BAB I PENDAHULUAN. Modal Sosial Penghubung Komunitas Tuli di Yogyakarta. (Studi tentang Modal Sosial Penghubung Komunitas Tuli yang tergabung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Modal Sosial Penghubung Komunitas Tuli di Yogyakarta. (Studi tentang Modal Sosial Penghubung Komunitas Tuli yang tergabung"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Judul Modal Sosial Penghubung Komunitas Tuli di Yogyakarta (Studi tentang Modal Sosial Penghubung Komunitas Tuli yang tergabung dalam Deaf Art Community Yogyakarta) B. Alasan Pemilihan Judul Pengkajian mengenai modal sosial menunjukkan bahwa modal sosial memiliki pengaruh penting terhadap penyelesaian masalah sosial terkait kelompok difabel (Different Abilities People). Unsur unsur modal sosial seperti kepercayaan, jaringan dan norma merupakan elemen sosial yang esensial bagi kesejahteraan dan pengembangan masyarakat difabel (Chenoweth dan Stehlik, 2012). Hal ini dikarenakan kondisi difabel yang tidak mudah untuk mengakses sumberdaya sosial serta posisi difabel yang masih termarginalkan. Social capital has the potential to play an important role in the lives of individuals with disabilities who are at high risk of being marginalized (Gotto et al., 2012). Difabel (Different Abilities People) merupakan bagian masyarakat yang memiliki karakteristik perbedaan pada kondisi fisik dan atau mental. Atas dasar perbedaan fisik dan atau mental tersebut, maka pemahaman kata difabel 1

2 berangkat dari penerimaan atas perbedaan kemampuan tiap masyarakat, bagaimanapun kondisi fisik, mental dan latar belakang mereka (Fakih, 1999). Perhatian mengenai pentingnya jaringan sosial bagi difabel telah muncul sejak 30 tahun yang lalu. Penelitian mengenai pentingnya jaringan sosial bagi difabel menunjukkan bagaimana dukungan sosial seperti pertemanan, partisipasi dalam masyarakat, jaringan dengan masyarakat yang beragam memberi pengaruh positif terhadap kehidupan difabel dibandingkan dengan menempatkan difabel di rumah (isolasi), pada shelter rehabilitasi maupun pelayanan segregasi (Falvey et al., 1994). Jaringan sosial sebagai unsur modal sosial merupakan bentuk dukungan sosial yang sangat berpengaruh pada kondisi kesejahteraan difabel dalam bermasyarakat serta dapat berkontribusi dalam perbaikan keadaan ekonomi (Bates dan Davis, 2004). Rintangan yang dihadapi difabel pada umumnya juga dialami masyarakat tuli. Salah satunya ialah pandangan patologis yang memberikan identitas masyarakat tuli sebagai kelompok dengan ketidakmampuan, ketunaan maupun kecacatan. Dalam pandangan sosiokultural penggunaan huruf kapital T pada kata Tuli menandai suatu kelompok sosial-budaya masyarakat Tuli yaitu sebagai kelompok minoritas bahasa. Perspektif sosiokultural mengenai masyarakat Tuli ialah pandangan yang lebih kontekstual dalam kajian sosial dibanding perspektif patologis. Identitas sosial-budaya sebagai kelompok minoritas bahasa merupakan bagian penting dalam memahami pergerakan sosial dan upaya pengembangan masyarakat Tuli. 2

3 Masyarakat Tuli menghadapi rintangan eksklusi yang cukup kompleks terkait akses bahasa dan informasi yang terkait erat dengan isu kesejahteraan masyarakat Tuli. Ketiadaan jaringan baik secara struktural maupun sosial menghambat perbaikan kualitas hidup masyarakat Tuli. Dalam pandangan medis (medical model), orang dengan ketulian mengalami masalah keterbatasan pendengaran dikarenakan tidak berfungsinya organ organ pendengaran. Keterbatasan fungsi pendengaran berakibat pada kemampuan bahasa dan berbicara (Sudjadi, 2000). Sedangkan dalam pandangan sosial, keterbatasan tersebut berimplikasi serius pada interaksi sosial masyarakat Tuli dengan masyarakat umum (mainstream). Interaksi sosial masyarakat Tuli dengan masyarakat umum merupakan bagian penting bagi pengembangan sosial masyarakat Tuli (Batten et al., 2013). Jaringan sosial yang potensial untuk mendukung proses interaksi suatu masyarakat yang mengalami eksklusi disebut sebagai modal sosial penghubung (bridging social capital) (Putnam, 1995). Tipe modal sosial penghubung yang digunakan dalan penelitian ini fokus kepada jenis modal sosial yang menjembatani (bridging) dan tidak menyinggung modal sosial linking sebagai tipe modal sosial lain yang didefinisikan sebagai penghubung suatu kelompok masyarakat pada lembaga institusi. Peneliti memandang modal sosial penghubung yang menjembatani dapat berdampak positif terhadap perbaikan relasi kelompok Tuli dalam bermasyarakat. 1. Aktualitas 3

4 Penelitian mengenai modal sosial penghubung komunitas Tuli, Deaf Art Community Yogyakarta merupakan penelitian yang aktual terkait dengan kesejahteraan dan pengembangan masyarakat Tuli. Pengkajian mengenai aspek dan nilai sosial masyarakat merupakan isu yang kontekstual terkait dengan kesejahteraan sosial masyarakat yang mengalami eksklusi. Beberapa upaya dan kebijakan sosial yang dibangun oleh negara menekankan pada pentingnya nilai nilai modal sosial bagi kesejahteraan masyarakat Tuli. Adanya perubahan Undang Undang No. 4 tahun 1997 mengenai Penyandang Cacat kepada ratifikasi konvensi Hak Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang Undang No. 19 tahun 2011 merupakan penanda perubahan pendekatan dalam melihat masalah terkait difabel. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi bagi difabel tidak hanya terpusat pada akses institusional tetapi juga menekankan pada pentingnya nilai sosial masyarakat seperti partisipasi, toleransi dan relasi sosial bagi difabel. Kebijakan pembangunan tersebut didukung pembangunan sosial internasional atas isu mengenai difabel diantaranya, Strategi Incheon untuk Mewujudkan Hak Penyandang Disabilitas di Asia dan Pasifik tahun 2012, Disability-Inclusive Development SDGs (Sustainable Development Goals) framework 2015 dan Deklarasi Kopenhagen pada World Summit for Social Development

5 Posisi kelompok Tuli dalam masyarakat di Indonesia menggambarkan masih banyaknya rintangan yang dihadapi masyarakat Tuli untuk mengakses nilai modal sosial seperti jaringan, partisipasi, resiprositas, kepercayaan dan norma dalam masyarakat umum. Dapat dibayangkan bagaimana posisi kelompok Tuli yang merupakan bagian dari masyarakat akan semakin jauh dari lingkungan sosialnya, mengalami hambatan dalam mengembangkan kemampuan diri dan sosialnya. Lebih jauh lagi, keadaan tersebut berdampak pada peminggiran warga Tuli dari akses penting penghidupan seperti pendidikan, kesehatan, peluang ekonomi, kerjasama dalam masyarakat yang dikemudian hari menjebak masyarakat Tuli dalam siklus disabilitas kemiskinan. Disabilitas merupakan sebab dan akibat dari kemiskinan: orang yang mengalami kemiskinan lebih cenderung menjadi difabel dan sebaliknya, difabel rentan mengalami kemiskinan (UNESCO, 2013). Disabilitas sendiri merupakan payung terminologi yang dimaknai sebagai suatu keadaan yang dihadapi difabel baik berupa hambatan fungsional tubuh maupun hambatan partisipasi sosial dalam masyarakat (WHO, 2011). Modal sosial merupakan sumberdaya sosial yang dapat berimplikasi positif terhadap kehidupan sosial masyarakat Tuli. Jaringan sosial, kepercayaan dan norma norma yang dikembangkan dalam masyarakat Tuli dapat mendorong terbukanya kesempatan perbaikan kualitas hidup masyarakat Tuli mulai dari relasi sosial dengan masyarakat umum hingga perbaikan ekonomi. 5

6 2. Relevansi dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga konsentrasi kajian yaitu, Kebijakan Sosial, Pemberdayaan Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (CSR). Pengkajian mengenai modal sosial penghubung (bridging social capital) pada komunitas Tuli, Deaf Art Community Yogyakarta berhubungan erat Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan mengingat unsur modal sosial penghubung seperti jaringan sosial, kepercayaan dan norma bagi komunitas Tuli merupakan isu penting bagi kesejahteraan sosial kelompok rentan yang mengalami eksklusi dan merupakan potensi bagi pemberdayaan masyarakat Tuli. Perhatian terhadap pengkajian modal sosial penghubung (bridging) di DAC merupakan proses bernilai untuk mendapatkan deskripsi pengembangan suatu masyarakat yang membangun pergerakan melalui organisasi dengan tujuan bersama membangun kembali jaringan, pemahaman dan ikatan sosial dengan masyarakat umum. 3. Orisinalitas Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan modal sosial dipaparkan sebagai pembanding untuk menunjukkan keaslian penelitian, yaitu : Pertama, Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pemulihan Kondisi Sosial dan Ekonomi Pasca Bencana oleh Alfian Ahmad Akbar (2014). Penelitian ini mengkaji modal sosial perempuan pelaku usaha di Desa Wukirsari dalam 6

7 melakukan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi pasca bencana. Metode yang digunakan adalah metode campuran dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan pelaku usaha di Wukirsari memanfatkan bentuk-bentuk modal sosial untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi secara mandiri. Adanya spirit altruisme untuk berbagi dan saling dukung dimanfaatkan untuk membangun modal sosial bonding, bridging, dan linking dalam pemulihan pasca bencana. Penelitian kedua berjudul Modal Sosial di Komunitas Coin a Chance Yogyakarta oleh Elisabeth Dikna (2014). Penelitian ini mengkaji modal sosial pada komunitas Coin a Chance Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan kualitatif dan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa komunitas Yogyakarta Coin A Chance membangun modal sosialnya melalui unsur kepercayaan, pembentukan jaringan dan penegakan norma di masyarakat. Unsur kepercayaan dibangun berdasarkan kepedulian pendiri komunitas, kemudian membuat gerakan melalui pembentukan jaringan yang didukung peran media sosial online dan upaya penegakan norma. Penelitian ketiga, berjudul Modal Sosial dalam Pengembangan Industri Batik di Dusun Sukorejo, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi oleh Qholb Ginanjar (2014). Penelitian ini mengkaji mengenai modal sosial pada industri batik yang berhasil melewati krisis

8 dan perkembangannya hingga tahun Penelitian menggunakan metode metode kualitatif dan data diperoleh dari wawancara dan observasi. Hasil penelitian mengungkapkan modal sosial dilihat dari unsur kepercayaan yang dibangun atas dasar kejujuran, jaringan dan norma agama yang diaplikasikan dalam kelompok. C. Latar Belakang Penelitian mengenai modal sosial yang telah ada mengungkapkan kontribusi positif modal sosial bagi pengembangan masyarakat (Putnam, 1995; Fukuyama, 1995). Unsur modal sosial seperti trust (kepercayaan), jaringan, resiprositas dan norma merupakan sumber daya sosial yang dapat mendorong tindakan kolektif masyarakat dalam menyelesaikan suatu masalah dan memperkuat ikatan sosial masyarakat (bonding social capital). Selain sebagai perekat ikatan sosial, modal sosial juga berfungsi sebagai penghubung (bridging dan linking social capital) antara kelompok masyarakat yang terpisah akibat adanya perbedaan sosialbudaya seperti, kekuasaan, konflik, eksklusi dan bentuk bentuk masalah sosial yang menyebabkan terpisahnya kelompok masyarakat tertentu dari masyarakat mainstream (umum). Enzo Mingione menyebut istilah fragmented society untuk menggambarkan keadaan masyarakat sipil yang terfragmentasi, terpisah dari organisasi sosialnya dan memiliki jaringan asosiatif yang rendah (Patulny dan Svendsen, 2007). Hall dan Midgley mengatakan bahwa kondisi dan mekanisme eksklusi sosial dapat menjadi penyebab kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat 8

9 (Soetomo, 2013). Soetomo (2013:84) mengungkapkan bahwa eksklusi menyebabkan kondisi kehidupan suatu kelompok masyarakat cenderung lebih rendah dibanding dengan masyarakat lapisan lain. Upaya pemberdayaan mendorong kondisi sebaliknya, yaitu inklusi sosial dimana terdapat perubahan pola relasi sosial dalam struktur sosial masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, modal sosial penghubung (bridging sosial capital) dipandang memiliki pengaruh positif untuk mendorong perbaikan pola relasi kelompok masyarakat yang tereksklusi. Kelompok masyarakat Tuli merupakan salah satu contoh kelompok minoritas yang selama ini menghadapi rintangan keterpisahan jaringan sosial, dengan rendahnya kepercayaan dan norma yang dapat dijangkau dalam masyarakat umum. Masyarakat Tuli mengalami kondisi eksklusi yang cukup kompleks terkait akses informasi, bahasa dan komunikasi yang menyebabkan kelompok ini termasuk dalam kelompok rentan dalam kehidupan sosial. Penelitian mengenai keadaan masyarakat Tuli di negara negara berkembang menunjukkan bahwa rintangan utama yang dihadapi masyarakat Tuli ialah akses dan penghargaan terhadap Bahasa Isyarat termasuk penerimaan atas identitas sosiokultural sebagai kelompok minoritas bahasa (linguistic minority group). Data mengenai masyarakat Tuli mengungkapkan bahwa 90% anak - anak dan dewasa belum pernah bersekolah sehingga berdampak pada tingginya angka buta huruf masyarakat Tuli. Masalah yang cukup ironis ialah masyarakat Tuli tidak menyadari hak-hak mereka dan hidup sebagai kelompok yang sangat 9

10 marjinal. Rendahnya akses media, bahasa dan informasi merintangi upaya perbaikan kualitas hidup masyarakat Tuli (Haualand dan Allen, 2009). Di Indonesia, rintangan serupa juga dihadapi masyarakat Tuli. Akses pelayanan sosial seperti pendidikan bilingual, akses informasi publik, seperti akses Bahasa Isyarat dalam media, fasilitas pelayanan sosial pendidikan, Rumah Sakit dan transportasi terbilang belum memadai (Bharoto, 2015). Dalam pendidikan, ketiadaan akomodasi pendidikan bilingual mengakibatkan anak Tuli tidak dapat memahami bahasa nasional, tidak dapat membaca dan menulis. Dalam memahami kondisi masyarakat Tuli, sudut pandang yang digunakan tidak hanya dalam pandangan medis tetapi juga sosiokultural bahwa masyarakat Tuli merupakan kelompok minoritas bahasa yang memiliki hak dan identitas untuk menggunakan bahasanya sendiri serta bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dalam kehidupan sosialnya. Sejalan dengan pernyataan Vienna Declaration and Programme of Action 1993, The persons belonging to minorities have the right to enjoy their own culture, to profess and practise their own religion and to use their own language in private and in public, freely and without interference or any form of discrimination. Measures to be taken, where appropriate, should include facilitation of their full participation in all aspects of the political, economic, social, religious and cultural life of society. Kegagalan memahami perbedaan kebutuhan masyarakat Tuli berdampak pada sulitnya proses integrasi masyarakat Tuli dalam lingkungan sosial sebagai bagian masyarakat maupun sebagai warganegara. Hal ini jelas mempengaruhi kesejahteraan dan proses pengembangan masyarakat Tuli. Masyarakat Tuli 10

11 tersingkir dari kehidupan sosial karena perbedaan mereka tidak dikenali (Bharoto, 2015). Menurut Lani Bunawan, penanggung jawab Kelompok Kerja Pendidikan Luar Biasa (KKPLB), terdapat 8,75 juta jiwa masyarakat Tuli pada tahun 2010 dan hanya orang yang mengerti Bahasa Isyarat ( 02/02/2011). Untuk wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta, jumlah masyarakat Tuli diperkirakan sekitar jiwa pada tahun 2011 (Dinas Sosial Provinsi D.I. Yogyakarta, 2011). Penelitian mengenai masyarakat Tuli di Yogyakarta mengungkapkan bahwa masih adanya stigma dan sikap negatif terhadap masyarakat Tuli yang mengakibatkan masyarakat Tuli memilih untuk tidak terlibat dan menghindari kontak sosial dengan masyarakat (CIQAL, 2013). Adanya stigma dan sikap negatif yang dialami masyarakat Tuli juga berdampak pada kepercayaan masyarakat Tuli terhadap masyarakat umum. Proses menarik diri dari lingkungan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat Tuli tidak cukup mempercayai masyarakat umum. Menurut Uslaner, adanya jarak akibat rendahnya kepercayaan dalam masyarakat menandakan karakteristik low-trust society. Masyarakat dengan kepercayaan rendah juga tidak cukup menghargai keberagaman dan kesetaraan (Rothstein, 2005). Masyarakat Tuli yang berkelompok, membangun kebersamaan dan tujuan bersama melalui sebuah pergerakan organisasi memiliki kekuatan untuk melakukan aksi bersama dalam mengatasi masalah yang dihadapi kelompok. 11

12 Komunitas Tuli yang terorganisir dalam Deaf Art Community Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pergerakan masyarakat sipil yang berupaya mengatasi masalah eksklusi yang dihadapi komunitas Tuli. Komunitas Tuli di DAC mengalami bentuk bentuk eksklusi yang juga dialami kelompok minoritas dan difabel lainnya seperti marginalisasi dan diskriminasi dalam akses institusional dan sosial. Bentuk bentuk eksklusi yang dihadapi DAC sebagai penanda rendahnya modal sosial pengubung ialah ketiadaan jaringan yang menjembatani DAC dengan masyarakat umum. Masalah dan rintangan eksklusi yang dialami DAC ialah rendahnya kontak sosial dengan masyarakat umum yang menyebabkan komunitas ini tidak mudah untuk mengakses informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan kapasitas diri dan sosial anggota komunitas. Ketiadaan jaringan sosial juga merintangi komunitas membangun kerjasama, pertemanan dan relasi sosial dengan masyarakat umum. Selain itu, rendahnya jaringan berdampak pada tantangan tumbuhnya kepercayaan dan norma masyarakat kepada komunitas Tuli di DAC. Komunitas Tuli di DAC belum mendapat kepercayaan penuh untuk bekerjasama baik dalam hal peluang ekonomi maupun sosial seperti kesempatan pekerjaan, kerjasama usaha ekonomi dan kegiatan kemasyarakatan. Beberapa contoh lain menggambarkan masalah kepercayaan dan minimnya toleransi bagi masyarakat Tuli di Yogyakarta seperti pendampingan dan penyediaan Bahasa Isyarat kasus hukum tidak diakomodir oleh penyidik karena keterangannya dianggap meragukan. Padahal regulasi peradilan memberikan 12

13 penyediaan penerjemah Bahasa Isyarat ( 30/06/2015). Kemudian, akses informasi dalam media televisi misalnya, fitur Bahasa Isyarat tidak diakomodir oleh hampir sebagian besar media mulai dari tayangan showbiz, jurnalistik hingga edukasi. ( 02/02/2011). Dapat dibayangkan ketiadaan akses bahasa dan informasi akan semakin menjauhkan kelompok Tuli dari masyarakat dan menghambat kesejahteraan masyarakat Tuli. Keseluruhan realitas eksklusi masyarakat Tuli terkait dengan nilai modal sosial (low trust society, rendahnya jaringan sosial dan norma toleransi) merintangi integrasi masyarakat Tuli dalam masyarakat umum. Kerangka pembangunan sosial di Indonesia sebenarnya telah meletakkan perhatian atas pentingnya nilai modal sosial bagi kesejahteraan kelompok rentan. Dalam regulasi Undang Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (KHPD), secara tegas disebutkan perlindungan kelompok rentan sebagai warganegara yang berbasis HAM (Hak Asasi Manusia) untuk mendapat kesempatan partisipasi, toleransi dan kerjasama sebagai bagian dari masyarakat. Selain itu, pada lingkup pembangunan daerah, Provinsi Yoyakarta termasuk pioneer yang mengaplikasikan ratifikasi konvensi KHPD dalam peraturan daerahnya melalui Peraturan Daerah DIY Nomor 4 tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang isinya disesuaikan dengan hasil ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. 13

14 Kerangka kebijakan tersebut sejalan dengan kerangka pembangunan sosial internasional Deklarasi Kopenhagen pada World Summit for Social Development 1995, Commitment to promote social integration through fostering inclusive societies that are stable, safe, just and tolerant, and respect diversity, equality of opportunity and participation of all people, including disadvantaged and vulnerable groups and persons. Members of society must have the confidence to engage and interact with each other, and build mutual trust while acknowledging their differences (UNDESA, 2009). Dalam kerangka pembangunan tersebut disebutkan unsur unsur modal sosial seperti kepercayaan, partisipasi dalam masyarakat dan toleransi sebagai bagian penting untuk mendorong integrasi kelompok rentan dan membangun masyarakat yang inklusif. Setiap masyarakat harus mendapatkan kepercayaan diri untuk membangun ikatan sosial, berinteraksi dengan masyarakat dan membangun mutual trust (kesaling-percayaan) serta meningkatkan pemahaman masyarakat atas perbedaan yang mereka miliki. Namun, perhatian negara untuk mengembangkan nilai modal sosial masyarakat yang akomodatif terhadap kelompok Tuli terbilang belum maksimal. Ditengah upaya sulitnya membangun nilai modal sosial yang dapat dijangkau kelompok Tuli, potensi modal sosial penghubung di Deaf Art Community (DAC) Yogyakarta dapat berkembang secara impresif. DAC membangun interaksi, memperlihat eksistensi komunitas dan membuka pemahaman masyarakat mengenai komunitas Tuli. Komunitas menyebarkan pesan pentingnya kesetaraan, 14

15 Hak dan Budaya Tuli serta Bahasa Isyarat baik kepada masyarakat Tuli, orang tua yang memiliki anggota keluarga Tuli maupun masyarakat umum. Dalam setiap pementasan kesenian baik teater, tari, puisi isyarat dan lain - lain, komunitas memberi atmosfer berbeda dalam ruang sosial dimana dua kelompok yang terpisah dengan tingkat kontak sosial yang rendah, dapat saling mengenal, bertukar informasi dan membangun kesalingpahaman. Kebanyakan bentuk bentuk eksklusi yang yang menghambat interaksi sosial suatu kelompok masyarakat dikarenakan kelompok tersebut tidak terlihat dalam masyarakat. Upaya membuat kelompok terlihat dalam masyarakat dapat mengatasi masalah ketidaktahuan dan diskriminasi yang terjadi (UNICEF, 2013). Sejak berdiri tahun 2004, komunitas Deaf Art Community telah aktif terlibat dalam pertunjukkan kesenian di D.I.Yogyakarta, tampil mengisi acara dalam berbagai kegiatan seminar dan workshop yang diadakan oleh masyarakat umum, organisasi masyarakat, organisasi kemahasiswaan, secara kontinu tampil di Taman Budaya Yogyakarta, serta kota kota besar di Indonesia hingga luar negeri. Hal yang cukup menarik, komunitas secara aktif dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat mainstream. Padahal, komunitas Tuli merupakan kelompok yang mengalami rintangan eksklusi yang cukup kompleks dalam masyarakat umum, komunitas Tuli di DAC justru memperlihatkan adanya simpul simpul jaringan sosial yang dibangun dengan masyarakat umum, seperti yang dikemukakan Putnam (1995) sebagai modal sosial penghubung (bridging 15

16 network). Oleh karena itu, peneliti tertarik mengkaji mengenai modal sosial bridging dalam DAC. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, rumusan masalah yang akan diteliti ialah : Bagaimana modal sosial penghubung menjembatani integrasi Deaf Art Community Yogyakarta dalam masyarakat umum? E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui modal sosial penghubung di Deaf Art Community Yogyakarta 2. Manfaat Penelitian : Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif dalam berbagai bidang terkait, yaitu: a. Hasil penelitian dapat memberi kontribusi berupa kajian mengenai modal sosial penghubung dan komunitas Tuli dalam sudut pandang sosial yang menambah khasanah pengembangan Ilmu Sosial dan Politik terkhusus Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. b. Hasil penelitian merupakan saran untuk pemberdayaan masyarakat Tuli bagi berbagai pihak terkait baik akademisi, praktisi, lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. 16

17 c. Hasil penelitian dapat digunakan bagi studi dan penelitian selanjutnya yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai modal sosial penghubung dan komunitas Tuli. F. Tinjauan Pustaka 1. Modal Sosial Robert D. Putnam (1995) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi. Kepercayaan (trust) memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dibuktikan dengan suatu kenyataan bagaimana keterkaitan orang-orang yang memiliki rasa saling percaya (mutual trust) dalam suatu jaringan sosial memperkuat norma-norma mengenai keharusan untuk saling membantu. Kemudian, jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya di antara sesama anggota masyarakat. Semantara Cox (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma dan kepercayaan sosial, memungkinkan efektif dan efisiennya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Menurut Kawachi et al. (2004) modal sosial adalah sumber-sumber daya yang diakses oleh individu-individu dan kelompok-kelompok dalam sebuah struktur sosial, yang memudahkan kerjasama, tindakan kolektif, dan 17

18 terpeliharanya norma-norma. Hasbullah (2006:3) mendefinisikan modal sosial sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesaling percayaan dan kesaling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. Modal sosial akan memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai pihak karena dapat mendorong masyarakat secara swadaya untuk mencapai tujuan yang maksimal. Hanifan mengatakan modal sosial merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syahra, 2003). Menurut Fukuyama (1995), modal sosial dalam suatu komunitas berupa kebaikan dan perilaku koperatif yang didasarkan norma bersama akan membantu memperkuat entitas masyarakat. Menurut Woolcock (1998) terdapat beberapa contoh wujud nyata modal sosial yaitu, hubungan sosial, adat dan nilai budaya lokal, toleransi, resiprositas, kesediaan untuk mendengar, kejujuran, kearifan lokal dan jaringan sosial. Bourdieu mengungkapkan bahwa modal sosial melekat (embedded) dalam jaringan sosial dan disebut sebagai investasi hubungan sosial dengan harapan adanya timbal balik hubungan (resiprositas). Bourdieu juga mengungkapkan bahwa resiprositas dapat memfasilitasi individu maupun kelompok pada sumber informasi, akses jaringan personal dan kelompok yang luas dan pengaruh positif 18

19 atas kontak sosial seperti kebersamaan dalam komunitas (Gerich dan Fellinger, 2011) Fukuyama (1995) menggunakan konsep kepercayaan untuk mengukur tingkat modal sosial. Ia berpendapat modal sosial akan menjadi semakin kuat apabila dalam suatu masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan kerjasama yang kompak melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial. Fukuyama menganggap kepercayaan itu sangat berkaitan dengan akar budaya, terutama yang berkaitan dengan etika dan moral yang berlaku. Modal sosial juga diartikan sebagai simpati dari seseorang atau suatu kelompok orang kepada seseorang atau kelompok lainnya. Perasaan simpati itu dapat berupa rasa kagum, perhatian, peduli, empati, penghargaan, rasa tanggungjawab, atau kepercayaan terhadap seseorang atau sekelompok orang (Robison et al., 2002: 5). a) Unsur Modal Sosial : Kepercayaan, Jaringan dan Norma 1). Kepercayaan Menurut Fukuyama, kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Fukuyama juga mengklaim bahwa kepercayaan merupakan dasar paling dalam dari tatanan sosial (Field, 2010). Eric Uslaner mengungkapkan dua jenis kepercayaan, yaitu kepercayaan partikuler (particular trust) dan 19

20 kepercayaan general (general trust). Kepercayaan partikuler ialah kepercayaan yang dibangun dalam lingkungan sempit (seperti klan, etnik). Seseorang dengan kepercayaan partikuler, tidak mempercayai orang diluar komunitasnya dan merasa pesimis tentang masa depan terutama peluang memperbaiki kehidupannya. Pemahaman yang dibangun ialah bahwa dunia luar berbahaya dan dan orang asing adalah kompetitor, pada tingkat tertentu dapat disebut sebagai kehati-hatian yang ekstrem. Sebaliknya, seseorang dengan kepercayaan general merasa optimis terhadap masa depan dan kapasitas memperbaiki kehidupannya. Kepercayaan dan nilai normanya ialah bahwa seseorang harus membangun kepercayaan kepada orang lain (general) dan tidak hanya pada lingkungan dekat. Kepercayaan general lebih toleran terhadap orang yang berbeda. Orang asing dianggap sebagai kesempatan untuk belajar sesuatu atau untuk membangun hubungan kerjasama yang saling menguntungkan (Rothstein, 2005:95). Kepercayaan general ialah kepercayaan yang melampaui rasionalitas dan nilai moral serta berarti melakukan sesuatu dengan benar (Uslaner, 2002). Sementara Patulny dan Svendsen (2007) berpendapat bahwa kepercayaan general merupakan hal normatif terkait nilai moral dan kepercayaan kepada orang lain. Sedangkan kepercayaan partikuler merupakan kepercayaan yang terhubung dengan suatu informasi 20

21 pengetahuan dan pengalaman (Uslaner, 2002). Ahn et al. (2003), menggambarkan kepercayaan sebagai nilai yang tertanam dalam diri (intrinsic values) dan motivasi dalam diri (intrinsic motivation) seseorang untuk selalu bertindak secara kooperatif, selalu bekerjasama. Kepercayaan berhubungan dengan kejujuran dan kerjasama yang ada di antara orangorang dalam sebuah komunitas. Putnam (1995) menyatakan kepercayaan ialah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubunganhubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. 2.) Jaringan Ridell mengatakan bahwa jaringan merupakan infrastruktur dinamis yang berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Jaringan memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang bekerjasama satu sama lain dan tidak sekedar dengan orang yang mereka kenal secara langsung untuk memperoleh manfaat timbal balik (Field, 2010). 21

22 Menurut Mawardi (2007) modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologis khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis turun temurun (repeated sosial experiences) dan kesamaan kepercayaan pada dimensi kebutuhan (religious beliefs) cenderung memiliki kohesif tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan serta dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. 3). Norma Menurut Putnam dan Fukuyama, norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerja sama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerja sama (Field, 2010). Menurut Fukuyama (1995), norma merupakan bagian dari modal sosial yang terbentuknya tidak diciptakan oleh birokrat atau pemerintah. Norma terbentuk melalui tradisi, sejarah, tokoh kharismatik yang membangun sesuatu tata cara perilaku seseorang atau sesuatu kelompok masyarakat, didalamnya kemudian akan 22

23 timbul modal sosial secara spontan dalam kerangka menentukan tata aturan yang dapat mengatur kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Namun, norma dan nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkahlaku belum secara otomatis menjadi modal sosial. Hanya norma dan nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust) yang dapat mengembangakan modal sosial. Ridell mengutarakan bahwa norma-norma (norms), terdiri pemahaman-pemahaman, nilai-nlai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma merupakan sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya ter-institusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar (Hasbullah, 2006). b) Tipe Modal Sosial 1.) Modal Sosial Pengikat (Bonding Social Capital) Putnam (1995) menjelaskan bahwa modal sosial bonding sebagai hubungan kerjasama dan saling percaya antara anggota-anggota sebuah jejaring, yang memiliki kesamaan sosio-demografis, identitas, sejarah dan kesamaan nilai kultur, persepsi etnik dan tradisi atau adat istiadat 23

24 (custom). Modal sosial ini dapat ditemukan pada ikatan seperti keluarga dekat, teman akrab atau dalam satu kesamaan etnik. Modal sosial bonding merupakan ikatan kedalam atau inward looking sehingga cenderung tertutup namun memiliki kohesivitas yang tinggi. 2.) Modal Sosial Penghubung (Bridging Social Capital) Modal sosial penghubung (bridging) merupakan modal sosial dengan jaringan yang bersifat horizontal, seperti antara individu maupun kelompok yang memiliki perbedaan sosio-demografis, identitas sosial, kelas sosial, antara komunitas etnik satu dengan yang lainya maupun komunitas adat atau organisasi yang berbeda latar belakang (Putnam, 2000). Modal sosial bridging merupakan modal sosial yang menjembatani dan mengarah pada nilai sosial untuk membangun jaringan kerjasama dengan pihak diluar kelompoknya outward looking. Modal sosial ini menjembatani suatu kelompok untuk berkembang dan membangun norma bersama yang mengarah pada nilai yang lebih general serta menghubungkan potensi potensi yang ada antar kelompok masyarakat (Gotto et al., 2012). 3.) Modal Sosial Penghubung (Linking Social Capital) Modal sosial linking merupakan modal sosial yang dibangun atas jaringan lintas institusi formal, otoritas kekuasaan dan gradien 24

25 kekuasaan kepada akses akses pemerintahan. Modal sosial linking merefleksikan bagaimana komunitas secara vertikal membangun jaringan dengan institusi dan struktur politik (Woolcock, 1998). Hal ini memungkinkan suatu komunitas mendapatkan akses institusional politis dan berdampak pada perubahan besar bagi komunitas 2. Komunitas Tuli Dalam literatur kajian kontempoter, ketulian dibahas dalam dua perspektif. Pertama, sebagai sebuah kondisi patologis yang memandang masyarakat tuli dengan kondisi penyakit atau kerusakan dalam mekanisme pendengaran. Definisi ini mengimplikasikan bahwa masyarakat tuli memerlukan perlakuan medis khusus seperti implan dan terapi pendengaran, alat bantu dengar dan lain - lain. Perspektif kedua ialah pandangan sosiokultural, dimana masyarakat Tuli dilihat sebagai kelompok sosial-budaya khas yaitu kelompok minoritas linguistik (linguistic minority group) karena penggunaan Bahasa Isyarat sebagai identitas sosial-budayanya. Identitas tersebut merupakan telah menjadi bagian penting untuk pengembangan masyarakat Tuli (Baell dan Ruiz, 2000). Ladd (2003) menyebut istilah Deafhood untuk menggambarkan bagaimana komunitas Tuli menggali identitas mereka dengan berbagai prioritas variabel yang berhubungan dengan kewarganegaraan, budaya dan keadaan sosial dan ekonomi. 25

26 Atas identitas sosial-budaya tersebut, komunitas Tuli dipandang memiliki kekhasan identitas tersendiri dalam lingkup sosial masyarakat. Adaya stigma negatif dan diskriminasi yang dihadapi komunitas Tuli mendorong komunitas menggali etnisitas dan menjaga martabat sebagai kelompok minoritas budaya untuk menghadapi marginalisasi (Lane, 2005). Perubahan permaknaan tuli (patologis) menjadi Tuli (sosiokultur) mengindikasi bahwa ketulian merupakan sebuah identitas sosial-budaya yang memiliki karakteristik tertentu, karena itu pula masyarakat Tuli memilih istilah Tuli daripada tuna rungu, karena tuna rungu mengindikasi adanya kekurangan atau kerusakan (Lintangsari, 2014). Gertz (2002) mengutarakan istilah Dysconscious Audism (DA) (Ketidaksadaran atas Paham Audio) dalam menganalisis komunitas Tuli. Gertz (2002) mengatakan bahwa dibutuhkan kesadaran untuk menjadi bagian penuh dari masyarakat. Hanya melalui kesadaran kolektif maka komunitas Tuli mendapatkan posisi dalam masyarakat. Gertz (2002) lebih jauh mengungkapkan bahwa bentuk bentuk paham (ideologi) audio yang secara diam diam menerima norma kemampuan mendengar sebagai hak istimewa dalam masyarakat. Masalah tersebut bukan karena absennya kesadaran dalam masyarakat tetapi kesadaraan yang ada telah terdistorsi. Hal ini dikarenakan adanya hagemoni kemampuan mendengar yang menekan komunitas Tuli (Haggerty, 2006). a.) Kelompok Minoritas Bahasa (Linguistic Minority Group) 26

27 Komunitas Tuli memiliki tempat tersendiri dalam kajian sosial sejak awal abad 19 M. Dalam pandangan sosial, komunitas Tuli tidak diartikan sebagai kumpulan orang dengan keterbatasan pendengaran tetapi sebagai kelompok sosial yang memiliki identitas kelompok minoritas bahasa, sebuah pergerakan masyarakat sipil dan pemberdayaan bagi komunitas Tuli (Ladd, 2003). Shapiro (1993) mengatakan bahwa komunitas Tuli telah membangun budayanya sendiri. Mereka memiliki bahasa, ekpresi dan nilai sosial tersendiri dengan ikatan kesamaan (commonalities) yang khas. Ikatan komunitas Tuli melahirkan apa yang disebut Deaf Culture. Deaf Culture merupakan simbol identitas pembebasan bahwa Tuli menerima komunitasnya sebagai sebuah kebanggaan karena kekhasan dalam berkomunikasi yaitu penggunaan Bahasa Isyarat. Bahasa Isyarat sendiri dikemukakan telah ada jauh sebelum abad ke 14 dan memiliki struktur linguistik sebagai bahasa (Vygotsky dalam Zaitseva et al., 1999). Bahasa Isyarat merupakan bahasa gestur-visual sementara bahasa verbal adalah bahasa vokal-auditori (Jokinen dalam Bharoto, 2014). Layaknya pemahaman budaya pada umunya, Budaya Tuli memiliki identitas, bahasa, sejarah, sistem nilai, sistem kepercayaan, sistem sosial kemasyarakatan, tradisi, perjuangan dan kesenian (Ladd, 2003). Hal ini menjadikan komunitas Tuli memiliki posisi yang unik dalam kajian sosial. Komunitas Tuli dipandang memiliki ikatan sosial yang kuat atas penggunaan Bahasa Isyarat (Burch, 2001). 27

28 Paulmier mengatakan bahwa eksistensi komunitas Tuli ditopang oleh Bahasa Isyarat dan menjadi jembatan komunikasi antara komunitas Tuli dan masyarakat yang mendengar (hearing people) (Quartararo, 1995). Hal ini merefleksikan adanya nilai tambah komunitas Tuli dalam perbaikan kualitas relasi sosial dengan masyarakat umum (McIlroy dan Storbeck, 2010). Leigh mengatakan identitas etnik minoritas bahasa mendorong social outcome berupa manfaat pengembangan sosial bagi masyarakat Tuli (Batten et al., 2013). Komunitas Tuli umumnya mendapat pengaruh positif dengan identitas tersebut (Ladd, 2003). b.) Kesenian Tuli (Deaf Art) Deaf Art merupakan kekayaan kesenian (art heritage) yang digunakan komunitas Tuli sebagai sarana pergerakan sosial. Kesenian memiliki kemampuan unik dalam mendorong koneksi intelektual dan emosional dalam mengangkat narasi historis dan menciptakan solidaritas sosial (McCaughan, 2012). Deaf Art merupakan eksplorasi kesenian untuk mengangkat eksistensi komunitas Tuli dan kontribusinya dalam masyarakat. Dalam Deaf Art, terdapat pula Deaf View/Image Art atau De Via yang berkembang pada tahun 1980an di Eropa dan Amerika sebagai sebuah gerakan masyarakat sipil untuk memperjuangkan hak komunitas Tuli. Deaf Art mengangkat sudut pandang potensi visual kelompok Tuli dalam gerakan tubuh seperti teater, tarian, pantomim, dll. Kemampuan 28

29 visual dalam kesenian komunitas Tuli dikenal sebagai kapasitas yang mendorong pengembangan masyarakat Tuli dan digunakan sebagai salah satu exchange value dalam membangun relasi sosial dengan masyarakat umum. Hingga saat ini, Deaf Art telah dipergunakan sebagai elemen perubahan sosial bagi komunitas Tuli di dunia. Kesenian mengangkat eksistensi komunitas Tuli kedalam masyarakat mayoritas (Haggerty, 2006). Kesenian ini disebut sebagai ruang dimana komunitas Tuli dapat mengembangkan kapasitas diri, mengutarakan suara nya, merupakan ruang untuk memperluas jaringan sosial dan mengembangkan rasa kebersamaan sosial (West, 2001). Kesenian juga dipandang sebagai sarana efektif bagi komunitas Tuli untuk membangun ikatan dan dengan masyarakat mainstream (Durr, 2000). 3. Komunitas sebagai Organisasi Masyarakat Sipil Menurut Faverbee, seseorang yang terlibat dalam komunitas mencari kebutuhan atas perasaan aman, rasa kebersamaan (sense of belonging) dan identitas bersama. Setiap individu dalam interaksinya memiliki pengaruh bagi komunitas yang memungkinkan terjadinya hubungan resiprokal (Kožuh, 2014). Komunitas ditandai dengan adanya perasaan kebersamaan (sense of belonging) dan adanya norma sosial yang mengikat (Soekanto, 1992). Komunitas merupakan bagian dari organisasi masyarakat sipil, namun memiliki karakteristik berbeda. Komunitas memiliki struktur yang lebih fleksibel karena merupakan asosiasi dari masyarakat sipil. Peruzotti 29

30 mengungkapkan bahwa asosiasi masyarakat sipil mewakili kelompoknya merujuk pada dimensi asosiasi dari kewargaan, artinya terbentuk dari warga warga yang membentuk perserikatan baik gerakan sosial, sukarelawan maupun advokasi (Laodengkowe, 2010). Susetiawan mengatakan bahwa organisasi masyarakat sipil merupakan wujud dari asosiasi masyarakat sipil. Tujuan masyarakat sipil sebagai masyarakat madani dibangun atas asas peradaban (civilized) kebudayaan manusia. Peradaban kebudayaan dimana kemanusiaan, kebebasan, dan penghargaan terhadap hak-hak sesama menjadi sesuatu yang etis serta melahirkan nilai yang benar-benar tampak dalam tata kehidupan sosial (Setiawan, 2000:221). Masyarakat sipil yang bergabung membentuk organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organization) merupakan wadah untuk melakukan perubahan sosial terorganisasi dengan sukarela dan lahir secara mandiri (Suharko, 2005). Organisasi masyarakat sipil dibangun atas nilai - nilai masyarakat sipil secara otonom berswadaya dengan seperangkat nilai bersama (Januarty, 2013). 4. Modal Sosial Penghubung (Bridging Social Capital) untuk Mendorong Integrasi Sosial Cox (1995) menyatakan bahwa modal sosial yang kuat berasal dari jaringan sosial yang menjembatani dan memfasilitasi informasi serta mempengaruhi tindakan ketika komunitas menghadapi konflik, masalah dan tantangan. Granovetter (1983) mengungkapkan jaringan bridging dapat 30

31 mendorong integrasi komunitas yang tereksklusi dalam masyarakat. Selain itu, pentingnya jaringan heterogen disebut sebagai strength of weak ties yang terbangun dari ikatan lemah namun memiliki kekuatan karena dapat memberikan peluang keterbukaan akses dan informasi serta embeddedness dengan peluang ekonomi. Putnam (2000) secara antusias mengutarakan bahwa modal sosial penghubung (bridging) merupakan kekuatan untuk menggerakkan masyarakat sipil. Modal sosial penghubung (bridging) berguna sebagai jembatan jaringan kolaboratif dengan komunitas lain untuk melakukan kerjasama. Putnam mengungkapkan pentingnya suatu kelompok masyarakat bergerak (moving beyond) dari identitas sosial yang sama dan terhubung dengan kelompok yang berbeda. Hal ini mengarahkan pada upaya untuk membangun kepercayaan umum dan norma bersama yang baru diatas pemahaman yang lebih luas. Szreter and Woolcock mengutarakan bahwa modal sosial bridging berkompromi untuk membangun hubungan atas penghargaan dan kerjasama yang mutual antara individu dan kelompok yang berbeda (Poortinga, 2012). Modal sosial penghubung (bridging) merupakan jaringan asosiasi dengan beragam identitas kelompok untuk memperoleh manfaat bersama (Gotto et al., 2012). Varshney mengungkapkan contoh asosiasi interetnik kelompok Hindu dan Muslim di India yang mampu membangun jaringan bridging dan mengembangkan kesalingpercayaan (mutual trust) (Patulny dan Svendsen, 2007). 31

32 Dalam modal sosial bridging, kepercayaan yang dibangun antara ikatan heterogen memiliki nilai yang lebih general karena mengakomodasi nilai dari individu dan kelompok yang berbeda. Hal ini mendorong integrasi melaui kerjasama yang mutual dalam kerangka penghargaan keberagaman (Paltulny dan Svendsen, 2007). Leonard mengatakan, modal sosial bridging diperkuat ketika komunitas homogen secara sosial tersegregasi dan terisolasi dari lingkungan sosial. Modal sosial bridging menjadi jembatan yang mendorong integrasi kelompok yang tereksklusi dalam masyarakat (Gerich dan Fellinger, 2011). Karsidi mengungkapkan mengenai wujud integrasi yang dapat diamati melalui kerjasama dan akomodasi perbedaan suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain (Retnowati, 2004). Nilai yang mengakomodasi perbedaan dapat berupa toleransi, pemahaman (understanding) dan penghargaan (respect) terhadap kelompok yang berbeda (Witenberg, 2000). Sunyoto Usman (1995), menyebutkan integrasi adalah suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling memelihara dan menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan sosial. Usman (1995) mengungkapkan pentingnya nilai nilai fundamental sebagai prasyarat integrasi kelompok yang berbeda. Sementara Kartasasmita (1996) mengungkapkan keterhubungan manusia atas dasar sukarela, tidak hanya secara fisik tetapi juga adanya keterkaitan batiniah. 5. Kerangka Pemikiran 32

33 Komunitas Tuli (Deaf Art Community) memilih untuk berkumpul dan melakukan aksi bersama. Kondisi eksklusi yang dialami komunitas Tuli pada umumnya merupakan akibat rendahnya modal sosial dalam masyarakat. Ketiadaan akses jaringan sosial baik dalam masyarakat maupun akses jaringan struktural menyebabkan komunitas Tuli tidak dapat membangun relasi sosial maupun mengakses hak dari institusi negara. Ditengah sulitnya mengembangkan modal sosial dalam masyarakat, DAC memperlihatkan potensi modal sosial yang dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk mendorong integrasi DAC dalam masyarakat mainstream (umum). Putnam (1995) menyebut potensi tersebut sebagai modal sosial bridging yang menekankan kepada perluasan jaringan dan kerjasama dengan kelompok yang berbeda di luar ikatan kesamaan komunitas. Adanya perluasan jaringan yang dibangun DAC dengan masyarakat umum dapat berpengaruh pada perubahan kepercayaan dan norma dalam suatu komunitas. Patulny dan Svendsen (2007), mengatakan bahwa kepercayaan yang dibangun dalam modal sosial bridging dapat semakin meningkat dengan adanya orientasi bersama. Kepercayaan justru akan menjadi norma dan nilai baru yang general karena mengakomodasi kerjasama ikatan heterogen. Kerjasama dan jaringan yang dibangun dalam kepercayaan general dapat menghasilkan mutual respect dalam melakukan tindakan bersama. 33

34 Uslaner mengatakan bahwa unsur kepercayaan general mendorong suatu komunitas untuk percaya kepada kelompok lain diluar lingkungan kelompoknya. Kepercayaan general dalam komunitas memandang orang asing dan orang berbeda sebagai seseorangg yang memungkinkan mereka untuk belajar sesuatu atau untuk membangun hubungan kerjasama yang saling menguntungkan (Rothstein, 2005). Dengann terbentuknya jaringann dan kepercayan kepada kelompok diluar ikatan semula makaa norma yang terbentuk merupakan nilai yang mengakomodasi pentingnya kerjasama dengann pihak luar atau disebut sebagai norma general. Jaringan, kepercayaan dan norma yang dibangun DAC menjadi jembatan yang mendorong integrasi DAC dii dalam masyarakat umum. Gambar 1.1 Modal Sosiall Penghubung DAC Terbatasnya Interaksi DAC Modal Sosial Bridging General Trust, Bridging Network, General Norm DAC interaksi Masy umum Masy umum DAC : Deaf Art Community (Komunitas Tuli) Masy umum: Masyarakat umum 34

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Modal Sosial Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial Modal sosial adalah hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal sosial Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan komunitas.

Lebih terperinci

MAKALAH. Mengenal Tuli dan Komunikasinya

MAKALAH. Mengenal Tuli dan Komunikasinya Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum dalam Pemenuhan Hak atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia Hotel Jogjakarta Plaza, 5-8 Oktober 2015 MAKALAH Mengenal Tuli dan Komunikasinya

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. pengelolaan modal sosial bonding, bridging dan linking didalam kehidupan. perempuan pelaku usaha di Wukirsari pasca bencana.

BAB VI PENUTUP. pengelolaan modal sosial bonding, bridging dan linking didalam kehidupan. perempuan pelaku usaha di Wukirsari pasca bencana. BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Berdasarkan ketiga indikator yang digunakan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perempuan pelaku usaha di Wukirsari mampu memanfatkan bentuk-bentuk modal sosial

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN 2015-2019 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Komitmen Negara Republik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial (social capital) yang mampu membuat individu individu yang ada didalam komunitas tersebut berbagi

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI 189 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI A. Simpulan Umum Kampung Kuta yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis, merupakan komunitas masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi nenek

Lebih terperinci

TEORI MODAL SOSIAL (2)

TEORI MODAL SOSIAL (2) Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. teguhfp.wordpress.com Empat Perspektif: 1. Aliran Informasi 2. Aliran Pengaruh 3. Aliran Kepercayaan Sosial 4. Penguatan Kembali Aliran Informasi - Individu yang tidak

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara

Lebih terperinci

Pembangunan Inklusi yang Memberdayakan, Sebuah Refleksi

Pembangunan Inklusi yang Memberdayakan, Sebuah Refleksi Pembangunan Inklusi yang Memberdayakan, Sebuah Refleksi Selama lebih dari satu dekade ini, pembangunan yang mengacu pada Millenium Development Goals belum sepenuhnya memberikan perhatian ataupun concern

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan

BAB II. Kajian Pustaka. Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan BAB II Kajian Pustaka 2.1. Kelompok Sosial Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL. Modal Sosial (Social Capital)

PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL. Modal Sosial (Social Capital) PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL Modal Sosial (Social Capital) Apa yang dimaksud dengan Modal Sosial dan apa relevansinya dengan Pembangunan? Modal yang dibutuhkan dalam proses pembangunan: Modal Sumber

Lebih terperinci

SOCIAL CAPITAL. The important thing is not what you know, but who you know

SOCIAL CAPITAL. The important thing is not what you know, but who you know SOCIAL CAPITAL The important thing is not what you know, but who you know Social capital Sumberdaya yang diraih oleh pelakunya melalui struktur sosial yang spesifik dan kemudian digunakan untuk memburu

Lebih terperinci

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional. Definisi Global Profesi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009)

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. Kemiskinan menurut Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia (TKPKRI, 2008) didefinisikan sebagai suatu

Lebih terperinci

www. psld. uin-suka.ac.id

www. psld. uin-suka.ac.id www. psld. uin-suka.ac.id Facts about Education and PWDs Gap Kebijakan-Kebijakan Perubahan Persepsi-Paradigma Hambatan yang dialami mhs difabel di PT Apa yang dilakukan PSLD 1 Rendahnya partisipasi penyandang

Lebih terperinci

Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial

Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial Ringkasan terjemahan laporan Persons with Disabilities in Indonesia: Empirical Facts and Implications for Social Protection Policies (Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk

Lebih terperinci

Deklarasi Dhaka tentang

Deklarasi Dhaka tentang Pembukaan Konferensi Dhaka tentang Disabilitas & Manajemen Risiko Bencana 12-14 Desember 2015, Dhaka, Bangladesh Deklarasi Dhaka tentang Disabilitas dan Manajemen Risiko Bencana, 14 Desember 2015 diadopsi

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

Support Group bagi Keluarga Penyandang Tunarungu-Wicara. Bantul: CIQAL Chenoweth, Lesley dan Stehlik, Daniela. (2012). Implications of social capital

Support Group bagi Keluarga Penyandang Tunarungu-Wicara. Bantul: CIQAL Chenoweth, Lesley dan Stehlik, Daniela. (2012). Implications of social capital Daftar Pustaka Ahn, T.K., E. Ostrom, and J.W. Walker. (2003). Heterogeneous Preferences and Collective Action. Public Choice, 117(3), pp. 295-314 http://ostromworkshop.indiana.edu/wsl/eostrom.php Arikunto,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial 2.1.1 Pengertian Modal Sosial Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial

Lebih terperinci

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Drs. Didi Tarsidi I. Pendahuluan 1.1. Hak setiap anak atas pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi perpustakaan umum dalam menciptakan modal sosial di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Potensi perpustakaan umum dalam menciptakan modal sosial di seluruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perpustakaan umum dalam menciptakan modal sosial di seluruh lapisan masyarakat didukung oleh prinsip dasar yang dimilikinya, yaitu keterbukaan, tidak diskriminatif

Lebih terperinci

Di akhir sesi paket ini peserta dh diharapkan mampu: memahami konsep GSI memahami relevansi GSI dalam Pendidikan memahami kebijakan nasional dan

Di akhir sesi paket ini peserta dh diharapkan mampu: memahami konsep GSI memahami relevansi GSI dalam Pendidikan memahami kebijakan nasional dan PAKET 1 MEMBANGUN PERSPEKTIF INKLUSI GENDER DAN SOSIAL (120 ) 1 Kompetensi Dasar: Di akhir sesi paket ini peserta dh diharapkan mampu: memahami konsep GSI memahami relevansi GSI dalam Pendidikan memahami

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 111 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia diciptakan dengan hak dan kewajiban yang sama dimata Tuhan Yang Maha Esa. Manusia hidup berkembang sebagai makhluk sosial dengan menjalankan peran dan tugas

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat 260 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa: 1. Tinggi rendahnya transformasi struktur ekonomi masyarakat

Lebih terperinci

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang Bab Dua Kajian Pustaka Pengantar Pada bab ini akan dibicarakan beberapa konsep teoritis yang berhubungan dengan persoalan penelitian tentang fenomena kegiatan ekonomi pedagang mama-mama asli Papua pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Struktural Fungsional Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan menggunakan defenisi ini,

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 2 Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 Program Pengembangan Masyarakat (Community Development), seharusnya disesuaikan dengan persoalan yang terjadi secara spesifik pada suatu

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Oleh Didi Tarsidi <a href="http://www.upi.edu">universitas Pendidikan Indonesia (UPI)</a>

Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Oleh Didi Tarsidi <a href=http://www.upi.edu>universitas Pendidikan Indonesia (UPI)</a> Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi Oleh Didi Tarsidi universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 1. Definisi Istilah konseling rehabilitasi yang dipergunakan

Lebih terperinci

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang

Lebih terperinci

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SPIRIT KONSTITUSI Pasal 36A UUD 1945 menyatakan

Lebih terperinci

SEMINAR MEWUJUDKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS

SEMINAR MEWUJUDKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS SEMINAR MEWUJUDKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS 23 AGUSTUS 2016 Forum Penguatan Hak-hak Penyandang Disabilitas Peraturan Daerah Tentang

Lebih terperinci

Disampaikan dalam acara Temu Inklusi 2016 Oleh : Karel Tuhehay KARINAKAS YOGYAKARTA

Disampaikan dalam acara Temu Inklusi 2016 Oleh : Karel Tuhehay KARINAKAS YOGYAKARTA Disampaikan dalam acara Temu Inklusi 2016 Oleh : Karel Tuhehay KARINAKAS YOGYAKARTA Istilah Community Based Rehabilitation (CBR) Di Indonesiakan : Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) Sejarah perkembangan

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.144, 2015 HAM. Rencana Aksi. Nasional. Tahun 2015-2019. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBERDAYAAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

MAKALAH PEMBERDAYAAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS MAKALAH PEMBERDAYAAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS Disusun Oleh: YAKOBUS N. LALAPRAING Fasilitator Pendukung Yayasan Bahtera Desa Tana Rara dan Bali Ledo SUMBA BARAT 2016 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Bappeda Kota Bogor Berdasarkan tugas dan fungsi pelayanan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY

BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY A. Pengertian tentang konsep civil society Konsep civil society memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing tokoh yang memberikan penekanan

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

Seminar Tingkat Tinggi Kota Inklusif

Seminar Tingkat Tinggi Kota Inklusif Seminar Tingkat Tinggi Kota Inklusif Alat Penilaian untuk Kota Inklusif in Indonesia Di Indonesia Alexander Hauschild High Level Seminar for Inclusive Cities Le Meridien Hotel Jakarta, 31 Oktober 2017

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berbagai macam karakter masyarakat di Yogyakarta mampu memecah jaringan sosial yang dimiliki oleh kelompok masyarakat termasuk kelompok pengusaha asal Kuningan

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

MEMPERKUAT HAK-HAK MELALUI TERWUJUDNYA PERATURAN DAERAH UNTUK PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG DISABILITAS DI KOTA YOGYAKARTA

MEMPERKUAT HAK-HAK MELALUI TERWUJUDNYA PERATURAN DAERAH UNTUK PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG DISABILITAS DI KOTA YOGYAKARTA MEMPERKUAT HAK-HAK MELALUI TERWUJUDNYA PERATURAN DAERAH UNTUK PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PENYANDANG DISABILITAS DI KOTA YOGYAKARTA Arni Surwanti 11 APRIL 2016 Forum Penguatan Hak-hak Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, bahasa, dan seni. Jakarta sebagai ibu kota Indonesia pun memiliki keanekaragaman tersebut. Masyarakat

Lebih terperinci

Prinsip-Prinsip Perilaku Korporasi

Prinsip-Prinsip Perilaku Korporasi Ditetapkan September 2005 Direvisi April 2012 Direvisi Oktober 2017 Prinsip-Prinsip Perilaku Korporasi Epson akan memenuhi tanggung jawab sosialnya dengan melaksanakan prinsip prinsip sebagaimana di bawah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori Modal Sosial Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khusunya relasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori Modal Sosial Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khusunya relasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1 Modal Sosial Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khusunya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial merujuk pada

Lebih terperinci

Health and Human Rights Divisi Bioetika dan Medikolegal FK USU WHO Definition of Health Health is a state t of complete physical, mental and social well- being and not merely the absence of disease or

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salah satu dari keempat NSPK yang diterbitkan dalam bentuk pedoman ini adalah Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.

KATA PENGANTAR. Salah satu dari keempat NSPK yang diterbitkan dalam bentuk pedoman ini adalah Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak. KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT BRIEF NOTE AMERTA Social Consulting & Resourcing Jl. Pulo Asem Utara Raya A20 Rawamangun, Jakarta 132 13220 Email: amerta.association@gmail.com Fax: 62-21-4719005 MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Bank Plecit Bank plecit merupakan koperasi simpan pinjam yang memberikan tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

Lebih terperinci

Landasan Pendidikan Inklusif

Landasan Pendidikan Inklusif Bahan Bacaan 3 Landasan Pendidikan Inklusif A. Landasan Filosofis 1) Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang

Lebih terperinci

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI FOCUS GROUP DISCUSSION DAN WORKSHOP PEMBUATAN MODUL MATERI HAM UNTUK SPN DAN PUSDIK POLRI Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 17 18 Maret 2015 MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 53 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Kemiskinan Proses pembangunan yang dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan berakhirnya era Orde Baru, diakui atau tidak, telah banyak menghasilkan

Lebih terperinci

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Dengan telah dimulainya ASEAN Community tahun 2015 merupakan sebuah perjalanan baru bagi organisasi ini. Keinginan untuk bisa mempererat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 185 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada penelitian yang berjudul pengembangan kemandirian bagi kaum difabel yang difokuskan pada peran Paguyuban Sehati dalam pemberdayaan difabel di

Lebih terperinci

Manusia, Kebutuhan, dan Etika. Nurasih Shamadiyah, S.Ant., M.Sc. Ilmu Sosial Budaya Dasar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 2015

Manusia, Kebutuhan, dan Etika. Nurasih Shamadiyah, S.Ant., M.Sc. Ilmu Sosial Budaya Dasar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 2015 Manusia, Kebutuhan, dan Etika Nurasih Shamadiyah, S.Ant., M.Sc. Ilmu Sosial Budaya Dasar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 2015 Kebutuhan Manusia Menurut Abraham Maslow (teori Maslow), kebutuhan

Lebih terperinci

2015 TRANSFORMASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT CIREUNDEU

2015 TRANSFORMASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT CIREUNDEU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Saat ini arus informasi sangat mudah didapatkan karena semakin meningkatnya kemampuan manusia dalam mengembangkan intelektualnya dalam bidang ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk didiskusikan, selain karena terus mengalami perkembangan, juga banyak permasalahan perempuan

Lebih terperinci

PENGANTAR PERKOPERASIAN

PENGANTAR PERKOPERASIAN PENGANTAR PERKOPERASIAN BAB V : NILAI-NILAI DASAR DAN PRINSIP-PRINSIP KOPERASI OLEH ; LILIS SOLEHATI Y PENTINGNYA IDEOLOGI Ideologi adalah keyakinan atas kebenaran dan kemanfaatan sesuatu, jika sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, serta baiknya pengelolaan sumber daya alam yang ada. diri menjadi penting agar masyarakat dapat berperan dalam model

BAB I PENDAHULUAN. hidup, serta baiknya pengelolaan sumber daya alam yang ada. diri menjadi penting agar masyarakat dapat berperan dalam model BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan ekonomi yang bersifat kerakyatan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, lebih fokus untuk tujuan mengurangi kemiskinan, pengangguran, kesenjangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, 27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. No.20, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

Sosiologi Komunikasi. Ruang Lingkup & Konseptualisasi Sosiologi Komunikasi serta Struktur dan Proses Sosial

Sosiologi Komunikasi. Ruang Lingkup & Konseptualisasi Sosiologi Komunikasi serta Struktur dan Proses Sosial Sosiologi Komunikasi Ruang Lingkup & Konseptualisasi Sosiologi Komunikasi serta Struktur dan Proses Sosial Manusia Sebagai Makhluk Sosial Makhluk Spiritual Manusia Makhluk individual Makhluk Sosial Manusia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) Konvensi Hak Anak (KHA) Perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak Istilah yang perlu

Lebih terperinci

A. Latar Belakang. C. Tujuan Pembangunan KSM

A. Latar Belakang. C. Tujuan Pembangunan KSM A. Latar Belakang Dalam Strategi intervensi PNPM Mandiri Perkotaan untuk mendorong terjadinya proses transformasi sosial di masyarakat, dari kondisi masyarakat yang tidak berdaya menjadi berdaya, mandiri

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etos Kerja Etos Kerja merupakan perilaku sikap khas suatu komunitas atau organisasi mencakup sisi spiritual, motivasi, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode

Lebih terperinci

SEMINAR PELAKSANAAN PERDA NOMOR 3 TAHUN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS di KABUPATEN KULON PROGO

SEMINAR PELAKSANAAN PERDA NOMOR 3 TAHUN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS di KABUPATEN KULON PROGO SEMINAR PELAKSANAAN PERDA NOMOR 3 TAHUN 2016 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS di KABUPATEN KULON PROGO Arni Surwanti 6 APRIL 2016 Forum Penguatan Hak-hak Penyandang Disabilitas LANDASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan Oleh Hardy Merriman Aksi tanpa kekerasan menjadi salah satu cara bagi masyarakat pada umumnya, untuk memperjuangkan hak, kebebasan, dan keadilan. Pilihan tanpa

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar

Lebih terperinci

MAKALAH. Kebutuhan Pendampingan Hukum Penyandang Disabilitas

MAKALAH. Kebutuhan Pendampingan Hukum Penyandang Disabilitas WORKSHOP PENULISAN BUKU Pemenuhan Hak Atas Peradilan yang Fair Bagi Penyandang Disabilitas Hotel Grand Quality Yogyakarta, 12-13 Desember 2013 MAKALAH Kebutuhan Pendampingan Hukum Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT,

Lebih terperinci

SIARAN PERS 1/6. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Sepakati Musrenbang Inklusif dengan Lebih Melibatkan Penyandang Disabilitas dan Kelompok Rentan

SIARAN PERS 1/6. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Sepakati Musrenbang Inklusif dengan Lebih Melibatkan Penyandang Disabilitas dan Kelompok Rentan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Sepakati Musrenbang Inklusif dengan Lebih Melibatkan Penyandang Disabilitas dan Kelompok Rentan 1/6 Penandatanganan Nota Kesepahaman Tunjukkan Peran Penting Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan 338 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan hasil penelitian, pada akhir penulisan ini akan dijabarkan beberapa kesimpulan dan diajukan beberapa

Lebih terperinci