Daya ingat jangka pendek anak tuna rungu Blair (1957) meneliti daya ingat jangka pendek dengan menggunakan materi non verbal (tidak berupa gambar), menemukan bahwa bila pembelajaran anak tuna rungu tidak

23 menggunakan media gambar benda-benda sekitar, maka anak tuna rungu mudah lupa dan perkembangan bahasanya terhambat. 2. Daya ingat jangka panjang anak tunarungu Myklebust (1963) berpandangan bahwa bila kemampuan verbal-simbolik anak tuna rungu dapat ditingkatkan maka kemampuan mengabstraksipun akan meningkat, dan ini membawa implikasi bahwa para pendidik dapat memanfaatkan daya ingat mereka yang kuat untuk data visual-serempak dengan banyak menyuguhkan bentuk tulisan, sehingga daya ingat jangka panjang mereka akan bertahan lama. Pada anak normal, membaca permulaan sebaiknya diajarkan pada tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun) karena anak sudah mampu melakukan tugas konservasi, mereka sudah mampu pula menyusun benda-benda menurut dimensi tertentu (misal : menyusun benda menurut ukuran/sifat tertentu seperti dari pendek sampai panjang, kecil sampai besar dan sebagainya). Kemampuan ini dinamakan kemampuan seriasi, kemudian mengelompokkan benda menurut klasifikasi/ kelompok/ golongan tertentu seperti kelompok warna, angka, bentuk dan sebagainya. Ciri lain yang menandai tahap ini adalah terbentuknya paham reversibilitas, yaitu anak memahami bahwa sesuatu dapat ditambah atau dikurangi, dan dapat membalik arah pemikiran mereka. Tahap ini dinamakan konkret karena operasi itu diterapkan terhadap objekobjek yang tampil secara konkret atau hadir secara fisik. Furth (1966) menyimpulkan bahwa anak tuna rungu mampu mencapai tahap operasi konkret namun menunjukkan keterlambatan 2-4 tahun dibandingkan anak mendengar. Keterlambatan anak tuna rungu dalam bidang kognitif merupakan akibat kemiskinan bahasanya, karena bahasa akan mempermudah anak dalam memahami konsep-konsep. Anak tunarungu dapat menunjukkan kesamaan prestasi dengan anak mendengar bila tugas-tugas itu menuntut

24 perhatian visual dan persepsi seperti misalnya seriasi. Namun bila tugas itu melibatkan lebih dari satu dimensi (seperti pada tugas konservasi) maka ketergantungan pada persepsi visual akan mengakibatkan kurangnya konseptualisasi. Apalagi dalam tahap operasional konkret dan formal pada tugas yang menuntut daya abstraksi dan penalaran di mana diperlukan kemampuan bahasan yang memadai, prestasi mereka akan makin memprihatinkan. Untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tuna rungu terutama persepsi visualnya maka digunakan media gambar benda-benda yang ada di sekitarnya untuk meningkatkan daya ingatnya, dan prestasi belajarnya sehingga anak tuna rungu mampu mengingat apa-apa yang telah dipelajari dan tidak cepat lupa. Apakah hasil belajar itu bersipat permanen? Morison (Whiterington, 1952:187) dalam Abin (1996:117) berpendapat bahwa memang hasil belajar yang merupakan perubahan sungguhsungguh dalam perilaku dan pribadi seseorang dapat bersipat permanen. Apalagi kalau sudah menjadi pola-pola kebiasaan, meskipun kita mungkin kurang menyadari lagi terutama hasil-hasil belajar yang berkaitan dengan proses dan hasil perkembangan (berjalan, menulis, bicara dan sebagainya). Di dalam kenyataan memang banyak hal yang telah dipelajari sukar sekali bahkan tidak dapat lagi diproduksikan dari daya ingatan kita. Peristiwa ini yang disebut lupa, ada hal yang begitu cepat kita lupakan, ada pula hal yang baru setelah beberapa lama muncul lagi dalam daya ingatan kita. Whiterington melaporkan secara singkat beberapa kali hasil studi menunjukkan bahwa hal-hal yang bersipat hapalan (substansial-material) mudah cepat dilupakan dibandingkan hasil proses mental (fungsional-struktural) yang lebih tinggi.atau hasil-hasil pengalaman praktek yang berarti (meaningfull) sedangkan hal-hal yang kurang berarti (nama-nama, fakta) atau less meaningfull mudah cepat dilupakan.

