DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI SUMBER PAKAN KELELAWAR PEMAKAN BUAH DAN NEKTAR SUB ORDO MEGACHIROPTERA BERDASARKAN ANALISIS POLLEN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI MARYATI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN MARYATI. Identifikasi Sumber Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Sub Ordo Megachiroptera Berdasarkan Analisis Polen di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan IBNU MARYANTO. Kelelawar pemakan buah dan nektar memiliki peranan yang sangat penting yaitu dalam membantu terjadinya penyerbukan bagi tumbuhan berbunga serta penyebaran biji. Sekitar sepertiga dari populasi kelelawar di seluruh dunia tergantung hidupnya pada buah-buahan dan nektar bunga. Di daerah tropis kira-kira terdapat 300 tanaman yang pembuahannya tergantung kelelawar dan diperkirakan 95% regenerasi hutan dilakukan oleh kelelawar jenis pemakan buah dan nektar. Pada proses penyerbukan kelelawar berperan membawa pollen yang menempel di sekitar mulutnya kepada bunga lain yang dikunjunginya. Selama ini informasi mengenai karakteristik polen jenis sumber pakan kelelawar masih terbatas. Oleh karena itu dilakukan penelitian karakteristik polen dari setiap jenis tanaman yang dikonsumsi kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan sumber pakan kelelawar pemakan buah dan nektar di Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan karakteristik polen. Pengambilan data tahap pertama dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Ciremai pada tanggal 15 Mei 12 Juni 2007 dan identifikasi polen dilaksanakan di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan pada tanggal 1 Juli 28 Agustus Berdasarkan hasil pengolahan identifikasi pollen terdapat 21 jenis dari 14 suku tumbuhan sumber pakan yang terdapat disaluran pencernaan kelelawar. Data yang digambarkan berdasarkan analisis komponen utama sebesar 77,70% yang berasal dari tiga buah faktor yang digunakan. Faktor pertama (42,83%) menggambarkan pengaruh tipe habitat, faktor kedua (24,32%) menggambarkan ketinggian tempat dan faktor ketiga (10,57%) menggambarkan tipe bunga. Berdasarkan analisis niche overlap diketahui jenis Cynopterus brachyotis memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Macroglossus sobrinus (0,853). Pada kelelawar Cironax melanocephallus jantan dengan kelelawar Cironax melanocephallus betina dan Aethalops alecto betina tidak terjadi overlap. Hal ini menunjukkan antara ketiganya tidak terdapat sumber pakan yang digunakan secara bersama. Tingkat kesamaan yang terjadi antara setiap jenis berdasarkan jenis tumbuhan adalah sebesar 63%, dan tingkat kesamaan yang terjadi pada individu jantan dan betina adalah sebesar 74,10%. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah identifikasi 21 jenis tumbuhan yang berasal dari 14 suku tumbuhan. Kelelawar pemakan buah dan nektar di TNGC memiliki peluang sebagai penyerbuk bunga dan penyebar biji. 2

3 SUMMARY MARYATI. The Dietary Resources Identification of Frugivorous and Nectarivorous Bat Sub Order Megachiroptera Based on Pollen Analysis at Gunung Ciremai National Park. Under Supervision of AGUS PRIYONO KARTONO and IBNU MARYANTO. Frugivorous and nectarivorous bat play an important ecological role as seed dispersers and pollinators. Each of three equal part of bat population around the world is depend on fruit and nectar. In the tropical forest almost 300 vegetation fertilization and 95% forest regeneration rely on frugivorous and nectarivorous bat. Bats can be pollinator agents, the bats may carry the fruit and pollen some distance from the parent tree to another tree. While the bat pollen dietary resources are lack of information. By this reason I tried to study dietary resources of frugivorous and nectarivorous bat based on pollen analysis. The aim of this research is to identify the frugivorous and nectarivorous bat species in Gunung Ciremai National Park and plant identification based on pollen that is eaten by bats. Preliminary study was conducted at Gunung Ciremai National park on 15 th of May to 12 th of June 2007 and pollen identified was carried out at Wood Physic Laboratory, Forest Product Department on 1 st of July to 28 th of August Based on the pollen analysis, 21 vegetation species from 14 families was identified which found in bat digestion system. Principal component analysis explain 77,70% of the total number variance from three factors which are habitat type or Factor 1 (42.83%), altitudinal range or Factor 2 (24.32%) and flower type or Factor 3 (10.57%). Niche overlap analysis showed that Cynopterus brachyotis has larger overlap niche value with Macroglossus sobrinus (0,853). There is no overlap niche among Cironax melanocephallus male, Cironax melanocephallus female and Aethalops alecto female. It means that no food resources were used together among them. The conclusion from the research is 8 frugivorous and nectarivorous bat species was found at east side of Gunung Ciremai National Park (Linggarjati). Based on pollen analysis, 21 vegetation species from 14 families were identified as frugivour and nectarivour bats dietary resources. The bats of Gunung Ciremai National Park show the potential seed dispersers and pollinator for some vegetation in study area. 3

4 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Identifikasi Sumber Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Sub Ordo Megachiroptera Berdasarkan Analisis Pollen di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2008 Maryati E

5 IDENTIFIKASI SUMBER PAKAN KELELAWAR PEMAKAN BUAH DAN NEKTAR SUB ORDO MEGACHIROPTERA BERDASARKAN ANALISIS POLLEN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI MARYATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

6 Judul Skripsi Nama : Identifikasi Sumber Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Sub Ordo Megachiroptera Berdasarkan Analisis Polen di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai : Maryati NIM : E Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua, Anggota, Dr.Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Dr.Ir. Ibnu Maryanto,M.Si. NIP NIP Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP Tanggal: 04 Januari

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai bulan Mei 2007 hingga Agustus 2007 ialah identifikasi sumber pakan kelelawar pemakan buah subordo Megachiroptera berdasarkan analisis polen di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis kelelawar pemakan buah dan nektar dan jenis vegetasi sumber pakannya di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menyediakan data dan informasi sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan tentang pelestarian jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Bogor, Januari 2008 Penulis 7

8 UCAPAN TERIMA KASIH Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Karuna dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada : 1. Ibunda tercinta, Bang Usman, Kak Ninik, Mbak Min dan keluargaku semua atas doa dan kasih sayangnya. 2. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si. sebagai pembimbing yang selalu memberikan curahan waktu, kesabaran dan perhatian dalam membimbing. 3. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS. sebagai dosen penguji perwakilan Departemen Hasil Hutan dan Ir. A. Hadjib, MS. sebagai dosen penguji perwakilan Departemen Manajemen Hutan. 4. Bapak A. Saim, B.Sc. yang telah memberikan pengarahan dan pelajaran kepada penulis selama di lapangan. 5. Tim Ciremai 2007 (Awal Riyanto, S.Si, Prof. Dr. Woro A. Noerdjito, Drs. Mas Noerdjito, Maharadatunkamsi, Ir. Ike Rachmatika, M.Sc, A. Saim B.Sc, Ir Heryanto, M.Sc, Drs Rajali Yusuf, Anandang, Sunardi, Wahyudin, Nova, Hadi dan Gunawan) yang memberikan bantuan dan semangat selama penelitian. 6. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai dan seluruh staf yang telah memberikan ijin dan masukan. 7. A Giri yang selalu memberikan dukungan, semangat dan kesabaran kepada penulis. 8. Karlina dan Marliana yang selalu membantu dan bersama dalam suka dan duka. 9. Teman-temanku KSH 40 atas kebersamaan dan dukungannya. 10. Semua pihak yang tidak dapat ditulis satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kalianda, Lampung Selatan pada tanggal 21 Maret 1985 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Moechlisin (Alm) dan Tarminah. Pada tahun 2003 penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kalianda dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) di Kelompok Pemerhati Kupu-kupu dan Kelompok Pemerhati Fotografi Konservasi. Penulis pernah mengikuti kegiatan SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) pada tahun 2005 di Taman Nasional Betung Kerihun. Pada tahun 2006, penulis mengikuti kegiatan Praktek Umum Pengenalan Hutan di Perhutani Unit I Jawa Tengah, Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Barat dan Banyumas Timur. Kemudian mengikuti kegiatan Praktek Pengelolaan Hutan Lestari di KPH Ngawi, Perhutani Unit II Jawa Timur. Pada tahun 2007, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian Identifikasi Sumber Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Sub Ordo Megachiroptera Berdasarkan Analisis Polen di Taman Nasional Gunung Ciremai yang dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. sebagai Ketua dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si sebagai Anggota Komisi Pembimbing. 9

10 AFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i iii iv v I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan Penelitian... 3 C. Manfaat Penelitian... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Taksonomi... 4 B. Biologi Kelelawar... 5 C. Penyebaran Jenis Kelelawar... 6 D. Perilaku Kelelawar... 7 E. Peranan Kelelawar... 8 F. Pollen... 9 III. KONDISI UMUM A. Sejarah Kawasan B. Letak dan Luas C. Kondisi Fisik Iklim Geologi dan Tanah Topografi Hidrologi Vulkanologi D. Kondisi Biologis Ekosistem Vegetasi Fauna IV. METODE A. Tempat dan Waktu B. Alat dan Bahan C. Kerangka Pemikiran D. Jenis Data E. Metode Kerja F. Analisis Data

11 1. Analisis Vegetasi Analisis Jenis Tumbuhan Sumber Pakan Kelelawar Indeks Kesamaan Jenis Kelelawar a). Total Individu b). Jantan dan Betina Niche Overlap Khi-kuadrat V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Tumbuhan Sumber Pakan Kelelawar B. Pengelompokkan Jenis Kelelawar berdasarkan Tipe Habitat, Ketinggian Tempat dan Tipe Bunga C. Kesamaan Jenis Kelelawar Berdasarkan Jenis Tumbuhan yang Teridentifikasi D. Niche Overlap E. Kondisi Vegetasi Kerapatan Dominansi Potensi Jenis sumber Pakan VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Jenis tumbuhan yang dijumpai pada setiap jenis kelelawar yang diamati Matrik nilai niche overlap pada individu jantan dan betina

13 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Peta kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Peta penyebaran jenis tanah di wilayah Kuningan TNGC Diagram kerangka pikiran penelitian Desain metode petak kuadrat untuk inventarisasi vegetasi Grafik analisis komponen utama parameter tipe habitat dan ketinggian tempat Grafik analisis komponen utama pengelompokan jenis kelelawar berdasarkan tipe habitat dan tipe bunga Dendrogram ketidaksamaan jenis kelelawar berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan Dendrogram ketidaksamaan jenis kelelawar jantan dan betina berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan

14 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Jenis-jenis tumbuhan di kawasan TNGC Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan pegunungan Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan pegunungan Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan pegunungan Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan dataran rendah Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan dataran rendah Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan dataran rendah Nilai total ragam Matrik nilai komponen Nilai uji khi-kuadrat Matrik nilai Euclidean distance total individu Matrik nilai Euclidean distance jantan dan betina Nilai agglomeration schedule pada individu jantan dan betina Pollen Jenis sumber pakan kelelawar Tabel transformasi arcsin

15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan taman nasional yang relatif muda karena baru ditetapkan pada tahun 2004 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas ± ha. Kawasan TNGC memiliki tipe ekosistem hutan hujan pegunungan bawah sampai ekosistem sub alpin. Keanekaragaman ekosistem yang ada di TNGC merupakan habitat alami kelelawar yang ada di Jawa Barat. Kelelawar termasuk dalam Ordo Chiroptera yang terdiri atas dua subordo, yakni Megachiroptera dan Microchiroptera (Feldhamer 1999). Megachiroptera merupakan subordo yang memakan buah dan nektar, sedangkan subordo Microchiroptera merupakan kelelawar yang memakan serangga, ikan, dan darah (Feldhamer 1999). Kedua subordo tersebut memilliki perbedaan pada cara melihat, ukuran tubuh, telinga, sayap dan orientasi mencari pakan(feldhamer 1999). Microchiroptera umumnya bercakar dan terdiri atas dua tulang jari dan lebih banyak menggunakan mata untuk mencari makanan dan memiliki kemampuan echolocation. Microchiroptera tubuhnya berukuran kecil, telinga memiliki tragus/antitragus dan tulang sayap kedua tidak memiliki jari (Suyanto 2001). Megachiroptera memiliki kemampuan penciuman yang baik dan memiliki lidah yang panjang (Standbury 1970). Indonesia memiliki keanekaragaman jenis kelelawar yang tinggi yaitu 205 jenis atau 21% dari jenis kelelawar di dunia yang telah teridentifikasi (Suyanto 2001). Semakin besarnya fragmentasi hutan dan berkurangnya luas hutan menyebabkan semakin banyak hutan tropika yang berbatasan langsung dengan habitat yang rusak. Peyebaran biji-biji vegetasi antara dua tipe habitat yang berbeda tersebut menjadi hal yang sangat penting untuk kelangsungan komposisi dan struktur vegetasi dikemudian hari (Ingle 2002). Oleh karena itu kelelawar pemakan buah dan nektar memiliki peranan yang sangat penting yaitu dalam membantu terjadinya penyerbukan bagi tumbuhan berbunga serta penyebaran biji (Ingle 2002). Sekitar sepertiga dari populasi kelelawar di seluruh dunia tergantung hidupnya pada buah-buahan dan nektar bunga (Shanchez 2007). 15

16 Menurut Satyadharma (2007), di daerah tropis kira-kira terdapat 300 tanaman yang pembuahannya tergantung kelelawar dan diperkirakan 95% regenerasi hutan dilakukan oleh kelelawar jenis pemakan buah dan madu. Pada proses penyerbukan kelelawar berperan membawa pollen yang menempel di sekitar mulutnya kepada bunga lain yang dikunjunginya. Pollen adalah sel hidup yang mempunyai inti dan protoplasma yang terbungkus oleh dinding sel. Dinding sel tersebut terdiri atas dua lapis yaitu bagian dalam yang tipis dan lunak disebut intin, sedangkan bagian luar yang keras dan tebal disebut eksin (Tim Fakultas Kehutanan IPB 1992). Pollen diproduksi di kapala sari (Anthera) dan merupakan alat reproduksi pada bunga jantan (Nayar 1990). Pollen merupakan bahan makanan yang kaya akan protein dan sangat diperlukaan dalam proses kehidupan kelelawar. Pollen adalah alat perkembangbiakan bunga jantan dan merupakan sumber pakan bagi kelelawar pemakan buah dan nektar. Kelelawar subordo Megachiroptera adalah kelelawar yang memakan buah dan nektar. Pada saat kelelawar memakan nektar yang terletak di bagian bunga secara tidak langsung pollen yang ada di bunga ikut termakan dan sebagian pollen yang lain akan menempel disekitar mulut kelelawar (Satyadharma 2007). Pollen yang ikut termakan akan masuk ke dalam saluran pencernaan, karena sifat pollen yang tidak mudah rusak maka pollen tersebut tidak dapat terurai dan dapat dianalisis. Dari pollen tersebutlah dapat diketahui jenis-jenis vegetasi yang pernah dikunjungi kelelawar. Selama ini informasi mengenai karakteristik pollen jenis sumber pakan kelelawar masih terbatas. Untuk melakukan konservasi terhadap satwa ini terlebih dahulu diketahui jenis pakan yang dikonsumsi. Analisis pollen merupakan suatu analisis yang tepat untuk mengidentifikasi tumbuhan, karena pollen merupakan bagian terpenting dari tumbuhan (Nayar 1990). Oleh karena itu dipandang perlu dilakukan suatu penelitian untuk memperoleh informasi karakteristik pollen dari setiap jenis tanaman yang dikonsumsi kelelawar pemakan buah dan nektar demi konservasi kelelawar beserta habitatnya. B. Tujuan Penelitian Penelitian tentang identinfikasi jenis-jenis vegetasi sumber pakan kelelawar 16

