BAB 2 LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Penetapan Hakim a. Pengertian Hakim b. Kewajiban Hakim

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Penetapan Hakim a. Pengertian Hakim b. Kewajiban Hakim"

Transkripsi

1 BAB 2 LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Penetapan Hakim a. Pengertian Hakim Pasal 1 butir 8 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang Undang untuk mengadili. Sebagaimana dijelaskan oleh Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan Hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang Undang. Pengertian Hakim juga terdapat dalam Pasal 19 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang Undang. b. Kewajiban Hakim Menurut Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim mempunyai kewajiban : 1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1)); 2) Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)); 1

2 2 3) Hakim dan Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum (Pasal 5 ayat (2)); 4) Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 5 ayat (3)); 5) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat (2); 6) Dalam sidang permusyawaratan, setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Pasal 14 ayat (2)); 7) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17 ayat (3)); 8) Ketua Majelis, Hakim Anggota, Jaksa, atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 17 ayat (4)); 9) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 17 ayat (5)). Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan tanggung jawab Hakim, yaitu: 2

3 3 1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 2 ayat (1)); 2) Dalam memeriksa dan memutus perkara, Hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya (Pasal 53 ayat (1)). c. Penetapan Hakim 1) Bentuk Penetapan Putusan yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, dan namanya juga disebut penetapan atau ketetapan (beschikking; decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalam gugatan contensiosa. Dalam gugatan perdata yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award). 2) Diktum Bersifat Deklarator (a) Diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta. (b) Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum comdemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapapun. (c) Juga tidak dapat memuat amar konstitutif (constitutief), yaitu menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atas sesuatu barang, dan sebagainya. 3) Kekuatan Pembuktian Penetapan (a) Penetapan sebagai Akta Otentik Setiap produk yang diterbitkan Hakim atau pengadilan dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya merupakan akta otentik yaitu merupakan akta resmi yang dibuat oleh 3

4 4 pejabat yang berwenang untuk itu. Bertolak dari doktrin yang dikemukakan diatas, setiap penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan bernilai sebagai akta otentik. Doktrin ini pun sesuai dengan ketentuan yang di gariskan Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Akta Otentik ialah Suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang Undang, oleh atau dihadapan pegawai umum atau yang berkuasa untuk itu ditempat akta itu dibuat. Memperhatikan ketentuan yang mengatakan bahwa Putusan pengadilan merupakan akta otentik, berarti sesuai dengan Pasal 1870 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, pada diri putusan itu, melekat nilai ketentuam pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bidende bewijskracht). (b) Nilai Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Penetapan Permohonan Hanya Terbatas kepada Diri Pemohon Meskipun penetapan yang dijatuhkan pengadilan berbentuk akta otentik, namun nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, berbeda dengan yang terdapat pada putusan yang bersifat contentiosa. Dalam putusan yang bersifat partai (contentiosa), nilai kekuatan pembuktiannya, adalah : 1. Benar benar sempurna dan mengikat; 2. Kekuatan mengikatnya meliputi : para pihak yang terlibat dalam perkara dan ahli waris mereka; kepada orang atau pihak ketiga yang mendapat hak dari mereka. Tidak demikian halnya dengan penetapan, sesuai dengan sifat proses pemeriksaanya yang bercorak ex-parte 4

5 5 atau sepihak, nilai ketentuan pembuktian yang melekat dalam penetapan sama dengan sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti 1 : 1. Nilai kekuatan pembuktian hanya mengikat pada diri pemohon saja; 2. Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau pihak ketiga. 2. Tinjauan Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Putusan adalah kesimpulan atau ketetapan (judgment) Hakim untuk mengakhiri suatu perkara yang diperhadapkan kepadanya. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan putusan sebagai pernyataan Hakim dalam kedudukannya sebagai Pejabat Negara yang diberi kewenangan untuk itu dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di antara pihak pihak yang berperkara 2. Putusan Hakim merupakan akhir dari rangkaian proses pemeriksaan suatu perkara, sebelum menjatuhkan putusan, majelis Hakim akan bermusyawarah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya di antara para pihak serta putusan seperti apa yang akan dijatuhkan. Dalam musyawarah majelis, paling tidak majelis Hakim akan melakukan dua hal, yaitu 3 : 1) Menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang tidak berhasil membuktikan; 2) Menetapkan hak hak dan hubungan hukum di antara para pihak. 1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim Pendekatan Multidisipliner dalam Memahami Putusan Peradilan Perdata, UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm Ibid; hlm. 15 5

6 6 b. Jenis Jenis Putusan Putusan Hakim terbagi atas beberapa jenis. M Yahya Harahap membagi jenis jenis putusan berdasarkan aspek kehadiran para pihak, sifat putusan, dan saat penjatuhan 4 : 1) Putusan ditinjau dari aspek kehadiran Para Pihak : a. Putusan Biasa, adalah Putusan yang dijatuhkan pengadilan dimana pada saat pembacaan putusan, kedua belah pihak hadir; b. Putusan Verstek (default judgment), adalah Putusan yang dijatuhkan pengadilan dimana Tergugat sama seklai tidak pernah datang menghadap di persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, sementara ketidakhadirannya tersebut tidak disebabkan oleh halangan yang sah (without default reason); c. Putusan Contradictoir, adalah Putusan pengadilan yang pada saat diucapkan, salah satu pihak tidak hadir sementara pada persidangan sebelumnya, para pihak selalu atau pernah hadir; d. Putusan Gugur, adalah Putusan yang dijatuhkan pengadilan karena Penggugat tidak pernah datang menghadap sendiri di persidangan 5. 2) Putusan ditinjau dari Sifatnya : a. Putusan Declaratoir, adalah Putusan yang mengandung amar pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan (hubungan) hukum di antara para pihak berperkara 6 ; b. Putusan Constitutief, adalah Putusan yang menciptakan atau meniadakan hubungan hukum tertentu; 4 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm Pasal 124 HIR/148 R. Bg 6 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm

7 7 c. Putusan Condemnatoir, adalah Putusan yang di dalamnya mengandung amar penghukuman, yaitu amar menghukum atau membebankan pada salah satu atau kedua belah pihak untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan hukum. 3) Putusan ditinjau dari Saat Penjatuhan : a. Putusan Sela, adalah Putusan yang dijatuhkan Hakim saat proses pemeriksaan berlangsung untuk memudahkan pemeriksaan perkara sebelum Hakim menjatuhkan putusan akhir; b. Putusan Akhir (eind vonnis), adalah Putusan Hakim yang merupakan jawaban terhadap persengketaan para pihak untuk mengakhiri pemeriksaan suatu perkara. c. Kekuatan Putusan Kekuatan Putusan Pengadilan mencakup 3 (tiga) hal, yaitu : 1) Kekuatan Mengikat (bindende kracht), yaitu putusan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde) tidak dapat diganggu gugat dan sifatnya mengikat, sehingga para pihak yang berperkara harus tunduk dalam melaksanakan isi putusan tersebut; 2) Kekuatan Pembuktian (bewijzende kracht), ini sebagai alat untuk dijadikan sebagai alat bukti oleh para pihak yang berperkara. Kekuatan pembuktian tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga pihak ketiga yang memiliki kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 7 ; 3) Kekuatan Eksekutorial (executoriale kracht), yaitu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde), yaitu kekuatan untuk dilaksanakan, baik secara sukarela, maupun 7 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006, hlm

8 8 melalui upaya eksekusi oleh pengadilan bila pihak yang dinyatakan kalah tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Kekuatan eksekutorialnya terletak pada irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga bila tidak ada, maka putusan tidak dapat dieksekusi 8. Terdapat juga asas asas dalam Putusan Hakim, sebagai berikut 9 : a) Asas Musyawarah Majelis, Musyawarah Majelis merupakan perundingan yang dilakukan oleh Hakim untuk mengambil kesimpulan terhadap sengketa yang sedang diadili yang selanjutnya dituangkan dalam putusan; b) Putusan Harus Memuat Dasar / Alasan yang Cukup, Putusan Hakim ini harus dilandasi atas pertimbangan hukum (legal reasoning, ratio decidendi) yang komprehensif. Jika putusan Hakim tidak cukup pertimbangan, maka dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi; c) Putusan Harus Mengadili Seluruh Bagian Gugatan, Seluruh bagian gugatan adalah petitum penggugat, karena pada dasarnya setiap petitum dilandasi oleh posita (fundamentum potendi); d) Asas Ultra Petitum Partium, adalah Asas yang melarang Hakim untuk memutus melebihi apa yang dituntut. Hakim yang memutus melebihi apa yang dituntut Penggugat dianggap telah melampaui kewenangan (ultra vires, beyond the powers of his authority). e) Asas Keterbukaan, Asas ini bertujuan agar putusan pengadilan dapat lebih transparan dan akuntabel, juga dapat memberikan akses kepada publik untuk mengetahui langsung vonis pengadilan atas kasus tertentu. 8 M. Natsir Asnawi, op.cit., hlm Ibid; hlm

9 9 f) Putusan harus tertulis, karena putusan merupakan produk pengadilan yang berupa akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian dan kekuatan mengikat terhadap para pihak berperkara dan pihak ketiga. Dibuat dengan sistematika tertentu dan syarat syarat formil yang ditetapkan oleh Perundang Undangan yang berlaku. d. Fungsi Putusan Hakim Fungsi Putusan Hakim pada dasarnya dapat ditarik dari fungsi hukum itu sendiri. Roscoe Pound mengemukakan Putusan Hakim berfungsi sebagai perekayasa sosial (social engineering) : 10 1) Fungsi Kontrol Sosial (social control) Putusan Hakim memberikan jawaban mengenai pokok persengketaan yang diajukan para pihak. Putusan Hakim akan menjadi semacam kontrol sosial karena menjadi patron bagi masyarakat dalam bertindak dan berinteraksi satu sama lain; 2) Fungsi Menyelesaikan Sengketa (settle the dispute) Fungsinya tidak hanya sekedar memutus sengketa di antara para pihak, tapi juga memberi bentuk penyelesaian terbaik yang mampu memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak; 3) Fungsi Memadukan (integrating) berbagai kepentingan Putusan Hakim ini berfungsi memadukan dan menyelaraskan berbagai kepentingan yang berbeda di antara para pihak dan kepentingan sosial; 4) Fungsi Pembaharuan Putusan Hakim berfungsi memperbaharui kaidah hukum yang ada jika kaidah hukum tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan masyarakat; 10 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak, Markus Y. Hage, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm

10 10 5) Fungsi Perekayasa Sosial (social engineering) Fungsi ini tidak hanya dalam konteks praktis semata, tetapi juga berkaitan dengan rancang bangun suatu masyarakat menuju sistem kemasyarakatan yang lebih konstruktif. Putusan Hakim ini dipandang sebagai sebuah grand design tentang bagaimana pola hubungan di masyarakat itu terbentuk dan menuju pada suatu pola yang jauh lebih baik. 3. Tinjauan Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Menurut Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan ialah Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan sama dengan perikatan (verbindtenis). Pasal 26 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa Undang Undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja, tidak memperhatikan dari segi keagamaan. Perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbeda dengan Perkawinan menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan tidak hanya sekedar adanya ikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan keagamaan ; sedangkan menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Perkawinan hanya sebagai Perikatan Perdata saja. Perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan menurut Hukum Islam adalah, Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. In the 10

11 11 traditional concept of Islamic Law, marriage is seen to be a contract which enters into full effect once the offer has been agreed (iyab) and accepted (qubul / qabul), either orally or in any other way which is understood by both parties. 11 Pengertian Perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bukan hanya sekedar menyangkut hubungan antar manusia tapi juga dianggap sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, yang mana sah atau tidaknya suatu perkawinan itu digantungkan pada hukum agama dan kepercayaannya masing masing. b. Asas Asas atau Prinsip Prinsip Perkawinan Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menganut asas asas atau prinsip prinsip perkawinan, sebagai berikut 12 : 1) Perkawinan membentuk sebuah keluarga bahagia dan kekal (Pasal 1); 2) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1)); 3) Perkawinan harus dicatat menurut hukum perundangan (Pasal 2 ayat (2)); 4) Perkawinan berasas monogami terbuka (Pasal 3); 5) Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 6); 6) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita16 tahun (Pasal 7 ayat (1)); 11 Juan Simon MULERO Garcia, Issue of Family Law in Spanish-Moroccan Relationships, International Journal of Business and Social Science, Vol.3 No.13, 2012, hlm Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 6 11

12 12 7) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan (Pasal 39); 8) Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang (Pasal 31 ayat (1)). c. Syarat syarat Perkawinan Syarat syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat syarat utama untuk melangsungkan perkawinan dapat dikelompokkan : 1) Syarat Syarat Materiil : adalah syarat tentang orang yang hendak kawin dan izin izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal ditentukan oleh Undang Undang. Syarat ini terbagi dua, yaitu : a) Syarat Material Mutlak, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh siapapun yang hendak kawin, yaitu : a. Atas persetujuan kedua calon suami isteri dan adanya izin orang tua bagi calon suami isteri yang belum mencapai usia 21 tahun (Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan); juga batas usia untuk melangsungkan perkawinan, umur 19 bagi pihak laki-laki; umur 16 bagi pihak wanita (Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). b. Waktu tunggu bagi wanita, 130 hari, jika ditinggal mati suaminya; 3x suci, atau 90 hari bagi wanita 12

13 13 yang tidak datang bulan lagi; sampai anak lahir jika janda dalam keadaan hamil; apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tenggang (Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). b) Syarat Material Relatif, adalah syarat bagi pihak yang hendak dikawini. Dalam syarat Material Mutlak seseorang yang telah memenuhi syarat syarat diperbolehkan kawin, akan tetapi tidak dengan semua orang. Orang orang yang dapat dikawini harus memenuhi syarat : a. Perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang adanya hubungan darah dalam garis keturunan baik ke atas maupun ke bawah; adanya hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yakni antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; adanya hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu-tiri; adanya hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan; adanya hubungan antara saudara dengan isteri atau bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal ini jika suami beristeri lebih dari satu; adanya hubungan agamanya atau peraturan lain yang berlaku (Pasal 8-10 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). 13

14 14 b. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. c. Jika suami isteri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh ada perkawinan lagi, sepanjang hukum masing masing agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain. 2) Syarat syarat Formil adalah syarat syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan, terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu : a) Pendaftaran / Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat; b) Penelitian dan pengecekan oleh Pegawai Pencatat terhadap syarat syarat perkawinan yang didaftarkan; c) Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat tentang pemberitahuan waktu perkawinan akan dilangsungkan. d. Tata Cara Perkawinan Diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, intinya diatur bahwa : (a) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini yang berbunyi sebagai berikut : Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu 14

15 15 halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. (b) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing masing, agamanya dan kepercayaan itu. Perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10 ayat (2), (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Setelah dilaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah tersebut, kedua mempelai harus menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Kemudian ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), selanjutnya akta perkawinan tersebut dibuat dalam rangkap 2 (dua), Pertama untuk disimpan Pegawai Pencatat, lembar Kedua disimpan Panitera Pengadilan dalam wilayah kantor Pencatat 15

16 16 Perkawinan dan kepada masing masing suami isteri diberi kutipan akta perkawinan. e. Sahnya Perkawinan Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing masing hukum, agama dan kepercayaannya; dan dicatat menurut Peraturan Perundang Undangan yang berlaku. Dari penjelasan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing masing, agama dan kepercayaan; tertib menurut hukum syariah bagi yang beragama Islam; dicatat menurut Perundang Undangan dengan dihadiri oleh Pegawai Pencatat nikah. Bagi orang Tiong Hoa dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang beragama Kristen, pencatatan di lakukan oleh pegawai dari Kantor Catatan Sipil. Sedangkan bagi orang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh Pengawai Pencatat nikah, talak, rujuk dari Kantor Urusan Agama (KUA). f. Harta Benda dalam Perkawinan Diatur di Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang intinya menjelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh masing masing suami isteri sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami isteri. Apabila kemudian ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami isteri tersebut menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami isteri atau yang diperoleh 16

17 17 selama perkawinan menjadi atau tidak menjadi harta bersama, maka suami isteri tersebut harus membuat Perjanjian Kawin terlebih dahulu. Jika dilihat dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata, hanya membatasi dan menekankan perjanjian sebelum perkawinan hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan, tetapi juga bisa di luar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai nilai moral dan adat istiadat. g. Pencatatan Perkawinan Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikatakan bahwa Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau Pegawai yang ditunjuk olehnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai Perundang Undangan mengenai pencatatan perkawinan (Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) 13. Dengan tidak mengurangi ketentuan ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan dilakukan 13 Ibid; hlm

18 18 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pelaksanaan pencatatan perkawinan ini diatur lebih lanjut dalam BAB II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut : 1) Instansi Pencatat Perkawinan adalah bagi mereka yang beragam Islam pencatatannya dilakukan Oleh pegawai Pencatatan Nikah talak dan Rujuk; 2) Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor catatan Sipil atau Instansi / pejabat yang membantunya. 14 Ibid; hlm. 25 h. Tata Cara Pencatatan Perkawinan Tata Cara Pencatatan Perkawinan harus dilakukan berdasarkan 14 : 1) Ketentuan ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2) Ketentuan ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan, yang merupakan pelengkap bagi peraturan pemerintah ini, yaitu: (a) Undang Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (L.N No. 98) 18

19 19 dan beberapa Peraturan Menteri Agama yang berhubungan dengan hal, tersebut; (b) Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Madura dan Minahasa dan sebagainya (Stb No. 75 jo No.607 dengan segala perubahanya); (c) Reglement Catatan Sipil untuk golongan Cina (Stb.1917 No. 130 jo No. 81 dengan segala perubahanya); (d) Reglement Catatan Sipil bagi Golongan Eropa yang disamakan (Stb No. 25); (e) Daftar Catatan Sipil untuk perkawinan campuran (Stb No. 279). i. Akta Perkawinan Setelah perkawinan menurut hukum masing masing agama dan kepercayaanya itu, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang telah berlaku. Akta perkawinan itu juga ditandatangani oleh kedua orang saksi dan pegawai pencatat yang hadir dalam perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi (Pasal 11 ayat (1) sampai ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Akta perkawinan tersebut memuat 15 : 1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami / isteri terdahulu; 15 Ibid; hlm

20 20 2) Nama, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka; 3) Izin kedua orang tua mereka bagi yang melangsungkan perkawinan belum mencapai umur 21 tahun, atau dari wali atau dari pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sampai ayat (5) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 4) Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua, bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria, dibawah 16 tahun bagi wanita; 5) Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih dari seorang isteri; 6) Persetujuan dari kedua calon mempelai; 7) Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam / Pangab bagi anggota ABRI; 8) Perjanjian perkawinan, jika ada; 9) Nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam; 10) Nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. 4. Tinjauan Harta Perkawinan a. Harta Perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pada umumnya, dalam suatu perkawinan mengakibatkan adanya persatuan harta kekayaan. Akan tetapi, sebelum perkawinan berlangsung, pasangan calon suami isteri dapat membuat perjanjian mengenai harta mereka, dan biasanya ini 20

21 21 terjadi karena harta salah satu pihak lebih besar, dari pihak yang lain. Dalam Pasal 35 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur bahwa : (1) Harta Bersama, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta Bawaan dari masing masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, terhitung sejak perkawinan dilangsungkan sampai perkawinan berakhir karena cerai (hidup) atau salah satu meninggal dunia. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing masing suami dan isteri sebelum perkawinan dilangsungkan, misalnya pemberian hibah, warisan. Tentang siapa yang berhak untuk mengatur harta bersama, diatur dalam Pasal 36 yaitu : (1) Mengenai harta bersama suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2) Mengenai harta bawaan masing masing, suami isteri punya hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dalam Pasal ini dapat diketahui, bahwa pihak yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan isteri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena mereka memiliki kedudukan yang seimbang sebagai pemilik harta bersama tersebut. 21

22 22 Pasal 37 menentukan bahwa Bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta benda diatur menurut hukumnya masing masing. Maksud dari hukumnya masing masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. b. Harta Perkawinan menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata Peraturan mengenai harta perkawinan menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata, diatur dalam Pasal 119 Pasal 123. Dalam Pasal 119 menyatakan bahwa Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan isteri. Jika dalam perkawinan tidak dibuat perjanjian kawin, maka terjadi persatuan bulat harta kekayaan antara suami dan isteri. Pasal 120 menyebutkan bahwa harta bersama tersebut meliputi harta kekayaan suami dan isteri, baik bergerak dan tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang akan datang, maupun yang diperoleh dengan cuma cuma, kecuali jika yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas. Bahwa semua hasil dan pendapatan, seperti keuntungan dan kerugian sepanjang perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 122. Pengurusan mengenai harta kekayaan juga dikatakan dengan jelas bahwa, Suami sendiri harus mengurus harta kekayaan persatuan. Ia diperbolehkan menjual, memindah tangankan dan membebaninya tanpa campur tangan si isteri kecuali disebutkan dalam perjanjian kawin. (Pasal 124). 22

23 23 Artinya, pengurusan harta perkawinan itu dipegang oleh suami, sepanjang tidak ada perjanjian perkawinan dalam perkawinan tersebut. Kepengurusan harta kekayaan persatuan ini dapat menjadi bubar, baik mengenai kepengurusan maupun persatuan hartanya, karena beberapa hal, sebagaimana tercantum dalam Pasal 126, yaitu : 1) karena kematian; 2) karena berlangsungnya suatu perkawinan atas izin Hakim, setelah adanya keadaan tak hadir si suami; 3) karena perceraian; 4) karena perpisahan tentang meja dan ranjang; 5) karena perpisahan harta benda. Dalam hal perjanjian pemisahan harta, para pihak bebas menentukan hukum perjanjian yang akan mereka buat, apakah dalam perkawinan mereka tidak ada persatuan harta benda, atau ada persatuan harta yang terbatas, yaitu : 1. Pasal 155 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Persatuan Untung Rugi (gemeenschap van winst en verlies). Artinya, yang dimaksud dengan keuntungan dalam persatuan suami isteri adalah, tiap tiap bertambahnya harta kekayaan mereka sepanjang perkawinan yang disebabkan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan mereka masing masing, karena usaha dan penabungan pendapatan yang tak dapat dihabiskan. Sedangkan yang dimaksud kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan, yang disebabkan pengeluaran yang melampaui pendapatan. 2. Pasal 164 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Persatuan Hasil dan Pemasukan (gemeenschap van vruchten en inkomsten). Artinya berarti secara diam 23

24 24 diam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut Undang Undang, dan ketiadaan persatuan untung dan rugi. c. Harta Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengaturan mengenai Harta Kekayaan Dalam Perkawinan diatur dalam Bab XIII Pasal 85 sampai Pasal 97. Menurut Pasal 85, bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing masing suami atau isteri. Harta bawaan masing masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing masing sebaga hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya, yang mana hal ini diatur dalam Pasal 87. Dijelaskan pula dalam Pasal 88, apabila terjadi perselisihan antara suami dan isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Jenis harta bersama dalam perkawinan, menurut Pasal 91 adalah : 1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 berupa benda berwujud atau tidak berwujud; 2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat surat berharga; 3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban; 24

25 25 4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Diatur pula bahwa, suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindah tangankan harta bersama (Pasal 92) Pembagian harta bersama juga diatur dalam Pasal 96 dan 97. Pasal 96 menyebutkan bahwa : Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama; Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97, Janda atau duda cerai masing masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jadi mengenai harta yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan adalah harta milik bersama, baik masing masing bekerja, baik pendapatan terdaftar sebagai penghasilan suami atau isteri, juga penyimpanannya didaftarkan sebagai simpanan suami isteri itu tidak dipersoalkan, baik hanya suami atau isteri saja yang punya pendapatan, atau keduanya punya penghasilan sendiri dalam perkawinan. d. Harta Perkawinan yang dapat dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA) Warga Negara Asing (WNA) memiliki Hak Pakai yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia yang isinya : (1) Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai. 25

26 26 (2) Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan. (4) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Orang Asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing (WNA) dapat memiliki Hak Atas Tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia yang lainnya, sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Pasal 2 menyatakan bahwa Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris. Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan : a. Rumah Tunggal di atas tanah : 1. Hak Pakai; atau 2. Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. b. Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai. 26

27 27 5. Tinjauan Perjanjian Perkawinan a. Pengertian Perjanjian Kawin Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terutama dalam Pasal 29 juga tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian kawin termasuk tentang isi dari perjanjian kawin. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29, yang menentukan : 1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas batas hukum, agama dan kesusilaan. 3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Selanjutnya pada Pasal 29 Undang Undang ayat (2) diterangkan tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian kawin yaitu yang berbunyi : Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas batas hukum, agama da kesusilaan. Tidak adanya pengertian yang jelas tentang perjanjian kawin maka di antara para ahli terdapat juga perbedaan dalam memberikan pengertian tentang perjanjian kawin dan pengertian perjanjian kawin yang diberikan umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum 27

28 28 Perdata. Berikut beberapa pengertian perjanjian kawin menurut beberapa ahli : 1) R. Subekti Perjanjian Kawin adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami isteri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang Undang. 16 ; 2) Komar Andasasmita mengatakan apa yang dinamakan perjanjian atau syarat kawin itu adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami isteri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka. 17 ; 3) Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safiodien mengatakan Perjanjian Kawin adalah Perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Dari pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan hanyalah mengatur mengenai harta kekayaan suami isteri dalam perkawinan saja, dimana dalam perjanjian perkawinan tersebut calon suami atau calon isteri dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan, apakah mereka akan bersepakat untuk menyatukan harta mereka atau mereka melakukan penyatuan harta hanya secara terbatas atau mereka memutuskan untuk tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan berlangsung. 16 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1994, hlm Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, ctk. Kedua, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, Bandung, 1990, hlm. 5 28

29 29 Dari uraian diatas ada perbedaan ketentuan pembuatan perjanjian kawin menurut Pasal 147 Kitab Undang Undang hukum Perdata, perjanjian kawin harus dibuat dengan akta Notaris, diadakan sebelum perkawinan dan berlaku sejak saat dilakukan perkawinan, tidak boleh pada saat lain. Sedangkan, menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29, yang menentukan : Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga bersangkutan. Kitab Undang Undang Hukum Perdata memberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian kawin yaitu : 1) Perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 39); 2) Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang Undang Hukum Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa isteri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1)); 3) Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142); 4) Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam suatu Negara asing (Pasal 143); 5) Janji itu tidak boleh dibuat dengan kata kata umum bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh hukum adat dan sebagainya (Pasal 143). 29

30 30 b. Syarat Sahnya Perjanjian Kawin Menurut Pasal 29 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan: 1) Pada waktu atau sebelum Perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat membuat perjanjian tertulis; 2) Perjanjian tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan; 3) Setelah disahkan, isinya berlaku juga bagi pihak ketiga yang bersangkutan; 4) Perkawinan tersebut dapat disahkan jika tidak melanggar batas batas hukum, agama dan kesusilaan; 5) Perjanjian tertulis tersebut mulai berlaku baru para pihak yang membuatnya sejak perkawinan dilangsungkan; 6) Dan selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengubah, yang mana perubahannya tidak merugikan pihak ketiga. c. Akibat Perjanjian Kawin Pada saat setelah perkawinan itu berlangsung, perjanjian tertulis yang sudah di daftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan sudah dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor Catatan Sipil yang dicatat pada akta perkawinan mereka, mulai berlaku bagi pasangan suami isteri yang membuatnya dan juga bagi pihak ketiga yang bersangkutan. Dalam halnya perjanjian kawin belum didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama dan belum tercatat dalam akta perkawinan mereka, maka para pihak ketiga boleh 30

31 31 menganggap suami isteri itu kawin dalam percampuran harta 18. d. Bentuk Perjanjian Kawin Bentuk Perjanjian Kawin tidak diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun dijelaskan dalam Pasal 147 Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa, Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung. Pembuatan perjanjian dengan Akta Notaris bertujuan agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Pasal 148 menyatakan Segala perubahan dalam perjanjian boleh dilakukan sebelum perkawinan. Namun tidak ada perubahan yang boleh berlaku jika penyelenggaraannya tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh mereka yang dulu telah menghadiri dan menyetujui perjanjian. Dalam Pasal 149 menyebutkan Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tak boleh diubah. Berbeda halnya, jika dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata mensyaratkan bahwa Perjanjian Kawin harus dibuat dengan akta Notaris, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam hanya mensyaratkan Perjanjian Perkawinan dapat dibuat sendiri oleh calon pasangan suami isteri, tetapi harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada saat perkawinan dilangsungkan. 18 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), Seksi Perdata Barat, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1981, hlm

32 32 e. Isi Perjanjian Kawin Pasal 29 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan dengan jelas apa saja isi dari suatu perjanjian perkawinan, hanya saja disebutkan tidak melanggar batas batas hukum, agama dan kesusilaan. Mengenai isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian kawin, dalam ilmu hukum dapat dikemukakan pendapat antara lain sebagai berikut 19 : 1) Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian kawin dapat memuat apa saja, yang berhubungan dengan baik dan kewajiban suami isteri maupun mengenai hal hal yang berkaitan dengan harta benda perkawinan. Mengenai batasan batasan yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian kawin. Hal ini merupakan tugas Hakim untuk mengaturnya. 2) R. Sardjono berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur di dalam Peraturan Perundang Undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka lebih baik ditafsirkan bahwa Perjanjian Kawin sebaiknya hanya meliputi hak hak yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan. 3) Nurnazly Soetarno berpendapat bahwa Perjanjian Kawin hanya dapat memperjanjikan hal hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut mengenai harta yang benar benar merupakan harta pribadi suami isteri yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam perkawinan. Di dalam Pasal 139 Kitab Undang Undang Hukum Perdata memiliki asas yang mana calon pasangan suami 19 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, ctk. Kedua, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm

33 33 isteri berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari Peraturan Perundang Undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asalkan perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum. Kitab Undang Undang Hukum Perdata memberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian kawin yaitu : a. Perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 139); b. Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang Undang Hukum Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa isteri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1)); c. Dalam perjanjian itu suami isteri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta peninggalan anak anak mereka (Pasal 141); d. Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142). Pitlo berpendapat sebagaimana dikutip oleh Prawirohamidjojo, dan Asis Safiodien dalam bukunya : bahwa janji yang demikian harus dianggap tidak ada karena bertentangan dengan Undang Undang. Dengan demikian suami isteri masing masing menanggung setengah bagian dari hutang maupun keuntungan Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safiodien, op.cit, hlm

34 34 f. Waktu Pembuatan Perjanjian Kawin Dalam Pasal 147 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Hal tersebut dimaksudkan demi perlindungan terhadap pihak ketiga (kreditur) supaya tidak dihadapkan kepada situasi yang berubah ubah, yang dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang kreditur. 21 Berbeda dengan ketentuan dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dalam Pasal 29 dikatakan bahwa perjanjian dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Dengan ini berarti mengenai waktu pembuatan perjanjian kawin dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan lebih luas dengan memberikan dua macam waktu untuk membuat perjanjian kawin, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan. 22 Maka demikian, dengan telah adanya atau ditentukannya saat pembuatan perjanjian kawin tersebut maka tidak diperbolehkan membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung apabila sebelum atau pada saat perkawinan tidak telah diadakan perjanjian perkawinan. 23 g. Perubahan Perjanjian Kawin Pasal 149 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dengan tegas menyatakan bahwa Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun, tak boleh 21 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm Soetojo Prawirihamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga Press, Surabaya, 1994, hlm Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op.cit, hlm

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perkawinan adalah suatu ikatan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Pengertian perkawinan terdapat di dalam UUP No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhan Batu e_mail : sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK Perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam, terutama bagi mereka yang secara lahir dan batin telah siap menjalankannya. Tidak perlu ada rasa takut dalam diri setiap muslim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1 54 BAB IV KEKUATAN YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURWOREJO NO. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/ Pdt.G/2011/PTA.Smg. TENTANG CERAI TALAK A. Kekuatan Yuridis

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan a. Pengertian perkawinan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG Annisa Istrianty Erwan Priambada Email: annishaistrianty@gmail.com Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak BAB IV ANALISIS YURIDIS HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak Menggunakan Hak Ex Officio

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 1824/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor: 1824/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan P U T U S A N Nomor: 1824/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1989 (AGAMA. KEHAKIMAN. PERADILAN. Perkawinan. Perceraian. Warisan. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 0265/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor: 0265/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N Nomor: 0265/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN

BAB II PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN 23 BAB II PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN A. Perjanjian Dalam Perkawinan 1. Pengertian Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT SUAMI ISTRI DALAM PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA MALANG Perkara Nomor:

Lebih terperinci

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk 56 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM PUTUSAN NOMOR: 269/Pdt.P/2014/PA.Mlg. TENTANG PENCATATAN PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH DILANGSUNGKAN AKAD NIKAH Salah satu akibat perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Vol. 1, No.1, January 2018 PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tasikmalaya Jawa Barat E-mail : gunadish_17@yahoo.com

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen tetap STIH Labuhanbatu e_mail: sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0444/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

P U T U S A N. Nomor 0444/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan P U T U S A N Nomor 0444/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 1319/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor: 1319/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan P U T U S A N Nomor: 1319/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 1910/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 1910/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 1910/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH 56 BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH A. Analisis Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Tentang Mut ah dan Nafkah Iddah. Tujuan pihak-pihak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO. 3400 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 1791/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor: 1791/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan P U T U S A N Nomor: 1791/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 1592/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor: 1592/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan P U T U S A N Nomor: 1592/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N Nomor 0435/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 0072/Pdt.G/2010/PA.Spn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0072/Pdt.G/2010/PA.Spn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0072/Pdt.G/2010/PA.Spn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata

Lebih terperinci

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N Nomor: 0674/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0656/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 0656/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 0656/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan P U T U S A N Nomor: 0901/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 1419/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor: 1419/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N Nomor: 1419/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N Nomor 0756/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0891/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 0891/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 0891/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 1725/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor 1725/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N Nomor 1725/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0034/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 0034/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor 0034/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 1150/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor: 1150/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan P U T U S A N Nomor: 1150/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N Nomor: 1152/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0710/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 0710/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 0710/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 1142/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 1142/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor: 1142/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia 104 BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Pada dasarnya menurut Hukum Islam, harta suami isteri terpisah. Masingmasing memiliki hak untuk membelanjakan atau menggunakan hartanya dengan sepenuhnya tanpa boleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci