STUDI PROVENANCE DAN GRANULOMETRI PADA SINGKAPAN BATUPASIR FORMASI BALIKPAPAN PADA DAERAH PALARAN DAN SANGA-SANGA CEKUNGAN KUTAI, KALIMANTAN TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PROVENANCE DAN GRANULOMETRI PADA SINGKAPAN BATUPASIR FORMASI BALIKPAPAN PADA DAERAH PALARAN DAN SANGA-SANGA CEKUNGAN KUTAI, KALIMANTAN TIMUR"

Transkripsi

1 STUDI PROVENANCE DAN GRANULOMETRI PADA SINGKAPAN BATUPASIR FORMASI BALIKPAPAN PADA DAERAH PALARAN DAN SANGA-SANGA CEKUNGAN KUTAI, KALIMANTAN TIMUR Muhammad Rizki Sudirman *, Rahmadi Hidayat Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl.Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia Tel *corresponding author : Rizkisudirman@gmail.com ABSTRAK Batupasir Formasi Balikpapan yang berumur Miosen Tengah merupakan salah satu elemen penting dalam kaitannya dengan reservoar minyak bumi pada Cekungan Kutai. Dengan tipe lingkungan pengendapan fluvio-deltaik yang memungkinkan perbedaan batuan asal dan mekanisme sedimentasi secara lokal, studi provenance dan granulometri menjadi sangat penting untuk dilakukan, termasuk pada singkapan di daerah Palaran dan Sanga-Sanga, Kutai Kertanegara sebagai area penelitian ini. Analisis petrografi serta granulometri secara grafis dan matematis dilakukan pada sampel perconto batuan. Pengamatan petrografi menunjukkan kategori arenite dengan komposisi kuarsa monokristalin (64,99% - 92,54%), kuarsa polikristalin (0,21% - 2,40%), litik sedimen (4,44%-34,24%), dan feldspar (0,17-0,55%). Analisis granulometri memperlihatkan mean ukuran butir antara pasir kasar-halus (0,74 2,54 phi untuk metode matematis; 0,75-2,50 untuk metode grafis). Nilai skewness berada pada interval very fine skewed very coarse skewed ([-0,61] 1,07 untuk metode matematis; [-0,53] - 0,77 untuk metode grafis). Nilai kurtosis berkisar 1,24-10 untuk metode matematis dan 0,49-2,23 untuk metode grafis. Analisis morfologi butir dari data sampel menunjukkan interval subangularsubrounded dan subequent-very equent. Berdasarkan hasil analisis, daerah penelitian berada pada sistem tektonik orogen terdaurkan (recycled orogen) dengan batuan asal dari formasi yang lebih tua (diperkirakan dari Kiham Haloq) serta mekanisme sedimentasi yang didominasi proses rollingsaltasi-suspensi. I. PENDAHULUAN Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Salah satu formasi yang terbukti menjadi reservoar adalah Formasi Balikpapan. Supriatna dkk (1995) menjelaskan bahwa Formasi Balikpapan tersusun atas perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir kuarsa berwarna putih kekuning-kuningan, tebal lapisan berkisar antara 1 3 m dan disisipi lapisan batubara tebal 5 10 cm dengan tipe lingkungan fluvio-delta. Lokasi penelitian berada di daerah Palaran dan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur (Gambar 1) yang secara geologi termasuk ke dalam Formasi Balikpapan (Supriatna dkk, 1995). Penelitian ini menjelaskan tentang studi provenance dan granulometri pada singkapan 727 II. Formasi Balikpapan di daerah Palaran dan Sanga-Sanga. Hal tersebut diharapkan dapat menjelaskan tentang tipe batuan sumber dari formasi tersebut dan juga mekanisme sedimentasi lokal di daerah penelitian. KONDISI GEOLOGI REGIONAL Menurut Allen dan Chambers (1998) Cekungan Kutai berada pada batas Sundaland yang menunjukkan suatu aktivitas pemekaran pada bagian Tenggara benua Eurasia. Beberapa patahan besar yang terhubung di bagian Utara Cekungan Kutai adalah kelurusan Bengalon dan sesar Sangkulirang. Pada bagian Selatan berkembang sesar Adang. Sesar-sesar regional tersebut terbentuk sabagai implikasi dari penurunan ke arah zona engsel cekungan pada saat Oligosen Akhir hingga saat ini (Allen dan Chambers, 1998). Pada bagian Barat cekungan dibatasi oleh sedimen Paleogen yang terangkat dan terdeformasi kuat serta metasedimen kapur yang berada pada Central Kalimantan Ranges.

2 Evolusi Cekungan Kutai menurut Moss dan Chambers (1999) diawali dengan proses pemekaran cekungan (syn-rift) yang terjadi semenjak Eosen Tengah akibat pemekaran Selat Makasar. Pada Eosen Akhir - Oligosen Akhir pemekaran terus berlangsung dan menyebebakan penurunan dasar cekungan secara regional. Beberapa daerah tinggian yang terisolasi dan pada bagian batas cekungan, akumulasi karbonat mulai berkembang, tetapi pada bagian dalam cekungan yang berkembang adalah serpih laut. Pada Oligosen Akhir - Miosen Awal terjadi pengangkatan secara regional, kemudian cekungan mengalami regresi secara keseluruhan yang ditandai dengan proses progradasi dari sungai proto-mahakam dan berasosiasi dengan sedimen delta. Pada Miosen Tengah hingga Pliosen, prgoradasi delta terus berlanjut ke arah Timur disertai dengan proses pembalikan cekungan. Formasi Balikpapan berumur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir bagian bawah (Gambar 2). Tersusun oleh perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir kuarsa berwarna putih kekuning-kuningan, tebal lapisan berkisar antara 1 3 m dan disisipi lapisan batubara dengan ketebalan 5 10 cm. Tebal formasi sekitar meter. Formasi ini memiliki hubungan stratigrafi menjari dengan Formasi Pulau Balang (Supriatna dkk, 1995). Menurut Wain dan Berod (1989) Formasi Balikpapan juga tersingkap di Cekungan Kutai Atas yang termasuk ke dalam grup Balikpapan dan terendapkan selaras di atas Formasi Warukin. III. SAMPEL DAN METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah analisis laboratorium pada conto batupasir berukuran setangan yang bersifat semi loose. Conto batuan diambil dari dua titik lokasi singkapan yaitu di daerah Palaran dan Sanga- Sanga, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur (Gambar 3a dan 3b). PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE IV. Analisis laboratorium berupa analisis granulometri dan analisis petrografi. Sampel batuan berjumlah 22 sampel (G.01-G.02) untuk analisis granulometri dan 7 sampel (MRS.P1-MRS.P7) untuk analisis petrografi. Mesh yang digunakan untuk proses pengayakan berukuran 18 (pasir sangat kasar), 35 (pasir kasar), 60 (pasir sedang), 120 (pasir halus), 230 (pasir sangat halus), dan > 230 (wadah ayakan). Analisis ukuran butir dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara matematis dan cara grafis. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui nilai mean, sortasi, skewness, dan kurtosis. Palaran Mean DATA DAN ANALISIS Mean dapat diartikan ukuran rata-rata butir sedimen pada daerah penelitian. Nilai mean didapat melalui perhitungan berat tiap kelas butir dikalikan dengan nilai tengah. Dari hasil penentuan nilai mean, dapat dilakukan pengklasifikasian ukuran butir yang bertujuan untuk melihat ukuran butir dominan di daerah penelitian. Semakin besar nilai phi, maka ukuran butir akan semakin halus dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan perhitungan secara matematis dari 16 sampel, 9 sampel berukuran pasir sedang, 5 sampel pasir halus, dan 2 sampel pasir kasar dengan nilai mean maksimum adalah 2,54 dan nilai minimum 0,74. Pada perhitungan secara grafis, nilai mean maksimum adalah 2,50 dan nilai mininum 0,75. Sehingga daerah Palaran dapat dinyatakan didominasi oleh ukuran pasir sedang (Gambar 4a). Sortasi Nilai sortasi menunjukkan suatu tingkat keseragaman butir. Nilai sortasi ini didapatkan dari nilai deviasi standar. Dari hasil perhitungan nilai sortasi, semakin besar nilai deviasi standar maka akan semakin buruk sortasinya dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan perhitungan secara matematis,

3 nilai maksimum di daerah Palaran adalah 2,15 dan nilai minimum 0,83. Berdasarkan perhitungan grafis, nilai maksimum adalah 2,10 dan nilai minimum 0,81. Sortasi di daerah Palaran di dominasi kelas poorly sorted (Gambar 4b). Skewness Skewness merupakan nilai yang menunjukkan kesimetrisan kurva frekuensi. Nilai ini didapatkan melalui perhitungan berat setiap kelas butir dikalikan dengan nilai tengahnya. Berdasarkan perhitungan matematis, nilai skewness berkisar antara -0,64 1,07. Berdasarkan perhitungan grafis, nilai skewness berkisar antara -0,53 0,77. Nilai skewness di daerah Palaran didominasi oleh nilai negatif yang menunjukkan adanya pertambahan material berukuran butir halus (Gambar 4c). Kurtosis Nilai kurtosis adalah nilai yang menunjukkan kepuncakan kurva. Semakin besar nilai kutosis maka bentukan kurva yang ditunjukkan akan semakin meruncing. Berdasarkan perhitungan matematis, nilai kurtosis berkisar antara 1,24 3,16. Berdasarkan perhitungan grafis, nilai kurtosis berkisar 0,49 1,32 (Gambar 4d). Perbedaan antara nilai kurtosis matematis dengan grafis sangat terlihat pada semua sampel. Pada perhitungan matematis, hasil perhitungan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perhitungan grafis. Tetapi, tren yang ditunjukkan masih cenderung sama. Jika kurva mengalami kenaikan pada cara matematis, maka cara grafis juga akan memiliki pola yang sama. Sanga-Sanga Mean Perhitungan mean secara matematis di daerah Sanga-Sanga menunjukkan nilai maksimum 2,19 dan nilai minimum 1,54 sedangkan berdasarkan perhitungan secara grafis, nilai maksimum adalah 2,17 dan nilai minimum 1,47. Berdasarkan perhitungan tersebut, nilai 729 mean di daerah Sanga-Sanga didominasi oleh kelas pasir sedang (Gambar 5a). Sortasi Nilai sortasi didapatkan dari perhitungan deviasi standar, nilai maksimum sortasi secara matematis di daerah Sanga-Sanga adalah 1,01 dan minimum 0,54. Berdasarkan perhitungan secara grafis, nilai maksimum 0,94 dan minimum 0,46. Berdasarkan perhitungan tersebut sortasi di daerah Sanga-Sanga menunjukkan kelas moderately well sorted (Gambar 5b). Skewness Berdasarkan perhitungan matematis, nilai skewness berkisar antara (-0,46) 1,55 dengan dominasi kelas very fine-skewed. Berdasarkan perhitungan secara grafis, nilai minimum adalah -0,21 dan nilai maksimum 0,32, dengan dominasi berada pada kelas fine skewed (Gambar 5c). Hal tersebut menunjukkan pada sampel di daerah Sanga- Sanga terdapat suatu pertambahan material berukuran halus pada populasi sampel. Kurtosis Perhitungan nilai kurtosis secara matematis dan grafis di daerah Sanga-Sanga memiliki perbedaan. Perhitungan secara matematis menunjukkan hasil yang lebih besar dengan dominasi kelas extremely leptokurtic. Nilai minimum 3,74 dan nilai maksimum 10. Pada perhitungan grafis, nilai minimum 1,00 dan nilai maksimum 1,76, berada dengan dominasi kelas leptokurtic very leptokurtic (Gambar 5d). Morfologi Butir Pasir Bentuk butir Pengamatan bentuk butir pasir dilakukan dengan melihat kenampakan partikel yang berkaitan dengan ukuran panjang dari setiap sumbu terpanjang, sumbu menengah, dan terpendek menggunakan klasifikasi bentuk butir Zingg, yang terbagi menjadi 4, yaitu tabular (oblate), equant, bladed, dan prolate.

4 Hasil tabulasi bentuk butir di daerah penelitian menunjukkan sampel di daerah penelitian didominasi kelas equant dan bladed. Besarnya jumlah butiran yang memiliki kelas equent menandakan bahwa perbandingan antara sumbu terpanjang, menengah, dan terpendek butiran pasir memiliki nilai yang relatif sama. Hal ini dapat disebabkan oleh mekanisme transportasi yang bersifat menggelinding (rolling) atau dapat dimungkinkan karena bentuk awalnya sudah relatif equent dan kemudian tertransportasi ulang (reworked). Kebolaan (Sphericity) Penentuan nilai kebolaan di daerah penelitian dilakukan dengan cara mengamati komposisi pasir di bawah mikroskop kemudian dibandingkan dengan gambar visual Rittenhouse. Dari hasil tabulasi penentuan nilai kebolaan (Tabel 1), daerah penelitian didominasi kelas equent. Pada daerah Palaran, terdapat sebanyak 537 butiran yang termasuk ke dalam kelas equent, dan di daerah Sanga- Sanga, kelas equent sebanyak 171 butir. Butiran yang semakin menyerupai bola mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih besar dibandingkan dengan butiran yang kurang menyerupai bola. Hal tersebut berlaku pada sistem suspensi ataupun traksi. Kebundaran (Roundness) Kebundaran diartikan sebagai derajat kebundaran suatu butiran. Nilai kebundaraan suatu partikel ditentukan oleh komposisi penyusun, ukuran, proses transportasi, dan jarak transportasi. Penentuan nilai kebundaran dilakukan dengan menggunakan visual Powers. Hasil perhitungan di daerah Palaran dan Sanga-Sanga (Tabel 2) menunjukkan dominasi kelas subangular dan kelas subrounded. Data Petrografi Sampel batupasir yang dianalisis untuk pengamatan petrogafi berjumlah 7 sampel (Gambar 3). Sebanyak 3 sampel di daerah Palaran dan 4 sampel di daerah Sanga-Sanga. 730 Pengambilan sampel didasarkan kepada sifat fisik dan fasies batuan. Secara umum batupasir mempunyai tekstur berbutir pasir halus hingga pasir kasar (0,1 1 mm), terpilah poorly sorted well sorted, dengan bentuk subangular subrounded, dan terbilang submature. Komposisi mineral di dalam batuan berupa kuarsa 78,8-95,5%, feldspar 0,3 1,2%, dan litik 4,05 20%. Litik secara keseluruhan didominasi oleh kandungan fragmen batuan sedimen yang tersusun oleh kuarsa. Kuarsa hadir dalam 2 jenis, yaitu kuarsa monokristalin (Qm) dan kuarsa polikristalin (Qp). Karakteristik antara kedua kuarsa tersebut memiliki perbedaan dilihat dari gelapan dan teksturnya. Feldspar memiliki persentase yang rendah, berupa plagioklas dengan persentase 0,3 1,2%. Mineral aksesoris yang dijumpai pada sampel kurang dari 1% seperti mineral opak dan material karbon. Matriks memiliki persentase 8,7 14,78% (kelompok arenit) yang berasosiasi dengan mineral oksida berwarna coklat dan material berukuran <0,03 mm (Gambar 6A). Berdasarkan persentase komposisi kuarsa, feldspar, dan litik pada diagram segitiga klasifikasi batupasir, batupasir Formasi Balikpapan di daerah penelitian ini termasuk ke dalam sublitharenite dan quartz arenite (Gambar 6B). Tipe Batuan Asal Metode aplikasi mengikuti Dickinson dan Suczek (1979) di dalam diagram segitiga QtFL dan QmFLt (Gambar 6C, Qt= quartz total, Qm= monocrystalline quartz, F= feldspar, L= Lithic, Lt= Lithic total). Batupasir Formasi Balikpapan di daerah penelitian terletak di daerah orogen terdaurkan (recycled orogen) yang dapat diinterpretasikan sebagai daerah yang aktif mengalami proses tektonik. Daerah orogen terdaurkan ini merupakan suatu perulangan orogenesa yang terjadi pada lingkungan tektonik yang mengalami proses pengangkatan, perlipatan, dan erosi. Daerah

5 ini meliputi zona penunjaman, daerah cekungan belakang busur, dan zona tumbukan antara lempeng mikro. Pembentukan batupasir Formasi Balikpapan berkaitan dengan proses pengangkatan batuan dasar dan sedimen syn-rift pada saat Oligosen Akhir yang menyebabkan terbentuknya progradasi delta Mahakam yang terus berkembang hingga Miosen Tengah. V. DISKUSI Integrasi Data Granulometri Integrasi data granulometri dilakukan dengan mengkombinasikan data litologi, fasies, ukuran butir, sortasi, skewness, dan kurtosis yang disusun secara vertikal. Paramater lain yaitu kurva distribusi ukuran butir juga digunakan untuk melihat hubungan antara fasies batuan dengan kepuncakan kurva. Data-data tersebut dapat digunakan untuk membantu mendapatkan kondisi lingkungan pengendapan yang lebih komprehensif dengan menggunakan parameter-parameter statistik. Tujuan dari integrasi ini adalah melihat perubahan vertikal yang terjadi di daerah Palaran dan Sanga-Sanga. Palaran Parameter statistik dengan metode grafis berupa mean, sortasi, skewness, dan kurtosis disusun berdasarkan urutan sampel G.01-G.16. Pada lapisan tertua di daerah Palaran, fasies BSL, diinterpretasikan sebagai bagian dari delta front yang tersusun atas lanau terbioturbasi. Pada fasies BCBS (sampel G.01- G.08) kurva mean, sortasi, dan skewness tidak mengalami fluktuasi yang besar, hanya nilai kurtosis yang lebih fluktuatif (Gambar 7 kiri). Fasies BCBS diinterpretasikan sebagai distributary channel dan abandoned channel. Fasies SCC (sampel G.09-G.13) memliki kurva. Nilai mean, skewness, dan kurtosis mengalami fluktuasi kenaikan dan penurunan sedangkan nilai sortasi relatif mengalami kenaikan. Berdasarkan analisis tersebut, fasies SCC ini diinterpretasikan sebagai tidal channel yang juga didukung dengan kehadiran struktur sedimen bergelombang yang menggambarkan adanya pengaruh pasang surut. Fasies FS (sampel G.14-G.16) diinterpretasikan sebagai mouth bar dengan nilai mean yang semakin menghalus, nilai sortasi mengecil, serta nilai skewness dan kurtosis yang membesar. Sanga-Sanga Parameter statistik dengan metode grafis ditampilkan dengan kolom litologi di daerah Sanga-Sanga (Gambar 7 kanan). Lingkungan pengendapan diinterpretasikan berdasarkan geometri, litologi, dan struktur sedimen yang kemudian dilihat hubungannya dengan parameter statistik ukuran butir. Fasies CBS menunjukkan suatu perulangan batupasir silang siur yang diinterpretasikan sebagai distributary channel. Pada fasies CBS bawah dan CBS atas, nilai mean, sortasi, dan skewness menunjukkan kurva yang cenderung lurus sedangkan pada kurva kurtosis kurva cenderung lebih fluktuatif. Mekanisme Sedimentasi Interpretasi mekanisme sedimentasi dengan menggunakan diagram Visher (1969) bertujuan untuk melihat hubungan antara ukuran butir dengan proses selama pengendapan. Dalam suatu mekanisme sedimentasi ideal akan terdapat subpopulasi surface creep (rolling), saltasi, dan suspensi. Secara umum pada daerah Palaran (Gambar 8) mekanisme rolling, saltasi, dan suspensi ditemui hampir ditemui disetiap sampel. Akan tetapi, pada sampel G.12-G.16, kurva tidak memiliki mekanisme lengkap. Hal tersebut diakibatkan oleh adaya mekanisme lokal akibat pengaruh laut yang semakin dominan sehingga menyebabkan sedimen sungai dapat tertransportasi ulang. Pada kurva di daerah Sanga-Sanga (Gambar 9), mekanisme sedimentasi menunjukkan proses yang lengkap dari rolling, saltasi, dan suspensi. Grain Size Distribution Curve (GSDC) 731

6 Kurva distribusi frekuensi ukuran butir (GSDC) di daerah Palaran dikelompokkan berdasarkan keberadaan sampel, fasies dan lingkungan pengendapannya. Pengelompokkan kurva ini bertujuan untuk mengetahui pola umum dari bentukan kurva. Kelompok pertama (Gambar 10a) merupakan channel bagian bawah yang tediri dari 5 sampel (G.02-G.06) menunjukkan suatu dominasi ukuran butir yang lebih kasar. Kepuncakan kurva dari 7 sampel menunjukkan suatu keadaan yang bervariasi, tetapi semuanya termasuk ke dalam kelompok unimodal atau hanya memiliki satu puncak kurva dengan titik puncak berada pada nilai 2 phi. Kelompok kedua (Gambar 10b) yaitu channel bagian atas terdiri dari 3 sampel memiliki kurva yang unimodal dengan nilai puncak pada nilai 3 phi (pasir halus). Bagian channel atas memiliki ukuran butir yang lebih halus jika dibandingkan dengan channel bawah karena pola geometri dalam suatu tubuh channel yang akan menghalus ke atas. Kelompok ketiga yang diinterpretasikan sebagai mouth bar (Gambar 10c) terdiri dari 5 sampel (G.12-G.16) memiliki kurva kepuncakan bimodal dengan tren yang cukup seragam. GSDC di daerah Sanga-Sanga dikelompokkan menjadi distributary channel 1 (Gambar 11a) dengan kepuncakan kurva berada nilai 3 phi dan distributary channel 2 (Gambar 11b) yang seragam memiliki titik puncak pada nilai 2 phi. Interpretasi dari kurva GSDC ini dapat menggambarkan bahwa secara umum terdapat 2 channel yang terbentuk berdasarkan kemiripan kurvanya. Kurva GSDC yang ditunjukkan pada distributary channel 1 dan 2 semuanya termasuk ke dalam kurva unimodal tetapi berbeda pada nilai kepuncakan kurva. Dari hal tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa kepuncakan kurva pada distributary channel akan sangat bervariasi tergantung kepada kondisi hidrodinamika dari suatu agen transportasi. Bivariate Plot 732 Hasil pengeplotan antara deviasi standar (sortasi) dengan skewness menunjukkan bahwa daerah Palaran lebih didominasi oleh pasir sungai sedangkan di daerah Sanga-Sanga didominasi oleh pasir pantai dengan nilai sortasi yang lebih kecil atau semakin bagus sortasinya (Gambar 12a). Pengaruh lingkungan pantai dan sungai ditunjukkan juga oleh hasil plot Y2 vs Y3 (Sahu, 1964) dengan persamaan sebaga berikut; Y2 = 15,6534 mean + 65,7091 sortasi + 18,1071 skewness + 18,5043 kurtosis (Jika <63,3650 beach, tapi jika >63,3650 shallow marine) Y3 = 0,2852 mean 8,7604 sortasi 4,8932 skewness + 0,0482 kurtosis (Jika > -7,4190 termasuk shallow marine, tapi jika < -7,4190 termasuk fluvial) Berdasarkan plot Y2 vs Y3 daerah Palaran didominasi oleh proses fluvial sedangkan Sanga-Sanga sudah masuk mendapat pengaruh laut dangkal (Gambar 12b). Implikasi Tektonik Terhadap Tipe Batuan Asal Formasi Balikpapan yang ada di daerah penelitian bukan merupakan bagian dari Kompleks Meratus, hal ini ditunjukkan dengan ketidakhadiran sedimen laut dalam dan ofiolit. Meratus ini merupakan alas batuan yang mengalami pengangkatan akibat proses tumbukan, tersusun oleh ofiolit. Meratus merupakan hasil orogen kolisi antara Schwaner dan Paternoster yang terjadi pada Kapur Awal-Kapur Tengah (Satyana dkk, 2008). Karakter batuan asal daerah penelitian bersifat granitik ditandai dengan dominasi kuarsa monokristalin yang diinterpretasikan berasal dari kompleks Schwaner. Formasi yang pertama terbentuk saat awal pemekaran adalah Formasi Kiham Haloq, Formasi Batu Kelau, dan Formasi Batu Ayau (Gambar 13a, 13b, dan 13c). Kompleks Schwaner yang tersusun atas batuan granitik, menjadi sumber utama dari terbentuknya

7 Formasi Kiham Haloq pada saat awal pemekaran. Formasi Kiham Haloq didominasi oleh batupasir silang siur dan konglomerat yang terendapakan di atas basal konglomerat rijang merah. Sedimen ini menggambarkan lingkungan kipas aluvial (Wain dan Berod, 1989). Batuan asal dari formasi ini diinterpretasikan masih berada di dekat sumber yang terosi dan kemudian mengalami sedimentasi akibat proses gravitasi membentuk kipas aluvial. Formasi Batu Kelau menggambarkan suatu keadaan yang lebih transgresi (Gambar 13b), dicirikan oleh fasies batulanau karbonatan, terbioturbasi, dengan struktur laminasi dan flaser. Pembentukan Formasi Batu Ayau (Gambar 13c) menggambarkan suatu keadaan yang regresif dengan tipe fasies batupasir yang didominasi oleh adalah fasies batupasir konglomeratan dengan lingkungan transisi (Wain dan Berod, 1989). Sedimen syn-rift yang menjadi batuan asal dari Formasi Balikpapan di daerah penelitian diinterpretasikan berasal dari Formasi Kiham Haloq. Formasi Batu Kelau yang menggambarkan kondisi transgresif tersusun oleh sedimen halus (Moss dan Chambers, 1999), sedangkan Formasi Batu Ayau kemungkinan juga merupakan hasil transportasi kembali dari Formasi Kiham Haloq yang lebih tua. Pembentukan batuan karbonat pada Formasi Ujoh Bilang Bawah dan Ujoh Bilang Atas yang terjadi pada Oligosen Awal hingga Oligosen Akhir (Gambar 13d) menggambarkan kondisi transgresi maksimum. Formasi tersebut membentuk batugamping terumbu yang berubah menjadi batupasir volkaniklastik pada bagian atas (Ujoh Bilang Bawah) dan batugamping olistolithic serta volkaniklastik aliran debris pada Ujoh Bilang Atas (Moss dan Chambers, 1999). Pada batupasir di daerah penelitian tidak dijumpai kandungan material VI. karbonat, sehingga Formasi Ujoh Bilang ini bukan termasuk ke dalam batuan asal dari batupasir di daerah penelitian. Batupasir kuarsa dapat bersifat multi siklus. Siklus awal akan menggambarkan bentuk butir yang kurang well rounded dan masih mengandung kuarsa polikristalin yang melimpah (Pettijohn, dkk, 1987). Batupasir kuarsa di daerah penelitian menunjukkan bahwa batuan tersebut sudah mengalami siklus lanjutan yang ditandai dengan morfologi butir subangular-well rounded dan persentase kuarsa polikristalin yang sedikit melimpah akibat proses reworked selama proses progradasi delta Mahakam yang terjadi semenjak Miosen Awal (Gambar 13e). KESIMPULAN 1. Batupasir Formasi Balikpapan di daerah penelitian memiliki nilai rerata ukuran butir dominan pasir sedang, kelas sortasi moderately sorted-very poorly sorted, skewness didominasi oleh very coarse skewed, dan kurtosis very leptokurtic - extremely leptokurtic. 2. Bentuk butir pasir didominasi oleh kelas equant dan bladed, nilai kebolaan dominan berada pada kelas equent, dan nilai kebundaran dominan adalah subangularsubrounded. 3. Formasi Balikpapan termasuk ke dalam tatanan tektonik orogen terdaurkan. Sumber dari batupasir Formasi Balikpapan berasal dari batuan dasar yang tersusun oleh batuan granitik, serta sedimen syn-rift (Formasi Kiham Haloq) yang mengalami transportasi ulang oleh Delta Makakam purba. VII. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak Pertamina EP Asset 5 yang telah membantu dalam proses penyediaan data penelitian. 733

8 DAFTAR PUSTAKA Dickinson, W.R., Suczek, C.A, 1979, Plate Tectonics and Sandstone Composition, The American Association of Petroleum Geologist Bulletin, V.63, No.12, P Satyana, A.H., Armandita, C., 2008, On the Origin of the Meratus Uplift, Southeast Kalimantan Tectonic and Gravity Constraints : A Model for Exhumation of Collisional Orogen in Indonesia. Indonesian Association of Geophysicists (HAGI) 33rd Annual Convention and Exhibition, Bandung. Supriatna, S., Sukardi., Rustandi, E., 1995, Peta Geologi Lembar Samarinda, Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Allen, G.P., dan Chambers, J.L.C., 1998, Sedimentation in The Modern and Miocene Mahakam Delta., Proceeding Indonesian Petroleum Association, 27th Annual Convention, Jakarta. Moss, S.J., dan Chambers, J.L.C., 1999, Tertiary Facies Architecture in The Kutai Basin, Kalimantan, Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences, p Pettijohn, F.J., Potter, P.E., Siever, R., 1987, Sand and Sandstone. Springer, New York, 580p. Sahu, B.K., 1964, Depositional mechanisms from the size analysis of clastic sediments. J sed petrol 34:73 83 Visher, G.S., Grain Size Distributrion and Depositional Processes. Journal of Sedimentary Petrology, V.39, No.3, p , Tulsa. Wain, T., Berod, B., The Tectonic Framework And Paleogeographic Evolution Of The Upper Kutei Basin. Indonesian Petroleum Association. TABEL Very Elongate Elongate Tabel 1. Tabulasi perhitungan nilai kebolaan Subelongate Intermediete Shape Subequent Equent Very Equent Jumlah Palaran Sanga- Sanga Very Angular Tabel 2. Tabulasi perhitungan nilai kebundaran Angular Subangular Subrounded Rounded Well Rounded Jumlah Palaran Sanga- Sanga

9 GAMBAR Gambar 1. Lokasi penelitian berada di Palaran dan Sanga-Sanga, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Peta geologi modifikasi dari Supriatna dkk, (1995). 735

10 Gambar 2. Kolom stratigrafi Cekungan Kutai Atas dan Cekungan Kutai Bawah. Daerah penelitian berada pada Formasi Balikpapan. 736

11 Gambar 3. Titik pengambilan sampel granulometri dan petrografi pada kolom stratigrafi terukur (a) daerah Palaran dan (b) daerah Sanga-Sanga. 737

12 Gambar 4. Grafik perhitungan analisis ukuran butir secara matematis dan grafis di daerah Palaran. (a) Mean (b) Sortasi (c) Skewness (d) Kurtosis. Gambar 5. Grafik perhitungan analisis ukuran butir secara matematis dan grafis di daerah Sanga- Sanga. (a) Mean (b) Sortasi (c) Skewness (d) Kurtosis. 738

13 Gambar 6. (A) Kenampakan sampel sayatan tipis MRS.P1-MRS.P7, (B) Penentuan nama batuan dan perhitungan QFL (C) Analisis QFL batupasir Formasi Balikpapan. 739

14 Gambar 7. Hubungan antara litologi dengan parameter statistik daerah Palaran (kiri) dan daerah Sanga-Sanga (kanan). 740

15 Gambar 8. Analisis mekanisme sedimentasi di daerah Palaran dengan menggunakan kurva frekuensi kumulatif (skala probabilistik). Gambar 9. Analisis mekanisme sedimentasi di daerah Sanga-Sanga dengan menggunakan kurva frekuensi kumulatif (skala probabilistik). 741

16 Gambar 10. Pengelompokkan kurva distribusi ukuran butir daerah Palaran A) Channel bawah B) Channel atas C) Mouth Bar. Gambar 11. Pengelompokkan kurva distribusi ukuran butir di daerah Sanga-Sanga A) Distributary channel 1 B) Distributary channel 2. Gambar 12. Plot bivariat (a)deviasi standar vs skewness (b) Y2 vs Y3 742

17 Gambar 13. Interpretasi pembentukkan Formasi Balikpapan. (a) Pembentukkan Formasi Kiham Haloq (b) Pembentukkan Formasi Batu Kelau (c) Pembentukkan Formasi Batu Ayau (d)fase transgresi maksimum yang terjadi selama proses pembentukkan Formasi Ujoh Bilang (e) Pembentukkan Formasi Balikpapan. 743

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Pertamina BPPKA (1996), Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah Cekungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok Sanga-sanga, Cekungan Kutai, Kalimantan Timur. Cekungan Kutai merupakan cekungan penghasil

Lebih terperinci

memiliki hal ini bagian

memiliki hal ini bagian BAB III TATANANN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan cekungan dengan luas 165.000 km 2 dan memiliki ketebalan sedimen antara 12.000 14..000 meter hal ini menyebabakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO II.1 GEOLOGI CEKUNGAN KUTAI Cekungan Kutai adalah salah satu cekungan di Kalimantan Timur, Indonesia. Cekungan ini memiliki area sekitar 60.000km 2 dan berisi

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI

BAB II TINJAUAN GEOLOGI BAB II TINJAUAN GEOLOGI II.1 GEOLOGI REGIONAL Kerangka tektonik Kalimantan Timur selain dipengaruhi oleh perkembangan tektonik regional yang melibatkan interaksi Lempeng Pasifik, Hindia-Australia dan Eurasia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Proses ini merupakan tahap pasca pengolahan contoh yang dibawa dari lapangan. Dari beberapa contoh yang dianggap mewakili, selanjutnya dilakukan analisis mikropaleontologi, analisis

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SEDIMENTASI

BAB IV ANALISA SEDIMENTASI BAB IV ANALISA SEDIMENTASI Lingkungan pengendapan menurut Krumbein (1958, dalam Koesoemadinata, 1985) adalah keadaan yang kompleks yang disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

ANALISA STRUKTUR GEOLOGI DESA BHUANA JAYA BAGIAN TIMUR, KECAMATAN TENGGARONG SEBRANG, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTN TIMUR

ANALISA STRUKTUR GEOLOGI DESA BHUANA JAYA BAGIAN TIMUR, KECAMATAN TENGGARONG SEBRANG, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTN TIMUR ANALISA STRUKTUR GEOLOGI DESA BHUANA JAYA BAGIAN TIMUR, KECAMATAN TENGGARONG SEBRANG, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTN TIMUR Endix Syaiqul Aqsha 1, Ediwin Rony Richson Siagian 1, Imas Dwi Rahayu

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Latih tersusun dari perselang-selingan antara batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan batubara dibagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH Rikzan Norma Saputra *, Moch. Indra Novian, Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Supriatna et al., 1995 menyebutkan formasi formasi berumur Neogen yang menyusun cekungan

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan ekonomis di Indonesia dan telah banyak dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung sebagai endapan delta mouth bar pada sistem delta. 4.3.3 Lintasan C Delta Front Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi lintasan ini, didapatkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERNYATAAN... SURAT PERNYATAAN... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... SARI... ABSTRACT... viii DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERNYATAAN... SURAT PERNYATAAN... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... SARI... ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERNYATAAN... SURAT PERNYATAAN... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... SARI... i ii iii iv v vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... ix xii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Interaksi parameter-parameter seperti komposisi batuan asal, iklim, tatanan tektonik dan relief dapat mempengaruhi komposisi batuan sedimen selama proses transportasi

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI 2.1 GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI 2.1 GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI 2.1 GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian secara geologi regional merupakan bagian dari Cekungan Kutai, yang termasuk dalam Peta Geologi Lembar Sangatta (Sukardi dkk., 1995). 2.1.1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Kutai merupakan cekungan Tersier terbesar dan terdalam di Indonesia bagian barat, dengan luas area 60.000 km 2 dan ketebalan penampang mencapai 14 km. Cekungan

Lebih terperinci

STUDI PROVENANCE BATUPASIR FORMASI WALANAE DAERAH LALEBATA KECAMATAN LAMURU KABUPATEN BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN

STUDI PROVENANCE BATUPASIR FORMASI WALANAE DAERAH LALEBATA KECAMATAN LAMURU KABUPATEN BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN STUDI PROVENANCE BATUPASIR FORMASI WALANAE DAERAH LALEBATA KECAMATAN LAMURU KABUPATEN BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN Muhammad Ardiansyah*, Meutia Farida *, Ulva Ria Irfan * *) Teknik Geologi Universitas

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MINERAL SEPANJANG SUNGAI OPAK, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. oleh : Ricky Christian Sitinjak 03/164666/TK/28139

KARAKTERISTIK MINERAL SEPANJANG SUNGAI OPAK, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. oleh : Ricky Christian Sitinjak 03/164666/TK/28139 KARAKTERISTIK MINERAL SEPANJANG SUNGAI OPAK, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA oleh : Ricky Christian Sitinjak 03/164666/TK/28139 Pokok Bahasan Pokok Bahasan Pendahuluan Landasan Teori Geologi Daerah Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Lokasi Pengambilan Sampel Lokasi pengambilan sampel terdiri dari delapan lokasi pengamatan, yakni lokasi pengamatan ST 1 hingga lokasi pengamatan ST 8 yang berada di sepanjang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Tatanan Geologi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan sedimentasi berumur Tersier di Indonesia dan terletak di Kalimantan bagian timur. Fisiografi Cekungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan yang merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Cekungan Kutai (gambar 2.1) di bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah baratlaut - tenggara, di bagian barat dibatasi oleh tinggian

Lebih terperinci

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Fasies Pengendapan Reservoir Z Berdasarkan komposisi dan susunan litofasies, maka unit reservoir Z merupakan fasies tidal

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB IV PROVENAN BATUPASIR FORMASI KANTU

BAB IV PROVENAN BATUPASIR FORMASI KANTU BAB IV PROVENAN BATUPASIR FORMASI KANTU 4.1 Pendahuluan Kata provenan berasal dari bahasa Perancis, provenir yang berarti asal muasal (Pettijohn et al., 1987 dalam Boggs, 1992). Dalam geologi, istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN IV.1 Litofasies Suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen terlihat padanya karateristik fisik, kimia, biologi tertentu. Analisis rekaman tersebut digunakan untuk

Lebih terperinci

PETROLEUM SYSTEM CEKUNGAN KUTAI BAGIAN BAWAH, DAERAH BALIKPAPAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

PETROLEUM SYSTEM CEKUNGAN KUTAI BAGIAN BAWAH, DAERAH BALIKPAPAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Bulletin of Scientific Contribution, Volume 10, Nomor 1, April 2012: 12-17 PETROLEUM SYSTEM CEKUNGAN KUTAI BAGIAN BAWAH, DAERAH BALIKPAPAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Yuyun Yuniardi Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB IV SEJARAH GEOLOGI BAB IV SEJARAH GEOLOGI Sejarah geologi daerah penelitian dapat disintesakan berdasarkan ciri litologi, umur, lingkungan pengendapan, hubungan stratigrafi, mekanisme pembentukan batuan dan pola strukturnya.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II. 1 KERANGKA GEOLOGI REGIONAL Sebelum membahas geologi daerah Tanjung Mangkalihat, maka terlebih dahulu akan diuraikan kerangka geologi regional yang meliputi pembahasan fisiografi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Pendahuluan Pulau Kalimantan berada di tenggara dari lempeng Eurasia besar. Di sebelah utara berbatasan dengan lempeng semudra Laut Cina Selatan, di timur dibatasi oleh sabuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu cekungan Tersier yang mempunyai prospek hidrokarbon yang baik adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat atau sering

Lebih terperinci

Studi Provenance Batupasir Formasi Batu Ayau Cekungan Kutai Di Daerah Ritanbaru, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur

Studi Provenance Batupasir Formasi Batu Ayau Cekungan Kutai Di Daerah Ritanbaru, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Studi Provenance Batupasir Formasi Batu Ayau Cekungan Kutai Di Daerah Ritanbaru, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Debby Irawan 1, Donatus Hendra Amijaya 2 1. Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deep water channel merupakan salah satu fasies di lingkungan laut dalam dengan karakteristik dari endapannya yang cenderung didominasi oleh sedimen berukuran kasar

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

LEMBAR DESKRIPSI PETROGRAFI

LEMBAR DESKRIPSI PETROGRAFI DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO Lampiran Petrografi 1 KODE SAYATAN : Y1 LINTASAN : TERMINAL MS 3 FORMASI : Steenkool PERBESARAN : 10 X d = 2 mm DESKRIPSI : LEMBAR DESKRIPSI

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi

Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi 3.2.3.5 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Berdasarkan ciri litologi pada satuan batuan ini, maka satuan batulempung disetarakan dengan Formasi Sangkarewang (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Hubungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C 4.1. Analisis Litofasies dan Fasies Sedimentasi 4.1.1. Analisis Litofasies berdasarkan Data Batuan inti Litofasies adalah suatu tubuh batuan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN 2.1 Tinjauan Umum Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak di bagian

Lebih terperinci

ANALISIS GRANULOMETRI, MORFOLOGI BUTIR, DAN BATUAN ASAL PADA ENDAPAN PASIR-KERAKAL DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI PROGO, D.I.

ANALISIS GRANULOMETRI, MORFOLOGI BUTIR, DAN BATUAN ASAL PADA ENDAPAN PASIR-KERAKAL DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI PROGO, D.I. ANALISIS GRANULOMETRI, MORFOLOGI BUTIR, DAN BATUAN ASAL PADA ENDAPAN PASIR-KERAKAL DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI PROGO, D.I. YOGYAKARTA Cendi Diar Permata Dana 1* Muhammad Rizki Sudirman 1 Arvida Noviana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah

Lebih terperinci

Terbentuknya Batuan Sedimen

Terbentuknya Batuan Sedimen Partikel Sedimen Terbentuknya Batuan Sedimen Proses terbentuknya batuan sedimen dari batuan yang telah ada sebelumnya. Material yang berasal dari proses pelapukan kimiawi dan mekanis, ditransportasikan

Lebih terperinci

FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN

FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN Nabila Amanda 1*, Yuyun Yuniardi 1, Undang Mardiana 1, Febriwan Mohammad 1, Freddy Jul Pribadi 2 1 Fakultas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Busur Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR

PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR Mogam Nola Chaniago Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta Abstrak Lapangan RR terletak di bagian timur laut

Lebih terperinci

REFARAT MAKALAH ILMIAH OLEH TOBER MARDAIN

REFARAT MAKALAH ILMIAH OLEH TOBER MARDAIN REFARAT MAKALAH ILMIAH OLEH TOBER MARDAIN 471413005 Dosen Pengampu Dr. Eng Sri Maryati PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI S K R I P S I... I HALAMAN PENGESAHAN... II KATA PENGANTAR...... III HALAMAN PERSEMBAHAN... V SARI......... VI DAFTAR ISI... VII DAFTAR GAMBAR.... IX BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang.........

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Umum II.1 Kerangka Tektonik Indonesia II.1.1 Paleosen Eosen ( juta tahun yang lalu )

Bab II Tinjauan Umum II.1 Kerangka Tektonik Indonesia II.1.1 Paleosen Eosen ( juta tahun yang lalu ) Bab II Tinjauan Umum II.1 Kerangka Tektonik Indonesia Tatanan tektonik Indonesia merupakan produk aktif tiga lempeng besar yaitu Lempeng Australia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Asia pada saat ini. Wilayah

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN UCAPAN TERIMAKASIH KATA PENGANTAR SARI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB 1 PENDAHULUAN

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN UCAPAN TERIMAKASIH KATA PENGANTAR SARI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB 1 PENDAHULUAN DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xvii BAB

Lebih terperinci