BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GAMETOGENESIS KERANG HIJAU PERNA VIRIDIS: STUDI KASUS DI TELUK JAKARTA, TELUK BANTEN DAN TELUK LADA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GAMETOGENESIS KERANG HIJAU PERNA VIRIDIS: STUDI KASUS DI TELUK JAKARTA, TELUK BANTEN DAN TELUK LADA"

Transkripsi

1 BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GAMETOGENESIS KERANG HIJAU PERNA VIRIDIS: STUDI KASUS DI TELUK JAKARTA, TELUK BANTEN DAN TELUK LADA J A L I U S SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul : BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GAMETOGENESIS KERANG HIJAU PERNA VIRIDIS: STUDI KASUS DI TELUK JAKARTA, TELUK BANTEN DAN TELUK LADA merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjuk rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan lain. Semua data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Maret Jalius NRP: P iii ABSTRACT

3 JALIUS. The Bioaccumulation of Heavy Metals and Its Effects on The Gametogenesis of The Green Mussel Perna viridis: A Case Study at Jakarta Bay, Banten Bay and Lada Bay. (Under the Supervision of D.Djoko Setiyanto as the head, and Komar Sumantadinata, Etty Riani, Yunizar Ernawati as the members). The objective of the research was to examine the bioaccumulation of heavy metals (Pb, Cd, Cr and Hg) in the gonad of green mussels and its effect on the gametogenesis (spermatogenesis and oogenesis). The research used the method of a survey in which the sample of green mussels were randomly selected from three locations of Jakarta Bay, but only one location from Banten Bay and Lada Bay. From each location, four male green mussels and four female green mussels were selected, thus there were 40 green mussels altogether. The parameters observed for the spermatogenesis were the number of spermatogonia, primary and secondary spermatocytes, and spermatozoa, as well as the diameter, size and volume of follicle lumen in the gonad of stadium IV. Meanwhile, the parameters for oogenesis were the number of oogonia, primary and secondary oocytes, as well as the diameter, size and volume of follicle lumen in the gonad of stadium IV. The research results showed that the green mussels at the Jakarta Bay contained heavy metals in the female gonad, namely Pb (600.33± ppb), Cd (32.273± ppb), Cr (527.36± ppb) and Hg (0.0161± pbb). The heavy metals found in the green mussels from the Banten Bay were Cd (6.937 ppb) and Pb (0.021 ppm), but no Hg and Cr were detected. Similarly, at Lada Bay Hg (6.069 ppb) and Pb (0.018ppm) were found, but no Cd and Cr were detected. In the male gonad of green mussels from Jakarta Bay contained Pb (359.75±272.41ppb), Cd (36.559±21.90ppb), Cr (504.21± ppb) and Hg (0.0092± ppb). However, at Banten Bay the four heavy metals were not found. At Lada Bay only Pb (0.077 ppm) and Cd (13.13 ppb ) were found but no Cr and Hg. The results of the correlation analysis of oogonia cells of polluted green mussel showed a strong correlation, i.e. Cr affected the development of oogonia cells (r = 0.69), secondary oocytes (r = 0.57). Pb, Cd, Cr and Hg influenced the development of secondary oocytes (respectively r = 0.75; r = 0.57; r = 0.57; r = 0.74), and Cd affected the number of oogonia cells (r = 0.63). As for male green mussels, only Cd had effect on the number of spermatozoa, the total number of sexual cells and the diameter of follicle lumens (r = 0.64; r = 0.60; r = 0.57). Also, Cd and Cr affected the size and volume of follicle lumen in male gonad of green mussels (r=0.71; r=0.71 ;r=0.71;r=0.71). In conclusion, the bioaccumulation of heavy metals has affected the process of gametogenesis. Key words: bioaccumulation, plumbum, chromium, cadmium, mercury, spermatogenesis and oogenesis, green mussel.. iv ABSTRAK

4 JALIUS. Bioakumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Gametogenesis Kerang Hijau Perna viridis: Studi Kasus di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. Dibimbing oleh D. Djoko Setiyanto, Komar Sumantadinata, Etty Riani, dan Yunizar Ernawati. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi bioakumulasi logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg dalam gonad kerang hijau dan melihat pengaruh bioakumulasi logam berat tersebut terhadap gametogenesis (spermatogenesis dan oogenesis) kerang hijau. Metode penelitian dilakukan secara survey, sampel kerang diambil secara acak di tiga stasiun di Teluk Jakarta, sedangkan Teluk Banten dan Teluk Lada satu stasiun, masing-masing stasiun diambil 4 kerang hijau jantan dan betina sehingga jumlahnya 40 kerang hijau. Parameter spermatogenesis adalah jumlah spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, dan spermatozoa, serta diameter, luas dan volume lumen folikel dalam gonad pada stadium IV. Parameter oogenesis adalah jumlah oogonia, oosit primer dan oosit sekunder serta diameter, luas dan volume lumen folikel dalam gonad pada stadium IV. Hasil penelitian adalah kerang hijau di Teluk Jakarta telah mengalami akumulasi logam berat, dalam gonad betina yaitu Pb (600,33±544,83 ppb), Cd (32,273±28,091 ppb), Cr (527,36±461 ppb) dan Hg (0,0161±0,0131 pbb). Di teluk Banten ditemukan Cd (6,937 ppb) dan Pb (0,021 ppm) dan logam Hg dan Cr tidak terdeteksi. Demikian juga Teluk Lada ditemukan Hg (6,069 ppb), dan Pb (0,018ppm). Pada gonad jantan yaitu Pb(359,75±272,41 ppb); Cd (36,559±21,90 ppb); Cr(504,21±448,64 ppb) dan Hg (0,0092± 0,0085 ppb). Di Teluk Banten keempat logam tersebut tidak terdeteksi. Di Teluk Lada hanya ditemukan Pb (0,077 ppm) dan Cd (13,13 ppb), tetapi logam berat Hg dan Cr tidak terdeteksi dalam gonat kerang jantan. Hasil analisis korelasi sel-sel kelamin betina kerang hijau yang telah mengalami pencemaran menunjukan hubungan yang kuat adalah logam berat kromium (Cr) berpengaruh pada tahap perkembangan sel-sel oogonia (r = 0,69), dan se-sel oosit sekunder (r = 0,57). Logam Pb, Cd, Cr dan Hg berpengaruh terhadap perkembangan sel-sel oosit sekunder (r = 0,75; r = 0,57; r = 0,57; r = 0,74), dan logam berat Cd berpengaruh terhadap jumlah sel-sel kelamin betina (r = 0,63). Sedangkan kerang hijau jantan menunjukan bahwa jumlah spermatozoa, jumlah sel-sel kelamin dan diameter lumen folikel hanya logam Cd yang berpengaruh (r = 0,64; r = 0,60; r = 0,57). Selanjutnya Logam Cd dan Cr berpengaruh terhadap luas dan volume lumen folikel gonad jantan kerang hijau (r=0,71; r=0,71; r=0,71; r=0,71). Disimpulan, biokamulasi logam berat berpengaruh terhadap proses gametogenesis. Kata kunci : bioakumulasi, timbal, kadmium, kromium, merkuri, oogenesis dan spermatogenesis, kerang hijau. RINGKASAN

5 JALIUS. Bioakumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya terhadap Gametogenesis Kerang hijau Perna veridis di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. Dibimbing oleh D. Djoko Setiyanto, Komar Sumantadinata, Etty Riani. M.S. Yunizar Ernawati. Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada telah tercemar logam berat yaitu Pb, Cd, Cr dan Hg yang bersifat toksik terhadap pembudidayaan kerang hijau. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi akumulasi logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg dalam gonad kerang hijau dan menganalisis dampak serta pengaruh bioakumulasi logam berat terhadap gametogenesis (Spermatogenesis dan oogenesis) kerang hijau. Metode penelitian dilakukan secara survey, sampel kerang diambil secara acak di tiga stasiun di Teluk Jakarta, sedangkan Teluk Banten dan Teluk Lada satu stasiun. Untuk pemeriksaan morfometrik diambil kerang hijau betina dan jantan sebanyak 317; 339 individu di Teluk Jakarta, di Teluk Banten 50; 60 individu dan Teluk Lada 85; 129 individu. Parameter morfometrik adalah berat tubuh, berat cangkang, berat daging, panjang, tinggi dan lebar tubuh. Untuk pemeriksaan histopatologisnya, masing-masing stasiun diambil 4 kerang hijau jantan dan betina sehingga jumlahnya 40 kerang hijau. Identifikasi logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg dalam gonad jantan dan betina kerang hijau digunakan peralatan AAS. Parameter spermatogenesis adalah jumlah sel-sel spermatogonium, spermatosit primer, spermatosit sekunder, dan spermatozoa, serta diameter, luas dan volume lumen folikel dalam gonad pada stadium IV. Selanjutnya parameter oogenesis adalah jumlah sel-sel oogonia, oosit primer dan oosit sekunder serta diameter, luas dan volume lumen folikel dalam gonad pada stadium IV. Untuk menganalisis pengaruh logam berat terhadap morfometrik dan jumlah sel-sel kelamin digunakan program SPSS versi 13. Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran morfometrik kerang hijau sebagai berikut; Teluk Jakarta rataan ukuran tubuh kerang hijau betina adalah berat tubuh 15,83 ± 5,99 g; berat cangkang 8,84 ± 4,12 g; berat daging 5,14 ± 1,96 g; panjang 6,81 ± 0,87 cm; lebar 2,12 ± 0,29 cm dan tinggi tubuh 2,84 ± 0,41 cm. Ukuran tubuh kerang jantan adalah berat tubuh 15,46 ± 7,02 g; berat cangkang 11,02 ± 5,66 g; berat daging 6,72 ± 3,55 g; panjang 6,63 ± 1,03 cm; lebar 2,17 ± 0,59 cm dan tinggi tubuh 2,87 ± 0,57 cm. Teluk Banten ukuran tubuh kerang hijau betina adalah berat tubuh 16,83 ± 4,76 g; berat cangkang10,37 ± 3,05 g; berat daging 6,46 ± 1,83 g; panjang 7,57 ± 0,81 cm; lebar 2,07 ± 0,29 cm dan tinggi tubuh 2,12 ± 0,29 cm. Ukuran tubuh kerang jantan adalah berat tubuh 15,55 ± 3,15 g; berat cangkang 9,70 ± 2,08 g; berat daging 5,85 ± 1,29 g; panjang 7,30 ± 0,63 cm; lebar 1,98 ± 0,19 cm dan tinggi tubuh 3,05 ± 0,29 cm. Teluk Lada ukuran tubuh kerang hijau betina adalah berat tubuh 12,46 ± 2,45 g; berat cangkang 6,74 ± 1,46 g; berat daging 5,71 ± 1,06 g; panjang 6,56 ± 0,59 cm; lebar 1,83 ± 0,15 cm dan tinggi tubuh 2,81 ± 0,21 cm. Ukuran tubuh kerang jantan adalah berat tubuh 12,98 ± 2,67 g; berat cangkang 6,87 ± 1,49 g; berat daging 6,11 ± 1,69 g; panjang 6,53 ± 0,53 cm; lebar 1,83 ± 0,19 cm dan tinggi tubuh 2,83 ± 0,50 cm. Hasil analisis statistik dengan menggunakan ujit-t menunjukan ukuran berat tubuh dan cangkang kerang hijau betina yang berasal dari daerah Teluk Jakarta, Teluk Banten lebih berat dibandingkan daerah Teluk Lada (P<0,01). Namun berat daging lebih berat Teluk Banten lebih berat dibandingkan Teluk Jakarta dan Teluk Lada (P<0,01). Ukuran tubuh kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten panjang dan tinggi tubuhnya lebih besar dibandingkan yang berasal dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada (P<0,01). Namun juga ukuran lebar kerang hijau dari Teluk Jakarta sama dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten (P>0,05) dan kerang dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten lebih lebar dari yang berasal Teluk Lada (P<0,01).

6 Hasil analisis statistik ujit-t menunjukan bahwa ukuran berat tubuh dan cangkang kerang hijau jantan yang berasal dari daerah Teluk Jakarta dan Teluk Banten lebih berat dibandingkan daerah Teluk Lada (P<0,01), namun tidak berbeda ukuran tersebut antara Teluk Jakarta dan Teluk Banten (P> 0,05). Ukuran panjang dan tinggi kerang hijau jantan yang berasal dari Teluk Banten lebih besar dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Jakarta (P<0,01), namun ukuran tersebut antara Teluk Jakarta dan Teluk Lada adalah sama (P>0,01). Ukuran lebar kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten berbeda (P<0,05) dan lebar kerang hijau yang berasal dari Teluk Lada lebih kecil dibandingkan dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten (P>0,01). Hasil penelitian adalah kerang hijau di Teluk Jakarta telah mengalami akumulasi logam berat, dalam gonad betina yaitu Pb (600,33±544,83 ppb), Cd (32,273±28,091 ppb), Cr (527,36±461 ppb) dan Hg (0,0161±0,0131 pbb). Di teluk Banten ditemukan Cd (6,937 ppb) dan Pb (0,021 ppm) dan logam Hg dan Cr tidak terdeteksi. Demikian juga Teluk Lada ditemukan Hg (6,069 ppb), dan Pb (0,018ppm). Pada gonad jantan di Teluk Jakarta yaitu Pb(359,75±272,41 ppb); Cd (36,559±21,90 ppb); Cr(504,21±448,64 ppb) dan Hg (0,0092± 0,0085 ppb). Di Teluk Banten keempat logam tersebut tidak terdeteksi. Di Teluk Lada hanya ditemukan Pb (0,077 ppm) dan Cd (13,13 ppb), tetapi logam berat Hg dan Cr tidak terdeteksi dalam gonad kerang jantan. Dampak terhadap histologi menunjukan sebagian kecil oosit mengalami menyusut, mengecil dan hilang serta diameter lumen folikel mengecil. Pada jantan histolginya menunjukan sel-sel kelamin jantan kelihatan jarang-jarang dan diameter lumen mengecil. Hasil analisa statistik menunjukan jumlah oogenia kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta tidak berbeda dengan Teluk Banten (P>0,05), akan tetapi sangat tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Lada (P<0,01). Jumlah sel-sel oogenia primer pada kerang yang berasal dari Teluk Jakarta sangat rendah dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada (P<0,01). Jumlah oosit sekunder yang berasal dari Teluk Jakarta tidak berbeda dibandingkan dengan Teluk Banten (P>0,05), namun sangat nyata sedikit jumlah oosit sekundernya dibandingkan dengan Teluk Lada (P<0,01). Hal yang sama juga terjadi pada jumlah sel-sel kelamin. Parameter diameter, luas dan volume lumen folikel dalam gonad kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Jakarta menunjukan lebih kecil dibangdingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk lada (P<0,01). Jumlah se-sel spermatogenia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatozoa yang berasal dari gonad kerang hijau Teluk Jakarta lebih rendah dibandingkan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada (P<0,01). Hasil analisa menunjukan bahwa jumlah sel-sel kelamin, diameter lumen folikel, luas lumen folikel dan volume folikel dari gonad kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta lebih kecil bila dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada (P<0,01). Hasil analisis korelasi sel-sel kelamin betina kerang hijau menunjukan hubungan yang kuat adalah logam berat kromium (Cr) berpengaruh pada tahap perkembangan sel-sel oogonia (r = 0,69), se-sel oosit sekunder (r = 0,57). Logam Pb, Cd, Cr dan Hg berpengaruh terhadap perkembangan selsel oosit sekunder (r = 0,75; r = 0,57; r = 0,57; r = 0,74), dan logam berat Cd berpengaruh terhadap keseluruhan jumlah sel-sel kelamin betina (r = 0,63). Seluruh logam berat tersebut tidak berpengaruh terhadap diameter lumen folikel betina, namun bepengaruh semua logam terhadap luas dan volume lumen folikel pada gonad kerang betina. Pada kerang jantan, menunjukan bahwa logam-logam berat tersebut tidak berpengaruh terhadap perkembangan sel-sel spermatosit primer, namun logam Hg berpengaruh terhadap jumlah sel-sel spermatogonia. Pada parameter jumlah spermatozoa, jumlah sel-sel kelamin dan diameter lumen folikel hanya logam Cd yang berpengaruh (r = 0,64; r =

7 0,60; r = 0,57). Selanjutnya Logam Cd dan Cr berpengaruh terhadap luas dan volume lumen folikel gonad jantan kerang hijau. Analisa regresi berganda menunjukan bahwa kombinasi berbagai logam berat tidak mempengaruhi sel-sel kelamin jantan dan betina. Namun dari hasil analisa korelasi hanya parameter luas dan volume lumen folikel gonad betina yang dipengaruhi oleh kombinasi logam-logam tersebut. Kesimpulan bahwa Teluk Jakarta terjadi bioakumulasi logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg pada gonad kerang hijau jantan dan betina, sedangkan di Teluk Banten dan Teluk Lada logam berat yang terakumulasi pada gonad hanya Pb dan Cd. Logam berat tersebut mempengaruhi oogenesis dan spermatogenesis (gametogenesis).

8 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan ataau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

9 BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GAMETOGENESIS KERANG HIJAU PERNA VIRIDIS: STUDI KASUS DI TELUK JAKARTA, TELUK BANTEN DAN TELUK LADA J A L I U S Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

10 Judul Disertasi Nama Mahasiswa : Bioakumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya terhadap Gametogenesis Kerang Hijau Perna viridis: Studi Kasus di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. : J A L I U S Nomor Pokok : P Menyetujui, Komisi Pembimbing Dr. D. Djoko Setiyanto, DEA Ketua Prof. Dr. Komar Sumantadinata, MSc Anggota Dr. Ir. Etty Riani. M.S Anggota Dr. Ir. Yunizar Ernawati. M.S. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro NIP NIP Tanggal Lulus:

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Oktober 2006 adalah Bioakumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya terhadap Gametogenesis Kerang Hijau Perna viridis : Studi Kasus di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. D. Djoko Setiyanto, DEA, Prof. Dr. Komar Sumantadinata, Dr. Ir. Etty Riani, M.S. dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S. atas kesediaan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan studi Doktor dengan baik. 2. Dekan Sekolah Pascasarjana, Wakil Dekan Sekolah Pascasarjana dan Sekretariat Program Doktor Sekolah Pascasarjana serta Ketua Program Studi PSL atas kesempatan yang diberikan untuk mengambil program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor atas perkuliahan yang diberikan. 3. Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana, Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan Sumber daya alam dan Lingkungan (PSL), dan Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 4. Staf administrasi Sekolah Pascasarjana, Staf administrasi Program studi Pengelolaan Sumber daya alam dan Lingkungan, dan Staf administrasi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 5. Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Pendidikan Nasional yang telah memberi bantuan beasiswa selama mengikuti pendidikan di IPB. 6. Ketua Yayasan Dana Mana Sejahtera Mandiri (Damandiri) Jakarta atas dukungan dan bantuannya dalam penyelesaian desertasi ini. 7. Bapak Dr. Ario Damar, Dr. Luky dan Staf Pusat Kajian Sumberdaya Perikanan dan Laut, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

12 8. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Achmad Ansori Mattjik, MSc yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan program doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 9. Bapak Rektor Universitas Jambi dan Bapak Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang telah memberikan izin tugas belajar di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya alam dan Lingkungan, Pascasarjana Instidtut Pertanian Bogor. 10. Kepada istriku Kusningsih, anakku Erzia Yetri, Apres Rahmat, Halimah dan Mustaqim yang penuh sabar dan kurang mendapatkan perhatian penuh dari ku selama dalam pendidikan ini. Juga terimah kasih kepada Kakak Yurni, Bainar, Kak Armaini dan adik-adikku Nurhayati, Ermawati, Leni Nurlina dan Zulkifli serta Bapakku dan Ibuku, serta mertua dan iparku yang telah banyak memberikan perhatian penuh terhadap anak-anaku selama ini, sehingga pendidikan ini dapat diselesaikan. 11. Desertasi ini ku persembahkan kepada Almarhum Istriku Masyati dan anakku Pascal Arjnius yang telah banyak memberi dorongan dan dukungan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 12. Kepada pak Arman, Rachman, Rahmat Mulyana, Ibu Henny Pagoray dan seluruh teman-temanku, serta semua pihak yang tak dapat disebutkan namannya yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan baik moril maupun material dalam penyelesaian studi ini. Dalam penyusunan disertasi ini, penulis tidak lepas dari berbagai kekurangan, sehingga masukan dan keritikan yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Bogor, Maret Jalius

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 24 Juni 1960 dari ayah Baina dan Ibu Maimunah. Penulis merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1974 di SD N 24/V Kecamatan Nipah Panjang Kabupaten Tanjung Jabung. Pendidikan menengah pertama diselesaikan tahun 1977 di SMP Filial SMP N 2 Jambi di Kecamatan Nipah Panjang. Pendidikan Sekolah menengah atas diselesaikan di SMA N 2 Jambi tahun Kemudian pada tahun 1980 melanjutkan studi pada program studi Produksi Ternak di Fakultas Peternakan Universitas Jambi dan lulus tahun Pada tahun 1987 diangkat menjadi Staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Jambi di Jambi dan sampai saat ini. Kemudian pada tahun 1990 melanjutkan pendidikan strata dua pada program studi Biologi Reproduksi Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun Pada tahu 2003 mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor bidang studi Pengelolaan Sumberdaya alam dan Lingkungan di IPB Bogor. Bogor, Maret 2008 Penulis

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR... xxii DAFTAR LAMPIRAN... xxiv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Novelty (Kebaruan)... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA Sumber Logam Berat di Perairan Sifat Fisik Kimia Logam Berat Sifat Fisik dan Kimia Logam Mercuri Sifat Fisik dan Kimia Logam Kadmium Sifat Fisik dan Kimia Logam Kromium Sifat Fisik dan Kimia Logam Timbal Peran Logam Berat pada Hewan Air Mekanisme Logam Berat Mempengaruhi Reproduksi Hewan Air Metabolisme Logam Berat Patologik Toksisitas Logam Biologi dan Ekologi Kerang Hijau Fisiologi Reproduksi Kerang Hijau Struktur dan Fungsi Testis Ovotestis Kerang Hijau Gametogenesis Spermatogenesis Oogenesis Siklus Epitel Semeniferus Tingkat Kematangan Gonad Peran Hormon pada Spermatogenesis III. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Metode Penelitian Teknik Pengambilan Sampel Cara Kerja Pembuatan Preparat Histologi Penilaian Gametogenesis Prosedur Pemeriksaan Logam Berat... xv Analisis Statistik Uji t-student Analisis Rregresi dan Korelasi... 67

15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian Teluk Jakarta Teluk Banten Teluk Lada Kualitas Air Kandungan Logam Berat di Sedimen Morfometrik Kerang Hijau Gametogenesis Kerang Hijau (Perna viridis) Spermatogenesis Oogenesis Bioakumulasi Logam Berat pada Gonad Dampak Pencemaran Logam Berat terhadap Gametogenesis IV. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kadar timbal pada beberapa nilai kesadahan Biomagnifikasi merkuri pada berbagai organisme anggota rantai makanan pada ekosistem perairan Kadar kadmium pada beberapa nilai kesadahan Target logam berat pada organ tubuh tertentu Rekapitulasi penelitian akumulasi logam berat pada kerang Kosentrasi ion-ion logam berat (mg/l) yang mematikan bagi biota laut setelah pemaparan 96 jam Ikatan logam berat dengan protein Deskripsi tingkat kematangan gonad (TKG) kerang hijau secara morfologi dan histologi Stadium perkembangan gametogenesis pada gonad kerang (Kelas Bivalve) Pengambilan sampel air, sedimen dan kerang hijau Perna viridis Metode analisis laboratorium untuk masing-masing parameter Parameter yang diamati pada perairan dan kerang hijau Parameter fisika dan kimia kualitas air di lokasi penelitian (Kamal, Marunda, Gembong, Karangantu dan Panimbang) Kandungan logam berat di kolom air di perairan budidaya kerang hijau Kamal Kandungan logam berat di kolom air di perairan budidaya kerang hijau Kamal Kandungan logam berat di dalam perairan sekitar lokasi budidaya kerang hijau Kamal Kualitas air laut di Teluk Jakarta Kandungan logam berat di dalam sedimen... 79

17 19. Kandungan logam berat dalam sedimen di Teluk Jakarta Kandungan logam berat di dalam sedimen di perairan sekitar Ancol Berat tubuh, cangkang dan daging kerang hijau betina berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau betina berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Berat tubuh, cangkang dan daging kerang hijau jantan berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau jantan dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Hasil analisis regresi liner sederhana antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau betina di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Hasil analisis regresi liner sederhana antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Hasil analisis regresi berganda antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau betina di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Hasil analisis regresi berganda antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau jantan di Teluk Jakarta, Banten Teluk dan Teluk Lada Kandungan logam berat pada gonad betina kerang hijau (Perna viridis L) berasal dari lokasi Kamal, Marunda Gembong, Karangantu dan Panimbang Kandungan logam berat pada gonad jantan kerang hijau Perna viridis berasal dari lokasi Kamal, Marunda Gembong, Karangantu dan Panimbang Rataan diameter inti sel-sel kelamin betina dan jantan kerang hijau Rataan sel-sel kelamin betina kerang hijau berasal dari Teluk Jakarta, Banten Teluk dan Teluk Lada Diameter, luas dan volume lumen pada gonad betina kerang hijau berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Rataan sel-sel kelamin jantan kerang hijau berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada

18 35. Rataan jumlah sel-sel kelamin, diameter dan volume lumen pada kerang hijau jantan berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Korelasi antara sel-sel kelamin dengan logam pencemar Korelasi pengaruh gabungan logam pencemar

19 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran tentang gangguan gametogenesis kerang hijau akibat pencemaran logam berat (Dimodifikasi dari Viarengo (1989); Sokolove et al. (1987): Takeda (1989) Morfologi kerang hijau Perna veridis (Vakily 1989) Anatomi bagian dalam kerang klam, Mercenaria mercenaria (Pechenik 2000) Anatomi bagian dalam kerang klam, Mercenaria mercenaria (Pechenik 2000) Jenis kelamin kerang hijau Perna veridis dan penampakan gonad kerang hijau Ova dan spermatozoa, fertilisasi kerang hijau Perna veridis (Setiobudiandi 2004) Sistem reproduksi pada bivalva (Mackie 1984) Proses spermatogenesis pada hewan (McDonald 1980) Proses oogenesis pada hewan mamalia (Salisbury dan Van Demark 1961) Tahap oogenesis pada Monodonta lineata dan kontribusi selsel folikel pada perkembangan oosit Lamellaria perpicua (Webber 1977) Pada ovotetis terjadi spermatogenesis dan oogenesis (Barker 2001) Stadium dalam proses spermatogenesis pada tikus (Perey et al. 1961; Clermont 1962) Stadium oogenesis pada kerang klam (skalop = Chlamys nobilis = Reeve) pada gambar a s/d e. Kerang yang hermaphrodit gambar f. Sedangkan gambar g dan h stadium spermatogenesis 4 dan 5 (Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh 1999) Mekanisme hormon kontrol aktivitas reproduksi pada gastropoda teresterial (Barker 2001)... 57

20 xx 15. Peta lokasi stasiun pengambilan sampel di Teluk Jakarta,Teluk Banten dan Teluk Lada Variasi tahunan suhu dan salinitas permukaan di Laut Jawa Proporsi kandungan ammonia, nitrit dan nitrat di beberapa lokasi di kawasan Teluk Jakarta (Damar 2004) Tingkat pencemaran bahan organik di kawasan perairan Teluk Jakarta Stadium perkembangan spermatogenesis pada kerang hijau Stadium perkembangan oogenesis pada kerang hijau Kelainan histologi pada sel kelamin kerang hijau betina di daerah Kamal, Marunda dan Gembong, Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta Histologi normal pada sel kelamin kerang hijau betina di daerah Teluk Banten dan Teluk Lada Propinsi Banten Diameter lumen folikel gonad jantan kerang hijau daerah Kamal, Marunda dan Gembong Teluk Jakarta, Karangantu Teluk Banten dan Panimbang, Teluk Lada Sel-sel kelamin jantan kerang hijau. A, spermatogonia; B, spermatosit primer; C, spermatosit sekunder dan D, spermatozoa Sel-sel kelamin betina kerang hijau. A, oogonia; B, oosit primer dan C, oosit sekunder

21 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Uji-t beda berat kerang jantan antara lokasi Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Uji-t beda panjang kerang jantan antara lokasi Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Uji-t beda lebar kerang jantan antara lokasi Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Uji-t beda tinggi kerang jantan antara lokasi Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Uji-t beda berat cangkang kerang jantan antara lokasi Teluk Jakarta, Bantan dan Lada Uji-t beda berat daging kerang jantan antara lokasi Teluk Jakarta, Bantan dan Lada Uji-t beda berat tubuh kerang betina antara lokasi Teluk Jakarta, Bantan dan Lada Uji-t beda berat daging kerang betina antara lokasi Teluk Jakarta, Bantan dan Lada Uji-t beda berat cangkang kerang betina antara lokasi Teluk Jakarta, Bantan dan Lada Uji-t beda panjang tubuh kerang betina antara lokasi Teluk Jakarta, Bantan dan Lada Uji-t beda lebar kerang betina antara lokasi Teluk Jakarta, Bantan dan Lada Uji-t beda tinggi kerang betina antara lokasi Teluk Jakarta, Bantan dan Lada Analisis regresi sederhana hubungan antara bobot tubuh dan panjang, lebar, tinggi kerang hijau betina di Teluk Jakarta Analisis regresi berganda hubungan antara bobot tubuh dan panjang, lebar, tinggi kerang hijau betina di Teluk Jakarta Analisis regresi sederhana hubungan antara bobot tubuh dan panjang, lebar, tinggi kerang hijau jantan di Teluk Jakarta Analisis regresi berganda hubungan antara bobot tubuh dan panjang, lebar, tinggi kerang hijau jantan di Teluk Jakarta

22 17. Analisis regresi sederhana berat, tubuh, panjang, lebar, tinggi, berat cangkang dan berat daging kerang hijau betina Teluk Banten Analisis regresi berganda berat, tubuh, panjang, lebar, tinggi, berat cangkang dan berat daging kerang hijau betina Teluk Banten Analisis regresi sederhana berat, tubuh, panjang, lebar, tinggi, berat cangkang dan berat daging kerang hijau jantan Teluk Banten Analisis regresi berganda berat, tubuh, panjang, lebar, tinggi, berat cangkang dan berat daging kerang hijau jantan Teluk Banten Analisis regresi sederhana berat, tubuh, panjang, lebar, tinggi, berat cangkang dan berat daging kerang hijau betinateluk Lada Analisis regresi berganda berat, tubuh, panjang, lebar, tinggi, berat cangkang dan berat daging kerang hijau betina Teluk Lada Analisis regresi sederhana berat, tubuh, panjang, lebar, tinggi, berat cangkang dan berat daging kerang hijau jantan Teluk Lada Analisis regresi berganda berat tubuh, panjang, lebar, tinggi, berat cangkang dan berat daging kerang hijau jantan Teluk Lada Uji-t sel-sel kelamin betina, diameter, luas dan volume folikel gonad kerang hijau Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Uji-t sel-sel kelamin jantan, diameter, luas dan volume folikel gonad kerang hijau Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Hasil analisis multiple regresi antara variabel logam berat dengan sel-sel kelamin betina kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis polinomial regresi antara variabel logam Pb dengan sel-sel kelamin betina kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis polinomial regresi antara variabel logam Cd dengan sel-sel kelamin betina kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis polinomial regresi antara variabel logam Cr dengan sel-sel kelamin betina kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis polinomial regresi antara variabel logam Hg dengan sel-sel kelamin betina kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis multiple regresi antara variabel logam berat dengan sel-sel kelamin jantan kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis polinomial regresi antara variabel logam Pb dengan sel-sel kelamin jantan kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis polinomial regresi antara variabel logam Cd dengan

23 sel-sel kelamin jantan kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis polinomial regresi antara variabel logam Cr dengan sel-sel kelamin jantan kerang hijau di Teluk Jakarta Hasil analisis polinomial regresi antara variabel logam Hg dengan sel-sel kelamin jantan kerang hijau di Teluk Jakarta viii ix x xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv

24 viii ix x xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv viii ix x xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv viii ix x xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix xx xxi xxii xxiii xxiv xxv

25 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerang hijau Perna viridis memiliki kandungan gizi yang cukup baik untuk konsumsi masyarakat, karena mengandung nilai gizi yang tinggi yaitu protein 20,1%, karbohidrat 2,84%, lemak 1,18% dan air 75,7% (Anonim 1984). Selain hal tersebut kerang hijau juga mengandung mineral cukup tinggi dibandingkan dengan daging sapi seperti kalsium 133 mg dan fosfor 170 mg/gram daging. Kerang hijau juga mengandung besi, yodium dan tembaga serta sejumlah kecil thiamin, riboflavin dan niasin (Murdinah 1992). Oleh karena itu kerang hijau sangat penting dibudidayakan dan merupakan salah satu sumber bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi masyarakat dan bernilai ekonomis dalam menunjang kehidupan bagi masyarakat Indonesia. Kerang hijau hidup di perairan payau hingga asin dan hidup tersebar di Teluk Jakarta. Kerang ini memiliki sifat menempel pada benda-benda yang ada di perairan. Oleh karena itu kerang hijau banyak dijumpai melekat pada benda-benda keras seperti kayu, bambu, badan kapal, jaring dan tempat budidaya ikan. Kerang hijau mencari makan dengan cara menyaring makanan yang larut di dalam air sehingga Riani et al. (2004) memberinya istilah sebagai vacum cleaner. Dengan demikian kerang hijau akan mengfiltrasi seluruh zat-zat yang dibawa oleh air terutama yang berasal dari limbah. Limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta dibawa oleh 13 sungai yang bermuara ke dalamnya. Menurut laporan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan Hidup (KPPL), DKI Jakarta tahun 1997 diperkirakan limbah yang masuk ke perairan Teluk Jakarta adalah limbah dari kegiatan industri pengelola sekitar 97,82% yakni ,47 m³/tahun, limbah domestik 2,17% yakni ,90 m³/tahun, dan limbah industri pertanian 0.01% yakni 232,25 m³/tahun. Namun sebaliknya menurut hasil penelitian Firmansyah (2007) kontribusi sumber pencemaran di Teluk Jakarta berasal dari limbah domestik 27,09%, limbah industri 14,04% dan limbah pasar 46,70%. Limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta ini bukan saja limbah organik yang untuk menguraikannya memerlukan oksigen, tetapi juga limbah yang termasuk katagori B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang tercampur

26 2 dalam limbah tersebut (Riani et al. 2004). Komposisi sampah yang mencemari Teluk Jakarta adalah domestik 62,27% bahan organik dan 37,73% anorganik, sampah yang berasal dari komersial bahan organik 9,84% dan 90,16% anorganik, sampah dari pasar mengandung bahan organik 83,69% dan 16,31% anorganik (Firmansyah 2007). Oleh karena itu kerang dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengkonsumsinya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riani et al. (2004) bahwa kerang yang hidup di perairan tercemar dalam dagingnya terakumulasi sejumlah zat-zat beracun terutama logam berat. Di Teluk Lada perairan lautnya juga telah mengalami pencemaran logam berat seperti kandungan merkuri (Hg) 0,09 mg/l, timah (Pb) 0,015 mg/l dan tembaga (Cu) mg/l (Muawanah et al. 2005). Hal yang sama juga terjadi di Teluk Banten yakni perairan lautnya mengandung merkuri (Hg) 0,05 ug/l, kadmium (Cd) 0,064 mg/l dan timah (Pb) 0,153 mg/l (Setyobudiandi 2004). Kerang hijau hidup sangat subur di Teluk Jakarta karena banyak bahan organik yang dapat digunakan sebagai pakannya, namun karena sifat kerang hijau sebagai vacum cleanner, jika kerang hijau tersebut dikonsumsi dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengkonsumsinya. Menurut Hutagalung (2001) kerang hijau mempunyai kemampuan akumulasi yang baik terhadap logam berat pada lingkungan yang tercemar. Perairan Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran oleh logam berat, bahkan pencemaran tersebut telah mencapai Kepulauan Onrust seperti logam merkuri telah mencapai 35 ppb dan kadmium mecapai 450 ppb. Selanjutnya Riani et al. (2004) mengatakan bahwa di perairan Teluk Jakarta ditemukan kadar merkuri (Hg) 0,121 ppb; timbal (Pb) 0,248 ppm, kromium (Cr) 0,0285 ppm dan kadmium (Cd) 0,023 ppm, sedangkan kandungan pada sedimennya tinggi yakni Hg 0,098 ppb; Pb 2,897 ppm dan Cd 0,135 ppm. Selanjutnya dijelaskan bahwa akumulasi logam berat paling tinggi terjadi pada daging kerang seperti merkuri dalam kerang ukuran sedang sekitar 190,235 ppm dan ukuran besar 170,868 ppm, kandungan timah hitam (Pb) dalam kerang ukuran sedang 36,36 ppm dan ukuran besar 43,894 ppm. Kandungan kadmium dalam kerang ukuran sedang 0,075-2,891 ppm dan kerang ukuran besar 0,097 0,223 ppm. Kerang banyak dihasilkan di sekitar daerah Teluk Jakarta seperti Muara Angke dan Cilincing. Kerang hijau, dan kerang darah Anadara granosa merupakan jenis kerang yang banyak digemari oleh masyarakat. Namun menurut Swasono dari Freinds

27 of Environment Fund tahun 2004 bahwa ekspor kerang hijau dari Indonesia mendapat ganjalan karena terdapat indikasi banyak mengandung logam berat Cd, Pb, dan Cu. Logam berat yang terakumulasi pada kerang selain berasal dari perairan, juga berasal dari sedimen, karena kerang hidup relatif tidak bergerak di dasar perairan. Sebagaimana diketahui Teluk Jakarta merupakan tempat akumulasi aliran limbah yang berasal dari perkotaan dan pabrik, pada perairan tersebut juga terdapat budidaya kerang, sehingga kerang hijau mengalami kontaminasi logam berat seperti merkuri, aluminium, kadmium, timbal, kromium, seng dan lain-lain. Logam berat masuk ke dalam tubuh kerang melalui mulut (oral), insang dan kulit, selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah, lalu diikat oleh protein atau asam-asam amino dan dibawa oleh darah sampai pada organ target. Dalam kurun waktu yang lama logam berat akan terakumulasi dalam jaringan daging dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap aktivitas fisiologi dan biokimia di dalam tubuh kerang. Pencemaran logam berat mengakibatkan pertumbuhan kerang terganggu. Menurut Darmono (1995), tanaman air dan jenis binatang lunak (kerang, keong dan sebagainya) yang tidak bergerak atau mobilitasnya lamban tidak dapat meregulasi logam seperti hewan air lainnya. Menurut Setyobudiandi (2004) kematangan gonad kerang hijau di Teluk Jakarta lebih lambat dibanding kerang hijau di Teluk Banten. Keadaan ini menunjukkan bahwa pencemaran di Teluk Jakarta diduga telah berpengaruh pada reproduksi kerang, namun studi mengenai hal ini di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada belum pernah dilakukan. Oleh karena itu muncul pertanyaan; apakah bioakumulasi logam berat seperti merkuri, timbal, kromium dan kadmium juga akan terakumulasi dalam gonad kerang hijau?, apakah logam berat tersebut berpengaruh terhadap gametogenesis (spermatogenesis dan oogenesis) kerang hijau?. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang: Bioakumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya pada Gametogenesis Kerang hijau Perna viridis di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada, perlu segera dilakukan Kerangka Pemikiran Sebagai akibat dari kegiatan aktivitas antrophogenik di Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Banten limbah masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta, Teluk Banten dan

28 4 Teluk Lada sehingga akan terakumulasi di perairan dan sedimen. Limbah tersebut bukan saja limbah organik, tetapi juga limbah yang termasuk kategori limbah B3 yang tercampur dalam limbah tersebut (Riani et al. 2004). Limbah B3 seperti logam berat merkuri, timah hitam, kromium, kadmium dan lain-lain di perairan tersebut akan menyebabkan terkontaminasinya budidaya kerang hijau. Seperti yang telah dilaporkan Hutagalung (2001) dan Riani et al. (2004) yang menyatakan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar logam berat. Di Teluk Lada perairan lautnya juga telah mengalami pencemaran logam berat yaitu Hg 0,09 mg/l, Pb 0,015 mg/l dan Cu 0,0276 mg/l (Muawanah et al. 2005). Demikian juga di Teluk Banten yang perairan lautnya mengandung Hg 0,05 ug/l, Cd 0,064 mg/l dan Pb 0,153 mg/l (Setyobudiandi 2004). Dilain pihak di perairan teluk tersebut juga terdapat pembudidayaan kerang hijau yang dilakukan oleh nelayan dan telah berlangsung lama. Karena Riani et al. (2004) mengatakan bahwa sifat kerang sebagai vacum cleanner sehingga pada daging kerang terakumulasi logam berat. Akumulasi logam berat di perairan dan dalam hewan air diduga akan mengakibatkan keracunan pada biota air, terutama kerang hijau yang hidup di dasar pantai dan laut. Menurut Viarengo (1989) bahwa logam berat yang masuk ke dalam tubuh melalui oral, insang dan kulit akan masuk ke dalam sistem peredaran darah dan langsung diikat oleh asam-asam amino (thiol), sehingga disebut metallothionine (MTN). Senyawa ini selanjutnya akan dibawa oleh darah menuju organ-organ tubuh sehingga akan terakumulasi pada organ tersebut, seperti insang, kulit, dorsal body, otak (central nervous system), cerebral ganglion, dan organ kelamin yaitu kelenjar kelamin (gonad) dan organ accessories. Kerang hijau yang tetap bertahan hidup walaupun terjadi akumulasi logam berat dalam tubuhnya, akan mengalami perubahan fungsi fisiologi, biokimia tubuh dan bahkan terjadi mutasi gen. Menurut Gosling (1992) kerang biru yang tercemar logam berat, lisosomnya akan mengalami degenerasi, sehingga sel-selnya tidak berkembang dengan baik dan akhirnya mati. Pada kerang, logam berat juga akan terakumulasi pada organ reproduksi yakni pada organ-organ penunjang reproduksi dan gonad sehingga akan mempengaruhi proses gametogenesis pada kerang (Gambar 1). Menurut hasil penelitian Riani et al. (2004) di Teluk Jakarta kerang ukuran kecil, sedang dan besar telah mengandung logam berat yang tinggi melebihi baku mutu seperti logam merkuri, kadmium, plumbum,

29 LINGKUNGAN Teluk Jakarta, Banten dan Lada Pencemaran: Logam berat Oral Insang Kulit Sirkulasi Darah MTN Sistem syaraf Cerebral Ganglion (CG) Sistem syaraf Dorsal Body (DB) MGF Glucagon synthesis Stimulating Factor (+) Neurosecretory cells Accessory sex organ Albumen Gland? (-) Oestrogen Androgen Gonad (Ovotestis) Tempat terjadinya proses Gametogenesis Oogenesis? Spermatogenesis? -Oogonia? -Spermatogonia? -Oosit primer? -Spermatosit primer? -Oosit sekunder? -Spermatosit sekunder? -Spermatozoa? Keterangan : = Pengaruh positif atau memproduksi hormon/sel-sel kelamin = Pengaruh negatif atau feed back/ menghambat = Mekanisme masuknya logam berat ; = Batas tubuh kerang MTN = Metallothionin adalah ikatan asam amino dengan logam berat MGF = Maturation Gonadothropine Factor Gambar 1. Kerangka pemikiran tentang gangguan gametogenesis kerang hijau akibat pencemaran logam berat (Dimodifikasi dari Viarengo (1989); Sokolove et al. (1987); Takeda (1989)).

30 6 kromium dan seng. Selanjutnya hasil penelitian Setyobudiandi (2004) bahwa kerang hijau di Teluk Jakarta matang gonad lebih lambat dibandingkan kerang hijau di Teluk Banten, yang diduga karena adanya gangguan reproduksi. Namun sampai saat ini belum ada informasi apakah kadar logam berat meningkat di perairan muara, pantai dan laut di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada akan mengakibatkan terjadinya gangguan pada proses reproduksi dan produksi sel-sel kelamin kerang hijau, terutama dalam hal gangguan proses gametogenesis seperti spermatogenesis dan oogenesis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang; Bioakumulasi logam berat (Hg, Pb, Cd dan Cr) dan Pengaruhnya pada Gametogenesis Kerang Hijau Perna viridis di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Perumusan Masalah Penurunan kualitas air laut di Teluk Jakarta telah lama diketahui begitu pula halnya dengan pencemaran Teluk Jakarta oleh logam berat. Musibah ini terjadi karena adanya kegiatan atau aktivitas pabrik sepanjang daerah aliran sungai dan pinggir pantai. Menurut Setyobudiandi (2004) bahwa kualitas air laut di Teluk Jakarta telah tercemar logam berat. Demikian juga hasil penelitian Hutagalung (2001) bahwa di Teluk Jakarta pencemaran oleh logam berat cenderung terus meningkat di dalam air dengan kandungan merkuri 35 ppb dan kadmium 450 ppb. Secara umum penyebab terjadinya pencemaran kualitas air laut diduga berasal dari buangan limbah domestik dan industri karena masih terdapat pengusaha yang tidak melakukan pengolahan limbah secara sempurna. Kejadian yang senada juga terjadi di perairan laut Teluk Lada yakni telah mengalami pencemaran logam berat seperti yang dilaporkan Muawanah et al. (2005) yang mendapatkan hasil bahwa perairan Teluk Lada mengandung logam Hg 0,09 mg/l, Pb 0,015 mg/l dan Cu 0,0276 mg/l. Di Teluk Banten pun perairannya telah mengalami pencemaran logam berat, menurut Setyobudiandi (2004) perairan Teluk Banten mengandung Hg 0,05 ug/l, Cd 0,064 mg/l dan Pb 0,153 mg/l. Keadaan perairan Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada yang tercemar akan berpengaruh terhadap kehidupan biota air. Menurut Darmono (1995) tanaman

31 7 air dan jenis binatang lunak (kerang, keong dan sebagainya) yang tidak bergerak atau mobilitasnya lamban tidak dapat meregulasi logam seperti hewan air lainnya. Oleh karena itu kerang di Teluk Jakarta baik ukuran kecil, ukuran sedang dan ukuran besar mengakumulasi logam berat seperti merkuri, plumbum, kadmium, kromium dan seng sangat tinggi (Riani et al. 2004). Kerang hijau di Perairan Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada telah mengakumulasi logam-logam berat terutama merkuri, kadmium dan timbal. Sebagai indikasi terakumulasinya logam berat, hasil penelitian Setyobudiandi (2004) memperlihatkan bahwa kerang hijau yang hidup di perairan Teluk Jakarta mengalami kematangan gonad lebih lambat dibandingkan dengan kerang Teluk Banten. Keadaan ini diduga karena kondisi reproduksi kerang hijau telah dipengaruhi oleh pencemaran logam berat dan pada kasus yang berat akan terjadi mutasi gen. Diduga sel-sel kelamin kerang hijau pun tidak berkembang dengan baik, sehingga pencemaran yang mengandung logam berat diduga mempengaruhi proses gametogenesis. Keterlambatan matang gonad kerang Teluk Jakarta (Setyobudiandi 2004) menunjukan indikasi bahwa pencemaran telah berpengaruh terhadap reproduksinya. Menurut Pipe (1987a, 1987b) kondisi lingkungan yang tercemar dapat menyebabkan gamet atresia dan gamet kembali diserap. Oleh karena itu maka masalah yang dihadapi pada pencemaran logam di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada adalah sebagai berikut: 1. Kondisi tercemar logam berat di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada diduga terjadi karena bioakumulasi logam berat seperti Hg, Pb, Cd dan Cr dalam gonad kerang hijau. 2. Bioakumulasi logam berat (Hg, Pb, Cd dan Cr) dalam kelenjar gonad akan berpengaruh terhadap proses gametogenesis (oogenesis dan spermatogenesis) pada Kerang hijau yang terdapat di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah :

32 8 a. Mengidentifikasi bioakumulasi logam berat (Hg, Pb, Cd dan Cr) dalam gonad jantan dan betina kerang hijau yang tercemar di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. b. Menganalisis dampak bioakumulasi pencemaran logam berat di lingkungan perairan dan dalam organ kelamin terhadap gametogenesis (oogenesis dan spermatogenesis) pada kerang hijau yang terdapat di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. c. Menganalisis korelasi bioakumulasi logam berat dalam organ kelamin dengan jumlah sel-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatozoa pada kerang hijau jantan dan oogonia, oosit primer, oosit sekunder pada kerang hijau betina Manfaat Penelitian. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : a. Memberikan informasi tentang bahaya dari bioakumulasi pencemaran logam berat di perairan dan dalam organ kelamin betina dan jantan serta pengaruhnya terhadap gametogenesis kerang hijau yang tercemar di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. b. Sebagai masukan kebijakan bagi para stakeholder dalam strategi managemen pengelolaan limbah di Propinsi DKI Jakarta, dan Propinsi Banten agar mengupayakan mutu limbah selalu baik dan dapat mempertahankan keanekaragaman sumber hayati laut yang mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat. c. Sebagai masukan kebijakan bagi para stakeholder dalam strategi managemen pembudidayaan kerang hijau di Teluk Jakarta, Teluk banten dan Teluk Lada sehingga dapat mempertahankan keanekaragaman sumber hayati laut yang mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah:

33 9 1. Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada menyebabkan terjadinya akumulasi logam berat dalam gonad kerang hijau. 2. Bioakumulasi logam berat pada gonad kerang hijau dapat menyebabkan gangguan aktifitas gametogenesis. 3. Terdapatnya korelasi antara jumlah akumulasi logam berat dalam organ kelamin dengan jumlah sel oogonia, oosit primer, oosit sekunder pada kerang hijau betina dan spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatozoa pada kerang hijau jantan Novelty (Kebaruan). 1. Logam berat ditemukan terakumulasi di dalam organ kelamin gonad dan akumulasi tersebut merupakan biomarker kegagalan gametogenesis (spermatogenesis dan oogenesis) kerang hijau di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. 2. Bioakumulasi logam berat dalam gonad sebagai biomarker penurunan jumlah oogonia, oosit primer, oosit sekunder pada kerang hijau betina dan spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatozoa pada kerang hijau jantan. 3. Akumulasi logam berat (Hg, Pb, Cd dan Cr) dalam gonad mempunyai korelasi terhadap jumlah oogonia, oosit primer dan oosit sekunder pada kerang betina dan jumlah spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatozoa pada kerang hijau jantan.

34 II. TINJAUAN PUSTAKA Kerang banyak dihasilkan di sekitar daerah Teluk Jakarta seperti Muara Angke, dan Cilincing. Kerang hijau Perna viridis dan kerang darah Anadara granosa merupakan jenis kerang yang banyak digemari oleh masyarakat. Menurut laporan Swasono dalam Friends of the Environment Fund tahun 2004 bahwa ekspor kerang hijau dari Indonesia mendapat ganjalan karena terdapat indikasi mengandung racun logam berat seperti kadmium (Cd), timbal (Pb), dan tembaga (Cu). Selanjutnya Riani et al. (2004) di perairan Teluk Jakarta ditemukan kadar merkuri (Hg) 0,121 ppb; timbah (Pb) 0,248 ppm, kromium (Cr) 0,0285 ppm dan kadmium (Cd) 0,023 ppm sedangkan sedimennya Hg 0,098 ppb; Pb 2,897 ppm dan Cd 0,135 ppm. Selanjutnya dijelaskan bahwa akumulasi logam berat tinggi dalam daging kerang seperti merkuri dalam kerang ukuran sedang 190,235 ppm dan ukuran berat 170,868 ppm, kandungan timah hitam (Pb) dalam kerang ukuran sedang 36,36 ppm dan ukuran besar 43,894 ppm. Kandungan kadmium dalam kerang ukuran sedang 0,075-2,891 ppm dan kerang ukuran besar 0,097 0,223 ppm. Kualitas air di Perairan Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran. Menurut laporan Setyobudiandi (2004) bahwa kualitas air laut di Teluk Jakarta telah tercemar logam berat dimana kadarnya telah melebihi batas baku mutu yaitu Hg 0,42 ug/l, Cu 0,2 mg/l, Cd 0,02 mg/l, Pb 0,15 mg/l dan seng (Zn) 0,12 mg/l. Selanjutnya dijelaskan oleh Hutagalung (2001) bahwa di Teluk Jakarta telah tercemar oleh logam berat, bahkan cenderung meningkat di permukaan air laut kandungan mercuri 35 ppb dan kadmium 450 ppb. Demikian juga Teluk Banten, Propinsi Banten perairan lautnya telah mengalami pencemaran logam berat yaitu mengandung logam Hg 0,05 ug/l, Cd 0,064 mg/l dan Pb 0,153 mg/l (Setyobudiandi 2004). Perairan Teluk Lada lautnya juga telah mengalami pencemaran logam berat seperti kandungan Hg 0,09 mg/l, Pb 0,015 mg/l dan Cu 0,0276 mg/l (Muawanah et al. 2005) Sumber Logam Berat di Perairan Sumber logam berat di perairan Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada berasal dari limbah domestik dan industri. Menurut laporan Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2005, komposisi limbah B3 di DKI Jakarta yang berasal dari sampah

35 11 pemukiman 1,21%, sampah komersial 3,65% dan sampah pasar 0,12%. Menurut Firmansyah (2007) sumber limbah B3 di perairan Teluk Jakarta propinsi DKI Jakarta berasal dari industri tekstil dan kulit, pabrik kertas dan percetakan, industri kimia dasar, industri farmasi, industri logam dasar, industri perakitan kendaraan motor, industri baterai dan aki, dan rumah sakit. Sumber pencemaran logam berat di Teluk Banten Propinsi Banten berasal limbah domestik dan industri. Menurut laporan Akbar dalam Tempo Interaktif, Jawa- Madura tahun 2005 bahwa Sungai Ciujung, Cibanten dan Cidurian di Kabupaten Serang diindikasikan telah tercemar akibat buangan limbah cair dari 44 industri. Demikian Teluk Banten dan Teluk Lada telah mengalami pencemaran Sifat Fisik dan Kimia Logam Berat Logam berat adalah unsur dengan bobot jenis lebih besar dari 5 g/cm 3. Logam berat mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S, terletak pada sudut bawah daftar periodik pada priode 4 7 dengan nomor atom Logam berat dapat membentuk mineral atau senyawa logam bila bercampur dengan komponen tertentu yang ada di bumi. Logam berat ada yang bersifat esensial bagi tubuh, tetapi bila tidak terkontrol dapat berbahaya. Berdasarkan penelitian terhadap organisme air, urutan toksisitas akut logam berat dari yang paling tinggi adalah Hg 2+, Cd 2+, Ag +, Ni 2+, Pb 2+, As 3+, Cr 2+, Sn 2+, dan Zn 2+ (Darmono, 1995). Meskipun Pb 2+ relatif kurang toksik dibandingkan Ag + dan Ni 2+, tetapi lebih mudah larut dibandingkan Ag + yang merupakan logam mulia. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa Pb dan dua logam berat sangat beracun lainnya (Hg dan Cd) merupakan logam berat yang dapat terakumulasi dengan cepat dalam tubuh organisme akibat interaksi atau jaringan tubuh organisme dengan logam berat di lingkungan. Darmono (1995) menambahkan bahwa Hg, Cd, dan Pb merupakan logam berat yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan keracunan pada mahluk hidup dan tidak mempunyai fungsi biologik sama sekali Sifat Fisika dan Kimia Logam Merkuri Pencemaran yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan emas tradisional adalah limbah merkuri yang sangat berbahaya bagi mahluk hidup dan lingkungan.

36 12 Menurut Reilly (1980) merkuri (Hg) merupakan unsur ketiga di dalam kelompok IIB tabel priodik dengan nomor atom 80, bobot molekul , densitas 13,6 g/cm 3, berada dalam bentuk cair pada suhu 25 C, dan mendidih pada suhu 356,6 C. Logam berat ini juga bersifat volatil, tidak larut dalam air dan lemak. APHA (1988), merkuri mempunyai valensi 1 atau 2. Jumlah rata-rata merkuri pada kerak bumi adalah 0,09 ppm; pada tanah adalah ppm, di sungai adalah 0,07 ug/l dan pada air tanah adalah 0,5-1 ug/l. Merkuri terdapat bebas di alam dengan sumber utama dari batubatuan cinnibar (HgS). Bahan merkuri sering digunakan dalam proses amalgam, pelapisan kaca, uap lampu, cat, alat pengukur (termometer, barometer, manometer), farmasi, pestisida dan fungisida. Bentuk species dari merkuri yang umum ditemukan adalah Hg 2+, Hg(OH) 0 2, Hg 0, dan senyawa komplek yang stabil dengan ligan organik. Merkuri inorganik dapat ditransformasi menjadi methyl merkuri di dalam sedimen yang merupakan senyawa yang sangat toksik dan dapat terkonsentrasi melalui proses rantai makanan. Standar merkuri yang dikeluarkan oleh US EPA untuk air minum adalah 2 ug/l. Merkuri yang dibuang ke lingkungan baik melalui proses geologis maupun antropogenik akan masuk ke dalam media cair dan udara, diikuti dengan proses sedimentasi melalui air hujan ataupun lepasnya merkuri dari tanah dan sedimen. Uap merkuri mempunyai waktu tinggal atmosfir (atmospheric residence time) antara 0,4 dan 3 tahun, sedangkan merkuri dalam bentuk terlarut memiliki waktu tinggal sekitar 3 minggu (WHO 1993). Merkuri yang dilepaskan akan diubah dari satu bentuk bahan kimia ke bentuk yang lain secara fisika, kimia dan biologi. Proses transportasi di dalam tanah dan air akan terbatas dan kemungkinan deposisi dari merkuri tersebut akan terjadi dalam jarak dekat. Merkuri adalah unsur yang berwujud cair, berwarna perak pada suhu kamar, mudah bergerak, tidak berbau, tidak larut dalam air dan pelarut organik. Terdapatnya merkuri di alam disebabkan oleh kegiatan alam seperti proses pelapukan buatan dari letusan gunung berapi dan beberapa kegiatan manusia, terutama kegiatan yang menggunakan senyawa merkuri sebagai katalis seperti pada pertambangan logam mulia dan lain-lain. Bila dilihat dari sifat racunnya, merkuri termasuk dalam kelompok sangat beracun, antara lain karena tekanan uap merkuri cukup tinggi sehingga pada suhu normal dapat menghasilkan kosentrasi uap yang dapat membahayakan, misalnya

37 13 pada suhu 24 0 C, udara yang jenuh uap merkuri akan mengandung 18 mg/m 3 (360 kali lebih besar dari nilai ambang batas yang dikeluarkan oleh The National Institutes of Safety and Health, USA 0,05 mg/m 3 ) Sifat Fisik dan Kimia Logam Kadmium Bersamaan dengan Hg (mercury), Pb (plumbum), dan V (vanadium), kadmium (Cd) merupakan logam yang hingga saat ini belum diketahui dengan jelas peranannya bagi tumbuhan dan mahluk hidup lain. Di dalam air, kadmium terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (renik) dan bersifat tidak larut dalam air. Kadar kadmium pada kerak bumi sekitar 0,2 mg/kg. Sumber alami kadmium adalah greenockite (CdS), hawleyite, sphalerite, dan otavite (Moore 1991). Kadmium banyak digunakan dalam industri metalurgi, pelapisan logam, pigmen, baterai, peralatan elektrolit, pelumas, peralatan fotografi, gelas, keramik, tekstil, dan plastik (Eckenfelder 1989). Kadmium karbonat dan kadmium hidroksida memiliki kelarutan yang terbatas. Garam-garam kadmium (klorida, nitrat, dan sulfat) dapat berupa senyawa kompleks organik dan anorganik, atau terserap ke dalam bahan-bahan tersuspensi dan sedimen dasar. Pada ph yang tinggi kadmium mengalami presipitasi atau pengendapan (Effendi 2003). Kadar kadmium pada perairan air tawar alami sekitar 0,0001 0,01 mg/l, sedangkan pada perairan laut sekitar 0,0001 mg/l (McNeely et al. 1979). Menurut WHO, kadar kadmium maksimum pada air yang diperuntukkan bagi air minum adalah 0,005 mg/l. Pada perairan yang diperuntukan bagi kepentingan pertanian dan peternakan, kadar kadmium sebaiknya tidak melebihi 0,05 mg/l. Dalam rangka melindungi kehidupan pada ekosistem akuatik, perairan sebaiknya memiliki kadar kadmium sekitar 0,0002 mg/l (Moore 1991) Sifat Fisik dan Kimia Logam Kromium Kromium (Cr) mempunyai nomor atom 24 dan berat atom 51,996. Logam Cr murni tidak pernah ditemukan dialam, namun unsur ini ditemukan dalam persenyawaan dengan senyawa lain yaitu berupa senyawa meneral seperti cromite (FeOCr 2 O 3 ). Kadang-kadang pada batuan mineral cromite juga ditemukan logam Mg, Al dan senyawa SiO 3. Kromium juga membentuk alloy yaitu ikatan kromium dengan logam lain seperti besi (Fe) disebut ferrokromium, dengan kalsium disebut

38 14 14 kasiumkromat. Sumber logam ini yang masuk kedalam lingkungan perairan berasal dari kegiatan industri, rumah tangga dan pembakaran serta dari mobilisasi bahan bakar (Palar 2004). Kromium mempunyai berat jenis 6,8 dan titik cair 1615 ºC. Kromium memberikan kekuatan dan kekerasan baja serta tahan karat dan tahan aus. Dengan sifat-sifat itu membuat baja paduan ini baik untuk bahan poros, dan roda gigi. Penambaahan unsur kromium biasanya diikuti dengan penambahan unsur nikel (Van Vlack et al. 1991) Sifat Fisik dan Kimia Logam Timbal Menurut Reilly (1980) Pb termasuk golongan transisi IV A dalam sistem periodik unsur, yang mempunyai nomor atom 82, bobot atom 207,21, densitas 11,34 g/cm 3, mencair pada suhu 327,5 ºC, dan mendidih pada suhu 1725 ºC. Darmono (1995) menambahkan bahwa Pb mempunyai sifat tahan karat, reaktif, mudah dimurnikan, tekstur yang lunak, warna coklat kehitaman, dan dengan logam lain dapat berbentuk campuran yang bagus dari pada logam murninya. Dalam kegiatan pertambangan, Pb sering berada dalam bentuk sulfida logam (PbS) dan biasanya disebut galena. Timbal (lead = timah hitam = Pb) pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga kadar timbal di dalam air relatif sedikit. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, ph, alkalinitas dan kadar oksigen. Timbal diserap dengan baik oleh tanah, sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Kadar timbal pada kerak bumi sekitar 15 mg/kg. Sumber alami utama timbal adalah galena (PbS), gelesite (PbSO 4 ), dan Cerrusite (PbCO 3 ) (Novotny dan Olem 1994). Bahan bakar yang mengandung timbal (leaded gasoline) juga memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di dalam air. Di perairan tawar, timbal membentuk senyawa kompleks yang memiliki sifat kelarutan rendah dengan beberapa anion misalnya hidroksida, karbonat, sulfida dan sulfat. Timbal banyak digunakan dalam industri baterai (Eckenfelder 1989). Pada perairan laut, kadar timbal sekitar 0,025 mg/l (Moore 1991). Kelarutan timbal pada perairan lunak (soft water) adalah sekitar 0,5 mg/l, sedangkan pada perairan sadah (hard water) sekitar 0,003 mg/l. Canadian Council of Resource and

39 15 Environmental Ministers atau CCREM (1987) mengemukakan hubungan antara kadar timbal di perairan (Tabel 1). Tabel 1. Kadar timbal pada beberapa nilai kesadahan No Kesadahan (mg/l CaCO 3 ) Kadar timbal (mg/l) (lunak/soft) (sedang/medium) (sadah/hard) 4. > 180 (sangat sadah/very hard) Sumber: CCREM (1987) Timbal tidak termasuk unsur yang esensial bagi makhluk hidup. Unsur ini bersifat racun bagi hewan dan manusia karena dapat terakumulasi pada tulang. Toksisitas timbal terhadap tumbuhan relatif lebih rendah dibandingkan dengan unsur renik yang lain. Pada perairan yang diperuntukan bagi air minum, kadar maksimum timbal adalah 0,05 mg/l (Davis dan Corwell 1991). Dalam rangka melindungi hewan ternak, kadar timbal sebaiknya tidak melebihi 0,1 mg/l. Kadar timbal di perairan yang diperuntukan bagi keperluan pertanian pada tanah yang bersifat netral dan alkalis adalah 10 mg/l, sedangkan pada tanah yang bersifat asam 5 mg/l Peran Logam Berat pada Hewan Air Logam dan mineral lainnya hampir selalu ditemukan dalam air tawar dan laut, walaupun jumlahnya sangat terbatas. Dalam kondisi normal, beberapa macam logam baik logam ringan maupun logam berat jumlahnya sangat sedikit dalam air. Beberapa logam ini bersifat esensial dan sangat dibutuhkan dalam proses kehidupan, misalnya kalsium (Ca), magnesium (Mg) yang merupakan logam ringan berguna untuk pembentukan kutikula atau sisik pada ikan dan udang. Sedangkan tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn) merupakan logam berat yang sangat bermanfaat dalam pembentukan haemosianin dalam sistem darah dan enzimatik pada hewan air tersebut. Logam yang menyebabkan keracunan adalah jenis logam berat. Logam ini yang termasuk logam esensial adalah Cu, Zn dan Se dan yang nonesensial seperti Hg, Pb, Cd dan As. Terjadinya keracunan logam paling sering disebabkan oleh pengaruh pencemaran lingkungan yang berasal dari logam berat, seperti pengunaan logam

40 16 sebagai pembasmi hama (pestisida), pemupukan maupun karena pembuangan limbah pabrik yang menggunakan logam. Logam esensial seperti Cu dan Zn dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada hewan, tetapi logam nonesensial seperti Hg, Pb, Cd dan As sama sekali belum diketahui kegunaannya walaupun dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan keracunan pada hewan (Darmono 1995). Absorpsi ion-ion logam dari air laut seperti ikan dan udang biasanya melalui insang. Simkiss (1984) melaporkan bahwa logam-logam ringan seperti Na, K, Ca dan Mg merupakan logam dalam kelompok kelas A yang keterlibatan ion logamnya dalam mahluk hidup menyangkut proses fisiologis. Logam berat yang dimasukkan dalam kelas B, merupakan logam-logam yang terlibat dalam proses enzimatik dan dapat menimbulkan polusi, misalnya Cu, Zn, Cd, Hg dan Pb. Aktivitas dari logam kelas A masuk kedalam tubuh hewan biasanya dengan cara difusi membran sel, sedangkan kelas B, terikat dengan protein (ligand binding). Logam ringan yang termasuk kelas A biasanya selalu terdapat dalam air yang mengandung garam yang larut di dalamnya. Lapisan sel (membran) pada biota air biasanya berlapis dua dan berbentuk lipida (lipid bilayer), yang pada permukaannya mengandung beberapa lapisan yang mengikat ionion yang akan diserap. Ion logam masuk ke dalam sel dengan cara penetrasi ke dalam lapisan lipid, tetapi dalam penetrasi tersebut ada barier yang menghambat yaitu berupa energi. Energi ini dihasilkan oleh proses sintesis ATP (adenosin trifosfat), kontraksi otot, aktivitas saraf, keseimbangan elektrolit dan sebagainya. Keracunan Cu dapat menyebabkan kehilangan ion-ion natrium dalam tubuh ikan, sehingga ikan menjadi lemas dan akhirnya mati (Zahner et al. 2006). Unsur Cd dalam tubuh hewan dapat menyebabkan oksidasi yang berlebihan, sehingga timbul perasaan lapar terus-menerus dan akhirnya mati (Sandrini et al. 2006). Keracunan Cu dapat menyebabkan kehilangan sodium dalam tubuh ikan, sehingga ikan menjadi lemas dan akhirnya mati (Zahner et al. 2006). Keracunan Hg, Cu, Zn, Fe, Cd dan Pb pada larva Haliotis rubra, dapat menyebabkan abnormalnya bentuk tubuh larva tersebut (Gorski dan Nugegoda 2006). Di Pertambangan uranium, air limbahnya (tailing) juga banyak mengandung selenium (Se). Selenium bersifat toksik terhadap ikan-ikan dan mempunyai dampak sainifikan terhadap reproduksi ikan rainbow trout dan ikan brook trout menunjukkan kandungan Se tinggi dalam telur (8,8 10,5 ug/g bobot basah telur) dan terjadi

41 17 kelainan pada anak ikan yaitu pada tulang kepala (craniofacial) dan rangka tubuh (skeletal) serta terjadi oedema (Holm et al. 2005). Pencemaran Cd, Cu dan Zn di lautan dapat diketahui dengan menggunakan biomarker phytoplanton yaitu Cyanobacteria synechococcus Sp. Spesies ini paling sensitif dibandingkan species lainnya. Tingkat pencemaran dari ketiga logam tersebut adalah Cd > Cu > Zn. Potensial bioakumulasi yang mengkuatirkan adalah Cu dan Zn sedangkan bioakumulasi kurang di lingkungan adalah Cd (Miao et al. 2005). Pencemaran Cd dapat menyebabkan matinya Hyalella azteca dan juga terjadi akumulasi dalam tubuhnya (Gust dan Fleeger 2005). Pencemaran Cd akan mempengaruhi kebutuhan ion Ca 2+ dalam tubuh ikan Rainbow trout. Demikian juga pencemaran Cu di air tawar dapat terakumulasi pada Bivalve corbicula (Croteau dan Luoma, 2005). Pencemaran Zn dapat menyebabkan kekurangan oksigen pada ikan mas dan akhirnya mati (Hattink et al. 2005). Keracunan Pb dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan sebagai akibat dari gangguan penyerapan kalsium (Grosell et al. 2005). Dampak limbah pertambangan nikel (Ni) yang mengandung Cu, nolin dan garson dapat menyebabkan penurunan daya hidup dan depresi tingkat hormon testosteron ikan creek chub dan pearl dace. Kemampuan hidup berkurang dari 60% pada limbah yang mengandung Cu dan garson, juga terjadi penurunan bobot badan. Efluen limbah pertambangan nikel juga banyak mengandung nikel, rubidium, strontium, lithium, thalium, selenium yang dapat berakumulasi dalam jaringan ikan (Dube et al. 2005). Ikan salmon yang diekpose dalam air dengan dosis1 ppm Hg selama 30 menit akan menurunkan fertilitas spermatozoanya. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap daya reproduksi pada ikan dalam dosis merkuri yang lebih rendah dan waktu yang lebih lama. Ikan zebra yang diekspose 1 ppb fenil merkuri asetat menurunkan produksi telur sampai 22%, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi yaitu 20 ppb, ikan tersebut berhenti bertelur. Daya tetas telur juga sangat berpengaruh jika telur ditempatkan pada air yang mengandung logam sehingga daya tetasnya turun. Mekanisme penurunan kontraksi oviduk untuk mengeluarkan telur menurun pada ikan yang hidup dalam air yang terkontaminasi, sehingga hanya sedikit telur yang dikeluarkan. Pada ikan mas air tawar, Cd dosis 10 mg/kg disuntikkan akan

42 18 menyebabkan perusakan epitel germinal dari testis, terutama pada periode aktif dari spermatogenesis dan perkembangan ovarium yang terhambat (Darmono 1995). Ikan yang dipelihara dalam budidaya yang terkontaminasi logam mempunyai masalah pada segi pemasarannya, karena dibatasi oleh aturan yang telah ditentukan. Jika logam Hg, Cd, Zn dan Pb terkandung dalam jaringan ikan melebihi batas yang ditentukan, produksinya tidak boleh dijual di pasaran apalagi diekspor. Batas kandungan logam masing-masing untuk Hg, Cd, Cu, dan Zn adalah 0,5; 0,05; 10 dan 100 mg/kg bobot basah (Darmono 1995). Hasil penelitian Fang (2006) di Pantai Cina Selatan yang tercemar logam berat menunjukan kandungan logam dalam daging kerang hijau (Perna viridis) yaitu Cd 0,45-3,19; Cu 5,01-29,14; Zn 46,5-86,6; Pb 0,77-4,97; Ni 5,39-12,05; Cr8,2-86,4; Sb 0,09-0,76 and Sn 4,08-57,98 ug/g berat kering. Diperoleh hubungan yang sangat erat antara kosentrasi kadmium di sedimen dengan kadmium dalam daging kerang. Kontaminasi logam Cu, Zn, Cr dan Ni di daerah estuaria merupakan suatu pertimbangan bahwa daging kerang telah tercemar logam berat Mekanisme Logam Berat Mempengaruhi Reproduksi Hewan Air Bahan pencemaran seperti logam berat atau logam masuk kedalam tubuh melalui mulut, insang dan kulit. Logam diregulasi oleh organisme air ialah logam yang pada kosentrasi tertentu dalam air tidak diakumulasi terus-menerus oleh organisme tersebut dan dikeluarkan dari tubuh sehingga kandungannya dalam jaringan tetap, biasanya terhadap logam esensial seperti Cu, Zn, dan Mn. Logam yang tidak diregulasi oleh organisme air ialah logam yang terus-menerus terakumulasi oleh jaringan organisme tersebut, sehingga kandungan dalam jaringan naik terus sesuai dengan kenaikan kosentrasi logam dalam air, dan logam ini hanya diekskresikan sedikit sekali, biasanya terhadap logam nonesensial seperti Hg, Pb, Cd (Darmono 1995). Logam-logam berat yang bersifat racun, seperti Hg, Cd, dan Pb yang terdapat dalam air kebanyakan juga berbentuk ion. Kadmium (Cd) dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCI 2 ), sedangkan dalam air tawar berbentuk karbonat (CdCO 3 ). Pada air payau, yang biasanya terdapat di muara sungai, kedua senyawa tersebut jumlahnya berimbang. Kadar garam juga mempengaruhi senyawa logam dalam air laut, sehingga terjadi suatu interaksi antara logam dan logam, misalnya Ca dengan Cd.

43 19 19 Logam berbahaya itu diserap oleh hewan air melalui insang dan saluran pencernaan. Karena sifatnya yang toksik, logam ini dapat mematikan. Jika hewan air tersebut tahan terhadap kandungan logam yang tinggi, maka logam itu dapat tertimbun di dalam jaringannya, terutama hati dan ginjal. Logam itu juga berikatan dengan protein, sehingga disebut metalotionein yang bersifat agak permanen dan mempunyai waktu paruh cukup lama (biological half life) (Darmono 1995). Logam yang diabsorpsi lewat gastro-intestinal, akan berdifusi pasif ataupun katalis maupun aktif dan ditranspor ke organ target ataupun bereaksi, sehingga terjadi berbagai transformasi senyawa logam, sehingga efeknya beragam. Logam akan mengalami proses pinositosis oleh sel tubuh. Logam bila tidak diakumulasi atau dimanfaatkan oleh tubuh akan diekskresikan lewat berbagai organ seperti ginjal, usus, rambut, kuku, respirasi, keringat, udara ekspirasi, air susu dan kulit. Ekskresi lewat ginjal tergantung pada ph dan jumlah protein atau asam amino yang dapat mengikatnya. Usus dapat secara aktif mengekskresikan logam seperti logam Cd, Hg, dan Pb dari selaput lendirnya. Khususnya untuk metil-hg akan mengalami sirkulasi antara hepar (hati) dan usus lewat empedu; senyawa tersebut secara terus bersirkulasi sehingga dalam jumlah kecil dapat menyebabkan kerusakan yang besar. Siklus ini dikenal sebagai siklus entero-hepatik (Soemirat 2005). Metilmerkuri akan diabsorbsi oleh pencernaan, kecuali bila mercuri bersama garam anorganik kurang diabsorbsi (Svensson et al. 1992). Menurut Reijnders dan Brasseur (1992) bahwa gangguan reproduksi akibat pencemaran dimulai secara bertahap, awalnya ke otak (central nervous systim = CNS) lalu ke kelenjar hipothalamus, ke kelanjar hipofisa diteruskan ke adrenal dan terakhir ke plasenta. Pada mamalia metilmerkuri bersifat racun dimana senyawa tersebut akan merusak sistem syaraf pusat (CNS), meliputi sensori dan pengurangan pergerakan (motor) dan menyebabkan gangguan tingkah laku serta hewan tersebut akan kekurangan oksigen (anorexic) dan lathargie. Pada induk yang hamil metilmerkuri akan ditransportasikan ke plansenta (Wagemann et al. 1988), dan juga metilmerkuri akan terkosentrasi di otak (Wolfe et al. 1998). Selanjutnya terjadi gangguan reproduksi pada perkembangan anak dan lahir mati (Vos et al. 2003). Pencemaran logam berat dan senyawa fenol dalam konsentrasi yang melebihi batas toleran akan bersifat toksik, melalui medium darah logam diikat oleh protein

44 20 (meltalotionin) sampai ke pada target organ dan syaraf akan menyampaikan informasi ke susunan syaraf pusat (otak) bahwa kondisi tidak mendukung. Kondisi ini mengakibatkan kelenjar hipotalamus tidak aktif mengeluarkan GnRH untuk menyampaikan informasi ke kelenjar anterior hipofisa, untuk tidak memproduksi hormon FSH. Dengan demikian secara otomatis tidak terjadi oogenesis pada ovarium dan spermatogenesis di testis, dengan kata lain ovarium tidak memproduksi hormon estrogen dan juga testis tidak memproduksi hormon testosteron. Dalam kurun waktu yang lama organ reproduksi akan mengalami kelainan bentuk atau abnormal karena organ yang bersangkutan tidak aktif. Pada perairan alam, merkuri juga hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada dalam bentuk cair pada suhu normal. Merkuri terserap dalam bahan-bahan partikulat dan mengalami presipitasi, pada dasar perairan anaerobik merkuri berikatan dengan sulfur. Merkuri anorganik dapat mengalami transformasi menjadi metil-merkuri dengan bantuan aktivitas mikroba, baik pada kondisi aerob maupun anaerob. Pada kadar merkuri anorganik yang terendah, akan terbentuk dimetil merkuri; sedangkan pada kadar merkuri anorganik yang tinggi, akan terbentuk monometil merkuri. Pada perairan alam, kadar monometil merkuri dan dimetil merkuri dipengaruhi oleh keberadaan mikroba, karbon organik, kadar merkuri organik, ph, dan suhu. Kedua bentuk senyawa metil merkuri tersebut dapat dipecahkan oleh bakteri yang hidup pada sedimen. Metil merkuri dapat mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi pada biota perairan, baik secara langsung ataupun melalui rantai makanan (feed web) (Effendi 2003). Kadar merkuri dalam berbagai organisme yang merupakan anggota rantai makanan pada ekosistem perairan dapat dilihat pada Tabel 2. Merkuri yang terdapat dalam limbah (waste) di perairan umum diubah oleh aktivitas mikroorganisme menjadi komponen metil-merkuri (Me-Hg) yang memiliki sifat racun (toksik) dan daya ikat yang kuat disamping kelarutannya yang tinggi terutama dalam tubuh hewan air. Hal tersebut mengakibatkan merkuri terakumulasi baik melalui proses bioakumulasi maupun biomagnifikasi yaitu melalui rantai makanan (food chain) dalam jaringan tubuh hewan-hewan air, sehingga kadar merkuri dapat mencapai tingkat yang berbahaya, baik bagi kehidupan hewan air maupun kesehatan manusia yang memakan hasil tangkapan organisme air, karena

45 21 Tabel 2. Biomagnifikasi merkuri pada berbagai organisme anggota rantai makanan pada ekosistem perairan. No. Jenis organisme Kadar merkuri(ug/kg berat basah) Sedimen Fitoplankton Tumbuhan tingkat tinggi Zooplankton Zoobentos herbivora Zoobentos karnivora Jenis ikan herbivora Jenis ikan karnivora Bebek / itik Burung pemakan ikan Sumber: Sarkka et al. (1978) dalam Effendi (2003) kecepatan pengambilan merkuri (up take rate) oleh organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses ekskresi. Hal ini disebabkan metil-merkuri memiliki waktu paruh sampai beberapa ratus hari di tubuh hewan air, sehingga zat ini menjadi terakumulasi dan konsentrasinya beribu kali lipat lebih besar dibandingkan air sekitarnya (Nicodemus 2003). Menurut Nicodemus (2003) mendefinisikan bioakumulasi adalah peningkatan konsentrasi suatu zat sepanjang rantai makanan. Mekanisme perjalanan metil-merkuri dari air hingga masuk ke dalam tubuh manusia dan hewan: 1. Metil-merkuri di dalam air dan sedimen dimakan oleh bakteri, binatang kecil dan tumbuh-tumbuhan kecil yang dikenal sebagai plankton. 2. Ikan ukuran kecil dan sedang kemudian memakan bakteri dan plankton tersebut dalam jumlah besar sepanjang waktu. 3. Ikan ukuran besar kemudian memakan ikan kecil tersebut, dan terjadilah akumulasi metil-merkuri di dalam jaringan. Ikan yang lebih tua dan besar mempunyai potensi yang lebih besar untuk terjadinya akumulasi kadar merkuri yang tinggi di dalam tubuhnya. 4. Ikan tersebut kemudian ditangkap dan dimakan oleh manusia dan binatang, menyebabkan metil-merkuri berakumulasi di dalam jaringannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ikan dapat mengabsorbsi metil-merkuri melalui makanannya dan langsung dari air dengan melewati insang. Oleh karena itu merkuri

46 22 terikat dengan protein di seluruh jaringan ikan, termasuk otot, maka tidak ada metode pemasakan atau pencucian ikan untuk mengurangi kadar merkuri di dalamnya. Pengaruh langsung polutan terhadap ikan biasanya dinyatakan sebagai letal (akut), yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu kurang dari 96 jam atau sublethal (kronis), yaitu akibat-akibat yang ditimbulkan pada waktu lebih dari 96 jam (empat hari). Sifat toksis yang letal dan subletal dapat menimbulkan efek genetik maupun teratogenik terhadap biota yang bersangkutan. Pengaruh letal disebabkan gangguan pada saraf pusat sehingga ikan tidak bergerak atau bernapas akibatnya cepat mati. Pengaruh subletal terjadi pada organ-organ tubuh, menyebabkan kerusakan pada hati, mengurangi potensi untuk berkembangbiak, pertumbuhan dan sebagainya. Seperti peristiwa yang terjadi di Jepang, penduduk di sekitar Teluk Minamata keracunan metil-merkuri akibat hasil buangan dari suatu pabrik. Metil-merkuri yang terdapat dalam ikan termakan oleh penduduk sekitar teluk tersebut. Ikan-ikan yang mati di sekitar Teluk Minamata mempunyai kadar metil-merkuri sekitar 9 sampai 24 ppm (Nicodemus 2003). Faktor-faktor yang berpengaruh di dalam proses pembentukan metil-merkuri adalah merupakan faktor-faktor lingkungan yang menentukan tingkat keracuannya. Merkuri yang diakumulasi dalam tubuh hewan air akan merusak atau menstimulasi sistem enzimatik, yang berakibat dapat menimbulkan penurunan kemampuan adaptasi bagi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yang tercemar tersebut. Pada ikan, organ yang paling banyak mengakumulasi merkuri adalah ginjal, hati dan lensa mata (Nicodemus 2003). Toksisitas logam-logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernapasan yakni sirkulasi dan ekresi dari insang. Unsur-unsur logam berat yang mempunyai pengaruh terhadap insang adalah timah, tembaga, kadmium dan merkuri (Nicodemus 2003). Pengaruh pencemaran merkuri terhadap ekologi bersifat jangka panjang, yaitu meliputi kerusakan struktur komunitas, keturunan, jaringan makanan, tingkah laku hewan air, fisiologi, resistensi maupun pengaruhnya yang bersifat sinergisme. Pengaruhnya yang bersifat liner terjadi pada tumbuhan air, yaitu semakin tinggi kadar merkuri semakin besar pengaruh racunnya (Nicodemus 2003).

47 23 Kadmium bersifat kumulatif dan sangat toksik bagi manusia karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan paru-paru, meningkatkan tekanan darah, dan mengakibatkan kemandulan pada pria dewasa. Kasus keracunan kadmium yang terkenal adalah timbulnya penyakit itai-itai di Jepang, ditandai dengan rasa sakit pada tulang dan terjadi pengeroposan tulang. Kadmium juga bersifat toksik dan bioakumulasi terhadap organisme. Toksisitas kadmium (EC 50 ) terhadap Lemna minor adalah 0,2 mg/l dan terhadap Selenastrum capricornutum adalah 0,006 mg/l. Nilai LC 50 kadmium terhadap Daphnia magna adalah 0,005 mg/l dan terhadap Gammarus pulex 0,7 mg/l (Effendi 2003). Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh ph dan kesadahan. Selain itu keberadaan seng (zinc) dan timbal dapat meningkatkan toksisitas kadmium. Canadian Council of Resource and Environmental Ministers (1987) melaporkan hubungan antara kadar kadmium dan nilai kesadahan (Tabel 3). Tabel 3. Kadar kadmium pada beberapa nilai kesadahan. No. Kesadahan (mg/l CaCO 3 ) Kadar kadmium (ug/l) (lunak / soft) (sedang / medium) (sadah / hard) > 180 (sangat sadah / very hard) 0,2 0,8 1,3 1,8 Sumber: CCREM (1987). Hasil uji pemberian kadmium (CdCl 2 ) pada mencit menunjukkan bahwa setelah pemberian 24 jam terjadi peningkatan kadar kadmium dalam testis, dan menurunkan kemampuan reproduksinya (Chen et al. 2006). Pada anjing laut (Halichoerus grypus) yang hidup secara alami di perairan Norwegia yang tercemar logam Hg dan Cd menunjukkan kadarnya tinggi dalam hati dan ginjal sehingga logam tersebut terikat dengan protein seperti metallotionien (MTN). Secara nyata dibuktikan bahwa logam tersebut melalui plasenta karena kadar metallothionien tinggi dalam hati dan ginjal (Teigen et al. 1999). Akumulasi timbal dalam tubuh manusia mengakibatkan gangguan pada otak dan ginjal, serta kemunduran mental pada anak yang sedang tumbuh. Perairan tawar alami biasanya memiliki timbal < 0,05 mg/l. Toksisitas timbal terhadap organisme akuatik berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut. Timbal dapat menutupi lapisan mukosa pada organisme akuatik, dan selanjutnya dapat

48 24 mengakibatkan sufokasi. Toksisitas timbal lebih rendah dari kadmium, merkuri dan tembaga, akan tetapi lebih tinggi daripada krom, mangan, barium, seng dan besi. Menurut Gorski dan Nugegoda (2006) keracunan Hg, Cu, Cr, Zn, Fe, Cd dan Pb pada larva Haliotis rubra, dapat menyebabkan abnormalnya bentuk tubuh larva tersebut. Kadar timbal antara 0,1 8,0 mg/l dapat menghambat pertumbuhan mikroalga Chlorella saccharaphila. Toksisitas akut timbal terhadap beberapa jenis avertebrata air tawar dan laut sekitar 0,5 5 mg/l. Toksisitas akut (LC 50 ) timbal terhadap beberapa jenis ikan air tawar berkisar antara 0,5 10 mg/l (Moore 1991). Percobaan yang diperlakukan terhadap tikus putih jantan dan betina yang diberikan perlakuan 1% Pb-asetat ke dalam makanannya, menunujukkan hasil berkurangnya kemampuan sistem reproduksi hewan tersebut. Selanjutnya hasil pengukuran hormon steroid menunjukan penurunan yang signifikan (Palar 2004). Masuknya merkuri ke dalam tubuh manusia terdiri dari dua jalur. Pertama, uap merkuri dari hasil pembakaran amalgam dapat langsung terhisap melalui jalur pernapasan, sedangkan yang kedua adalah sebagian merkuri yang dibuang ke sungai akan dikonsumsi oleh manusia baik melalui media air maupun organisme yang sudah terkontaminasi oleh merkuri (Akagi et al. 1995). Merkuri bersifat akumulatif dalam tubuh, dapat menyebabkan keracunan kronis bagi manusia. Merkuri terserap kedalam tubuh manusia melalui sistem pernafasan, pencernaan dan kulit. Merkuri yang terakumulasi dalam tubuh manusia pada periode tertentu akan merusak sistem syaraf pusat, hati dan ginjal. Merkuri yang terhisap oleh para pekerja tambang saat pembakaran merupakan bahan kimia dalam bentuk logam Hg 0. Logam ini kemudian akan masuk ke dalam paru-paru dan akhirnya sampai pada darah yang secara cepat berubah menjadi bentuk Hg 2+ oleh enzim katalase di dalam sel darah merah (Silver et al. 1994). Beberapa jenis binatang lunak seperti moluska, ekskresi logam dilakukan dalam beberapa cara yang agak berbeda-beda. Scallop, jenis keong laut, mengeluarkan logam dari tubuhnya dalam bentuk granula dari ginjalnya, sedangkan Cardium edulis, jenis moluska laut mengeluarkan logam dalam bentuk bola-bola kecil dari sel-sel saluran pencernaannya. Pada kerang kecil (oyster), partikel-partikel logam (Fe) yang dikeluarkan dari pinggir mantelnya dan juga sel darah putih sangat berperan dalam penyerapan dan pengeluaran logam (Darmono 1995).

