BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo. Awalnya berupa satu gedung yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo. Awalnya berupa satu gedung yang"

Transkripsi

1 27 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H. Aloei Saboe Kota Gorontalo pertama kali dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929 dengan nama Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo. Awalnya berupa satu gedung yang terdiri dari 4 (empat) ruangan, yaitu : Apotik, Poliklinik dan Rawat Inap. Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 51/Men.Kes/SK/II/79 sebagai Rumah Sakit Kelas C yang memenuhi persyaratan 4 (empat) Spesialis Dasar.Pada tanggal 17 September tahun 1987 Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo berubah nama menjadi Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe Gorontalo berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Gorontalo Nomor 97 Tahun Nama tersebut diambil dari nama salah seorang perintis kemerdekaan Putera Gorontalo yang banyak berjasa dalam bidang Kesehatan. Pada Tahun Rumah Sakit Umum Prof. DR. H. Aloei Saboe ketambahan jenis pelayanan yaitu Spesialis Mata dan Tahun 1995 ketambahan Spesialis Telinga Hidung Tenggerokan (THT).

2 28 Pada tanggal 31 Agustus 1995 Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Gorontalo mengusulkan kenaikan kelas Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe dari kelas C ke kelas B Non Pendidikan. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Gorontalo Nomor : 315 tanggal 25 Maret tahun 2002 Rumah Sakit Umum Prof. Dr. H. Aloei Saboe merupakan bagian dari Organisasi Tata Kerja Pemerintah Kota Gorontalo yaitu Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Prof. Dr. H.Aloei Saboe Kota Gorontalo. Pada tanggal 29 Januari 2009 Rumah Sakit Prof. Dr.H. Aloei Saboe Kota Gorontalo ditetapkan sebagai Rumah Sakit kelas B berdasarkan SK MENKES Nomor 084 / MENKES/SK/I/ Gambaran Umum Ruangan Perawatan Bedah 1. Denah Ruangan Perawatan Bedah Denah Ruangan Perawatan Bedah adalah sebagai berikut : 1) Timur : Jalan khusus pasien ke lantai 1 2) Barat : Tangga khusus pengunjung kelantai 1 3) Utara : Ruang Interna 4) Selatan : Ruang perawatan bedah atas

3 29 1. Fasilitas Untuk Pasien Ruang Perawatan Bedah atas terdiri dari: Ruang kelas I terdiri dari 2 ruangan dan 2 tempat tidur, Ruang Kelas II terdiri dari 5 ruangan dengan kapasitas 22 tempat tidur, Kelas III terdiri dari 10 ruangan dengan kapasitas 34 tempat tidur dan 1 ruangan khusus untuk perawatan pasien. 2. Fasilitas untuk petugas kesehatan Fasilitas untuk petugas adalah sebagai berikut : 1) Nurse Station berada diantara ruang kelas II dan kelas III dengan fasilitas : - 1 kamar unutk gudang/inventaris - 1 kamar mandi / wastafel - 8 kursi untuk perawat associate - 1 buah lemari obat/bhp untuk trolley - 2 meja dan 2 kursi untuk Ketua Tim 2) Ruang administrasi disamping Nurse Station dengan 4 buah kursi, 1 meja dan 2 buah lemari. 3) Ruang Manager Unit dengan fasilitas 1 meja dan 1 kursi kerja, 1 set kursi tamu, dan satu buah lemari. 4) Ruang perawat dengan fasilitas 3 buah tempat tidur, 2 buah meja, AC, 1 buah televisi, 1 buah dispenser, 1 buah locker petugas dan kamar mandi.

4 30 3. Fasilitas alat dan bahan kesehatan Fasilitas alat dan bahan kesehatan terdiri dari : E C G, Tensi Meter, Steteskop, Termometer, Oksigen manometer, Bak instrumen, Bak injeksi, Minor surgensi set, Bengkok, Standar infus, Pispot, Urinal, Baskom mandi, Tabung oksigen, Gunting verband, Korentang, Timbangan, Tromol besar, dan Tromol kecil 4. Sumber Daya/Ketenagaan 1) Tenaga Keperawatan Tenaga Keperawatan diruang Perawatan Bedah atas berjumlah 18 orang dengan rincian - Manager Unit : 1 orang - Perawat primer : 3 orang (D III Keperawatan : 3 orang) - Perawat Asociate : 22 orang (D III Keperawatan : 11 orang, S1 2, dan Ners 1 orang ) 2) Dokter : 3 orang 3) Tenaga Non Keperawatan - Tenaga administrasi : 3 orang ( SLTA) - Tenaga Evakuasi : 3 orang (2orang SLTP, 1 orang SLTA) - Tenaga inventaris : 1 orang (SLTA)

5 31 5. Jenis Penyakit di tahun 2012 Adapun jenis-jenis penyakit yang terbanyak di tahun 2012 yaitu : Appendisitis, Ca. Mamae, Fraktur, Tumor Coli, Vesikolitiasis, Hemoroid, Hernia, Diabetes Melitus Karakteristik Responden Data responden dalam penelitian ini diperoleh dari lembar observasi yang dilakukan peneliti pada saat penelitian pada pasien yang berada di ruang G2 (bedah) RSUD.Prof.dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo. Adapun data responden meliputi, Jenis Kelamin, Umur, Pekerjaan, Diagnosa Medis. Berdasarkan hasil observasi didapatkan data sebagai berikut : Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi responden menurut jenis kelamin yang dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini : Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Diruang G2 (Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Jenis kelamin Frekuensi ( % ) Laki-laki Perempuan Total

6 32 Berdasarkan hasil Penelitian dapat dilihat dari 35 responden, yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang dengan presentase 54.3% dan lakilaki sebanyak 16 orang dengan presentase 45.7% Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi responden menurut umur yang di golongkan menjadi 3 yang dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini : Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia Diruang G2 ( Bedah ) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 Kelompok Usia Frekuensi ( % ) Total Berdasarkan hasi penelitian dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden diruang bedah yang berjumlah 35 responden (100%). Dimana yang paling banyak berada pada golongan usia tahun berjumlah 18 orang (51.4%) dan yang paling sedikit berada pada golongan usia tahun berjumlah 3 orang (5.7%)

7 Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit (Diagnosa Medis) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe kota gorontalo diperoleh distribusi responpden menurut penyakit ( Diangonas Medis ) yang dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini : Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit (Diagnosa Medis) Diruang G2 (Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 Diagnosa medis Frekuensi ( % ) Appendisitis Batu Urine Luka Bakar BPH STT Diabetes Melitus Leparatomi Hemoroid Internal Trauma Otak Hematuria Hemoroid Eksternal Spondilitis TB Limfagioma Total Berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 35 responden (100%) yang berdah diruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr Aloei Saboe kota Gorontalo bahwa diagnoasa medis yang paling banyak yaitu appendisitis sebanyak 13 orang (37.1%) dan yang paling sedikit yaitu dengan diagnoasa medis luka bakar,stt,leparatomi,trauma otak,hematuria,hemoroid eksternal,spondilitis TB, dan limafagioma masing berjumlah 1 orang (2.9%).

8 Variabel Penelitian Pelaksanaan penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kejadian flebitis diruan G2 ( bedah ) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo tahun 2013 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 20 mei sampai pada tanggal 5 juni 2013 maka didapatkan data sebagai berikut : Distribusi Kejadian Flebitis Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis yang dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini : Tabel 4.4 Distribusi Kejadian Flebitis Diruang G2 (Bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013 Kejadian flebitis Frekuensi ( % ) Tidak Flebitis Flebitis Total Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kejadian flebitis di ruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo yaitu tinggi, dengan menderita flebitis sebanyak 11 orang dengan presentase 31.4% dan tidak flebitis sebanyak 24 orang dengan presentase 68.6 % dikatakan tinggi karena masih diatas > 5 % sesuai standar yang di berlakukan oleh INS.

9 Distribusi kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Katater Infus Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan ukuran kateter infus yang dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini : Tabel 4.5 Distribusi Flebitis Berdasarkan Ukuran Katater Infus Diruang G2 (Bedah) Rsud.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Ukuran kateter infus Flebitis Kejadian Flebitis Tidak Flebitis Total Ukuran 20 G (gauge) % Ukuran 22G (gauge) % Total Berdasrkan hasil penelitian, bahwa dari 35 respoden, Responden yang mengalami flebitis lebih banyak terjadi pada Responden yang terpasang infus dengan ukuran 20 G berjumlah 9 orang dengan presentase %, kemudian Responden yang terpasang infus dengan ukuran 22 G berjumlah 2 orang dengan presentase % dan Responden yang tidak mengalami Flebitis dengan memakai ukuran kateter infus 22 G sebanyak 17 orang dengan presentase %, responden yang memakai ukuran kateter infus 20 G sebanyak 7 orang dengan presentase %

10 Distribusi Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan letak pemasangan infus yang dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut ini : Tabel 4.6 Distribusi Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus diruang G2 ( Bedah ) RSUD.Prof.Dr.aloei Saboe kota Gorontalo Tahu n 2013 Letak pemasangan Kejadian Flebitis infus Flebitis Tidak Flebitis Total Vena Pergelangan Tangan % Vena Punggung tangan % Total Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dari 35 responden, letak pemasangan infus yang paling banyak terjadi flebitis yaitu divena pergelangan tangan sebanyak 3 orang dengan presentase 18.8%. vena punggung tangan atau metakarpal sebanyak 8 orang dengan presentase 42.1%, Kemudian yang tidak mengalami flebitis sebanyak 13 orang dengan presentase 81.2% yaitu vena pergelangan tangan, dan vena pergelangan tangan yaitu berjumlah 11 orang dengan presentase 57.9%.

11 Distribusi Flebitis Berdasarkan Fiksasi Kateter Infus Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan fiksasi kateter infus yang dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini : Tabel 4.7 Distribusi Flebitis Berdasarkan Fiksasi Kateter Infus diruang G2 ( Bedah ) RSUD.Prof.Dr.aloei Saboe kota Gorontalo Tahun 2013 Fiksasi kateter Kejadian Flebitis Total infus Flebitis Tidak Flebitis Tidak adekuat % adekuat % Total Berdasarkan hasil penelitian ditunjukan dimana responden yang paling banyak mengalami flebitis yaitu Responden yang fiksasi kateter infus yang tidak adekuat sebanyak 7 orang dengan presentase 46.7%, dan fiksasi kateter infus yang adekuat sebanyak 4 orang dengan presentase 20.0%. Kemudian Responden yang tidak mengalami flebitis lebih banyak pada Responden yang memiliki fiksasi kateter yang adekuat berjumlah 16 orang dengan presentase 80.0% dan yang tidak mengalami flebitis pada responden yang memiliki fiksasi kateter yang tidak adekuat berjumlah 8 orang dengan presentase 53.3%

12 Distribusi Flebitis Berdasarkan Faktor Usia Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan faktor usia yang dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini : Tabel 4.8 Distribusi Flebitis Berdasarkan Faktor Usia Reponden Diruang G2 ( Bedah ) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Usia Kejadian Flebitis Total Flebitis Tidak Flebitis % % % Total Berdasarkan hasil penelitian dari 35 responden setelah dilakukan observasi responden yang mengalami flebitis paling banyak berusia tahun sebanyak 6 orang dengan presentase 42.9%,responden yang berusia tahun sebanyak 4 orang dengan presentase 22.2% dan responden yang berusia berjumlah 1 orang dengan presentase 33.3%. Kemudian responden yang tidak mengalami Flebitis paling banyak berusia tahun sebanyak 14 orang dengan presentase 77.8%, responden yang berusia tahun berjumlah 8 orang dengan presentase 57.1% dan usia sebanyak 2 orang dengan presentase 66.7%

13 Distribusi Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Infus. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD. Prof.Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo diperoleh distribusi kejadian flebitis berdasarkan hari infeksi yang dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut ini : Tabel 4.9 Distribusi Flebitis Berdasarkan lama Pemasangan Infus Diruang G2 ( Bedah ) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo Lama Kejadian Flebitis Total pemasangan infus Flebitis Tidak Flebitis Hari ke % Hari ke % Hari ke % > 3 hari % Total Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di ruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo bahwa yang paling banyak kejadian flebitis terjadi pada lama pemasangan infus di atas 3 hari yaitu sebanyak 5 orang 29.4%. Hari ke 3 sebanyak 3 orang 33.3% hari ke 2 sebanyak 3 orang 50.0% hari pertama tidak ada kejadian flebitis, kemudian yang tidak flebitis paling banyak terjadi pada lama pemasangan infus di atas 3 hari sebanyak 12 orang 70.6% pada hari ke 3

14 40 sebanyak 6 orang 66.7% hari ke 2 sebanyak 3 orang 50.0% dan hari pertama sebanyak 3 orang 100%. 4.2.Pembahasan Flebitis adalah peradangan pada tunika intima vena yang merupakan komplikasi pada pemberian terapi intra vena (IV) dan ditandai dengan gejala khas peradangan yaitu: bengkak, kemerahan sepanjang vena, nyeri, peningkatan suhu pada daerah insersi kanula dan penurunan kecepatan tetesan infus (Brooker,et all dalam Sugiarto, 2006). Flebitis yaitu daerah yang mengalami bengkak, panas, dan nyeri pada kulit tempat kateter intravaskuler dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis disertai dengan tanda-tanda infeksi lain seperti demarn dan pus yang keluar dari tempat tusukan, ini dapat digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Saifuddin, 2004). Dalam kejadian flebitis telah diberlakukan standard oleh INS ( Infusion Nurses Society ) dimana kejadian flebitis harus dibawah dari 5% Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe kota gorontalo di dapatkan hasil sebagai berikut : Karakteristik Responden. Berdasrkan hasil analisis bahwah dari 35 responden yang dilihat berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 orang (54.3%), kemudian diagnosa medis yang paling banyak yaitu appendisitis sebanyak 13 orang (37.1%).

15 Kejadian Flebitis Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kejadian flebitis dirumah sakit.prof.dr.aloei Saboe yaitu Tinggi dengan menghitung kejadian flebitis dari aplikasi SPSS. Maka didapatkan hasil infeksi flebitis sebesar 31.4% dikatakan tinggi dimana insiden flebitis di RSUD. Prof.Dr.Aloei Saboe masih tinggi di atas 5%. sesuai standar yang diberlakukan oleh INS harus dibawah 5 %. Peneliti berpendapat bahwa tingginya infeksi flebitis di sebebabkan oleh beberapa faktor/domain seperti : ukuran kateter infus, letak pemasangna infus, fiksasi infus, faktor usia dan lama pemasangan infus. Bukan dari jenis kelamin dan diagnosa medis, karena hal ini disebabkan oleh yang berkaitan langsung dengan flebitis yaitu terapi intravena (ukuran kateter infus, letak pemasangna infus, fiksasi infus) dan usia, hal ini karena usia berpengaruh langsung pada flebitis dimana dilihat dari segi fungsi vena pasien. flebitis terjadi karena faktor mekanik yaitu ukuran kateter infus, letak pemasangan infus, fiksasi infus (Gabriel, et al, 2005), hal yang sama juga dinyatakan oleh INS bahwa kejadian flebitis di sebabkan oleh pemasangan infus yang terlalu lama, dan flebitis terjadi karena faktor umur sesuai yang di nyatakan oleh ( Phillips, 2010). Sesuai data yang di dapatkan peneliti bahwa Selama tahun 2012 telah tercatat infeksi flebitis sebanyak 7.51% di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe kota Gorontalo

16 42 Pencegahan flebitis dapat dilakukan dengan cara bagaimana perawat bisa memilih ukuran yang tepat untuk vena pasien, letak pemasangan yang jauh dari daerah yang banyak dilakukan pergerakan oleh pasien sehingga meminimalkan trauma pada tunika intima, diberikan fiksasi yang adekuat dan fiksasi yang jauh dari letak pemasangan infus yang dekat dengan persendian yang dapat membuat plester dapat kendur akibat pergerakan yang berlebihan, kemudian faktor umur dimana perawat harus jeli melakukan terapi intravena, dari pemilihan ukuran kateter infus sampai pada perawatan infus karena yang sudah lanjut usia mengalami penurunan fungsi vena, dan lama pemasangan infus harus dibawah dari 3x24 jam disesuaikan dengan standar yang diberlakukan oleh INS. Adapun domain/ faktor-faktor yang berdistribusi pada kejadian flebitis yang digambarkan oleh peneliti yaitu pemasangan infus, ukuran kateter infus, fiksasi infus,umur pasien dan lama pemasangna infus. 1. Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Infus Berdasarkan hasil penelitian di ruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr Aloei Saboe kota gorontalo. Bahwa yang mengalami flebitis paling banyak disebabkan oleh ukuran kateter infus 20 G berjumlah 9 orang, ( %) dan yang tidak mengalami flebitis pada ukuran 22G sebanyak 17 orang (89.47%) Peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh ukuran kateter 20 G, lebih besar dari ukuran kateter 22 G, dimana resiko mencedrai vena cukup tinggi di ukuran

17 43 kateter 20 G, yang bisa menyebabkan flebitis, atau hal ini dikarenakan bahwa perawat tidak mempertimbangkan ukuran kateter dengan ukuran vena pasien sehingga mencendrai vena pasien dapat terjadi karena tidak sesuai dengan vena pasien, atau hal ini bisa saja terjadi karena keterbatasan stok kateter infus sehingga perawat tidak ada pilihan lain selain menjalankan tindakan keperawatan dengan kateter yang tersedia/ada yang diberikan sesuai fungsi dari setiap ukuran kateter infus yaitu untuk terapi intravena. jadi ukuran yang digunakan untuk terapi intravena yaitu yang berukuran 22G untuk mengurangi resiko terjadi flebitis. Penelitian sebelumnya juga membuktikan bahwah ada kaitannya ukuran kateter infus dengan angka kejadian flebitis. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Asrin (2006), dengan judul analisis faktor-faktor terjadinya flebitis di dapatkan hasil dari 74 responden yang mengalami flebitis sebanyak 17 (22,9 % ) dikarenakan ukuran kateter 20 G (gauge). Flebitis yang disebabkan oleh ukuran kateter infus bisa di minimalisir jika perawat mempunyai pengetahuan tentang flebitis atau cara meminimalisir yaitu dari cara mempertimbangkan ukuran kateter infus dengan vena pasien, menyesuaikan ukuran infus sesuai fungsinya yaitu misalnya untuk usia lanjut harus memakai ukuran 22G karena kondisi vena yang sudah buruk akibat penurunan fungsi fisiologis pasien itu sendiri sehingga dapat mengurangi resiko cederanya vena pasien dan tentunya dapat meminimalisir inseden flebitis.

18 44 2. Kejadian Flebitis Berdasarkan Letak Pemasangan Infus Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diruang G2 (bedah) RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo didapatkan bahwa kejadian flebitis lebih banyak terjadi di vena punggung tangan/metakarpal yaitu berjumlah 8 orang, (42.1%) dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak di vena pergelangan tangan sebanyak 13 orang (81.2%). Peneliti berpendapat bahwa hal ini terjadi karena lokasi punggung tangan /metakarpal dan vena pergelangan tangan ini merupakan alat gerak yang paling dominan dan memiliki nila yang tidak jauh berbeda maka bisa menyebabkan flebitis, pada lokasi ini juga terdapat Sendi pelana dimana sering terjadi pergerakan akibat aktivitas pasien misalnya digunakan sebagai penopang saat posisi tidur untuk duduk, dan dari posisi duduk untuk berdiri. Sesuai teori yang dikemukakan oleh potter dan perry (2010, hlm ) bahwa posisi ekstremitas yang berubah, khususnya pada pergelangan tangan atau siku dapat mengurangi kecepatan aliran infus dan mempengaruhi aliran dalam darah. Hal ini juga dinyatakan oleh (Rocca, 1998). Yaitu dimana lokasi-lokasi yang sering menyebabkan komplikasi seperti flebitis, infiltrasi dll adalah seperti vena digitalis sampai vena dorsalis. Vena dorsalis (metacarpal/punggung tangan) berasal dari gabungan vena digitalis, dimana kerugiannya tempat/letak digunakan untuk aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, cuci tangan dll, hal inilah yang dapat menimbulkan komplikasi flebitis.

19 45 Di lihat dari penelitian sebelumnya yang di laukan oleh Mulyani (2010), bahwa dalam penelitiannya menunjukkan bahwa lokasi pemasangan infus terletak pada vena sefalika dan tidak terjadi flebitis sebanyak 11 responden (91,7%). Sedangkan lokasi pemasangan infus terletak pada vena metacarpal dan terjadi flebitis sebanyak 20 responden (41,7%). Kejadian flebitis yang disebabkan oleh letak pemasang infus bisa di minimalisirkan dengan menggunakan vena yang lokasinya jauh dari pergelangan tangan/persendian sebagai lokasi untuk pemasangan terapi intravena yang bagus, untuk mengurangi kejadian flebitis yaitu seperti median antebrachial vein (Smeltzer, 2010) 3. Kejadian Flebitis Berdasarkan Fiksasi Infus Berdasarkan hasil penelitian di RSUD. Prof.Dr Aloei Saboe, di dapatkan bahwa flebitis tinggi pada fiksasi kateter yang tidak adekuat yaitu sebanyak 7 orang, (46.7%) dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak pada fiksasi yang adekuat sebanyak 16 orang (80.0%). Peneliti berpendapat bahwa fiksasi kateter yang tidak adekuat dilihat dari plester yang digunakan tidak merekat dengan kuat dikulit, hal ini dikarenakan lembabnya permukaan kulit pasien karena berkeringat sehingga lama-kelamaan plester tidak merekat dengan baik dikulit dan didukung lagi dengan letak pemasangan infus didaerah persendian atau didaerah yang sering dilakukan pergerakan oleh pasien untuk kebutuhan sehari-harinya maka dengan ini plester akan mudah terlepas atau

20 46 kendur sehingga dengan mudah kateter infus keluar masuk divena dimana resiko mencendrai vena dapat terjadi dan resiko terpaparnya kateter infus dengan lingkungan luar yang bisa masuknya bakteri dalam vena. yang mengakibatkan flebitis. Menurut teori yang di kemukakan oleh (Pujasari dalam Sugiarto, 2006), bahwa flebitis terjadi diakibatkan karena pengaruh kanul yang tidak terfiksasi adekuat pada vena di area persendian yang memungkinkan pasien melakukan pergerakan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Gayatri dan Handayani di rumah sakit siti khadijah Palembang menyatakan bahwa 35% dari 60 responden mengalami flebitis dengan Hal ini disebabkan karena kurangnya fiksasi ( tidak adekuat ) dan dekatnya persambungan selang kanul dengan persendian lainnya. Flebitis yang disebabkan oleh fiksasi kateter infus yang tidak adekuat bisa di minimalisir dengan memilih letak pemasangan infus yang jauh dari area persendian atau menghindari letak pemasangan yang sering digunakan pasien untuk beraktivitas. 4. Kejadian Flebitis Berdasarkan Faktor Usia Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD.Prof.Dr.Aloei Saboe Kota Gorontalo, bahwah kejadian flebitis paling banyak terjadi pada usia41-60 tahun yaitu sebanyak 6 orang, (42.9%). Dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak pada usia sebanyak 14 orang (77.8%). Peneliti berpendapat bahwa orang yang sudah berusia lanjut/lansia sudah tidak memiliki fungsi vena yang baik karena penurunan fungsi fisologis sehingga

21 47 resiko cederanya vena yang disebabkan oleh kateter infus itu bisa terjadi dan dapat menyebabkan flebitis, hal ini juga bisa dikarenakan oleh ukuran kateter infus, dimana jika ukuran kateter infus lebih besar di pakai pada pasien yang sudah menurun fungsi venanya, maka dapat terjadi resiko kerusakan pembuluh darah vena yang bisa menyebabkan terjadinya flebitis Sesuai pernyataan dari Phillips (2010), bahwa resiko untuk terjadi infeksi flebitis lebih besar pada orang yang berusia lanjut/lansia karena orang yang berusia lanjut akan mengalami kekakuan pembuluh darah hal ini juga yang menyebabkan semakin sulit untuk dipasang terapi intravena/resiko mencedrai vena itu bisa terjadi. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kamma (2010) di RSUD Tugurejo Semarang, berjudul hubungan antara pemasangan infus dan tingkat usia dengan kejadian flebitis. Di dapatkan dari 100 responden yang mengalami flebitis pada usia yang sudah tua yaitu sebesar 46,7 %. Faktor umur merupakan salah satu penyumbang insiden flebitis, hal ini bisa di minimalisir kejadian flebitisnya dengan menggunakan ukuran kateter infus yang sesuai dengan vena pasien atau ukuran infus yang digunakan sesuai kondisi vena pasien yang sudah lanjut usia yaitu menggunakan ukuran kateter yang berukuran 22G sebagaiman yang direkomndasikan oleh INS dalaam penggunakan kateter infus untuk lansia dan anak-anak.

22 48 2. Kejadian Flebitis Berdasrkan Lama Pemasangan Infus Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang paling banyak mengalami flebitis yaitu dengan lama pemasangan diatas 3 hari sebanyak 5 orang (29.4%). Dan yang tidak mengalami flebitis paling banyak pada lama pemasangan 3 hari sebanyak 6 orang (66.7%). lama pemasangan infus sering dikaitkan juga dengan insiden flebitis, Peneliti berpendapat bahwa hal ini mungkin terjadi karena pada awalnya vena mungkin meradang karena kateter infus yang terlalu besar, atau mungkin karena terpaparnya kateter infus dengan bakteri-bakteri dari luar akibat fiksasi yang tidak adekuat sehingga semakin lama pemasangan infus dengan diawali oleh hal-hal seperti awalnya terjadi peradangan kemudian terpaparnya kateter infus dengan kumankuman dan di dukung oleh lama pemasangan infus tanpa dilakukan perawatan maka semakin tinggi bakteri berkembangbiak sehingga resiko terjadi flebitis juga semakin tinggi. Sesuai pernyataan oleh perry and potter, 2005, Di katakan bahwa hal ini dikarenakan pada hari pertama penusukan terjadi kerusakan jaringan, di mana apabila ada jaringan yang terluka atau terbuka akan memudahkan mikroorganisme masuk. Dengan masuknya mikroorganisme tersebut maka tubuh akan merespon dan ditandai adanya proses inflamasi. Proses inflamasi yang merupakan reaksi tubuh terhadap luka dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung selama 3 hari atau lebih setelah cedera.

23 49 Hal ini juga di lihat dari penelitian sebelumnya oleh Masiyati di dapatkan angka kejadian flebitis paling tinggi dengan lama pemasangan infus jam sebesar 60 % dari 30 sampel. Flebitis yang didasarkan oleh lama pemasangan infus bisa di minimalisir dengan cara menerapkan prosedur yang diterapkan oleh INS, bawah pergantian set infus dilakukan 3x24 jam atau kurang, jika terjadi kontaminasi atau komplikasi.

BAB IV HASIL PENILITIAN DAN PEMBAHASAN. Denah Gambaran Ruangan Perawatan Bedah adalah sebagai berikut : 2) Barat : Tangga khusus pengunjung kelantai 1

BAB IV HASIL PENILITIAN DAN PEMBAHASAN. Denah Gambaran Ruangan Perawatan Bedah adalah sebagai berikut : 2) Barat : Tangga khusus pengunjung kelantai 1 BAB IV HASIL PENILITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil Penilitian disajikan dalam bentuk univariat yang menggambarkan distribusi frekuensi dari responden 4.1.1. Gambaran lokasi peniltian Denah

Lebih terperinci

Summary DESKRIPSI KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG G2 (BEDAH) RSUD PROF.DR. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO TAHUN 2013 ABSTRAK

Summary DESKRIPSI KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG G2 (BEDAH) RSUD PROF.DR. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO TAHUN 2013 ABSTRAK Summary DESKRIPSI KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG G2 (BEDAH) RSUD PROF.DR. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO TAHUN 2013 ABSTRAK Khumaidi Nurdin. 2013. Gambaran kejadian flebitis di ruang G2 ( bedah ) RSUD. Prof.Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (smeltzer, 2002). Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus menerus dan dalam

BAB I PENDAHULUAN. (smeltzer, 2002). Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus menerus dan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan terapi intravena adalah terapi yang bertujuan untuk mensuplai cairan melalui vena ketika pasien tidak mampu mendapatkan makanan, cairan elektrolik lewat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini tinggi resiko terjadinya infeksi yang akan menambah

Lebih terperinci

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi umum lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan pada 5 bangsal yang bernama bangsal Firdaus, bangsal Naim, bangsa Wardah, bangsal Zaitun, dan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 17 Mei-13 Juni 2013 pada pasien di

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 17 Mei-13 Juni 2013 pada pasien di BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Bab ini menguraikan hasil pengumpulan data dan analisis data. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 17 Mei-13 Juni 2013 pada pasien di ruang

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS CAIRAN DAN LOKASI PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN FLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSU PANCARAN KASIH GMIM MANADO

HUBUNGAN JENIS CAIRAN DAN LOKASI PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN FLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSU PANCARAN KASIH GMIM MANADO HUBUNGAN JENIS CAIRAN DAN LOKASI PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN FLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DI RSU PANCARAN KASIH GMIM MANADO Dede Dwi Lestari Amatus Yudi Ismanto Reginus T. Malara Program Studi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 38 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran umum RSI Kendal Rumah Sakit Islam Kendal terletak di Jl Ar Rahmah 17-A Weleri. Tanggal 15 Januari 1996 berdiri dibawah yayasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat, pada awalnya merawat adalah instinct atau naluri.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat, pada awalnya merawat adalah instinct atau naluri. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat, pada awalnya merawat adalah instinct atau naluri. Namun merawat akan menjadi kaku, statis dan tidak berkembang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dari 4 (empat) ruangan, yaitu: Apotik, Poliklinik dan Rawat Inap.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dari 4 (empat) ruangan, yaitu: Apotik, Poliklinik dan Rawat Inap. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H. Aloei Saboe Kota Gorontalo Pertama kali dibangun pada tahun 1926 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. 1) Terapi interavena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penangan oleh tim kesehatan. Penanganan yang diberikan salah satunya berupa

BAB I PENDAHULUAN. penangan oleh tim kesehatan. Penanganan yang diberikan salah satunya berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit perlu mendapatkan penangan oleh tim kesehatan. Penanganan yang diberikan salah satunya berupa pemasangan infus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Rumah sakit sebagai salah satu bagian sistem pelayanan kesehatan yang secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan kesehatan mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Permenkes RI No. 340/MENKES/PER/III/2010). Dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN. (Permenkes RI No. 340/MENKES/PER/III/2010). Dalam memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh manusia antara lain sebagai alat transportasi nutrien, elektrolit dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh manusia antara lain sebagai alat transportasi nutrien, elektrolit dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tubuh manusia sebagaimana mahluk hidup yang lain tersusun atas berbagai sistem organ, puluhan organ, ribuan jaringan dan jutaan molekul. Fungsi cairan dalam tubuh manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spesifik, sehingga dapat dikembangkan setinggi-tingginya. Hal. ini. Ada beberapa kategori tingkat pendidikan seperti perawat

BAB I PENDAHULUAN. spesifik, sehingga dapat dikembangkan setinggi-tingginya. Hal. ini. Ada beberapa kategori tingkat pendidikan seperti perawat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Profesi keperawatan memiliki dasar pendidikan yang spesifik, sehingga dapat dikembangkan setinggi-tingginya. Hal ini menyebabkan profesi keperawatan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dirumah sakit merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dirumah sakit merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dirumah sakit merupakan bentuk pelayanan yang di berikan kepada pasien melibatkan tim multi disiplin termasuk tim keperawatan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sakit (infeksi Nosokomial) adalah infeksi yang tidak ada atau berinkubasi pada saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sakit (infeksi Nosokomial) adalah infeksi yang tidak ada atau berinkubasi pada saat 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Flebitis Infeksi flebitis merupakan salah satu dari infeksi nosokomial.menurut Bennet & Brachman (dalam Gould D & Brooker C, 2003), infeksi yang didapat dirumah sakit (infeksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Lokasi Penelitian RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan berada di wilayah Kota Pekalongan namun kepemilikannya adalah milik Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalani rawat inap. ( Wahyunah, 2011). Terapi intravena berisiko untuk terjadi komplikasi lokal pada daerah pemasangan

BAB I PENDAHULUAN. menjalani rawat inap. ( Wahyunah, 2011). Terapi intravena berisiko untuk terjadi komplikasi lokal pada daerah pemasangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk mencegah dan memperbaiki ketidak seimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh manusia diperlukan terapi intravena. Menurut Perdue dalam Hankins, Lonway,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah (RSUD) Prof. DR. Aloe Saboe kota Gorontalo. Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Mei s.

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah (RSUD) Prof. DR. Aloe Saboe kota Gorontalo. Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Mei s. 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi/tempat, di ruang G2, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. DR. Aloe Saboe kota Gorontalo 3.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemberian obat secara intravena (Smeltzer & Bare, 2001).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemberian obat secara intravena (Smeltzer & Bare, 2001). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pemasangan infus atau terapi intravena adalah suatu tindakan pemberian cairan melalui intravena yang bertujuan untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrien untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini menguraikan tentang tingkat nyeri pada pasien post operasi, yang diperoleh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini menguraikan tentang tingkat nyeri pada pasien post operasi, yang diperoleh BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4. Hasil Penelitian Dalam bab ini menguraikan tentang tingkat nyeri pada pasien post operasi, yang diperoleh melalui pengumpulan data menggunakan kuesioner data demografi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang dilakukan dengan metode onal dan dengan desain penelitian Cohort Prospektif. Menurut Hidayat (2010),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kepada pasien yang membutuhkan akses vaskuler (Gabriel, 2008). Lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. kepada pasien yang membutuhkan akses vaskuler (Gabriel, 2008). Lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terapi intravena adalah bagian terpenting dari sebagian terapi yang diberikan di rumah sakit, dan merupakan prosedur umum yang diberikan kepada pasien yang membutuhkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERAWATAN INFUS DENGAN TERJADINYA FLEBITIS PADA PASIEN YANG TERPASANG INFUS. Sutomo

HUBUNGAN PERAWATAN INFUS DENGAN TERJADINYA FLEBITIS PADA PASIEN YANG TERPASANG INFUS. Sutomo HUBUNGAN PERAWATAN INFUS DENGAN TERJADINYA FLEBITIS PADA PASIEN YANG TERPASANG INFUS Sutomo Program Studi Profesi NERS, STIKES Dian Husada Mojokerto Email : sutomo.ners@gmail.com ABSTRAK Mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, terlebih lagi di negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit infeksi didapatkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi dan penyakit menular merupakan masalah yang masih dihadapi oleh negara-negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi dan penyakit menular merupakan masalah yang masih dihadapi oleh negara-negara berkembang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi dan penyakit menular merupakan masalah yang masih dihadapi oleh negara-negara berkembang. Seperti halnya di Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Wongkaditi, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo. Rumah Sakit ini

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Wongkaditi, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo. Rumah Sakit ini BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Merupakan Rumah Sakit Umum (RSU) terbesar yang ada di Wilayah Provinsi

Lebih terperinci

DAFTAR RIWAYAT HIDUP. : Ade Indriya Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 15 Januari : TASBI blok J No. 12, Medan

DAFTAR RIWAYAT HIDUP. : Ade Indriya Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 15 Januari : TASBI blok J No. 12, Medan Lampiran 1 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Ade Indriya Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 15 Januari 1991 Agama : Islam Alamat : TASBI blok J No. 12, Medan Riwayat Pendidikan : 1. Sekolah Dasar Swasta Bhayangkari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50%

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50% mendapat terapi intravena (IV). Namun, terapi IV terjadi di semua lingkup pelayanan di rumah sakit yakni IGD,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan

BAB I PENDAHULUAN. di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan sakit pada anak usia prasekolah dan anak usia sekolah banyak ditemui di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan selama dirawat

Lebih terperinci

1 GAMBARAN PERILAKU PERAWAT DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS. BAPTIS KEDIRI

1 GAMBARAN PERILAKU PERAWAT DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS. BAPTIS KEDIRI 1 GAMBARAN PERILAKU PERAWAT DALAM PENCEGAHAN TERJADINYA FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP RS. BAPTIS KEDIRI DESCRIPTION OF NURSE IN THE PREVENTION OF BEHAVIOR IN THE EVENT OF PLEBITIS INPATIENT KEDIRI BAPTIST

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Demografi Responden Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Demografi Responden Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Demografi Responden Penelitian Di dalam penelitian ini terdapat dua kategori responden yaitu 42 orang perawat dan 42 orang pasien yang sedang mendapatkan

Lebih terperinci

PREVALENSI PHLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN INFUS DI RSUD TUGUREJO SEMARANG

PREVALENSI PHLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN INFUS DI RSUD TUGUREJO SEMARANG PREVALENSI PHLEBITIS PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN INFUS DI RSUD TUGUREJO SEMARANG Ika Nur Jannah 1), Suhartono 2), Mateus Sakundarno Adi 3) 1 Mahasiswa Peminatan Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan pada saluran pencernaan (gastrointestinal) merupakan sebagian besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan medik. Kasus pada sistem gastrointestinal

Lebih terperinci

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR PEMBERIAN NUTRISI PARENTERAL SOP

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR PEMBERIAN NUTRISI PARENTERAL SOP STANDART OPERASIONAL PROSEDUR PEMBERIAN NUTRISI PARENTERAL SOP Untuk memenuhi tugas matakuliah Keperawatan Medikal Bedah I yang dibina oleh Bapak Rudi Hamarno, M.Kep Oleh Kelompok 11 Pradnja Paramitha

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN PASIEN TENTANG TERAPI INFUS (INTRAVENA) DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI IRINA A BAWAH RSUP PROF. DR. R. D.

HUBUNGAN PENGETAHUAN PASIEN TENTANG TERAPI INFUS (INTRAVENA) DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI IRINA A BAWAH RSUP PROF. DR. R. D. HUBUNGAN PENGETAHUAN PASIEN TENTANG TERAPI INFUS (INTRAVENA) DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI IRINA A BAWAH RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO Febrianty J. Lumolos Mulyadi Abram Babakal Program Studi Ilmu Keperawatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA LOKASI PENUSUKAN INFUS DAN TINGKAT USIA DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP DEWASA RSUD TUGUREJO SEMARANG

HUBUNGAN ANTARA LOKASI PENUSUKAN INFUS DAN TINGKAT USIA DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP DEWASA RSUD TUGUREJO SEMARANG HUBUNGAN ANTARA LOKASI PENUSUKAN INFUS DAN TINGKAT USIA DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG RAWAT INAP DEWASA RSUD TUGUREJO SEMARANG Dewi Nurjanah**) Sri Puguh Kristiyawati**), Achmad Solechan**) *) Alumni

Lebih terperinci

PENILAIAN INDIKATOR MUTU RSUD JEND. AHMAD YANI METRO BULAN: AGUSTUS 2016 s/d OKTOBER 2016

PENILAIAN INDIKATOR MUTU RSUD JEND. AHMAD YANI METRO BULAN: AGUSTUS 2016 s/d OKTOBER 2016 A. INDIKATOR AREA KLINIS PENILAIAN INDIKATOR MUTU 1 Asesmen awal keperawatan dalam 24 jam pada pasien rawat inap 2 Angka kesalahan pengambilan sampel darah untuk semua pemeriksaan 100 62,1 65,4 94,8 0

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN UKURAN DAN LETAK PEMASANGAN INTRAVENA CATHETER TERHADAP KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD UNGARAN

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN UKURAN DAN LETAK PEMASANGAN INTRAVENA CATHETER TERHADAP KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD UNGARAN HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN UKURAN DAN LETAK PEMASANGAN INTRAVENA CATHETER TERHADAP KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD UNGARAN *Rizka Oktyaningrum **Priyanto, S.Kep, Umi Aniroh *Mahasiswa STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sekaligus tempat perawatan bagi orang sakit. Menurut Hanskins et al (2004)

BAB 1 PENDAHULUAN. sekaligus tempat perawatan bagi orang sakit. Menurut Hanskins et al (2004) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan suatu tempat pelayanan kesehatan dan sekaligus tempat perawatan bagi orang sakit. Menurut Hanskins et al (2004) mengatakan bahwa sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapat terapi melalui IV (Hindley,2004). Pemasangan terapi. intravena merupakan tindakan memasukan jarum (abocath)

BAB I PENDAHULUAN. mendapat terapi melalui IV (Hindley,2004). Pemasangan terapi. intravena merupakan tindakan memasukan jarum (abocath) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemasangan infus atau pemberian terapi cairan intravena (IV) merupakan merupakan salah satu hal yang paling sering di jumpai pada pasien yang akan melakukan

Lebih terperinci

promotif (pembinaan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), kuratif (pengobatan penyakit) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan) serta dapat

promotif (pembinaan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), kuratif (pengobatan penyakit) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan) serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif (pembinaan

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIK KLINIK KETRAMPILAN DASAR KEBIDANAN

MODUL PRAKTIK KLINIK KETRAMPILAN DASAR KEBIDANAN MODUL PRAKTIK KLINIK KETRAMPILAN DASAR KEBIDANAN 2015 A K A D E M I K E B I D A N A N G R I Y A H U S A D A S U R A B A Y A KETERAMPILAN KLINIK INJEKSI I. DISKRIPSI MODUL Pendahuluan Tujuan Metode Penuntun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN. 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian 4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien dengan luka

Lebih terperinci

MODUL KETERAMPILAN KLINIK ASUHAN KEBIDANAN

MODUL KETERAMPILAN KLINIK ASUHAN KEBIDANAN MODUL KETERAMPILAN KLINIK ASUHAN KEBIDANAN AKADEMI KEBIDANAN GRIYA HUSADA SURABAYA PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN TAHUN 2013 i KATA PENGANTAR Dengan memanjadkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP PASIEN DALAM PENGGANTIAN POSISI INFUS DI RUANG SHOFA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP PASIEN DALAM PENGGANTIAN POSISI INFUS DI RUANG SHOFA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP PASIEN DALAM PENGGANTIAN POSISI INFUS DI RUANG SHOFA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN Sri Hananto Ponco Nugroho Prodi S1 Keperawatan STIKES.......ABSTRAK.....

Lebih terperinci

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP PASIEN DALAM PENGGANTIAN POSISI INFUS DI RUANG SHOFA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP PASIEN DALAM PENGGANTIAN POSISI INFUS DI RUANG SHOFA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP SIKAP PASIEN DALAM PENGGANTIAN POSISI INFUS DI RUANG SHOFA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN Sri Hananto Ponco Nugroho.......ABSTRAK..... Banyak faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit adalah suatu organisasi pelayanan sosial kemanusiaan. Secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit adalah suatu organisasi pelayanan sosial kemanusiaan. Secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit adalah suatu organisasi pelayanan sosial kemanusiaan. Secara aktual pelayanan rumah sakit telah berkembang menjadi suatu industri yang berbasis pada prinsip

Lebih terperinci

No. Kuesioner : I. Identitas Responden 1. Nama : 2. Umur : 3. Jenis Kelamin : 4. Pendidikan : 5. Pekerjaan : 6. Sumber Informasi :

No. Kuesioner : I. Identitas Responden 1. Nama : 2. Umur : 3. Jenis Kelamin : 4. Pendidikan : 5. Pekerjaan : 6. Sumber Informasi : KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN KELUARGA PASIEN TENTANG PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL PADA RUANG KELAS III INSTALASI RAWAT INAP TERPADU A DAN RAWAT INAP TERPADU B RUMAH SAKIT UMUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu upaya yang mendorong rumah sakit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu upaya yang mendorong rumah sakit untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu upaya yang mendorong rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas tinggi. Panduan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompetitif, toksin, replikasi intra seluler atau reaksi antigen-antibodi.

BAB I PENDAHULUAN. kompetitif, toksin, replikasi intra seluler atau reaksi antigen-antibodi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi didalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah invasi tubuh oleh mikroorganisme

Lebih terperinci

Tabel 2.3 Pungsi Vena dengan Menggunakan Jarum Berlapis Kateter Plastik

Tabel 2.3 Pungsi Vena dengan Menggunakan Jarum Berlapis Kateter Plastik 100 101 Lampiran 1. Tabel 2.3 Pungsi Vena dengan Menggunakan Jarum Berlapis Kateter Plastik Langkah-Langkah 1. Observasi tanda dan gejala yang mengindikasikan keseimbangan cairan dan elektrolit a. mata

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN PERAWAT DENGAN KEPATUHAN PENERAPAN PROSEDUR TETAP PEMASANGAN INFUS DI RUANG RAWAT INAP RSDM SURAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN PERAWAT DENGAN KEPATUHAN PENERAPAN PROSEDUR TETAP PEMASANGAN INFUS DI RUANG RAWAT INAP RSDM SURAKARTA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN PERAWAT DENGAN KEPATUHAN PENERAPAN PROSEDUR TETAP PEMASANGAN INFUS DI RUANG RAWAT INAP RSDM SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Derajat Sarjana

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN FLEBITIS PADA PEMASANGAN KATETER INTRAVENA PADA TANGAN DOMINAN DENGAN NONDOMINAN DI RUMAH SAKIT PARU

PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN FLEBITIS PADA PEMASANGAN KATETER INTRAVENA PADA TANGAN DOMINAN DENGAN NONDOMINAN DI RUMAH SAKIT PARU PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN FLEBITIS PADA PEMASANGAN KATETER INTRAVENA PADA TANGAN DOMINAN DENGAN NONDOMINAN DI RUMAH SAKIT PARU dr. ARIO WIRAWAN SALATIGA SKRIPSI Disusun Oleh: Tino Dianto 462008004 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bengkak, streak formation dan atau terabanya Venous cord

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bengkak, streak formation dan atau terabanya Venous cord BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Flebitis 2.1.1 Pengertian Flebitis merupakan inflamasi pada pembuluh darah vena yang ditandai dengan adanya daerah yang nyeri, bengkak, streak formation dan atau terabanya Venous

Lebih terperinci

Lampiran 1 LEMBAR OBSERVASI

Lampiran 1 LEMBAR OBSERVASI Lampiran 1 LEMBAR OBSERVASI No. Pernyataan Ya Kadang - kadang 1. Perawat mengidentifikasi pasien dengan menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien 2. Perawat

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN PEMBERIAN INJEKSI INTRAVENA DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RUANG PERAWATAN ANAK RUMAH SAKIT TK II PELAMONIA MAKASSAR.

ABSTRAK HUBUNGAN PEMBERIAN INJEKSI INTRAVENA DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RUANG PERAWATAN ANAK RUMAH SAKIT TK II PELAMONIA MAKASSAR. ABSTRAK HUBUNGAN PEMBERIAN INJEKSI INTRAVENA DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RUANG PERAWATAN ANAK RUMAH SAKIT TK II PELAMONIA MAKASSAR Hasriani Azis Pada tahun 2012 diperoleh data di Rumah Sakit TK II Pelamonia,

Lebih terperinci

TINDAKAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL LUKA PASCA BEDAH

TINDAKAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL LUKA PASCA BEDAH TINDAKAN PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL LUKA PASCA BEDAH Rahmat Ali Putra Hrp*Asrizal** *Mahasiswa **Dosen Departemen Keperawatan Medikal bedah Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

OBEDIENCE OF NURSE IN IMPLEMENTING STANDART OPERATING PROCEDURE OF INFUSION INSERTION WITH THE PHLEBITIS

OBEDIENCE OF NURSE IN IMPLEMENTING STANDART OPERATING PROCEDURE OF INFUSION INSERTION WITH THE PHLEBITIS Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Standar Prosedur Operasional Pemasangan Infus terhadap Phlebitis Ince Maria, Erlin Kurnia KEPATUHAN PERAWAT DALAM MELAKSANAKAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4 Kelurahan Wongkaditi Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi sewaktu sfingter uretra interna dan eksterna didasar kandung kemih berelaksasi. Derajat regang yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Plebitis Pemberian terapi intravena tidak bisa lepas dari adanya komplikasi. Komplikasi yang bisa didapatkan dari pemberian terapi intravena adalah komplikasi sistemik

Lebih terperinci

HUBUNGAN LAMANYA PEMASANGAN KATETER INTRAVENA DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG PENYAKIT DALAM RSU JEND. A. YANI METRO TAHUN 2013

HUBUNGAN LAMANYA PEMASANGAN KATETER INTRAVENA DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG PENYAKIT DALAM RSU JEND. A. YANI METRO TAHUN 2013 JURNAL KESEHATAN HOLISTIK Vol 8, No 2, April 2014 : 89-93 HUBUNGAN LAMANYA PEMASANGAN KATETER INTRAVENA DENGAN KEJADIAN FLEBITIS DI RUANG PENYAKIT DALAM RSU JEND. A. YANI METRO TAHUN 2013 Bambang Hirawan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan derajat suhu tubuh sebelum dan sesudah diberikan perlakuan kompres

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus anak, dan kerap kali harus berhubungan dan bergaul dengan anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. mengurus anak, dan kerap kali harus berhubungan dan bergaul dengan anak-anak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sakit dan dirawat di rumah sakit jauh dari menyenangkan bagi anak. Hal ini merupakan suatu stresor karena anak tidak mengerti mengapa dia dirawat. Perpisahan dengan

Lebih terperinci

Kebutuhan cairan dan elektrolit

Kebutuhan cairan dan elektrolit Kebutuhan cairan dan elektrolit Cairan adalah suatu kebutuhan pokok dan sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan. Bila tubuh kehilangan cairan dalam jumlah yang besar maka akan terjadi perubahan

Lebih terperinci

PENCEGAHAN INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER (IADP) (Rana Suryana SKep. Medical Dept. PT Widatra Bhakti)

PENCEGAHAN INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER (IADP) (Rana Suryana SKep. Medical Dept. PT Widatra Bhakti) PENCEGAHAN INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER (IADP) (Rana Suryana SKep. Medical Dept. PT Widatra Bhakti) I. Pendahuluan Penggunaan peralatan intravaskular (IV) tidak dapat dihindari pada pelayanan rumah sakit

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TEHNIK INSERSI DAN LOKASI PEMASANGAN KATETER INTRAVENA DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD AMBARAWA

HUBUNGAN ANTARA TEHNIK INSERSI DAN LOKASI PEMASANGAN KATETER INTRAVENA DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD AMBARAWA HUBUNGAN ANTARA TEHNIK INSERSI DAN LOKASI PEMASANGAN KATETER INTRAVENA DENGAN KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD AMBARAWA Ninik Lindayanti* Priyanto** *Perawat RSUD Ambarawa Kabupaten Semarang **Dosen STIKES Ngudi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang banyak dialami oleh manusia. Meskipun bukan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang banyak dialami oleh manusia. Meskipun bukan merupakan 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Penyakit gastrointestinal (saluran pencernaan) merupakan masalah kesehatan yang banyak dialami oleh manusia. Meskipun bukan merupakan penyebab terbanyak kematian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo bertempat di jalan Prof. Dr. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4 Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gagal bisa juga berakibat buruk. Hal ini sangat tergantung kapan, bagaimana,

BAB I PENDAHULUAN. gagal bisa juga berakibat buruk. Hal ini sangat tergantung kapan, bagaimana, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam segala proses kehidupan komunikasi merupakan hal paling pokok. HAM (Hubungan Antar Manusia) bisa terjadi tidak lain karena adanya sistem komunikasi. Berbagai

Lebih terperinci

GAMBARAN FAKTOR LETAK PEMASANGAN INFUS DAN JENIS PENYAKIT PADA KEJADIAN PLEBITIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIAMIS

GAMBARAN FAKTOR LETAK PEMASANGAN INFUS DAN JENIS PENYAKIT PADA KEJADIAN PLEBITIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIAMIS GAMBARAN FAKTOR LETAK PEMASANGAN INFUS DAN JENIS PENYAKIT PADA KEJADIAN PLEBITIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIAMIS SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Pada Program

Lebih terperinci

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN SIKAP KOPERATIF ANAK USIA PRA SEKOLAH SELAMA PROSEDUR INJEKSI INTRAVENA DI RSUD PROF. DR.

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN SIKAP KOPERATIF ANAK USIA PRA SEKOLAH SELAMA PROSEDUR INJEKSI INTRAVENA DI RSUD PROF. DR. HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN SIKAP KOPERATIF ANAK USIA PRA SEKOLAH SELAMA PROSEDUR INJEKSI INTRAVENA DI RSUD PROF. DR. HI. ALOEI SABOE KOTA GORONTALO SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perut kuadran kanan bawah (Smeltzer, 2002). Di Indonesia apendisitis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perut kuadran kanan bawah (Smeltzer, 2002). Di Indonesia apendisitis merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang terletak di perut kuadran kanan bawah (Smeltzer, 2002). Di Indonesia apendisitis merupakan penyakit urutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Appendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada Appendiks vermiformis

BAB I PENDAHULUAN. Appendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada Appendiks vermiformis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Appendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada Appendiks vermiformis dan merupakan penyebab akut abdomen paling sering (Neil Pierce : 2007). Insiden terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi.

Lebih terperinci

Hubungan Prosedur Pemasangan Infus dengan Kejadian Plebitis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Majene

Hubungan Prosedur Pemasangan Infus dengan Kejadian Plebitis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Majene Hubungan Prosedur Pemasangan Infus dengan Kejadian Plebitis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Majene Sastriani STIKES MARENDENG ABSTRAK Pencegahan dan kontrol infeksi penting untuk menciptakan lingkungan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawat adalah tenaga medis yang selama 24 jam bersama dengan pasien yang dirawat di rumah sakit. Peran perawat sangat besar dalam proses penyembuhan pasien. Perawat

Lebih terperinci

Gangguan Pada Bagian Sendi

Gangguan Pada Bagian Sendi Gangguan Pada Bagian Sendi Haemarthrosis ( Hemarthrosis ) Hemarthrosis adalah penyakit kompleks di mana terjadi perdarahan ke dalam rongga sendi - Penyebab (Etiologi) Traumatic nontraumatic Degrees - Gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia

BAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia 28 hari atau satu bulan,dimana pada masa ini terjadi proses pematangan organ, penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Apendicitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab penyakit abdomen akut yang sering terjadi di negara berkembang, penyakit ini dapat mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam

BAB I PENDAHULUAN. perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini tinggi resiko terjadinya infeksi yang

Lebih terperinci

UPAYA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN PHLEBITIS PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT BAPTIS KEDIRI

UPAYA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN PHLEBITIS PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT BAPTIS KEDIRI Jurnal STIKES Vol. 7, No.2, Desember 2014 UPAYA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN PHLEBITIS PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT BAPTIS KEDIRI NURSE S IMPLEMENTATION IN PREVENTION OF PHLEBITIS TO PATIENTS IN BAPTIST HOSPITAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah cairan yang lebih sedikit. Perbedaan ini karena laki-laki

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah cairan yang lebih sedikit. Perbedaan ini karena laki-laki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cairan dalam tubuh mencakup 50% - 60% dari total berat badan (Ignatavicius & Workman, 2006). Jumlah tersebut sangat bervariasi tergantung dari umur, jenis kelamin dan

Lebih terperinci

DAMPAK TERAPI INTRAVENA PADA BALITA BERDASAR VIP (VISUAL INFUSION PHLEBITIS) SCORE

DAMPAK TERAPI INTRAVENA PADA BALITA BERDASAR VIP (VISUAL INFUSION PHLEBITIS) SCORE DAMPAK TERAPI INTRAVENA PADA BALITA BERDASAR VIP (VISUAL INFUSION PHLEBITIS) SCORE (The Effects of Intravenous Therapy in Infants Based on the VIP (Visual Infusion Phlebitis) Score) Hernantika Rahmawati

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. April 2006 oleh Gubernur Gorontalo. Rumah Sakit Umum Daerah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. April 2006 oleh Gubernur Gorontalo. Rumah Sakit Umum Daerah BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Pohuwato diresmikan pada tanggal 6 April 2006 oleh Gubernur Gorontalo. Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan menyelenggarakan dua jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi.

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG TERAPI INFUS DENGAN KEJADIAN PLEBITIS DAN KENYAMANAN PASIEN DI RUANG RAWAT INAP DI RSUD INDRAMAYU

HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG TERAPI INFUS DENGAN KEJADIAN PLEBITIS DAN KENYAMANAN PASIEN DI RUANG RAWAT INAP DI RSUD INDRAMAYU HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG TERAPI INFUS DENGAN KEJADIAN PLEBITIS DAN KENYAMANAN PASIEN DI RUANG RAWAT INAP DI RSUD INDRAMAYU Wayunah STIKES Indramayu E-mail: mumet_plumbon@yahoo.co.id Abstract:

Lebih terperinci

PANDUAN PENANGANAN, PENGGUNAAN DAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG

PANDUAN PENANGANAN, PENGGUNAAN DAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG PANDUAN PENANGANAN, PENGGUNAAN DAN PEMBERIAN DARAH DAN PRODUK DARAH RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN LAMPUNG 2 0 1 5 BAB I DEFINISI Transfusi darah adalah pemindahan darah dari donor ke dalam peredaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma /ruda paksa atau tenaga fisik yang ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

HUBUNGAN LAMA PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN PLEBITIS DI SMC RS. TELOGOREJO

HUBUNGAN LAMA PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN PLEBITIS DI SMC RS. TELOGOREJO HUBUNGAN LAMA PEMASANGAN INFUS DENGAN KEJADIAN PLEBITIS DI SMC RS. TELOGOREJO Suharti *) Hanifah Meira, Heny Udhiyah, Monica rizky **) *) Dosen Program Studi D3 Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang **)

Lebih terperinci

1.5 Metode Penelitian Tahapan yang akan dilakukan dalam menyelesaikan tugas akhir ini dibagi bebrapa tahapan, diantaranya:

1.5 Metode Penelitian Tahapan yang akan dilakukan dalam menyelesaikan tugas akhir ini dibagi bebrapa tahapan, diantaranya: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi yang semakin canggih menyebabkan tuntutan akan kemudahan dan ketepatan. Demikian halnya perkembangan ilmu dan teknologi di

Lebih terperinci

Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya

Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan, bahkan pencegahan terhadap berbagai gangguan yang terjadi di dalam tubuhnya .1 PRINSIP PENGOBATAN

Lebih terperinci