ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL"

Transkripsi

1 ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Studi Kasus DAS Citarum) adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Januari 2008 Anhar Drakel A

3 ABSTRAK ANHAR DRAKEL. Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Studi Kasus DAS Citarum). (AKHMAD FAUZI sebagai Ketua dan SETIA HADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Mengingat krusialnya peran kawasan daerah hulu DAS, termasuk DAS Citarum, dalam mengkonservasi air, maka upaya perbaikan lingkungan kawasan itu menjadi suatu keharusan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis persepsi dan kemauan membayar masyarakat (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP tersebut, serta menganalisis pilihan sumber air masyarakat. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, Contingent Valuation Method (CVM), dan regresi. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa ketersediaan air makin memburuk, sehingga perlu adanya upaya perbaikan lingkungan untuk memperbaiki kondisi air, namun WTP saat ini relatif masih rendah.. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP untuk jasa perbaikan lingkungan adalah pendapatan, umur, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan air, dan status rumah. Sebagian besar Masyarakat masih cenderung menggunakan air sumur daripada air PDAM, atau kedua-duanya, dengan dengan berbagai alasan dan kekhawatiran. Kata kunci: Jasa perbaikan lingkungan, Contingent Valuation Methods, regresi, dan ketersediaan sumberdaya air.

4 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR (Studi Kasus DAS Citarum Hulu)

5 ANHAR DRAKEL Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Judul Tesis : Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Suatu Kasus DAS Citarum Hulu)

6 Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Anhar Drakel : A Menyetujui, Komisi Pembimbing Prof. Ir. Akhmad Fauzi, Ph.D Ketua Dr. Ir. Setia Hadi, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 22 Juni 2007 Tanggal Lulus :

7 PRAKATA Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah swt karena hanya dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian berjudul Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Suatu Kasus DAS Citarum Hulu). ini membahas tentang aspek sosial ekonomi dalam kemauan membayar untuk jasa perbaikan lingkungan, dan akan dilaksanakan di wilayah kota Jakarta Timur, dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan kepada : Prof. Ir. Akhmad Fauzi, Ph.D dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku pembimbing. Dan kepada Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D sebagai Ketua Program Studi dan Prof. Affendi Anwar MSc yang telah banyak memberi arahan dan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa Program Studi PWD Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya teman-teman PWD 2004 dan semua pihak yang telah mendorong serta membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak (almarhum), ibu serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Januari 2008 ANHAR DRAKEL

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ternate pada tanggal 29 September sebagai anak kelima dari delapan bersaudara dari Ayah Hi Umar Ali Drakel dan lbu Hj. Salma Saban. Menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1995 dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1998 di Ternate. Pada tahun yang sama penulis Universitas Ibnu Chaldun Jakarta dan terdaftar pada Program Studi Ekonomi, Jurusan Management Fakultas Ekonomi. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Perhimpunan Mahasiswa Ekonomi dan berbagai organisasi. Pada tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan program pascasarjana IPB, pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Pada tahun 2003 penulis bekerja di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Kie Raha Ternate.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 7 II TINJAUAN MENGENAI BERBAGAI KONSEP TERKAIT DAN PUSTAKA Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan Sumberdaya Air dalam Perspektif Etika Lingkungan Konsep Ekonomi Sumberdaya Air Penilaian Sumberdaya Alam Kerusakan Lingkungan dan Tata Air Faktor Pendorong Kerusakan Lingkungan dan Tata Air DAS dan Hutan Sebagai Pengatur Tata Air DAS sebagai Suatu Kesatuan Ekosistem DAS Sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alih Fungsi Lahan Dampak Perubahan Tata Guna Lahan dan Kerusakan Hutan Terhadap Sumberdaya Air Jasa Lingkungan Definisi Pembayaran Jasa Lingkungan Jasa Ekosistem dan Masyarakat Perspektif tentang Jasa Ekosistem dan Kompensasinya Fokus pada Masyarakat Miskin Pedesaan Jasa Lingkungan Ekowisata Pengembangan Sumberdaya Hutan melalui Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Hubungan Masyarakat Hulu dan Hilir Konsep Nilai untuk Sumberdaya dan WTP Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu III METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Hipotesis Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Data dan Sumber Data... 55

10 3.6 Metode Pengambilan Sampel Variabel dalam Penelitian Metode Analisis Data Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan Analisis Kemauan Membayar (Willingness To Pay) Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP Analisis Persepsi Masyarakat tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Lingkungan DAS Citarum Hulu secara Umum Kondisi Umum Kerusakan Lingkungan di DAS Citarum Hulu Status Kualitas DAS Citarum Karateristik dan Permasalahan DAS Citarum Jenis Tanah Iklim Penggunaan Lahan Hidrologi Sosial Ekonomi Jumlah Penduduk Tingkat Pendidikan Mata Pencaharian Kelembagaan Kondisi Fisik DAS Citarum Hilir Kondisi Geologi DAS Citarum Hilir Gambaran Umum Lokasi Penelitian Daerah Hilir DAS Citarum DKI Jakarta Kependudukan Pertumbuhan Penduduk Kondisi dan Kebutuhan Air Bersih di Wilayah DKI Jakarta Jakarta Timur Keadaan Administrasi Geografi Iklim dan Cuaca V HASIL DAN PEMBAHASAN Karateristik Responden Jenis Kelamin Responden Umur Responden Tanggungan Keluarga Responden Tingkat Pendidikan Responden Pekerjaan Reponden Pendapatan Responden Pengeluaran Responden... 93

11 5.2 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air Persepsi Responden terhadap Keluhan Air Persepsi Responden terhadap Peranan Persepsi Responden terhadap Kesetujuan Hasil Analisis Kemauan Membayar Masyarakat (WTP) Deskriptif Kemauan Membayar dan WTP Hasil Analisis Pelaksanaan CVM Pembentukan Pasar Hipotetik Memperoleh Nilai Penawaran Menghitung Dugaan Rataan WTP Menentukan WTP Agregat atau WTP Total Menduga Kurva Penawaran Total Mengevaluasi CVM Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi WTP Deskripsi Variabel Penelitian pada fungsi WTP Hasil Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP Hasil Analisis Persepsi tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kualitas Air PDAM Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kuantitas Air PDAM VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

13 L A M P I R A N

14 xi DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Kriteria alokasi sumberdaya air Neraca kebutuhan air dan pemenuhan sumber air dari DAS Citarum Jenis data dan metode pengumpulan data Jumlah sampel berdasarkan jumlah rumah tangga di Kecamatan Pulo Gadung Variabel penelitian yang mempengaruhi WTP Matriks pendekatan studi Penggunaan lahan di wilayah das citarum Perubahan penggunaan lahan di DAS Citarum hulu Luas satuan tanah menurut kepekaannya terhadap erosi di DAS Citarum Curah hujan dan type iklim di DAS Citarum Jenis penggunaan lahan di DAS Citarum Letak dan luas masing-masing sub das di DAS Citarum Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta per tahun menurut Kabupaten/Kota Jumlah dan pertumbuhan penduduk DKI Jakarta tahun Perkembangan penduduk DKI Jakarta periode sensus penduduk (dalam 000) Luas wilayah dan jumlah kelurahan Hasil perhitungan statistik variabel analisis kemauan membayar (WTP) sampel penelitian Distribusi wtp sampel diatas harga air yang berlaku Menentukan wtp agregat (TWTP) populasi Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP tentang jasa perbaikan lingkungan

15 xii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Skema Pemanfaatan dan Pembayaran Jasa Lingkungan Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian Penggunaan Lahan di DAS Citarum Penurunan Debit Air di Waduk Cirata Fluktuasi Air Masuk dan Keluar Jatiluhur, Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Persentase Responden Berdasarkan Umur Persentase Responden Berdasarkan Tanggungan Keluarga Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan Persentase Responden Berdasarkan Pengeluaran Persentase Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air Persentase Persepsi Responden terhadap Keluhan Air Minum Persentase Persepsi Responden terhadap Peranan Untuk Perbaikan lingkungan Persentase Persepsi terhadap Kesetujuan Untuk Perbaikan Lingkungan Persentase Responden Berdasarkan Peranan Masyarakat Hulu Persentase Responden Berdasarkan Kesetujuan Masyarakat Hulu Persentase Responden yang Mau/Bersedia Membayar Persentase Sebaran WTP Grafik Penawaran/Permintaan Total untuk Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Air Berdasarkan Kemauan Membayar (WTP) Persentase Tingkat Pendidikan Persentase Umur Persentase Pekerjaan Persentase Bentuk Pilihan Sumber Air Bersih Persentase Persepsi Tentang Kualitas dan Kuantitas Air PDAM Persentase Persepsi Tentang Kualitas dan Kuantitas Air Sumur Persentase Harapan Akan Adanya Perbaikan Oleh Pemerintah Persentase Alasan Responden yang menyatakan Kualitas Air PDAM Rendah Persentase Akibat yang Dirasakan Responden karena Rendahnya Kualitas Air PDAM Persentase Jenis kekhawatiran yang dikemukakan responden atas Rendahnya Kualitas Air Persentase Alasan responden menyatakan kuantitas Air PDAM rendah Persentase Akibat yang dirasakan Responden karena Rendahnya Kuantitas Air PDAM

16 xiii DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian Peta Penggunaan Lahan Das Citarum Peta Kajian Konservasi di Hulu DAS Citarum Kuesioner Data Analisis Responden Ouput Hasil Analisis Regresi

17 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Arahan pembangunan nasional jangka panjang sebagaimana tersirat dalam program pembangunan nasional (Propenas) tahun menekankan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa aktivitas-aktivitas manusia dalam pembangunan yang dilaksanakan selain mampu membawa perubahan, juga mempengaruhi struktur dan fungsi dasar ekosistem. Kegiatan pembangunan yang tidak mengindahkan asas-asas ekologi akan menimbulkan masalah lingkungan hidup. Era otonomi yang ditandai dengan desentralisasi kegiatan pembangunan berdasarkan wilayah administratif, sering kali berdampak pada konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya alam tidak dibatasi oleh wilayah administratif, melainkan terintegrasi secara biofisik maupun sosial eknomi. Ramdan, et al mengatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam tidak mengenal batas administrasi, melainkan integrasi secara ekosistem maupun sosial ekonomi. Pelaksanaan otonomi daerah memiliki konsekuensi terhadap pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya air, terutama sumberdaya milik bersama seperti daerah aliran sungai (DAS). Batas daerah otonom (Provinsi/Kabupaten/Kota) secara umum paradoksial dengan batas DAS. Perubahan lingkungan akibat dari meningkatnya pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, sehingga menyebabkan luas kawasan lahan hutan sebagai area tangkapan air ini terus berkurang, dimana tahun 2001 luas lahan hutan berkurang sebesar 235, ha (48%) dan sawah berkurang sebesar 167, ha. Berkurangnya luas lahan hutan ini disebabkan oleh karena adanya alih fungsi lahan ke industri dan pemukiman, sawah dan tegalan, tetapi yang lebih penting lagi penyebabnya, karena semakin marak penebangan liar semenjak terjadinya krisis ekonomi, sehingga luas lahan kritis semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin di wilayah DAS Citarum, dimana jumlah keluarga miskin di Jawa Barat, mencapai 2,37 juta keluarga atau sekitar 9,5 juta orang (26,59% dari seluruh penduduk Jawa Barat) pada tahun Terjadinya kerusakan lingkungan di bagian Hulu DAS

18 2 Citarum yang ada sebagian besar disebabkan oleh adanya proses degradasi hutan dan lahan. Degradasi hutan dan lahan tersebut mengakibatkan kemunduran produktivitas secara perlahan atau cepat, baik sementara maupun tetap sehingga pada suatu saat sampai pada tingkat kekritisan tertentu. Proses degradasi lahan yang sering mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air (dapat dilihat secara visual) dan pemasaman tanah pada kasus ini hanya justifikasi penulis, tidak didasarkan dari hasil analisis laboratorium. Secara umum faktorfaktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan adalah pergerakkan penduduk dan terjadi pergerakkan diberbagai sektor ekonomi sehingga penggunaan lahan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan maupun pengelolaan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi yang menyebabkan terjadi erosi. (hujan yang tinggi terletak pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl), jenis tanah yang sangat remah sehingga jika dibuka peluang terjadinya erosi semakin tinggi), topografi dengan rata-rata kecuraman lereng diatas 25%, vegetasi (tipe penggunaan lahan, sistim pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi), dan manusia (sosial, ekonomi, teknologi/agroteknologi). Gejala perubahan lingkungan tersebut di atas mempunyai dampak terhadap ketersediaan air, misalnya terjadi penurunan sumberdaya air pada wilayah DAS sebagai satu kesatuan ekosistem hulu dan hilir, oleh karena aktivitas alih fungsi lahan dan kerusakan hutan di wilayah hulu dapat memberi dampak pada daerah hilir, misalnya bentuk perubahan fluktuasi debit air, banjir, transpor sedimen serta material terlarut lainnya, demikian pula erosi yang terjadi pada lahan di wilayah hulu yang berlansung intensif menyebabkan terangkutnya lapisan tanah yang subur pada saat musim hujan. Kondisi ini dapat mengakibatkan lahan kering berubah menjadi lahan kritis, sehingga menyebabkan produktivitas lahan maupun pendapatan petani akan menurun, serta terjadi kelangkaan air untuk pertanian dan konsumsi rumah tangga pada musim kemarau. Penurunan ketersediaan air dari DAS Citarum Hulu sebagai akibat dari perubahan lahan dan air akan diperparah dengan rusaknya kondisi lingkungan pada wilayah tersebut. Perubahan penggunaan lahan telah terjadi dengan adanya pengurangan areal hutan. Sumberdaya air merupakan sumberdaya terpenting bagi kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatannya. Meningkatnya jumlah penduduk dan

19 3 kegiatan untuk pembangunan, telah meningkatnya sumberdaya air. Dilain pihak, ketersediaan sumberdaya air dirasakan semakin terbatas, di beberapa tempat bahkan sudah dikategorikan berada dalam kondisi kritis. Kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu kebutuhan domestik, pertanian (irigasi) dan industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan maka kebutuhan air akan meningkat pula baik di perkotaan maupun dipedesaan. Untuk kebutuhan air dari PJT II Jatiluhur dengan sumber mata air utama dari DAS Citarum Hulu, diproyeksikan tidak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan dari berbagai sektor pada tahun hal ini juga sebagaimana diungkapkan oleh Ansofino (2005) bahwa apabila dalam mempertimbangkan semua bentuk kompensasi penggunaan air oleh pengguna di hilir ke pengguna di hulu terutama pemilik lahan beririgasi, maka penentuan harga yang optimal, ternyata lebih menjamin kelestarian sumberdaya air kedepan. Hal ini dibuktikan dengan hasil optimasi pengambilan sumberdaya air di wilayah DAS Citarum dengan mempertimbangkan nilai lahan beririgasi, menunjukan bahwa ketersediaan air tanah maupun air permukaan masih mencukupi sampai periode perencanaan sampai yang ditandai dengan ketinggian air tanah tidak mengalami penurunan sampai pada tahun 2008, dan tetap relatif stabil sampai pada tahun Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan data tersebut bahwa akan terjadi pola pengembangan sumberdaya air dengan semakin banyaknya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air tidak diimbangi dengan konservasi terhadap wilayah hulu maka akan terjadi penurunan terhadap ketersediaan air. Daerah hulu suatu DAS merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah di bawahnya (hilir), antara lain sebagai daerah resapan air. Oleh karena itu, perencanaan DAS Hulu menjadi fokus perenacanaan. Perencanaan yang terpadu dari daerah hulu sampai hilir diharapkan dapat menghasilkan suatu pengelolaan DAS yang lebih baik dan terpadu sehingga dapat mengurangi bencana banjir akibat dari musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Perkembangan pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang pesat, yang ditandai dengan peningkatan permintaan terhadap lahan, juga

20 4 terjadi di kawasan DAS yang diperuntukannya sebagai kawasan konservasi. Perubahan kawan hutan dan lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman mengakibatkan terjadi kerusakan lingkungan dan semakin berkurangnya daerah resapan air hujan, sebaliknya daerah kedap air semakin bertambah. Banyaknya lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan semakin meningkatnya sedimen dan terjadi penurunan tanah pada saat musim hujan akan menyebabkan terjadi kedangkalan di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan terjadi banjir pada wilayah hilir, hal ini juga menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan akibat meningkatnya jumlah limbah yang dibuang ke sungai yang semakin meningkat. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap semakin menurunnya fungsi kawasan DAS sebagai kawasan konservasi. Berkaitan dengan itu, kebijakan pengelolaan sumberdaya air ke depan tidak akan terlepas dari pemeliharaan fungsi hidrologi wilayah tangkapan air di hulu DAS Citarum, karena ada keterkaitan antara ketersediaan air di hilir dengan luasan lahan kritis di luar kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan di wilayah DAS Citarum. Jika luas lahan kritis semakin meningkat maka akan menyebabkan fluktuasi penawaran menjadi tinggi. Ketersediaan air akan semakin tinggi, tetapi tidak bertahan lama, karena seiring dengan itu sedimentasi juga semakin tinggi karena adanya erosi tanah. Di musim kering akan mengalami kekurangan air karena berkurangnya luas areal hutan sebagai tangkapan air. Sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap berfluktuasinya jumlah penawaran air di hilir. Oleh karena salah satu karakteristik DAS adalah adanya keterkaitan yang kuat atau dapat dikatakan sebagai suatu hubungan sebab akibat antara wilayah hulu dengan wilayah hilir, yang diikat sistem tata air berupa sungai. Sehingga apabila aktivitas di wilayah hulu berupa penebangan hutan akan menyebabkan sedimentasi dan banjir di wilayah hilir. Sebaliknya upaya konservasi dan rehablitasi hutan di wilayah hulu akan memperbaiki tata air di hulu sampai hilir. Jadi, pengelolaan sumberdaya air di wilayah DAS akan dikendalikan oleh sistem perekonomian yang ada di wilayah hulu, karena pengelolaan air di hulu berkaitan dengan kehilangan wilayah tangkapan air akibat kerusakan hutan, kehilangan keindahan hutan yang beragam, dan gangguan fungsi fungsi hidrologi hutan sebagai akibat dari penebangan hutan di areal konservasi dan hutan lindung,

21 5 baik oleh masyarakat setempat yang miskin maupun oleh pemerintah yang memberikan izin pengelolaan hutan kepihak pengusaha tetapi tanpa kendali. Berbagai perubahan lingkungan dalam pembangunan memberikan isyarat untuk pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena perilaku manusia dalam pembangunan berdampak terhadap sumberdaya alam dan ekosistem global, oleh karenanya diperlukan strategi dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya kedepan, sehingga dapat menciptakan keselarasan dalam pembangunan ekonomi. 1.2 Perumusan Masalah Air adalah sumberdaya yang dinamik sebagai sumber kehidupan segala mahluk di dunia, sehingga memberikan implikasi yang relatif pelik dan khas dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatannya. Pada setiap titik pada daerah alirannya, potensi daya yang dimiliki baik dalam kuantitas ataupun kualitasnya berfluktuasi menurut waktu. Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki arti penting dalam upaya konservasi tanah dan air. Badan Pengelolaan Sumberdaya Air mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh pembatas alam topografi dimana semua air yang jatuh di daerah tersebut diterima, ditampung dan dialirkan melalui satu outlet tertentu. Disis lain DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem dimana semua komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain khususnya hubungan antara hulu dan hilir. Keberlansungan pengelolaan DAS dan konservasi tanah dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh keseimbangan tercapainya manfaat sosial ekonomi dan terpeliharanya fungsi lingkungan. Kondisi sosial ekonomi di daerah Gunung Wayang sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah di daerah tersebut. Oleh karena itu, salah satu indikator kerusakan lingkungan, lahan dan air adalah kemiskinan, hal ini terlihat dari indek kemiskinan manusia di Jawa Barat tahun 1995 adalah 26,3% kemudian meningkat menjadi 26,9% (Bapenas, 2001). Petani yang miskin akan menggunakan lahan hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa memperhitungkan daya dukung sumberdaya lahan tersebut. Penurunan kualitas sumberdaya lahan dan tingkat hidup petani disebabkan kemiskinan yang merupakan sumber kerusakan lingkungan. Sehingga untuk memperbaiki kondisi lingkungan di daerah tersebut, terlebih dahulu harus

22 6 meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Oleh karena itu, memang ada keterkaitan antara berkurangnya jumlah lahan hutan dengan meningkatnya indeks kemiskinan manusia di Jawa Barat sebagaimana diungkapkan oleh Kramadibrata dan Kastaman (2003). Berkaitan dengan itu maka salah satu kebijakan pemulihan kerusakan di wilayah hulu DAS Citarum adalah dari aspek sosial dan ekonomi, dimana masyarakat harus diberikan insentif sebagai jasa lingkungan. Oleh karena berdasarkan data dan fakta yang ada, telah mengambarkan bahwa ada keterkaitan antara penyusutan penawaran air di hilir dengan berkurangnya luas hutan sebagai area tangkapan air di wilayah DAS yang disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di wilayah hulu, dimana terjadi penebangan hutan lindung dan hutan konservasi. Akibat kegiatan konservasi lahan menurut Sumaryanto (1994) bahwa hilangnya kesempatan kerja petani dan pendapatan kerja yang dihasilkan, irigasi yang dibangun dengan biaya besar tidak difungsikan dengan semestinya, dan hancurnya beberapa kelembagaan lokal yang selama ini menunjang pembangunan pertanian. Dengan adanya akibat kegiatan konservasi tersebut maka petani alternatif lain untuk mencukupi kebutuhan mereka dengan cara menebang hutan, baik hutan konservasi maupun hutan produksi. Oleh karena peran kawasan daerah hulu DAS sangat besar dalam menkonservasi air, upaya perbaikan lingkungan khususnya mempertahankan dan meningkatkan luas kawasan dengan penutupan tajuk, harus mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. Pada daerah DAS Citarum Hulu khususnya di Gunung Wayang, menurut studi yang telah dilakukan oleh Bina Mitra (2003) bantuan yang telah diberikan hanya berupa bantuan fisik seperti pelebaran aliran sungai yang tidak dirasakan manfaatnya oleh penduduk setempat. Perencanaan yang terpadu dari hulu sampai hilir diharapkan dapat menghasilkan suatu pengelolaan DAS yang lebih baik dan terpadu. Salah satu bentuk kajian yang diperlukan untuk mendukung penyusunan sistem pengelolaan DAS yang baik ialah mempelajari kemauan masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam membayar kompensasi terhadap penyedia jasa lingkungan di hulu DAS Citarum yang bersedia melakukan perbaikan lingkungan.

23 7 Bertolak dari kondis aktual yang telah diuraikan di atas, maka dapat dihimpun beberapa masalah yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, yaitu : 1. Menganalisis persepsi masyarakat tentang jasa perbaikan lingkungan. 2. Menganalisis kemauan membayar masyarakat (WTP) tentang jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang kondisi sumber air yang tersedia. 1.3 Tujuan Penelitian Setelah memperhatikan kenyataan yang terdapat pada latar belakang dan perumusan masalah, maka dibuatlah beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu : 1. Menganalisis persepsi masyarakat tentang jasa perbaikan lingkungan. 2. Menganalisis kemauan membayar masyarakat (WTP) tentang jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang kondisi sumber air yang tersedia. 1.4 Manfaat Penelitian Peneliti juga berharap agar penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi Pemerintah dan Stakeholder. Peneliti juga berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pembanding bagi peneliti lain untuk pengembangan penelitian yang lebih lanjut. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan suatu bentuk kemauan membayar masyarakat untuk jasa perbaikan lingkungan di DAS Citarum. Air yang dimaksudkan merupakan air permukaan yang berasal dari DAS Citarum yang pendistribusiannya melalui PDAM dan air tanah. Sedangkan ketersediaan air yang dimaksudkan merupakan bentuk ketersediaan air secara kualitas dan kuantitas air. Aspek ekonomi yang dikaji berdasarkan masyarakat yang menggunakan jasa air yang berasal dari DAS Citarum dan air tanah., dalam hal ini lebih ditekankan pada wilayah hilir (kota) sebagai pengguna air terbesar.

24 8 Analisis penelitian ini ditekankan pada analisis persepsi untuk jasa lingkungan dan analisis kemauan membayar (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang yang mempengaruhinya, analisis persepsi terhadap kondis sumber air PDAM dan air tanah.

25 II TINJAUAN MENGENAI BERBAGAI KONSEP TERKAIT DAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan Anwar (1999), mengemukakan bahwa mengingat sifat-sifat yang melekat pada air sebagaimana yang telah diuraikan di depan, maka dipertanyakan bagaimanakah sebenarnya pengalokasian sumberdaya air tersebut agar dapat berdaya guna dan berhasil guna yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Sumber dari ketidakefisienan dalam alokasi sumberdaya air adalah karena secara fisik terjadi saling ketergantungan yang menjadi penyebab eksternalitas. Eksternalitas menyebabkan biaya yang dilihat pihak swasta berbeda dengan biaya sosial yang ditanggung masyarakat. Mengingat sifat sumberdaya air yang sebagian bersifat milik indifidu dan sebagian menunjukkan sifat barang umum serta untuk menghindari dan mengatasi inefisiensi pengelolaan sumberdaya air yang berupa kegagalan pasar dan kemubaziran dalam pemanfaatannya, maka campur tangan Pemerintah menjadi perlu. Lebih lanjut Anwar (1999), menjelaskan campur tangan Pemerintah tersebut antara lain : 1. Peraturan-peraturan, seperti pencegahan pembuangan limbah atau sampahsampah pertanian, rumah tangga dan industri kepada badan-badan air yang sekarang masih dianggap sebagai sumberdaya milik bersama. 2. Pembangunan proyek-proyek bagi kepentingan umum seperti proyek pencegahan banjir, bangunan irigasi, dan penggelontoran. 3. Memberi hak-hak penggunaan air yang jelas, dimana hak-hak tersebut dapat ditransfer, sehingga rentang dari dampak fisik yang ditimbulkannya dapat bertumpang tindih dengan tanggung jawab yang diakui secara hukum. Dengan demikian, seseorang yang diakui kepemilikannya dapat berhak menerima pembayaran kompensasi jika biaya yang ditanggungnya meningkat apabila terjadi pemompaan air oleh pihak lain. 4. Melaksanakan kebijaksanaan pajak atau subsidi, untuk mengoreksi agar biaya swasta akan tepat mencapai tingkat biaya sosial.

26 10 5. Melakukan pengendalian terhadap sumberdaya air yang mengandung eksternalitas secara terpusat, dengan harapan agar pengelolaan tunggal ini dapat menginternalisasikan dampak ekternal dalam penghitungan biayanya. 6. Mendirikan dan mengoperasikan pemanfaatan sumberdaya air oleh perusahaan air minum, perusahaan pembangkit tenaga listrik dan lain-lain. Pengalokasian sumberdaya air adalah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, pemerataan, menyelesaikan konflik-konflik yang timbul, peran serta masyarakat, pengendalian air setempat yang banyak ditentukan oleh faktorfaktor yang bersifat sosio-kultural serta politik yang ada. Terjadinya ketidakpastian atas aspek yang bersifat legal, fisik dan hak pemakaian juga perlu diperbaiki. Demikian juga harus diusahakan agar terdapat fleksibilitas dalam mekanisme alokasi (baik secara teknis dan kelembagaan) sehingga penggunaan sumberdaya air dapat diubah-ubah sesuai dengan keperluan antar wilayah, antar berbagai penggunaan dan antar para pengguna dalam berbagai waktu dengan biaya rendah. Anwar (1999), menjelaskan bahwa peranan swasta dalam arti luas dalam pengembangan sumberdaya air pada masa yang akan datang sudah saatnya untuk tampil karena keberadaannya sudah dikehendaki oleh masyarakat. Peningkatan peran swasta ini memerlukan fasilitas dalam sebuah kerangka sistem legal (perundang-undangan) dan pengaturan, sehingga sumberdaya air dapat didayagunakan secara lebih efisien dan konsumen tidak merasa dirugikan. Perubahan strategi pembangunan kearah berkelanjutan mengandung arti bahwa sumberdaya air harus dialokasikan kearah pemanfaatan air dengan efisiensi yang semakin lebih tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, dengan semakin langkanya sumberdaya air, maka air akan merupakan sumberdaya terpenting yang dapat menimbulkan berbagai konflik dalam penggunaannya. Oleh karena itu, sumberdaya air tersebut harus dipergunakan untuk menghasilkan sebesar-besarnya manfaat kepada masyarakat luas dengan mengurangi kemubaziran, serta alokasi sumberdaya tersebut kearah yang berkeadilan sosial. 2.2 Sumberdaya Air dalam Perspektif Etika Lingkungan Keberadaan air di Indonesia sebagai kebutuhan dasar dijamin oleh konstitusi sebagaimana dalam Pasal 33 UUD Penjaminan itu lebih dipertegas lagi

27 11 dalam RUU tentang Sumberdaya Air Pasal 5 yang menyatakan bahwa "negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok seharihari untuk memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih, dan produktif. Secara Internasional perspektif air sebagai kebutuhan dasar ini dipertegas lagi oleh Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar. Dalam deklarasi ini disebutkan bahwa air adalah benda sosial dan budaya, dan bukan hanya sebagai komoditi ekonomi. Selain sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi manusia, air juga dalam pandangan umum dipandang sebagai barang umum yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama yang dikelola secara kolektif bukan untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan guna memperoleh keuntungan. Dengan adanya RUU Sumberdaya Air dan deklarasi PBB tentang pengelolaan sumberdaya air, agaknya pandangan umum tersebut sudah berubah dan ditinggalkan, karena air tidak hanya sekedar barang umum tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Pergeseran paradigma pengelolaan sumberdaya air tersebut didasarkan pada nilai ekonomi intrinsik yang dimiliki oleh air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air serta dibutuhkannya investasi untuk penyediaan air bersih sebagai pemenuhan hak atas setiap warga negara. Hingga saat ini perdebatan mengenai pro dan kontra tentang paradigma pengelolaan sumberdaya air masih merupakan suatu diskusi yang panjang. Sulit untuk menyatakan secara terang-terangan bahwa air adalah barang umum atau air adalah barang ekonomi. Sanim (2003), menjelaskan bahwa penilaian terhadap air akan menjadi lebih kompleks jika cara pandang pemanfaatan sumberdaya air didasarkan atas filosofis yang melingkupinya. Lebih lanjut Sanim (2003), menjelaskan ada dua basis cara pandang dalam pemanfaatan sumberdaya air, yaitu: antropocentrisme dan ecocentrisme. Dalam cara pandang antropocentrisme manusia adalah pemilik semua yang ada dimuka bumi ini sehingga setiap keputusan ekonomi harus mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan elemen alam lainnya. Sistem nilai ekonomi muncul dari kelangkaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia semata, sehingga dalam memperlakukan sumberdaya alam

28 12 cenderung eksploitatif dan destruktif. Dalam cara pandang ecocentrisme dimana ekonomi setara dengan ekologi setiap elemen ekosistem (manusia, hewan, tumbuhan) memiliki kedudukan sederajat dalam mendapatkan kepentingannya. Sistem ekonomi yang diberlakukan terhadap benda-benda alam dikaitkan dengan intrinsic value yang tidak dapat dinilai secara konvensional oleh piranti ekonomi. Cara pandang mana yang akan dipegang dan dianut dalam pengelolaan sumberdaya air akan sangat tergantung pada kepentingan dari domain yang ada pada suatu negara. Selain itu, akan sangat tergantung pula pada bagaimana stakeholders memperlakukan sumberdaya air sebagai dasar bagi pembangunan secara keseluruhan, termasuk pembangunan untuk sumberdaya manusianya. Secara rinci Sanim (2003), juga menjelaskan bahwa kerangka pemanfaatan sumberdaya air, apakah akan menganut antropocentrisme atau ecocentrisme akan sangat tergantung pada tiga domain, yaitu : ruang sektor masyarakat, ruang sektor swasta, dan ruang sektor publik. Jika ruang sektor masyarakat dilandaskan pada antropocentrisme maka air akan dipandang sebagai public goods and global commons dengan konsekuensi pemanfaatan yang tidak efisien tanpa dilandasi perlunya keberlanjutan dan keberadaan sumberdaya air tersebut. Sebaliknya jika dilandaskan pada ecocentrisme maka efisiensi dan keberlanjutan menjadi pusat perhatiannya. Untuk ruang sektor swasta, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui rekayasa kebijakan di sektor swasta, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan melalui privatisasi, dalam domain ini kerangka filosofis balik antropocentrisme maupun ecocentrisme jelas-jelas harus diperhatikan. Untuk ruang sektor publik, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui rekayasa kebijakan publik, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan oleh Pemerintah daerah atau regionalisasi, dalam domain ini kerangka filosofis baik antropocentrisme maupun ecocentrisme juga tetap harus menjadi bahan pertimbangan. 2.3 Konsep Ekonomi Sumberdaya Air Air haruslah dipandang sebagai barang ekonomi sehingga untuk mendapatkannya memerlukan pengorbanan baik waktu maupun biaya. Sebagaimana barang ekonomi yang lain, air mempunyai nilai bagi penggunanya.

29 13 Nilai air bagi pengguna adalah jumlah maksimum yang bersedia dibayarkan untuk penggunaan sumberdaya tersebut, dimana pengguna akan menggunakan air selama manfaat dari tambahan setiap meter kubik air yang digunakan melebihi biaya yang dikeluarkan (Briscoe, 1996). Sumberdaya air dapat dialokasikan secara efisien dengan menggunakan prinsip nilai guna batas yang sama bagi setiap penggunaan (Suparmoko, 1995). Secara ekonomi, sumberdaya air tergolong ke dalam sumberdaya milik bersama. Sumberdaya ini biasanya akan mengalami masalah apabila dieksploitasi secara tidak terkendali atau melebihi daya dukung regenerasinya. Munculnya berbagai masalah adalah akibat sulit ditegaskan hak-hak kepemilikan terhadap sumberdaya yang bersangkutan. Sedangkan syarat sumberdaya dapat dikelola secara efisien, yaitu jika sistem kepemilikan terhadap sumberdaya itu dibangun di atas sistem hak-hak kepemilikan yang efisien. Syarat-syarat hak-hak kepemilikan yang efisien, antara lain : (1) Universality, artinya semua sumberdaya memiliki secara privat dan semua entitlement terspesifikasikan dengan jelas. (2) Exclusivity, artinya semua manfaat dan biaya yang disebabkan oleh kepemilikan harus kembali kepada pemiliknya. (3) Transferability, artinya semua hak kepemilikan harus dapat dipindahtangankan secara sukarela. (4) Enforceability, artinya semua hak kepemilikan harus bebas dari gangguan pihak luar. Sumberdaya air sering menghadapi permasalahan seperti disebutkan diatas, sehingga sering mengarah kepada sumberdaya air yang bersifat akses terbuka (Fauzi, 2004). Sulit ditegaskan hak-hak atas sumberdaya air itu sendiri, antara lain terkait dengan : mobilitas air, skala ekonomi yang melekat, penawaran air yang berubah-ubah, kapasitas daya asimilasi dari badan air, dapat dilakukannya penggunaan secara beruntun, penggunaan yang serbaguna, berbobot besar dan memakan tempat, dan nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air. Keadaan diatas, lebih lanjut menimbulkan gejala eksternalitas yang meluas. Yaitu terjadi, jika ada pihak lain yang menanggung manfaat atau biaya dari proses penggunaan sumberdaya oleh pemiliknya. Dengan perkataan lain, eksternalitas menimbulkan manfaat dan biaya yang dinilai oleh pihak swasta dengan manfaat dan biaya yang dinilai oleh masyarakat. Dengan adanya eksternalitas ini menurut Randal (1987), menjelaskan pada penentuan harga dari unit sumberdaya secara

30 14 tidak efisien. Artinya, harga-harga yang menjadi standar pertukaran tidak mencerminkan sifat kelangkaan dari sumberdaya tesebut. Untuk itu didalam ekonomi sumberdaya air ada beberapa alokasi sumberdaya air yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air adalah alokasi dan distribusi air. Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana penawaran air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai untuk konsumsi dan kelompok non konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, indsutri, pertanian, kehutanan, kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi, baik melalui transpormasi penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara lansung (pencemaran). Kelompok pengguna ini memperlakukan sumberdaya air sebagai sumberdaya yang tidak terbarukan (Fauzi, 2004), Tabel 1, ada tiga kriteria alokasi sumberdaya air beserta tujuan yang dikemukakan oleh Fauzi, (2004). Tabel 1 Kriteria Alokasi Sumberdaya Air Kriteria Efficiensi Equity Sustainability Sumber : Fauzi, Tujuan Biaya penyediaan air yang rendah Penerimaan per unit sumberdaya air yang tinggi Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Akses terhadap air bersih untuk semua masyarakat Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah (ground water depletion) Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan meminimalkan pencemaran air Selain kriteria pada Tabel 1, Howel et al., (1996) menambahkan kriteria alokasi sumberdaya air antara lain : 1. Fleksibilitas dalam penyediaan air sehingga sumberdaya air dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan. 2. Keterjaminan bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan air seefisien mungkin. 3. Akseptabilitas politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh masyarakat.

31 15 Untuk itu lebih lanjut Fauzi (2004), menjelaskan beberapa kriteria pada Tabel 1, yaitu pengelolaan sumberdaya air, khususnya yang menyangkut alokasi, memang menjadi sangat kompleks. Namun secara umum ada beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni Queuing system, water pricing, alokasi public, dan user based allocation. Namun alokasi air yang cocok diterapkan terhadap kota-kota besar adalah water pricing dan Alokasi berbasis pasar (water market), berikut masing-masing mekanisme alokasi : 1. Queuing system : sistem antrian ini mengacu pada dua sistem alokasi yang cukup dominan, yakni Riparian Water Rights dan Prior Appropriation Water Rights. Istilah Riparian sebenarnya mengacu pada daerah yang berada atau berdekatan dengan sungai maupun danau. Tapi sistem riparian ini banyak memiliki kelemahan karena alokasi air tidak berdasarkan kriteria ekonomi, sehingga sering menimbulkan ekksternalitas pada sumberdaya yang bersifat common property. Kedua adalah Prior Appropriation Water Rights di dasarkan pada prinsip bahwa hak atas kepemilikan air diperoleh melalui penemuan maupun kepemilikan bersifat mutlak, artinya pemilik hak atas air diperbolehkan untuk tidak membagi pemanfaatan atas air kepada pihak lain. 2. Water Pricing : sebagaimana dikemukakan diatas, sistem alokasi yang berdasarkan pada antrian banyak menimbulkan inefisiensi dalam pemanfaatan air karena ketiadaan kriteria ekonomi. Maka melalui sistem penentuan harga yang tepat melalui water pricing yang mencerminkan biaya yang sebenarnya akan memberikan sinyal kepada pengguna mengenai nilai dari air dan dapat menjadi insentif untuk pemanfaatan air yang lebih bijaksana. 2.4 Penilaian Sumberdaya Alam Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam Persepsi adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungnnya melalui indera-indera yang dimilikinya, atau pengetahuan tentang lingkungannya yang diperoleh melalui interpretasi data indera (Saparinah, 1976). Persepsi adalah proses pemberian arti (kognisi) terhadap lingkungan oleh seseorang, dan karena aetiap orang memberi arti kepada stimulus, maka indifidu yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda, demikianlah terjadilah persepsi itu (Saparinah, 1976).

32 16 Berdasarkan batasa-batasan tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian persepsi merupakan penilaian, penglihatan atau pandangan seseorang melalui proses psikologis yang selektif terhadap suatu obyek atau segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Saparinah (1976) mengemukakan ada 4 karakteristik dari faktor-faktor pribadi atau sosial yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu : 1. Faktor ciri khas dari obyek ransangan, faktor ini terdiri dari : a. Nilai, yaitu ciri-ciri dari stimulus (ransangan) seperti nilai bagi obyek yang mempengaruhi cara stimulus tersebut dipersepsi. b. Arti emosional, yaitu : sampai seberapa jauh stimulus tertentu merupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi indifidu yang bersangkutan. c. Familiaritas, yaitu pengenalan yang berkali-kali dari suatu stimulus yang mengakibatkan stimulus tersebut dipersepsi lebih akurat. d. Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai stimulus tersebut. 2. Faktor pribadi, termasuk dalam ciri khas indifidu seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional dan lain-lain. 3. Faktor pengaruh kelompok, dalam suatu kelompok manusia, respon orang lain akan memberi arah terhadap tingkah laku seseorang. 4. Faktor latar belakang kultural, orang dapat memberikan suatu persepsi yang berbeda terhadap obyek yang sama karena latar belakang kultural yang saling berbeda. 2.5 Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air Anwar (1999), mengatakan bahwa penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hak-hak dan tanggung jawab, tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu rendah, dan pengurasannnya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap

33 17 isyarat-isyarat pasar untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi terjadinya peningkatan efisiensi, subtitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar. Purwonugroho (2003), menjelaskan bahwa sesungguhnya kekeringan, banjir, dan tanah longsor merupakan potret dari buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Fenomena bencana yang terjadi itu hanyalah tanggapan-tanggapan alami dari adanya perubahan-perubahan keseimbangan sistem alam dalam skala DAS. Ketika komponen penyusun DAS mengalami perubahan, keseimbangan alamiah akan timpang, sehingga timbul fenomenafenomena alam yang seringkali merugikan manusia yang menghuni di dalam DAS. Saat ini kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis, pada tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS, tahun 1994 menjadi 39 DAS, tahun 1998 menjadi 42 DAS, tahun 2000 menjadi 58 DAS, dan tahun 2002 menjadi 60 DAS. Respon dari kerusakan DAS tersebut adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan. Ketika hujan mudah banjir. Namun sebaliknya, ketika kemarau, mudah terjadi kekeringan, sehingga menimbulkan kerugian yang luas biasa. Supriadi (2000), menjelaskan bahwa kawasan hulu mempunyai peranan penting yaitu sebagai tempat penyedia sumberdaya air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri, dan pemukiman, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemukiman, dan lain-lain. Di lain pihak kemampuan pemanfaatan lahan bagian hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif ke daerah sumberdaya air yang ada di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara

34 18 ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai. 2.6 Faktor Pendorong Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air Faktor-faktor utama yang secara umum berdampak pada kerusakan alam dan lingkungan bersumber pada dua faktor utama, yaitu (1) faktor kelembagaan berupa kebijakan pemerintah dalam bentuk perundangan, dan kelembagaan masyarakat berupa konvensi dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, dan (2) faktor non-kelembagaan, termasuk di dalamnya aspek pasar (Saefulhakim, 1999). Kesimpulan tersebut diturunkan dari hasil penelitian terhadap fenomena konversi lahan di tujuh provinsi di Indonesia, yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali dan Lampung, dan Sumatera Selatan. Ketujuh provinsi tersebut dianggap sebagai lumbung beras utama Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa secara umum faktor kelembagaan berkontribusi 70% dalam mendorong konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang berakibat pada kerusakan lahan pertanian (Winoto et al,. 1996). Kelembagaan berupa aturan perundangan memiliki rata-rata bobot yang lebih tinggi (60%) dalam mempengaruhi fenomena konversi lahan dibandingkan faktor non-kelembagaan. Dengan membuat penurunan lebih lanjut terhadap model Von Thuenen, Saefulhakim (1995), merumuskan beberapa faktor penting pendorong konversi penggunaan lahan dan perusakan lingkungan, antara lain sebagai berikut : 1. Perkembangan standar tuntunan hidup yang tidak seimbang dengan kemampuan masyarakat meningkatkan produktifitas, nilai tambah, dan pendapatan. 2. Struktur harga-harga yang timpang misalnya term of trade antara output sector pertanian dengan output sektor-sektor non-pertanian. 3. Struktur biaya produksi yang timpang dengan struktur harga-harga yang juga terkait dengan pola spasial kualitas lahan, struktur skala penguasaan/pengusahaan lahan, sistem infrastruktur, dan sistem kelembagaan 4. Kemandekan perkembangan teknologi intensifikasi yang tidak hanya terjadi di sektor pedesaan juga di sektor pertanian

35 19 5. Pola spasial aksesibilitas 6. Tingginya resiko dan ketidakpastian 7. Sistem nilai masyarakat tentang sumberdaya lahan Anwar (1999), mengemukakan bahwa penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hak-hak dan tanggungjawab, tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu rendah, dan pengurasannnya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap isyarat-isyarat pasar untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi terjadinya peningkatan efisiensi, substitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar. Beberapa ketidakmampuan sistem pengorganisasian ekonomi tercermin diantaranya dalam bentuk kekeliruan kebijaksanaan yang membuat terjadinya distorsi dari bekerjanya sistem pasar yang efisien melalui subsidi kapital, batas pagu sukubunga, subsidi pestisida, subsidi enegi, pengurangan pajak, kuota dan beberapa hak-hak dan kemudahan-kemudahan yang diberikan pada segolongan penduduk. Kegagalan pasar dan kelangkaan sumberdaya alam tersebut tercermin dari terjadinya akses terbuka, tidak jelasnya hak-hak, terjadinya eksternalitas dan sifat-sifat dari barang bebas (publis good), pasar yang bersifat monopoli, tingginya biaya-biaya transaksi, konsesi-konsesi pengusahaan sumberdaya jangka pendek, keputusan sistem pasar yang bersifat jangka pendek dan banyaknya sumberdaya alam yang tidak dinilai. 2.7 DAS dan Hutan sebagai Pengatur Tata Air Manan (1985), mengemukakan bahwa DAS diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan

36 20 air hujan yang jatuh diatasnya beserta sedimen dan bahan larut lainnya kedalam sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut. Kegiatan tataguna lahan yang merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Pada batas-batas tertentu kegiatan ini juga dapat mempengaruhi status kualitas air, akan tetapi perubahan vegetasi dari jenis vegetasi ke jenis vegetasi lain ialah hal yang umum dalam pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam (Asdak, 2002). Dalam pengelolaan DAS haruslah diorientasikan kepada segi-segi konservasi tanah dan air dengan titik berat kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat, baik dari kalangan petani industri dan lainnya.hasil akhir yang menjadi titik sentral perhatian dalam pengelolaan DAS ialah kondisi tata air yang stabil dari wilayah DAS tersebut. Penutupan hutan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perubahan iklim dan air. Hutan mengintersepsi butir hujan, mengurangi limpasan permukaan, meningkatkan kelembaban nisbi dan menghambat erosi tanah, serta pengeringan permukaan. Dari pengaruh-pengaruh hutan tersebut, yang terpenting adalah pengaruh pasokan air ke sungai-sungai dan keteraturan lainnya (Lee,1998). Asdak (2002), mengemukakan bahwa hutan memegang peranan penting dalam proses hidrologi dimana dengan adanya vegetasi maka ketika turun hujan akan meningkatkan infiltrasi sehingga mereduksi volume aliran air dan besarnya debit sungai pada saat banjir. Vegetasi ini memiliki sifat dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungan dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah dan pada akhirnya akan mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan tanah. Ada tiga pengaruh penting dari adanya hutan, yaitu : (1) Hutan menahan tanah di tempatnya, (2) Tanah hutan menyimpan air lebih banyak, (3) Hutan menyebabkan tingginya peresapan. Suparmoko (1989), mengemukakan bahwa air merupakan produk penting dari hutan. Tanah di hutan merupakan busa raksasa yang mampu menahan air hujan sehingga meresap perlahan-lahan ke dalam tanah. Banyak daerah yang menggantungkan diri terhadap persediaan air dari hutan dengan sungai-sungai yang mengalir sepanjang tahun. Tetapi bila pohon-pohon di hutan di tebang, maka

37 21 tanah lansung terbuka sehingga bila turun hujan, air hujan akan lansung mengalir ke sungai dan menyebabkan erosi serta banjir Sungai merupakan bagian dari siklus hidrologi yang mengalirkan air dari hasil penurunan dari tempat ketinggian ke laut. Dalam perjalanannya sungai dapat melewati berbagai daerah seperti daerah pertanian, permukiman, perkotaan dan industri. Dengan demikian sungai dapat berfungsi sebagai tempat penyimpan dan penyedia air, media transportasi, sumber makanan dan lain-lain, juga dapat berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah. Indonesia, sebagian besar dari air yang mengalir ke sungai berasal dari daerah aliran sungai yang berhutan, khususnya hutan lindung. Oleh karena itu luas hutan dan perlakuan yang diberikan dalam pengelolaannya akan mempengaruhi jumlah dan kualitas air yang dihasilkannya (Manan, 1976). Selanjutnya Lee (1989), menjelaskan apabila daerah-daerah aliran sungai berhutan ditebang habis dan dimanfaatkan secara sembarangan tanpa memperhatikan nilai-nilai jangka panjang, maka biaya yang harus ditanggung oleh kawasan hilir dalam bentuk sedimentasi, pencemaran, kerusakan akibat banjir dan kekeringan, mungkin jauh melebihi nilai kayu yang dihasilkan. Oleh karena itu, penebangan yang dilakukan harus sesuai dengan kondisi daerah aliran sungai. Demikian pula pengkonversian lahan hutan menjadi lahan pertanian, perumahan, industri akan menyebabkan turunnya air tanah,s mata air dan sumur-sumur tidak berair sepanjang musim. 2.8 DAS sebagai Suatu Kesatuan Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sediment, dan unsur hara dan mengalirkan melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik. Manan (1983), mengemukakan bahwa Daerah Aliran Sungai adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan. Daerah Aliran Sungai sebagai suatu ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan keluaran dan masukan dari material dan energi. Ekosistem

38 22 DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS, seperti fungsi tata air, sehingga perencanaan DAS bagian hulu sering kali menjadi indikator karena mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Pasaribu, 1999). Aktivitas perubahan tataguna lahan atau berbagai aktivitas konversi lahan yang dilaksanakan didaerah hulu dapat memberikan dampak terhadap sumberdaya air dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air antar waktu dan transpor sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara sumberdaya air dengan perubahan tataguna lahan merupakan suatu kesatuan sistem yang tidak bisa dipisahkan maka kondisi suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam DAS sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang perencanaan hutan. Batasan DAS dalam PP tersebut adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga berfungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanan serta pengaliran dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan sumberdaya alam tersebut (Syahrir, 2002). Pasaribu (1999), mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan DAS akan bertumpuh pada aktivitas-aktivitas yang berdimensi biofisik seperti pengendalian erosi, penghutanan kembali lahan-lahan kritis, pengelolaan lahan pertanian konservatif, serta berdimensi kelembagaan seperti insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Dimensi ekonomi dan sosial dalam pengelolaan DAS lebih diarahkan pada pemahaman kondisi ekonomi dan sosial budaya setempat dan menggunakan kondisi tersebut sebagai pertimbangan untuk merencanakan strategi aktivitas pengelolaan DAS yang berdaya guna tinggi serta efektif. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut masih dalam kerangka kerja yang mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan

39 23 kemampuan sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan manusia tersebut secara lestari. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka menurut Pasaribu (1999), DAS dapat dimanfaatkan secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah Hulu dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi, reservasi, dan konservasi. Pelaksanaan pengelolaan DAS umumnya melalui empat upaya pokok, yaitu : (1) pengelolaan tanah melalui konservasi dalam arti luas. (2) pengelolaan sumberdaya air melalui usaha-usaha pengembangan sumberdaya air. (3) pengelolaan huta. (4) pembinaan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam melalui usaha penerangan dan penyuluhan (Syahrir, 2002). Berdasarkan rumusan yang dihasilkan dari lokakarya pengelolaan DAS yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1995, maka ada tiga hal yang dianggap penting untuk diperhatikan dalam upaya pengelolaan DAS, yaitu : 1. Bahwa pengelolaan DAS merupakan bagian penting dari kegiatan pembangunan di Indonesia, khususnya dalam rangka pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air, sehubungan dengan perlindungan lingkungan. 2. Pada dasarnya pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan lintas sektoral sehinggan keterpaduan mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal. 3. Dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu diterapkan asas Integrated Watershed Mangement Plan, untuk itu dalam setiap rencana pemanfaatan DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan memperhatikan kejelasan keterkaitan antar sektor pada tingkat regional/wilayah dan nasional serta kesenambungannya (Pasaribu, 1999). Dalam menjabarkan konseptual perencanaan dan pengelolaan DAS pada prinsipnya sama aplikasinya untuk setiap unit DAS, namun demikian secara substansi dan strateginya, bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi biofisik dan merupakan wujud dan merupakan wujud proses alamiah yang ada. Implikasi dari perencanaan dan pengelolaan DAS sebagai suatu sistem hidrologi dan sistem produksi adalah peluang terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem DAS. Konflik

40 24 kepentingan terjadi, karena adanya perbedaan visi terhadap pengelolaan sumberdaya air sebagai proses dan sumberdaya air sebagai produk. Pengelolaan sumberdaya air sebagai proses akan melibatkan seluruh peubah yang ada dalam sistem DAS. Baik peubah masukan, peubah karakteristik DAS (proses) maupun peubah keluaran. Sedangkan pengelolaan sumberdaya air sebagai produk lebih banyak menekankan pengelolaan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap peubah keluaran. Pandangan konseptual pengelolaan sumberdaya air oleh setiap instansi sebenarnya sangat dipengaruhi oleh jenis dan tingakat kepentingan antar sektor (Syahrir, 2002) Alih Fungsi Lahan Sitorus (2001), mengemukakan bahwa lahan merupakan bagian dari bentang lahan yang mencakup pergertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah hasil usaha manusia dalam mengelola sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Tipe penggunaan lahan secara umum meliputi pemukiman, kawasan budidaya pertanian, padang pengembalaan kawasan rekreasi dan lainnya. Badan Pertahanan Nasional mengelompokan jenis penggunaan lahan sebagai berikut : (1) Permukiman, berupa kombinasi antara jalan, bangunan, tegalan/pekarangan, dan bangunan itu sendiri (kampung dan emplasemen). (2) Kebun, kebun meliputi kebun campuran dan kebun sayuran merupakan daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campura, baik dengan pola acak maupun teratur sebagai pembatas tegalan. (3) Tegalan merupakan daerah yang ditanami, umumnya tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tak ditanami dimana vegetasi yang umum dijumpai adalah padi gogo, singkong, jagung, kentang, kedelai dan kacang tanah. (4) Sawah merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya dialiri sejak saat penanaman hingga beberapa hari sebelum panen. (5) Hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun dikelola, dengan tajuk rimbun dan tajuk yang besar serta lebar. (6) Lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia. (7)

41 25 Semak belukar adalah daerah yang ditutupi oleh pohon baik alami maupun yang dikelola, dengan tajuk yang relatif kurang rimbun (Heikal, 2004). Saefulhakim dan Nasution (1995), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada suatu daerah pada kurun waktu yang berbeda (Martin, 1993). Alih fungsi lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumberdaya antar sektor penggunaan. Kondisi tersebut merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat (Winoto, 1995). Manuwoto (1992) menjelaskan secara umum pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh faktor sosial atau kependudukan, pembangunan ekonomi, penggunaan jenis teknologi dan kebijakan pembangunan makro. Keempat faktor ini mempengaruhi peruntukan lahan bagi berbagai penggunaan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi, pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah. Akan tetapi perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan terencana dapat berpengaruh buruk terhadap pembangunan itu sendiri dan pembangunan semacam ini tidak akan berkelanjutan (Utomo, 1992) Dampak Perubahan Tata Guna Lahan dan Kerusakan Hutan terhadap Sumberdaya Air Dalam dekade terakhir ini tekanan terhadap penggunaan lahan semakin besar baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kekhawatiran yang timbul adalah karena semakin meningkatnya degradasi yang akan berpengaruh terhadap proses pembangunan yang berkelanjutan. Kekhawatiran yang timbul adalah wilayah DAS Citarum dan Subdas-subdas yang merupakan daerah tangkapan banjir rutin cekungan Bandung yang saat ini kondisi semakin memperihatinkan yang dicirikan dengan tingkat erosi yang semakin tinggi. Luasan banjir Bandung

42 26 melebihi 2,200 ha. Tinggi muka air yang semakin menurun. Dalam penyediaan air minum terdapat suatu bentuk yang tidak seimbang dengan ketersediaan air minum yang disuplai sungai citarum semakin menurun yaitu tahun 1992 sebesar 7, km 3 dan pada tahun 2000 sebesar 4, km 3. sedangkan kebutuhan air minum semakin besar yaitu dari tahun 1992 sebesar 9,77 km 3 dan tahun 2005 sebesar 1, km 3. hal ini sebagai akibat dari semakin pesatnya laju pertumbuhan penduduk, daya dukung lahan yang melebihi kapasitasnya. Kurangnya kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi hutan dan lahan.serta, semakin merosotnya keadaan ekonomi masyarakat pada era reformasi. Karena itu wilayah daerah tangkapan air di Hulu merupakan prioritas utama yang perlu dilakukan rehablitasi lahan dan hutan agar proses degradasi dapat diperkecil sehingga tidak dapat membahayakan kelanjutan pembangunan serta mampu mempertahankan hutan dan tanah seoptimal mungkin sebagai fungsi produksi dan fungsi lindung. Berdasarkan hasil analisis Boer (2004), menunjukkan bahwa tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10% dari total jumlah aliran pertahun, hampir semua Kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami kekurangan air. Pada tahun 2020, banyaknya Kecamatan yang mengalami kekurangan air akan semakin bertambah. Dengan meningkatnya tingkat pengambilan air permukaan 10% menjadi 25%, sebagian besar kebutuhan air Kecamatan dapat dipenuhi kecuali beberapa Kecamatan seperti Bandung, Karawang, Bekasi dan Sumedang. Namun demikian, tingkat pengambilan air 25% dari total sudah jauh melampaui debit sehingga resiko kekurangan air, khususnya musim kemarau akan tetap tinggi. Dampak perubahan yang terjadi secara dapat dilihat ketika terjadi musim hujan tiba dan ketika musim kemarau tiba, seperti beberapa Kecamatan di Kabupaten Bandung terjadi banjir dan ketika kemarau akan terjadi kekeringan, hal ini merupakan akibat dari perubahan tataguna lahan dan kerusakan hutan di wilayah hulu yang berdampak terhadap sumberdaya air di wilayah hilir. Berbagai fenomena yang terjadi merupakan ulah perilaku manusia yang tidak memperhitungkan daya dukung lahan dan hutan. Oleh karenanya perubahan harus diikuti dengan konservasi kembali sehingga ada keseimbangan dalam perubahan tesebut, bukan hanya sumberdaya alam bersifat eksploitatif.

43 27 Tabel 2 Neraca Kebutuhan Air dan Pemenuhan Sumber Air dari DAS Citarum, Uraian m 3 /detik m 3 /detik m 3 /detik m 3 /detik m 3 /detik m 3 /detik I.Sumber Citarum , , , Sungai Lain , , , Jumlah 7, , , II.Kebutuhan Irigasi , , ,805 Industri , , ,840 Air Minum , , ,912 Perikanan , , ,072 Pengelontoran , , ,304 Beban Puncak Listrik Jumlah 71, , ,933 III.Neraca Sumber 24,258 7, ,416 7, ,575 7, Kebutuhan 20, ,388 23, , ,00 860, Jumlah 662, , , Jumlah Total 669, , , Sumber : PJT II Jatiluhur Defisitnya air dari DAS Citarum dari tahun ke tahun telah di prediksi oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II Jatiluhur (Tabel 2). Sementara itu, berdasarkan data yang didapatkan dari DKI Jakarta terjadi peningkatan terhadap permintaan air minum mulai tahun 2006 sebanyak 7500 m 3. Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan air minum seiring dengan pertambahan waktu dan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini sangat jelas bahwa permintaan air untuk pertanian juga meningkat, sementara suplai air dari DAS Citarum tidak berubah. Pada kondisi ini konflik penggunaan air akan terjadi meningkat pula. Keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan permintaan air seiring dengan konflik antara pengguna air akan meningkat dan kelangkaan air akan menjadi permasalahan yang serius. Hernowo (2001) memperkirakan pada tahun 2010, DAS Citarum tidak akan lagi memenuhi permintaan air. Berdasarkan data yang didapatkan dari PJT II Jatiluhur didapatkan bahwa pada tahun 2025 secara umum akan terjadi defisit air untuk berbagai kebutuhan yang berasal dari DAS Citarum Hulu. Keadaan akan berkurangnya ketersediaan air pada masa yang akan datang dapat mulai diantisipasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan di DAS Citarum Hulu.Berdasarkan skenario penurunan persentase penutupan lahan oleh hutan sebanyak 50% dan 75%

44 28 diperoleh bahwa keragaman debit aliran di Citarum Hulu akan meningkat antara 90% sampai 150% (Boer, 2004). Penurunan pasokan air karena semakin buruknya kualitas lingkungan di Hulu DAS Citarum dan diperparah dengan penggunaan lahan dan kerusakan hutan yang dirasakan oleh pengguna jasa lingkungan air minum Jasa Lingkungan Secara sederhana jasa lingkungan dapat diartikan sebagai keseluruhan konsep sistem alam yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan linkungan. Jasa lingkungan ini dihasilkan oleh proses yang terjadi pada ekosistem alam. Contoh, hutan sebagai ekosistem alam, selain menyediakan berbagai produk kayu dan non kayu, merupakan suatu reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring air tersebut dan kemudian melepaskannya secara gradual sehingga air tersebut bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan dalam siklus air tidak disadari sampai akhirnya terjadi pembabatan hutan yang menyebabkan banjir dan menurunnya kualitas air, meningkatkan kerentanan masyarakat hilir sehingga kualitas hidup mereka terancam. Keberadaan jasa lingkungan ini sering dianggap sebagai anugerah dari alam semesta. Jika dilihat lebih jauh, selain faktor alam terdapat pula peran manusia yang mempengaruhi keberadaan jasa lingkungan tersebut. Masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau mengelola lahan merupakan ujung tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistillahkan dengan masyarakat penyedia jasa lingkungan, yang atas usaha perlindunganm dan pengelolaan dapat dikategorikan sebagai pelindung dan pengelola. Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan serta gagalnya pendekatan dimasa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan. Prinsip dasar dari konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang mereka lakukan, dilain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan.

45 29 Ladell-Mills dan Porras (2002), mengemukakan beberapa mekanisme imbal jasa lingkungan yang populer didunia, seperti : 1. Direct Negotiation : transaksi lansung antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan. Biasanya tercakup dalam suatu proyek pembangunan lingkungan dan sering kali menghasilkan proses negosiasi yang panjang. 2. Intermediary-based transction : Fasilitator berperan agar transaksi dalam hal mencari informasi, bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi menjadi rendah. Selain itu fasilitator juga berperan untuk mereduksi resiko kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari patner yang tepat serta mengidentifikasi masalah yang ada. Trust fund, LSM Lokal dan International merupakan bentuk fasilitator yang paling umum. 3. Pooled transaction : Pendekatan yang mengandung resiko transaksi dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. Dana terkumpul biasanya cukup besar untuk mendifersifikasikan investasi. 4. Joint Venture : mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan imbalan bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut dalam bentuk bagi keuntungan, kosultasi teknis, dana lansung, dan lain-lain. 5. Retail based traders : Imbalan jasa lingkungan terlampir dalam produk pasar dan jasa, contoh : harga premium bagi produk ramah lingkungan. 6. Internal traiding : transaksi antar departemen dalam suatu organisasi, contoh : imbal jasa antar departemen dalam pemerintah. 7. Over the counter traders/user fees : Pada mekanisme ini jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu untuk dijual, contoh : kredit kualitas air untuk perbaikan lingkungan. Kesatuan jasa lingkungan belum banyak mendapatkan perhatian dalam literatur. Namun demikian, pengalaman praktis menunjukkan bahwa berkembangnya permintaan suplai dari jasa ini dapat saling bersifat komplementer antar jasa. Terdapat dua perdekatan untuk pengembangan pasar ini, yaitu : (1). Menggabungkan jasa yaitu jasa tidak boleh di jual secara indifidual dan terbagi-bagi sehingga dapat memberikan kontrol yang baik terhadap biaya transaksi, dan (2). Menawarkan jasa tersebut. Pendekatan kedua lebih membuat penjual membagi paket jasa untuk dijual ke berbagai pembeli.

46 30 Hasilnya adalah alokasi sumberdaya yang lebih efisien dan pendapatan penjual yang lebih tinggi. Pasar melibatkan banyak stakeholder. Meskipun sektor privat merupakan pelaku utama, namun LSM Lokal, Komunitas, Pemerintah, NGO Internasional dan donor juga memegang peranan penting sebagai penjual, pembeli, perantara dan suplier jasa tersebut. Usaha untuk mempromosikan pasar untuk jasa lingkungan harus berusaha mengkapitalisasikan berbagai antusiasisme stakeholder dan menghindari alienasi group tertentu yang dapat menghambat perkembangan pasar Definisi Pembayaran Jasa Lingkungan Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan dinyatakan bahwa manfaat jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Herman Rosa (2005), seorang pakar pembayaran jasa lingkungan dari Amerika Tengah mendefinisikan sebagai kompensasi jasa ekosistem. Menurutnya ada 4 klasifikasi jasa ekosistem, yaitu : (1) Jasa Penyediaan: sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, serat, air, mineral dan lain-lain. (2) Jasa Pengaturan: fungsi menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, kontrol erosi, penjernihan air, pengelolaan sampah, kontrol penyakit manusia, kontrol biologi, pengurangan resiko dan lainlain. (3) Jasa Kultural: identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi nilai estetika, hubungan sosial, nilai peningkatan pustaka, rekreasi, dan lain-lain. (4) Jasa Pendukung: produksi utama, formasi tanah, produksi oksigen, ketahanan tanah, penyerbukan ketersediaan habitat, siklus gizi dan lain-lain. Dengan demikian masyarakat hendaknya memaknai suatu kondisi atau keadaan yang disediakan oleh ekosistem tergantung pada kemampuan ekosistem tersebut dalam menyediakan jasa yang diinginkan atau diharapkan oleh masyarakat. Jadi, untuk jasa lingkungan ekowisata hendaknya masyarakat dapat menggoptimalkan semua jasa ekosistem yang ada dilokasi tersebut.

47 31 Hingga saat ini pembayaran jasa lingkungan sudah dapat diimplementasikan namun perspektifnya masih beragam. Keberagaman terkait dengan elemen yang terlibat dalam skema pembayaran jasa lingkungan, yaitu jasa air/daerah aliran sungai, keanekaragaman hayati, landscape beauty dan carbon sequestration. Keberagaman tersebut juga berlaku dalam hal tingkatan implementasi dan bahkan pengertian mengenai konsepnya itu sendiri. Hal ini juga termasuk dalam mendefinisikan siapa sebenarnya provider atau seller merupakan masyarakat hulu dan buyer adalah masyarakat hilir. Negosiasi adalah entri point yang penting dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan. Diperlukan adanya negosiasi karena mekanisme ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai mekanisme hubungan bisnis antara buyer dan provider atau seller jasa lingkungan. Atau dapat juga dikatakan sebagai mekanisme imbal jasa dimana hendaknya ada kesetaraan secara ekonomi antara jasa yang diberikan oleh provider/seller dengan imbal yang diberikan oleh buyer. Acuan dari sisi teknis diperlukan untuk membentuk opini dan sebagai bahan masukan untuk negosiasi. Artinya penelitian dengan analisis mendalam sesuai dengan kebutuhan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum diimplementasikan Jasa Ekosistem dan Masyarakat Millenium Ecosystem Assesment (MEA) membuat klasifikasi jasa ekosistem berdasarkan fungsi : Jasa Penyediaan : sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, serat, air, mineral, dan lain-lain. Jasa Pengaturan : fungsi menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, kontrol erosi, penjernihan air, pengelolaan sampah, kontrol penyakit manusia, kontrol biologi, pengurangan resiko, dan lain-lain. Jasa Kultural : identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, nilai peninggalan pusaka, rekreasi, dan lain-lain. Jasa Pendukung : produksi utama, formasi tanah, produksi oksigen, ketahanan tanah penyerbukan, ketersediaan habitat, siklus gizi, dan lain-lain. Jasa-jasa tersebut berperan dalam pelestarian kondisi yang diperlukan kehidupan dan bermanfaat dalam penciptaaan jasa ekosistem lainnya. Jenis jasa

48 32 yang diperlukan serta besarnya ketergantungan setiap kelompok masyarakat terhadap jasa tersebut ternyata berbeda-beda. Jasa ekosistem tertentu seperti berbagai jenis kacang-kacangan atau umbi-umbian yang dapat dimakan, produksi kayu, dan penyeimbang iklim ekstrim merupakan jasa yang sangat penting bagi kehidupan dan ketahanan pangan masyarakat miskin. Sementara itu bagi kelompok masyarakat lain, jasa kultural dan religius dapat saja lebih bernilai dibanding dengan jasa lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat memaknai suatu kondisi atau keadaan yang disediakan oleh ekosistem tergantung pada kemampuan ekosistem tersebut dalam menyediakan jasa yang diinginkan. Walaupun kadang kedekatan sebagian masyarakat dengan lingkungannya terhalang oleh berbagai faktor seperti kelembagaan sosial, budaya dan teknologinya, tidak dapat dipungkiri bahwa semua indifidu pada umumnya sangat tergantung pada keberadaan jasa ekosistem. Dari sudut pandang ekonomi, secara tradisional beberapa jasa ekosistem dianggap sebagai positive eksternalities atau keuntungan eksternal dari keputusankeputusan produksi dan managemen. Berdasarkan perspektif tersebut, atau secara lebih umum disebut pemanfaatan instrumen berbasis pasar, merupakan usaha untuk menginternalisasi atau memberi nilai ekonomi atas keuntungan yang dimaksud. Dengan demikian diharapkan ekosistem akan tetap terpelihara dan dapat diperbaiki untuk meningkatkan ketersediaan jasa ekosistem. Bila masyarakat pedesaan sudah mulai terlibat dalam pasar dan memberi nilai ekonomi atas jasa ekosistem yang turut mereka sediakan, maka sumber pendapatan baru tercipta. Untuk itu, diperlukan kerangka kerja yang luas untuk dapat mengakomodasi perspektif masyarakat mengenai jasa ekosistem dan kompensasinya Perspektif tentang Jasa Ekosistem dan Kompensasinya Berbagai pandangan berikut mendukung perlunya pembayaran atau pemberian kompensasi bagi mereka yang memfasilitasi tersedianya jasa ekosistem 1. Pertama, program pembayaran jasa ekosistem (PJE) dapat menjadi instrumen finasial untuk pembiayaan kegiatan konservasi tradisional. 2. Kedua, berbagai progran PJE berusaha menjawab kebutuhan jasa ekosistem global, seperti penambatan karbon atau pengurangan dampak perubahan iklim.

49 33 Disini, ketimbang melindungi ekosistem tertentu, tujuan yang hendak dicapai adalah mencari alternatif biaya termurah untuk memperoleh suatu jasa dalam hal ini penambatan karbon. 3. Ketiga, beberapa skema kompensasi jasa ekosistem bertujuan untuk meningkat suplay jasa ekosistem yang menarik minat kalangan lokal dan regional, seperti regulasi daerah aliran sungai serta jaminan kualitas air. 4. Keempat, kompensasi jasa ekosistem dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pedesaan sekaligus meningkatkan nilai lanscap pedesaan berikut segenap ragam praktek dan ekosistemnya. Walaupun persepktif yang diuraikan diatas tidak dapat dipisahkan satu sama lain, penekanan masing-masing perspektif tetaplah sangat penting. Pendekatan konservasi tradisional yang mengusur masyarakat setempat dari suatu wilayah ekosistem seringkali membuat masyarakat petani dan penduduk lokal terasing sehingga berdampak rusaknya pilihan hidup mereka dalam menjaga kelansungan hidup. Pada akhirnya, semua ini hanya akan mempermiskin mereka. Disamping itu, pemanfaatan sumberdaya dengan cara yang illegal dan tidak berkelanjutan juga akan dapat memperlemah upaya konservasi. Dilain pihak, persepktif konservasi yang menghargai pengetahuan dan praktek penduduk lokal akan dapat memastikan ketersediaan jasa lingkungan secara berkelanjutan. Hal ini juga akan memperluas hak-hak kesepatan masyarakat yang akhirnya akan meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sedangkan alternatif biaya terendah, seperti dalam beberapa inisiatif penambatan karbon, berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi sisi ekosistem dan sosial jika minimalisasi nilai jasa ekosistem dan efisiensi ekonomis lebih diutamakan ketimbang kesetaraan. Dilain pihak, untuk memastikan ketersediaan jasa dalam berbagai inisiatif yang terkait dengan air, keragaman pemanfaatan lahan maupun pemangku kepentingan yang terlibat perlu dipertimbangkan. Dengan demikian, skema kompensasi yang dinegosiasikan dan disepakati akan menjadi skema yang mendukung perbaikan ekosistem sekaligus memberikan keuntungan bagi konsumen di hili dan produsen di hulu. Dalam perspektif komunitas yang menghargai pengetahuan dan praktek penduduk lokal dan bertujuan memperluas akses dan hak guna atas lahan,

50 34 langkah-langkah yang diambil akan memberi hasil positif dalam arti pengentasan kemiskinan dan perbaikan pengelolaan ekosistem. Proses untuk menyiapkan skema kompensasi yang berdasarkan perspektif ini memang cenderung lebih kompleks dan sejauh ini belum merupakan perspektif yang dominan Fokus pada Masyarakat Miskin Perdesaan Argumen pertama menjadi landasan perlunya memberikan kompensasi bagi masyarakat petani atau masyarakat hulu dan penduduk lokal atas peran mereka dalam menjaga ketersediaan sumberdaya alam sebagai jasa lingkungan semata merupakan alasan pragmatis. Banyak kawasan yang harus dilindungi dan memiliki potensi penyediaan jasa lingkungan yang didiami, dikelola, dan dimanfaatkan oleh penduduk lokal. Dalam kasus seperti ini, mengabaikan penduduk lokal bukan sesuatu yang dapat dilakukan. Perjuangan untuk memperoleh perluasan hak akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam oleh berbagai kelompok masyarakat diberbagai belahan bumi sudah banyak dilakukan. Untuk itu, perlu dikembangkan skema kompensasi yang melibatkan masyarakat secara penuh. Bila sistem pengetahuan tradisonal dan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki penduduk lokal yang menghasilkan jasa tersebut tidak dijaga dan dilestarikan, maka beberapa jasa ekosistem tertentu seperti keragaman genetik spesies yang diperlukan, diantaranya sebagai sumber bahan makanan dan obat-obatan dapat hilang begitu saja. Argumen kedua didasarkan pada pertimbangan kesetaraan. Skema konservasi yang mengintegrasikan dengan tujuan sosial (memberikan keuntungan bagi masyarakat pedesaan) dengan tujuan lingkungan (menjamin ketersediaan sumberdaya alam sebagai jasa lingkungan) hanya akan menjamin instrumen yang timpang. jika tujuan perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dipisahkan dari penguatan strategi kehidupan masyarakat pedesaan, maka tujuan lingkungan mungkin akan terwujud tetapi dengan ongkos sosial yang tinggi. Strategi kompensasi yang direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan perspektif masyarakat pedesaan, penduduk lokal, dan petani akan dapat memperkuat kehidupan mereka sekaligus memperbaiki pengelolaan lahan dikawasan pedesaan. Hubungan antara masyarakat dengan ekosistem yang dikelolanya dapat dikelompokkan dalam ke dalam tiga tingkatan. Pertama, hubungan yang lansung

51 35 yaitu pengelolaan ekosistem untuk pemenuhan kebutuhan subsisten (dasar) seperti bahan makanan, kayu, api, air dan kehidupan spritual. Kedua, hubungan yang terkait dengan masyarakat pengguna sumberdaya alam untuk melakukan kegiatan produksi sehingga menghasilkan kelebihan produksi. Kelebihan ini lalu dijual di pasar dalam upaya memperoleh pendapatan. Yang terakhir berkaitan dengan usaha penyediaan jasa lingkungan bagi kepentingan regional dan global (misalnya kualitas air, keanekaragaman hayati, dan penambatan karbon) yang saat ini merupakan fokus sejumlah inisiatif baru. Strategi masyarakat, dengan makin tersedianya jasa ekosistem, harus terintegrasi ke dalam tiga tingkatan tersebut dan mampu mengurai setiap hambatan dalam setiap tingkatan Jasa Lingkungan Ekowisata Dalam sistem katalog HHNK (hasil hutan non kayu) Internasional, jasa lingkungan termasuk dalam kategori HHNK yang terdiri atas Biophysycal Product (Water & Carbon) dan Physcological Product (Cultural & Amenities). Mengingat beragamnya jenis dan potensi yang ada. Ekowisata merupakan bagian dari wisata dan rekreasi yang memanfaatkan dan memperlakukan daya tarik alami dan kelestarian alam secara berimbang. Prinsip-prinsip yang menjadi rambu utama dalam ekowisata adalah : (i) berbasis watak alam, (ii) lingkungan lestari, (iii) mengandung nuansa pendidikan lingkungan. Dalam skema jasa lingkungan, masyarakat yang menjaga keindahan lokasi ekowisata dapat disebut sebagai provider dan masyarakat atau pihak-pihak yang menikmati keindahan alam disebut sebagai buyer atau user keindahan alam. Secara umum pasar jasa lingkungan dapat pula diartikan sebagai kesempatan bagi masyarakat yang hidup didalam dan sekitar kawasan konservasi serta kawasan hutan (lokasi ekowisata) untuk meningkatkan taraf hidup mereka (ICRAF et al., 2005). Selain itu, mekanisme ini juga ditujukan untuk meningkatkan modal sosial dan pengakuan atas hak masyarakat dalam mengelola dan mengakses sumberdaya alam atau hutan. Rezim pengelolaan sumberdaya dapat diberikan kepada masyarakat sebagai pemegang hak dalam pengelolaan. Agar terciptanya sumberdaya yang berkelanjutan maka hak-hak pengelolaan dapat diberikan kepada masyarakat, sehingga dapat memacu tingkat pendapatan masyarakat.

52 36 Landscape Beauty (Keindahan Alam) Masy. Hulu (Produsen) Yayasan/lembaga/ Independent/ intermediaries Rp Jasa Lingkungan : Sumberdaya Air/DAS Keanekaragaman hayati Karbon sequestration Landscape ekowisata Masy. Kota (Hilir) Rp Masy. Hilir (Konsumen) Gambar 1 Skema Pemanfaatan dan Pembayaran Jasa Lingkungan Sumber : Fauzi, Gambar 1 dideskripsikan bahwa keindahan alam atau landscape beauty umumnya terletak di bagian hulu menyediakan jasa lingkungan berupa keindahan yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk ekowisata dan menghasilkan sumberdaya air. Jasa lingkungan ini di konservasi oleh masyarakat hulu dan dimanfaatkan oleh masyarakat hilir. Dengan dilaksanakan skema pembayaran jasa lingkungan. Maka diperlukan adanya yayasan atau lembaga masyarakat yang independen, yang dapat mengelola dana hasil skema pembayaran jasa linkungan.lembaga ini harus beranggotakan semua pemangku kepentingan (stakeholders) di daerah tersebut dan dapat diterima oleh semua pihak. Dana hasil skema ini kemudian dikelola dengan persetujuan para pemegang kepentingan dan hendaknya memberikan keuntungan bagi masyarakat hulu, hilir dan kelestarian sumberdaya alam Pengembangan Sumberdaya Hutan melalui Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Dalam 3 tahun terakir inisiatif pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di indonesia secara sistimatis telah dikembangkan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat nasional dan Internasional, seperti LP3ES, WWF, RUPES-ICRAF. Saat ini ada sekitar 84 lokasi yang dipandang sangat potensial sebagai wilayah pengembangan jasa lingkungan di Indonesia baik dalam bentuk biodiversity, watershed protection, landscape beauty maupun carbon sequestion (Review of the

53 37 development enviromental service market in Indonesia, World Agroforestry Centre, 2003). Dalam sambutannya ketika resmi membuka lokakarya "Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia", Dedi M. Riyadi (2005), mengemukakan bahwa isu mengenai jasa lingkungan di Indonesia sudah cukup lama dikenal, walaupun dalam bahasa yang berbeda (misalnya pada zaman kementrian lingkungan hidup dibawah pimpinan bapak Emil Salim pada tahun 1980-an) dikemukakannya bahwa saat ini sudah banyak terjadi peralihan pemanfaatan lahan kawasan hutan (dan bahkan lahan pertanian) untuk keperluan pemukiman dan industri. Ini terkait dengan pertambahan penduduk Indonesia yang tidak terkendali. Dengan demikian, sebagai bagian upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan maka pengembangan fungsi penyediaan produksi dan jasa lingkungan diharapkan untuk searah dengan perwujudan Millenneum Development Goals (MDGs). Dalam sektor kehutanan, agar manfaat hutan dapat tetap dimanfaatkan dan terjaga dengan baik bagi kepentingan generasi selanjutnya (sustainable development), maka diperlukan pergeseran paradigma dalam pembangunan kehutanan. Saat ini sering kali hutan hanya dipandang dari sisi fungsi produksi kayu saja, yang menurut penelitian 7% dari seluruh hasil hutan. Padahal hasil produksi hutan non kayu termasuk jasa lingkungan mempunyai potensi sangat besar tetapi sampai saat ini belum optimal pemanfaatannya. Riyadi (2005), menjelaskan bahwa apa yang dilakukan terkait dengan pembayaran dan imbal jasa lingkungan di negara ini masih bersifat parsial. Diperlukan advokasi yang mengarah pada pengembangan kebijakan yang dapat dijadikan acuan bersama. Lebih lanjut diutarakannya, berdasarkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan yang berkelanjutan, ada beberapa yang dapat dikembangkan terkait dengan pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Aspek pemanfaatan keanekaragaman hayati, hasil hutan non kayu, ekoturisme hutan, dan sumberdaya air. Berbagai inovasi teknis mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan terkait dengan keempat aspek tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan kelembagaan dan hukum kebijakan pembayaran dan imbal jasa lingkungan di Indonesia.

54 38 Secara khusus, hingga saat ini kerangka kebijakan dan regulasi terkait aspek sumberdaya alam dan ekowisata yang ada di Indonesia belum mengakomodasi bentuk pendanaan yang bersumber dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan. Mengingat keterbatasan sumber dana konvensional, maka mekanisme pembiayaan pembangunan dan investasi yang bersifat hijau ini dapat menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan untuk jasa lingkungan. Namun pemikiran ini memerlukan pembahasan yang lebih detail. keterkaitan upaya pengembangan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan dengan aspek hukum perlu diperhatikan mengingat pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan sangat erat kaitannya dengan pemahaman status kepemilikan lahan di lokasi proyek, seperti hutan adat, hutan produksi pemerintah dan lain-lain. Khusus untuk hutan produksi dan hutan lindung, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 telah disebutkan tentang pelaksanaan pembayaran jasa lingkungannya. Sedangkan implementasi pembayaran jasa lingkungan di kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru baru dalam daftar usulan untuk bisa dimasukan dalam Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 dan secara rinci akan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan jasa lingkungan. Masukan kebijakan ke tingkat nasional sangat diharapkan karena pada saat ini pembayaran dan imbal jasa lingkungan di Indonesia masih bersifat lokal dengan kasus-kasus spesifik lokasi. Perlu adanya advokasi kebijakan yang diangkat dari pengalamanpengalaman tingkat lokal tersebut. Intervensi pemerintah perlu ada namun perlu dipandang dengan kritis. Berbagai jenis kegiatan perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan pelembagaan jasa lingkungan sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi tingkat kerusakan kawasan hutan akibat kerusakan yang terjadi. Mulai dari penelitian, pendidikan hinggan promosi dan kampanye serta implementasi jasa lingkungan. Terwujudnya mekanisme transaksi antara buyer dengan seller jasa lingkungan boleh dikatakan diperkirakan masih cukup lama untuk dapat diaplikasikan karena Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1996 belum mengatur tentang hal ini, baik terkait dengan pelaku, lokasi, nilai dan jangka waktunya.

55 39 Implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di suatu wilayah perlu diintegrasikan dengan perencanaan spasial disertai dengan adanya kesepakatan lintas sektoral, provinsi dan nasional. Diperlukan pula adanya konsultasi dari bawah ke atas (masyarakat) dalam penyusunan proses dan besaran kompensasi atau insentif hingga didapatkan kesesuaian, kesetimbangan atau equilibrium willingness to accept dan willingness to pay antara provider dan user atau buyer. Implementasi jasa lingkungan akan juga mencerminkan adanya penghormatan terhadap hak asasi masyarakat hulu untuk bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan strategi nasional penanggulangan kemiskinan (SNPK) tahun 2005 yang mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hal ini dapat dikatakan demikian karena jasa lingkungan (ekowisata) diharapkan akan membangun dan atau mengembangkan kewirausahaan endogen yang efektif ditingkat akar rumput. Dan, bila dilaksanakan dengan mekanisme jasa lingkungan maka pengembangan program ini dilaksanakan dengan dukungan dana dari masyarakat di hilir dan pengelolaan secara keseluruhan dilakukan dengan supervisi dari lembaga independen (antara buyer dan provider) sehingga diharapkan akan terjadi keberlanjutan program dan berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat di hulu dan kelestarian alamnya. Berdasarkan hasil perkawinan data Podes (potensi desa) setelah tahun 2003 dengan data BKKN (Badan Keluarga Berencana Nasional) diketahui bahwa 43,98% masyarakat miskin ada di kawasan hutan (CESS, 2005). Data yang ditunjukkan oleh Renstra Kehutanan tahun ada sebanyak 48,8 juta jiwa masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan (termasuk disekitar kawasan konservasi) dan sebanyak 10,2 juta jiwa dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Dengan adanya data tersebut, maka implementasi jasa lingkungan diharapkan akan dapat meningkatkan kehidupan mereka yang dikategorikan miskin tersebut. Hal ini bila diasumsikan bahwa pada umumnya, di lokasi-lokasi tersebut sangat indah dan merupakan lokasi jasa lingkunga (ekowisata) yang potensial.

56 40 Dalam konteks yang lebih luas yaitu sustainable development and poverty implementasikan alleviation, pembayaran jasa lingkungan berpotensi untuk diimplementasikan dimanapun di Indonesia dengan memperhatikan preconditioning dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan di lokasi tersebut, yaitu mulai dari program penguatan strategi peningkatan penghidupan masyarakat, modal sosial dan kepastian hukum atas kepemilikan lahan berdasarkan dari hasilhasil studi yang dilaksanakan diawal program jasa lingkungan Hubungan Masyarakat Hulu dan Hilir : Isu Sosial Sumberdaya Kualitas hubungan antara masyarakat hulu dan masyakat hilir sangat menentukan program imbal jasa yang ingin diwujudkan. Klasifikasi konseptual dari sosial kapital dapat mengambarkan analisis tersebut. Grootaert et al., (2004) berpendapat ada 3 konsep sosial kapital. Pertama bonding social capital yang merupakan ikatan antar anggota masyarakat yang memiliki kesamaan demografi, seperti anggota keluarga, tetangga, teman dekat dan rekan kerja. Kedua bridging social capital merupakan ikatan antar anggota yang tidak memiliki kesamaan demografi tetapi memiliki kesamaan persepsi dan ketertarikan isu tertentu. Ketiga linking sosial kapital dimana ikatan antara suatu anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya memiliki perbedaab posisi otoritas, seperti antara masyarakat umum dengan pejabat pemerintah, polisi, dan pekerja sosial. Terpinggirkannya masyarakat miskin didataran tinggi mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri mereka dan tidak adanya koordinasi secara institusional dalam menyampaikan aspirasi untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Kondisi ini merupakan titik awal dalam membangun suatu bonding sosial kapital dimana relasi antar anggota masyarakat terdapat keseimbangan kekuatan dalam berinteraksi dengan komunitas dengan masyarakat hilir. Bukti dampak terhadap masyarakat miskin jarang ditemukan, meskipun ada tetapi sering kali dibiaskan. Dengan membantu kelompok miskin mentransformasikan modal alamnya yang terdapat pada hutan menjadi arus finansial, maka pasar dapat memberikan penduduk lokal fleksibilitas yang lebih besar dalam mengeksploitasi aset alamnya dan membantu menurunkan kerentanannya melalui diversifikasi pendapatan dasarnya. Pasar juga dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin arus jasa yang berkelanjutan

57 41 untuk menghasilkan manfaat (Landell dan Porras, 2002). Ketidakpastian hak milik, kerangka kerja regulasi ad hoc yang tidak lengkap, terbatasnya keahlian dan pendidikan, tidak mencukupinya pembiayaan, lemahnya informasi dan kontak, tidak mencukupinya infrastruktur komunikasi, ketidaksesuaian dalam mendisain komoditas, tingginya biaya koordinasi dan lemahnya dukungan politis kesemuanya adalah kendala dalam pengembangan pasar. Tujuh tahapan dalam mempromosikan pasar yang mendukung komonitas miskin yaitu : 1. Memformalisasikan hak milik jasa hutan yang dimiliki penduduk miskin. Formalisasi hak-hak sumberdaya alam adalah penting untuk memberikan group marginal kontrol atas dan hak untuk mendapatkan penerimaan dari penjualan jasa lingkungan. 2. Mendefinisikan komoditas yang sesuai. Komoditas yang sederhana dan fleksibel yang dapat beroperasi dengan sendirinya, yang sesuai dengan legislasi yang ada dan sesuai dengan strategi nafkah hidup lokal perlu dikembangkan pada daerah miskin. 3. Membentuk mekanisme pembayaran yang efektif biaya. Pada daerah yang kapasitas regulasinya lemah, keahlian perdagangan akan berada dalam kondisi suplai jangka pendek dan infrastruktur pasarnya tidak berkembang. 4. Memperkuat institusi kerjasama. Kerjasama adalah masalah penting yang membuat pemilik lahan miskin dan manfaat jasa menanggung bersama-sama biaya yang terkait dengan partisipasi pasar. Juga penting untuk mencapai level minimum suplai dan permintaan sehingga partisipasi pasar dapat berjalan. 5. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan. Pelatihan dalam hal pemasaran, negosiasi, manajemen, kalkulasi finansial, menyusun kontrak dan menyelesaikan konflik adalah persyaratan penting untuk berpartisipasi yang efektif. Keahlian teknis yang berhubungan dengan manajemen kehutanan untuk jasa lingkungan juga diperlukan. 6. Membentuk pusat dukungan pasar. Informasi adalah kekuasaan untuk meningkatkan kemampuan penduduk miskin dalam berpartisipasi pada pasar ini. Dukungan pusat pasar dapat memberikan akses bebas terhadap informasi pasar, tempat bertemunya dengan penjual potensial pembeli dan perantara dan memberikan dukungan saran dalam menyusun dan melaksanakan kontrak.

58 42 7. Meningkatkan akses ke pembiayaan. Jika pembiayaan membutuhkan negosiasi dan kesimpulan jasa lingkungan disepakati, pemerintah memegang peranan penting dalam mendukung akses ke pendanaan Konsep Nilai untuk Sumberdaya dan WTP Fauzi (2004), mengemukakan bahwa pengertian nilai, khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Dari sisi ekologi, misalnya nilai dari hutan mangrove sebagai tempat reproduksi spesies ikan tertentu dan fungsi ekologis lainnya. Dari sisi teknis nilai dari hutan mangrove bisa sebagai pencegah abrasi atau banjir dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman akan penting suatu ekosistem. Karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Tetapi menurut Pearce dan Moran (1994) pada umumnya metode penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu pendekatan lansung dan tidak lansung. Pendekatan lansung mencakup teknik pengupayakan memperoleh penilaian secara lansung dengan menggunakan percobaan dan survei. Teknik survei (kuesioner) terdiri atas 2 tipe yaitu perolehan rangking dan perolehan nilai, berupa keinginan untuk membayar dan kesediaan untuk menerima kompensasi. Nilai adalah persepsi dari manusia dimana itu diberikan khusus oleh manusia pada waktu dan tempat tertentu. Kegunaan, kepuasan, dan kenikmatan merupakan kata yang diberikan kepada nilai yang telah diterima. Perhitungan nilai ini dilakukan pada waktu, barang dan uang dimana untuk proses atau penggunaan atau pelayanan yang diterima (Davis, 1997). Hufschmidt et al. (1987), memberikan resume mengenai metode dan teknik penilaian ekonomi sebagai berikut : a. Metode/Teknik Berorientasi Pasar, dalam metode ini dilakukan dengan cara : 1. Penilaian dengan menggunakan harga pasar, perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan. 2. Penilaian dengan menggunakan harga pasar bagi input : pengeluaran biaya pencegahan, biaya penggantian biaya proyek bayangan, analisis keefektifan biaya.

59 43 3. Penilaian keuntungan menggunakan pasar pengganti : barang yang dapat di pasarkan sebagai pengganti lingkungan, pendekatan nilai pemilikan, pendekatan lain terhadap nilai tanah, pendekatan biaya perjalanan, pendekatan perbedaan upah dan penerimaan kompensasi. b. Orientasi Survei, pada metode orientasi survei penilaian dilakukan dengan cara 1. Pertanyaan lansung mengenai kesediaan untuk membayar : permainan lelangan. 2. Pertanyaan lansung pilihan jumlah : metode pilihan tanpa biaya. Sementara sistem pasar yang ada saat ini belum mampu menilai manfaatmanfaat intangible dari hutan, dimana para ahli berusaha mengembangkan pendekatan baru, yaitu pendekatan teknik penilaian yang bertumpu pada teori permintaan indifidu dengan menggunakan kesediaan membayar dari konsumen yang bersangkutan. Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi kesediaan membayar dari indifidu/masyarakat untuk sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Hufschmidt et al. 1987), atau kesediaan untuk menerima kompensasi lingkungan akibat adanya kerusakan lingkungan dan sekitarnya. Kesediaan membayar atau menerima ini akan merefleksikan preferensi indifidu/masyarakat terhadap perubahan lingkungan dari keadaan awal menjadi kondisi lingkungan yang menjadi lebih baik. Fauzi (2004), mengemukakan bahwa perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman akan penting suatu ekosistem. Karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu tersebut adalah pemberian harga pada barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi sumberdaya alam. Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut kemauan membayar seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang

60 44 dan jasa. Sebagai contoh jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi dan lai-lain, nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya. Kemauan membayar juga dapat diukur dari kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang dalam posisi indeferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi karena perubahan harga (misalnya akibat sumberdaya makin langka)atau karena perubahan kualitas sumberdaya, seperti yang terjadi pada sumberdaya air. Dengan demikian konsep WTP ini terkait erat dengan konsep Compensating Variation dan Equivalent Variation dalam teori permintaan, WTP dapat juga diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu. Berdasarkan landasan konsep ekonomi, nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat dengan tidak terbatas pada barang dan jasa. Barang dan jasa tersebut dapat diperoleh tidak hanya kegiatan jual beli saja tetapi juga semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia baik barang publik maupun privat dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian fungsi ekologis dalam hal ini penghargaan terhadap sumberdaya air pada hakekatnya juga merupakan nilai ekonomi karena jika fungsi ini terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan atau terjadi kerugian adanya bencana atau kerusakan. Pendekatan barang dan jasa secara ekonomi biasanya melalui pendekatan nilai pasar yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Namun para pemerhati lingkungan dan juga para ahli ekonomi percaya bahwa sumberdaya alam belum dapat dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Masih banyak masalah-masalah penilaian yang terjadi atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, seperti manfaat hutan seperti nilai hidrologis, biologis, dan estetika yang masih luput dari penilaian pasar. Lebih lanjut Fauzi mengatakan bahwa sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran Willingness to Accept (WTA) yang tidak lain adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau

61 45 menerima penurunan terhadap sesuatu. Tetapi dalam prakteknya pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukuran berdasarkan insentif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia, (Fauzi, 2004). Lebih jauh Garrod dan Willis (1999), serta Hanley dan Splash (1993) menyatakan bahwa meskipun besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada pada kisaran 2 sampai 5 kali lebih besar daripada besaran WTP. Hal ini terjadi karena beberapa faktor : 1. Ketidaksempurnaan dalam rancangan kuesioner dan teknik wawancara 2. Pengukuran WTA terkait dampak pemilikan, dimana responden mungkin menolak untuk memberikan nilai terhadap sumberdaya yang ia miliki. Dengan kata lain, responden bisa saja mengatakan bahwa sumberdaya yang ia miliki tidak bisa tergantikan, sehingga mengakibatkan tingginya harga jual. Fenomena ini sering juga disebut loss aversion yaitu menghindari kerugian, dimana seseorang lebih cenderung memberikan nilai yang lebih besarterhadap kerugian. 3. Responden mungkin bersikap cermat terhadap jawaban WTP dengan mempertimbangkan pendapatan maupun preferensinya. Dalam pengukuran WTP, Haab dan McConnel (2002) menyatakan bahwa pengukuran WTP yang dapat diterima harus memenuhi syarat : 1. WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif 2. Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan 3. Adanya konsintensi antara keacakan pendugaan dan keacakan perhitungan. Memang telah diakui bahwa ada kelemahan dalam keinginan membayar ini. Misalnya, meskipun sebagian barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dapat diukur nilainya karena diperdagangkan, sebagian yang lain, seperti keindahan pantai atau laut, kebersihan dan keaslian alam tidak diperdagangkan sehingga tidak atau sulit diketahui nilainya, karena masyarakat tidak membayarnya secara lansung. Selain itu, masyarakat tidak familier dengan cara pembayaran jasa seperti itu, keinginan membayar mereka juga sulit diketahui. Walaupupun demikian, dalam pengukuran nilai sumberdaya alam, nilai tersebut

62 46 tidak selalu harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan disini adalah pengukuran seberapa besar kemampuan membayar masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari sumberdaya. Kita juga bisa mengukur dari sisi lain, yakni seberapa besar masyarakat harus diberi kompensasi atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Adapun secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan, dapat digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willinggness To Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar yang terungkap). Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, Random Utility Models. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh lansung dari responden, yang lansung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method (CVM), Discrete Choice Method, Random Utility Models. Adapun teknik pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengukuran langsung dimana pada pendekatan pengukuran secara langsung ini, nilai dari jasa lingkungan dapat diukur langsung dengan menanyakan kepada indifidu atau masyarakat mengenai kemauan mereka membayar terhadap perubahan atau kondisi air yang saat ini terjadi penurunan. Pendekatan atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Contingent Valuation Method (CVM), dimana CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui kemauan membayar dari masyarakat mengenai jasa lingkungan yang dihasilkan dari sumberdaya air. Adapun tahap-tahap dalam metode CVM ini adalah sebagai berikut : membentuk pasar hipotetik, mendapatkan nilai penawaran, menghitung dugaan rataan WTP (expected WTP, EWTP), menentukan WTP agregat atau WTP total (TWTP), menduga kurva penawaran, dan mengevaluasi pelaksanaan CVM Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Meningkatnya pembangunan diberbagai dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan tekanan sosial ekonomi terhadap sumberdaya hutan dan

63 47 lahan sehingga penduduk melakukan pembukaan lahan ke arah yang berlereng dan merambah hutan lindung. Lahan-lahan pertanian teknis setiap tahun dikonversikan menjadi lahan non pertanian. Kerusakan DAS, khususnya DAS Citarum dari waktu ke waktu cukup meningkat. Hal ini terjadi akibat adanya perubahan pola penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian, berkurangnya areal hutan, semakin intensif pemanfaatan lahan dan berkurangnya usaha konservasi tanah dan air serta belum jelasnya arah implementasi pembangunan dalam mengatasi permasalahan sumberdaya alam yang secara berkelanjutan. Kondisi demikian menyebabkan semakin meningkatnya kerusakan sumberdaya alam khususnya sumberdaya air dan lingkungan, seperti banjir, kekeringan, pencemaran, erosi, sedimentasi, eutrofikasi, dan sebagainya. Untuk menyelamatkan sumberdaya hutan, tanah dan sumberdaya air maka pemerintah sesungguhnya telah membuat peraturan-peraturan dan kegiatan konservasi tanah dan air dalam bentuk kompensasi/insentif. Pada tahun 1961 diadakan gerakan penghijauan secara massal dalam bentuk pekan penghijauan I di Gunung Mas, Puncak Bogor. Pada tahun 1973 sampai 1981, FAO dan UNDP telah melakukan berbagai uji coba untuk memperoleh metoda yang tepat dalam merehablitasi lahan dan konservasi tanah yang ditinjau dari aspek fisik maupun sosial ekonomi di hulu DAS Bengawan Solo. Hasil-hasil pengujian ini antara lain diterapkan dalam proyek Inpres penghijauan dan rebaoisasi sejak tahun 1976 pada 36 DAS di Indonesia. Upaya pengelolaan DAS terpadu yang pertama dilaksanakan di DAS Citanduy pada tahun 1981, dimana berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin dilakukan. Selanjutnyan pengelolaan DAS terpadu dilakukan di DAS Brantas dan Jratunseluna. Namun proyek-proyek pengelolaan tersebut lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan banjir dan hampir seluruhnya dibiayai oleh dana pemerintah. Mulai tahun 1994 konsep partisipasi mulai diterapkan dalam penyelenggaraan inpres penghijauan dan reboisasi, tapi dalam tahap perencanaan. Ada beberapa penelitian yang dilakukan di DAS Citarum terkait hubungan pengelolaan sumberdaya air dan pengelolaan DAS dengan variabel ekonomi.

64 48 Selain itu ada juga melihat kaitan dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan wilayah maupun penilaian jasa lingkungan dan penentuan prioritas bantuan perbaikan lingkungan. Penelitian yang melihat peranan kebijakan penentuan harga air bagi pemanfaatan sumberdaya air berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta oleh Ansofino (2005). Dalam kaitan faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran air, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sumber-sumber air penduduk perkotaan, menentukan alokasi optimal penggunaan air tanah dan air sungai dengan mengendalikan penyimpanaan dan harga, menjelaskan pengaruh penggunaan sumberdaya air pada rumah tangga dan industri, menjelaskan implikasi pengelolaan sumberdaya air yang optimal bagi pembangunan wilayah dan perkotaan. Ansofino (2005), mengemukakan bahwa permintaan air di wilayah perkotaan lebih besar daripada penawarannya dan telah mengalami decreasing return to scale. Harga air yang ditetapkan adalah harga rata-rata, dan belum memperlihatkan sifat kelangkaan air, karena belum mengacu kepada pertimbangan ekonomi terutama pada penyesuaian antara biaya investasi, biaya operasi dan biaya pemeliharaan. Tetapi pada harga marginal telah memperlihatkan kelangkaan sumberdaya air. Apalagi jika dimasukan biaya eksternalitas ke hulu dan pajak air berupa nilai perolehan air (NPA). Selain itu Ansofino (2005), juga menjelaskan bahwa faktor yang sangat menentukan permintaan air di wilayah penelitian adalah jumlah penduduk pada tahun sekarang (2,6%), jumlah penduduk pada periode dua tahun lalu (t-2) (4,4%), jumlah sumur bor (3,5%), jumlah pelanggan rumah tangga (2,2%), dan nilai rumah pada tahun sebelumnya (1,13%). Faktor yang mempengaruhi penawaran air kepada penduduk di wilayah DKI Jakarta. adalah: harga marginal pada tahun sebelumnya, pengambilan air sungai waktu sekarang dan satu tahun sebelumnya, jumlah karyawan tehnis, nilai pajak perolehan air yang harus dibayar ke hulu, jumlah pengambilan air tanah, dan luas lahan kritis di wilayah DAS Citarum. Harga keseimbangan pasar ditentukan oleh harga permintaan karena penawaran air PAM Jaya bersifat inelastis terhadap harga. Harga keseimbangan air sekarang sebesar Rp 15 per m 3 dengan jumlah permintaan dan penawaran sebesar 248 juta

65 49 m 3 dan 155 juta m 3 /tahun. Sedangkan untuk harga penawaran yang mampu menutupi biaya produksi air minum PAM Jaya adalah Rp 185 per m 3. Dan faktor yang sangat menentukan pilihan penggunaan sumber-sumber air penduduk di wilayah penelitian adalah faktor pendapatan, jumlah kamar mandi, jumlah mobil yang dimiliki, dan jumlah anggota keluarga. Rumahtangga yang berpendapatan tinggi memiliki kecenderungan untuk menggunakan semua sumber-sumber air yang ada, sebaliknya rumahtangga yang berpendapatan rendah cenderung untuk menggunakan sumber air dari pedagang jalanan, pada hal mereka membayar dua kali lipat lebih mahal dari rumahtangga yang berlangganan PAM. Alokasi optimal penggunaan sumberdaya air tanah dan air sungai pada baseline model diperoleh dengan benefit maksimum sebesar Rp. 141,128 milyar, pertumbuhan permintaan sebesar 20%, laju pengambilan air tanah sebesar 21 juta m 3, dan nilai discount rate sebesar 5%, dengan mengasumsikan kemajuan tehnologi tetap. Sehingga ketersediaan sumberdaya air tanah hanya cukup untuk melayani permintaan air sampai tahun 2007, yang ditandai dengan menurunnya ketinggian permukaan tanah sebesar 106,012 mbt, laju pengambilan air tanah mencapai 18,3 persen dari laju precipitasi, dan meningkatnya biaya ekstraksi sebesar Rp. 10,342 juta. Setelah itu air sungai digunakan secara intensif, tetapi hanya cukup sampai tahun Jadi bila harga ditentukan dengan benar, maka konservasi sumberdaya air dapat dilakukan. Penggunaan sumberdaya air di wilayah perkotaan (DKI Jakarta) yang berlebihan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air irigasi; yang menunjukan bahwa secara lokal (DAS Citarum) mengakibatkan kemiskinan masyarakat di hulu, kehilangan biodiversity dan terganggunya fungsi hidrologi yang muncul secara bersamaan. Akibatnya fluktuasi debit air untuk penawaran semakin tajam. Sedangkan Suhendar (2005), mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun, yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Lebih lanjut Dadan Suhendar mengatakan bahwa dengan meningkatnya areal terbangun, Air hujan yg meresap kedalam tanah yang menjadi cadangan air tanah menurun dan aliran permukaan meningkat, untuk mengurangi resiko tersebut maka perlu

66 50 dilakukan efisiensi dalam pemanfaatan lahan, serta pembuatan sumur resapan,danau buatan komunal pada setiap kawasan perumahan dan industri. Studi Suciati (2005), mengemukakan bahwa secara umum kondisi penawaran sumberdaya air di daerah irigasi jatiluhur semakin menurun seiring bertambahnya permintaan terkait faktor ekonomi dan demografi. Alokasi air terbesar untuk irigasi berkompetisi dengan penggunaan air sektor non pertanian. Hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang. Secara khusus Keadaan penawaran sumberdaya air cenderung menurun baik di Kabupaten Cianjur maupun Kabupaten Karawang, namun di wilayah hulu (Cianjur) penawaran sumberdaya air relatif lebih banyak (rata-rata margin penawaranpermintaan 1,8 milyar m 3 ) sedangkan di Kabupaten Karawang rata-rata margin supply-demand sekitar 274 juta m 3. permintaan irigasi di Kabupaten Cianjur relatif stabil dengan kecenderungan adanya sedikit penurunan terutama pada 3 tahun terakhir akibat anomaly musim, demikian pula dengan demand irigasi di Kabupaten Karawang yang umumnya menerapkan pola tanam padi-padi menunjukkan sedikit penurunan. Lebih lanjut Luh Putu Suciati (2005), menjelaskan bahwa Kelembagaan pengelola sumberdaya air irigasi di tingkat petani walaupun memiliki badan hukum namun kurang memiliki posisi tawar baik di kalangan petani sendiri maupun di departemen yang terkait dengan irigasi. Sehingga penyerahan pengelolaan irigasi saja tanpa melibatkan petani secara nyata (partisipasi) akan menimbulkan apatisme dan pesimisme dalam menyikapi kebijakan. Sedangkan fenomena kelembagaan pemerintah adalah Belum ada wadah koordinasi yang memadai untuk kelembagaan pengelolan sumberdaya air irigasi di tingkat pemerintah, masing-masing lembaga memiliki tanggung jawab berbeda yang menyebabkan terjadinya kewenangan yang tumpang tindih. Hal ini juga dikatakan oleh Hariadi (2004) bahwa daur hidrologi dapat mengalami perubahan akibat kegiatan manusia, seperti perubahan pola infiltrasi dan evaporasi, berkaitan dengan adanya perubahan penggunaan lahan dan penurunan muka air tanah akibat pemompaan air tanah yang berlebihan. Perubahan pola penggunaan lahan di kawasan resapan, dari jenis penggunaan lahan yang meresapkan air hujan ke dalam tanah seperti hutan, perkebunan, atau

67 51 pertanian lainnya, menjadi penggunaan lahan yang mengurangi atau menghambat peresapan air hujan seperti perumahan dan bangunan lainnya, akan secara lansung menganggu keseimbangan siklus hidrologi. Berdasarkan hasil analisis Sulandari (2005) di hulu, didapatkan faktor utama masyarakat melakukan deforestasi adalah membuka lahan untuk kegiatan pertanian dan merambah hutan adalah untuk meningkatkan pendapatan. Mayoritas penduduk mempunyai kemauan dalam menghentikan perusakan hutan apabila mempunyai alternatif pekerjaan. Oleh karena itu harus diberikan kompensasi terhadap masyarakat hulu untuk peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga masyarakat tidak melakukan deforestasi dan merambah hutan. Lebih lanjut Sulandari mengatakan bahwa apabila hal ini dibiarkan maka akan terjadi kerusakan hutan dan lahan, khususnya hutan lindung sebagai kawasan konservasi. Berkaitan dengan strategi penyelamatan sumberdaya alam selama ini tidak memberikan hasil yang baik keselamatan sumberdaya alam khususnya air yang sangat rentan kehidupan umat manusia. Dengan berbagai studi kasus dan permasalahan terlihat beberapa perbedaan signifikan disetiap studi kasus yang dibahas. Berdasarkan hasil analisis terdahulu, maka salah strategi pengelolaan lahan dan air yang ditawarkan adalah beberapa faktor pendukung yang kami anggap perlu diterapkan yaitu skema kompensasi yang dalam hal ini bertujuan ganda yaitu meningkatkan pengelolaan berbasis masyarakat lokal yang sekaligus memperkuat penghidupan masyarakat pedesaan.

68 III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Wilayah hulu DAS Citarum dengan fungsi utama sebagai daerah penyangga untuk daerah hilir dan sebagai penyedia jasa air sekarang ini kondisinya telah mengalami kerusakan yang cukup nyata. Berbagai data dan informasi mengatakan bahwa terjadi peningkatan pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan kerusakan fisik maupun biofisik, hal ini menyebabkan berkurangnya fungsi kawasan tersebut sebagai daerah penyangga. Upaya kegiatan pelestarian telah dilaksanakan, salah satunya adalah pembayaran jasa lingkungan untuk perbaikan wilayah DAS Citarum Hulu tersebut. Pelaksanaan kegiatan ini adalah dengan melakukan kegiatan konservasi yang telah mengalami kerusakan. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana persepsi PJL dan bagaimana kemauan/keinginan membayar maupun seberapa nilai kompensasi jasa lingkungan sehingga perlu dilakukan penelitian. Dari berbagai studi menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan, hutan dan lahan di wilayah hulu akibat dari penggunaan yang memperhitungkan daya dukung lingkungan. Sehingga kerusakan dari waktu ke waktu semakin meningkat. Hal ini terjadi akibat juga perubahan pola penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian, berkurangnya areal hutan, semakin intensifnya pemanfaatan lahan dan kurangnya usaha konservasi tanah dan air serta belum jelasnya arah dan implementasi pembangunan dalam mengatasi permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan seperti banjir, kekeringan, pencemaran, erosi, sediment dan sebagainya. Dan akibat kondisi sosial ekonomi, dimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di bagian hulu DAS Citarum sangat memprihatinkan. Hal ini dilihat dari tingkat pencapaian dan pendidikan yang rendah di wilayah tersebut. Petani yang miskin akan menggunakan lahan dan menebang hutan hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa memperhitungkan daya dukung sumberdaya lahan tersebut. Penurunan kualitas sumberdaya lahan dan tingkat hidup petani merupakan sebab dan akibat dari kemiskinan petani, sebab kemiskinan merupakan sumber kerusakan lingkungan lahan dan air. Berkaiatn dengan kerusakan tersebut maka akan mempengaruhi ketersediaan air untuk kebutuhan pertanian, konsumsi

69 53 dan industri, dan hal terlihat ketika terjadi antar yaitu antara musim hujan ke musim kemarau. Meningkatnya pembangunan diberbagai sektor dan jumlah penduduk di DAS Citarum Hulu memberikan pengaruh terhadap perubahan tataguna lahan di daerah tersebut. Hal ini didorong juga oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah sehingga terdapat suatu bentuk pola penggunaan lahan dan perusakan hutan dan lingkungan yang lambat laun dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya air, khususnya yang terjadi di kawasan DAS Citarum. Kondisi DAS Citarum Hulu sangat dipengaruhi oleh ekosistem yang ada sehingga dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya air dan ketersediaan air, seperti ketika musim hujan terjadi banjir dan musim kemarau terjadi kekeringan. Penanganan permasalahan di wilayah DAS Citarum Hulu telah banyak melibatkan berbagai pihak. Terlebih lagi pihak pemerintah sebagai penentu arah kebijaksanaan pengelolaan DAS Citarum Hulu secara berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan ini, lebih menekankan pada aspek sosial yaitu dengan mengidentifikasi berbagai permasalahan kondisi sumberdaya air yang ada saat ini. Selain itu penelitian ini juga menekankan pada aspek sosial ekonomi masyarakat hilir, yaitu bagaimana kemauan membayar dan besarnya membayar masyarakat sebagai pengguna jasa lingkungan untuk memberikan kompensasi/insentif bagi jasa perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu. Diharapkan dengan mengkaji kedua aspek tersebut dapat memberikan solusi dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya air bagi perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu. Selain itu, diharapkan dapat memberikan kebijakan pengelolaan mengenai insentif pembayaran kompensasi untuk perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka disusun kerangka pemikiran sebagaimana pada Gambar 2 menjelaskan alur pemikiran penelitian tentang analisis kemauan membayar masyarakat perkotan bagi jasa perbaikan lingkungan, lahan dan air.

70 54 DAS CITARUM HULU Kerusakan Hutan, Lahan dan Air Kerusakan Lingkungan Pertumbuhan Penduduk Ketersediaan Air Makin Menurun Air Pertanian Upaya-Upaya Perbaikan Lingkungan di DAS Citarum Hulu Supply dan Demand Air Minum Air Industri Harga Air Penentuan Harga Air Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan (Willingness to Pay) Persepsi Persepsi untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, dan Pilihan Air Kebijakan Insentif/ DisInsentif Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti Gambar 2 Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian

71 Hipotesis Untuk lebih mengarahkan penelitian ini, dan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1. Diduga persepsi masyarakat sebagai pengguna jasa lingkungan untuk jasa perbaikan lingkungan masih rendah. 2. Diduga jumlah anggota keluarga, pendapatan dan tingkat pendidikan, status rumah berpengaruh terhadap kemauan membayar (wiliingness to pay) untuk jasa perbaikan lingkungan. 3. Diduga kualitas dan kuantitas air telah berpengaruh positif terhadap terpilihnya sumber air lain. 3.3 Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di wilayah Kota Jakarta Timur meliputi 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Rawamangun, Kelurahan Kayu Putih, Kelurahan Pulo Kelurahan Gadung, Kelurahan Cipinang. Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini selama 4 bulan mulai dari persiapan sampai dengan penulisan laporan,terhitung mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November Data dan Sumber Data Data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua data, yaitu : data primer dan data sekunder. Data utama dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diambil langsung dari responden dengan melalui wawancara lansung, dengan pedoman daftar pertanyaan yang telah dibuat (kuesioner). Sedangkan Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian adalah data yang berasal dari PDAM Jaya, BP DAS, Bappeda, PJT II Purwakarta, Dinas Kehutanan Kabupaten Bandung, BPS Jakarta Timur serta instansi terkait. dan hasil penelitian lain yang ada kaitan dengan penelitian ini. Secara terperinci data dan sumber data ada di Tabel 3.

72 56 Tabel 3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data No I II Jenis Data dan Informasi Metode Pengumpulan Data Sumber Data Data Primer a). Kemauan membayar Kuisioner Responden b). Persepsi thp ketersediaan air Kuisioner Responden c). Persepsi peranan masyarakat hulu Kuisioner Responden d). Persepsi thp Kesetujuan Kuisioner Responden e). Persepsi thp kualitas dan kuantitas air kuisioner Responden f).jenis kelamin Kuisioner Responden g).usia Kuisioner Responden h).pekerjaan Kuisioner Responden i). Pendapatan keluarga Kuisioner Responden j). Pengeluaran keluarga Kuisioner Responden k). Tingkat pendidikan Kuisioner Responden l). Jumlah anggota keluarga Kuisioner Responden m). Keluhan atas air Kuisioner Responden n).status rumah Kuisioner Responden Data Sekunder a). Jumlah pelanggan Studi literatur PDAM b). Kebijakan-kebijakan Studi literatur Bapeda c). Peta Studi literatur Bapeda d). Jmlh Penduduk Jakarta Timur Studi literatur BPS e). Jmlh Penduduk DKI Jakarta Studi literatur PJT II Metode Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian adalah pelanggan atau konsumen air bersih PDAM Jaya di Kota Jakarta Timur yang tercatat sebagai pelanggan PDAM Jaya (kelompok I) yang bertempat tinggal di Kota Jakarta Timur, dan non pelangan rumah tangga (kelompok II) atau konsumen air yang memakai air tanah yang bertempat tinggal di Kota Jakarta Timur. Penentuan sampel dipilih secara Tehnik Acak Terlapis secara proporsional berdasarkan data pelanggan rumah tangga dan non rumah tangga berdasarkan data dari PDAM, BPS, Kecamatan dan Kelurahan setempat. Sampel dibagi 2 kelompok berdasarkan tempat kelurahan di wilayah penelitian. Proses pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang sudah dipersiapkan dan pengamatan lansung di lapangan. Target populasi/sampel dalam penelitian ini adalah pelanggan rumah tangga dan non pelanggan rumah tangga atau yang tidak memakai dari air PDAM Jaya yang berada di Kelurahan Rawamangun, Kelurahan Kayu Putih, Kelurahan Pulo Gadung, Kelurahan Cipinang.

73 57 Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara proportional stratifield random sampling dimana sampel ditentukan berdasarkan jumlah penduduk yang bertempat tinggal di empat kelurahan atau banyaknya jumlah penduduk yang bertempat tinggal di empat kelurahan sampel. Adapun alasan dilakukannya metode proportional stratifield random sampling adalah : 1. Populasi/sampel yang ada di Jakarta Timur tidak bersifat homogen tetapi bersifat heterogen, yaitu karakteristik populasi/sampel bervariasi. 2. Persepsi masyarakat terhadap kualitas dan kuantitas maupun ketersediaan air sama, baik air dari PDAM maupun air tanah. 3. Pemilihan Kecamatan Pulo Gadung sebagai lokasi pengambilan sampel karena kecamatan ini berdekatan dengan PDAM yang merupakan salah satu pemasok air dari Waduk Jatiluhur yang berasal dari DAS Citarum. Selain itu berdasarkan survei lokasi, di Kecamatan Pulo Gadung banyak ditemui keluhan tentang kualitas dan kuantitas air, baik air yang berasal dari PDAM maupun air tanah. Sehingga di harapakan lokasi tersebut dapat mewakili untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Untuk menentukkan banyaknya sampel secara keseluruhan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan ketentuan Slovin dalam Umar (2002), yaitu : n = N 1+ Ne 2...(1) dimana n adalah banyaknya sampel, N adalah populasi dan e adalah batas kesalahan yang diinginkan (dalam penelitian 10%). Dengan jumlah pelanggan rumah tangga (laporan bagian pengolahan data PDAM) dan non pelanggan rumah tangga (laporan bagian data penduduk dari kecamatan dan data dari BPS tahun 2005), maka didapatlah jumlah keseluruhan sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah sebanyak 99,50 atau dibulatkan 100 sampel yang tersebar dalam empat kelurahan sampel. Selanjutnya pembagian jumlah sampel berdasarkan kelurahan terbanyak jumlah rumah tangganya, ditentukkan secara proporsional. Tabel 4 menunjukan jumlah sampel berdasarkan jumlah rumah tangga pada kelurahan sampel.

74 58 Tabel 4 Jumlah Sampel Berdasarkan Jumlah Rumah Tangga di Kec. Pulo Gadung No Kelurahan Rukun Warga Rukun Tetangga Rumah Tangga Sampel 1 Rawamangun , Kayu Putih , Pulo Gadung , Cipinang , Jatinegara Kaum ,302 6 Pisangan Timur ,983 7 Kramat Jati ,360 Jumlah 92 1, , Sumber : BPS DKI Jakarta, Variabel dalam Penelitian Untuk menentukan dan menganalisis kemauan membayar (WTP) dan besarnya kemauan membayar bagi penyedia jasa lingkungan di DAS Citarum Hulu, dan juga untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayar dan besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, perlu ditentukan variabel-variabel yang akan dimasukkan ke dalam model ekonometrik. Tabel 5, menunjukkan variabel-variabel yang diduga berpengaruh di dalam model ekonometrik. Tabel 5 Variabel Penelitian yang Mempengaruhi WTP No Kelompok Variabel Variabel dalam Model 1 Kemauan membayar PJL 1. Kemauan membayar 2 Besarnya WTP 2. Jumlah Rp maksimal yg dibayarkan (WTP) 3 Ketersediaan Air 3. Persepsi terhadap peranan masyarakat hulu 4 Keluhan Air 4. Persepsi kesetujuan untuk perbaikan lingkungan 5 Persepsi terhadap peranan 5. Jumlah anggota keluarga 6 Persepsi terhadap kesetujuan 6. Pendapatan perkapita 7 Pendapatan perkapita 7. Tanggungan Keluarga 8 Pengeluaran keluarga 8. Pekerjaan 9 Tanggungan keluarga 9. Pendidikan 10 Tingkat pendidikan 10. Usia 11 Pekerjaan 11. Status Rumah 12 Usia 12. Persepsi terhadap Ketersediaan Air 13 Persepsi thdp Ketersediaan Air 13. Persepsi terhadap Keluhan Air 14 Persepsi terhadap Keluhan Air Metode Analisis Data Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Tabel 6 menunjukan matriks pendekatan studi yang sesuai dengan tujuan penelitian.

75 59 Tabel 6 Matriks Pendekatan Studi No Tujuan Metode Analisis Variabel Sumber Data -Persepsi Keluhan Air Menganalisis persepsi Analisis Deskriptif/ -Persepsi Ketrsediaan air masyarakat tentang jasa 1 Kualitatif -Persepsi peranan Responden/masyarakat perbaikan lingkungan. -persepsi kesetjuan 2 Menganalisis kemauan membayar masyarakat (WTP) tentang jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Analisis WTP dengan menggunakan Contingen Valuation Methode (CVM) dan Analisis Regresi Linear berganda -Nilai WTP -Persepsi Keluhan Air -Persepsi Ketrsediaan air -Persepsi peranan -persepsi kesetjuan -Usia -Pendidikan -Pendapatan -Tangungan keluarga -Pekerjaan -Pengeluaran -Status rumah Responden/masyarakat dan studi literatur 3 Menganalisis persepsi masyarakat tentang kondisi sumber air yang tersedia Analisis deskriptif/ kualitatif -Pilihan sumber air -Kualitas dan kuantitas air PDAM -Kualitas dan kuantitas air sumur -Berbagai Alasan -Berbagai Akibat Responden/masyarakat dan Studi Literatur Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan Penggalian informasi untuk penilaian persepsi masyarakat (responden) dilakukan melalui kuisioner dan wawancara lansung terhadap responden terpilih yang berkaitan dengan karakteristik responden (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pendapatan, tanggungan keluarga, pengeluaran, status rumah). Persepsi masyarakat terhadap ketersediaan air, keluhan air dan peranan masyarakat hulu maupun kesetujuan dalam perbaikan lingkungan, serta kemauan membayar masyarakat bagi perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu. Data karakteristik responden akan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif Analisis Kemauan Membayar Masyarakat (Willingness to Pay) Untuk menganalisis kemauan membayar (WTP) digunakan pendekatan contingent valuation method (CVM). Metode valuasi ini adalah perhitungan secara lansung (survei) dalam hal ini lansung menanyakan kemauan membayar (willingness to pay) kepada responden/masyarakat dengan menggunakan kuesioner. Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan semua komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya, dengan menggunakan tahap-tahap sebagai berikut :

76 60 1. Membentuk Pasar Hipotetik (Hypothetical Market) dari Jasa Lingkungan. Dalam penelitian ini pasar hipotetis yang dibentuk adalah suatu pasar dengan kualitas dan kuantitas air yang berbeda dengan kondisi air saat ini. Responden sebelumnya telah menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai persepsinya tentang pentingnya jasa lingkungan, faktor resiko serta kualitas air yang diterima. Untuk membentuk pasar hipotetis, terlebih dahulu responden diminta untuk mendengarkan atau membaca suatu pernyataan mengenai kondisi air saat ini, dimana secara kualitas dan kuantitas masih terbatas, intensitas air khususnya kegiatan untuk perbaikan atau konservasi masih kurang seperti kegiatan konservasi di wilayah hulu sebagai wilayah tangkapan air. Dijelaskan juga bahwa kondisi ini terjadi karena kemampuan pembiayaan konservasi oleh pemerintah terbatas bahkan cenderung menurun. Selanjutnya, responden diminta mendengarkan atau membaca pernyataan tentang kualitas dan kuantitas air dengan kondisi yang lebih baik apabila dilakukan kegiatan perbaikan lingkungan di wilayah hulu. Kondisi tersebut misalnya adanya atau bertambahnya frekuensi kegiatan perbaikan kerusakan lingkungan di wilayah hulu. sehingga kualitas dan kuantitas air meningkat. Akan tetapi, untuk itu pembayaran per-bulan akan dinaikkan. Berdasarkan pernyataan tersebut akan diperoleh ukuran perilaku konsumen dalam situasi hipotesis bukan dalam situasi riil. 2. Mendapatkan Nilai Penawaran (bids). Dalam penelitian ini, responden diberikan beberapa nilai tawaran berupa nominal diatas harga air saat ini dan meminta responden untuk memilih nilai tertinggi yang bersedia ia bayarkan untuk perbaikan kualitas dan kuantitas air. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa nilai WTP yang sebenarnya dari individu yang bersangkutan terletak dalam kelas atau interval antara nilai yang dipilih dengan nilai WTP berikutnya yang lebih tinggi. Disamping itu, responden dapat dengan mudah memilih nilai yang ingin ia bayarkan. Susunan nilai yang ditawarkan menggunakan range atau interval tertentu.

77 61 3. Menghitung Dugaan Rataan WTP (Expected WTP, EWTP) WTP i dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Dari jawaban responden dapat diketahui bahwa WTP i yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Selanjutnya dugaan rataan WTP dihitung dengan rumus : n EWTP = Σ W i P fi...(2) i=1 dimana : EWTP = dugaan rataan WTP W = batas bawah kelas WTP P f = frekuensi relatif kelas yang bersangkutan n = jumlah kelas i = kelas ke-i 4. Menentukan WTP Agregat atau WTP Total (TWTP). WTP agregat atau WTP total dapat digunakan untuk menduga WTP populasi secara keseluruhan dengan rumus sebagai berikut : dimana : n TWTP = Σ WTP i [ ni / N ] P.(3) i=1 TWTP WTP n N P I = kemauan populasi (PJL) untuk membayar = kemauan responden (sampel) untuk membayar = jumlah sampel yang mau membayar sebesar WTP = jumlah sampel = jumlah populasi = sampel ke-i 5. Menduga Kurva Penawaran (Bids Curve). Untuk barang publik murni kurva penawaran total adalah penjumlahan vertikal kurva penawaran individu yang diperoleh dari nilai TWTP. Kurva penawaran total ini adalah pengganti kurva permintaan.

78 62 6. Mengevaluasi Pelaksanaan CVM Untuk mengevaluasi pelaksanaan metode CVM dapat dilihat dari tingkat keandalan (Reliability) fungsi WTP untuk mengetahui apakah CVM yang dilakukan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya dari ukuran penilaian responden PJL Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayar (WTP) membayar digunakan persamaan regresi sebagai berikut : WTP = b 0 + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 2 + b 4 D 1i + b 5 D 2i + b 6 D 3i + b 7 D 4i + b 8 D 5i +b 9 D 6i + b 10 D 7i +b 11 D 8i +b 12 D 9i +e i Dimana : WTP X 1 X 2 X 3 D 1 D 2 D 3 D 4 D 5 D 6 D 7 D 8 D 9 = Nilai WTP (Rp/org/bln) = Pendapatan perkapita perbulan (Rp/kk/bln) = Umur (tahun) = Jumlah anggota keluarga (org) = Pendidikan (1 : SMP dan 0 : lainnya) = Persepsi masyarakat terhadap peranan untuk PJL (1 : berperan dan 0 : tidak berperan) = Persepsi masyarakat terhadap kesetujuan untuk PJL (1 : setuju dan 0 : tidak setuju) = Persepsi terhadap ketersediaan air (1 : baik dan 0 : tidak baik) = Persepsi terhadap keluhan air (1 : baik dan 0 : buruk) = Ekspektasi untuk perbaikan lingkungan (1: berharap lebih baik dan 0: tidak berharap) = Pekerjan (1 : Swasta dan 0 : lainnya) = Pilihan Air (1 : PDAM dan 0 : lainnya) = Status Rumah

79 63 b 0 b 1 b 12 e (1 : Sendiri dan 0 : Kontrak/Sewa) = Intersep = Koefisien regresi = galat Analisis Persepsi Masyarakat tentang Kondisi Air yang tersedia Berbagai informasi untuk persepsi masyarakat diambil melalui kuisioner dan wawancara lansung terhadap responden. Persepsi responden tentang kondisi sumber air yang tersedia serta apa yang dirasakan oleh masyarakat dalam mengkonsumsi air, dengan berbagai alasan dan akibat. Dari data yang diperoleh akan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, untuk persentase. persepsi masyarakat ditunjukkan oleh jawaban-jawaban masyarakat atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuisioner.

80 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden Masyarakat hilir merupakan pengguna jasa lingkungan dari hulu atau penerima manfaat dari hulu. Pada penelitian ini, jasa lingkungan yang dimaksud berupa air minum. Ketersediaan air dan kualitas, kuantitas air minum sangat tergantung oleh kondisi lingkungan, baik di hulu DAS Citarum maupun di hilir. Sehingga masyarakat hilir yang menggunakan jasa lingkungan atau menerima manfaat dari hulu secara tidak lansung mempunyai kewajiban dalam membayar kompensasi/insentif untuk masyarakat hulu. Menurut Leimona (2004) masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau dengan mengelola lahan merupakan unjuk tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistilahkan dengan masyarakat penyedia jasa lingkungan, yang atas usaha perlindungan dan pengelolaannya dapat dikatagorikan sebagai pelindung dan pengelola. Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan. Prinsip dasar dari konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi/insentif terhadap usaha yang mereka lakukan, dilain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan. Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas masyarakat yang berasal dari Kota Jakarta Timur. Responden di Kota Jakarta Timur mewakili masyarakat hilir atau mewakili masyarakat Jakarta. Masing-masing kelurahan diambil responden sebanyak 30 orang dengan mewakili 1 Kecamatan. Masyarakat hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum, baik dari DAS Citarum Hulu maupun dari hilir (non jasa lingkungan). Karaktristik responden dalam penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pengeluaran, jumlah tanggungan keluarga, dan umur. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di Kota Jakarta Timur. Berikut ini pemaparan karakteristik responden dari masing-masing wilayah.

81 Jenis Kelamin Jenis kelamin responden disajikan dalam bentuk persentase, dan persentase jenis kelamin responden berdasarkan jenis kelamin. Persentase responden yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 86,67% dan berjenis kelamin perempuan sebesar 13,33%. Oleh kerena itu jenis kelamin rata-rata didominasi oleh laki-laki, hal ini dikarenakan responden pada umunya merupakan kepala keluarga atau yang mempunyai mata pencaharian. Berikut Gambar 6 menunjukkan persentase responden berdasarkan jenis kelamin. Dalam mengestimasi kemauan membayar besarnya membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, jenis kelamin tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas % Jenis Kelamin Responden Laki-Laki Perempuan 86.67% Gambar 6 Persentase Responden Berdasarkan Jenis Jelamin Umur Umur responden disajikan dalam bentuk persentase berdasarkan umur responden. Pada Gambar 7 menunjukkan umur responden berdasarkan kategori, umur terendah responden adalah 30 tahun dan usia tertinggi responden adalah 67 tahun atau diatas 50 tahun. Pada persentase untuk kategori umur 30 tahun sebesar 0,00%, umur sebesar 42,63%, umur sebesar 36,33% dan usia 50 sebesar 20,60%. Pada Gambar 7 menunjukkan persentase responden berdasarkan umur responden. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, umur tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas.

82 90 10% Umur Responden 3% 46% 41% Gambar 7 Persentase Responden Berdasarkan Usia Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga responden disajikan dalam bentuk persentase. Persentase tanggungan keluarga responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga bersama responden. Pada Gambar 8 berdasarkan kategori tanggungan keluarga, jumlah tanggungan keluarga 1-3 sebesar 55%, 4-6 sebesar 45% dan 7-9 sebesar 0,00%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, jumlah tanggungan keluarga dimasukkan ke dalam variabel bebas. Dan sesuai dengan hasil survei lapangan jumlah tanggungan keluarga dalam satu keluarga maksimum hanya sampai 6 orang. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, tanggungan keluarga dimasukkan ke dalam variabel bebas. Berikut jumlah responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga responden. Tanggungan Keluarga 45% 0% 55% Gambar 8 Persentase Responden Berdasarkan Tanggungan Keluarga

83 Pendidikan Berdasarkan data yang didapatkan, pendidikan formal yang diamati dalam penelitian ini dibedahkan menjadi empat, yaitu tamat SD, tamat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), tamat sekolah lanjutan atas (SMU) dan tamat perguruan tinggi (Sarjana/D3/S1/S2/S3). Berdasarkan hasil yang diperoleh selama dilapangan, untuk tingkat pendidikan kategori SD sebesar 0,00%, SMP sebesar 5,00%, SMU sebesar 63,33%, SARJANA sebesar 31,67%. Pada Gambar 9 menunjukkan secara lengkap persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan responden. Dari Gambar 9 diketahui juga ternyata tidak satupun dari responden yang ditemui dilapangan mengaku tidak sekolah dan tidak tamat sekolah dasar. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibukota negara yang lebih mengedepankan pendidikan. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pendidikan dimasukkan ke dalam variabel bebas. Tingkat Pendidikan Responden 32.00% 0% 5% SD SMP SMA SARJANA 63.00% Gambar 9 Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan Pekerjaan Dalam penelitian ini pekerjaan responden dibedahkan menjadi tiga kategori, yaitu : PNS/TNI/POLRI, Padagang/Pengusaha, dan Karyawan Swasta. Dari hasil yang ditemui dilapangan dapat diketahui bahwa pekerjaan responden untuk kategori pekerjaan sebagai karyawan swasta 65%, PNS/TNI/Polri sebesar 20,00%, dan 15,00%. Pada Gambar 10 menunjukkan secara lengkap pekerjaan responden dari masing-masing responden sampel.

84 92 Dari Gambar 10 juga diketahui bahwa tidak ada satupun responden yang ditemui dilapangan mengaku mempunyai mata pencaharian sebagai buruh, petani dan nelayan. Hal ini mungkin dikarenakan sampel yang diambil dipusat kota sehingga tidak ada responden yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, buruh dan nelayan. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pekerjaan tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pekerjaan Responden 20% 65% 15% PNS/TNI/POLRI Pdgng/Pgusaha K. Swasta Gambar 10 Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan Pendapatan Jumlah pendapatan responden disajikan dalam bentuk persentase dan jumlah pendapatan responden selama satu bulan berdasarkan wilayah tempat tinggal responden. Jumlah pendapatan responden di ketahui dengan bertanya lansung kepada responden berapa pendapatan responden selama sebulan. Dari hasil wawancara responden di lapangan, di ketahui bahwa pendapatan responden untuk kelompok pelanggan rumah tangga yang berpendapatan 500 sebesar 0,00%, sebesar 8,33%, 1, ,000 sebesar 18,33%, 1, ,499,000 sebesar 38,33% dan 2, sebesar 35%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pendapatan dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pada Gambar 11 dibawah ini menunjukkan secara lengkap jumlah persentase responden berdasarkan pendapatan responden per sampel.

85 93 Tingkat Pendapatan Responden 35% 0.00% 8.33% 18.33% 38.33% Gambar 11 Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan Pengeluaran Pengeluaran responden disajikan dalam bentuk persentase (Gambar 12). Pengeluaran responden dalam penelitian diambil berdasarkan jumlah pengeluaran responden perbulan. Berdasarkan hasil yang didapat dilapangan jumlah pengeluaran responden kategori 500,000 sebesar 0,00%, 500, ,000 sebesar 0,00%, 1,000,000-1,499,000 sebesar 8,33%, 1, , sebesar 78,33% dan 2, sebesar 13,33%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pengeluaran tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pada Gambar 12 menunjukkan secara lengkap persentase jumlah pengeluaran responden rata-rata per bulan. Tingkat Pendapatan Responden 35% 0.00% 8.33% 18.33% 38.33% Gambar 12 Persentase Responden Berdasarkan Pengeluaran

86 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan Pada analisis persepsi masyarakat ini merupakan jawaban dari tujuan penelitian yang pertama, yaitu analisis persepsi masyarakat untuk jasa perbaikan lingkungan dengan 4 variabel bebas, secara lengkap berbagai persepsi di bawah ini: Persepsi Masyarakat terhadap Ketersediaan Air Pada persepsi masyarakat terhadap ketersediaan air dibagi menjadi dua golongan persepsi yaitu persepsi buruk dan baik. Berdasarkan Gambar 13 persepsi untuk katergori buruk sebesar 70%, persepsi baik sebesar 30%. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketersedian saat ini mengalami penurunan. Dimana ketersediaan air yang dikategorikan baik persentasenya sangat kecil dan persentase persepsi buruk lebih tinggi, oleh karena kondisi lingkungan mengalami penurunan sehingga diperlukan insentif atau kompensasi sebagai jasa perbaikan lingkungan untuk memulihkan ketersediaan air. Keadaan ini menunjukkan bahwa kurangnya penyampaian informasi kepada masyarakat bahwa air minum yang digunakan harus memperhatikan keadaan lingkungan sehingga akan memperbaiki kondisi air, baik yang berasal dari DAS Citarum dan kondisi air tanah. Masyarakat menganggap bahwa masih layak untuk dikonsumsi dan hal ini juga menunjukkan bahwa kurang informasi dari pemerintah tentang kualitas dan kuantitas air. Persepsi Terhadap Ketersediaan Air 30% 70% Baik Buruk Gambar 13 Persentase Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air. Persentase persepsi terhadap ketersediaan air yang cenderung buruk, hal ini menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan mulai merasa kurangnya ketersediaan air dan buruknya kualitas air. Kurangnya ketersediaan air minum dan buruknya kualitas air khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kondisi lingkungan di Hulu DAS Citarum dan buruknya kondisi lingkungan di wilayah hilir sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan,

87 95 maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air baik yang berasal dari DAS Citarum (Jasa Tirta II) maupun dari air tanah (ground water). Sehingga jelaslah bahwa untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air dan memperbaiki kondisi air, khususnya pada saat musim kemarau maka perlu dilakukan perbaikan lingkungan di Hulu DAS Citarum dan perbaikan lingkungan di wilayah hilir Persepsi Masyarakat terhadap Keluhan Air Pada persepsi terhadap keluhan air (Gambar 14), dibagi menjadi dua golongan persepsi yaitu persepsi berbau dan Keruh. Berdasarkan Gambar 14 persepsi untuk katergori Berbau sebesar 35% dan Keruh sebesar 65%. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi air tidak baik untuk dikonsumsi sehingga membuat persentase persepsi kedua kategori lebih tinggi. Dan untuk perbandingan dua persentase persepsi tersebut maka pada persepsi keruh lebih tinggi (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air di wilayah hilir secara kualitas dan kuantitas sangat buruk. Namun demikian persentase persepsi keruh lebih tinggi. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa kurangnya informasi kepada masyarakat bahwa air yang digunakan berasal dari DAS Citarum. Persentase persepsi tertinggi pada terletak pada persepsi keruh. Keadaan ini menunjukkan bahwa penyampaian informasi mengenai ketersediaan air dan kualitas air baik air yang berasal dari Hulu DAS Citarum maupun air tanah (ground water). Persepsi Terhadap Keluhan Air 35% 65% Berbau Keruh Gambar 14 Persentase Responden Persepsi terhadap Keluhan Air Persentase persepsi terhadap keluhan air yang cenderung buruk, hal ini menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan air minum mulai merasa buruknya kualitas air. Buruknya kualitas air bersih khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kualitas lingkungan di Hulu

88 96 maupun di hilir sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air bersih, maupun akan terjadi kualitas air yang lebih buruk lagi. Sehingga jelaslah bahwa untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air minum dan kualitas air yang lebih baik maka perlu dilakukan perbaikan lingkungan baik di Hulu DAS Citarum maupun di hilir sebagai daerah resapan air, khususnya pada saat musim kemarau Persepsi Masyarakat terhadap Peranan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan 30% Persepsi Terhadap Peranan Berperan Tidak Berperan 70% Gambar 15 Persentase Masyarakat Persepsi terhadap Peranan untuk Perbaikan Lingkungan. Berdasarkan Gambar 15 persepsi untuk ketersediaan air maka responden lebih memandang bahwa masyarakat Hulu tidak berperan untuk perbaikan lingkungan sebesar 30% dan Berperan sebesar 70%. Keadaan ini diasumsikan karena kurangnya informasi tentang jasa perbaikan lingkungan terhadap peranan masyarakat hulu untuk perbaikan lingkungan. Selain itu responden lebih memandang bahwa pemerintah lebih berperan dalam perbaikan lingkungan, dibandingkan dengan masyarakat hulu (Gambar 15). Pada persepsi masyarakat hulu tidak berperan menduduki urutan ke kedua, hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat hilir sebagai pengguna air masih mengganggap jasa perbaikan lingkungan masih rendah, sehingga mereka menganggap masyarakat hulu tidak berperan dalam perbaikan lingkungan Persepsi terhadap Kesetujuan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan Setelah responden mengetahui peranan masyarakat hulu dalam kegiatan perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu, maka responden ditanyakan kesetujuan dilakukan kegiatan perbaikan lingkungan. Secara umum responden

89 97 setuju untuk dilakukannya kegiatan perbaikan lingkungan (Gambar 16). keadaan ini dikarenakan responden semakin merasakan kurangnya ketersediaan air dan buruknya kualitas dan kuantitas air yang didapatkan dari pemerintah dan melalui pelayanan PDAM. Realitas ini juga menunjukkan apabila para masyarakat mengetahui peranan masyarakat hulu melalui informasi yang diberikan, sebenarnya akan terdapat partisipasi berupa kesetujuan dilakukan kegiatan perbaikan lingkungan. Persepsi Terhadap Kesetujuan 30.55% 69.45% Setuju Tidak Setuju Gambar 16 Persentase Persepsi Responden terhadap Kesetujuan untuk Perbaikan Lingkungan Responden lebih memandang bahwa masyarakat hulu berperan untuk perbaikan lingkungan sehingga mereka menyatakan setuju sebesar 69,45% dan tidak sebesar setuju 30,55% (Gambar 16), hal ini responden menganggap bahwa masyarakat hulu tidak berperan dalam perbaikan lingkungan. Hal ini diasumsikan juga karena kurangnya informasi mengenai jasa lingkungan terhadap peranan masyarakat Hulu dalam dalam perbaikan lingkungan. Selain itu responden lebih memandang bahwa pemerintah lebih berperan dalam perbaikan lingkungan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan membuat persentase persepsi lebih baik % Persepsi Terhadap Ketersediaan Air Buruk Baik 65.30% Gambar 17 Persentase Responden Berdasarkan Peranan Masyarakat Hulu Pada Gambar 17 dapat dilihat dua parameter untuk melihat peluang kemauan membayar, yaitu persepsi terhadap ketersediaan air dan persepsi

90 98 terhadap peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan. Berdasarkan Gambar 17 didapatkan bahwa semakin baik persepsi responden terhadap perbaikan lingkungan baik di hulu maupun di hilir maka akan semakin baik pula peluang kemauan dalam membayar. Begitu juga halnya dengan keadaan persepsi terhadap kesetujuan peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan. Responden yang menyatakan setuju terhadap peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan mempunyai peluang kemauan membayar yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak setuju terhadap peranan masyarakat hulu. Persepsi Terhadap Ketersediaan Air 38.00% Baik Buruk 62.00% Gambar 18 Persentase Peluang Kemauan Membayar Berdasarkan Kesetujuan Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa semakin baik persepsi resoponden terhadap ketersediaan air untuk memperbaiki kualitas air dan kuantitas air maka peluang kemauan membayar akan semakin baik. Selanjutnya dapat diartikan juga bahwa masyarakat hilir yang memandang setuju dilakukan perbaikan lingkungan maka peluang kemauan membayarnya akan semakin baik. 5.3 Hasil Analisis Kemauan Membayar Masyarakat (Willingness to Pay) Deskripsi Kemauan Membayar dan Nilai WTP Analisis kemauan membayar (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan pertama kali yang harus diketahui adalah jumlah responden yang mau membayar kompensasi atau mau memberikan insentif. Dalam penelitian ini, responden ditanyakan dan diberikan pilihan antara mau membayar atau tidak mau membayar konpensasi untuk perbaikan lingkungan baik.

91 99 Kemauan Membayar (WTP) 17% 83% Mau Membayar Tidak Mau Gambar 19 Persentase Responden yang Mau/Bersedia Membayar Pada Gambar 19 didapatkan persentase responden yang lebih besar mau membayar dibandingkan dengan tidak mau membayar kompensasi (Gambar 19). Keadaan ini memperlihatkan bahwa secara umum mayoritas responden mempunyai kepedulian yang tinggi untuk perbaikan lingkungan. Persentase responden yang menyatakan mau membayar sebesar 83% dan tidak mau sebesar 17%. Keadaan ini dikarenakan perbedaan kondisi sosial ekonomi yang berbeda dari setiap responden baik pelanggan rumah tangga dan non pelanggan rumah tangga. Berdasarkan karakteristik responden, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkatan umur, strata pendidikan, status rumah. Selain itu, responden yang mau/bersedia membayar kompensasi untuk jasa perbaikan lingkungan. Hal ini menunjukkan tingkat kepedulian masyarakat khususnya masyarakat Jakarta Timur terhadap kerusakan lingkungan lebih tinggi baik di Hulu maupun di Hilir. Secara keseluruhan berdasarkan data yang ada nilai rata-rata kemauan membayar (WTP) responden sebesar Rp.652,08 Hal ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggi. Gambar 20 Persentase Sebaran WTP

92 100 Secara khusus sebaran WTP masyarakat yang mau/bersedia membayar seperti pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 dapat dilihat bahwa pada tingkatan yang membayar untuk masyarakat pelanggan Rp.250,00 yang paling tinggi (18,33%), (38,33%), 1000,00 (21,67%), 1500,00 (11,67%), 2000,00 (8,33%), 2500,00 (1,67%), dan 3000,00 (0%), sehingga kemauan membayar masyarakat pelanggan rata-rata mau membayar tetapi nilai WTPnya sangat kecil, hal ini mungkin karena kondisi sosial ekonomi yang saat ini sedang menurun karena dengan adanya krisis moneter. Sedangkan untuk masyarakat non pelanggan Rp.250,00 (26,67%), Rp.500,00 (20,33%), Rp.1000,00 (6,67%), Rp.1500,00 (3,33%) Rp.2000,00 (6,67%), dan Rp.2500,00 (0,00%). Sedangkan yang tidak mau/tidak bersedia membayar adalah sebesar 17%. Pada tingkatan pembayaran yang paling banyak adalah 500, hal ini menunjukkan tingkat perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang beragam. Mayoritas responden yang mau membayar kompensasi terbanyak Rp.500,00, oleh karena ukuran ini merupakan ukuran terbaik buat masyarakat dalam jasa lingkungan karena terkait dengan tingkat pendapatan dan pengeluaran masyarakat Hasil Analisis Pelaksanaan Contingent Valuation Method (CVM) Hasil pelaksanaan 5 (lima) langkah CVM dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Pembentukan Pasar Hipotetik Berdasarkan pernyataan tentang kondisi air saat ini serta perbandingan kondisi air bila dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas air oleh jasa perbaikan lingkungan, maka Responden memperoleh gambaran tentang situasi hipotesis kondisi air Memperoleh Nilai Penawaran (Bids). Berdasarkan pertanyaan dan interval nilai yang ditawarkan dalam kuesioner, maka diperoleh jawaban atau pilihan responden tentang tawaran nilai berupa sejumlah uang yang mereka mau membayar (WTP) untuk peningkatan kualitas dan kuantitas air yang berlaku saat ini (lampiran). Tabel 17 menunjukkan hasil perhitungan statistik mengenai rata-rata, median dan standart deviasi dari nilai tengah WTP sampel dan variabel-variabel bebas lainnya di dalam fungsi.

93 101 Tabel 17 Hasil Perhitungan Statistik Variabel-Variabel Analisis Membayar(WTP) Sampel Penelitian Variabel Mean Median Std.Deviasi Nilai WTP (Y) (Rp/bln) 652,08 500,00 582,75 Persepsi Peranan Masyarakat Hulu 2, ,69 Pendidikan 3, ,59 Tanggungan Keluarga 3, ,21 Pendapatan perkapita(rp/kk/bln) 2,312, , , Jumlah Sampel (n) : 100 Sumber : Data primer diolah, Jika rata-rata nilai WTP ini ditambahkan dengan harga air saat ini maka WTP sebenarnya adalah Rp.1, /kk/bln atau 2 (dua) kali lebih besar. Bila jumlah ini dikalikan dengan rata-rata anggota keluarga yang berpartisipasi dalam jasa perbaikan lingkungan (2,07 orang) maka setiap keluarga keluarga sebenarnya memiliki WTP untuk jasa perbaikan lingkungan adalah Rp. 3,316.31/bulan. Jumlah ini ternyata masih besar jika pemerintah menaikan/memperhatikan kualitas dan kuantitas air berdasarkan hasil survei Menghitung Dugaan Rataan WTP (Expected WTP, EWTP) Dugaan rataan WTP (EWTP) dihitung dengan menggunakan rumus (1) berdasarkan data distribusi WTP sampel seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Distribusi WTP Sampel di atas Harga Air yang Berlaku. No Kelas WTP (Rp/Bln) Frekuensi Persentase (%) W i P fi ,00 6, ,00 18, ,00 12, ,00 9, ,00 13, ,00 2, ,00 0 Jumlah ,500 Sumber : Data primer diolah, Dari data di atas, maka diperoleh dugaan rataan WTP (EWTP) sampel sebesar Rp. 62,500.00/org/bulan di atas harga air yang berlaku saat ini.

94 Menentukan WTP Agregat atau WTP Total (TWTP) Tabel 19 menunjukkan hasil perhitungan WTP Agregat (TWTP) populasi masyarakat dengan menggunakan rumus (2) ternyata adalah sebesar Rp.36, /bln dibawah total pengeluaran untuk pembayaran jasa perbaikan lingkungan perbulan.wtp Agregat masyarakat di atas harga air saat ini atau surplus konsumen ini sebenarnya merupakan potensi pembiayaan yang masih dapat digali untuk pengembangan sumber-sumber air dan peningkatan kualitas dan kuantitas air. Tabel 19 WTP Agregat (TWTP) Populasi No Kelas WTP Sampel (Rp/org/Bln) (n) a) Populasi b) Jumlah c) (Rp/bln) WTP i (ni/n)p 1 374, ,14 45,367 47, , ,95 114, , , ,27 66,698 69, ,5 9 40,38 50,455 52, ,5 9 40,38 70,645 73, ,5 1 4,49 10,100 10, ,5 0 0, Jumlah N=100 P= ,142 36,080,618 Sumber : Data primer diolah, Keterangan : a) Jumlah sampel ( 22,30% dari populasi PJL) b) Jumlah populasi masyarakat c) Populasi x titik tengah WTP Menduga Kurva Penawaran Total (Bids Curve) Menurut Hufschmidt dalam Neti (1999) Kurva penawaran dapat digambarkan dari nilai Total WTP peserta. Maka WTP lebih tepat diukur berdasarkan permintaan Hicks (kurva permintaan terkompensasi) karena harga daerah dibawah kurva permintaan relevan untuk pengukuran kompensasi (Fauzi, 2004). Kurva penawaran total masyarakat berdasarkan data hasil survei kemauan membayar (WTP) di atas harga air yang berlaku dapat dilihat pada Gambar 21 di bawah ini. Dimana air sebagai salah satu bentuk barang publik maka kurva penawaran total yang diperoleh dari nilai WTP adalah merupakan pengganti kurva permintaan. Seluruh daerah di bawah kurva permintaan merupakan ukuran surplus konsumen atau manfaat total yang dirasakan konsumen dalam mengkonsumsi air sebagai jasa perbaikan lingkungan.

95 103 Gambar 21 Grafik Penawaran/Permintaan Total untuk Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Air Berdasarkan Kemauan Membayar (WTP) Mengevaluasi Pelaksanaan CVM. Menurut Whittington et al. (1993) tingkat keandalan nilai tawaran WTP dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) dari WTP. Nilai R 2 untuk data cross section dari survei WTP dengan metode CVM seringkali tidak tinggi seperti penelitian dengan metode lainnya. Pelaksanaan CVM dianggap gagal bila nilai R 2 hasil analisis kurang dari 0,150. Dari hasil analisis fungsi WTP diperoleh nilai R 2 = 0,7054. Nilai R 2 tersebut menunjukkan bahwa hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (reliable). 5.4 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap WTP Deskripsi Variabel Penelitian Pada fungsi WTP Pada analisis ini merupakan jawaban dari tujuan penelitian ke dua (2), yaitu mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fungsi WTP digunakan sampel responden atau KK yang mau membayar untuk perbaikan lingkungan yaitu sebesar 100 KK seperti halnya pada metode Contingent Valuation Method (CVM). Gambaran karakteristik dari 100 sampel tersebut dilihat dari tingkat pendidikannya tampak pada Gambar 22. Tingkat Pendidikan Responden 5% 32.00% 0% SD SMP SMA SARJANA 63.00% Gambar 22 Persentase Tingkat Pendidikan

96 104 Dari Gambar 22, jika dilihat dari tingkat pendidikan tampak bahwa sampel/kk memiliki karakteristik yang berbeda dengan sampel secara keseluruhan atau total sampel yaitu sebagian besar sampel hanya berpendidikan Sekolah Dasar yaitu sebesar 0% dan yang paling sedikit adalah Perguruan Tinggi (sarjana) yaitu sebesar 32%. Tetapi jika dihitung dari total sampel yang berpendidikan maka ternyata sebagian besar 83% memilih mau membayar. 10% Umur Responden 3% 46% 41% Gambar 23 Persentase Umur Dari Gambar 23, ternyata karakteristik umur juga memiliki perbedaan yang berbeda dari keseluruhan sampel yaitu sebagian besar adalah golongan usia produktif (30-50 tahun) dengan jumlah terbesar golongan umur tahun. Untuk range umur sampel adalah 31 tahun sampai dengan 50 tahun sehingga dapat dilihat bahwa sampel termuda 30 tahun ternyata tidak mau membayar sebesar 17%. Selanjutnya untuk jenis pekerjaan sampel pada Gambar 24. Pekerjaan Responden 20% 65% 15% PNS/TNI/POLRI Pdgng/Pgusaha K. Swasta Gambar 24 Persentase Jenis Pekerjaan Dari Gambar 24, ternyata untuk jenis pekerjaan sampel/ KK yang memilih mau membayar memiliki karakteristik yang berbeda dengan total sampel secara keseluruhan. Jenis pekerjaan terbanyak pada total 100 sampel adalah karyawan

97 105 swasta yaitu sebesar 65%, sedangkan jenis pekerjaan pedagang sebesar 15%. Sehingga hal ini dapat dlihat bahwa jenis pekerjaan yang punya kemauan membayar sangat besar adalah sebagai karyawan swasta yang diikuti dengn besarnya kemauan membayar Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar (WTP) Masyarakat Perkotaan tentang Jasa Perbaikan Lingkungan. Pada bagian ini disajikan nilai-nilai hasil pendugaan parameter persamaan regresi linear berganda willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan. Penyajiannya diawali dengan interpretasi hasil pendugaan parameter secara keseluruhan, yaitu kinerja umum persamaan struktural berdasarkan besaran koefisien determinasi (R 2 ), nilai uji F, Durbin Watson (DW), dan nilai uji t. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan interpretasi dan implikasi ekonomi tentang tanda dan besaran parameter dugaan serta nilai-nilai elastisitas. Sebelum pembahasan dilanjutkan, maka perlu diuji apakah terjadi penyimpangan dari asumsi persamaan regresi linear Gauss-Markov. Asumsiasumsi tersebut meliputi ada tidaknya multikolinieritas, homoskedastisitas, dan autokorelasi. Dari Tabel 23, ditunjukkan bahwa tidak ada peubah bebas yang mempunyai nilai VIF (Varian Inflation Factor) lebih besar dari 10, dan bahkan di bawah 5. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bila persamaan regresi linear berganda tersebut tidak mengalami multikolinieritas yang serius. Uji kedua dari asumsi Gauss-Markov adalah ada tidaknya autokorelasi dalam persamaan. Diperlukan uji DW untuk mendeteksi adanya autokorelasi. Berdasarkan perhitungan statistik, diketahui besarnya DW adalah 1,732. Nilai tersebut tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%, sehingga dapat disimpulkan bila persamaan regresi linear berganda tersebut tidak mengandung autokorelasi positif dan negatif. Untuk menguji apakah persamaan WTP melanggar asumsi homoskedastisitas atau tidak, maka dilakukan uji white test. Nilai uji white test sebesar 13,891, sedangkan nilai tabel chi-square sebesar 6,635. Oleh karena nilai uji white test lebih besar dari nilai Tabel Chi Square, maka asumsi homoskedastisitas tidak terpenuhi. Persamaan regresi linear berganda dalam penelitian tersebut terdapat

98 106 masalah heteroskedastisitas. Oleh sebab itu diperlukan perlakuan untuk mengoreksi pelanggaran asumsi homoskedastisitas. Pengkoreksian ini dilakukan dengan melakukan pembobotan, sehingga hasil pendugaan parameter yang terbebas dari heteroskedastisitas dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Willingness to Pay untuk Jasa Perbaikan Lingkungan. No. Nama Peubah Dugaan Parameter Standard Error t-hitung Sig. Elas tisitas 1. Intersep -1099, , ,115**** 0, Pendapatan (X 1 ) 0, , ,386 **** 0,0001 1, Umur (X 2 ) 7, , ,685*** 0,0955 0, Tanggungan keluarga (X 3 ) 45, , ,613** 0,1101-0, Pendidikan (D 1 ) 104, , ,929 0, Persepsi terhadap kesetujuan (D 2 ) -63, , ,612 0, Persepsi thdp ekspektasi (D 3 ) -51, , ,568 0, Persepsi thdp ketrsdiaan air (D 4 ) -167, , ,058**** 0, Persepsi keluhan air (D 5 ) -185, , ,004**** 0, Ekspektasi (D 6 ) -27, , ,350 0, Pekerjaan (D 7 ) 122, , ,343* 0, Pilihan air (D 8 ) 12, , ,182 0, Status rumah (D 9 ) 170, , ,651**** 0,0095 R 2 = 0,652, F-hitung = 17,250, DW = 1,716 Keterangan : **** : Berbeda nyata pada taraf α = 5 %. *** : Berbeda nyata pada taraf α = 10 %. ** : Berbeda nyata pada taraf α = 15 %. * : Berbeda nyata pada taraf α = 20 %. Setelah persamaan regresi linear berganda willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan memenuhi sebagai penduga paramater terbaik, maka selanjutkan dijelaskan goodness of fit persamaan. Dimulai dari besaran nilai uji statistik F yaitu 17,250 dan nyata pada taraf α = 0,0001. Artinya variasi peubahpeubah bebas dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah masing-masing peubah tidak bebasnya. Sedangkan berdasarkan pendugaan parameter persamaan dalam penelitian ini memberikan hasil yang cukup baik. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) adalah sebesar 0,652. Dengan demikian secara umum peubah-peubah bebas yang dimasukkan dalam persamaan penelitian ini mampu menjelaskan dengan cukup baik keragaman peubah-peubah tidak bebasnya sebesar 65,22%. Dan sebesar

99 107 34,785% peubah-peubah bebas lainnya yang mempengaruhi peubah tidak bebasnya tapi tidak dimasukkan dalam persamaan tersebut. Hasil uji statistik t yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa peubah bebas yang tidak signifikan atau berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebasnya pada taraf α = 0,05. Dalam penelitian ini taraf α yang digunakan cukup fleksibel, sehingga sebagian besar peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebasnya. Adapun taraf nyata yang digunakan adalah (****) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0,05, (***) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0,1, (**) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0.15, dan (*) untuk taraf nyata pada α sebesar Berdasarkan hasil dugaan tersebut, maka dapat disimpulkan bila persamaan regresi linear berganda tersebut cukup representatif dalam menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi willingness to pay jasa perbaikan lingkungan. Dari 12 peubah-peubah yang diperkirakan dapat mempengaruhi peubah WTP, terdapat 7 peubah bebas yang mampu menjelaskan dan nyata secara statistik mempengaruhi WTP. Adapun peubah-peubah tersebut adalah pendapatan (X 1 ), umur (X 2 ), tanggungan keluarga (X 3 ), persepsi terhadap ketersediaan air (D 4 ), persepsi keluhan air (D 5 ), pekerjaan (D 7 ), dan status rumah (D 9 ). Pendapatan rumah tangga menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi WTP. Peubah ini mempunyai koefisien dugaan parameter sebesar 0,001 dengan hubungan yang positif. Artinya apabila pendapatan rumah tangga naik sebesar Rp.10,000 per bulan, maka akan meningkatkan willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.15,47 per bulan, ceteris paribus. Dalam jangka pendek, peubah pendapatan rumah tangga responsif terhadap perubahan WTP untuk jasa perbaikan lingkunga, hal ini dikarenakan nilai elastisitas pendapatan terhadap WTP bersifat elastis. Sedangkan umur responden juga berpengaruh nyata secara statistik dan mempunyai hubungan yang positif. Artinya apabila ada pertambahan umur responden, maka akan meningkatkan kesadaran mereka dalam membayar jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.7,775 per bulan, ceteris paribus. Peubah umur tidak responsif terhadap perubahan WTP untuk jasa perbaikan lingkungan dalam jangka pendek.

100 108 Peubah lainnya adalah tanggungan keluarga. Walaupun secara statistik peubah ini adalah signifikan, dengan tanda parameter dugaan logis. Dengan bertambahnya tanggungan keluarga (orang), maka porsi pengeluaran rumah tangga akan difokuskan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan dasar pertambahan tanggungan keluarga tersebut. Tingkat kesejahteraan setiap rumah tangga juga mempengaruhi alokasi biaya tanpa melihat bertambahnya tanggungan keluarga. Oleh sebab itu dalam persamaan regresi linear berganda di atas mempunyai keterbatasan dalam mendefinisikan kategori keluarga responden yang tidak dibagi ke dalam kelas-kelas tertentu. Dianggap kondisi keluarga responden adalah dalam batas sejahtera dan mempunyai kesadaran terhadap lingkungan, sehingga logis apabila bertambahnya keluarga juga akan meningkatkan WTP. Apabila tanggungan keluarga bertambah 1 orang, maka akan meningkatkan WTP jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.45,984 per bulan, ceteris paribus. Peubah tanggungan keluarga adalah elastis, oleh sebab itu WTP responsif terhadap tanggungan keluarga dalam jangka pendek. Persepsi responden terhadap ketersediaan air juga turut mempengaruhi WTP. Berdasarkan hasil dugaan parameter, maka bila responden merasakan kualitas air PDAM dan juga air tanah buruk, maka akan menurunkan WTP sebesar Rp.167,713 per bulan, ceteris paribus. Kualitas air yang baik adalah tidak berasa, berbau, dan berwarna. Peubah keluhan responden terhadap kualitas air yang ditawarkan PDAM. Berdasarkan hasil dugaan parameter, maka apabila ada responden yang mengaku memiliki keluhan mengenai kualitas air bersih PDAM dan air tanah, maka diduga akan menurunkan kemauan membayar untuk jasa perbaikan air bersih sebesar Rp.185,455 per bulan. Hal ini menjadi relevansi yang logis, dimana rendahya kualitas air bersih akan membuat responden menurunkan kemauan membayarnya untuk jasa perbaikan lingkungan tersebut. Pekerjaan juga berkontribusi secara nyata dalam mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam kemauan membayar untuk jasa perbaikan lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari pendapatan keluarga dari pekerjaan yang dilakukan tersebut. Berdasarkan hasil pendugaan parameter, maka apabila responden memiliki

101 109 pekerjaan sebagai PNS, maka kesadaran membayar untuk jasa perbaikan lingkungan akan meningkat sebesar Rp.122,999 per bulan, ceteris paribus. Peubah bebas yang terakhir yang berpengaruh terhadap WTP adalah status rumah. Apabila status rumah responden adalah milik sendiri dan bukan sewa, maka terdapat peningkatan WTP sebesar Rp.168,245 per bulan, ceteris paribus. Hal ini terjadi karena status rumah sendiri memungkinkan untuk menghemat biaya-biaya lain, termasuk biaya sewa rumah, sehingga dapat dialokasikan untuk WTP. 5.6 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia. Analisis deskriptif ini, adalah perbandingan bentuk pilihan masyarakat akan sumber air bersih. Bentuk-bentuk pilihan ke-100 responden di tuangkan pada Gambar 22. Pilihan yang paling dominan di pilih responden adalah pilihan ke-3 (PDAM dan Sumur) sebesar 53,33%, lalu pilihan ke-2 (Sumur) sebesar 36,67% dan yang terkecil persentasenya adalah pilihan ke-1 (PDAM) sebesar 10,00%. Hal ini berhubungan dengan persepsi responden tentang kualitas dan kuantitas air PDAM, air sumur dan berbagai alasan maupun akibat yang ditimbulkan. Persepsi Masyarakat Terhadap Pilihan Sumber Air 10% 53.33% 36.67% PDAM Sumur PDAM/Sumur Gambar 25 Persentase Responden terhadap Bentuk Pilihan Sumber Air Bersih Persepsi Terhadap Kualitas Air PDAM Persepsi Terhadap Kuantitas Air PDAM 8.33% 0.00% 26.67% 37.50% 62.50% 65% Rendah Baik Tidak Tahu Rendah Baik Tidak Tahu a b Gambar 26 Persentase Responden Persepsi tentang Kualitas dan Kuantitas Air PDAM

102 110 Untuk variabel-variabel kualitatif yang digunakan, sebagian besar responden menyatakan bahwa kualitas air PDAM rendah sebesar 65,00%, sisanya menyatakan baik sebesar 26,67% dan tidak tahu sebesar 8,33% (Gambar 26 a ). Alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden yang menyatakan bahwa air PDAM berkuantitas keruh sebesar 62,5%, kotor sebesar 30,5% dan tidak tahu sebesar 0,00%, (Gambar 26 b ). Persepsi tentang kualitas air dalam penelitian ini hanya berdasarkan pada pandangan masyarakat dan dari data diperoleh bahwa tidak ada satupun responden atas kemauan sendiri untuk memeriksa air PDAM yang mereka terima atau pernah mengambil sampel air untuk di periksa. Dan perlu diketahui pula bahwa ada pelanggan PDAM yang menggunakan air PDAM untuk mencuci mobil dan menyiram maupun keperluan lain, hal ini terkait dengan kualitas dan kuantitas air PDAM. Sebagai informasi tambahan, hasil pemeriksaan kualitas air PDAM secara periodik (setiap triwulan) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta selaku badan pengawasan pada struktur organisasi PDAM menunjukkan bahwa kualitas air pada reservoir PDAM sebelum didistribusikan ke pelanggan adalah baik. Secara periodik setiap triwulan Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga melakukan uji laboratorium tentang kualitas air PDAM yang diterima 373,034 pelanggan PDAM Jaya yang ditentukkan secara acak. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa air PDAM yang diterima pelanggan berkualitas baik, hanya sekitar 1 sampai 2% pelanggan yang memperoleh air tercemar kuman atau bakteri akibat dari sanitasi disekitar tempat tinggal pelanggan tersebut kurang baik. Untuk variabel kualitatif persepsi tentang kualitas air sumur rendah di lingkungan tempat tinggal sebesar 29,17% dan baik sebesar 70,83%, tidak tahu sebesar 0,00% (Gambar 27 a ), sedangkan untuk kuantitas air sumur sebagian besar responden juga menyatakan baik sebesar 62,5% dan rendah sebesar 37,5 %, tidak tahu 0,00% (Gambar 27 b ). Pada Gambar 28 mengenai harapan atau ekspektasi yang diungkapkan oleh responden tentang akan adanya perbaikan yang akan dilakukan pemerintah atau PDAM, sebesar 69,17% menyatakan mempunyai harapan bahwa pada suatu saat pemerintah akan melakukan perbaikan kualitas dan kuantitas air yang didistribusikan dan tidak ada harapan sebesar 30,83%.

103 111 Persepsi Terhadap Kualitas Air Sumur Persepsi Terhadap Kuantitas Air Sumur 0.00% 29.17% 0.00% 37.50% 2.50% 70.83% Rendah Baik Tidak Tahu Rendah Baik Tidak Tahu a b Gambar 27 Persentase Responden terhadap Persepsi Kualitas dan Kuantitas Air Sumur Ekspektasi Untuk Perbaikan Lingkungan 30.83% 69.17% Tdk Ada Harapan Ada Harapan Gambar 28 Persentase Responden terhadap Harapan akan adanya Perbaikan oleh Pemerintah Tingginya persentase responden yang punya harapan berhubungan dengan pilihan mereka terhadap sumber air bersih, karena walaupun mereka mempunyai sumber air lain (sumur) dengan kualitas dan kuantitas air yang lebih baik dari air PDAM tetapi mereka tetap menjadi pelanggan PDAM. Meskipun demikian, ada pula pelanggan PDAM yang memiliki sumur dengan kualitas air rendah. Untuk kasus seperti ini, air sumur terpaksa digunakan atau dijadikan cadangan kalau air PDAM mati atau tidak mengalir. Dan ada pula pelanggan yang memakai air sumur sebagai kebutuhan air bersih daripada air PDAM Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kualitas Air PDAM. Untuk responden yang menyatakan kualitas air PDAM rendah (59 orang dari 100 orang), alasan yang paling banyak dikemukakan adalah Keruh sebesar 66,67% dan disusul dengan alasan berbau sebesar17,5% dan kotor sebesar15,83% (Gambar 29).

104 112 Alasan Terhadap Kualitas Air PDAM 17.50% 15.83% 66.67% Berbau Kotor Keruh Gambar 29 Persentase Responden terhadap Alasan yang Menyatakan Kualitas Air PDAM Rendah. Akibat yang paling.sering dirasakan dan dikemukankan oleh responden adalah Wadah air cepat kotor sebesar 25,83% dan sebelum dipergunakan air harus didiamkan dulu sebesar 54,17% agar diperoleh air yang jernih dan zat yang menimbulkan kekeruhan mengendap di dasar wadah. Ada noda melekat pada wadah yang sulit dibersihhan 20,00% dan akibat lainnya adalah pemborosan waktu dan tenaga karena lebih sering membersihkan wadah air (Gambar 30). 20% Akibat Rendahnya Kualitas Air PDAM 54.17% 25.83% Hrs Diendapkan Wdh Cpt Ktr Noda Melekat Gambar 30 Persentase Responden terhadap Akibat yang Dirasakan karena Rendahnya Kualitas Air PDAM Sedangkan jenis kekhawatiran yang paling banyak dikemukakan responden 34,17% adalah lama-kelamaan wadah air akan semakin kotor dan semakin sulit dibersihkan, disusul dengan kekhawatiran bahwa untuk waktu yang lama mungkin akan berpengaruh juga bagi kesehatan sebesar 65,83% (Gambar 31). Menurut pihak PDAM sebagai produsen. kekeruhan air PDAM dapat disebabkan oleh beberapa faktor. yaitu (1) akumulasi kekeruhan di pipa transmisi berdiameter 300 mm. (2) kebocoran pipa yang disebabkan oleh korosi karena sebagian besar pipa terbuat dari besi dan sudah berusia tua maupun aktifitas penggalian atau kegiatan lain baik secara sengaja atau tidak disengaja yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar pipa yang menimbulkan kerusakan pada pipa

105 113 PDAM. (3) tingkat kekeruhan air baku yang sangat fluktuatif dan dapat terjadi sewaktu-waktu diluar kendali yang disebabkan oleh curah hujan dan berhubungan dengan aktifitas-aktifitas di bagian Hulu DAS Citarum % Berbagai Jenis Kekhawatiran Terhadapnya Kualitas Air PDAM 65.83% Bhy bg Kesehatan Wdh Slt Dibrshkn Gambar 31 Persentase Responden terhadap Jenis Kekhawatiran yang Dikemukakan Responden atas Rendahnya Kualitas Air PDAM Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kuantitas Air PDAM Untuk kualitas air PDAM terdapat 75 dari 100 responnden yang menyatakan kuantitas air PDAM rendah. Alasan yang dikemukakan oleh responden yang berpendapat demikian dijelaskan dengan Gambar 32. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah karena debit air PDAM yang rendah sebesar 49,17%, lalu disusul dengan air yang tidak mengalir terus menerus dan jadwal mengalir tidak tentu sebesar 38,33% dan terkadang mati sebesar 12,50% (Gambar 32). Berbagai Alasan Terhadap Kualitas Air PDAM 12.50% 49.17% 38.33% Debit Air Rendah Air Mnglr Tdk Tnt Jdwl Tdk Tntu Gambar 32 Persentase Responden terhadap Alasan terhadap Kualitas Air PDAM Akibat yang paling dirasakan responden adalah kekurangan air sebesar 41,67%, sehingga perlu melakukan penghematan dan membutuhkan sumber air alternatif (membuat sumur), seluruh responden yang menyatakan air PDAM berkuantitas rendah mengemukakan kedua hal tersebut (Gambar 33).

106 114 Berbagai Jenis Akibat yang Dirasakan Terhadap Rendahnya Kualitas Air PDAM 41.67% 58.33% Kekurangan Air Mmrlkn Smbr Air Lain Gambar 33 Persentase Responden terhadap Akibat yang Dirasakan karena Rendahnya Kuantitas Air PDAM Dan kekhawatiran yang paling banyak dikemukakan adalah pada musim kemarau air PDAM akan makin sulit diperoleh, sehingga memerlukan sumber air lain sebesar 58,33%. Pihak PDAM menyatakan bahwa kuantitas air yang rendah disebabkan oleh (1). Masih rendahnya kapasitas produksi air. (2) Terbatasnya jaringan pipa distribusi dan (3). Distribusi air masih dengan sistem perpopaan sehingga air tidak mencapai tempat yang tinggi.

107 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Lingkungan DAS Citarum Hulu Secara Umum DAS Citarum adalah DAS utama di Jawa Barat yang memiliki luas 6,080 km 2 atau 608,000 ha, dengan sungai Citarum yang panjangnya 300 km. Sungai utama Citarum memiliki anak sungai berjumlah 36 dengan panjang sekitar 873 km, dan 3 Waduk besar yakni Saguling, Cirata dan Juanda (Kurniasi, 2002). Dalam perjalanannya sungai Citarum yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung dan bermuara di laut di laut Jawa, melewati 7 Kabupaten yakni Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Bekasi, Purwakarta dan Karawang, serta 2 kota yakni Bandung dan Cimahi yang kesemuanya berada dalam Propinsi Jawa Barat. DAS Ciatrum saat ini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa, dengan penyebaran 6 juta jiwa tinggal di bagian hulu DAS (dibagian atas waduk Saguling) dan sisanya tersebar di DAS bagian hilir. Sumberdaya lingkungan lahan DAS (SDLL-DAS) Citarum yang meliputi 6,080 km 2 608,000 ha, saat ini dimanfaatkan untuk pertanian seluas 170,832 ha (27,5 %), perkebunan 59,657 ha (9,6%), permukiman 76,777 ha (12,3%), hutan 88,271 ha (14,2 %), perikanan/kolam/tambak 35,892 ha (5,8%), serta lain-lain yang berupa tanah kosong, padang rumput dan rawa ha (30,6%). Sumberdaya lingkungan perairan DAS (SDLP-DAS) Citarum berupa (masa) air yang ada di sungai Citarum dan waduk-waduknya di manfaatkan sebagai sumber air untuk irigasi/pertanian, air baku, air minum, perikanan, air baku industri, pengendali banjir dan pembangkit listrik tenaga air (Sk Gubernur Jawa Barat No.39 Tahun 2001) SDLP-DAS Citarum tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah DAS Citarum saja, namun juga dimanfaatkan juga oleh masyarakat diluar DAS Citarum, seperti masyarakat DKI Jakarta sebagai bahan baku air minum, dan masyarakat Jawa dan Bali sebagai PLTA (Kurniasi, 2002). 4.2 Kondisi Umum Kerusakan Lingkungan di DAS Citarum Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan suatu kesatuan wilayah spesifik, dipengaruhi oleh faktor biofisik (relief, topografi, fisiografi, iklim, tanah. air, dan vegetasi/penggunaan lahan) dan faktor manusia (ditentukan oleh jumlah,

108 65 penyebaran, tingkat pertumbuhan/pertambahan, profesi, dan tingkat pendidikan). Hubungan timbal-balik antara kedua faktor tersebut akan menentukan tingkat keseimbangan ekologis di kawasan suatu DAS. Sumberdaya lahan di dalam suatu kawasan DAS merupakan sumberdaya alam yang terbatas ketersediannya; sedangkan laju pembangunan di semua sektor semakin meningkat dan akan berakibat terjadinya (perebutan) penggunaan sumberdaya lahan yang terbatas tersebut. Di samping itu, sebagian besar kawasan DAS di lndonesia saat ini telah atau mulai mengalami kerusakan/degradasi yang disebabkan oleh beberapa penyebab, khususnya : (1). Penggunaan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak sesuai dengan potensi dan tingkat kesesuaiannya, (2). Penggunaan sumberdaya lahan tidak/kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi, dan (3). Ketidak seimbangan antara pemanfaatan sumberdaya lahan untuk berbagai tujuan dengan wilayah-wilayah yang harus dipertahankan sebagai daerah penyangga bagi ekologi dan hidrologi kawasan DAS yang bersangkutan. Akibat kerusakan/degradasi sumberdaya lahan tersebut antara lain : banjir periodik, erosi, kekeringan, lahan kritis, dan kelaparan/rawan pangan. DAS Citarum merupakan salah satu DAS di Pulau Jawa yang oleh Departemen Kehutanan (1985) tergolong dalam DAS prioritas yang perlu segera ditangani untuk konservasi dan rehabilitasinya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa pertimbangan keadaan di kawasan DAS tersebut, antara lain : 1. Di kawasan DAS Citarum banyak dijumpai lahan yang sudah tergolong kritis. 2. Di kawasan tersebut terdapat bendungan-bendungan vital untuk pengairan dan sumber tenaga listrik (Bendungan Jatiluhur, Saguling, dan Cirata). 3. Kecepatan pembangunan non-pertanian yang sedikit banyak berpengaruh sekali terhadap makin menyempitnya. lahan-lahan pertanian produktif. Terjadinya kerusakan lingkungan di bagian Hulu DAS Citarum yang ada sebagian besar disebabkan oleh adanya proses degradasi lahan. Degradasi lahan tersebut mengakibatkan kemunduran produktivitas secara perlahan atau cepat, baik sementara maupun tetap sehingga pada suatu saat sampai pada tingkat kekritisan tertentu. Proses degradasi lahan yang sering mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air (dapat dilihat secara visual) 16, dan pemasaman tanah pada kasus ini hanya justifikasi penulis, tidak didasarkan dari

109 66 hasil analisis laboratorium. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan adalah pergerakkan penduduk sehingga penggunaan lahan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan maupun pengelolaan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi yang menyebabkan terjadi erosi. (hujan yang tinggi terletak pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl), jenis tanah (Andosol yang sangat remah sehingga jika dibuka peluang terjadinya erosi semakin tinggi), topografi dengan rata-rata kecuraman lereng diatas 25%, vegetasi (tipe penggunaan lahan, sistim pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi), dan manusia (sosial, ekonomi, teknologi/agroteknologi). Tabel 7 Penggunaan Lahan di Wilayah DAS No Jenis Penggunaan Lahan DAS Citarum DAS Ciliwung DAS Cisadane (ha) (ha) (ha) 1. Hutan Primer 63, , , Hutan Sekunder 10, ,01 3. Kebun Campuran 122, , , Ladang/Tegalan 85, , , Perkebunan 134, , , Sawah 178, , , Sungai/waduk 23, , Tambak Tanah Kosong 2,828,4 115,1 140,3 Luas 706, , ,483.2 Sumber: PJT II (2003) Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa luas lahan hutan sebagai area tangkapan air di wilayah DAS Citarum hanya lebih kurang 73,935 ha atau 10,46 persen dari luas DAS Keseluruhan dan 12% dari luas hutan Jawa Barat (615,772 ha), sedangkan luas lahan kritisnya adalah 59,485.6 ha. Berarti sebesar 80,46 persen lahan hutan di wilayah DAS Citarum sudah tergolong kritis. Oleh karena terjadinya fluktuasi debit air yang tajam di aliran sungai Citarum, yang mengakibatkan terjadinya defisit penawaran air di hilir. Hal ini sejalan dengan penetapan DAS kritis oleh pemerintahan Jawa Barat yang mengkategorikan DAS Citarum sebagai DAS yang tergolong kritis di Jawa Barat. Gambar 3 Penggunaan Tataguna Lahan di Hulu DAS Citarum.

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS terbesar di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas 11.44 ribu kilometer persegi. Curah hujan tahunan 3 ribu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelangkaan Sumberdaya Air Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu penyebab pemanfaatan berlebihan yang dilakukan terhadap sumberdaya air. Selain itu, berkurangnya daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi serta perubahan struktur sosial ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam dan jasa lingkungan merupakan aset yang menghasilkan arus barang dan jasa, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang, baik sektor pendidikan, ekonomi, budaya, dan pariwisata. Hal tersebut tentunya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang terpenting di negara kita, karena sebagian besar warga Indonesia bermatapencaharian sebagai petani, namun juga sebagian besar warga miskin

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan isu terkini yang menjadi perhatian di dunia, khususnya bagi negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kedua fenomena tersebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hubungan antara manusia dengan lingkungan adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan pada gilirannya akan mempengaruhi manusia. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Modul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air

Modul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air vii B Tinjauan Mata Kuliah uku ajar pengelolaan sumber daya air ini ditujukan untuk menjadi bahan ajar kuliah di tingkat sarjana (S1). Dalam buku ini akan dijelaskan beberapa pokok materi yang berhubungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

Rencana Strategis

Rencana Strategis - PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota - PP Nomor 42/2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan barang ultra essential bagi kelangsungan hidup manusia. Tanpa air, manusia tidak mungkin bisa bertahan hidup. Di sisi lain kita sering bersikap menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang berfungsi sebagai daerah resapan, daerah penyimpanan air, penampung air hujan dan pengaliran air. Yaitu daerah dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI 63 BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI 7.1 Dampak Ekologi Konversi lahan pertanian ke pemukiman sangat berdampak negatif terhadap ekologi. Secara ekologis, perubahan telah terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat air bagi kehidupan kita antara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor yang..., Muhammad Fauzi, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor yang..., Muhammad Fauzi, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi OTONOMI DAERAH Otda di Indonesia dimulai tahun 1999 yaitu dengan disyahkannya UU No.22 thn 1999 ttg Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan dengan UU No.32 thn 2004. Terjadi proses desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu ekosistem memiliki peran yang penting dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG POLA INDUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan perkembangan teknologi saat ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan permukiman sedangkan

Lebih terperinci