49 25 Menurut Darmono (1995) bahwa pada Mythilus edulis yang mengabsorpsi Pb terlihat bahwa ginjalnya mengandung 50-70% dari total Pb yang diserap, namun regulasi dari Pb ini tidak begitu baik. Absorpsi Pb selama 40 hari terlihat proporsional dengan konsentrasi Pb air sekitarnya pada kandungan 0,005 sampai 5 ppm. Di sini terlihat bahwa laju pengeluaran Pb dalam air juga proporsional dengan konsentrasi dalam jaringan, sehingga efisiensi ekskresi juga konstan. Akibat dari hal tersebut, maka konsentrasi Pb dalam tubuh naik jika konsentrasi dalam air laut juga naik sampai laju absorpsi seimbang dengan laju ekskresi. Seorang peneliti menganalisis bahwa kesimbangan terjadi setelah 230 hari dengan asumsi bahwa absorpsi Pb terjadi melalui air dan makanan. Faktor konsentrasi logam tersebut tergantung pada ukuran organisme, dan pada Mythilus edulis terlihat bahwa konsentrasi Pb, Cu, Zn, dan Fe menurun dengan naiknya bobot badan, sedangkan konsentrasi Ni dan Cd terlihat tetap. Menurut rangkuman William dan Burson (1985) setiap logam mempunyai target jaringan organ tertentu dalam tubuh (Tabe 4). Tabel 4. Target logam berat pada organ tubuh. LOGAM TARGET LOGAM BERAT PADA SISTEM BERAT GU N HATI GI Resp Hem TLG END KLT CV Hg Pb Cd Co Cr Cu + + Fe Zn Ni As Se Sr + Sn.org + + Be + + Bi Ti Mn + + Al + + Keterangan: GU = genito-urinaria; N = neuron; GI = gastro-intestinal; Resp= respirasi; Hem = hematop; TLG = tulang; END = endokrin; KLT= Kulit dan CV = cardio-vaskuler. Sumber: William dan Burson (1985). Pada tanaman air dan jenis binatang lunak (kerang, keong dan sebagainya) yang tidak bergerak atau mobilitasnya lamban tidak dapat meregulasi logam seperti hewan air lainnya. Ikan dan krustasea dapat meregulasi logam esensial seperti Cu dan

50 26 Zn, sedangkan logam nonesensial seperti Cd dan Hg kurang atau tidak diregulasi (Darmono 1995). Pada binatang lunak (moluska) sel leukosit sangat berperan dalam sistem translokasi dan detoksikasi logam. Hal ini terutama ditemukan pada kerang kecil (oyster) yang hidup dalam air yang terkontaminasi tembaga (Cu), yang tembaganya terikat oleh sel leokosit sehingga menyebabkan kerang tersebut berwarna kehijauhijauan. Penelitian mengenai pengikatan Cu dan Zn telah dilakukan oleh Combs (1974) yang mengemukakan bahwa kerang (Ostrea edulis) yang normal, 60% dari ion-ion Zn terikat oleh sel-sel yang debris. Kurang lebih 40% dari ion-ion tersebut berikatan dengan enzim-enzim, seperti taurine, lysine, ATP dan mungkin homarin. Ikatan metalotionein tersebut adalah merupakan ikatan kompleks dari logam. Sebagian logam didetoksikasikan namun informasinya belum jelas dan hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Proses mekanisme absorpsi, ekskresi, detoksikasi, dan akumulasi menunjukkan bahwa hewan tingkat tinggi mempunyai kemampuan meregulasi logam dalam tubuhnya walaupun ada perubahan konsentrasi logam dalam air sekitarnya. Kemampuan organisme tersebut meregulasi logam dalam jaringan hanya dapat diketahui dengan menganalisis logam dalam jaringan, secara individu organisme yang diekspose dengan beberapa konsentrasi logam dalam air. Bioasai dilakukan pada logam esensial seperti Zn, Cu, dan Mn. Kenaikan konsentrasi Zn (dari 0,004 sampai 0,2 mg Zn/L) hanya berpengaruh sedikit terhadap konsentrasi Zn dalam jaringan lobster Homarus americanus. Pada konsentrasi Zn diatas 0,2 mg Zn/L, kandungan Zn dalam jaringan logam yang tersebut terganggu. Logam nonesensial, seperti Cd dan Hg kurang dapat diregulasi oleh krustasea (Darmono 1995). Dosis letal unsur krom pada ikan 91 ppm, udang 10 ppm, kerang ppm dan polycheta 2-9 ppm (Palar 2004). Jenis kerang kecil yang disebut oister maupun jenis besar yang disebut klam merupakan indikator yang baik dalam memonitor suatu pencemaran lingkungan oleh logam. Hal tersebut disebabkan oleh sifatnya yang menetap dalam suatu habitat tertentu. Dari analisis logam dalam jaringan kerang tersebut dapat diketahui kadar pencemaran logam pada daerah tersebut. Jenis kerang juga dapat dipakai untuk memonitor pengaruh konsentrasi logam terhadap kualitas air, faktor musim, suhu,

51 27 kadar garam, diet dan reproduksi. Dilaporkan juga bahwa oister dapat mengakumulasi logam Zn dan Cu berlipat ganda lebih besar daripada konsentrasi logam tersebut dalam air sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa oister merupakan bioakumulator paling baik terhadap logam daripada organisme air lainnya (Darmono 1995). Pada kerang kecil oister Saccostrea echinata mengabsorpsi Hg lebih besar daripada Cd, dan Cd lebih besar daripada Pb pada suhu 20 C. Insang dari hewan tersebut mengakumulasi paling besar daripada jaringan lainnya. Absorpsi terebut paling efisien terjadi pada suhu 30 C pada logam Hg dan Cd, sedangkan logam Pb hanya sedikit naik (Denton dan Burdon-Jones 1981). Gosling (1992) melaporkan bahwa bioakumulasi logam berat oleh green mussel di perairan laut telah dilakukan penelitian (Tabel 5). Tabel 5. Rekapitulasi penelitian akumulasi logam berat pada kerang. No Logam Berat Peneliti A Logam berat kelarutan tinggi ditemukan dalam tubuh mussel 1. Timbal (Pb) Schulz Baldes (1974) 2. Kadmium (Cd) Riisgard et al. (1987) 3. Merkury (Hg) King & Davies, (1987) 4. Vadanium (V) Miramand et al. (1980) 5. Americium (Am) Bjerregard et al. (1985) 6. Plutonium (Pu) B Logam Berat yang diabsorpsi langsung dari laut dan disimpan pada mantel (Periostracum) adalah 1. Uranium (U) Hamilton (1980) 2. Vanadium (V) Miramand et al. (1980) 3. Lead (pb) Sturesson (1976) C Ditemukan juga dalam jaringan 1 Pb Bourgom (1990) Sumber : Gosling (1992). Moluska dari kelas Bivalva digunakan sebagai organisme untuk memantau pencemaran perairan yang mengandung akumulasi toksikan lebih tinggi dari lingkungan (Philips 1985). Perna viridis dapat digunakan sebagai bioindikator yang digunakan untuk memantau pencemaran perairan. Menurut Cossa (1988) melaporkan terdapat kandungan kadmium pada Mytilus dan Perna viridis. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara kandungan kadmium dalam daging kerang dengan kandungan kadmium dalam air laut, dengan persamaannya adalah

52 28 Cd mussel = 0,39 + 0,074. Cd water. Selanjutnya disarankan bahwa untuk daerah breeding kadar kadmium tidak boleh melebihi 150 ng/l dalam air laut. Menurut Sivalingam dan Bhaskaran (1980), menyimpulkan bahwa kerang Perna viridis dapat digunakan sebagai bioindikator bagi pencemaran logam berat seperti kadmium, kobal, krom, tembaga, nikel dan timbal, namun tidak bagus untuk melihat pencemaran logam besi, mangan dan seng. Rosell (1985) melakukan penelitian pada Perna viridis yang diekspos ke dalam air yang mengandung kontaminan merkuri 100 ppb selama 45 hari menunjukkan terjadinya ganguan fungsi tubuh sangat lambat. Pada Tabel 6 berikut ini dapat dilihat kosentrasi logam berat yang dapat mengakibatkan kematian (Lethal dosis = LD 50 ) biota laut setelah pemaparan 96 jam. Tabel 6. Kosentrasi ion-ion logam berat (mg/l) yang mematikan bagi biota laut setelah pemaparan 96 jam. No Logam berat Jenis hewan laut Ikan Udang Kerang Polycheta Kadmium (Cd) Kromium (Cr) Tembaga/Cupper (Cu) Merkuri (Hg) Nikel (Ni) Plumbum (Pb) Zinkum (Zn) ,5-3,5 0,23 0, , , ,5-50 2, ,14 2,4 0, ,5 12,1 2,0 9,0 0,16 0,5 0,02 0, ,7 20 1,8-55 Sumber : Palar (2004) Metabolisme Logam Berat Akumulasi logam berat dipengaruhi oleh faktor biologis dan fisik seperti musim, reproduksi, salinitas dan kedalaman air. Bioakamulasi logam berat tergantung pada zat kimia, peredarannya dan mekanisme masuknya logam interseluler kompartement dan aspek homoestatis seluler logam. Pada kerang bioakumulasi logam yang baik adalah logam Zn, Cu, Cd dan logam yang belum diketahui fungsinya secara biologis adalah logam Cd, Hg. Logam lain yang diakumulasi kerang adalah Ag, Al, Cr, F, Mn, Ni & Pb dan logam radionuklida seperti uranium (U) dan logam transuranium seperti 239 Pu, 238 Pu dan 241 Am (Gosling 1992).

53 29 Logam diserap dari air dalam bentuk larutan ini merupakan proses transportasi secara pasif. Secara aktif apabila logam diserap melalui kelenjar pencernaan logam telah terikat melalui endositosis, mekanisme transportasi dibutuhkan energi ATP, lalu dari vesikel endositosis difusi ke dalam lisosom. Ginjal umumnya tempat akumulasi logam. Umumnya logam radio aktif terdeposisi pada lokasi Byssalthreads, periostrakum dan klenjar pericardial. Logam bisa juga melewati membran dan logam tertahan di jaringan ikan yang spesifik dan tidak spesifik pada sel. Akumulasi logam dipengaruhi oleh faktor biologi, musim, sistem reproduksi, salinitas dan kedalaman air (Gosling 1992). Logam berat masuk kedalam sel dalam bentuk ikatan komplek seperti ikatan molekul thiol seperti asam amino, glutathion dan dalam bentuk khusus, logam didetoksikasi diikat dengan protein seperti metallothionin (MTN). Logam dialokasi pada sistem vacuola lysosomal. Metallothionin mempunyai molekul yang ringan mudah larut (cytosolit), thiol kaya protein karena mengandung asam amino cystein yang mampu berikatan dengan logam berat (Viarengo 1989). Logam yang berikatan mengandung Zn, Cu, dan dapat juga berikatan dengan xenobiotik seperti logam merkuri (Hg), Cd, Au, dan Ag. Secara fisiologi terdapat keseimbangan logam Cu dan Zn melalui homeostatis dan oksidasi bebas, metallothionin berfungsi menjaga bebas ion-ion logam berat dari sel, kadar logam Zn dalam tubuh cepat diikat MTN sehingga logam tersebut berkurang, karena semakin jumlah banyak jumlah sintesis MTN dalam tubuh. MTN didistribusi secara meluas dalam tubuh kerang seperti pada bagian gills, mantel, dan kelenjar pencernaan pada kerang Mytillus Gallop propinsialis (Viarengo et al.1981). Demikian pula terbentuk oleh ikatan-ikatan yang dibuktikan oleh para peneliti dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Ikatan logam berat dengan protein. No. Ikatan terbentuk Peneliti 1. Cu-MTN Viarengo et al. (1989) 2. Cd-MTN George et al. (1979) 3. Hg-MTN Roesijadi et al. (1981) Sumber: Gosling (1992). 30 Berat molekul metallothionin kira-kira dalton atau lebih, ini telah diisolasi dari kerang Mytilus edulis dan Mytilus gallopropincealis. Akumulasi

54 30 logam terjadi dalam lisosom. Lisosom terdapat dalam kelenjar pencernaan dan ginjal. Lisosom tempat akumulasi dari endoproduk dari Lipid peroksida yang disebut lipofuschim. Di ginjal lipofuschim akan berikatan dengan logam dengan cara; logam diikat tidak kuat oleh grup asam di luar granula dan mempunyai kemampuan menjaga keseimbangan kation-kation dalam cytoplasma atau dengan cara logam diperangkap dalam bentuk tidak beracun di pusat perkembangan granula. Eksresi yang aktif dari pembuangan dalam tubuh secara exocytolis, atau dihancurkan untuk membuang logam dari tubuh. Pengeluaran logam dari tubuh secara jalur biokimia telah terbukti pada Mytilus sp yaitu logam Cd. Waktu paruh biologi Cu sembilan hari sedangkan Cd tujuh bulan (Gosling 1992). Senyawa CrCl yang mengandung ion-ion Cr 3+ pada proses metabolismenya dalam tubuh akan berbeda dengan proses metabolisme ion Cr 6+. Ion Cr 3+ setelah 15 menit sejak diinjeksikan ke dalam tubuh sekitar 69% masih akan tertinggal di dalam paru-paru, dan sisanya ditemukan dalam darah dan jaringan lainnya. Setelah waktu 24 jam sejak diinjeksikan jumlah Cr dalam paru-paru tinggal 45%, dimana 6% dibuang dari tubuh melalui urine dan sedikit ditemukan di jaringan. Limpa merupakan jaringan yang paling banyak tumpukan ion-ion Cr 3+ setelah 48 jam perlakuan. Setelah mencapai waktu 30 hari sejak perlakuan masih ditemukan 30% Cr dalam paru-paru dan setelah 60 hari hanya ditemukan 12% dalam parru-paru (Baetjer 1959 dalam Palar 2004). Hasil penelitian menunjukan terjadi perbedaan metabolisme ion Cr 3+ dan Cr 6+. Perbedaan tersebut tergantung pada jenis atau spesies hewan yang dimasuki oleh ionion logam tersebut. Tingkat keracunan lebih kuat ion-ion Cr 6+ dibandingkan dengan ion-ion Cr 3+. Logam Cr yang masuk ke dalam tubuh akan ikut dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Logam Cr akan berintraksi dengan bermacam-macam unsur biologis yang terdapat dalam tubuh. Intraksi yang terjadi antara Cr dengan unsur-unsur biologis tubuh, dapat menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme tubuh. Senyawa-senyawa yang mempunyai berat 31 molekul rendah, seperti yang terdapat dalam sel darah rendah dapat melarutkan Cr dan seterusnya ikut terbawa ke seluruh tubuh bersama peredaran darah. Senyawa-senyawa ligan penting yang terdapat dalam tubuh juga mengubah Cr menjadi bentuk yang mudah terdifusi sehingga dapat masuk ke dalam jaringan. Di antara ligan-ligan

55 31 tersebut adalah piropaspat, metionin, serin, glisin, leusin, lisin dan prolin. Terhadap piropospat, logam Cr mempunyai affinitas yang besar sekali. Affinitas Cr yang besar ini akan menjadi sangat berbahaya karena piopospat merupakan salah satu faktor biologis yang sangat penting dalam tubuh. Ion-ion Cr 3+ yang masuk ke dalam tubuh akan bereaksi dengan protein dan secara lambat membentuk suatu ikatan kompleks yang sangat stabil. Selain itu Cr dapat mengkatalisis suksinat dalam enzim sitokrom reduktase, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan beberapa reaksi biokimia lainnya dalam tubuh. Cr dengan kosentrasi sebesar M dapat merangsang perubahan asetat menjadi CO 2, kholesterol dan asam lemak (Palar 2004). Ion-ion Cr 6+ dalam proses metabolisme tubuh akan menghalangi atau mampu menghambat kerja dari enzim benzopiren hidroksilase. Penghambatan kerja enzime tersebut dapat mengakibatkan perubahan kemampuan pertumbuhan sel-sel, sehingga menjadi tumbuh secara tidak terkontrol yang dikenal sebagai sel-sel kanker. Dengan demikian Cr dapat bersifat karsinogenik. Enzim benzopiren hidroksilase ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kanker yang disebabkan oleh asbestos. Kemampuan yang dimiliki oleh ion-ion Cr 6+ untuk menghalangi atau menghambat kerja enzim tersebut akan memberikan efek yang sangat membahayakan. Percobaan laboratorium menunjukan bahwa Cr 3+ dapat mengendapkan RNA dan DNA pada ph 7. Cr 6+ dan Cr 3+ dapat menyebabkan denaturasi pada albumin (Palar 2004) Patologik Toksisitas Logam Toksisitas logam subakut terhadap hewan air erat hubungannya dengan sifat bioakumulatif logam dalam jaringan organisme air. Hal ini menyangkut toksisitas marjinal dari hewan tersebut. Toksisitas subakut ini adalah pengaruh neurofisiologik, pengaruh terhadap aktivitas enzim, endokrinologik, teratogenik, karsinogenik dan mutagenik serta patologik anatomik. As, Cu, Ag, dan Zn menghambat laju konsumsi oksigen pada keong lumpur Nessarius obsoletus. Polusi lingkungan oleh logam berat menyebabkan kondisi stres pada organisme yang hidup didalamnya. Kondisi tersebut menyebabkan klam Suneta scripta menutup katupnya. Dalam kondisi tertutup tersebut organisme bersifat anaerob pada proses metabolisnya, sehingga laju metabolisme diukur dari akumulasi asam laktat dalam hemolimnya yaitu sistem darah kerang. Pada pemberian dosis pemaparan 1 ppm Hg dan 3 ppm Cu dalam air, terlihat bahwa

56 32 akumulasi asam laktat dalam hemolimnya turun drastis pada hari kelima. Hal ini menunjukkan bahwa laju metabolismenya menurun (Suresh dan Mohandas 1987). Kondisi lingkungan yang terkontaminasi dapat menyebabkan gamet atresia dan gamet kembali diserap (Pipe 1987a, 1987b). Percobaan pemaparan ke dalam larutan yang mengandung logam dan organik beracun dapat menyebabkan rusaknya gamet (Lowe 1988). Perkembangan gamet terhambat dengan pemberian logam Cu, Cd dan Zn (Maung and Tyler 1982; Calabrese et al. 1984; Kluytmans et al. 1988). Persenyawaan yang dibentuk oleh logam berat Cr baik dalam bentuk yang dapat larut dan juga dalam bentuk yang tidak larut, dapat menjadi penyebab timbulnya kanker paru-paru, bila terdapat dalam batas tertentu dalam tubuh (Moncuse 1971 dalam Palar 2004) Biologi dan Ekologi Kerang Hijau Kerang termasuk ke dalam Filum Moluska, ciri-ciri dari filum ini adalah memiliki cangkang, akan tetapi banyak juga yang tidak memiliki cangkang. Demikian juga dengan radula, dalam hal ini tidak semua moluska memiliki radula, misalnya bivalvia, Pada umumnya moluska bilateral simestris, kecuali gastropoda. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar mengalami fase trochorphore dan veliger, akan tetapi ada juga yang langsung menetas dari telur. Dalam hal pembentukan cangkang, sebagian besar memerlukan aragonite, akan tetapi terdapat juga yang menggunakan calcite atau kombinasi keduanya (Setyobudiandi 2004). Kerang tergolong dalam kelas bivalva, sesuai dengan nama bivalva mempunyai dua keping cangkang. Umumnya kedua cangkang mempunyai ukuran yang sama, walaupun terdapat beberapa kelompok seperti tiram (oyster) dan scallops memiliki sebelah cangkang berukuran lebih besar. Cangkang bivalva memiliki 2 katup yang tergabung di bagian dorsal oleh hinge ligament. Kedua keping cangkang dihubungkan dengan dua otot adductor yang berfungsi dalam pembukaan dan penutupan cangkang. Hampir semua bivalva termasuk mussel dan giant clam memiliki otot adductor anterior dan posterior, meskipun kedua otot tersebut mungkin tidak berukuran sama. Jenis scallop dan oyster hanya memiliki otot adductor posterior. Jika otot adductor tersebut dalam kondisi relaks maka interior ligament akan menekan cangkang, sehingga cangkang menjadi terbuka. Cangkang ini umumnya terlindung

57 31 33 dari gerak menyamping oleh sockets dan gerigi yang terletak pada hinge line (Vakily 1989). Bagian lunak dari tubuh bivalva tertutup oleh dua belahan yang disebut mantel; yang letaknya antara tubuh dan cangkang. Bagian margin dari setiap belahan memiliki 3 jaringan pengikat (fold). Bagian luar dari jaringan pengikat dapat mensekresikan material pembentuk cangkang yang berguna untuk pertumbuhan. Cangkang tumbuh dari bagian hinge atau disebut umbo, sehingga umbo merupakan bagian tertua dari cangkang. Bagian jaringan pengikat yang lebih dalam merupakan pembesaran dari otot dan berfungsi sebagai pengikat pada pertemuan belahan kiri dan kanan mantel. Bagian jaringan pengikat tengah kemungkinan berisi sensori organ. Setiap belahan mantel melekat pada cangkang berdekatan dengan bagian dalam margin cangkang sepanjang pallial line. Pada banyak species belahan mantel melekat pada perimeter luar kecuali area inhalant dan exhalant (Pechenik 2000). Anggota kelas bivalva dibagi ke dalam golongan oyster, scallops, clam, cockle, dan mussel. Kerang hijau yang diteliti dimasukkan dalam golongan mussel oleh karena itu dikenal dengan nama umum (common name) Green mussel. Golongan mussel yang termasuk kelas bivalva (Lamellibrachiata), Ordo Filibrachiata, Famili Mytilidae dicirikan dengan adanya dua buah cangkang yang memiliki ukuran sama besar. Cangkang tereduksi di bagian anteriornya dan membesar di bagian posteriornya. Umumnya mussel hidup menempel di subtratnya dengan menggunakan benang byssus. Byssus terdapat pada bagian kaki kerang yang diadaptasikan untuk menempel pada subtratnya. Kumpulan benang byssus ini disekresikan oleh hewan tersebut dan memiliki kekuatan tarik, sehingga berfungsi sebagai penambat kerang dengan subtratnya (Pechenik 2000). Morpologi kerang hijau (Perna viridis) dan cara mengukur morfometrik seperti panjang, lebar dan tinggi dapat dilihat pada Gambar 2. Tinggi Panjang Lebar

58 34 Gambar 2. Morfologi kerang hija Perna viridis (Vakily 1989). Beberapa jenis kerang yang tergolong dalam golongan mussel dan daerah distribusinya antara lain: 1. M. edulis, distribusinya meliputi Eropa, pantai barat-timur Amerika Utara, dan Jepang. 2. M. galloprovincialis, merupakan mediterranian species, Eropa. 3. M. aeoteanus, merupakan jenis mussel yang menghuni perairan Selandia Baru. 4. M. edulis planulatus, merupakan jenis mussel yang menghuni perairan Australia. 5. M. californianus, distribusinya meliputi perairan Pasifik dan Amerika Utara. 6. Perna viridis, distribusinya meliputi wilayah perairan Asia. 7. P. Canaliculus, jenis mussel yang menghuni perairan Selandia Baru. Kerang hijau, Perna viridis L. Memiliki beberapa nama sinonim antara lain (Siddal 1980 dalam Vakily 1989) : Mytilus viridis Linnaeus, Syst.Nat., Ed.X Mytilus smaragdinus Chemnitz, Conch. Cab. VIII Mytilus opalus Lamark, Anim. S. Vert. VI Mytilus viridis L. Hanley, Ipsa Linn. Conch Mytilus (Chloromya) viridis L. Lamy, Rev. Mytilidae, J. Conchyl. LXXX Mytilus viridis L. Suvatti L, Fauna Thailand Chloromya viridis L. Dodge, Bull. Amer. Mus. Nat. Hist., Mythylus viridis L. Cherian, Sym. Mollusca Perna viridis L. Dance, Encyc. Of Shells. Anatomi bagian dalam kerang biru (Mythilus edulis) dan dalam kerang klam (Mercenaria mercenaria) terdapat pada Gambar 3 dan 4.

59 35 Otot ensel pengantung perut Selaput jantung Selaput serambi Selaput bilik Kaki rektraktor posterior paruh otot kaki refractor antarior Mulut Otot aduktor posterior Siphon pengeluar Otot adductor anterior Insang Siphon penyerap Pinggiran mantel Kelenjar Pencernaan Kaki Pencernaan gonad ginjal Gambar 3. Anatomi bagian dalam kerang klam Mercenaria mercenaria (Pechenik 2000).

60 36 Otot ensel pengantung Selaput jantung Engsel Kaki rektraktor posterior otot kaki refractor antarior Otot aduktor posterior Siphon pengeluar Otot adductor anterior Siphon penyerap Pinggiran mantel Kaki Lapisan dalam Lapisan luar Gambar 4. Anatomi bagian dalam kerang klam Mercenaria mercenaria (Pechenik 2000). Menurut DeVictor and Knott bahwa Kerang hijau Perna viridis hidup dipantai pada zona intertidal, subtidal dan estuarine dengan lingkungan perairan yang berkadar garam tinggi. Kerang hijau memperoleh makan dengan cara menyaring subtrat yang lewat. Kerang hijau dapat berkembang baik dengan kondisi suhu dan kadar salinitas yang optimal (NIMPIS 2002). Selanjutnya dijelaskan NIMPIS (2002) kerang hijau hidup di perairan estuarin pada suhu C dan salinitas ppt dan kerang hijau sangat toleran terhadap suhu dan salinitas yang ekstrim. Kepadatan kerang hijau dapat mencapai kerang /m 2. Perna viridis sangat efisien dalam memfilter subtrat organik, zooplankton dan phytoplankton Fisiologi Reproduksi Kerang Hijau Siklus reproduksi kerang hijau (Perna veridis) mulai dari peristiwa aktivitas gonad yaitu gametogenesis, sehingga melepaskan gamet yang matang (spawning) dan akhirnya gonad istirahat. Jadi periode reproduksinya dapat dibagi menjadi dua yaitu periode dimulai proses gametogenesis sampai puncak mengeluarkan gamet matang,

61 37 37 lalu masuk pada periode istirahat (quiescent periode), sehingga terjadi proses penyimpanan energi untuk dipakai pada proses gametogenesis (Gabbott 1983). Periode reproduktif ditandai oleh satu atau lebih siklus gametogenesis yang masing-masing melepaskan gamet ketika beberapa folikel berisi penuh atau mengosong. Pada suhu air yang sedang, populasi Mytilus menunjukkan sedang musin reproduksi. Pada beberapa populasi, kerang dengan perlahan mengeluarkan gamet secara kontinyu hampir sepanjang tahun ini menunjukkan jenis asosiasi dengan populasi tidak berkurang dari lingkungan (Vakily 1989). Kerang Mytilus reproduksinya berbentuk jenis kelamin hermaprodis yang terpisah dan hampir semua populasi memiliki jenis kelamin yang seimbang antara jantan dan betina, meskipun sulit membedakan karakteristiknya. Namun dengan melihat warna dapat membedakan jenis kelamin pada Mytilus edulis, jenis kelamin betina kelihatan berwarna oranye (kekuningan) dan jantan berwarna putih sampai warna krem (Gambar 5). Jaringan mantel pada kerang tebal dan transparan yang berwarna merah kecoklatan. Ini sangat sederhana untuk menentukan jenis kelamin dengan metode kolorimetrik dari kerang Mytilus edulis (Jabbar dan Davies 1987). Keterangan: A: kerang hijau (Perna veridis)di persiapkan; B dan C kerang betina (orange kemerahan); D dan E kerang jantan (putih kekuningan); F kerang jantan dan kerang betina (dari atas kebawah). Gambar 5. Jenis kelamin kerang hijau Perna veridis dan penampakan gonad kerang hijau (Setyobudiandi 2004). Mytilus edulis dapat matang kelamin pada tahun pertama, tetapi ukuran tubuh tergantung lingkungan daerahnya hidup. Gamet diproduksi secara intensif dalam

62 38 lipatan mantel (fold), meskipun jumlah jaringan reproduksinya sedikit juga terdapat jaringan vescral mass dan mesosoma. Sepasang gonaduct, yang mengarah ke papillae mantel, menuju lima saluran dengan dinding yang mempunyai cilia. Ini mengarah kembali ke saluran kecil dengan dinding epithelium columnar bercilia. Masing-masing saluran menuju genetal folikel. Oogonia dan spermatogonia berasal dari epithelium germinal dari folikel. Oosit muda terdapat dekat tangkai folikel, tetapi secara gradual (perlahan) menjadi menyempit dan akhirnya pecah, ova yang matang meninggalkan folikel. Spermatogonia meningkat sehingga menjadi spermatosit, spermatid dan spermatozoa dan akhirnya menuju folikel (Gosling 1992). Menurut Gomez (2001) sistem reproduksi gastropoda terresterial sangat komplek dan mempunyai berbagai fungsi, fungsi utamanya adalah ; 1. Produksi spermatozoa dan ova 2. Penyimpanan dan transportasi gamet-gamet yang matang ke dalam medium yang cocok untuk perkembangannya. 3. Strutural dan fisiologi untuk melakukan rayuan dalam proses kopulasi. 4. Transfer spermatozoa menuju pasangan dalam saluran kelamin. 5. Menerima spermatozoa dari luar (allosperm). 6. Menyediakan media untuk kebutuhan fertilisasi telur. 7. Melindungi zigote dengan menyediakan nutrisi. 8. Pengeluaran embrio dari tubuh (ovopisisi). 9. Menyerap sisa-sisa selama proses reproduksi berlangsung. Gastropoda mempunyai satu gonad yang berada dalam massa visceral, biasanya dekat kelenjar pencernaan. Sedangkan pada Athoracophoride dan Rathouisiidae gonad berada pada anterior. Gonad memproduksi gamet dan melalui saluran gonaduct. Gonad dan salurannya berasal dari mesoderm dan mungkin berubah menjadi caelomic gonaduct. Sebagian besar caelomic gonaduct meluas sampai ke vesceral yang berkaitan dengan pallial yang merupakan derivat dari ginjal dan renal oviduct atau renal gonaduct (Fretter dan Graham 1962). Pada jantan dan betina, renal oviduct menunjukkan mengecil, menyempit dan berstruktur tubular. Bagian distal gonaduct berasal dari lapisan benih ectoderm dan pallial gonaduct derivat dari invaginasi bagian atas dari epithelium pallial. Pada jantan dibentuk dinding tebal pada kelenjar prostatik yang menghasilkan sekresi cairan

63 39 39 seminal. Pada betina, dibentuk dinding pallial gonaduct yang berbeda ke dalam beberapa wilayah glandular yang berperanan mensekresi nutrisi dan zat pelindung zygote yang tidak difertilisasi. Pada betina kelenjar tersebut menghasilkan albumen dan kapsul kelenjar yang diletakkan pada bagian lain. Pada sejumlah grup Prosobranch, pada betina terbukanya pallial gonaduct dibatasi sampai pada akhir distal dan selanjutnya di bagian anterior pallial cavity dekat anus. Dua jenis kantong sperma pada pallial gonaduct betina, keduanya diletakan pada bagian proximal, yang menghasilkan albumen dan kapsul kelenjar. Mereka juga mempunyai alat kopulatorik, yang menerima allospermatozoa dan cairan prostatik dari kegiatan kawin dan allospermatozoa melalui dan disimpan di receptaculum seminis, di tempat ini terjadi fertilisasi. Coelomic dan pallial gonaduct, otot penis berkembang berasal dari anterior dari dinding tubuh, biasanya pada samping kanan dari kepala. Pada Cyclophoridae autospermatozoa ditransportasi dari pallial gonaduct ke penis di sepanjang saluran terdapat cilia yang membantu pergerakan allospermatozoa (Gomez 2001). Lebih lanjut Gomez (2001) bahwa sistem reproduksi pada Pulmanate adalah: 1. Hermaprodit, yaitu dalam tubuh terdapat dua jenis kelamin jantan dan betina dengan satu gonad. 2. Pallial gonaduct berada dalam tubuh. 3. Terpisahnya kelenjar albumen dari kelenjar kapsul untuk membukanya melalui saluran yang menuju pallial gonaduct. 4. Berkembangnya saluran pada bursa kopulatorik, juga menjaga terbukanya bagian distal dari pallial gonoduct. 5. Perkembangan penis dari proses invaginasi. Sebagaimana diketahui kerang hijau memiliki kelamin terpisah meskipun secara eksternal tidak bersifat dimorfisme. Jaringan gonadnya tidak merupakan organ yang terpisah, akan tetapi menyatu dengan jaringan mantel. Jaringan gonad betina yang matang kelamin berwarna oranye kemerahan, sedangkan jaringan gonad jantan matang kelamin berwarna keputihan hingga berwarna krem (Gosling 1992). Anal opening, renal opening dan genetal opening semuanya terletak pada bagian dalam exhalent dari rongga mantel. Oleh karena itu pengeluaran bahan buangan atau sisa maupun produk reproduksi dapat terpenuhi secara normal, yaitu

64 40 dengan adanya aliran yang terjadi pada proses feeding. Bahan-bahan tersebut akan keluar melalui bukaan exhalent atau siphon Pada saat pemijahan, telur dan sperma dilepaskan melalui exhalent langsung ke perairan laut, sehingga terjadi fertilisasi. Sketsa telur terfertilisasi dapat dilihat Gambar 6. Gambar 6. Ova dan spermatozoa, fertilisasi kerang hijau Perna veridis (Setyobudiandi 2004).. Setelah mengalami fertilisasi telur menetas menjadi larva trochophore dan secara bertahap akan berubah menjadi larva veliger. Selama dua minggu larva bersifat plantonik hingga saatnya menetap dan bentuknya berubah menjadi individu dewasa. Dewasa kelamin kerang hijau mencapai ukuran panjang tubuh mm dan umur sekitar 2 3 bulan (NIMPIS 2002). Kerang hijau dapat bertahan hidup sampai berumur 3 tahun (Ingrao et al. 2001). Rajagopal et al. (1998) menyatakan masa pertumbuhan kerang hijau dipengaruhi oleh suhu, makanan dan kondisi perairan. Hanya sebagian dari jumlah besar telur yang dipijahkan dapat terfertilisasi dan berkembang menjadi larva. Selama fase plantonik larva sangat rentan terhadap predator. Pada saat larva memasuki tahap akhir (post larva), larva memerlukan substrat untuk menujang proses penempelan (setlement). Seperti biota pada umumnya, seluruh proses dalam daur hidup kerang memerlukan habitat dengan kondisi tertentu agar dapat menunjang pertumbuhan, pematangan gonad, gametogenesis, dan metamorfosis pre-larva menjadi trochophore. Daya tahan hidup setelah menempel

65 41 (post settling survival) akan optimal jika kondisi lingkungan hidupnya terpenuhi, sehingga kerang dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu dewasa. Faktor fisika perairan, angin dan arus, dapat memperkecil peluang larva menemukan subtrat yang sesuai atau dengan kata lain mempengaruhi proses settlement. Gonad pada kerang berbentuk folikel seperti buah anggur, selanjutnya dihubungi dengan pintu keluar dari gamet-gamet yang matang sehingga sampai dekat persimpangan dengan pintu renal, selanjutnya dilanjutkan oleh saluran gonad (Gambar 7). Gambar 7. Sistem reproduksi pada bivalva (Mackie 1984) Struktur dan Fungsi Testis Organ kelamin primer testis mempunyai fungsi ganda karena sebagai kelenjar endokrin yang dapat menghasilkan hormon steroid, dan juga berfungsi sebagai kelenjar eksokrin yang dapat memproduksi sel-sel kelamin seperti spermatozoa (Tunner dan Bagnara 1976). Pada hewan mamalia umumnya testis dilidungi oleh skrotum (Linsay et al. 1982), dan dilapisi korium, tunika dartos, tunika komunis dan tunika albugenia, pada kelas Pisces testis berada dalam perut (Toelihere 1981). Organ testis terdiri atas tubulus semeniferus dan sel-sel interstitial seperti selsel leydig yang berbentuk segi tiga yang terdapat diantara tubulus semeniferus. Populasi sel leydig dalam testis berkisar 2 sampai 37 persen yang jumlahnya tergantung pada species. Misalnya pada tikus jumlahnya sekitar 25 juta sampai 700 juta sel. Sel leydig terdiri atas sitoplasmik, nukleus, mitokondria, retikulum endoplasmik halus dan kasar, serta lipid. Sel-sel leydig sangat berperan dalam mekanisme biosintesis hormon testosteron, sehingga memungkinkan berlansungnya proses spermatogenesis dalam testis (Ewing dan Zirkin 1983). Disamping itu sel

66 42 leydig juga mempunyai pengaruh dalam interaksi pembentukan zat kekebalan (antigen) yang bersifat pagosit terhadap infeksi pada testis (Hedger 1989). Jaringan interstitisium testis mengandung banyak pembuluh darah limpa, namun pada tubulus semeniferus sama sekali tidak mengandung pembuluh darah. Keadaan ini berarti bahwa seluruh komponen epitel tubulus seminiferus disuplai nutrisi dan dipelihara dari zat-zat esensial melalui sirkulasi secara difusi (Turner dan Bagnara 1976). Saluran tubulus semeniferus dalam testis berliku-liku tidak teratur, yang diameternya tergantung pada species. Pada anak sebelum dan sesudah lahir ukuran diameternya berbeda seperti pada mencit setelah lahir ukurannya semakin meningkat dan pada umur 33 hari ukurannya menjadi konstan sekitar 204 ± 3 μ (Vergounwen et al. 1991). Saluran tubulus semeniferus dalam testis merupakan komponen yang terbesar, yaitu sekitar 60 persen pada babi dan kuda, sedangkan pada tikus bisa mencapai 90 persen. Ukuran diameter tubulus semeniferus beragam antara species, umumnya berkisar μ. Dalam tubulus semeniferus terdapat dua sel somatik yaitu sel myoid dan sertoli, serta terdapat lima macam tipe sel kelamin yaitu sel spermatogonia, spermatosit primer dan sekunder, spermatid dan spermatozoa (Austin dan Short 1982). Letak sel kelamin tersebut dalam tubulus semeniferus sangat berhubungan dengan tingkat perkembangannya. Makin dewasa tingkat perkembangannya semakin dekat letaknya kearah lumen, sebaliknya semakin muda sel kelamin semakin dekat pada membran basal. Sel myoid merupakan bagian yang penting sebagai sel jaringan ikat di sepanjang dinding tubulus semeniferus, yang berdampingan dengan matrial bukan sel. Sel myoid kemungkinan besar bertanggungjawab atas respon gerakan peristaltik tubulus dan juga berkaitan dalam menstimulasi sel-sel sertoli (Austin dan Short 1982). Sel Sertoli mempunyai fungsi yang sangat erat kaitannya dengan kelangsungan hidup sel kelamin, amtara lain: 1. Menghasilkan subtansi untuk menjamin berlangsungnya fungsi spermatogenik (Garner dan Hafez 1987).

67 43 2. Menghasilkan protein pengikat androgen (androgen binding protein = ABP) yang berperan sebagai alat transit androgen ke sel-sel kelamin dan ke kaput epididimis (Hanson et al. 1976), dan juga sebagai sumber sekresi cairan untuk transfer spermatozoa meninggalkan testis (Garner dan Hafez 1987). 3. Bersifat sebagai pagositosis terhadap sel-sel kelamin yang mengalami degenerasi atau rusak dan sisa protoplasma sperma dewasa (residual bodies) yang banyak terdapat dalam tubulus semeniferus (Carr et al. 1968). 4. Berfungsi sebagai penghalang darah testis (blood testis barier), karena cabang sitoplasma sel sertoli yang berdekatan akan saling bertaut erat sekali, sehingga akan menghambat keluar dan masuknya zat asing pada tubulus semeniferus, terutama ditujukan bagi darah di luar tubulus agar tidak masuk. Pertautan cabang sel-sel sertoli yang berdekatan disebut sertoli cell junction (Dym dan Fawcett 1970) Ovotestis Kerang Hijau Kerang termasuk philum moluska, yang memiliki gonad dua fungsi yaitu berfungsi menghasilkan gamet jantan (spermatozoa) dan gamet betina (ova). Pada Mytilus edulis dapat matang kelamin pada tahun pertama tetapi ukuran tubuh tergantung daerahnya hidup. Gamet diproduksi secara intensif dalam lipatan mantel (fold), jadi ovotetis berada pada lipatan mantel. Jaringan reproduksinya sedikit juga terdapat jaringan vescral mass dan mesosoma. Sepasang gonaduct, dimana mengarah ke papillae mantel, menuju lima saluran dengan dinding yang mempunyai cilia. Ini mengarah kembali ke saluran kecil dengan dinding epithelium columnar bercilia. Masing-masing saluran menuju genetal folikel. Oogonia dan spermatogonia berasal dari epithelium germinal dari folikel. Oosit muda terdapat dekat tangkai folikel, tetapi secara gradual (perlahan) menjadi menyempit dan akhirnya pecah, ova yang matang meninggalkan folikel. Spermatogonia meningkat sehingga menjadi spermatosit, spermatid dan spermatozoa dan akhirnya menuju folikel (Gosling 1992) Gametogenesis Gametogenesis adalah suatu proses pembentukan sel kelamin (gamet) jantan dan betina. Gametogenesis pada jantan disebut dengan spermatogenesis, sedangkan

68 44 oogenesis terjadi pada hewan betina. Pada hewan moluska yang bersifat hermaprodit dimana dalam satu alat kelamin menghasilkan dua jenis kelamin, dengan kata lain dalam alat kelamin gonad (ovotestis) terjadi dua aktivitas yaitu aktivitas spermatogenesis dan oogenesis. Gametogenesis pada kerang mengikuti siklus musiman yang beragam terjadi pada populasi di suatu lokasi (Gosling 1992) Spermatogenesis Pengertian spermatogenesis adalah suatu rangkaian proses perkembangan sel induk spermatogonia dari epitel tubulus semeniferus yang mengadakan proliferasi dan deferensiasi, sehingga terbentuk spermatozoa yang normal dan bebas (Gambar 8). Gambar 8. Proses spermatogenesis pada hewan (McDonald 1980).

69 45 45 Proses spermatogenesis secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi 3 tahap yaitu; Tahap pertama, terjadi proses pembelahan mitosis dari sel spermatogonia, sehingga menghasilkan spermatosit dan sel spermatogonia yang baru. Pembaharuan sel induk spermatogonia yang baru dimaksud untuk mempertahankan kehadirannya dalam tubulus semeniferus. Tahap kedua, terjadi pembelahan miosis sel spermatosit primer dan sekunder yang menghasilkan spermatid berkromosom haploid. Kedua tahap ini disebut dengan spermatositogenesis. Tahap ketiga, terjadi proses perkembangan spermatid menjadi spermatozoa melalui proses metamorfosa yang panjang dan kompleks, kejadian ini disebut dengan spermiogenesis (Clermont 1972; Garner dan Hafez 1987). Weber (1977) spermatogenesis pada kerang meliputi empat tingkat perkembangan yaitu : 1. Proses pembelahan sel-sel germinal menjadi spermatogonia. 2. Pembelahan secara mitosis sel-sel spermatogonia. 3. Produksi spermatosit primer dan sekunder. 4. Produksi sel-sel spermatid dan terjadi metomorfosis spermatid menjadi spermatozoa dewasa (spermiogenesis). Lebih lanjut Webber (1977) menjelaskan bahwa pada stylommatophorans, spermatogenesis tergantung pada berberapa faktor seperti makanan dan kondisi lingkungan perairan yaitu suhu dan kecerahan sepanjang hari. Photopriode dapat menghambat proliferasi spermatogonia dan juga menghambat proses spermatosit sekunder menjadi spermatid. Spermatogenesis dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yeitu (1) Proses sampai akhir miosis dan (2) Deferensiasi spermatid (spermiogenesis). Karakteristik spermatogenesis sampai spermiogenesis sama pada semua gastropoda (Archaeogastropoda; Mesogastropoda dan Neogastropoda). Pembentukan spermatogenesi sebagai berikut: a). Tahap spermatogenesis yang terdiri atas pembentukan spermatogonia, spermatosit I, dan spermatosit II. 1. Spermatogonia, umumnya merupakan sel-sel kecil dengan diameter 5 μm. Dalam beberapa kasus, misalnya pada jenis Conus mediterraneus, spermatogonianya tidak memiliki membran sel, tetapi membentuk syncytium dengan sel-sel nutritif. Spermatogonia membagi diri secara mitosis. Kromatin

70 46 46 paling sedikit terdapat dalam dua bentuk yaitu sebagai jalinan reguler dan gumpal-gumpalan tidak teratur. Sebagian besar spermatogonia mengandung satu nukleuolus besar, kecuali pada Murex tarentinus ditemukan dua nukleolus. 2. Spermatosit I, tahap awal dari terbentuknya spermatosit I dicirikan dengan adanya peningkatan volume sitoplasma. Nukleus atau nukleolus hanya sedikit berubah. Berbentuk pertumbuhan sitoplasma terhenti, nukleus menjadi jernih dan nukleolus hilang. Kromosom mulai terbentuk dan membran inti hilang, dan pembelahan maturasi I (reduksi) mulai terjadi. 3. Spermatosit II, pada tahap ini nukleus terbentuk kembali, kromatin tersebar dan spermatosit memasuki priode istirahat, yang bervariasi tergantung pada jenis dan jumlah spermatozoa yang matang di folikel. Tahap ini berakhir setelah pembelahan mitosis kedua, kemudian nukleus terbentuk kembali dan kromatin tersebar dan masuk ke fase istirahat. b) Tahap spermiogenesis, tahap pembentukan spermatid menjadi spermatozoa. Spermiogenesis pada Archaegastropoda adalah sebagai berikut: 1. Bagian kepala: kromatin nukleus bergerak ke tepi dan suatu daerah terang tampak di tengah. Nukleus memanjang dan suatu kanal terbentuk di tengah. Filamen intranuklear menempel pada sentriol bagian depan. Badan golgi di dalam sitoplasma dari spermatid, dengan sedikit modifikasi membentuk akrosom. Setelah kepala sperma memanjang dan menjadi mampat, residu protoplasma dilepaskan dari kepala spermatid. 2. Bagian tengah, selama spermiogenesis mitokondria melebur dan umumnya membentuk empat bulatan pada ujung posterior spermatid, yang kemudian melebur membentuk cincin mengitari plagel pada bagian ujung posterior nukleus. 3. Bagian ekor, flagel tumbuh ke luar dari sentriol posterior melalui massa mitokondria. Flagel dilapisi oleh lapisan tipis protoplasma Oogenesis Oogenesis adalah suatu pembentukan gamet betina melalui proses proliferasi mitosis dan miosis (Gambar 9). Oogonia dibangun dari epitelium nutfah (germinal

71 47 epithelium), yang membelah secara mitosis dan memiliki sebuah nukleus bulat besar yang hampir mengisi seluruh sel pembelahan mitosis berakhir dengan terbentuknya oogonia sekunder. Fenomena penting yang terjadi pada saat perkembangan oosit adalah perubahan para-meiosis nukleus, pertumbuhan sitoplasma dan meiosis atau pembelahan maturasi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 10 (Webber 1977). Gambar 9. Proses oogenesis pada hewan mamalia (Salisbury dan Van Demark 1961). A : Penyerapan sitoplasma saat oosit sedang berkembang B : Penyerapan inti sel folikel saat perkembangan oosit Gambar 10. Tahap oogenesis pada Monodonta lineata dan kontribusi sel-sel folikel pada perkembangan oosit Lamellaria perpicua (Webber 1977).

72 48 Selama proses oogenesis terjadi perubahan-perubahan paramiosis, tahap perbanyak sitoplasma, dan pembelahan maturasi, dengan rincian sebagai berikut: a. Perubahan para-meiosis nukleus Menurut Webber (1977) bahwa pembentukan oosit, terjadi dalam lima tahap nukleus yaitu: 1. Tahap I (fase oogonia), disini tampak kromatin berupa untaian tebal yang panjang dan nukleolus berukuran kecil namun homogen. 2. Tahap II, kromatin tersebar di seluruh nukleus, nukleolus membesar namun tetap homogen. 3. Tahap III, nukleus dan nukleolus membesar dan kromatin menjadi tidak tampak dengan jelas. 4. Tahap IV, awal proses vitellogenesis dalam sitoplasma, nukleolus masih tampak jelas namun tidak homogen. 5. Tahap V, nukleus tampak jernih dan bergerak menuju ke permukaan oosit. Nukleus membesar dan berada dalam bentuk gelembung nutfah (germinal vesicle=gv). Pada tahap ini nukleolus menghilang dan tahap ini berakhir pada tahap profase meiosis I. b. Tahap perbanyakan sitoplasma Nukleus membesar selama oogenesis, demikian pula massa sitoplasmanya bertambah. Rasio nukleus/sitoplasma tidak berada dalam keadaan konstan. Selama perkembangan oosit pada Lamellaria perpicua, sebelum vitellogenesis, membran selsel folikel dan intinya yang mengelilingi oosit pecah dan sitoplasmanya masuk ke dalam oosit (Webber 1977). c. Pembelahan maturasi Proses terjadinya pembelahan maturasi pada kelompok Prosobranchia sangat jarang dilaporkan. Penelitian yang cukup lengkap telah dilakukan oleh Conklin (1902 dalam Webber 1977) yang meneliti pada beberapa jenis keong Busycon carica, B. canaliculatum, Crepidula fornicata, C. convexa, C adunca dan Urosalpinx. Pada jenis-jenis keong tersebut, pembelahan maturasi pertama terjadi segera setelah sperma masuk ke dalam sel telur. Sentrosom tampak dan berhubungan dengan gelendong pusat. Butiran kromatin membesar dan membentuk kromosom. Selaput nukleus yang

73 49 menyelimuti germinal vesicle mulai menghilang. Keping metafase mulai terbentuk dan replikasi kromosom berlangsung. Selanjutnya badan polar pertama akan membelah beberapa kali. Tidak ada waktu istirahat antara pembelahan maturasi pertama dan kedua. Selama tahap anafase tahap pembelahan maturasi kedua, kromosom-kromosom membulat dan bersatu menjadi satu vesikula, setelah dikeluarkan, badan polar kedua tidak membelah. Reproduksi kerang dapat diartikan sebagai jumlah komposisi selluler dari jaringan mantel yang digunakan sebagai teknik steriologikal (Pipe 1985), yang memungkinkan untuk melihat pengaruh yang kecil akibat dari kontaminasi, sehingga akan memperlihatkan pengaruh lambatnya berkembang gamet, dengan kata lain secara patologi perkembangan oosit terhambat. Analisis sterologikal yaitu pemberian suatu kontaminan seperti hidrokarbon dosis rendah dapat menyebabkan penyimpanan cadangan pada jaringan mantel dari kerang biru Mytilus edulis (Gosling 1992). Sebagaimana kita ketahui hewan moluska bersifat hermaprodit, yang artinya dalam satu tubuh terdapat dua jenis kelamin yaitu pada keadaan tertentu dapat bertindak sebagai jantan atau betina, untuk lebih jelasnya lihat Gambar 11. Spermatosit OOosit Premiotik Sel pemelihara (leydig) Stage I vitellogenik Spermatid Oosit Previtellogenik Spermatogonia Spermatozoa Sel Follikel Stage II vitellogenik Oosit Sel Follikuler Kapasitas Folikuler Kapasitas Folikuler Gambar 11. Pada ovotestis terjadi spermatogenesis dan oogenesis (Barker 2001).

74 Siklus Epitel Semeniferus Pada sayatan melintang testis mamalia dewasa bila diwarnai dengan pewarna priodeic acid shiff (PAS) akan terlihat tubulus semeniferus mengandung sel-sel kelamin dari berbagai perkembangan. Adanya tingkat perkembangan sel-sel germinal pada epitel tubulus semeniferus terutama disebabkan oleh perbedaan waktu proliferasi dan deferensiasi sel-sel induk spermatogonia (Soeradi 1987). Kenyataan ini mungkin disebabkan oleh terjadinya sinkronisasi spermatogenesis secara berurutan. Dengan demikian kumpulan sel-sel yang terdapat pada area epitel tersebut tidak tersusun secara acak, melainkan diatur menjadi asosiasi sel dengan susunan sel yang selalu tetap dan teratur (Clermont 1962). Setiap asosiasi selalu tersusun dari sel spermatogonia, spermatosit dan spermatid masing-masing dari tingkat perkembangan tertentu (Gambar 12). Setiap asosiasi sel merupakan kumpulan sel dan perubahan kumpulan sel-sel kelamin pada epitel semeniferus hubungannya sangat erat pada proses spermatogenesis. Pada hewan lain yakni tikus dewasa, terdapat 14 macam asosiasi stadia epitel semeniferus, lihat Gambar 12 (Leblon dan Clermont 1952). + S T A D I U M D A L A M S I K L U S TIPE SEL 1 A In P A In P A In P A In P A B P A B P A B P A R P A L P 9 10 A L P A L P A L-Z P A Z Di A Z o c 14 Gambar 12. Stadium dalam proses spermatogenesis pada tikus (Perey et al. 1961; Clermont 1962).

75 51 Penentuan stadia siklus epitel tubulus semeniferus juga telah ditentukan pada hewan mammalia lainnya, seperti pada mencit 12 stadia (Oakberg 1956), kera 12 stadia (Clermont dan Leblond 1959), domba 8 stadia (Linsay et al. 1982), sapi 12 stadia (Garner dan Hafez 1987) dan manusia 6 stadia (Clermont 1963). Belum dapat informasi tentang stadia epitel semeniferus pada kerang. Lama waktu siklus epitel tubulus semeniferus pada tikus telah ditentukan oleh Clermont dan Harvey (1965) dengan menggunakan zat radioaktif tritium thymidin (H 3 -thymidin) dan radioautografi. Caranya adalah mengamati kehadiran salah satu sel germinal pada asosiasi sel dari stadia epitel sememiferus tertentu yang ditandai (labelled) pertama kali. Selanjutnya melacak kapan generasi berikutnya pada asosiasi yang sama ditandai setelah satu siklus. Dengan cara tersebut dapatlah ditentukan waktu siklus epitel semeniferus dan waktu spermatogenesis, misalnya pada tikus 12,9 hari untuk satu siklus epitel seminiferus dan 51,6 hari waktu spermatogenesis. Berdasarkan metode diatas para ahli telah dapat menentukan waktu siklus epitel semeniferus dan waktu spermatogenesis beberapa hewan, seperti mencit 8,6 hari dan 35 hari (Clermont dan Trott 1969); pada babi 8,6 hari dan 34,4 hari; domba 10,3 hari dan 41,2 hari; kuda 12,2 hari dan 48,8 hari; sapi 13,5 hari dan 54 hari (Linsay et al. 1982), manusia 16 hari dan 64 hari (Heller dan Clermont 1963). Belum dapat informasi tentang stadia spermatogenesis pada ikan dan kerang karena itu sebagai acuan dipakai stadia spermatogenesis pada tikus. Namun dapat pula mengacu kepada tingkat kematangan gonad (TKG) atau stadia perkembangan gonad pada kerang ada empat tahap (Tabel 8) Tingkat Kematangan Gonad Klasifikasi kematangan gonad secara histologi dilakukan dengan membandingkan prefarat histologi gonad kerang hijau dengan karakter kematangan gonad yang digunakan Chipperfied (1953). Untuk membedakan tingkat kematangan gonad kerang biru, Mythilus edulis deskripsi tingkat kematangan dapat dilihat Tabel 8.

76 52 Tabel 8. Deskripsi tingkat kematangan gonad (TKG) kerang hijau secara morfologi dan histologi. Tahap Morfologi Stadium Histologi TKG I Merupakan fase dorman seksual; periode ini dimulai dari pengeluaran gamet ketika hewan mengumpulkan cadangan energi terutama glikogen dan lemak, mantel tampak tidak berbeda dan berwarna krem atau orange, selanjutnya menebal karena terjadi pembentukan folikel-folikel dan saluran gonad, meski belum ada produk genetal. Stadium O Non aktif Pada stadium ini tidak ditemukan folikel beserta sel-sel gametnya, sehingga tidak dapat dibedakan mana sel gamet betina dan jantan. Daerah gonad didominasi oleh sel-sel anyaman penyambung. TKG II Mantel tampak mulai berbeda dengan tahap awal, folikel mulai berkembang dan tampak sebagai jaringan halus. Stadium I Berkembang (developing) Rongga folikel masih kecil, berisi sel-sel oogenium dan oosit atau spermatogonium dan spermatosit, tetapi belum terlihat adanya sel-sel gamet yang masak. Sel-sel gamet yang telah masak mulai tampak membesar, rongga folikel sampai 1 / 3 dari besar keseluruhannya. ½ Besar rongga folikel dari keseluruhannya dan terisi oleh selsel gamet baik yang telah masak maupun yang belum masak dalam jumlah yang sama. Rongga folikel telah mencapai 2 / 3 dari besar keseluruhannya. Pembentukan sel-sel gamet masih tetap berlangsung, namun rongga folikel sebagian besar telah terisi oleh sel-sel gamet yang masak. TKG III Folikel menjadi semakin jelas, warna mantel berbeda antar kelamin. Pada betina berwarna orange kemerahan, dan krem kekuningan pada jantan, ova dan sperma tidak terbentuk tetapi masih immature. Stadium II (ripe) Seluruh rongga folikel terisi oleh sel telur yang bentuknya polygonal atau spermatozoa dengan ekornya. TKG IV Kematangan seksual telah terapai dan gamet siap dipijahkan, gonad dapat saja ditemukan kosong pada satu atau beberapa batch. Jika telah kosong mantel menjadi kemerahan dan translusent. Sumber: Chipperfield (1953). Stadium III (spawning) Stadium yg menunjukan sebagian kecil sel telur/sperma telah dikeluarkan sehingga tampak rongga mulai mengosong. Separuh dari rongga folikel telah kosong. Sebagian besar rongga folikel telah kosong. Jumlah sel telur/sperma hanya tinggal sedikit. Seluruh sel gamet telah dikeluarkan. Rongga folikel hanya berisi oleh sisa-sisa sel telur/sperma yg sedang mengalami sitolisis.

77 53 Sedangkan Perkembangan gonad kerang scaloop (Chlamys nobilis) kerang gajah menurut petunjuk Seed (1969) dapat diklasifikasikan menjadi enam tingkat perkembangan gonad. Kondisi gonad pada keenam tingkat sebagai berikut: Tingkat I: Belum matang gonad (Immature), dimana gonad masih kecil dan kelihatan transparan. Secara histologi jaringan gonad masih memiliki tubules/lumen yang sempit dengan memiliki sel-sel germinal primer. Tingkat II: Gonad Mulai berkembang (Maturing), dimana gonad mulai berkembang dengan ukuran mulai membesar. Folikel mempunyai sel-sel spermatogonia dan oogonia. Testis dan ovarium tidak dapat dibedakan. Tingkat III: Gonad telah membesar (Maturing). Tingkat ini kelihatan gonad telah membesar. Jenis kelamin mulai dapat diidentifikasi dimana jantan memiliki warna keputihan (Testis) dan betina ovariumnya berwarna orange (kuning pinang masak). Tingkat IV: Matang (mature), dimana gonad telah membesar mencapai kapasitas volume maksimal mengandung folikel yang besar. Testis berwarna kream dengan memiliki sperma yang aktif dan betina memilki warna orange yang cerah dengan memiliki oosit yang matang. Tingkat V: Sebagian telah mengeluarkan sperma dan telur (Partially spent), Gonad memiliki sisa produksi sel kelamin, dimana folikel mulai kosong. Tingkat ini berbeda dengan tingkat 3. Tingkat VI: Telah mengeluarkan seluruhnya telur dan sperma (Completely spent). Gonad mengecil, mengkerut dan lembut dimana gonad tidak memiliki folikel. Warna gonad kecoklatan dan tidak dapat dibedakan jantan dan betina. Tingkat perkembangan gonad secara histologis pada Reeve Chlamys Nobilis dapat dilihat Gambar 13. Pada gambar tersebut oogenesis perkembangannya hanya lima tingkat, dimikian juga spermatogenesisnya.

78 Gambar 13. Tingkatan (Stage) oogenesis pada kerang klam (skalop = Chlamys nobilis = Reeve) pada gambar a s/d e. Kerang yang hermaphrodit gambar f. Sedangkan gambar g dan h. stage spermatogenesis 4 dan 5 (Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh 1999). 54

79 55 Tingkat perkembangan gametogenesis pada species dari kelas Bivalva menurut petunjuk Galluci dan Galluci (1982); Braley (1984) perkembangan gametogenesis sama dengan pendapat Seed (1969) yaitu enam tingkat (stage). Namun pada pendapat Galluci dan Galluci (1982); Braley (1984) lebih rinci penjelasannya pada kerang jantan dan betina. Lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Tingkat perkembangan gametogenesis pada gonad kerang (Kelas Bivalva). TINGKAT BETINA JANTAN 0 Belum matang (Immature) -belum ada jaringan gonad -Banyak jaring penghubung dan dominan sel-sel granulosa Sama dengan betina 1 Mulai Gametogenesis -Ovari tidak memiliki folikel -Terbentuknya garis-garis bakal oosit 2 Pertengahan Gametogenesis -Ova mulai mengisi lumen folikel Oosit berkembang mendekati dinding folikel. -Oosit kecil dan menjulur. 3 Akhir Gametogenesis Sudah terbentuk ova yang dikelilingi sitoplasma berbentuk poligon, namun masih ada yang berbentuk menjulur. -Ova matang, ova berbentuk elipe dan kompak. -Dinding folikel diantara ova tipis dan halus dan ber-crenate dalam ovari. 4 Mulai Istirahat -Folikel pada ovarium menghilang. -Ova dikeluarkan -Dinding folikel antara ova sangat tipis dan crenate hilang. -Beberapa ova mengalami sitolisis 5 Istirahat/Regresi -Tidak ada sel-sel gamet -Jaringan insterstial dan amoebosit paling banyak terlihat. -Folikel kosong. -Terdapat sedikit sisa kematangan ova. -Kadang-kadang juga masih ada oosit terlihat di folikel. -Folikel belum ada -Terbentuk garis-garis bakal spermatogonia, baru mucul spermatosit Primer dan sekunder. -Spermatosit mulai mendominasi di lumen folikel. -Spermatozoa juga mulai mengisi lumen folikel. -Hampir semua sperma matang. -Masih banyak terdapat spermatosit dalam folikel. -Bakal spermatozoa mulai berkurang dengan meningkatnya sperma matang. -Acidophilic pada ekor sperma berwarna pink mengarah ketengah lumen folikel. -Spermatozoa menghilang dari lumen folikel testis, ruangan diisi dengan amoebocyte (paling banyak terlihat) atau umumnya kelihatan tidak ada spermatozoa di lumen folikel. -Tidak ada terlihat gamet. -Kadang-kadang ada sisa dari kematangan spermatozoa.

80 Peran Hormon pada Spermatogenesis Hormon gonadotropin yang dihasilkan kelenjar hipofisa meliputi FSH (folicle stimulating hormone), LH(luteinizing hormone) dan LTH (luteotropik hormone, luteotropin atau Prolaktin) berperan merangsang aktivitas gonad untuk berkembang (Frandson 1992) dan merupakan kontrol utama pada awal siklus reproduksi hingga terjadi ovulasi dan spermiasi pada ikan (Sheton 1989). Gonadotropin yang mengatur reproduksi dalam pematangan tahap akhir oosit, ovulasi dan spermatogenesis adalah FSH dan LH (Djojosoebagio 1990). Pada ikan dikenal dengan gonadotropin I (GTH I) dan LH dikenal dengan gonadotropin II (GTH II). Kelenjar pituitari (hipofisa) sangat esensial dalam mengatur perkembangan testis dan berlangsungnya proses spermatogenesis. Secara fisiologi telah diketahui bahwa dalam proses spermatogenik diatur oleh hormon gonadotropin dan testosteron. Menurut Steinberger dan Dukett (1967) bahwa kebutuhan hormon tidak sama dalam tahap-tahap spermatogenesis, pada tahap miosis dibutuhkan hormon testosteron dan pada tahap akhir yaitu proses spermiogenesis dibutuhkan hormon FSH. Lebih anjut dijelaskan oleh Greep dan Fevold bahwa hormon LH berperanan menstimulasi sel Leydig memproduksi hormon testosteron, sedangkan hormon FSH berperanan menstimulasi pertumbuhan sel-sel epithelium tubulus semeniferus. Selanjutnya menurut Steinberger bahwa hormon FSH juga menstimulasi sel-sel sertoli untuk membelah diri (Coutinho dan Fuchs 1974). Pada prinsipnya proses pematangan spermatozoa pada ikan jantan sama dengan proses pematangan sel telur. Dengan adanya gonadotropin yang berasal dari hipofisa (FSH dan LH) akan meransang testis untuk memproduksi hormon androgen yang berperan dalam pengaturan reproduksi jantan, seks sekunder dan tingkah laku memijah (Angka et al. 1991). Susunan saraf pusat berperan merangsang hipotalamus untuk melepaskan gonadotropin releasing hormon (Gn-RH), hormon ini akan meransang hipofisa untuk melepaskan gonadotropin yang akan disekresikan ke dalam gonad (testis). Dalam gonad gonadotropin akan meransang sel-sel interstitial (sel Leydig) untuk melepaskan androgen terutama 11 ketotestosteron dan merangsang sel-sel sertoli untuk melepaskan progesteron terutama 17α - 20β P yang semuanya berperan dalam proses spermatogenesis (Coutinho dan Fuchs 1974).

81 57 Peranan hormonal pada moluska, hasil penelitian Griffond and Gomot (1989) bahwa pemberian ekstrak Tentakel dapat menghambat oogenesis. Pelluet and Lane (1961) bahwa pemberian ekstrak susunan sayaraf pusat (central nervous system=cns) pada C. aspersus dan A. subfursers dapat meningkatkan jumlah oosit. Pemberian ekstrak dorsal body (DB) juga menyebabkan matangnya sel-sel oosit (Wijdenes dan Runham 1976). Pada C. aspersus meningkatnya ukuran DB dapat menyebabkan meningkatnya sintesis protein (Griffond dan Vincent 1985). Pada Basommaphores termasuk Lymnaea stagnalis diketahui bagian dorsal body (DB) juga dapat mengontrol perkembangan organ kelamin betina (Barker 2001). Gambar 14. Mekanisme hormon kontrol aktivitas reproduksi pada gastropoda teresterial (Barker 2001). Hormon yang terdapat dalam ovotestis dapat mengatur oogenesis (Bierbauer 1978) lebih lanjut dikemukakan bahwa pemberian ekstrak ovotestis pada H. pomatia dapat menyebabkan meningkatnya sel-sel oosit tingkat I dan II. Takeda (1983) melakukan penelitian pemberian hormon estradiol dapat mengatur oogenesis pada E. pehomphale. Selanjutnya menurut penelitian Griffond and Gomot (1989) bahwa

82 58 penyuntikan hormon steroid vetebrata dapat menyebabkan pengaturan oogenesis pada moluska, namun saat ini belum diketahi bagaimana mekanismenya. Percobaan melakukan kastrasi pada Lamacus flavus dan E. pehomphala menyebabkan atropinya organ reproduksi asesoris dan penyuntikan androgen menyebabkan berkembangnya organ kelamin jantan seperti kelenjar prostat, dan spermiduct. Selanjutnya penyuntikan estrogen menyebabkan berkembangnya kelenjar albumen, kelenjar oviduk dan vagina (Takeda 1985). Ovotestis dari L. maximus diketahui melepaskan hormon yang menyebabkan berkembangnya organ asesori reproduksi jantan dibawah pengaruh hormon maturation gonadotropin faktor (MGF) yang berasal dari central nervous system, CNS (Barker 2001). Organ cephalic tantacles dapat merangsang perkembangan kelenjar albumen pada C. aspersus. Tentakel dapat menghambat proses organogenesis dari kelenjar albumen (Gomot dan Courtot 1979). Pada stylommatophoran chepalic tentacle mengatur fungsi hormonal (Pelluet dan Lane 1961). Penyuntikan ekstrak tentakel dapat menyebabkan terjadinya spermatogenesis (Pelluet, 1964). Wattez (1980) melakukan pembuktian bahwa cephalic tentacle pada A. subfuscus dapat menstimulasi produksi gamet. Takeda (1982) bahwa Cephalic tentacles menyebabkan stimulasi spermatogenesis. Gottfied dan Dorfman (1970) mengasumsikan bahwa cephalic tentacles menghambat biosentesa steroid di ovotestis. Penelitian Bierbauer and Molnar (1972 dalam Barker 2001) pemberian hormon testosteron dapat menstimulasi terjadinya spermatogenesis, namun dengan perlakuan pemberian ekstrak cephalic tentacles dapat menurunkan spermatogenesis 23% pada H. pomatia. Takeda (1982) menyakatakan bahwa cephalic tentacles adalah sebagai kelenjar optik atau optic gland karena ia terdiri atas sel-sel collar. Barker (2001) bahwa CNS (CG=cerebral ganglia + DB=dorsal body) mempunyai peranan mengatur perkembangan perkembangan sel-sel kelamin jantan, dengan jalan suatu mekanisme merangsang (Stimulatory) dan menghambat (inhibiting factors), umumnya cephalic tentacles menstimulasi positif pada spermatogenic multiplication (SM).

83 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada selama 8 bulan Mulai Oktober 2006 sampai Mei Metode Penelitian Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey dengan terlebih dahulu dilakukan penetapan stasiun dan titik-titik pengambilan sampel air laut, sedimen dan kerang hijau (Perna viridis) jantan dan betina. Stasiun (S) yang ditetapkan adalah tiga stasiun di daerah Teluk Jakarta yaitu stasiun satu (S-1) di daerah Kamal, stasiun dua (S-2) di daerah Marunda dan stasiun tiga (S-3) di daerah Gembong. Sedangkan stasiun keempat (S-4) berada di Teluk Banten yaitu desa Karangantu dan stasiun kelima (S-5) di Teluk Lada yaitu Desa Panimbang, termasuk wilayah Propinsi Banten (Gambar 15). S4 S2 S3 S5 S1 Gambar 15. Peta lokasi stasiun pengambilan sampel di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada.

84 60 Pengambilan sampel air menurut petunjuk Lutan (2004), sedangkan pengambilan contoh sedimen menurut petunjuk Gordon et al. (1992). Setiap stasiun ada 1 titik pengambilan sampel air yaitu air permukaan, air setengah kedalaman dan air dekat dasar serta 3 titik sedimen. Untuk menilai tingkat kualitas air laut di lokasi penelitian, digunakan Baku Mutu Kualitas Air Laut menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Kualitas Air Laut untuk Biota Laut (Budidaya Perikanan). Pengambilan sampel sedimen, air laut dan kerang dilakukan secara acak di setiap stasiun penelitian, untuk lebih jelas lihat Tabel 10. Tabel 10. Pengambilan sampel air, sedimen dan kerang hijau Perna viridis. No Lokasi Stasiun I (Kamal) Stasiun II (Marunda) Stasiun III (Gembong) Stasiun IV (Karangantu) Stasiun V (Panimbang) Sedimen Air Sampel Kerang hijau Morfometrik Histopatologi Jantan Betina Jantan Betina ekor 4 ekor ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor Total ekor 20 ekor Sampel kerang hijau untuk analisis histopatologi gonad diambil secara acak di setiap stasiun penelitian. Setiap stasiun diambil 4 ekor kerang hijau jantan dan 4 ekor kerang hijau betina, sehingga jumlah kerang hijau yang diambil dari kelima stasiun adalah 40 ekor. Kerang hijau diperoleh dari daerah Propinsi Banten yaitu satu stasiun di Teluk Banten yaitu desa Karangantu (S-4) dan satu stasiun lagi dari Teluk Lada yaitu Panimbang (S-5). Ukuran bobot tubuh kerang hijau Perna viridis yang diambil dalam penelitian ini adalah berkisar 5-66g, namun gonad yang dianalisa diambil

85 61 kerang yang besar. Untuk data performan (Morfometrik) kerang hijau diambil sampelnya secara acak stasiun di Teluk Jakarta yaitu Kamal 183 kerang hijau, Marunda 306 kerang hijau dan Gembong 167 kerang hijau, Teluk Banten yaitu di stasiun Karangantu sebanyak 110 kerang hijau dan Teluk Lada yaitu di Panimbangan sebanyak 215 kerang hijau. Pada sampel air laut, sedimen dan organ gonad kerang hijau dari kelima stasiun dilakukan pemeriksaan kandungan senyawa logam berat. Kandungan logam berat diperiksa dengan menggunakan alat spektropotometer serap atom (SSA) flame, meliputi unsur Hg, Pb, Cd, Cr dan Hg diperiksa Laboratorium Pasca Panen, Balai Besar Pasca Panen Departemen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Pemeriksaan suhu, kecerahah, salinitas dan ph air dilakukan di lokasi stasiun penelitian. Selanjutnya tingkat lapisan minyak, DO, nitrat, amoniak, dan phospat diperiksa di Laboratorium Limnologi, FPIK-IPB Bogor. Parameter yang diamati dan alat analisisnya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Metode analisis laboratorium untuk masing-masing parameter. No Parameter Alat Analisis 1. Suhu Termometer 2. Salinitas Salinometer 3. ph ph-meter 4. Kecerahan (m) Secchi disk 5. Lapisan minyak Ekstraksi 6. Oksigen terlarut (DO) DO-meter 7. Amoniak Spektropotometer 8. Nitrat Spektropotometer 9. Phospat Spektropotometer 10. Pb SSA 11. Cd SSA 12. Cr SSA 13 Hg SSA Parameter kualitas air, sedimen dan sel-sel gonad kerang jantan dan betina yang diamati dapat dilihat Tabel 12.

86 62 Tabel 12. Parameter yang diamati pada perairan dan kerang hijau. No Peubah Kualitas Air di Teluk Jakarta Peubah pada gonad kerang hijau Perna viridis Jantan Betina Kimia; Logam berat 1. Pb 2. Cd 3. Cr 4. Hg (Juga Sedimen) Fisik 1.Suhu 2. Kecerahan 3. Salinitas 4. lapisan minyak Kimia 1.pH 2.DO 3.Amoniak 4.Nitrat 5.Phospat 1. Logam berat: 1. Pb 2. Cd 3. Cr 4. Hg 2. Sel-sel kelamin: -Spermatogonia, -spematosit primer, -Spermatosit sekunder, -Spermatozoa. -Diameter Lumen -Luas Lumen -Volume lumen 1. Logam berat: 1. Pb 2. Cd 3. Cr 4. Hg 2.Sel-sel Kelamin: -Oogonia -Oosit Primer -Oosit Sekunder -Diameter Lumen -Luas Lumen -Volume lumen Sampel kerang hijau yang diambil diukur morfometriknya seperti bobot tubuh, panjang, lebar, tinggi, bobot cangkang dan bobot daging kerang hijau. Sampel kerang hijau diperiksa secara visual organ reproduksinya apakah mengalami abnormalitas. Sampel organ reproduksi jantan dan betina kerang hijau dibuat preparat histologi untuk melihat kelainan gametogenesis (spermatogenesis dan oogenesis). Sel-sel kelamin jantan yang diamati adalah spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatozoa. Sedangkan sel-sel kelamin betina yang diamati adalah selsel oogonia, oosit primer dan oosit sekunder. Selanjutnya juga diamati diameter folikel, luas folikel dan volume folikel gonad jantan dan betina. Sumber data sekunder kualitas air pantai Teluk Jakarta, Banten dan Lada diperoleh dari hasil pemantauan Departemen Kelautan dan Perikanan, pemerintah DKI Jakarta dan Propinsi Banten.

87 Cara Kerja Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi berpedoman kepada metoda mikroteknik (Gunarso, 1989) dengan proses sebagai berikut: 1. Fiksasi Gonad (ovotestis) diambil dan dicuci dengan NaCl fisiologi 0,65%, difiksasi dalam larutan bouin (15 ml asam pikrat jenuh + 5 ml formalin pekat + 1 ml cuka pekat), dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70% beberapa kali sampai warna kuning hilang. 2. Dehidrasi Organ direndam dalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%, 90%) masing-masing selama dua jam dan dipindahkan ke dalam alkohol 100% sebanyak empat kali masing-masing selama satu jam. 3. Clearing I Organ direndam dalam alkohol 100% + xylol (1:1) selama 45 menit, kemudian ke xylol I, II, dan III masing-masing selama 45 menit. 4. Infiltrasi Organ direndam dalam xylol + parafin (1:1) selama 45 menit pada suhu 60 ºC. Kemudian renam ke dalam parafin I, II, dan III masing-masing 45 menit. 5. Embiding Organ ditanam ke dalam balok parafin cair pada suhu 60 ºC sampai parafin mengeras selama 24 jam. 6. Pemotongan Spesimen dipotong setebal 6 mikron, ditempelkan pada gellas objek yang telah ditetesi ewit, renggangkan di atas alat pemanas lalu keringkan 24 jam pada suhu 45 ºC. 7. Deparafinisasi Prefarat direndam berturut-turut (xylol I, II dan II, alkohol 100% I dan II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70% dan 60%) masing-masing dua menit dan cuci sampai warna putih.

88 64 8. Pewarnaan Prefarat direndam dalam larutan hematoksilin selama 2 menit, dicuci dengan air keran mengalir, rendam dalam larutan eosin selama 2 menit, cuci dengan air keran mengalir. 9.Dehidrasi Prefarat direndam berturut-turut di dalam alkohol 70%, 60%, 85%, 90%, 95% I, 95% II, 100% I, 100% II masing-masing selama satu menit. 10.Clearing Prefarat direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama satu menit. 11. Penutupan dengan kaca penutup Preparat diberi perekat canada balsem, ditutup dengan gelas penutup, keringkan selama 10 menit. Preparat diberi lebel sesuai dengan perlakuan sehingga didapatkat prefarat permanen histologi gonad (testis dan ovarium) yang dapat diamati di bawah mikroskop Penilaian Gametogenesis. Sampel preparat histologi gonad kerang hijau jantan dan betina yang berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada dianalisis histopatologinya. Untuk mengetahui akibat pengaruh akumulasi logam berat (Hg, Pb dan Cd) terhadap gametogenesis (spermatogenesis dan oogenesis) maka diperiksa setiap preparat histologi ovotestis dengan melakukan penilaian secara kuantitatif terhadap sel-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatozoa dan oogonia, oosit primer, oosit sekunder. Pada kerang hijau dilakukan menurut petunjuk Chipperfied (1953) bahwa untuk dapat menghitung sel-sel kelamin pada tingkat kematangan gonad. Dari keempat stadium yaitu stadium III yang tepat diguna untuk menghitung sel-sel kelamin dimana pada stadium tersebut gonad kerang jantan mengandung spermatogonia, spermatosit primer, sekunder, dan spermatozoa. Sedangkan pada kerang hijau betina mengandung oogonia, oosit primer, oosit sekunder (Tabel 8). Demikian juga menurut petunjuk Galluci dan Galluci (1982); Braley (1984) bahwa tingkat perkembangan gonad untuk maksud menghitung sel-sel kelamin sebaiknya pada stadium 3 (Tabel 9), selanjutnya menurut Seed (1969) dapat dilihat pada stadium 4.

89 65 Penilaian sel-sel germinal pada stadium 4 pada lumen folikel hanya dilakukan pada sayatan melintang, bentuk bulat dan mempunyai lumen yang teratur sebanyak 20 potong folikel per gonad. Selanjutnya untuk memperoleh jumlah tiap sel germinal yang mendekati populasi sebenarnya, maka jumlah tiap sel germinal yang diperoleh dari hasil pengamatan, dikoreksi dengan menggunakan rumus Abercrombie (1946): M P = A [ ] L + M keterangan; P = Jumlah rata-rata sel peririsan lumen folikel yang sebenarnya A = Jumlah sel yang diperoleh sebelum dikoreksi. M = Tebal irisan lumen folikel dalam satuan mikron. L = Rata-rata diameter inti sel yang dihitung dalam satuan mikron.. Untuk menentukan apakah gametogenesis (oogenesis dan spermatogenesis) terpengaruh akibat bioakumulasi logam berat maka dibandingkan dengan jumlah selsel kelamin diantara Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. Kalau hasilnya diperoleh berbeda signifikan maka disimpulkan bahwa akumulasi logam berat dalam ovotestis berpengaruh terhadap gametogenesis Prosedur Pemeriksaan Logam Berat Sampel uji air atau sedimen dipreparasi dengan menggunakan metoda destruksi asam. Sampel uji yang sudah diketahui volumenya maupun beratnya ditambahkan asam pekat (HNO 3, H 2 SO 4, HCLO 4 ) dan dipanaskan pada suhu sekitar 120 ºC dengan menggunakan penangas air sampai sampel uji yang mengandung senyawa-senyawa organik terdekomposisi dengan sempurna yang memakan waktu antara 1,5 2 jam. Larutan contoh uji disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman 4B dan kemudian ditambahkan air distilasi sampai dengan tanda tera dalam labu ukuran 100 ml. Larutan ini siap untuk dianalisis dengan menggunakan alat spektrofotometer serap atom (SSA) baik menggunakan tipe nyala (flame) atau tanpa nyala (flameless) tergantung dari kadarnya. Penentuan kosentrasi logam berat dilakukan dengan menggukan alat SSA. Alat ini bekerja dengan prinsip penyerapan cahaya pada gelombang tertentu dan tingkat

90 66 penyerapan cahaya ini berbanding lurus dengan kosentrasi atom yang ada di dalam sampel uji. Pada saat analisis, larutan sampel diatomisasi dalam nyala dan intensitas penyerapan cahaya lampu katoda dibaca oleh detektor. Alat SSA yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hitachi Polarized Atomic Absorption Spectrophotometer model Z Alat ini merupakan teknik yang memanfaatkan fenomena penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dalam bentuk gas sebagai dasar pengukurannya. Atom-atom bebas dihasilkan dengan jalan menyemprotkan ke dalam nyala dari contoh yang berupa larutan suspensi. Besarnya kepekatan analit ditentukan dari besarnya absorpsi berkas sinar garis resonansi yang melewati nyala (Edvantoro et al. 2001) Analisis Statistik Uji t-student Untuk melihat perbedaan ukuran tubuh (morphometric) seperti berat tubuh, berat cangkang, berat daging, panjang, lebar dan tinggi kerang hijau Perna viridis setiap stasiun digunakan uji t-student menurut petunjuk Steel dan Torrie (1995). Dalam penelitian ini jumlah sampel kerang hijau jantan dan betina dari setiap stasiun tidak sama, maka dengan demikian n 1 n 2 sehingga keragamannya: Y 1 2 ( Y) 2 / n 1 + Y 2 2 ( Y) 2 / n 2 S 2 = (n 1-1) + (n 2-1) db = (n 1-1) + (n 2-1) S y1 y2 = S 2 (n 1 - n 2 ) n 1. n 2 Y 1 - Y 2 t hit = : t tabel (5% atau 1%) S y1 y2 Demikian juga untuk membedakan perbedaan antar lokasi akibat dari pencemaran dari peubah jumlah populasi oogonia, oosit primer, oosit sekunder, jumlah sel-sel kelamin betina, spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, jumlah spermatozoa, jumlah sel-sel kelamin jantan, dan diameter, luas,

91 67 volume lumen folikel gonad betina dan jantan digunak uji-t berpasangan. Analisa uji-t berpasangan antara peubah pengamatan antar lokasi digunakan software SPSS versi Analisis Regresi dan Korelasi Untuk melihat hubungan antara peubah performan kerang hijau yaitu peubah berat tubuh, berat cangkang, berat daging, panjang, lebar dan tinggi kerang hijau digunakan analisa regresi dan korelasi menurut petunjuk Steel dan Torrie (1995). Demikian juga untuk melihat hubungan antara pengaruh logam berat terhadap jumlah sel-sel kelamin jantan dan betina digunakan analisa tersebut. Untuk menghitung atau menganalisa regresi dan korelasi mengunakan software SPSS versi 13.

92 1V. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Jakarta di Propinsi DKI Jakarta, Teluk Banten dan Lada di Propinsi Banten. Daerah ini menurut beberapa peneliti telah mengalami pencemaran logam berat. Stasiun pengambilan sampel kerang hijau (Perna viridis) dan air laut (kualitas air laut) di Teluk Jakarta adalah Kamal (S1), Marunda (S2), dan Gembong (S3), Teluk Banten di Desa Karangantu (S4) dan Teluk Lada di Desa Panimbang (S5). Deskripsi wilayah penelitian sebagai berikut: Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak pada 06º00 40 LS dan 05º54 40 serta 106º40 45 BT dan 107º01 19 BT. Teluk ini berbatasan dengan Tanjung Pasir di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur, serta mempunyai rentangan pantai sepanjang kurang lebih 40 km dan luas kira-kira 490 km². Bagian yang jauh menjorok ke dalam, berjarak kurang lebih 18 km dari garis pantai yang menghubungkan kedua ujung teluk. Teluk ini juga merupakan muara dari beberapa sungai yaitu Sungai Angke, Ciliwung, Sunter, Bekasi dan cabang anak Sungai Citarum. Umumnya daerah tangkapan hujan dari sungai ini sudah banyak dipengaruhi oleh aktivitas penduduk dan industri (Riani et al. 2004). Menurut laporan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan (DPPK), DKI Jakarta tahun 2006 bahwa kondisi batimetri (kedalaman) perairan Teluk Jakarta memiliki kedalaman 0-20 meter dengan kemiringan landai (0,0033%). Sedimen dasar terdiri atas material berbutir halus dan memiliki kemampuan meredam energi gelombang yang besar. Kontur batimetri relatif sejajar dengan garis pantai melengkung sesuai dengan bentuk perairan Teluk Jakarta. Pada wilayah perairan Teluk Jakarta tidak ditemukan palung atau tonjolan yang dapat mengubah pola gelombang datang akibat refraksi dan difraksi. Tipe pasang surut wilayah perairan Teluk Jakarta termasuk kategori pasang surut harian tunggal (diurnal tide), dengan air tertinggi dan terendah terjadi hanya satu kali dalam dua puluh empat jam. Kisaran tunggang pasang tertinggi adalah sebesar 0,9 1,5 meter. Dalam kondisi tertentu tunggang pasang dapat lebih besar

93 dari kisaran tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan muka air akibat badai (storm surge). Kecepatan arus musim berkisar antara 20 sampai 40 cm/s. Pasang surut di perairan Teluk Jakarta masih dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda. Dengan demikian, maka secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak ke arah utara dalam kondisi pasang, dan sebaliknya ke arah selatan dalam kondisi surut. Pengaruh kedalaman perairan lokal dan morfologi pantai dapat memodifikasi arus tersebut. Gelombang yang terjadi di Teluk Jakarta terutama disebabkan oleh angin yang pembentukannya dapat terjadi sekitar lokasi atau dari lokasi yang jauh, kemudian merambat ke arah pantai. Di wilayah Teluk Jakarta, gelombang yang terjadi dalam periode musim Timur yaitu bulan Juli sampai September lebih rendah dari pada musim Barat yaitu bulan Desember sampai Februari. Gelombang datang sesuai dengan arah mata angin yaitu pada musim barat datang dari arah barat laut dan pada musim timur datang dari arah timur laut dan sebagian datang dari arah utara. Tinggi gelombang dominan berkisar antara 0,5 1 meter dengan periode antara 3 5 detik. Salah satu perairan laut yang kualitasnya sudah melewati batas ambang baku mutu kualitas perairan menurut kriteria Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (1988) adalah Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan banyak limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta yang dibawa oleh 13 sungai yang bermuara ke dalamnya. Menurut laporan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan hidup (KPPL) tahun 1997 bahwa limbah yang masuk ke perairan ini adalah limbah dari kegiatan industri pengelola sekitar 97,82% yakni ,47 ribu m³/tahun, domestik 2,17% yakni ,90 ribu m³/tahun, dan limbah industri pertanian 0,01% yakni 232,25 m³/tahun. Namun limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk jakarta ini bukan saja limbah organik yang untuk menguraikannya memerlukan oksigen, tetapi juga limbah yang termasuk katagori B3 yang tercampur dalam limbah tersebut (Riani et al. 2004). Menurut Firmansyah (2007) sumber pencemaran air di Teluk DKI Jakarta berasal dari landbased disebabkan oleh tiga kategori limbah antara lain limbah domestik, limbah industri dan limbah pasar. Selain itu adanya penurunan debit

94 sungai menyebabkan pengenceran atau daya perbaikan sungai tidak berlangsung baik dan berkesinambungan, serta adanya kegiatan di sepanjang Pantai Pantura Jakarta. Lebih lanjut kontribusi sumber pencemaran di Teluk Jakarta berasal dari limbah domestik 27.09%, limbah industri 14,04% dan limbah pasar 46,70%. Menurut laporan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), DKI Jakarta tahun 2004 bahwa perairan Teluk Jakarta berdasarkan indeks keanekaragaman, menunjukan zona D mengalami pencemaran berat, zona C mengalami pencemaran sedang dan zona B dan A mengalami pencemaran ringan. Daerah Muara Teluk Jakarta, muara Angke, Cengkareng, dan Muara Sunter telah mengalami pencemaran berat, sedangkan Muara Kamal, Muara Karang, Muara Ancol, Muara Cakung, Muara Marunda mengalami pencemaran sedang dan Muara Gembong mengalami pencemaran ringan Teluk Banten. Menurut laporan DPPK DKI Jakarta tahun 2006 bahwa kondisi batimetri perairan di Propinsi Banten pada dasarnya termasuk dalam perairan dangkal yang dikenal dengan paparan sunda. Paparan adalah zona di laut mulai dari garis surut terendah sampai pada kedalaman sekitar meter, yang umumnya diikuti oleh lereng yang lebih curam ke arah laut. Bagian utara propinsi Banten yaitu Teluk Banten pada umumnya mempunyai dasar yang rata dan melandai dari arah Barat ke Timur. Sedangkan untuk perairan muara Karangantu adalah muara dari Sungai Cibanten. Substrat di kawasan ini adalah lumpur. Lumpurnya relatif berwarna hitam karena pengaruh buangan organik di sekitar sungai. Daerah hulu sungai merupakan daerah pemukiman yang banyak membuang sisa aktivitasnya ke sungai. Perairan relatif dangkal dan keruh, lalu lintas perahu nelayan relatif kurang lancar terutama saat surut akibat pendangkalan. Tipe pasang surut wilayah perairan Propinsi Banten merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda yang dikenal sebagai tipe pasut campuran. Pasang surut yang terdapat di perairan Propinsi Banten dan sekitarnya bertipe campuran terutama semidiurnal dengan bilangan formzahl berkisar antara 0,25-1,25. Tunggang pasang bervariasi antara 30 cm pada saat pasang perbani dan lebih dari 100 cm pada saat pasang purnama.

95 Di wilayah perairan Teluk Banten arah arus yang dominan adalah arah arus yang keluar dari laut Jawa menuju Samudera Hindia. Pasang surut di perairan Teluk Banten juga masih dipengaruhi dari Samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda. Secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak kearah utara dalam kondisi pasang dan sebaliknya ke arah selatan dalam kondisi surut. Di wilayah utara perairan Banten, gelombang yang terjadi dalam periode musim timur yaitu bulan Juli sampai September lebih rendah dari pada musim barat yaitu bulan Desember sampai Februari. Pada musim barat tinggi gelombang maksimum bisa mencapai 2,6 m dengan rataan sekitar 1,03 m, sedangkan pada musim timur sekitar 1,9 m dengan rataan sekitar 0,76 m, dengan arah rambatan gelombang tidak jauh berbeda dengan arah datangnya angin. Pada musim peralihan, tinggi gelombang yang terbentuk relatif lemah yang tingginya kurang dari 0,5 m. Teluk Banten perairan lautnya telah mengalami pencemaran karena ada indikasi mengandung Hg 0.05 ug/l, Cd mg/l dan Pb mg/l (Setyobudiandi 2004). Menurut laporan Akbar tahun 2005 dalam Tempo Interaktif Jawa-Madura bahwa Pencemaran di Teluk Banten akibat buangan limbah cair ke sungai Ciujung, Cibanten dan Cidurian dari 44 industri. Menurut Anang dalam laporan tersebut bahwa Sungai Ciujung menerima m 3 buangan limbah cair per hari dari 30 industri di wilayah Serang Timur, dari 30 industri itu lima industri langsung membuang limbahnya ke sungai. Sungai Cibanten menerima limbah cair 501,2 m 3 / hari dari lima pabrik, sedangkan sungai Cidurian menerima limbah cair m 3 / hari dari 10 pabrik secara tidak langsung Teluk Lada. Menurut laporan DPPK, DKI Jakarta tahun 2006 bahwa perairan Selat Sunda memiliki lebar di bagian tersempitnya sekitar 24 km, dengan kedalaman yang lebih besar dari Laut Jawa serta memiliki topografi dasar perairan yang sangat tidak beraturan. Wilayah perairan Selat Sunda yaitu antara Cigading, Anyer dengan Pulau Sangiang memiliki kedalaman perairan bervariasi antara 20 m di dekat pantai Anyer sampai 150 m di bagian tengah antara Anyer dan Sangiang. Rona dasar laut menunjukkan bentuk undulasi dasar laut yang sangat tidak beraturan.

96 Di wilayah barat Propinsi Banten jenis pasutnya adalah campuran yang condong ke harian ganda. Jenis pasut ini berarti dalam satu hari terdapat dua kali pasang dan surut, dimana tinggi pasang pertama tidak sama dengan pasang kedua, dan surut pertama juga berbeda dengan surut kedua. Kisaran tinggi muka laut pada air pasang tertinggi (higher high water level, HHWL) di sekitar Suralaya adalah sekitar 108 cm. Di bagian barat Propinsi Banten, perairan ini berupa selat, yang menghubungkan antara laut Jawa dengan samudera Hindia. Dalam periode musim Timur yang berlangsung antara bulan Juli sampai September, sebagian massa air Laut Jawa yang relatif lebih hangat dan tawar mengalir ke samudera Hindia. Sebaliknya dalam periode musim barat yaitu pada bulan Desember sampai Februari sebagian massa air dari samudera Hindia dapat mempengaruhi perairan selat Sunda ini. Oleh karena itu perairan Selat Sunda memiliki sifat ambang antara perairan samudera dan laut. Di bagian barat Perairan Banten gelombang yang lebih besar diperkirakan terjadi dalam periode musim barat karena secara geografis garis pantai di bagian barat Banten berhadapan langsung dengan laut kearah barat. Besarnya gelombang yang terbentuk akan tergantung antara lain kepada besarnya kekuatan angin, lamanya angin bertiup, dan panjang perlintasan angin. Menurut Muawanah et al. (2005) bahwa Teluk Lada perairan lautnya telah mengalami pencemaran logam berat seperti kandungan Hg 0.09 mg/l, Pb mg/l dan Cu mg/l Kualitas Air Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data beberapa parameter kualitas air, khususnya terkait dengan parameter pencemar yang dapat mempengaruhi kehidupan kerang hijau dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas daging dan gonadnya. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Menurut laporan DPPK DKI Jakarta tahun 2006 bahwa suhu dan salinitas merupakan faktor penting yang secara langsung berpengaruh terhadap aspek biologi perairan. Hasil penelitian menunjukan suhu air laut di Teluk Jakarta berkisar o C dan tidak jauh berbeda dengan Teluk Banten dan Teluk Lada (Gambar 16).

97 Demikian juga salinitas air laut di Teluk Jakarta berkisar PSU dan Teluk Banten 34 PSU dan Teluk Lada 33 PSU. Di wilayah tropis pada umumnya suhu per- Tabel 13. Parameter fisika dan kimia kualitas air di lokasi penelitian (Kamal, Marunda, Gembong, Karangantu dan Panimbang). STASIUN PENGAMATAN No. Parameter Satuan Teluk Jakarta Teluk Teluk Banten Lada BM FISIKA : 1 Salinitas PSU 33,00 32,00 33,00 34,00 33,00 2 Kecerahan m 2,20 1,.90 2,10 3,10 2,30 >3 3 Suhu air oc 31,00 31,00 32,00 31,00 30,00 alami 4 Lapisan minyak nihil K I M I A : 1 ph - 7,9 7,3 7,4 7,6 7,7 7 8,5 2 DO mg/l 4,200 3,500 4,200 4,800 4, Ammonia (NH 3 -N) mg/l 0,568 0,683 0,481 0,281 0,275 0,3 4 Nitrat (NO 3 -N) mg/l 0,052 0,047 0,023 0,043 0,054 0,008 5 Phosphat mg/l <0,001 0,010 <0,001 <0,001 <0,001 0,015 6 Krommium (Cr) mg/l 0,002 0,001 0,002 0,002 0,001 0,005 7 Kadmium (Cd) mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,001 8 Timah Hitam (Pb) mg/l 0,004 0,003 0,005 0,005 0,004 0,008 9 Merkuri (Hg) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 0,001 Keterangan : - stasiun, 1 = Kamal; 2 = Marunda ; 3 = Gembong (1,2,3, = Teluk Jakarta) ; 4 = Karangantu (Teluk Banten) dan 5 = Panimbang (Teluk Lada). - BM = Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut, Kep Men LH No. 51 tahun ttd = tidak terdeteksi mukaan relatif hangat dengan variasi tahunan yang cukup kecil, tetapi variasi hariannya besar. Rataan suhu permukaan adalah sekitar 28,17 C (±0.33), dengan dua puncak maksimum dan puncak dua minimum yang terjadi dalam periode musim peralihan dan periode musim barat dan timur. Variasi tahunan salinitas menunjukkan kisaran yang relatif besar, dimana rerata salinitas sekitar 32,49 (±0.84). Dalam periode musim barat dan peralihan dari musim barat ke timur, nilai salinitas permukaan relatif rendah karena pengaruh run off air sungai dan curahan hujan yang biasanya lebih intensif terjadi dalam periode ini. Berdasaran data tersebut terlihat bahwa parameter fisika perairan menunjukkan sedikit terganggu, khususnya jika dilihat dari kecerahan perairan. Di wilayah budidaya kerang hijau dengan kawasan Teluk Jakarta, kecerahan perairan cenderung lebih kecil jika dibandingkan di daerah Karangantu, Teluk Banten dan perairan Panimbang, Teluk Lada. Rendahnya kecerahan perairan di kawasan

98 budidaya perairan di kawasan Teluk Jakarta diduga karena tingginya kandungan biomas fitoplankton Variasi Tahunan Suhu dan Salinitas Permukaan di Laut Jawa Suhu ( o C) Suhu Salinitas ( ) Salinitas JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES 31.0 Gambar 16. Variasi tahunan suhu dan salinitas permukaan di Laut Jawa (DPPK DKI Jakarta 2006). Tingginya fitoplankton disebabkan relatif baiknya faktor-faktor fisik dan kimia perairan bagi perkembangan fitoplankton di kawasan Teluk Jakarta terutama dalam hal kesuburannya / nutrisinya. Di kawasan Karangantu dan Pantai Panimbang, kondisi kandungan fitoplanktonnya relatif lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesuburan perairan tersebut, serta faktor fisik dan kimia perairan lainnya kurang memberi dukungan nutrien yang maksimum bagi perkembangan fitoplankton. Di keseluruhan lokasi penelitian, terlihat bahwa di kawasan Perairan Panimbang kecerahan perairan kecil dibandingkan dengan Karangantu dan Teluk Jakarta. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya padatan yang berasal dari sungai. Hal ini disebabkan adanya sungai besar yang masuk ke wilayah tersebut. Untuk kesuburan perairan dan kandungan organik di perairan yang dijadikan indikator pencemaran bahan organik, nampaknya perairan Teluk Jakarta masih lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Karangantu dan Panimbang. Keadaan ini terutama ditunjukkan oleh kandungan ammonia di lokasi budidaya kerang di kawasan Teluk Jakarta relatif lebih tinggi. Sementara itu untuk kandungan nitrat, tidak diperoleh perbedaan yang signifikan antara di kawasan budidaya kerang hijau

99 Teluk Jakarta dengan di Karangantu atau Panimbang. Hal ini diduga disebabkan ketersediaan oksigen yang relatif lebih tinggi di Karangantu dan Panimbang dibandingkan dengan di Teluk Jakarta. Relatif rendahnya oksigen di daerah Teluk Jakarta diduga terkait dengan tingginya proses pembusukan bahan organik di kawasan ini dibandingkan dengan di kedua daerah kajian lainnya. Sehingga, proses nitirifikasi ammonia menjadi nitrit dan kemudian nitrat lebih banyak terjadi di kawasan Karangantu dan Panimbang. Hal inilah yang diduga menyebabkan kawasan di perairan Teluk Jakarta nitrogen lebih didominasi oleh ammonia dibandingkan nitrat. Tingginya proporsi ammonia dibandingkan dengan nitrat di kawasan perairan Teluk Jakarta juga didukung oleh data yang dikemukakan oleh Damar (2004) yang menyatakan bahwa ammonia mendominasi kawasan pantai Teluk Jakarta dibandingkan dengan nitrogen lainnya seperti nitrat atau nitrit (Gambar 17). 100% 80% 60% 40% 20% nitrite nitrate ammonium 0% M A P station Gambar 17. Proporsi kandungan ammonia, nitrit dan nitrat di beberapa lokasi di kawasan Teluk Jakarta (Damar 2004). Dalam Gambar 17 terlihat bahwa di stasiun-stasiun perairan pantai Teluk Jakarta yang merupakan kawasan budidaya kerang hijau, nitrogen inorganik terlarutnya didominasi oleh ammonia dibandingkan dengan nitrit atau nitrat (stasiun 9, 10, 11, 12, M, A dan P). Tingginya ammonia ini menunjukkan bahwa proses denitrifikasi lebih dominan dibandingkan dengan nitrifikasi yang merupakan fungsi dari ketersediaan oksigen terlarut. Hasil analisis Damar (2004) bahwa monitoring terpadu yang rutin dilakukan di kawasan perairan pantai Teluk Jakarta menunjukkan kandungan oksigen terlarut yang sangat rendah. Rendahnya oksigen terlarut di

100 kawasan ini merupakan hasil proses pembusukkan bahan organik yang sangat intensif. Sehingga, secara residual, walaupun proses fotosintesis cukup tinggi, produksi oksigen masih kurang mencukupi untuk ketersediaan di air dalam berbagai proses kimia dan biologi perairan. Sedikit berbeda dengan kandungan fosfat di perairan, perbedaan nilai diperoleh di lokasi budidaya Marunda, dengan nilai yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi-lokasi kajian lainnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses remineralisasi fosfat berlangsung seimbang dengan lokasi-lokasi lainnya. Kecenderungan data ini juga menunjukkan bahwa sumber utama bahan organik yang masuk ke kawasan perairan Teluk Jakarta lebih banyak dalam bentuk nitrogen dibandingkan dengan fosfat. Kajian stadium eutrofikasi Teluk Jakarta telah banyak dilakukan dan salah satunya dilakukan oleh Damar (2004). Dalam kajian tersebut stadium pencemaran bahan organik Teluk Jakarta dianalisis berdasarkan kandungan nitrogen (DIN), fosfat, chlorophyll-a dan oksigen terlarut. Dari hasil analisis tersebut, diperoleh hasil bahwa Teluk Jakarta adalah perairan yang tercemar berat oleh bahan organik. Terdapat 3 gradasi perbedaan stadium pencemaran, untuk daerah dekat pantai, perairan tergolong ke dalam tercemar bahan organik sangat berat (hyper-eutrofik). Di daerah tengah perairan tercemar berat (eutrofik) dan di perairan luar teluk dalam kondisi tercemar sedang bahan organik (mesotrofik). Hasil analisis dengan menggunakan indeks TRIX (Trophical Index for Marine System) disajikan dalam Gambar 18. mesotrophic eutrophic hyper-eutrophic hyper-eutrophic Gambar 18. Stadium pencemaran bahan organik di kawasan perairan Teluk Jakarta (DPPK DKI Jakarta 2006).

101 Untuk kandungan logam berat di dalam air, yaitu Cr, Cd, Pb dan Hg nampak tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar lokasi dan seluruhnya masih di bawah batas maksimal yang dipersyaratkan oleh baku mutu air laut. Relatif rendahnya kandungan logam berat di kolom air ini nampaknya terkait dengan masih relatif rendahnya proses resuspensi sedimen ke kolom air, karena saat dilakukan pengukuran adalah saat minim pergolakan air, karena dilakukan saat musim kemarau yang pergerakan airnya minimal. Hal ini agak berbeda dengan hasil analisis yang dilakukan saat musim penghujan yang pergerakan massa airnya maksimal dan peluang resuspensi sedimen ke kolom air meningkat. Hasil pengukuran yang dilakukan menunjukkan nilai yang relatif tinggi, baik di kolom air maupun di sedimen seperti yang disajikan pada Tabel 14, 15, 16 dan 17. Tabel 14. Kandungan logam berat (ppm) di kolom air di perairan budidaya kerang hijau Kamal. No. Parameter Bulan 2002 Mei Juli September Oktober BM 1. Timah hitam (Pb) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Sumber : Ningtias (2002) dalam DPPK DKI Jakarta (2006). Tabel 15. Kandungan logam berat di dalam perairan sekitar lokasi budidaya kerang hijau Kamal No. Jenis Sampel Hasil Analisa (ppm) Hg Pb Cd Standar (ppm) Hg Pb Cd 1. Kerang Hijau (Mytilus ( viridis) Air laut pingir Air laut tengah Sumber: DPPK DKI Jakarta (2006). Tabel 16. Kandungan logam berat (ppm) di kolom air di perairan budidaya kerang hijau Kamal No. Parameter Bulan 2003 Mei Juni Juli Agustus BM 1. Timah hitam (Pb) <0,001 0,005 <0,001 <0,001 0, Kadmium (Cd) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0, Tembaga (Cu) <0,001 0,002 <0,001 0,001 0, Seng (Zn) 0,0095 0,013 0,0035 0,008 0,05 5. Nikel (Ni) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,05 Sumber : Suryanto (2003) dalam DPPK DKI Jakarta (2006).

102 Tabel 17. Kualitas air laut di Teluk Jakarta No PARAMETER SATUAN HASIL PENGAMATAN A. Fisika 1 Kekeruhan NTU 7,78 2 Salinitas 32,58 3 Suhu º C 28,50 B. Kimia 1 COD mg/l 77,61 2 PH 7,58 3 Nitrat mg/l 0,016 4 Nitrit mg/l 0, Amoniak mg/l 0,283 6 Fospat mg/l 0, Deterjen mg/l <0,001 8 Phenol mg/l 0, Timbal (Pb) ppm 0, Raksa (Hg) ppb 0, Krom total (Cr) ppm 0, Kadmium (Cd) ppm 0, Stannum (Sn) ppm <0,001 Sumber: Riani et al. (2004). Dari Table di atas (Tabel 14-17) yang berisikan data kandungan beberapa logam berat di dalam air di lokasi budidaya kerang hijau menunjukkan data yang bervariasi, berkisar dari nilai yang rendah hingga yang di atas baku mutu. Perbedaan tersebut diduga karena adanya perbedaan waktu pengukuran. Walaupun demikian, memang dapat disimpulkan bahwa kandungan parameter di dalam kolom air di lokasi budidaya kerang hijau di kawasan Teluk Jakarta masih dalam toleransi yang belum membahayakan. Walaupun demikian, dengan konsentrasi yang masih rendah, namun karena secara kontinyu kerang hijau melakukan filtrasi air laut di lokasi tersebut, maka kekawatiran akumulasi logam berat di dalam jaringan tubuh kerang hijau menjadi meningkat. Kandungan akumulasi logam berat di dalam tubuh kerang hijau betina dan jantan akan dibahas khusus dalam sub bab Bioakumulasi logam berat pada gonad Kandungan Logam Berat di Sedimen Kandungan logam berat di dalam sedimen merupakan indikator dari kondisi lingkungan perairan. Di dalam air, logam berat lebih cenderung terakumulasi di dasar perairan. Jika dibandingkan antar lokasi budidaya, nampak bahwa sedimen di seluruh lokasi kajian memiliki kandungan sedimen yang relatif sudah tinggi. Di

103 79 Panimbang, kandungan logam juga sudah ditemukan yang diduga berasal dari transport massa air dari wilayah kawasan industri Cilegon-Merak yang berada tidak jauh dari Teluk Panimbang. Di kawasan Teluk Banten dan Teluk Jakarta relatif tingginya kandungan logam berat merupakan konsekuensi logis dari tingginya aktifitas industri di kawasan tersebut (Tabel 18, 19 dan 20). Tabel 18. Kandungan logam berat di dalam sedimen No. Parameter Satuan STASIUN PENGAMATAN Teluk Jakarta T.Banten T.Lada Kromium (Cr) mg/l 2,200 2,300 2,500 ttd ttd 2 Kadmium (Cd) mg/l 0,900 1,500 1,200 1,200 0,900 3 Timah Hitam (Pb) mg/l 5,600 6,200 8,500 6,300 2,300 4 Merkuri (Hg) Ppb 30,500 50,700 46,80 ttd ttd Keterangan : -stasiun 1 = Kamal 2 = Marunda ; 3 = Gembong ; 4 = Karangantu dan 5 = Panimbang -ttd = tidak terdeteksi Tabel 19. Kandungan logam berat dalam sedimen di Teluk Jakarta. No. Parameter Satuan Hasil Pengamatan 1 Timah hitam (Pb) ppm 2,898 2 Raksa (Hg) ppm 0, Kromium total (Cr) ppm 6,38 4 Kadmium (Cd) ppm 0,135 5 Stanum (Sn) ppm 1,372 Sumber: Riani et al. (2004). Tabel 20. Kandungan logam berat di dalam sedimen di perairan sekitar Ancol No. Parameter Kadar Rerata Kadar Alami 1. Cu (ppm) 26, Timbal (ppm) 28, Krom (ppm) 13, Nikel (ppm) 9, Sumber : BPLHD (2004) dalam DPPK DKI Jakarta, (2006). Sementara data kandungan logam di dalam sedimen yang diperoleh dari hasil pemantauan tim monitoring Teluk Jakarta seperti yang dilaporkan BPLHD tahun 2004, memperlihatkan nilai kandungan yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu,

104 walaupun studi yang terbaru memberikan hasil yang lebih rendah, tidak berarti bahwa telah terjadi perbaikan kondisi lingkungan secara nyata, namun tetap merupakan perhatian bagi pengelolaan kawasan di Teluk Jakarta Morfometrik Kerang Hijau Dalam penelitian ini juga melihat morfometrik dari masing-masing lokasi penelitian, bertujuan untuk mempelajari perbandingan ukuran kerang yang berasal dari perairan Teluk Jakarta yang telah mengalami pencemaran dengan yang berasal dari daerah yang belum tercemar yaitu berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat morfometrik kerang hijau pada Tabel 21 dan 22. Tabel 21. Berat tubuh, cangkang dan daging kerang hijau betina berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Berat tubuh Cangkang Daging A Teluk Jakarta n (g) (g) (g) 1.Kamal 63 18,98± 6,26 12,49±3,63 6,40 ± 2,49 2.Marunda ,90±11,29 6,67±1,39 4,55 ± 1,02 3.Gembong 90 14,59± 5,50 9,16±5,21 5,01 ± 2,15 Rataan ,83 ± 5,99 A 8,84±4,12 A 5,14 ± 1,96 A B Teluk Banten 1.Karangantu 50 16,83 ± 4,76 10,37±3,05 6,46 ± 1,83 Rataan 16,83 ± 4,76 B 10,37±3,05 B 6,46 ± 1,83 B C Teluk Lada 1.Panimbang 85 12,46 ± 2,45 6,74±1,46 5,71 ± 1,06 Rataan 12,46 ± 2,45 C 6,74±1,46 C 5,71 ± 1,06 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01). Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan ujit-t (lampiran 7-9) menunjukan ukuran berat tubuh dan cangkang kerang hijau betina yang berasal dari daerah Teluk Jakarta lebih berat dibandingkan daerah Teluk Lada (P<0,01) namun lebih besar berat tubuh dan cangkang kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten dibandingkan Teluk Jakarta dan Teluk Lada (P<0,01). Keadaan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Setyobudiandi (2004) yang mengatakan bahwa kerang hijau di Teluk Jakarta lebih besar dibandingkan daerah Teluk Banten, namun bila dibandingkan dengan kerang hijau yang berasal dari daerah Teluk Lada memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Keadaan ini didukung oleh kondisi daerah Kamal yang mengandung zat organik yang cukup tinggi yang berasal

105 dari 13 anak sungai membawa sampah organik mengarah ke muara Kamal (Riani et al. 2004), dan menyebabkan hidup suburnya plankton. Berdasarkan hal tersebut tidak heran jika berat kerang yang ada di Daerah Kamal lebih besar dari daerah lain. Namun bila ditinjau hasil produksi dagingnya, memperlihatkan bahwa Teluk Banten lebih tinggi bila dibandingkan produksi daging dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada (P<0,01). Ukuran tubuh kerang hijau betina seperti panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau betina berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Panjang Lebar Tinggi A Teluk Jakarta n (cm) (cm) (cm) 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong ,14 ± 0,99 6,23 ± 0,80 6,54 ± 1,03 2,80 ± ,93 ± ,01 ± ,74 ± 0,59 2,82 ± 0,31 2,94 ± 0,40 Rataan 317 6,81 ± 0,87 A 2,12 ± 0,29 A 2,84 ± 0,41 A B Teluk Banten 1.Karangantu 50 7,57 ± 0,81 2,07 ± 0,29 3,12 ± 0,29 Rataan 7,57 ± 0,81 B 2,07 ± 0,29 A 3,12 ± 0,29 B C Teluk Lada 1.Panimbang 85 6,56 ± 0,59 1,83 ± 0,15 2,81 ± 0,21 Rataan 6,56 ± 0,59 A 1,83 ± 0,15 B 2,81 ± 0,21 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis statistik ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang betina (lampiran 10-12) menunjukan ukuran tubuh kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten panjang dan tinggi tubuhnya lebih besar dibandingkan yang berasal dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada (P<0,01). Namun juga ukuran lebar kerang hijau dari Teluk Jakarta sama dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten (P>0,05) dan Kerang dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten lebih lebar dari yang berasal Teluk Lada (P<0,01). Perbedaan ukuran tubuh ini diduga disebabkan oleh perbedaan kadar dari pencemaran logam berat yang terakumulasi dalam tubuh kerang. Menurut Widdows dan Donkin, (1992) bahwa pencemaran perairan laut oleh sanyawa organik dan anorganik dapat menyebabkan bioakumulasi dalam tubuh kerang hijau, sehingga akan mempengaruhi aktivitas regulasi kadar garam tubuh, komposisi biokimia tubuh, pertumbuhan tubuh, dan kondisi reproduksi kerang hijau.

106 Ukuran berat tubuh, berat cangkang dan berat daging kerang hijau jantan dapat dilihat pada Tabel 23 dan 24. Tabel 23. Berat tubuh, cangkang dan daging kerang hijau jantan berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Berat tubuh Cangkang Daging A Teluk Jakarta n (g) (g) (g) 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong ,52 ±8,38 13,28 ±4,19 13,14 ±6,04 12,71 ± 5,42 6,87 ± 2,41 12,28 ± 6,85 7,33 ± 4,11 5,61 ± 2,28 6,57 ± 2,89 Rataan ,46 ±7,02 A 11,02 ± 5,66 A 6,72 ± 3,55 A B Teluk Banten 1.Karangantu 60 15,55 ±3,15 9,70 ± 2,08 5,85 ± 1,29 Rataan 15,55 ±3,15 A 9,70 ± 2,08 A 5,85 ± 1,29 A C Teluk Lada 1.Panimbang ,98 ± 2,67 6,87 ± 1,49 6,11 ± 1,69 Rataan 12,98 ± 2,67 B 6,87 ± 1,49 B 6,11 ± 1,69 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Dari hasil analisis statistik ujit-t (Lampiran 1, 5 dan 6) menunjukan bahwa ukuran berat tubuh dan cangkang kerang hijau jantan yang berasal dari daerah Teluk Jakarta dan Teluk Banten lebih berat dibandingkan daerah Teluk Lada (P<0,01), namun tidak berbeda ukuran tersebut antara Teluk Jakarta dan Teluk Banten (P> 0,05). Keadaan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Setyobudiandi (2004) yang mengatakan kerang hijau di Teluk Jakarta lebih besar dibandingkan daerah Teluk Banten. Keadaan ini didukung oleh Daerah Kamal banyak terdapat zat organik yang cukup tinggi yang berasal dari 13 anak sungai yang membawa sampah organik mengarah ke Muara Kamal (Riani et al. 2004), sehingga plankton dapat hidup subur. Dengan demikian maka berat kerang yang dibudidayakan di Perairan Kamal lebih besar dibanding dari daerah lain. Namun bila ditinjau dari hasil produksi dagingnya memperlihatkan bahwa Teluk Banten berbeda lebih tinggi (P<0,01) bila dibandingkan produksi daging dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada.

107 Tabel 24. Ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau jantan dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Panjang Lebar Tinggi A Teluk Jakarta n (cm) (cm) (cm) 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong ,15 ± 1,06 6,31 ± 0,72 6,40 ± 1,13 2,56 ± 0,70 1,97 ± 0,34 1,94 ± 0,31 3,01 ± 0,81 2,79 ± 0,33 2,80 ± 0,40 B C Rataan 339 6,63 ± 1,03 A 2,17 ± 0,59 A 2,87 ± 0,57 A Teluk Banten 1.Karangantu 60 7,30 ± 0,63 1,98 ± 0,19 3,05 ± 0,29 Rataan 7,30 ± 0,63 B 1,98 ± 0,19 A 3,05 ± 0,29 B Teluk Lada 1.Panimbang 130 6,53 ± 0,53 1,83± 0,19 2,83 ± 0,50 Rataan 6,53 ± 0,53 A 1,83± 0,19 B 2,83 ± 0,50 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis statistik ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang betina (lampiran 2-4) menunjukan bahwa ukuran panjang dan tinggi kerang hijau jantan yang berasal dari Teluk Banten lebih besar dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Jakarta (P<0,01), namun ukuran tersebut antara Teluk Jakarta dan Teluk Lada adalah sama (P>0,01). Ukuran lebar kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten berbeda (P<0,05) dan lebar kerang hijau yang berasal dari Teluk Lada lebih kecil dibandingkan dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten (P>0,01). Perbedaan ukuran-ukuran tubuh ini diduga terutama disebabkan oleh adanya perbedaan kadar pencemaran logam berat dan kandungan akumulasi logam berat dalam tubuh kerang. Ukuran tubuh panjang kerang baik betina maupun jantan dapat menentukan umur kerang. Menurut Vakily (1989) kerang hijau yang panjang 2-3 mm berumur 2-3 bulan dan telah mengalami matang kelamin. Oleh karena itu di duga umur kerang yang diambil sebagai sample dalam penielitian ini diduga berkisar 2 sampai 5 bulan. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan nelayan bahwa umur kerang berkisar 5 bulan. Model persamaan regresi yang dianalisis adalah BT= a + b (P), sebagai peubah bebas dalam persamaan ini adalah panjang (P), lebar (L), tinggi (T), berat tubuh (BT), berat daging (BD) dan berat cangkang (BC). Dari hasil analisis regresi sederhana kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Jakarta (Tabel 25), memperlihatkan bahwa semua ukuran-ukuran tubuh panjang, lebar, dan tinggi tubuh dapat digunakan sebagai penduga berat tubuh (BT), berat daging (BD) dan berat

108 cangkang (BC) (P<0,01). Juga bobot tubuh dapat digunakan sebagai penduga berat daging (P<0,05). Kecuali parameter panjang, dan tinggi tidak dapat digunakan sebagai penduga (P>0,05). Selain itu parameter panjang juga tidak dapat digunakan sebagai penduga berat cangkang (P>0,05). Keadaan ini diduga kerang hijau di Teluk Jakarta telah mengalami abnormal akibat dari pencemaran logam berat. Kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada dari hasil analisis regresi sederhana ukuran-ukuran tubuhnya dapat digunakan sebagai penduga (P<0,01), dan di Teluk Banten parameter lebar dapat juga digunakan sebagai penduga berat daging (P<0,05). Keadaan ini menunjukan ukuran-ukuran tubuh kerang Teluk Banten dan Teluk Lada masih normal dan model regresinya dapat digunakan sebagai penduga. Kerang hijau jantan, dari hasil analisis regresi liner sederhana (Tabel 26) kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta menunjukan ukuran-ukuran tubuh panjang, lebar dan tinggi dapat digunakan untuk menduga berat tubuh (P<0,01). Penduga berat cangkang hanya dapat digunakan parameter panjang (P<0.01), parameter penduga berat cangkang dapat juga digunakan lebar dan tinggi (P<0,05), seain itu berat daging dapat juga diduga dengan ukuran tinggi tubuh. Sedangkan berat daging tidak dapat diduga dengan parameter panjang dan lebar tubuh (P>0,05). Keadaan ini hampir sama dengan kerang betina karena ada parameter yang tidak dapat digunakan sebagai penduga, hal diduga ada kaitan antara pencemaran terhadap ukuran-ukuran tubuh kerang hijau betina dan jantan di Teluk Jakarta. Namun hasil analisis regresi sederhana ukuran-ukuran tubuh kerang hijau jantan yang berasal dari Teluk Banten dan Lada sangat nyata (P<0,01), artinya ukuran-ukuran tubuh seperti panjang, lebar dan tinggi dapat digunakan sebagai penduga berat tubuh, berat daging dan berat cangkang. Kecuali ukuran tubuh kerang jantan berasal dari Teluk Lada yaitu parameter tinggi tidak dapat digunakan untuk menduga berat daging kerang hijau (P>0,05). Keadaan ini menunjukan ukuran tubuh kerang jantan yang berasal dari Teluk Banten diduga homogen dan diindikasikan tidak adanya gangguan pertumbuhan, kecuali di Teluk Lada telah mulai mengalami pencemaran sesuai dengan laporan Muawanah et al. (2005).

109 Tabel 25. Hasil analisis regresi liner sederhana antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau betina di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Hubungan n Intersep b R² r 1 Teluk Jakarta BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD BT ,078 0,152-6,212 2,455 3,174 6,668 9,809 3,516 18,519 1,792 4,059 4,738 6,843 7,366 0,394 0,827-0,557-0,143 2,233-3,542 0,379 0, ,3% 43,2% 30,7% 3,1% 9,5% 1,8% 0,1% 15,6% 16,0% 63,4% 4,4% 0,84 0,66 0,55 0,18 0,31 0,13 0,03 0,39 0,40 0,80 0,21 2 Teluk Banten BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 50-24,265 0,833-29,650-8,559 1,085-11,046-15,707-0,253-18,605 0,891 0,249 5,432 7,717 14,909 1,985 2,592 5,615 3,447 5,125 9,295 0,537 0,369 85,2% 23,0% 85,4% 76,6% 17,5% 81,5% 83,5% 24,7% 80,8% 79,7% 91,7% 0,92 0,48 0,92 0,87 0,42 0,90 0,91 0,50 0,89 0,89 0,96 3 Teluk Lada BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 85-11,960-11,689-10,959-4,075-4,178-4,394-7,885-7,551-6,565 1,374 0,535 3,721 13,161 8,345 1,492 5,391 3,602 2,230 7,770 4,743 0,643 0,416 83,1% 65,3% 51,8% 71,4% 58,6% 51,7% 83,8% 64,0% 47,1% 78,8% 92,5% 0,91 0,81 0,72 0,84 0,77 0,72 0,92 0,80 0,69 0,89 0,96 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat daging.

110 Tabel 26. Hasil analisis regresi liner sederhana antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Hubungan n Intersep (a) 1 Teluk Jakarta BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD BT ,575-0,197-4,538 10,285 6,093 9,321 9,695 6,617 14,787 2,030 8,318 b R² r 5,586 7,215 6,969-0,495 1,356-0,874 0,185 1,657-1,265 0,426 0,084 66,8% 36,7% 32,0% 2,5% 0,2% 4,7% 0,1% 4,6% 3,9% 46,1% 4,2% 0,82 0,61 0,56 0,16 0,05 0,22 0,04 0,21 0,20 0,68 0,20 2 Teluk Banten BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 60-15,125-7,091-8,756-5,152-1,874-2,183-9,973-5,217-6,573 1,472 0,170 4,202 11,452 7,963 1,507 3,906 2,631 2,695 7,546 5,332 0,451 0,365 70,5% 47,4% 52,6% 54,0% 32,9% 34,2% 66,3% 47,1% 53,9% 53,0% 79,5% 0,84 0,69 0,72 0,73 0,57 0,58 0,81 0,69 0,73 0,73 0,89 3 Teluk Lada BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 130-8,678 0,157 8,722-0,046 1,571 4,772-8,628-1,418 3,952 2,965-0,963 3,320 6,991 1,505 0,944 2,475 0,473 2,375 4,517 1,031 0,458 0,545 43,3% 25,5% 8,1% 8,7% 8,0% 2,0% 71,0% 34,1% 12,1% 16,3% 73,9% 0,66 0,50 0,28 0,29 0,28 0,14 0,84 0,58 0,35 0,40 0,86 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat daging.

111 Analisis regresi berganda morfometrik kerang hijau betina dan jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada dapat dilihat pada Tabel 27 dan 28. Tabel 27. Hasil analisis regresi berganda antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau betina di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No LOKASI Hubungan Intersep 1 Teluk Jakarta (n=317) (n=114) (n=114) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -16,784-18,928-22,746 2,695 3,543 3,628 10,730 13,753 12,176-23,869 3,242 12,373 ß 1 ß2 ß3 r² r 3,851 4,291 7,157 0,009 0,749 0,797-1,318 1,143 1,662 2,202 0,450-0,230 3,037 1,951 7,834 0,777-1,283-0,400 2,976-4,649-2,670 4,863 0,406 1, ,905-0,780-2,343 76,3% 71,8% 77,9% 9,6% 9,9% 9,6% 21,7% 20,3% 23,7% 83,8% 10,6% 23,8% 0,87 0,85 0,88 0,31 0,32 0,31 0,47 0,45 0,48 0,92 0,33 0,49 2 Tlk. Banten (n=50) (n=50) (n=50) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -26,401-29,435-31,013-9,075-10,987-11,269-17,327-18,448-19,745-30,659-11,173-19,488 5,116 2,844 1,795 1,909 0,769 0,294 3,207 2,075 1,501 2,784 0,760 2,024 2,850 7,939 14,153 0,528 3,729 5,491 1,658 4,211 8,663 1,606 0,243 1, ,409 3,649 3,760 86,7% 90,1% 86,4% 77,2% 83,8% 81,7% 85,7% 86,9% 82,5% 90,9% 84,0% 88,3% 0,93 0,95 0,93 0,88 0,92 0,90 0,93 0,93 0,91 0,95 0,92 0,94 3 Teluk Lada (n=85) (n=85) (n=85) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -14,511-15,493-16,373-5,258-6,068-6,456-9,253-9,425-9,917-15,600-6,559-10,101 2,881 3,118 9,574 1,102 1,151 3,647 1,779 1,967 5,927 2,608 0,937 1,671 4,396 2,670 4,615 2,038 1,506 1,952 2,358 1,164 2,062 3,376 1,420 1, ,072 1,254 0,817 86,1% 86,2% 72,4% 74,9% 76,8% 67,7% 86,3% 85,5% 69,3% 87,8% 78,3% 87,1% 0,93 0,93 0,85 0,87 0,88 0,82 0,93 0,93 0,83 0,94 0,88 0,94 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi,bc= berat cangkang dan BD= berat daging.

112 Tabel 28. Hasil analisis regresi berganda antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No LOKASI Hubungan Inter-sep ß 1 ß2 ß3 r² r 1 Tlk. Jakarta (n=339) (n=98) (n=98) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -21,314-24,054-18,036 10,113 10,867 9,274 9,285 10,952 10,325-24,802 10,603 10,241 4,854 4,884 6,814-0,792-0,270 0,014-0,526 0,670 1,398 3,352-0,506 0,319 2,116 2,484 6,520 0,870-0,739-0,871 2,077-1,598-1,015 3,468 0,506 1, ,663-0,532-1,037 68,8% 69,8% 64,6% 4,8% 5,3% 4,7% 5,4% 5,4% 7,0% 74,6% 5,6% 7,0% 0,83 0,84 0,80 0,22 0,23 0,22 0,23 0,23 0,26 0,86 0,24 0,26 2 Tlk. Banten (n=60) (n=60) (n=60) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -17,957-18,658-16,372-5,966-6,060-4,860-11,990-12,598-11,512-20,713-6,663-14,650 3,351 3,172 7,417 1,262 1,242 2,607 2,081 1,930 4,809 2,552 1,060 1,492 4,572 3,619 5,654 1,315 0,930 1,819 3,257 2,689 3,835 3,887 1,142 2, ,258 0,824 2,434 75,1% 77,1% 68,0% 56,3% 56,6% 45,6% 71,7% 74,6% 68,7% 80,4% 58,3% 78,4% 0,87 0,88 0,82 0,75 0,75 0,67 0,85 0,86 0,83 0,89 0,76 0,89 3 Tlk. Lada (n=130) (n=130) (n=130) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -10,405-9,471-1,534-0,926-0,331-1,083-9,477-9,135-2,618-10,978-1,116-9,860 2,738 3,160 6,435 0,647 0,887 2,315 2,089 2,273 4,122 2,636 0,613 2,021 3,011 0,647 0,957 1,534 0,233 0,276 1,480 0,414 0,680 2,841 1,478 1, ,548 0,181 0,366 46,7% 44,6% 28,6% 10,9% 9,1% 8,6% 73,6% 72,8% 39,1% 47,6% 11,2% 75,0% 0,68 0,67 0,53 0,33 0,30 0,29 0,86 0,85 0,63 0,69 0,33 0,87 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat Daging,

113 89 Hasil analisis berganda dengan model BT= ß 0 + ß 1 (P) + ß 2 (L) + ß 3 (T) dan demikian pula variabel BD dan BC dari semua lokasi penelitian menunjukan bahwa model ini sangat terandal (P<0,01) untuk digunakan sebagai pendugaan baik kerang hijau betina maupun jantan, kecuali pada daerah Teluk Jakarta kerang hijau jantan sebagai pendugaan berat daging dan berat cangkang adalah panjang, lebar dan tinggi modelnya lemah (P>0,05), namun berat cangkang dapat diduga dengan ukuran tubuh lebar dan tinggi (P<0,05). Keadaan ini hampir sama dengan analisis regresi sederhana dimana ukuran-ukuran tubuh di Teluk Jakarta sebagian tidak dapat digunakan sebagai penduga, hal ini diduga telah terjadi malmorfologi pada kerang hijau akibat dari pencemaran logam berat Gametogenesis Kerang Hijau (Perna viridis). Gametogenesis adalah suatu proses proliferasi sel-sel kelamin dengan cara mitosis dan miosis, kemudian sel-sel tersebut mengalami proses metamorphose menjadi individu gamet. Proses gametogenesis ada dua macam yaitu spermatogenesis pada mahluk jantan dan oogenesis pada makhluk betina. Spermatogenesis adalah proses proliferasi sel-sel kelamin jantan melalui proses mitosis dan miosis, lalu dilanjutkan proses metamorfose menjadi spermatozoa. Sedangkan oogenesis adalah suatu proses proliferasi sel-sel kelamin betina melalui proses mitosis dan miosis sehingga terbentuk ova Spermatogensis Hasil penelusuran menurut petunjuk Clermont (1962), dari 30 lembar foto hasil pemotretan jaringan histologi gonad jantan kerang hijau Perna viridis L diperoleh delapan stadium dalam perkembangan spermatogenesis, stadium perkembangan spermatogenesis dapat dilihat pada Gambar 19. Stadium spermatogenesis setiap spesies berbeda-beda seperti pada mencit 12 stadium (Oakberg 1956), domba 8 stadium (Linsay et al. 1982), kera 12 stadium (Clermont dan Leblon 1959) dan manusia 6 stadium (Clermont 1963). Hasil ini sangat berbeda seperti yang dianjurkan Chipperfied (1953) bahwa untuk melihat kematangan gonad moluska kelas bivalva ada empat stadium, baik untuk betina maupun jantan. Namun menurut hasil penelitian Mason dan Seed

114 bahwa untuk melihat stadium perkembangan gonad kerang gajah Chlamys nobilis ada enam stadium (Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa stadium perkembangan gonad tersebut berlaku baik untuk jantan maupun betina. Namun dari hasil penelitian ini perkembangan gonad kerang hijau Perna viridis jantan dan betina tidak sama. Pada jantan perkembangan gonad jantan bila dilihat dari stadium perkembangan spermatogenesis diperoleh ada delapan stadium, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 19. Menurut berbagai peneliti stadium spermatogenesis dari berbagai spesies hewan ada yang tidak sama dan ada juga yang sama. Misalnya pada tikus dewasa diketahui terdapat 14 macam asosiasi stadium epitel semeniferus (Leblon dan Clermont 1952). Namun pada mencit 12 stadium (Oakberg 1956), kera 12 stadium (Clermont dan Leblond 1959), domba 8 stadium (Linsay et al. 1982), sapi 12 stadium (Garner dan Hafez 1987) dan manusia 6 stadium (Clermont, 1963). Pada penelitian ini terlihat pada Gambar 19, bahwa setiap stadium (stadium) dalam spermatogenesis kerang hijau dapat dirinci sebagai berikut : Stadium I. Sel-sel germinal ephitel (Spermatogonium) mulai membelahan secara mitosis, dengan diameter lumen masih kecil dan jumlah sel-sel sekitar kurang dari 100 sel-sel spermatogonium.ukuran sel-sel semuanya homogen. Stadium II. Sel-sel spermatongonium giat melakukan pembelahan secara mitosis dengan jumlah sel-sel sampai 500 spermatogonium. Dengan ukuran diameter lumen 2 kali lebih besar dari stadium pertama. Ukuran selsel sama dengan stadium pertama. Stadium III. Sel-sel spermatogonium sedang giat melakukan pembelahan secara mitosis, jumlah sel-sel lebih dari 1000 sel dan ukuran diameter lumen 3 kali lebih besar dari stadium pertama. Stadium IV. Pada stadium ini telah terjadi kegiatan pembelahan miosis, stadium ini menunjukan sel-sel spermatosit primer terbentuk dengan ukuran lebih kecil dari sel-sel spermatogonia. Jumlah sel-sel spermatosit primer sekitar dibawah 100 sel.

115 Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4. Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8 Gambar 19. Stadium spermatogenesis pada kerang hijau.

116 Stadium V. Pada stadium ini telah terjadi kegiatan pembelahan meosis II, dimana sel-sel spermatosit primernya masih ada dan melakukan pembelah menjadi sel-sel spermatosit sekunder dengan ukuran lebih kecil dari sel-sel spermatosit primer. Jumlah sel-sel spermatosit sekunder ± 500 sel. Pada stadium ini sel-sel spermatosit primer mengalami meta mertamorfose menjadi spermatozoa. Sel-sel spermatozoa telah terbentuk dengan ukuran lebih kecil dari sel-sel spermatosit sekunder, jumlahnya lebih dari 500 sel. Stadium VI. Pada stadium ini telah selesai pembelahan meosis II, sel-sel spermatosit sekunder berjumlah kurang dari 500 sel, dan hampir seluruhnya berubah (metamorfose) menjadi spermatozoa. Stadium VII. Pada stadium ini seluruh sel-sel spermatosit sekunder telah mengalami metamorfose sehingga sel-sel menjadi spermatozoa. Stadium VIII. Seluruh spermatozoa telah dikeluarkan dari lumen folikel, sehingga tinggal sisa-sisa jaringan pengikat dan sitoplasma dari spermatozoa Oogenesis Hasil penelusuran menurut petunjuk Clermont (1962) dan Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh (1999) bahwa dari 30 lembar photo hasil pemotretan jaringan histologi gonad betina kerang hijau Perna viridis diperoleh enam stadium perkembangan oogenesis. Petunjuk Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh (1999) dapat dilihat Gambar 13. Penelitian ini memperlihatkan hasil yang sangat berbeda seperti yang ditunjukan Chipperfied (1953) bahwa untuk melihat kematangan gonad moluska kelas bivalva baik untuk betina maupun jantan ada empat stadium. Selanjutnya menurut hasil penelitian Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh, (1999) bahwa perkembangan gonad kerang klam Chlamy nobilis secara histologis diperoleh lima stadium perkembangan pada kerang betina. Sedangkan menurut hasil penelitian Mason dan Seed bahwa untuk melihat stadium perkembangan gonad kerang gajah Chlamys nobilis ada enam stadium, stadium tersebut berlaku baik jantan maupun betina (Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh 1999). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, yakni diperoleh enam stadium perkembangan gonad betina

117 kerang hijau Perna viridis L, enam stadium perkembangan gonad tersebut dapat dilihat pada Gambar 20. Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Gambar 20. Stadium perkembangan oogenesis pada kerang hijau.

118 Pada Gambar 20 dapat dilihat stadium perkembangan gonad kerang betina dengan rincian sebagai berikut : Stadium I: Mulai terjadi proses oogenesis, ovari tidak memiliki folikel dan terbentuknya garis-garis bakal oosit. Stadium II: Awal proses oogenesis dimana ova mulai mengisi lumen folikel, oosit mulai berkembang di dalam folikel dan oosit sangat kecil dan menjulur. Stadium III: Pertengahan proses oogenesis dimana ova mulai mengisi lumen folikel, oosit mulai berkembang mendekati dinding folikel dan oosit mulai membesar dan menjulur. Stadium IV: Akhir oogenesis dimana telah terbentuk ova yang dikelilingi sitoplasma berbentuk poligon, namun masih ada yang berbentuk menjulur. Ova matang, ova berbentuk elipe dan kompak. Dinding folikel diantara ova tipis dan halus dan ber-crenate dalam ovari. Stadium V: Mulai Istirahat dimana terlihat folikel pada ovarium menghilang, ova dikeluarkan, dinding folikel antara ova sangat tipis dan crenate hilang, beberapa ova mengalami sitolisis. Stadium VI: Istirahat (Regresi) dimana tidak ada sel-sel gamet, jaringan insterstial dan amoebosit paling banyak terlihat, folikel kosong, terdapat sedikit sisa kematangan ova dan kadang-kadang juga masih ada oosit terlihat di folikel. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerang hijau mempunyai jenis kelamin yang menetap. Hal ini terbukti dari 40 preparat gonad kerang hijau jantan dan betina secara histologi tidak ditemukan folikel jantan dan betina secara bersamaan dalam satu prefarat gonad. Hal ini sama dengan hasil penelitian Jabbar dan Davis (1987) pada kerang biru Mytilus edulis, reproduksinya berbentuk jenis kelamin hermaprodis yang terpisah, yakni karakteristik jantan dapat dilihat pada bagian dalam kerang berwarna putih sampai krem, sedangkan betina berwarna oranye (kekuningan). Namun lain halnya dengan kerang gajah Tridacna gigas menurut hasil penelitian Nash et al. (1988) bahwa reproduksinya berbentuk jenis

119 kelamin hermaprodis yang bersatu, yakni dalam satu gonad terdapat dua folikel jantan dan betina Bioakumulasi Logam Berat pada Gonad. Bioakumulasi logam Pb, Cd, Cr dan Hg dalam gonad kerang hijau jantan dan betina dari berbagai lokasi dapat dilihat pada Tabel 29 dan 30. Tabel 29. Kandungan logam berat pada gonad betina kerang hijau Perna viridis ber asal dari lokasi Kamal, Marunda Gembong, Karangantu dan Panimbang. No. Lokasi Logam Ullangan Rataan Kamal Pb(ppm) 0,0700 1,1600 1,8900 0,8700 0,9975 Cd (ppb) 11, , , , ,6413 Cr (ppb) 1010, , , , ,500 Hg (ppb) 0,0953 0,0157 0,0235 0,0325 0, Marunda Pb(ppm) 0,3440 0,3600 0,1730 0,9800 0,4643 Cd (ppb) 41, , , , ,8060 Cr (ppb) 26, , , , ,0365 Hg (ppb) 0,0456 0,0097 0,0163 0,0043 0, Gembong Pb(ppm) 0,1660 0,2830 0,1780 0,7300 0,3393 Cd (ppb) 26, , , , ,3705 Cr (ppb) 25, , , , ,5410 Hg (ppb) 0,0087 0,0099 0,0019 0,0027 0, Panimbang Pb(ppm) ttd ttd 0,0730 ttd 0,0183 Cd (ppb) ttd 13, ,1850 ttd 6,0690 Cr (ppb) ttd ttd ttd ttd ttd Hg (ppb) ttd ttd ttd ttd ttd 5 Karangantu Pb(ppm) ttd 0,0840 ttd ttd 0,0210 Catatan : ttd = tidak terdeteksi Cd (ppb) 12,3800 ttd ttd 15,3700 6,9375 Cr (ppb) ttd ttd ttd ttd ttd Hg (ppb) ttd ttd ttd ttd td Dari Tabel 29 terlihat bahwa kerang hijau betina yang ada di Teluk Jakarta, gonadnya telah mengandung logam berat yaitu logam Pb, Cd, Cr, dan Hg. Menurut Zenzes et al. (1995) logam Cd dapat terakumulasi dalam oosit dan dalam cairan folikel. Demikian pula hasil penelitian Stoneburne et al. (1980) pada perairan laut yang tercemar logam berat seperti Cr, Hg, Pb, Co Ni dan Mo terakumulusasi di dalam telur kura-kura laut (Caretta carreta) di lautan Atlatik Barat. Hasil penelitian

120 di tiga lokasi di Teluk Jakarta memperlihatkan bahwa keempat unsur tersebut terdapat dalam gonad kerang hijau betina, rataan kandungan logam Pb = 600,33±544,83 ppb; Cd = 32,273±28,091ppb; Cr = 527,36±461 ppb dan Hg = 0,0161±0,0131 pbb, namun kandungan logam-logam tersebut masih lebih rendah dibandingkan baku mutu makanan. Menurut The Codex Committee on Food Additive and Contaminants nilai maksimum kadmium pada makanan seperti sekitar 0.4 mg/kg atau setara 0,4 ppm atau 400 ppb (Arao dan Ishikawa, 2006). Namun menurut Darmono (1995) logam Cd pada daging ikan diperbolehkan maksimal sekitar 50 ppb. Selanjutnya dijelaskan bahwa dosis 24 ppm yang termakan pada anak-anak dapat menurunkan kecerdasan. Menurut FAO-WHO kandungan Hg dalam Tabel 30. Kandungan logam berat pada gonad jantan kerang hijau Perna viridis ber asal dari lokasi Kamal, Marunda Gembong, Karangantu dan Panimbang. No. Lokasi Logam Ulangan Rataan Kamal Pb(ppm) 0,1870 0,0890 0,1860 0,6700 0,2830 Cd (ppb) 44, , , , ,1170 Cr (ppb) 14, , , , ,0878 Hg (ppb) ttd 0,0093 ttd 0,0208 0, Marunda Pb(ppm) 0,2600 0,0890 0,4560 0,8400 0,4113 Cd (ppb) 27, , , , ,9268 Cr (ppb) 13, , , , ,9013 Hg (ppb) 0,0090 ttd 0,0095 0,0247 0, Gembong Pb(ppm) 0,3740 0,0900 0,2860 0,7900 0,3850 Cd (ppb) 29, , , , ,6333 Cr (ppb) 14, , , , ,6298 Hg (ppb) ttd 0,0094 0,0100 0,0182 0, Panimbang Pb(ppm) ttd ttd ttd ttd Ttd Cd (ppb) ttd ttd ttd ttd Ttd Cr (ppb) ttd ttd ttd ttd Ttd Hg (ppb) ttd ttd ttd ttd Ttd 5 Karangantu Pb(ppm) 0,0700 ttd ttd ttd 0,0175 Cd (ppb) 11,1810 ttd 14,1840 ttd 6,3413 Cr (ppb) ttd ttd ttd ttd ttd Hg (ppb) ttd Ttd ttd ttd ttd Catatan : ttd = tidak terdeteksi

121 makanan tidak boleh melebihi batas ambang maksimal sekitar 30 ug/kg (setara 0,03 ppm= 30 ppb). Namun menurut Vettorazzi bahwa Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) merekomendasikan lebih rendah lagi yaitu Hg (total) 5 ppb dan Hg (metil) 3,3 ppb (Darmono, 2001). Selanjutnya dijelaskan lagi bahwa batas maksimalkandungan logam Pb 50 ppb, dan Cd 8,3 ppb. Berdasar batas ambang maksimal PTWI menunjukan bahwa gonad kerang betina telah mengalami pencemaran yang berat. Kandungan logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg juga terdapat dalam gonad kerang hijau jantan (Tabel 30), rataan yang diperoleh di Teluk Jakarta adalah Pb=359,75±272,41ppb; Cd=36,559±21,90 ppb; Cr=504,21±448,64 ppb dan Hg=0,0092± 0,0085 ppb. Menurut batas ambang PTWI-WHO mengindikasikan bahwa kerang di Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran yang berat. Keadaan ini didukung oleh laporan Wahyuni et al. (1993) bahwa daging kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta mengadung logam berat Hg 1,443 ppm; Pb ppm;cu ppm; Cd ppm dan Zn Dari data tersebut baik kerang jantan maupun betina di Teluk Jakarta tinggi terjadi akumulasi logam berat krommium (Cr) dalam gonadnya. Menurut Hastuti et al. (2006) kandungan logam tersebut belum berpengaruh negatif terhadap kondisi tubuh ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) bahkan sampai pemberian dosis 1,5 ppm kromium trivalen dalam suplemen pakan dapat menyebabkan resistensi terhadap stress penurunan suhu lingkungan yang terbaik, sehingga menghasilkan pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan yang jauh lebih baik. Hasil analisis kandungan logam berat dalam kerang hijau betina dan jantan yang berasal dari Karangantu, Teluk Banten dan Panimbang, Teluk Lada menunjukan ada indikasi kedua teluk tersebut telah mengalami pencemaran logam Pb dan Cd. Keadaan tersebut wajar karena Propinsi Banten telah padat penduduk dan Industri telah berkembang pesat. Selain itu juga perairan ini telah digunakan sebagai transportasi masa. Menurut hasil penelitian Muawanah et al. (2005) bahwa Teluk Lada khususnya di Daerah Panimbang perairan lautnya telah tercemar oleh logam berat seperti Hg 0,001-0,021 ppm: Pb 0,005-0,023 ppm dan Cu 0,005-0,065 ppm.

122 4.5. Dampak Pencemaran Logam Berat terhadap Gametogenesis Hasil analisis histologis gonad kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta meliputi daerah Kamal, Marunda dan Gembong menunjukan sel-sel kelamin kerang hijau betina yang telah mengalami degradasi dan debris, dengan kata lain sel-sel oosit dan ova telah mengalami penyusutan, lalu hancur (lisis) dan hilang seperti terlihat pada Gambar 21. Kamal Marunda Keterangan: Histologi gonad betina kerang hijau di Kamal, Marunda dan Gembong Teluk Jakarta terdapat oosit yang degenerasi/menyusut dan hilangnya oosit Gembong Gambar 21. Kelainan histologi pada sel kelamin kerang hijau betina di daerah Kamal, Marunda dan Gembong, Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta. Menyusut, debris, lisis, dan hilangnya sel-sel gamet menurut Ochiai (1987) bahwa ion-ion logam Hg, Pb dan Sn dapat larut dalam lemak mampu melakukan penetrasi pada dinding membran sel, sehingga akhinya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam sel dan organ lain. Terakumulasinya ion-ion logam tersebut akan mennyebabkan tergangunya aktifitas enzime dan metabolisme dalam sel,

123 sehingga perkembangan sel terhambat, sel-sel menjadi lisis dan mati. Hasil penelitian Gosling (1992) menyatakan bahwa kerang yang tercemar logam berat akan menyebabkan terganggunya perkembangan gamet dan biasanya gamet mengalami degenerasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bioakumulasi logam berat dapat terjadi pada sistem vacuola dari organel lisosom tempat logam ditangkap oleh granula-granula sehingga logam terakumulasi dan organel ini akan menyebabkan degenerasi. Menurut Viarengo (1989) bahwa pencemaran logam Cu dan Cd dapat menyebabkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel. Selain itu juga mempengaruhi proses oksidasi, kerja enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel. Sebagai tindak lanjut proses bioakumulasi logam berat yang toksik akan mengalami biotransformasi dalam sel-sel, sehingga menyebabkan terjadinya mutasi gen-gen. Perubahan sensitif terjadi pada saat pembelahan sel-sel pada stadium metaphase dimana akan terjadi perubahan susunan kromosom akibat perubahan suhu dan kimia lingkungan. Menurut Dixon (1982) lebih lanjut dijelaskan akibat pencemaran logam yang berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan susunan gen-gen pada kromosom dan bahkan akan menyebabkan abrasi kromosom, keadaan ini telah dibuktikan pada kerang biru (M. edulis). Menurut Ochiai (1987) mekanisme logam berat dalam tubuh yang mengakibatkan toksik ada tiga macam yaitu: 1. Memblokir atau menghalangi kerja gugusan biomolekul yang esensial untuk proses-proses biologi, seperti protein dan enzime. Mekanisme kerja reaksi logam terhadap protein pada umumnya menyerang ikatan sulfida. Penyerangan terhadap ikatan sulfida yang selalu ada pada molekul protein itu akan menimbulkan kerusakan dari struktur protein terkait. 2. Menggantikan ion-ion logam esensial yang terdapat dalam molekul terkait. 3. Mengadakan modifikasi atau perubahan bentuk dari gugusan aktif yang dimiliki biomolekul. Histologi gonad kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada secara histologi terlihat masih normal, dan tidak ada indikasi terjadinya degradasi, regresi, debris dan lisis serta hilangnya sel-sel kelamin yang berupa oosit dan ova, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 22.

124 Karangantu, Teluk Banten Panimbang, Teluk Lada Keterangan: Histologi gonad betina kerang hijau Karangantu, Teluk Banten kelihatan ada ova yang lisis dan hilang. Panimbang, Teluk Lada histologinya normal tidak ada ova yang lisis. Gambar 22. Histologi normal pada sel kelamin kerang hijau betina di daerah Teluk Banten dan Teluk Lada Propinsi Banten. Histologi gonad jantan kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta yaitu daerah Kamal, Marunda dan Gembong, serta dari Teluk Banten yaitu daerah Karangantu dan Teluk Lada yaitu daerah Panimbang, dapat dilihat pada Gambar 23. Dari hasil observasi histologi gonad kerang jantan yang berasal dari Teluk Jakarta menunjukan indikasi bahwa diameter lumen folikel lebih kecil bila dibandingkan dengan lumen folikel yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Selain itu juga terlihat sel-sel kelamin di dalam lumen folikel agak renggang bila dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Kondisi ini diduga diakibatkan oleh ion-ion logam Pb, Hg, Cr dan Cd telah terjadi penetrasi ke dalam sel-sel dan mempengaruhi aktifitas enzim atau metabolis di dalam sel-sel, sehingga perkembangan sel-sel gamet terhambat, lisis dan mati. Dengan demikian kondisi tersebut diduga memungkinkan penyebab diameter folikel mengecil dan jumlah selsel berkurang.

125 Kamal, Teluk Jakarta Marunda, Teluk Jakarta Gembong, Teluk Jakarta Karangantu, Teluk Banten Keterangan: -Diameter lumen folikel gonad jantan kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Panimbang, Teluk Lada Gambar 23. Diameter lumen folikel gonad jantan kerang hijau daerah Kamal, Marunda dan Gembong Teluk Jakarta, Karangantu Teluk Banten dan Panimbang, Teluk Lada. Ukuran diameter inti sel-sel kelamin jantan dan betina kerang hijau Perna viridis L yang berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada dapat dilihat Tabel 31.

126 Tabel 31. Rataan diameter inti sel-sel kelamin betina dan jantan kerang hijau. No JENIS KELAMIN SEL-SEL KELAMIN RATAAN DIAMETER INTI SEL (µm) A. BETINA 1. Oogonia 2. Oosit primer 3. Oosit sekunder 1,5097 ± 0,3475 2,8170 ± 0,5038 1,7768 ± 0,3974 B. JANTAN 1. Spermatogonia 2. Spermatosit primer 3. Spermatosit sekunder 4. Spermatozoa 1,2011 ± 0,1021 1,0510 ± 0,0923 0,5394 ± 0,1059 0,3615 ± 0,3615 Sel-sel kelamin jantan yang diukur pada penelitian ini adalah spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatozoa yang diukur dapat dilihat Gambar 24. B A D C Gambar 24. Sel-sel kelamin jantan kerang hijau Perna viridis; A, spermatogonia; B, spermatosit primer; C, spermatosit sekunder dan D, Spermatozoa. Sel-sel kelamin betina yang diukur pada penelitian ini yaitu oogonia, oosit primer, dan oosit sekunder yang diukur dapat dilihat Gambar 25.

127 C B A Gambar 25. Sel-sel kelamin betina kerang hijau. A, oogonia; B; oosit primer dan C, oosit sekunder Hasil observasi jumlah sel-sel kelamin betina kerang hijau di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Banten Lada dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Rataan sel-sel kelamin betina kerang hijau berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi N Sel-sel kelamin betina Jumlah sel A Teluk Jakarta Oogonia Oosit primer Oosit sekunder 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong ,70 ± 4,12 12,86 ±4,96 13,84 ±4,13 20,04 ± 9,30 25,38 ± 13,34 15,94 ± 6, ± 4, ± 4, ± 2,72 40,52 ± 13,42 47,48 ± 19,41 37,62 ± 9,47 B C Rataan 13,14±2,56 A 20,45 ± 6,17 A 8,28±2,01 A 41,87±8,60 A Tlk.Banten 1.Karangantu 80 12,86 ± 4,00 31,92 ± 10,61 7,12 ± 4,26 51,901± 16,38 Rataan 12,86±4,00 A 31,92 ± 10,61 B 7,12±4,26 A 51,901±16,38 A Teluk Lada 1.Panimbang 80 19,33 ± 9,08 46,33 ± 18,69 14,71 ± 10,12 80,37 ± 30,64 Rataan 19,33±9,08 B 46,33 ± 18,69 c 14,71±10,12 B 80,37±30,64 B Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis statistik (lampiran 25) menunjukan jumlah oogonia kerang yang berasal dari Teluk Jakarta tidak berbeda dengan Teluk Banten (P>0,05), akan tetapi sangat tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Lada (P<0,01).

128 Selanjutnya setelah sel mengadakan proliferasi secara mitosis jumlah sel-sel oogonia primer pada kerang yang berasal dari Teluk Jakarta sangat rendah dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada (P<0,01). Pada tahap pembelahan kedua yaitu meiosis menunjukan jumlah oosit sekunder yang berasal dari Teluk Jakarta tidak berbeda dibandingkan dengan Teluk Banten, namun sangat nyata sedikit jumlah oosit sekundernya dibandingkan dengan Teluk Lada. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah sel-sel kelamin. Keadaan ini diduga karena pada saat pembelahan sel-sel oogonia, tepatnya pada metaphase terganggu oleh adanya kandungan logam berat sebagai akibat Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gosling (1992) yang mengatakan bahwa dengan terjadinya akumulasi logam berat akan mempengaruhi proses gametogenesis. Perbandingan ukuran diameter, luas dan volume lumen pada gonad betina kerang hijau berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Diameter, luas dan volume lumen pada gonad betina kerang hijau berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi PARAMETER A Teluk Jakarta n Diameter (µm) 1.Kamal 80 14,84 ± 2,69 2.Marunda 80 16,42 ±3,15 3.Gembong 80 13,67 ± 2,5 Luas lumen (µm 2 ) 178,54 ± 64,20 68,88 ± 26,64 48,36 ± 17,22 Volume lumen (µm 3 ) 714,16 ± 256,78 279,52 ± 106,55 193,45 ± 68,89 B Rataan 14,98±1,66 A 98,93±23,55 A 395,71±94,21 A Teluk Banten 1.Karangantu 80 19,22 ± 3,23 298,22 ± 101, ,89±407,86 Rataan 19,22 ± 3,23 B 298,22 ± 101,96 B 1192,89±407,86 B C Teluk Lada 1.Panimbang 80 24,38 ± 6,38 519,83 ± 282, ,33±1131,44 Rataan 24,38 ± 6,38 C 519,83 ± 282,86 C 2079,33±1131,4 C Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Parameter diameter, luas dan volume potongan lumen folikel dalam gonad kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Jakarta menunjukan lebih kecil dibandingkan dengan Teluk Banten dan Teluk Lada (P<0,01). Keadaan ini diduga

129 kecilnya ukuran diameter, luas dan volume lumen folikel disebabkan pengaruh dari kombinasi zat-zat pencemar, terutama logam berat seperti Pb, Cd, Cr dan Hg, sehingga sel-sel jaringan pengikat dan sel-sel granulosa serta sel-sel kelamin mengalami kemunduran proses pembelahan dan terjadi degenerasi jaringan tersebut. Hal ini sesuai pendapat Fimreite (1971) merkuri dapat menyebabkan penurunan daya tetas, jumlah produksi telur, dan penurunan berat telur burung. Parameter jumlah spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan jumlah spermatozoa dari berbagai lokasi penelitian dapat dilihat Tabel 34. Tabel 34. Rataan sel-sel kelamin jantan kerang hijau berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No A LOKASI Teluk Jakarta 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong N Spermatogonia 133,85 ± 52,92 152,51±90,27 127,75 ± 1,56 SEL-SEL KELAMIN JANTAN Spermatosit primer 331,21±149,38 278,04±224,79 263,95±15,95 Spermatosit sekunder 372,65±175, ±263,42 275,57±158,92 Spermatozoa. 1144,32±80,9 659,56±309,9 665,72±3,8 B C Rataan ,37±31,9 A 290,79±138,09 A 301,6±122,1 A 823,3±330,2 A Teluk Banten 1.Karangantu ,02±21,79 660,40 ± 63,81 656,69±128, ,12±76,1 Rataan ,02±21,8 B 660,4 ± 63,8 B 656,7±128,5 B 1514,1±76,1 B Teluk Lada 1.Panimbang ,2±132,29 435,89±192,89 516,91±225, ,05±594,9 Rataan ,2±132,2 B 435,9±192,9 B 516,9±225,3 B 2011,1±594,9 C Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis statistik (Lampiran 26) menunjukkan bahwa jumlah se-sel spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder dan spermatozoa yang berasal dari gonad kerang hijau Teluk Jakarta lebih rendah dibandingkan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada (P<0,01). Keadaan ini menunjukan senyawa pencemar terutama logam berat seperti Pd, Cd, Cr dan Hg telah mempengaruhi perkembangan sel-sel kelamin tahap awal yaitu spermatogonia. Karena pada tahap pengandaan sel-sel spermatogonium terjadi proses pembelahan mitosis sehingga sampai terbentuknya spermatosit primer dan berikutnya sel-sel tersebut akan mengalami pembelahan miosis dimana akan terbentuk spermatosit

130 sekunder. Menurut Au et al. (2004) pemberian kadmium pada spermatozoa kerang hijau dan bulu babi (sea urchin) dapat merubah ukuran dan bentuk tubuh bagian tengah spermatozoa sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan dalam berenang. Selain itu menyebabkan; a) membrane plasma kusut, menipis dan mempengaruhi integritas spermatozoa, b) membrane mitokondria tidak menjadi kompak dan terjadi gangguan suplai energi ATP untuk pergerakan spermatozoa. Pada hewan bulu babi kadmium dapat menyebabkan kerusakan organel sel lebih parah lagi dibandingkan dengan kerang hijau. Parameter jumlah sel-sel kelamin jantan, diameter lumen folikel, luas lumen folikel dan volume lumen folikel pada Tabel 35. Tabel 35. Rataan jumlah sel-sel kelamin, diameter dan volume lumen pada kerang hijau jantan berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No A LOKASI Teluk Jakarta 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong.. n Jumlah sel kelamin jantan 1986,03±458, ,39±1135, ,18±177,17 Diameter lumen (µm) 37,28±3,51 31,40±12,79 32,09±2,27 PARAMETER Luas lumen (µm 2 ) 1157,35±198,66 799,54±668, ,29±986,29 Volume lumen (µm 3 ) 4629,38±794, ,17±2676, ,15±3945,67 B C Rataan 1559,2±590,2 A 33,59±6,19 A 1421,7±617,9 A 5686,9±2472,2 A TelukBanten 1.Karangantu ,23±290,10 48,79±7, ,78±511, ,10±2046,71 Rataan 3029,2±290,1 B 48,79±7,23 B 1891,8±511,7 B 7567,1±2046,7 B Teluk Lada 1.Panimbang ,08±1145,47 43,51±10, ,11±605, ,29±29,0 Rataan 3181,1±1145,5 B 43,5±10,1 C 1514,11±605,1 A 6056,3±29,0 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis statistik menunjukan bahwa jumlah sel-sel kelamin, diameter lumen folikel, luas lumen folikel dan volume folikel dari gonad kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta lebih kecil bila dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada (P<0,01). Selanjutnya parameter tersebut lebih tinggi pada kerang hijau yang berasal dari Panimbang, Teluk Lada dibandingkan dengan yang berasal dari Karangantu, Teluk Banten. Hal ini menunjukkan bahwa kerangkerang yang berasal dari Teluk Lada belum begitu terpengaruh oleh pencemaran, hal ini sesuai dengan laporan Muawanah et al. (2005) yang mengatakan bahwa air laut

131 pantai Desa Panimbang telah mengalami pencemaran merkuri, kuprum dan timah hitam. Analisis regresi liner sederhana (Lampiran 13) menunjukan bahwa tidak ada satu pun persamaan regresi antara jumlah se-sel kelamin jantan dan betina dengan kandungan logam Pb, Hg, Cd dan Cr dalam gonad yang pantas digunakan sebagai penduga (P>0,05). Namun untuk menerangkan hubungan-hubungan (korelasi) antara parameter masing-masing sel-sel kelamin jantan dan betina kerang hijau dengan masing-masing logam berat yang terdapat dalam gonad akibat pencemaran di Teluk Jakarta dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel. 36. Korelasi antara sel-sel kelamin dengan logam pencemar. BETINA Parameter JANTAN No Parameter Pb Cd Cr Hg Pb Cd Cr Hg 1 Oogonia 0,44 0,30 0,69 0,45 Spermatogenia 0,30 0,47 0,44 0,68 2 Oosit 0,48 0,48 0,30 0,49 Spermatosit 0,32 0,47 0,42 0,45 primer primer 3 Oosit 0,75 0,57 0,57 0,74 Spermatosit 0,38 0,54 0,23 0,61 sekunder sekunder 4 Jumlah 0,37 0,63 0,43 0,47 Spermatozoa 0,19 0,64 0,28 0,50 sel-sel 5 Diameter 0,37 0,47 0,45 0,33 Jumlah sel 0,21 0,60 0,18 0,53 6 Luas 0,76 0,71 0,57 0,70 Diameter 0,26 0,57 0,29 0,51 7 Volume 0,78 0,74 0,66 0,58 Luas 0,19 0,71 0,75 0,48 8 Volume 0,19 0,71 0,75 0,48 Keterangan: r 0,576 berarti nyata (P <0,05) ; r 0,708 berarti sangat nyata (P <1%), Pb=Plumbum, Cd=Cadmium, Cr=Crommium dan Hg=Mercury. Dari hasil analisis korelasi sel-sel kelamin betina kerang hijau menunjukkan hubungan yang kuat adalah logam berat kromium (Cr) berpengaruh pada tahap perkembangan sel-sel oogonia (r = 0.69), se-sel oosit sekunder (r = 0,57). Logam Pb, Cd, Cr dan Hg berpengaruh terhadap perkembangan selsel oosit sekunder (r = 0,75; r = 0,57; r = 0,57; r = 0,74), dan logam berat Cd berpengaruh terhadap keseluruhan jumlah sel-sel kelamin betina (r = 0,63). Seluruh logam berat tersebut tidak berpengaruh terhadap diameter lumen folikel betina (P>0,05), namun semua logam bepengaruh terhadap luas dan volume lumen folikel pada gonad kerang betina (P<0,05). Menurut Garcia (2001) logam berat Cu dan Pb dapat menghambat aktifitas enzim glycogen synthetase dan glycogen phosphorylase dan dapat

132 mengakibatkan dampak negatif terhadap reproduksi kerang hijau Perna viridis dan hasil produksi daging kerang. Pada kerang jantan, menunjukan bahwa logam-logam berat tersebut tidak berpengaruh terhadap perkembangan sel-sel spermatosit primer, namun logam Hg berpengaruh terhadap jumlah sel-sel spermatogonia. Jumlah spermatozoa, jumlah sel-sel kelamin dan diameter lumen folikel hanya dipengaruhi oleh logam Cd (r = 0,64; r = 0,60; r = 0,57). Selanjutnya Logam Cd dan Cr berpengaruh terhadap luas dan volume lumen folikel gonad jantan kerang hijau. Hasil analisis korelasi antara jumlah sel-sel kelamin jantan dan betina dengan kombinasi logam-logam berat dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Korelasi pengaruh gabungan logam pencemar. BETINA Korelasi JANTAN Korelasi No (Hubungan) (R) (Hubungan) (R) 1 Oogonia--(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,56 SpA-(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,50 2 OositP--(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,39 SpP-(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,18 3 OositS--(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,70 SpS-(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,37 4 Jml--(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,58 Spzo-(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,35 5 Dmt--(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,39 Jml-(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,34 6 Luas--(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,86 Dmt-(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,45 7 Vol--(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,86 Luas-(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,58 8 Vol -(Pb-Cd-Cr-Hg) 0,58 Keterangan: r 0,811 berarti nyata (P <0,05); r 0,822 berarti sangat nyata (P <0,01), OositP=Oosit primer, OostS=Oosit sekunder, Jml=Jumlah, Dmt= Diameter, Vol=Volume, SpA=Spermatogonia, SpP=Spermatosit primer, dan SpS= Spermatosit sekunder. Analisis regresi (Lampiran 27-36) berganda antara sel-sel kelamin jantan dan betina terhadap kombinasi berbagai logam berat menunjukan bahwa tidak ada satu pun persamaan yang dapat digunakan sebagai penduga (P>0,05). Namun dari hasil analisis korelasi hanya parameter luas dan volume lumen folikel gonad betina yang dipengaruhi oleh kombinasi logam-logam tersebut. Keadaan ini menunjukkan pengaruh kombinasi dari logam-logam atau interaksi dari logam-logam tidak mempengaruh terhadap keberadaan jumlah sel-sel kelamin betina dan jantan kerang hijau akibat pencemaran. Keadaan ini sama dengan hasil penelitian Rebelo et al. (2005) di Teluk Sepetiba, Brazil yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada korelasi antara pencemaran logam kadmium (Cd) dan zinc (Zn) terhadap pertumbuhan gonad pada kerang oyster.

133 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa : 1. Di Teluk Jakarta terjadi bioakumulasi logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg pada gonad kerang hijau jantan dan betina, sedangkan di Teluk Banten dan Teluk Lada logam berat yang terakumulasi pada gonad hanya Pb dan Cd. 2. Dampak logam berat di Teluk Jakarta pada kerang hijau betina adalah sel-sel kelamin betina mengalami penyusutan, debris/lisis dan hilang. Sedangkan pada gonad jantan kerang hijau jumlah sel-sel spermatozoa menyusut, sehingga berpengaruh pada proses gametogenesis. 3. Bioakumulasi logam Pb, Cd, Cr dan Hg dalam gonad kerang hijau betina mempengaruhi perkembangan sel-sel oosit sekunder, logam Cr mempengaruhi perkembangan sel-sel oogonia, dan logam Cd mempengaruhi total sel-sel kelamin betina. Dengan demikian bioakumulasi logam berat dalam gonad kerang betina mempengaruhi proses oogenesis. 4. Bioakumulasi logam berat Hg dalam gonad kerang hijau jantan mempengaruhi perkembangan sel-sel spermatogonia, dan spermatosit sekunder. Logam Cd mempengaruhi jumlah sel-sel spermatozoa dan total sel-sel kelamin jantan. Dengan demikian maka bioakumulasi logam Hg dan Cd dalam gonad kerang jantan mempengaruhi proses spermatogenesis Saran Dari hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh tunggal dari logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg terhadap jumlah sel-sel kelamin kerang hijau jantan dan betina, apakah mempengaruhi oogenesis dan spermatogenesis. Pemerintah daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Provinsi Banten hendaknya dapat menertibkan dan meminimalkan limbah perusahaan atau buangan limbah domestik yang mengandung logam berat, sehingga keberadaan

134 budidaya kerang hijau dapat berkesinambungan dan dapat meningkatkan pendapatan bagi para nelayan setempat.

135 Gambar 19. Stadium spermatogenesis pada kerang hijau. Gambar 19. Stadium spermatogenesis pada kerang hijau. Gambar 20. Stadium oogenesis pada kerang hijau. Gambar 20. Stadium oogenesis pada kerang hijau. Menyusut, debris, lisis, dan hilangnya sel-sel gamet menurut Ochiai (1987) Stadium VI: Istirahat (Regresi) dimana tidak ada sel-sel gamet, jaringan insterstial degradasi, regresi, debris dan lisis serta hilangnya sel-sel kelamin yang berupa oosit Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8 Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8 Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8 Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8 stadium epitel semeniferus, lihat Gambar 12 (Leblon dan Clermont 1952).

136 Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Gambar 24. Sel-sel kelamin jantan kerang hijau Perna viridis; A, spermatogonia; B, spermatosit primer; C, spermatosit sekunder dan D, Spermatozoa. Gambar 24. Sel-sel kelamin jantan kerang hijau Perna viridis; A, spermatogonia; B, spermatosit primer; C, spermatosit sekunder dan D, Spermatozoa. Gambar 25. Sel-sel kelamin betina kerang hijau. A, oogonia; B; oosit Primer dan C, oosit sekunder Gambar 25. Sel-sel kelamin betina kerang hijau. A, oogonia; B; oosit Primer dan C, oosit sekunder Bioakumulasi logam berat dalam gonad kerang hijau No Lokasi Lagam Betina Jantan 3 T. Jakarta Pb(ppb) 600,33 359,75 Cd (ppb) 32,273 36,559 Cr (ppb) 527,36 504,21 Hg (ppb) 0,0222 0, T. Banten Pb(ppb) 21,0 77,0

137 Cd (ppb) 6, ,1310 Cr (ppb) Ttd ttd Hg (ppb) Ttd ttd 5 T. Lada Pb(ppb) 18,3 ttd Cd (ppb) 6,0690 ttd Cr (ppb) Ttd ttd Hg (ppb) Ttd ttd Kadmium The Codex Committee on Food Additive and Contaminants 0.4 mg/kg atau 0,4 ppm atau 400 ppb (Arao dan Ishikawa, 2006). Darmono (1995) logam Cd pada daging ikan diperbolehkan maksimal sekitar 50 ppb. PTWI batas Cd 8,3 ppb. Merkuri FAO-WHO kandungan Hg dalam makanan tidak boleh melebihi batas ambang maksimal sekitar 30 ug/kg (setara 0,03 ppm= 30 ppb). Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) merekomendasikan lebih rendah lagi yaitu Hg (total) 5 ppb dan Hg (metil) 3,3 ppb Plumbum PTWI batas maksimal kandungan logam Pb 50 ppb Kromium Hastati dalam supplement makanan ikan 1,5 ppm menghilangi stress, resistensi protein, efisiensi pertumbuhan dan pakan. Ochia (1977) dalam Palar (2004) bahwa ion-ion logam Hg, Pb dan Sn dapat larut dalam lemak mampu melakukan penetrasi pada dinding membran sel, sehingga akhinya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam sel dan organ lain. Terakumulasinya ion-ion logam tersebut akan mennyebabkan tergangunya aktifitas

138 enzime dan metabolisme dalam sel, sehingga perkembangan sel terhambat, sel-sel menjadi lisis dan mati. Gosling (1992) menyatakan bahwa kerang yang tercemar logam berat akan menyebabkan terganggunya perkembangan gamet dan biasanya gamet mengalami degenerasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bioakumulasi logam berat dapat terjadi pada sistem vacuola dari organel lisosom tempat logam ditangkap oleh granulagranula sehingga logam terakumulasi dan organel ini akan menyebabkan degenerasi. Moore (1989) dan Viarengo (1989) dalam Gosling (1992) pencemaran logam Cu dan Cd dapat menyebabkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel. Selain itu juga mempengaruhi proses oksidasi, kerja enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel. Muawanah et al. (2005) bahwa Teluk Lada khususnya di Daerah Panimbang perairan lautnya telah tercemar oleh logam berat seperti Hg 0,001-0,021 ppm: Pb 0,005-0,023 ppm dan Cu 0,005-0,065 ppm. Perubahan sensitif terjadi pada proses pembelahan sel-sel kelamin pada saat pembelahan metaphase, sehingga akan menyebabkan perubahan susunan gen-gen pada kromosom dan bahkan akan menyebabkan abrasi kromosom, keadaan ini telah dibuktikan pada kerang biru (M. edulis) oleh Dixon (1982). Menurut Ochia (1977) dalam Palar (2004) mekanisme logam berat dalam tubuh yang mengakibatkan toksik ada tiga macam yaitu: 4. Memblokir atau menghalangi kerja gugusan biomolekul yang esensial untuk proses-proses biologi, seperti protein dan enzime. Mekanisme kerja reaksi logam terhadap protein pada umumnya menyerang ikatan sulfida. Penyerangan terhadap ikatan sulfida yang selalu ada pada molekul protein itu akan menimbulkan kerusakan dari struktur protein terkait. 5. Menggantikan ion-ion logam esensial yang terdapat dalam molekul terkait. 6. Mengadakan modifikasi atau perubahan bentuk dari gugusan aktif yang dimiliki biomolekul. Gosling (1992), yang mengatakan bahwa dengan terjadinya akumulasi logam berat akan mempengaruhi proses gametogenesis. Fimreite (1971), merkuri dapat menyebabkan penurunan daya tetas, jumlah produksi telur, dan penurunan berat telur burung.

139 Menurut Au et al. (2004) pemberian kadmium pada spermatozoa kerang hijau dan bulu babi (Sea urchin) dapat merubah ukuran dan bentuk tubuh bagian tengah spermatozoa sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan dalam berenang. Selain itu menyebabkan; a) membrane plasma kusut, menipis dan mempengaruhi integritas spermatozoa, b) membrane mitokondria tidak menjadi kompak dan terjadi gangguan suplai energi ATP untuk pergerakan spermatozoa. Pada hewan bulu babi cadmium dapat menyebabkan kerusakan organel sel lebh parah lagi dibandingkan dengan kerang hijau. Rebelo et al. (2005) di Teluk Sepetiba, Brazil yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada korelasi antara pencemaran logam kadmium (Cd) dan zinc (Zn) terhadap pertumbuhan gonad pada kerang oyster.

140 1V. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Jakarta di Propinsi DKI Jakarta, Teluk Banten dan Lada di Propinsi Banten. Daerah ini menurut beberapa peneliti telah mengalami pencemaran logam berat. Stasiun pengambilan sampel kerang hijau (Perna viridis) dan air laut (kualitas air laut) di Teluk Jakarta adalah Kamal (S1), Marunda (S2), dan Gembong (S3), Teluk Banten di Desa Karangantu (S4) dan Teluk Lada di Desa Panimbang (S5). Deskripsi wilayah penelitian sebagai berikut: Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak pada 06º00 40 LS dan 05º54 40 serta 106º40 45 BT dan 107º01 19 BT. Teluk ini berbatasan dengan Tanjung Pasir di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur, serta mempunyai rentangan pantai sepanjang kurang lebih 40 km dan luas kira-kira 490 km². Bagian yang jauh menjorok ke dalam, berjarak kurang lebih 18 km dari garis pantai yang menghubungkan kedua ujung teluk. Teluk ini juga merupakan muara dari beberapa sungai yaitu Sungai Angke, Ciliwung, Sunter, Bekasi dan cabang anak Sungai Citarum. Umumnya daerah tangkapan hujan dari sungai ini sudah banyak dipengaruhi oleh aktivitas penduduk dan industri (Riani et al. 2004). Menurut laporan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan (DPPK), DKI Jakarta tahun 2006 bahwa kondisi batimetri (kedalaman) perairan Teluk Jakarta memiliki kedalaman 0-20 meter dengan kemiringan landai (0,0033%). Sedimen dasar terdiri atas material berbutir halus dan memiliki kemampuan meredam energi gelombang yang besar. Kontur batimetri relatif sejajar dengan garis pantai melengkung sesuai dengan bentuk perairan Teluk Jakarta. Pada wilayah perairan Teluk Jakarta tidak ditemukan palung atau tonjolan yang dapat mengubah pola gelombang datang akibat refraksi dan difraksi. Tipe pasang surut wilayah perairan Teluk Jakarta termasuk kategori pasang surut harian tunggal (diurnal tide), dengan air tertinggi dan terendah terjadi hanya satu kali dalam dua puluh empat jam. Kisaran tunggang pasang tertinggi adalah sebesar 0,9 1,5 meter. Dalam kondisi tertentu tunggang pasang dapat lebih besar

141 dari kisaran tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan muka air akibat badai (storm surge). Kecepatan arus musim berkisar antara 20 sampai 40 cm/s. Pasang surut di perairan Teluk Jakarta masih dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda. Dengan demikian, maka secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak ke arah utara dalam kondisi pasang, dan sebaliknya ke arah selatan dalam kondisi surut. Pengaruh kedalaman perairan lokal dan morfologi pantai dapat memodifikasi arus tersebut. Gelombang yang terjadi di Teluk Jakarta terutama disebabkan oleh angin yang pembentukannya dapat terjadi sekitar lokasi atau dari lokasi yang jauh, kemudian merambat ke arah pantai. Di wilayah Teluk Jakarta, gelombang yang terjadi dalam periode musim Timur yaitu bulan Juli sampai September lebih rendah dari pada musim Barat yaitu bulan Desember sampai Februari. Gelombang datang sesuai dengan arah mata angin yaitu pada musim barat datang dari arah barat laut dan pada musim timur datang dari arah timur laut dan sebagian datang dari arah utara. Tinggi gelombang dominan berkisar antara 0,5 1 meter dengan periode antara 3 5 detik. Salah satu perairan laut yang kualitasnya sudah melewati batas ambang baku mutu kualitas perairan menurut kriteria Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (1988) adalah Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan banyak limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta yang dibawa oleh 13 sungai yang bermuara ke dalamnya. Menurut laporan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan hidup (KPPL) tahun 1997 bahwa limbah yang masuk ke perairan ini adalah limbah dari kegiatan industri pengelola sekitar 97,82% yakni ,47 ribu m³/tahun, domestik 2,17% yakni ,90 ribu m³/tahun, dan limbah industri pertanian 0,01% yakni 232,25 m³/tahun. Namun limbah yang masuk ke dalam perairan Teluk jakarta ini bukan saja limbah organik yang untuk menguraikannya memerlukan oksigen, tetapi juga limbah yang termasuk katagori B3 yang tercampur dalam limbah tersebut (Riani et al. 2004). Menurut Firmansyah (2007) sumber pencemaran air di Teluk DKI Jakarta berasal dari landbased disebabkan oleh tiga kategori limbah antara lain limbah domestik, limbah industri dan limbah pasar. Selain itu adanya penurunan debit

142 sungai menyebabkan pengenceran atau daya perbaikan sungai tidak berlangsung baik dan berkesinambungan, serta adanya kegiatan di sepanjang Pantai Pantura Jakarta. Lebih lanjut kontribusi sumber pencemaran di Teluk Jakarta berasal dari limbah domestik 27.09%, limbah industri 14,04% dan limbah pasar 46,70%. Menurut laporan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), DKI Jakarta tahun 2004 bahwa perairan Teluk Jakarta berdasarkan indeks keanekaragaman, menunjukan zona D mengalami pencemaran berat, zona C mengalami pencemaran sedang dan zona B dan A mengalami pencemaran ringan. Daerah Muara Teluk Jakarta, muara Angke, Cengkareng, dan Muara Sunter telah mengalami pencemaran berat, sedangkan Muara Kamal, Muara Karang, Muara Ancol, Muara Cakung, Muara Marunda mengalami pencemaran sedang dan Muara Gembong mengalami pencemaran ringan Teluk Banten. Menurut laporan DPPK DKI Jakarta tahun 2006 bahwa kondisi batimetri perairan di Propinsi Banten pada dasarnya termasuk dalam perairan dangkal yang dikenal dengan paparan sunda. Paparan adalah zona di laut mulai dari garis surut terendah sampai pada kedalaman sekitar meter, yang umumnya diikuti oleh lereng yang lebih curam ke arah laut. Bagian utara propinsi Banten yaitu Teluk Banten pada umumnya mempunyai dasar yang rata dan melandai dari arah Barat ke Timur. Sedangkan untuk perairan muara Karangantu adalah muara dari Sungai Cibanten. Substrat di kawasan ini adalah lumpur. Lumpurnya relatif berwarna hitam karena pengaruh buangan organik di sekitar sungai. Daerah hulu sungai merupakan daerah pemukiman yang banyak membuang sisa aktivitasnya ke sungai. Perairan relatif dangkal dan keruh, lalu lintas perahu nelayan relatif kurang lancar terutama saat surut akibat pendangkalan. Tipe pasang surut wilayah perairan Propinsi Banten merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda yang dikenal sebagai tipe pasut campuran. Pasang surut yang terdapat di perairan Propinsi Banten dan sekitarnya bertipe campuran terutama semidiurnal dengan bilangan formzahl berkisar antara 0,25-1,25. Tunggang pasang bervariasi antara 30 cm pada saat pasang perbani dan lebih dari 100 cm pada saat pasang purnama.

143 Di wilayah perairan Teluk Banten arah arus yang dominan adalah arah arus yang keluar dari laut Jawa menuju Samudera Hindia. Pasang surut di perairan Teluk Banten juga masih dipengaruhi dari Samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda. Secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak kearah utara dalam kondisi pasang dan sebaliknya ke arah selatan dalam kondisi surut. Di wilayah utara perairan Banten, gelombang yang terjadi dalam periode musim timur yaitu bulan Juli sampai September lebih rendah dari pada musim barat yaitu bulan Desember sampai Februari. Pada musim barat tinggi gelombang maksimum bisa mencapai 2,6 m dengan rataan sekitar 1,03 m, sedangkan pada musim timur sekitar 1,9 m dengan rataan sekitar 0,76 m, dengan arah rambatan gelombang tidak jauh berbeda dengan arah datangnya angin. Pada musim peralihan, tinggi gelombang yang terbentuk relatif lemah yang tingginya kurang dari 0,5 m. Teluk Banten perairan lautnya telah mengalami pencemaran karena ada indikasi mengandung Hg 0.05 ug/l, Cd mg/l dan Pb mg/l (Setyobudiandi 2004). Menurut laporan Akbar tahun 2005 dalam Tempo Interaktif Jawa-Madura bahwa Pencemaran di Teluk Banten akibat buangan limbah cair ke sungai Ciujung, Cibanten dan Cidurian dari 44 industri. Menurut Anang dalam laporan tersebut bahwa Sungai Ciujung menerima m 3 buangan limbah cair per hari dari 30 industri di wilayah Serang Timur, dari 30 industri itu lima industri langsung membuang limbahnya ke sungai. Sungai Cibanten menerima limbah cair 501,2 m 3 / hari dari lima pabrik, sedangkan sungai Cidurian menerima limbah cair m 3 / hari dari 10 pabrik secara tidak langsung Teluk Lada. Menurut laporan DPPK, DKI Jakarta tahun 2006 bahwa perairan Selat Sunda memiliki lebar di bagian tersempitnya sekitar 24 km, dengan kedalaman yang lebih besar dari Laut Jawa serta memiliki topografi dasar perairan yang sangat tidak beraturan. Wilayah perairan Selat Sunda yaitu antara Cigading, Anyer dengan Pulau Sangiang memiliki kedalaman perairan bervariasi antara 20 m di dekat pantai Anyer sampai 150 m di bagian tengah antara Anyer dan Sangiang. Rona dasar laut menunjukkan bentuk undulasi dasar laut yang sangat tidak beraturan.

144 Di wilayah barat Propinsi Banten jenis pasutnya adalah campuran yang condong ke harian ganda. Jenis pasut ini berarti dalam satu hari terdapat dua kali pasang dan surut, dimana tinggi pasang pertama tidak sama dengan pasang kedua, dan surut pertama juga berbeda dengan surut kedua. Kisaran tinggi muka laut pada air pasang tertinggi (higher high water level, HHWL) di sekitar Suralaya adalah sekitar 108 cm. Di bagian barat Propinsi Banten, perairan ini berupa selat, yang menghubungkan antara laut Jawa dengan samudera Hindia. Dalam periode musim Timur yang berlangsung antara bulan Juli sampai September, sebagian massa air Laut Jawa yang relatif lebih hangat dan tawar mengalir ke samudera Hindia. Sebaliknya dalam periode musim barat yaitu pada bulan Desember sampai Februari sebagian massa air dari samudera Hindia dapat mempengaruhi perairan selat Sunda ini. Oleh karena itu perairan Selat Sunda memiliki sifat ambang antara perairan samudera dan laut. Di bagian barat Perairan Banten gelombang yang lebih besar diperkirakan terjadi dalam periode musim barat karena secara geografis garis pantai di bagian barat Banten berhadapan langsung dengan laut kearah barat. Besarnya gelombang yang terbentuk akan tergantung antara lain kepada besarnya kekuatan angin, lamanya angin bertiup, dan panjang perlintasan angin. Menurut Muawanah et al. (2005) bahwa Teluk Lada perairan lautnya telah mengalami pencemaran logam berat seperti kandungan Hg 0.09 mg/l, Pb mg/l dan Cu mg/l Kualitas Air Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data beberapa parameter kualitas air, khususnya terkait dengan parameter pencemar yang dapat mempengaruhi kehidupan kerang hijau dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas daging dan gonadnya. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Menurut laporan DPPK DKI Jakarta tahun 2006 bahwa suhu dan salinitas merupakan faktor penting yang secara langsung berpengaruh terhadap aspek biologi perairan. Hasil penelitian menunjukan suhu air laut di Teluk Jakarta berkisar o C dan tidak jauh berbeda dengan Teluk Banten dan Teluk Lada (Gambar 16).

145 Demikian juga salinitas air laut di Teluk Jakarta berkisar PSU dan Teluk Banten 34 PSU dan Teluk Lada 33 PSU. Di wilayah tropis pada umumnya suhu per- Tabel 13. Parameter fisika dan kimia kualitas air di lokasi penelitian (Kamal, Marunda, Gembong, Karangantu dan Panimbang). STASIUN PENGAMATAN No. Parameter Satuan Teluk Jakarta Teluk Teluk Banten Lada BM FISIKA : 1 Salinitas PSU 33,00 32,00 33,00 34,00 33,00 2 Kecerahan m 2,20 1,.90 2,10 3,10 2,30 >3 3 Suhu air oc 31,00 31,00 32,00 31,00 30,00 alami 4 Lapisan minyak nihil K I M I A : 1 ph - 7,9 7,3 7,4 7,6 7,7 7 8,5 2 DO mg/l 4,200 3,500 4,200 4,800 4, Ammonia (NH 3 -N) mg/l 0,568 0,683 0,481 0,281 0,275 0,3 4 Nitrat (NO 3 -N) mg/l 0,052 0,047 0,023 0,043 0,054 0,008 5 Phosphat mg/l <0,001 0,010 <0,001 <0,001 <0,001 0,015 6 Krommium (Cr) mg/l 0,002 0,001 0,002 0,002 0,001 0,005 7 Kadmium (Cd) mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,001 8 Timah Hitam (Pb) mg/l 0,004 0,003 0,005 0,005 0,004 0,008 9 Merkuri (Hg) mg/l ttd ttd ttd ttd ttd 0,001 Keterangan : - stasiun, 1 = Kamal; 2 = Marunda ; 3 = Gembong (1,2,3, = Teluk Jakarta) ; 4 = Karangantu (Teluk Banten) dan 5 = Panimbang (Teluk Lada). - BM = Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut, Kep Men LH No. 51 tahun ttd = tidak terdeteksi mukaan relatif hangat dengan variasi tahunan yang cukup kecil, tetapi variasi hariannya besar. Rataan suhu permukaan adalah sekitar 28,17 C (±0.33), dengan dua puncak maksimum dan puncak dua minimum yang terjadi dalam periode musim peralihan dan periode musim barat dan timur. Variasi tahunan salinitas menunjukkan kisaran yang relatif besar, dimana rerata salinitas sekitar 32,49 (±0.84). Dalam periode musim barat dan peralihan dari musim barat ke timur, nilai salinitas permukaan relatif rendah karena pengaruh run off air sungai dan curahan hujan yang biasanya lebih intensif terjadi dalam periode ini. Berdasaran data tersebut terlihat bahwa parameter fisika perairan menunjukkan sedikit terganggu, khususnya jika dilihat dari kecerahan perairan. Di wilayah budidaya kerang hijau dengan kawasan Teluk Jakarta, kecerahan perairan cenderung lebih kecil jika dibandingkan di daerah Karangantu, Teluk Banten dan perairan Panimbang, Teluk Lada. Rendahnya kecerahan perairan di kawasan

146 budidaya perairan di kawasan Teluk Jakarta diduga karena tingginya kandungan biomas fitoplankton Variasi Tahunan Suhu dan Salinitas Permukaan di Laut Jawa Suhu ( o C) Suhu Salinitas ( ) Salinitas JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DES 31.0 Gambar 16. Variasi tahunan suhu dan salinitas permukaan di Laut Jawa (DPPK DKI Jakarta 2006). Tingginya fitoplankton disebabkan relatif baiknya faktor-faktor fisik dan kimia perairan bagi perkembangan fitoplankton di kawasan Teluk Jakarta terutama dalam hal kesuburannya / nutrisinya. Di kawasan Karangantu dan Pantai Panimbang, kondisi kandungan fitoplanktonnya relatif lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesuburan perairan tersebut, serta faktor fisik dan kimia perairan lainnya kurang memberi dukungan nutrien yang maksimum bagi perkembangan fitoplankton. Di keseluruhan lokasi penelitian, terlihat bahwa di kawasan Perairan Panimbang kecerahan perairan kecil dibandingkan dengan Karangantu dan Teluk Jakarta. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya padatan yang berasal dari sungai. Hal ini disebabkan adanya sungai besar yang masuk ke wilayah tersebut. Untuk kesuburan perairan dan kandungan organik di perairan yang dijadikan indikator pencemaran bahan organik, nampaknya perairan Teluk Jakarta masih lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Karangantu dan Panimbang. Keadaan ini terutama ditunjukkan oleh kandungan ammonia di lokasi budidaya kerang di kawasan Teluk Jakarta relatif lebih tinggi. Sementara itu untuk kandungan nitrat, tidak diperoleh perbedaan yang signifikan antara di kawasan budidaya kerang hijau

147 Teluk Jakarta dengan di Karangantu atau Panimbang. Hal ini diduga disebabkan ketersediaan oksigen yang relatif lebih tinggi di Karangantu dan Panimbang dibandingkan dengan di Teluk Jakarta. Relatif rendahnya oksigen di daerah Teluk Jakarta diduga terkait dengan tingginya proses pembusukan bahan organik di kawasan ini dibandingkan dengan di kedua daerah kajian lainnya. Sehingga, proses nitirifikasi ammonia menjadi nitrit dan kemudian nitrat lebih banyak terjadi di kawasan Karangantu dan Panimbang. Hal inilah yang diduga menyebabkan kawasan di perairan Teluk Jakarta nitrogen lebih didominasi oleh ammonia dibandingkan nitrat. Tingginya proporsi ammonia dibandingkan dengan nitrat di kawasan perairan Teluk Jakarta juga didukung oleh data yang dikemukakan oleh Damar (2004) yang menyatakan bahwa ammonia mendominasi kawasan pantai Teluk Jakarta dibandingkan dengan nitrogen lainnya seperti nitrat atau nitrit (Gambar 17). 100% 80% 60% 40% 20% nitrite nitrate ammonium 0% M A P station Gambar 17. Proporsi kandungan ammonia, nitrit dan nitrat di beberapa lokasi di kawasan Teluk Jakarta (Damar 2004). Dalam Gambar 17 terlihat bahwa di stasiun-stasiun perairan pantai Teluk Jakarta yang merupakan kawasan budidaya kerang hijau, nitrogen inorganik terlarutnya didominasi oleh ammonia dibandingkan dengan nitrit atau nitrat (stasiun 9, 10, 11, 12, M, A dan P). Tingginya ammonia ini menunjukkan bahwa proses denitrifikasi lebih dominan dibandingkan dengan nitrifikasi yang merupakan fungsi dari ketersediaan oksigen terlarut. Hasil analisis Damar (2004) bahwa monitoring terpadu yang rutin dilakukan di kawasan perairan pantai Teluk Jakarta menunjukkan kandungan oksigen terlarut yang sangat rendah. Rendahnya oksigen terlarut di

148 kawasan ini merupakan hasil proses pembusukkan bahan organik yang sangat intensif. Sehingga, secara residual, walaupun proses fotosintesis cukup tinggi, produksi oksigen masih kurang mencukupi untuk ketersediaan di air dalam berbagai proses kimia dan biologi perairan. Sedikit berbeda dengan kandungan fosfat di perairan, perbedaan nilai diperoleh di lokasi budidaya Marunda, dengan nilai yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi-lokasi kajian lainnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses remineralisasi fosfat berlangsung seimbang dengan lokasi-lokasi lainnya. Kecenderungan data ini juga menunjukkan bahwa sumber utama bahan organik yang masuk ke kawasan perairan Teluk Jakarta lebih banyak dalam bentuk nitrogen dibandingkan dengan fosfat. Kajian stadium eutrofikasi Teluk Jakarta telah banyak dilakukan dan salah satunya dilakukan oleh Damar (2004). Dalam kajian tersebut stadium pencemaran bahan organik Teluk Jakarta dianalisis berdasarkan kandungan nitrogen (DIN), fosfat, chlorophyll-a dan oksigen terlarut. Dari hasil analisis tersebut, diperoleh hasil bahwa Teluk Jakarta adalah perairan yang tercemar berat oleh bahan organik. Terdapat 3 gradasi perbedaan stadium pencemaran, untuk daerah dekat pantai, perairan tergolong ke dalam tercemar bahan organik sangat berat (hyper-eutrofik). Di daerah tengah perairan tercemar berat (eutrofik) dan di perairan luar teluk dalam kondisi tercemar sedang bahan organik (mesotrofik). Hasil analisis dengan menggunakan indeks TRIX (Trophical Index for Marine System) disajikan dalam Gambar 18. mesotrophic eutrophic hyper-eutrophic hyper-eutrophic Gambar 18. Stadium pencemaran bahan organik di kawasan perairan Teluk Jakarta (DPPK DKI Jakarta 2006).

149 Untuk kandungan logam berat di dalam air, yaitu Cr, Cd, Pb dan Hg nampak tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar lokasi dan seluruhnya masih di bawah batas maksimal yang dipersyaratkan oleh baku mutu air laut. Relatif rendahnya kandungan logam berat di kolom air ini nampaknya terkait dengan masih relatif rendahnya proses resuspensi sedimen ke kolom air, karena saat dilakukan pengukuran adalah saat minim pergolakan air, karena dilakukan saat musim kemarau yang pergerakan airnya minimal. Hal ini agak berbeda dengan hasil analisis yang dilakukan saat musim penghujan yang pergerakan massa airnya maksimal dan peluang resuspensi sedimen ke kolom air meningkat. Hasil pengukuran yang dilakukan menunjukkan nilai yang relatif tinggi, baik di kolom air maupun di sedimen seperti yang disajikan pada Tabel 14, 15, 16 dan 17. Tabel 14. Kandungan logam berat (ppm) di kolom air di perairan budidaya kerang hijau Kamal. No. Parameter Bulan 2002 Mei Juli September Oktober BM 1. Timah hitam (Pb) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Sumber : Ningtias (2002) dalam DPPK DKI Jakarta (2006). Tabel 15. Kandungan logam berat di dalam perairan sekitar lokasi budidaya kerang hijau Kamal No. Jenis Sampel Hasil Analisa (ppm) Hg Pb Cd Standar (ppm) Hg Pb Cd 1. Kerang Hijau (Mytilus ( viridis) Air laut pingir Air laut tengah Sumber: DPPK DKI Jakarta (2006). Tabel 16. Kandungan logam berat (ppm) di kolom air di perairan budidaya kerang hijau Kamal No. Parameter Bulan 2003 Mei Juni Juli Agustus BM 1. Timah hitam (Pb) <0,001 0,005 <0,001 <0,001 0, Kadmium (Cd) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0, Tembaga (Cu) <0,001 0,002 <0,001 0,001 0, Seng (Zn) 0,0095 0,013 0,0035 0,008 0,05 5. Nikel (Ni) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,05 Sumber : Suryanto (2003) dalam DPPK DKI Jakarta (2006).

150 Tabel 17. Kualitas air laut di Teluk Jakarta No PARAMETER SATUAN HASIL PENGAMATAN A. Fisika 1 Kekeruhan NTU 7,78 2 Salinitas 32,58 3 Suhu º C 28,50 B. Kimia 1 COD mg/l 77,61 2 PH 7,58 3 Nitrat mg/l 0,016 4 Nitrit mg/l 0, Amoniak mg/l 0,283 6 Fospat mg/l 0, Deterjen mg/l <0,001 8 Phenol mg/l 0, Timbal (Pb) ppm 0, Raksa (Hg) ppb 0, Krom total (Cr) ppm 0, Kadmium (Cd) ppm 0, Stannum (Sn) ppm <0,001 Sumber: Riani et al. (2004). Dari Table di atas (Tabel 14-17) yang berisikan data kandungan beberapa logam berat di dalam air di lokasi budidaya kerang hijau menunjukkan data yang bervariasi, berkisar dari nilai yang rendah hingga yang di atas baku mutu. Perbedaan tersebut diduga karena adanya perbedaan waktu pengukuran. Walaupun demikian, memang dapat disimpulkan bahwa kandungan parameter di dalam kolom air di lokasi budidaya kerang hijau di kawasan Teluk Jakarta masih dalam toleransi yang belum membahayakan. Walaupun demikian, dengan konsentrasi yang masih rendah, namun karena secara kontinyu kerang hijau melakukan filtrasi air laut di lokasi tersebut, maka kekawatiran akumulasi logam berat di dalam jaringan tubuh kerang hijau menjadi meningkat. Kandungan akumulasi logam berat di dalam tubuh kerang hijau betina dan jantan akan dibahas khusus dalam sub bab Bioakumulasi logam berat pada gonad Kandungan Logam Berat di Sedimen Kandungan logam berat di dalam sedimen merupakan indikator dari kondisi lingkungan perairan. Di dalam air, logam berat lebih cenderung terakumulasi di dasar perairan. Jika dibandingkan antar lokasi budidaya, nampak bahwa sedimen di seluruh lokasi kajian memiliki kandungan sedimen yang relatif sudah tinggi. Di

151 79 Panimbang, kandungan logam juga sudah ditemukan yang diduga berasal dari transport massa air dari wilayah kawasan industri Cilegon-Merak yang berada tidak jauh dari Teluk Panimbang. Di kawasan Teluk Banten dan Teluk Jakarta relatif tingginya kandungan logam berat merupakan konsekuensi logis dari tingginya aktifitas industri di kawasan tersebut (Tabel 18, 19 dan 20). Tabel 18. Kandungan logam berat di dalam sedimen No. Parameter Satuan STASIUN PENGAMATAN Teluk Jakarta T.Banten T.Lada Kromium (Cr) mg/l 2,200 2,300 2,500 ttd ttd 2 Kadmium (Cd) mg/l 0,900 1,500 1,200 1,200 0,900 3 Timah Hitam (Pb) mg/l 5,600 6,200 8,500 6,300 2,300 4 Merkuri (Hg) Ppb 30,500 50,700 46,80 ttd ttd Keterangan : -stasiun 1 = Kamal 2 = Marunda ; 3 = Gembong ; 4 = Karangantu dan 5 = Panimbang -ttd = tidak terdeteksi Tabel 19. Kandungan logam berat dalam sedimen di Teluk Jakarta. No. Parameter Satuan Hasil Pengamatan 1 Timah hitam (Pb) ppm 2,898 2 Raksa (Hg) ppm 0, Kromium total (Cr) ppm 6,38 4 Kadmium (Cd) ppm 0,135 5 Stanum (Sn) ppm 1,372 Sumber: Riani et al. (2004). Tabel 20. Kandungan logam berat di dalam sedimen di perairan sekitar Ancol No. Parameter Kadar Rerata Kadar Alami 1. Cu (ppm) 26, Timbal (ppm) 28, Krom (ppm) 13, Nikel (ppm) 9, Sumber : BPLHD (2004) dalam DPPK DKI Jakarta, (2006). Sementara data kandungan logam di dalam sedimen yang diperoleh dari hasil pemantauan tim monitoring Teluk Jakarta seperti yang dilaporkan BPLHD tahun 2004, memperlihatkan nilai kandungan yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu,

152 walaupun studi yang terbaru memberikan hasil yang lebih rendah, tidak berarti bahwa telah terjadi perbaikan kondisi lingkungan secara nyata, namun tetap merupakan perhatian bagi pengelolaan kawasan di Teluk Jakarta Morfometrik Kerang Hijau Dalam penelitian ini juga melihat morfometrik dari masing-masing lokasi penelitian, bertujuan untuk mempelajari perbandingan ukuran kerang yang berasal dari perairan Teluk Jakarta yang telah mengalami pencemaran dengan yang berasal dari daerah yang belum tercemar yaitu berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat morfometrik kerang hijau pada Tabel 21 dan 22. Tabel 21. Berat tubuh, cangkang dan daging kerang hijau betina berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Berat tubuh Cangkang Daging A Teluk Jakarta n (g) (g) (g) 1.Kamal 63 18,98± 6,26 12,49±3,63 6,40 ± 2,49 2.Marunda ,90±11,29 6,67±1,39 4,55 ± 1,02 3.Gembong 90 14,59± 5,50 9,16±5,21 5,01 ± 2,15 Rataan ,83 ± 5,99 A 8,84±4,12 A 5,14 ± 1,96 A B Teluk Banten 1.Karangantu 50 16,83 ± 4,76 10,37±3,05 6,46 ± 1,83 Rataan 16,83 ± 4,76 B 10,37±3,05 B 6,46 ± 1,83 B C Teluk Lada 1.Panimbang 85 12,46 ± 2,45 6,74±1,46 5,71 ± 1,06 Rataan 12,46 ± 2,45 C 6,74±1,46 C 5,71 ± 1,06 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01). Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan ujit-t (lampiran 7-9) menunjukan ukuran berat tubuh dan cangkang kerang hijau betina yang berasal dari daerah Teluk Jakarta lebih berat dibandingkan daerah Teluk Lada (P<0,01) namun lebih besar berat tubuh dan cangkang kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten dibandingkan Teluk Jakarta dan Teluk Lada (P<0,01). Keadaan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Setyobudiandi (2004) yang mengatakan bahwa kerang hijau di Teluk Jakarta lebih besar dibandingkan daerah Teluk Banten, namun bila dibandingkan dengan kerang hijau yang berasal dari daerah Teluk Lada memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Keadaan ini didukung oleh kondisi daerah Kamal yang mengandung zat organik yang cukup tinggi yang berasal

153 dari 13 anak sungai membawa sampah organik mengarah ke muara Kamal (Riani et al. 2004), dan menyebabkan hidup suburnya plankton. Berdasarkan hal tersebut tidak heran jika berat kerang yang ada di Daerah Kamal lebih besar dari daerah lain. Namun bila ditinjau hasil produksi dagingnya, memperlihatkan bahwa Teluk Banten lebih tinggi bila dibandingkan produksi daging dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada (P<0,01). Ukuran tubuh kerang hijau betina seperti panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau betina berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Panjang Lebar Tinggi A Teluk Jakarta n (cm) (cm) (cm) 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong ,14 ± 0,99 6,23 ± 0,80 6,54 ± 1,03 2,80 ± ,93 ± ,01 ± ,74 ± 0,59 2,82 ± 0,31 2,94 ± 0,40 Rataan 317 6,81 ± 0,87 A 2,12 ± 0,29 A 2,84 ± 0,41 A B Teluk Banten 1.Karangantu 50 7,57 ± 0,81 2,07 ± 0,29 3,12 ± 0,29 Rataan 7,57 ± 0,81 B 2,07 ± 0,29 A 3,12 ± 0,29 B C Teluk Lada 1.Panimbang 85 6,56 ± 0,59 1,83 ± 0,15 2,81 ± 0,21 Rataan 6,56 ± 0,59 A 1,83 ± 0,15 B 2,81 ± 0,21 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis statistik ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang betina (lampiran 10-12) menunjukan ukuran tubuh kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten panjang dan tinggi tubuhnya lebih besar dibandingkan yang berasal dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada (P<0,01). Namun juga ukuran lebar kerang hijau dari Teluk Jakarta sama dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten (P>0,05) dan Kerang dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten lebih lebar dari yang berasal Teluk Lada (P<0,01). Perbedaan ukuran tubuh ini diduga disebabkan oleh perbedaan kadar dari pencemaran logam berat yang terakumulasi dalam tubuh kerang. Menurut Widdows dan Donkin, (1992) bahwa pencemaran perairan laut oleh sanyawa organik dan anorganik dapat menyebabkan bioakumulasi dalam tubuh kerang hijau, sehingga akan mempengaruhi aktivitas regulasi kadar garam tubuh, komposisi biokimia tubuh, pertumbuhan tubuh, dan kondisi reproduksi kerang hijau.

154 Ukuran berat tubuh, berat cangkang dan berat daging kerang hijau jantan dapat dilihat pada Tabel 23 dan 24. Tabel 23. Berat tubuh, cangkang dan daging kerang hijau jantan berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Berat tubuh Cangkang Daging A Teluk Jakarta n (g) (g) (g) 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong ,52 ±8,38 13,28 ±4,19 13,14 ±6,04 12,71 ± 5,42 6,87 ± 2,41 12,28 ± 6,85 7,33 ± 4,11 5,61 ± 2,28 6,57 ± 2,89 Rataan ,46 ±7,02 A 11,02 ± 5,66 A 6,72 ± 3,55 A B Teluk Banten 1.Karangantu 60 15,55 ±3,15 9,70 ± 2,08 5,85 ± 1,29 Rataan 15,55 ±3,15 A 9,70 ± 2,08 A 5,85 ± 1,29 A C Teluk Lada 1.Panimbang ,98 ± 2,67 6,87 ± 1,49 6,11 ± 1,69 Rataan 12,98 ± 2,67 B 6,87 ± 1,49 B 6,11 ± 1,69 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Dari hasil analisis statistik ujit-t (Lampiran 1, 5 dan 6) menunjukan bahwa ukuran berat tubuh dan cangkang kerang hijau jantan yang berasal dari daerah Teluk Jakarta dan Teluk Banten lebih berat dibandingkan daerah Teluk Lada (P<0,01), namun tidak berbeda ukuran tersebut antara Teluk Jakarta dan Teluk Banten (P> 0,05). Keadaan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Setyobudiandi (2004) yang mengatakan kerang hijau di Teluk Jakarta lebih besar dibandingkan daerah Teluk Banten. Keadaan ini didukung oleh Daerah Kamal banyak terdapat zat organik yang cukup tinggi yang berasal dari 13 anak sungai yang membawa sampah organik mengarah ke Muara Kamal (Riani et al. 2004), sehingga plankton dapat hidup subur. Dengan demikian maka berat kerang yang dibudidayakan di Perairan Kamal lebih besar dibanding dari daerah lain. Namun bila ditinjau dari hasil produksi dagingnya memperlihatkan bahwa Teluk Banten berbeda lebih tinggi (P<0,01) bila dibandingkan produksi daging dari Teluk Jakarta dan Teluk Lada.

155 Tabel 24. Ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang hijau jantan dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Panjang Lebar Tinggi A Teluk Jakarta n (cm) (cm) (cm) 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong ,15 ± 1,06 6,31 ± 0,72 6,40 ± 1,13 2,56 ± 0,70 1,97 ± 0,34 1,94 ± 0,31 3,01 ± 0,81 2,79 ± 0,33 2,80 ± 0,40 B C Rataan 339 6,63 ± 1,03 A 2,17 ± 0,59 A 2,87 ± 0,57 A Teluk Banten 1.Karangantu 60 7,30 ± 0,63 1,98 ± 0,19 3,05 ± 0,29 Rataan 7,30 ± 0,63 B 1,98 ± 0,19 A 3,05 ± 0,29 B Teluk Lada 1.Panimbang 130 6,53 ± 0,53 1,83± 0,19 2,83 ± 0,50 Rataan 6,53 ± 0,53 A 1,83± 0,19 B 2,83 ± 0,50 A Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis statistik ukuran panjang, lebar dan tinggi tubuh kerang betina (lampiran 2-4) menunjukan bahwa ukuran panjang dan tinggi kerang hijau jantan yang berasal dari Teluk Banten lebih besar dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Jakarta (P<0,01), namun ukuran tersebut antara Teluk Jakarta dan Teluk Lada adalah sama (P>0,01). Ukuran lebar kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten berbeda (P<0,05) dan lebar kerang hijau yang berasal dari Teluk Lada lebih kecil dibandingkan dari Teluk Jakarta dan Teluk Banten (P>0,01). Perbedaan ukuran-ukuran tubuh ini diduga terutama disebabkan oleh adanya perbedaan kadar pencemaran logam berat dan kandungan akumulasi logam berat dalam tubuh kerang. Ukuran tubuh panjang kerang baik betina maupun jantan dapat menentukan umur kerang. Menurut Vakily (1989) kerang hijau yang panjang 2-3 mm berumur 2-3 bulan dan telah mengalami matang kelamin. Oleh karena itu di duga umur kerang yang diambil sebagai sample dalam penielitian ini diduga berkisar 2 sampai 5 bulan. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan nelayan bahwa umur kerang berkisar 5 bulan. Model persamaan regresi yang dianalisis adalah BT= a + b (P), sebagai peubah bebas dalam persamaan ini adalah panjang (P), lebar (L), tinggi (T), berat tubuh (BT), berat daging (BD) dan berat cangkang (BC). Dari hasil analisis regresi sederhana kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Jakarta (Tabel 25), memperlihatkan bahwa semua ukuran-ukuran tubuh panjang, lebar, dan tinggi tubuh dapat digunakan sebagai penduga berat tubuh (BT), berat daging (BD) dan berat

156 cangkang (BC) (P<0,01). Juga bobot tubuh dapat digunakan sebagai penduga berat daging (P<0,05). Kecuali parameter panjang, dan tinggi tidak dapat digunakan sebagai penduga (P>0,05). Selain itu parameter panjang juga tidak dapat digunakan sebagai penduga berat cangkang (P>0,05). Keadaan ini diduga kerang hijau di Teluk Jakarta telah mengalami abnormal akibat dari pencemaran logam berat. Kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada dari hasil analisis regresi sederhana ukuran-ukuran tubuhnya dapat digunakan sebagai penduga (P<0,01), dan di Teluk Banten parameter lebar dapat juga digunakan sebagai penduga berat daging (P<0,05). Keadaan ini menunjukan ukuran-ukuran tubuh kerang Teluk Banten dan Teluk Lada masih normal dan model regresinya dapat digunakan sebagai penduga. Kerang hijau jantan, dari hasil analisis regresi liner sederhana (Tabel 26) kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta menunjukan ukuran-ukuran tubuh panjang, lebar dan tinggi dapat digunakan untuk menduga berat tubuh (P<0,01). Penduga berat cangkang hanya dapat digunakan parameter panjang (P<0.01), parameter penduga berat cangkang dapat juga digunakan lebar dan tinggi (P<0,05), seain itu berat daging dapat juga diduga dengan ukuran tinggi tubuh. Sedangkan berat daging tidak dapat diduga dengan parameter panjang dan lebar tubuh (P>0,05). Keadaan ini hampir sama dengan kerang betina karena ada parameter yang tidak dapat digunakan sebagai penduga, hal diduga ada kaitan antara pencemaran terhadap ukuran-ukuran tubuh kerang hijau betina dan jantan di Teluk Jakarta. Namun hasil analisis regresi sederhana ukuran-ukuran tubuh kerang hijau jantan yang berasal dari Teluk Banten dan Lada sangat nyata (P<0,01), artinya ukuran-ukuran tubuh seperti panjang, lebar dan tinggi dapat digunakan sebagai penduga berat tubuh, berat daging dan berat cangkang. Kecuali ukuran tubuh kerang jantan berasal dari Teluk Lada yaitu parameter tinggi tidak dapat digunakan untuk menduga berat daging kerang hijau (P>0,05). Keadaan ini menunjukan ukuran tubuh kerang jantan yang berasal dari Teluk Banten diduga homogen dan diindikasikan tidak adanya gangguan pertumbuhan, kecuali di Teluk Lada telah mulai mengalami pencemaran sesuai dengan laporan Muawanah et al. (2005).

157 Tabel 25. Hasil analisis regresi liner sederhana antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau betina di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Hubungan n Intersep b R² r 1 Teluk Jakarta BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD BT ,078 0,152-6,212 2,455 3,174 6,668 9,809 3,516 18,519 1,792 4,059 4,738 6,843 7,366 0,394 0,827-0,557-0,143 2,233-3,542 0,379 0, ,3% 43,2% 30,7% 3,1% 9,5% 1,8% 0,1% 15,6% 16,0% 63,4% 4,4% 0,84 0,66 0,55 0,18 0,31 0,13 0,03 0,39 0,40 0,80 0,21 2 Teluk Banten BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 50-24,265 0,833-29,650-8,559 1,085-11,046-15,707-0,253-18,605 0,891 0,249 5,432 7,717 14,909 1,985 2,592 5,615 3,447 5,125 9,295 0,537 0,369 85,2% 23,0% 85,4% 76,6% 17,5% 81,5% 83,5% 24,7% 80,8% 79,7% 91,7% 0,92 0,48 0,92 0,87 0,42 0,90 0,91 0,50 0,89 0,89 0,96 3 Teluk Lada BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 85-11,960-11,689-10,959-4,075-4,178-4,394-7,885-7,551-6,565 1,374 0,535 3,721 13,161 8,345 1,492 5,391 3,602 2,230 7,770 4,743 0,643 0,416 83,1% 65,3% 51,8% 71,4% 58,6% 51,7% 83,8% 64,0% 47,1% 78,8% 92,5% 0,91 0,81 0,72 0,84 0,77 0,72 0,92 0,80 0,69 0,89 0,96 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat daging.

158 Tabel 26. Hasil analisis regresi liner sederhana antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi Hubungan n Intersep (a) 1 Teluk Jakarta BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD BT ,575-0,197-4,538 10,285 6,093 9,321 9,695 6,617 14,787 2,030 8,318 b R² r 5,586 7,215 6,969-0,495 1,356-0,874 0,185 1,657-1,265 0,426 0,084 66,8% 36,7% 32,0% 2,5% 0,2% 4,7% 0,1% 4,6% 3,9% 46,1% 4,2% 0,82 0,61 0,56 0,16 0,05 0,22 0,04 0,21 0,20 0,68 0,20 2 Teluk Banten BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 60-15,125-7,091-8,756-5,152-1,874-2,183-9,973-5,217-6,573 1,472 0,170 4,202 11,452 7,963 1,507 3,906 2,631 2,695 7,546 5,332 0,451 0,365 70,5% 47,4% 52,6% 54,0% 32,9% 34,2% 66,3% 47,1% 53,9% 53,0% 79,5% 0,84 0,69 0,72 0,73 0,57 0,58 0,81 0,69 0,73 0,73 0,89 3 Teluk Lada BT -P BT -L BT -T BD -P BD -L BD -T BC -P BC -L BC -T BD -BC BD -BT 130-8,678 0,157 8,722-0,046 1,571 4,772-8,628-1,418 3,952 2,965-0,963 3,320 6,991 1,505 0,944 2,475 0,473 2,375 4,517 1,031 0,458 0,545 43,3% 25,5% 8,1% 8,7% 8,0% 2,0% 71,0% 34,1% 12,1% 16,3% 73,9% 0,66 0,50 0,28 0,29 0,28 0,14 0,84 0,58 0,35 0,40 0,86 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat daging.

159 Analisis regresi berganda morfometrik kerang hijau betina dan jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada dapat dilihat pada Tabel 27 dan 28. Tabel 27. Hasil analisis regresi berganda antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau betina di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No LOKASI Hubungan Intersep 1 Teluk Jakarta (n=317) (n=114) (n=114) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -16,784-18,928-22,746 2,695 3,543 3,628 10,730 13,753 12,176-23,869 3,242 12,373 ß 1 ß2 ß3 r² r 3,851 4,291 7,157 0,009 0,749 0,797-1,318 1,143 1,662 2,202 0,450-0,230 3,037 1,951 7,834 0,777-1,283-0,400 2,976-4,649-2,670 4,863 0,406 1, ,905-0,780-2,343 76,3% 71,8% 77,9% 9,6% 9,9% 9,6% 21,7% 20,3% 23,7% 83,8% 10,6% 23,8% 0,87 0,85 0,88 0,31 0,32 0,31 0,47 0,45 0,48 0,92 0,33 0,49 2 Tlk. Banten (n=50) (n=50) (n=50) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -26,401-29,435-31,013-9,075-10,987-11,269-17,327-18,448-19,745-30,659-11,173-19,488 5,116 2,844 1,795 1,909 0,769 0,294 3,207 2,075 1,501 2,784 0,760 2,024 2,850 7,939 14,153 0,528 3,729 5,491 1,658 4,211 8,663 1,606 0,243 1, ,409 3,649 3,760 86,7% 90,1% 86,4% 77,2% 83,8% 81,7% 85,7% 86,9% 82,5% 90,9% 84,0% 88,3% 0,93 0,95 0,93 0,88 0,92 0,90 0,93 0,93 0,91 0,95 0,92 0,94 3 Teluk Lada (n=85) (n=85) (n=85) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -14,511-15,493-16,373-5,258-6,068-6,456-9,253-9,425-9,917-15,600-6,559-10,101 2,881 3,118 9,574 1,102 1,151 3,647 1,779 1,967 5,927 2,608 0,937 1,671 4,396 2,670 4,615 2,038 1,506 1,952 2,358 1,164 2,062 3,376 1,420 1, ,072 1,254 0,817 86,1% 86,2% 72,4% 74,9% 76,8% 67,7% 86,3% 85,5% 69,3% 87,8% 78,3% 87,1% 0,93 0,93 0,85 0,87 0,88 0,82 0,93 0,93 0,83 0,94 0,88 0,94 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi,bc= berat cangkang dan BD= berat daging.

160 Tabel 28. Hasil analisis regresi berganda antara parameter panjang, lebar tinggi dan berat tubuh serta daging kerang hijau jantan di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No LOKASI Hubungan Inter-sep ß 1 ß2 ß3 r² r 1 Tlk. Jakarta (n=339) (n=98) (n=98) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -21,314-24,054-18,036 10,113 10,867 9,274 9,285 10,952 10,325-24,802 10,603 10,241 4,854 4,884 6,814-0,792-0,270 0,014-0,526 0,670 1,398 3,352-0,506 0,319 2,116 2,484 6,520 0,870-0,739-0,871 2,077-1,598-1,015 3,468 0,506 1, ,663-0,532-1,037 68,8% 69,8% 64,6% 4,8% 5,3% 4,7% 5,4% 5,4% 7,0% 74,6% 5,6% 7,0% 0,83 0,84 0,80 0,22 0,23 0,22 0,23 0,23 0,26 0,86 0,24 0,26 2 Tlk. Banten (n=60) (n=60) (n=60) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -17,957-18,658-16,372-5,966-6,060-4,860-11,990-12,598-11,512-20,713-6,663-14,650 3,351 3,172 7,417 1,262 1,242 2,607 2,081 1,930 4,809 2,552 1,060 1,492 4,572 3,619 5,654 1,315 0,930 1,819 3,257 2,689 3,835 3,887 1,142 2, ,258 0,824 2,434 75,1% 77,1% 68,0% 56,3% 56,6% 45,6% 71,7% 74,6% 68,7% 80,4% 58,3% 78,4% 0,87 0,88 0,82 0,75 0,75 0,67 0,85 0,86 0,83 0,89 0,76 0,89 3 Tlk. Lada (n=130) (n=130) (n=130) BT-P-L BT-P-T BT-L-T BD-P-L BD-P-T BD-L-T BC-P-L BC-P-T BC-L-T BT-P-L-T BD-P-L-T BC-P-L-T -10,405-9,471-1,534-0,926-0,331-1,083-9,477-9,135-2,618-10,978-1,116-9,860 2,738 3,160 6,435 0,647 0,887 2,315 2,089 2,273 4,122 2,636 0,613 2,021 3,011 0,647 0,957 1,534 0,233 0,276 1,480 0,414 0,680 2,841 1,478 1, ,548 0,181 0,366 46,7% 44,6% 28,6% 10,9% 9,1% 8,6% 73,6% 72,8% 39,1% 47,6% 11,2% 75,0% 0,68 0,67 0,53 0,33 0,30 0,29 0,86 0,85 0,63 0,69 0,33 0,87 Keterangan : BT = bobot tubuh, P= panjang, L= lebar, T= tinggi, BC= berat cangkang dan BD= berat Daging,

161 89 Hasil analisis berganda dengan model BT= ß 0 + ß 1 (P) + ß 2 (L) + ß 3 (T) dan demikian pula variabel BD dan BC dari semua lokasi penelitian menunjukan bahwa model ini sangat terandal (P<0,01) untuk digunakan sebagai pendugaan baik kerang hijau betina maupun jantan, kecuali pada daerah Teluk Jakarta kerang hijau jantan sebagai pendugaan berat daging dan berat cangkang adalah panjang, lebar dan tinggi modelnya lemah (P>0,05), namun berat cangkang dapat diduga dengan ukuran tubuh lebar dan tinggi (P<0,05). Keadaan ini hampir sama dengan analisis regresi sederhana dimana ukuran-ukuran tubuh di Teluk Jakarta sebagian tidak dapat digunakan sebagai penduga, hal ini diduga telah terjadi malmorfologi pada kerang hijau akibat dari pencemaran logam berat Gametogenesis Kerang Hijau (Perna viridis). Gametogenesis adalah suatu proses proliferasi sel-sel kelamin dengan cara mitosis dan miosis, kemudian sel-sel tersebut mengalami proses metamorphose menjadi individu gamet. Proses gametogenesis ada dua macam yaitu spermatogenesis pada mahluk jantan dan oogenesis pada makhluk betina. Spermatogenesis adalah proses proliferasi sel-sel kelamin jantan melalui proses mitosis dan miosis, lalu dilanjutkan proses metamorfose menjadi spermatozoa. Sedangkan oogenesis adalah suatu proses proliferasi sel-sel kelamin betina melalui proses mitosis dan miosis sehingga terbentuk ova Spermatogensis Hasil penelusuran menurut petunjuk Clermont (1962), dari 30 lembar foto hasil pemotretan jaringan histologi gonad jantan kerang hijau Perna viridis L diperoleh delapan stadium dalam perkembangan spermatogenesis, stadium perkembangan spermatogenesis dapat dilihat pada Gambar 19. Stadium spermatogenesis setiap spesies berbeda-beda seperti pada mencit 12 stadium (Oakberg 1956), domba 8 stadium (Linsay et al. 1982), kera 12 stadium (Clermont dan Leblon 1959) dan manusia 6 stadium (Clermont 1963). Hasil ini sangat berbeda seperti yang dianjurkan Chipperfied (1953) bahwa untuk melihat kematangan gonad moluska kelas bivalva ada empat stadium, baik untuk betina maupun jantan. Namun menurut hasil penelitian Mason dan Seed

162 bahwa untuk melihat stadium perkembangan gonad kerang gajah Chlamys nobilis ada enam stadium (Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa stadium perkembangan gonad tersebut berlaku baik untuk jantan maupun betina. Namun dari hasil penelitian ini perkembangan gonad kerang hijau Perna viridis jantan dan betina tidak sama. Pada jantan perkembangan gonad jantan bila dilihat dari stadium perkembangan spermatogenesis diperoleh ada delapan stadium, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 19. Menurut berbagai peneliti stadium spermatogenesis dari berbagai spesies hewan ada yang tidak sama dan ada juga yang sama. Misalnya pada tikus dewasa diketahui terdapat 14 macam asosiasi stadium epitel semeniferus (Leblon dan Clermont 1952). Namun pada mencit 12 stadium (Oakberg 1956), kera 12 stadium (Clermont dan Leblond 1959), domba 8 stadium (Linsay et al. 1982), sapi 12 stadium (Garner dan Hafez 1987) dan manusia 6 stadium (Clermont, 1963). Pada penelitian ini terlihat pada Gambar 19, bahwa setiap stadium (stadium) dalam spermatogenesis kerang hijau dapat dirinci sebagai berikut : Stadium I. Sel-sel germinal ephitel (Spermatogonium) mulai membelahan secara mitosis, dengan diameter lumen masih kecil dan jumlah sel-sel sekitar kurang dari 100 sel-sel spermatogonium.ukuran sel-sel semuanya homogen. Stadium II. Sel-sel spermatongonium giat melakukan pembelahan secara mitosis dengan jumlah sel-sel sampai 500 spermatogonium. Dengan ukuran diameter lumen 2 kali lebih besar dari stadium pertama. Ukuran selsel sama dengan stadium pertama. Stadium III. Sel-sel spermatogonium sedang giat melakukan pembelahan secara mitosis, jumlah sel-sel lebih dari 1000 sel dan ukuran diameter lumen 3 kali lebih besar dari stadium pertama. Stadium IV. Pada stadium ini telah terjadi kegiatan pembelahan miosis, stadium ini menunjukan sel-sel spermatosit primer terbentuk dengan ukuran lebih kecil dari sel-sel spermatogonia. Jumlah sel-sel spermatosit primer sekitar dibawah 100 sel.

163 Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4. Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Stadium 8 Gambar 19. Stadium spermatogenesis pada kerang hijau.

164 Stadium V. Pada stadium ini telah terjadi kegiatan pembelahan meosis II, dimana sel-sel spermatosit primernya masih ada dan melakukan pembelah menjadi sel-sel spermatosit sekunder dengan ukuran lebih kecil dari sel-sel spermatosit primer. Jumlah sel-sel spermatosit sekunder ± 500 sel. Pada stadium ini sel-sel spermatosit primer mengalami meta mertamorfose menjadi spermatozoa. Sel-sel spermatozoa telah terbentuk dengan ukuran lebih kecil dari sel-sel spermatosit sekunder, jumlahnya lebih dari 500 sel. Stadium VI. Pada stadium ini telah selesai pembelahan meosis II, sel-sel spermatosit sekunder berjumlah kurang dari 500 sel, dan hampir seluruhnya berubah (metamorfose) menjadi spermatozoa. Stadium VII. Pada stadium ini seluruh sel-sel spermatosit sekunder telah mengalami metamorfose sehingga sel-sel menjadi spermatozoa. Stadium VIII. Seluruh spermatozoa telah dikeluarkan dari lumen folikel, sehingga tinggal sisa-sisa jaringan pengikat dan sitoplasma dari spermatozoa Oogenesis Hasil penelusuran menurut petunjuk Clermont (1962) dan Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh (1999) bahwa dari 30 lembar photo hasil pemotretan jaringan histologi gonad betina kerang hijau Perna viridis diperoleh enam stadium perkembangan oogenesis. Petunjuk Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh (1999) dapat dilihat Gambar 13. Penelitian ini memperlihatkan hasil yang sangat berbeda seperti yang ditunjukan Chipperfied (1953) bahwa untuk melihat kematangan gonad moluska kelas bivalva baik untuk betina maupun jantan ada empat stadium. Selanjutnya menurut hasil penelitian Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh, (1999) bahwa perkembangan gonad kerang klam Chlamy nobilis secara histologis diperoleh lima stadium perkembangan pada kerang betina. Sedangkan menurut hasil penelitian Mason dan Seed bahwa untuk melihat stadium perkembangan gonad kerang gajah Chlamys nobilis ada enam stadium, stadium tersebut berlaku baik jantan maupun betina (Nguyen Thi Xuan Thu dan Nguyen Chinh 1999). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, yakni diperoleh enam stadium perkembangan gonad betina

165 kerang hijau Perna viridis L, enam stadium perkembangan gonad tersebut dapat dilihat pada Gambar 20. Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Gambar 20. Stadium perkembangan oogenesis pada kerang hijau.

166 Pada Gambar 20 dapat dilihat stadium perkembangan gonad kerang betina dengan rincian sebagai berikut : Stadium I: Mulai terjadi proses oogenesis, ovari tidak memiliki folikel dan terbentuknya garis-garis bakal oosit. Stadium II: Awal proses oogenesis dimana ova mulai mengisi lumen folikel, oosit mulai berkembang di dalam folikel dan oosit sangat kecil dan menjulur. Stadium III: Pertengahan proses oogenesis dimana ova mulai mengisi lumen folikel, oosit mulai berkembang mendekati dinding folikel dan oosit mulai membesar dan menjulur. Stadium IV: Akhir oogenesis dimana telah terbentuk ova yang dikelilingi sitoplasma berbentuk poligon, namun masih ada yang berbentuk menjulur. Ova matang, ova berbentuk elipe dan kompak. Dinding folikel diantara ova tipis dan halus dan ber-crenate dalam ovari. Stadium V: Mulai Istirahat dimana terlihat folikel pada ovarium menghilang, ova dikeluarkan, dinding folikel antara ova sangat tipis dan crenate hilang, beberapa ova mengalami sitolisis. Stadium VI: Istirahat (Regresi) dimana tidak ada sel-sel gamet, jaringan insterstial dan amoebosit paling banyak terlihat, folikel kosong, terdapat sedikit sisa kematangan ova dan kadang-kadang juga masih ada oosit terlihat di folikel. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerang hijau mempunyai jenis kelamin yang menetap. Hal ini terbukti dari 40 preparat gonad kerang hijau jantan dan betina secara histologi tidak ditemukan folikel jantan dan betina secara bersamaan dalam satu prefarat gonad. Hal ini sama dengan hasil penelitian Jabbar dan Davis (1987) pada kerang biru Mytilus edulis, reproduksinya berbentuk jenis kelamin hermaprodis yang terpisah, yakni karakteristik jantan dapat dilihat pada bagian dalam kerang berwarna putih sampai krem, sedangkan betina berwarna oranye (kekuningan). Namun lain halnya dengan kerang gajah Tridacna gigas menurut hasil penelitian Nash et al. (1988) bahwa reproduksinya berbentuk jenis

167 kelamin hermaprodis yang bersatu, yakni dalam satu gonad terdapat dua folikel jantan dan betina Bioakumulasi Logam Berat pada Gonad. Bioakumulasi logam Pb, Cd, Cr dan Hg dalam gonad kerang hijau jantan dan betina dari berbagai lokasi dapat dilihat pada Tabel 29 dan 30. Tabel 29. Kandungan logam berat pada gonad betina kerang hijau Perna viridis ber asal dari lokasi Kamal, Marunda Gembong, Karangantu dan Panimbang. No. Lokasi Logam Ullangan Rataan Kamal Pb(ppm) 0,0700 1,1600 1,8900 0,8700 0,9975 Cd (ppb) 11, , , , ,6413 Cr (ppb) 1010, , , , ,500 Hg (ppb) 0,0953 0,0157 0,0235 0,0325 0, Marunda Pb(ppm) 0,3440 0,3600 0,1730 0,9800 0,4643 Cd (ppb) 41, , , , ,8060 Cr (ppb) 26, , , , ,0365 Hg (ppb) 0,0456 0,0097 0,0163 0,0043 0, Gembong Pb(ppm) 0,1660 0,2830 0,1780 0,7300 0,3393 Cd (ppb) 26, , , , ,3705 Cr (ppb) 25, , , , ,5410 Hg (ppb) 0,0087 0,0099 0,0019 0,0027 0, Panimbang Pb(ppm) ttd ttd 0,0730 ttd 0,0183 Cd (ppb) ttd 13, ,1850 ttd 6,0690 Cr (ppb) ttd ttd ttd ttd ttd Hg (ppb) ttd ttd ttd ttd ttd 5 Karangantu Pb(ppm) ttd 0,0840 ttd ttd 0,0210 Catatan : ttd = tidak terdeteksi Cd (ppb) 12,3800 ttd ttd 15,3700 6,9375 Cr (ppb) ttd ttd ttd ttd ttd Hg (ppb) ttd ttd ttd ttd td Dari Tabel 29 terlihat bahwa kerang hijau betina yang ada di Teluk Jakarta, gonadnya telah mengandung logam berat yaitu logam Pb, Cd, Cr, dan Hg. Menurut Zenzes et al. (1995) logam Cd dapat terakumulasi dalam oosit dan dalam cairan folikel. Demikian pula hasil penelitian Stoneburne et al. (1980) pada perairan laut yang tercemar logam berat seperti Cr, Hg, Pb, Co Ni dan Mo terakumulusasi di dalam telur kura-kura laut (Caretta carreta) di lautan Atlatik Barat. Hasil penelitian

168 di tiga lokasi di Teluk Jakarta memperlihatkan bahwa keempat unsur tersebut terdapat dalam gonad kerang hijau betina, rataan kandungan logam Pb = 600,33±544,83 ppb; Cd = 32,273±28,091ppb; Cr = 527,36±461 ppb dan Hg = 0,0161±0,0131 pbb, namun kandungan logam-logam tersebut masih lebih rendah dibandingkan baku mutu makanan. Menurut The Codex Committee on Food Additive and Contaminants nilai maksimum kadmium pada makanan seperti sekitar 0.4 mg/kg atau setara 0,4 ppm atau 400 ppb (Arao dan Ishikawa, 2006). Namun menurut Darmono (1995) logam Cd pada daging ikan diperbolehkan maksimal sekitar 50 ppb. Selanjutnya dijelaskan bahwa dosis 24 ppm yang termakan pada anak-anak dapat menurunkan kecerdasan. Menurut FAO-WHO kandungan Hg dalam Tabel 30. Kandungan logam berat pada gonad jantan kerang hijau Perna viridis ber asal dari lokasi Kamal, Marunda Gembong, Karangantu dan Panimbang. No. Lokasi Logam Ulangan Rataan Kamal Pb(ppm) 0,1870 0,0890 0,1860 0,6700 0,2830 Cd (ppb) 44, , , , ,1170 Cr (ppb) 14, , , , ,0878 Hg (ppb) ttd 0,0093 ttd 0,0208 0, Marunda Pb(ppm) 0,2600 0,0890 0,4560 0,8400 0,4113 Cd (ppb) 27, , , , ,9268 Cr (ppb) 13, , , , ,9013 Hg (ppb) 0,0090 ttd 0,0095 0,0247 0, Gembong Pb(ppm) 0,3740 0,0900 0,2860 0,7900 0,3850 Cd (ppb) 29, , , , ,6333 Cr (ppb) 14, , , , ,6298 Hg (ppb) ttd 0,0094 0,0100 0,0182 0, Panimbang Pb(ppm) ttd ttd ttd ttd Ttd Cd (ppb) ttd ttd ttd ttd Ttd Cr (ppb) ttd ttd ttd ttd Ttd Hg (ppb) ttd ttd ttd ttd Ttd 5 Karangantu Pb(ppm) 0,0700 ttd ttd ttd 0,0175 Cd (ppb) 11,1810 ttd 14,1840 ttd 6,3413 Cr (ppb) ttd ttd ttd ttd ttd Hg (ppb) ttd Ttd ttd ttd ttd Catatan : ttd = tidak terdeteksi

169 makanan tidak boleh melebihi batas ambang maksimal sekitar 30 ug/kg (setara 0,03 ppm= 30 ppb). Namun menurut Vettorazzi bahwa Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) merekomendasikan lebih rendah lagi yaitu Hg (total) 5 ppb dan Hg (metil) 3,3 ppb (Darmono, 2001). Selanjutnya dijelaskan lagi bahwa batas maksimalkandungan logam Pb 50 ppb, dan Cd 8,3 ppb. Berdasar batas ambang maksimal PTWI menunjukan bahwa gonad kerang betina telah mengalami pencemaran yang berat. Kandungan logam berat Pb, Cd, Cr dan Hg juga terdapat dalam gonad kerang hijau jantan (Tabel 30), rataan yang diperoleh di Teluk Jakarta adalah Pb=359,75±272,41ppb; Cd=36,559±21,90 ppb; Cr=504,21±448,64 ppb dan Hg=0,0092± 0,0085 ppb. Menurut batas ambang PTWI-WHO mengindikasikan bahwa kerang di Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran yang berat. Keadaan ini didukung oleh laporan Wahyuni et al. (1993) bahwa daging kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta mengadung logam berat Hg 1,443 ppm; Pb ppm;cu ppm; Cd ppm dan Zn Dari data tersebut baik kerang jantan maupun betina di Teluk Jakarta tinggi terjadi akumulasi logam berat krommium (Cr) dalam gonadnya. Menurut Hastuti et al. (2006) kandungan logam tersebut belum berpengaruh negatif terhadap kondisi tubuh ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) bahkan sampai pemberian dosis 1,5 ppm kromium trivalen dalam suplemen pakan dapat menyebabkan resistensi terhadap stress penurunan suhu lingkungan yang terbaik, sehingga menghasilkan pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan yang jauh lebih baik. Hasil analisis kandungan logam berat dalam kerang hijau betina dan jantan yang berasal dari Karangantu, Teluk Banten dan Panimbang, Teluk Lada menunjukan ada indikasi kedua teluk tersebut telah mengalami pencemaran logam Pb dan Cd. Keadaan tersebut wajar karena Propinsi Banten telah padat penduduk dan Industri telah berkembang pesat. Selain itu juga perairan ini telah digunakan sebagai transportasi masa. Menurut hasil penelitian Muawanah et al. (2005) bahwa Teluk Lada khususnya di Daerah Panimbang perairan lautnya telah tercemar oleh logam berat seperti Hg 0,001-0,021 ppm: Pb 0,005-0,023 ppm dan Cu 0,005-0,065 ppm.

170 4.5. Dampak Pencemaran Logam Berat terhadap Gametogenesis Hasil analisis histologis gonad kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta meliputi daerah Kamal, Marunda dan Gembong menunjukan sel-sel kelamin kerang hijau betina yang telah mengalami degradasi dan debris, dengan kata lain sel-sel oosit dan ova telah mengalami penyusutan, lalu hancur (lisis) dan hilang seperti terlihat pada Gambar 21. Kamal Marunda Keterangan: Histologi gonad betina kerang hijau di Kamal, Marunda dan Gembong Teluk Jakarta terdapat oosit yang degenerasi/menyusut dan hilangnya oosit Gembong Gambar 21. Kelainan histologi pada sel kelamin kerang hijau betina di daerah Kamal, Marunda dan Gembong, Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta. Menyusut, debris, lisis, dan hilangnya sel-sel gamet menurut Ochiai (1987) bahwa ion-ion logam Hg, Pb dan Sn dapat larut dalam lemak mampu melakukan penetrasi pada dinding membran sel, sehingga akhinya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam sel dan organ lain. Terakumulasinya ion-ion logam tersebut akan mennyebabkan tergangunya aktifitas enzime dan metabolisme dalam sel,

171 sehingga perkembangan sel terhambat, sel-sel menjadi lisis dan mati. Hasil penelitian Gosling (1992) menyatakan bahwa kerang yang tercemar logam berat akan menyebabkan terganggunya perkembangan gamet dan biasanya gamet mengalami degenerasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bioakumulasi logam berat dapat terjadi pada sistem vacuola dari organel lisosom tempat logam ditangkap oleh granula-granula sehingga logam terakumulasi dan organel ini akan menyebabkan degenerasi. Menurut Viarengo (1989) bahwa pencemaran logam Cu dan Cd dapat menyebabkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel. Selain itu juga mempengaruhi proses oksidasi, kerja enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel. Sebagai tindak lanjut proses bioakumulasi logam berat yang toksik akan mengalami biotransformasi dalam sel-sel, sehingga menyebabkan terjadinya mutasi gen-gen. Perubahan sensitif terjadi pada saat pembelahan sel-sel pada stadium metaphase dimana akan terjadi perubahan susunan kromosom akibat perubahan suhu dan kimia lingkungan. Menurut Dixon (1982) lebih lanjut dijelaskan akibat pencemaran logam yang berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan susunan gen-gen pada kromosom dan bahkan akan menyebabkan abrasi kromosom, keadaan ini telah dibuktikan pada kerang biru (M. edulis). Menurut Ochiai (1987) mekanisme logam berat dalam tubuh yang mengakibatkan toksik ada tiga macam yaitu: 1. Memblokir atau menghalangi kerja gugusan biomolekul yang esensial untuk proses-proses biologi, seperti protein dan enzime. Mekanisme kerja reaksi logam terhadap protein pada umumnya menyerang ikatan sulfida. Penyerangan terhadap ikatan sulfida yang selalu ada pada molekul protein itu akan menimbulkan kerusakan dari struktur protein terkait. 2. Menggantikan ion-ion logam esensial yang terdapat dalam molekul terkait. 3. Mengadakan modifikasi atau perubahan bentuk dari gugusan aktif yang dimiliki biomolekul. Histologi gonad kerang hijau betina yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada secara histologi terlihat masih normal, dan tidak ada indikasi terjadinya degradasi, regresi, debris dan lisis serta hilangnya sel-sel kelamin yang berupa oosit dan ova, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 22.

172 Karangantu, Teluk Banten Panimbang, Teluk Lada Keterangan: Histologi gonad betina kerang hijau Karangantu, Teluk Banten kelihatan ada ova yang lisis dan hilang. Panimbang, Teluk Lada histologinya normal tidak ada ova yang lisis. Gambar 22. Histologi normal pada sel kelamin kerang hijau betina di daerah Teluk Banten dan Teluk Lada Propinsi Banten. Histologi gonad jantan kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta yaitu daerah Kamal, Marunda dan Gembong, serta dari Teluk Banten yaitu daerah Karangantu dan Teluk Lada yaitu daerah Panimbang, dapat dilihat pada Gambar 23. Dari hasil observasi histologi gonad kerang jantan yang berasal dari Teluk Jakarta menunjukan indikasi bahwa diameter lumen folikel lebih kecil bila dibandingkan dengan lumen folikel yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Selain itu juga terlihat sel-sel kelamin di dalam lumen folikel agak renggang bila dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Kondisi ini diduga diakibatkan oleh ion-ion logam Pb, Hg, Cr dan Cd telah terjadi penetrasi ke dalam sel-sel dan mempengaruhi aktifitas enzim atau metabolis di dalam sel-sel, sehingga perkembangan sel-sel gamet terhambat, lisis dan mati. Dengan demikian kondisi tersebut diduga memungkinkan penyebab diameter folikel mengecil dan jumlah selsel berkurang.

173 Kamal, Teluk Jakarta Marunda, Teluk Jakarta Gembong, Teluk Jakarta Karangantu, Teluk Banten Keterangan: -Diameter lumen folikel gonad jantan kerang hijau yang berasal dari Teluk Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Banten dan Teluk Lada. Panimbang, Teluk Lada Gambar 23. Diameter lumen folikel gonad jantan kerang hijau daerah Kamal, Marunda dan Gembong Teluk Jakarta, Karangantu Teluk Banten dan Panimbang, Teluk Lada. Ukuran diameter inti sel-sel kelamin jantan dan betina kerang hijau Perna viridis L yang berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada dapat dilihat Tabel 31.

174 Tabel 31. Rataan diameter inti sel-sel kelamin betina dan jantan kerang hijau. No JENIS KELAMIN SEL-SEL KELAMIN RATAAN DIAMETER INTI SEL (µm) A. BETINA 1. Oogonia 2. Oosit primer 3. Oosit sekunder 1,5097 ± 0,3475 2,8170 ± 0,5038 1,7768 ± 0,3974 B. JANTAN 1. Spermatogonia 2. Spermatosit primer 3. Spermatosit sekunder 4. Spermatozoa 1,2011 ± 0,1021 1,0510 ± 0,0923 0,5394 ± 0,1059 0,3615 ± 0,3615 Sel-sel kelamin jantan yang diukur pada penelitian ini adalah spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatozoa yang diukur dapat dilihat Gambar 24. B A D C Gambar 24. Sel-sel kelamin jantan kerang hijau Perna viridis; A, spermatogonia; B, spermatosit primer; C, spermatosit sekunder dan D, Spermatozoa. Sel-sel kelamin betina yang diukur pada penelitian ini yaitu oogonia, oosit primer, dan oosit sekunder yang diukur dapat dilihat Gambar 25.

175 C B A Gambar 25. Sel-sel kelamin betina kerang hijau. A, oogonia; B; oosit primer dan C, oosit sekunder Hasil observasi jumlah sel-sel kelamin betina kerang hijau di Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Banten Lada dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Rataan sel-sel kelamin betina kerang hijau berasal dari Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Teluk Lada. No Lokasi N Sel-sel kelamin betina Jumlah sel A Teluk Jakarta Oogonia Oosit primer Oosit sekunder 1.Kamal 2.Marunda 3.Gembong ,70 ± 4,12 12,86 ±4,96 13,84 ±4,13 20,04 ± 9,30 25,38 ± 13,34 15,94 ± 6, ± 4, ± 4, ± 2,72 40,52 ± 13,42 47,48 ± 19,41 37,62 ± 9,47 B C Rataan 13,14±2,56 A 20,45 ± 6,17 A 8,28±2,01 A 41,87±8,60 A Tlk.Banten 1.Karangantu 80 12,86 ± 4,00 31,92 ± 10,61 7,12 ± 4,26 51,901± 16,38 Rataan 12,86±4,00 A 31,92 ± 10,61 B 7,12±4,26 A 51,901±16,38 A Teluk Lada 1.Panimbang 80 19,33 ± 9,08 46,33 ± 18,69 14,71 ± 10,12 80,37 ± 30,64 Rataan 19,33±9,08 B 46,33 ± 18,69 c 14,71±10,12 B 80,37±30,64 B Keterangan: Nilai yang diikuti superscript huruf besar secara kolom berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis statistik (lampiran 25) menunjukan jumlah oogonia kerang yang berasal dari Teluk Jakarta tidak berbeda dengan Teluk Banten (P>0,05), akan tetapi sangat tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari Teluk Lada (P<0,01).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerang hijau Perna viridis memiliki kandungan gizi yang cukup baik untuk konsumsi masyarakat, karena mengandung nilai gizi yang tinggi yaitu protein 20,1%, karbohidrat

Lebih terperinci

BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GAMETOGENESIS KERANG HIJAU PERNA VIRIDIS: STUDI KASUS DI TELUK JAKARTA, TELUK BANTEN DAN TELUK LADA

BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GAMETOGENESIS KERANG HIJAU PERNA VIRIDIS: STUDI KASUS DI TELUK JAKARTA, TELUK BANTEN DAN TELUK LADA BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP GAMETOGENESIS KERANG HIJAU PERNA VIRIDIS: STUDI KASUS DI TELUK JAKARTA, TELUK BANTEN DAN TELUK LADA J A L I U S SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

AKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP SPERMATOGENESIS KERANG HIJAU (Perna viridis) 1

AKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP SPERMATOGENESIS KERANG HIJAU (Perna viridis) 1 AKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP SPERMATOGENESIS KERANG HIJAU (Perna viridis) 1 ABSTRAK (The Heavy Metal of Accumulation and Its Effects to Spermatogenesis on the Green Mussel (Perna viridis))

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teluk Jakarta merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia yang di dalamnya banyak terdapat kegiatan, seperti pemukiman, perkotaan, transportasi, wisata, dan industri.

Lebih terperinci

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang beratnya lebih dari 5g, untuk setiap cm 3 -nya. Delapan puluh jenis dari 109 unsur kimia yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. buang tanpa adanya pengolahan limbah yang efesien dan terbuang mengikuti arus

BAB 1 PENDAHULUAN. buang tanpa adanya pengolahan limbah yang efesien dan terbuang mengikuti arus BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indramayu merupakan salah satu daerah yang penduduknya terpadat di Indonesia, selain itu juga Indramayu memiliki kawasan industri yang lumayan luas seluruh aktivitas

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. laut, walaupun jumlahnya sangat terbatas. Dalam kondisi normal, beberapa macam

PENDAHULUAN. laut, walaupun jumlahnya sangat terbatas. Dalam kondisi normal, beberapa macam PENDAHULUAN Latar Belakang Logam dan mineral lainnya hampir selalu ditemukan dalam air tawar dan air laut, walaupun jumlahnya sangat terbatas. Dalam kondisi normal, beberapa macam logam baik logam ringan

Lebih terperinci

ANALISIS STATUS PENCEMARAN LOGAM BERAT Pb, Cd DAN Cu DI PERAIRAN TELUK KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR LUTHER KADANG

ANALISIS STATUS PENCEMARAN LOGAM BERAT Pb, Cd DAN Cu DI PERAIRAN TELUK KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR LUTHER KADANG ANALISIS STATUS PENCEMARAN LOGAM BERAT Pb, Cd DAN Cu DI PERAIRAN TELUK KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR LUTHER KADANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA AIR, SEDIMEN, DAN KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PANTAI BELAWAN, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA AIR, SEDIMEN, DAN KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PANTAI BELAWAN, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA AIR, SEDIMEN, DAN KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PANTAI BELAWAN, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI ARYALAN GINTING 090302081 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam timbal atau Pb adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia yang sangat tinggi telah menimbulkan banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan oleh manusia ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan lingkungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sumber protein hewani. Kandungan protein kerang yaitu 8 gr/100 gr. Selain itu,

PENDAHULUAN. sumber protein hewani. Kandungan protein kerang yaitu 8 gr/100 gr. Selain itu, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerang merupakan satu diantara penghuni perairan dan juga menjadi sumber protein hewani. Kandungan protein kerang yaitu 8 gr/100 gr. Selain itu, kerang juga memiliki kandungan

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT AIR LAUT, SEDIMEN DAN DAGING KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PERAIRAN MENTOK DAN TANJUNG JABUNG TIMUR

KANDUNGAN LOGAM BERAT AIR LAUT, SEDIMEN DAN DAGING KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PERAIRAN MENTOK DAN TANJUNG JABUNG TIMUR KANDUNGAN LOGAM BERAT AIR LAUT, SEDIMEN DAN DAGING KERANG DARAH (Anadara granosa) DI PERAIRAN MENTOK DAN TANJUNG JABUNG TIMUR (Heavy Metals Content in Seawater Sediment and Anadara granosa, in Mentok and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Sebagian besar bumi terdiri atas air karena luas daratan lebih kecil dibandingkan

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran logam berat sangat berbahaya bagi lingkungan. Banyak laporan yang memberikan fakta betapa berbahayanya pencemaran lingkungan terutama oleh logam berat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program pembangunan Indonesia yang dewasa ini sedang berkembang diwarnai dengan pertambahan penduduk dan kebutuhan pangan yang terus meningkat. Sumberdaya perairan

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PERCUT TESIS.

KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PERCUT TESIS. KANDUNGAN LOGAM KADMIUM (Cd), TIMBAL (Pb) DAN MERKURI (Hg) PADA AIR DAN KOMUNITAS IKAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PERCUT TESIS Oleh : RIRI SAFITRI 127030017/BIO PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas manusia berupa kegiatan industri, rumah tangga, pertanian dan pertambangan menghasilkan buangan limbah yang tidak digunakan kembali yang menjadi sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 51' 30 BT perairan tersebut penting di Sumatera Utara. Selain terletak di bibir Selat

BAB I PENDAHULUAN. 51' 30 BT perairan tersebut penting di Sumatera Utara. Selain terletak di bibir Selat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Bagan Asahan yang terletak pada koordinat 03 01' 00 LU dan 99 51' 30 BT perairan tersebut penting di Sumatera Utara. Selain terletak di bibir Selat Malaka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laut dan kehidupan di dalamnya merupakan bagian apa yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. Laut dan kehidupan di dalamnya merupakan bagian apa yang disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laut dan kehidupan di dalamnya merupakan bagian apa yang disebut Ekosistem yaitu suatu lingkungan tempat berlangsungnya reaksi timbal balik antara makhluk dan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri penyamakan kulit merupakan industri yang dapat mengubah kulit mentah menjadi kulit yang memiliki nilai ekonomi tinggi melalui proses penyamakan, akan tetapi

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin berkurangnya lahan sebagai tempat merumputnya sapi, maka banyak peternak mencari alternatif lain termasuk melepas ternak sapinya di tempat pembuangan sampah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2004). Menurut Palar (1994) pencemaran adalah suatu kondisi yang telah

BAB I PENDAHULUAN. 2004). Menurut Palar (1994) pencemaran adalah suatu kondisi yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan sering tercemar oleh berbagai komponen anorganik. Limbah anorganik menurut Mukhtasor (2007) merupakan bahan yang tidak dapat terurai atau termasuk dalam senyawa

Lebih terperinci

TINGKAT BIOAKUMULASI LOGAM BERAT PB (TIMBAL) PADA JARINGAN LUNAK Polymesoda erosa (MOLUSKA, BIVALVE)

TINGKAT BIOAKUMULASI LOGAM BERAT PB (TIMBAL) PADA JARINGAN LUNAK Polymesoda erosa (MOLUSKA, BIVALVE) Abstrak TINGKAT BIOAKUMULASI LOGAM BERAT PB (TIMBAL) PADA JARINGAN LUNAK Polymesoda erosa (MOLUSKA, BIVALVE) Johan Danu Prasetya, Ita Widowati dan Jusup Suprijanto Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ELIMINASI POLUTAN DARI LIMBAH CAIR LABORATORIUM DENGAN PROSES KOAGULASI ERLY ANACE LOUISA MAMUSUNG

ELIMINASI POLUTAN DARI LIMBAH CAIR LABORATORIUM DENGAN PROSES KOAGULASI ERLY ANACE LOUISA MAMUSUNG ELIMINASI POLUTAN DARI LIMBAH CAIR LABORATORIUM DENGAN PROSES KOAGULASI ERLY ANACE LOUISA MAMUSUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan industri (Singh, 2001). Hal ini juga menyebabkan limbah

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan industri (Singh, 2001). Hal ini juga menyebabkan limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran logam berat telah menyebar keseluruh belahan dunia sejalan dengan perkembangan industri (Singh, 2001). Hal ini juga menyebabkan limbah yang dihasilkan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DALAM MANGROVE Rhizophora mucronata dan Avicennia marina DI MUARA ANGKE JAKARTA

BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DALAM MANGROVE Rhizophora mucronata dan Avicennia marina DI MUARA ANGKE JAKARTA J.Tek.Ling Vol. 7 No. 3 Hal. 266-270 Jakarta, Sept. 2006 ISSN 1441 318X BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DALAM MANGROVE Rhizophora mucronata dan Avicennia marina DI MUARA ANGKE JAKARTA Titin Handayani Peneliti

Lebih terperinci

Oleh : Siti Rudiyanti Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

Oleh : Siti Rudiyanti Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro BIOKONSENTRASI KERANG DARAH (Anadara granosa Linn)Terhadap LOGAM BERAT CADMIUM (Cd) YANG TERKANDUNG DALAM MEDIA PEMELIHARAAN YANG BERASAL DARI PERAIRAN KALIWUNGU, KENDAL Oleh : Siti Rudiyanti Program Studi

Lebih terperinci

PERAIRAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA

PERAIRAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS PENCEMARAN LOGAM BERAT Cu, Cd dan Pb DI PERAIRAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA (Studi kasus P.Panggang dan P. Pramuka) HARRY SUDRADJAT JOHARI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Logam berat merupakan salah satu komponen pencemar lingkungan, baik

BAB I PENDAHULUAN. Logam berat merupakan salah satu komponen pencemar lingkungan, baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam berat merupakan salah satu komponen pencemar lingkungan, baik di darat, perairan maupun udara. Logam berat yang sering mencemari lingkungan terutama adalah merkuri

Lebih terperinci

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat I NYOMAN SUKARTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

STUDI KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) DI PERAIRAN DANAU TOBA, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI. Oleh:

STUDI KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) DI PERAIRAN DANAU TOBA, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI. Oleh: STUDI KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) DI PERAIRAN DANAU TOBA, PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: HIRAS SUCIPTO TAMPUBOLON 090302074 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kadmium (Cd) merupakan logam berat yang banyak ditemukan di lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi pada konsentrasi yang rendah

Lebih terperinci

KAJIAN KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN SENG (Zn) PADA AIR, SEDIMEN, DAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN WADUK CIRATA, PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN SENG (Zn) PADA AIR, SEDIMEN, DAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN WADUK CIRATA, PROVINSI JAWA BARAT KAJIAN KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN SENG (Zn) PADA AIR, SEDIMEN, DAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN WADUK CIRATA, PROVINSI JAWA BARAT MUHAMMAD AMIEN H SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi penelitian

Gambar 7. Lokasi penelitian 3. METODA PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di muara Sungai Angke dan perairan Muara Angke, Jakarta Utara (Gambar 7). Lokasi tersebut dipilih atas dasar pertimbangan,

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan pembangunan di Indonesia selain membawa dampak positif juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Panggang adalah salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang memiliki berbagai ekosistem pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT

KANDUNGAN LOGAM BERAT KANDUNGAN LOGAM BERAT Cu, Zn, DAN Pb DALAM AIR, IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DALAM KERAMBA JARING APUNG, WADUK SAGULING SHITA FEMALA SHINDU DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dewasa ini cukup pesat, terutama di kawasan pusat industri Bangil. Hampir setiap

BAB I PENDAHULUAN. dewasa ini cukup pesat, terutama di kawasan pusat industri Bangil. Hampir setiap ( ( 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri di kawasan Kabupaten Pasuruan dan sekitarnya dewasa ini cukup pesat, terutama di kawasan pusat industri Bangil. Hampir setiap tahunnya mengalami

Lebih terperinci

Dampak Pencemaran Pantai Dan Laut Terhadap Kesehatan Manusia

Dampak Pencemaran Pantai Dan Laut Terhadap Kesehatan Manusia Dampak Pencemaran Pantai Dan Laut Terhadap Kesehatan Manusia Dengan semakin meluasnya kawasan pemukiman penduduk, semakin meningkatnya produk industri rumah tangga, serta semakin berkembangnya Kawasan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR MERKURI (Hg) Gracilaria sp. DI TAMBAK DESA KUPANG SIDOARJO

ANALISIS KADAR MERKURI (Hg) Gracilaria sp. DI TAMBAK DESA KUPANG SIDOARJO ANALISIS KADAR MERKURI (Hg) Gracilaria sp. DI TAMBAK DESA KUPANG SIDOARJO Hendra Wahyu Prasojo, Istamar Syamsuri, Sueb Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Malang Jalan Semarang no. 5 Malang

Lebih terperinci

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA Oleh: Wini Wardani Hidayat C64103013 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DAMPAK LIMBAH CAIR PERUMAHAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN (Studi Kasus: Nirwana Estate, Cibinong dan Griya Depok Asri, Depok) HENNY FITRINAWATI

DAMPAK LIMBAH CAIR PERUMAHAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN (Studi Kasus: Nirwana Estate, Cibinong dan Griya Depok Asri, Depok) HENNY FITRINAWATI DAMPAK LIMBAH CAIR PERUMAHAN TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN (Studi Kasus: Nirwana Estate, Cibinong dan Griya Depok Asri, Depok) HENNY FITRINAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI 1 HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT MALAKA TANJUNG BERINGIN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : JULIA SYAHRIANI HASIBUAN 110302065

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA

STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA STUDI KETERKAITAN BEBAN LIMBAH TERHADAP KUALITAS PERAIRAN (STUDI KASUS KAMAL MUARA) HELMA DAHLIA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buangan/limbah yang selanjutnya akan menyebabkan pencemaran air, tanah, dan. h:1). Aktivitas dari manusia dengan adanya kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. buangan/limbah yang selanjutnya akan menyebabkan pencemaran air, tanah, dan. h:1). Aktivitas dari manusia dengan adanya kegiatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya laju pembangunan, terutama di bidang industri, transportasi dan ditambah dangan kegiatan manusia di bidang intensifikasi pertanian maupun perikanan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri tekstil selain menghasilkan suatu produk juga menghasilkan produk sampingan berupa air limbah, yang sering kali mencemari lingkungan terutama perairan.

Lebih terperinci

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN SENG (Zn) PADA AIR, SEDIMEN, DAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN WADUK CIRATA, PROVINSI JAWA BARAT

KAJIAN KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN SENG (Zn) PADA AIR, SEDIMEN, DAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN WADUK CIRATA, PROVINSI JAWA BARAT KAJIAN KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN SENG (Zn) PADA AIR, SEDIMEN, DAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN WADUK CIRATA, PROVINSI JAWA BARAT MUHAMMAD AMIEN H SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung, Kabupaten Demak

Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung, Kabupaten Demak JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 167-172 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Analisis Logam Berat Timbal pada Sedimen Dasar Perairan Muara Sungai Sayung,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan salah satu unsur alam yang sama pentingnya dengan air dan udara. Tanah adalah suatu benda alami, bagian dari permukaan bumi yang dapat ditumbuhi oleh

Lebih terperinci

dari tumpahan minyak-minyak kapal.akibatnya, populasi ikan yang merupakan salah satu primadona mata pencaharian masyarakat akan semakin langka (Medan

dari tumpahan minyak-minyak kapal.akibatnya, populasi ikan yang merupakan salah satu primadona mata pencaharian masyarakat akan semakin langka (Medan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan lokal maupun Internasional.

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS DEPURASI UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb dan Cd DALAM DAGING KERANG DARAH (Anadara granossa)

EFEKTIFITAS DEPURASI UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb dan Cd DALAM DAGING KERANG DARAH (Anadara granossa) EFEKTIFITAS DEPURASI UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN LOGAM BERAT Pb dan Cd DALAM DAGING KERANG DARAH (Anadara granossa) D 03 Putut Har Riyadi*, Apri Dwi Anggo, Romadhon Prodi Teknologi Hasil Perikanan, Universitas

Lebih terperinci

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

ANALISIS LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA IKAN LELE (Clarias sp.) YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOTA PEKALONGAN

ANALISIS LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA IKAN LELE (Clarias sp.) YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOTA PEKALONGAN ANALISIS LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA IKAN LELE (Clarias sp.) YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOTA PEKALONGAN Metha Anung Anindhita 1), Siska Rusmalina 2), Hayati Soeprapto 3) 1), 2) Prodi D III Farmasi Fakultas

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU Scy[la serrata ( FORSKAL ) SEGARA MORFOLOGIS DAN KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET Olela TITIK RETNOWATI C 23.1695 JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG PENYERAPAN KADMIUM OLEH FRAKSI TERLARUT DAN FRAKSI TIDAK TERLARUT BIJI SORGUM PADA UKURAN PARTIKEL DAN KONSENTRASI YANG BERBEDA CADMIUM ABSORPTION BY SOLUBLE AND INSOLUBLE FRACTIONS OF SORGHUM SEEDS AT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI KHOERUNNISSA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN KHOERUNNISSA.

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI

STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Pencemaran Teluk Jakarta

Pencemaran Teluk Jakarta Pencemaran Teluk Jakarta Republika Sabtu, 29 Mei 2004 Pencemaran Teluk Jakarta Oleh : Tridoyo Kusumastanto# Pasca kematian massal ikan di Teluk Jakarta, publik telah disuguhi berbagai macam analisis kemungkinan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Chlorella SP 1. Klasifikasi Penamaan Chlorella sp karena memiliki kandungan klorofil yang tinggi dan juga merupakan produsen primer dalam rantai makanan (Sidabutar, 1999).

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN WAKTU DAN PROSES PEMASAKAN TERHADAP KONSENTRASI LOGAM TEMBAGA DAN KADMIUM PADA KERANG HIJAU (Perna viridis)

PENGARUH PERBEDAAN WAKTU DAN PROSES PEMASAKAN TERHADAP KONSENTRASI LOGAM TEMBAGA DAN KADMIUM PADA KERANG HIJAU (Perna viridis) PENGARUH PERBEDAAN WAKTU DAN PROSES PEMASAKAN TERHADAP KONSENTRASI LOGAM TEMBAGA DAN KADMIUM PADA KERANG HIJAU (Perna viridis) THE EFFECT OF DIFFERENT DURATIONS AND PROCESSES OF COOKING ON COPPER AND CADMIUM

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan demikian laut seakan-akan merupakan sabuk pengaman kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dengan demikian laut seakan-akan merupakan sabuk pengaman kehidupan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia di bumi ini sangat bergantung pada lautan, manusia harus menjaga kebersihan dan kelangsungan kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. Dengan demikian

Lebih terperinci

PENENTUAN KANDUNGAN LOGAM Pb DAN Cr PADA AIR DAN SEDIMEN DI SUNGAI AO DESA SAM SAM KABUPATEN TABANAN

PENENTUAN KANDUNGAN LOGAM Pb DAN Cr PADA AIR DAN SEDIMEN DI SUNGAI AO DESA SAM SAM KABUPATEN TABANAN PENENTUAN KANDUNGAN LOGAM Pb DAN Cr PADA AIR DAN SEDIMEN DI SUNGAI AO DESA SAM SAM KABUPATEN TABANAN NI PUTU DIANTARIANI DAN K.G. DHARMA PUTRA Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana. ABSTRAK Telah diteliti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akibatnya air mengalami penurunan akan kualitasnya. maka batas pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda-beda.

I. PENDAHULUAN. akibatnya air mengalami penurunan akan kualitasnya. maka batas pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda-beda. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran air dapat diartikan sebagai masuknya suatu mahluk hidup, zat cair atau zat padat, suatu energi atau komponen lain ke dalam air. Sehingga kualitas air menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung adalah ibukota dari Provinsi Lampung yang merupakan

I. PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung adalah ibukota dari Provinsi Lampung yang merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandar Lampung adalah ibukota dari Provinsi Lampung yang merupakan gabungan dari Kecamatan Tanjungkarang dan Kecamatan Telukbetung. Bandar Lampung merupakan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia, akan tetapi pembangunan di bidang industri ini juga memberikan. berat dalam proses produksinya (Palar, 1994).

I. PENDAHULUAN. manusia, akan tetapi pembangunan di bidang industri ini juga memberikan. berat dalam proses produksinya (Palar, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan teknologi yang berhubungan dengan pembangunan di bidang industri banyak memberikan keuntungan bagi manusia, akan tetapi pembangunan di bidang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (UU No. 45 tahun 2009). Kandungan lemak tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi kehidupan, karena selain dikonsumsi, juga digunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan seperti memasak, mandi, mencuci, dan

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR LOGAM BERAT PADA SUNGAI DI JAWA TENGAH

ANALISIS KADAR LOGAM BERAT PADA SUNGAI DI JAWA TENGAH ANALISIS KADAR LOGAM BERAT PADA SUNGAI DI JAWA TENGAH Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Seamarang Email: rsant_ti@yahoo.com Abstrak. Penelitian bertujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah yang sangat krusial bagi negara maju dan sedang berkembang. Terjadinya

I. PENDAHULUAN. masalah yang sangat krusial bagi negara maju dan sedang berkembang. Terjadinya I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas di berbagai sektor pembangunan, terutama pada sektor industri, maka masalah pencemaran lingkungan menjadi masalah yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, hewan maupun tumbuhan. Pencemaran terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, hewan maupun tumbuhan. Pencemaran terhadap lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran adalah suatu hal yang telah lama menjadi permasalahan bagi kehidupan manusia, hewan maupun tumbuhan. Pencemaran terhadap lingkungan dapat menyebabkan dampak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci