BAB I PENDAHULUAN I.1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bencana kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan serius yang di hadapi bangsa Indonesia. Bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir tiap tahun terjadi pada saat musim kemarau. Kebakaran terjadi bukan hanya pada lahan yang kering, tetapi juga terjadi pada lahan yang basah (lahan gambut). Dalam kasus tersebut kebakaran lahan gambut jauh lebih sulit untuk penanggulanganya dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di lahan yang kering (tanah yang mengandung mineral). Penyebabnya adalah persebaran titik api terjadi tidak hanya pada vegetasi di atas lahan gambut saja tetapi juga terjadi di dalam lapisan tanah gambut yang sulit untuk diketahui persebaran titik apinya (Adinugroho. dkk, 2004). Lahan gambut tersebar luas di seluruh pulau Indonesia khususnya pulau Sumatera Provinsi Riau. Dalam hal ini Provinsi Riau sering terjadi kebakaran lahan gambut pada saat musim kemarau. Akibat sering terjadinya kebakaran lahan gambut di daerah Sumatera khususnya Provinsi Riau menjadi berita utama di mana-mana. Dalam hal ini Pemerintah daerah maupun pusat belum sepenuhnya mampu mengatasi bencana alam ini disebabkan sulitnya usaha pemadaman api pada lahan gambut. Minggu 2 Maret 2014 Pekanbaru (ANTARA News), Komandan Satgas Tanggap Darurat Asap Riau, Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto menyatakan bahwa hasil pantauan udara oleh TNI Angkatan Udara kebakaran lahan gambut terluas di daerah Kabupaten Bengkalis yang memiliki seluas hektar. Permasalahan bencana alam ini pemerintah atau penyelenggara perlu melakukan penanggulangan bencana sesegera mungkin dengan didasarkan langkahlangkah yang sitematis, terencana, dan efektif untuk mengurangi dampak kerugian yang timbul dari bencana kebakaran lahan gambut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan kebakaran lahan gambut di antaranya : 1. Bahaya yaitu kawasan mana saja yang memiliki potensi bahaya yang ditimbulkan dari bencana terjadi. 1

2 2. Kerentanan yaitu daerah mana saja yang memiliki kerentanan akibat yang ditimbulkan dari bencana terjadi. 3. Kapasitas yaitu dareah mana saja yang memiliki kapasitas untuk menanggulangi bencana yang terjadi. Pembuatan peta kebakaran lahan gambut bertujuan untuk melakukan pembuatan peta risiko kebakaran lahan gambut khususnya daerah Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Diharapkan hasil kegiatan aplikatif ini dapat membantu Pemerintah dalam mengambil keputusan langkah menanggulangi kebakaran lahan gambut secara sistematis, terencana dan efektif. I. 2. Ruang Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan dalam proyek ini dibatasi pada hal-hal berikut : 1. Lokasi proyek adalah daerah Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. 2. Proyek ini hanya berfokus pada daerah lahan gambut. 3. Data kebakaran berdasarkan citra MODIS tahun Pada penyusunan peta kapasitas nilai kapasitas dianggap konstan. 5. Proyek ini hanya sebatas tahap identifikasi awal pada penanggulangan dan mitigiasi bencana. I.3. Tujuan Tujuan dari proyek ini adalah pembuatan peta risiko kebakaran lahan gambut di daerah Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau pada tahun 2000 sampai I.4. Manfaat Dengan adanya kegiatan aplikatif ini, peta risiko setelah dibuat dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Sebagai pertimbangan pemerintah dalam perencanaan dan penanggulangan risiko bencana kebakaran lahan gambut. 2

3 2. Sebagai alat analisis risiko bencana berbasis spasial meliputi analisis bahaya, analisis kerentanan, dan analisis kapasitas. 3. Diharapkan dapat digunakan untuk membantu instansi terkait dalam mitigasi bencana. I.5. Landasan Teori I.5.1. Gambut I Pengertian. Menurut PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan dan mempunyai kandungan bahan organik yang telah terdekomposisi. Ekosistem gambut yaitu tatanan unsur gambut yang memiliki karakteristik unik dan bersifat rapuh. Letak ekosistem gambut diampit oleh dua sungai, di antara sungai dan laut. Gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan berlapis-lapis seiring dengan kejadian lingkungan alamnya. Lambat laun dalam ribuan tahun kemudian terbentuk lapisan kubah gambut. Kubah gambut adalah ekosistem gambut yang cembung dan memiliki elevasi lebih tinggi dari daerah sekitarnya yang berfungsi sebagai pengatur penyeimbang air. I Klasifikasi Tanah Gambut. Klasifikasi tanah gambut di dasarkan pada ketebalan lapisan bahan organiknya. Gambut dibagi dalam empat kategori yaitu gambut dangkal, tengahan, dalam, dan sangat dalam (Noor, 2010). 1. Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara cm. 2. Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara cm. 3. Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara cm. 4. Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara >300 cm. 3

4 I Tipe Kebakaran Lahan Gambut. Kebakaran lahan gambut tergolong dalam kebakaran bawah (ground fire). Pada tipe ini, api menyebar tidak menentu, dikarenakan api di bawah permukaan tanpa dipengaruhi oleh angin. Api membakar bahan organik dengan pembakaran yang tidak menyala sehingga hanya asap saja yang tampak di atas permukaan. Kebakaran bawah ini tidak terjadi dengan sendirinya, biasanya api berasal dari permukaan, kemudian menjalar ke bawah membakar bahan organik melalui pori-pori gambut. Gambar I.1 menggambarkan ilustrasi tipe kebakaran bawah (Adinugroho. dkk, 2004). Gambar I.1 Ilustrasi tipe kebakaran bawah (Adinugroho. dkk, 2004) Dalam perkembangannya, api menjalar secara vertikal dan horizontal berbentuk seperti cerobong asap. Mengingat tipe kebakaran yang terjadi di dalam tanah dan hanya asapnya saja yang muncul di permukaan, maka kegiatan pemadaman akan mengalami banyak kesulitan. Pemadaman secara tuntas terhadap api di dalam lahan gambut hanya akan berhasil, jika pada lapisan gambut yang terbakar tergenangi oleh air. Gambaran kebakaran lahan gambut dapat dilihat pada Gambar I.2. 4

5 Gambar I.2 Kebakaran lahan gambut (sumber I.5.2. Pengertian Bencana Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Penyebab terjadinya bencana digolongkan menjadi tiga macam yaitu : 1. Bencana yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, kebakaran hutan dan lahan, tsunami, letusan gunung api, angin ribut dan kekeringan. 2. Bencana yang disebabkan oleh non alam seperti wabah penyakit, kegagalan teknologi dan kebakaran pemukiman. 3. Bencana yang disebabkan karena kondisi sosial seperti perperangan dan aksi teror. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik suatu kawasan dalam jangka waktu tertentu untuk mengurangi dan mencegah kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya. Kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis tingkat bahaya, 5

6 kerentanan dan kapasitas daerah (BNPB, 2012). Dalam kegiatan kajian risiko bencana ada beberapa komponen penilaian risiko bencana, yaitu risiko (risk), bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity). I Bahaya atau Hazard. Bahaya adalah suatu fenomena atau peristiwa yang dapat menimbulkan bencana pada daerah tertentu. Dalam penilain tingkatan bahaya ada beberapa komponen indeks bahaya yang di hitung. Hasil dari nilai indeks bahaya tersebut berupa peta bahaya. Peta bahaya adalah gambaran atau representasi suatu wilayah yang memiliki suatu bahaya tertentu. Dalam penyusunan peta bahaya, komponen-komponen utama ini dipetakan dengan menggunakan perangkat GIS. Pemetaan baru dapat dilaksanakan setelah seluruh data indikator pada tiap komponen diperoleh dari sumber data yang telah ditentukan. Data yang diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas bahaya, yaitu rendah, sedang dan tinggi. I Kerentanan. Kerentanan adalah suatu kondisi individu atau kelompok yang mengarah atau menyebabkan ketidakmapuan dalam mengantisipasi bahaya bencana. Peta kerentanan adalah gambaran atau representasi suatu wilayah yang menyatakan kondisi wilayah tersebut memiliki suatu kerentanan tertentu yang dapat mengakibatkan risiko bencana. Peta kerantanan diperoleh dari dua indeks yaitu indeks kerugian dan indeks penduduk terpapar. Penentuan Indeks Penduduk Terpapar dihitung dari komponen sosial budaya di kawasan yang diperkirakan terlanda bencana. Komponen ini diperoleh dari indikator kepadatan penduduk dan indikator kelompok rentan pada suatu daerah bila terkena bencana. Indikator kerentanan sosial yang digunakan adalah kepadatan penduduk. Indeks kerentanan sosial diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk Komponen dan indikator untuk menghitung Indeks Penduduk Terpapar dapat dilihat pada Tabel I.1 berikut ini. 6

7 Tabel I.1. Komponen dan indikator indeks penduduk terpapar (Sumber : Perka BNPB no 2 Tahun 2012) BENCANA Kebakaran Hutan dan Lahan KOMPONEN/INDIKATOR Sosial Budaya ( 30 % ) Kepadatan Penduduk KELAS INDEKS RENDAH SEDANG TINGGI < 500 jiwa/km jiwa/km2 > 1000 jiwa/km2 BOBOT TOTAL 60% Kelompok Rentan < 20 % % > 40 % 40% SUMBER DATA Podes, Susenas, dan Penggunaan lahan Podes, Susenas, dan PPLS Penentuan indeks kerugian dihitung dari komponen ekonomi, fisik dan lingkungan. Komponen-komponen ini dihitung berdasarkan indikator-indikator pada jenis bahaya bencana. Indeks kerugian ekonomi dapat dilihat pada Tabel I.2. Tabel I.2. Komponen dan indikator indeks kerugian ekonomi (Sumber : Perka BNPB no 2 tahun 2012) BENCANA Kebakaran Hutan dan Lahan KOMPONEN KELAS INDEKS / INDIKATOR RENDAH SEDANG TINGGI Ekonomi dalam Rupiah (20%) luas lahan produktif < Rp 50 juta kontibusi PDRB < Rp 100 persektor juta Fisik dalam rupiah (10%) < Rp 400 Rumah juta < Rp 500 fasilitas umum juta < Rp 500 fasilitas kritis juta Rp juta Rp juta Rp juta Rp M Rp M BOBOT TOTAL > Rp 200 juta 60% > Rp 300 juta 40% > Rp 800 juta 40% > Rp 1 M 30% > Rp 1 M 30% BAHAN RUJUKAN Penggunaan lahan Kabupaten Laporan kabupaten sektor dalam angka Potensi Desa Pada pelaksanaanya peta kerentanan mengalami perubahan pada penentuan indeks kerugian dan indeks penduduk terpapar. Indeks kerugian yang mengalami perubahan yaitu indikator luas lahan produktif dengan indikator pendapatan persektor, untuk indikator PDRB diganti dengan subsector pendapatan. Indeks penduduk terpapar yang digunakan hanya indikator kepadatan penduduk. 7

8 I Kapasitas. Kapasitas (Capacity) adalah potensi sumberdaya yang dimiliki komunitas masyarakat untuk mengantisipasi atau mengurangi dampak risiko bencana. Peta Kapasitas adalah gambaran atau representasi kapasitas suatu wilayah dalam mengurangi risiko bencana. Kapasitas dapat dimodelkan sebagai jumlah total dari komponen kapasitas yang ada. Indikator penyusun komponen kapasitas adalah kesiapsiagaan, infrastruktur sosial dan fisik, serta komponen kesehatan. I Analisis Risiko Bencana. Peta risiko bencana adalah peta tematik yang menggambarkan tingkat risiko bencana pada suatu daerah secara spasial dan non spasial berdasarkan kajian risiko bencana. Aditya (2010) dalam bukunya yang berjudul Pembuatan peta Risiko Bencana di atas Peta mengatakan bahwa analisis risiko pada pembuatan peta risko melibatkan tiga komponen yaitu bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan menggunakkan metode VCA (Vulnerability Capacity Analysis). Hubungan antara bahaya dan kerentanan akan menyebabkan suatu risiko yang dinyatakan dalam formula : Risiko (Risk) = Bahaya (Hazard) + Kerentanan (Vulnerability).(I.1) Formula diatas menggambarkan risiko bencana merupakan dampak langsung yang disebabkan oleh jumlah bahaya dan tingkat kerentanan suatu individu atau kelompok dalam suatu tempat dan waktu tertentu. Formula di atas hanya menganalisis tingkat bahaya atau kerentanan tanpa memperhitungkan kapasitas dalam suatu kawasan. Dengan menanmbahkan nilai kapasitas dalam analisis risiko bencana maka hubungan antara ketiga komponen tersebut dinyatakan dalam formula: R = H x V/C (I.2) R : Risiko H : Bahaya V : Kerentanan C : Kapasitas Formula I.1 dan I.2 diterapkan dalam satu jenis bencana yang terjadi pada suatu kawasan. Dalam hal ini proses metode penyusunan peta risiko bencana ada beberapa tahap yang harus dilakukan dalam pembuatanya dan tahap tahap tersebut dapat dilihat pada Gambar I.3. 8

9 Gambar I.3 Metode penggambaran risiko bencana (BNPB, 2012 ) Pada Gambar terlihat bahwa Peta Risiko Bencana merupakan overlay (penggabungan) dari peta bahaya, peta kerentanan dan peta kapasitas. Peta-peta tersebut diperoleh dari berbagai indeks yang dihitung dari data-data dan metode perhitungan tersendiri. I.5.3. Sistem Informasi Geografis I Pengertian. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi di permukaan bumi. Kelebihan dari kemampuan SIG dibandingkan sistem informasi lainya terletak pada analisis spasial yang mampu diintegrasikan dengan atribut non spasial. I Komponen SIG. Komponen SIG terdiri atas empat komponen yaitu (Aronof, 1989): 1. Data masukan (input) : berfungsi mengumpulkan data spasial dan data atribut serta mengkonversi data aslinya ke dalam format data SIG 9

10 2. Data Keluaran (output) : berfungsi menampilkan dan mempresentasikan seluruh basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti : peta. 3. Data management : berfungsi mengelola data spasial dan data atribut dalam basis data sehingga mudah untuk dipanggil dan diedit. 4. Data analisi dan manipulasi : berfungsi untuk menganalisis informasiinformasi yang dihasilkan oleh SIG dan melakukan manipulasi data untuk menghasilkan informasi. I Model Data Dalam SIG. SIG Model data adalah organisasi konseptual dalam suatu basis data. Model data di dalam SIG dapat berfungsi dengan baik jika didukung oleh data yang memadai. Jenis data di dalam Sistem Informasi Geografis terdiri dari (Aronoff, 1989) : 1. Data spasial yaitu data grafis yang berkaitan dengan lokalisasi, posisi dan area pada sistem koordinat. Antar data spasial mempunyai hubungan geografis meliputi : a. Geometri, bagaimana masing-masing elemen data dijelaskan pada hubungan seperti titik, garis, area dan lain-lain beserta sistem koordinat yang digunakan. b. Topologi, merupakan hubungan satu elemen peta dengan elemen peta lainnya. c. Kartografi, menyangkut penyajian elemen peta pada layar monitor maupun plotter. 2. Data non-spasial, yaitu data yang memberikan informasi mengenai obyekobyek geografis. 3. Hubungan antara data spasial, non spasial dan waktu. Ada 2 pendekatan mendasar untuk menyajikan komponen spasial dari suatu informasi geografis yaitu : a. Model data vektor. Pada model vektor, lokasi di permukaan bumi direferensikan pada peta menggunakan sistem koordinat kartesi dan biasanya dicatat pada peta dua dimensi sebagai titik, garis dan luasan. 10

11 b. Model data raster. Secara sederhana, model data raster terdiri dari sel-sel beraturan yang berbentuk bujur sangkar, persegi panjang atau bentuk-bentuk lainnya. I SIG Dalam Analisis Pemetaan Risiko. Dalam analisis pemetaan risiko, SIG terdapat beberapa metode klasifikasi pada perangkat lunaknya yaitu (Slocum, 1999) : 1. Metode Natural breakss adalah membagi kelas sesuai dengan distribusi datanya. Pada metode ini pengelompokkan data dilakukan dengan cara memaksimalkan dan meminimalkan variasi data antar kelas. 2. Metode Equal Interval adalah metode yang membagi data ke dalam kelompok dengan rentang nilai yang sama antar kelasnya. 3. Metode Standar Deviasi adalah metode yang memperhitungkan bagaimana suatu data didistribusikan penerapan metode ini dengan cara menghitung nilai rata-rata dari keseluruhan data, kemudian menempatkan batas kelas atas dan bawah pada nilai rata yang dikalikan dengan devisiasi standar, yang dihitung dari rata-rata statistik dataset. 4. Metode Quantil adalah dalam penerapanya metode ini data harus didefinisikan terlebih dahulu untuk mengetahui berapa kelas yang akan digunakan. I Spasial Analisis. Spasial analisis adalah mengidentifikasi lokasi dan bentuk dari fitur-fitur geografis dan relasi diantaranya. Spasial analisis yang digunakan pada ArcGis adalah tools raster calculator. Tools raster calculator dirancang untuk mengeksekusi ekspresi aljabar single-line menggunakan beberapa alat dan operator menggunakan sederhana, kalkulator seperti alat antarmuka. Ketika beberapa alat atau operator yang digunakan dalam satu ekspresi, kinerja persamaan ini umumnya akan lebih cepat kemudian melaksanakan masing-masing operator atau alat individual. Peta aljabar adalah aljabar sederhana dan dapat menjalankan semua alat ekstensi analisis ArcGis spasial, operator, dan fungsi untuk melakukan analisis geografis. Peta aljabar mengacu pada penggunaan gambar sebagai variabel dalam operasi aritmatika yang normal. Hal ini juga memungkinkan untuk mengevaluasi 11

12 hubungan antara gambar atau tabel data untuk menghasilkan persamaan regresi. Dengan cara yang sama operasi aljabar seperti konvensional dapat dikombinasikan untuk membentuk sistem persamaan yang memiliki model kartografi spasial yang kompleks. Analisis spasial peta aljabar biasanya akan memberikan tiga jenis operasi yaitu : 1. kemampuan untuk memodifikasi matematis nilai data atribut konstan ( skalar aritmatika ) 2. kemampuan untuk mengubah nilai-nilai matematis data atribut oleh operasi standar (seperti fungsi trigonometri, log transformasi dan sebagainya ) 3. kemampuan untuk menggabungkan matematis (seperti menambah, menguarangi, mengkali, dan membagi) lapisan data yang berbeda untuk menghasilkan hasil komposit. Hasil operasi aljabar dilakukan pada nilai sel tunggal dari dua atau lebih layer input untuk menghasilkan nilai keluaran (overlay raster). Lalu pertimbangan paling penting dalam overlay raster adalah pemograman titik, garis, dan area yang terdapat dalam fitur layer data input yang diinginkan atau secara tepat. Pada Gambar I.4. Contoh gambar operasi aljabar. Gambar I.4. Contoh gambar operasi aljabar pada ArcGIS (sumber : 12

13 I.5.4. Risiko Bencana Dalam Peta I Peta. Peta merupakan gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan digambarkan pada bidang datar menggunakan simbol-simbol tertentu melalui sistem proyeksi peta (Riyadi, 1994). Sebuah peta secara sederhana dapat didefinisikan sebagai representasi grafis dari dunia nyata. Representasi ini merupakan abstraksi dari realitas di lapangan. Sebagai contoh, peta topografi yang merupakan abstrak dunia nyata tiga dimensi pada bidang dua dimensi di atas kertas akan banyak objek yang tereliminasi. Peta digunakan untuk menampilkan lingkungan secara fisik maupun budaya. Peta topografi misalnya dapat menunjukkan berbagai informasi termasuk jalan, klasifikasi penggunaan lahan, elevasi, sungai dan badan air lainnya, batas-batas politik, dan identifikasi rumah dan bangunan sejenis lainnya. Sebuah peta dapat dianggap sebagai sebuah sistem informasi spasial yang memberikan jawaban terhadap banyak pertanyaan terhadap area yang digambarkan dalam peta. I Peta Tematik. Dalam projek ini peta yang dihasilkan berupa peta tematik. Peta tematik adalah peta yang menggambarkan informasi kualitatif atau kuantitatif pada unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur tersebut berhubungan dengan detil topografi yang akan ditampilkan. Informasi disajikan dengan warna dan gambar atau simbol-simbol yang memiliki tema tertentu atau kumpulan dari tema-tema yang berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Pemetaan dengan cara kualitatif adalah suatu penyajian gambar data kualitatif ke atas peta, berupa jenis dari unsur-unsur yang ada tersebut (Aziz, 1977). Bentuk simbol dihubungkan dengan kualitas unsur yang dimilikinya. Jadi simbol ini selalu dihubungkan dengan kualitas unsur yang diwakilinya. Pemetaan dengan cara kuantitatif adalah suatu penyajian gambar dari data kuantitatif ke atas peta berupa simbol yang menyatakan identitas dan menunjukkan besar atau jumlah atau banyaknya unsur yang diwakilinya (Aziz, 1977). Data yang disajikan dalam pemetaan tematik cara kuantitatif ini, berupa data-data yang mempunyai nilai absolut. Nilai absolut dapat diartikan sebagai nilai hasil ukuran atau perhitungan, sehingga dapat ditampilkan sebagai data matematis di atas peta 13

14 I Simbolisasi. Simbolisasi merupakan proses pemberian simbol terhadap fitur-fitur di dalam peta. Salah satu jenis simbol yang paling efektif dari segi visual adalah simbol piktorial. Simbol piktorial merupakan jenis simbol yang bentuknya menyerupai fitur yang diwakilinya. Namun, untuk menyimbolkan fitur abstrak yang pada umumnya terdapat dalam peta tematik dibutuhkan simbol lain yang dapat mewakili fitur abstrak tersebut (ESRI, 1996). Sebagai contoh, fitur kepadatan penduduk membutuhkan simbol yang dapat menjelaskan kepadatan penduduk suatu area ke dalam kategori tinggi, sedang, dan rendah. Simbol yang ideal untuk fitur ini adalah gradasi warna, yaitu area dengan warna yang lebih gelap menyimbolkan kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan area dengan warna yang lebih terang. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan ketika memilih simbol peta, seperti skala peta, fenomena alam yang akan dipetakan, ketersediaan data, dan metode penyajian dari peta yang akan dibuat. Langkah pertama dalam pembuatan simbol adalah menentukan fitur geografis yang akan disimbolkan. Dengan kata lain fenomena alam yang akan dipetakan berupa titik, garis atau luasan. Sebagai contoh peta bahaya, peta kerentanan dan kapasitas menggunakan gradasi warna. Gambar I.4 berikut ini menunjukkan contoh perbedaan tipe data geografis, hotspot sebagai titik, jalan sebagai garis, dan desa sebagai luasan. (a) (b) (c) Gambar I.5. (a) Simbol titik; (b) Simbol garis; (c) Simbol luasan (ESRI, 1996) 14

15 I Variabel Tampak. Pada kartografi terdapat bermacam-macam variasi gambar yang dapat ditangkap oleh mata sebagai headline yang ditampilkan sebagai informasi. Variasi ini disebut dengan variabel tampak dan digunakan untuk membentuk simbol. Variasi gambar yang mampu diterima sebagai pembentuk dasar utama yang ditampilkan sebagai informasi terbagi atas tujuh variaisi (Riyadi, 1994). Ketujuh variasi yaitu: 1. Posisi (X,Y) merupakan variable tampak yang dipakai untuk informasi peta 2. Bentuk merupkana variable yang digunakan untuk membedakan antara simbol yang satu dengan simbol yang lain. 3. Orientasi merupkan sebagai arah dari suatu simbol pada peta untuk membedakan simbol yang satu dengan simbol yang lain. 4. Warna merupakan variabel tampak yang sering digunakan untuk merancang dan membedakan simbol yang satu dengan simbol yang lainnya terlihat dengan jelas. 5. Tekstur merupakan variabel tampak yang sebaiknya digunakan pada variasi dari gambar elemen dengan nilai yang tetap. 6. Value merupakam variable tampak yang menunjukkan besarnya derajat keabuan (gray scale) dari putih ke hitam. 7. Ukuran merupakan variable tampak size untuk menunjukkan variasi dari size suatu simbol yang digunakan dalam peta. Tidak semua variabel dapat diaplikasikan dengan baik pada fenomena alam yang berbeda. Bentuk dan ukuran dapat digunakan untuk simbol titik namun tidak cocok untuk simbol luasan. Sebaliknya, tekstur dapat digunakan untuk mewakili objek dengan simbol luasan, namun tidak cocok untuk objek dengan simbol titik. Selain tipe data geografis, yang menentukan kesesuaian simbol adalah tipe data itu sendiri, kualitatif atau kuantitatif. Bentuk (shape), warna dan tekstur (pattern) cocok untuk diterapkan ke dalam tipe data kualitatif, sedangkan ukuran dan value lebih sesuai untuk diterapkan pada data kuantitatif. Pembuatan peta tematik bertujuan untuk memilih simbol yang dapat dengan mudah dibaca oleh pengguna peta. Sehingga dalam pembuatan simbol harus logis sesuai dengan obyek yang ditampilkan 15

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 Latar Belakang PENDAHULUAN Berdasarkan data historis hampir semua jenis bencana pernah berulangkali terjadi di Indonesia, seperti: gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, longsor, banjir, kekeringan,

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis. Model Data Spasial

Sistem Informasi Geografis. Model Data Spasial Sistem Informasi Geografis Model Data Spasial Representasi Grafis Untuk Objek Secara umum dikenal tiga jenis data. Ketiganya merupakan abstraksi sederhana dari objek-objek nyata yang lebih rumit. Titik:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut Provinsi Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung barat laut pulau Sumatera dan memiliki koordinat

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA 1 BEncANA O Dasar Hukum : Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 2 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I. I.1.Latar Belakang PENDAHULUAN

BAB I. I.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Salah satu dari sekian banyak sumber daya alam yang diciptakan oleh Allah SWT untuk kelangsungan hidup manusia adalah tanah atau lahan. Pengertian tanah menurut Sumaryo

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 Sistem Informasi Geografis Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 5 Cara Memperoleh Data / Informasi Geografis 1. Survei lapangan Pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air), pengumpulan

Lebih terperinci

SISTEM IFORMASI GEOGRAFI

SISTEM IFORMASI GEOGRAFI SISTEM IFORMASI GEOGRAFI A. DEFINISI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) Informasi permukaan bumi telah berabad-abad disajikan dalam bentuk peta. Peta yang mulai dibuat dari kulit hewan, sampai peta yang dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815 2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

[Type the document title]

[Type the document title] SEJARAH ESRI Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisa, dan menghasilkan data yang mempunyai referensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Windhu Purnomo FKM UA 2013 SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memeriksa, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan

Lebih terperinci

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan Pengumpulan dan Integrasi Data Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengetahui sumber data dari GIS dan non GIS data Mengetahui bagaimana memperoleh data raster dan vektor Mengetahui

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA Agus Rudiyanto 1 1 Alumni Jurusan Teknik Informatika Univ. Islam Indonesia, Yogyakarta Email: a_rudiyanto@yahoo.com (korespondensi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan jenis gunungapi tipe strato dengan ketinggian 2.980 mdpal. Gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi yang masih aktif di Indonesia. Aktivitas

Lebih terperinci

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 Matakuliah Waktu : Sistem Informasi Geografis / 3 SKS : 100 menit 1. Jelaskan pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG). Jelaskan pula perbedaan antara SIG dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kekritisan Daerah Resapan Jika masalah utama yang sedang berjalan atau telah terjadi di DAS/Sub DAS adalah besarnya fluktuasi aliran, misalnya banjir dan kekeringan, maka dipandang

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan kondisi alam

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau

Lebih terperinci

Apa itu DATA? Apa bedanya DATA & INFORMASI?

Apa itu DATA? Apa bedanya DATA & INFORMASI? Apa itu DATA? Apa bedanya DATA & INFORMASI? Informasi data yang telah diproses menjadi bentuk yang memiliki arti bagi penerima dan dapat berupa fakta, suatu nilai yang bermanfaat. Jadi ada suatu proses

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, maupun faktor

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang berada di salah satu belahan Asia ini ternyata merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA BENCANA :

MITIGASI BENCANA BENCANA : MITIGASI BENCANA BENCANA : suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang

Lebih terperinci

KERENTANAN (VULNERABILITY)

KERENTANAN (VULNERABILITY) DISASTER TERMS BENCANA (DISASTER) BAHAYA (HAZARD) KERENTANAN (VULNERABILITY) KAPASITAS (CAPACITY) RISIKO (RISK) PENGKAJIAN RISIKO (RISK ASSESSMENT) PENGURANGAN RISIKO BENCANA (DISASTER RISK REDUCTION)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor non-alam maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami SIG. Dengan melihat unsur-unsur pokoknya, maka jelas SIG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami SIG. Dengan melihat unsur-unsur pokoknya, maka jelas SIG BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian SIG Pada dasarnya, istilah sistem informasi geografi merupakan gabungan dari tiga unsur pokok: sistem, informasi, dan geografi.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penyusunan penelitian ini dilakukan dengan menentukan tingkat bahaya banjir yang kemudian dilanjutkan dengan menentukan tingkat kerentanan wilayah terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan bencana, baik yang disebabkan kejadian alam seperi gempa bumi, tsunami, tanah longsor, letusan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 4 Tahun 2008, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi bencana sangat tinggi dan bervariasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana Rahmawati Husein Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah Workshop Fiqih Kebencanaan Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, UMY,

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Informasi Geografis pemetaan titik api (hotspot) pemicu

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Informasi Geografis pemetaan titik api (hotspot) pemicu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi yang begitu masif dan pesat memberikan kita sebuah tuntutan untuk terus berinovasi. Bentuk inovasi tersebut yaitu membuat sebuah sistem informasi

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

Geographic Information and Spatial Information

Geographic Information and Spatial Information Geographic Information and Spatial Information Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia Dr. Aniati Murni 1 Pengertian Informasi Geografis dan Informasi Keruangan (1) Informasi Geografis merupakan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap berbagai jenis bencana, termasuk bencana alam. Bencana alam merupakan fenomena alam yang dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai karakteristik alam yang beragam. Indonesia memiliki karakteristik geografis sebagai Negara maritim,

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ATRIBUT DATA SPASIAL KAWASAN RAWAN BENCANA SIGDa LOMBOK BARAT

IDENTIFIKASI ATRIBUT DATA SPASIAL KAWASAN RAWAN BENCANA SIGDa LOMBOK BARAT Prosiding SENTIA 2017 Politeknik Negeri Malang Volume 9 ISSN: 2085-2347 IDENTIFIKASI ATRIBUT DATA SPASIAL KAWASAN RAWAN BENCANA SIGDa LOMBOK BARAT Agus Pribadi1 1, Heroe Santoso 2 1,2 Jurusan Teknik Informatika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. Berbagai potensi bencana alam seperti gempa, gelombang tsunami, gerakan tanah, banjir, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara astronomi berada pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis Indonesia terletak di antara

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1 1. Serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan yang mendatangkan kerugian harta benda sampai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 65, 2001 Keuangan.Tarif.Bukan Pajak.Penerimaan Negara.Bakosurtanal. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1 of 8 08/07/2009 20:16 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM Teks tidak dalam format asli. Kembali LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 65, 2001 Keuangan.Tarif.Bukan

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN NGANJUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang sangat rawan terhadap bencana telah mengalami rentetan bencana dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir baik bencana alam maupun bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan teknologi komputer dari waktu ke waktu membawa dampak semakin banyaknya sarana-sarana yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Dampak perkembangannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi secara tiba-tiba dalam tempo relatif singkat dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, baik pulau-pulau kecil maupun pulau-pulau besar. Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Padang secara geografis berada dipertemuan patahan Lempeng Indo dan Eurasia yang menyebabkan aktivitas tektonik sangat aktif. Peristiwa gempa September 2009 di

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini dirumuskan dengan menentukan tingkat bahaya banjir kemudian menentukan kerentanan wilayah terhadap bencana banjir. Penentuan kelas kerentanan

Lebih terperinci

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan Model Data Spasial by: Ahmad Syauqi Ahsan Peta Tematik Data dalam SIG disimpan dalam bentuk peta Tematik Peta Tematik: peta yang menampilkan informasi sesuai dengan tema. Satu peta berisi informasi dengan

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAERAH BANJIR DI DKI JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN ARC VIEW

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAERAH BANJIR DI DKI JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN ARC VIEW PERANCANGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAERAH BANJIR DI DKI JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN ARC VIEW Created by : Adeline Narwastu, Eri Prasetyo Sistem Informasi / Universitas Gunadarma Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Bencana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah atau lahan memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Manusia membutuhkan lahan untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal serta melakukan aktivitasnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas. Menurut Center of Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), bencana didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2001 TENTANG TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 LATAR BELAKANG. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12)

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA Oleh: Dr.Ir. Yuzirwan Rasyid, MS Beberapa Subsistem dari SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1. Subsistem INPUT 2. Subsistem MANIPULASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan Indonesia tersebar sepanjang nusantara mulai ujung barat Pulau

Lebih terperinci

BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR

BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR 2.1 Faktor Penyebab Banjir Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Undang- bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Undang- bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggaunggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor non-alam maupun

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian bencana mewarnai penelitian geografi sejak tsunami Aceh 2004. Sejak itu, terjadi booming penelitian geografi, baik terkait bencana gempabumi, banjir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu fase penting dalam penanggulangan bencana adalah fase respon atau fase tanggap darurat. Fase tanggap darurat membutuhkan suatu sistem yang terintegritas

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNSI PELAKSANA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BLITAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah merupakan sumber daya yang sangat penting dalam aspek kehidupan manusia. Tanah adalah modal dasar dari berbagai macam pembangunan yang dilakukan oleh manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surabaya merupakan kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan menyumbang pendapatan Negara yang sangat besar. Surabaya juga merupakan kota terbesar kedua

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS RISIKO BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG

BAB 4 ANALISIS RISIKO BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG BAB 4 ANALISIS RISIKO BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat risiko bencana tsunami di Kota Padang berdasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi risiko bencana

Lebih terperinci

ALGORITMA C4.5 UNTUK PEMODELAN DAERAH RAWAN BANJIR STUDI KASUS KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT

ALGORITMA C4.5 UNTUK PEMODELAN DAERAH RAWAN BANJIR STUDI KASUS KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT ALGORITMA C4.5 UNTUK PEMODELAN DAERAH RAWAN BANJIR STUDI KASUS KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT Ahmad Khusaeri 1, Septian Ilham 2, Desi Nurhasanah 3, Derrenz Delpidat 4, Anggri 5, Aji Primajaya 6, Betha Nurina

Lebih terperinci

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; pres-lambang01.gif (3256 bytes) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2001 TENTANG TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN

Lebih terperinci