BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Pengertian perkawinan terdapat di dalam UUP No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 26 Sedangkan tujuan perkawinan, adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian diatas dapat dirumuskan unsur-unsur perkawinan, yaitu : 27 a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat (hubungan formal), yaitu mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Hal ini dapat dilihat karena dibentuk oleh undang-undang, hubungan mana mengikat bagi kedua belah pihak dan pihak lain atau masyarakat. Ikatan batin ialah ikatan yang tidak dapat dilihat (hubungan tidak formal), yang diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama, yang akan menimbulkan kerukunan dan mengikat kedua belah pihak. Terjalinnya ikatan lahir batin tersebut, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. b. Adanya unsur ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri mengandung arti bahwa dalam waktu yang sama 26 Pasal 1 UUP No.1 Tahun K. Wantjik Saleh, Op. Cit, hal

2 seorang suami tidak diperbolehkan untuk kawin lagi dengan wanita lain. Dalam hal ini mengandung asas monogami. Dalam keadaan tertentu asas monogami dapat dikesampingkan, akan tetapi diperbolehkan bagi mereka yang yang diperkenankan oleh agama dan undang-undang untuk menikah lagi dengan alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan. c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini dapat diartikan, bahwa mereka itu haruslah berlangsung terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan. Perceraian karena sebab-sebab lain daripada kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu pemutusan perkawinan karena perceraian (cerai hidup), merupakan jalan akhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi. d. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa perkawinan itu tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia, sebagai makhluk yang beradab. 2. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah : 28 a. Buku I dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu Bab IV samapi dengan Bab XI. b. Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. c. Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. d. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. e. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. 28 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta, PB Gadjah Mada, 1999), hal 37.

3 f. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal KHI). 3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974 Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UUP No. 1 Tahun Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat-syarat tersebut antara lain : 1) Pasal 6 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Pasal 6 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3) Pasal 7 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 4) Pasal 8 UUP No. 1 Tahun 1974, larangan perkawinan karena hubungan keluarga yang dekat. 5) Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan. 6) Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan setelah yang kedua kalinya antara orang yang sama adalah dilarang. 7) Pasal 11 UUP No. 1 Tahun 1974, mengatur tentang waktu tunggu. Pada ayat (1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dan pada ayat (2) tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Pasal 39 PP No. 9 Tahun Pada Pasal 39 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, berbunyi : Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut :

4 a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari. b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 8) Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974, tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Selanjutnya ketentuan tentang tata cara perkawinan ini diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP No. 9 Tahun b. Menurut KUHPerdata Menurut Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), syarat sahnya perkawinan (syarat materil) adalah : 1) Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUHPerdata). 2) Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 KUHPerdata). 3) Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPerdata). 4) Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUHPerdata). 5) Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35 KUHPerdata). Mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini : a) Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasaannya, harus ada izin dari wali pengawas (Pasal 36 KUHPerdata). b) Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37 KUHPerdata). c) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39 KUHPerdata). 29 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Cet. 2, (Bandung, Nuansa Aulia, 2007), hal 82.

5 d) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40 KUHPerdata). e) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak dapat memintanya dengan perantaraan hakim (Pasal 42 KUHPerdata). f) Tidak terkena larangan kawin (Pasal KUHPerdata). 30 Sementara syarat formil perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 84 KUHPerdata), terdiri dari : 1) Tata cara/formalitas-formalitas yang harus mendahului perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 58 KUHPerdata). 2) Mencegah perkawinan (Pasal 59 sampai dengan 70 KUHPerdata). 3) Melangsungkan perkawinan (Pasal 71 sampai dengan 82 KUHPerdata). 4) Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri (Pasal 83 sampai dengan 84 KUHPerdata) Larangan-larangan Perkawinan a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974 Perkawinan dilarang antara dua orang yang : 32 a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b. Berhubungan darah dan garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri; d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagi bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. 30 P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal Djaja S. Meliala, Op. Cit, hal Pasal 8 UUP No. 1 Tahun 1974

6 Menurut Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali jika : 1) Mendapat izin dari Pengadilan (berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974); 2) Dengan alasan bahwa istri, yaitu : (Pasal 4 UUP No. 1 Tahun 1974). a) Tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri; b) Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c) Tidak dapat melahirkan keturunan; Menurut Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974 menentukan, bahwa apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dapat dipikirkan matang-matang. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai.

7 Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974 bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Pada ayat (2) tenggang jangka waktu tunggu tersebut pada ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan Pemerintah lebih lanjut tersebut dalam hal ini adalah PP No. 9 Tahun 1975 yang dalam Pasal 39 ayat (1). b. Menurut KUHPerdata antara 33 : Di dalam KUHPerdata ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang 1) Mereka yang bertalian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 30 KUHPerdata). 2) Ipar laki-laki dan ipar perempuan, paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31 KUHPerdata). 3) Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah oleh putusan hakim (Pasal 32 KUHPerdata). 4) Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum lewat waktu 1 (satu) tahun (Pasal 33 KUHPerdata). 5. Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan a. Menurut UUP No. 1 Tahun 1974 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2 UUP No. 1 Tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor 33 P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal 42.