17 pemakan buah dan nektar sub ordo Megachiroptera berdasarkan analisis pollen di kawasan TNGC dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi jenis-jenis kelelawar pemakan buah dan nektar yang ada di kawasan TNGC. 2. Menentukan suku dan jenis tumbuhan sumber pakan kelelawar berdasarkan karakteristik pollen. 3. Menentukan tingkat kesamaan antar jenis kelelawar berdasarkan jenis tumbuhan sumber pakan. C. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian tentang identinfikasi jenis-jenis vegetasi sumber pakan kelelawar pemakan buah dan nektar sub ordo Megachiroptera berdasarkan analisis pollen di kawasan TNGC adalah untuk menyediakan data dan informasi dalam pengambilan keputusan tentang pelestarian jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang ada di kawasan TNGC. 17

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Menurut Grzimerk (1972), secara taksonomi kelelawar termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata dan subfilum Vertebrata. Hewan ini masuk kedalam kelas Mamalia dengan ordo Chiroptera, sub ordo Megachiroptera (pemakan buah) dan Microchiroptera (pemakan serangga, ikan, darah, dan mamalia kecil lainnya). Sub ordo Megachiroptera hanya memiliki satu famili yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Koopman 1993). Sub ordo Microchiroptera memiliki keragaman yang besar dengan 17 famili, 147 genus dan 814 spesies (Corbet & Hill 1992). Famili Pteropodidae memiliki empat sub famili yaitu Pteropodinae, Harpyionycterinae, Nyctimenae, dan Macroglossinae (Feldhamer et al. 1999; Corbet & Hill 1992). Jenis kelelawar yang berhasil ditemukan di Taman Nasional Gunung Ciremai dari sub famili Pteropodidae yaitu Cynopterus brachyotis, Cynopterus titthaecheilus, Macroglossus sobrinus, Chironax melanocephalus, Aethalops alecto, Megaerops kusnotoi, Cynopterus horsfieldi dan Rousettus leschenaultia. Kelelawar yang dianalisis adalah Cynopterus brachyotis, Cynopterus titthaecheilus, Macroglossus sobrinus, Chironax melanocephalus, Aethalops alecto dan Megaerops kusnotoi. 1. Aethalops alecto Jenis ini memiliki ciri tidak berekor dan jumlah gigi seri bawah hanya dua buah. Warna permukaan punggung coklat kelabu sampai coklat kemerahan, bulu lebat dan panjang, selaput antar paha penuh ditumbuhi bulu. Memiliki panjang lengan bawah 43,5-52,7 mm, betis 16,6-20,6 mm, telinga 10-15,3 mm. tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali dan Lombok. 2. Cynopterus brachyotis Jenis ini memiliki ciri terdapat garis putih di tepi telinga, panjang tengkorak 27,0-30,7 mm, panjang telinga mm, panjang lengan bawah 54,7-66,7 mm, pajang betis 18,7-26,3 mm. Tersebar di Nepal, India, Sri Langka, Myanmar, Indocina, Kepulauan 18

19 Andaman, Thailand, Malaysia, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Maluku. 3. Cynopterus titthaecheilus Jenis ini memiliki ciri terdapat garis putih di tepi telinga, panjang tengkorak 35,0-39,0 mm, panjang telinga mm, panjang lengan bawah mm, pajang betis mm. Tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok dan Timor. 4. Chironax melanocephalus Jenis ini memiliki ciri ridak memiliki ekor, warna kepala lebih hitam daripada bagaian badan lainnya yang berwarna coklat kehitaman, ada warna jingga kuning pada sisi leher yang dewasa. Panjang lengan bawah mm, memiliki dua pasang gigi seri bawah, biasa dikenal sebagai bukal kepala hitam. Tersebar di Thailand, Malaysia Barat, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sabah, Sarawak, Bali, Lombok dan Sulawesi. 5. Macroglossus sobrinus Jenis ini memiliki ciri tubuh berwarna coklat, memiliki lidah dengan ukuran dua kali panjang moncong, hidup berkoloni kecil antara 2-9 ekor, tinggal di antara dedaunan pisang yang kering. Panjang tengkorak 23,8-28,6 mm, panjang lengan bawah mm, biasa dikenal sebagai cecadu pisang besar. Tersebar di Thailand, Malaysia Barat, Sumatera, Jawa dan Myanmar. 6. Megaerops kusnotoi Jenis ini memiliki ciri tidak berekor, hidung lebih pendek dari Cynopterus, jumlah gigi seri bawah ada dua, gigi taring tidak memiliki tonjolan sekunder, bibir atas berkerut-kerut seperti bibir anjing bulldog. Panjang tengkorak 25-25,9 mm, panjang lengan bawah sayap mm. Tersebar di Jawa, Bali dan Lombok. 19

20 B. Biologi Kelelawar Kelelawar adalah satu-satunya mamalia yang dapat terbang dan termasuk ke dalam ordo Chiroptera. Chiroptera berarti memiliki sayap tangan karena kaki depannya bermodifikasi sebagai sayap. Hal inilah yang membedakan sayap kelelawar dengan sayap burung. Perbedaan nyata antara sayap burung dan sayap kelelawar adalah pada perluasan tubuhnya yang berdaging dan sayapnya tidak berbulu yang terbuat dari membran elastis berotot. Sayap ini dinamakan patagium, yang membentang dari tubuh sampai jari kaki depan, kaki belakang dan ekor (Standbury 1970; Medway 1978). Pada kelelawar betina patagium berfungsi untuk memegang anaknya yang baru dilahirkan dengan posisi kepala di bawah (Standbury 1970). Selain untuk terbang, sayap kelelawar berfungsi untuk menyelimuti tubuhnya ketika bergantung terbalik (Standbury 1970). Ukuran tubuh dari jenis-jenis Megachiroptera relatif besar, memiliki telinga luar yang sederhana tanpa tragus, jari kedua kaki depan bercakar, dan mata berkembang dengan baik (Feldhamer 1999). Cakar yang terdapat pada kedua kaki depan ini merupakan adaptasi dari jenis makanannya yang berupa berbagai jenis buah-buahan (Feldhamer 1999). Menurut Suyanto (2001), saat terbang kelelawar membutuhkan oksigen lebih banyak dibandingkan saat tidak terbang. Saat terbang kelelawar membutuhkan 24 ml oksigen /gram bobot tubuhnya, sedangkan saat tidak terbang membutuhkan 7 ml oksigen/ gram bobot tubuhnya. Denyut nadi pada saat terbang pun berdetak lebih kencang yaitu 822 kali/menit, sedangkan saat istirahat berdetak 522 kali/menit. Untuk mendukung kebutuhan akan oksigen yang tinggi, jantung kelelawar berukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan kelompok lain. Jantung kelelawar berukuran 0,09% dari bobot tubuhnya, sedangkan hewan lainnya hanya 0,05% dari bobot tubuhnya. C. Penyebaran Jenis Kelelawar Menurut Vaughan (1978), selain memiliki tingkat adapatasi yang baik, kelelawar juga memiliki daerah penyebaran yang bersifat kosmopolit karena ditemukan hampir di seluruh wilayah di muka bumi kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terisolasi. 20

21 Menurut Standbury (1970) kelelawar dapat ditemukan diseluruh dunia kecuali pada wilayah kutub. Suyanto (2001) menyatakan bahwa di Indonesia dapat ditemukan 205 jenis atau 21% jenis kelelawar dunia yang telah diketahui, sembilan suku dari jenis tersebut termasuk ke dalam 52 marga. Corbet & Hill (1992) menyatakan bahwa kelelawar berada di seluruh dunia, namun wilayah yang terbesar ditemukannya kelelawar adalah wilayah tropika dan sub tropika. D. Perilaku Kelelawar Bangsa kelelawar termasuk hewan nokturnal, karena mencari makan pada malam hari dan di siang hari melakukan aktivitas tidur dengan cara bergantung dengan kakinya, menyelimuti tubuhnya dengan sayap ketika dingin dan mengipaskan sayapnya jika keadaan panas. Terdapat dua alasan mengapa kelelawar lebih memilih aktif pada malam hari. Pertama, pada siang hari dapat terjadi pengaruh radiasi yang merugikan pada sayap. Sayap yang terkena sinar matahari akan lebih banyak menyerap panas daripada yang dikeluarkan. Hal ini karena sayap kelelawar hanya berupa selaput kulit tipis dan sangat rentan terkena sinar matahari. Kedua, kelelawar telah mengalami proses adaptasi khusus yaitu memiliki indera yang sangat mendukung bagi aktivitas pada malam hari, sehingga dapat menghilangkan persaingan dengan hewan diurnal, misalnya burung. Kelelawar sering terlihat makan diatas pohon dan menjatuhkan sisa makanannya ke tanah. Bagi induk yang memiliki anak, maka induk memberikan makan kepada anaknya sebelum induk tersebut makan (Apriandi 2004). Suku Pteropodidae memakan buah, bunga, madu dan serbuk sari dan aktif pada senja hari dan malam hari (Corbet & Hill). Suku ini dapat terbang menempuh jarak yang jauh untuk mencari makan (Corbet & Hill). Sebagian memilih tempat bertengger di pepohonan atau di dinding gua (Corbet & Hill). Kelelawar pemakan buah sering dijumpai bergantungan pada daerah yang sumber makanannya melimpah. Kondisi kelelawar dapat mencerminkan sumber makanan yang dikonsumsi, seperti dijumpainya serbuk sari di ujung rambut tubuh dan saluran pencernaannya pada kelelawar pemakan serbuk sari dan dijumpainya biji pada saluran pencernaan kelelawar pemakan buah. Selain pemakan buah, beberapa jenis anggota sub ordo Megachiroptera juga mengkonsumsi nektar bunga 21

22 (Tan 1998; Fleming and Heithaus 1981; Lim 1970). Penyerbukan bunga terbantu dengan keberadaan kelelawar, saat kelelawar memasukkan kepalanya ke dalam kelopak bunga untuk memakan madu. Serbuk benang sari bunga tersebut akan menempel di bulu kelelawar dan membuahi bunga berikutnya yang dikunjungi oleh kelelawar (Satyadharma 2007). Beberapa jenis kelelawar hidup secara berkoloni, berkelompok kecil, berpasangan, dan bahkan hidup soliter (Corbet & Hill 1992). Nowak (1995) menyatakan bahwa pada umumnya kelelawar berkembang biak hanya satu kali dalam setahun dengan masa kehamilan 3 6 bulan, dan hanya bisa melahirkan satu ekor bayi setiap periode kelahiran. Bayi yang baru dilahirkan mempunyai bobot yang dapat mencapai 25 30% dari bobot induknya, lebih besar dari bayi manusia yang hanya mencapai 5% dari bobot tubuh induknya. Berbeda dengan jenis mamalia lain, kelelawar lebih lama dalam menyusui anaknya. Kelelawar tidak membuat sarang maupun sesuatu yang menyerupai sarang. Pada waktu periode melahirkanpun hewan ini hanya memilih tempat yang sesuai. Kelelawar dengan berbagai cara, baik secara soliter ataupun berkelompok membentuk koloni-koloni yang berukuran kecil hingga jutaan individu. Kemampuan fisiologis kelelawar sangat luar biasa. Pada musim dingin di kawasan sub tropis, kelelawar tidur dan mampu menurunkan laju metabolisme tubuhnya sehingga bisa bertahan hidup tanpa makan. Keadaan seperti ini di sebut sebagai masa dorman. Menurut Constantine (1970), kelelawar masih mampu bertahan hidup pada kadar ammonia sebesar 5000 ppm dan karbondioksida sebesar ppm, atau setara dengan 50 kali kadar karbondioksida dalam keadaan normal. Disisi lain kemampuan manusia untuk bertahan hidup pada kadar karbondioksida yang sama hanya seperempatnya, dan hanya mampu bertahan selama satu jam dalam kadar ammonia sebesar 100 ppm. 22

23 E. Peranan Kelelawar Kelelawar memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Kelelawar pemakan buah dan nektar memainkan peranan penting dari segi ekologi sebagai penyebar biji dan penyerbuk (Dumont 2004). Dari segi ekologis, kelelawar merupakan penyebar biji buah-buahan seperti sawo (Manilkara kauki), jambu air (Eugenia aquea), jambu biji (Psidium guajava), duwet (Eugenia cuminii) dan cendana (Santalum album). Jenis kelelawar yang memiliki peranan ini mayoritas adalah jenis dari famili Pteropodidae. Kelelawar juga berperan sebagai penyerbuk bunga dari tanaman bernilai ekonomis seperti durian (Durio zibethinus), bakau (Rhizophora conjugate), kapuk (Ceiba pentandra) dan mangga (Mangifera indica). Di daerah tropis kira-kira terdapat 300 tanaman yang pembuahannya tergantung kelelawar dan diperkirakan 95% regenerasi hutan dilakukan oleh kelelawar jenis pemakan buah dan madu (Satyadharma 2007). Selain itu kelelawar juga berfungsi sebagai obat asma, serta penghasil pupuk guano yang banyak dibutuhkan bagi pertanian. Kelelawar pemakan serangga merupakan predator dan pengendali biologis serangga yang membantu mengurangi serangan hama serangga pada tanaman pertanian. F. Pollen Pollen adalah sel hidup yang mempunyai inti dan protoplasma yang terbungkus oleh dinding sel. Dinding sel tersebut terdiri atas dua lapis yaitu bagian dalam yang tipis dan lunak disebut intin, sedangkan bagian luar yang keras dan tebal disebut eksin (Tim Fakultas Kehutanan IPB 1992). Pollen merupakan bahan makanan yang kaya akan protein dan sangat diperlukan dalam proses kehidupan kelelawar. Pollen adalah alat perkembangbiakan pada bunga jantan dan merupakan sumber pakan bagi kelelawar pemakan buah dan nektar (Irawati 2005). Bentuk serbuk sari umumnya radiosimetris (memiliki lebih dari dua buah bidang yang simetris), diameter tidak selalu terbentuk karena umumnya berbentuk elips dan kutub sebagai sumber rotasi (Erdtman 1952). Menurut Erdtman (1943), pollen dikelompokkan berdasarkan ukurannya 23

24 sebagai berikut: Very small spores (sporae perminute) = < 10 µ Small spores (sporae minute) = µ Medium size spores (sporae mediae) = µ Large spores (sporae magnae) = µ Very large spores (sporae permagnae) = µ Gigantic spores (sporae giganteae) = >200 µ Sehubungan dengan kecilnya ukuran serbuk sari, maka untuk mempermudah identifikasi dan dokumentasi, dilakukan preparasi serbuk sari baik diambil langsung dari bunga, saluran pencernaan hewan, rambut hewan atau bahkan berupa fosil serbuk sari (Irawati 2005). Pada umumnya jenis tumbuhan spermatophyta merupakan tumbuhan berkayu yang menghasilkan nektar dan pollen sehingga jenis-jenis ini merupakan sumber pakan yang baik (Tim Fakultas Kehutanan IPB 1992). Menurut Yulianto (1992), pollen secara paleontologis diklasifikasikan berdasarkan: 1. Bentuk dan simetri a). Tricolpate, radial simetri dengan tiga colpae yaitu bentuk prolate, spheroidal, oblate. Tricolpate dibentuk oleh tetrad dan merupakan sifat khas dari tumbuhan dikotil. b). Monocolpate, simetri bilateral dengan satu colpae, merupakan sifat khas dari tumbuhan monokotil gymnospermae maupun angiospermae. c). Acolpate, tidak memiliki colpae. 2. Pengelompokan butir. Tricolpate dan monocolpate biasanya terbentuk oleh pengelompokan empat butir (tetrad), untuk butir tunggal biasanya membentuk struktur acolpate. 3. Kehadiran dan tipe aperture serta pore. Butir pollen dengan tiga pore (120 0 ) dan 24

25 cribellate grain (jumlah pore tidak menentu, menyebar, bisa berpola atau tidak). 4. Sifat dasar dan ornamentasi extensine.yaitu tectane dan intectane (keduanya memiliki ornamentasi yang bervariasi) 5. Ada atau tidaknya sayap. 6. Dimensi butir yaitu angiospermae (10-80 mikron), gymnospermae ( mikron). Menurut Erdmant (1952) terdapat lima sifat pokok dalam identifikasi serbuk sari yang perlu diperhatikan yaitu polaritas serbuk sari, simetri serbuk sari, aperture, bentuk serbuk sari dan ukuran serbuk sari. 25

26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Kawasan Gunung Ceremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan tinggi 3078 mdpl. Kawasan hutan di gunung Ciremai memiliki keanekaragaman yang tinggi dan memegang peranan sebagai penyedia air bagi masyarakat di sekitar kawasan. Kawasan hutan di gunung Ciremai memiliki status kawasan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 juli 2003 tentang penunjukan areal hutan di provinsi jawa Barat seluas ± ha sebagai kawasan hutan lindung di kelompok hutan lindung Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. Kawasan hutan lindung Gunung Ciremai kemudian mengalami perubahan fungsi menjadi taman nasional dengan dikeluarkannya surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kawasan hutan lindung Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Pada tanggal 30 Desember 2004 dilakukan penunjukan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat II sebagai pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) hingga terbentuknya organisasi Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. SK. 140/IV/Set-3/2004. B. Letak dan Luas Secara geografis, TNGC terletak pada koordinat LS dan BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan TNGC termasuk ke dalam tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Cirebon, dengan luas ±15.518,23 ha. Peta mengenai kawasan TNGC disajikan pada Gambar 1. 26

27 r 1. Peta kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai Gamba C. Kondisi Fisik 1. Iklim Menurut klasifikasi Schmidt and Ferguson, kawasan TNGC termasuk ke dalam tipe iklim B. Kawasan ini memiliki jumlah hari hujan merata sepanjang tahun dengan kisaran curah hujan per tahun mm/tahun. Kelembaban udara di TNGC pada malam hari berkisar antara 94 99%, sedangkan pada siang hari berkisar antara 63%-92%. Suhu udara berkisar o C pada saat malam hari, sedangkan pada saat siang hari berkisar o C. 2. Geologi dan Tanah Jenis batuan di TNGC merupakan batuan endapan vulkanik tua dan vulkanik muda yang merupakan produk dari aktivitas vulkanik. Berdasarkan peta kelas tanah, kelompok 27

28 hutan TNGC memiliki pola penyebaran jenis tanah meliputi regosol kelabu, latosol, kelompok asosiasi andosol coklat dan regosol, kelompok latosol coklat, serta latosol coklat kemerahan. Peta penyebaran jenis tanah pada wilayah Kuningan TNGC disajikan pada Gambar 2. Gambar 2.Peta penyebaran jenis tanah di wilayah Kuningan TNGC 3. Topografi Gunung Ceremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, pada bagian puncak memiliki ketinggian 3078 mdpl. Topografi kawasan TNGC pada umumnya bergelombang, berbukit, dan bergunung. Kemiringan lahan yang termasuk landai (0-8%) hanya 26,52%, dan diatas 8% sebesar 73,48%. 4. Hidrologi Potensi hidrologis TNGC meliputi 43 sungai dan 156 sumber air dengan 147 titik 28

29 sumber mata air mengalirkan air sepanjang tahun dengan rata-rata debit L/detik. Mata air tersebut mengaliri sekitar 43 sungai yang bersumber dari TNGC. 5. Vulkanologi Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif, tipe A (yakni, gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk kerucut. Gunung ini merupakan gunung api soliter, yang dipisahkan oleh zona sesar Cilacap Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur yang terletak pada zona Bandung. D. Kondisi Biologis 1. Ekosistem Kawasan hutan TNGC memiliki tipe hutan primer dengan luas 2785,885 ha pada ketinggian mdpl, hutan sekunder dengan luasan 2892,595 ha dengan ketingggian mdpl, sedangkan luas kebun yang terdapat di TNGC adalah 2383,117 ha pada ketinggian mdpl. Habitat yang menyusun vegetasi yang ada di kawasan TNGC khususnya bagian sebelah timur (Linggarjati) merupakan habitat hutan terfragmentasi. 2. Vegetasi Vegetasi yang ditemukan di TNGC bagian timur (Linggarjati) diantaranya adalah saninten (Castanopsis javanica), nangsi (Villubrunes rubescens), pasang (Lithocarpus ewyckii), pasang dadap (Lithocarpus sundaicus), benying (Ficus fistulosa), mara (Macaranga rhichinoides). 3. Fauna Keanekaragaman jenis satwaliar yang ditemukan pada wilayah timur TNGC adalah sebagai berikut: 18 jenis reptil dan ampfibi, 21 jenis mamalia serta 71 jenis burung (Riyanto et al. 2007). Jenis mamalia yang terdapat di Taman Nasional Gunung Ciremai diantaranya adalah macan tutul (Panthera pardus), kijang (Muntiacus muntjak), 29

30 landak (Hystrix brachyura) serta babi hutan (Sus scrofa). Primata yang dapat ditemukan antara lain surili (Presbytis comata), lutung budeng (Trachypithecus auratus) yang merupakan satwa dilindungi. Burung yang terdapat TNGC antara lain elang jawa (Spizaetus bartelsi), elang brontok (Haliastur indus), elang hitam (Ictinaetus malayensis) serta paruh kodok tanduk (Batrachostoma cornotus) yang merupakan jenis-jenis burung dilindungi. Reptil dan amfibi yang dapat ditemukan di TNGC yaitu bunglon (Broncochela jubata), cicak (Cyrtodactylus fumosus), kadal (Eutropis multifasciata), katak serasah (Megrophys montana), katak pohon (Philautus aurifasciatus). 30

31 IV. METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian tentang identinfikasi jenis-jenis vegetasi sumber pakan kelelawar pemakan buah sub ordo Megachiroptera berdasarkan analisis polen di kawasan TNGC dilakukan di TNGC, Desa Linggarjati, Kabupaten Kuningan pada bulan Mei hingga Juni Penelitian dilanjutkan di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus B. Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: (a) Perlengkapan untuk inventarisasi satwaliar dan tumbuhan meliputi: kompas, GPS (Global Positioning System) receiver, pita meter, Mist net (jaring kabut), kain blacu, timbangan, caliper, kamera, tabel pengamatan,(b) Perlengkapan untuk pengamatan polen meliputi: mikroskop mikrometer, gelas objek, Cover glass, alkohol 70%, gliserol dan kuteks. Pengolahan data analisis komponen utama menggunakan software SPSS 14, analisis niche overlap menggunakan software Krebs dan Excel Bahan yang digunakan sebagai obyek penelitian adalah kelelawar sub ordo Megachiroptera beserta habitat alaminya di TNGC dan serbuk sari yang terdapat pada saluran pencernaan.. C. Kerangka Pemikiran Kelelawar pemakan buah merupakan salah satu satwa mamalia yang dapat terbang dan keberadaannya di alam mulai menurun jumlahnya. Hal ini disebabkan semakin meluasnya kerusakan habitat yang dibutuhkan dan adanya perburuan oleh masyarakat. Faktor habitat yang mempengaruhi satwa adalah sumber pakan. Satwa akan menyebar sesuai dengan penyebaran pakan yang dibutuhkannya. Untuk tetap menjaga populasi kelelawar dibutuhkan pengetahuan tentang sumber pakan yang digunakan. Oleh karena itu dibutuhkan pengidentifikasian vegetasi sumber pakan kelelawar berdasarkan serbuk sari yang terdapat di dalam saluran pencernaan kelelawar. Parameter yang digunakan dalam penelitian adalah data populasi (jumlah jenis yang ditemukan, jumlah individu dan sex ratio), habitat satwa (sumber pakan, tipe habitat), titik koordinat lokasi ditemukannya satwa, dan jenis vegetasi yang teridentifikasi dari serbuk sari yang terdapat di dalam saluran pencernaan kelelawar. Dari data karakteristik polen yang ditemukan dalam saluran pencernaan kelelawar akan menghasilkan data mengenai tumbuhan yang menjadi pakan kelelawar. Dengan diketahuinya distribusi kelelawar pemakan buah dan vegetasi yang menjadi sumber pakannya pada kawasan akan memberikan informasi lokasi yang perlu dilakukan kegiatan konservasi dan pengelolaan yang intensif. Bentuk 31

32 kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 3. Habitat Fisik Biotik Suhu, kelembapan, kecepatan angin, Vegetasi Vegetasi berbunga Kelelawar Polen Saluran pencernaan Analisis polen Identifikasi tumbuhan sumber pakan kelelawar Gambar 3. Diagram kerangka pemikiran penelitian identifikasi sumber pakan kelelawar pemakan buah dan nektar sub ordo Megachiroptera berdasarkan analisis polen D. Jenis Data Data primer yang dikumpulkan adalah data mengenai habitat beserta karakteristiknya yang meliputi suhu, kelembapan, curah hujan, kelerengan, ketersediaan sumber air, dan komposisi vegetasi sebagai sumber pakan. Pengumpulan data mengenai karakteristik morfologis kelelawar, yang mencakup: 1. Ukuran tubuh, meliputi panjang ekor (T), panjang lengan bawah sayap (FA), panjang 32

33 betis (Tb), panjang telinga (E), dan panjang badan kepala (Hb), panjang telapak kaki (Hf). 2. Bobot tubuh kelelawar (Wt). 3. Parameter populasi kelelawar yang mencakup jenis kelelawar, jenis kelamin, jumlah populasi. Pengumpulan data mengenai karakteristik polen meliputi jenis polen, ukuran polen dan bentuk polen, serta identifikasi tanaman asal polen. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur ataupun wawancara dengan pihak pengelola, petugas di lapangan ataupun dengan masyarakat sekitar lokasi. E. Metode Kerja Metode penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: (1) melakukan studi literatur, (2) melakukan pengumpulan data di lapangan dengan penangkapan kelelawar menggunakan jaring kabut (mist net), (3) melakukan identifikasi polen yang diambil dari bagian saluran pencernaan kelelawar, (4) melakukan pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan karakteristik polen dan hubungannya pada setiap jenis kelelawar. Pengumpulan data dilapangan menggunakan teknik purposive sampling yaitu dengan mereduksi objek penelitian dari objek yang lebih luas, agar data yang diperoleh lebih akurat selain itu juga berdasarkan pertimbangan waktu, biaya, tenaga dan peralatan yang ada. Purposive sampling dapat dilakukan jika pemilihan contoh lebih mengutamakan tujuan studi. Untuk mengetahui kelelawar pemakan buah dan nektar, lokasi penelitian yang dipilih adalah lokasi-lokasi yang secara nyata terdapat sumber pakan kelelawar berdasarkan tipe habitat yang ada. Metode pengumpulan data dilakukan dengan penangkapan kelelawar menggunakan jaring kabut yang diletakkan pada setiap tipe habitat yang ada dan diantara tipe habitat yang berbeda. Di sekitar lokasi peletakan jaring kabut dilakukan analisis vegetasi dengan metode kuadrat, pengukuran suhu, kecepatan angin, dan dilakukan penentuan koordinat menggunakan GPS. Jaring kabut yang digunakan di pasang pada waktu senja hari dan pada pukul WIB dan pagi hari dilakukan pengecekan jarring kabut dan pengambilan kelelawar. Sampel kelelawar yang diambil dicatat jumlahnya, ukuran tubuh, jenis kelamin dan bobot untuk diidentifikasi dengan menggunakan karakteristik morfologisnya. Setelah selesai dilakukan pengukuran tubuh, kemudian pada bagian sayap digambar di kertas kalkir dan dilakukan pembedahan pada bagian dada untuk mengambil organ hati. Organ hati kelelawar tersebut diawetkan dibotol spesimen dengan menggunakan alkohol analisis,. Selain organ hati, serbuk sari yang melekat di sekitar mulut kelelawar terlebih dahulu diambil dan dimasukkan ke dalam botol spesimen. 33

34 Setelah pengukuran dan pengambilan organ hati, sampel kelelawar yang diambil kemudian diawetkan dengan formalin 30% untuk dibuat spesimen. Data yang diperoleh kemudian dicatat ke dalam tallysheet yang telah disiapkan disertai dengan keterangan mengenai karakteristik habitat dan ketinggian tempat ditemukannya satwa. Pengumpulan data primer dilanjutkan dengan melakukan analisis polen yang diambil dari saluran pencernaan kelelawar dilakukan dengan menggunting kulit pada bagian perut di bawah tulang rusuk sampai mendekati saluran pembuangan bagian luar. Organ saluran pencernaan kelelawar dikeluarkan dan isi dari saluran pencernaan tersebut dikeluarkan kemudian dimasukkan kedalam botol sampel yang berisi alkohol 70%. Organ tersebut dibuka dengan menggunakan gunting bedah lalu dibersihkan dengan kuas halus pada bagian dalam usus dan lambung. Hal ini dilakukan agar serbuk sari yang menempel di dinding usus dapat dibersihkan. Hasil dari pembukaan saluran pencernaan yang tercampur ke dalam alkohol kemudian dimasukkan kedalam tabung rekasi dan dilakukan sentrifuse dengan putaran 2000 rpm selama 30 menit, kemudian dilakukan pembuangan cairan alkohol yang digunakan dan diganti dengan alkohol yang baru, pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Endapan yang dihasilkan dari proses sentrifuse di letakkan di gelas objek sebanyak satu tetes kemudian ditetesi dengan gliserol dan ditutup dengan cover glass dan pada bagian tepinya direkatkan menggunkan kutek kuku. Penggunaan gliserol adalah sebagai bahan pengawet. Gliserol merupakan bahan pengawet yang dapat bertahan beberapa tahun (Yulianto 1992). Serbuk sari yang ditemukan di saluran pencernaan kemudian diidentifikasi sampai tigkat suku dan genus menurut Erdmant (1943) dan Erdmant (1952). Identifikasi dilakukan terhadap tiap tetes campuran isi saluran pencernaan kelelawar dengan alkohol yang diletakkan pada gelas objek di bawah mikroskop dengan perbesaran kali. Untuk mengetahui keadaan habitat disekitar penempatan jaring kabut dilakukan kegiatan analisis vegetasi. Tahapan dalam kegiatan analisis vegetasi adalah sebagai berikut: a). Pembuatan titik-titik sampling dengan menggunakan metode petak (petak kuadrat) dengan ukuran petak 0.25 ha (50x50 m), dengan sub petak berukuran 10x10 m. b). Petak-petak cupikan diletakkan pada ketinggian tempat 1050 mdpl, 1200 mdpl, 1400 mdpl, 1600 mdpl dan mdpl. c). Pembagian vegetasi hutan kedalam tipe semai, pancang, tiang dan pohon. Setelah itu pengambilan data vegetasi hutan : 1. Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan dengan tinggi kurang dari 1,5 m dan diameter < 3 cm. 2. Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm dan diameter 3<x<10 cm. 3. Tiang : Pohon muda dengan tinggi 1,5 m atau lebih, berdiameter 10 <x< 34

35 20 cm 4 Pohon : Pohon dewasa dengan tinggi 1,5 m atau lebih dan berdiameter >20 cm a b b 50 m c a 100 m Gambar 4. Desain metode petak kuadrat untuk inventarisasi vegetasi. Keterangan: a = petak berukuran 2 x 2 m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah, b= petak berukuran 10x10 m untuk tingkat pancang, tiang, pohon. F. Analisis Data Data yang dikumpulkan dari lapangan diolah dengan menggunakan rumus sebagai berikut : 1. Analisis Vegetasi Vegetasi merupakan komponen habitat yang berfungsi sebagai sumber pakan kelelawar terutama vegetasi yang berbunga. Selain itu vegetasi juga berfungsi sebagai tepat tinggal atau bertengger pada malam hari. Komponen dari analisis vegetasi adalah jenis vegetasi, komposisi dan dominasi baik pada tingkat pohon maupun tumbuhan bawah. Kerapatan suatu jenis merupakan banyaknya suatu jenis pada suatu areal tertentu, dapat dihitung dengan membandingkan jumlah individu yang ditemukan dengan luas unit contoh yang digunakan. Kerapatan relatif merupakan persentase kerapatan suatu jenis terhadap kerapatan seluruh jenis. Frekuensi suatu jenis merupakan intensitas ditemukannya suatu jenis pada unit contoh yang digunakan. Frekuensi relatif merupakan persentase frekuensi suatu jenis terhadap frekuensi seluruh jenis. Dominansi suatu jenis merupakan besarnya luas areal yang didomonasi oleh suatu jenis. Dominasi relatif merupakan persentase dominasi suatu jenis terhadap dominasi seluruh jenis. Indeks Nilai Penting merupakan nilai kumulatif dari kerapatan, frekuensi dan dominasi relatif. Persamaan-persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut: Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Total luas unit contoh Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100 % Kerapatan total jenis 35

36 Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah total plot Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100 Total frekuensi Dominansi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis Luas unit contoh Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenis x 100 % Dominansi seluruh jenis INP = KR + FR + DR INP (untuk semai dan tumbuhan bawah) = KR + FR 2. Analisis Jenis Tumbuhan Sumber Pakan Kelelawar Untuk menentukan variasi parameter jenis tumbuhan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariate yang didasarkan pada Principal Component Analysis (PCA). PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan hubungan dalam bentuk grafik, maksimum informasi yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari jenis kelelawar sebagai individu statistik (pada baris) dan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar sebagai variable kuantitatif (kolom). Parameter jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar yang diukur tidak memiliki unit yang sama, maka sebelumya dalam data-data tersebut perlu dinormalisasi melalui transformasi. Transformasi yang digunakan adalah transformasi arcsin. Transformasi arcsin sesuai untuk data proporsi yang dinyatakan sebagai pecahan decimal atau persentase. Transformasi arcsin dilakukan dengan menggunakan tabel arcsin (Lampiran 15). Beberapa ketentuan penggunaan transformasi arcsin adalah sebagai berikut: a) Hanya data persentase yang diturunkan dari nisbah (ratio) jumlah data. b) Data persentase yang berada dalam wilayah 30-70% tidak perlu transformasi. c) Untuk persentase yang berada dalam satu wilayah 0 30% atau %, tetapi tidak pada keduanya, menggunakan transformasi akar kuadrat. d) Untuk data persentase yang tidak mengikuti ketentuan 2 dan 3, maka menggunakan transformasi. Untuk menentukan hubungan antara dua parameter digunakan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig & Reynolds 1988), dengan persamaan: B sxn = A sxn XA nxs Keterangan : B sxn = matriks korelasi, r ij 36

37 A sxn = matriks indeks sintetik, a ij A nxs = matriks transpose A sxn Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya adalah kovarian dari kedua parameter tersebut yang telah dinormalisasikan (dipusatkan dan direduksi). Diantara semua indeks sintetik yang terbentuk, PCA mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam stasiun maksimum. Indeks ini disebut komponen utama pertama atau faktor utama pertama. Suatu proporsi tertentu dari variasi total stasiun dijelaskan oleh komponen utama ini. Selanjutnya dicari komponen utama kedua dengan syarat berkorelasi linier nihil dengan komponen utama pertama dan memiliki varians individu terbesar. Komponen utama kedua ini memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus hingga memperoleh komponen utama ke-p atau kompunen utama terakhir, dimana bagian informasi yang dapat dijelaskannya semakin kecil. 3. Indeks Kesamaan Jenis Kelelawar a). Total Individu Untuk mengetahui tingkat kesamaan jenis antara satu jenis kelelawar dengan jenis kelelawar lainnya berdasarkan jenis tumbuhan sumber pakan digunakan analisis indeks Euclidean Distance yang menunjukkan sejauh mana perbedaaan jarak antara jenis kelelawar berdasarkan jenis tumbuhan sumber pakan. keterangan: jk = nilai indeks Euclidean distance antara jenis kelelawar ke-j dan ke k X ij = jumlah individu kelelawar yang memakan jenis tumbuhan ke-i pada jenis kelelawar ke-j X ik = jumlah individu kelelawar yang memakan jenis tumbuhan ke-i pada jenis kelelawar ke-k Nilai Euclidean distance bervariasi mulai dari nol hingga tak terhingga, semakin besar nilai Euclidean distance maka semakin jauh kesamaan antar jenis kelelawar dalam mengkonsumsi jenis tumbuhan yang sama. Untuk memudahkan penghitungan maka dilakukan perubahan skala agar nilai Euclidean distance berkisar dari 0 hingga 1 dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: keterangan : = nilai indeks Euclidean distance antara jenis kelelawar ke-j dan ke-k yang telah diskala ulang jk = nilai indeks Euclidean distance antara jenis kelelawar ke-j dan ke-k jk maks = nilai indeks Euclidean distance maksimum 37

38 Karena nilai indeks Euclidean distance merupakan indeks ketidaksamaan, maka untuk memperoleh nilai kesamaan digunakan persamaan sebagai berikut : S = 1 Ejk keterangan : S = nilai indeks kesamaan Ejk = nilai indeks Euclidean distance antara jenis kelelawar ke-j dan ke-k yang telah diskala ulang b). Jantan dan betina Untuk mengetahui tingkat kesamaan jenis antara jantan dengan betina berdasarkan jenis tumbuhan sumber pakan digunakan analisis indeks Euclidean Distance yang menunjukkan sejauh mana perbedaaan jarak antara individu jantan dan betina berdasarkan jenis tumbuhan sumber pakan. keterangan: jk = nilai indeks Euclidean distance antara kelelawar jantan ke-j dan ke k X ij = jumlah individu kelelawar jantan yang memakan jenis tumbuhan ke-i pada jenis kelelawar ke-j X ik = jumlah individu kelelawar betina yang memakan jenis tumbuhan ke-i pada jenis kelelawar ke-k Nilai Euclidean distance bervariasi mulai dari nol hingga tak terhingga, semakin besar nilai Euclidean distance maka semakin jauh kesamaan antar jenis kelelawar dalam mengkonsumsi jenis tumbuhan yang sama. Untuk memudahkan penghitungan maka dilakukan perubahan skala agar nilai Euclidean distance berkisar dari 0 hingga 1 dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: keterangan : = nilai indeks Euclidean distance antara jenis kelelawar ke-j dan ke-k yang telah diskala ulang jk = nilai indeks Euclidean distance antara jenis kelelawar ke-j dan ke-k jk maks = nilai indeks Euclidean distance maksimum Karena nilai indeks Euclidean distance merupakan indeks ketidaksamaan, maka untuk memperoleh nilai kesamaan digunakan persamaan sebagai berikut : S = 1 Ejk keterangan : S = nilai indeks kesamaan Ejk = nilai indeks Euclidean distance antara kelelawar jantan ke-j dan ke-k yang telah diskala ulang 38

39 4. Niche Overlap Niche overlap digunakan untuk mengetahui hubungan antara jenis kelelawar terhadap sumberdaya yang digunakan berdasarkan suku dan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar. Persamaan yang digunakan adalah persamaan Simplified Morisita Index atau sering disebut Morisita-Horn Index. keterangan : C H p ij p ik n 5. Chi Kuadrat = indeks simplified morisita index antara kelelawar jenis ke-j dan jenis ke-k = proporsi jenis tumbuhan yang digunakan oleh kelelawar jenis ke-j (p ij = n/n) = proporsi jenis tumbuhan yang digunakan oleh kelelawar jenis ke-k (p ik = n/n) = jumlah jenis tumbuhan seluruhnya Uji khi-kuadarat digunakan untuk membuktikan hipotesa yang dilakukan. Hipotesa yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua parameter yang diuji. Hipotesa terdiri dari H0 dan H1. Jika x 2 hitung < x 2 tabel, maka H 0 diterima, jika x 2 hitung > x 2 tabel, maka H 1 diterima. Menurut Supranto (1987) chi kuadrat dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut keterangan: χ 2 = khi-kuadrat x i = banyaknya jenis bunga pada kelelawar ke-i µ i = banyaknya jenis bunga yang diharapkan pada kelelawar ke-i Nilai harapan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut keterangan: B i = total frekuensi jenis bunga pada baris ke-i K j = total frekuensi jenis bunga pada kolom ke-j T = total seluruh frekuensi Hipotesis yang digunakan adalah H 0 = tipe bunga tidak berpengaruh nyata terhadap jenis kelelawar H 1 = tipe bunga berpengaruh nyata terhadap jenis kelelawar 39

40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Tumbuhan Sumber Pakan Kelelawar Setiap kelelawar memiliki pakan berbeda sesuai dengan adaptasinya terhadap habitat yang ada. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 21 jenis tumbuhan dari 14 suku yang teridentifikasi. Pada semua jenis kelelawar dapat ditemukan tumbuhan jenis Euphorbia sp, dan Cardiospermum sp di dalam saluran pencernaannya. Suku tumbuhan yang teridentifikasi yaitu Acanthaceae, Anacardiaceae, Bombacaceae, Cucurbitaceae, Cyperaceae, Euphorbiaceae, Fabaceae, Graminae, Loranthaceae, Myrtaceae, Pakupakuan, Rubiaceae, Sapindaceae, Tiliaceae. Pada jenis Cynopterus brachyotis dalam saluran pencernaannya dapat ditemukan jenis tumbuhan Justicia sp, Anacardium sp, Coccinia sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Dendrophthoe sp, Helixanthera sp, Pileantus sp, Paku genus a, Paku genus b, Tarenna sp, Morinda sp, cardiospermum sp. Jenis Cynopterus titthaecheilus dalam saluran pencernaannya ditemukan Anacardium sp, Cyperus sp, Euphorbia sp, Acacia sp. Pada jenis Macroglossus sobrinus dapat ditemukan jenis tumbuhan Anacardium sp, Bombax sp, Coccinia sp, Cyperus sp, Trewia sp, Euphorbia sp, Acacia sp, Cassia sp, Adenanthera sp, Dendrocalamus sp, Dendrophthoe sp, Helixanthera sp, Pileantus sp, Paku genus a, Paku genus b, Tarenna sp, Morinda sp, Cardiospermum sp, Grewia sp, Tilia sp. Jenis Chironax melanocephalus ditemukan tumbuhan jenis Euphorbia sp, Adenanthera sp, Cardiospermum sp. Jenis Aethalops alecto ditemukan tumbuhan jenis Anacardium sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Dendrophthoe sp, Helixanthera sp, Cardiospermum sp. Jenis Megaerops kusnotoi ditemukan jenis tumbuhan Cyperus sp, Euphorbia sp, Adenanthera sp, Dendrocalamus sp, Cardiospermum sp. Perjumpaan jenis-jenis tumbuhan pada setiap kelelawar yang diamati disajikan pada Tabel 1. Kelelawar jenis Macroglosus sobrinus memiliki jumlah jenis tumbuhan sumber pakan terbanyak yaitu 20 jenis tumbuhan. Jenis kelelawar Chironax melanocephalus. memiliki jenis tumbuhan terkecil yaitu 3 jenis. Hal ini sesuai karena Macroglosus sobrinus merupakan jenis kelelawar pemakan nektar, sedangkan Chironax melanocephalus merupakan kelelawar pemakan buah. Tabel 1. Jenis tumbuhan yang dijumpai pada setiap jenis kelelawar yang diamati 40

41 Jenis Kelelawar Jenis Tumbuahan A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U C. brachyotis C. titthaecheilus M. sobrinus C. melanocephalus A. alecto M. kusnotoi Jumlah Keterangan *) A=Justicia sp, B=Anacardium sp, C=Bombax sp, D=Coccinia sp, E=Cyperus sp, F=Trewia sp, G=Euphorbia sp, H=Acacia sp, I=Cassia sp, J=Adenanthera sp, K=Dendrocalamus sp, L=Dendropthoe sp, M=Helixanthera sp, N=Pileanthus sp, O=Paku genus a, P=Paku genus b, Q=Tarenna sp, R=Morinda sp, S=Cardiospermum sp, T=Grewia sp, U=Tilia sp. Suku tumbuhan yang paling banyak ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar adalah Sapindaceae sebesar 14,89% dan Euphorbiaceae sebesar 12,77%. Suku tumbuhan yang paling sedikit ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar adalah Acanthaceae dan Tiliaceae sebesar 2,13%. Kelelawar jenis Macroglossus sobrinus merupakan jenis kelelawar yang memiliki presentase terbesar (27,66%) ditemukannya suku tumbuhan di dalam saluran pencernaannya. Kelelawar jenis Chironax melanocephalus merupakan jenis kelelawar yang memiliki persentase terkecil (6,38%) ditemukannya suku tumbuhan di dalam saluran pencernaannya. Polen jenis tumbuhan sumber pakan disajikan pada Lampiran 13. B. Pengelompokkan Jenis Kelelawar berdasarkan Tipe Habitat, Ketinggian Tempat dan Tipe Bunga Setiap satwaliar memiliki karakteristik dalam pemilihan lokasi yang menjadi habitatnya. Suatu habitat dapat digunakan apabila memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai tempat berlindung, tempat mencari pakan dan tempat berkembang biak. Untuk mendukung kehidupan satwaliar diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya (Alikodra 2002). Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan suatu kawasan yang memiliki ekosistem hutan hujan pegunungan bawah yang memiliki berbagai 41

42 vegetasi. Hutan primer yang terdapat di Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan hutan primer yang terfragmentasi salah satunya disebabkan kebakaran. Menggunakan 3 faktor dari hasil analisis principle komponen diperoleh variasi yang dapat diterangkan sebesar 77,70% (Lampiran 8). Faktor pertama memiliki nilai jumlah ragam sebesar 42,83% yang menggambarkan bahwa faktor ini kemungkinan lebih banyak dipengaruhi oleh tipe habitat, nilai komponen positif menunjukkan bahwa tipe habitat semakin terganggu dan sebaliknya nilai faktor pada posisi nilai negatif mengindikasikan bahwa habitatnya semakin primer. Faktor kedua memiliki jumlah ragam sebesar 24,32% yang menggambarkan kecenderungan dipengaruhi oleh ketinggian tempat, nilai komponen yang positif menunjukkan ketinggian tempat semakin rendah dan sebaliknya semakin tinggi ketinggian tempatnya. Faktor ketiga memiliki nilai jumlah ragam sebesar 10,57% yang menggambarkan kemungkinan pengaruh tipe bentuk bunga terhadap kelelawar. Kombinasi pertama adalah faktor pertama yang mencirikan tipe habitat (hutan primer dan sekunder) dan faktor kedua yang mencirikan ketinggian tempat dataran rendah dan dataran tinggi). Kombinasi kedua faktor tersebut membentuk empat kelompok jenis kelelawar (Gambar 5). Kelompok pertama merupakan kelompok yang ditemukan pada keadaan habitat sekunder dan pada dataran rendah. Kelompok ini terdiri dari Cynopterus brachyotis betina, Cynopterus titthecheilus betina. Kedua jenis kelelawar ini merupakan kelelawar yang dapat ditemukan pada ruang terbuka dan tinggal pada daerah yang terdegradasi. Kelelawar Cynopterus brachyotis dapat ditemukan pada dataran rendah hingga hutan pegunungan, perkebunan dan daerah terbuka (Kingston et al. 2006). Habitat ditemukannya kedua jenis kelelawar ini merupakan suatu kebun campuran yang terdiri dari tanaman pinus, tangkil, dan pisang. Tipe habitat dan ketinggian tempat mempengaruhi komposisi vegetasi yang ada, sehingga setiap kelelawar dipengaruhi oleh jenis tumbuhan yang berbeda. Cynopterus brachyotis betina dipengaruhi oleh tumbuhan Adenanthera sp dan Acacia sp. Pada kelelawar jenis Cynopterus titthecheilus betina, jenis tumbuhan yang mempengaruhi adalah Adenanthera sp dan Acacia sp. Persamaan tipe habitat sekunder dan ketinggian tempat serta jenis tumbuhan yang mempengaruhi Cynopterus brachyotis betina dan Cynopterus titthecheilus betina menyebabkan keduanya pada kelompok pertama. 42

43 Keterangan : CB_M=Cynopterus brachyotis jantan, CB_F= Cynopterus brachyotis betina, CT_M= Cynopterus titthaecheilus jantan, CT_F= Cynopterus titthaecheilus betina, MS_M=Macroglossus sobrinus jantan, MS_F= Macroglossus sobrinus betina, CM_M= Chironax melanocephalus jantan, CM_F=Chironax melanocephalus betina, AA_M=Aethalops alecto jantan, AA_F=Aethalops alecto betina, MK_M=Megaerops kusnotoi jantan, MK_F=Megaerops kusnotoi betina Gambar 5. Grafik analisis komponen utama parameter tipe habitat dan ketinggian tempat. Kelompok kedua adalah kelompok yang ditemukan pada tipe hutan sekunder dan pada daerah dataran tinggi. Pada kelompok kedua terdapat Macroglossus sobrinus betina, Macroglossus sobrinus jantan dan Cynopterus brachyotis jantan, berdasarkan pengamatan di lapangan kelelawar Macroglossus sobrinus dapat ditemukan pada daerah ketinggian mdpl. Menurut Kingston et al. (2006) Macroglossus sobrius merupakan kelelawar yang dapat ditemukan pada semua ketinggian tempat dari hutan dataran rendah hingga pegunungan. Tumbuhan yang mempengaruhi pada jenis ini adalah paku genus a, Helixanthera sp, Pileanthus sp, Bombax sp, Trewia sp, Anacardium sp, Tarenna sp, Coccinia sp, Cyperus sp, Tilia sp, Cassia sp, Grewia sp, Justicia sp, Cardiospermum sp. Jenis tumbuhan yang mempengaruhi kelelawar Cynopterus brachyotis jantan adalah paku genus a, Helixanthera sp, Pileanthus sp, Bombax sp, Trewia sp, Anacardium sp, Tarenna sp, Coccinia sp, Cyperus sp, Tilia sp, Cassia sp, 43

44 Grewia sp, Justicia sp, Cardiospermum sp. Banyaknya tumbuhan yang mempengaruhi kelelawar Cynopterus brachyotis dikarenakan jenis ini merupakan jenis penting sebagai pemencar biji dan penyerbuk tanaman. Cynopterus brachyotis merupakan hewan yang penting sebagai penyebar biji, makanannya terdiri dari 54 jenis buah-buahan, 14 jenis tumbuhan yang dimakan daunnya dan bagian bunga hingga 4 jenis tanaman (Tan et al. 1998). Kelompok ketiga merupakan kelompok yang dapat ditemukan pada daerah dataran tinggi dan merupakan habitat primer. Kelompok ketiga ini terdiri dari jenis Aethalops alecto jantan, Aethalops alecto betina, Chironax melanocephalus jantan, Chironax melanocephalus betina. Berdasarkan pengamatan di lapangan kedua jenis kelelawar ini hanya ditemukan pada ketinggian mdpl. Pada kelelawar Aethalops alecto jantan jenis tumbuhan yang mempengaruhi adalah Adenanthera sp dan Acacia sp, sedangkan pada Aethalops alecto betina dipengaruhi oleh tumbuhan Dendrocalamus sp dan Euphorbia sp. Kelelawar Chironax melanocephalus jantan dipengaruhi oleh tumbuhan paku genus a, Helixanthera sp, Pileanthus sp, Bombax sp, Trewia sp, Anacardium sp, Tarenna sp, Coccinia sp, Cyperus sp, Tilia sp, Cassia sp, Grewia sp, Justicia sp, Cardiospermum sp. Pada kelelawar Chironax melanocephalus betina dipengaruhi oleh tumbuhan Dendrocalamus sp dan Cardiospermum sp. Terjadi perbedaan jenis tumbuhan yang mempengaruhi antara individu jantan dan betina pada Chironax melanocephalus dan Aethalops alecto. Kelompok keempat merupakan kelompok yang dapat ditemukan pada habitat primer dan ketinggian tempat yang rendah. Kelompok ini terdiri dari Megaerops kusnotoi jantan, Megaerops kusnotoi betina dan Cynopterus titthaecheilus jantan. Kelelawar dapat terbang sejauh km hanya untuk mencari pakan (Marshall 1983) bahkan dapat mencapai 100 km dari tempat bertengger dan tempat mencari makan tergantung pada ketersediaan makanan (Feldhamer et al. 1999). Hal ini menyebabkan diketemukannya kelelawar Cynopterus titthaecheilus jantan pada hutan yang berbeda dengan Cynopterus titthaecheilus betina. Cynopterus titthaecheilus jantan ditemukan pada hutan primer dataran rendah sedangkan Cynopterus titthaecheilus betina ditemukan pada hutan sekunder dataran rendah. Luasnya daerah untuk mencari pakan dan besarnya komposisi makanan dipengaruhi oleh musim berbunga dan berbuahnya tanaman (Lim 1966). 44

45 Pada Cynopterus titthaecheilus jantan dipengaruhi oleh tumbuhan Adenanthera sp dan Acacia sp. Pada Megaerops kusnotoi jantan tumbuhan yang mempengaruhi adalah Dendrocalamus sp dan Euphorbia sp, sedangkan pada individu betina dipengaruhi oleh tumbuhan paku genus a, Helixanthera sp, Pileanthus sp, Bombax sp, Trewia sp, Anacardium sp, Tarenna sp, Coccinia sp, Cyperus sp, Tilia sp, Cassia sp, Grewia sp, Justicia sp, Cardiospermum sp. Meskipun keduanya dipengaruhi oleh tumbuhan yang berbeda namun keduanya memiliki kesamaan pada pemilihan ketinggian tempat dataran rendah sebagai area mencari makan. Kombinasi kedua adalah faktor pertama yang mencirikan tipe habitat (hutsn primer dan sekunder) dan faktor ketiga yang mencirikan tipe bunga yang didatangi oleh kelelawar. Berdasarkan 21 jenis tumgbuhan sumber pakan yang teridentifikasi dapat dikelompokkon ke dalam delapan tipe bunga. Kelompok tipe bunga tersebut adalah tabung, lonceng, cawan, corong, bulir majemuk, mangkuk, kantong spora yang membulat dan simetri labiatus (berbibir). Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tipe bunga terhadap jenis kelelawar Cynopterus brachyotis, Cynopterus titthaecheilus dan Macroglossus sobrinus tidak menunjukkan hasil yang nyata (χ 2 hitung< χ 2 tabel). Hal ini mengindikasikan bahwa pada tiga jenis kelelawar tersebut tidak dipengaruhi secara nyata oleh tipe bunga. Pada ketiga jenis kelelawar tersebut terdapat delapan tipe bunga yang mempengaruhi. Berbeda dengan uji khi-kuadrat tipe bunga terhadap jenis kelelawar Chironax melanocephalus, Aethalops alecto dan megaerops kusnotoi yang menunjukkan hasil yang nyata (χ 2 hitung > χ 2 tabel). Ketiga jenis kelelawar ini hanya tipe bunga tertentu saja yang mempengaruhi, hal ini ditunjukkan dengan lima tipe bunga yang ditemukan dalam saluran pencernaan kelelawar. Nilai uji khi-kuadrat pada jenis kelelawar disajikan lebih lengkap pada Lampiran 10. Tipe bunga dan tipe habitat yang mempengaruhi kelelawar menyebabkan terbentuknya empat kelompok (Gambar 6). Penggunaan faktor pertama dan ketiga menjelaskan jumlah ragam sebesar 53,39%. Nilai total ragam disajikan lebih lengkap pada Lampiran 8. Kelompok pertama merupakan kelompok yang menempati habitat sekunder dan tidak dipengaruhi nyata oleh tipe bunga. Anggota kelompok ini terdiri dari Cynopterus titthaecheilus betina dan Macroglossus sobrinus jantan. Pada kelelawar 45

46 Macroglossus sobrinus betina bentuk tipe bunga yang mempengaruhi adalah tipe bunga berbentuk bulir majemuk, mangkuk, lonceng, tabung, simetri labiatus dan kantong spora yang membulat. Sedangkan pada Cynopterus titthaecheilus betina tipe bunga yang ditemukan adalah tipe cawan dan corong. Kelompok kedua merupakan kelompok yang dipengaruhi oleh tipe habitat sekunder dan tidak dipengaruhi secara nyata oleh tipe bunga. Kelompok ini terdiri dari Macroglossus sobrinus jantan, Cynopterus brachyotis betina dan Cynopterus brachyotis jantan. Pada kelelawar Macroglossus sobrinus jantan tipe bunga yang mempengaruhi adalah bulir majemuk, mangkuk, lonceng, tabung, simetri labiatus dan kantong spora yang membulat. Pada kelelawar Cynopterus brachyotis betina merupakan jenis kelelawar yang ditemukan pada habitat sekunder, jenis tipe bunga yang mempengaruhinya adalah tipe bunga berbentuk corong dan cawan. Pada kelelawar Cynopterus brachyotis jantan merupakan kelelawar yang ditemukan pada tipe habitat sekunder, tipe bunga yang mempengaruhi jenis ini adalah bunga bulir majemuk, mangkuk, lonceng, tabung, simetri labiatus dan kantong spora yang membulat. Kelompok ketiga adalah kelompok yang terdiri dari jenis Aethalops alecto jantan, Aethalops alecto betina, Chironax melanocephalus jantan dan Cynopterus titthaecheilus jantan. Ketiga jenis ini terdapat pada hutan primer dan dipengaruhi secara nyata oleh tipe bunga. Bentuk tipe bunga yang mempengaruhi ketiganya berbeda. Pada jenis Cynopterus titthaecheilus jantan dan Aethalops alecto betina, dipengaruhi oleh tipe bunga bulir majemuk dan cawan, sedangkan pada jenis Aethalops alecto jantan dipengaruhi oleh tipe bunga cawan dan corong. Pada jenis kelelawar Chironax melanocephalus jantan tipe bunga yang mempengaruhi adalah bulir majemuk, mangkuk, lonceng, tabung, simetri labiatus dan kantong spora yang membulat. 46

47 Keterangan : CB_M=Cynopterus brachyotis jantan, CB_F= Cynopterus brachyotis betina, CT_M= Cynopterus titthaecheilus jantan, CT_F= Cynopterus titthaecheilus betina, MS_M=Macroglossus sobrinus jantan, MS_F= Macroglossus sobrinus betina, CM_M= Chironax melanocephalus jantan, CM_F=Chironax melanocephalus betina, AA_M=Aethalops alecto jantan, AA_F=Aethalops alecto betina, MK_M=Megaerops kusnotoi jantan, MK_F=Megaerops kusnotoi betina Gambar 6. Grafik analisis komponen utama pengelompokan jenis kelelawar berdasarkan tipe habitat dan tipe bunga. Kelompok keempat adalah kelompok yang berada pada hutan primer dan dipengaruhi secara nyata oleh tipe bunga. Kelompok ini terdiri dari Chironax melanocephalus betina, Megaerops kusnotoi jantan dan Megaerops kusnotoi betina. Chironax melanocephalus betina dan Megaerops kusnotoi jantan dipengaruhi oleh tipe bunga bulir majemuk dan cawan, sedangkan pada Megaerops kusnotoi betina dipengaruhi oleh tipe bunga bulir majemuk, mangkuk, lonceng, tabung, simetri labiatus dan kantong spora yang membulat. C. Kesamaan Jenis Kelelawar Berdasarkan Jenis Tumbuhan yang Teridentifikasi Hasil analisis clustering dengan menggunakan euclidean distance terhadap masing- 47

48 masing jenis kelelawar terhadap jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar menghasilkan dendrogram. Dendrogram yang dihasilkan menggambarkan ketidaksamaan jenis kelelawar berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar tertera pada Gambar 7. Berdasarkan dendrogram pada Gambar 7 telah terjadi pengelompokkan jenis kelelawar berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaannya menjadi 2 kelompok pada tingkat kesamaan 14% (Lampiran 11). Kelompok pertama adalah kelompok yang terdiri dari Chironax melanocephalus, Aethalops alecto dan Megaerops kusnotoi. Sedangkan pada kelompok kedua terdiri dari Cynopterus titthaecheilus, Cynopterus brachyotis dan Macroglossus sobrinus Chironax melanocephalus dan Aethalops alecto membentuk asosiasi dengan tingkat kesamaan 63%. Kedua jenis ini memiliki tingkat kesamaan yang tertinggi, kesamaan tersebut disebabkan pada keduanya ditemukan tumbuhan yang sama. Tumbuhan yang ditemukan adalah Euphorbia sp dan Cardiospermum sp. Kedua jenis tersebut kemudian berasosiasi dengan Megaerops kusnotoi pada tingkat kesamaan 52%. Tumbuhan yang menjadi penciri kesamaan tersebut adalah Euphorbia sp dan Cardiospermum sp. Asosiasi ketiga jenis kelelawar ini membentuk kelompok I yang dicirikan oleh tumbuhan Euphorbia sp dan Cardiospermum sp. Cynopterus brachyotis dan Macroglossus sobrinus membentuk asosiasi dengan tingkat kesamaan 49%. Kedua jenis tersebut memiliki kesamaan tumbuhan sumber pakan, yaitu Anacardium sp, Bombax sp, Coccinia sp, Cyperus sp, Trewia sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Dendropthoe sp, Helixanthera sp, Pileanthus sp, Paku genus a, Tarenna sp, Morinda sp, Cardiospermum sp. Tingkat kesamaan yang rendah meskipun banyak tumbuhan yang sama disebakan pada Macroglossus sobrinus juga ditemukan jenis Adenanthera sp, Acasia sp, Cassia sp, Grewia sp, Tilia sp yang tidak ditemukan pada Cynopterus brachyotis. Selain itu pada Cynopterus brachyotis ditemukan jenis tumbuhan Justicia sp yang tidak ditemukan pada Macroglossus sobrinus. Banyaknya jumlah sumber pakan yang sama pada keduanya menunjukkan keduanya mengkonsumsi lebih banyak polen tumbuhan dari jenis kelelawar lainnya. Cynopterus titthaecheilus kemudian berasosiasi dengan kedua jenis kelelawar tersebut pada tingkat kesamaan 31%. Tumbuhan yang menjadi penciri pada 48

49 kesamaan tersebut adalah Anacardium sp, Cyperus sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Helixanthera sp, Paku genus a, Tarenna sp, dan Cardiospermum sp. Ketiga jenis kelelawar tersebut membentuk kelompok kedua dengan tumbuhan penciri Anacardium sp, Cyperus sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Helixanthera sp, Paku genus a, Tarenna sp, dan Cardiospermum sp. Kedua kelompok besar yang telah terbentuk tersebut kemudian berasosiasi dengan tingkat kesamaan 14%. Kesamaan ini dicirikan dengan ditemukannya tumbuhan Euphorbia sp dan Cardiospermum sp. Koefisien Keterangan: CB=Cynopterus brachyotis, CT=Cynopterus titthaecheilus, MS= Macroglossus sobrinus, CM=Chironax melanocephalus, AA=Aethalops alecto, MK= Megaerops kusnotoi. Gambar 7. Dendrogram ketidaksamaan jenis kelelawar berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan. Hasil analisis clustering dengan menggunakan euclidean distance terhadap masing-masing jenis kelelawar jantan dan betina terhadap jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar menghasilkan dendrogram. Dendrogram tersebut menggambarkan besarnya ketidaksamaan jenis kelelawar jantan dan betina berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan kelelawar tertera pada Gambar 8. Berdasarkan dendrogram pada Gambar 8 terlihat telah terjadi pengelompokkan kelelawar jantan dan betina berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan menjadi 3 kelompok. Ketiga kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan sebesar 16,38% (Lampiran 12). 49

50 Kelompok pertama teridiri dari Cynopterus brachyotis jantan, Cynopterus brachyotis betina, Cynopterus titthaecheilus betina, Macroglossus sobrinus jantan dan Macroglossus sobrinus betina. Kelompok kedua terdiri dari Chironax melanocephalus jantan, Chironax melanocephalus betina, Aethalops Alecto jantan, Aethalops Alecto betina, Megaerops kusnotoi jantan dan Megaerops kusnotoi betina. Kelompok ketiga hanya terdiri dari Cynopterus titthaecheilus jantan. Pada kelompok pertama terjadi asosiasi antara Chironax melanocephalus betina dan Aethalops alecto betina pada tingkat kesamaan 74,10%. Pada kedua jenis kelelawar ini terdapat jenis tumbuhan yang sama yaitu Cardiospermum sp. Kedua jenis kelelawar tersebut berasosiasi dengan jenis Chironax melanocephalus jantan pada tingkat kesamaan 61,78%. Kesamaan dengan Chironax melanocephalus jantan adalah dengan ditemukannya tumbuhan penciri yaitu Euphorbia sp, menurunnya tingkat kesamaan disebabkan pada Chironax melanocephalus tidak ditemukan tumbuhan Cardiospermum sp. Athalops alecto jantan berasosiasi dengan ketiga jenis kelelawar tersebut pada tingkat kesamaan 58,75%. Keempat jenis kelelawar ini terdapat tumbuhan penciri yang sama yaitu Cardiospermum sp, namun pada Athalops alecto jantan terdapat pula jenis tumbuhan Euphorbia sp dan Dendrocalamus sp. Megaerops kusnotoi betina memiliki jenis tumbuhan Euphorbia sp, Dendrocalamus sp dan Adenanthera sp kemudian berasosiasi dengan sub kelompok pertama membentuk sub kelompok kedua pada tingkat kesamaan 47,79%. Pada kedua sub kelompok ini terdapat jenis tumbuhan yang sama yaitu Euphorbia sp. Pada Megaerops kusnotoi jantan selain terdapat Euphorbia sp dan Cardiospermum sp terdapat pula jenis lain yaitu Dendrocalamus sp dan Cyperus sp. Megaerops kusnotoi jantan kemudian berasosiasi dengan sub kelompok kedua membentuk kelompok I pada tingkat kesamaan 43,75%. 50

51 a b c II d e f e I III Koefisien Keterangan : CB_M=Cynopterus brachyotis jantan, CB_F= Cynopterus brachyotis betina, CT_M= Cynopterus titthaecheilus jantan, CT_F= Cynopterus titthaecheilus betina, MS_M=Macroglossus sobrinus jantan, MS_F= Macroglossus sobrinus betina, CM_M= Chironax melanocephalus jantan, CM_F=Chironax melanocephalus betina, AA_M=Aethalops alecto jantan, AA_F=Aethalops alecto betina, MK_M=Megaerops kusnotoi jantan, MK_F=Megaerops kusnotoi betina, a=sub kelompok pertama (II), b=sub kelompok kedua (II), c=sub kelompok ketiga (II), d=sub kelompok pertama (I), f=sub kelompok kedua (I), g=sub kelompok ketiga (I), h=sub kelompok keempat. Gambar 8. Dendrogram ketidaksamaan jenis kelelawar jantan dan betina berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di dalam saluran pencernaan. Cynopterus brachyotis jantan dan Macroglossus sobrinus betina berasosiasi pada tingkat kesamaan 59,95%. Pada keduanya terdapat jenis tumbuhan yang sama yaitu Anacardium sp, Bombax sp, Cyperus sp, Trewia sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Dendropthoe sp, Helixanthera sp, Pileanthus sp, Paku genus a, Morinda sp, Cardiospermum sp. Macroglossus sobrinus jantan berasosiasi dengan kedua kelelawar tersebut membentuk sub kelompok pertama dari kelompok II pada tingkat kesamaan 50,32%. Jenis tumbuhan penciri pada sub kelompok pertama adalah Cardiospermum sp. Sub kelompok pertama berasosiasi dengan Cynopterus brachyotis betina berasosiasi membentuk sub kelompok kedua pada tingkat kesamaan 43,87%. Tumbuhan penciri pada sub kelompok kedua adalah Anacardium sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, 51

52 Dendropthoe sp, Helixanthera sp, Paku genus a dan Cardiospermum sp. Cynopterus titthaecheilus betina berasosiasi dengan sub kelompok kedua membentuk kelompok II pada tingkat kesamaan 38,98%. Kelompok II dicirikan dengan terdapatnya jenis tumbuhan Anacardium sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Helixanthera sp, Paku genus a, Cardiospermum sp. Kelompok I yang dicirikan terdapatnya jenis tumbuhan Euphorbia sp dan Cardiospermum sp dan kelompok II yang dicirikan terdapatnya jenis tumbuhan Anacardium sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Helixanthera sp, Paku genus a, Cardiospermum sp berasosiasi pada tingkat kesamaan 22,34%. Kelompok III adalah Cynopterus titthaecheilus jantan yang memiliki Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Cardiospermum sp. Kelompok I dan II kemudian berasosiasi dengan kelompok III pada tingkat kesamaan 16,38% yang dicirikan oleh tumbuhan Euphorbia sp dan Cardiospermum sp. D. Niche Overlap Persaingan secara umum dapat didefinisikan sebagai penggunaan sumberdaya yang terbatas oleh dua spesies atau lebih (Tarumingkeng 1994). Penggunaan sumberdaya yang sama oleh dua spesies yang berbeda dapat menyebabkan kedua spesies tersebut memiliki relung yang sama (Niche overlap). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan jenis tumbuhan yang sama pada jenis kelelawar yang berbeda. Besarnya nilai niche overlap pada setiap spesies berbeda tergantung banyaknya kesamaan sumberdaya yang digunakan oleh keduanya (Gambar 9). Kelelawar jenis Cynopterus brachyotis memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Macroglossus sobrinus (0,881) dan terhadap Cynopterus titthaechelius (0,759). Besarnya nilai niche overlap yang terjadi menunjukkan Cynopterus brachyotis dan Macroglossus sobrinus menggunakan tanaman sumber pakan yang sama sehingga mengakibatkan terjadinya overlap. Nilai niche overlap Cynopterus brachyotis terhadap Cynopterus titthaechelius menunjukkan penggunaan sumber pakan yang overlap diantara keduanya. Nilai niche overlap yang mendekati angka 1 pada Cynopterus brachyotis terhadap Macroglossus sobrinus (0,881) dan Cynopterus titthaechelius 52

53 (0,759) menunjukkan terjadinya overlap yang cukup besar MK AA CM MS CT Cynopterus brachyotis Cynopterus tittheacheilus Macroglossus sobrinus Chironax melanocephalus Aethalops alecto Nama Jenis Keterangan: CB= Cynopterus brachyotis, CT= Cynopterus tittheacheilus, MS= Macroglossus sobrinus, CM= Chironax melanocephalus, AA= Aethalops alecto, MK= Megaerops kusnotoi Gambar 9. Grafik nilai niche overlap pada tiap jenis kelelawar Kelelawar Cynopterus titthaechelius memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Macroglossus sobrinus dengan nilai sebesar 0,744, keduanya menggunakan sumber pakan yang sama dan proporsi Cynopterus titthaechelius lebih besar dari Macroglossus sobrinus. Kelelawar Macroglossus sobrinus memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Cynopterus brachyotis (0.881). Nilai tersebut menunjukkan bahwa Macroglossus sobrinus menggunakan sumber pakan yang sama terhadap Cynopterus brachyotis. Kelelawar Aethalop alecto memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Cynopterus brachyotis. Pada kelelawar Chironax melanochephalus memiliki nilai niche overlap 0,71 terhadap Megaerops kusnotoi. Nilai niche overlap yang hampir mendekati 1 menunjukkan bahwa telah terjadi tumpang tindih dalam penggunaan relung ekologi pada setiap kelelawar terutama pada sumber pakan. Menurut Moen (1973) sumberdaya yang digunakan secara bersama oleh 53

54 dua spesies yang berbeda dan menyebabkan terjadinya overlap dapat berupa makanan, air, sinar matahari, pelindung, ruang atau tempat bersarang. Nilai niche overlap yang mendekati 0 menunjukkan bahwa overlap yang terjadi tidak besar. Kelelawar Macroglossus sobrinus memiliki nilai overlap terkecil terhadap Chironax melanochepallus yaitu sebesar 0, 288. Penggunaan sumber pakan yang sama dan terbatasnya ketersediaan sumber pakan dapat menyebabkan terjadinya persaingan. Tingkat persaingan tergantung pada seberapa besar overlap pada penggunaan sumberdaya, serta adaptasi untuk memperkecil terjadinya kompetisi. Persaingan yang terjadi tidak hanya pada spesies yang berbeda tetapi juga dapat terjadi pada spesies yang sama. Persaingan pada satu spesies dapat terjadi antara individu jantan dan individu betina. Niche overlap terbesar antara individu jantan dan betina adalah Cynopterus bracyotis jantan terhadap Macroglossus sobrinus betina (0,903) dan Cynopterus bracyotis betina (0.877), sedangkan nilai terkecil terhadap Chironax melanocephallus betina (0,153). Kelelawar Cynopterus bracyotis betina memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Cynopterus brachyotis jantan (0.877) dan Macroglossus sobrinus betina (0,755). Tabel 2. Matrik nilai niche overlap pada individu jantan dan betina pada tiap jenis kelelawar CB_M CB_F CT_M CT_F MS_M MS_F CM_M CM_F AA_M AA_F MK_M MK_F CB_M 1 0,877 0,416 0,753 0,832 0,903 0,164 0,153 0,57 0,306 0,468 0,287 CB_F 1 0,557 0,691 0,697 0,755 0,241 0,221 0,705 0,368 0,539 0,376 CT_M 1 0,524 0,347 0,347 0,568 0,276 0,73 0,276 0,836 0,749 CT_F 1 0,762 0,726 0,233 0,396 0,544 0,326 0,586 0,481 MS_M 1 0,857 0,11 0,239 0,456 0,295 0,487 0,31 MS_F 1 0,166 0,114 0,46 0,335 0,494 0,248 CM_M 1 0 0, ,4 0,5 CM_F 1 0,286 0,5 0,333 0,4 AA_M 1 0,286 0,667 0,5 AA_F 1 0,333 0 MK_M 1 0,571 MK_F 1 Keterangan: CB= Cynopterus brachyotis, CT= Cynopterus tittheacheilus, MS= Macroglossus sobrinus, CM= Chironax melanocephalus, AA= Aethalops alecto, MK= Megaerops kusnotoi, M=Jantan, F= Betina. Nilai niche overlap terkecil pada Cynopterus bracyotis betina terhadap Chironax melanocephallus betina dengan nilai sebesar 0,221 (Tabel 3). Terjadinya overlap antara 54

55 Cynopterus brachyotis jantan dan Macroglossus sobrinus betina menunjukkan terjadinya penggunaan sumber pakan yang sama, hal ini ditandai dengan tingginya nilai niche overlap yang terjadi yaitu sebesar 0,903. Semakin besar nilai niche overlap yang terjadi (mendekati angka 1) menentukan tingginya tingkat persaingan intraspesies yang terjadi. Kelelawar Cynopterus titthaecelius jantan memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Macroglossus sobrinus betina(0,755) dan Megaerops kusnotoi betina (0,749). Pada Cynopterus titthaecelius betina nilai niche overlap terbesar terhadap Macroglossus sobrinus jantan (0,762). Pada kelelawar Macroglossus sobrinus jantan memiliki nilai niche overlap tertinggi adalah terhadap Macroglossus sobrinus betina dengan nilai sebesar 0,857 dan terkecil terhadap Chironax melanocephalus jantan dengan nilai sebesar 0,11. Pada Macroglossus sobrinus betina memiliki nilai niche overlap tertinggi terhadap Cynopteus brachyotis jantan dengan nilai sebesar 0,903 dan nilai niche overlap terkecil terhadap Cironax melanocephallus betina dengan nilai sebesar 0,114. Nilai niche overlap yang kecil menunjukkan diantara kedua spesies tersebut menggunakan sumber pakan yang sama dalam jumlah sangat sedikit. Kelelawar Cironax melanocephallus jantan memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Cynopterus titthaecheilus jantan dengan nilai sebesar 0,568. Pada kelelawar Cironax melanocephallus jantan dengan kelelawar Cironax melanocephalus betina dan Aethalops alecto betina tidak terjadi overlap. Tidak terjadinya overlap ditandai dengan nilai niche overlap sama dengan 0, sehingga antara ketiganya tidak terdapat sumber pakan yang digunakan secara bersama. Berbeda dengan Cironax melanocephalus jantan, Cironax melanocephalus betina memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Aethalops alecto betina dengan nilai sebesar 0,5 dan nilai niche overlap terkecil terhadap Macroglossus sobrinus betina dengan nilai sebesar 0,114. Nilai niche overlap terbesar yang dimiliki oleh Aethalops alecto jantan terhadap Cynopterus titthaecheilus jantan dengan nilai sebesar 0,73, pada Aethalops alecto betina memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap Chironax melanocephalus betina dengan nilai sebesar 0,5. Kelelawar Aethalops alecto betina tidak memiliki niche overlap terhadap Megaerops kusnotoi betina karena nilai niche overlap yang dimiliki adalah 0. Kelelawar Megaerops kusnotoi jantan memiliki nilai niche overlap terbesar terhadap 55

56 Cynopterus titthaecheilus jantan dengan nilai sebesar 0,836. E. Kondisi Vegetasi 1. Kerapatan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai khususnya pada bagian timur (jalur linggarjati) merupakan taman nasional yang memiliki habitat primer yang terfragmentasi akibat adanya ganguan seperti penebanngan liar dan dibeberapa tempat jumpai bekas terbakar. Hutan yang terfragmentasi ditandai oleh adanya pepohonan jenis-jenis hutan sekunder di antara tumbuhan hutan primer. Vegetasi yang menjadi penciri terfragmentasinya hutan adalah suku Moraceae dan Euphorbiaceae (Riyanto et al. 2007). Kerapatan relatif vegetasi pada tingkat pancang yang terbesar di daerah hutan primer pegunungan bawah dengan ketinggian mdpl adalah jenis nangsi (Villebrunea rubescens) sebesar 17,06% dan beunying (Ficus fistulosa) sebesar 11,18%. Pada tingkat tiang kerapatan relatif tertinggi adalah nangsi (Villebrunea rubescens) sebesar 27,60% dan pada tingkat pohon kerapatan relatif tertinggi adalah saninten (Castanopsis javanica) 15,55%. Saninten (Castanopsis javanica) merupakan salah satu vegetasi penciri hutan primer (Riyanto et al. 2007). Pada hutan dataran rendah yang berada pada ketinggian mdpl kerapatan relatif vegetasi pada tingkat pancang terbesar adalah kacu 12,14% dan pada tingkat tiang adalah kacu sebesar 13,58% dan pada tingkat pohon kerapatan relatif terbesar adalah huru lansep sebesar 13,48%. 2. Dominansi Pada hutan primer hutan pegunungan bawah didominasi oleh tumbuhan nangsi (Villebrunea rubescens) pada tingkat pancang dengan INP sebesar 32,34%. Pada tingkat tiang tumbuhan yang mendominasi adalah nangsi (Villebrunea rubescens) dengan INP sebesar 80,80%. Pada tingkat pohon tumbuhan yang mendominasi adalah saninten (Castanopsis javanica) 43,07%. Pada hutan primer dataran rendah pada tingkat pancang didominasi oleh tumbuhan kacu dengan INP sebesar 23,25%. Pada tingkat tiang tumbuhan yang mendominasi adalah kacu dengan INP sebesar 29,57%. Pada tingkat 56

57 pohon tumbuhan yang mendominasi adalah huru lansep dengan INP sebesar 26,70%. 3. Potensi Jenis Sumber Pakan Potensi tumbuhan yang menjadi sumber pakan kelelawar merupakan tumbuhan yang berbunga dan berbiji, hal ini sesuai dengan peran kelelawar sebagai penyerbuk dan penyebar biji tumbuhan. Berdasarkan hasil analisi polen yang dilakukan hanya sedikit sekali tumbuhan yang terdapat di dalam kawasan teridentifikasi pada saluran pencernaan kelelawar. Sebagian besar tumbuhan yang teridentifikasi adalah tumbuhan yang berada di luar kawasan, hal ini dapat disebabkan karena pada saat penelitian pepohonan sedang tidak berbunga. Karena vegetasi di dalam kawasan tidak berbunga maka kelelawar terbang keluar kawasan mencari sumber pakan lainnya yang jaraknya dapat puluhan kilometer dari tempat bertengger. Area untuk mencari pakan dan komposisi pakannya sangat dipengaruhi oleh musim berbunga dan berbuahnya pohon sumber pakan. Suatu kawasan hutan dapat berfungsi menjadi habitat suatu satwaliar apabila dapat berfungsi sebagai tempat berlindung dan mencari makan. Pada kawasan TNGC yang memiliki karakteristik pepohonan besar dan berlubang pada batangnya merupakan tempat bersarang bagi kelelawar. Untuk menjaga agar populasi kelelawar tetap lestari dibutuhkan pengelolaan dan pengawasan yang baik agar habitat kelelawar tidak rusak. 57

58 KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Jenis-jenis kelelawar pemakan buah yang ditemukan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai adalah Cynopterus brachyotis, Cynopterus titthaecheilus, Macroglossus sobrinus, Chironax melanocephalus, Megaerops kusnotoi, Aethalops alecto, Cynopterus horsfieldi dan Rousettus leschenaulti. 2. Suku tumbuhan sumber pakan kelelawar sebanyak 14 suku tumbuhan yakni Acanthaceae, Anacardiaceae, Bombacaceae, Cucurbitaceae, Cyperaceae, Euphorbiaceae, Fabaceae, Graminae, Loranthaceae, Myrtaceae, Paku-pakuan, Rubiaceae, Sapindaceae, Tiliaceae. Jenis tumbuhan sumber pakan sebanyak 21 jenis yaitu Justicia sp, Anacardium sp, Coccinia sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Dendrophthoe sp, Helixanthera sp, Pileantus sp, Paku genus a, Paku genus b, Tarenna sp, Morinda sp, Cardiospermum sp, Bombax sp, Cyperus sp, Acacia sp, Grewia sp, Tilia sp, Cassia sp, Coccinia sp, Adenanthera sp. 3. Kesamaan jenis kelelawar berdasarkan jenis tumbuhan sumber pakan memiliki tingkat kesamaan sebesar 63% dan 74,10% pada individu jantan dan betina. B. Saran 1. Perlu dilakukan pengelolaan habitat kelelawar terutama vegetasi yang menjadi tempat bertengger dan sebagai sumber pakan saat musim berbunga dan berbuah di dalam kawasan TNGC. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan kelelawar dan vegetasi sumber pakan pada saat musim tumbuhan berbunga dan berbuah. 58

59 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Apriandi J Keanekaragaman dan kekerabatan jenis kelelawar berdasarkan kondisi fisik mikroklimat tempat bertengger pada beberapa gua di kawasan gua Gudawang. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Constantine DG Bats in Relation to the Health, Welfare, and Economy of Man. In: A Suyanto Kelelawar di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Corbet GB and JE Hill The Mammals of the Indo-Malayan Region: A systematic review. Oxford: Oxford Univ. Pr. Dumont ER and O Reilly Food hardness and Feeding behavior in Old World fruit Bats (Pteropodidae). Journal of Mammalogy 85(1):8 14. Erdtman G An Introduction to pollen Analysis. USA: Chronica Botanica Company. Erdtman G Pollen Morphology and Plant Taxonomy-Angiosperms. An introduction to the study pollen grains and spores. Copenhagen: Munksgard. Feldhamer GA, CD Lee, HV Stephe and FM Joseph Mammalogy: Adaption, diversity, and ecology. New York: McGraw Hill. Fleming TH and ER Heithaus Frugivorous bats, seed shadows, and the structure of tropical forests. Biotropica 13: Grzimerk B Animal Life Encyclopedia, volume 13. Mammals. Van Nostrand Reinhold Company. New York Cincinnati Toronto London Melboure. Ingle NR Seed Dispersal by Wind, Birds, and Bats Philippine Montane Rainforest and Successional Vegetation. Oecologia 134: Irawati Pengelompokan kelelawar buah suku Pteropodidae dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah berdasarkan identifikasi serbuk sari tumbuhan yang termakan. Skripsi Sarjana Program Studi Biologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Jakarta. Kingston T, BL Lim and A Zubaid Bats of Krau Wildlife Reserve. Malaysia: 59

60 Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Koopman KF Order Chiroptera. Pp: In: GA Feldhamer, CD Lee, HV Stephe and FM Joseph Mammalogy: Adaption, diversity, and ecology. New York: Mc Graw Hill. Lim BL Food Habits and Breeding Cycle of the Malayasian Fruit-eating Bat, Cynopterus brachyotis. Journal of Mammalogy 51: Ludwig JA and JF Reynnolds Statistical Ecology: A primer on methods and computing. NewYork: Wiley. Marshall AG Bats, flowers and foods: evolutionary relationships in the Old World. Biol. J. Linn. Soc. 20: Medway L The Wild Mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and Singapore. Oxford: Oxford Univ. Pr. Moen AN Wildlife Ecology. San Francisco: W.H. Freeman and Company. Nayar, TS Pollen Flora of Maharashtra State: India. New Delhi: Today and Tomorrow s. Nowak RM Walker s bats of the World. John Hopkins, University Press. Baltimore and London. In A Suyanto Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Bogor. Riyanto A, AN Woro, N Mas, M Ibnu, R Ike, Heryanto, Y Razali, A Saim, Anandang, Sunardi, M Wahyudin dan Sarino Kajian zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan sebaran satwa. Laporan perjalanan. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Biologi. Satyadharma A Conservation Bats. Apr 2007] Standbury P Looking at Mammals. Sydney: Angus and Robertson. Supranto J Statistik. Teori dan aplikasi. Jakarta: Erlangga. Suyanto A Kelelawar di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Tan KH, A Zubaid and TH Kunz Food habits of Cynopterus brachyotis (Muller) (Chiroptera: Pteropodidae) in Peninsular Malaysia. Journal of Tropical Ecology 60

61 (1998) 14: Tarumingkeng RC Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor. Tim Fakultas Kehutanan IPB Studi kualitas nektar dan pollen beberapa pohon buah-buahan di Bogor. Laporan Kemajuan. Bogor: Lembaga Penelitian IPB. Vaughan TA Mammalogy. Third Edition. Flagstaff, Arizona: Northern Arizona University. Yulianto E Preparasi dan dasar determinasi palinologi. Laporan studi praktek Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral ITB. Bandung. 61

62 Lampiran 1. Jenis-jenis tumbuhan di kawasan TNGC Nama Lokal Spesies Famili Hurip cai Pteudoran themum Acanthaceae Kileho Saurauia sp Actinidiaceae Lame Alstonia sangustiluba Apocynaeae Kijago Macropanax dispermum Araliaceae Paku Cyathea sp Ceatheaceae Jamuju Podocarpus imbricatus Coniferaceae Binuang Tetrameles nudiflora Datiscaceae Huru kadu Elaeagnus latifolius Elaegnaceae Huru koneng Antidesma tetandrum Euphorbiaceae Kareumbi Omalanthus populneus Euphorbiaceae Kurai Mallotus paniculatus Euphorbiaceae Mara Macaranga rhicinoides Euphorbiaceae Mareme Glochidion rubrum Euphorbiaceae Wuni Antidesma sp Euphorbiaceae Pasang dadap Lithocarpus sundaicus Fagaceae Pasang Lithocarpus ewykcii Fagaceae Saninten Castanopsis javanica Fagaceae Picung Pangium edule Flacouraceae Hambirung Engelhardia servata Junglandaceae Kiteja Cinnamomum burmanii Lauraceae Huru madam Litsea sanguinolenta Lauraceae Huru nangka Persea rimosa Lauraceae Kipahit Litsea tomentosa Lauraceae Walen Ficus ribes Moraceae Calodas Ficus microcarpa Moraceae Kondang Ficus variegata Moraceae Beunying Ficus fistulosa Moraceae Hampelas Ficus ampelas Moraceae Benda Artocarpus elasticus Moraceae Pulus Ficus sp Moraceae Hamberang Ficus sp Moraceae Kacu Artocarpus sp Moraceae Huru kiamis Syzygium sp Myrtaceae Petag Syzygium densiflorum Myrtaceae Ipis kulit Decaspermum fruticosum Myrtaceae Kitamiang Prunus arborea Rosaceae Kimeong Timonius sp Rubiaceae Cangcaratan Psychotria sp Rubiaceae 62

63 Huru tangkil Psychotria viridiflora Rubiaceae Lampiran 1. Lanjutan Nama Lokal Spesies Famili Gempol Nauclea excelsa Rubiaceae Huru meuhmal Acronychia sp Rutaceae Kibeunter Debregeasia sp Urticaceae Nangsi Villebrunea rubescens Verbenaceae 63

64 Lampiran 2. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan pegunungan Nama jenis K(ind/ha) KR F FR INP Benying Binbin Huru Kapundung Huru koneng Huru langsep Huru mahmeul Huru saninten Huru madam Jamuju Kacu Kereumbi Kaung monyet Kibenter Kibonteng Kihiur Kimeri Kipahit Kisampang Kitales Kitambaga Kitamiang Kiteja Kurai Mareme Mehmal Nangsi Panggang Pasang Pasang dadap Pereng Rukam Ruyung Saninten Saung monyet Sawa mangung Walen Total

65 Lampiran 3. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan pegunungan Nama Jenis K KR F FR D DR INP Benda Benying Beunying Binbin Cangcaratan Gintung Huru kadoya Huru Kapundung Huru koneng Huru langsep Huru saninten Huru kiamis Huru madam Jamuju Kacu Kareumbi Kibenter Kibonteng Kijago Kileho Kimeri Kipadesa Kitales Kitambaga Kitamiang Kiteja Kurai lamek Mara Mareme Mehmal Nangsi Pasang Pasang dadap Ruyung Saninten Saung monyet Walen Total

66 Lampiran 4. Indeks nilai penting vegetasi pohon pancang di habitat hutan pegunungan Nama Jenis K KR F FR D DR INP Benda Beringin Calodas Cangcaratan Dadap Gintung Hamerang Hampelas Huru kibeunter Huru langsep Huru koneng Huru saninten Huru madam Huru meuhmal Kacu Kareumbi Kibonteng Kihiur Kijago Kileho Kimeong Kitales Kitambaga Kitamiang Kiteja Kondang Kurai Kurung/caryota Mara Mareme Nangsi Pangsor Pasang petag Pasang dadap Ruyung Saninten

67 Lampiran 4. Lanjutan Nama Jenis K KR F FR D DR INP Sawa manggung Walen Total

68 Lampiran 5. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan dataran rendah Nama jenis K KR F FR INP(%) Binbin Bisoro Buni Cangcaratan Daho Gempol Huru kapundung Huru kedoya Huru koneng Huru langsep Huru lansep Huru tangkil Huru mehmal Huru saninten Ipis kulit Kacu Kadoya Kame/pule Kaung monyet Kawoyang Ki afrika Kibonteng Kihiur Kijago Kitales Kitambaga Kitamiang Kitangkil Kiteja Kurai Lamek Mara Mareme Mehmal Nangsi Pandan Panggung Panggang

69 Pasang Lampiran 5. Lanjutan Nama jenis K KR F FR INP(%) Pasang dadap Petag hurang Pereng Saninten Sawamanggung Sengserehan Surian Walen Wuni Total

70 Lampiran 6. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan dataran rendah Nama jenis K KR F FR D DR INP Benda Binuang Bisoro Cangcaratan Hambirung Huru kapundung Huru kedoya Huru kembang Huru lansep Huru langsep Huru madam Gintung Ipis kulit Kacu Kadoya Kareumbi Kaung monyet Kibonteng Kibeunter Kihiur Kihurang Kisampang Kitales Kitambaga Kitamiang Kiteja Mara Mareme Mehmal Nangsi Panggang Panggung Pasang Pasang dadap Picung Sempur Songgokan

71 Total Lampiran 7. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan dataran rendah Nama jenis K KR F FR D DR INP Aren Benda Beringin Binuang Bisoro Calodas Cangcaratan Daho Dangder Gempol Gintung Honggokan Huru kadu Huru lansep Hambirung Huru kadoya Huru kapundung Huru kibeunter Huru langsep Huru madam Iplik Ipis kulit Kacu Kadoya Kame/pule Kawoyang Kihiur Kibonteng Kisampang Kitales Kitambaga Kitamiang Kondang Kondangsari Lamek Mara

72 Mareme Lampiran 7. Lanjutan Nama jenis K KR F FR D DR INP Nangka bubur Pangaor Pangsor Pasang Petag Petag hurang Picung Pasang dadap Sawamanggung Sempur Surian Total

73 Lampiran 8. Nilai total ragam Com pone nt Initial Eigenvalues(a) Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulativ e % Total % of Variance Cumulati ve % Raw Extraction Method: Principal Component Analysis. 73

74 74

75 Lampiran 9. Nilai komponen matrik Raw Rescaled Component Component Paku_genus_a Helixanthera Pileanthus Bombax Trewia Anacardium Tarenna Coccinia Cyperus Dendrophthoe paku_genus_b Morinda Tilia Cassia Grewia Dendrocalamus Euphorbia Adenanthera Acacia Justicia Cardiospermum Extraction Method: Principal Component Analysis. a 5 components extracted. 75

76 Lampiran 10. Nilai uji khi-kuadrat Test Statistics CB CT MS CM AA Chi-Square(a,b,c,d) df Asymp. Sig tabel 95% Keterangan: Keterangan: CB=Cynopterus brachyotis, CT=Cynopterus titthaecheilus, MS=Macroglossus sobrinus, CM=Chironax melanocephalus, AA=Aethalops alecto, MK=Megaerops kusnotoi 76

77 Lampiran 11. Matrik Euclidean distance total individu Euclidean Distance Case CB CT MS CM AA MK CB CT MS CM AA MK Keterangan: CB=Cynopterus brachyotis, CT=Cynopterus titthaecheilus, MS=Macroglossus sobrinus, CM=Chironax melanocephalus, AA=Aethalops alecto, MK=Megaerops kusnotoi Agglomeration Schedule Cluster Combined Stage Cluster First Appears Stage Cluster 1 Cluster 2 Coefficients Cluster 1 Cluster 2 Next Stage EJK Sn % Keterangan: Ejk= nilai indeks Euclidean distance yang telah diskala ulang, Sn=nilai kesamaan, %=persen kesamaan 77

78 78

79 Lampiran 12. Matrik nilai euclidean distance CB_M CB_F CT_M CT_F MS_M MS_F CM_M CM_F AA_M AA_F MK_M MK_F CB_M CB_F CT_M CT_F MS_M MS_F CM_M CM_F AA_M AA_F MK_M Keterangan: CB=Cynopterus brachyotis, CT=Cynopterus titthaecheilus, MS=Macroglossus sobrinus, CM=Chironax melanocephalus, AA=Aethalops alecto, MK=Megaerops kusnotoii, M=Jantan, F=Betina 79

80 Lampiran 13. Nilai agglomeration Schedule pada kelelawar individu jantan dan betina Agglomeration Schedule Stage Cluster Combined Cluster 1 Stage Cluster First Appears Cluster 2 Coefficients Cluster 1 Cluster 2 Next Stage Ejk Sn % Keterangan: Ejk= nilai indeks Euclidean distance yang telah diskala ulang, Sn=nilai kesamaan, %=persen kesamaan 80

81 Lampiran 14. Pollen jenis tumbuhan sumber pakan kelelawar No Gambar Suku Jenis Ukuran (µm) Bentuk 1. Acanthaceae Justicia sp 56,25:59,375 Oblate spheroidal 2. Anacardiaceae Anacardium sp 34,375:62,5 Oblate 3. Bombacaceae Bombax sp 62.5:67.5 Oblate spheroidal 4. Cucurbitaceae Coccinia sp 53,125:56,25 Oblate spheroidal 5. Cyperaceae Cyperus sp 40,625:46,875 Suboblate 6. Euphorbiacea e Trewia sp 56,25:59,375 Oblate spheroidal 7. Euphorbiacea e Euphorbia sp 56,125:62,5 Oblate spheroidal 8. Fabaceae Acasia sp 62,5:78,125 Suboblate 81

82 9. Fabaceae Adenanthera sp 93,75:118,75 Suboblate 10. Fabaceae Cassia sp 87,5:87,5 Oblate spheroidal 11. Graminae Dendrocalamus sp 46,875:62,5 Suboblate 12. Loranthaceae Dendrophthoe sp 37,5:43,75 Suboblate 13. Loranthaceae Helixanthera sp 53,125:65,625 Suboblate 14. Myrtaceae Pileanthus sp 53,125:62,5 Suboblate 15. Paku-pakuan Paku genus a :62.5 Oblate 16. Paku-pakuan Paku genus b :65.62 Oblate 17. Rubiaceae Tarenna sp 46,875:53,125 Oblate spheroidal 82

83 18. Rubiaceae Morinda sp 50:50 Oblate spheroidal 19. Sapindaceae Cardiospermum sp : Oblate spheroidal 20. Tiliaceae Grewia sp 56,25:62,5 Oblate spheroidal 21. Tiliaceae Tilia sp 46,875:68,75 Oblate 83

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kelelawar Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang dibedakan atas jenis pakannya. Ordo Chiroptera memiliki 18 famili, 188 genus, dan 970 spesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI GUNAWAN

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI GUNAWAN KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM PENELITIAN BAB III KONDISI UMUM PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas Secara geografis, Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) berada di kooordinat 108 20 BT - 108 40 BT dan 6 40 LS - 6 58 LS. Posisi geografis puncaknya terletak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian tentang tanda keberadaan tidak langsung kelelawar pemakan buah telah dilakukan pada bulan Desember 2014 - Maret 2015. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kupu-kupu merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia dan harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya.

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA BAB 1 CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA Tujuan Pembelajaran: 1) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri khusus hewan dengan lingkungannya; 2) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB

LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB The Exploration of Resources and Communities Interaction in Gunung Walat University Forest DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saninten (Castanopsis argentea Blume A.DC) Sifat Botani Pohon saninten memiliki tinggi hingga 35 40 m, kulit batang pohon berwarna hitam, kasar dan pecah-pecah dengan permukaan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN PEMILIHAN JENIS PAKAN OLEH KELELAWAR MEGACHIROPTERA DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KAB. SUKABUMI AMALIA CHOIRUNNISA

KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN PEMILIHAN JENIS PAKAN OLEH KELELAWAR MEGACHIROPTERA DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KAB. SUKABUMI AMALIA CHOIRUNNISA KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN PEMILIHAN JENIS PAKAN OLEH KELELAWAR MEGACHIROPTERA DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KAB. SUKABUMI AMALIA CHOIRUNNISA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

4 METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

4 METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 15 4 METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan (Mei Juni 2012) di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Lokasi studi secara administratif terletak di wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Desa Serang merupakan salah satu desa di Kecamatan Karangreja,

I. PENDAHULUAN. Desa Serang merupakan salah satu desa di Kecamatan Karangreja, I. PENDAHULUAN Desa Serang merupakan salah satu desa di Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Desa Serang terletak pada ketinggian 800-1200 dpl dan memiliki curah hujan bulanan mencapai

Lebih terperinci

Maryati 1), Agus Priyono Kartono 1) & Ibnu Maryanto 2)

Maryati 1), Agus Priyono Kartono 1) & Ibnu Maryanto 2) Jurnal Biologi Indonesia 4(5): 335-347 (2008) Kelelawar Pemakan Buah Sebagai Polinator yang Diidentifikasi Melalui Polen yang Digunakan Sebagai Sumber Pakannya di Kawasan Sektor Linggarjati, Taman Nasional

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage

Gambar 29. Cynopterus brachyotis sunda Lineage 69 Nama Spesies : Cynopterus brachyotis sunda lineage Nama Lokal : Codot Nama Inggris : Lesser Short-nosed Fruit Bat Deskripsi : Panjang lengan = 55-65 mm, Panjang ekor =8-10 mm, panjang telinga= 14-16

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci