BAB II PENTINGNYA PENCANTUMAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENTINGNYA PENCANTUMAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN"

Transkripsi

1 BAB II PENTINGNYA PENCANTUMAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN A. Pelaksanaan Suatu Perjanjian. 1. Syarat sah perjanjian Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu: 32 a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi 33 ; b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka; 32 Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), Hal Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, /syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, pada tanggal 11 Agustus

2 23 c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum; d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya; e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada; f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak masing-

3 24 masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan. 34 Kata sepakat tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar sepakat berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan. 35 Sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, di mana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. 36 Menurut Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance), bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan dikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut. 37 b. Cakap untuk membuat perikatan; 34 Ridhuan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), Hal SieInfokum - Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari /informasihukum/perjanjian.pdf, pada tanggal 10 Pebruari J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), Hal Kontrak, diakses dari pada tanggal 11 Agustus 2012.

4 25 Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Suatu badan, perkumpulan, atau badan usaha dapat berstatus sebagai badan hukum bila telah memenuhi beberapa syarat, yaitu: 38 1) Syarat materiil (menurut doktrin) a) Harta kekayaan yang terpisah, dipisahkan dari kekayaan anggotanya. b) Tujuan tertentu (bisa idiil/komersial) c) Punya hak/kewajiban sendiri, dapat menuntut/dituntut d) Punya organisasi yang teratur, tercermin dari Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga. 2) Syarat Formal Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk mendapatkan status sebagai badan hukum biasanya diatur dalam peraturan yang mengatur tentang badan hukum yang bersangkutan. Misalnya pengesahan perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pengesahan yayasan sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang 38 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), Hal 25.

5 26 nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan, dimana agar perseroan terbatas dan yayasan dapat berstatus sebagai badan hukum yang sah, akta pendirian perseroan terbatas dan yayasan yang telah dibuat oleh notaris harus mendapat pengesahan dari menteri. Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut di atas, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subyek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum. 39 Apabila yang membuat perjanjian adalah orang, dia harus cakap menurut hukum. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : 1) Orang-orang yang belum dewasa; Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa: 40 a) seorang baru dikatakan dewasa jika ia: (1) telah berumur 21 tahun; atau (2) telah menikah; Hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 39 Mohd.Syaufii Syamsuddin, op.cit, Hal Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2006), Hal 130.

6 27 b) anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: (1) orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama); (2) walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). 2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros. Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada di bawah pengampuan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau pengampunya (Pasal 433 KUHPerdata). 41 Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya Mohd.Syaufii Syamsuddin, op.cit, Hal Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2002), Hal 18.

7 28 3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya, kecuali ada hak suami yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang akan dilakukan seperti menjual rumah yang didapat setelah perkawinan, dan lainlain. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW). 43 c. Suatu hal tertentu; Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undangundang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. 44 Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang 43 SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit. 44 Subekti, op.cit, Hal 19.

8 29 yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. 45 d. Suatu sebab atau causa yang halal; Menurut Undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1337 KUH Perdata. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causa yang tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum. 46 Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 47 Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: 48 1) dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan; 2). dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. 45 SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit. 46 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Citra Adtya Bakti: Bandung,1992), Hal SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit. 48 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, Hal 93.

9 30 Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya 49. Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan Ibid, Hal Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 11 Agustus 2012.

10 31 2. Prestasi Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi. 51 Prestasi dalam suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata). Di dalam hukum perjanjian, itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu: 52 a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku. Demikian pula suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUHPerdata). 53 Prestasi dapat berwujud sebagai : Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal M. Hariyanto, Asas-asas perjanjian, diakses dari /07/asas-asas-perjanjian.html, pada tanggal 16 juli Djaja S. Meliala, op.cit, hal Ahmadi Miru, op.cit, hal

11 32 a. Benda Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya Sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihakpihak yang menjual tenaga atau keahliannya. Contoh dari penyerahan hak milik adalah jual-beli mobil, dimana setelah salah satu pihak membayar harga yang disepakati untuk mobil tersebut, pihak yang lain harus menyerahkan mobil dan mobil tersebut menjadi milik seutuhnya dari pihak yang telah melakukan pembayaran sedangkan contoh penyerahan kenikmatan adalah sewa menyewa rumah dimana yang diberikan hanya kenikmatan dari rumah tersebut yang setelah berakhir perjanjiannya, rumah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut bebagaimana dia merawat barangnya sendiri atau yang sering diistilahkan dengan sebagai bapak rumah yang baik. Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi apalagi kalau ia lalai menyerahkannya. b. Tenaga atau keahlian Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini terdapat perbedaan karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama,

12 33 sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda. Sebagai contoh suatu kontrak dengan prestasi berupa tenaga adalah kalau seorang yang disuruh memindahkan tumpukan pasir dari pinggir jalan ke dalam pekarangan seseorang, siapa pun yang mengangkat pasir tersebut, hasilnya pasir tersebut akan berada di pekarangan sesuai harapan orang yang menyuruh. Sementara itu, contoh suatu kontrak yang prestasinya berupa keahlian, adalah kalau seorang yang meminta pelukis untuk melukis wajahnya si pelukis tidak begitu saja dapat meminta orang lain untuk melukis wajah orang tersebut karena kemungkinan orang yang diminta menggantikannya tidak memiliki keahlian yang sama sehingga kalau pelukis tersebut diganti, kemungkinan lukisan wajah tersebut tidak sama bahkan mungkin tidak mirip dengan wajah aslinya. c. Tidak berbuat sesuatu Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan. Prestasi dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat: 55 a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan, dan Undang-undang; b. Harus tertentu atau dapat ditentukan; hal Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009),

13 34 c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia. Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika salah satu pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/ wanprestasi. 3. Wanprestasi Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. 56 Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja. Kata perintah (bevel) dalam Pasal 1238 diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya bevel juga bisa diterjemahkan dengan peringatan. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya perintah/peringatan itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (-tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan 56 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), hal 147.

14 35 bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut somasi. 57 Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi. 58 Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan tetapi pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk). 59 Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. 57 J. Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari online.com/ berita/ baca/ lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-jsatrio-, pada tanggal 16 juli 2012` 58 PNH Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambata, 1999), Hal Somasi atau Teguran, diakses dari pada tanggal 11 Agustus 2012.

15 36 yaitu: 60 Bentuk wanprestasi/ ketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk a. Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; b. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/ melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; c. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; d. Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya. 61 Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu : 62 a. Menuntut pemenuhan perikatan; b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbalbalik, menuntut pembatalan perikatan; c. Menuntut ganti rugi; d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi; e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi. Perlunya diketahui apakah penyebab dari terjadinya wanprestasi mengingat akibat yang terjadi karena tindakan wanprestasi itu dilakukan, semuanya dibuktikan di hadapan hakim. Seorang Debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu: Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Hal Ibid. 62 Handri Raharjo, op.cit, hal

16 37 a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau Force majeure); b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus); c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking). Menurut Subekti, ada 4 akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu : 64 a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi; b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; c. Peralihan Risiko; d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi diatas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut : 65 a. Ganti rugi Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya Jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukkan, dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain. Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu 63 Subekti, op.cit, hal Ibid, hal Ibid, hal

17 38 penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut. Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya. 66 Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1246 KUHPerdata yang mana menyatakan bunga sebagai "...untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.." Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya Dan Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian Dari dua pasal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. b. Pembatalan perjanjian Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak

18 39 dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi. Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan: Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka jelas bahwa pembatalan perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata nyata melalaikan kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum. c. Peralihan risiko Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Yang dimaksudkan dengan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

19 40 Peralihan risiko dapat digambarkan demikian: Menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu beralih kepada dia. d. Pembayaran biaya perkara Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat 1 HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim. Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang dilakukan dalam perjanjian itu terjadi akibat dari keadaan memaksa (Force majeure), maka dapat melepaskan pihak yang tidak memenuhi kewajiban itu dari tuntutan ganti kerugian. B. Force Majeure 1. Pengertian Force Majeure Di dalam KUH-Perdata tidak ada defenisi tentang keadaan memaksa, namun hanya memberikan batasan. Sehingga dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat

20 41 melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. 67 Beberapa ahli hukum juga memberikan pandangannya mengenai konsep keadaan memaksa (Force Majeure/Overmacht) diantaranya adalah : 68 a. R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu keadaan memaksa (overmacht), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si debitur dan memaksa, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur. b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollmar: overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi 67 Handri Raharjo, op.cit, hal Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 7.

21 42 perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht). c. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian keadaan memaksa/ Force Majeure adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko Pengaturan Force Majeure dalam Peraturan Perundang-Undangan a. Pengaturan Force Majeure dalam KUHPerdata Dikarenakan KUH Perdata tidak mengenal istilah force majeure dan juga tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut, 70 sehingga dalam menafsirkan pengaturan force majeure dalam KUHPerdata, adalah dengan menarik kesimpulan- 69 Ibid, hal Chandra Kurniawan, Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak, diakses dari - syahrini -- karaha - bodas dankemacetan-merak-broleh chandrakurniawan-, pada tanggal 11 Juni 2012

22 43 kesimpulan umum dari pengaturan-pengaturan khusus, yaitu pengaturan khusus tentang force majeure yang terdapat dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan resiko akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak-kontrak khusus (kontrak bernama). Disamping tentunya menarik kesimpulan dari teori-teori hukum tentang force majeure, doktrin dan yurisprudensi. 71 Menurut Hasanuddin Rahman, terdapat beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman terhadap ketentuan mengenai force majeure, antara lain: 72 Pasal 1244 KUH Perdata: Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya. Kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. Pasal 1245 KUH Perdata: Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja siberhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Pasal 1545 KUH Perdata: Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar. Pasal 1553 KUH Perdata: 71 Munir Fuady,Op.cit, hal Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 206.

23 44 Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah dia akan meminta pembatalan sewa menyewa. Dalam kedua hal tersebut, dia tidak berhak meminta ganti rugi Selain empat pasal yang disebutkan di atas, masih terdapat pasal-pasal lain yang berkaitan dengan Force majeure, yaitu: Pasal 1444 KUH Perdata: Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu. Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya. Pasal 1445 KUH Perdata: Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya. Pasal 1460 KUH Perdata: Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli,

24 45 meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya Pada Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan penggantian biaya rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya. 73 Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya. 74 Pada Pasal 1545 KUHPerdata mengatur mengenai masalah force majeure dalam hubungan dengan kontrak tukar menukar. Dari ketentuan Pasal 1545 ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam suatu kontrak timbal balik (in casu kontrak tukar menukar), maka risiko akibat dari force majeure ditanggung bersama oleh para pihak. Jika ada para pihak telah terlanjur berprestasi dapat memintakan kembali prestasinya tersebut, jadi kontrak tersebut dianggap gugur. Dengan demikian, pengaturan risiko dalam kontrak tukar menukar ini dapat dianggap pengaturan risiko yang adil, sehingga dapat dicontoh pengaturan risiko untuk kontrak-kontrak timbal balik lain selain dari kontrak tukar menukar tersebut. 75 Pada Pasal 1553 mengatur mengenai masalah force majeure dalam hubungan dengan kontrak sewa menyewa. Ketentuan risiko dalam kontrak sewa menyewa seperti terlihat dalam Pasal 1553 KUH Perdata tersebut di atas menempatkan kedua 73 Munir Fuady, Op.cit, hal Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal Ibid, hal 121.

25 46 belah pihak untuk menanggung risiko dari force majeure, tanpa adanya hak dari pihak yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi. Ini juga merupakan ketentuan yang dapat dicontoh bagi penafsiran risiko dan force majeure untuk kontrak timbal balik selain dari kontrak sewa menyewa tersebut. 76 Pada Pasal 1460 KUHPerdata mengatur mengenai masalah force majeure dalam hubungan dengan kontrak jual beli. Terjadi ketidak tepatan di pasal ini dikarenakan peralihan resiko dibuat beralih pada saat kontrak ditandatangani bukan pada saat penyerahan, Ketidaktepatan pengaturan resiko dalam Pasal 1460 KUHPerdata ini diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahum ,yang memintakan para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut. b. Pengaturan Force Majeure dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya Secara umum, pengaturan mengenai Force Majeure dalam perundangundangan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar. Pertama, force majeure ditentukan sebagai klausul yang harus dimasukkan dalam kontrak/ atau perjanjian mengenai substansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, force majeure diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi tidak berkaitan dengan kontrak/perjanjian mengenai substansi yang diatur dalam peraturan perundangundangan Ibid, hal Damang, Risiko, diakses dari pada tanggal 13Juni Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal. 71.

26 47 Perundang-undangan yang mengatur force majeure dalam kelompok pertama, yang dikaji dalam penelitian ini adalah UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi; Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta lampirannya, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Keppres No. 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 Tahun 2005, Perpres No. 70 Tahun 2005, Perpres No. 8 Tahun 2006, Perpres No. 79 Tahun 2006, Perpres No. 85 Tahun 2006, dan Perpres No. 95 Tahun Perundang-undangan yang mengatur force majeure dalam kelompok kedua, yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jasa Angkutan, Peraturan Bank Indonesia No. 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum, Peraturan Bank Indonesia No. 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan BankPerkreditan Rakyat, Peraturan Bank Indonesia No. 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank, Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/21/DKBU tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat Ibid. 80 Ibid, hal

27 48 Mengenai perundang-undangan yang mengatur tentang force majeure pada kelompok pertama, diantaranya yaitu: 1) Peraturan perundang-undangan mengenai Jasa Konstruksi: Pada UU no 18 tahun 1999 tentang Jasa konstruksi tidak memberikan defenisi operasional dari force majeure akan tetapi menyatakan bahwa force majeure memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dan pada Peraturan Pemerintah no. 29 tahun 2000 Penyelenggaran Jasa Konstruksi menyatakan bahwa force majeure mencakup kesepakatan mengenai risiko khusus, macam keadaan memaksa lainnya dan hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa pada keadaan memaksa; 81 2) Peraturan perundang-undangan mengenai Pengadaan barang dan jasa: Pada Keppres no 80 tahun 2003 tentang Pengadaan barang dan Jasa juga tidak memberikan defenisi operasional dari force majeure tetapi hanya menyatakan bahwa suatu kontrak sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan mengenai keadaan kahar. 82 Dalam peraturan Jasa Konstruksi dan peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, pembentuk peraturan mewajibkan para pihak untuk memasukkan klausul force 81 Pasal 22 ayat 2 huruf J UU no.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi jo Pasal 23 ayat 1 huruf j Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan jasa Konstruksi. 82 Pasal 29 ayat 1 Huruf J Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa besertalampirannya, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Kepres No. 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006, dan Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2007.

28 49 majeure. Dalam peraturan Jasa Konstruksi, force majeure diartikan sebagai suatu kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam peraturan Pengadaan Barang dan Jasa, force majeure disebut keadaan kahar, artinya suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi. 83 Kemudian mengenai perundang-undangan yang mengatur tentang force majeure pada kelompok kedua, yaitu: 1) Peraturan perundang-undangan mengenai Ketenagakerjaan. UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun, atau karena force majeure. 84 2) Peraturan perundang-undangan mengenai Perkeretaapian. UU no. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian menyatakan bahwa penyelenggara prasarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan/atau pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian apabila pihak yang berwenang menyatakan bahwa kerugian bukan disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian dan/atau terjadi force majeure dan juga 83 Rahmat S.S. Soemadipradja, op.cit, hal Pasal 164 ayat 1 UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

29 50 grafik perjalanan kereta api dapat diubah apabila terjadi perubahan pada prasarana perkeretaapian, jumlah sarana perkeretaapian, kecepatan kereta api, kebutuhan angkutan, dan force majeure. 85 3) Peraturan perundang-undangan mengenai Pertambangan Mineral dan Batu bara. UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menyatakan bahwa penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi force majeure, keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan dan apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan dan/atau operasi produksi sumber daya mineral batubara yang dilakukan di wilayahnya. 86 4) Peraturan perundang-undangan mengenai Lalu lintas dan Angkutan jalan. UU no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas wajib menghentikan kendaraan yang dikemudikannya, memberikan pertolongan kepada korban, melaporkan kecelakaan kepada polisi, dan memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan. Dan apabila pengemudi kendaraan bermotor tidak bisa berhenti karena keadaan memaksa sehingga tidak 85 Pasal 88, Pasal 121 angka 3UU no. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. 86 Pasal 113 ayat 1 UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.

30 51 bisa menghentikan kendaraan yang dikemudikannya dan memberikan pertolongan kepada korban, segera melaporkan kecelakaan kepada polisi. 87 Di dalam penjelasan Pasal 231 ayat 2 UU no. 22 tahun 2009 disebutkan bahwa force majeure merupakan suatu situasi di lingkungan lokasi kecelakaan yang dapat mengancam keselamatan diri pengemudi, terutama dari amukan massa dan kondisi pengemudi yang tidak berdaya untuk memberikan pertolongan. 88 5) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia no. 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum (LHBU) menyatakan bahwa kewajiban untuk menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU dikecualikan bagi Bank Pelapor yang mengalami force majeure sehingga mengakibatkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan atau koreksi LHBU tersebut. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU harus segera memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya force majeure beserta upaya-upaya yang dilakukan, yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang dan pengecualian hanya diberikan sampai dengan force majeure dapat teratasi. 89 jalan. Bank Umum. 87 Pasal 231 ayat 1 dan 2 UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan. 88 Penjelasan Pasal 231 ayat 2 UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan 89 Pasal 9 ayat 1, 2, dan 3 Peraturan Bank Indonesia no. 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian

31 52 Peraturan Bank Indonesia no. 8/20/PBI/2006 mengenai Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat menyatakan BPR yang mengalami force majeure selama lebih dari satu bulan dalam periode di bulan yang terakhir seharusnya mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, dikecualikan mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan. Untuk memperoleh pengecualian, BPR harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai force majeure yang dialami. 90 Peraturan Bank Indonesia no. 10/4/PBI/2008 mengenai Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga selain Bank menyatakan penyampaian laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan tidak berlaku bagi pelapor yang mengalami force majeure. Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya force majeure yang ditandatangani oleh Pejabat Pelapor yang berwenang dan harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi setelah force majeure dapat diatasi kepada Bank. 91 Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/21/DKBU tentang Batas maksimum pemberian kredit bank perkreditan rakyat menyatakan BPR pelapor yang 90 Pasal 26 ayat 1 dan 2 Peraturan Bank Indonesia no.8/20/pbi/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat. 91 Pasal 11 ayat 1, 2, 3 dan 4Peraturan Bank Indonesia no 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga selain Bank.

32 53 berkedudukan di wilayah yang belum memiliki fasilitas jaringan ekstranet atau mengalami force majeure laporan disampaikan secara off-line kepada Kantor Bank Indonesia (KBI) yang mewilayahi BPR pelapor. 92 Peraturan Bank Indonesia di atas memberikan pengertian bahwa force majeure merupakan suatu keadaan dimana bank sebagai pelapor tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk melakukan pelaporan. c. Pengaturan Force Majeure dalam Hukum Kontrak Internasional. Terdapat pengaturan Internasional mengenai Force Majeure dalam perjanjian/ kontrak Internasional, diantaranya adalah UNIDROIT atau kadang disingkat menjadi UPICCs (Principles of International Commercial Contracts) dan CISG (United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods). Ada 12 prinsip hukum kontrak yang dipakai dalam UNIDROIT yaitu : Prinsip Kebebasan Berkontrak ( bebas menentukan isi dan bentuk kontrak, mengikat sebagai Undang-undang, aturan memaksa sebagai pengecualian, sifat international dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak ); 2. Prinsip itikad baik ( good faith ) dan transaksi wajar/jujur ( fair dealing ) ( prinsip dasar yang melandasi seluruh proses kontrak yaitu mulai dari proses 92 Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/21/DKBU tentang Batas maksimum pemberian kredit bank perkreditan rakyat. 93 Jusuf Patrik, Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT, diakses dari pada tanggal 2 Juli 2012.

33 54 negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai berakhirnya kontrak (purna kontrak), ditekankan dalam praktik perdagangan international dan bersifat memaksa); 3. Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat; 4. Prinsip Kesepakatan melalui Penawaran ( Offer ) dan Penerimaan ( Acceptance ) atau Melalui Perilaku ( Conduct ); 5. Prinsip Larangan Bernegosiasi dengan Itikad Buruk; 6. Prinsip Kewajiban Menjaga Kerahasiaan atas Informasi yang diperoleh pada saat Negosiasi; 7. Prinsip Perlindungan Pihak Lemah dari Syarat-syarat Baku; 8. Prinsip Syarat Sahnya Kontrak; 9. Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar ( gross disparity); 10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku; 11. Prinsip menghormati Kontrak ketika terjadi Kesulitan ( hardship); 12. Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa ( force majeure). Prinsip mengenai force majeure ini jelas ternyata dalam Pasal Prinsip UNIDROIT yang berbunyi sebagai berikut: 94 Article (Force majeure) (1) Non-performance by a party is excused if that party proves that the nonperformance was due to an impediment beyond its control and that it could not reasonably be expected to have taken the impediment into account at the time of the conclusion of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. 94 Pasal Prinsip UNIDROIT.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN 20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN 1.1 Wanprestasi 2.1.1 Pengertian Dan Dasar Hukum Wanprestasi Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2006.

DAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2006. 109 DAFTAR PUSTAKA BUKU Adolf, Huala, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2006. Badrulzaman, Mariam Darus, et al., Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti : Bandung,

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Dari kedua hal tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa salah satu

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Wanprestasi Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata ovreenkomst dalam bahasa Belanda atau istilah agreement dalam bahasa Inggris.

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian 19 BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatanperikatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita sadari atau tidak, perjanjian sering kita lakukan dalam kehidupan seharihari. Baik perjanjian dalam bentuk sederhana atau kompleks, lisan atau tulisan, dalam jangka

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

PENGERTIAN PERIKATAN HUKUM PERIKATAN PADA UMUMNYA. Unsur-unsur Perikatan 3/15/2014. Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW.

PENGERTIAN PERIKATAN HUKUM PERIKATAN PADA UMUMNYA. Unsur-unsur Perikatan 3/15/2014. Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW. PENGERTIAN PERIKATAN HUKUM PERIKATAN PADA UMUMNYA Level Kompetensi I Sesuai Silabus Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW. Pengertian perikatan diberikan oleh ilmu pengetahuan Hukum

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata : BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang ataulebih. Syarat

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

Dokumen Perjanjian Asuransi

Dokumen Perjanjian Asuransi 1 Dokumen Perjanjian Asuransi Pada prinsipnya setiap perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam perjanjian asuransi perlu dilandasi dokumen perjanjian. Dari dokumen tersebut akan dapat diketahui berbagai

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Bangun Bagi Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan,

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK DILAKSANAKAN SUATU KONTRAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA / D

FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK DILAKSANAKAN SUATU KONTRAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA / D FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK DILAKSANAKAN SUATU KONTRAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA Laras Sutrawaty / D 101 11 325 Pembimbing 1. Suarlan Datupalinge., S.H.,M.H 2. Abd. Rahman Hafid., S.H.,M.H

Lebih terperinci

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN ST., S.H.,M.H Universitas Islam Negeri Alauddin (UIN) Makassar Abstract Vehicle financing agreement was made as the embodiment of the financing

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( ) PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Asuransi 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian perjanjian Istilah perjanjian tanpa adanya penjelasan lebih lanjut menunjuk pada perjanjian obligator, yaitu

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifatsifat hakiki yang dimaksud di

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU Oleh : I Made Aditia Warmadewa I Made Udiana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Tulisan ini berjudul akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pada kenyataannya masih banyak orang yang dikacaukan oleh adanya istilah perikatan dan perjanjian. Masing-masing sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH] BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dunia dan kerjasama di bidang perdagangan dan jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin banyak mengikatkan

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan adalah suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak A. SOMASI l. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi 2. Bentuk dan Isi Somasi

Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak A. SOMASI l. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi 2. Bentuk dan Isi Somasi Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak A. SOMASI l. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling. Somasi diatur dalam Pasal 1238

Lebih terperinci

Pemanfaatan pembangkit tenaga listrik, baru dikembangkan setelah Perang Dunia I, yakni dengan mengisi baterai untuk menghidupkan lampu, radio, dan ala

Pemanfaatan pembangkit tenaga listrik, baru dikembangkan setelah Perang Dunia I, yakni dengan mengisi baterai untuk menghidupkan lampu, radio, dan ala BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan jangka panjang yang dilakukan bangsa Indonesia mempunyai sasaran utama yang dititik beratkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. A. Pengertian Perjanjian dan Unsur Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. A. Pengertian Perjanjian dan Unsur Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian dan Unsur Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum Perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian, yaitu bagian umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tahun ke tahun terus berupaya untuk melaksanakan peningkatan pembangunan di berbagai

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Pada Umumnya Ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

Lebih terperinci

BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA

BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA A. Tinjauan Perjanjian 1. Definisi Perjanjian Perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan, Bab Kedua,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas BAB II LANDASAN TEORI A. RUANG LINGKUP PERJANJIAN 1. Pengertian Perjanjian Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

HUKUM JASA KONSTRUKSI

HUKUM JASA KONSTRUKSI HUKUM JASA KONSTRUKSI A. LATAR BELAKANG Konstruksi merupakan suatu kegiatan yang melibatkan/ menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat Kegiatan konstruksi : Risiko tinggi (tidak pasti, mahal, berbahaya)

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313

BAB II LANDASAN TEORI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum Perjanjian dan Wanprestasi 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Wanprestasi Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci