Geologi, Stratigrafi, dan Evolusi Tektonik Daerah Papua, Indonesia: Potensi Sumber Daya dan Kebencanaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Geologi, Stratigrafi, dan Evolusi Tektonik Daerah Papua, Indonesia: Potensi Sumber Daya dan Kebencanaan"

Transkripsi

1 Geologi, Stratigrafi, dan Evolusi Tektonik Daerah Papua, Indonesia: Potensi Sumber Daya dan Kebencanaan Adi Fantri Sandhie N., Aditya Setiabudi, Ahmad Muayyid, Alfajry, An Ikhrandi, Arnold Sintong O. T., Bayu C. Fadhilla, M. Adib S. B., Astin Nurdiana, Rheza Rilo P., Rifqi Aulia Rahman, Rizky Budiman, Tika Puspyta, Wilsen Supriady Lauwijaya, dan Vani Novita A. Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung, Indonesia Abstrak Papua adalah pulau yang berada di timur wilayah Negara Kepulauan Republik Indonesia, secara administratif terletak pada posisi BT BT dan LS LS. Papua terbentuk akibat dari interaksi yang bersifat konvergen miring (oblique convergence) antara Lempeng Benua Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik-Caroline. Konvergensi yang terjadi sejak Eosen hingga kini menimbulkan produk berupa dua tahapan kolisi yang terjadi pada Kala Oligosen (Orogenesa Peninsula) dan dikuti kolisi yang terjadi pada Miosen (Orogenesa Melanesia). Stratigrafi Pulau Papua meliputi sikuen batuan-batuan Pra-Kambrium hingga endapan Kuarter yang masing-masing tersingkap dari bagian Kepala hingga Badan Burung. Evolusi tektonik yang berlangsung selama Mesozoikum Akhir hingga Kini menyebabkan struktur geologir yang beragam pada Pulau Papua, contohnya adalah Sesar Sorong, Antiklin Misool-Onin Kumawa, dan Jalur Sesar Naik Pegunungan Tengah. Evolusi tektonik yang terjadi tidak hanya menimbulkan struktur geologi, namun juga beberapa fase magmatisme di sepanjang Pegunungan Tengah Pulau Papua. Berdasarkan peristiwa-peristiwa geologi yang terjadi, Pulau Papua menyimpan banyak potensi yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan. Potensi-potensi tersebut berupa potensi migas, potensi tambang, dan potensi kebencanaan, Potensi migas tersebar pada cekungan-cekungan dewasa, cekungan semi-mature, dan cekungan frontier pada Pulau Papua. Potensi tambang yang terkenal di Pulau Papua adalah Tambang Grasberg. Sedangkan, potensi bencana alam Pulau Papua umumnya tersebar pada zona-zona sebar dengan bahaya bencananya berupa gempa bumi, tsunami, dan longsor. Kata Kunci Papua, Sesar Sorong, Kemum, Salawati, Bintuni, Lempeng Indo-Australia, Orogenesa Melanesia, Grasberg Pendahuluan Papua adalah pulau yang berada di timur wilayah kepulauan Indonesia. Bersama dengan Papua Nugini, pulau ini merupakan pulau terbesar kedua di dunia, sekaligus merupakan pulau yang mempunyai puncak tertinggi di Asia Tenggara dan Australia, yaitu Puncak Jayawijaya (4.884 dpl). Keadaan geologi Papua cukup kompleks, hal ini diakibatkan perkembangan geologi Papua pada Kenozoikum yang melibatkan aktivitas konvergensi antara Lempeng Australia di bagian 1

2 selatan-tenggara dan Lempeng Pasifik di bagian utara-barat laut, serta orogenesa yang terjadi di sepanjang bagian tengah Pulau. Di pulau ini, hadir singkapan batuan dari umur Pra-Kambrium hingga Pleistosen. Fisiografi Pulau Papua Pulau Papua secara administratif terletak pada posisi BT BT dan LS LS. Pulau ini terletak di bagian paling timur Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Irian Jaya (sekarang Papua) merupakan ekspresi permukaan dari batas utara deformasi blok kontinen Australia dan Lempeng Pasifik. Secara fisiografi, van Bemmelen (1949) telah membagi Papua menjadi 3 bagian utama (Gambar 1), yaitu: a. Bagian Kepala Burung, yaitu bagian semenanjung di sebelah utara yang terhubung dengan bagian badan utama oleh bagian leher yang menyempit. Bagian ini terletak pada koordinat BT BT. b. Bagian Tubuh Burung, merupakan bagian daratan utama Pulau Papua yang didominasi oleh struktur berarah barat-baratlaut pada daerah Central Range. Bagian ini terletak pada koordinat BT 143,5 0 BT. c. Bagian Ekor Burung, terletak pada bagian timur New Guinea Island. Bagian ini terletak pada koordinat 143,5 0 BT BT. Tatanan Tektonik Papua Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif. Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik- Caroline bergerak ke barat-baratdaya dengan kecepatan 7,5 cm/th, sedangkan Lempeng Benua Indo-Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 10,5 cm/th (Gambar 2). Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan struktur kompleks terhadap Papua Barat (Papua), yang sebagian besar dilandasi kerak Benua Indo-Australia. Kompresi ini hasil dari interaksi yang bersifat konvergen miring (oblique convergence) antara Lempeng Benua Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik-Caroline (Dow dan Sukamto, 1984) (Gambar 3). Konvergensi tersebut diikuti oleh peristiwa tumbukan yang bersifat kolisi akibat interaksi pergerakan antara busur kepulauan dengan lempeng benua yang terjadi selama Zaman Kenozoikum (Dewey & Bird, 1970; Abers & McCafferey, 1988 dalam Sapiie, 1998). Interaksi kolisi ini pergerakannya hampir membentuk sudut 246 terhadap Lempeng Australia (Quarles van Ufford, 1996 dalam Sapiie, 1998). Visser dan Hermes (1966; Dalam Darman dan Sidi, 2000) berpendapat bahwa kejadian kolisi terjadi pada Oligosen setelah pengendapan sedimen karbonat yang berubah menjadi pengendapan sedimen klastik akibat proses pengangkatan. Batuan metamorf yang hadir di kawasan ini memberikan umur proses kolisi terjadi pada Miosen (Pigram dkk., 1989 dalam Darman dan Sidi, 2000). Dow dkk. (1998; dalam Darman dan Sidi, 2000) menyimpulkan bahwa Papua merupakan produk dari dua kolisi yang terjadi pada Kala Oligosen (Orogenesa Peninsula) dan dikuti kolisi yang terjadi pada Miosen (Orogenesa Melanesia). Orogenesa Peninsula bersifat lokal dan terjadi pada bagian timur Pulau New Guinea, sedangkan Orogenesa Melanesia bersifat regional dan berpengaruh terhadap seluruh Pulau new Guinea serta menyebabkan penyebaran sedimentasi klastik secara luas. Van Ufford (1996) dalam Sapiie (1998) membagi orogenesa ini menjadi 2 tahap, yaitu tahap pra-kolisi dan tahap kolisi. Tahap pra-kolisi diawali oleh penunjaman Lempeng Benua Australia ke bawah Lempeng Samudera pasihik sehingga terjadi pengangkatan 2

3 endapan passive margin Lempeng benua Australia dan terjadi proses malihan regional akibat aktivitas penunjaman ini. Setelah itu, terjadi tahap kolisi yang diawali dengan berhentinya proses penunjaman lempeng ketika menumbuk batuan alas. Perbedaan daya apung lempeng menyebabkan pengangkatan secara vertikal batuan sedimen Lempeng Australia dan juga penipisan lempeng. Penipisan lempeng mengakibatkan magma astenosfer dapat menerobos hingga puncak Kompleks Pegunungan Tengah Papua (Central Range). Menurut Cloos dkk. (1994; dalam Sapiie, 1998), proses inilah yang menyebabkan adanya proses magmatisme dan aktifitas volkanisme yang menunjukkan adanya produk berupa batuan beku dengan ciri khasi afinitas magmatik yang berbeda. Geologi Regional Papua Dow dkk. (1986) membagi geologi Papua menjadi 3 lajur berdasarkan stratigrafi, magmatik, dan tektoniknya (Gambar 3), yaitu : 1. Kawasan Samudera Utara yang dicirikan oleh ofiolit dan busur vulkanik kepulauan (Oceanic Province) sebagai bagian dari Lempeng Pasifik. Batuan-batuan ofiolit pada umumnya tersingkap di sayap utara Pengunungan Tengah Papua dan Papua Nugini (Northeastern Islands). 2. Kawasan Benua yang terdiri atas batuan sedimen yang menutupi batuan dasar kontinen yang relatif stabil dan tebal yang terpisah dari kraton Australia (Southwest Cratonic Zone). 3. Lajur peralihan yang terdiri atas batuan termalihkan (metamorf) dan terdeform-asi sangat kuat secara regional. Lajur ini terletak di tengah (Central Range) dan memisahkan kelompok 1 terhadap kelompok 2 dengan batas-batas sesar-sesar sungkup dan geser (Central Collisional Zone). Dow dkk. (1986) juga menjelaskan ciri dominan dari perkembangan geologi Papua yang merupakan transformasi antara sejarah tektonik dari batuan kraton Australia dan Lempeng Pasifik di satu sisi, dan periode tektonik yang berlanjut dari zona deformasi di sisi lainnya (New Guinea Mobile Belt). Dari paparan di sepanjang tepi Utara dan dari eksplorasi bawah permukaan di sebelah Selatan, serta pencatatan lengkap sejarah geologi hingga saat ini menunjukkan bahwa batuan dari kraton Australia pada sebagian besar wilayah ini dicirikan oleh sedimentasi paparan (shelf sedimentation). Hanya sebagian kecil yang dipengaruhi oleh proses tektonik dari zaman Paleozoik Awal hingga Tersier Akhir. Batuan Lempeng Pasifik yang terpaparkan di Papua berumur lebih muda. Davies dkk. (1996) membagi geologi Papua berdasarkan tektoniknya (gambar 2). Stratigrafi Regional Papua Secara umum, stratigrafi regional Papua dapat dibagi menjadi 3 bagian (Gambar 4) berdasarkan keadaan fisiografisnya yang menyerupai bentuk burung, yaitu stratigrafi bagian Kepala Burung, bagian Leher Burung, dan bagian Badan Burung. Batuan Pra-Tersier pada bagian Kepala Burung merupakan batuan dasar yang termasuk dalam sikuen turbidit Formasi Kemum berusia Silur- Devon. Formasi ini terdiri dari batuserpih, greywacke, dan klastik kasar yang terepimetamorfosa, terlipat, dan terintrusi oleh tubuh granitik (pluton) selama orogenesa pasca-devon. Pada bagian Badan Burung hadir batuan-batuan Pra-Kambrium, dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda yaitu Formasi Awigatoh (metabasalt, metavulkanik, batuserpih, dan batulempung). Formasi Kariem (perulangan batupasirbatulempung) dan Formasi Tuaba (batupasir kuarsa sisipan konglomerat). Masing-masing formasi tersebut memiliki hubungan tak selaras. Di atas batuan Pra-Kambrium terendapkan 3

4 Formasi Modio berumur Silur-Devon yang didominasi batuan karbonat (anggota A) dan batupasir (anggota B). Kelompok Aifam pada bagian Kepala dan Leher Burung secara tak selaras menumpangi batuan dasar, dan terpengaruhi oleh siklus transgresifregresif pada Karbon Atas-Permian Atas. Kelompok terbagi menjadi 3 formasi, dari tua ke muda yaitu Formasi Aimau, Aifat, dan Ainim yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal di bagian bawahnya hingga lingkungan fluviodeltaik ke arah atas. Formasi Aiduna pada bagian Badan Burung berumur setara dengan Kelompok Aifam, dicirikan oleh batuan siliklastik berlapis dengan sisipan batubara, ditafsirkan sebagai endapan fluvial hingga lingkungan delta. Regresi yang berlanjut hingga Trias menyebabkan terendapkannya Formasi Tipuma. Formasi Tipuma (Trias-Jura Awal) diendapkan pada lingkungan fluvial selama periode rifting kerak benua. Formasi Tipuma tersebar dari bagian Kepala Burung hingga Badan Burung Papua Di atas Formasi Tipuma, secara tak selaras terendapkan Formasi Jass di bagian Kepala Burung yang menjari terhadap Kelompok Kembelangan yang masing-masing berumur Jura- Kapur. Formasi dan kelompok ini menandakan perubahan lingkungan menjadi passive margin dengan ciri khas sedimen laut. Formasi Waripi yang melapisi Formasi Jass dan Kelompok Kembelengan menandakan perubahan klastikpra- Tersier menjadi sikuen karbonat Tersier. Sikuen karbonat berumur Eosen-Miosen terdiri dari 3 formasi, dari tua ke muda yaitu Formasi Faumai, Sago, dan Kais yang tergabung dalam Batugamping New Guinea. Formasi tersebut mencirikan lingkungan pengendapan paparan karbonat pada laut dangkal. Batugamping Formasi Yawee di bagian Badan Burung menjari terhadap konglomerqat Formasi Iwur dan Formasi Akimeugah. Pada Pliosen Awal, aktivitas tektonik aktif mempengaruhi cekungan-cekungan di area kepala burung, menyebabkan terendapkan-nya Formasi Klasaman pada Cekungan Salawati dan Formasi Steenkol pada Cekungan Bintuni, masing-masing me-wakili lingkungan laut dan transisi. Pada Formasi Klasaman dijumpai batulempung laut dalam dan batugamping, sedangkan di Formasi Steenkol dijumpai batubara. Formasi Buru hadir tak selaras di atas Formasi Kais pada wilayah Kepala Burung, terdiri dari batuan siliklastik. Dan di beberapa tempat ditemukan endapan Mollase berumur resen yang tak selaras terhadap Formasi Buru. Peristiwa tektonik Pliosen Akhir-Pleistosen Awal mengakibat-kan hadirnya ketidakselarasan dan terendapkannya konglomerat Formasi Sele di wilayah Kepala Burung. Struktur Regional Papua Secara umum struktur regional Papua dapat dibagi menjadi 3 zona struktur (Gambar 5), yaitu: 1. Kepala Burung: didominasi oleh struktur sesar berarah Barat-Timur. 2. Leher Burung: didominasi oleh struktur berarah Utara- Barat Laut (Jalur Perlipatan Lengguru, LFB), yang berhenti pada tinggian Kemum pada daerah Kepala Burung. 3. Tubuh Burung: didominasi oleh struktur berarah Barat-Barat Laut sepanjang Central Range (Jalur Mobil Nugini). Diakhiri oleh sesar mendatar dengan arah Barat-Timur (Zona Sesar Tarera-Aiduna, TAFZ) pada Leher Burung. Sistem Sesar Sorong memanjang dari daratan Irian Jaya bagian utara yang mengikuti garis pantai melewati Selat Sele dan bagian utara Pulau 4

5 Salawati. Lebarnya sampai 10 km dan berarah barat-baratdaya. Sistem sesar itu berkembang sebagai hasil proses yang sangat rumit. Strike-slip dan sesar normal berkembang di sepanjang bidang sesar yang terputus-putus. Sungai Warsamson yang berarah timur-barat dan perbukitan sempit yang memanjang di utaranya dipengaruhi oleh sesar dan merupakan batas selatan struktur tersebut. Sistem Sesar Sorong (gambar randang) merupakan strike-slip bergerak mengiri sebagai hasil interaksi antara Lempeng Australia-India di selatan dan lempeng-lempeng di sebelah utara (Visser & Hermes, 1962; Hamilton, 1979; Dow & Sukamto, 1984; Pieters dkk, 1983). Pergerakan Sesar Sorong ditunjukkan oleh kehadiran struktur yang relatif tegak dan menyamping dan jenis batuan yang memiliki sejarah geologi yang berbeda-beda. Pergerakan Sesar Sorong yang terjadi di sepanjang Sistem Sesar Sorong itu kemungkinan berlangsung dari Miosen Akhir sampai Pliosen dan setelah itu terjadi pensesaran disertai pengangkatan wilayah bagian utara dan timur Kepala Burung pada kala Pliosen dan Kuarter. Pada bagian timur Kepala Burung, hadir Sesar Yapen sebagai kemenerusan dari Sesar Sorong. Blok Kemum adalah bagian dari tinggian batuan dasar, dibatasi oleh Sesar Sorong di utara dan Sesar Ransiki di timur. Dicirikan oleh batuan metamorf, pada beberapa tempat diintrusi oleh granit Permo-Trias. Batas selatannya dicirikan oleh kehadiran sedimen klastik tidak termetamorfosakan berumur Paleozoikum - Mesozoikum dan batugamping - batugamping Tersier (Pigram dan Sukanta, 1981; Pieters dkk., 1983). Pada bagian timur Blok Kemum dibatasi oleh Jalur Lipatan Anjakan Lengguru. Jalur Lipatan Anjakan Lengguru berarah baratdaya-tenggara diperlihatkan oleh suatu seri bentukan ramps dan thrust. Di bagian selatannya, jalur ini terpotong oleh Zona Sesar Tarera-Aiduna (Hobson, 1997). Intensitas perlipatan Lipatan Anjakan Lengguru cenderung melemah ke arah utara zona perlipatan dan meningkat kearah timur laut yang berbatasan dengan zona Sesar Wandemen (Dow dkk., 1984). Zona Sesar Wandaman pada arah selatantenggara, merupakan jalur sesar yang dibatasi oleh batuan metamorf dan merupakan kelanjutan dari belokan Sesar Ransiki ke utara. Geologi daerah Zona Sesar Wandamen terdiri dari batuan alas berumur Paleozoikum Awal, batuan penutup paparan dan batuan sediment yang berasal dari lereng benua. Zona Sesar Tarera-Aiduna merupakan zona sesar mendatar mengiri di daerah selatan Leher Burung. Jalur Lipatan Anjakan Lengguru secara tiba-tiba berakhir di zona berarah barat-timur ini. Sesar ini digambarkan (Hamilton, 1979 dalam Pigram dkk., 1982) memotong Palung Aru dan semakin ke barat menjadi satu dengan zona subduksi di Palung Seram. Pada bagian barat daya leher, terdapat Antiklin Misol-Onin- Kumawa yang merupakan bagian antiklinorium bawah laut yang memanjang dari Peninsula Kumawa sampai ke Pulau Misool (Pigram dkk., 1982). Jalur Sesar Naik New Guinea (JSNNG) hadir di daerah tengah-selatan badan burung. Jalur ini melintasi seluruh zona yang ada di daerah sebelah timur New Guinea yang menerus kearah barat dan dikenal sebagai Jalur Sesar Naik Pegunungan Tengah (JSNPT). Zona JSNNG-JSNPT merupakan zona interaksi antara lempeng Australia dan pasifik. Zona JSNPT dibatasi oleh sesar yapen, sesar sungkup mamberamo di utara. Batas tepi barat oleh sesar benawi torricelli dan di selatan oleh sesar naik foreland. Sesar terakhir yang membatasi JSSNG ini diduga aktif sebelum Orogen Melanesia. Sesar sungkup JSNPT dihasilkan oleh gaya pemampatan yang sangat intensif dan kuat dengan komponen utama berasal dari arah utara. Gaya ini 5

6 juga menghasilkan beberapa jenis antiklin dengan kemiringan curam bahkan sampai mengalami pembalikan (overtuning). Proses ini juga menghasilkan sesar balik yang bersudut lebar (reserve fault). Penebalan batuan kerak yang diduga terbentuk pada awal pliosen ini memodifikasi bentuk daerah JSNPT. Periode ini juga menandai kerak yang bergerak ke arah utara.membentuk sesar sungkup Mamberamo (Mamberamo Thrust Belt) dan mengawali Gautier Offset. Evolusi Tektonik dan Sejarah Geologi Papua Pembentukan Pulau Papua telah banyak didiskusikan oleh para ahli geologi dan mendapat perhatian yang cukup besar karena geologinya yang kompleks tersebut. Pada mulanya pulau Papua merupakan dasar lautan Pasifik yang paling dalam. Awal terpisahnya benua yang mencakup Papua di dalamnya (Benua Australia) terjadi pada masa Kapur Tengah (kurang lebih 100 juta tahun yang lalu). Lempeng Benua India-Australia (atau biasa disebut Lempeng Australia) bergerak ke arah Utara keluar dari posisi kutubnya dan bertubrukkan dengan Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah Barat. Pulau Papua merupakan pulau yang terbentuk dari sedimentasi dengan masa yang panjang pada tepi utara kraton Australia yang pasif dimulai pada Zaman Karbon sampai Tersier Akhir. Lingkungan pengendapan berfluktuasi dari lingkungan air tawar, laut dangkal, sampai laut dalam dan mengendapkan batuan klastik kuarsa, termasuk lapisan batuan klastik karbonat, dan berbagai batuan karbonat yang ditutupi oleh Kelompok Batugamping New Guinea berumur Miosen. Ketebalan urutan sedimentasi ini mencapai lebih dari meter. Selain itu, Papua juga terbentuk berdasarkan pertumbukan yang dihasilkan dari interaksi konvergen kedua lempeng yaitu Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia, dijelaskan bahwa Lempeng Pasifik mengalami subduksi sehingga lempeng ini berada di bawah Lempeng Australia. Pada saat dimulainya gerakan ke utara dan rotasi dari benua super ini, seluruh Papua dan Australia bagian utara berada di bawah permukaan laut. Bagian daratan paling Utara pada Lempeng India- Australia antara juta tahun lalu berada pada 48⁰ Lintang Selatan yang merupakan titik pertemuan Lempeng India-Australia dan Pasifik. Ketika Lempeng India-Australia dan Lempeng Pasifik bertemu di sekitar 40 juta tahun lalu, Pulau Papua mulai muncul di permukaan laut pada sekitar 35⁰ Lintang Selatan, dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa subduksi antara ke-2 lempeng tersebut telah menyebabkan endapan Benua Australia terangkat sehingga memunculkan Pulau Papua (Gambar 6). Proses ini berlanjut selama masa Pleistosen hingga Pulau Papua terbentuk seperti sekarang ini. Proses pengangkatan ini berdasarkan skala waktu geologi, kecepatannya adalah 2,5 km per juta tahun. Apabila dijabarkan berdasarkan periodeperiodenya, maka aktivitas tektonik penting yang menjadi cikal bakal Papua saat ini terjadi melalui beberapa tahap (Gambar 6), yaitu : 1. Pada Kala Oligosen terjadi pergerakan tektonik besar pertama di Papua, yang merupakan akibat dari tumbukan Lempeng Australia dengan busur kepulauan berumur Eosen pada Lempeng Pasifik. Hal ini menyebabkan deformasi dan metamorfosa fasies sekis hijau berbutir halus dan turbidit karbonat pada sisi benua sehingga membentuk Jalur Metamorf Rouffae yang dikenal sebagai Metamorf Dorewo". Akibat lebih lanjut dari aktivitas tektonik ini adalah terjadinya sekresi (penciutan) Lempeng Pasifik ke atas jalur malihan dan membentuk Jalur Ofiolit Papua. 6

7 2. Peristiwa tektonik penting kedua yang melibatkan Papua adalah Orogenesa Melanesia yang dimulai pada pertengahan Miosen yang diakibatkan oleh adanya tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik. Hal ini mengakibatkan deformasi dan pengangkatan kuat dari batuan sedimen Karbon-Miosen (CT) dan membentuk Jalur Aktif Papua. Kelompok Batugamping New Guinea kini terletak pada Pegunungan Tengah. Jalur ini dicirikan oleh sistem yang kompleks dengan kemiringan ke arah utara, sesar naik yang mengarah ke Selatan, lipatan kuat atau rebah dengan kemiringan sayap ke arah selatan. Orogenesa Melanesia ini diperkirakan mencapai puncaknya pada Pliosen Tengah. Dari pertengahan Miosen sampai Plistosen, cekungan molase berkembang baik ke Utara maupun Selatan. Erosi yang kuat dalam pembentukan pegunungan menghasilkan detritus yang diendapkan di cekungancekungan sehingga mencapai ketebalan meter. Tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik yang terus berlangsung hingga sekarang menyebabkan deformasi batuan dalam cekungan molase tersebut. Pemetaan Regional yang dilakukan oleh PT Freeport menemukan paling tidak pernah terjadi tiga fase magmatisme di daerah Pegunungan Tengah. Secara umum, umur magmatisme diperkirakan berkurang ke arah selatan dari utara dengan polayang dikenali oleh Davies (1990) di Papua Nugini. Fase magmatisme tertua terdiri dari terobosan gabroik sampai dioritik, diperkirakan berumur Oligosen dan terdapat dalam lingkungan Metamorfik Derewo. Fase kedua magmatisme berupa diorit berkomposisi alkalin terlokalisir dalam Kelompok Kembelangan pada sisi Selatan Sesar Orogenesa Melanesia-Derewo yang berumur Miosen Akhir sampai Miosen Awal. Magmatisme termudadan terpenting berupa instrusi dioritik sampai monzonitik yang dikontrol olehsuatu patahan yang aktif mulai Pliosen Tengah sampai kini. Batuan-Batuan intrusitersebut menerobos hingga mencapai Kelompok Batugamping New Guinea, dimanaendapan porphiri Cu-Au dapat terbentuk seperti Tembagapura dan OK Tedi di Papua Nugini. Tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik yang terus berlangsung hingga sekarang menyebabkan deformasi batuan dalam cekungan molase tersebut. Menurut Smith (1990), sebagai akibat benturan lempeng Australia dan Pasifik adalah terjadinya penerobosan batuan beku dengan komposisi sedang kedalam batuan sedimen diatasnya yang sebelumnya telah mengalami patahan dan perlipatan. Hasil penerobosan itu selanjutnya mengubah batuan sedimen danmineralisasi dengan tembaga yang berasosiasi dengan emas dan perak. Tempat - tempat konsentrasi cebakan logam yang berkadar tinggi diperkiraakan terdapat padalajur Pegunungan Tengah Papua mulai dari komplek Tembagapura (Erstberg, Grasberg, DOM, Mata Kucing, dll), Setakwa, Mamoa, Wabu, Komopa, Dawagu, Mogo Mogo Obano, Katehawa, Haiura, Kemabu, Magoda, Degedai, Gokodimi, Selatan Dabera, Tiom, Soba-Tagma, Kupai, Etna Paririm Ilaga. Sementara didaerah Kepala Burung terdapat di Aisijur dan Kali Sute. Potensi Pulau Papua Potensi-potensi yang terdapat pada Pulau Papua dibagi menjadi 3, yaitu potensi migas, potensi tambang, dan potensi kebencanaan. Potensi Migas Potensi migas terbagi menjadi beberapa jenis cekungan, yaitu cekungan mature, cekungan semimature, dan cekungan frontier. 7

8 Cekungan mature merupakan cekungan yang telah berproduksi dan memiliki sistem petroleum yang lengkap dan telah berproduksi, contohnya adalah Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni. Pada Cekungan Salawati, Formasi Klasafat bertindak sebagai batuan induk dan reservoirnya merupakan Formasi Kais, dengan sistem perangkap berasosiasi dengan struktur sesar normal yang menghubungkan sikuen Perm dengan perangkap Kais. Pada Cekungan Bintuni, potensi batuan induk terbagi dalam 3 zona: Formasi Ainam, FormasiWaripi, dan kelompok Batugamping New Guinea. Reservoir utama yang mengandung hidrokarbon adalah batupasir Kelompok Kembelangan Bawah dan Formasi Kais, sedangkan batuan penutupnya adalah Formasi Stenkool. Cekungan Biak termasuk dalam cekungan semimature, yaitu cekungan yang belum berproduksi dikarenakan hidrokarbon yang terkandung belum cukup matang. Batuan induk yang berpotensi adalah batulempung dan batulanau dari Formasi Ambai, batugamping berlempung dan batugamping berfosil dari Formasi Wainukendi, dan napal dari Napal Sumboi. Namun, masalah di Cekungan Biak adalah kurangnya reservoir berkualitas baik. Pada Cekungan Biak, sedimen klastik batupasir hanya tipis saja pada data sumur, sementara reservoir yang terbaik didapatkan terdapat pada batugamping Formasi Wurui. Cekungan frontier, yaitu cekungan baru yang dapat dieksploitasi dan dikembangakan di Papua adalah Cekungan Akimegah, Sahul, dan Waropen. Batuan induk dan reservoir pada Cekungan Akimegah dan Sahul hadir dalam formasi batuan Tersier dan batuan-batuan Pra-Tersier (Mesozoikum hingga Paleozoikum Akhir),. Sedangkan untuk Cekungan Waropen, batuan induk dan batuan reservoirnya termasuk dalam batuan-batuan Tersier. Sistem perangkap pada ketiga cekungan tersebut berupa jebakan struktur, stratigrafi, maupun gabungannya dengan batuan penutupnya adalah batulempung dan batuserpih. Potensi Tambang Sektor pertambangan dan bahan galian Papua berpotensi sangat besar (Tabel 1), contohnya adalah pertambangan emas dan tembaga PT Freeport di Timika. Potensi pertambangan terbesar di Papua adalah Grasberg. Tambang Grasberg adalah tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar di dunia. Tambang ini terletak di provinsi Papua di Indonesia dekat latitude -4,053 dan longitude 137,116, dan dimiliki oleh Freeport yang berbasis di AS(67.3%), Rio Tinto Group (13%), Pemerintah Indonesia (9.3%) dan PT Indocopper Investama Corporation (9%). Pada 2004, tambang ini diperkirakan memiliki cadangan 46 juta ons emas. Pada 2006 produksinya adalah ton tembaga; gram emas; dan gram perak (Gambar 3). Potensi Kebencanaan Berdasarkan tatanan tektonik Papua (Gambar 2), maka Papua memiliki potensi bencana yang cukup besar, diantaranya adalah potensi gempa bumi, potensi tsunami, bahkan potensi longsor. Potensi bencana gempa bumi dapat terjadi di sepanjang zona sesar (contoh: Zona Sesar Sorong, Sesar Ransiki, Sesar Yapen). Detachment yang terjadi pada zona sesar tersebut di wilayah lautan berpotensi memicu tsunami yang berbahaya bagi area pesisir pantai Papua. Potensi longsor dapat dilihat dari banyaknya daerah-daerah terjal yang terbentuk akibat tumbukan antara lempeng Australia dengan lempeng Pasifik. Proses tersebut meng-hasilkan pegunungan lipatan yang cukup terjal. Akibat hal tersebut, daerah-daerah rendahan yang berada di sekitar pegunungan memiliki potensi longsor yang cukup besar. Potensi tersebut diperkuat jika daerah pegunungan berada pada zona sesar aktif 8

9 yang dapat mengganggu kesetimbangan statis lereng ketika gempa terjadi. Selain hal tersebut, pengaruh dari adanya pegunungan lipatan adalah potensi banjir bandang pada daerah Papua. Potensi tersebut terjadi jika air yang mengalir di permukaan (runoff) memiliki debit yang cukup besar sehingga daerah lembahan yang berada di sekitar pegunungan merupakan daerah limpasan air. Kesimpulan Papua terbentuk akibat dari interaksi yang bersifat konvergen miring (oblique convergence) antara Lempeng Benua Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik-Caroline. Konvergensi yang terjadi sejak Eosen hingga kini menimbulkan produk berupa dua tahapan kolisi yang terjadi pada Kala Oligosen (Orogenesa Peninsula) dan dikuti kolisi yang terjadi pada Miosen (Orogenesa Melanesia). Stratigrafi regional Papua dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian Kepala Burung, bagian Leher Burung, dan bagian Badan Burung. Batuan Pra-Tersier pada bagian Kepala Burung merupakan batuan dasar yang termasuk dalam sikuen turbidit Formasi Kemum berusia Silur- Devon. Pada bagian Badan Burung hadir batuanbatuan Pra-Kambrium, dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda yaitu Formasi Awigatoh, Formasi Kariem, dan Formasi Tuaba. Masingmasing formasi tersebut memiliki hubungan tak selaras. Di atas batuan Pra-Kambrium terendapkan Formasi Modio berumur Silur- Devon. Formasi Aiduna pada bagian Badan Burung berumur setara dengan Kelompok Aifam yang berumur Karbon Atas-Perm Atas, hadir menumpangi batuan dasar secara tak selaras. Regresi yang berlanjut hingga Trias menyebabkan terendapkannya Formasi Tipuma pada seluruh Papua. Batuan-batuan Mesozoik secara tak selaras hadir di atas Formasi Tipuma, batuan-batuan fersebut adalah Formasi Jass dan Kelompok Kembelangan. Di atas batuan-batuan Mesozoik, hadir sikuen karbonat Eosen-Miosen yang termasuk dalam Batugamping New Guinea. Batuan-batuan berusia Pliosen-Pleistosen menunjukkan lingkungan pengendapan yang berbeda-beda, yaitu lingkungan laut (Formasi Klasaman dan Buru), lingkungan transisi (Formasi Steenkool), dan lingkungan darat (Formasi Sele dan endapan Mollase). struktur regional Papua dapat dibagi menjadi 3 zona struktur (Gambar 5), yaitu: 1. Kepala Burung: didominasi oleh struktur sesar berarah Barat-Timur, yaitu Sesar Sorong. dan Tinggian Kemum. 2. Leher Burung: didominasi oleh struktur berarah Utara- Barat Laut (Jalur Perlipatan Lengguru), Sesar Ransiki, Aru Through, Antiklin Misool-Onin Kumawa, dan Sesar Wandaman, Sesar Tarera-Aiduna. 3. Tubuh Burung: didominasi oleh struktur berarah Barat-Barat Laut sepanjang Central Range, diantaranya adalah Jalur Sesar Naik New Guinea (JSNNG), Jalur Sesar Naik Pegunungan Tengah (JSNPT), Sesar SungkupMamberamu, dan Sesar Yapen. Pemetaan Regional yang dilakukan oleh PT Freeport menemukan paling tidak pernah terjadi tiga fase magmatisme di daerah Pegunungan Tengah. Fase magmatisme tertua terdiri dari terobosan gabroik sampai dioritik, diperkirakan berumur Oligosen dan terdapat dalam lingkungan Metamorfik Derewo. Fase kedua magmatisme berupa diorit berkomposisi alkalin terlokalisir dalam Kelompok Kembelangan pada sisi Selatan 9

10 Sesar Orogenesa Melanesia-Derewo yang berumur Miosen Akhir sampai Miosen Awal. Magmatisme termudadan terpenting berupa instrusi dioritik sampai monzonitik yang dikontrol olehsuatu patahan yang aktif mulai Pliosen Tengah sampai kini. Potensi Pulau Papua meliputi potensi migas, potensi mineral, dan potensi kebencanaan. Potensi migas Papua dikelompokkan menjadi 3, yaitu cekungan dewasa (Cekungan Bintuni dan Salawati), cekungan belum dewasa (Cekungan Biak), dan cekungan frontier (Cekungan Sahul, Cekungan Akimegah, dan Cekungan Waropen. Potensi tambang berada di Grasberg, yaitu tambang tembaga dan emas. Potensi kebencanaan Papua meliputi gempa, tsunami, dan longsor yang dapat terjadi di zona-zona sesar, serta bencana banjir sebagai bencana permukaan. Daftar Pustaka Atasi, R., 2011, Analisis Geometri dan Kualitas Reservoir Batupasir Daram Waripi Bawah, Endapan Turbidit. Lapangan Jefta, Cekungan Bintuni. Papua Barat, Tugas Akhir Sarjana Strata 1, Program Studi Teknik Geologi, Bandung: Institut Teknologi Bandung. Bemmelen, R. W., 1949, The Geology of Indonesia, Batavia: Government Printing Office, The Hague, 766 hal. Darman, H. dan Sidi, F. H., 2000, An Outline of The Geology of Indonesia, Indonesia: IAGI, 205 hal. Davies, H. L., Winn, R. D., dan KenGemar, P., 1996, Evolution of the Papian Basin: a view from the orofen in Buchanan P.G. (ed), Petroleum, Exploration, Development, and Production in Papua New Guinea, Prosiding ketiga Konvensi Petroleum PNG, Port Moresby, hal Dow, D.B., dan Sukamto, R., (1984), Western Irian Jaya: the end-product ofoblique plate convergence in the Late Tertiary, Tectonophysics, vol. 106, hal Dow, D. B., Robinson, G. P., Hartono, U., dan Ratman, N., 1986, Peta Geologi Irian Jaya, skala 1: , Bandung: Pusat Sumber Daya Geologi. Hamilton, W.R., 1979, Tectonics of The Indonesia Region. United States Geological Survey. Mutti, Emiliano, 1992, Turbidite Sandstones : Instituto di Geologia, Universitas Parma. Riandini, P dan Sapiie, B., 2011, The Sorong fault Zone Kinematics: Implication for Structural Implication on Salawati Basin, Seram and Misool, West Papua, Indonesia, AAPG Annual Convention and Exhibition Houston, Texas, USA. Sapiie, B. dan Cloos, M., 1998, Strike-slip deformation, breccia formation and porphyry Cu-Au mineralization in the Gunung Bijih (Erstberg) Mining District, Irian jaya, Indonesia, Disertasi Akhir Ph.D Strata 3, Geological Sciences Universitas Texas. Sapiie, B., 2000, Structural geology and ore deposit: case study of the Grasberg super porphyry Cu-Au mineralization, Irian Jaya, Indonesia, Prosiding ke-29 Konvensi Tahunan Ikatan Alumni Geologi Indonesia, Bandung, Indonesia. Sapiie, B., Hadiana, M., dan Ibrahim, A. M., 2007, Strike-slip Deformation and Formation Hydrocarbon Trap in The Seram Island, Easter Indonesia, Bandung: Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung. 10

11 Sapiie, B., 2010, Mesozoic and Paleozoic Tectonic Evolution of Indonesian Regions : Fact, Model and Problems. IAGI Sapiie, B., Naryanto, W., Adyagharini, A. C., dan Pamumpuni, A., 2012, Geology and Tectonic Evolution of Bird head Region Papua, Indonesia: Implication for Hydrocarbon Exploration in the Eastern Indonesia, Artikel Search and Discovery no Pieters P.E., 1983, The Stratigraphy of Western Irian Jaya. Proceeding 12th Annual Convention. Pigram, C.J, Panggabean, H., 1981, Pre Tertiary Geology of western Irian Jaya and Misool Island : Implications for The Tectonic Development of Eastern Indonesia, Proceeding IPA 10th Annual Convention. Syafron, Edward, 2011, Evaluation of The Mesozoic Stratigraphy of Misool Island and Implications for Petroleum Exploration in the Bird s Head Region, West Papua, Indonesia. IPA, 35th Annual Covention. Wulandari, S., dan Sulistio, E. B., 2013, Otonomi Khusus dan Dinamika Perekonomian di Papua, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, vol. 4., No. 1, Januari-Juni

12 KEPALA BADAN EKOR Gambar 1. Peta lokasi Papua dan fisiografi. ( Pada peta diatas, tampak pembagian dari fisiografis regional dari Pulau Papua yang tampak seperti seekor burung. Pulau ini terbagi menjadi bagian-bagian seperti bagian kepala, badan dan ekor. Gambar 2. Kondisi tektonik Pulau Papua (Nillandaroe dan Barraclough, 2003; dalam Sapiie dkk., 2007). Pada gambar di atas tampak struktur sesar geser mengiri hadir sebagai zona-zona sesar utama. Pada bagian utara Pulau New Guinea terdapat Zona Sesar Sorong yang menerus berarah barattimur. Pada bagian selatan terdapat Zona Sesar Tarera-Aiduna yang memiliki pola mirip dengan Zona Sesar Sorong. 12

13 Gambar 3. Pembagian geologi Papua menjadi 3 provinsi tektonik : SW atau southwest cratonic zone, C atau central collisional zone atau zona tubrukan tengah NE atau northeastern islands dan jajaran yang terbentuk akibat aktivitas volkanik Kenozoikum (Dow dkk., 1986) 13

14 Gambar 4. Stratigrafi di daerah Kepala Burung, Leher Burung, dan Badan Burung Papua. (Sapiie, 2000, dalam Darman dan Sidi, 2000) 14

15 Gambar 5. Struktur Regional Papua (dimodifikasi dari Sapiie, 2000). Tanda panah menunjukkan gerakan relatif antara Lempeng Pasifik dan Australia. Keterangan : MTFB = Mamberamo Thrust and Fold Belt WO = Weyland Overthrust WT = Waipona Trough TAFZ = Tarera-Aiduna Fault Zone RFZ = Ransiki Fault Zone LFB = Lengguru Fault Belt SFZ = Sorong Fault Zone YFZ = Yapen Fault Zone MO = Misool-Onin High 15

16 Gambar 6. Evolusi Tektonik Papua selama Mesozoik-Kini (dimodifikasi dari Sapiie dkk., 2009; dalam Sapiie dkk., 2012). 16

17 Gambar 7. Perbandingan Tonase emas di seluruh dunia (Slide Kuliah Endaman Mineral, 2012) Tabel 1. Perusahaan tambang di Provinsi Papua (Wulandari dan Sulistio,

Bab III Tatanan Geologi

Bab III Tatanan Geologi 14 Bab III Tatanan Geologi III.1 Tatanan dan Struktur Geologi Regional Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif (Gambar III.1). Pada saat ini, Lempeng

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline

II. TINJAUAN PUSTAKA. serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik - Caroline II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tatanan dan Struktur Geologi Regional Papua Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Papua Pulau Papua secara administratif terletak pada posisi 130 0 19 BT - 150 0 48 BT dan 0 0 19 LS 10 0 43 LS. Pulau ini terletak di bagian paling timur Negara

Lebih terperinci

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih 62 Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih V.1 Restorasi Penampang Rekontruksi penampang seimbang dilakukan untuk merekonstruksi pembentukan suatu deformasi struktur. Prosesnya meliputi menghilangkan bidang-bidang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI GEOLOGI

BAB IV KONDISI GEOLOGI BAB IV KONDISI GEOLOGI 4.1 Geologi Regional Geologi Irian Jaya sangatlah kompleks, merupakan hasil dari pertemuan dua lempeng yaitu lempeng Australia dan Pasifik ( gambar 4.1 ). Kebanyakan evolusi tektonik

Lebih terperinci

Gambar III.7. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih.

Gambar III.7. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih. Gambar III.7. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih. 27 28 III.2 Stratigrafi Regional Ciri stratigrafi regional diidentifikasikan dari perbandingan stratigrafi kerak Benua Indo-Australia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Daerah Penelitian Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian (Bakosurtanal, 2003) Secara astronomis, Papua atau Irian Jaya terletak antara 00 0 19 10 0

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.2. Perbandingan eksplorasi dan jumlah cadangan hidrokarbon antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur 1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.2. Perbandingan eksplorasi dan jumlah cadangan hidrokarbon antara Indonesia Barat dengan Indonesia Timur 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah penelitian terletak diantara pulau Seram dan semenanjung Onin- Kumawa yang termasuk kawasan Indonesia Timur. Pada kawasan Indonesia Timur ini bila dilihat dari

Lebih terperinci

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram BAB 4 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 4.1. Interpretasi Stratigrafi 4.1.1. Interpretasi Stratigrafi daerah Seram Daerah Seram termasuk pada bagian selatan Kepala Burung yang dibatasi oleh MOKA di bagian utara,

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geologi Regional Pulau Papua 2.1.1 Tatanan Tektonik Regional Lapangan Jefta terletak di bagian Barat Laut Pulau New Guinea yang biasa disebut daerah Kepala Burung (Bird s Head

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL. Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1.

BAB II GEOLOGI REGIONAL. Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1. 4 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Papua, atau lebih tepatnya di area Teluk Bintuni. Lokasi Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.1. Teluk Bintuni Gambar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga

BAB I PENDAHULUAN. bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki tatanan tektonik yang aktif yang berada pada bagian tepi lempeng Eurasia. Batas lempeng ini merupakan tempat bertemunya tiga lempeng besar,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Tatanan tektonik daerah Kepala Burung, Papua memegang peranan penting dalam eksplorasi hidrokarbon di Indonesia Timur. Eksplorasi tersebut berkembang sejak ditemukannya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR BAB 5 REKONSTRUKSI DAN ANALISIS STRUKTUR Terdapat tiga domain struktur utama yang diinterpretasi berdasarkan data seismik di daerah penelitian, yaitu zona sesar anjakan dan lipatan di daerah utara Seram

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

Gambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar

Gambar Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar Gambar 5.21. Gambaran struktur pada SFZ berarah barat-timur di utara-baratlaut Kepala Burung. Sesar mendatar tersebut berkembang sebagai sesar mendatar dengan mekanisme horsetail, dengan struktur sesar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI REGIONAL Tatanan Tektonik Regional

BAB 3 GEOLOGI REGIONAL Tatanan Tektonik Regional BAB 3 GEOLOGI REGIONAL Daerah Seram, Misool, dan Salawati merupakan bagian dari Kepala Burung, Papua. Secara stratigrafi dan struktur daerah tersebut memiliki karakter yang serupa dengan tatanan stratigrafi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

MEMFOKUSKAN TARGET EKSPLORASI MIGAS DI KAWASAN TIMUR INDONESIA. Rakhmat Fakhruddin, Suyono dan Tim Assesmen Geosains Migas

MEMFOKUSKAN TARGET EKSPLORASI MIGAS DI KAWASAN TIMUR INDONESIA. Rakhmat Fakhruddin, Suyono dan Tim Assesmen Geosains Migas MEMFOKUSKAN TARGET EKSPLORASI MIGAS DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Rakhmat Fakhruddin, Suyono dan Tim Assesmen Geosains Migas Rakhmat Fakhruddin, Suyono dan Tim Assesmen Geosains Migas rakhmatfakh@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Salawati yang terletak di kepala burung dari Pulau Irian Jaya,

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Salawati yang terletak di kepala burung dari Pulau Irian Jaya, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Salawati yang terletak di kepala burung dari Pulau Irian Jaya, merupakan cekungan foreland asimetris yang memiliki arah timur barat dan berlokasi pada batas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen,

Lebih terperinci

Gambar IV.6. Penafsiran penampang seismik komposit yang melintasi daerah penelitan pada arah utara-selatan dan barat-timur melalui Zona Sesar

Gambar IV.6. Penafsiran penampang seismik komposit yang melintasi daerah penelitan pada arah utara-selatan dan barat-timur melalui Zona Sesar Gambar IV.6. Penafsiran penampang seismik komposit yang melintasi daerah penelitan pada arah utara-selatan dan barat-timur melalui Zona Sesar Sorong-Yapen. 52 Gambar IV.7. Gabungan penampang seismik sebelah

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksplorasi hidrokarbon memerlukan pemahaman mengenai cekungan tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses terbentuknya cekungan, konfigurasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Indonesia Timur merupakan daerah yang kompleks secara geologi. Hingga saat ini penelitian yang dilakukan di daerah Indonesia Timur dan sekitarnya masih belum

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Arafura yang terletak di wilayah perairan Arafura-Irian Jaya merupakan cekungan intra-kratonik benua Australia dan salah satu cekungan dengan paket pengendapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bagian dalam penelitian geologi permukaan adalah dengan menganalisis fasies lingkungan pengendapan yang didapat dari singkapan. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BITUMEN PADAT DAERAH WINDESI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TELUK WONDAMA, PROVINSI PAPUA BARAT

PENYELIDIKAN BITUMEN PADAT DAERAH WINDESI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TELUK WONDAMA, PROVINSI PAPUA BARAT PENYELIDIKAN BITUMEN PADAT DAERAH WINDESI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TELUK WONDAMA, PROVINSI PAPUA BARAT Dede I. Suhada, Rahmat Hidayat, Sandy Rukhimat, Asep Suryana Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Pulau Buton yang terdapat di kawasan timur Indonesia terletak di batas bagian barat Laut Banda, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis, Pulau Buton terletak

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Lokasi Penelitian Gambar 3. Letak cekungan Asam-asam (Rotinsulu dkk., 2006) Pulau Kalimantan umumnya merupakan daerah rawa-rawa dan fluvial. Selain itu juga terdapat

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan yang merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. Oleh: Robert L. Tobing, Wawang S, Asep Suryana KP Bnergi Fosil SARI Daerah penyelidikan secara administratif terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah

Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Bab II Geologi Regional II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan busur belakang (back arc basin) yang berkembang di sepanjang pantai barat dan selatan

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional Cekungan Natuna Barat berada pada kerak kontinen yang tersusun oleh batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur Awal Kapur Akhir. Cekungan ini dibatasi oleh

Lebih terperinci

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Busur Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH MAPENDUMA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN NDUGA, PROVINSI PAPUA

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH MAPENDUMA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN NDUGA, PROVINSI PAPUA PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH MAPENDUMA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN NDUGA, PROVINSI PAPUA Rahmat Hidayat, Priyono Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi SARI Penyelidikan batubara daerah

Lebih terperinci

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat 41 Bab IV Analisis Data IV.1 Data Gaya Berat Peta gaya berat yang digabungkan dengn penampang-penampang seismik di daerah penelitian (Gambar IV.1) menunjukkan kecenderungan topografi batuan dasar pada

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Tektonik Sumatera Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagian bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas. Diapir-diapir

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB IV SEJARAH GEOLOGI BAB IV SEJARAH GEOLOGI Sejarah geologi daerah penelitian dapat disintesakan berdasarkan ciri litologi, umur, lingkungan pengendapan, hubungan stratigrafi, mekanisme pembentukan batuan dan pola strukturnya.

Lebih terperinci

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk menafsirkan perkembangan cekungan. Perlu diingat bahwa

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA 2.1. Kerangka Geologi Regional Cekungan Sumatera Utara sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1 di bawah ini, terletak di ujung utara Pulau Sumatera, bentuknya

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH II.1 Kerangka Tektonik dan Geologi Regional Terdapat 2 pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN 2.1 Tinjauan Umum Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak di bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan batuan metamorf yang dapat diamati langsung di permukaan bumi tidak sebanyak batuan beku dan sedimen mengingat proses terbentuknya yang cukup kompleks. Salah

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH BAB 2 GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA TENGAH Cekungan Sumatra Tengah merupakan salah satu cekungan besar di Pulau Sumatra. Cekungan ini merupakan cekungan busur belakang yang berkembang di sepanjang

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah secara fisiografis terletak di antara Cekungan Sumatera Utara dan Cekungan Sumatera Selatan yang dibatasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1. Geologi Regional. Pulau Tarakan, secara geografis terletak sekitar 240 km arah Utara Timur Laut dari Balikpapan. Secara geologis pulau ini terletak di bagian

Lebih terperinci

BAB V SEJARAH GEOLOGI

BAB V SEJARAH GEOLOGI BAB V SEJARAH GEOLOGI Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan, dan data sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta pola struktur dan mekanisme

Lebih terperinci