8 Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Dalam PP No. 9 Tahun 1975, dikatakan bahwa tahap-tahap pencatatan perkawinan itu adalah sebagai berikut : 34 1) Pegawai pencatat perkawinan Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2). 2) Pemberitahuan perkawinan Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh hari kerja) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualikan terhadap jangka waktu tersebut yang disebabkan oleh sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat, atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3). Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Pemberitahuan memuat : nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (Pasal 5). 3) Penelitian oleh pegawai pencatat Menurut Pasal 6, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti hal-hal sebagai berikut : a) Apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi. b) Apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undnagundang. c) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asalusul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu. d) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai. e) Izin tertulis /izin Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun. f) Izin Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri. 34 Ibid, hal

9 g) Dispensasi Pengadilan/ Pejabat. h) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih. i) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata. j) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. Hasil penelitian tersebut oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan tersebut diatas (3-10), keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (Pasal 7). 4) Pengumuman perkawinan Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman Tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Menurut Pasal 9, pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat : a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu. b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan. 5) Tata cara perkawinan Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkwinan oleh pegawai pencatat. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10). Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11). Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera

10 Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 13). b. Menurut KUHPerdata Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak (Pasal 50 KUHPerdata). Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup kepastian memperlihatkan kehendak kedua calon suami istri, dan Tentang pemberitahuan itu oleh Pegawai Catatan Sipil harus dibuat sebuah akta (Pasal 51 KUHPerdata). Menurut pasal 52 KUHPerdata, sebelum perkawinan dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus menyelenggarakan pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat pengumuman pada pintu utama daripada gedung dalam mana registerregister catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus tetap tertempel selama 10 (sepuluh) hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada hari Minggu atau hari Tahun Baru, hari Paskah, hari Natal, dan Hari Mikraj Nabi. Surat itu berisi : 1e. Nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-istri, pun jika yang akhir ini dulu pernah kawin, nama istri dan suami mereka dulu. 2e. Hari, tempat dan jam pengumuman berlangsung. Kemudian, surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil. Jjika kedua calon suami istri tak mempunyai tempat tinggal dalam

11 daerah Pegawai Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman harus dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal masing-masing pihak (Pasal 53 KUHPerdata). Pengumuman hanya berlaku selama 1 (satu) bulan, dan apabila dalam waktu itu tidak dilangsungkan perkawinan, maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, dan untuk itu pengumuman harus diulang sekali lagi (Pasal 57 KUHPerdata). Pada asasnya, suatu perkawinan dapat dibuktikan dengan adanya akta perkawinan (Pasal 100 KUHPerdata). 6. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan Menurut Pasal 31 UUP No. 1 Tahun 1974, berbunyi bahwa : (1) hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat; (2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum; (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan kewajiban suami istri terdapat dalam Pasal 30 UUP No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi susunan masyarakat. Didalam Pasal 32 UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa: (1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap; (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

12 Pasal 33 UUP No.1 Tahun 1974 dikatakan, bahwa suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 UUP No. 1 Tahun 1974 menentukan, bahwa : (1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; (3) Jika suami istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. B. PERCERAIAN 1. Pengertian Perceraian Menurut ketentuan Pasal 38 UUP No. 1 Tahun, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. 35 a. Kematian; Putusnya perkawinan karena kematian suami atau istri, disebut juga oleh masyarakat dengan cerai mati. b. Perceraian; Putusnya perkawinan karena perceraian, disebut oleh masyarakat dengan istilah cerai hidup. Putusnya perkawinan karena perceraian ada 2 (dua) jenis, yaitu : Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000), hal K. Wantjik Saleh, Op. Cit, hal 38.

13 1) Cerai gugat, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya bukan Islam dan seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. 2) Cerai talak, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. c. Putusan Pengadilan; Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatunya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap. 37 Pasal 39 UUP No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa : (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri, tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa perceraian mempunyai arti, bahwa diputuskannya perkawinan tersebut oleh Hakim dikarenakan sebab tertentu atau putusnya perkawinan karena 37 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 1990), hal 175.

14 perceraian berarti pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab tertentu dengan keputusan Hakim. Perceraian juga dapat diartikan sebagai salah satu cara pembubaran perkawinan karena sebab tertentu, melalui keputusan Hakim yang didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengertian perceraian adalah putusnya perkawinan yang sah karena suatu sebab tertentu oleh keputusan Hakim, yang dilakukan didepan sidang Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang serta telah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. 2. Alasan-alasan Perceraian Tujuan Perkawinan, adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa., Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat untuk mencari kebahagiaan, meneruskan keturunan, dan ingin hidup bersama sampai akhir hayat atau cerai mati, namun seringkali tujuan tersebut kandas ditengah jalan karena sebab-sebab tertentu. Walaupun perceraian adalah perbuatan tercela dan dibenci oleh Tuhan (Allah), suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Namun, perceraian harus mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur undang-undang bahwa antara suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 38 Alasanalasan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan perceraian 38 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op. Cit, hal 118.

15 dapat diketahui dari penjelasan Pasal 39 (2) UUP No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, sebagai berikut : 39 a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan. Pengertian zinah pada alasan perceraian ini, adalah zinah menurut konsep agama. Pengertian pemabok, pemadat, dan penjudi ditafsirkan oleh Hakim; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturutturut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Waktu 2 (dua) tahun berturut-turut pada alasan perceraian ini, adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Kata berturut-turut berarti kepergian salah satu pihak tersebut harus penuh 2 (dua) tahun lamanya dan selam waktu itu yang bersangkutan tidak pernah kembali. Rasio dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kepentingan pihak yang ditinggalkan. Maksud hal lain diluar kemampuannya pada alasan perceraian ini, maka Hakim yang menentukannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat maksudnya adalah hukuman yang sudah mempunyai kekuatan tetap setelah Perkawinan berlangsung. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun haruslah dijatuhkan oleh Hakim Pidana setelah perkawinan dilangsungkan. Penentuan lima tahun dianggap cukup mentukan apakah perkawinan para pihak hendak diteruskan atau diakhiri; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. Kekejaman atau penganiayaan yang dikaitkan membahayakan terhadap pihak lain bukan jasmani namun juga jiwa para pihak. Sebaiknya ada visum dari dokter atau keterangan saksi ahli hukum kejiwaan untuk mengetahui bagaimana perasaan dalam diri pihak yang melakukan kekejaman atau penganiayaan dan pihak lain yang diperlukan dengan kejam dan dianiaya. Selain itu juga perlu di dengar keterangan dari orang yang melihat dan atau mendengar secara langsung kekejaman dan penganiayaan itu dilakukan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan penjelasan Tentang apa yang dimaksud dengan kekejaman atau penganiayan berat itu sendiri, sehingga Hakimlah yang harus menafsirkan; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Tujuan dari alasan perceraian ini adalah untuk menjaga dan melindungi jangan sampai segala kepentingan dari salah satu pihak dikorbankan karena suatu sebab yang menimpa pihak lain. Menurut Lili Rasjidi, ciri utama dari cacat badan atau penyakit berat ini adalah harus yang menyebabkan si penderita tidak lagi dapat menjalankan 39 Lili Rasjidi, Alasan Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung, Alumni, 1983), hal 5.

16 kewajibannya sebagai suami atau istri. 40 Apabila dalam rumah tangga, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan perceraian. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak memberikanpenjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan cacat badan atau penyakit. Dalam hal ini Hakimlah yang menentukan secara pasti terhadap semua keadaan yang dapat dijadikan alasan untuk bercerai, sebagaimana yang dimaksud dalam alasan perceraian tersebut; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang mengakibatkan suami istri tersebut tidak dapat diharapkan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Hal ini merupakan persoalan yang bersifat relatif karena Hakimlah yang menilai dan menetapkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan bukti-bukti yang ada. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tujuan perkawinan tersebut tidak dapat dicapai oleh suami istri maka sudah sewajarnya para pihak memutuskan jalan untuk bercerai berdasarkan alasan-alasan perceraian seperti tersebut diatas. 3. Tata Cara Perceraian Ada dua macam perceraian, yaitu perceraian dengan talak dan perceraian dengan gugatan. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Bagi perceraian dengan gugatan biasa disebut cerai gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan bukan beragama Islam Ibid. 41 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op. Cit, hal

17 a. Tata Cara Cerai Talak Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat pemberitahuan kepada pengadilan agama di tempat tinggalnya bahwa dia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya, dengan permintaan agar pengadilan agama mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu (Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975). Setelah pengadilan agama mempelajari isi surat pemberitahuan tersebut, selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan itu, pengadilan agama memanggil suami dan istri yang bersangkutan untuk meminta penjelasan mengenai perceraian itu (Pasal 15 PP No. 9 Tahun 1975). Setelah memperoleh penjelasan dari suami dan istri yang bersangkutan dan ternyata terdapat alasan-alasan untuk bercerai, maka berdasarkan Pasal 7 PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Setelah dilakukan mediasi dan pengadilan agama berpendapat bahwa antara suami dan istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam rumah tangga, maka pengadilan agama memutuskan untuk mengadakan sidang menyaksikan perceraian itu (Pasal 16 PP No. 9 Tahun 1975). Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian itu, Ketua Pengadilan Agama membuat surat keterangan Tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian (Pasal 17 PP No. 9 Tahun 1975). Perceraian itu

18 terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan agama (Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975). Pentingnya penetapan saat terjadi perceraian adalah untuk menghitung lamanya masa tunggu (masa idah). 42 b. Tata Cara Cerai Gugat Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas, tidak diketahui, tidak mempunyai tempat kediaman tetap, atau Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman Penggugat (Pasal 20 PP No. 9 Tahun 1975). Setelah pengadilan menerima gugatan Penggugat, pengadilan memanggil pihak Penggugat dan Tergugat atau kuasa mereka di tempat kediamannya atau jika mereka tidak dijumpai di tempat kediamannya, panggilan disampaikan melalui lurah atau yang dipersamakan dengan itu secara patut dan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dibuka sudah diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penggilan kepada Tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan (Pasal 26 PP No. 9 Tahun 1975) diunduh pada hari Selasa, tanggal 06 Januari 2015 pukul WIB.

19 Pemerikasaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim paling lambat tiga puluh hari setelah diterima surat gugatan perceraian. Pada sidang pemerikasaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Usaha perdamaian dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Apabila tercapai perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru dengan alasan yang sama (Pasal 29 ayat (1) dan pasal 30 PP No. 9 Tahun 1975). Apabila tidak tercapai perdamaian, pemerikasaan gugat dilakukan dalam sidang tertutup sampai pengadilan memberikan putusannya. Akan tetapi, putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor catatan sipil oleh pegawai pencatat bagi yang bukan beragama Islam dan jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 33 dan 34 PP No. 9 Tahun 1975). c. Pencatatan Perceraian Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/ yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi dan pegawai pencatat mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar

20 yang disediakan untuk itu. 43 Jika perceraian dilakukan didaerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum pegawai pencacat di mana perkawianan dilangsungkan, satu helai salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/ yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan. Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan itu disampaikan kepada pegawai pencatat di Jakarta (Pasal 35 PP No. 9 Tahun 1975). Selambat-lambatnya tujuh hari setelah perceraian diputuskan, panitera pengadilan agama menyampaikan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum hukum tetap itu kepada pengadilan negeri untuk dikukuhkan. Pengukuhan tersebut dilakukan dengan membubuhkan kata dikukuhkan dan ditandatangani oleh hakim pengadilan negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut. Selambat-lambatnya, tujuh hari setelah diterima putusan dari pengadilan agama, panitera pengadilan negeri menyampaikan kembali putusan itu kepada pengadilan agama (Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975). 4. Akibat Hukum Perceraian Akibat dari perceraian akan menimbulkan akibat hukum, terhadap: a. Orang tua/anak P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal K. Wantjik Saleh, S.H, Op. Cit, hal

21 Menurut Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : 1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan akan memberikan keputusan; 2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam keadaan tidak dapat memberikan kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. b. Harta benda perkawinan Mengenai harta benda perkawinan menurut UUP No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab VII, yaitu Pasal 35, 36, 37. Dalam Pasal 35 UUP No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa : 1) Harta benda yang diperoleh selam perkawinan menjadi harta bersama; 2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing. Sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

22 Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa pengertian dari harta benda perkawinan adalah harta benda yang diperoleh sebelum atau selama perkawinan berlangsung baik yang didapat oleh suami maupun istri. Menurut UUP No. 1 Tahun 1974, harta benda perkawinan, terbagi atas : 45 a) Harta bersama; b) Harta Pribadi; (1) Harta bawaan suami (2) Harta bawaan istri (3) Harta hibah/warisan suami (4) Harta hibah/warisan istri a) Harta bersama Menurut Pasal 35 UUP No. 1 Tahun 1974, harta bersama suami istri hanya meliputi harta-harta yang dipeoleh suami istri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara dimulainya sebuah perkawinan sampai perkawinan itu putus, baik dikarenakan kematian (cerai mati) atau karena perceraian (cerai hidup). Harta bersama terdiri dari yaitu : 46 (1) Hasil dan pendapatan suami (2) Hasil dan pendapatan istri 45 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cet. Ke-2, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993), hal Ibid, hal 188.

23 (3) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan. Pada asasnya harta bersama hanya meliputi, yaitu : (1) Hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan; (2) Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang perkawinan; (3) Dengan demikian harta bersama merupakan hasil dan pendapatan suami istri atau kedua-duanya secara bersamasama yang secara otomatis menjadi harta kekayaan bersama. b) Harta pribadi Harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan tidak masuk kedalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain. Menurut Pasal 35 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, harta pribadi terdiri dari : 47 (1) Harta bawan suami atau istri (2) Harta hibah suami atau istri (3) Harta warisan suami atau istri Sesuai dengan kata hak sepenuhnya pada Pasal 36 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, bahwa hak yang paling penuh adalah 47 Ibid, hal 193

24 hak milik dan orang yang mempunyai hak milik, mempunyai wewenang yang paling luas meliputi beheer (pengurusan) dan beschikking (pemilikan). Kata masing-masing menunjukkan bahwa suami istri dapat bertindak sendiri-sendiri tanpa bantuan, kuasa maupun persetujuan dari suami atau istrinya. Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-undang No.1 tahun1974 Tentang Perkawinan, disebutkan juga bahwa apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing. Pasal 36 UUP No. 1 Tahun 1974 juga menyebutkan bahwa : (1) Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 UUP No. 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, adalah Hukum Agama, Hukum Adat, dan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agamaagama lainnya namun tunduk kepada Hukum Adat, maka dalam Hukum Adat ini dikenal harta bersama/harta gono-gini. Jika terjadi

25 perceraian, maka masing-masing suami atau istri mendapat separuh dari harta bersama. Sedangkan bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen namun tunduk pada KUHPerdata yang mengenal harta bersama, maka jika terjadi perceraian harta bersama dibagi menjadi dua, yaitu separuh untuk pihak suami dan separuh untuk pihak istri. C. HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN 1. Pengertian Harta Bersama Dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dengan istilah harta bersama, yaitu kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar harta bawaan, hadiah dan warisan. Maksudnya, harta yang di dapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Karena itu, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan, yakni harta (baik bergerak maupun tidak bergerak) yang diperoleh sejak terjalinnya hubungan suami istri yang sah melalui akad nikah, yang dapat dipergunakan oleh suami atau istri untuk membiayai keperluan hidup mereka beserta anak-anaknya, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam rumah tangga. Menurut M. Yahya Harahap 48 menyatakan : 48 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan, Zahir Trading Co, 1975), hal 117.

26 Harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan dimana suami istri itu hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan kebutuhan kehidupan keluarga. Luas-luas harta bersama disamping penting untuk kedua belah pihak suami istri maka hal ini relevant untuk pihak ketiga sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, yakni : 49 a. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan sekalipun harta atau barang terdaftar diatas namakan salah seorang suami istri, maka harta yang atas nama suami atau istri dianggap sebagai harta bersama; b. Jika harta itu dipelihara atau diusahai dan telah dialihnamakan ke atas nama adik suami jika harta yang demikian dapat dibuktikkan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami istri; c. Juga dalam putusan yang sama telah dirumuskan suatu kaedah bahwa adanya harta bersama suami istri tidak memerlukan pembuktian bahwa istri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama tersebut. Yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama perkawinan; d. Harta yang dibeli baik oleh suami maupun istri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami istri jika pembelian itu dilakukan selama perkawinan; e. Barang termasuk harta bersama suami istri yaitu : 1) Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri; 2) Demikian juga segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai f. Mengenai harta bersama apabila si suami kawin poligami baik dua atau tiga istri maka penentuan harta bersama dapat diambil garis pemisah yaitu: 1) Segala harta yang telah ada antara suami dengan istri pertama sebelum perkawinannya dengan istri kedua maka istri kedua tidak mempunyai hak apa-apa atas harta tersebut; 2) Oleh sebab itu harta bersama yang ada antara suami dengan istri kedua ialah harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinan. Jadi harta yang telah ada diantara istri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak antara istri pertama dengan suami dimana istri kedua terpisah 49 Ibid, hal 119.

27 dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Istri kedua baru ikut dalam lembaga harta bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak istri kedua itu resmi sebagai istri. 3) Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti istri pertama dengan suaminya hidup dalam satu rumah kediaman yang berdiri sendiri demikian juga istri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta istri pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara istri pertama dengan suami dan demikian juga apa yang menjadi harta kekayaan dalam rumah tangga istri kedua dengan suami. Apa yang diterangkan mengenai harta bersama dalam keadaan suami beristri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas oleh UU Perkawinan telah diatur pada Pasal 65 ayat (1) huruf b 50 dan huruf c 51 serta ayat (2), yang memberi kemungkinan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan diatas jika suami istri kemungkinan menyimpang dari ketentuan-ketentuan diatas jika suami istri membuat ketentuan-ketentuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini seperti membuat perjanjian yang diatur dalam Pasal 29. Menurut Sayuti Thalib, berpendapat bahwa : macam-macam harta suami istri dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu 52 : a. Dilihat dari sudut asal-usulnya harta suami istri itu dapat digolongkan pada tiga golongan : 1) Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut sebagai harta bawaan; 2) Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau bersama-sama tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing; 3) Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka disebut harta pencaharian. b. Dilihat dari sudut penggunaannya maka harta ini dipergunakan untuk : 50 Pasal 65 ayat (1) huruf b UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya. 51 Pasal 65 ayat (1) huruf c UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa semua istri mempunyai hak bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. 52 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Kelima, (Jakarta, UI Press, 1986), hal 83.

28 1) Pembiayaan untuk rumah tangga, keluarga dan belanja sekolah anak-anak; 2) Harta kekayaan yang lain. c. Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat harta itu akan berupa : 1) Harta milik bersama; 2) Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keluarga; 3) Harta milik seseorang dan pemilikan dengan tegas oleh yang bersangkutan. Pada awalnya, masalah harta bersama ini muncul karena adanya prinsip masing-masing suami dan istri masih berhak menguasai harta bendanya sendiri sebagai halnya sebelum mereka menjadi suami istri, kecuali harta bersama yang tentunya dikuasai bersama. Oleh karena itu, harta keluarga (gezinsgoed) dapat disimpulkan dalam empat sumber yaitu : 1) Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri; 2) Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka nikah; 3) Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan; 4) Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami istri dan selain dari harta warisan. Menurut Ismail Muhammad Syah, menyatakan bahwa, keempat macam sumber harta ini dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu harta bersama yang dimiliki dan dikuasai bersama dan harta masing-

29 masing yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing dari suami dan istri. 53 Keempat sumber harta yang didapat tersebut dapat disebut harta kekayaan. Konsep harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum yang keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan sedangkan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur Pengertian Harta Bawaan Harta jenis kedua yang terdapat dalam suatu ikatan perkawinan sebagaimana hal itu diatur dalam Pasal 35 ayat (2) jo Pasal 36 ayat (2) UUP No. 1 Tahun Pasal 35 ayat (2), harta bawaan dari masingmasing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing- masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta warisan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Asas hukum yang diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) tersebut merupakan asas tiori hukum yang diatur dalam syariat hukum Islam, dimana istri tersebut tetap memegang kekayaan sebagai subjek hukum atas segala miliknya sendiri. Menguasai hasil pencarian yang 53 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Istri di Aceh Ditinjau Dari Sudut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam, Disertasi dalam Ilmu Hukum,, Medan, 1984, hal Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994), hal 9.

30 diperolehnya dari jerih payah yang dilakukannya. Berhak menerima hibah dan warisan selama perkawinan masih berlangsung. Dan dengan sendirinya menjadi hak dan berada dibawah pengawasannya sendiri. Jadi baik barang sesudah perkawinan, hukum Islam menganggap kekayaan suami dan istri masing-masing terpisah antara yang satu dengan yang lain dan tidak ada percampuran. 55 Adapun kriteria harta bawaan menurut beberapa doktrin antara lain: a. Menurut Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, harta pribadi adalah harta bawaan masing-masing suami istri yang merupakan harta tetap di bawah penguasaan suami istri yang merupakan harta yang bersangkutan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin. Dengan kata lain, harta pribadi adalah harta yang telah dimiliki oleh suami istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Harta pribadi meliputi : 1) Harta yang dibawa masing-masing suami istri ke dalam perkawinan termasuk hutang yang belum dilunasi sebelum perkawinan dilangsungkan; 2) Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian dari pihak lain kecuali ditentukan lain; 3) Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan kecuali ditentukan lain; 4) Hasil-hasil dari harta milik pribadi suami istri sepanjang perkawinan berlangsung termasuk hutang yang timbul akibat pengurusan harta milik pribadi tersebut b. Menurut J. Satrio 58, berdasarkan UUP No. 1 Tahun 1974 di dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta, salah satunya yakni harta pribadi. 55 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Op. Cit, hal Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, (Jakarta, Badan Penerbit Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal Ibid. 58 J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991), hal 66.

31 Menurut Pasal 35 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan tidak termasuk ke dalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi tersebut dapat dibedakan lagi meliputi harta bawaan suami atau istri yang bersangkutan, harta yang diperoleh suami atau istri sebagai hadiah, hibah atau warisan. Akan tetapi jika diteliti dalam kalimat Pasal 36 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, seolah-olah Undang-Undang ini membuat perbedaan antara barang-barang milik masing-masing pribadi dalam pengertian 59 : 1) a) Harta bawaan dari masing-masing suami istri; b) dan Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan sesudah perkawinan; Barang-barang ini dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain; 2) Pasal 36 ayat (2) membuat pengkhususan, yaitu mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan pembuatan hukum mengenai harta bendanya. Jika dipertegas, mengenai harta bawaan masing-masing mempunyai : a) Hak sepenuhnya; 59 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Op. Cit, hal

32 b) Hak melakukan perbuatan hukum atas harta bawaan tersebut. Ini suatu pertanyaan, karena pada Pasal 35 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974 sudah jelas apa yang disebut harta benda kekayaan masingmasing suami dan istri, yakni : a) Harta bawaan masing-masing suami dan istri; b) Harta yang diperoleh sesudah perkawinan termasuk penghibahan, hadiah dan mendapat warisan. Dari semua harta ini, baik harta bawaan, hibah, hadiah dan perolehan karena warisan berada dibawah penguasaan masing-masing. Tetapi Pasal 36 ayat (2) lain lagi bunyinya, yang hanya menyebut harta bawaan saja, masing-masing suami dan istri yang mempunyai hak sepenuhnya dan untuk melakukan segala perbuatan hukum atas harta bendanya. Maka atas dasar ketentuan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yang kurang jelas mengenai hubungan kedua ketentuan diatas. Ketidak jelasan itu menyangkut harta benda yang diperoleh secara pribadi didalam perkawinan, seperti mendapat hibah, hadiah dan warisan. Sebab jika mengenai harta bawaan sudah tidak keraguan lagi, yaitu masing-masing mempunyai hak mutlak yang penuh dan bebas bertindak berbuat apa sajapun terhadap harta bawaan itu, sepanjang perbuatan yang dibenarkan hukum. Tetapi bagaimana nasib harta milik pribadi yang lain tersebut (hadiah, hibah dan warisan). Karena ketentuan dalam Pasal 35 ayat (2)

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

BAB II PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA BAB II PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Landasan Yuridis Perceraian Dalam bahasa Indonesia kata perceraian berasal dari kata cerai yang berarti pisah.

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan institusi kecil yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah

Lebih terperinci

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN 1 KUHPerdata 103 106 105 107 KUHPerdata 107 108 110 Akibat perkawinan terhadap diri pribadi masing-masing Suami/Istri Hak & Kewajiban Suami-Istri UU No.1/1974 30

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB IV HUKUM KELUARGA BAB IV HUKUM KELUARGA A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN Di Indonesia telah dibentuk Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam Lembaran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan Perkara Nomor 1061/Pdt.G/2016/PA.Bwi di Pengadilan Agama Banyuwangi) perspektif UU No.

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian

BAB I PENDAHULUAN. (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan undian dengan hadiah yang memiliki nilai materil (ekonomis) hingga ratusan juta rupiah menjadi semakin marak. Undian-undian berhadiah ini umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pengertian Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 1 berbunyi sebagai berikut : Perkawinan ialah ikatan lahirbatin

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara No.755, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMSANEG. Pegawai. Perkawinan. Perceraian. PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI LEMBAGA SANDI

Lebih terperinci

HAK JANDA/DUDA ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA LUBUK-LINGGAU SKRIPSI

HAK JANDA/DUDA ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA LUBUK-LINGGAU SKRIPSI HAK JANDA/DUDA ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA LUBUK-LINGGAU SKRIPSI Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata -1 Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Persamaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Status Perkawinan Karena Murtad Dalam

Lebih terperinci

Bab 2 PERKAWINAN DAN AKIBAT PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN

Bab 2 PERKAWINAN DAN AKIBAT PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN 16 Bab 2 PERKAWINAN DAN AKIBAT PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dalam pembahasan mengenai pengertian perkawinan ini, kita tidak dapat memfokuskan terhadap salah satu dari

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perkawinan adalah suatu ikatan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIS BERPERKARA

PEDOMAN PRAKTIS BERPERKARA PEDOMAN PRAKTIS BERPERKARA Transparansi, Akuntabilitas, Mandiri,Dihormati,dan Sumber Daya Manusia Aparatur Peradilan Yang Berkwalitas Senyum, Salam dan Sapa Pengadilan Agama Manna Klas II Jalan Raya Padang

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Persepsi Persepsi pada dasrnya adalah proses kognitif yang dialami seseorang dalam memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan istri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 Mengenai Tidak Dipenuhinya Janji Kawin Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN P U T U S A N Nomor : 14/Pdt.G/2012/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010

Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010 Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010 Tanggal dibacakan putusan : 26 Mei 2010 Amar : Dikabulkan Kata Kunci : Polygami Jenis Lembaga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS 40 BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS A. Proses Terjadinya Kawin di bawah Ancaman Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas di Desa Klapayan Kecamatan Sepulu Kabupaten

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019); 2. Und

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019); 2. Und No.476, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BATAN. Izin. Perkawinan. Peceraian. Pegawai. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN PERKAWINAN

Lebih terperinci

IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PENGERTIAN IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Perkawinan sah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga/ rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab. Sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor : 1636/Pdt.G/2012/PA.Plg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 1636/Pdt.G/2012/PA.Plg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor : 1636/Pdt.G/2012/PA.Plg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1989 (AGAMA. KEHAKIMAN. PERADILAN. Perkawinan. Perceraian. Warisan. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 0097/Pdt.G/2016/PA.Pkp. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 0097/Pdt.G/2016/PA.Pkp. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 0097/Pdt.G/2016/PA.Pkp. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalpinang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama, dalam sidang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

Lebih terperinci

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan, Pernikahan PNS Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Dan Pengaturannya Mengenai pengertian perkawinan, banyak pendapat para ahli yang berbeda-beda antara yang satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial ataupun mahluk pribadi tidak dapat hidup seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara 23 BAB II TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN PENGADILAN A. Mengenai Perkawinan 1. Perkawinan

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER I. HAL-HAL YANG PERLU DIKETAHUI SEBELUM BERPERKARA (PERDATA) KE PENGADILAN Bagi orang yang akan berperkara di pengadilan dan belum mengerti tentang cara membuat

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor: 27 / Pdt.G / 2010 / PN.Smi

P U T U S A N Nomor: 27 / Pdt.G / 2010 / PN.Smi P U T U S A N Nomor: 27 / Pdt.G / 2010 / PN.Smi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" Pengadilan Negeri Sukabumi yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL Presiden Republik

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor xxxx/pdt.g/2012/pa.tse

P U T U S A N Nomor xxxx/pdt.g/2012/pa.tse P U T U S A N Nomor xxxx/pdt.g/2012/pa.tse BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Tanjung Selor yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat guna Mencapai Derajad Sarjana Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai seorang suami

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 0072/Pdt.G/2010/PA.Spn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0072/Pdt.G/2010/PA.Spn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0072/Pdt.G/2010/PA.Spn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO. 3400 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

bismillahirrahmanirrahim

bismillahirrahmanirrahim P U T U S A N Nomor 0425/Pdt.G/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 32/Pdt.G/2009/PA.GM. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 32/Pdt.G/2009/PA.GM. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Nomor Perkara : 32/Pdt.G/2009/PA.GM Para pihak : Penggugat Vs Tergugat Tahun : 2009 Tanggal diputus : 31 Maret 2009 Tanggal dibacakan putusan : 31 Maret 2009 Amar : Dikabulkan Kata Kunci : Cerai Gugat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah ikatan yang suci antara pria dan wanita dalam suatu rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR: 01/Pdt.G/2013/PA.Msa DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR: 01/Pdt.G/2013/PA.Msa DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR: 01/Pdt.G/2013/PA.Msa بسم رلاهللا DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Marisa yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama menjatuhkan

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor : 0571/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 0571/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor : 0571/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 0387/Pdt.G/2015/PA.Plg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. , umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan Mengurus Rumah

PUTUSAN. Nomor 0387/Pdt.G/2015/PA.Plg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. , umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan Mengurus Rumah PUTUSAN Nomor 0387/Pdt.G/2015/PA.Plg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama dalam sidang majelis

Lebih terperinci

SALINAN P U T U S A N Nomor 40/Pdt.G/2012/PA.Sgr. pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara Cerai

SALINAN P U T U S A N Nomor 40/Pdt.G/2012/PA.Sgr. pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara Cerai SALINAN P U T U S A N Nomor 40/Pdt.G/2012/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 019/Pdt.G/2013/PA.Blu. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 019/Pdt.G/2013/PA.Blu. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 019/Pdt.G/2013/PA.Blu. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Blambangan Umpu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK TEKNIS DAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 183/Pdt.G/2011/PA Mks.

PUTUSAN Nomor 183/Pdt.G/2011/PA Mks. PUTUSAN Nomor 183/Pdt.G/2011/PA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama,

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1 Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: Indeks: PERKAWINAN PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 53/Pdt.G/2009/PA.GM. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 53/Pdt.G/2009/PA.GM. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Nomor Perkara : 53/Pdt.G/2009/PA.GM Para pihak : Penggugat Vs Tergugat Tahun : 2009 Tanggal diputus : 19 Mei 2009 M Tanggal dibacakan putusan : 19 Mei 2009 M Amar : Dikabulkan Kata Kunci : Cerai Gugat.

Lebih terperinci

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA)

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA) TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA) Abdurrahman Konoras dan Petrus K. Sarkol Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Perkawinan merupakan aspek

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor: 174/Pdt.G/2012/PA.Pkc.

PUTUSAN Nomor: 174/Pdt.G/2012/PA.Pkc. PUTUSAN Nomor: 174/Pdt.G/2012/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

SALINAN P U T U S A N Nomor 144/Pdt.G/2011/PAJP BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN P U T U S A N Nomor 144/Pdt.G/2011/PAJP BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor 144/Pdt.G/2011/PAJP BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

KETENTUAN KETENTUAN DALAM PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Oleh :

KETENTUAN KETENTUAN DALAM PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Oleh : KETENTUAN KETENTUAN DALAM PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Pengampu Mata kuliah Hukum Perkawinan STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perceraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci