EXECUTIVE SUMMARY UJICOBA PENERAPAN KELEMBAGAAN OP IRIGASI LAHAN KERING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EXECUTIVE SUMMARY UJICOBA PENERAPAN KELEMBAGAAN OP IRIGASI LAHAN KERING"

Transkripsi

1 EXECUTIVE SUMMARY UJICOBA PENERAPAN KELEMBAGAAN OP IRIGASI LAHAN KERING TAHUN ANGGARAN 2011

2 1. PENDAHULUAN Pada tahun 2007 hingga 2008, Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat (Sebranmas), sekarang Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan (Sosekling), telah meneliti peningkatan peran masyarakat dan pemda dalam mendukung penerapan teknologi bidang pekerjaan umum di Desa Akar-Akar, Provonsi NTT. Penelitian tersebut menghasilkan naskah akademis yang kemudian diangkat pedoman/panduan yang berjudul Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan jaringan Springkler. Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyebutkan bahwa untuk menjadi sebuah pedoman, naskah ilmiah hasil penelitian selanjutnya dikembangkan menjadi konsep pedoman dan dilakukan pengujian lapangan. Berkaca dari keberhasilan pengembangan irigasi lahan kering di NTB, mulai tahun 2009 Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) membangun jaringan irigasi air tanah (JIAT) dengan teknologi springkler di daerah kering seperti Sulawesi Utara (Sulut) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Irigasi ini untuk meningkatkan produksi pertanian holtikultura (non-padi). Pada tahun 2010, pembangunan jaringan irigasi di lokasi tersebut telah selesai namun, pengoperasiannya tertunda karena belum ada lembaga atau kelompok yang melakukan OP. Oleh karena itu, Balai Litbang Sosek Bidang Sumber Daya Air, Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan mulai tahun 2010 memberikan kontribusi dengan melakukan pemetaan sosial ekonomi kesiapan masyarakat dalam penerapan irigasi springkler. Kemudian dilanjutkan pada tahun 2011 dengan melakukan ujicoba penerapan Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan jaringan Springkler dalam rangka pembentukan kelembagaan OP sebagaimana disyaratkan oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) di lokasi. Bentuk dan proses pembentukan kelembagaan di setiap daerah adalah berbeda-beda. Ada kemungkinan bentuk kelompok kerja (Pokja) di NTB berbeda dengan daerah Sulawesi Utara (Sulut) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Oleh karena itu, pertanyaan penelitian ini adalah Bagaimana bentuk kelembagaan OP Irigasi Lahan Kering yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal daerah setempat. Tujuan penelitian ini membangun kelembagaan OP Irigasi Lahan Kering yang sesuai dengan karakteristik daerah setempat sekaligus melakukan ujicoba penerapan Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan jaringan Springkler. Hasil penelitian ini untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka penerapan teknologi irigasi lahan kering yang mendukung

3 peningkatan produksi pertanian dan ketahanan pangan dan memberikan masukan pada penyempurnaan pedoman. Dengan terbentuknya kelembagaan OP, maka petani dapat memanfaatkan dan mengelola jaringan irigasi air tanah (JIAT) secara berkelanjutan. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi dalam mewujudkan keberlanjutan OP JIAT. 2. TINJAUAN PUSTAKA Istilah lahan kering lebih merujuk pada pemanfaatan lahan pertanian tadah hujan artinya lahan yang tidak terlayani air irigasi (unirrigated land). Oleh karena hanya mengandalkan curah hujan, maka umumnya petani lahan kering hanya bercocok tanam saat musim hujan. Terdapat perbedaan teknik penglolaan air antara lahan basah dan lahan kering (Notohadiprawiro, 1989). Di daerah lahan basah, karena sumber air mencukupi, umumnya petani menggenangi lahannya (floodwater farming). Teknik ini banyak digunakan di lahan sawah. Sedangkan di daerah kering, sumber air terbatas baik kuantitas maupun kualitas, umumnya petani hanya menyiram (tidak menggenang) atau sering disebut Dryland Farming. Keadaan iklim kering ditunjukkan dengan 4 (empat) ciri yaitu (Notohadiprawiro, 1989): (1) daerah dengan curah hujan tahunan kurang dari 250 mm/tahun, (2) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (3) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan pertanian tanpa irigasi dan (4) daerah dengan jumlah penguapan (evaporasi) potensial melebihi curah hujan aktual. Jika suatu daerah mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dikategorikan daerah kering atau kawasan iklim kering. Ketersediaan air merupakan masalah utama di lahan kering, karena curah hujan yang minim. Oleh karena itu, perlu ada treatment tertentu agar lahan kering dapat menjadi lahan pertanian. Pengembangan pertanian di lahan kering dapat dilakukan dengan 4 alternatif yaitu (1) Konservasi terpadu, (2) Pengembangan embung dan pemanenan air, (3) Amoliorasi dan pemupukan, (4) Pengembangan irigasi bertekanan dan pompanisasi 1. Menurut Kurnia (2004) pemberian air dengan cara penyiraman (sprinkle) sangat efisien. Prinsip pemberian air di lahan kering adalah pemakaian air yang efisien dan efektif serta memberikan hasil maksimal. Pengelolaan air irigasi seringkali dilupakan karena banyak masyarakat beranggapan bahwa air merupakan anugerah yang bisa dinikmati semua orang dengan gratis. Hal ini yang menyebabkan pemanfaatannya tidak efisien. Oleh karena itu, diperlukan suatu organisasi 1 Hilman Manan (Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air) dalam tulisannya yang berjudul Teknologi Pengelolaan Lahan dan Air Mendukung Ketahanan Pangan.

4 yang mengatur penggunaan air. Umumnya organisasi ini dikenal dengan P3A. Di Bali dikenal dengan nama Subak. Oleh karena ketidakjelasan mengenai hak-hak penggunaan air serta kewajiban dalam pengelolaannya menyebabkan organisasi ini kurang efektif 2. Organisasi pengelola air bukan sekedar untuk kegitan teknis, namun juga merupakan suatu lembaga sosial yang memiliki kandungan kaidah-kaidah (religi atau budaya). Oleh karena itu, pembentukan organisasi ini perlu memperhatikan kekhasan masing-masing masyarakat. Di dalam Pedoman Teknis Pengembangan Irigasi Bertekanan yang disusun oleh Kementerian Pertanian (2010) dinyatakan bahwa OP jaringan irigasi termasuk pembiayaannya dilakukan oleh petani / kelompok tani yang memanfaatakan jaringan irigasi. Terdapat 3 aspek yang harus diperhatikan dalam kelembagaan OP irigasi3 yaitu; 1) batas yuridiksi; 2) hak kepemilikan; 3) aturan representasi. Pada dasarnya, kelembagaan OP mempunyai fungsi teknis dalam alokasi air dan OP. Menurut Benny (2011), jika tidak ada keterpaduan antara aspek kelembagaan dan aspek teknis akan terjadi konflik manajemen sumber daya air dan akan berpengaruh pada hasil, efisiensi dan pengalokasian sumber daya air. Perkumpulan Petani Pemakai Air Tanah (P3AT) dibentuk pada umumnya di daerah pengembangan air tanah tersebut dan juga pada daerah yang potensi air permukaannya kurang, juga pada daerah dengan curah hujan rendah seperti pada umumnya di kawasan Timur Indonesia. Kelembagaan P3AT pada prinsipnya hampir sama dengan P3A air permukaan, hanya ketergantungan pasokan airnya mengandalkan pada bekerjanya mesin pompa, disamping itu luas areal oncorannya relatif terbatas. Mengingat biaya OP untuk usaha tani sumur pompa (P3AT) relatif memerlukan biaya tinggi dibanding usaha tani air permukaan (P3A), maka pengembangan usaha tani P3AT memerlukan jenis usaha tani yang bernilai ekonomis tinggi, agar hasilnya minimal dapat menutup biaya produksi. Kelembagaan OP springkler tidak harus merupakan bentukan baru namun dapat memanfaatkan kelembagaan yang sudah ada di masyarakat. Bila memang belum ada kelompok, maka dapat dibentuk kelembagaan baru yang khusus menangani OP. Sedangkan apabila sudah ada kelembagaan di masyarakat, maka dapat dilakukan perkuatan kelembagaan yaitu dengan menambah tugas dan fungsi lembaga tersebut. Model kelembagaan OP irigasi springkler merupakan hasil penelitian di Desa Akar-Akar, Provinsi NTB. Dasar pemikiran pembentukan 2 Dwi Priyo Ariyanto (2008) dalam tulisan yang berjudul Organisasi Irigasi dalam Operasional dan perawatan Irigasi. 3 Benny Rachman & Ketut Kariyasa (2011) dalam tulisan yang berjudul Dinamika Kelembagaan Pengelolaan Air Irigasi yang diunduh dari situs

5 kelembagaan adalah untuk mengorganisasikan masyarakat dalam melakukan pemanfaatan dan OP. Di Desa Akar-Akar, kelembagaan masyarakat ini berbentuk Kelompok Kerja (pokja) tingkat desa sampai dengan tingkat dusun. Pokja ini merupakan hasil kesepakatan masyarakat (awig-awig) yang berperan mengorganisir pelaksanaan OP sebelum terwujudnya kelembagaan yang lebih kuat secara legalitas dan kapasitasnya dan untuk menggali potensi dan kearifan lokal masyarakat setempat. Adapun garis koordinasi dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dalam pokja tingkat desa ini, dapat digambarkan sebagai berikut : PENASEHAT KETUA BENDAHARA SEKRETARIS Juru Pungut Pokja Springkler Tingkat Dusun 1 Pokja Springkler Tingkat Dusun 2 Pokja Springkler Tingkat Dusun 3 Operator Springkler Tingkat Dusun 1 Operator Springkler Tingkat Dusun 2 Operator Springkler Tingkat Dusun 3 Gambar 1. Struktur Organisasi Pokja Springkler (Sumber: Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Springkler) Untuk pelaksanaan Operasionalisasi dan Pemeliharaan jaringan irigasi sprinkler diperlukan kesepakatan di dantara para petani seperti kesepakatan mengenai iuran, pembagian air, dan mekanisme rapat / pelaporan.

6 3. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ujicoba penerapan kelembagaan OP irigasi lahan kering adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan dilihat jenis penelitian, kajian ini termasuk jenis penelitian terapan (applied research) yang merupakan suatu penelitian yang berusaha menyelesaikan masalah yang sifatnya konkret 4. Penelitian ini akan mengujicobakan Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Springkler untuk memberdayakan kelompok tani dalam pengoperasian dan pemeliharaan jaringan irigasi air tanah teknologi springkler. Irigasi springkler diterapkan di daerah kering. Oleh karena itu, lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: Lokasi dengan iklim kering (tanah menyerap air dan penguapan tinggi) Lokasi dengan curah hujan rendah Minim sumber air permukaan Berdasarkan kriteria tersebut, lokasi penelitian ini adalah Desa Linelean, Kecamatan Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara dan Desa Manusak serta Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pengumpulan data penelitian menggunakan empat teknik yaitu 1) wawancara mendalam dengan tokoh kunci yaitu camat, kepala desa, petani; 2) Focus Group Discussion (FGD) untuk mendapatkan Persepsi masyarakat terhadap kelembagaan OP, Permasalahan yang dihadapi dan kebutuhan petani, Pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan OP dan Kesepakatan-kesepakatan yang mungkin dibangun untuk OP; 3) Observasi partisipatif untuk mengamati aktivitas kehidupan petani seperti lokasi/lahan perkebunan (untuk pemetaan kepemilikan dan luas lahan pertanian), pemanfaatan lahan, kondisi sehari-hari di sekitar permukiman mereka, dan infrastruktur yang tersedia; dan 4) Studi Pustaka untuk menelaah hasil kajian terdahulu. Peneliti akan melakukan seluruh tahapan pelaksanaan yang ada dalam pedoman dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis). Dengan menggunakan teknik tersebut, peneliti dapat memodifikasi tahapan yang ada di pedoman sesuai dengan kondisi di lapangan pada saat penerapan. Hasil modifikasi tersebut dapat menjadi masukan untuk penyempurnaan pedoman. 4 Neuman W. Laurence. Social Methods: Qualitative and Quantitaitive Approaches. (Boston: Pearson Education Inc, 2003), hlm. 529.

7 4. GAMBARAN UMUM LOKASI Secara geografis, posisi Indonesia terletak di daerah katulistiwa yang menyebabkan Indonesia beriklim tropis. Gambar 1 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat ancaman kekeringan di pulau Sumatera, Nusa Tenggara dan Sulawesi bagian utara cukup tinggi. Wilayah Nusa Tenggara merupakan daerah yang paling kering dengan tingkat curah hujan kurang dari mm pertahun. Gambar 2. Peta Zonasi Ancaman Bencana Kekeringan di Indonesia (sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2010) Sebagaimana tergambar diatas, seluruh wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur berwarna merah yang berarti wilayah tersebut sangat kering. Sebaliknya, kekeringan di Provinsi Sulawesi lebih banyak terjadi di wilayah sebelah utara. A. Kecamatan Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara Kecamatan Modoinding seluruhnya berada di ketinggian lebih dari meter di atas permukaan laut. Lebih dari 90% wilayah Kecamatan Modoinding merupakan lahan pertanian bukan sawah. Dari pengamatan dilapangan, hampir seluruh hamparan ditanami tanaman holtikultura seperti kentang, bawang daun, kobis, wortel, cabe dan labu. Sedangkan lahan non pertanian sebagian besar merupakan lahan permukiman atau lahan yang tidak bisa diusahakan untuk pertanian seperti perbukitan.

8 Sebelum diperkenalkan teknologi springkler, BWS membangun irigasi alur. Oleh karena kondisi geografis yang berombak dan sifat tanah yang sangat porous, air tidak bisa mencapai seluruh permukaan tanah sehingga masyarakat tidak memanfaatkan irigasi alur, bahkan dibiarkan rusak. Gambar 3. Bangunan Irigasi Boks di Kecamatan Modoinding (sumber: pengamatan lapangan, 2011) Petani menggunakan pompa air kecil (ALKON) untuk mengambil sumber air tedekat yaitu Danau Moat dan Sungai Boigar, namun hanya efektif untuk mengairi hamparan yang jauhnya 200 m dari sumber air dan harus menggunakan 2 pompa. Masyarakat yang jauh dari sumber air menggunakan truk untuk mengangkut air ke lokasi hamparan dan menggunakan pompa untuk menyiram. Bagi petani yang lahannya dekat dengan irigasi boks, umumnya mengambil air dari boks kemudian dipompa dan disiram. Mayoritas penduduk Kecamatan Modoinding menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Oleh karena hampir seluruh penduduk adalah petani, ada budaya bertani yang masih dilakukan yaitu MAPALUS. Tradisi budaya kelompok pekerja ini lahir dari akar budaya nilai-nilai kebersamaan dan tolong menolong di antara sesama warga etnik Minahasa. Dari hasil bercocok tanam kentang yang membutuhkan waktu 3 4 bulan untuk panen, petani mampu mendapat penghasilan mencapai Rp per bulan. Ditambah penghasilan sampingan sebesar Rp per bulan menjadi Rp per bulan. Penghasilan ini lebih besar dari UMR Provinsi Sulawesi Utara yang hanya sebesar Rp per bulan. Dengan penghasilan itu, kemauan petani untuk membayar OP mencapai Rp ,-/bulan. Kelembagaan yang kental di masyarakat antara lain kelompok PKK, kelompok tani, dan kelompok keagamaan. Berdasarkan keterangan PPL yang ada di Modoinding, di Desa Linelean terdapat 5 kelompok tani dan masih aktif. Saat ini fungsi kelompok tani ini adalah sebagai sarana PPL setempat dalam memberikan penyuluhan

9 pertanian. Selain itu juga sebagai sarana petani untuk membahas masalah pertanian. Sayangnya, selama ini keberadaan kelompok tersebut hanya disahkan oleh hukum tua setempat dan tidak mempunyai AD/ART. Ketidakadaan legalisasi ini berdampak pada kelangsungan hidup kelompok itu sendiri yaitu kesulitan akses ke stakeholders lainnya. B. Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur Kecamatan Kupang Timur mempunyai luas wilayah 177,63 km 2. Kecamatan ini beriklim tropis. Hal ini ditunjukkan dengan musim kemarau rata-rata selama 9 bulan dan musim hujan hanya berkisar 3 bulan. Oleh karena itu, bila musim hujan, masyarakat mengusahakan tanahnya menjadi lahan sawah padi. Ketika musim kemarau tanah ditanami palawija. Kekeringan merupakan masalah utama bagi masyarakat di propinsi Nusa Tenggara Timur. Gambar 4. Bangunan Irigasi Boks di Kecamatan Kupang Timur (sumber: pengamatan lapangan, 2011) Berdasarkan pengamatan di lapangan, jaringan irigasi yang ada di lokasi didominasi oleh tipe alur atau boks. Jaringan irigasi air tanah (JIAT) terdiri dari atas saluran terbuka dan saluran tertutup. Berdasarkan tipologi yang ditemukan di lapangan, status petani yang terkait dengan lahan garapannya dapat dibagi menjadi 5 kategori: (a) petani pemilik, (b) petani penggarap, (c) buruh tani, (d) petani pemilik dan penggarap, dan (e) petani pemilik dan buru tani. Tidak sedikit petani pemilik juga merangkap sebagai petani penggarap, bahkan juga merangkap sebagai buruh tani. Jumlah lahan yang dimiliki, baik pada kategori lahan perkebunan (tanaman keras) maupun lahan hamparan, jumlah terbesar yang dimiliki oleh petani di kecamatan ini adalah 0,5 ha. Pendapatan utama rumah tangga petani di kedua desa tersebut setiap kali panen selama, cukup bervariasi. Rata-rata

10 pendapatan petani dari hasil pertanian kurang dari Rp ,- / bulan. Kelembagaan masyarakat di lingkungan petani yakni PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), organisasi keagamaan, dan lain-lainnya. Eksistensi kelembagaan tersebut di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di komunitas petani pada khususnya memiliki variasi yang berbeda-beda. Ada yang cenderung masih eksis dan kuat hingga saat ini, tetapi di sisi lain ada juga kelembagaan yang relatif sudah kurang menunjukkan eksistensinya 5. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian dan pengembangan irigasi springkler telah dilakukan sejak tahun 2005 oleh Balai Irigasi, Puslitbang Sumber Daya Air, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum. Mendukung kegiatan tersebut, Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat (sekarang menjadi Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan) pada tahun 2006 telah melakukan penelitian di Desa Akar-Akar, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian tersebut diangkat menjadi sebuah pedoman yang tujuannya untuk memandu Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, lembaga non pemerintah, akademisi, maupun unsur masyarakat dalam memfasilitasi pemberdayaan perkumpulan (kelembagaan) petani untuk operasi dan pemeliharaan(op) jaringan irigasi springkler yang sudah ada maupun yang akan direncanakan. Prinsip penerapan pedoman ini adalah bahwa pelaksanaan OP partisipatif dilakukan berbasis sumber daya yang tersedia di sekitar lokasi, diantaranya sumber daya alam, sumber daya manusia, termasuk potensi kelembagaan yang telah ada. Seluruh stakeholders meliputi pemerintah, swasta dan masyarakat terlibat dalam pemberdayaan P3A sesuai dengan peran masing-masing. Tahapan pembentukan kelembagaan yang terdapat dalam pedoman dapat digambarkan dalam diagram berikut:

11 mulai Identifikasi potensi dan permasalahan Sosialisasi program lembaga sudah terbentuk sudah Pelatihan belum Pembentukan kelompok kerja(pokja) demo plot sosial ekonomi penyusunan rencana aksi uji coba tanam tahap I berhasil tidak tidak lembaga sudah terbentuk uji coba tanam tahap II selesai sudah berhasil belum legalisasi lembaga (misal: P3A) Gambar 5. Diagram Alur Pembentukan Lembaga Petani OP Jaringan Irigasi Springkler (sumber: Pedoman Pemberdayaan Petani Pemakai Air dalam OP Irigasi Springkler, 2009) Kegiatan pembentukan pokja dimulai dari identifikasi potensi dan permasalahan baik kondisi wilayah maupun sosial ekonomi. Kegiatan ini merupakan bentuk dari pemetaan sosial ekonomi. Hasil pemetaan ini dapat menjadi pertimbangan dalam perencanaan pengembangan irigasi lahan kering mulai dari kondisi alam hingga kesiapan masyarakat petani di lokasi. Setiap langkah dalam tahap ini telah dilakukan dan tanpa ada perbedaan metode antara pedoman dan pelaksanaan di lapangan. Tahap 2 yaitu sosialisasi program. Tahap ini menjadi sarana untuk menyampaikan rencana pengembangan irigasi air tanah dan rencana pembentukan pokja kepada pemerintah daerah setempat dan

12 masyarakat. Di dalam pedoman disebutkan sosialisasi dapat dilakukan seara formal dan informal, namun tidak dijelaskan penggunaannya. Pertemuan formal umumnya dihadiri oleh para stakeholders sesuai lingkup sosialisasi. Keuntungan pertemuan dilakukan secara formal adalah dihadiri oleh para pengambil keputusan (misal: pejabat dinas terkait, camat, lurah). Kelemahannya adalah jalannya diskusi didominasi oleh orang-orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan lebih tinggi. Hal ini akan membatasi kesempatan menyampaikan pendapatnya. Metode ini cocok digunakan untuk sosialisasi kepada aparat pemerintah. Sedangkan pertemuan informal mempunyai keuntungan yaitu peserta merasa lebih bebas menyampaikan pendapat atau aspirasi tanpa memandang jabatan atau strata dan terkesan lebih akrab. Namun kelemahannya adalah sosialisai ini dipandang tidak resmi. Oleh karena itu, matode informal cocok digunakan untuk sosialisasi kepada masyarakat. Acara sosialisasi telah dilakukan untuk menjelaskan rencana pembentukan pokja dan teknologi irigasi air tanah yang sedang dibangun oleh P2AT. Sosialisasi kepala masyarakat dilakukan secara informal yaitu dengan mengundang seluruh petani yang akan terlayani irigasi air tanah (springkler). Dalam acara ini, camat dan kepala desa tidak perlu hadir, namun diinformasikan tentang rencana sosialisasi. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan aparat pemerintahan setempat hadir dalam acara sosialisasi. Respon masyarakat sangat bagus. Acara sosialisasi dihadiri hampir seluruh petani, dan setiap orang menyampaikan aspirasinya termasuk para ibu. Tahap 3 yaitu Pembentukan Kelembagaan dalam hal ini setingkat desa disebut Kelompok Kerja (Pokja) tingkat desa. Di dalam pedoman disebutkan bahwa terdapat 3 agenda utama dalam proses pembentukan kelembagaan yaitu pembentukan pokja, penyusunan aturan kelompok dan perencanaan iuran dan OP. Pembentukan kelompok dilakukan melalui pertemuan formal dan informal. Dalam pelaksanaannya, metode informal lebih efektif daripada metode formal dilihat dari sisi perolehan informasi dan kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, pertemuan baik yang difasilitasi oleh tim peneliti maupun tokoh masyarakat dilakukan secara informal. Tim peneliti memfasilitasi pertemuan pembentukan pokja setidaknya 2 kali yaitu pada saat penjelasan pentingnya kelembagaan dan saat penyusunan struktur organisasi. Pertemuan informal yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat dilakukan sesuai kebutuhan dalam rangka penyusunan struktur organisasi dan pemilihan pengurus, penyusunan aturan kelompok dan perencanaan iuran dan OP. Tahap 4 yaitu Perkuatan Kelembagaan. Di dalam pedoman disebutkan aktivitas yang dilakukan dalam rangka perkuatan kelembagaan antara lain pelatihan, demplot sosial ekonomi, penyusunan rencana aksi, ujioba dan legalisasi. Perkuatan kelembagaan akan lebih

13 efektif apabila dilaksanakan secara formal karena melibatkan seluruh stakeholders baik dari pemerintah maupun swasta. Pelaksanaan tahap ini telah sesuai dengan tahapan yang tercantum dalam pedoman dan tidak ada perbedaan metode pelaksanaannya. Analisis diatas dapat dijabarkan dalam Tabel 1 (terlampir). 6. SIMPULAN DAN REKOMENDASI Dari analisis dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan penerapan Pedoman Pemberdayaan petani pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Springkler sebagai berikut: Kelembagaan sangat dibutuhkan dalam rangka keberlanjutan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi air tanah. Bentuk kelembagaan yang paling sederhana adalah kelompok kerja (pokja) tingkat desa. Adapun struktur organisasi pokja adalah sebagai berikut: PENASEHAT KETUA BENDAHARA SEKRETARIS OPERATOR ANGGOTA Gambar 6. Struktur Organisasi Kelompok Kerja (POKJA) Tingkat Desa Keberadaan juru pungut dapat diabaikan apabila dalam satu desa hanya terdapat satu pokja. Lain halnya apabila dalam satu desa terdapat lebih dari satu pokja, juru pungut iuran diperlukan untuk membantu tugas bendahara. Terdapat perbedaan metode pertemuan yang digunakan terutama dalam rangka sosialisasi dan pembentukan kelembagaan. Pertemuan informal lebih efektif untuk berdiskusi dengan masyarakat. Dengan cara informal, masyarakat akan lebih leluasa dalam menyampaikan aspirasi

14 dan pendapatnya. Pada saat berdiskusi dengan aparat pemerintahan, metode yang digunakan adalah pertemuan formal. Pembentukan kelembagaan dilakukan apabila di lokasi belum terdapat kelompok masyarakat. Setelah kelembagaan terbentuk, dilakukan perkuatan kelembagaan yang meliputi pelatihan, demplot, rencana aksi, ujicoba dan legalisasi kelembagaan. Secara umum pelaksanaannya tidak berbeda dengan pedoman yang ada. Berdasarkan hasil analisis penerapan pedoman, rekomendasi yang dapat disampaikan adalah: Sifat pertemuan formal dan informal belum dijelaskan dalam pedoman. Oleh karena itu, penggunaan pilihan formal dan informal perlu dijelaskan peruntukannya. Pertemuan formal lebih efektif digunakan untuk pertemuan yang dihadiri oleh aparat pemerintah dan swasta. Sedangkan pertemuan informal lebih efektif digunakan untuk pertemuan yang dihadiri oleh masyarakat. Dalam pedoman aktivitas pemahaman daerah secara partisipatif (PRA) terdapat di dalam tahap sosialisasi program. PRA merupakan bagian dari proses pemetaan social ekonomi bukan bagian dari proses sosialisasi. Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar poin dalam pedoman dipindahkan menjadi bagian dari 6.1 yaitu Identifikasi Potensi dan permasalahan.

15 Tabel 1. Analisis Penerapan Pedoman No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL 1 IDENTIFIKASI POTENSI DAN PERMASALAHAN IDENTIFIKASI / PEMETAAN SOSIAL EKONOMI 1.1. Identifikasi Potensi dan Permasalahan Alam Identifikasi potensi dan permasalahan: Wilayah administratif Lokasi kegiatan Kondisi geografis Kondisi topografis Kondisi hidrologi Pencapaian ke lokasi kegiatan Sarana prasarana yang tersedia Komoditas unggulan Identifikasi potensi dan permasalahan alam dilakukan oleh fasilitator Identifikasi dilakukan dengan metode studi literatur, survey lapangan, dan wawancara dengan instansi-instansi terkait. Hasil identifikasi potensi dan permasalahan alam dipergunakan untuk perencanaan konstruksi dan operasi Pemetaan Kondisi Fisik Lokasi Memperoleh gambaran umum wilayah / lokasi anatar lain: Kondisi geografi Kondisi Topografi Ketersediaan sumber air Sarana & prasarana Komoditas unggulan Dilakukan oleh tim peneliti bekerjasama dengan P2AT Metode yang digunakan adalah studi literatur, survey lapangan, wawancara mendalam dengan instansi terkait dan tokoh kunci yaitu kepala desa dan camat. Kondisi geografi di lokasi pembangunan yang memang merupakan daerah kering Tidak terdapat sumber air permukaan terdekat atau umumnya sumber air jauh dari hamparan Jenis tanah umumnya berupa pasir dan bersifat porous (cepat menyerap air) Komoditas unggulan adalah tanaman holtikultura dan palawija Hasil pemetaan ini berfungsi untuk perencanaan konstruksi dan operasi Secara garis besar tidak ada perbedaan metode pelaksanaan identifikasi. Terdapat perbedaan istilah. Pedoman menggunakan istilah identifikasi potensi dan permasalahan. Sedangkan penelitian ini menggunakan istilah pemetaan kondisi fisik lokasi. Wawancara tidak hanya dilakukan terhadap instansi pemerintahan, namun juga dilakukan terhadap masyarakat/petani setempat. Pertimbangannya bahwa petani lebih mengetahui permasalahan alam.

16 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL 1.2. Identifikasi Potensi dan Pokok-Pokok Identifikasi: Hasil identifikasi Pemetaan sosial Memperoleh gambaran Gambaran kesiapan permasalahan Sosial Demografi penduduk dipergunakan untuk ekonomi dan umum tentang: masyarakat secara dan Kelembagaan Mata pencaharian dan merencanakan lembaga kelembagaan Demografi sosial dan ekonomi peluang usaha yang akan dibentuk. penduduk desa Nilai-nilai dan norma yang berlaku Mata pencaharian penduduk desa Pola-pola kemasyarakatan (misalnya kepemimpinan) Kondisi perekonomian masyarakat Budaya setempat / Kelompok-kelompok tradisional masyarakat Identifikasi potensi dan permasalahan sosial dan kelembagaan dilakukan oleh fasilitator bersama tokohtokoh masyarakat Metode yang digunakan adalah studi literatur dan wawancara kearifan lokal Kelembagaan di masyarakat Dilakukan oleh tim peneliti bekerjasama dengan P2AT. Secara umum menggunakan metode wawancara terhadap tokoh kunci seperti camat, kepala desa, dan beberapa petani dan pengisian kuesioner untuk mendapatkan data kuantitatif terutama tentang kondisi ekonomi Secara umum, langkah-langkah dalam pedoman dapat dilakukan. Terdapat perbedaan istilah. Penelitian ini menggunakan istilah pemetaan sosial ekonomi Dilakukan pula PRA untuk mendapatkan persepsi petani dan kemampuan serta kesipaan petani dalam penerapan irigasi springkler.

17 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL 1.3. Identifikasi Potensi dan Pokok-Pokok Identifikasi: Hasil identifikasi menjadi Pemetaan Infrastruktur Mendapatkan Gambaran infrastruktur Secara umum, Permasalahan Jenis tanah acuan dalam perencanaan Irigasi gambaran tentang irigasi eksisting dan langkah-langkah Kebutuhan Irigasi Jenis tanaman yang jaringan irigasi dan bahan kondisi jaringan irigasi hasil usaha tani yang dalam pedoman sesuai pertimbangan dalam yang ada di lokasi dan dilakukan petani dapat dilakukan. Pola tanam rencana OP gambaran usaha tani setemmpat. Terdapat perbedaan Sistem irigasi eksisting yang dilakukan istilah. Penelitian ini Hasil panen masyarakat setempat menggunakan Dilakukan oleh fasilitator Dilakukan oleh tim istilah pemetaan bersama tenaga pendamping peneliti bekerjasama infrastruktur irigasi teknis dan petani dengan P2AT Metode yang digunakan Metode yang adalah studi literatur, diguanakan adalah observasi lapangan, dan observasi lapangan dan wawancara wawancara khususnya terhadap para petani 2 SOSIALISASI PROGRAM 2.1. Sosialisasi Rencana Sosialisasi dilakukan untuk memberikan informasi yang lengkap tentang rencana pelaksanaan program, meliputi: Penjelasan tentang rencana program secara garis besar serta secara rinci/spesifik masingmasing kegiatan. Mendapatkan masukan dan informasi dari masyarakat tentang program yang akan Hasil sosialisasi : aparat kecamatan dan desa mengerti serta dapat memberi klarifikasi kepada masyarakat, bila ada informasi tentang rencana irigasi springkler yang kurang dipahami masyarakat tokoh/wakil masyarakat dapat menyampaikan kembali informasi dan SOSIALISASI PROGRAM Sosialisasi Rencana Tim peneliti bersama P2AT melakukan sosialisasi kepada aparat pemerintahan di tingkat kabupaten yaitu instansi terkait (PU / Pengairan dan Pertanian) dan di tingkat masyarakat yaitu Camat dan Kepala Desa. Aparat di instansi terkait (Bappeda, PU dan Pertanian) mengetahui rencana program P2AT dan penelitian Aparat kecamatan dan desa serta masyarakat setempat mengetahui dan mengerti program yang akan dilaksanakan oleh Sosialisasi pada aparat berbeda dengan sosialisasi pada masyarakat. Oleh karena itu, forum pertemuan pun diperlakukan berbeda. Sosialisasi pada masyarakat dilakukan secara informal agar masyarakat bebas menyampaikan aspiransinya.

18 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL dilaksanakan. masukan peserta Tujuan sosialsiasi: P2AT dan Tim Memberikan semangat/motivasi agar masyarakat berpartisipasi mendukung program. sosialisasi agar masyarakat termotivasi untuk berperan dalam program Menyampaikan rencana program yang dilakukan oleh BWS/P2AT Peneliti di wilayahnya. Menjaring informasi pandangan, pendapat dan program yang mungkin dapat dilaksanakan/dikontribu sikan stakeholder lain dalam pelaksanaan program untuk tahuntahun mendatang dalam rangka keberlanjutan program. Mengumpulkan data yang relevan dengan pelaksanaan program. Pelaksanaan sosialisasi rencana difasilitasi oleh fasilitator dengan menghadirkan pihak penyedia springkler dan pemerintah kabupaten/kota sebagai narasumber, serta pendamping masyarakat dan pendamping teknis untuk memberikan penjelasan detail tentang masingmasing kegiatan Menjaring informasi atau pandangan stakeholders terkait pembangunan springkler Sosialisasi kepada aparat dilakukan secara formal yang dihadiri oleh instansi terkait. Sedangkan sosialisasi ke aparat pemerintahan di tingkat masyarakat dan tokoh masyarakat dilakukan secara informal. Apabila sosialisasi pada aparat dan masyarakat dilakukan bersamaan, umumnya masyarakat akan sedikit berbicara. Demikian pula sosialisasi pada aparat camat dan kepala desa juga dilakukan secara informal. Dengan cara ini, akan diperoleh banyak informasi mengenai pembangunan irigasi yang telah dilakukan.

19 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL Metode yang digunakan adalah pertemuan formal dengan penyampaian informasi dari para narasumber dilanjutkan kesempatan berdialog antara peserta dan narasumber 2.2 Pemahaman Daerah Secara Partisipatif (PRA) PRA sebagai bagian dari tahap sosialisasi secara umum bertujuan agar masyarakat dapat memahami program yang disosialisasikan dengan cara terlebih dulu memahami potensi dan permasalahan di sekitarnya sehingga memahami kebutuhan dan alternatif solusi yang ditawarkan dalam program Tujuan PRA: Memberikan motivasi sekaligus sosialisasi secara komprehensif terhadap pelaksanaan program kepada semua komponen masyarakat dan stakeholder lainnya. Membangun kesepakatan dan kesepahaman antara masyarakat dengan stakeholder lainnya Kesepakatan bersama seluruh anggota masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan PRA tentang pernyataan sikap dan tekad masyarakat untuk berperan dalam menyukseskan rencana pembangunan irigasi springkler Pemahaman Daerah Secara Partisipatif (PRA) PRA tidak hanya dilaksanakan pada saat sosialisasi, tetapi juga dilaksanakan pada saat pemetaan sosial ekonomi. Metode yang digunakan adalah wawancara dengan petani atau ketua kelompok tani dan penyebaran kuesioner Pelaksanaan PRA dilakukan oleh Ketua Kelompok Tani yang ada, difasilitasi oleh P2AT. Gambaran kesiapan sosial ekonomi masyarakat PRA merupakan proses pemetaan secara cepat yang dialkukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, PRA dilaksanakan pada saat pemetaan sosial ekonomi.

20 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL yang akan terlibat dalam pelaksanaan program tentang bentuk dan peran masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Melakukan dan membuat social mapping(pemetaan sosial) bersama masyarakat tentang kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta aspek-aspek yang mempengaruhi hubungan antar masyarakat dalam pelaksanaan program Pelaksanaan PRA menggunakan pendekatan participatory dimana seluruh perwakilan sebagai representasi elemen masyarakat diiukut-sertakan dalam kegiatan ini Diskusi difasilitasi secara partisipatif, setiap peserta dapat menyampaikan pendapat, saran dan pemikirannya secara bebas dan bertanggung-jawab dengan proses andragogi (pembelajaran bagi orang

21 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL dewasa). Diskusi dipandu oleh fasilitator dibantu para pendamping 3 PEMBENTUKAN PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN 3.1. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Pokja dibentuk dengan kesepakatan masyarakat yang dicapai dalam pertemuan-pertemuan Pertemuan-pertemuan yang dilakukan dapat berupa pertemuan formal maupun informal POKJA Struktur organisasi pokja Pembentukan POKJA Yang dilakukan dalam pembentukan pokja adalah: Penyusunan struktur organisasi Penyusunan Tugas dan Fungsi setiap peran Pemilihan pengurus pokja Pembentukan pokja dilakukan melalui pertemuan informal. Pertemuan paling sedikit dilakukan sebanyak 2 kali. Pertemuan 1 membahas pentingnya kelembagaan. Pertemuan 2 Finalisasi struktur organisasi. Bila diperlukan, para petani dapat mengadakan pertemuan swadaya membahas pembentukan pokja. Struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan. Struktur Organisasi Pokja Secara umum struktur organisasi sesuai dengan pedoman, namun petugas pemungut iuran tidak dibutuhkan apabila dalam satu desa hanya terdapat satu pokja.

22 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL 3.2. Penyusunan Aturan Kelompok Penyusunan Aturan Kelompok Penyusunan aturan kelompok bertujuan untuk memberikan arahan bagi anggota pokja dalam berperan sesuai fungsi dan kapasitasnya Metode yang digunakan dalam penyusunan aturan kelompok adalah pertemuanpertemuan baik formal maupun informal, serta diskusi terarah dengan pendamping masyarakat sebagai pemandu diskusi Aturan-aturan sederhana yang telah disepakati anggota pokja tentang peran (tugas dan kewajiban) masing-masing pihak antara lain: Aturan kelompok disusun melalui pertemuan informal yang dihadiri oleh seluruh anggota kelompok. Adapun yang diatur adalah: Aturan Pertemuan dan Pengambilan Keputusan Aturan Iuran Aturan pengoperasian mesin Aturan Pemeliharaan Mesin Aturan pemberian Sanksi Aturan tersebut disepakati oleh seluruh anggota kelompok Pertemuan dilakukan minimal 2 kali yaitu untuk menjelaskan aturan yang perlu dibahas dan finalisasi aturan kelompok. Aturan kelompok, sebagai embrio AD/ART. Terdapat perbedaan hasil penyusunan aturan kelompok. Dalam pedoman dijelaskan bahwa hasil dari penyusunan aturan kelompok adalah uraian tentang tugas dan peran pengurus pokja. Sedangkan dalam penerapannya, aturan kelompok yang dihasilkan adalah kesepakatan aturan mengenai manajemen pokja. Uraian tugas dan peran pengurus telah dijabarkan dalam pembentukan pokja.

23 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL 3.3 Perencanaan Iuran dan OP Rencana Iuran dan OP Perencanaan iuran dan OP Besaran iuran yang harus dibayar petani. bertujuan memberi kesempatan pada masyarakat untuk menghitung sendiri manfaat irigasi springkler yang akan dirasakan dengan kesediaan masyarakat membiayai OP untuk menjaga keberlangsungan irigasi metode diskusi dalam pertemuan-pertemuan formal dipandu oleh pendamping masyarakat dan pendamping teknis atau narasumber Perencanaan iuran dilakukan melalui pertemuan informal. Besaran iuran tidak ditentukan oleh satu orang. Jadi besaran iuran disesuaikan dengan kemampuan petani Terdapat 2 macam iuran yaitu iuran pokok dan iuran rutin. Iuran rutin sebaiknya mempertimbangkan luas lahan yang dimiliki petani. Jadi semakin luas lahan yang dimiliki, semakin besar iuran yang harus dibayar. Besaran iuran disepakati oleh seluruh anggota kelompok. Perubahan iuran dimungkinkan dengan mempertimbangkan kemampuan petani dan disepakati oleh semua anggota kelompok. Secara umum, proses perencanaan iuran yang dilakukan dalam penelitian ini sudah sesuai dengan pedoman.

24 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL 4 PERKUATAN KELEMBAGAAN PERKUATAN KELOMPOK 4.1. Pelatihan Tujuan: Hasil Pelatihan: Pelatihan Hasil Pelatihan: Secara umum Meningkatkan pemahaman, kemampuan dan kapasitas petani peserta program Pengembangan Lahan Kering dalam hal teknis terkait pelaksanaan program. anggota pokja mengerti dasardasar OP jaringan irigasi springkler anggota pokja yang telah terbentuk memahami dan mampu mengatur anggota pokja mengerti dasardasar OP jaringan irigasi springkler pelaksanaan pelatihan sesuai dengan pedoman. organisasi Memberikan motivasi kepada peserta pelatihan dalam pelaksanaaan dan pemanfaatan kegiatan sehingga tumbuh rasa memiliki dan tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan kegiatan baik saat ini maupun ke depan. menggunakan pendekatan participatory dimana seluruh kegatan diarahkan bagi peserta untuk berkontribusi memberikan pendapat, saran dan pengetahuannya dalam pelatihan Diskusi dan dialog yang dikembangkan dalam kesetaraan dimana semua peserta secara bebas dalam kelompok anggota pokja dapat mengembangkan budidaya tanaman/pertanian dan selanjutnya dapat membagikan pengetahuan tersebut pada para petani yang lain Pelatihan dilakukan melalui pertemuan informal yang difasilitasi oleh BWS dalam hal ini Satker Operasi dan Pemeliharaan dan dihadiri oleh seluruh anggota dan pengurus pokja. Materi pelatihan antara lain pelatihan teknis OP irigasi lahan kering, pelatihan manajemen. Pelatihan teknis disampaikan oleh tenaga ahli teknis irigasi lahan kering Oleh karena jaringan belum siap, maka dalam pelatihan tidak dilakukan praktik lapangan. Pelatihan budidaya pertanian dilakukan oleh Dinas Pertanian, melalui Penyuluh Pertanian (PPL) setempat dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) anggota pokja yang telah terbentuk memahami dan mampu mengatur organisasi kelompok anggota pokja dapat mengembangka n budidaya tanaman/pertan ian dan selanjutnya dapat membagikan pengetahuan tersebut pada para petani yang lain

25 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL batas tataran etika menyampaikan pengalaman, pendapat dan ilmunya tentang meteri pelatihan menggunakan metodologi/pendekatan partisipatory 3 Materi Pelatihan: Pelatihan teknis OP jaringan irigasi springkler Pelatihan manajemen kelompok Pelatihan budidaya 4.2. Demplot Sosial Ekonomi 4.3 Penyusunan Rencana Aksi pertanian Pembuatan demplot dimaksudkan sebagai bagian dari proses pendampingan untuk mengintegrasikan antara kegiatan di kelompok dengan di lahan sebagai area praktek Penyusunan rencana aksi bertujuan untuk membangun kerjasama yang lebih baik antar semua pihak baik unsur pemerintah, pemerintah daerah (Provinsi/ Kabupaten), masyarakat, maupun swasta dilaksanakan dengan metode FGD dalam pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal peningkatan pemahaman dan kemampuan masyarakat dalam mengoperasikan dan memelihara teknologi Hasil kesepakatan berisi kegiatan-kegiatan, pihakpihak pelaksana, waktu pelaksanaan, dan keterangan cara pelaksanaannya Penyusunan Rencana Aksi Oleh karena jaringan belum siap dioperasikan, maka demplot tidak dilakukan. Penyusunan rencana aksi dilakukan melalui pertemuan formal yang difasilitasi oleh BWS/P2AT dan dihadiri oleh Dinas terkait di tingkat Kabupaten, camat dan kepala desa, serta pengurus Pokja. Masing-masing pihak menyampaikan bentuk dukungan kepada pokja Secara umum pelaksanaan penyusunan rencana aksi telah sesuai dengan pedoman

26 No PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A PENERAPAN PEDOMAN ANALISIS TAHAP KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL YANG DICAPAI TAHAPAN KEGIATAN METODE PELAKSANAAN HASIL terkait dengan pelaksanaan OP dan disepakati bersama 4.4. Ujicoba Tanam Kegiatan uji coba merupakan pelaksanaan kesepakatan rencana aksi. Pelaksanaan rencana aksi ini bersama dengan pembangunan jaringan irigasi springkler oleh pihak penyedia springkler. Pelaksanaan rencana aksi ini didukung oleh bantuan dari Dinas Provinsi/Kabupaten. Dikembangkan masyarakat untuk mendukung program Legalisasi Kelembagaan Tujuan dari legalisasi lembaga agar pokja yang telah terbentuk keberadaanya diperkuat sebagai lembaga yang sah Legalisasi lembaga dilakukan dengan metode FGD Legalisasi lembaga terdiri dari 4 (empat) tahap: Penyusunan draft AD/ART Pembahasan AD/ART Pengajuan AD/ART Pembentukan pengurus Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Legalisasi Pokja Kegiatan ujicoba tanam dengan menggunakan irigasi springkjler belum dapat dilakukan karena jaringan belum siap Meskipun demikian, direncanakan BWS/P2AT akan menindaklajuti dengan ujicoba tanam tersebut setelah jaringan siap. Legalisasi pokja dilakukan melalui pertemuan formal yang dihadiri oleh pengurus pokja, camat, kepala desa, dinas terkait di lingkungan pemerintah kabupaten. AD/ART belum terbrntuk. Meskipun demikian, yang disepakati bersama adalah aturan pokja yang akan menjadi AD/ART. Penyusunan AD/ART akan dilanjutkan oleh BWS/P2AT. Stakeholders mengetahui keberadaan pokja Legalisasi aturan pokja Secara umum pelaksanaan Legalisasi pokja telah sesuai dengan pedoman

27 D A F T A R P U S T A K A Ariyanto, Dwi Priyo Organisasi Irigasi dalam Operasional dan Perawatan Irigasi. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kurnia, Undang Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian. Departemen Pertanian Laporan Akhir Penelitian Peningkatan Peran Masyarakat dan Pemerintah daerah mendukung Penerapan Teknologi ke-pu-an di Desa Akar-Akar, Nusa Tenggara Barat. Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat. Jakarta. Manan, Hilman. Teknologi Pengelolaan Lahan dan Air Mendukung Ketahanan Pangan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian. Notohadiprawiro, Tejoyuwono Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, kendala dan Pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID. Bogor. Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Springkler. Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat. Jakarta

Laporan Akhir I - 1 SUMBER DAYA AIR

Laporan Akhir I - 1 SUMBER DAYA AIR I - 1 SUMBER DAYA AIR Latar Belakang Irigasi Mikro untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Air adalah unsur utama agar tanaman dapat hidup, bahkan 85-90% dari bobot sel-sel dan jaringan tanaman adalah

Lebih terperinci

Implementation of an Institutional Operations and Maintenance for Irrigation Network In Local Communities

Implementation of an Institutional Operations and Maintenance for Irrigation Network In Local Communities PENERAPAN KELEMBAGAAN OPERASI PEMELIHARAAN UNTUK JARINGAN IRIGASI PADA MASYARAKAT LOKAL Implementation of an Institutional Operations and Maintenance for Irrigation Network In Local Communities Sekretariat

Lebih terperinci

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI Desember, 2011 KATA PENGANTAR Laporan ini merupakan Executive Summary dari kegiatan Pengkajian Model Kelembagaan dan Pengelolaan

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, 1 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21

Lebih terperinci

Implementation of an Institutional Operations and Maintenance for Irrigation Network In Local Communities

Implementation of an Institutional Operations and Maintenance for Irrigation Network In Local Communities PENERAPAN KELEMBAGAAN OPERASI PEMELIHARAAN UNTUK JARINGAN IRIGASI PADA MASYARAKAT LOKAL Implementation of an Institutional Operations and Maintenance for Irrigation Network In Local Communities Retta Ida

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI AIR TANAH (IRIGASI MIKRO)

EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI AIR TANAH (IRIGASI MIKRO) EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI AIR TANAH (IRIGASI MIKRO) Desember 2011 KATA PENGANTAR Executive Summary ini merupakan ringkasan dari Laporan Akhir kegiatan Pengkajian Efisiensi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 33 /PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A/GP3A/IP3A DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 33 /PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A/GP3A/IP3A DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 33 /PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A/GP3A/IP3A DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KESIAPAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI IRIGASI SPRINGKLER DI SULAWESI UTARA

KESIAPAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI IRIGASI SPRINGKLER DI SULAWESI UTARA KESIAPAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI IRIGASI SPRINGKLER DI SULAWESI UTARA Andreas Christiawan 1, Sunardi 2 1 Balai Litbang Sosek Bidang SDA Jl. Sapta Taruna Raya no. 26, Pasar Jumat, Jakarta Selatan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP

EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP Oleh : Sekretariat Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Disampaikan Pada Acara Koordinasi dan Sinkronisasi Pengarusutamaan Gender dalam Mendukung

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem irigasi beserta keberhasilan pengelolaannya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KELURAHAN DAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KELURAHAN DAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KELURAHAN DAN KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN KEGIATAN KERJASAMA DIREKTORAT JENDERAL DENGAN TNI-AD MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN (TMKP) TA. 2014

PETUNJUK PELAKSANAAN KEGIATAN KERJASAMA DIREKTORAT JENDERAL DENGAN TNI-AD MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN (TMKP) TA. 2014 PETUNJUK PELAKSANAAN KEGIATAN KERJASAMA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN DENGAN TNI-AD MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN (TMKP) TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN Volume 14 Nomor 1, Juni 2016

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN Volume 14 Nomor 1, Juni 2016 JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN 1412-6982 Volume 14 Nomor 1, Juni 2016 OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI AIRTANAH MELALUI PARTISIPASI AKTIF PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR DI SULAWESI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.13/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

MPS Kabupaten Bantaeng Latar Belakang

MPS Kabupaten Bantaeng Latar Belakang MPS Kabupaten Bantaeng 1.1. Latar Belakang Kondisi sanitasi di Indonesia memang tertinggal cukup jauh dari negara-negara tetangga, apalagi dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura yang memiliki komitmen

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 80/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 80/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 80/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENILAIAN PETANI BERPRESTASI TINGGI PADA LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH. tenggara dari pusat pemerintahan kabupaten. Kecamatan Berbah berjarak 22 km

GAMBARAN UMUM WILAYAH. tenggara dari pusat pemerintahan kabupaten. Kecamatan Berbah berjarak 22 km IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kecamatan Berbah 1. Lokasi Kecamatan Berbah Kecamatan Berbah secara administrasi menjadi wilayah bagian dari Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak

Lebih terperinci

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIP (PIP) DI KABUPATEN KULON PROGO

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIP (PIP) DI KABUPATEN KULON PROGO LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIP (PIP) DI KABUPATEN KULON PROGO KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.........

Lebih terperinci

MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) PEMERINTAH KOTA PADANGSIDIMPUAN

MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) PEMERINTAH KOTA PADANGSIDIMPUAN Bab 1 ENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memorandum Program Sanitasi (MPS) merupakan tahap ke 4 dari 6 (enam) tahapan program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Setelah penyelesaian dokumen

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan air (dependable flow) suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) relatif konstan, sebaliknya kebutuhan air bagi kepentingan manusia semakin meningkat, sehingga

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN

KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN Sahardi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 13/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 13/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 13/MEN/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PROGRAMA PENYULUHAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi penyebab bencana bagi petani. Indikatornya, di musim kemarau, ladang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi penyebab bencana bagi petani. Indikatornya, di musim kemarau, ladang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan. Jika air tidak tersedia, maka produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa sumber daya

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN MARET 2015

Lebih terperinci

KID Jenggik Utara: Memenuhi Kebutuhan Air Masyarakat Tani di Desa

KID Jenggik Utara: Memenuhi Kebutuhan Air Masyarakat Tani di Desa KID Jenggik Utara: Memenuhi Kebutuhan Air Masyarakat Tani di Desa Masyarakat Desa Jenggik Utara sudah lama mendambakan bendung/embung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air baik untuk keperluan pertanian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia tahun 2010-2035. Proyeksi jumlah penduduk ini berdasarkan perhitungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari pembangunan nasional.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari pembangunan nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan usaha yang dilakukan sebagai langkah untuk membangun manusia Indonesia.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i

ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i Dwi Priyo Ariyanto Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta Sumberdaya air saat ini semakin sulit serta mempunyai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)di Kecamatan Cilimus Kabupaten. Maka sebagai bab akhir pada tulisan

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY IRIGASI MIKRO BERBASIS MULTI KOMODITAS

EXECUTIVE SUMMARY IRIGASI MIKRO BERBASIS MULTI KOMODITAS EXECUTIVE SUMMARY IRIGASI MIKRO BERBASIS MULTI KOMODITAS Desember, 2012 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Laporan ini merupakan Executive Summary dari kegiatan Irigasi Mikro Berbasis Multi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dan membangun pertanian. Kedudukan Indonesia sebagai negara

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dan membangun pertanian. Kedudukan Indonesia sebagai negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Hasil bumi yang berlimpah dan sumber daya lahan yang tersedia luas, merupakan modal mengembangkan dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Jogonayan merupakan salah satu desa dari 16 desa yang ada di Kecamatan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Jogonayan merupakan salah satu desa dari 16 desa yang ada di Kecamatan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Wilayah Desa Jogonayan 1. Kondisi Geografis dan Administrasi Jogonayan merupakan salah satu desa dari 16 desa yang ada di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

Nanang Rianto 1, R. Pamekas 2

Nanang Rianto 1, R. Pamekas 2 DARI KAMI, OLEH KAMI, DAN UNTUK KAMI (KAJIAN MENGENAI PELIBATAN AKTIF MASYARAKAT DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI IRIGASI BIG GUN SPRINGKLER DI DESA AKAR-AKAR, NTB) Nanang Rianto 1, R. Pamekas 2 Calon peneliti

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 DRAFT-4 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa pertanian mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU ABSTRAK FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU Umi Pudji Astuti, Wahyu Wibawa dan Andi Ishak Balai Pengkajian Pertanian Bengkulu,

Lebih terperinci

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau No. 6, September 2001 Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, Salam sejahtera, jumpa lagi dengan Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama.

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN 1 PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TUBAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu komponen penting pendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pokja Sanitasi Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Pokja Sanitasi Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Program dan Kegiatan dalam dokumen ini merupakan hasil konsolidasi dan integrasi dari berbagai dokumen perencanaan terkait pengembangan sektor sanitasi dari berbagai

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN LITBANG PERTANIAN

BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN LITBANG PERTANIAN KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM KELEMBAGAAN USAHA PENANGKARAN BENIH PADI SPESIFIK LOKASI DI SULAWESI UTARA Jantje G. Kindangen, Janne H.W. Rembang, Derek.J. Polakitan, Olvie G. Tandi, dan Frederik F. Rumondor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang

Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang SUMBER DAYA AIR S alah satu isu strategis nasional pembangunan infrastruktur SDA sebagaimana tercantum dalam Renstra Kementerian PU 2010 2014 adalah mengenai koordinasi dan ketatalaksanaan penanganan SDA

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia mengimpor beras sebanyak 0,6 juta ton. Impor beras mengalami peningkatan pada tahun-tahun

Lebih terperinci

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN PRA FOCUS GROUP DISCUSSION (PRA FGD 3) RPKPP KABUPATEN JOMBANG 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegiatan Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN

Lebih terperinci

PENGENALAN TEKNIK USAHATANI TERPADU DI KAWASAN EKONOMI MASYARAKAT DESA PUDAK

PENGENALAN TEKNIK USAHATANI TERPADU DI KAWASAN EKONOMI MASYARAKAT DESA PUDAK PENGENALAN TEKNIK USAHATANI TERPADU DI KAWASAN EKONOMI MASYARAKAT DESA PUDAK 1 Hutwan Syarifuddin, 1 Wiwaha Anas Sumadja, 2 Hamzah, 2 Elis Kartika, 1 Adriani, dan 1 Jul Andayani 1. Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara lain:

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara lain: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program dan Kegiatan dalam dokumen ini merupakan hasil konsolidasi dan integrasi dari berbagai dokumen perencanaan terkait pengembangan sektor sanitasi dari berbagai

Lebih terperinci

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG

PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG PROCEEDING KEGIATAN PENYELENGGARAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD 2) RPKPP KABUPATEN JOMBANG 1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegiatan Rencana Pengembangan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung

I. PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung oleh ketersediaannya air yang cukup merupakan faktor fisik pendukung majunya potensi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

BAB III METODE KAJIAN

BAB III METODE KAJIAN BAB III METODE KAJIAN 3.1. Metode dan Strategi Kajian Metode kajian adalah kualitatif dalam bentuk studi kasus instrumental, yaitu studi yang memperlakukan kasus sebagai instrumen untuk masalah tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan potensi dari sektor pertanian di Indonesia didukung oleh ketersediaan sumber

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PROGRAM REHABILITASI SOSIAL DAERAH KUMUH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM 107 7.1 Latar Belakang Rancangan Program Guna menjawab permasalahan pokok kajian ini yaitu bagaimana strategi yang dapat menguatkan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN KATA PENGANTAR Pedoman Desain Optimasi Lahan Rawa dimaksudkan untuk memberikan acuan dan panduan bagi para

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN 3.1. Tipe Kajian 3.2. Aras Kajian 3.3. Strategi Kajian

III. METODE KAJIAN 3.1. Tipe Kajian 3.2. Aras Kajian 3.3. Strategi Kajian 34 III. METODE KAJIAN 3.1. Tipe Kajian Kajian ini menggunakan tindak eksplanatif. Tindak eksplanatif adalah suatu kajian yang menggali informasi dengan mengamati interaksi dalam masyarakat. Interaksi yang

Lebih terperinci

PENGKAJIAN FAKTOR PENDORONG KEBERHASILAN PENGELOLAAN SAMPAH PARTISIPATIF

PENGKAJIAN FAKTOR PENDORONG KEBERHASILAN PENGELOLAAN SAMPAH PARTISIPATIF PENGKAJIAN FAKTOR PENDORONG KEBERHASILAN PENGELOLAAN SAMPAH PARTISIPATIF TA 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, tujuan utama pengelolaan sampah

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN AKSI PARTISIPATIF. Participatory Action Research (PAR). Metodologi tersebut dilakukan dengan

BAB III METODE PENELITIAN AKSI PARTISIPATIF. Participatory Action Research (PAR). Metodologi tersebut dilakukan dengan BAB III METODE PENELITIAN AKSI PARTISIPATIF A. Pendekatan Penelitian untuk Pemberdayaan Metode yang dipakai untuk pendampingan ini adalah metodologi Participatory Action Research (PAR). Metodologi tersebut

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 39 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI IRIGASI KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. b. c. d. e. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB II KELURAHAN TUGU SEBAGAI SENTRA BELIMBING. Letak geografis Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok

BAB II KELURAHAN TUGU SEBAGAI SENTRA BELIMBING. Letak geografis Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok BAB II KELURAHAN TUGU SEBAGAI SENTRA BELIMBING 2.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian 2.1.1 Keadaan Umum Kelurahan Tugu Letak geografis Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok berada pada koordinat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam hayati yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam hayati yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam hayati yang sangat beragam yang menjadi andalan perekonomian nasional. Kondisi agroklimat di Indonesia sangat

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DODOL WORTEL DESA GONDOSULI KECAMATAN TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR

PENGEMBANGAN DODOL WORTEL DESA GONDOSULI KECAMATAN TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR PENGEMBANGAN DODOL WORTEL DESA GONDOSULI KECAMATAN TAWANGMANGU KABUPATEN KARANGANYAR Setyowati dan Fanny Widadie Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta watikchrisan@yahoo.com

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB II KERANGKA TEORITIS BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Penelitian Terdahulu Murtiningrum (2009), Kebutuhan Peningkatan Kemampuan Petugas Pengelolaan Irigasi Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan pembagian kewenangan

Lebih terperinci

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA

VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA 92 VIII. PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN UAB TIRTA KENCANA 8.1. Identifikasi Potensi, Masalah dan Kebutuhan Masyarakat 8.1.1. Identifikasi Potensi Potensi masyarakat adalah segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDI DAYA IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci