PENAMPILAN REPRODUKSI TERNAK KERBAU DI PANDEGLANG
|
|
- Hartono Darmadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 PENAMPILAN REPRODUKSI TERNAK KERBAU DI PANDEGLANG (Reproductive Performance of Buffalo in Pandeglang) Hastono, Talib C, Herawati T Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor ABSTRACT This study was conducted in Pasir Picung kampong, Cibarani village, Saketi sub-district of Pandeglang district in Parameter measured was buffalo s reproductive performance such as: signs of estrus, time of mating, age of first mating, mating system, service per conception, postpartum mating and maximum age of breeding stock. Result showed that only 50% of farmers who know the signs of estrus. Age of bull and cow at first mating were respectively 2.8 and 1.7 years; while length of postpartum mating was 6 months. The mating system done by natural or artificial insemination (AI), while service per conception using AI was one time, however, service per conception for natural mating was not known. Maximum age for breeding stock was after 6-12 times of parturition. Farmer minimal knowledge in reproduction was one of many factors that caused the lengthy calving interval (more than 16 months) in this study. Key Words: Reproduction, Buffalo, Artificial Insemination ABSTRAK Penelitian dilakukan di Dusun Pasir Picung, Desa Cibarani, Kecamatan Saketi Kabupaten Pandeglang tahun Parameter yang diamati adalah penampilan reproduksi ternak kerbau meliputi: tanda-tanda birahi, waktu mengawinkan, umur pertama kali kawin, sistem perkawinan, frekwensi perkawinan sampai bunting, kawin kembali setelah beranak dan batas umur ternak kerbau digunakan sebagai bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 50% peternak yang mengetahui tanda-tanda birahi, umur pertama kali kawin kerbau betina dan jantan masing-masing adalah 2,8 dan 1,7 tahun; kawin kembali setelah beranak adalah 6 bulan; sistem perkawinan alam dan inseminasi buatan (IB), frekwensi perkawinan sampai bunting dengan teknik IB adalah 1 kali. Sementara itu, melalui perkawinan alam tidak diketahui. Batas umur digunakan sebagai bibit berkisar antara 6-12 kali beranak. Pengetahuan peternak yang minimal tentang reproduksi adalah salah satu penyebab panjangnya calving interval pada ternak kerbau dalam penelitian ini yang mencapai lebih dari 16 bulan. Kata Kunci: Reproduksi, Kerbau, Inseminasi Buatan PENDAHULUAN Dalam rangka mensukseskan program Pemerintah mengenai sewasembada daging, salah satunya adalah daging kerbau termasuk didalamnya. Swasembada daging erat kaitanya dengan produktivitas ternak baik kualitas maupun kuantitas. Kualitas ternak yang dimaksud adalah besaran bobot hidup per individu diatas rata-rata. Sementara itu, kuantitas ternak adalah sejumlah ternak setelah diakumulasikan mencapai bobot hidup tertentu. Jadi swasembada daging dapat diperoleh dengan dua cara yaitu: meningkatkan produktivitas ternak perindividu atau dengan cara meningkatkan populasi ternak melalui peningkatan efisiensi reproduksi. Hal tersebut tidak terlepas dari penampilan reproduksi ternak yang bersangkutan. Berbicara reproduksi maka sistem perkawinan akan terlibat didalamnya, baik kawin alam maupun suntik (IB). Kemudian waktu mengawinkan dan jumlah perkawinan memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi reproduksi ternak, karena hal ini menyangkut jarak beranak yang akan ditimbulkannya. Salah satu penyebab rendahnya efisiensi reproduksi adalah kegagalan perkawinan sehingga jumlah 92
2 perkawinan meningkat. Sejalan dengan fenomena tersebut, otomatis akan memperpanjang jarak beranak, yang pada akhirnya akan menghambat peningkatan populasi suatu bangsa ternak akibat rendahnya efisiensi reproduksi. Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran mengenai penampilan reproduksi ternak kerbau di lokasi penelitian. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Dusun Pasir Picung, Desa Cibarani Kecamatan Saketi melibatkan peternak kerbau. Metoda penelitan melalui wawancara dengan menggunakan alat bantu quesioner yang didiskusikan pada 30 orang peternak partisipan. Selanjutnya penelitian dilaksanakan melalui pengamatan langsung di lapang baik pada kandang peternak maupun kawasan penggembalaan. Parameter yang diamati adalah penampilan reproduksi ternak kerbau dengan peubah meliputi: tandatanda birahi, umur pertama kali dikawinkan, sistem perkawinan, jumlah kawin sampai bunting, kawin kembali setelah beranak, batas umur ternak kerbau digunakan sebagai bibit dan penggunaan pejantan. Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Mengetahui tanda-tanda birahi Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa para peternak di lokasi penelitian pada umumnya banyak yang belum mengetahu tanda-tanda birahi. Hanya sebagian peternak yang mengetahui tanda-tanda birahi pada ternak kerbau yaitu kerbau yang sedang birahi akan mengeluarkan lendir, vulva merah, nafsu makan menurun, mengejar jantan, diam bila dinaiki pejantan dan gelisah. Secara keseluruhan bila dirangkum maka para peternak mengetahui tanda-tanda birahi tersebut. Tetapi secara perorangan mereka hanya mengetahui sebagian dari tanda tanda birahi tersebut, yang tentu saja hal ini akan mengurangi efektifitas perkawinan, karena peternak tidak memberikan perhatian yang cukup pada ternak yang sedang birahi. Tandatanda birahi yang disebutkan oleh para peternak tersebut sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Putu (2003) yang menerangkan bahwa tingkah laku homo seksual pada kerbau betina baik yang aktif menaiki ataupun yang diam saja bila dinaiki oleh betina lainnya menunjukkan bahwa kerbau tersebut dalam keadaan birahi. Toelihere (1981) menyatakan bahwa tandatanda birahi pada ternak kerbau adalah vulva membengkak dan mengeluarkan lendir berwarna bening pada sore hari setelah digembalakan. Pengeluaran lendir tersebut akan terlihat lebih jelas lagi ketika kerbau dalam keadan berbaring, karena perut yang tertekan akan mendorong keluarnya lendir tersebut yang akan jatuh ke tempat berbaring. Tetapi jika lantainya tanah maka sesudah beberapa menit akan terserap oleh tanah dan bekas lendir sudah tidak kelihatan lagi. Penampilan reproduksi ternak kerbau hasil penelitian ini secara keseluruhan tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Penampilan reproduksi ternak kerbau di lokasi penelitian Uraian Rataan Minimum Maksimum Umur pertama kali kawin Jantan (tahun) 1,8 ± 0, Betina (tahun) 2,8 ± 0, Jumlah kawin sampai bunting Kawin alam (kali) Tidak tahu IB (kali) 1,2 ± 0,4 1 2 Kawin kembali setelah beranak (bulan) 6 ± 3, Batas umur sebagai bibit (tahun) 9 ± 3, Penggunaan pejantan (tahun) 3 ± 0,
3 Sistem perkawinan Sistem perkawinan pada umumnya adalah kawin alam, walaupun ada beberapa peternak yang masuk dalam daftar program Pemerintah menggunakan IB melalui penyerentakan birahi. Pada perkawinan alam kerbau betina digembalakan secara bersama-sama dengan kerbau jantan. Bila ada kerbau betina yang birahi maka dapat dipastikan akan terjadi perkawinan walaupun demikian tidak akan diketahui pejantan mana yang mengawininya, apalagi bila dalam areal penggembalaan tersebut terdapat lebih dari satu kerbau jantan. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan beberapa kelemahan diantaranya: 1. Peternak tidak mengetahui kapan pertama kali kerbau betina yang di peliharanya kawin; 2. Luput dari perhatian mengenai tanda-tanda birahi (kerbau betina minta kawin), akibatnya sebagian besar peternak tidak mengetahui tanda-tanda birahi; 3. Peternak tidak mengetahui dengan pejantan mana kerbau betinanya kawin. Hal negative juga dapat terjadi, yaitu jika hanya ada satu kerbau betina yang birahi, maka para kerbau jantanakan mengerubutidan berebut untuk kawin tetapi tidak ada yang berhasil mengawini kerbau betina tersebut secara benar. Keadaan yang terakhir ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perkawinan kembali sesudah melahirkan yang berakhir dengan kebutingan. Dampak lainnya dari perkawinan pada kelompok sendiri adalah meningkatnya level inbreeding, karena tidak menutup kemungkinan pejantan yang mengawininya masih mempunyai hubungan darah kekerabatan yang dekat seperti anak mengawini induknya, atau keponakan mengawini saudara bapak maupun induknya dan sebaliknya. Disisi lain pada kerbau yang dilakukan kawin dengan IB, apabila tidak langsung bunting sementara kerbau yang baru saja di IB tersebut tidak dikandang melainkan di gembalakan, maka tidak menuntup kemugkinan kerbau tersebut akan kawin alam dengan pejantan yang ada pada masa birahi yang masih tersisa karena lama birahi antara 1-3 hari. Jadi akan terjadi kerancuan apakah anak yang diperoleh tersebut hasil IB atau kawin alam, bila kerbau yang di IB tersebut tidak dipantau atau tidak diawasi secara ketat terutama dalam masalah mengandangkan ternak yang sudah di IB tersebut. Untuk menghindari terjadinya perkawinan dengan pejantan lain setelah di IB, maka sebaiknya kerbau yang mengikuti program IB yang didahului dengan penyerentakan birahi, dapat dikandangkan menjelang birahi dan 3 hari sesudah birahi untuk menghindari terjadinya perkawinan dengan pejantan yang tidak direncanakan. Umur pertama kali kawin Pada Tabel 1 tertera bahwa kerbau jantan pertama kali dikawinkan pada umur 1,8 tahun sedang kerbau betina 2,8 tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa ternak kerbau di lokasi penelitian masih terlalu muda untuk dikawinkan. Hal tersebut terjadi karena sistem pemeliharaan digembalakan secara bersama (pedet-ternak dewasa), maka jika ada ternak yang birahi maka perkawinan dapat saja terjadi setiap saat. Berbagai pustaka memaparkan bahwa umur dewasa kelamin kerbau lumpur baik jantan atau betina akan dicapai pada usia 3-4 tahun (Fischer dan Bodhipaksha 1992; Gordon 1996). Hasil lainnya yang lebih detail (Kazimi 1983) melaporkan bahwa kerbau betina dikawinkan pertama kali untuk menghasilkan keturunan yang baik dan sehat adalah pada umur 3,76 tahun di Indonesia. Jainudeen dan Hafez (1992a) menuliskan bahwa kerbau betina baru boleh dikawinkan jika minimal bobot badannya telah mencapai antara kg, dan bobot badan tersebut biasanya dicapai pada umur antara bulan. Kerbau betina biasanya melahirkan pertama kali pada umur 5 tahun (Estes 1992 dalam Rabie 2011). Jumlah kawin sampai bunting Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah kawin untuk mencapai satu kebuntingan pada kawin alam tidak diketahui, namun pada IB sebanyak 1,2 kali. Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Menurut Toelihere (1981) S/C yang normal 1,7-2. Kenyataan di lapang bahwa pada ternak kerbau jumlah perkawinan masih 94
4 cukup tinggi untuk mengasilkan satu kebuntinmgan. Hasil penelitian Dilaga dalam Arman (2006) menunjukkan bahwa jumlah perkawinan mencapai 3 kali untuk memperoleh satu kebuntingan, yang mengusulkan bahwa perbandingan jumlah kerbau lumpur pejantan dengan betina sebaiknya berada pada kisaran 1: 10 dengan menggunakan sistem perkawinan secara alam agar dapat tercapai mencapai jumlah kebuntingan yang optimal per tahun. Sebaliknya Toelihere (1981) mengatakan bahwa dengan kawin alam seekor pejantan dapat mengawini ekor betina dalam setahun. Tentu saja keduanya benar hanya Dilagamengusulkan untuk perkawinan terjadi secara efektif dalam satu siklus birahi (21 hari) dan Toelihere memaparkan jumlah minimal pejantan yang dibutuhkan untuk terjadinya perkawinan dalam rentang waktu setahun dimana pejantan tersebut akan mengawini kerbau-kerbau betina dalam beberapa siklus birahi. Sebaliknya di Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) imbangan pejantan dengan betina cukup luas, dimana ditemui pada suatu daerah terdapat 70 ekor kerbau induk dan 2 ekor pejantan atau dengan perbandingan jantan berbanding betina adalah sebesar 1 : 35 (Zulbardi dan Kusumaningrum 2005). di Kaliman Timur imbangan jantan dengan betina adalah 10 pejantan berbanding 170 betina atau 1 : 17 (Kristianto 2006). Selanjutnya Kristianto (2006) melaporkan bahwa dalam satu kelompok ternak yang digembalakan secara bersama maka perkawinan akan berjalan dengan sistem hukum alam dimana pejantan yang terkuatlah yang mempunyai kesempatan terbesar untuk mengawini pertama kali betina yang birahi. Jika dalam hari itu hanya ada seekor betina yang birahi maka pejantan lainnya tidak akan kebagian untuk mengawini. Tetapi jika pada hari yang sama ada beberapa ternak betina yang birahi maka setelah pejantan terkuat meninggalkan betina yang telah dikawini dan mengejar betina lain yang birahi barulah pejantan terkuat kedua menperoleh kesempatan mengawini, kemudian disusul oleh pejantar terkuat berikutnya dan pejantan pecundang memperoleh giliran terakhir. Akibatnya seekor betina dapat dikawini banyak pejantan, bisa sampai 3 ekor pejantan (Dwiyanto dan Handiwirawan 2006). Yang jadi masalah disini adalah bila pejantan yang mengawini tersebut memiliki hubungan kekerabatan, maka akan terjadi inbreeding. Jika pejantan pecundang (biasanya berusia muda dan bertubuh kecil) yang beruntung, dimana semennyalah yang mampu membuahi sel telur kerbau betina tersebut, maka tentu saja pedet kerbau yang akan dilahirkan padawaktunya nanti akan mempunyai bobot lahir yang kecil dengan peluang hidup yang juga kecil. Kawin setelah beranak Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata periode waktu yang dibutuhkan kerbau induk untuk kawin kembali setelah beranak adalah sebesar 6 bulan. Peubah ini akan menentukan jarak beranak, bila umur kebuntingan rata-rata mencapai 10 bulan, maka diperkirakan jarak beranak kerbau di lokasi penelitian berada lebih besar dari 16 bulan, karena jumlah perkawinan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh satu kebuntingan tidak diketahui. Hasil penelitian ini masih berada dalam renrtang waktu yang didapatkan oleh Zulbardi dan Kusumaningrum (2005) yang menunjukkan bahwa pada umumnya atau 63,3% kerbau induk akan dikawinkan kembali 2 bulan setelah beranak, dan sisanya sebesar 36,63% perkawinan baru dimulai setelah beranak lebih dari dua bulan. Hanya tidak dilaporkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya perkawinan yang diakhiri dengan kebuntingan. Kenyataanya dilapang jarak beranak kerbau yang dipelihara sebagian besar peternak masih relatif panjang yakni bulan (Dwiyanto dan Handiwirawan 2006). Batas umur produktif sebagai bibit Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa para peternak memlihara induk rata-rata sampai 9 kali beranak dengan kisaran antar 5 sampai 12 kali beranak. Hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau yang dipelihara di lokasi penelitan masih produktif antara umur 11,5 tahun sampai umur 22 tahun dengan rataan 17,5 tahun, perhitungan ini diperoleh dengan catatan rataan jarak beranak dan umur pertama kali beranak masing masing adalah 18 dan 48 95
5 bulan. Hasil ini lebih rendah dengan apa yang diutarakan oleh Toelihere (1981) yang menerangkan bahwa ternak kerbau dapat dipelihara sampai umur 25 tahun dengan 20 kali beranak. Dari hasil-hasil ini maka kita perlu meletakan penghargaan yang tinggi pada ternak kerbau, karena umur produktif yang demikian tinggi ini, jelas-jelas jauh melebihi apa yang ditunjukkan oleh ternak sapi yaitu hanya antara umur tahun (5-7 kali beranak). Hanya saja karena informasi ini masih kurang populer sehingga ternak kerbau masih tetap di nomor duakan dinegeri ini. Penggunaan pejantan Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kerbau jantan yang digunakan sebagai pemacek bukanlah pejantan yang sengaja dipilih sebagai pejantan, melainkan adalah pejantan yang dipelihara untuk beberapa lama yang kemudian akan dijual jika ada penawaran harga jual yang cocok dari pembeli. Jadi tepat sekali bila di lokasi penelitian tersebut dilaksanakan program IB walaupun diketahui bahwa tingkat kebuntingan hasil IB masih cukup rendah yakni sekitar 30% pada kondisi lapangan dan pada kondisi stasiun percobaan 60% (Situmorang dan Sitepu 1991). Namun demikian guna menunjang peningkatan populasi, sementara kerbau jantan langka, maka kawin secara IB lah yang paling tepat untuk saat ini. Apapun alasannya, kawin alam pun masih sangat diperlukan, oleh karena itu kerbau jantan unggul sebagai pemacak harus tetap tersedia di suatu wilayah atau lokasi penelitian terutama pejantan yang sengaja dipilih untuk dijadikan pejantan, yang tentunya dibutuhkan bantuan dari pemerintah daerah sebagai pembina pada peternak. Sebagaimana Jill (2006) menerangkan bahwa pada sekelompok sapi perah induk yang berjumlah ekor system perkawinan menggunakan IB selama 6 minggu, selebihnya dilakukan kawin alam dengan menggunakan pejantan untuk mengawini sapi perah induk yang mengalami birahi tenang. Jumlah pejantan yang digunakan adalah 4 ekor dengan perincian 3 ekor untuk 100 betina dan 1 ekor pejantan lagi sebagai cadangan. Pejantan disatukan dengan betina dalam kandang kelompok selama 12 minggu. Contoh inipun dapat dicontoh oleh peternak kerbau agar penggunaan pejantan dapat menjadi efektif dan hanya dibutuhkan dalam kurun waktu yang singkat. Setelah digunakan dapat dijual dan pada musim kawin berikutnya dapat diadakan kembali dengan uang hasil penjualan pejantan sebelumnya. Pada Tabel 1. Tertera bahwa kerbau jantan dipelihara peternak paling cepat sampai umur 2 tahun dan paling lama sampai umur 4 tahun dengan rataan selama 3 tahun. Alasan peternak tidak memelihara kerbau jantannya berlamalama dikarenakan oleh beberapa sebab, diantaranya yaitu: 1. Kerbau jantan tidak menghasilkan banyak uang karena tidak dapat beranak. 2. Kerbau jantan sulit dirawat karena suka pergi meninggalkan tempat untuk mencari betina yang sedang birahi, sampai-sampai berada jauh dari tempat asalnya bahkan bisa berada di luar kampung. Disisi lain peternak lebih suka menjual kerbau jantannya dibanding dengan kerbau betina, karena selain untuk menutupi kebutuhan hidup juga harganya lebih mahal dibanding kerbau betina. Umur juga sangat menentukan harga, kerbau jantan yang paling mahal dipasar ketika dia berumur sekitar 4 tahun, maka tidak heran kalau pejantan yang baik dengan tubuh kekar dengan umur 4 tahun lebih sangat langka di jumpai pada sekelompok ternak. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa imbangan jantan dan betina adalah 1 : 14. Hasil ini lebih besar bila dibanding dengan hasil yang diperoleh Dilaga et al. (2003) dalam Arman (2006) yakni 1 : 1 tetapi hampir sama bila dibandingkan dengan yang diperoleh Kristianto (2006), di Kalimantan Timur yaitu perbandingan jantan : betina sebesar 1 : 17. KESIMPULAN Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum penampilan reprodusi ternak kerbau di lokasi penelitian masih sama dengan penampilan reproduksi ternak kerbau yang berada di lokasi lainnya di tanah air Indonesia yakni ditandai dengan masih panjangnya jarak beranak mencapai lebih dari 12 bulan atau sekitar 16 bulan. Walaupun demikian secara khusus dapat ditunjukkan bahwa ternyata umur produktif kerbau lumpur 96
6 sangat panjang sehingga jika perkawinan dapat diefektifkan untuk menurunkan selang kelahiran (calving interval) dengan menggunakan pejantan yang baik maka ternak kerbau dapat menjadi andalan baru dalam swasembada daging sapi dan kerbau di Tanah Air. Disarankan agar kerbau yang perkawinannya dilaksanakan dengan IB agar dijaga betul-betul sehingga tidak dikawini oleh kerbau lain yang tidak diinginkan. DAFTAR PUSTAKA Arman C Penyigian Karakteristik Reproduksi Kerbau Sumbawa. Dalam: Subandriyo, Diwyanto K, Inounu I, Haryanto B, Djajanegara A, Priyanti A, Handiwirawan E, penyunting. Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm Dwiyanto K, Handiwirawan E Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Dalam: Subandriyo, Diwyanto K, Inounu I, Haryanto B, Djajanegara A, Priyanti A, Handiwirawan E, penyunting. Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sumbawa (Indones). hlm Fischer H, Bodhipaksha P. 1992: Reproduction in swamp buffaloes. In: Buffalo Production. Tulloh, NM. and Holmes, JHG.(eds.). 1st ed. Elsiever Science Publisher, Amesterdam, Netherland. Gordon I. 1996: Controlled Reproduction in Cattle and Buffaloes. 1st ed. CAB International, Willingford, UK.PP Jainudeen MR, Hafez ESE Reproductive failure in females. In: Reproduction in farm animals. 6th edition, Hafez ESE. (ed.). Lea & Febiger. Jill G Dairy Cow Mating. Health News 31 October Manawatu Standard. via ProQuest Information and Learning Company; All Rights Reserved. hlm Kazimi SE. 1983: Observations on behavioural changes during oestrus in Nili-Ravi buffalo heifers. Pakistan Vet J. 3: Kristianto LK Pengembangan Perbibitan Kerbau Kalang Dalam Menunjang Agrobisnis dan Agowisata di Kalimantan Timur. Subandriyo, Diwyanto K, Inounu I, Haryanto B, Djajanegara A, Priyanti A, Handiwirawan E, penyunting. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sumbawa (Indones). hlm Putu IG Aplikasi Teknologi Reproduksi Untuk Peningkatan Performans Produksi Ternak Kerbau Di Indonesia. Wartazoa 13: Rabie F Buffalo Sexual and Maternal Behaviour. Faculty of Veterinary Medicine, Cairo University. esarf_bcg/buffalo/sexbehav.html. Ditayangkan pada Rabu jam 11 WIB tanggal 13 April Situmorang P, Sitepu P Comparative growth performance, semen quality and draught capacity of the Indonesian swamp buffalo and its crosses. ACIAR Proc. No. 34: Toelihere MR Inseminasi Buatan pada ternak. Penerbit Angkasa Bandung. Zulbardi M, Kusumaningrum DA Penampilan Produksi Ternak Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhardono, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner Inovasi Teknologi Peternakan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dalam Mewujudkan Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, September Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm
UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK
UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK HASTONO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Salah satu upaya peningkatan sefisensi reproduksi ternak domba
Lebih terperinciPERFORMAN REPRODUKSI KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN MALANG.
PERFORMAN REPRODUKSI KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN MALANG. Suhendro, D. W., G. Ciptadi dan Suyadi Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
Lebih terperinciPERFORMAN REPRODUKSI KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN MALANG. Suhendro Dwi. W 1, Gatot Ciptadi 2 dan Suyadi 2
PERFORMAN REPRODUKSI KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN MALANG. Suhendro Dwi. W 1, Gatot Ciptadi 2 dan Suyadi 2 Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang
Lebih terperinciKAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI
KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI Terbatasnya sapi pejantan unggul di Indonesia, merupakan persoalan dalam upaya meningkatkan populasi bibit sapi unggul untuk memenuhi kebutuhan daging yang masih
Lebih terperinciKINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH
KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH (Beef Cattle Reproduction Performance at Farmer Level in Central Java Production Center) SUBIHARTA, B. UTOMO,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)
Lebih terperinciEVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG
EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG Putri Retno A, M. Nur Ihsan dan Nuryadi Bagian Produksi
Lebih terperinciPERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR
PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR Disajikan oleh: Dessy Ratnasari E 10013168, dibawah bimbingan: Ir. Darmawan 1) dan Ir. Iskandar 2) Jurusan Peternakan, Fakultas peternakan
Lebih terperinciTEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK
1 2 3 TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG N.L.G. Sumardani *, I.G.R. Maya Temaja, G.N.A. Susanta Wirya 2, N.M. Puspawati 2 ABSTRAK Penyuluhan dan
Lebih terperinciPENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH MELALUI KAWIN TEPAT WAKTU
PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH MELALUI KAWIN TEPAT WAKTU (Improvement Dairy Cattle Reproduction Efficiency through Appropriate Mating Time) HASTONO dan UMI ADIATI Balai Penelitian Ternak,
Lebih terperinciSTATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN
STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN Reproduction Potency and Output Population of Some Cattle Breeds In Sriwedari Village,
Lebih terperinciANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Potency Analysis of Feeders Beef Cattle at Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) SUMADI, WARTOMO HARDJOSUBROTO dan NONO NGADIYONO Fakultas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya
Lebih terperinciSalmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho
PERBANDINGAN TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DAN SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH (UPTD) PENGEMBANGAN TERNAK WONGGAHU By Salmiyati Paune, Fahrul Ilham, S.
Lebih terperinciKata Kunci : Kerbau Betina, Karakteristik Reproduksi, Tingkat Kesuburan. Keyword: Female Buffalo, Reproductive Characteristics, Fertility Rate
Volume, Nomor, Februari 07 Timur Kabupaten Simeulue (Reproductive Characteristics of Female Buffalo Simeulue, Simeulue Timur sub-district, district of Simeulue) Sabri Rasyid, Eka Meutia Sari, Mahyuddin
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
Lebih terperinciCARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).
CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi
Lebih terperincipenampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat
Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan
Lebih terperinciPENGARUH PENAMBAHAN KACANG KEDELAI ( Glycine max ) DALAM PAKAN TERHADAP POTENSI REPRODUKSI KELINCI BETINA NEW ZEALAND WHITE MENJELANG DIKAWINKAN
PENGARUH PENAMBAHAN KACANG KEDELAI ( Glycine max ) DALAM PAKAN TERHADAP POTENSI REPRODUKSI KELINCI BETINA NEW ZEALAND WHITE MENJELANG DIKAWINKAN S.M. Hadi Saputra, Sri Minarti, dan M.Junus Jurusan Produksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan
Lebih terperinciPENYIGIAN KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU SUMBAWA
PENYIGIAN KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU SUMBAWA CHAIRUSSYUKUR ARMAN Fakultas Peternakan Universitas Mataram Jl. Majapahit No. 62 Mataram 83125 Nusa Tenggara Barat ABSTRAK Survei yang bertujuan untuk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal
Lebih terperinciContak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility
REPRODUCTION PERFORMANCE OF BEEF CATTLE FILIAL LIMOUSIN AND FILIAL ONGOLE UNDERDISTRICT PALANG DISTRICT TUBAN Suprayitno, M. Nur Ihsan dan Sri Wahyuningsih ¹) Undergraduate Student of Animal Husbandry,
Lebih terperinciSISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA
SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA Nurgiartiningsih, V. M. A Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi
Lebih terperinciABSTRAK. Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham
ABSTRAK Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham *Mahasiswa Program Studi Peternakan Angkatan 2009 **Dosen Tetap Pada Program Studi Peternakan UNG *** Dosen Tetap Pada Program Studi
Lebih terperinciSERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR
SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR Vivi Dwi Siagarini 1), Nurul Isnaini 2), Sri Wahjuningsing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan II Membangun Kewirausahaan Dalam Pengelolaan Kawasan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal
APLIKASI KAWIN ALAM PADA SAPI POTONG MENGGUNAKAN KANDANG KELOMPOK MODEL LITBANGTAN DENGAN RASIO PEJANTAN DAN INDUK BERBEDA (The Application of Naturally Matting of Beef Cattle Using the Group Housing of
Lebih terperinciINOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU
INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU ENDANG TRIWULANNINGSIH Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 123, Bogor 16002 ABSTRAK Pengembangan ternak kerbau dilakukan melalui peningkatan populasi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA A.
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)
Lebih terperinciAnimal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p 1-7 Online at :
Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p 1-7 Online at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU DALAM PEMANFAATAN TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAK
Lebih terperinciPENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG
PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG Nuryadi dan Sri Wahjuningsih Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ABSTRAK Tujuan dari
Lebih terperinciIDENTIFIKASI POLA PERKAWINAN SAPI POTONG DI WILAYAH SENTRA PERBIBITAN DAN PENGEMBANGAN
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 26 IDENTIFIKASI POLA PERKAWINAN SAPI POTONG DI WILAYAH SENTRA PERBIBITAN DAN PENGEMBANGAN (Identifiying Mating Patterns of Beef Farming at the Center
Lebih terperinciPERFORMANS REPRODUKSI INDUK SAPI LOKAL PERANAKAN ONGOLE YANG DIKAWINKAN DENGAN TEKNIK INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA
PERFORMANS REPRODUKSI INDUK SAPI LOKAL PERANAKAN ONGOLE YANG DIKAWINKAN DENGAN TEKNIK INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA J. Kasehung *, U. Paputungan, S. Adiani, J. Paath Fakultas
Lebih terperinciKAJIAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI ACEH SEBAGAI INFORMASI DASAR DALAM PELESTARIAN PLASMA NUTFAH GENETIK TERNAK LOKAL
Jurnal Ilmiah Peternakan 3 (2) : 29-33 (2015) ISSN : 2337-9294 KAJIAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI ACEH SEBAGAI INFORMASI DASAR DALAM PELESTARIAN PLASMA NUTFAH GENETIK TERNAK LOKAL Study of Reproduction
Lebih terperinciEFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*
EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO Oleh : Donny Wahyu, SPt* Kinerja reproduksi sapi betina adalah semua aspek yang berkaitan dengan reproduksi ternak. Estrus pertama setelah beranak
Lebih terperinciLEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL
LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN BONGOMEME KABUPATEN GORONTALO SRI SURYANINGSIH SURIYATI NIM. 621409027 TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI Pembimbing
Lebih terperinciABSTRAK ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM
ABSTRAK ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM Ternak sapi merupakan potensi terbesar yang dimiliki oleh Kabupaten Karangasemkarena populasinya terbanyak di Bali.
Lebih terperinciKARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN
KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN (Body Measurement Characteristics of Swamp Buffalo in Lebak and Pandeglang Districts, Banten Province) SAROJI, R.
Lebih terperinciPENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS
PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS KADIRAN, R.DENNY PURNAMA DAN SUHARTO Balai Penelitian Ternak Bogor,Po.Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Suatu pengamatan mengenai periode fertil spermatozoa
Lebih terperinciPERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK
PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK ABSTRAK Tinggi rendahnya status reproduksi sekelompok ternak, dipengaruhi oleh lima hal sebagai berikut:
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik
Lebih terperinciJIMVET E-ISSN : Juni 2018, 2(3):
KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI ACEH MENGGUNAKAN SEMEN BEKU SAPI BALI, SIMENTAL, DAN LIMOSIN DI KECAMATAN MESJID RAYA KABUPATEN ACEH BESAR The Success of Artificial Insemination (AI) of Aceh
Lebih terperinciKONDISI PETERNAKAN KERBAU DI DESA TAMBAKBOYO KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN SEMARANG
KONDISI PETERNAKAN KERBAU DI DESA TAMBAKBOYO KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN SEMARANG (Buffalo Livestock Conditions in the Village of Tambakboyo Ambarawa Sub district, Semarang District) ISNANI HERIANTI,
Lebih terperinciPENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang
PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang RINGKASAN Suatu penelitian untuk mengevaluasi penampilan
Lebih terperinciANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA TERNAK KERBAU LUMPUR
ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA TERNAK KERBAU LUMPUR (Swamp buffalo) dengan SINKRONISASI ESTRUS DI KECAMATAN SIBORONGBORONG KABUPATEN TAPANULI UTARA SKRIPSI ROSINTA PASARIBU 110306012 PROGRAM
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan
Lebih terperinciAPLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT
APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT (Artificial Insemination Application Using Sexed Sperm in West Sumatera) EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN dan BAHARUDDIN TAPPA Pusat Penelitian
Lebih terperinciDINAMIKA POPULASI SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMONA UTARA KABUPATEN POSO
J. Agrisains 12 (1) : 24-29, April 2011 ISSN : 1412-3657 DINAMIKA POPULASI SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMONA UTARA KABUPATEN POSO Mobius Tanari 1), Yulius Duma 1), Yohan Rusiyantono 1), Mardiah Mangun 1)
Lebih terperincimenghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat
UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)
Lebih terperinciMoch. Makin, dan Dwi Suharwanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Makin, M. Dan Suharwanto, D., Performa Sifat Produksi dan Reproduksi Performa Sifat-Sifat Produksi Susu dan Reproduksi Sapi Perah Fries Holland Di Jawa Barat (Milk Production and Reproduction Performance
Lebih terperinciJURNAL TERNAK Vol. 06 No.01 Juni
ANALISIS PERBANDINGAN ANGKA CALVING RATE SAPI POTONG ANTARA KAWIN ALAMI DENGAN INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN DUKUN KABUPATEN GRESIK Ainur Rosikh 1, Arif Aria H. 1, Muridi Qomaruddin 1 1 Program Studi
Lebih terperinciPENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI JAMBI
PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI JAMBI ENDANG SUSILAWATI dan BUSTAMI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi ABSTRAK Kerbau termasuk ternak rumunansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak
Lebih terperinci(Reproduction Performance of Female Mud Buffalo (Bubalus Bubalis) In West Simeulue District Simeulue Regency)
Volume 1, Nomor 1, November 2016 Performans Reproduksi Kerbau Lumpur (bubalus bubalis) Betina di Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeulue (Reproduction Performance of Female Mud Buffalo (Bubalus Bubalis)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu
Lebih terperinciPERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA TIGA PERIODE KELAHIRAN DI SP 2 T, KUTT SUKA MAKMUR GRATI, PASURUAN
PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA TIGA PERIODE KELAHIRAN DI SP 2 T, KUTT SUKA MAKMUR GRATI, PASURUAN (The Performance of Ex-Import and Local Dairy Cattle Reproductive at Three Calving
Lebih terperinciAdrial dan B. Haryanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah Jalan G. Obos Km.5 Palangka Raya
Kinerja Reproduksi dan Analisa Usaha Pembibitan Sapi Potong Melalui Penerapan Inovasi Teknologi Budidaya di Perkebunan Sawit Kecamatan Parenggean, Kalimantan Tengah Adrial dan B. Haryanto Balai Pengkajian
Lebih terperinciPARAMETER INDIKATOR INBREEDING RATE PADA POPULASI TERNAK KERBAU DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN
PARAMETER INDIKATOR INBREEDING RATE PADA POPULASI TERNAK KERBAU DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN (Indicator Parameter of Inbreeding Rate of Buffalo Population in Lebak Banten Province) L.PRAHARANI,
Lebih terperinciFAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016
Naskah Publikasi KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG SIMMENTAL PERANAKAN ONGOLE (SIMPO) DI KECAMATAN EROMOKO KABUPATEN WONOGIRI Oleh: Muzakky Wikantoto H0508067 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan mendorong meningkatnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan peningkatan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi
Lebih terperinciSeminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan KERAGAAN BOBOT LAHIR PEDET SAPI LOKAL (PERANAKAN ONGOLE/PO) KEBUMEN DAN POTENSINYA SEBAGAI SUMBER BIBIT SAPI PO YANG BERKUALITAS Subiharta dan Pita Sudrajad
Lebih terperinciTINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti
TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION Dewi Hastuti Dosen Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim Abstrak Survai dilakukan terhadap
Lebih terperinciDINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG
Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000 DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG Kate kunck Populasi, produktivitas, kerbau R.H. MAToNDANG dan A.R. SiPEGAR
Lebih terperinciIDENTIFIKASI MANAJEMEN REPRODUKSI TERNAK PADA TIGA KELOMPOK PETERNAK KERBAU MELALUI DINAMIKA KELOMPOK
IDENTIFIKASI MANAJEMEN REPRODUKSI TERNAK PADA TIGA KELOMPOK PETERNAK KERBAU MELALUI DINAMIKA KELOMPOK IDENTIFICATION OF ANIMAL REPRODUCTIVE MANAGEMENT IN THREE BUFFALO FARMER GROUPS BASED ON GROUP DYNAMICS
Lebih terperinciANALISIS PERKEMBANGAN KERBAU RAWA (Bubalus bubalis) DI KANTONG BIBIT SAPI LOKAL KABUPATEN GROBOGAN
ANALISIS PERKEMBANGAN KERBAU RAWA (Bubalus bubalis) DI KANTONG BIBIT SAPI LOKAL KABUPATEN GROBOGAN (Analysis of Swamp Buffalo (Bubalus bubalis) Developmnet in the Local Beef Cattle Centre of Grobogan District)
Lebih terperinciKARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK
BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 1, Januari 2005, Halaman 43-48 http://bioscientiae.tripod.com KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT UU. Lendhanie Program Studi Ternak,
Lebih terperinciINDEK FERTILITAS SAPI PO DAN PERSILANGANNYA DENGAN LIMOUSIN
INDEK FERTILITAS SAPI PO DAN PERSILANGANNYA DENGAN LIMOUSIN Moh. Nur Ihsan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Suatu penelitian untuk mengetahui indeks fertilitas
Lebih terperinciAgros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN
Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: 207-213 ISSN 1411-0172 TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN TERNAK SAPI POTONG DI DISTRIK NIMBOKRANG, JAYAPURA SUCCESS RATE OF CATTLE ARTIFICIAL INSEMINATION
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI OPTIMALISASI REPRODUKSI SAPI BETINA LOKAL (un identified bred) DENGAN TIGA SUMBER GENETIK UNGGUL MELALUI INTENSIFIKASI IB Ir. Agus Budiarto, MS NIDN :
Lebih terperinciPENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN SIMMENTAL DI KABUPATEN TULUNGAGUNG JAWA TIMUR
PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN SIMMENTAL DI KABUPATEN TULUNGAGUNG JAWA TIMUR Desinawati, N. dan N. Isnaini Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian tentang
Lebih terperinciKERAGAAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN TABANAN BALI
KERAGAAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN TABANAN BALI (The Reproductive Performance of Bali Cattle at Small Holder Farmers in Tabanan Bali) ENDANG ROMJALI dan AINUR RASYID
Lebih terperinciCOMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE OF IMPORTED HOLSTEIN
PERBANDINGAN PERFORMA REPRODUKSI SAPI PERAH FRIES HOLLAND IMPOR DAN KETURUNANNYA DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE
Lebih terperinciBEBERAPA FAKTOR YANG MEMENGARUHI SERVICE PER CONCEPTION PADA SAPI BALI DI KABUPATEN PRINGSEWU
BEBERAPA FAKTOR YANG MEMENGARUHI SERVICE PER CONCEPTION PADA SAPI BALI DI KABUPATEN PRINGSEWU Some Factors Influences Service Per Conception of Bali Cattles in Pringsewu Regency Dwi Haryanto a Madi Hartono
Lebih terperinciPERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN
PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT
Lebih terperinciKinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo
Tropical Animal Husbandry Vol. 2 (1), Januari 213: 21-27 ISSN 231-21 Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo S. Fanani, Y.B.P. Subagyo dan
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi saudara tiri dan regresi anak-induk berturut turut 0,60±0,54 dan 0,28±0,52. Nilai estimasi heritabilitas
Lebih terperinciSexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour
Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron
Lebih terperinciPENAMPILAN BUDIDAYA KERBAU DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN (KASUS DESA HARKATJAYA KECAMATAN SUKAJAYA)
PENAMPILAN BUDIDAYA KERBAU DAN PELUANG PENGEMBANGANNYA MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN (KASUS DESA HARKATJAYA KECAMATAN SUKAJAYA) (Profile of Buffallo Management and Its Development Through Improved of Management:
Lebih terperinciPERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN (The Growth Performance of Kosta Kids During Preweaning
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
8 Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No. Parameter Nilai Interpretasi 1. Kekuatan Korelasi (r) 2. Nilai p 3. Arah korelasi
Lebih terperinciSTUDI UJI PERFORMANS TERNAK SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU, SULAWESI SELATAN (PRELIMINARY STUDY) Abstrak
STUDI UJI PERFORMANS TERNAK SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU, SULAWESI SELATAN (PRELIMINARY STUDY) Muhammad Yusuf 1, Jasmal A. Syamsu 2, Lellah Rahim 1, Hikmah M. Ali 1 1 Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan
Lebih terperinciAGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017
109 DINAMIKA POPULASI TERNAK KERBAU DI LEMBAH NAPU POSO BERDASARKAN PENAMPILAN REPRODUKSI, OUTPUT DANNATURAL INCREASE Marsudi 1), Sulmiyati 1), Taufik Dunialam Khaliq 1), Deka Uli Fahrodi 1), Nur Saidah
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan 4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS (Ultra Peternakan Bandung Selatan) berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Lebih terperinciBAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret
BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang evaluasi keberhasilan inseminasi buatan sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2014 sampai 4 Mei 2014.
Lebih terperinciHUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG
HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG Mohammad jamaludin 1, Sumartono 2, Nurul Humaidah 2 1 Mahasiswa
Lebih terperinciPRODUKTIVITAS INDUK KERBAU RAWA (Bubalus bubalis) DITINJAU ASPEK KINERJA REPRODUKSI DAN UKURAN TUBUH DI KECAMATAN TEMPURSARI KABUPATEN LUMAJANG
PRODUKTIVITAS INDUK KERBAU RAWA (Bubalus bubalis) DITINJAU ASPEK KINERJA REPRODUKSI DAN UKURAN TUBUH DI KECAMATAN TEMPURSARI KABUPATEN LUMAJANG Mufiidah, N., M. Nur Ihsan dan H. Nugroho Bagian Produksi
Lebih terperinciKinerja Reproduksi Induk Sapi Potong pada Usaha Peternakan Rakyat di Kecamatan Mojogedang
Sains Peternakan Vol. 13 (2), September 2015: 73-79 ISSN 1693-8828 Kinerja Reproduksi Induk Sapi Potong pada Usaha Peternakan Rakyat di Kecamatan Mojogedang J. Riyanto *, Lutojo dan D. M. Barcelona Program
Lebih terperinciPERBEDAAN PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PO DAN BRAHMAN CROSS DI BERBAGAI LOKASI DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR
PERBEDAAN PERFORMAN REPRODUKSI SAPI PO DAN BRAHMAN CROSS DI BERBAGAI LOKASI DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR (Comparative Study on Reproductive Performance of Ongole Cross and Brahman Cross Cattle in Central
Lebih terperinciSyahirul Alim, Lilis Nurlina Fakultas Peternakan
Hubungan Antara Karakteristik dengan Persepsi Peternak Sapi Potong terhadap Inseminasi Buatan (The Relationship between Beef Cattle Farmer s Caracteristic and Its Perception toward Artificial Insemination)
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto
Lebih terperinciF.K. Mentari, Y. Soepri Ondho dan Sutiyono* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PENGARUH UMUR TERHADAP UKURAN EPIDIDIMIS, ABNORMALITAS SPERMATOZOA DAN VOLUME SEMEN PADA SAPI SIMMENTAL DI BALAI INSEMINASI BUATAN UNGARAN (The
Lebih terperinci