BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap"

Transkripsi

1 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap perubahan sosial yang terjadi di berbagai negara. Salah satunya di negara berkembang seperti Indonesia. Pengaruh tersebut ditenggarai mengubah arah gerak manusia di berbagai sektor kehidupan, baik meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Tak jarang pengaruh yang menyebabkan perubahan sosial tersebut telah melibatkan manusia secara global, termasuk anak sebagai individu yang memiliki hak yang sama sebagai manusia sekaligus warga negara. Namun, permasalahan yang menyangkut anak, seperti kekerasan dalam pola asuh, tontonan komersial yang kurang mendidik, kasus kekerasan pada anak secara fisik maupun psikis, isu trafficking, eksploitasi anak, pelecehan seksual, Anak Bermasalah dengan Hukum (ABH) hingga kasus anak terjerat narkoba, hingga kini tak kunjung usai untuk diselesaikan. Berbagai permasalahan tersebut, telah menyebabkan lingkungan menjadi tidak responsif bagi anak. Kondisi demikian, menjadi satu gambaran bahwa kepentingan anak masih menjadi aspek yang terpinggirkan dalam kehidupan. Kenyataan ini pun menegaskan bahwa tidak hanya orang tua dan masyarakat saja yang dirugikan. Melainkan juga negara. Bila hal tersebut terus terjadi, tidak disangsikan bahwa aspek tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa akan mengalami kemunduran. Mencermati hal tersebut, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menangani berbagai permasalahan menyangkut anak melalui Keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights 1

2 of the Child) yang kemudian dikenal dengan Konvensi Hak Anak. Konvensi tersebut menjadi bagian dari Hukum Internasional yang bersifat mengikat bagi setiap negara peserta. Tujuan utamanya ialah, negara berkewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak anak dengan mengacu pada beberapa prinsip umum yakni : tindakan non-diskriminasi, memprioritaskan kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan kelangsungan hidup, perkembangan pada anak, serta memberikan apresiasi pada pendapat yang dikemukakan oleh anak. Sebagai bentuk tindak lanjut atas tingginya permasalahan dan kasus pada anak di Indonesia, melalui Laporan Akhir Kajian Pengembangan Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta (2012), pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) telah menetapkan program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) pada tahun 2015 yang mengacu pada beberapa bidang pokok. Bidang-bidang tersebut mencakup beberapa hal berikut, yakni : (1). Promosi hidup sehat ; (2). Penyediaan pendidikan berkualitas ; (3). Perlindungan pada anak terkait perlakuan salah ; (4). memerangi HIV/AIDS. Hingga akhirnya, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagai dasar hukum bagi kehidupan anak di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengakomodir berbagai bidang pokok program PNBAI serta sarana dalam menyikapi berbagai realitas permasalahan yang terjadi pada anak. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah pun berupaya membentuk Kota Layak Anak dengan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 mengenai aturan Kebijakan/Kota Layak Anak. Tujuannya sebagai bentuk realisasi dari progam PNBAI serta Undang-undang No 23 Tahun Dimana, Kota Layak Anak menjadi sarana dalam mempercepat 2

3 pemenuhan hak anak sekaligus memberikan perlindungan kepada anak selaku warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan negara. Dalam Draft RAD KLA Kota Yogyakarta tahun 2012 menyebutkan bahwa saat ini proporsi anak yang tinggal di perkotaan telah mencapai 43,42 % dengan pertumbuhan jumlah anak Indonesia yang mencapai 4,4 % pertahunnya. Jumlah ini menjadi salah satu bukti bahwa anak memiliki muatan kepentingan yang sama sebagai warga negara untuk mengakses kehidupan. Dalam pelaksanaannya, Kota Layak Anak mengacu pada 5 kluster hak anak yang perlu dipenuhi nantinya : pertama, hak kebebasan, kedua hak anak untuk mendapatkan lingkungan dan pengasuhan alternatif, ketiga hak anak untuk mendapatkan kesehatan dasar serta kesejahteraan, keempat, hak mendapatkan pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya serta kelima, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus. Sementara saat ini, sebuah sumber online ( 2012) menyebutkan bahwa pemerintah telah memfasilitasi setidaknya 60 Kabupaten/Kota untuk menjadi Kota Layak Anak dan 40 Kabupaten/kota diantaranya telah berjalan secara mandiri. Artinya, pembentukan Kota Layak Anak tersebut tidak lagi menjadi bagian dari pilot project pemerintah yang penggunaan anggarannya langsung dari APBN, melainkan menjadi tanggungan dari pemerintah daerah dengan mengalokasikan dana APBD untuk membentuk wilayahnya menjadi Kota Layak Anak berdasarkan indikator yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Menyikapi hal tersebut, pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini turut serta mengambil bagian secara mandiri untuk merealisasikan Kota Layak Anak di wilayahnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Yogyakarta merupakan salah satu kawasan dengan tingkat pertumbuhan migrasi yang tinggi serta wilayah 3

4 yang strategis dalam menumbuhkan iklim pendidikan dan ekonomi bagi anak dan warganya. Akan tetapi, kondisi ini justru disinyalir akan menimbulkan tekanan dan permasalahan baru yang lazimnya terjadi pada kota-kota besar lainnya di Indonesia. Penyediaan pelayanan dasar seperti : perumahan, pendidikan, kesehatan, dan peluang untuk kerja dirasakan semakin terbatas. Terlebih, pertumbuhan tersebut diiringi oleh laju bertambahnya penduduk pada kategori anak berusia 0-18 tahun yang rentan memiliki masalah sosial yang umumnya terjadi. Karenanya, anak-anak kerap menghadapi resiko kekerasan baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, maupun ditempat-tempat umum seperti tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempattempat ibadah dan lain-lain. Disamping itu, tekanan kehidupan dengan alasan ekonomi serta pengaruh lingkungan dinilai menjadi latar belakang tingginya permasalahan yang terjadi pada anak. Modernitas dan pengaruh iklim ekonomi industri telah memberikan tekanan pada faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial bagi manusia. Temuan data dari Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak DIY yang diakses melalui ( 2012) menjelaskan bahwa Kota Yogyakarta menempati peringkat teratas kasus kekerasan pada perempuan dan anak di tahun 2010 dan Data dari Komisi Perlindungan Anak menurut UCAN Indonesia (2012) menyebutkan bahwa tahun 2009, kekerasan pada anak mencapai angka kasus, sedangkan di tahun 2010 terdeteksi sebanyak kasus yang ditemukan, hingga pada tahun 2011 mengalami kenaikan mencapai kasus. Pihak Komisi Nasional Perlindungan Anak menjelaskan bahwa pada tahun 2011 kekerasan yang terjadi banyak dilakukan oleh orang tua kandung dengan persentase sebesar 44,32 %, teman 4

5 25,9 %, tetangga 10,9 %, orang tua tiri 9,8 %, guru 6,7 % dan saudara 2 %. Lebih lanjut, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) menyatakan bahwa kekerasan pada anak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain : (1). Disfungsi peran orang tua dalam keluarga yang berdampak pada pertikaian dan broken home ; (2). Pandangan yang keliru mengenai posisi anak dalam keluarga ; (3). Ketidakstabilan emosi pada orang tua sehingga kemarahan kerap kali menyasar pada anak ; (4). Faktor ekonomi dan kemiskinan yang dinilai sangat rentan sebagai penyebab kekerasan pada anak. Untuk itu, agar iklim yang terbentuk dapat kondusif, perhatian pemerintah Kota Yogyakarta terhadap wilayah agar dapat layak terhadap anak menjadi satu hal penting untuk diwujudkan. Berdasarkan temuan yang terjadi, permasalahan pada anak tentu saja mencuri perhatian yang besar bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya. Untuk itu, sebagai sarana dalam merealisasikan hak anak dan meminimalisir berbagai permasalahan yang melibatkan anak, Pemerintah Kota Yogyakarta, melalui KPMP (Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan) memandang bahwa pemenuhan hak anak dapat diupayakan melalui unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga dan lingkungan sosial anak. Untuk kemudian berlanjut pada basis kelompok masyarakat yang lebih luas melalui struktur kelembagaan yang lebih tinggi di suatu wilayah. Keluarga dipandang menjadi komponen penting dalam membentuk kebutuhan secara fisik, spriritual, emosi, dan intelektual pada anak. Namun, struktur sosial lainnya di level yang lebih tinggi seperti RW memiliki peran yang jelas tidak dapat dikesampingkan. Rukun warga atau RW memegang peran penting setelah keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan Hak Anak. Karena pada level ini, 5

6 relasi antara keluarga dan masyarakat akan dibingkai dalam tatanan sosial yang lebih kompleks. Sehingga dapat menjadi ruang sosial dalam memberikan pengaruh, kesadaran dan pengetahuan mengenai Hak Anak yang secara timbal balik dimiliki oleh keluarga dan masyarakat. Pada tahun 2010 melalui peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, pemerintah Kota Yogyakarta merintis Pilot Poject Kampung Ramah Anak sebagai pengembangan Kota Layak Anak yang saat ini tengah direalisasikan di Kota Yogyakarta. Program ini menjadi satu-satunya pengembangan Kota Layak Anak di Indonesia yang menggunakan kelompok RW (Rukun Warga) di wilayah Kampung sebagai basisnya. Melalui pengembangan ini, diharapkan Kampung Ramah Anak menjadi sarana dalam memberikan ruang yang responsif terhadap Hak Anak sesuai dengan program PNBAI dan UU No 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Perempuan dan Anak. Dalam realisasinya, pilot project Kampung Ramah Anak telah dikembangkan di dua wilayah Kampung di Kota Yogyakarta yakni : di RW 11 Kampung Badran dan RW 7 Kampung Dagaran. Bila ditinjau secara geografis dan sosiologis, terdapat karakteristik dan perbedaan yang nyata dari dua kampung tersebut. Bila Kawasan Dagaran RW 7 merupakan kawasan padat penduduk yang jauh dari bantaran sungai, tidak demikian halnya dengan wilayah RW 11 Kampung Badran. Wilayah RW 11 Kampung Badran memiliki posisi geografis yang berada di dekat bantaran Sungai Winongo dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Lazimnya kawasan yang terletak di dekat bantaran sungai, Kampung Badran menjadi pilihan tempat tinggal bagi para kaum urban yang bermigrasi ke wilayah 6

7 Kota Yogyakarta. Sebagai kaum urban, mereka umumnya mengadu nasib dengan melakoni pekerjaan yang tidak tetap di sektor informal perkotaan. Sehingga kelompok masyarakatnya memiliki kategori penghasilan menengah ke bawah dengan rata-rata pendidikan yang masih minim. Disamping itu, bertempat tinggal di wilayah bantaran sungai menjadi pilihan utama karena akses air sebagai sumber kehidupan dirasa lebih murah diperoleh serta harga tanah dan sewa rumah relatif terjangkau. Meskipun bentuk dan tata letak bangunan tidak tertata secara teratur. Namun, oleh penduduk, hal ini tetap saja dianggap mampu mengakomodir kehidupan masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Inilah yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kampung di wilayah pinggir sungai kerap diidentikkan sebagai wilayah kumuh yang erat dengan potret kemiskinan. Serta dianggap bersinggungan dengan masalah sosial yang rentan menimpa anak. Disamping itu, aspek sejarah yang melekat sejak lama di Kampung Badran telah memberikan image negatif yang melekatkan nama Kampung Badran sebagai Kampung Preman di era tahun 1970-an. Hingga kini, stigma tersebut belum dapat pudar dan masih dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang bermukim di Kampung Badran. Permasalahan dalam fenomena tersebut, lantas dilihat oleh pemerintah kota melalui KPMP sebagai celah dalam memperbaiki wilayah Badran secara umum. Bergulirnya program kampung ramah anak, dinilai menjadi suatu terobosan yang dapat merekonstruksi kondisi sosial dan anak di wilayah tersebut. Sebagai bentuk kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah, program Kampung Ramah Anak telah melalui proses dan tahapan panjang agar implementasinya responsif terhadap warga di RW 11 Kampung Badran. 7

8 Meski demikian, sebagai sebuah implementasi program, Kampung Ramah Anak tidak lepas dari beragam permasalahan. Realitas yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa nilai sejarah serta kemajemukan kondisi sosial, ekonomi, budaya yang dialami oleh masyarakat di RW 11 Kampung Badran telah menyajikan ruang bagi warganya untuk mengkonstruksi dan memberikan makna secara subyektif terhadap keberadaan Kampung Ramah Anak saat ini. Hal ini senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Berger dan Luckhman (1990) bahwa suatu fenomena yang terjadi pada masyarakat, tidak terlepas dari suatu sejarah yang khas, sehingga keberadaannya tidak dapat digeneralisir begitu saja melalui narasi besar. Melainkan terjadi melalui proses dialektis yang berjalan secara simultan dengan basis pengetahuan akal sehat serta realitas yang akhirnya diproduksi sebagai produk sosial baru dalam masyarakat yang bersangkutan. Konstruksi sosial dan makna menjadi sebuah realitas yang terakumulasi oleh adanya pengetahuan dan pengalaman kehidupan dari warga masyarakatnya. Sehingga dalam implementasi Kampung Ramah Anak yang terjadi, proses dialektis terhadap realitas akan berlangsung secara terus menerus dan berkelanjutan. Serta keberadannya tidak dapat dilepaskan dari beragam peran aktor, pengetahuan dan proses interaksi sosial, sosialisasi dan tindakan subyektif yang dilakukan oleh masyarakatnya. Sejauh ini, seringkali program yang hadir dalam masyarakat merupakan kepanjangan tangan dari program pemerintah yang dipaksakan untuk direalisasi. Hak Anak yang menjadi indikator dalam program Kampung Ramah Anak, telah mengalami kondisi dilematis dengan kenyataan sosial yang terjadi. Meskipun dalam tataran teori masyarakat seringkali ditempatkan sebagai subjek dna objek. Namun, 8

9 membentuk realitas sosial baru di wilayah kampung, tidak akan pernah lepas dari kondisi sosial dan budaya di wilayah tersebut. Berangkat dari hal tersebut, selama ini penelitian dengan pendekatan kualitatif mengenai konstruksi dan makna kampung ramah anak memang belum tersedia. Penelitian yang ada cenderung mengarah pada evaluasi pelaksanaan program Kota Layak Anak yang dilakukan melalui pendekatan kuatitatif. Pada penelitian kali ini, permasalahan mengenai konstruksi dan makna menjadi kajian menarik untuk diteliti. Hal ini karena, penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan berpijak pada perspektif konstruksi sosial dan makna yang lahir dari sudut pandang warga selaku subjek dan objek program yang tengah diimplementasi. Sejauh mana konstruksi warga mengenai kampung ramah anak yang selama ini telah diidealisasi dalam program. Konstruksi sosial menjadi suatu proses yang berlangsung secara dialektis dan bertujuan membangun pengetahuan dan realitas yang tengah terjadi. Sedangkan makna dalam konstruksi sosial hadir dalam setiap kenyataan subyektif yang ada dalam diri individu. Kenyataan subjektif yang berbeda-beda tersebut nantinya akan menyebabkan keberagaman dalam makna yang dibentuk oleh individu mengenai Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta Rumusan Masalah Dari latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah : 1. Bagaimana konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 di Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak? 9

10 2. Bagaimana warga memaknai Kampung Ramah Anak yang di Implementasikan di RW 11 Kampung Badran, Yogyakarta? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk memahami konstruksi sosial mengenai Kampung Ramah Anak yang dilakukan oleh warga RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta. 2. Untuk menganalisis konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran terkait dengan pelaksanaan Program Kampung Ramah Anak di wilayah Badran. 3. Untuk memahami makna Kampung Ramah Anak bagi warga RW 11 Kampung Badran, Yogyakarta Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis 1. Memberikan pemahaman secara utuh mengenai konstruksi sosial dan makna yang dibangun oleh warga masyarakat RW 11 mengenai Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta. 2. Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama di bidang ilmu sosial. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan yang relevan untuk penelitian sejenis di masa mendatang. B. Manfaat Praktik 1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada pembaca. Sehingga, para pembaca mampu memahami konstruksi sosial dan makna yang dibangun 10

11 oleh masyarakat RW 11 mengenai Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta. 2. Memberikan kajian sekaligus pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan yang berkaitan dengan Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung Badran maupun Kampung lainnya yang akan mengimplementasikan program Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta. 1.5 Penelitian Terdahulu Kota Layak Anak menjadi salah satu kebijakan program yang dinilai strategis dalam menjamin kesejahteraan pada anak. Keberlangsungan Kota Layak Anak dalam beberapa tahun ini, telah banyak menghasilkan penelitian dan tinjauan teoritis yang hadir sebagai upaya memberikan gambaran secara holistik mengenai pelaksanaan Kebijakan Kota Layak Anak di Indonesia. Salah satu penelitian dari Henry Purwoko (2010) mengenai Efektivitas kemitraan antar stakeholder dalam mewujudkan Kota layak anak (KLA) di Surakarta tahun 2016 menunjukkan bahwa pelaksanaan kemitraan Kota Layak Anak di Kota Surakarta dinilai belum mampu terlaksana secara efisien. Hal ini karena ketidakjelasan pada aturan dan pengelolaan jaringan kemitraan yang buruk. Sehingga memunculkan hambatan teknis pada pola komunikasi dan distribusi informasi. Komitmen dan kemauan menjadi titik point untuk membawa perubahan pada hubungan kemitraan dari seluruh stakeholder. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Dodi Widiyanto dan R. Rijanta (2012), keduanya menjelaskan mengenai lingkungan kota layak anak (child-friendly city) berdasarkan persepsi orangtua di kota yogyakarta. Penelitian menjelaskan 11

12 bahwa ada beberapa faktor dalam menganalisis kondisi lingkungan yang ramah anak. yakni, kebijakan yang dihasilkan pemerintah, kondisi lingkungan dan perencanaan untuk anak itu sendiri. Candrika Pradipta Apsari (2011) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa dalam Pelaksanaan Kebijakan Program Kota Layak Anak di Kota Surakarta telah dilaksanakan berdasarkan Pedoman Kota Layak Anak dengan prosedur yang melibatkan : Pengumpulan baseline data, penentuan indikator, pengidentifikasian permasalahan anak, serta berbagai kegiatan dalam pelaksanaan pengembangan Kota Layak Anak hingga proses evaluasi dan monitoring. Disamping itu, dalam penelitian ditemukan hambatan dalam proses pelaksanaan pengembangan Kegiatan Kota Layak Anak di Surakarta yakni permasalahan mengenai komunikasi, serta minimnya sosialisasi kepada masyarakat hingga proses pendanaan program. Secara umum, masalah yang diangkat dalam penelitian terdahulu, lebih banyak menyoroti pada kajian evaluasi terhadap kebijakan program Kota Layak Anak yang telah dilaksanakan di daerah tertentu dengan menggunakan perspektif dari pihak pemerintah selaku penyelenggara program. Belum sampai pada aspek kajian yang secara substantif membahas pemahaman masyarakat tatkala Kota Layak Anak terimplementasi sebagai sebuah program pemerintah. Dengan demikian, penelitian yang mengangkat permasalahan konstruksi sosial dan makna secara integratif mengenai Kampung Ramah Anak belum ada hingga saat ini. Sehingga, dianggap perlu sebagai kajian untuk memahami realitas sosial program yang diambil berdasarkan persepsi warga yang bersangkutan. 12

13 1.6 Definisi Konseptual A. Kampung Ramah Anak Sebagai Implementasi Kebijakan KLA Sebagai upaya mempercepat pemenuhan hak pada anak, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) telah berinisitif membentuk program Kampung Ramah Anak. Kampung Ramah Anak diselenggarakan di dua wilayah sebagai bentuk pilot project. Istilah Pilot project (proyek percontohan) merupakan kegiatan yang menjadikan suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah sebagai percontohan bagi kawasan lainnya, serta berjalan sesuai dengan sasaran program yang telah dibentuk dalam aturan. Implementasi kebijakan ini memuat aturan yang telah terlegitimasi secara hukum, sehingga seluruh komponen yang terlibat bersama-sama melakukan tindakan dalam mencapai tujuan kebijakan. Dalam penerapan Kampung Ramah Anak, wilayah Kampung dianalisis sebagai satu kesatuan unit terkecil setelah keluarga untuk dapat mengakomodir berbagai indikator Kampung Ramah Anak yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan menurut UNICEF melalui Innocenty research menjelaskan bahwa kata ramah anak berarti menjamin kondisi anak beserta haknya dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian, Kampung Ramah Anak dapat didefinisikan sebagai tempat memberikan ruang interaksi agar masyarakat lebih mudah dalam sosialisasi dan pembangunan kesadaran mengenai hak-hak pada anak. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Kota Layak Anak Kota Yogyakarta (2012:113) menjelaskan bahwa : Kampung ramah anak adalah satuan program yang dilakukan oleh warga yang tergabung dalam rukun kampung berupa usaha pemenuhan hak sipil anak untuk memberikan kesempatan tumbuh dan berkembang berdasarkan kondisi realistik menuju kampung yang mampu memberi kenyamanan, layak huni, dan layak kembang dengan dasar kesehatan, pendidikan serta 13

14 perlindungan hukum berdasarkan inisiatif mandiri. Program ini dilaksanakan terintegrasi dengan kegiatan rukun wilayah dan rukun tetangga sebagai pemenuhan kebutuhan dasar hidup. Seperti halnya Kota Layak Anak, pengembangan program Kampung Ramah Anak yang hadir di RW 11 Kampung Badran memiliki landasan hukum yang meliputi aturan sebagai berikut : 1. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. 2. Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak- hak anak (Convention on The Rights of The Child) 3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak. 4. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak. Disamping itu, dalam usaha membentuk Kampung Ramah Anak, ada prasyarat penting yang perlu dipenuhi. yakni : Adanya komitmen pengambil kebijakan di tingkat lokal dan inisiatif dari masyarakat yang bersangkutan. Setelah kedua hal tersebut dipenuhi, Ifa Aryani (LSPPA, 2012) menjelaskan bahwa ada beberapa langkah dalam pembentukan Kampung Ramah Anak yaitu : 14

15 Gambar 1.1 Langkah Pembentukan Kampung Ramah Anak Sosialisasi Kebijakan Kota Layak Anak Membangun komitmen bersama Focus Grup Discussion Pendampingan Workshop penyusunan program kegiatan Pembentukan gugus tugas Kampung Ramah Anak dan Forum Anak Monitoring dan Evaluasi Sumber : Ifa Aryani (LSPPA, 2012) Tahapan-tahapan tersebut menjadi pijakan dalam membentuk Kampung Ramah Anak agar sesuai dengan program yang telah dirancang secara berkelanjutan. Serta mencapai tujuan sesuai indikator penilaian berjenjang yakni tingkatan pratama, madya, nindya, utama dan berakhir pada, kampung ramah anak sebagai tingkat yang ideal. Setelah semua dipenuhi, pengembangan Kampung Ramah Anak akan berlanjut pada tataran yang lebih masif yakni tingkat kecamatan dan berakhir pada penguatan tujuan utama Kota Layak Anak itu sendiri. Kampung ramah anak merupakan wujud nyata peningkatan kepedulian yang menjamin pemenuhan anak di tingkat kampung serta memastikan upaya memberikan perhatian pada kebutuhan aspirasi, perhatian, serta penghargaan pada anak tanpa adanya diskriminasi (RAD KLA Yogyakarta, 2012 : 3). Hal ini sesuai dengan tujuan dasar dari program Kampung Ramah Anak yang merupakan bentuk tindak lanjut Kota Yogyakarta menuju Kota Layak Anak serta dapat menemukan isu 15

16 strategis mengenai anak sekaligus memecahkannya dengan kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan dan perlindungan anak. Disamping itu, dalam Rencana Aksi Daerah KLA Yogyakarta (2012 : 3) juga menyebutkan bahwa Kampung Ramah Anak diharapkan dapat mempercepat proses pemenuhan hak anak. Sehingga wilayah yang bersangkutan diharapkan layak secara fisik maupun non fisik dalam memenuhi kebutuhan dan hak-hak pada anak. Pembangunan kampung ramah anak diharapkan dapat menyatukan komitmen dan sumber daya kampung, masyarakat dan dunia usaha yang berada di kampung untuk dapat menghormati, menjamin dan memenuhi hak anak, melindungi anak dari tindakan kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan diskriminasi dan mendengar pendapat anak yang direncanakan secara sadar, menyeluruh dan berkelanjutan. Untuk mencapai itu semua, diperlukan adanya peran serta pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk menciptakan sebuah kebijakan yang berpihak terhadap anak. Adapun wujud kebijakan tersebut berupa sarana dan prasarana penujang fisik bagi anak dan aktivitas wilayah dengan program kegiatan kampung ramah anak yang bertujuan memenuhi hak-hak pada anak (Rencana Aksi Daerah KLA Yogyakarta, 2012 : 3). Sebagai langkah awal, pada tanggal 22 Juli 2010 diadakan launching Kampung Badran Menuju Kampung Ramah Anak oleh Walikota Kota Yogyakarta di RW 11 Kampung Badran. Menurut Ifa Aryani (2012), dipilihnya Kampung Badran dan sebagai pilot project pengembangan Kampung Ramah Anak tidak lepas dari pertimbangan berikut : 1. Jumlah anak yang cukup signifikan hingga mencapai angka 275 anak dengan kategori usia 0-18 tahun. Anak-anak tersebut hidup dan tumbuh dengan latar 16

17 belakang kehidupan sosial-budaya yang beragam. Sehingga diharapkan dapat menjadi contoh untuk wilayah lain dalam penerapan sekaligus pendampingan program ke depan. 2. Adanya motor penggerak dalam rangka memotivasi wilayah bersama-sama dengan lembaga kemasyarakatan yang ada di wilayah. 3. Di Kampung Badran RW 11 Kelurahan Bumijo terdapat bibit lembaga yang memiliki potensi untuk dapat ikut serta berperan dalam pemenuhan hak anak. 4. Adanya dukungan para pihak, baik dari kecamatan, kelurahan, dunia usaha, organisasi masyarakat di wilayah yang dinilai antusias kegiatan ini. 5. Kampung Badran mewakili zona utara yang memiliki lokasi padat penduduk dan letaknya dekat dengan bantaran sungai Winongo. Sehingga banyak warga pendatang dengan variasi kelas yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke bawah datang. Alhasil, dengan kondisi ekonomi dan sosial yang tidak memadai, maka hal tersebut, disinyalir memiliki kaitan terhadap perlakuan pola asuh orang tua pada anak-anaknya. Untuk membantu pelaksanaan kegiatan Kampung Ramah Anak, KPMP membentuk gugus tugas kota layak anak. Gugus tugas Kota Layak Anak merupakan institusi yang dibentuk sebagai sarana dalam merumuskan konsep dan pengembangan Kampung Ramah anak serta menjalin interaksi sosial melalui mekanisme bottom-up dalam merealisasikan kampung ramah anak sebagai unit dasar pembentukan Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta. Dalam merealisasikan Kampung Ramah Anak, maka gugus tugas Kota Layak Anak lantas melakukan 3 tahapan berikut : 1). Tahapan pertama di tahun 1 mengambil fokus pada sosialisasi Program Kegiatan Kampung Ramah Anak di wilayah sasaran, 2). Tahapan kedua di 17

18 tahun 2 mengambil fokus pada pelembagaan meliputi : Penguatan kelembagaan Kampung Ramah Anak, workshop kampung ramah anak yang bertujuan untuk membangun sistem dan jaringan sosial, monitoring, evaluasi dan pelaporan pendampingan, 3). Tahapan ketiga di tahun 3 berfokus pada kemandirian yang berupa : pemantapan program, monitoring, evaluasi dan pendampingan, menjadi pendamping bagi kampung lain di sekitarnya untuk menuju kampung ramah anak. Selanjutnya, pada proses pendampingan dan pembinaan, dilakukan secara berkelanjutan dengan jangka waktu selama 2 tahun atau sesuai dengan kebutuhan wilayah. Meskipun demikian, dalam kurun waktu tersebut pendampingan dapat dihentikan dengan alasan berikut : 1). Hilangnya komitmen dari masyarakat pada program Kampung Ramah Anak, 2). Tidak ada tindak lanjut atas rencana kegiatan yang sudah disepakati dengan tim pendamping, 3). Tidak menyampaikan laporan kemajuan kegiatan, 4). Alokasi bantuan dana yang diberikan tidak sesuai dengan peruntukan dan tujuan yang telah disepakati. Dalam Buku Pedoman Kampung Ramah Anak Kota Yogyakarta (2012) dijelaskan bahwa proses pembinaan merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk memastikan pelaksanaan kegiatan dan komitmen masyarakat dalam mewujudkan kampung ramah anak. Pembinaan dilaksanakan untuk dapat memberikan solusi yang berguna dalam mengatasi permasalahan anak. Sekaligus bentuk pengoptimalan pelaksanaan program kegiatan di Kampung Ramah Anak. Proses pendampingan dilaksanakan oleh tim pendamping Kota Layak Anak dan tim pendamping Kampung Ramah Anak. Pelaksanaan Pembinaan dilakukan dengan cara berikut : analisa laporan, koordinasi dan kunjungan lapangan. Hasil pendampingan digunakan sebagai masukan bagi pembinaan selanjutnya. 18

19 B. Kluster Hak Anak Sebagai Indikator Kampung Ramah Anak Dalam pengembangan Kebijakan Kota Layak Anak, pelaksanaannya tidak lepas dari hak dasar pada anak yang menjadi lokus penting dalam pemenuhan hak anak. Lokus tersebut lahir melalui Konvensi Hak Anak yang kemudian dijabarkan ke dalam kluster yang memuat : kepentingan terbaik bagi anak, sikap nondiskriminasi, hak kelangsungan hidup, hak untuk hidup bagi anak dan penghargaan pada hak anak. Dari kluster tersebut lantas memuat indikator yang menjadi tolak ukur dalam melihat tindakan warga RW 11 Kampung Badran dalam memenuhi Hak Anak. Pemerintah Kota Yogyakarta bekerjasama dengan gugus tugas kota layak anak melakukan kontrol sosial dari masing-masing indikator yang ada dalam memenuhi hak anak. Hak anak yang dimaksud merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh orang tua, masyarakat dan pemerintah kepada anak. Dengan demikian, anak akan terhindar dari diskriminasi, memiliki perlindungan khusus, serta dapat berpartisipasi dalam kegiatan. Hal ini penting guna tercapainya pemenuhan hak anak secara mendasar. Keberadaan Hak Anak merupakan salah satu upaya yang terintegrasi untuk mewujudkan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) di seluruh wilayah di Indonesia. Di wilayah RW 11 Kampung Badran, hak anak berpijak pada 5 kluster yang telah ditetapkan pemerintah serta dijabarkan ke dalam 61 indikator hak anak. Kluster tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Hak Sipil dan Kebebasan Hak Sipil dan kebebasan ditandai dengan hak untuk mendapatkan hidup serta kebebasan berdasarkan hukum yang berlaku. Disamping itu, hak kebebasan ditandai dengan memberikan ruang kepada anak untuk dapat mengutarakan pendapat, gagasan dan pikiran melalui berbagai forum kegiatan. Seperti yang telah dijelaskan 19

20 UUD 1945 Pasal 28 mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat serta berkumpul bagi warga negara. Upaya merealisasikan hak anak tersebut ditandai dengan keberadaan Forum Anak Kota (FAKTA) sebagai salah satu wadah aspirasi anak dalam mengaktualisasikan diri, Pengadaan Profil Anak di setiap wilayah, Kartu Identitas Anak (KIA), Partisipasi anak dalam berbagai kegiatan wilayah, Pembentukan kelompok anak berdasarkan minat dan bakat, hak anak untuk memperoleh Akte Kelahiran. 2. Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif menitikberatkan pada upaya peningkatan kesadaran pada anak mengenai usia perkawinan dan kesehatan reproduksi. Sehingga diharapkan dapat bersinergis dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) yang ada dimasing-masing daerah untuk mendampingi anak yang bermasalah dengan hukum, kasus pernikahan dini, anak miskin, anak berkebutuhan khusus dan lain-sebagainya. 3. Hak mendapatkan Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan Hak untuk mendapatkan kesehatan dasar dan kesejahteraan menitikberatkan pada pemenuhan hak anak untuk mendapatkan gizi, ASI ekslusif, hak tumbuh kembang, imunisasi, layanan posyandu, serta menciptakan kawasan bebas asap rokok, hingga upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi sekaligus pendampingan bagi ibu hamil dan menyusui. 4. Hak memperoleh Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Seni Budaya Pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar dalam pembangunan suatu negara. Oleh sebab itu, hak pendidikan pada anak selaku generasi penerus bangsa, 20

21 perlu menjadi agenda dan prioritas utama. Salah satunya dapat merujuk pada kegiatan pemenuhan hak anak untuk dapat mengakses pendidikan baik di tingkat formal dan informal, mengikuti wajib belajar 12 tahun, penyediaan sarana dan prasarana untuk menunjang pendidikan dan penyediaan ruang bermain yang layak bagi anak, pendidikan alternatif, PAUD dan lain sebagainya. 5. Hak Mendapatkan Perlindungan Khusus Pada indikator ini, pemenuhan hak anak untuk memperoleh perlindungan khusus ditandai dengan pendampingan pada anak yang bermasalah secara hukum, penyelesaian kasus terhadap anak korban kekerasan, eksploitasi ekonomi dan seksual, anak yang terlibat narkoba, serta pendampingan bagi anak korban bencana alam yang terjadi di suatu wilayah. 1.7 Kerangka Teoritik A. Fenomenologi Alfred Schutz Dunia mengandung realitas sosial yang memiliki pola, struktur sosial dan berbagai perangkat tatanan yang menunjang kehidupan sehari-hari bagi masyarakat. Untuk memahami hal tersebut, pendekatan dalam teori sosiologi terus berupaya menafsirkan realitas yang mengandung bagian-bagian tersebut agar dapat dimaknai secara bersama oleh individu. Dalam menafsirkan realitas, salah satu pendekatan yang digunakan ialah fenomenologi. Secara istilah fenomenologi berasal dari kata Phainoai yang berarti menampak dan phainomenon merujuk pada yang menampak. Fenomenologi dipelopori oleh Edmund Husserl. Ia telah merefleksikan pemikiran Weber secara filosofis melalui pendekatan fenomenologi. Bagi Husserl fenomenologi merupakan upaya dalam mempelari fenomena yang melibatkan 21

22 manusia dalam kehidupan, tanpa harus mempertanyakan substansi dasar penyebab terbentuknya realitas. Sehingga, Husserl memandang bahwa fenomenologi merupakan metode analisis secara transedental dalam mengkaji sesuatu yang hanya muncul dipermukaan. Ide tersebut masih terbilang abstrak untuk dipahami. Realitas yang terjadi tidak mungkin dimengerti tanpa mempertanyakan substansi sebagai asal muasal suatu realitas. Hingga kemudian, fenomenologi Husserl menarik minat Alfred Shuctz untuk menjembatani tradisi fenomenologi filsafat yang dibawa oleh Edmund Husserl menuju fenomenologi yang dirasa lebih memberikan makna dalam kehidupan. Meskipun pada mulanya, Shutz sendiri bukanlah seorang sosiolog, ia seorang bankir yang menaruh minat dalam dunia pendidikan. Pemikiran schutz sangat kental dengan pengaruh weberian dan fenomenologi Husserl. Ia berhasil menjembatani fenomenologi transedental yang telah dikemukakan oleh Husserl dan pengaruh tindakan dalam perspektif weberian. Serta membawa fenomenologi menemukan metode analisis yang dapat diaplikasi dalam penelitian secara empiris. Menurutnya, peranan fenomenologi dalam tataran praxis dapat dilakukan melalui pengamatan yang dilakukan terhadap pola perilaku dan relasi sosial dalam masyarakat. Subyektifitas dari aktor dipandang penting dalam membuat objek memiliki makna (Salim, 2006 : 169). Shutz juga menyatakan bahwa dunia realitas sosial memuat intersubyektif (kesadaran bersama) yang hadir melalui stock of knowledge yang akan melahirkan tindakan subyektif bagi individu. Melalui pengetahuan yang hadir dalam akal sehat individu, maka dari sanalah akan muncul sistem kontruksi yang dinilai memiliki karakteristik tertentu. Dalam stock of knowledge tersebut, mengandung beberapa 22

23 unsur yang sifatnya mengikat yakni : makna (meaning), intensitas, waktu, serta isi yang mengandung content isi. Unsur-unsur tersebut merupakan bentuk tipifikasi yang akan menghasilkan realitas secara intersubyektif. Tipifikasi merupakan pengkategorian tanda dalam mengarahkan manusia untuk mendekati realitas secara objektif. Sehingga, manusia dapat menyadari dunia yang dibentuk secara bersama melalui kesadaran intersubjektif. Kesadaran intersubjektif merupakan kesadaran yang muncul sebagai penerimaan secara bersama realitas objektif yang terjadi. Shutz juga menjelaskan bahwa keberadaan pengalaman di dalam maupun diluar individu dengan beragam sistem yang melekat secara sosial merupakan tipifikasi yang dibutuhkan dalam membentuk dunia yang intersubyektif bagi individu. Dengan demikian, hubungan tersebut akan menjadi dasar pijakan bagi schutz untuk dapat menghubungkan dunia akal sehat secara intersubyektif dengan keilmuan melalui fenomenologi sosial. B. Perspektif Konstruksi Sosial Peter L.Berger dan Thomas Luckhmann Dari pemikiran Alfredz Shutz tersebut, seorang sosiolog dari New School For Social Research bernama Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann yang merupakan sosiolog dari University of Frankfrut menaruh minat yang besar dalam pengembangan fenomenologi sebagai acuan dalam melihat terbentuknya kehidupan masyarakat. Fenomenologi Shutz dijadikan pijakan dalam pengembangan teori yang berakar dari tradisi tindakan subyektif Weber dan fakta sosial Durkheim. Serta melihat masyarakat sebagai kenyataan objektif yang bersemayam sebagai realitas subyektif dalam kesadaran yang dimiliki oleh individu. Keduanya menggunakan realitas sosial dan pengetahuan sebagai dasar membentuk konstruksi sosial dalam masyarakat. 23

24 Pada tahun 1966, Berger dan Luckhmann menuangkan pemikiran tersebut dalam buku yang berjudul The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociological of Knowledge. Dalam buku tersebut, Berger dan Luckmann mencoba untuk mensintesiskan pemikiran Durkheim-parsonian mengenai struktur, Weber mengenai makna yang menghasilkan tindakan subyektif individu, Marx mengenai konsep dialektika serta Mead mengenai interaksionisme simbolik dalam proses sosialisasi. Dari proses dialektis teori-teori tersebut, Berger dan Luckhmann menghasilkan teori konstruksi sosial yang membentuk hubungan antara struktur dan individu dalam kehidupan sosial secara dialektis. Menurut keduanya, proses sosial terjadi karena adanya hubungan objektif (struktur sosial) serta subyektif (individu) melalui proses interaksi dan tindakan subyektif dari individu. Berger memposisikan struktur sosial sebagai salah satu penyebab dari perubahan, namun ia tak mengabaikan peran individu sebagai manusia yang memiliki rasional dalam berpikir serta bertindak. Sehingga individu terus dapat menciptakan realitas secara obyektif melalui moment dialektis. Agar konstruksi sosial tersebut dapat terus terpelihara, maka dibutuhkan rangkaian secara simultan. Oleh Berger dan Luckhmann rangkaian proses tersebut dikenal dengan : objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi. Berikut gambaran tiga momentum dialektis menurut pemikiran Berger dan Luckhmann : 24

25 Gambar 1.2 Tiga momentum Simultan dalam Pemikiran Berger dan Luckhman Dimensi Struktur Sosial Keteraturan Yang Objektif Eksternalisasi Obyektivasi Internalisasi Dimensi Manusia Rasionalitas-Subyektif Sumber : Riyanto, Geger Peter L.Berger : Persepektif Metateori Pemikiran.Jakarta :LP3ES.(Hal 112) Dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckhmann, kehadiran realitas dan pengetahuan menjadi kunci dalam memahami kehidupan sehari-hari. Realitas merupakan sesuatu yang hadir sebagai fenomena yang disadari memiliki keberadaan dan karakteristik pengetahuan. Sedangkan pengetahuan merupakan kepastian bahwa fenomena yang hadir itu bersifat nyata (real) dan memiliki karakteristik spesifik (Berger, 1990:1). Kehidupan sehari-hari akan memuat realitas yang akan menghadirkan pengetahuan baru bagi masyarakat. Kehadiran pengetahuan yang secara terus menerus terakumulasi dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk common sense dalam diri individu. Menurut Berger common sense merupakan dasar pengetahuan yang dimiliki secara sadar dan bersamaan oleh individu lainnya, serta terwujud dalam kegiatan rutin yang dijalani oleh individu dalam kehidupan seharihari (Berger, 1990:34). Keberadaan common sense tersebut kemudian akan menjadi pengetahuan yang dapat dimiliki oleh individu secara bersama-sama dalam menjalani kehidupan. 25

26 1. Objektivasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial Kehadiran pengetahuan dan realitas dalam kehidupan, tentu saja tidak dapat diterima begitu saja dalam diri individu. Hal ini karena individu dalam kehidupan memiliki makna subyektif yang berbeda-beda dalam memahami suatu realitas sosial. Realitas sosial merupakan kemampuan anggota masyarakat untuk dapat menyadari sekaligus memahami tindakan individu yang lahir dalam struktur sosial masyarakat. Kehadiran realitas akan berpengaruh pada makna subyektif yang diciptakan oleh individu dalam menjalani kehidupannya. Dalam sebuah masyarakat, heterogenitas makna menjadi hal yang pasti terjadi. Meskipun demikian, disisi lain, individu tentu saja dapat memaksakan makna subyektif yang hadir dalam realitas sosial tersebut. Hal ini agar realitas objektif dapat terjaga dan terpelihara sebagai suatu kenyataan yang dapat diterima secara pengetahuan dunia akal sehat yang intersubyektif. Serta dapat dijalankan dalam kegiatan rutin sehari-hari. Proses inilah yang disebut sebagai obyektivasi. Melalui dasar pengetahuan yang diobjektivasi tersebut, individu akan menghadapi realitas di luar dirinya. Objektivasi akan membentuk realitas objektif yang hadir sebagai upaya untuk memelihara realitas sosial yang tengah dijalani. Melalui realitas objektif yang hadir dalam ruang sosial, maka aktivitas manusia akan terus diproduksi secara berulang agar dapat memenuhi kebutuhan dan aktivitas individu dalam masyarakat. Melalui produksi dan pemeliharaan aktivitas, masyarakat sebenarnya tengah membentuk tatanan sosial yang teratur. Tujuannya agar manusia mengalami transformasi dari ketertutupan dunia secara relatif yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Sehingga berguna membuatnya berada pada kestabilan hidup. Perlu diingat 26

27 bahwa, tatanan sosial bukanlah kodrat dari alam, ia hadir sebagai perwujudan produk aktivitas manusia yang juga hadir sebagai representatif keadaan. Agar realitas objektif yang terobjektivasi dapat terpelihara, maka perlu memuat pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan atau institusionalisasi, terjadi dari aktivitas yang dilakukan individu sebagai manusia, diwujudkan melalui tindakan individu yang secara berkesinambungan membentuk kebiasaan. Tindakan individu tersebut mengandung proses pengidentifikasian diri yang secara objektif berlangsung dalam diri individu. Sehingga dilakukan oleh individu dengan melibatkan dasar arti objektif pada setiap tindakan yang dilakukan. Sedangkan legitimasi menyediakan makna yang diperlukan untuk melahirkan makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna yang sudah ada pada proses kelembagaan. Hal ini terjadi, karena makna dalam aktivitas kelembagaan tidak dapat hanya diingat, melainkan perlu rumusan yang dapat menjadi aturan bagi masyarakat. Legitimasi menjadi aturan yang memuat kekuasaan sehingga sifatnya mengikat dan memaksa masyarakat. Dengan begitu, masyarakat akan patuh dan menerima realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu agar realitas yang terobjektivasi tersebut dapat diterima sebagai pengetahuan akal sehat intersubyketif, maka diperlukan perantaraan orang yang berpengaruh (significant others). Orang yang berpengaruh tersebut dapat disebut sebagai aktor peranan. Tujuannya agar dapat menghubungkan realitas objektif dengan budaya spesifik sebagai makna subyektif dalam diri individu. Aktor yang berperan akan melakukan proses sosialisasi dalam rangka mendistribusikan pengetahuan agar dapat ditransformasikan dalam realitas subyektif individu. Sehinga keberadaan aktor sebagai agen konstruksi berperan dalam setiap tindakan yang 27

28 menyangkut kelembagaan. Kehadiran aktor jelas berfungsi untuk mengontrol dan mengendalikan setiap aktivitas yang tengah berlangsung dalam kelembagaan. Dalam objektivasi lanjutan, realitas objektif yang terobjektivasi akan memuat signifikasi. Dalam proses signifikasi, realitas akan memuat sistem tanda yang meliputi : bahasa, gesture tubuh, artefak dan lain-lain. Sekalipun tanda memiliki makna yang sangat beragam. Namun, melalui proses signifikasi, realitas objektif diyakini dapat terpelihara serta dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui bahasa. Bahasa menjadi sarana dalam menegaskan realitas objektif secara terus menerus dan berulang. Melalui bahasa, interaksi manusia dalam objektivasi dapat terjadi. Sekaligus dapat memunculkan penilaian masyarakat terhadap perilaku yang dinilai menyimpang dari keteraturan yang telah disepakati. Sehingga membuat masyarakat menjadi bagian yang memiliki dominasi untuk memaksa dan mengarahkan individu dalam menjalani aktivitas kehidupan. 2. Internalisasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial Pengetahuan akal sehat secara intersubyektif yang membentuk realitas objektif tidak hanya berhenti pada objektivasi semata. Untuk dapat diterima sebagai kesadaran bersama oleh masyarakat, realitas objektif tersebut perlu diterima oleh individu sebagai kesadaran yang memuat makna subyektif. Proses ini disebut sebagai internalisasi. Tujuannya agar apa yang diterima sebagai pengetahuan dalam masyarakat, dapat serupa diterima sebagai pengetahuan dan makna subyektif bagi individu yang lain. Bagi Berger dan Luckhmann (1990:185) proses ini disebut sebagai pradisposisi (kecenderungan) ke arah sosialitas. Dengan demikian, manusia akan dilibatkan secara dialektis, sehingga keterlibatannya mampu memposisikan manusia 28

29 sebagai individu di dalam realitas objektif yang tengah berlangsung. Individu diharapkan mampu menyerap secara subjektif realitas yang dialami oleh orang lain. Disinilah internalisasi melibatkan sosialisasi sebagai sarana dalam mentransformasikan realitas yang telah terlegitimasi sebelumnya. Sosialisasi menjadi penting untuk dilakukan kepada inividu karena manusia tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat secara langsung. Manusia membutuhkan waktu dan proses untuk dapat memahami realitas sosial yang terjadi. Sehingga membuat individu tersebut mengalami proses ontogentic, yakni membuat dirinya menjadi bagian dari masyarakat. Serta akan membawa individu untuk berjalan secara konsisten dalam dunia obyektif masyarakat. Melalui proses belajar mengenai apapun yang telah terobjektivasi. Serta menghubungkannya dalam suatu integrasi pola yang memiliki makna bagi dirinya sendiri. Realitas yang mengalami internalisasi akan memuat sosialisasi yang terbagi menjadi dua bagian, yakni : sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer diartikan sebagai sosialisasi yang dialami oleh individu pertama kali di masa kanak-kanak, sosialisasi ini disebut juga sebagai sosialiasi tataran pertama, kehadirannya memiliki bagian yang erat dengan realitas sosial. Karena dunia dalam diri individu dapat terbentuk. Serta menyangkut pengenalan individu pada lingkungannya untuk pertama kali. Pada sosialisasi primer, aspek bahasa tidak dapat dikesampingkan. Bahasa merupakan unsur penting yang digunakan sebagai sarana pengungkapan realitas. Dengan bahasa, aktor yang berperan dalam mendistribusikan pengetahuan dapat menanamkan secara kuat realitas objektif yang memuat makna kelembagaan, nilai dan norma yang tengah dijalani oleh masyarakat. Sehingga tidak dapat dilupakan dalam kesadaran subyektif individu. 29

30 Setelah melalui sosialisasi primer, individu akan masuk pada tataran berikutnya, yakni sosialisasi sekunder. Sosialisasi ini merupakan kelanjutan dari sosialisasi primer yang akan memberikan pengaruh baru pada individu. Sehingga individu akan mengalami proses dialektis yang mengarahkan dirinya pada proses pengidentifikasian mengenai realitas objektif yang dipenuhi oleh kelembagaan dan aturan yang terlegitimasi. Sehingga manusia akan terkotak-kotak pada wilayah realitas subyektifnya masing-masing. Seperti yang disampaikan oleh Berger dan Luckhamnn (1990:187) bahwa setelah manusia mengalami sosialiasi di tahapan primer, maka manusia akan masuk ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya. Individu diharapkan mampu mengidentifikasikan subyektif dirinya sesuai dengan nilai dan norma dalam realitas objektif yang telah ada. Dengan begitu, individu dapat memiliki persamaan dengan struktur sosial yang ada pada lingkungan dan sosialisasi sebelumnya. Melalui mekanisme demikian, sosialisasi sekunder dapat membentuk individu untuk menjalankan peranannya sesuai dengan pembagian kerja yang telah hadir dalam realitas objektif sebelumnya. Proses tersebut berlangsung secara timbal balik, sehingga membuat individu memiliki keterikatan pada kenyataan baru yang membuatnya menjadi bagian dari anggota masyarakat. Sosialisasi yang terjadi dalam tahap internalisasi mengalami dua kemungkinan dalam membentuk realitas. Pertama, keberhasilan sosialisasi dapat terjadi, tatkala adanya keterpaduan realitas yang dibentuk oleh kenyataan subjektif maupun kenyataan objektif dari individu yang bersangkutan. Artinya aktor sosialisasi menjadi salah satu faktor penentu dalam menyampaikan makna penting dari realitas sosial yang dijalaninya. Namun, manakala terjadi kemajemukan dari para aktor sosialisasi, kemungkinan makna hanya dapat diterima secara absurd dan 30

31 setengah-setengah. Makna subyektif tidak dapat diterima secara tunggal. Hal inilah disebut sebagai kondisi asimetri yang menjadi salah satu penyebab ketidakberhasilan sosialisasi sekunder. Bila hal ini terjadi, maka tidak menutup kemungkinan, makna yang seharusnya ditangkap secara utuh, hanya akan ditangkap secara parsial. Serta masyarakat tersebut kemungkinan tidak dapat menjaga tatanan dan struktur sosial yang sudah ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Kedua, sosialisasi yang berjalan baik, dapat menghasilkan proses identifikasi subjektif dan norma dalam diri individu. Dengan demikian, individu akan mentransformasikan peranan dirinya agar mampu mengidentifikasikan diri sebagai anggota masyarakat yang juga turut memiliki bagian peranan seperti yang sebelumnya ditransformasikan oleh orang-orang yang berpengaruh. Identifikasi yang terjadi bersifat subyektif dalam memahami pengakuan pada diri sendiri. Diri merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang memantulkan sikap yang mulamula diambil dari orang-orang yang berpengaruh terhadap entitas diri sendiri (Manuaba, 2010 :14). Dengan demikian, kehadirannya menjadi wujud identitas kediri-an individu yang lahir dari sebuah realitas masyarakat objektif. Sehingga, keberhasilan sosialiasasi akan menghasilkan masyarakat yang terpelihara, sedangkan kegagalan sosialisasi akan membuat sulitnya pemeliharaan tradisi dan tatanan sosial masyarakat. 3. Eksternalisasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial Ketika manusia menciptakan kesadaran baru dalam hidupnya, manusia sebenarnya tengah melakukan proses dialektis untuk memberikan perlakuan secara timbal balik dalam kehidupannya. Proses tersebut terjadi melalui pencurahan diri individu ke dalam dunia sosial budaya dan kebudayaan yang bersifat nonmaterial. 31

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Beberapa dekade terakhir, pembangunan kota tumbuh cepat fokus pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Beberapa dekade terakhir, pembangunan kota tumbuh cepat fokus pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa dekade terakhir, pembangunan kota tumbuh cepat fokus pada peningkatan ekonomi. Orientasi ekonomi membuat aspek sosial dan lingkungan seringkali diabaikan sehingga

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

Latar Belakang KLA. Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah suatu pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan

Latar Belakang KLA. Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah suatu pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan Latar Belakang KLA 1. Definisi dan Tujuan KLA Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah suatu pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya kota layak anak. Mewujudkan Kota Layak Anak merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya kota layak anak. Mewujudkan Kota Layak Anak merupakan hak BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui bahwa anak merupakan masa depan Bangsa. Anak adalah generasi penerus cita-cita kemerdekaan dan kelangsungan hajat hidup Bangsa dan Negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anak adalah generasi yang akan meneruskan kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam suatu negara. Dalam Keputusan Presiden RI no 36 tahun 1990 tentang Pengesahan

Lebih terperinci

KLA DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PERWUJUDAN HAK ANAK

KLA DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PERWUJUDAN HAK ANAK KLA DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PERWUJUDAN HAK ANAK Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai visi yaitu terwujudnya kesetaraan gender, dan misi adalah mewujudkan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. positif maupun negatif. Pada 2012, lebih dari setengah populasi dunia atau sekitar

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. positif maupun negatif. Pada 2012, lebih dari setengah populasi dunia atau sekitar 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kehidupan di banyak kota di dunia tidak terlepas dari perkembangan positif maupun negatif. Pada 2012, lebih dari setengah populasi dunia atau sekitar 3,5 milyar jiwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.169, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Indikator. Kabupaten/ Kota. Layak Anak PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. subjek dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi

I. PENDAHULUAN. subjek dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa, yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun Negara dan Bangsa Indonesia. Anak merupakan subjek dan objek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan di perkotaan yang sangat cepat seringkali tidak memperhatikan kebutuhan ruang terbuka publik untuk aktivitas bermain bagi anak. Kurangnya ketersediaan

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN KABUPATEN LAYAK ANAK

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN KABUPATEN LAYAK ANAK BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN KABUPATEN LAYAK ANAK BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa setiap anak mempunyai hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI hanyalah yang tidak mengandung nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai-nilai partai. Biasanya dalam sistem komunikasi seperti itu, isi media massa juga ditandai dengan sejumlah slogan yang dimaksudkan

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa setiap anak mempunyai hak

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG SEKOLAH RAMAH ANAK

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG SEKOLAH RAMAH ANAK WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG SEKOLAH RAMAH ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 285 TAHUN 2017 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 285 TAHUN 2017 TENTANG WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 285 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN GUGUS TUGAS KOTA LAYAK ANAK KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. b.

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJARMASIN, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGEMBANGAN KOTA LAYAK ANAK

WALIKOTA BANJARMASIN, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGEMBANGAN KOTA LAYAK ANAK i (brt\f- WALIKOTA BANJARMASIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGEMBANGAN KOTA LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA _ WALIKOTA BANJARMASIN,

Lebih terperinci

KOTA LAYAK ANAK. Yang bertujuan untuk:

KOTA LAYAK ANAK. Yang bertujuan untuk: KOTA LAYAK ANAK Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara

Lebih terperinci

14. URUSAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

14. URUSAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK 14. URUSAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Keterlibatan perempuan dalam pembangunan disadari atau tidak, menjadi salah satu kunci sukses pembangunan. Selain karena secara normatif perempuan

Lebih terperinci

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL UNTUK MENGURANGI JUMLAH PERNIKAHAN ANAK

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL UNTUK MENGURANGI JUMLAH PERNIKAHAN ANAK BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL UNTUK MENGURANGI JUMLAH PERNIKAHAN ANAK Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang berisi perjanjian-perjanjian yang memiliki

Lebih terperinci

PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017

PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017 PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017 KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA 2017 PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017 I. LATAR BELAKANG Anak

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN KABUPATEN LAYAK ANAK DI KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. b. c. bahwa setiap anak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA MASYARAKAT DI BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salah satu dari keempat NSPK yang diterbitkan dalam bentuk pedoman ini adalah Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.

KATA PENGANTAR. Salah satu dari keempat NSPK yang diterbitkan dalam bentuk pedoman ini adalah Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak. KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,

Lebih terperinci

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KOTA LAYAK ANAK

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KOTA LAYAK ANAK - 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KOTA LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN. A. Pengaruh Fenomenologi Terhadap Lahirnya Teori Konstruksi Sosial

BAB II KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN. A. Pengaruh Fenomenologi Terhadap Lahirnya Teori Konstruksi Sosial BAB II KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN A. Pengaruh Fenomenologi Terhadap Lahirnya Teori Konstruksi Sosial Teori konstruksi sosial merupakan kelanjutan dari pendekatan fenomenologi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Tato merupakan salah satu karya seni rupa dua dimensi yang layak untuk dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang merupakan

Lebih terperinci

Bidang Perlindungan Anak tertuang dalam Bab 2 Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama.

Bidang Perlindungan Anak tertuang dalam Bab 2 Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama. Bidang Perlindungan Anak tertuang dalam Bab 2 Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama. Permasalahan dan Isu Strategis Ada tiga isu strategis di Bidang Perlindungan Anak yang mendapatkan perhatian

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Pemerintah Kota Bandung, dalam hal ini Walikota Ridwan Kamil serta Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, telah menunjukkan pentingnya inovasi dalam dalam program

Lebih terperinci

PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017

PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017 PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017 KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA 2017 PANDUAN PELAKSANAAN HARI ANAK NASIONAL TAHUN 2017 I. LATAR BELAKANG Anak

Lebih terperinci

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Bapak Presiden SMU PBB, Saya ingin menyampaikan ucapan

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 59 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GORONTALO, Menimbang : a. bahwa anak adalah

Lebih terperinci

FASILITASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA MALANG - TAHUN

FASILITASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA MALANG - TAHUN LAPORAN KEGIATAN FASILITASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA MALANG - TAHUN 2008 BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KELUARGA BERENCANA KOTA MALANG Jl. Teluk Cendrawasih 1, Malang Telp

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi 219 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi Islam di Indonesia dapat disimpulkan sebagai

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

BUPATI ACEH BARAT DAYA PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH BARAT DAYA NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK

BUPATI ACEH BARAT DAYA PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH BARAT DAYA NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK BUPATI ACEH BARAT DAYA PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH BARAT DAYA NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BARAT DAYA, Menimbang : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orang tua. Seorang anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orang tua. Seorang anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan sebuah anugerah yang tidak ternilai bagi setiap orang tua. Kelahiran seorang anak menjadi hal yang paling ditunggu dalam sebuah keluarga. Setiap

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak jalanan merupakan salah satu fenomena sosial di perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Anak jalanan merupakan salah satu fenomena sosial di perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak jalanan merupakan salah satu fenomena sosial di perkotaan yang semakin nyata. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di

BAB 1 PENDAHULUAN. menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan kota yang selalu dinamis berkembang dengan segala fasilitasnya yang serba gemerlapan, lengkap dan menarik serta menjanjikan tetap saja menjadi suatu faktor

Lebih terperinci

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA Disusun Oleh : ANDRE RISPANDITA HIRNANTO D 1114001 SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara melindungi dan menjamin

Lebih terperinci

SAMBUTAN LAUNCHING 11 KABUPATEN/KOTA INISIASI KLA DI PROVINSI SULSEL Sulawesi Selatan, 26 Januari 2018

SAMBUTAN LAUNCHING 11 KABUPATEN/KOTA INISIASI KLA DI PROVINSI SULSEL Sulawesi Selatan, 26 Januari 2018 SAMBUTAN LAUNCHING 11 KABUPATEN/KOTA INISIASI KLA DI PROVINSI SULSEL Sulawesi Selatan, 26 Januari 2018 1. Konvensi Hak Anak (KHA), diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. 2. Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU,

Lebih terperinci

Jakarta, Maret 2013 Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, DR. Sudibyo Alimoeso, MA

Jakarta, Maret 2013 Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, DR. Sudibyo Alimoeso, MA 1 SAMBUTAN Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan SDM seutuhnya dimana untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas harus dimulai sejak usia dini. Berbagai studi menunjukkan bahwa periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Kostianissa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Kostianissa, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara melindungi

Lebih terperinci

EVALUASI KABUPATEN/KOTA LAYAK ANAK (KLA) TAHUN 2018

EVALUASI KABUPATEN/KOTA LAYAK ANAK (KLA) TAHUN 2018 EVALUASI KABUPATEN/KOTA LAYAK ANAK (KLA) TAHUN 2018 oleh: LENNY N. ROSALIN, SE, MSc, MFin Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jakarta:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MENEG PP. Layak Anak. Kabupaten. Kota. Kebijakan. Pelaksanaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MENEG PP. Layak Anak. Kabupaten. Kota. Kebijakan. Pelaksanaan. No.181, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MENEG PP. Layak Anak. Kabupaten. Kota. Kebijakan. Pelaksanaan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2009 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Konsep dan Batasan Konsep 1. Definisi Konsep a. Konstruksi Sosial Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana. Berbicara mengenai konstruksi

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH RANCANGAN RPJP KABUPATEN BINTAN TAHUN 2005-2025 V-1 BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH Permasalahan dan tantangan yang dihadapi, serta isu strategis serta visi dan misi pembangunan

Lebih terperinci

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages Baseline Study Report Commissioned by September 7, 2016 Written by Utama P. Sandjaja & Hadi Prayitno 1 Daftar Isi Daftar Isi... 2 Sekilas Perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan anak juga memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan anak juga memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan berbasis hak anak sebenarnya adalah suatu proses perubahan dari kondisi tertentu menjadi kondisi yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi kepentingan anak

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERKAWINAN USIA ANAK

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERKAWINAN USIA ANAK BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERKAWINAN USIA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2018 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2018 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2018 TENTANG KABUPATEN LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa anak merupakan generasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP KESIMPULAN Konstruksi Gaya Hidup Vegetarian

BAB V PENUTUP KESIMPULAN Konstruksi Gaya Hidup Vegetarian BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Konstruksi Sosial Gaya Hidup Vegetarian (Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Sosial Gaya Hidup Vegetarian), dapat

Lebih terperinci

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA 92 VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA 8.1. Identifikasi Potensi, Masalah dan Kebutuhan Masyarakat 8.1.1. Identifikasi Potensi Potensi masyarakat adalah segala sesuatu yang

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan budaya, Kota Medan tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kota metropolitan baru di Indonesia, serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu kebanggaan bagi Kota Solo, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Solo. Hal ini karena

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap

BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada anak. Salah satu contoh eksploitasi seksual komersial anak tersebut adalah perdagangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENGHAPUSAN PERDAGANGAN (TRAFIKING) PEREMPUAN DAN ANAK DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU GUBERNUR KEPULAUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) diberikan kewajiban untuk menyusun Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Bappeda Kota Bogor Berdasarkan tugas dan fungsi pelayanan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TAMAN ANAK CERDAS (TAC) KOTA SURAKARTA

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TAMAN ANAK CERDAS (TAC) KOTA SURAKARTA BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 11 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TAMAN ANAK CERDAS (TAC) KOTA SURAKARTA WALIKOTA SURAKARTA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN GUBERNUR MALUKU NOMOR : 21 TAHUN 2009 TENTANG KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI MALUKU GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa percepatan penurunan angka

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 117 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Secara umum penelitian ini telah mencapai tujuan akhirnya, yaitu menemukan suatu model pemberdayaan masyarakat yang aplikatif untuk meningkatkan keberdayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Salah satu target MDGS adalah mengurangi separuh penduduk pada tahun 2015 yang tidak memiliki akses air minum yang sehat serta penanganan sanitasi dasar. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2013-2015 Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana

Lebih terperinci

VII. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI DESA JEBED SELATAN

VII. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI DESA JEBED SELATAN VII. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI DESA JEBED SELATAN Program Promosi Kesehatan adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat

Lebih terperinci

Pengelolaan. Pembangunan Desa Edisi Desember Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pengelolaan. Pembangunan Desa Edisi Desember Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Buku Bantu Pengelolaan Pembangunan Desa Edisi Desember 2016 PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Lebih terperinci

H. Afif Nurhidayat, S.Ag.

H. Afif Nurhidayat, S.Ag. Peran Legislatif dalam mendorong Perda Kabupaten Wonosobo Ramah HAM H. Afif Nurhidayat, S.Ag. Ketua DPRD Wonosobo Disampaikan dalam Workshop Penyusunan Peraturan Daerah Pada Festival Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya. Peningkatan pendapatan di negara ini ditunjukkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya. Peningkatan pendapatan di negara ini ditunjukkan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah meningkatkan taraf kehidupan penduduknya. Peningkatan pendapatan di negara ini ditunjukkan dengan pertumbuhan kegiatan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PANDUAN PENGEMBANGAN KABUPATEN/KOTA LAYAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) diberikan kewajiban untuk menyusun Rencana Kerja Organisasi Perangkat Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat 7,7 juta balita yang terhambat pertumbuhannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat 7,7 juta balita yang terhambat pertumbuhannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang United Nations Children s Fund (UNICEF) melaporkan bahwa di Indonesia terdapat 7,7 juta balita yang terhambat pertumbuhannya. Dalam laporan itu, Indonesia menempati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak sehingga kemiskinan pun tak dapat dihindari. Masalah kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak sehingga kemiskinan pun tak dapat dihindari. Masalah kemiskinan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dengan jumlah penduduk yang banyak sehingga kemiskinan pun tak dapat dihindari. Masalah kemiskinan merupakan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Sebagai hak pemampuan, pendidikan adalah sarana

Lebih terperinci

1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo. Semarang

1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo. Semarang 1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo Semarang Tipe kegiatan: Peremajaan kota Inisiatif dalam manajemen perkotaan: Penciptaan pola kemitraan yang mempertemukan pendekatan top-down dan bottom-up

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu 2.1.1. Masnur Muslich Penelitian ini berjudul Kekuasaan Media Massa Mengkonstruksi Realitas. Penelitian ini bertujuan untuk memahami

Lebih terperinci

HASIL CAPAIAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN

HASIL CAPAIAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN HASIL CAPAIAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN Oleh: Subi Sudarto (ARTIKEL 9) Sekapur Sirih: Pembangunan pendidikan saat ini pada umumnya menunjukkan perubahan yang signifikan di mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Urbanisasi merupakan fenomena dalam aktivitas perkotaan yang terjadi secara terus menerus. Urbanisasi akan membawa pembangunan perkotaan sebagai tanggapan dari bertambahnya

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Wahyu

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 156 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dari penelitian ini didapati kesimpulan dan temuan-temuan sebagai berikut: 1. Karakteristik fisik permukiman kampung

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah

Lebih terperinci