25 Faktor faktor yang dapat membawa gangguan dalam daya ingat, atau menjurus beberapa kelupaan, antara lain: 1. Kalau hasil belajar yang baru mengganggu untuk merecall hasil terdahulu (retroactive inhibition). 2. Kalau hasil belajar terdahulu mengganggu untuk merecall hasil belajar yang baru. 3. Recency effect, hal-hal yang secara mendadak kita hapalkan menjelang memproduksi lagi ( misalnya:beberapa saat sebelum ujian) Peristiwa lain yang sering kita alami juga, ialah seakan-akan kita merasakan bahwa hasil belajar itu tidak ada kemajuan (mapan) untuk beberapa waktu tertentu. Kita mengatakan sebagai kejenuhan dalam belajar, tidak mampu lagi daya ingatan kita mengkomodasikan informasi atau pengalaman baru. Kalau digambarkan dalam sebuah kurva kemajuan hasil belajar, akan tampak sebagai garis mendatar yang disebut learning palateu. Kemudian dalam belajar ini terjadi biasanya bersumber pada faktor keletihan, physiological limits (batas-batas kemampuan fisik kita), kejenuhan atau kebosanan (boring). Berpikir dapat diartikan sebagai suatu proses memanipulasikan tanggapan-tanggapan yang telah ada dalam diri individu untuk menghadapi dan memecahkan masala-masalah baru (C. Rakhmat, 2006:53). Jika individu dihadapkan kepada suatu situasi pemecahan masalah, maka ia akan menggunakan tanggapan-tanggapan yang telah ada dalam dirinya, baik yang berupa pengertian, hukuman, generalisasi, maupun fakta-fakta untuk menghadapi dan memecahkan masalah. Maestropieri dan Sruggs (1998) mengajukan beberapa prosedur atau teknik-teknik untuk meningkatkan daya ingat.

26 1. Tingkatkan perhatian ; Seperti mengintensifkan pengajaran, mengajar dengan antusias, menggunakan lebih banyak alat-alat bantu dan aktivitas visual, dan menekankan kehadiran. 2. Tingkatkan ingatan eksternal ; Banyak hal yang perlu dihafal dapat ditulis, suatu latihan yang dikenal sebagai ingatan eksternal. Latihan-latihan seperti menjaga buku tugas dan memelihara kalender siswa dapat membantu dalam mengingatkan untuk melakukan sesuatu. 3. Tingkatkan kebermaknaan ; Carilah cara untuk menggabungkan konten yang sedang dibahas dengan pengetahuan awal siswa. Tarik sejajar terhadap kehidupan siswa sendiri. Bawalah dalam bentuk yang nyata. 4. Gunakan gambar ; Gambar dapat memberikan keuntungan ingatan, gunakan gambargambar di papan tulis atau pada OHP, bawalah foto-foto atau ilustrasi lainnya. Tunjukkan gambar konkrit pada kaset atau video, bila memadai. Jika gambar tidak tersedia, mintalah siswa untuk menciptakan bayangan atau gambar di kepala mereka. 5. Perkecil gangguan ; Hindari penyimpangan dan tekanan hanya pada ciri-ciri kritis dari suatu topic baru. Yakinkan seluruh contoh berhubungan secara langsung dengan konten yang diliput. 6. Tingkatkan manipulasi aktif ; Siswa mengingat dengan lebih baik bila mereka mengalaminya sendiri (Bakken & Brigham, 1993). 7. Tingkatkan penalaran aktif ; Siswa mengingat dengan lebih baik jika mereka secara aktif berfikir melalui informasi baru, daripada secara sederhana mengulang-ulang. 8. Perbanyak jumlah latihan; Siswa mengingat informasi dengan lebih baik, jika mereka sering berlatih menggunakannya. E. Penggunaan media gambar benda-benda di sekitarnya.

27 Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang berarti tengah, perantara, atau pengantar. Gerlach & Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis atau elektronik untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Menurut Gagne dan Briggs (1975) media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran yang antara lain terdiri dari : tape recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi dan komputer. Media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat gambar untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media adalah alat yang menyampaikan pesan-pesan pengajaran. Levie & Lentz (1982) mengemukakan empat fungsi media pengajaran, khususnya media visual yaitu : 1. Fungsi atensi Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang menyertai teks materi pelajaran. Media gambar dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar.

28 2. Fungsi afektif Media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar aatau membaca teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. 3. Fungsi kognitif Media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar. 4. Fungsi kompensatoris Media pengajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pengajaran berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal. Menurut Bruner (1966) pada pengalaman yang diberi gambar, kata sapu dipelajari dari gambar, meskipun siswa belum pernah membuat sapu, mereka dapat mempelajari dan memahaminya dari gambar. Selanjutnya pada tingkatan simbol, siswa membaca kata sapu dan mencocokannya dengan sapu pada image mental atau mencocokannya dengan pengalamannya membuat gambar sapu. Levie & Levie (1975) yang mereview hasil- hasil penelitian tentang belajar melalui stimulus gambar (terutama gambar benda-benda disekitar) dan stimulus kata atau visual dan verbal menyimpulkan bahwa visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan

29 konsep. Di lain pihak, stimulus verbal memberi hasil belajar yang lebih apabila pembelajaran itu melibatkan ingatan yang berurutan (sequensia) terutama dengan gambar benda-benda sekitar. Menurut pendapat Woodcock, Clark, dan Davies (1979) dalam bukunya The Peabody Rebus Reading Program pendekatan kata bergambar untuk kesiapan membaca awal melibatkan penggunaan kata bergambar. Materi bacaan menggunakan gambar, bukan kata tertulis karena tiap gambar hanya mempunyai satu arti yang jelas, membaca cukup mudah. Menurut Broughton (1978) keterampilan terhadap aksara merupakan suatu kemampuan untuk mengenal gambar benda-benda di sekitar. Menurut Stephanie Muller ( 2005) dalam buku Panduan Belajar Membaca dengan Benda-benda di Sekitar perkembangan membaca dan menulis berawal dari tulisan-tulisan konkrit melalui gambar benda-benda yang ada di sekitar. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan media gambar bagi anak tunarungu adalah : 1. Gambar benda-benda yang ada di sekitarnya sudah dikenal anak 2. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya disenangi oleh anak 3. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya tetap,tidak berubah-ubah. 4. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya dianggap sederhana 5. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya mudah dilihat dan diingat 6. Gambar benda-benda yang ada disekitarnya kalau dibaca kalau di baca kata-katanya pendek. Gambar benda-benda sekitar yang dimaksud di sini adalah gambar-gambar benda yang ada di sekitar anak (di dalam kelas dan di rumah) yang biasa dilihat anak tuna rungu sehariharinya.

30 Benda benda yang ada di dalam kelas misalnya : buku, kursi, meja, pinsil, peta, pulpen, sapu, tas, komputer, lemari, penghapus, papan tulis, taplak meja, vas bunga dan sebagainya. Benda benda yang ada di rumah misalnya : baju, boneka, celana, dasi, gorden, handuk, jaket, kompor, lampu, televisi dan sebagainya. F. Prosedur Pembelajaran Membaca Permulaan Menggunakan Media Gambar pada Anak Tunarungu Pembelajaran adalah kegiatan guru yang direncanakan dalam rancangan pengajaran, untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan kepada sumber belajar (Rusyani, 1998:12). Pembelajaran membaca permulaan adalah kegiatan guru yang direncanakan dalam memberikan pengalaman belajar menuturkan tulisan yang bermakna kepada siswa. Menurut Wardani (1995 : 24) menyatakan membaca permulaan yakni menyuarakan tulisan, tetapi yang dibaca haruslah bermakna. Gangguan dalam fungsi pendengaran pada anak tunarungu menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam memahami sistem lambang bunyi dan dalam memproduksi bunyi bahasa. Untuk itu diperlukan metode pengajaran yang materinya sudah dikuasai isinya (maknanya), dan metode yang paling cocok diajarkan dengan menggunakan metode Fernald (VAKT) karena pada metode ini anak dituntut untuk menguasai materi sebelum dilanjutkan pada pelajaran berikutnya. Kekurangmampuan anak tunarungu dalam mengakses bunyi bahasa melalui pendengarannya akan mempengaruhi kemampuan mengingat dan memahami lambang bunyi serta kemampuan menirukan (memproduksi ) bunyi bahasa, karena ketunarunguan dan kemampuan mengingat memiliki korelasi yang kuat.

31 Untuk meningkatkan daya ingat pada anak tunarungu maka guru perlu memasukkan media gambar benda-benda yang ada di dalam kelas dan di dalam rumah dalam pengajaran membaca permulaan karena benda-benda tersebut sudah dikenal anak, sering dilihat anak, sehingga anak tunarungu akan mampu mengingat lebih lama suatu kata yang baru dipelajari dan juga anak lebih mudah menerima dan memahami kata-kata tersebut. Prosedur pembelajaran membaca permulaan menggunakan media gambar pada anak Anak tunarungu adalah sebagai berikut : 1. Melakukan percakapan Kegiatan percakapan yang dilakukan yaitu percakapan tentang nama-nama benda yang terdapat di dalam kelas, dan di dalam rumah, karena benda-benda ini sering dilihat anak dan sudah dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengkondisikan siswa agar siap untuk belajar dan untuk mengetahui seberapa banyak kosa kata yang telah diketahui siswa tentang bahan-bahan yang akan diajarkan. 2. Memunculkan dan Meningkatkan Daya Ingat Dalam kegiatan ini, siswa dituntun untuk mengingat kembali kosa kata yang telah diketahui bendanya (benda-benda yang ada di dalam kelas dan di dalam rumah yang selalu teramati dalam kehidupan sehari-harinya ) tetapi belum diketahui nama dan lambang tulisannya. Benda-benda yang ada di dalam kelas dan di dalam rumah (yang sudah dikenal dan dilihat anak) dimunculkan melalui gambar-gambar dan diberi nama (disebutkan lambang bunyinya). Penamaan benda-benda tersebut merupakan kosakata baru bagi anak, digunakan untuk memunculkan dan meningkatkan daya ingat siswa.

BAB I PENDAHULUAN. tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Berdasarkan hasil studi pendahuluan, diperoleh data bahwa siswa tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai keterampilan membaca permulaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk individu maupun mahluk sosial. Salah satu keterampilan yang harus

BAB I PENDAHULUAN. mahluk individu maupun mahluk sosial. Salah satu keterampilan yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak keterampilan yang harus dikuasai oleh anak baik sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial. Salah satu keterampilan yang harus dikuasai anak adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan

Lebih terperinci

HAMBATAN BELAJAR ANAK TUNARUNGU

HAMBATAN BELAJAR ANAK TUNARUNGU HAMBATAN BELAJAR ANAK TUNARUNGU Anak tunarungu di dalam mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya seringkali dihadapkan kepada berbagai masalah dalam kehidupannya. Anak tunarungu adalah seseorang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya selaku warga negara, mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal)

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal) namun juga menggunakan, isyarat atau bahasa gambar. Peradapan manusia kuno sebelum mengenal

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. Menurut Mathias dan Habein (Mathias & Habein, 2000:15), mempelajari huruf kanji

Bab 2. Landasan Teori. Menurut Mathias dan Habein (Mathias & Habein, 2000:15), mempelajari huruf kanji Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Pembelajaran Kanji Menurut Mathias dan Habein (Mathias & Habein, 2000:15), mempelajari huruf kanji berarti mempelajari bentuk, arti dan cara baca dari sebuah kanji. Kanji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia berharap dilahirkan dalam keadaan yang normal dan sempurna, akan tetapi tidak semua manusia mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Istilah tunarungu berasal dari dua kata yaitu tuna dan rungu. Tuna berarti

BAB II KAJIAN TEORITIS. Istilah tunarungu berasal dari dua kata yaitu tuna dan rungu. Tuna berarti BAB II KAJIAN TEORITIS A. KONSEP DASAR ANAK TUNARUNGU 1. Pengertian Anak Tunarungu Istilah tunarungu berasal dari dua kata yaitu tuna dan rungu. Tuna berarti kekurangan atau ketidakmampuan dan rungu berarti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Belajar Gaya Belajar adalah cara atau pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia pendidikan, istilah gaya

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA BIG BOOKS TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNARUNGU KELAS DASAR I DI SLB WIDYA MULIA PUNDONG BANTUL YOGYAKARTA

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA BIG BOOKS TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNARUNGU KELAS DASAR I DI SLB WIDYA MULIA PUNDONG BANTUL YOGYAKARTA EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA BIG BOOKS TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNARUNGU KELAS DASAR I DI SLB WIDYA MULIA PUNDONG BANTUL YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Tunarungu kelas 3 SLB Negeri Binjai Oleh: Pendahuluan Anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak bisa bertahan hidup secara sendiri. Fungsi dari manusia sebagai makhluk sosial yaitu membutuhkan

Lebih terperinci

BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN. Sosialisasi KTSP

BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN. Sosialisasi KTSP BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN 1 DEFINISI HEARING IMPAIRMENT (TUNARUNGU) TERKANDUNG DUA KATEGORI YAITU: DEAF (KONDISI KEHILANGAN PENDENGARAN YANG BERAT) DAN HARD OF HEARING (KEADAAN MASIH MEMILIKI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siswa tunarungu adalah salah satu anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam pendengaran, sehingga untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan merupakan pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan, yang berlanjut sepanjang rentang hidup (Santrock, 2007 : 7). Perkembangan adalah hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini yang selanjutnya disebut Paud merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan sangat menentukan bagi perkembangan anak di kemudian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjang dalam kehidupan manusia. Peranan suatu bahasa juga sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjang dalam kehidupan manusia. Peranan suatu bahasa juga sangat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana atau alat komunikasi yang sangat menunjang dalam kehidupan manusia. Peranan suatu bahasa juga sangat penting sebagai sarana ilmu dan budaya

Lebih terperinci

MEDIA DAN SUMBER PEMBELAJARAN ENCEP KUSUMAH

MEDIA DAN SUMBER PEMBELAJARAN ENCEP KUSUMAH MEDIA DAN SUMBER PEMBELAJARAN ENCEP KUSUMAH PENGERTIAN MEDIA Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar Media

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan pendidikan dalam. hidupnya. Oleh karena itu, semua manusia di bumi pasti sangat

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan pendidikan dalam. hidupnya. Oleh karena itu, semua manusia di bumi pasti sangat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Adanya pemberian pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan akademis dan psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berhubungan dan saling

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berhubungan dan saling 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berhubungan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Untuk dapat berhubungan dan saling memenuhi kebutuhannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tunarungu seringkali memiliki kebiasaan-kebiasaan yang salah saat berbicara terutama ketika melafalkan kata-kata. Kondisi tersebut merupakan dampak dari

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Siswa Kelas Unggulan di SMP Negeri 1 Gondang Tulungagung. berkaitan dengan indera pendengar, dimana pesan yang disampaikan

BAB V PEMBAHASAN. Siswa Kelas Unggulan di SMP Negeri 1 Gondang Tulungagung. berkaitan dengan indera pendengar, dimana pesan yang disampaikan BAB V PEMBAHASAN A. Keterampilan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menggunakan Media Pembelajaran Audio untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas Unggulan di SMP Negeri 1 Gondang Tulungagung. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGUASAAN KOSAKATA MELALUI METODE MULTISENSORI PADA ANAK TUNARUNGU KELAS II SEKOLAH DASAR LUAR BIASA TUNAS BHAKTI PLERET BANTUL

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGUASAAN KOSAKATA MELALUI METODE MULTISENSORI PADA ANAK TUNARUNGU KELAS II SEKOLAH DASAR LUAR BIASA TUNAS BHAKTI PLERET BANTUL PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGUASAAN KOSAKATA MELALUI METODE MULTISENSORI PADA ANAK TUNARUNGU KELAS II SEKOLAH DASAR LUAR BIASA TUNAS BHAKTI PLERET BANTUL SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tematik 2.1.1 Pengertian Tematik Menurut Hadi Subroto (2000:9), pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang diawali dengan suatu tema tertentu yang mengaitkan dengan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekolah merupakan lembaga pendidikan tempat anak memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Salah satu keterampilan yang hendaknya dikuasai seorang anak adalah keterampilan

Lebih terperinci

BY: METTY VERASARI MENGENAL TIPE BELAJAR ANAK (AUDITORY, VISUAL, & KINESTETIK)

BY: METTY VERASARI MENGENAL TIPE BELAJAR ANAK (AUDITORY, VISUAL, & KINESTETIK) BY: METTY VERASARI MENGENAL TIPE BELAJAR ANAK (AUDITORY, VISUAL, & KINESTETIK) MENGAPA PERLU IDENTIFIKASI BELAJAR ANAK??? Dengan mengenali gaya belajar anak maka : 1. Menciptakan cara belajar yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sebagai alat. bersosialisasi, bahasa juga merupakan suatu cara merespon orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sebagai alat. bersosialisasi, bahasa juga merupakan suatu cara merespon orang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemampuan bahasa dipelajari dan diperoleh anak usia dini secara alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sebagai alat bersosialisasi, bahasa juga merupakan

Lebih terperinci

2015 PENGGUNAAN MEDIA PLAYDOUGH TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PERMULAAN ANAK TUNARUNGU YANG DISERTAI CEREBRAL PALSY KELAS VII DI SLB-B YPLB MAJALENGKA

2015 PENGGUNAAN MEDIA PLAYDOUGH TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PERMULAAN ANAK TUNARUNGU YANG DISERTAI CEREBRAL PALSY KELAS VII DI SLB-B YPLB MAJALENGKA A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Setiap manusia mendapatkan pengetahuan salah satunya dari indera pendengaran. Melalui pendengaran manusia meniru apa yang dikatakan oleh manusia lain. Dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Membaca adalah salah satu prasyarat agar anak dapat mempelajari atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Membaca adalah salah satu prasyarat agar anak dapat mempelajari atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membaca adalah salah satu prasyarat agar anak dapat mempelajari atau memahami sesuatu. Membaca juga merupakan pintu gerbang pengetahuan. Dengan kemampuan membaca

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggarannya pendidikan di Indonesia telah dijamin seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi utama bagi seorang anak untuk mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan anak untuk menerjemahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggaranya pendidikan di Indonesia telah dijamin seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2014 27 Maret 2014. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh

Lebih terperinci

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Pendahuluan Setiap anak memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda. Proses utama perkembangan anak merupakan hal

Lebih terperinci

II. Deskripsi Kondisi Anak

II. Deskripsi Kondisi Anak I. Kondisi Anak 1. Apakah Anak Ibu/ Bapak termasuk mengalami kelainan : a. Tunanetra b. Tunarungu c. Tunagrahita d. Tunadaksa e. Tunalaras f. Tunaganda g. Kesulitan belajar h. Autisme i. Gangguan perhatian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Saca Firmansyah (2008) menyatakan bahwa partisipasi adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Saca Firmansyah (2008) menyatakan bahwa partisipasi adalah 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Partisipasi Menurut Saca Firmansyah (2008) menyatakan bahwa partisipasi adalah ketrelibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena melalui bahasa manusia berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia yang diciptakan ke dunia ini mempunyai keadaan fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang berbeda-beda pula. Kesempurnaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Tentang Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu Anak berkelainan pendengaran atau tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan atau kerusakan pada satu atau lebih organ

Lebih terperinci

HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK. Mohamad Sugiarmin

HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK. Mohamad Sugiarmin HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK Mohamad Sugiarmin PERSEPSI Proses mental yg menginterpretasikan dan memberi arti pd obyek yg ditangkap atau diamati oleh indera. Ketepatan persepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ratih Dwi Lestari,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ratih Dwi Lestari,2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang dapat digunakan individu untuk saling menyampaikan dan menerima pesan. Pesan yang dimaksud akan sampai jika bahasa tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bahasa Arab, kata shalat mengandung dua pengertian. Pertama, shalat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bahasa Arab, kata shalat mengandung dua pengertian. Pertama, shalat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam bahasa Arab, kata shalat mengandung dua pengertian. Pertama, shalat berarti ikatan, yaitu saling bertemu untuk mengikat tali kasih sayang. Kedua, shalat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Pemahaman Pemahaman terhadap suatu pelajaran diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang

Lebih terperinci

Pengembangan Komunikasi Verbal pada Anak Tunarungu

Pengembangan Komunikasi Verbal pada Anak Tunarungu Riset» Pengembangan Komunikasi Verbal* Deis Septiani, Neni, Musjafak Pengembangan Komunikasi Verbal pada Anak Tunarungu Deis Septiani, Neni Meiyani, Musjafak Assjari Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari learning disability. Learning

BAB I PENDAHULUAN. Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari learning disability. Learning BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari learning disability. Learning adalah belajar, disability artinya ketidak mampuan sehingga terjemahannya menjadi ketidak

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN SEBAGAI PROSES KOMUNIKASI

PEMBELAJARAN SEBAGAI PROSES KOMUNIKASI PEMBELAJARAN SEBAGAI PROSES KOMUNIKASI Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeyen Yeni Aminah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeyen Yeni Aminah, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa perkembangan bahasa dan bicara anak yang paling intensif terletak pada lima tahun pertama dari hidupnya, yakni suatu periode dimana otak manusia berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I Nyoman Sumertna, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I Nyoman Sumertna, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran sehingga memiliki hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sebagai akibatnya, mereka mengalami kesulitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Ponija, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Ponija, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut

Lebih terperinci

MEDIA PEMBELAJARAN (الوسائل التعليمية)

MEDIA PEMBELAJARAN (الوسائل التعليمية) MEDIA PEMBELAJARAN (الوسائل التعليمية) SKS : 2 SKS Dosen : Rovi in, M.Ag Semester : Ganjil Prodi : PBA 1 Guru profesional memiliki empat kompetensi, yaitu: pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pembinaan yang ditujukan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pembinaan yang ditujukan kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UU No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir hingga usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sensitif dan akan menentukan perkembangan otak untuk kehidupan dimasa

BAB I PENDAHULUAN. sensitif dan akan menentukan perkembangan otak untuk kehidupan dimasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan anak normal, usia 6 tahun merupakan masa yang paling sensitif dan akan menentukan perkembangan otak untuk kehidupan dimasa mendatang. Bayi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 17 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 PEMBELAJARAN MEMBACA 2.1.1 Pengertian Pembelajaran Membaca Pembelajaran itu adanya dua hal yaitu adanya aktivitas individual siswa dan adanya lingkungan yang dikondisikan secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang seacara harfiah berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang seacara harfiah berarti 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Media Audio-Visual Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang seacara harfiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Dalam bahasa arab, media adalah perantara atau pengantar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang sedang dikembangkan oleh pemerintah saat ini, karena usia dini berada pada

Lebih terperinci

PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN. Oleh : Dra. Tati Hernawati, M.Pd.

PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN. Oleh : Dra. Tati Hernawati, M.Pd. PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN ARTIKULASI DAN OPTIMALISASI FUNGSI PENDENGARAN Oleh : Dra. Tati Hernawati, M.Pd. ============================================================== Pendekatan dan Metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini, membuat dunia sangat sukar untuk diprediksi. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas memegang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beralamat di Jl. Rajekwesi 59-A Perak Bojonegoro. Di SLB-B Putra

BAB I PENDAHULUAN. yang beralamat di Jl. Rajekwesi 59-A Perak Bojonegoro. Di SLB-B Putra 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang SLB-B Putra Harapan Bojonegoro merupakan salah satu sekolah luar biasa khusus penyandang cacat tunarungu yang ada di Bojonegoro yang berada di bawah naungan yayasan

Lebih terperinci

BAB II MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PENJUMLAHAN BILANGAN PECAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR

BAB II MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PENJUMLAHAN BILANGAN PECAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR 8 BAB II MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PENJUMLAHAN BILANGAN PECAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan pada BAB I, maka dalam penelitian ini difokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia mengembangkan dirinya dengan mengadakan interaksi dengan orang lain melalui bahasa. Melalui bahasa diperoleh

Lebih terperinci

C. Macam-Macam Metode Pembelajaran

C. Macam-Macam Metode Pembelajaran A. Pengertian Metode Pembelajaran Metode pembelajaran adalah cara-cara atau teknik penyajian bahan pelajaran yang akan digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan pelajaran, baik secara individual atau

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara umum, semua aktivitas yang melibatkan psiko-fisik yang menghasilkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara umum, semua aktivitas yang melibatkan psiko-fisik yang menghasilkan 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Belajar Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Secara umum, semua aktivitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Media Maket Media pembelajaran didefinisikan oleh Heinich (dalam Daryanto, 2010: 4) kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara

Lebih terperinci

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi kasus di Kelas VIII SMPLB-B Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara

Lebih terperinci

Tim Dosen Pengembangan Interaksi dan Komunikasi Anak Autis

Tim Dosen Pengembangan Interaksi dan Komunikasi Anak Autis PROGRAM PEMBELAJARAN BAGI ANAK AUTISTIK Tim Dosen Pengembangan Interaksi dan Komunikasi Anak Autis MEMILIH PROGRAM PEMBELAJARAN Program Penilaian Kemampuan Memilih Program untuk memulai pembelajaran Saatnya

Lebih terperinci

Perancangan buku visual untuk anak tuna rungu usia tahun sebagai media alternatif pembelajaran bahasa. oleh Dany A.B.

Perancangan buku visual untuk anak tuna rungu usia tahun sebagai media alternatif pembelajaran bahasa. oleh Dany A.B. SELAMAT SORE Perancangan buku visual untuk anak tuna rungu usia 10 12 tahun sebagai media alternatif pembelajaran bahasa oleh Dany A.B.Utono 3406100049 Rumusan masalah Bagaimana merancang buku visual untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu fase dalam perkembangan individu adalah masa remaja. Remaja yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sisi lain. Orang mempunyai kecacatan fisik belum tentu lemah dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. sisi lain. Orang mempunyai kecacatan fisik belum tentu lemah dalam hal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan kesempurnaan yang berbeda-beda, kesempurnaan tidak dapat hanya dilihat dari keadaan fisiknya saja. Melainkan kita harus melihat dari

Lebih terperinci

1. Pendahuluan 1.1. Latar belakang

1. Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1. Pendahuluan 1.1. Latar belakang Manusia adalah makhluk yang dilahirkan paling sempurna. Manusia memiliki kemampuan kognitif untuk memproses informasi yang diperoleh dari lingkungan di sekelilingnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa dapat diungkapkan secara lisan maupun tulisan. Penggunaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa dapat diungkapkan secara lisan maupun tulisan. Penggunaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa dapat diungkapkan secara lisan maupun tulisan. Penggunaan bahasa perlu memiliki kemahiran dan penguasaan yang baik, agar apa yang disampaikan melalui

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. informasi kepada siswa. Media berasal dari bahasa Latin dan merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. informasi kepada siswa. Media berasal dari bahasa Latin dan merupakan 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Media Media adalah suatu sarana yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), saat ini sedang mendapat perhatian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), saat ini sedang mendapat perhatian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), saat ini sedang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Perkembangan pendidikan anak usia dini (PAUD) menuju kearah yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amilia Wahyuni, 2014 Analisis kemampuan berbahasa anak tunarungu ditinjau dari peran orang tua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amilia Wahyuni, 2014 Analisis kemampuan berbahasa anak tunarungu ditinjau dari peran orang tua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia yang berpendengaran normal memiliki latar belakang kemampuan mempersepsi bunyi-bunyian. Dimana bunyi-bunyian memberikan arti yang amat penting bagi manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Belajar adalah suatu kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Belajar

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Belajar adalah suatu kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Belajar BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Belajar dan Pembelajaran 2.1.1 Pengertian Belajar dan Pembelajaran Belajar adalah suatu kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Belajar merupakan proses perubahan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lia Afrilia,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lia Afrilia,2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hambatan anak tunarungu dalam membaca permulaan terjadi pada YC. Subjek YC mengalami katunarunguan yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari di negara

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari di negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Inggris merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari di negara Inggris untuk berkomunikasi serta bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa Internasional,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH Pendahuluan Pada hakikatnya, anak manusia, ketika dilahirkan telah dibekali dengan bermacam-macam potensi yakni kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan dengan pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan dengan pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak usia dini (AUD) adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya,

Lebih terperinci

Kata kata Kunci : Media Pembelajaran Tiga Dimensi, Hasil Belajar, Matematika, Sekolah Dasar.

Kata kata Kunci : Media Pembelajaran Tiga Dimensi, Hasil Belajar, Matematika, Sekolah Dasar. PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN TIGA DIMENSI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS V SDN 1 ALAS TENGAH SITUBONDO Oleh Ahmad Zubaidi (1) Reki Lidyawati (2) ABSTRAK Guru seharusnya lebih

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Matematika di Sekolah Dasar. termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki kajian sangat luas.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Matematika di Sekolah Dasar. termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki kajian sangat luas. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar 1. Pengertian Matematika di Sekolah Dasar Pengertian matematika pada dasarnya tidak dapat ditentukan secara pasti, hal ini disebabkan karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan mempunyai makna upaya-upaya dan pemberian layanan agar

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan mempunyai makna upaya-upaya dan pemberian layanan agar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penanganan mempunyai makna upaya-upaya dan pemberian layanan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pemberian layanan agar anak dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya. Masa ini dapat disebut juga sebagai The Golden Age atau masa. pertumbuhan dan perkembangan anak dapat berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya. Masa ini dapat disebut juga sebagai The Golden Age atau masa. pertumbuhan dan perkembangan anak dapat berkembang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak usia dini adalah investasi masa depan bagi keluarga dan bangsa yang sedang menjalani proses perkembangan dengan pesat untuk menjalani kehidupan selanjutnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan sangatlah penting bagi setiap manusia dalam rangka mengembangkan segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iis Jamilah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iis Jamilah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan mengingat merupakan hal yang sering kita anggap sebagai hal yang mudah, namun pada kenyataannya mengingat merupakan kegiatan otak yang melalui beberapa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. dalam bentuk lambang lambang grafis, yang perubahannya menjadi wicara bermakna dalam

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. dalam bentuk lambang lambang grafis, yang perubahannya menjadi wicara bermakna dalam BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1. Hakikat Membaca Pada hakikatnya membaca merupakan keterampilan mengenal dan memahami tulisan dalam bentuk lambang lambang grafis, yang perubahannya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan banyak kesulitan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang yang

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan banyak kesulitan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendengaran merupakan alat sensoris utama untuk berbicara dan berbahasa. Kehilangan pendengaran sejak lahir atau sejak usia dini akan menyebabkan kesulitan dalam berbicara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tunarungu merupakan anak yang mengalami hambatan pendengaran. Adanya hambatan pendengaran tersebut menimbulkan dampak terhadap perkembangan pada berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah merubah peradaban manusia, menjadikan manusia menjadi. berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah merubah peradaban manusia, menjadikan manusia menjadi. berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Ilmu pengetahuan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Suyanto (2007: 05), ilmu pengetahuan merupakan sarana yang telah merubah peradaban manusia, menjadikan manusia menjadi berguna bagi diri sendiri maupun orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Resha Aprylet, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Resha Aprylet, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat peka untuk menerima berbagai stimulasi dari lingkungan. Keberhasilan anak dalam mencapai perkembangan yang optimal

Lebih terperinci

KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA TUNARUNGU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DIDASARKAN PADA TEORI SCHOENFELD

KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA TUNARUNGU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DIDASARKAN PADA TEORI SCHOENFELD KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA TUNARUNGU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DIDASARKAN PADA TEORI SCHOENFELD DI SMALB DHARMA BAKTI DHARMA PERTIWI BANDAR LAMPUNG MUJIB Pendidikan Matematika, IAIN Raden Intan Lampung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nera Insan Nurfadillah, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nera Insan Nurfadillah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menulis merupakan sebuah proses kreatif menuangkan gagasan dalam bentuk bahasa tertulis untuk tujuan, misalnya memberi tahu, meyakinkan, atau menghibur. Menulis

Lebih terperinci

PEMANFAATAN BUKU CERITA SIBI BERGAMBAR UNTUK MENINGKATKAN MINAT BACA DAN PENGETAHUAN ANAK TUNARUNGU. Oleh: Dariman 1

PEMANFAATAN BUKU CERITA SIBI BERGAMBAR UNTUK MENINGKATKAN MINAT BACA DAN PENGETAHUAN ANAK TUNARUNGU. Oleh: Dariman 1 PEMANFAATAN BUKU CERITA SIBI BERGAMBAR UNTUK MENINGKATKAN MINAT BACA DAN PENGETAHUAN ANAK TUNARUNGU Oleh: Dariman 1 1. PENGANTAR Berbahasa menjadi sebuah kemampuan yang perlu di kembangkan sejak dini terutama

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Arsyad (2007:3) memaparkan pengertian media sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Arsyad (2007:3) memaparkan pengertian media sebagai berikut: 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Media Arsyad (2007:3) memaparkan pengertian media sebagai berikut: kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak tunagrahita perlu diberikan pelajaran yang sama seperti anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Anak tunagrahita perlu diberikan pelajaran yang sama seperti anak-anak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tunagrahita perlu diberikan pelajaran yang sama seperti anak-anak pada umumnya sesuai dengan kemampuan dan tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Autis merupakan gangguan perkembangan yang menghambat berbagai aspek dalam kehidupan anak dengan gangguan autis. Anak autis rata-rata mengalami gangguan perkembangan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 1 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi beberapa simpulan dan saran. Beberapa simpulan hasil penelitian sebagai jawaban terhadap masalah-masalah penelitian yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya.

Lebih terperinci