FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMUKIM DI BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DI DKI JAKARTA PATIH MEGAWANDA GULAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMUKIM DI BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DI DKI JAKARTA PATIH MEGAWANDA GULAM"

Transkripsi

1 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMUKIM DI BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DI DKI JAKARTA PATIH MEGAWANDA GULAM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pemukim di Bantaran Sungai Ciliwung di DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Patih Megawanda Gulam I

3 ABSTRACT PATIH MEGAWANDA GULAM. I Factors Associated with the Ciliwung River Bank Settlers Housing Behavior in Jakarta.Under the direction of AMRI JAHI and NGALOKEN GINTING The objective of this study was to analyze factors associated with the Ciliwung river bank settlers behavior residing in three districts in Jakarta. One hundred settlers were interviewed for this research. Data were analysed by employing the multiple correlation procedure using the Excel 2007 program. Research results demonstrated that factors related to the settlers housing behavior were age, motivation, education, occupation, income, asset owned, distance of their former home resident to their current houses, length of stay, resettlement behavior, family size, perceptions about river bank, and attitudes on settling on the river bank. The multiple correlation coefficients of the settlers characteristics and their perceptions,the settlers characteristics and their attitudes, the settlers characteristics and their housing behavior were 0.53, 0.49, 0.37 respectively; whereas the coefficients of determination of such multiple correlation coefficients were 0.286, 0.247, and respectively. Key words: Settlers characteristics, perceptions, attitude, housing behavior, Ciliwung river bank

4 RINGKASAN PATIH MEGAWANDA GULAM. I Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pemukim di Bantaran Sungai Ciliwung di DKI Jakarta. Dibimbing oleh AMRI JAHI, DAN A. NGALOKEN GINTINGS. Penelitian ini bertujuan untuk menyatakan hubungan perilaku pemukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta dengan karakteristik, persepsi, dan sikap mereka tentang bermukim di bantaran. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pemukim di bantaran sungai, dan memberi masukan kepada pemerintah Jakarta khususnya pihak terkait seperti Departemen Sosial dan Departemen Pekerjaan Umum mengenai pemberdayaan dan permasalahan di bantaran sungai di DKI Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan di tiga daerah Jakarta yaitu, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Unit analisis dari penelitian ini adalah kepala keluarga di masing-masing lokasi di bantaran sungai. Penentuan unit analisis terkecil dari penelitian ini ditentukan melalui metode area sampling pada daerah yang dialiri sungai Ciliwung, kemudian penarikan sampel secara acak dilakukan secara bertahap melalui kecamatan, kelurahan, RW/RT hingga mencapai total responden sebanyak 100 orang. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Data diambil dari sampel dengan tujuan untuk membuat generalisasi dari observasi yang dilakukan, sehingga perlu mempertimbangkan teknik pengumpulan data secara benar. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder baik itu data kualitatif maupun data kuantitatif. Data kualitatif merupakan data yang disajikan bukan dalam bentuk angka,sedangkan data kuantitatif diperoleh dalam bentuk dari kuesioner dan catatan. Realibilitas instrument yang diperoleh melalui Cronbach Alpha. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September sampai bulan November Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan prosedur korelasi ganda dengan program excel Hubungan karakteristik pemukim yaitu umur, motivasi, pendidikan formal, pekerjaan saat ini, pendapatan, aset total, jarak daerah asal dengan hunian, masa bermukim, perilaku bermukim kembali, jumlah pemukim dalam satu rumah, persepsi dan sikap pemukim tentang bermukim di bantaran sungai yang kemudian diuji dengan prosedur korelasi ganda dengan rumus berikut: R 2 = r yx. r xx. r xy. Hubungan karakteristik pemukim dengan persepsi mereka tentang bermukim di bantaran sungai sebesar 0.53 yang menunjukan tingkat hubungan sedang/cukup. Hal tersebut juga menunjukan bahwa tiap peningkatan satu satuan karakteristik pemukim akan berdampak pada peningkatan persepsi pemukim sebesar Pengaruh peubah tersebut secara bersama-sama sebesar 0.28 atau 28%. Hal ini juga menunjukan pengaruh peubah lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini sebesar 72%. Hubungan karakteristik pemukim dengan sikap mereka tentang bermukim di bantaran sungai sebesar 0.49 yang menunjukan tingkat hubungan dalam kategori sedang/cukup. Hal tersebut juga menunjukan bahwa tiap peningkatan satu satuan pada karakteristik pemukim akan berdampak pada peningkatan sikap pemukim sebesar 0.49 satuan. Pengaruh peubah tersebut secara bersama-sama

5 sebesar 0.24 atau 24%. Hal ini menunjukan pengaruh peubah lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini sebesar 76%. Hubungan karakteristik pemukim dengan perilaku bermukim di bantaran sungai sebesar 0.37 yang menunjukan tingkat hubungan dalam kategori rendah. Hal tersebut juga menunjukan bahwa tiap peningkatan satu satuan pada karakteristik pemukim akan berdampak pada peningkatan perilaku pemukim sebesar Pengaruh peubah tersebut secara bersama-sama sebesar 0.13 atau 13%. Hal ini menunjukan peubah lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini sebesar 87%. Hubungan karakteristik pemukim dengan persepsi, sikap dan perilaku pemukim secara bersama-sama sebesar 0.46 yang menunjukan tingkat hubungan dalam kategori sedang/cukup. Hal tersebut juga menunjukan bahwa tiap peningkatan satu satuan pada karakteristik, persepsi, dan sikap pemukim akan meningkatkan perilaku bermukim sebesar 0.46 satu-satuan. Secara bersama-sama peubah tersebut berpengaruh sebesar 0.22 atau sebesar 22%. Hal ini menunjukan peubah lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini sebesar 78%. Kata kunci: Perilaku Pemukim, Bantaran Sungai, Sub DAS Ciliwung

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMUKIM DI BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DI DKI JAKARTA PATIH MEGAWANDA GULAM Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Richard W.E. Lumintang, M.SEA

9 Judul Tesis Nama NIM : Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pemukim di Bantaran Sungai Ciliwung di DKI Jakarta : Patih Megawanda Gulam : I Diketahui: Komisi Pembimbing Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc Ketua Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.S Anggota Diketahui: Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan Dekan Sekolah Pascasarjana, Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 14 April 2011 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah kami ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat karunia-nya sehingga penulisan tesis yang berjudul faktorfaktor yang berhubungan dengan perilaku pemukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing, Dr.Ir A. Ngaloken Gintings, M.S sebagai pembimbing anggota serta Ir. Richard W.E Lumintang, MSEA, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan maupun saran demi kesempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta dan saudara serta semua keluarga atas doa restunya dan dengan tulus telah memberikan dukungan moril maupun materil. Terima kasih juga untuk Program Mayor Penyuluhan Pembangunan Fakultas Ekologi Manusia Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan izin serta memfasilitasi penulisan dalam penyusunan tesis ini, serta rekan mahasiswa PPN 2008 dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu, atas kerjasama, bantuan dan masukan. Demikian tesis ini disusun, semoga dapat bermanfaat dalam pengembangan penyuluhan di Indonesia. Bogor, April 2011 Hormat Kami Penyusun

11 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 13 Januari 1984 dari pasangan Utama Setiawan dan Anisah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 1996 lulus di SDN Pamulang Permai Tanggerang, 1999 lulus di SLTPN 2 Pamulang Tanggerang, 2002 lulus di SMU Muhammadiyah 8 Tanggerang, 2008 penulis memperoleh gelar sarjana pertanian di Jurusan Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 2008 penulis melanjutkan Program Magister (S2) pada Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Bogor, April 2011 Patih Megawanda Gulam I

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iii iv PENDAHULUAN... 1 Latar belakang... 1 Masalah Penelitian... 3 Tujuan Penelitian... 4 Kegunaan Penelitian... 4 Definisi Istilah... 5 TINJAUAN PUSTAKA Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Bermukim... 8 Perilaku Bermukim Komponen Komponen Perilaku Bermukim Hubungan Karakteristik Pemukim dengan Persepsi Mereka Tentang Bermukim di Bantaran Sungai Hubungan Karakteristik Pemukim dengan Sikap Mereka Tentang Bermukim di Bantaran Sungai Hubungan Karakteristik Pemukim dengan Perilaku Pemukim Hubungan Karakteristik dengan, Persepsi, Sikap, dan Perilaku Bermukim di Bantaran Sungai KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Pikir Hipotesis METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Disain Penelitian Data dan Instrumentasi Pengumpulan Data Analisis Data Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hipotesis

13 Hipotesis Hipotesis Hipotesis Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN 106 Kesimpulan. 106 Saran 106 DAFTAR PUSTAKA 107 DAFTAR LAMPIRAN 114

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Populasi Pemukim di Sub DAS Ciliwung di DKI Jakarta Peubah, sub peubah, dan indikator karakteristik pemukim Peubah, sub peubah, dan indikator persepsi pemukim Peubah, sub peubah, dan indikator sikap pemukim Peubah, sub peubah, dan indikator perilaku pemukim Nilai Koefisien Korelasi Ganda Karakteristik Pemukim dengan Persepsi Pemukim Tentang Bermukim di Bantaran Sungai Nilai Koefisien Korelasi Ganda Karakteristik Pemukim dengan sikap Pemukim Tentang Bermukim di Bantaran Sungai Nilai Koefisien Korelasi Ganda Karakteristik Pemukim dengan Perilaku Bermukim di Bantaran Sungai Nilai Koefisien Korelasi Ganda Karakteristik, Persepsi dan Sikap dengan Perilaku Bermukim di Bantaran Sungai.. 89

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Unsur unsur dalam bermukim di bantaran sungai Tipe bangunan yang didirikan di bantaran sungai Hubungan antara peubah Peta DKI Jakarta

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tabel korelasi Korelasi karakteristik pemukim pada persepsi pemukim Korelasi karakteristik pemukim pada sikap pemukim Korelasi karakteristik pemukim dengan perilaku pemukim Korelasi karakteristik, persepsi dan sikap pemukim dengan perilaku pemukim

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perilaku pemukim di bantaran sungai Jakarta merupakan perilaku yang merugikan dan memiliki sejumlah alasan kuat untuk dirubah karena berdampak buruk pada kerusakan lingkungan, yang terkait dengan kualitas bantaran sungai serta kesehatan pemukim. Bantaran sungai sebagai wilayah konservasi seharusnya berfungsi sebagai proses larian air (run off) menuju sungai. Beralihnya penggunaan lahan bantaran sungai sebagai tempat tinggal membuat bantaran sungai tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai penangkal banjir. Adapun pemicu kerusakan pada bantaran yang disebabkan perilaku pemukim ialah perilaku MCK (mandi, cuci, kakus), dan perilaku mendirikan bangunan. Kerusakan lain yang disebabkan perilaku pemukim adalah longsornya tanah bantaran akibat lemahnya struktur tanah dari bantaran sungai. Hal tersebut karena bantaran sungai merupakan flood plain zoning, yakni tempat yang tidak digunakan sebagai tempat tinggal dan masuk kedalam kelas tanah yang tidak dapat digunakan untuk produksi tanaman komersil (Manan 1976) dan penggunaannya dibatasi pada pengelolaan flora dan fauna serta persediaan air yang memiliki tujuan estetika guna menjadi wilayah konservasi. Oleh karena itu, perilaku bermukim seperti mendirikan bangunan dapat mengakibatkan beberapa kerugian seperti, kerusakan lahan pada bantaran, kerugian materil dan hilangnya nyawa seseorang. Longsornya bangunan di bantaran merupakan dampak lain dari semakin derasnya curah hujan. Air sungai yang bertambah akibat hujan berpengaruh pada derasnya aliran air, dengan kecepatan aliran tersebut maka tanah bantaran seharusnya menjadi struktur penahan yang sesuai sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada. Hal tersebut tidak dapat terjadi jika tanah bantaran dipergunakan sebagai penahan beban berdirinya bangunan. Berdirinya bangunan di bantaran sungai menimbulkan sejumlah aktivitas manusia. Interaksi mahluk hidup dengan lingkungan memiliki siklus yang jelas, dimulai dengan pencarian sumber daya, kemudian mengksploitasinya, dan yang terakhir adalah meninggalkannya dalam keadaan rusak. Sama halnya dengan

18 2 bantaran sungai, para pemukim yang sebagian besar pendatang di Jakarta memiliki harapan untuk mendapatkan keuntungan dengan bermukim di bantaran. Hal tersebut diwujudkan dalam jenis-jenis upaya bertahan hidup yang salah satunya dengan cara bermukim di fasilitas publik seperti bantaran sungai. Adaptasi para pemukim di bantaran sungai menyebabkan beberapa kerusakan yang diantaranya adalah pencemaran pada air sungai di bantaran. Pencemaran air di bantaran sungai telah menjadi bagian yang tidak terelakkan akibat dari banyaknya penduduk yang bermukim. Hal tersebut karena pemukim yang sebagian besar merupakan penduduk miskin sangat bergantung pada sumber daya alam di tempat mereka bermukim (ENDS dan Gomukh 2005). Kekurangan air terutama air bersih yang dialami oleh pemukim diperparah dengan adanya penyedotan air tanah yang berlebihan serta, pembuangan limbah yang seharusnya mengikuti prosedur pemrosesan limbah terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuang. Ketiadaan akses pada air bersih yang memaksa pemukim untuk mengkonsumsi air sungai yang telah tercemar dengan berbagai macam sampah dan limbah. Salah satu penyebab penggunaan air sungai oleh pemukim, disebabkan pandangan bahwa, mengkonsumsi air sungai yang keruh tidak akan menimbulkan penyakit bagi para pemukim. Hal senada pernah dikemukakan oleh Adiwilaga (1982) pada pemukim di daerah Jawa Utara, penyesuaian diri pada kebutuhan konsumsi air minum kerap dilakukan dengan cara mengkonsumsi air sungai, disebutkan juga dalam penelitian tersebut bahwa pemukim memilih mengkonsumsi air sungai yang keruh daripada air sumur yang asin. Mewabahnya penyakit menular disebabkan karena pemukim tidak memperhatikan kebersihan tempat tinggalnya, contohnya, terdapat beberapa perilaku yang biasa dilakukan oleh pemukim mengenai sampah. (1) membakar sampah yang berdampak pada gangguan pernafasan, (2) sampah yang tidak dibakar tapi dibiarkan di udara terbuka dan berdampak pada pencemaran udara, (3) membuang sampah dengan cara dihanyutkan di sungai. Perilaku tersebut berdampak pada saat intensitas hujan yang semakin tinggi dan mengakibatkan bertambahnya populasi nyamuk jenis Aedes aegypty atau Annopheles yang merupakan pembawa penyakit demam berdarah dengue (DBD) dan Malaria. Kondisi tersebut, menurut Mangunjaya (2006) karena karakter nyamuk pembawa

19 3 DBD adalah bertelur di tempat yang bersih dan tergenang, tapi karena intensitas hujan yang semakin tinggi tempat bertelur nyamuk tersebut dapat berpindah pada saluran air yang terhambat sampah dan tempat yang tergenang. Hal ini dapat dilihat pada tersendatnya saluran pembuangan akibat sampah (got dan parit) dan bentuk cekungan pada bantaran yang dapat menampung air. Jakarta sendiri pernah mencapai kondisi luar biasa (KLB) akibat besarnya korban DBD. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh perilaku bermukim yang lalai untuk melakukan metode tiga M (menutup, menguras, dan mengubur) sarang nyamuk. Rendahnya aspek kesadaran pada kebersihan dan bahaya untuk bermukim dibantaran sungai dipandang sebagai perilaku yang membahayakan dan semakin memperkuat alasan bagi para pemukim untuk mengubah perilaku bermukim mereka atau berpindah tempat dengan tidak lagi bermukim di bantaran sungai. Masalah Penelitian Para pemukim di bantaran sungai memiliki sejumlah alasan kuat untuk mengubah perilaku mereka yang berdampak pada rusaknya bantaran sungai. Perilaku bermukim seperti mendirikan bangunan di atas bantaran dapat membahayakan pemukim. Struktur tanah bantaran yang menjadi semakin lemah membuat lahan bantaran pada saat hujan rentan longsor dan mengalami banjir setiap tahunnya. Hal tersebut merupakan dampak yang terjadi akibat perilaku membuang sampah yang dilakukan oleh pemukim. Sampah yang dihanyutkan tersebut menghambat tidak hanya sungai sehingga menyebabkan banjir tahunan yang siklusnya menjadi semakin cepat tiap tahunnya. Tapi juga dampak lain dari perilaku tersebut adalah, perilaku yang dapat ditiru oleh para pemukim lain sehingga membuat meningkatnya volume sampah di sungai. Timbulnya penyakit seperti diare, DBD, dan malaria disebabkan juga karena perilaku bermukim seperti, perilaku MCK, dan perilaku membuang sampah. Padatnya pemukiman di bantaran merupakan sasaran pertumbuhan vektor pembawa penyakit, ditambah lagi dengan minimnya sanitasi di bantaran sungai, berdasarkan permasalahan tersebut alasan pemukim bertahan di bantaran

20 4 belum dapat dipahami secara utuh. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar hubungan karakteristik pemukim dengan persepsi pemukim tentang bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta? 2. Seberapa besar hubungan karakteristik pemukim dengan sikap mereka tentang bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta? 3. Seberapa besar hubungan karakteristik pemukim dengan perilaku bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta 4. Seberapa besar hubungan faktor faktor tersebut pada perilaku bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menentukan hubungan karakteristik pemukim dengan persepsi pemukim tentang bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta. 2. Menentukan hubungan karakteristik pemukim dengan sikap mereka tentang bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta. 3. Menentukan hubungan karakteristik pemukim dengan perilaku bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta 4. Menentukan seberapa besar faktor faktor tersebut berpengaruh pada perilaku bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta. Kegunaan Penelitian Diketahuinya faktor faktor yang berhubungan pada perilaku bermukim diharapkan dapat menjaga kelestarian bantaran sungai maupun kesadaran bagi pihak pihak terkait. Pemahaman mengenai perumusan kebijakan yang mengatur pemukiman diharapkan dapat terjawab dalam pemaparan mengenai akar permasalahan pemukim di bantaran sungai di Jakarta yang selama ini tidak menginginkan untuk berpindah tempat tinggal dari bantaran sungai ketempat lain. Pemaparan pada faktor-faktor mengenai perilaku bermukim diharapkan juga dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu

21 5 penyuluhan pembangunan dalam ranah perilaku sosial masyarakat perkotaan. Dengan demikian secara khusus penelitian ini berguna sebagai : 1. Memberikan informasi dan pengetahuan bagi para pemukim di bantaran sungai dan masyarakat pada umumnya mengenai perilaku pemukim di bantaran sungai 2. Memberi masukan pada pemerintah Jakarta khususnya Departemen Sosial dan Departemen Pekerjaan Umum mengenai pemberdayaan dan permasalahan di bantaran sungai di DKI Jakarta 3. Sebagai bahan acuan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan sosial dan lingkungan hidup di daerah perkotaan Definisi Istilah Definisi istilah dimaksudkan untuk memberikan suatu batasan tentang konsep yang digunakan pada peubah yang diteliti. Penelitian ini diarahkan untuk menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan pada perilaku bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta. Untuk selanjutnya faktor-faktor tersebut didefinisikan sebagai berikut: X1 : X1.1: X1.2: X1.3: Karakteristik Pemukim adalah bagian dari individu pemukim yang melatarbelakangi perilakunya dan intensitasnya dalam bermukim di bantaran sungai yang meliputi, umur, motivasi, pendidikan formal, pekerjaan, pendapatan, aset total, jarak daerah asal, masa bermukim, perilaku bermukim kembali. Umur adalah jumlah tahun sejak awal kelahiran sampai ulang tahun terakhir saat dilakukan penelitian ini. Motivasi adalah alasan kuat kedatangan pemukim ke Jakarta dan bermukim di bantaran sungai. Adapun yang termasuk di dalamnya adalah kebutuhan untuk bertahan hidup, mendapatkan pekerjaan, mendapatkan penghasilan, dan pengakuan dari komunitas maupun kerabat yang mengenal atau dikenal pemukim. Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan terakhir, dan tahun kelulusan pemukim sampai dilakukan penelitian ini.

22 6 X1.4: Pekerjaan adalah curahan waktu yang dimanfaatkan oleh pemukim untuk bekerja dalam profesinya. X1.5: Pendapatan adalah penerimaan yang telah dikurangi dengan biayabiaya selama bermukim di bantaran sungai. X1.6: Aset total adalah sumber daya yang dimiliki oleh pemukim, dari daerah asal atau didapatkan setelah bermukim di bantaran. X1.7: Jarak daerah asal dengan bantaran sungai adalah jarak total daerah asal pemukim dengan tempat tinggal. X1.8 Masa bermukim adalah jumlah waktu bermukim yang dihitung sejak awal kedatangan pemukim di bantaran sungai. X1.9: Perilaku bermukim kembali adalah alasan kedatangan pemukim ke tempat semula atau bermukim di bantaran sungai lagi setelah upaya relokasi secara paksa maupun sukarela. X1.10: Jumlah pemukim dalam satu rumah adalah, jumlah pemukim total yang ada didalam suatu bangunan X2: Persepsi pemukim tentang bermukim di bantaran sungai adalah penilaian para pemukim tentang bermukim di bantaran sungai. Adapun faktor yang terdapat didalamnya adalah, penilaian sungai berada dalam kondisi optimal, yang berarti pengetahuan pemukim tentang bantaran sungai. Bantaran dalam kondisi optimal untuk dijadikan tempat bermukim, yang berarti terkait dengan pemahaman mereka tentang lingkungan bantaran sungai. Ketidakpedulian pemukim pada bantaran sungai, yang terkait dengan pengalaman mereka. X3: Sikap pemukim tentang bermukim di bantaran sungai adalah keyakinan yang dimiliki oleh pemukim mengenai bermukim di bantaran sungai. adapun faktor yang terkait di dalamnya berada pada aspek kognisi, afeksi dan konasi. Y : Upaya seseorang untuk mendapatkan tempat tinggal dan bertahan hidup melalui beberapa tahapan seperti, merencanakan, membangun, dan menghuni. Dengan cara menyesuaikan diri pada tempat dimana mereka bermukim melalui penggunaan sumber daya, baik dari diri

23 7 sendiri maupun lingkungan secara illegal maupun legal, yang digunakan sebagai penunjang kehidupan untuk diaplikasikan pada bentuk bangunan dan kondisi lingkungan ditempat mereka bermukim.

24 8 TINJAUAN PUSTAKA Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Bermukim Faktor-faktor yang berhubungan dalam perilaku bermukim diantaranya meliputi karakteristik pemukim yang terdiri dari, umur, motivasi, pendidikan formal, pekerjaan, pendapatan, aset total, jarak daerah asal dengan bantaran sungai, masa bermukim, perilaku bermukim kembali, dan jumlah pemukim dalam satu rumah. Faktor lain meliputi persepsi, sikap yang diduga mempengaruhi perilaku bermukim dan memiliki komponen diantaranya adalah: (1) perbaikan dan perawatan bangunan dengan komponen diantaranya adalah perbaikan pada bangunan dan perawatannya. (2) perilaku bermukim dengan komponen didalamnya penggunaan air sungai hingga melestarikan lingkungan sekitar. (3) aktivitas sosial pemukim yang memiliki komponen diantaranya interaksi para pemukim dengan lingkungan sosialnya melalui beberapa kegiatan. (4) aktivitas kesehatan yang memiliki komponen diantaranya adalah penggunaan pestisida berbahaya pada pemukim. (5) upaya mempertahankan bangunan yang memiliki komponen diantaranya adalah upaya yang dilakukan oleh pemukim dalam mempertahankan huniannya melalui beberapa cara. Komponen tersebut akan dikaji berdasarkan pustaka terkait. Karakteristik Pemukim Aspek yang melatarbelakangi pemukim untuk menempati bantaran sungai di DKI di Jakarta karena adanya komponen yang diduga mendukung keberadaan pemukim. Dengan mengetahui komponen tersebut maka perilaku bermukim dapat diketahui secara sistematis. Adapun komponen yang melatarbelakangi tersebut diantaranya adalah: 1. Umur Faktor usia dalam perkembangan diri seorang manusia sangat menentukan mengingat banyaknya aspek yang dikembangkan pada seorang individu melalui usia yang dimilikinya. Salah satunya ialah keputusan untuk bertempat tinggal di bantaran sungai, faktor yang mempengaruhinya diantaranya adalah kematangan

25 9 secara psikologis yang diaplikasikan melalui kesadaran pada tanggung jawab. Hurlock (1980) mengungkapkan jika masa kanak-kanak dan remaja merupakan fase pertumbuhan maka masa dewasa erat kaitannya dengan tanggung jawab. Hal ini berhubungan dengan keputusan yang harus diambil sehubungan dengan kehidupannya. Keputusan yang dibuat oleh pemukim tidak sepenuhnya dibuat berdasarkan keputusan dari diri sendiri, hal tersebut merupakan dampak dari kematangan wawasan yang merupakan pengaruh dari informasi yang terpapar pada individu. Proses pengambilan keputusan tersebut secara spesifik mengungkapkan kematangan intelektual yang berdampak pada daya analisis seseorang. Informasi dari masyarakat pendatang mengenai tanggung jawab yang harus diambil alih ketika seseorang berada di fase dewasa, ditambah dengan contoh adanya keberhasilan dan perubahan yang dialami ketika seseorang berpindah dari desa ke kota. Fakta tersebut yang membuat adanya kesinambungan antara umur pada karakteristik pemukim. Lebih jauh lagi diungkapkan Brim (1966) proses tersosialisasinya seseorang di usia tertentu juga karena adanya interaksi dari lingkungan sekitar dan etika maupun kepercayaan yang berlaku di suatu sistem sosial, pada saat itu seseorang diharapkan dapat berubah mengikuti hal tersebut, karena lingkungan sosial mengharapkan adanya peranan yang dipenuhi oleh seseorang ketika berada pada usia tertentu. Karena hal tersebut pemukim yang merupakan pendatang pada umumnya berada pada fase usia remaja dan dewasa. Tanggung jawab yang dibebankan oleh lingkungan maupun keluarga pemukim memiliki pengaruh pada kedatangan mereka untuk bermukim di bantaran sungai. 2. Motivasi Motivasi diartikan oleh Johannson dan Page dalam Crawford (2005) sebagai sebuah proses-proses atau faktor yang bisa menyebabkan orang lain bertindak atau berperilaku dengan cara tertentu. Sedangkan Maslow dalam Boeree (2006) mengungkapkan bahwa motivasi seseorang memiliki tingkatan yang saling menutupi satu dengan lainnya. Kondisi tersebut memiliki prinsip yaitu homeostatis, prinsip ini yang membuat seseorang dapat dengan sendirinya membuat prioritas dalam kebutuhannya yang dikatakan sebagai instictold

26 10 (kebutuhan yang mirip insting) melalui prinsip tersebut kedatangan pemukim untuk berpindah tempat tinggal karena kondisi yang tidak menguntungkan dan membuat mereka melakukan usaha untuk survive. Kondisi tersebut kemudian menimbulkan efek berantai pada pemukim melalui adanya kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Upaya pemukim untuk mendirikan bangunan erat kaitannya dengan motivasi pemukim untuk bertahan di Jakarta. Hal tersebut karena pada umumnya seorang pendatang yang ingin bermukim di kota telah menjual atau kehilangan seluruh asset yang dimiliki di desa menurut Abrams (1964) kebutuhan seseorang atau sebuah keluarga pada tempat tinggal, karena adanya persaingan manusia dengan manusia lainnya. Munculnya sifat manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya karena desakan sumber daya alam yang sudah tidak dapat lagi mencukupi diri dan keluarganya. Semakin banyaknya lahan-lahan pertanian dipedesaan yang tidak lagi menghasilkan sesuatu untuk dimakan serta gambaran tentang kehidupan yang lebih baik yang lebih baik di perkotaan membuat pendatang pindah dan bermukim di kota. Kondisi tersebut yang memaksa pemukim untuk dapat bertahan hidup dengan sumber daya seadanya yang dibawa ke kota, bahkan tidak jarang para pendatang yang harus meminjam aset pada sanak saudaranya guna memenuhi kebutuhan bermukim di Jakarta. Melalui proses tersebut motivasi pemukim menjadi besar artinya, modal besar yang telah dikeluarkan serta motivasi untuk dihargai kerabat menjadi pemicu perilaku bermukim di bantaran sungai. Menurut Robbins (2007) suatu energi dari dalam diri dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dari motivasi seseorang dan peluang yang tersedia. Diantaranya faktor yang dapat memotivasi seseorang adalah: (1) Kebutuhan akan prestasi yang merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat seseorang. Karena itu kebutuhan akan prestasi mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengerahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi yang maksimal. (2) Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat seseorang. Hal ini termasuk, kebutuhan akan perasaan diterima

27 11 oleh orang lain di lingkungan tempat tinggalnya. Kebutuhan rasa dihormati, kebutuhan untuk maju dan tidak gagal dan kebutuhan untuk ikut berpartisipasi. (3) Kebutuhan akan kekuasaan, merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat seseorang. Hal ini memotivasi seseorang demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Perilaku bermukim juga merupakan dampak dari motivasi pemukim sebelumnya untuk bertempat tinggal dan bertahan di DKI Jakarta. Keragaman motif dari pemukim jika dikaitkan dengan teori Wood Worth dalam Ahmadi (2007) adalah: emergency motive yang membutuhkan tindakan segera karena tuntutan keadaan. Seperti halnya kebutuhan pemukim untuk mendapatkan rumah, pakaian, makanan dan pekerjaan guna bertahan hidup. Sedangkan yang selanjutnya adalah: objective motive: yang merupakan hubungan dari lingkungan berupa individu maupun benda. Dalam hal ini contoh motivasi pemukim ialah penghargaan dari kerabat pemukim di daerah asal. Karena dampak dari motivasi tersebut juga memotivasi calon pemukim lain untuk berada di Jakarta. 3. Pendidikan Formal Pendidikan formal menurut Coombs dalam Teddy (2009) ialah. is the highly institutionalized, chronologically graded and hierarchically structured education system, spanning lower primary school and the upper reaches of the university. Jadi dalam hal ini dijelaskan bahwa pendidikan formal merupakan pendidikan yang memiliki bentuk organisasi tertentu seperti sekolah dasar sampai dengan universitas, sehingga terlihat adanya penjenjangan, program pembelajaran, jangka waktu proses belajar dan bagaimana perkembangan siswa pada jenjang pendidikan yang diberikan selama waktu tertentu. Melalui pemaparan tersebut seharusnya dapat dipastikan bahwa tingkat pendidikan formal pemukim memiliki gradasi yang jelas dalam sikap maupun perilaku bermukim di bantaran. Seseorang yang berpendidikan tinggi, mungkin tidak menyukai bertempat tinggal di bantaran sungai yang kotor dan rawan bencana. Dengan begitu diasumsikan jika seseorang yang berpendidikan tinggi akan berusaha menjauhi bermukim di bantaran sungai karena rawan bencana dan lingkungan yang tidak sehat.

28 12 Pendidikan juga memiliki pengaruh pada daya analisa seseorang pada lingkungan bermukim, misalnya saja pada upaya manusia dalam menganalisa karakter rumah melalui ilmu feng-shui yang berarti angin dan air. Menurut Frick dan Suskiyanto (2007) ilmu ini merupakan kreasi dari manusia dalam menciptakan pola letak tanah dan mencerminkan sikap pemukim pada lingkungan. Dengan begitu faktor pendidikan formal seseorang berpengaruh pada daya cipta, karya, dan karsa-nya pada pemukiman yang ditempatinya. Lebih jauh menurut Frick dan Suskiyanto (2007) pendidikan mengajarkan kepada seseorang mengenai apa yang terjadi jika batasan dalam alam atau lingkungan telah dilewati. Terlampauinya batasan lingkungan oleh pemukim karena pemukim tidak memiliki sikap maupun pengetahuan yang mencukupi mengenai bantaran sungai, dan hal tersebut karena minimnya pendidikan yang didapat oleh pemukim. 4. Pekerjaan Pekerjaan di lingkungan perkotaan pada umumnya memiliki dua kategori yaitu, formal dan informal. Kedua sektor tersebut memiliki pengaruh tersendiri dalam perilaku bermukim. Misalnya saja pada aspek waktu yang harus dicurahkan untuk pekerjaan tersebut guna mendapatkan penghasilan yang diinginkan. Perbedaan karakter pekerjaan pemukim dengan tempat tinggalnya diwilayah perkotaan turut mempengaruhi pemilihan pekerjaan pada pemukim. Pada umumnya pemukiman di bantaran sungai memiliki kegiatan usaha informal seperti warung, hal ini yang dikatakan oleh Budiharjo (2006) sebagai usaha emper depan atau (front-porch business) sebagai pilihan pekerjaan yang biasa dilakukan di daerah asal mereka, kegiatan seperti perdagangan dan bercocok tanam serta pertukangan merupakan profesi yang umum dilakukan oleh pendatang. Pekerjaan pemukim di sektor formal umumnya sebagai buruh kasar dari pekerjaan konstruksi maupun buruh di pabrik. Program yang berorientasi pada pembangunan merupakan upaya pemerintah dalam menyerap tenaga kerja yang menganggur. Akan tetapi pendapatan yang mereka terima tidak dapat mencukupi untuk kebutuhan tempat tinggal, sehingga banyak dari buruh yang menjadi pemukim di bantaran sungai.

29 13 5. Pendapatan Perbedaan sektor pekerjaan para pemukim memungkinkan untuk menemukan tingkat perbedaan pendapatan. Menurut Hutomo (2000) masyarakat yang masuk ke dalam kategori miskin hanya memiliki dua sumber pendapatan, melalui upah/gaji atau surplus usaha informal, lebih lanjut pembahasan tersebut karena masyarakat jenis ini dianggap memiliki kemampuan yang terbatas. Hal tersebut menjelaskan alasan pemilihan lokasi bermukim di bantaran karena pendatang yang menjadi pemukim di bantaran tidak memiliki pilihan lain dengan tingkat pendapatan yang tidak mencukupi. Perbedaan tingkat pendapatan tersebut hanya berdampak pada tercukupinya sumber daya guna memperbaiki atau membuat hunian. Dengan begitu komponen ini dapat menjelaskan bagaiman pendapatan yang dimiliki dapat mempengaruhi kondisi bangunan maupun pemilihan lokasi pemukiman. 6. Aset Total Perekonomian di pedesaan memiliki struktur yang tertata jelas, dimulai dari kegiatan pertanian yang menghasilkan keuntungan berupa panen, kemudian penjualan produk kepada konsumen. Tetapi pada saat perkembangan ekonomi perkotaan yang cenderung sentralistik, fungsi pedesaan menjadi termarjinalkan hanya sekedar pemenuhan pangan bagi warga perkotaan hal ini yang menyebabkan keuntungan bagi warga pedesaan menjadi berkurang secara signifikan. Kondisi ini yang membuat mereka terjebak pada hutang dan kehilangan sumber daya. Evers dan Korff (2002) mengungkapkan penelitian tentang desa di Malaysia yang menjadi kekurangan dalam kepemilikan aset-nya sendiri karena sistem ekonomi perkotaan yang membuat aktivitas pasar menjadi meningkat dan komersialisasi di bidang pertanian yang menjadi terpusat di perkotaan. Kondisi di Malaysia tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada pendatang di bantaran sungai, kepemilikan mereka pada sumber daya menjadi berkurang karena aktivitas ekonomi mereka hanya berkisar pada produksi subsisten yang dikonsumsi sendiri, sementara itu untuk memenuhi kebutuhan lainnya sulit untuk di akses. Oleh karena itu, aset total dari pemukim diketahui

30 14 melalui adanya sumber daya yang dimiliki oleh mereka selama bermukim di bantaran. 7. Jarak Daerah Asal Dengan Hunian Pendatang di bantaran sungai memiliki latar belakang yang beragam, dan berakibat pada perbedaan perilaku individu pada bantaran. Pembagian pemukim atau individu yang berinteraksi pada bantaran sungai dapat dikategorikan sebagai berikut. (1) Pemukim asli Jakarta yang lahir dan hidup di Jakarta. (2)Pendatang dari kota diluar Jakarta yang bermukim di Bantaran sungai (3) Pendatang yang bekerja yang berhubungan atau berinteraksi dengan bantaran sungai. Pembagian tersebut dilakukan untuk mengetahui kategori pemukim dengan latar belakang yang berbeda. Pembagian melalui kondisi sosial ekonomi akan sulit dilakukan karena tidak semua penduduk yang menjadi pemukim di bantaran sungai berada dalam kondisi ekonomi yang buruk. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya, pemukiman yang layak huni di Jakarta selatan terutama disepanjang DAS pesanggrahan dan juga Sunter dan Ciliwung yang ditempati oleh pabrik. Pembagian tersebut dilakukan dengan merujuk pada kondisi lahan di bantaran. Menurut Nold (2003) faktor utama dari bermukim adalah kebudayaan dan hal itu terkait dengan sejarah yang menjadi identitas bagi keberadaan budaya tersebut. Oleh karena itu pada perencanaan pembangunan hunian budaya memiliki pengaruh pada pemukim yang dibawa dari daerah asalnya. Konteks budaya pada pemukim terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama penyesuaian seseorang pada suatu daerah yang menjadi tempat tinggalnya, yang dianggap sebagai upaya adaptasi para pemukim ditempat yang baru dan hal tersebut diperlihatkan melalui penyesuaian bangunan tempat tinggal yang membaur dengan keadaan sekitarnya seperti lingkungan dan keadaan sosial tempatnya bermukim. Sedangkan pada bagian yang kedua kebudayaan akan tetap dipertahankan oleh seorang pemukim meski berbeda ditempat yang baru didatanginya. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui teori Maslow dalam Booroe (2006) sebagai upaya aktualisasi diri agar dapat dikenali oleh masyarakat. Melalui faktor kebudayaan perilaku bermukim dapat diketahui melalui kebiasaan dan ritual yang dimiliki dalam kebudayaan

31 15 tersebut, dengan begitu aspek kebudayaan memiliki pengaruh pada perilaku bermukim di bantaran. 8. Masa Bermukim Perilaku bermukim di bantaran sungai bukanlah fenomena baru bagi kasus sosial perkotaan, hanya saja merupakan kegagalan pemerintah dalam memindahkan para pemukim di bantaran sungai. Bolay (2006) mengatakan tentang kesulitan dalam menertibkan pemukim akibat masa bermukim, mereka yang sudah lama hal ini juga yang membuat mereka memahami kondisi yang sebenarnya kesulitan dalam meng akses pelayanan dan infrastruktur publik yang dijanjikan oleh pemerintah. Alasan kuat para pemukim diantaranya ialah, tempat yang disediakan, pada pemukim juga belum seluruhnya siap. Contohnya dapat dilihat pada kasus rumah susun yang disediakan oleh pemerintah bagi pemukim di bantaran sungai. Berbagai macam keluhan yang dilaporkan pemukim yang akan direlokasi adalah sebagai berikut: Jangka waktu dari hunian di rumah susun yang akan di batasi menjadi beberapa tahun saja, rumah susun tersebut di satu kamarnya akan terdiri dari dua sampai tiga keluarga, luas dari satu bangunan yang akan ditempati di rumah susun nantinya hanya seluas kurang dari 36 m 2 (Kompas 2009). Hal tersebut yang menjadikan sulitnya untuk menertibkan pemukim di bantaran. Selain karena fasilitas pemukiman yang tidak memadai penyebab lain adalah: tidak cukupnya biaya kompensasi guna memiliki hunian baru. 9. Perilaku Bermukim Kembali Penelitian mengenai perilaku bermukim kembali (resettlement behavior) diungkapkan oleh Viratkapan dan Perera (2006) tentang pentingnya upaya negosiasi pemerintah yang diterapkan dalam negosiasi dari nilai kompensasi kepindahan pemukim. Meskipun pada kasus pemukiman kumuh, banyak dari para pemukim yang tidak memiliki izin dalam mendirikan bangunan (Sengupta dan Sharma 2009). Akan tetapi karena waktu tinggal mereka yang sudah menahun maka upaya-upaya dalam merelokasi dan mencegah munculnya perilaku bermukim kembali harus dilakukan secara tepat. Penelitian yang dikembangkan pada studi kasus di bantaran sungai Bangkok ini di identifikasi penyebab dari

32 16 perilaku bermukim kembali yang diantaranya adalah: faktor ekonomi yang terkait dengan tempat yang dihuni yang kemudian menyebabkan timbulnya perilaku bermukim kembali. Oleh karena itu, pendekatan dalam program yang dikembangkan akhirnya dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan keberhasilan dari relokasi pemukim. Adapun faktor yang termasuk di dalamnya adalah: (1) partisipasi dari pemukim (2) kompensasi yang sesuai pada tanah yang akan dibebaskan (3) lokasi yang sesuai (4) fasilitas terpenuhi (5) kepastian dalam mendapatkan pekerjaan atau tidak mengganggu keberlangsungan dari pendapatan. Kelima faktor tersebut nantinya dapat mengarah pada sikap pemukim mengenai tempat yang akan dituju nantinya, apakah tempat tersebut memenuhi kriteria dengan yang diinginkan pemukim. 10. Jumlah Pemukim Dalam Satu Rumah Pemukim di bantaran sungai umumnya merupakan pendatang dan tinggal bersama, hal ini bisa beranggotakan keluarga yang tinggal bersama, atau kerabat yang menyewa bangunan bersama. Jumlah pemukim dalam bangunan memperlihatkan aktivitas yang berbeda satu sama lainnya. Abrams (1966) mengungkapkan tentang karakter jumlah pemukim didalam suatu bangunan sebagai berikut. Mereka membuat partisi yang membagi sejumlah aktivitas kedalam beberapa ruangan yang digunakan sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi hal tersebut tentu saja akan mengubah jarak psikis dan rentan pada konflik. Hal ini sulit untuk dihindari karena perbedaan kondisi seseorang akan mewakili tingkah lakunya setelah kembali kedalam rumah, yang seharusnya menjadi tempat untuk beristirahat dan berkontemplasi. 11. Persepsi Pemukim Tentang Bermukim Di Bantaran Sungai Persepsi didefinisikan sebagai proses yang menggabungkan dan menggorganisasikan data-data indera kita untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari keadaan disekeliling kita, dan juga termasuk menyadari keberadaan akan diri kita sendiri. Definisi lain menyebutkan bahwa persepsi adalah: kemampuan membedakan, mengelompokan memfokuskan perhatian pada suatu objek rangsang. Proses pengelompokan dan membedakan ini

33 17 persepsi melibatkan proses intepretasi berdasarkan pengalaman pada suatu objek. (Sears et al,1985). Persepsi individu untuk bermukim di bantaran sungai karena para individu hanya mampu menafsirkan bahwa bantaran maupun sungai berada didalam kondisi optimal, terutama dengan arus sungai yang besar dianggap dapat membersihkan sampah maupun limbah yang dibuang kedalam sungai, dan kondisi dari bantaran yang tetap dalam kondisi baik. Walaupun ketika bencana, seperti banjir dan tanah longsor pada bantaran, pemukim bantaran sungai hanya menganggap tanah dari bantaran sudah tidak mampu lagi menahan beban sehingga para pemukim dapat mencari wilayah lain dari bantaran sungai yang berbeda. Karena persepsi lebih bersifat psikologis daripada proses penginderaan saja, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi a. Persepsi yang selektif: dalam kehidupan setiap manusia setiap saat menerima banyak sekali rangsangan dari lingkungan, tetapi setiap orang tidak harus menanggapi semua rangsangan, hanya harus memusatkan perhatian pada rangsangan tertentu saja. Dengan demikian objek atau gejala lain tidak akan menjadi prioritas sebagai objek pengamatan. b. Ciri-ciri rangsang: rangsangan yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil: yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangan yang paling kuat. c. Nilai dan kebutuhan individu: cita rasa dan pengamatan yang berbeda pada objek yang sama. d. Pengalaman dahulu: pengalaman terdahulu yang mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan dunianya. (Shaleh dan Wahab 2004) Faktor yang mempengaruhi persepsi dari bermukim di bantaran sungai diantaranya kondisi pemukiman di Jakarta yang tidak memungkinkan untuk menambah pemukiman lagi, terkecuali di daerah yang dikosongkan menjadi daerah konservasi. Melalui hal tersebut para pemukim hanya terfokus pada ketersediaan tempat tinggal ketika tiba di Jakarta, hal ini masuk kedalam kategori

34 18 persepsi yang selektif, yaitu kondisi dimana seorang individu dan keluarganya yang membutuhkan tempat tinggal dan tidak memperhatikan aspek lain, seperti kebersihan dan keamanan. Faktor lain yang sesuai dengan kondisi persepsi dari bermukim dibantaran sungai adalah: faktor pengalaman yang melatar belakangi sesorang mempersepsikan bantaran sungai. Sebagai contoh karena tidak padatnya penduduk dan perbedaan regulasi disuatu daerah di daerah. Bermukim bantaran sungai tidak menjadi permasalahan, akan tetapi berbeda ketika individu yang memiliki pengalaman tersebut berada di Jakarta untuk bermukim di bantaran sungai. Mereka mulai memperlakukan bantaran dan sungai berdasarkan pengalaman di daerah asalnya, hal ini akan berdampak pada rusaknya bantaran sungai dan juga memberikan kesempatan maupun contoh pada pemukim lain untuk melakukan hal yang sama. 12. Sikap Pemukim Tentang Bermukim Di Bantaran Sungai Alport dalam Sears (1985) mendefinisikan bahwa sikap adalah: keadaan saraf dan mental dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman dan memberikan pengaruh dinamik pada respon individu semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Definisi ini dipengaruhi dengan adanya tradisi tentang belajar dan juga pengalaman masa lalu individu yang membentuk sikap. Kretch dan Crutchfield yang diacu oleh Sears mendukung perspektif dari kognitif yang mendefinisikan sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia seseorang. Robbins (2007) mendefinisikan sikap sebagai pernyataan yang bersifat evaluatif, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan, mengenai obyek, individu maupun peristiwa. Sikap sendiri terbagi kedalam tiga komponen, yaitu kognitif, afektif dan konatif (Siagian 2004), komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap yaitu, fakta pengetahuan dan keyakinan objek, komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi

35 19 seseorang pada objek penilaian, komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecendrungan untuk bertindak pada objek. Aspek sikap merupakan aspek yang dapat memudahkan untuk memahami bentuk dari perilaku bermukim di bantaran sungai. Pemecahan melalui komponen sikap dapat dilakukan menjadi bagaimana, ketiga komponen sikap tersebut dapat saling mempengaruhi. Komponen kognitif dari sikap bermukim adalah: bagaimana meyakini bahwa bantaran sungai dapat menunjang kehidupan mereka di Jakarta, dan bagaimana bantaran sungai berfungsi secara optimal dengan aspek fisiknya yang memenuhi kebutuhan tempat tinggal, berkegiatan MCK (mandi,cuci, kakus) setiap harinya. Komponen dari sikap mengenai afektif dalam perilaku bermukim, lebih mencangkup kepada aspek emosional pemukim, hal ini dapat termasuk tentang melihat seseorang yang telah tinggal lebih lama di bantaran sungai kemudian mempengaruhinya untuk tinggal di bantaran sungai, dan berperilaku seperti membuang sampah di sungai serta merusak bantaran dengan mendirikan bangunan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Harihanto (2001) menurut teori belajar sosial, sikap dapat terbentuk atau berubah karena meniru orang lain. Aspek perilaku dalam sikap lebih mengarah kepada maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu pada sesuatu, dalam hal ini dijelaskan tentang bagaimana seseorang ketika berusaha mencari tempat bermukim. Aspek perilaku dalam sikap mengarahkan bagaimana seseorang meyakini dan kemudian bertindak berdasarkan fakta atau pengaruh yang membuat seseorang bersikap untuk bertempat tinggal di bantaran sungai, kemudian diaktualisasikan kedalam perilaku bermukimnya. Komponen dalam sikap pada umumnya berinteraksi secara sistematis ketika mempengaruhi seseorang dalam bersikap. Komponen tersebut mempengaruhi melalui fakta pengetahuan dan keyakinan dalam perilaku bermukim di bantaran sungai. Tentang unsur dalam bermukim dibantaran sungai, diperlihatkan dalam Gambar. 1.

36 20 Sungai Dalam Kondisi Optimal Mencukupi Kebutuhan Berbahaya Untuk Dijadikan Pemukiman Bantaran Sungai Gambar 1. Unsur-Unsur dalam Bermukim Di Bantaran Sungai Gambar diatas memperlihatkan tentang bagaimana sikap dapat dipengaruhi secara kognitif afektif dan maksud untuk berperilaku di dalam bermukim di bantaran sungai. Akan tetapi Sears (1985) menilai bahwa unsurunsur tersebut dapat menjadi bagian yang terpisah kedalam kompleksitas kognitif, kesederhanaan eveluatif serta sikap dan perilaku. 1. Kompleksitas Kognitif: Salah satu unsur dari berbagai sikap dalam tingkat kepentingan yang berbeda, sikap juga dapat berupa hal-hal yang rumit dan melibatkan sejumlah kognisi yang mempunyai perbedaan dalam hubungannya dengan inti masalah dan dalam komponen penilaiannya. Segala macam kesulitan yang ditimbulkan kenyataan bahwa kognisi-kognisi ini berhubungan dengan satu sama lain dan berhubungan dengan banyak komponen lainnya. Pendapat bahwa bantaran sungai dapat menerima penambahan pemukim lagi dan menghasilkan keuntungan, dapat menghasilkan sikap yang terkait dengan tindakan lainnya bagi pemukim, seperti mendirikan bangunan. 2. Kesederhanaan Evaluatif: Perbandingan pada fakta yang ada membuat fungsi fakta dapat diubah dengan adanya peran konfirmatory atau adanya perbandingan baru yang dihasilkan dari fakta terbaru. Pada kondisi ini sikap

37 21 akan berbeda. Sikap bila ditetapkan, akan jauh lebih sulit berubah dibandingkan keyakinan akan fakta, karena seseorang tidak akan mengubah sikapnya sebelum terlebih dahulu mengadakan perlawanan dan tanpa dihadapkan pada sejumlah tekanan yang sungguh-sungguh. Hal tersebut ditambah dengan adanya komponen evaluatif yang mengubah dinamika tersebut, membuat proses perubahan sikap menjadi lebih sulit. Salah satu mengapa penilaian ini dapat menjadi lebih sulit karena penilaian tentang objek sikap dapat berlangsung lama setelah dampak yang dihasilkannya dilupakan. Komponen afektif lebih dapat bertahan dan lebih pokok daripada komponen kognitif. Hal ini karena fakta yang terdapat dibantaran sungai walaupun perbuatan seperti membuang sampah dan mendirikan bangunan dapat mengakibatkan kerusakan dan bencana, tetapi fakta tersebut tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat oleh pemukim. 3. Sikap Dan Perilaku: Komponen ketiga dari sikap menyangkut pada kecenderungan berperilaku, dalam kasus perilaku bermukim jika seseorang diyakinkan pada bahaya untuk berperilaku merusak bantaran, maka yang selanjutnya apakah perilaku yang diterapkan oleh pemukim merupakan perilaku yang lestari atau bahkan mulai pindah dan tidak menggunakan bantaran sungai lagi. Hal ini disebut sebagai ketidaksesuaian perilaku nyata dengan sikap. Banyak pemukim yang mengetahui tentang berbahayanya untuk tinggal dan merusak bantaran sungai. Tetapi tetap tidak memiliki keinginan untuk pindah atau melestarikan bantaran sungai. Perilaku bermukim mereka tidak dikendalikan dengan adanya kognisi dan penilaian negatif mereka tentang bermukim di bantaran sungai. Hal ini menyimpulkan bahwa komponen perilaku dari sikap tidak selalu sesuai dengan komponen afektif dan kognitif.

38 22 Perilaku Bermukim Melihat asal katanya, bermukim memiliki beberapa padanan yang sesuai menurut terjemahan dari kata settlement. Berdasarkan Oxford advanced learner dictionary (2000) yaitu, a place where people have come to live and make their home, esspecialy where few or no people lived before dan yang selanjutnya adalah: the process of the people making their homes in a place. Melalui definisi baku kamus tersebut diketahui beberapa komponen yang dapat melatarbelakangi seorang pemukim untuk bermukim di suatu tempat. Defenisi pertama disebutkan bahwa bermukim berkaitan dengan perencanaan dan pemilihan sebuah lokasi guna dijadikan tempat bermukim. Selanjutnya, bermukim merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk membuat hunian di sebuah tempat. Hal tersebut menunjukan bahwa, bermukim memiliki komponen diantaranya adalah: merencanakan, membangun, dan menghuni, yang didalamnya terdapat juga beberapa aktivitas/komponen pendukung guna mendapatkan hunian yang sesuai keinginan pemukim, seperti perilaku MCK serta pemeliharaan bangunan, aktivitas ekonomi, aktivitas kesehatan, aktivitas sosial dan mempertahankan bangunan. Kondisi tersebut didefinisikan oleh Rosen (1985) sebagai sebuah upaya untuk mencapai standar hunian yang layak. Komponen perilaku pemukim yang pertama dalam definisi tersebut adalah: perilaku merencanakan. Usaha tersebut diantaranya, mencari lokasi yang sesuai, mencari bangunan dan lingkungan yang nyaman, kemudian menyesuaikan dengan kemampuan finansial yang dimiliki oleh calon pemukim. Kriteria tersebut disebutkan Rosen (1985) sebagai komponen yang harus dipenuhi dari sebuah hunian, yang diantaranya. Memiliki fasilitas air, memiliki dapur, konstruksi atap dan bangunan yang kuat, dan harga yang terjangkau, akan tetapi kondisi tersebut merupakan kondisi ideal dari pemukim yang berkecukupan. Berbeda hal nya dengan perilaku pemukim yang tidak berkecukupan. Hal yang dikemukakan oleh Abrams (1964) sebagai sebuah pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal yang harus tetap dipenuhi. Melalui pendapat Abrams dapat diterjemahkan bahwa perilaku bermukim dapat terbentuk melalui adanya keputusan pemukim untuk tetap tinggal, meskipun tidak adanya sumber daya sebagai penunjang. Hal ini dapat dilihat melalui adanya perilaku bermukim yang menempati lahan atau fasilitas publik yang tidak seharusnya

39 23 berpenghuni seperti bantaran sungai. Lebih jauh lagi Abrams memberikan alasan bahwa penetapan keputusan untuk bertahan pemukim lebih karena adanya alasan substansial mengenai ketiadaan sumber daya pemukim di daerah asalnya. Pada aspek ini perilaku pemukim berdampak pada terciptanya motivasi pendatang lain untuk bertempat tinggal di bantaran sungai yang memiliki peluang untuk merusak bantaran sungai dengan cara mendirikan bangunan (Action, 2006). Perilaku bermukim merupakan hasil dari perencanaan pemukim mengenai fungsi bangunan yang didirikan. Aspek ini memperlihatkan fase selanjutnya dari perilaku pemukim yaitu merealisasikan perencanaan dengan cara membangun atau menyewa bangunan guna ditempati. Bagian ini juga memperlihatkan jenis kerusakan pada bantaran sungai akibat dari perilaku bermukim. Perilaku pertama yaitu membangun hunian, komponen didalamnya, ialah, pemilihan material bangunan. Pengerjaan bangunan pemukiman pada umumnya dilakukan secara swadaya dengan pemukim lain menggunakan material yang didapatkan dengan harga murah. Disain pemukiman pada umumnya, bagi pemukim yang memasuki badan sungai adalah: menggunakan disain rumah panggung atau rumah dua lantai hal tersebut dilakukan pemukim guna mengantisipasi banjir. Hal yang sama dikatakan Action (2006) bahwa pemukim di bantaran sungai pada umumnya meninggikan beberapa meter konstruksi bangunannya dan juga meletakan beberapa kantung pasir guna mencegah banjir. Lebih jauh lagi menurut Dent dan Roberts (1974) bahwa terdapat beberapa aspek yang biasa di kerjakan untuk pemukiman dengan rawan bencana seperti di bantaran sungai. (1) penyesuaian struktur bangunan dengan tempat berdirinya bangunan (2) klasifikasi elemen bangunan. Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: pada penyesuaian disesuaikan dengan area pemukiman yaitu bantaran sungai. Tipe rumah yang berdiri di bantaran sungai pada umumnya menurut Wijanarka (2008) adalah rumah yang ditopang dengan banyak tiang. Hal tersebut disesuaikan dengan ketinggian maksimal air sungai ketika hujan turun. Adapun tinggi tiang bangunan berkisar satu sampai dua meter. Dijelaskan selanjutnya dengan Gambar 2. Tipe dari bangunan yang didirikan di bantaran sungai

40 24 Gambar 2. Tipe Bangunan Yang Didirikan Di Bantaran Sungai Bagian selanjutnya adalah penentuan arah hadap muka bangunan. Yang dimaksud disini adalah bidang bangunan yang merupakan pintu masuk utama ke dalam bangunan. Menurut Wijanarka (2008) arah hadap muka bangunan tersebut terkait dengan perilaku pemukim mengenai magnet lingkungan misalkan bangunan di tepi sungai yang sedang berkembang akan membuat arah hadap muka bangunan mengarah pada jalan besar, sedangkan pada pemukim di bantaran sungai Jakarta arah hadap muka bangunan cenderung mengarah pada sungai dengan demikian jika bangunan tersebut merupakan bangunan yang telah didirikan sejak lama maka pencemaran di bantaran sungai merupakan perilaku yang disengaja. Klasifikasi elemen bangunan pemaparan akan dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) pondasi bangunan (2) tembok/dinding (3) atap dan lantai bagian atas. Pembahasan mengenai bangunan pemukim di bantaran sungai tergantung pada lahan bantaran. Tegaknya pondasi bangunan diatas lahan bantaran menyebabkan pengerjaan elemen lain seperti tembok dan atap dapat dengan mudah dikerjakan. Menurut Soedibyo dan Soeratman (1980) yang sesuai dengan kondisi lahan bantaran adalah jenis pondasi tiang pancang. Hal tersebut disebabkan karena lahan berdirinya bangunan memiliki karakteristik diantaranya adalah: (1) keadaan muka air tanah sangat tinggi hingga dapat mengakibatkan pelaksanaan pekerjaan pondasi menjadi sulit (2) keadaan lapisan tanah yang

41 25 memiliki daya dukung yang berbeda. Adapun pengerjaan selanjutnya dalam mendirikan bangunan adalah membuat dinding. Menurut Utomo (2006) dinding pada umumnya dibuat dari bahan batu bata atau batako dengan perekat spesi dengan campuran semen pasir atau kapur. Pembuatan dinding juga dapat menggunakan bahan batu kali dari bawah sampai ke atas, dengan penggunaan bahan tersebut dinding menjadi tebal dan kuat. Surjamanto (2002) mengemukakan tentang pembuatan atap bangunan bahwa, (1) struktur atap dapat dipisahkan maupun disatukan dengan bangunan karena yang terpenting kedua struktur tersebut harus bersinergi (2) struktur atap pada umumnya berbeda dengan struktur bahan bangunan (3) struktur atap terletak paling atas untuk menerima beban sehingga berat atap perlu dipertimbangkan (4) atap bangunan mempunyai fungsi sebagai pelindung, mereduksi dari pengaruh iklim dan nilai estetika. Lebih lanjut diungkapkan mengenai aspek yang ada pada saat merancang atap adalah: (1) aspek yang timbul dari gaya-gaya akibat, berat sendiri, berat muatan contohnya: berat atap, berat pekerja, beban angin (2) aspek pengaruh alam secara langsung dengan pengaruh iklim maupun pengaruh tempratur. Setelah mengetahui aspek tersebut, hal selanjutnya adalah mengetahui unsur-unsur atap yang terdiri dari: (1) komponen struktur yang terdiri dari: (a) kuda-kuda (b) rangka atap (c) jurai. (2) ikatan angin (3) gording (rangka di bawah rangka genteng) dan nok (bagian rangka di ujung paling atas) (4) penahan untuk atap asbes (5) penutup atap yang terdiri dari: (a) logam: seng, alumunium, tembaga (b) alami: ijuk, nipah/kelapa, lalang, sirap (c) buatan yang bukan logam: genteng (tanah liat, pres beton, tegola) asbes. Perbedaan jenis bangunan di bantaran sungai dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu, permanent, semi permanent, dan tidak permanent. Melalui bahan dan komponen yang telah disebutkan perbedaan ketiga jenis tersebut dapat dibedakan melalui sifat bangunan dan jenis material yang digunakan. Pada bangunan permanent memiliki prinsip tidak dapat dirubah bentuk maupun posisinya sedangkan pada bangunan semi permanent bentuk dan posisinya dapat dirubah sebagian karena pemilihan material bangunan yang sebagian terdiri dari bambu atau kayu, begitu juga dengan bangunan tidak permanent keseluruhan material bangunan terdiri dari komponen yang dapat dirubah bentuk maupun posisinya.

42 26 Komponen tersebut diatas sesuai dengan penelitian Souza (2000) yang mendefinisikan informal settlement sebagai sebuah keluarga atau seseorang yang tidak memiliki sumber daya dalam memenuhi kebutuhan bermukimnya, sehingga memilih untuk menempati lahan yang digunakan sebagai fasilitas publik. Kondisi yang diungkapkan oleh Souza tersebut berhubungan dengan adanya fakta yang bahwa seorang manusia akan mencari tempat yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, dengan begitu komponen ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Souza (2000) dan Abrams (1964) bahwa pemukiman informal atau pemukiman kumuh merupakan upaya manusia dalam mempertahankan hidupnya, yang diterapkan pada pendirian tempat tinggal sementara yang dibuat sendiri dengan menggunakan sumber daya atau material yang tersedia. Realiasi dari perencanaan pemukim selanjutnya, dengan cara menyewa bangunan di bantaran sungai. Sebagian besar pemukim di bantaran sungai berprofesi sebagai pekerja kasar atau buruh pabrik dengan jumlah upah yang terbatas, hal tersebut yang menyebabkan para pemukim (penyewa rumah di bantaran) berusaha untuk menghemat segala bentuk aktivitas yang dapat memboroskan upah yang diterima. Salah satu bentuk penghematan tersebut dengan cara menyusutkan jumlah pengeluaran pada aspek transportasi menuju lokasi pekerjaan, dengan menyewa rumah di tempat terdekat dengan lokasi kerja maka hal tersebut dapat diterapkan. Contoh dari pendapat ini adalah: pada bantaran sungai di Jakarta Utara, banyaknya pabrik yang berada di daerah tersebut menghidupkan aktivitas ekonomi lain seperti sewa rumah yang diperuntukan bagi pekerja di pabrik tersebut. Nunnualy (2009) mengatakan bahwa pertumbuhan pabrik di sepanjang bantaran sungai adalah salah satu penyebab meningkatnya pemukim yang mendirikan bangunan selain perumahan. Meningkatnya realisasi pembangunan pemukiman di bantaran sungai mengakibatkan kerusakan pada bantaran yang diantaranya adalah: Semakin sempitnya wilayah bantaran sungai karena banyaknya pemukim yang mendirikan bangunan melebihi jarak aman sub DAS yaitu meter. Semakin menyempitnya tanah di bantaran membuat bangunan yang berdiri diatasnya memiliki peluang hancur akibat erosi sungai, hal tersebut karena, struktur tanah bantaran tidak diperuntukkan guna berdirinya bangunan. hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Ragsdale et al, (2008)

43 27 mengenai kerusakan lain yang terjadi akibat erosi sungai pada pemukiman di sekitarnya. Erosi pada tepi sungai menurutnya juga, beresiko pada banjir yang dialami pemukim di bantaran, kerusakan bantaran juga berdampak pada kerugian besar seperti hilangnya infrastruktur pribadi yang merupakan aset bagi pemukim di bantaran. Curah hujan yang semakin besar menyebabkan sungai di Jakarta mengalami banjir setiap tahunnya. Perilaku bermukim juga mempengaruhi tipe kerusakan yang terjadi pada bantaran sungai sehingga menyebabkan banjir yang berbeda. Menurut Action (2006) terdapat klasifkasi banjir yang disebabkan oleh perilaku bermukim yang diantaranya adalah: (1) banjir yang terkonsentrasi di daerah tertentu (Localised flooding) hal ini disebabkan pemukim yang telah lama bermukim di bantaran sungai dan jenis aktivitas pemukim yang menyebabkan kerusakan pada bantaran seperti parit yang tersumbat akibat sampah yang dibuang dan aliran air yang tertutupi akibat bangunan yang didirikannya. (2) banjir kecil (small stream) memiliki ciri-ciri yaitu air yang cepat meningkat akibat hujan besar, hal ini juga disebabkan sampah yang di buang pemukim tidak sesuai tempatnya. (3) banjir di sungai besar (major rivers) merupakan banjir besar yang dihasilkan akibat alih fungsi lahan bantaran, yang dapat mengubah aliran air dari sungai ke sungai sehingga menyebabkan banjir di bantaran sungai dan daerah pesisir seperti di Jakarta Utara. (4) banjir di musim hujan (wet season flooding) merupakan banjir dengan intensitas waktu yang lebih lama, hal ini karena kombinasi antara air hujan dan air sungai yang meningkatkan debit air pada rawa buatan, yang secara geologis terbentuk didalam patahan bantaran. Meningkatnya populasi pemukim di bantaran sungai mempengaruhi kurangnya ruang terbuka hijau di Jakarta (RTH). Idealnya bagi kota Jakarta kebutuhan sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 2005 adalah: sebesar 40% dari luas kota Jabotabek. RTH sendiri terbagi menjadi beberapa bagian dan bantaran sungai masuk kedalam kategori RTH konservasi. Secara sistem, RTH merupakan bagian dari kota yang tidak terbangun dan berfungsi untuk menunjang kenyamanan dan kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam (Sugandhi dan Hakim 2007). Semakin padatnya bangunan di bantaran sungai menghilangkan beberapa fungsi seperti ekologis dan

44 28 estetika. Fungsi ekologis lahan bantaran diperuntukan sebagai, lahan serapan air yang berlebih sehingga intensitas hujan tidak akan menyebabkan banjir atau bencana lainnya. Hal ini dikatakan oleh Kornblum dan Julian (1989) sebagai bentuk dari kerusakan lingkungan (environmental stress) ketika manusia sudah berinteraksi dengan lingkungan maka perubahan akan terjadi, pada udara, air dan tanah. Pencemaran pada udara merupakan dampak dari perilaku bermukim pada pembuangan sampah. Sampah pada umumnya diperlakukan dengan cara berbedabeda oleh pemukim, sampah yang dibiarkan berada di ruang terbuka dan sampah yang di bakar. Sampah juga menjadi permasalahan yang berbeda ketika pemukim membuang sampah atau limbah dengan cara menghanyutkan ke sungai. Hal tersebut menjadi ancaman besar bagi kelangsungan ekosistem yang lestari, pembuangan limbah olahan seperti residu, plastik dan pestisida mengakibatkan kerusakan pada fungsi lingkungan terutama dampaknya pada manusia. Berdekatannya pemukiman dengan industri berakibat pada kualitas udara dan berdampak pada kesehatan pemukim yang berada dilingkungan tersebut. Adapun komponen yang termasuk dalam pencemaran udara adalah: hydrocarbon, karbondioksida, nitrogen serta sulfur hal tersebut belum termasuk adanya industri kecil seperti pengasapan ikan yang membuat udara menjadi kotor dengan adanya asap serta jenis besi tertentu yang mencemari pemukiman yang dekat dengan wilayah industri, contohnya pada pemukim di bantaran sungai daerah Jakarta Timur. Pencemaran tersebut memiliki efek pada manusia dengan adanya efek jangka panjang pada kesehatan, seperti daya tahan tubuh yang semakin melemah kemudian bronchitis, emphysema dan kanker paru-paru. Perilaku bermukim juga menjadi sebab tercemarnya air tanah. Contoh yang dapat diangkat pada pembuangan limbah disepanjang sub DAS Ciliwung dan menuju Jakarta Timur, penelitian menemukan tingkat kejenuhan Timbal (pb) pada hasil ikan tangkapannya. Limbah berbahaya lainnya yang menjadi permasalahan dalam pemukiman adalah: perilaku MCK pemukim. Pada rumah tangga yang memiliki tingkat pendapatan diatas rata-rata, konsumsi air tanah yang tercemar dapat diminimalkan dengan adanya pembelian air bersih yang dapat menjadi pengganti air guna aktivitas MCK. Akan tetapi dengan rumah tangga

45 29 miskin yang terjadi adalah: keterpaksaan untuk mengkonsumsi air tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Disepanjang bantaran sungai air yang dikonsumsi sehari-hari merupakan air yang sudah tercemar dengan adanya pembuangan limbah domestik rumah tangga. (Kompas 2004). Kekurangan maupun pencemaran pada air tanah diperparah dengan kesulitan akses pada air bersih dipemukiman. Adapun kesalahan tersebut menurut Baker et al (2008) akibat kesalahan pemerintah dan elemen terkait didalamnya yang tidak mampu mendistribusikan secara merata kebutuhan akan air bersih pada seluruh masyarakat. Pencemaran yang berikutnya terjadi adalah pencemaran pada tanah pemukiman, tanah terdiri dari unsur hara yang dapat ditanami oleh tumbuhan dan pepohonan karena alih fungsi lahan bantaran menjadi pemukiman menyebabkan hilangnya nutrisi dan unsur hara yang terkandung didalam tanah. Kerusakan atau pencemaran pada tanah di bantaran juga menjadi ancaman bagi pemukim karena dengan mengalirnya air lautan kedalam sungai merupakan pertanda bahwa tanah bantaran tidak lagi dapat membendung air lautan yang menyebabkan terkontaminasinya air sungai dengan air laut, dengan begitu para pemukim yang mengkonsumsi air sungai juga mengkonsumsi air yang tercemar dengan limbah dan air laut. Fungsi lain yang juga hilang pada saat bantaran dipenuhi dengan bangunan pemukiman adalah: hilangnya fungsi estetika atau keindahan pada bantaran sungai, tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Bolay (2006) pemukiman kumuh tidak hanya dipandang sebagai sebuah cara berbahaya seseorang untuk hidup akan tetapi pemukiman kumuh dapat juga dilihat sebagai sebuah solusi dan upaya pemukim untuk berkreasi secara ekonomis dan ber inovasi secara sosial. Walaupun sebagian besar pemukim tidak memiliki tanah yang mereka tempati Lasserve dan Royston dalam Bolay (2006). Eksistensi perilaku bermukim diketahui dengan adanya kegiatan maupun aktivitas pemukim pada saat menghuni di bantaran sungai. kegiatan yang termasuk dalam perilaku menghuni di bantaran sungai adalah: (1) perilaku membuang sampah (2) Perilaku MCK (3) perilaku melestarikan bantaran sungai. Pada komponen lainnya aktivitas ekonomi pemukim terbagi kedalam dua sektor yaitu, sektor formal dan sektor informal. Pada sektor formal para pemukim

46 30 menjadi, pegawai di perkantoran atau buruh di pabrik-pabrik. Akan tetapi mayoritas pekerjaan para pemukim pada umumnya berada di sektor informal, dengan beberapa profesi diantaranya ialah, sebagai pedagang di rumah makan, pedagang kaki lima dan pemilik toko kelontong. Aktivitas ekonomi pemukim yang terkonsentrasi pada sektor informal disebabkan karena skill individu para pemukim yang terbatas. Tuntutan pekerjaan di Jakarta terkonsentrasi pada penguasaan skill individu berbasis teknologi seperti komputer, dan bahasa asing. Persyaratan tersebut ditambah dengan terbatasnya kemampuan industri untuk menyerap tenaga kerja. Hal ini akhirnya memicu kebutuhan pemukim untuk mengubah konstruksi pemukiman mereka dengan menyertakan konsep usaha, seperti rumah makan, bengkel, dan toko-toko kelontong (warung) yang digabungkan dengan rumah tinggal. Penyakit Endemic, seperti diare, demam berdarah dengue (DBD) maupun malaria dihasilkan akibat perilaku bermukim. di bantaran sungai seperti, membiarkan genangan sampah yang berada di bantaran dan jarak rumah yang berdekatan, merupakan rawan penularan penyakit DBD karena nyamuk pembawa penyakit tersebut memiliki karakteristik jarak terbang yang pendek, maka dengan semakin padatnya penduduk di bantaran penyakit tersebut dapat menyebar dengan mudah. Kebutuhan mengenai pemukiman yang sehat sebenarnya dibutuhkan oleh tiap pemukim tanpa terkecuali begitu juga disetiap bantaran sungai di Jakarta tidak semua perilaku menggambarkan tentang perilaku merusak. Gerakan masyarakat peduli lingkungan merupakan perilaku lestari yang diwujudkan oleh pemukim di bantaran sungai. Hal tersebut dapat terlihat pada bantaran sungai Pesanggrahan di Jakarta Selatan. Peran gerakan tersebut sangat berpengaruh karena mampu mengkordinasikan masyarakat di bantaran sungai Pesanggrahan untuk berpartisipasi secara aktif pada kelestarian di bantaran sungai. Perilaku lestari tersebut diwujudkan dengan cara melakukan pemindahan bangunan yang sudah memasuki badan sungai dan juga penanaman pepohonan yang dapat membuat ekosistem di bantaran sungai kembali lestari. Berdasarkan sintesa beberapa teori yang telah dikembangkan kedalam pen definisian sebuah konsep. Maka definisi dari perilaku bermukim adalah: upaya seseorang untuk mendapatkan tempat tinggal dan bertahan hidup melalui

47 31 beberapa tahapan seperti, merencanakan, membangun, berinvestasi, dan menghuni. Dengan cara menyesuaikan diri pada tempat dimana mereka bermukim melalui penggunaan sumber daya, baik dari diri sendiri maupun lingkungan secara illegal maupun legal, yang digunakan sebagai penunjang kehidupan untuk diaplikasikan pada bentuk bangunan dan kondisi lingkungan ditempat mereka bermukim. Komponen Komponen Perilaku Bermukim 1. Merencanakan Pemukiman Di Bantaran Sungai Perilaku bermukim merupakan manifestasi dari upaya pemukim dalam merencanakan hingga menghuni bantaran sungai. Aspek perencanaan ini berkaitan dengan kebutuhan pemukim dalam bertempat tinggal, yang diantaranya adalah: mendapatkan fasilitas yang dapat diakses guna meningkatkan pendapatan mereka walaupun memiliki resiko yang besar, perencanaan untuk bermukim menurut ESCAP dan UNHABITAT (2008) telah dipertimbangkan secara matang oleh pemukim. Adapun yang termasuk dalam aspek perencanaan pemukim ialah, (1) pemilihan lokasi (2) jarak antara bangunan dengan sungai (3) biaya terjangkau Pemilihan lokasi dapat dikategorikan kedalam variabel penghubung diantara keinginan seorang pemukim untuk berdekatan dengan lokasi pekerjaan atau aktivitas bisnisnya Harihanto (2001) atau kondisi yang kedua adalah: pemilihan dilakukan berdasarkan lahan atau sumber daya yang tersedia, dengan begitu pemilihan lokasi bermukim menjadi aspek yang didasari oleh persepsi dari pemukim berkaitan dengan kondisi finansial pemukim. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh ESCAP dan UNHABITAT (2008) kedekatan dengan tempat kerja dan kesempatan mendapatkan pekerjaan menjadi alasan kuat dalam perencanaan pemukim. Hal tersebut yang berusaha diimplementasikan oleh pemukim. Pertimbangan memilih tempat tinggal umumnya akan mencantumkan alasan kuat pemukim seperti, kedekatan dengan pasar, pabrik, daerah usaha, jaringan transportasi dan lokasi konstruksi, hal tersebut berpengaruh pada harapan untuk dapat mendapatkan penghasilan yang lebih besar, kesempatan kerja yang lebih baik, dan biaya transportasi yang lebih rendah. Terungkap alasan para pemukim mengenai perencanaan bermukim mereka yang tidak menempatkan

48 32 program perumahan pemerintah sebagai prioritas, selain karena pesimisme pemukim mengenai kondisi dan fasilitas juga harga, rumah dari program perumahan pemerintah umumnya dibangun terlalu jauh dari pusat kota, area industri, sekolah, klinik, dan pusat pelayanan sosial. Hal tersebut yang menyebabkan pemukiman di bantaran sungai tetap memilih bermukim di bantaran sungai meski seberapapun kumuhnya. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 9 Tahun 1999 ( mengatakan tentang pentingnya kelestarian DAS maupun bantaran sungai. melalui Kepres tersebut diketahui jarak yang sesuai untuk bertempat tinggal dari bantaran sungai adalah: meter menjauhi bantaran sungai. akan tetapi, bangunan yang berada dibantaran sungai berada di bagian badan sungai hal tersebut membahayakan tidak hanya bagi pemukim tapi juga tanah bantaran akan lebih rapuh dan menyebabkan kelongsoran pada bantaran sungai serta menyempitnya sungai. Pemilihan jarak antara bangunan dengan sungai merupakan perilaku pemukim yang dikondisikan dalam keadaan terpaksa. Hal tersebut diungkapkan oleh Sengupta dan Sharma (2009) sebagai security situation yang tidak terpikirkan lagi karena pada faktanya seorang pemukim yang memiliki keuangan yang lebih baik akan memilih bertempat tinggal yang menjauhi sungai. Hal senada diungkapkan oleh Marx dalam Giddens (2007) bahwa pemukim yang sedang dalam bentuk terasing dan membahayakan akan tetap merasa nyaman karena adanya unsur alamiah yang tersedia bebas untuk digunakan sebagai tempat berlindung. Ahli keuangan di bidang perumahan mengasumsikan 25-30% dari penghasilan rumah tangga dialokasikan untuk pembayaran sewa rumah ESCAP dan UNHABITAT (2008). Hal tersebut berlaku hanya untuk pemukim dalam golongan kelas menengah untuk pemukim, di bantaran sungai sebagian besar penghasilan digunakan untuk kebutuhan dasar seperti makanan, biaya kesehatan transportasi dan kebutuhan darurat lainnya. Program rumah yang ditawarkan oleh pemerintah bagi pemukim tidak terjangkau dalam artian, sulit untuk pemukim mengalokasikan anggaran guna pembayaran cicilan dari penghasilan para pemukim.

49 33 Melalui adanya kebutuhan tersebut manusia berusaha untuk mencari sumber daya yang dibutuhkan guna mendapatkan tempat tinggal. Berbagai tingkatan mengenai jenis bangunan perumahan disesuaikan dengan kemampuan pemukim, pembagian ini dipisahkan oleh Abrams (1964) menjadi beberapa kriteria, mendirikan bangunan yang bersifat permanent, semi permanent atau non permanent. Perilaku mendirikan tersebut dijelaskan juga dilakukan oleh pemukim sesuai dengan kemampuannya sendiri. dengan begitu pilihan untuk mendirikan bangunan dengan kondisi permanent dan semi permanent diputuskan oleh pemukim dengan mempertimbangkan kemampuan dari sumber daya yang dimiliki. Menurut Chimhowu dan Hulme (2006) seorang pemukim akan berpindah menjadi pemukim tetap jika memiliki tingkat pendapatan atau kesejahteraan yang sesuai dengan yang di inginkan. Adapun lebih lanjut dipaparkan juga oleh Souza (2001) seorang pemukim yang berada dilahan yang menjadi tanah Negara dan menggunakan fasilitas publik, tetap memiliki status terhadap bangunan yang ditempatinya, yaitu sewa, membuat sendiri, dan membeli. Melalui penjelasan tersebut pemukim di bantaran sungai diasumsikan memiliki kondisi yang tidak sama pada status bangunan yang mereka miliki. Kondisi tersebut akan mempengaruhi pada perilaku bermukim yang ditampilkan, karena seorang pemukim yang menyewa rumah tidak akan bermukim secara penuh dan curahan waktu tinggal pemukim sewa tersebut menggambarkan perilaku bermukim yang intensitasnya terputus, berbeda halnya dengan pemukim yang menetap di bantaran, perilaku merusak bantaran sungai akan secara kontinu dilakukan. Bangunan yang didirikan di bantaran sungai umumnya memiliki keragaman dari segi fungsi. Fungsi pertama sebagai bangunan yang didirikan sebagai rumah tinggal, kemudian sebagai bangunan dengan aktivitas ekonomi seperti rumah dengan toko kelontong dan pabrik. Hal ini menyebabkan perbedaan jenis biaya dalam pendirian bangunan. Sidik (2000) mengungkapkan lebih jauh perihal biaya-biaya yang harus dikeluarkan guna mendirikan suatu bangunan biaya tersebut diantara lain adalah:

50 34 1. Biaya utama komponen bangunan: yaitu biaya yang dikeluarkan untuk membayar seluruh unsur pekerjaan yang berkaitan dengan dengan pembuatan konstruksi utama bangunan a. Biaya untuk pekerjaan persiapan (pemagaran proyek, pembersihan, direksi keet, barak kerja) b. Biaya untuk pekerjaan pondasi (mulai dari galian pondasi hingga urugan tanah kembali) c. Biaya untuk pekerjaan beton/beton bertulang (pembuatan lantai kerja, sloof, kolom, balok, dinding, beton baik di luar maupun di dalam, plat, lantai serta atap) d. Biaya untuk pekerjaan pembuatan struktur rangka atap (kuda-kuda dan gording) baik dengan menggunakan baja atau kayu, termasuk didalamnya pekerjaan pengawetan dengan pelapis cat atau sejenisnya. 2. Biaya komponen material bangunan: yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membayar seluruh unsur-unsur pekerjaan yang berkaitan dengan elemen penyelesaian akhir bangunan yang dititikberatkan pada aspek arsitektural, yang meliputi. a. Biaya untuk pekerjaan atap (meliputi pemasangan kaso, seng, alumunium foil dan tripleks) b. Pekerjaan dinding luar (meliputi pembuatan rangka dinding hingga pemberian lapisan permukaan, baik dari cat maupun penyelesaian material lainnya) c. Biaya untuk pekerjaan pintu dan jendela yang menempel pada dinding luar. Pintu dan jendela tersebut dapat terbuat dari kayu, alumunium, kaca, dan/atau jenis material lainnya d. Pekerjaan dinding dalam. Biaya untuk pekerjaan dinding dalam meliputi, pembuatan rangka dinding hingga pemberian lapis permukaan, baik dari cat maupun penyelesaian material lainnya e. Biaya untuk pekerjaan pintu dan jendela yang menempel pada dinding dalam. Pintu dan jendela tersebut dapat terbuat dari kayu, alumunium kaca, dan jenis material yang lain.

51 35 f. Biaya untuk pekerjaan langit-langit (meliputi pembuatan rangka plafon hingga pemberian lapisan permukaan, baik dari cat mapun penyelesaian material lainnya) g. Biaya untuk pekerjaan lantai (meliputi pembuatan lantai kerja hingga pemberian lapisan permukaan) Pembuatan bangunan di bantaran memiliki aspek relatif dalam hal penilaian harga. Hal tersebut karena keragaman jenis bangunan di bantaran. Dengan mengetahui biaya yang dikeluarkan pada komponen tersebut maka akan diketahui alasan dari pemukim untuk tetap bertempat tinggal di bantaran sungai. Sebelum membangun suatu bangunan terlebih dahulu seorang pemukim harus memiliki jumlah anggaran biaya secara teliti. Hal tersebut untuk menghindari hambatan-hambatan yang umumnya terjadi di wilayah pemukiman yang di tuju. Hambatan tersebut mencangkup perbedaan harga bahan dan upah pekerja di lokasi, hambatan lain ialah, iklim di suatu lokasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian suatu pekerjaan dan mengakibatkan pertambahan biaya pada upah pekerja dan bahan. Menurut Mukomoko (1977) sebelum mendirikan bangunan maka seorang pemukim atau pemilik harus memiliki 1. Rencana pekerjaan 2. Daftar upah 3. Daftar harga barang 4. Daftar analisa 5. Daftar banyaknya tiap pekerjaan 6. Daftar susunan harga biaya Akan tetapi apakah hal tersebut berpengaruh pada pemukim di bantaran sungai. keragaman bangunan di bantaran sungai Jakarta membuat keseluruhan aspek tersebut tidak diterapkan keseluruhan. Pada pembangunan rumah sewa, komponen tersebut kemungkinan digunakan oleh pemilik. Akan tetapi, bagi pemukim perumahan sangat sederhana tidak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sporn (1970) bahwa keseluruhan biaya bangunan pemukiman kumuh di bebankan pada pemukim itu sendiri. hal tersebut yang membuat pemukim mendirikan bangunan dengan material seadanya dengan kemampuan yang dimiliki. Senada dengan yang diungkapkan oleh Abrams (1964) bahwa

52 36 kesulitan tersebut akibat adanya ketimpangan jauh antara pendapatan para pemukim dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika mendirikan bangunan. Hal tersebut memperlihatkan kaitan antara jenis pekerjaan pemukim dengan tingkat pendapatan dan juga pengaruhnya pada tipe bangunan pemukim itu sendiri. Salah satu definisi Rosen (1985) mengenai perilaku bermukim adalah upaya seseorang dalam mencukupi kebutuhan akan hunian yang murah dan memiliki fasilitas-fasilitas pemukiman yang baik individu dan keluarganya. Komponen yang dipaparkan oleh Rosen merupakan upaya pemukim yang tidak memiliki kecukupan finansial sehingga usaha yang dilakukan adalah mencari rumah sewa yang sesuai dengan kondisi keuangan yang dimilikinya. Dalam aspek ini juga disebutkan mengenai seorang pemukim yang menjadi pemilik bangunan (landlords). Hal ini juga dikemukakan oleh Newman (2005) mengenai pemilik bangunan sewaan. Adapun komponen lain yang termasuk didalamnya adalah, kualitas dari rumah dan kualitas pemukim disekitarnya. Kualitas dari rumah sewaan dikaitkan oleh Abrams (1964) dengan upaya seseorang untuk beradaptasi dengan keadaan di rumah sewaan. Kondisi yang ada pada umumnya adalah, (1) berbagi ruangan (2) kekurangan fasilitas personal. Pendatang yang menyewa hunian di bantaran sungai seringkali datang secara berkelompok, mereka memiliki tujuan bekerja secara jangka pendek maupun jangka panjang hal lain adalah pendatang yang menumpang sementara dengan kerabat yang juga menyewa hunian. Cara ini dilakukan untuk menghemat dana yang mereka miliki maka diputuskan untuk membagi biaya yang harus dikeluarkan sesuai dengan jumlah penghuni didalamnya. Dampak yang dihasilkan dari sewa rumah dengan jumlah penghuni yang melebihi kapasitasnya adalah, kekurangan fasilitas secara personal, fasilitas tersebut meliputi kebutuhan air bersih, jumlah ruangan dan biaya yang harus ditanggung seperti biaya pemakaian listrik. Air bersih merupakan kebutuhan yang mendasar bagi pemukim, dengan semakin banyaknya pemukim yang ada di suatu rumah maka kebutuhan akan air bersih akan semakin meningkat. Sedangkan jumlah ruangan berpengaruh pada kenyamanan seseorang di dalam suatu rumah. Ruangan yang diisi oleh banyak orang akan dapat menimbulkan permasalahan seperti timbulnya konflik diantara penghuni. Bolay (2006) dan Souza (2001)

53 37 menjelaskan hal tersebut sebagai kegagalan untuk memenuhi fungsi rumah sebagai aktivitas personal dan tempat untuk berkreasi secara sehat. 2. Perilaku Bermukim Di Bantaran Sungai Kegiatan yang dilakukan oleh pemukim masuk dalam kategori perilaku menghuni di bantaran sungai hal ini menjadi penting karena kondisi bantaran sungai menjadi menurun secara kualitas ekologis maupun estetika. Hal tersebut disebabkan para pemukim lebih memilih pertimbangan ekonomi dari pada kenyamanan, keamanan, maupun higienitas. Adapun komponen yang termasuk di dalamnya adalah: (1) perilaku membuang sampah (2) perilaku MCK (3) perilaku melestarikan bantaran sungai. Sampah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pemukiman sebagian besar sampah di pemukiman bantaran sungai dihanyutkan melalui sungai. Hal tersebut membuat sungai menjadi keruh dan menyebabkan pembuangan pada kanal mengalami hambatan dan berakibat pada banjir periodik di sungai Jakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Depkrimpraswil bahwa pemukim yang membuang sampahnya di sungai, memiliki kesimpulan bahwa pemukim melihat sungai sebagai tempat yang efektif dan efesien untuk membuang sungai ( dengan begitu pendapat masyarakat mengenai sungai dan bantarannya dipengaruhi oleh adanya anggapan pemukim bahwa sungai dapat digunakan sebagai tempat pembuangan sampah, hal tersebut juga terjadi pada pembuangan limbah pabrik yang berada disepanjang bantaran sungai. Limbah yang dihasilkan oleh rumah tangga salah satunya dihasilkan berdasarkan perilaku MCK pemukim di bantaran sungai, karena hal tersebut menurut Abrams (1964) merupakan permasalahan pemukiman yang cukup pelik, karena dampak yang berbahaya pada kesehatan para pemukim di bantaran sungai. di Jakarta sendiri bantaran sungai sudah menjadi WC terpanjang di dunia, karena setiap harinya setiap pemukim di bantaran sungai membuang kotoran di air sungai yang masih banyak pemukim bantaran juga menggunakannya sebagai air minum (Kompas Rabu 05/04/04) hal tersebut secara langsung akan berdampak pada kesehatan seperti munculnya penyakit diare.

54 38 Perilaku bermukim yang merusak bantaran sungai juga memiliki sisi lain yang berbeda, kesadaran warga pemukim mengenai banjir yang terus-menerus terjadi membuat beberapa organisasi yang dibentuk oleh masyarakat melakukan gerakan pencegahan pada kerusakan bantaran sungai. perilaku tersebut oleh Hatim dalam Man and Nature: Crisis Of Modern Man (2007) dijelaskan sebagai sebuah upaya untuk memperkenalkan sejelas-jelasnya apa yang disebut dengan tatanan alam serta kaitanya dengan kelangsungan kehidupan manusia. Dengan adanya penjelasan tersebut perilaku seperti menanam pepohonan di bantaran sungai agar tidak terjadi erosi, serta pindah menjauhi bantaran sungai merupakan, contoh dari perilaku yang dapat dilakukan oleh pemukim untuk melestarikan bantaran sungai. Keberadaan pemukim di bantaran ditunjukan dengan adanya bangunan yang semakin banyak. Pada awalnya bangunan tersebut hanya merupakan bangunan dengan konstruksi sederhana, banyak ditemukan bangunan dengan menggunakan atap dan tembok dari papan maupun hanya dari ikatan bambu dan nipah. Semakin lama pemukim tinggal di bantaran maka perubahan akan terjadi pada bangunan yang mereka tempati. Bolay (2006) mengatakan bahwa rumah lebih dari sekedar sebuah tempat tinggal, lebih pada perwujudan dari pemiliknya, walaupun pemeliharaan bangunan akan berkaitan pada kondisi keuangan, akan tetapi masyarakat kumuh di Brazil Rio de janiero telah membuktikan bahwa pemukiman kumuh bukan halangan bagi pemukim untuk memelihara bangunan yang mereka tempati. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi pemukiman yang diperbaiki, maupun direnovasi kembali setelah mengalami kerusakan baik yang disebabkan oleh bencana dan juga penggusuran. Eksistensi pemukiman dapat dilakukan oleh pemukim melalui adanya perubahan maupun adaptasi bangunan pada lingkungan sekitarnya, walaupun hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada kondisi ekologis bantaran, akan tetapi pemeliharaan bangunan menunjukan rumah sebagai tempat tinggal manusia akan terus dipertahankan keberadaanya baik oleh komunitas di bantaran maupun di tempat tinggal yang berada di ruang publik lainnya.

55 39 3. Interaksi Antar Pemukim Lamanya seorang tinggal di dekat sungai dapat mempengaruhi dirinya dan juga orang lain yang bertempat tinggal di suatu wilayah, disebutkan oleh Shaleh dan Wahab (2004) sebagai pengalaman dan pengetahuan seseorang pada suatu objek. Dengan begitu semakin lama seseorang tinggal di bantaran sungai maka perilaku bermukim individu tersebut akan membentuk perilaku bermukimnya. Keuntungan yang didapatkan melalui bertempat tinggal di bantaran sungai juga perilaku bermukim yang selama ini dilakukan oleh pemukim akan tetap dipertahankan karena perilaku tersebut sudah menjadi kebiasaan, dan perilaku tersebut nantinya akan dapat ditiru oleh pemukim lain. Peniruan perilaku merupakan tahap awal para pemukim untuk menolak adanya pemindahan bangunan dari bantaran. Jaringan komunitas pemukim merupakan tahapan lain dari perilaku bermukim yang dapat memperlihatkan adanya saling keterikatan antara sesama pemukim, kesamaan kondisi para pemukim yang memperkuat interaksi pemukim dengan pemukim lainnya, memiliki dampak ekonomis yang diantaranya berupa bantuan pinjaman bagi pemukim lainnya, baik berupa modal dan bantuan pada akses tertentu yang dimiliki oleh pemukim lainnya, hal inilah yang membuat pemukim menjadi memiliki keterikatan yang kuat antara satu dengan lainnya. Pembagian aktivitas ekonomi maupun usaha para pemukim bantaran sungai merupakan pembagian yang harus dipahami dalam konteks pekerjaan pemukim diperkotaan, merujuk pada penelitian Hart dalam Manning dan Effendi (1985) pembagian sektor pekerjaan pada perkotaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sektor formal dan informal. Pembagian tersebut termasuk pada kriteria pekerjaan yang diantaranya pada sektor formal meliputi pegawai negeri atau pegawai swasta. Kemudian pada sektor informal meliputi, (1) kegiatan primer seperti kontraktor dan pengusaha yang berorientasi pada pasar. (2) usaha tersier dengan modal yang relatif besar seperti, perumahan, transportasi, serta kegiatan sewa menyewa. (3) distribusi kecil-kecilan meliputi, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan dan penyalur. Kegiatan yang selanjutnya adalah pada bidang jasa meliputi, pengamen (pemusik), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah,

56 40 pekerja reparasi kendaraan maupun elektronik. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi dari bantaran sungai melalui pemilihan kegiatan yang berdampak pada pendirian bangunan yang merupakan perilaku bermukim yang salah. 4. Aktivitas Kesehatan Pemukim Kondisi kesehatan pemukim di bantaran dipengaruhi adanya sejumlah aspek. Pada aspek pertama kesehatan pemukim dipengaruhi oleh adanya kepadatan penduduk yang memicu penyakit yang dibawa oleh sejumlah vektor penyakit seperti DBD, malaria, kemudian penyakit yang ditularkan antara manusia seperti penyakit kulit dan penyakit TB (tuberculosis). Avecado dan Garcia (2000) mengungkapkan tentang virus menjangkit para pemukim terutama dengan kondisi pemukiman kumuh. Kondisi kepadatan penduduk yang berlebih menyebabkan penyakit seperti TB dapat menular melalui bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui udara terutama pada saat penderita batuk. Kepadatan pemukiman seperti di bantaran peyakit tersebut dapat menyebabkan buruknya kondisi pemukim karena minimnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan, juga tunjangan kesehatan bagi para pemukim yang tergolong miskin. Upaya prefentif dan kuratif pemukim pada kesehatan dapat dilihat melalui cara mereka dalam mengolah makanan yang mereka konsumsi. Waktu mereka makan yang kemudian dapat diketahui juga cara para pemukim mengolah dan menyajikan hingga menjaga kondisi bahan makanan yang akan mereka konsumsi. Pengetahuan mengenai pengelolaan bahan makanan tidak terlepas dengan adanya penggunaan zat tambahan pada rumah yang dihuni oleh pemukim, penelitian Duncan (2006) mengenai senyawa yang berada di dalam pemukiman membuktikan bahwa di dalam huniannya sendiri para pemukim tetap kesulitan untuk menjaga kesehatan mereka. Berikut adalah senyawa yang diketahui berada di dalam rumah: 1. Di dalam kamar tidur dan kamar mandi terdapat PBDE (polybrominated diphenyl ether), yang terdapat pada karpet dan telpon, logam pada cat yang digunakan di rumah. FTALAT (ada pada shampoo, parfum, deodorant, dan pasta gig)i.

57 41 2. Di dalam dapur: Dioksin (pada ikan dan hewan yang tercemar), PCB (ikan yang terkontaminasi. Logam (ikan yang tercemar merkuri). Bisfenol (bahan pelapis kaleng makanan). Melalui adanya kesulitan pada aspek kesehatan tersebut, para pemukim tidak memiliki pilihan lain karena, sumber daya yang mereka miliki terbatas. Tunjangan kesehatan yang dapat di akses bagi pemukim tidak mencantumkan adanya pemeliharaan kesehatan bagi para pemukim. 5. Upaya Mempertahankan Bangunan Pemerintah menyadari bahwa pemukim di bantaran dapat mengakibatkan kerusakan pada lingkungan, oleh karena itu upaya pemindahan pemukim dari bantaran terus dilakukan. Hanya saja pendekatan pemerintah melalui pendekatan konflik hanya membuat para pemukim semakin resisten dengan upaya pemindahan tersebut. Kretser et al (2008) mengatakan bahwa kepadatan penduduk disuatu tempat yang berkaitan dengan lingkungan tidak dapat dilakukan pendekatan konflik, hal tersebut karena dapat menyebabkan frekuensi dan pertahanan para pemukim yang semakin kuat. Sejumlah keuntungan yang berada di pemahaman pemukim merupakan faktor yang seharusnya dirubah terlebih dahulu oleh para pemukim di bantaran, dengan begitu interaksi antrara manusia dan lingkungan dapat berdampak secara positif bagi pembangunan. Lebih jauh lagi penelitian Kretser dkk tersebut dapat diaplikasikan kedalam perencanan tata kota hanya saja pendekatan konflik seperti relokasi harus ditiadakan dan lebih mementingkan cara negosiasi dan pendidikan pada pemahaman pemukim. Hubungan Karakteristik Pemukim dengan Persepsi Mereka Tentang Bermukim di Bantaran Sungai Persepsi merupakan proses mengetahui, mengenali objek dan kejadian secara objektif dengan bantuan pengideraan, serta kesadaran dari proses organis pada indera dengan penambahan arti yang berasal dari pengalaman masa lalu. Dalam hal ini variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan diidentifikasi berasal dari kemampuan individu untuk melakukan perbedaan diantara perangsang. Hal tersebut juga termasuk kesadaran intuitif mengenai keyakinan

58 42 tentang sesuatu. (Chaplin 2006). Sedangkan menurut Walgito dalam definisinya persepsi adalah proses pengorganisasian, pengintrepetasian pada stimulus yang diterima oleh indvidu sehingga dapat bermakna bagi dirinya sendiri. Kedua pendapat diatas merupakan tolak ukur dalam mengetahui komponen yang dapat mempengaruhi persepsi bagi individu. Menurut Sarwono (2002) faktor faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dibagi menjadi dua jenis yaitu, (1) diri sendiri dan (2) diluar diri sendiri. Kedua jenis tersebut memperlihatkan persepsi sebagai proses pencarian informasi, adapun alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Persepsi yang dipengaruhi diluar dari pribadi dikatakan oleh Walgito (2003) sebagai non-social perception, things perception atau jika objek adalah manusia maka dinamakan persepsi sosial. Persepsi dalam hal ini dapat disimpulkan secara psikologis dipengaruhi oleh, pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi. Melalui hal tersebut diketahui masing masing komponen yang mempengaruhi persepsi pemukim tentang bermukim di bantaran sungai. Umur seseorang berhubungan pada persepsi melalui tahapan perkembangan yang harus dijalani seseorang dalam hidupnya proses inilah yang dapat mengubah persepsi seseorang pada suatu objek, menurut Erikson dalam Boeree (2006) setiap tahapan memiliki tugas yang berbeda karena itu kemampuan seseorang akan bertambah secara alamiah sesuai dengan tahapan tersebut. Perkembangan tersebut meliputi perkembangan wawasan, psikologis, intelektual, dan tanggung jawab. Melalui komponen tersebut umur berpengaruh pada persepsi. Motivasi mempengaruhi persepsi melalui respon pada objek yang dilihat dan diproses di benak seseorang menimbulkan dorongan kemudian membangkitkan motif untuk berperilaku. Keadaan ini sama seperti yang diungkapkan oleh Freud dalam Boeree (2006) persepsi termasuk kedalam bagian alam sadar seperti, penginderaan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, hingga perasaan yang dimiliki. Terkait erat dengan alam sadar adalah alam pra-sadar kemudian alam bawah sadar yang menjadi dorongan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu dari yang sederhana seperti makan hingga dorongan untuk

59 43 berkreasi atau mencipta. Pengaruh motivasi pemukim untuk dapat bertahan hidup diketahui merupakan motivasi dasar yang dimulai dari persepsi mengenai tempat tinggal dan dapat memberikan kehidupan seperti bantaran sungai. Pendidikan formal mempengaruhi persepsi melalui, melalui pemahaman yang dikembangkan berdasarkan adanya proses berpikir seseorang mengenai objek yang dilihatnya. Bloom (2008) membagi peningkatan aktivitas belajar kedalam ketiga kategori yang salah satunya adalah aspek kognitif yang merupakan wilayah persepsi. Meningkatnya jenjang pendidikan yang didapat menyebabkan seseorang dapat meningkatkan pemahamannya pada suatu objek, dalam hal ini rendahnya tingkat pendidikan formal seorang pemukim mempengaruhi pada keputusan dirinya untuk menempati bantaran sungai, mendirikan bangunan dan merusak bantaran sungai. Pekerjaan dapat mempengaruhi persepsi pemukim tentang bermukim di bantaran sungai. Hal tersebut karena, terkait dengan karakteristik pekerjaan yang dibutuhkan secara spesifik. Ranah pedesaan misalkan memperlihatkan suasana kerja/aktivitas ekonomi yang memiliki ciri, berada di udara terbuka, berhubungan dengan tanah, air, tanaman, binatang, dan produksi berbasis pada sumber daya alam. Hal yang berbeda pada aktivitas ekonomi di perkotaan, suasana pekerjaan cenderung tertutup, jauh dari alam, berhubungan dengan perdagangan, industri, pabrikasi, dan perkantoran, Lestari dalam (Papilaya, 2006:19). Dengan pemahaman seorang pemukim pada jenis pekerjaan dan lingkungannya pemukim memiliki alasan kuat untuk memilih tempat bermukim yang sesuai dengan pekerjaanya atau dengan kegiatan yang dapat dikerjakan dan berpengaruh pada persepsinya. Pendapatan mempengaruhi persepsi pemukim melalui tekanan perekonomian pada masyarakat yang semakin berat dan menghasilkan alasan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Perpindahan dari daerah yang kurang menguntungkan ke daerah yang memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik (Sukamdi 2004) hal ini yang dilakukan oleh pemukim di bantaran sungai karena Jakarta dipersepsikan sebagai pusat kegiatan ekonomi yang dapat menghasilkan pendapatan yang meningkatkan kesejahteraan bagi pemukim. Persepsi pemukim yang salah mengenai bantaran sungai telah berusaha untuk ditanggulangi oleh

60 44 pihak pemerintah dengan cara merelokasi pemukim melalui penggusuran setelah itu, menyediakan rumah susun. Hal tersebut menyebabkan pemukim tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya, dengan kepindahan dari bantaran sungai. Dalam hal ini persepsi pemukim dipengaruhi oleh pemindahan secara paksa dan perilaku bermukim kembali (resettlement behavior). Hal ini dikemukakan oleh Bolay (2006) bahwa pemukiman kumuh bukan hanya sebagai kesalahan pengelolaan dalam perencanaan perkotaan akan tetapi sudah menjadi sebuah elemen yang tidak dapat dipisahkan lagi dalam pembangunan perkotaan. Pemukiman di bantaran sungai tidak dipandang mereka sebagai sebuah cara berbahaya untuk hidup sehingga para pemukim akan selalu kembali pada tempat yang memberikan memenuhi tujuan awal mereka. Karakteristik pemukim selanjutnya mempengaruhi persepsi melalui aspek pengalaman pada pemukim. Jarak daerah asal pemukim, masa bermukim, perilaku bermukim kembali dan jumlah pemukim dalam satu rumah, mempengaruhi persepsi dengan cara mengaktifkan fungsi evaluasi pada aspek kognitif pemukim yang dimunculkan melalui analisa mereka pada pengalaman tentang bermukim di bantaran sungai. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kemampuan pemukim untuk membandingkan tujuan mereka ketika bermukim di bantaran sungai, dengan kondisi awal mereka pada saat belum bermukim di bantaran sungai. Hubungan Karakteristik Pemukim dengan Sikap Mereka Tentang Bermukim di Bantaran Sungai Secara psikologis sikap merupakan pendirian atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu pada pribadi lain, objek, lembaga atau persoalan tertentu, secara positif maupun negatif. Sikap juga merupakan cara seseorang untuk mengadakan klasifikasi, kategorisasi (Chaplin 2006). Sedangkan menurut ahli sosiologi sikap memiliki arti yang lebih besar karena dapat menerangkan perubahan sosial dan kebudayaan, ditambahkan juga oleh Ahmadi (2007) bahwa sikap memiliki dinamika, yang diantaranya adalah ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain terdapat kesadaran mengenai perbuatan yang akan dilakukan berikut dengan dampaknya. Kesadaran ini yang menentukan perbuatan secara nyata dan kecenderungan pada perilaku.

61 45 Melalui kedua perbandingan tersebut sikap pemukim tentang bermukim di bantaran sungai dapat diartikan sebagai sebuah pendirian yang dilandasi dengan keyakinan dan ditunjukan pada kecenderungan mereka dalam berperilaku pada bantaran sungai. Sikap pemukim pada bantaran sungai dipengaruhi dengan adanya karakteristik pemukim. Salah satu dari karakteristik tersebut adalah umur. Umur seseorang memberikan pengaruh pada sikap melalui adanya kematangan secara psikis dan berdampak pada perkembangan dari sisi wawasan maupun intelektual, hal tersebut dapat dilihat melalui pengolahan informasi mengenai bermukim di bantaran sungai yang menghasilkan keyakinan dan harapan dapat meningkatkan taraf hidup pemukim (kognitif), sedangkan pada hal yang berbeda pemukim juga memiliki rasa ketidaksukaan maupun rasa suka, simpati dan antipati (afektif) pada bantaran sungai terkait dengan cara bermukim mereka yang dapat merugikan atau melestarikan bantaran sungai (konatif). Seluruh komponen sikap tersebut dipengaruhi dengan adanya komponen umur. Seperti yang diungkapkan oleh Zhang et al (2006) pada kasus perpindahan penduduk berikut dengan perilaku bermukim mereka, alasan yang menjadi perpindahan tersebut adalah umur. Ketiga komponen sikap tidak hanya dipengaruhi oleh satu karakteristik pemukim seperti umur. Karakteristik pemukim yang berikutnya adalah motivasi. Motivasi dihubungkan dengan dorongan untuk melakukan sesuatu berdasarkan kebutuhan. Kebutuhan pemukim seperti yang diungkapkan oleh Abrams (1966) adalah kebutuhan untuk bertahan hidup, dengan kondisi yang memaksa mereka seperti kehilangan aset pribadi dan pendapatan yang tidak lagi mencukupi. Menurut Maslow dalam Zainun (1989) manusia memiliki prioritas dari kebutuhan yang harus dipenuhi dan bersifat sistematis, dalam artian tahap kebutuhan tersebut akan berpindah pada tahap yang lain jika telah terpenuhi. Hal tersebut yang mempengaruhi sikap pemukim, dan dapat dilihat pada perencanaan lokasi bermukim mereka yang berorientasi pada kemampuan finansial mereka dan juga letak pemilihan bangunan yang didirikan berdasarkan keuntungan yang memudahkan mereka tanpa memikirkan dampak yang dihasilkan pada bantaran sungai.

62 46 Pendidikan formal menurut definisi Combs dan Ahmed (1985) merupakan sistem pendidikan yang sangat dilembagakan. Bertahap kronologis dan bertata tingkat, mulai dari sekolah dasar sampai pada tingkatan tertinggi pendidikan universitas. Berdasarkan definisi tersebut pendidikan formal dapat mempengaruhi sikap melalui tahap-tahap yang dibangun pada diri seseorang. Pembentukan nilai, penanaman budi pakerti, pemahaman pada suatu permasalahan diajarkan melalui tahap dalam pendidikan formal. Rata-rata tingkat pendidikan pemukim yang mendirikan bangunan di bantaran sungai berpendidikan rendah, dengan begitu dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi keputusan seseorang untuk bermukim di bantaran sungai. Tidak hanya sikap yang dipengaruhi pendidikan formal, pekerjaan, pendapatan dan masa bermukim juga dipengaruhi oleh pendidikan pemukim. Hal tersebut dapat dilihat pada jenis profesi pemukim yang rata-rata berada di sektor informal dan memiliki pendapatan rendah. Pendapatan pemukim yang rendah mempengaruhi sikap pemukim sejak keputusannya untuk berpindah tempat dari desa ke kota. Hal ini diungkapkan oleh Sukamdi (2004) bahwa perpindahan penduduk dari daerah yang tidak menguntungkan ke daerah yang memiliki kondisi ekonomi yang baik merupakan sikap pemukim dalam bertahan hidup. Dengan kondisi tersebut dapat diketahui dua hal yaitu, pemukim hanya mampu membeli atau menyewa pemukiman di bantaran sungai. Dampak dari sikap pemukim tersebut dipengaruhi juga dengan penggusuran atau pemindahan secara paksa dari pemerintah. Hal tersebut karena pemukiman di bantaran sungai dipandang oleh pemerintah sebagai pengerusakan lingkungan, tapi bagi pemukim di bantaran rumah bagi mereka memiliki fungsi ekonomi, sosial dan spiritual. Hal tersebut diungkapkan oleh Bolay (2006) sehingga dapat berdampak pada sikap pemukim untuk tetap kembali bermukim di bantaran sungai. Hubungan Karakteristik Pemukim dengan Perilaku Bermukim di Bantaran Sungai Sebagai sebuah upaya untuk bertahan hidup di perkotaan perilaku bermukim memiliki komponen yang diantaranya, merencanakan pemukiman, mendirikan bangunan, menyewa hunian dan aktivitas pemukim di bantaran

63 47 sungai. Melalui definisi tersebut karakteristik pemukim memiliki pengaruh pada perilaku bermukim. Faktor umur pada perilaku bermukim dipengaruhi melalui, kedewasaan dan tanggung jawab yang harus di tanggung dirinya. Erikson dalam Boeree (2006) mengungkapkan bahwa seseorang pada umur tertentu memiliki tanggung jawab yang berbeda hal itu dapat dilakukan melalui berkelana atau menetap di tempat lain. Pendapat tersebut memiliki keterkaitan dengan motivasi pemukim untuk merencanakan bangunan dengan cara memilih lokasi atau mendirikan dan menghuni pemukiman di bantaran sungai yang mengakibatkan kerusakan pada bantaran sungai. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Zhang (2006) mengenai keputusan seseorang untuk berpindah tempat disebabkan keinginan dirinya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Motivasi sendiri berdampak pada pemilihan pekerjaan yang secara langsung mempengaruhi pada tingkat pendapatan pemukim dan masa bermukim. Masa bermukim merupakan dampak keterbatasan pemukim untuk mengakses fasilitas pemukiman contoh yang diacu menurut World Resources Institute dalam (Sukamdi 2009) bahwa, terdapat hubungan negatif antara akses sanitasi dengan tingkat pendapatan pemukim. Hal tersebut menyebabkan pemukim di bantaran sungai tidak memiliki pilihan lain selain tetap bermukim di bantaran sungai. Walaupun pilihan bermukim di bantaran sungai memiliki resiko tersendiri, tapi keuntungan yang diberikan dengan bermukim di bantaran sungai tidak membuat pemukim takut, hal ini menyebabkan sulitnya proses pemindahan para pemukim dan tetap memunculkan perilaku bermukim kembali. Dengan begitu dapat diketahui bahwa perilaku bermukim dipengaruhi oleh karakteristik pemukim di bantaran sungai. Hubungan Karakteristik Pemukim dengan, Persepsi, Sikap dan Perilaku Bermukim di Bantaran Sungai Pengaruh karakteristik pada persepsi, sikap pemukim dapat diketahui melalui komponen persepsi maupun sikap itu sendiri. Ahmadi (2006) menjelaskan komponen di dalam sikap dipengaruhi oleh persepsi. (1) komponen kognitif yang berhubungan dengan kerja pikiran, hal ini diwujudkan dalam pengalaman pada seseorang yang berdampak pada munculnya keyakinan pada suatu objek yang diamati oleh individu. (2) komponen kognitif: berhubungan pada proses yang

64 48 menampakan perasaan pada suatu objek, hal tersebut diperlihatkan pada rasa suka, maupun tidak suka pada objek. (3) komponen konatif berhubungan pada kecenderungan bertindak pada suatu objek yang diamati. Ketiga komponen persepsi tersebut memiliki peranan penting. Pengaruh komponen kognitif persepsi pada sikap pemukim ditunjukan oleh para pendatang melalui pendapat bahwa bantaran sungai sebagai tempat bermukim dapat memberikan keuntungan. Persepsi berperan dalam hal ini sebagai pengelolaan pengetahuan di benak pemukim yang dirubah menjadi pemahaman yang dapat membawa pendatang menjadi pemukim di bantaran. Begitu juga dengan kondisi keterpaksaan yang menyebabkan pengaruh persepsi pada sikap terutama pada komponen afektif. Hal ini dilihat pada lahan yang ditempati dan bangunan yang didirikan maupun disewa, dipilih berdasarkan rasa suka maupun tidak suka yang telah disesuaikan dengan kondisi pemukim seperti kedekatan dengan tempat kerja atau mampu menunjang aktivitas ekonomi pemukim. Setelah mengetahui banyaknya pemukim yang bertempat tinggal di bantaran maka pemahaman untuk bertempat tinggal di lokasi yang sama diaplikasikan oleh pemukim dengan cara mendirikan, menyewa dan beraktivitas di bantaran hal ini dicontohkan pada aspek konsumsi air minum dan perilaku membuang sampah. Pengalaman yang diketahui pemukim, sungai dapat menghanyutkan sampah yang dibuang dan konsumsi air sungai lebih baik dari pada mengkonsumsi air sumur. Pengalaman dalam hal ini merupakan elemen persepsi yang mengkordinir sikap pemukim pada bantaran sungai. Pengalaman pemukim bertempat tinggal di daerah asal juga turut mempengaruhi persepsi pada sikap secara keseluruhan. Persepsi juga mempengaruhi perilaku bermukim atau komponen konatif. Hal ini dikatakan Susilo (2008) bahwa kerusakan lingkungan yang berasal dari perilaku manusia, terutama demi meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup. Hal ini bermula dari kerusakan daya dukung lingkungan pada bantaran sungai yang merupakan wilayah konservasi telah beralih fungsi menjadi lahan pemukiman, perilaku yang merusak dan berdasarkan faktor persepsi pada sikap pemukim dapat dirangkum sebagai berikut (1) Manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi (2) Mampu beradaptasi dengan keadaan yang terbatas untuk

65 49 kemudian mendominasi dan (3) Bantaran dimarjinalkan secara fungsi karena mendahulukan kepentingan manusia Melalui hal tersebut terlihat bahwa pengaruh persepsi pada sikap pemukim pada bantaran sungai adalah dapat mendatangkan keuntungan, persepsi sendiri dapat di kordinasikan menjadi persepsi yang selektif hal ini menurut Sears (1985) dapat dilakukan dengan cara memilih peristiwa yang diingat dan juga, prioritas pemahaman akan suatu objek. Mengenai hal tersebut dapat dilihat adanya kerusakan di bantaran sungai, sikap pemukim yang memilih untuk tetap bertahan karena keuntungan yang didapat dengan bertempat tinggal di bantaran sungai. Hal tersebut menyebabkan perilaku bermukim di bantaran sungai akan berlangsung selama persepsi pemukim pada bantaran sungai tidak dirubah. Teori mengenai sikap menjelaskan bahwa terdapat beberapa komponen yang melatarbelakangi terbentuknya sikap. Definisi mengenai sikap dipaparkan oleh Triandis (1971) sebagai sebuah dugaan yang konsisten dari sebuah respon seseorang mengenai situasi sosial pada suatu objek. Melalui definisi tersebut penjelasan mengenai komponen pembentuk sikap dipaparkan sebagai berikut. (a) komponen kognitif yang dideskripsikan berdasarkan kategori subjektif individu berikut dengan hubungan antara kategori yang dimaksud, (b) komponen afektif di deskripsikan berdasarkan cara seseorang mengevaluasi objek yang termasuk di dalam kategori secara subjektif (c) komponen konatif direfleksikan melalui perilaku yang dikerjakan berkaitan dengan objek sosial yang dimaksud terkait dengan kategori subjektif yang diketahui. Komponen tersebut dapat dikaitkan pengaruhnya pada perilaku bermukim. Pengaruh Komponen Kognitif Pada Perilaku Bermukim Pemukim di bantaran sungai memiliki pengelompokan pengetahuan atau pengalaman pada bantaran sungai. pengelompokan tersebut untuk selanjutnya dapat dikatakan sebagai kategori. Informasi yang didapatkan oleh pemukim di bantaran sungai terkait dengan proses pengkategorian bantaran sungai sebagai objek sosial secara subjektif, informasi tersebut juga dapat berupa pengetahuan yang disampaikan melalui adanya kebudayaan dan bahasa yang dipahaminya. Lal

66 50 dalam (Subuki 2010) menjelaskan mengenai cara berkomunikasi manusia dan masyarakat melalui perspektif interaksionisme simbolik, berdasarkan bahasa yang dimengerti oleh individu. Komponen kognitif pemukim dalam hal ini memahami informasi yang disampaikan melalui informasi mengenai bantaran sungai. Adapun kategori yang dimaksud adalah: informasi mengenai bantaran sungai beserta penghubung pada informasi tersebut seperti, bertempat tinggal di Jakarta maka akan berhubungan pada kehidupan yang lebih baik dan pendapatan yang meningkat. Kemudian informasi mengenai bantaran sungai berada dalam kondisi optimal berhubungan dengan tempat pembuangan sampah pemukim dan air yang dapat dikonsumsi Adanya pemahaman tersebut merupakan penyampaian informasi yang salah tetapi dipahami dengan baik oleh pemukim, dengan begitu proses pengkategorian pemukim pada bantaran hanya akan melingkupi elemen yang menyebutkan bahwa bermukim di Jakarta merupakan keuntungan tanpa kerugian tanpa memikirkan dampak buruk yang diakibatkan dari perilaku bermukim yang salah. Pengaruh Komponen Afektif Pada Perilaku Bermukim Komponen afektif merupakan komponen yang melibatkan unsur perasaan atau emosi dari individu pada kategori maupun atribut yang telah diketahui. Dengan begitu seseorang yang telah memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai suatu objek akan dengan sengaja mempertahankan pemahaman tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sikap pemukim di bantaran sungai melalui adanya perilaku bermukim yang dengan sengaja dipertahankan melalui adanya perilaku bermukim kembali. Hal ini karena pengetahuan maupun pengalamannya memberikan respon yang positif pada pemahaman mengenai bantaran sungai, yang tidak memiliki dampak buruk akibat perilaku bermukimnya, walaupun dalam beberapa studi literatur komponen kognitif dan afektif tidak selalu sejalan dengan komponen perilaku.

67 51 Pengaruh Komponen Konatif Pada Perilaku Bermukim Keterkaitan secara konsisten antara komponen kognitif, afektif dan perilaku ditunjukan pada bentuk akhir dari komponen sikap tersebut yaitu komponen perilaku. Komponen pada sikap menjadi terbagi menjadi tiga bagian, yang pertama pada bagian komponen ini tercampur dengan emosi, pada bagian yang berbeda tercampur dengan hal-hal normatif yang berarti terdapat elemen mengenai ide untuk melakukan perilaku yang tepat pada objek yang dimaksud (Triandis 1971). Hal tersebut dapat digunakan untuk memetakan pengaruh sikap pada perilaku pemukim pada bantaran sungai. Pada bagian pertama. Informasi yang didapatkan mengenai bertempat tinggal di bantaran sungai tidak dapat merusak bantaran sungai, hal tersebut disebabkan kondisi sungai yang tidak berbahaya dan banjir merupakan peristiwa tahunan yang biasa terjadi di Jakarta dan tidak ada hubungannya dengan perilaku mereka. Pada bagian kedua adalah: perilaku bermukim, seperti menempati bantaran sungai tanpa berniat untuk pindah, mendirikan bangunan, pemilihan lokasi bermukim yang berbahaya, perilaku MCK, perilaku membuang sampah, dan perilaku bermukim kembali. Beberapa kasus pemukim yang melakukan pelestarian bantaran sungai, memperlihatkan sikap yang mereka tunjukan adalah: mereka mengerti bahwa bertempat tinggal di bantaran sungai membahayakan keselamatan dan banjir serta wabah penyakit merupakan akibat dari perilaku bermukim yang salah pada bantaran sungai. Hal tersebut kemudian ditunjukan dengan perilaku para pemukim yang melestarikan bantaran sungai seperti pindah dari bantaran sungai atau menanami sungai dengan pepohonan dan tidak lagi membuang sampah di sungai. Walaupun pada beberapa kasus yang berbeda di bantaran sungai sikap tidak sejalan dengan perilaku yang ditunjukan oleh para pemukim, seperti menyadari perilaku bermukim yang salah dapat mengakibatkan banjir tapi tidak merubah perilaku tersebut.

68 52 Kerangka Pikir Adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan antara desa dan kota berdampak pada perpindahan penduduk secara massif. Kondisi dalam keterpakasaan tersebut membuat sebagian warga pendatang berusaha untuk bertahan hidup. Pola dalam bertahan hidup yang umum dilakukan adalah: mencari terlebih dahulu tempat tinggal. Kondisi perkotaan pada umumnya mensyaratkan warga yang memiliki kemampuan yang berbasis pada teknologi, hal tersebut tidak sesuai dengan karakteristik para pendatang pada umumnya. Minimnya pendapatan serta kemampuan untuk mencari nafkah membuat pendatang sulit untuk mencari hunian yang layak bagi keluarga dan dirinya, oleh karena itu mereka menempati wilayah-wilayah yang sebenarnya digunakan sebagai lahan konservasi maupun menempati fasilitas publik. Lahan yang tidak boleh dihuni seperti bantaran memiliki kelemahan, yang pertama pada umumnya lahan tersebut diperuntukan sebagai aktivitas perairan kota sehingga pemukiman yang menempati bantaran akan membahayakan bagi dirinya maupun orang lain, kelemahan yang kedua lahan tersebut digunakan sebagai wilayah konservasi yang tidak seharusnya ditempati. Jakarta merupakan kota yang dikelilingi oleh sungai yang digunakan sebagai salah satu lahan ekosistem untuk dapat bertumbuh kembang flora dan fauna, adanya pemukim yang mendirikan bangunan di bantaran sungai maka akan merusak tidak hanya ekosistem bantaran sungai tetapi juga membahayakan bagi keselamatan pemukim itu sendiri. Kondisi Indonesia yang semakin sulit membuat tidak hanya warga pendatang yang kesulitan mendapatkan lahan yang legal tetapi juga warga Jakarta. Kondisi tersebut dapat dilihat dengan bermunculannya pabrik besar serta kantor maupun rumah sewaan yang berlokasi di bantaran sungai. Secara umum yang mereka lakukan adalah sama, yaitu memperparah kondisi bantaran sungai dan sungai yang berdampak pada keselamatan diri dan kondisi ekologis Jakarta. Kompleksnya permasalahan yang melatar belakangi kemunduran kondisi bantaran sungai Jakarta ini tidak lain karena perilaku bermukim yang merusak tatanan ekologis dari bantaran sungai, faktor yang melatarbelakangi meliputi karakteristik pemukim, persepsi pemukim tentang bermukim di bantaran sungai, sikap

69 53 pemukim tentang bermukim bantaran sungai, hingga perilaku bermukim yang merugikan bagi bantaran sungai di Jakarta. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku bermukim tersebut harus dapat diminimalisasi atau dihilangkan dengan upaya perubahan terencana. Perubahan tersebut dimulai dengan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku bermukim tersebut. Karena dengan pengelolaan yang baik dari faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan kondisi lingkungan dari bantaran sungai, yang juga dapat berpengaruh baik pada kondisi ekologi dari Jakarta. Mengingat kegagalan pemerintah merumahkan dan memindahkan secara paksa para pemukim di bantaran sungai, maka diperlukan upaya yang lebih baik dengan cara mengenali perilaku mereka secara menyeluruh. Diharapkan melalui kegiatan penelitian ini pengenalan pada faktor-faktor yang relevan pada perubahan perilaku bermukim dapat berjalan baik. Terdapat bagian-bagian yang dipetakan yaitu karakteristik pemukim yang memasukan komponen umur, motivasi, pekerjaan pemukim, tingkat pendapatan hingga masa bermukim di bantaran sungai. Hal tersebut dilakukan karena kebutuhan untuk mengetahui latar belakang dari individu yang membuat mereka menetap di bantaran sungai. Bagian yang kedua adalah: berusaha mengetahui karakter individu dari pemukim dengan mengetahui pengalaman mereka, pandangan mereka melalui persepsi dan sikap mereka pada bantaran sungai. Yang terakhir melihat dampak langsung pada perilaku bermukim yang menjadi tujuan dari penelitian ini. Berdasarkan pemaparan serta tinjauan pustaka maka dapat dirumuskan alur hubungan antar peubah penelitian ini. Gambar 3 memaparkan hubungan antar peubah penelitian yang diteliti.

70 54 Karakteristik Pemukim (X1) 1. Umur 2. Motivasi 3. Pendidikan formal 4. Pekerjaan Saat ini 5. Pendapatan 6. Aset Total 7. Jarak Daerah Asal Dengan Hunian 8. Masa Bermukim. 9.Perilaku Bermukim Kembali 10.Jumlah Pemukim Dalam Satu Rumah Persepsi Pemukim Tentang bermukim di Bantaran Sungai(X2) 1. Keuntungan yang didapatkan dengan bermukim di bantaran 2. Tujuan Bermukim di bantaran 3. Pengetahuan bermukim di bantaran 4. Kemudahan bermukim di bantaran 5. Gangguan yang dialami di bantaran 6. Kesamaan pola hidup di bantaran dengan daerah asal Sikap Pemukim Tentang Bermukim Di Bantaran Sungai (X3) 1. Kepercayaan pemukim tentang bermukim di bantaran sungai (Kognisi) 2. Keyakinan pemukim tentang bermukim di bantaran sungai (Afeksi) 3.Kecendrungan berperilaku para pemukim di bantaran sungai (Konasi) Perilaku Bermukim (Y) 1. Merencanakan Pemukiman di Bantaran Sungai Perawatan Bangunan. Intensitas Perbaikan Hunian. 2. Perilaku Bermukim Di Bantaran Frekuensi Penggunaan Air Sungai MCK Membuang Sampah Membersihkan Bantaran. Menanam Pohon di Bantaran. Membersihkan Lingkungan. 3. Aktivitas Sosial Pemukim 4. Aktivitas Kesehatan Pemukim 5. Upaya Mempertahankan Bangunan Gambar 3. Hubungan Antara Peubah

71 55 Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, dapat dirumuskan hipotesis kerja penelitian sebagai berikut: 1. Karakteristik pemukim, berhubungan dengan persepsi pemukim tentang bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta 2. Karakteristik pemukim berhubungan dengan sikap mereka tentang bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta 3. Karateristik pemukim berhubungan dengan perilaku bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta 4. Karakteristik pemukim berhubungan dengan persepsi, sikap, dan perilaku bermukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta

72 56 METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi Populasi pada Penelitian ini adalah pemukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta yang terdiri dari tiga daerah daerah yaitu Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, melalui wilayah tersebut didapatkan beberapa daerah yang rawan banjir seperti Kelurahan Kampung Melayu di Jakarta Timur yang terbagi menjadi dua daerah yaitu Kampung Pulo, terdiri dari dua RW dan tiga RT rawan banjir diantaranya adalah: RW 02 RT 08, RT 11, RW 03 RT 13, kemudian pada daerah Kebon Pala terdapat dua lokasi rawan banjir, yang diantaranya adalah: RW 07 RT 15, dan RW 08 RT 13. Jakarta Selatan juga terdapat dua lokasi rawan banjir, diantaranya adalah: Bukit Duri yang terdiri dari satu titik rawan banjir yaitu, RW 03 RT 10, sedangkan pada Tanjung Barat adalah RW 02 RT 11 dan RW 10 RT 02. Titik rawan banjir selanjutnya di Jakarta Pusat pada Pegangsaan terdapat di RW 08 RT 09 Sampel Sampel yang diambil berdasarkan unit analisis dalam penelitian ini yang merupakan pemukim di bantaran sungai di sub DAS Ciliwung di DKI Jakarta. Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara area sampling berdasarkan beberapa wilayah di Jakarta yang dialiri sungai Ciliwung seperti Jakarta Timur yang memiliki luas wilayah administratif terbagi menjadi sepuluh kecamatan, 65 kelurahan, 673 RW dan 7,513 RT, dari keseluruhan wilayah tersebut penelitian ini terkonsentrasi hanya pada kelurahan Kampung Melayu yang memiliki jumlah penduduk secara resmi sebanyak 30,359 dan memiliki titik banjir akibat sungai Ciliwung sebanyak delapan RW dan 46 RT, sedangkan pada penelitian ini lokasi hanya terkonsentrasi pada empat RW dan RT. Jakarta Selatan terdiri dari sepuluh kecamatan dan 65 kelurahan dengan luas keseluruhan mencapai 145,73 Km 2, didalam wilayah ini sungai Ciliwung berdampak banjir pada Kelurahan Tanjung Barat dan Bukit Duri. Jumlah penduduk secara resmi tercatat sebesar 43,661 jiwa dengan luas 5 Km 2.

73 57 Berdasarkan lokasi rawan banjir di kedua tempat tersebut terdapat 13 RW/RT di Tanjung Barat yang terkena banjir sedangkan hanya satu RW/RT di Bukit Duri. Jakarta Pusat terdiri dari wilayah administratif sebesar Km 2 memiliki delapan kelurahan, 44 kecamatan, 338 RW dan 4,784 RT. Berdasarkan data pemda setempat yang menjadi lokasi rawan banjir adalah kelurahan pegangsaan yang memiliki jumlah penduduk sebesar 21,968 dengan titik banjir pada tiga RW/RT. Hal tersebut kemudian dilanjutkan dengan penarikan secara acak kecamatan, kelurahan, dan RW/RT sehingga akhirnya mencapai unit analisis terkecil dalam penelitian ini yaitu kepala keluarga, berdasarkan sejumlah lokasi terkait dengan persyaratan seperti, posisi rumah pemukim yang berdekatan dengan sungai maksimal 20 M. Total responden dalam penelitian ini adalah 100 orang dengan rincian dapat dilihat pada Tabel 1. Lokasi Wilayah Tabel 1. Sampel Pemukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta Posisi Sub DAS Kecamatan Kelurahan Jumlah Sampel Jumlah Pemukim Jakarta Kampung Jatinegara Kampung 4 25 Timur Melayu Melayu Jakarta Selatan Tanjung Barat Jagakarsa Tebet Tanjung Barat Bukit Duri Kebon Baru Jakarta Pegangsaan Menteng Menteng 1 25 Pusat Jumlah 100 Jumlah keseluruhan pemukim pada penelitian ini tidak diketahui karena beberapa alasan sebagai berikut: lokasi yang mereka tempati pada umumnya bukan merupakan wilayah perumahan sehingga banyak dari pemukim yang tidak memiliki sertifikat tanah dan banyaknya pemukim yang tidak memiliki identitas diri. Sehingga pendugaan pada jumlah penarikan sampel dilakukan dengan jumlah 100 responden untuk menghindari bias.

74 58 Gambar. 4. Peta DKI Jakarta Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: ex post facto yaitu bentuk penelitian untuk menilai peristiwa yang telah terjadi untuk menemukan faktor-faktor penyebab melalui pengamatan atau penilaian kondisi aktual di lapangan. Pengamatan utama penelitian ini adalah: mempelajari faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku bermukim dan pengaruhnya pada kondisi bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta. Adapun peubah yang diamati dalam penelitian ini sebagai berikut:

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perilaku pemukim di bantaran sungai Jakarta merupakan perilaku yang merugikan dan memiliki sejumlah alasan kuat untuk dirubah karena berdampak buruk pada kerusakan lingkungan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Bermukim

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Bermukim 8 TINJAUAN PUSTAKA Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Bermukim Faktor-faktor yang berhubungan dalam perilaku bermukim diantaranya meliputi karakteristik pemukim yang terdiri dari, umur, motivasi,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Populasi dan Sampel. Populasi

METODE PENELITIAN. Populasi dan Sampel. Populasi 56 METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi Populasi pada Penelitian ini adalah pemukim di bantaran sungai Ciliwung di DKI Jakarta yang terdiri dari tiga daerah daerah yaitu Jakarta Timur, Jakarta

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YUSNIDAR. Keefektivan Komunikasi Masyarakat

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA M A R D I N PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI

PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI PROSES KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (Kasus Program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor) SRI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ENOK ILA KARTILA SKRIPSI

ENOK ILA KARTILA SKRIPSI SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DALAM AKTIVITAS PEMBUANGAN SAMPAH RUMAH TANGGA (Kasus di Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor) ENOK ILA KARTILA SKRIPSI PROGRAM

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI (Kasus di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang NTT) IRIANUS REJEKI ROHI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

MARIA BINUR FRANSISKA MANALU

MARIA BINUR FRANSISKA MANALU KOMPETENSI PEMILIK RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C DALAM PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN MAKANAN DI DAERAH TUJUAN WISATA JAKARTA TIMUR MARIA BINUR FRANSISKA MANALU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM BERBASIS INTRANET DIVISI NEWSROOM DAN PRODUKSI PADA PT MEDIA TELEVISI INDONESIA R. M. EKSA CATRA HARANDI W.

PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM BERBASIS INTRANET DIVISI NEWSROOM DAN PRODUKSI PADA PT MEDIA TELEVISI INDONESIA R. M. EKSA CATRA HARANDI W. PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM BERBASIS INTRANET DIVISI NEWSROOM DAN PRODUKSI PADA PT MEDIA TELEVISI INDONESIA R. M. EKSA CATRA HARANDI W.K SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN

KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN iii KUALITAS PELAYANAN KAPAL DAN KECEPATAN BONGKAR MUAT KAPAL TERHADAP PRODUKTIVITAS DERMAGA TERMINAL PETIKEMAS PELABUHAN MAKASSAR WILMAR JONRIS SIAHAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Studi Kasus: Kampung Kanalsari Semarang) Tugas Akhir Oleh : Sari Widyastuti L2D

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan akan dipaparkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPENSASI, MOTIVASI, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN DAN KETERIKATAN KARYAWAN BUDI KARYA GROUP, BOGOR IKA MEYLASARI

PENGARUH KOMPENSASI, MOTIVASI, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN DAN KETERIKATAN KARYAWAN BUDI KARYA GROUP, BOGOR IKA MEYLASARI PENGARUH KOMPENSASI, MOTIVASI, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KOMITMEN DAN KETERIKATAN KARYAWAN BUDI KARYA GROUP, BOGOR IKA MEYLASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PENGARUH KOMPENSASI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Lingkungan yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Lingkungan yang diharapkan adalah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan Departemen Kesehatan pada tahun 1998 yang lalu memiliki tujuan-tujuan mulia, salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM BERBASIS INTRANET DIVISI NEWSROOM DAN PRODUKSI PADA PT MEDIA TELEVISI INDONESIA R. M. EKSA CATRA HARANDI W.

PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM BERBASIS INTRANET DIVISI NEWSROOM DAN PRODUKSI PADA PT MEDIA TELEVISI INDONESIA R. M. EKSA CATRA HARANDI W. PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM BERBASIS INTRANET DIVISI NEWSROOM DAN PRODUKSI PADA PT MEDIA TELEVISI INDONESIA R. M. EKSA CATRA HARANDI W.K SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI

MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI MODEL PENGARUH PERSEPSI DAN MOTIVASI MUZAKKI TERHADAP KEPUTUSAN MEMBAYAR ZAKAT PROFESI (Studi Kasus: Karyawan PT PLN Region Jawa Barat) PEMI PIDIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KAJIAN PORTFOLIO PRODUK TABUNGAN PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA : KASUS PT BANK MANDIRI AREA SAMARINDA

KAJIAN PORTFOLIO PRODUK TABUNGAN PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA : KASUS PT BANK MANDIRI AREA SAMARINDA KAJIAN PORTFOLIO PRODUK TABUNGAN PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA : KASUS PT BANK MANDIRI AREA SAMARINDA BAYU TRISNO ARIEF SETIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan, dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak langsung menjadi

Lebih terperinci

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT M A L T A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dengan kasus 58 orang anak, 24 diantaranya meninggal dengan Case Fatality Rate (CFR) = 41,3%. Sejak itu

Lebih terperinci

HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN)

HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) (Penelitian di SDIT Ummul Quro dan SDN Sukadamai 3 Bogor) NADIA JA FAR ABDAT

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di wilayah perkotaan. Salah satu aspek

Lebih terperinci

Dampak kesehatan lingkungan rumah susun: studi kasus rumah susun Pulo Gadung Bose Devi

Dampak kesehatan lingkungan rumah susun: studi kasus rumah susun Pulo Gadung Bose Devi Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Dampak kesehatan lingkungan rumah susun: studi kasus rumah susun Pulo Gadung Bose Devi Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=76899&lokasi=lokal

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini:

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini: 50 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Umur Responden Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan alat pengumpul data wawancara langsung kepada responden

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION. Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION. Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A34203031 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK.

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. Oleh: Gusri Ayu Farsa PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah 2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah Permasalahan pembangunan daerah merupakan gap expectation antara kinerja pembangunan yang dicapai saat inidengan yang direncanakan serta antara apa yang ingin dicapai

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT NINA RESTINA 1i SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR )

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) TEGUH PAIRUNAN PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpadu dengan lingkungannya dan diantaranya terjalin suatu hubungan fungsional

BAB I PENDAHULUAN. terpadu dengan lingkungannya dan diantaranya terjalin suatu hubungan fungsional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem-sistem. Dalam ekologi juga manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. bantaran sungai Bengawan Solo ini seringkali diidentikkan dengan kelompok

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. bantaran sungai Bengawan Solo ini seringkali diidentikkan dengan kelompok 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Perumahan relokasi yang di Surakarta merupakan perumahan yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar bantaran sungai Bengawan Solo. Perumahan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI

HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Perencanaan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN)

HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) HUBUNGAN PROSES PEMBELAJARAN DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU (SDIT) DAN SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) (Penelitian di SDIT Ummul Quro dan SDN Sukadamai 3 Bogor) NADIA JA FAR ABDAT

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM)

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) EPI RATRI ZUWITA PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota di Indonesia merupakan sumber pengembangan manusia atau merupakan sumber konflik sosial yang mampu mengubah kehidupan dalam pola hubungan antara lapisan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN SIKAP KARYAWAN DALAM USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Kasus Perusahaan Peternakan Rian Puspita Jaya Jakarta Selatan) SKRIPSI EVA SUSANTI PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B.

PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PERANCANGAN BALANCED SCORECARD UNTUK PENGEMBANGAN STRATEGI DI SEAMEO BIOTROP DEWI SURYANI OKTAVIA B. PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERANCANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya.

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA SKRIPSI EKO HIDAYANTO H34076058 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA. Lia Nurjanah

PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA. Lia Nurjanah PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA Lia Nurjanah DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DINA WAHYU OCTAVIANI L2D 002 396 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KAKILIMA (Kasus Pedagang Kakilima Pemakai gerobak Usaha Makanan Di Kota Bogor)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KAKILIMA (Kasus Pedagang Kakilima Pemakai gerobak Usaha Makanan Di Kota Bogor) JURNAL P ENYULUHAN ISSN: 1858-2664 Juni 2006, Vol. 2, No. 2 Abstract FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN PEDAGANG KAKILIMA (Kasus Pedagang Kakilima Pemakai gerobak Usaha Makanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga adalah institusi pendidikan primer, sebelum seorang anak mendapatkan pendidikan di lembaga lain. Pada institusi primer inilah seorang anak mengalami pengasuhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di kelokan sungai.

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR ANALISIS PENGARUH SIKAP PENDENGAR TERHADAP ADLIBS RADIO PROGRAM BERBAHASA DAERAH (JAWA, SUNDA DAN MINANG/PADANG) KAITANNYA DENGAN PERILAKU PEMBELIAN PRODUK DI RADIO ELGANGGA 100.3 FM BEKASI ADHE PUYHOKO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan untuk bermukim. Beberapa diantara mereka akhirnya memilih untuk

BAB I PENDAHULUAN. lahan untuk bermukim. Beberapa diantara mereka akhirnya memilih untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di kota-kota besar di negara-negara dunia sering ditemukan adanya daerah kumuh atau pemukiman miskin. Daerah kumuh ini merupakan pertanda kuatnya gejala kemiskinan,

Lebih terperinci

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS 3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS 3.3.1. Analisis Kedudukan Kawasan A. Analisis Kedudukan Kawasan Kawasan prioritas yaitu RW 1 (Dusun Pintu Air, Dusun Nagawiru, Dusun Kalilangkap Barat, dan Dusun Kalilangkap

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA RYANI MUTIARA HARDY PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kelurahan Kapuk merupakan suatu wilayah dimana mengacu pada dokumen Direktori RW Kumuh 2011 dalam Evaluasi RW Kumuh di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011 adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG (Studi Kasus Pada Unit Bisnis Jasa Angkutan Divisi Regional Sulawesi Selatan) Oleh : Retnaning Adisiwi PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ

PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH 1 PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH (Studi Di Kampung Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Kota sebagai pusat berbagai kegiatan baik itu kegiatan perekonomian, kegiatan industri, kegiatan pendidikan, perdagangan, hiburan, pemerintahan dan juga sebagai

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH (Kasus Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat) RISYAT ALBERTH FAR FAR SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA

PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA PENGARUH MODEL DAN SUARA NARATOR VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG AIR BERSIH BERBASIS GENDER NURMELATI SEPTIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN PEMANFAATAN MEDIA KOMUNIKASI PRIMA TANI DAN AKSESIBILITAS KELEMBAGAAN TANI DENGAN PERSEPSI PETANI TENTANG INTRODUKSI TEKNOLOGI AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN (Kasus di Jawa Barat dan Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan.

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air adalah salah satu sumberdaya alam yang sangat berharga bagimanusia dan semua makhluk hidup. Air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi di bumi.

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN METODE PEMBAYARAN NON-TUNAI (PREPAID CARD) LOVITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK.

ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK. ANALISIS KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN BATAS BIDANG TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA DEPOK Oleh : Bambang Irjanto PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI MODEL PRIMA TANI SEBAGAI DISEMINASI TEKNOLOGI PERTANIAN DI DESA CITARIK KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT

ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI MODEL PRIMA TANI SEBAGAI DISEMINASI TEKNOLOGI PERTANIAN DI DESA CITARIK KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI MODEL PRIMA TANI SEBAGAI DISEMINASI TEKNOLOGI PERTANIAN DI DESA CITARIK KABUPATEN KARAWANG JAWA BARAT FIRMANTO NOVIAR SUWANDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini tentu saja dikarenakan banyak wilayah di Indonesia pada saat musim hujan sering dilanda

Lebih terperinci

PERSEPSI KONSUMEN TENTANG MUTU PELAYANAN DAN PRODUK STEAK DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGKONSUMSI (Kasus di Restoran Obonk Steak & Ribs Bogor)

PERSEPSI KONSUMEN TENTANG MUTU PELAYANAN DAN PRODUK STEAK DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGKONSUMSI (Kasus di Restoran Obonk Steak & Ribs Bogor) PERSEPSI KONSUMEN TENTANG MUTU PELAYANAN DAN PRODUK STEAK DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGKONSUMSI (Kasus di Restoran Obonk Steak & Ribs Bogor) SKRIPSI DISTI LASTRIANI PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Permukiman Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. Permukiman perlu ditata agar dapat berkelanjutan dan

Lebih terperinci

kuantitas sungai sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan iklim komponen tersebut mengalami gangguan maka akan terjadi perubahan

kuantitas sungai sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan iklim komponen tersebut mengalami gangguan maka akan terjadi perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sungai merupakan sumber air yang sangat penting untuk menunjang kehidupan manusia. Sungai juga menjadi jalan air alami untuk dapat mengalir dari mata air melewati

Lebih terperinci

MODEL LOYALITAS MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA LEONNARD

MODEL LOYALITAS MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA LEONNARD MODEL LOYALITAS MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA LEONNARD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewibawaan guru di mata peserta didik, pola hidup konsumtif, dan sebagainya

BAB I PENDAHULUAN. kewibawaan guru di mata peserta didik, pola hidup konsumtif, dan sebagainya 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Permasalahan karakter saat ini banyak diperbincangkan. Berbagai persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan,

Lebih terperinci