BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM. Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM. Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM II.1. Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum Nasional Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, ada dua teori yang terkemuka, yaitu: Dualisme Teori ini dikemukakan oleh para penulis positivis seperti Triepel dan Anzilotti. Bagi mereka, dengan konsepsi teori kehendak mereka tentang hukum internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap hukum nasional sebagai suatu sistem yang terpisah. Menurut Triepel, terdapat dua perbedaan fundamental di antara kedua sistem hukum tersebut yaitu: a. Subjek-subjek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subjeksubjek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya Negara-negara b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak Negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari Negara-negara 15 J.G. Starke. Op. cit. Halaman 96-99

2 Adapun butir (a) di atas tidak dapat dikatakan benar karena hukum internasional juga mengikat individu-individu, sedangkan butir (b) agak menyesatkan karena di atas kehendak bersama tersebut terdapat prinsip-prinsip fundamental hukum internasional yang lebih tinggi darinya dan yang mengatur pelaksanaan atau pernyataannya. Sedangkan Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda, ia membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing sitem itu ditentukan. Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan Negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda. Yaitu perjanjian antar Negara-negara harus dijunjung tinggi, sehingga kedua sistem itu memang terpisah sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan antara keduanya, yang mungkin terjadi adalah penunjukan-penunjukan (renvois) dari sistem yang satu ke sistem yang lain, selain daripada itu tidak ada hubungan apa-apa. Mengenai teori Anzilotti ini, cukuplah mengatakan bahwa karena alasan-alasan yang dikemukakan, tidak benar bahwa pacta sunt servanda harus dianggap sebagai norma yang melandasi hukum internasional; prinsip ini hanya merupakan sebagian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum internasional. 2. Monisme Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualism, pengikutpengikut teori monism menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan

3 tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat Negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan Negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan dan poin yang menentukan karenanya adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan. Jika secara hipotesis diakui bahwa hukum internasional merupakan suatu sistem kaidah yang benar-benar berkarakter hukum, maka menurut Kelsen dan penulis-penulis monistis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian, suatu konstruksi selain monisme, khususnya dualism, bermuara pada suatu penyangkalan karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulis-penulis monistis tidak akan berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan di dalam suatu struktur hukum. Namun, penulis-penulis lain yang mendukung monime berdasarkan alasan-alasan yang bukan cuma abstrak semata-mata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara kolektif ataupun individual. Dengan perkataan lain, individulah yang sesungguhnya menjadi akar kesatuan dari semua hukum tersebut.

4 Dari segi pandang teori dualistik yang menekankan kedaulatan kehendak Negara maka primat (primacy) terletak pada hukum nasional. Dalam hal ini, pendukung Monisme berbeda pendapat. Kelsen, misalnya dengan membuat suatu analisis struktural hukum internasional dan hukum nasional. Kelsen menerapkan doktrin hirarkis yang mana menurut doktrin ini kaidah-kaidah hukum ditentukan oleh kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip lain yang dengan mana kaidah-kaidah tersebut mendapat validitas atau kekuatan mengikatnya; dengan demikian kaidah yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan perundangundangan ditentukan oleh kaidah yang lebih tinggi. Dengan ini, Kelsen berkeberatan atas pandangan mengenai pemilihan antara hukum internasional dan hukum nasional didasarkan pada alasan bahwa cara pandangnya tersebut berakar pada suatu pendekatan filosofis yang sangat meragukan. 16 Lebih lanjut, tesis mengenai pemberian primat akhir pada hukum nasional dapat dikatakan tidak berhasil dalam dua hal penting: Apabila hukum internasional memperoleh validitasnya hanya dari konstitusi Negara, maka hukum internasional tidak akan berlaku lagi apabila konstitusi yang menjadi sandaran otoritasnya tersebut tidak berlaku. Akan tetapi yang lebih pasti adalah bahwa berlaku sahnya hukum internasional tidak bergantung pada perubahan atau penghapusan konstitusi-konstitusi atau pada revolusi. 2. Masuknya Negara-negara baru ke dalam masyarakat internasional. Telah menjadi ketetapan bahwa hukum internasional mengikat Negara-negara baru 16 Ibid. Halaman Ibid

5 tanpa harus ada persetujuan Negara tersebut, dan persetujuan demikian apabila dinyatakan secara tegas hanya merupakan suatu pernyataan mengenai kedudukan hukum yang sebenarnya saja. Di samping itu, terdapat tugas bagi setiap Negara untuk menyelaraskan bukan hanya undang-undangnya saja, tapi juga konstitusinya, dengan hukum internasional. II.2. Sejarah Perkembangan Hukum HAM Internasional dan Nasional Salah satu tonggak penting perkembangan HAM internasional adalah disahkannya The International Bill of Human Rights yang terdiri atas: Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterima dan diumumkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III), International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Ekosob) dan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol) yang ditetapkan melalui resolusi majelis umum PBB 2200 A (XXI), serta Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights dan Second Optional Protocol to the International Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty. Ketiga instrumen pertama ini disebut sebagai The International Bill of Human Rights karena semua instrumen ini merupakan fondasi dari Hak Asasi Manusia internasional, instrumen HAM internasional lain yang ada merupakan penjabaran dari The International

6 Bill of Human Rights. Selain itu, The International Bill of Human Rights juga merupakan bagian dari international customary law (Hukum kebiasaan internasional) Karena keberlakuannya di Negara-negara anggota PBB adalah otomatis walaupun tidak diratifikasi oleh Negara-negara tersebut dan telah berlaku sebagai jus cogens di antara masyarakat internasional. Hukum HAM internasional sendiri pada tahap awal perkembangannya hanya mengakomodir hak-hak sipil yang mana melarang kekuasaan publik untuk menghalangi individual dalam masyarakat, pada tahap ini perlindungan HAM lazim disebut First-Generation Negative Rights. Hak-hak yang dicakup dalam perlindungan ini adalah hak berpikir, hak untuk berbicara, hak beragama, dan kebebasan bermufakat. Beberapa pengamat mengatakan bahwa inilah HAM dalam artian sebenarnya, sedangkan pendapat lain menyatakan hak-hak tersebut adalah HAM yang terpenting karena jika seseorang memiliki hak-hak sipil dan politik, maka ia dapat menghasilkan hal-hal lainnya, sedangkan sisanya menyatakan bahwa hak-hak ini tidak terlalu penting karena jika seseorang berkekurangan dalam kebutuhan primernya seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan, hak-hak sipil dan politik tidak akan terlalu berarti. Sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai Second-Generation Positive Rights yang lebih berbasis hak sosial ekonomi. Berbanding terbalik dengan yang pertama, pada tahap ini, justru ditekankan adanya peran kekuasaan publik untuk mengambil langkah-

7 langkah positif untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang vital seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan. 18 Perdebatan mengenai hak mana yang harus lebih diprioritaskan; hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi perdebatan dalam beberapa lama, terutama karena adanya bentrokan kepentingan antara Negaranegara blok timur dan blok barat. Negara-negara blok timur (Uni soviet) lebih mementingkan hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan Negara-negara blok barat (Amerika Serikat) justru menganggap hal ini sangat kontroversial dan sebaliknya lebih menekankan perlunya hak sipil dan politik. Perbedaan orientasi ini mengakibatkan lahirnya Kovenan Ekosob yang disponsori oleh Negara-negara yang berpaham sosialis komunis dan Kovenan Sipol yang disponsori oleh Negaranegara liberalis kapitalis. Perdebatan ini baru memperoleh momentum baru tanpa terpecah pertempuran ideologi antarnegara pada tahun 1993, setelah usainya perang dingin. 19 Dalam perkembangannya, mulai timbul kesadaran bahwa perjuangan akan hak-hak bersama adalah jauh lebih penting daripada hak-hak perseorangan, seperti hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan alam yang bersih, hak atas sumber daya alam sendiri, dan hak atas warisan budayanya sendiri, oleh karena itu ia disebut sebagai Third-Generation Solidarity. 18 Thomas G. Weiss, David P. Forsythe, dan Roger A. Coate The United Nations and Changing World Politics, Second Edition. USA: Westview Press. Halaman Saafroedin Bahar Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 4. Seperti dikutip oleh M. Arif Hisbullah. Op. cit. Halaman 30

8 Pasal-pasal dalam DUHAM sendiri secara spesifik dibagi menjadi beberapa kategori hak: Hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan bagi individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya, yakni hak pribadi atau individu. Hak yang dimaksud antara lain: a. Pengakuan atas martabat (Pasal 1) b. Perlindungan dari tindakan diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 2) c. Jaminan atas kebutuhan (Pasal 3) d. Terhindar dari perbudakan (Pasal 4) e. Perlindungan atas tindakan sewenang-wenang dan penganiayaan (Pasal 5) f. Kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga Negara (Pasal 15) 2. Hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem hukum yang ada. Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan suatu sistem hukum pada manusia, yaitu: a. Persamaan di depan hukum (Pasal 6) b. Tidak diperlakukan sewenang-wenang (Pasal 9) c. Memperoleh pengadilan yang adil (Pasal 10) d. Dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal 11) e. Tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh Negara (Pasal 12) 20 Pendapat Dadang Juliantara sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 34-35

9 3. Hak yang memungkinkan individu untuk turut ambil bagian dalam jalannya pemerintahan, yang biasa dikenal dengan hak-hak sipil dan politik. Hak dimaksud antara lain: a. Hak kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18) b. Hak menyatakan pikiran secara bebas (Pasal 19) c. Berkumpul dan berserikat (Pasal 20) d. Serta keikutsertaan dalam pemerintah (Pasal 21) 4. Hak yang menjamin taraf hidup minimal kehidupan seseorang dan memungkinkan proses pengembangan kebudayaan yakni ekonomi, sosial, dan budaya: a. Mendapatkan makanan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan serta syarat sosial lainnya (Pasal 22-25) b. Hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta kebudayaan (Pasal 26-29) Sebelum lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Indonesia belum menganut konsep perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi yang dituntut negara-negara barat sebagai unsur tidak terpisahkan dari demokrasi dan cita negara hukum adalah suatu yang berlebihan dan tidak perlu. Konsep hak asasi dianggap sebagai nilai budaya barat yang lebih menekankan individualisme daripada kepentingan bangsa dan negara sebagai komunitas. Budaya timur yang adiluhung tidak memerlukan hak asasi versi barat ini. Tahun , Indonesia masih berkilah bahwa kalaupun ada hak asasi, maka budaya

10 timur sudah mengakomodasinya dengan lebih baik daripada bangsa barat yang sibuk menuding Indonesia sebagai pelanggar hak asasi. 21 Perlindungan Negara terhadap hak warga mulai mendapat perhatian serius oleh pemerintah orde baru semenjak 1993 oleh Soeharto melalui Keppres RI No. 50 Tahun 1993 ketika terjadi pembunuhan warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Timor Timur 1991 oleh oknum militer, atas desakan aktivis HAM dan masyarakat internasional, Keppres RI ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, pemerintah orde baru beranggapan demokrasi dan HAM adalah suatu kemewahan yang belum perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masih tinggi. 22 Walaupun Indonesia telah memuat jaminan HAM dalam konstitusinya, hukum internasional tentang hak asasi manusia tetap diperlukan karena 3 alasan utama, yakni: 23 a. Tambahan rujukan untuk harmonisasi peraturan nasional: kodifikasi pengaturan HAM dalam hukum internasional bertujuan agar esensi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat ditetapkan dengan cara yang seragam, dengan cara mengefektifkan aturan yang berlaku secara internasional ke 21 Tristam Moeliono. Tinjauan Hukum Internasional Publik terhadap Pembunuhan Massal Tahun Halaman 2. Diakses tanggal 28 Februari Teguh Sulistia. Peran International Criminal Court dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan oleh Militer. Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 1 Oktober Halaman Adnan Buyung Nasution, dkk Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Halaman 11-12

11 dalam praktik dan hukum nasional. Hal ini juga disebabkan adanya prinsip umum: non diskriminasi dalam pemenuhan HAM b. Penempatan jaminan HAM dalam jaminan kolektif: setiap Negara diwajibkan menghormati hukum HAM, tanpa terkecuali. Dengan penetapan hukum internasional HAM, maka jaminan kolektif untuk perlindungan dan pemenuhannya, secara otomatis juga terus dikembangkan. Yurisprudensi internasional juga mendorong, sekaligus memberi batasan yurisprudensi nasional yang tidak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku. Perlindungan internasional bermanfaat untuk kepentingan politik secara umum. Sebagai contoh, persaingan ekonomi global yang dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di sebuah Negara c. Untuk mengatur masalah khusus HAM: yaitu sebagai tambahan aturan HAM, bahkan tidak jarang, problem HAM hanya diatur dalam hukum internasional HAM. Sebagai contoh, hak kolektif sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri (self determination) tidak pernah diatur dalam konstitusi Negaranegara kolonial. Contoh lain adalah masalah perlindungan terhadap kelompok minoritas dan status kelompok pelarian yang diatur secara khusus dan mendapat tempat dalam hukum internasional HAM II.3. Konvensi Anti Penyiksaan Penyiksaan yang dilakukan pemerintah adalah masalah klasik yang masih dipraktekkan secara luas hingga saat ini. Penyiksaan dilakukan oleh banyak

12 Negara sebagai metode interogasi yang resmi. Namun, sejalan dengan diakuinya secara meluas bahwa tindakan tersebut melanggar HAM, maka negara-negara secara perlahan meletakkan penyiksaan sebagai tindakan yang secara resmi dikenai sanksi. 24 Penyiksaan telah dicantumkan sebagai tindakan melanggar HAM dalam berbagai instrumen internasional terdahulu seperti pasal 5 DUHAM, pasal 7 sipol, pasal 10 sipol. Perkembangan yang signifikan dari penerapan kaidah internasional terhadap penyiksaan adalah merupakan pengadopsian dari European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Pada 9 Desember 1975 majelis umum PBB mengadopsi konsensus dari Declaration on the protection of all persons from being subjected to torture, cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Komisi HAM PBB kemudian menunjuk special rapporteur untuk pertanyaan terkait penyiksaan pada 22 Mei 1985 dengan mandat untuk.mencari dan menerima informasi yang dapat dipercaya dari pemerintah, seperti juga agen-agen khusus, Organisasi Non- Pemerintah. Dan untuk merespon secara efektif informasi yang terkait dengan penyiksaan. Pada 10 Desember 1984, Majelis Umum PBB mengadopsi Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment atau sering disingkat dengan Convention Against Torture (CAT) setelah 7 tahun negosiasi. CAT sendiri berisi ketentuan-ketentuan yang termasuk 24 Dr. Lyal S. Sunga Individual Responsibility in International Law for Serious Human Right Violation. Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers. Halaman 80

13 memasukkan pertanggungjawaban individual dan menetapkan mekanisme pengawasan. 25 Pasal 1 CAT menegaskan bahwa yang dimaksud penyiksaan adalah: II.4. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Pelanggaran HAM Berat dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan gross violation of human rights atau greaves breaches of human rights sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya, tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Di dalam Statuta Roma 1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu the most serious crimes of concern to the international community as a whole. Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang 25 Ibid. Halaman 81-83

14 Pengadilan HAM mengatur Pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 26 II.4.1. Genosida dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Black s Law Dictionary memberikan defenisi dari genosida (genocide) sebagai: an act committed with the intent to destroy, in whole apart, a national, ethnic, racial, or religious group 27 Defenisi Kejahatan Genosida sendiri masih tetap menjadi perdebatan karena walaupun sejarah manusia telah menyaksikan banyak tindakan genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif baru dan baru dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II. Istilah Genosida itu sendiri berakar dari karya seorang pakar hukum, Raphaël Lemkin, seorang pendukung utama dari konvensi internasional tentang masalah ini. Defenisi Lemkin tentang istilah ini berpusat pada adanya rencana terkoordinasi untuk menghancurkan fondasi-fondasi penting dari kehidupan suatu kelompok, dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut. 28 Lemkin dalam proposalnya ke Konferensi Internasional Liga Bangsa-bangsa untuk Unifikasi Hukum Pidana mengusulkan untuk mendeklarasikan bahwa penghancuran ras, agama, atau kelompok sosial sebagai sebuah kriminal di bawah 26 Menteri Kehakiman RI. Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan Ad Hoc. Diakses tanggal 10 Februari Bryan A. Garner (Editor in chief). Op. cit. Halaman Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams Melampaui Warisan Nuremberg: Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional. Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Halaman 40

15 hukum bangsa-bangsa. 29 Pada 11 Desember 1946, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 96 yang berkaitan dengan genosida ini: Genocide is a denial of the right of existence of entire human groups, as homicide is the denial of the right to live of individual human beings; such denial of the right of existence shocks the conscience of mankind, results in great losses to humanity in the form of cultural and other contributions represented by these human groups, and is contrary to 30 moral law and to the spirit and aims of the United Nations Dalam Resolusi ini pengaturan mengenai bagaimana sebenarnya kejahatan genosida itu dipraktekkan belum lengkap, sekilas terlihat bahwa ketentuan ini mengatur semua tindakan yang dianggap menghalangi hak asasi manusia tanpa ada indikator yang jelas tentang sejauh mana kriminalisasi dari tindakan genosida itu. Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide dalam pasal 2 menyatakan bahwa genosida adalah tindakan-tindakan yang disengaja untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian kelompok nasional, etnik, ras, atau agama seperti: a. Membunuh anggota-anggota dari kelompok tersebut b. Menimbulkan kerusakan fisik dan mental yang serius terhadap anggotaanggota kelompok tersebut c. Dengan sengaja menimbulkan kepada kelompok keadaan hidup yang diperkirakan membawa penghancuran seluruh atau sebagian kelompok tersebut secara fisik 29 Kurt Mundorff. Other Peoples Children: A Textual and Contextual Interpretation of the Genocide Convention, Article 2(e). Harvard International Law Journal Vol. 50 Number 1 Winter Halaman Ibid. Halaman 74

16 d. Menjatuhkan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut e. Memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok tersebut ke kelompok lainnya Rome Statute dalam pasal 6, The International Criminal Tribunal for Rwanda Statute dalam pasal 2, dan pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga senada dengan Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide tentang pengertian genosida. Ketentuan dari instrumen-instrumen ini tidak mengharuskan pemusnahan kelompok yang dimaksud secara keseluruhan untuk dapat disebut sebagai kejahatan genosida. Indonesia sendiri dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan unsur-unsur genosida dalam Pasal 8 yang sama indikatornya dengan Pasal 6 dari Statuta Roma. II.4.2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Menurut pakar hukum Swiss, Jean Graven, kejahatan terhadap kemanusiaan sama tuanya dengan kemanusiaan itu sendiri. Negara-negara menggunakan konsep-konsep tentang kemanusiaan untuk menjustifikasi peristiwa-peristiwa intervensi unutk membantu kelompok-kelompok minoritas yang dianiaya oleh pemerintah mereka sendiri pada masa sebelum diaturnya piagam PBB. Konsep-konsep ini juga dikaitkan dengan cara Negara melakukan peperangan, yang berpuncak pada pemasukan prinsip jus in bello dalam

17 perjanjian-perjanjian modern pertama yang penting, konvensi-konvensi Den Haag tentang hukum dan kebiasaan perang. 31 Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan diawali dengan dimasukkannya prinsip kemanusiaan dalam Klausula Martin pada pembukaan Konvensi Den Haag tahun 1899 dan kemudian Konvensi Den Haag Keempat pada tahun 1907 yang berisi: Until a more complete code of laws of war has been issued, the High Contracting Parties deem it expedient to declare that, in cases not included in the Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the protection an the rule of the principles of law of nations, as they result from the usages among civilized peoples, 32 from the laws of humanity, and the dictates of the public conscience. Dalam frase laws of humanity, hukum kemanusiaan dipahami sebagai suatu sumber prinsip-prinsip dari berbagai hukum bangsa-bangsa dan tidak mengindikasikan kategori norma-norma lain yang berbeda dari norma-norma yang dapat diterapkan bagi objek perjanjian ini, ia hanya berfungsi sebagai aturan umum untuk mencakup kasus-kasus yang tidak dicakup oleh aturan-aturan tersebut secara eksplisit yang bersandar pada Konvensi Den Haag tersebut. 33 Pada perkembangannya, Piagam Nuremberg yang membentuk Mahkamah Militer Internasional Nuremberg, dalam pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai: 31 Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. Op. cit. Halaman Erikson Hasiholan Gultom Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Mengadili Individu-individu yang Bertanggung Jawab atas Terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Relevansinya dengan Peradilan Kasus Timor Timur Sekitar Masa Referendum Jakarta: Tatanusa. Halaman Ibid

18 Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan perbuatanperbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, rasa atau agama sebagai pelaksanaan dari atau berhubungan dengan setiap kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan tersebut baik yang melanggar ataupun tidak hukum Negara setempat di mana ia dilakukan Rumusan pasal inilah yang merupakan preseden pertama kalinya dalam hukum pidana internasional positif di mana istilah khusus kejahatan terhadap kemanusiaan diperkenalkan dan didefenisikan, namun, sebagaimana yang telah dikatakan di dalam pasal 2, konsep ini bukanlah merupakan suatu hal yang baru, begitu pula dengan gagasan atau ide tentang melindungi orang-orang sipil di masa perang. Dan yang paling penting diketahui, Piagam ini muncul pertama kalinya dan dipergunakan sebagai contoh (model) dan dasar hukum bagi perkembanganperkembangan lain selanjutnya. 34 Pada tahun 1951, Komisi Hukum Internasional merumuskan kejahatan kemanusiaan sebagai: 35 Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh para penguasa suatu Negara atau oleh individu-individu perseorangan terhadap suatu populasi sipil seperti pembunuhan, atau pemusnahan, atau perbudakan, atau deportasi, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, ras, agama, atau budaya, bilamana tindakan-tindakan demikian dengan kejahatan-kejahatan lain yang didefenisikan dalam pasal ini Dalam ketentuan yang dihasilkan berikutnya yang terkait dengan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan ini, seperti Statuta International Criminal Tribunal of Yugoslavia (ICTY) masih berpedoman pada Piagam Nuremberg, barulah pada Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda 34 Ibid 35 Report of the International Law Commission, UN GAOR 6th Sess, Supp. No. 9 (A/1858) (1951), Vol. II, hal , 136 sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 45

19 (ICTR) pada pasal 3 mensyaratkan bahwa kejahatan kemanusiaan yang dimaksud tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas dan sistematis terhadap populasi sipil, pasal tersebut juga mencantumkan persyaratan kalau seluruh perbuatan-perbuatan tersebut harus telah dilakukan atas dasar-dasar kebangsaan, politik, suku, rasial, atau agama. Selain itu, baru pada ICTR lah persyaratan tentang harus adanya hubungan kejahatan tersebut dengan konflik bersenjata dihapuskan. 36 Era selanjutnya adalah pembentukan Statuta Roma pada Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada seuatu kelompok sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan kemanusiaan menurut pasal 7 Statuta Roma adalah: a. Pembunuhan b. Pemusnahan c. Perbudakan d. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk e. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional f. Penyiksaan 36 Ibid. Halaman 52-53

20 g. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat h. Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah i. Penghilangan paksa j. Kejahatan apartheid k. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam pasal 9 merujuk pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi pasal 7 Statuta Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan dalam pasal 9. Mengenai serangan yang meluas atau sistematik itu sendiri tidak dijelaskan oleh Statuta Roma maupun UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian serangan meluas atau sistematik itu berkembang dalam praktek pengadilan yang tertuang dalam putusan-putusan Hakim. Hakim Pengadilan HAM Ad hoc di Jakarta Pusat menjelaskan pengertian serangan dalam kasus atas

21 nama terdakwa Abilio Jose Osorio Soares (Putusan No.01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST. halaman ) berpendapat sebagai berikut : Yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut tidak harus selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminologi serangan (attack); Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu Sedangkan pengertian meluas dan sistematik diberikan sebagai berikut: Yang dimaksud meluas karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulangulang, dalam skala yang besar (massive, frequent, large scale), yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang besar; Yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, definisi sistematik dapat berarti kegiatan yang berpola sama dan konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti struktur atau desain yang saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulang-ulang. Adapun pengertian sistematik itu sendiri memiliki 4 (empat) elemen sebagai berikut : 1. Adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu ideologi, dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas;

22 2. Melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus-menerusnya tindakan tidak manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya; 3. Adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas publik atau perorangan; 4. Adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis Sedangkan dalam Putusan No.08 / PID.HAM / AD.HOC / 2002 / PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut: Yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu merupakan serangan militer seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau psenjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini adalah termasuk dalam terminologi serangan (attack); 1. Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil bukan berarti serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu; 2. Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia, Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan serangan meluas adalah serangan yang bersifat massal, 3. Tindakan dalam skala besar, dilakukan secara bersama-sama dengan niat yang sungguh-sungguh dan ditujukan terhadap korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General Norwegia) menyatakan serangan meluas itu harus diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims);

23 Selanjutnya dalam Putusan No.02 / PID.HAM / AD. HOC / 2002 / PN. JKT. PST Atas Nama Terdakwa Drs. G.M. Timbul Silaen, Majelis Hakim senada dengan merujuk pada pendapat Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General) menyatakan sebagai berikut: bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (Widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims). Selanjutnya menurut Majelis Hakim ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah merujuk kepada jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran tempat (geografis), dan dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun dilakukan secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective action - M Charief Bassioni, Crime Against Humanity in the International Law ) Menurut Majelis Hakim Pengertian serangan yang sistematik berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara; Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa Pengertian serangan yang sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means carried out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge Advocate General Norway) 37 II.5. Peran Negara dan Aktor Non-Negara sebagai Pelanggar HAM 37 Abdul Hakim G Nusantara. Penerapan Hukum Internasional dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia. Halaman Diakses tanggal 18 Januari 2010

24 Dalam sistem hukum HAM internasional, Negara ditempatkan sebagai aktor utama pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders), sementara individu, dalam artian kelompok dan rakyat duduk sebagai pemegang hak (right holders). Dalam hal ini, Negara tidak memiliki hak, kepadanya hanya dipikulkan kewajiban atau tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak warga Negara yang dijamin melalui berbagai instrumen yang mendukung penegakan HAM, jika Negara tidak mau memenuhi kewajibannya tersebut, maka dalam hal inilah Negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM atau hukum internasional. Sejalan dengan itu, apabila pelanggaran tersebut tidak mau dipertanggungjawabkan oleh Negara maka tanggung jawab tersebut akan diambil oleh masyarakat internasional. 38 Kekuasaan negara yang tidak berbatas hukum, bahkan proses hukum yang dijalankan serampangan selalu dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi siapapun tanpa kecuali. Abdullahi A. An- Na'im, seorang peneliti di lembaga kajian hak asasi di Universitas Utrecht menulis bahwa: "the universality of human rights must be premised on a shared consciousness of vulnerability in the sense that all human beings should endeavour to achieve the universal acceptance and practical implementation of international standards of human rights simply because we all need their protection as potential, if not actual, victims of violations 39 of our rights". Oleh karena itu, dalam perspektif hukum HAM, Negara dapat dipandang sebagai pelaku pelanggar HAM. Adapun Negara yang dimaksud adalah seluruh 38 ELSAM. Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum. Halaman vii-viii 39 Tristam Moeliono. Op. cit. Halaman 3. Diakses tanggal 28 Februari 2010

25 institusi dan perangkat kenegaraan yang berada di bawah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bentuk pelanggaran dapat dalam tindakan langsung atau dalam bentuk keputusan. Meskipun begitu, subjek pelaku tetap didasarkan kepada individu (pejabat/petugas) yang melakukan atau berwenang. Adapun penanggung jawab terhadap pelanggaran ini bisa dirunut dari aktor yang mengeluarkan kebijakan sampai pada pelaku lapangan yang menjalankan kebijakan tersebut. Jadi kebijakan lebih dilihat sebagai dasar pijakan bagi tindakan pelanggaran hakhak manusia. 40 Pelanggaran HAM yang dilakukan Negara sebagai aktor secara umum merujuk kepada 2 tindakan: Negara sebagai pelaku langsung tindakan pelanggaran tersebut secara aktif atau disebut by commission. Pencontohan dari hal-hal ini dapat dilihat dari kasus DOM Aceh, Papua dan Timor-Timur, penembakan misterius (petrus), kasus Tanjung Priok, Jenggawah, Talang Sari-Lampung, penculikan Aktivis, pelarangan buku, dan sebagainya 2. Negara membiarkan terjadinya tindakan yang melanggar HAM dan tidak mengambil upaya apapun untuk mencegah pelanggaran HAM tersebut. Tindakan ini disebut by omission. Tindakan seperti ini biasanya melibatkan aktor-aktor non Negara, termasuk di dalamnya individu atau kelompok yang bertindak atas perintah Negara atau dengan keterlibatan, fasilitas, persetujuan, atau juga dorongan dari otoritas yang berwenang. Juga termasuk 40 Daniel Hutagalung. Pelaku Pelanggaran HAM di Masa Orde Baru. Asasi Edisi Januari-Februari Halaman Ibid. halaman 10-11

26 tindakan pembiaran atau Negara tidak melakukan upaya sungguh-sungguh terhadap terjadinya suatu bentuk pelanggaran HAM yang bisa saja terjadi atas dasar kepentingan atau tujuan politis tertentu, seperti kerusuhan rasial Mei 1998, kekerasan komunal di Kalimantan, Maluku, dan Poso, dan berbagai tindakan amuk massa di penghujung kekuasaan orde baru. Sedangkan yang dikategorikan aktor non Negara sebagai pelaku pelanggar HAM adalah masyarakat dan berbagai institusi swasta yang terlibat dalam melanggar Hak-hak manusia lainnya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari tindakan perusahaan swasta yang merusak lingkungan sekitar beroperasinya dan merugikan penduduk, dan pelanggaran HAM lain yang menyalahi ketentuan instrumen HAM. II.6. Tanggung Jawab Individu Pelanggaran HAM yang dilakukan Negara, terutama dalam tindak pidana pada akhirnya akan menunjuk individu pejabat yang melakukan tindakan tersebut untuk bertanggung jawab terhadap tindakannya. Berkenaan dengan pertanggungjawaban komandan atau pimpinan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam Pasal 42 mengatur sebagai berikut : (1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan

27 terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, yaitu : a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat; dan b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Ketentuan ini tidak hanya berlaku dalam struktur kemiliteran, namun juga berlaku dalam institusi lainnya yang mempunyai struktur hirarki dalam kepemimpinannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 42 ayat (2): (2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. II.7. Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam taraf Nasional Sesuai dengan dengan sifat Hukum internasional yang tidak bersifat supranasional, maka otoritas nasional tetap lebih diutamakan dalam penyelesaian sebuah kasus pelanggaran HAM. Hai ini meminta inisiatif baik dari Negara tersebut. Beberapa instrumen internasional sendiri mensyaratkan terlebih dahulu

28 adanya upaya hukum secara nasional dari orang-orang yang ingin mengajukan pelanggaran HAM dalam taraf internasional. II.7.1. Pengadilan HAM ad Hoc Dalam taraf nasional sendiri ada beberapa alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya adalah lewat pengadilan HAM yang mana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, Pengadilan HAM sendiri tidak mengakui asas retroaktif, sehingga untuk penanganan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1965 ini penempuhan jalur hukum yang tepat adalah melalui pengadilan HAM ad hoc. Menurut ketentuan pasal 43 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR. Berkenaan dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Jose Zalaquett berpendapat, bahwa negara pada dasarnya mempunyai diskresi untuk menetapkan substansi kebijakan untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu. Namun di dalam semua kasus substansi kebijakan itu harus memenuhi syaratsyarat legitimasi tertentu sebagai berikut: Kebenaran harus diketahui atau diungkapkan secara lengkap, dan diekspos serta diumumkan kepada publik; 42 Abdul Hakim G Nusantara. Pelanggaran HAM Berat dan Kebijakan Nasional Untuk Penanganan dan Penyelesaiannya. Pelanggaran_Berat_HAM_dan_Kebijakan_Nasional.pdf. Diakses tanggal 24 Februari 2010

29 2. Kebijakan HAM tersebut harus mewakili kehendak rakyat, misalnya kebijakan nasional itu harus memperoleh persetujuan rakyat melalui referendum; 3. Kebijakan HAM tersebut tidak melanggar hukum HAM internasional. Yang berarti pada satu sisi menjadi kewajiban setiap negara untuk bertindak sesuai dengan hukum internasional. Bila negara mengambil langkah untuk memberikan pengampunan bagi pelanggar HAM, kebijakan tersebut harus tunduk pada batas-batas yang diatur oleh hukum internasional. Pada sisi yang lain, jika kebijakan HAM itu mengarah pada penghukuman, standar-standar internasional yang berkenaan dengan penyelenggaraan pengadilan yang adil, perlakuan terhadap para tersangka dan penghukuman wajib dihormati; 4. Kebijakan HAM tersebut mengandung tujuan-tujuan untuk mereparasi kerugian yang diderita korban dan pencegahan berulangnya pelanggaran HAM di kemudian hari. II.7.2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Berkenaan dengan pentingnya pengungkapan kebenaran secara lengkap, terdapat mekanisme yang dapat dilakukan dalam tataran nasional yaitu melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Konsep ini sebenarnya sudah mulai dikenal sejak lama di beberapa Negara yang telah mempraktekkannya dalam menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM di Negara masing-masing dengan nama yang berbeda-beda. Di Argentina misalnya, pada tahun 1983 lembaga ini dibentuk dengan nama Comision Nacional sobre de la Desaparicion de Personas yang berfungsi

30 menyelidiki raibnya penduduk yang selama regime militer berkuasa pada 1976 hingga 1983, Ghana mengesahkan National Reconcilliation Commission pada 11 Januari 2002 untuk melakukan investigasi secara menyeluruh pelanggaran HAM berat yang terjadi mulai 6 Maret 1957 hingga 6 Januari 1993, di Peru, Truth and Reconciliation Commission yang diresmikan pada 13 Juli 2001 ditugaskan untuk menyelidiki kematian orang, di samping yang hilang, yang terjadi pada 3 rezim pemerintahan sebelumnya, namun yang paling dikenal luas adalah KKR Afrika Selatan yang dibentuk pada tahun 1995 yang bertugas meneliti semua kejahatan pelanggaran HAM yang terjadi dalam pemerintahan apartheid Perbedaan Komisi kebenaran sendiri dengan pengadilan adalah dalam hal: Tidak adanya penggugat (plaintiff), tidak ada penuntutan (prosecution), tidak ada pembelaan, dan tidak ada pengadilan. Yang ada hanyalah semata-mata penyelidikan dan pelaporan atas fakta-fakta hasil penyelidikan 2. Temuan-temuan yang didapatkan oleh komisi kebenaran menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang sangat berbeda dari temuan-temuan dalam pengadilan. Pengadilan mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi yang mengikat pada individu-individu, yang seringkali melibatkan kehilangan properti tertentu atau kebebasan. Sebaliknya komisi kebenaran tidak dapat menjatuhkan hukuman perdata atau pidana, bahkan ketika sebuah komisi 43 Tjipta Lesmana. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Permasalahan dan Prospeknya. Law Review UPH Volume VIII No. 2 November Halaman Mark Freeman Komisi-Komisi Kebenaran dan Kepatutan Prosedural. Jakarta: Elsam. Halaman 76-77

31 kebenaran mencantumkan nama seseorang dalam sebuah daftar para pelaku pelanggaran, pencantuman itu pada umumnya tidak dengan sendirinya memiliki dampak hukum 3. Komisi kebenaran memiliki fungsi yang umumnya tidak sesuai dengan pengadilan. Sebagai contoh, sebuah komisi kebenaran bisa diharapkan untuk menganalisis sebab-sebab sosial dari sebuah konflik, berkontribusi bagi rekonsiliasi nasional, atau lebih mementingkan para korban melalui acara dengar kesaksian publik yang berpusat pada korban. Di beberapa Negara misalnya, hasil penemuan dari KKR mereka menjadi dasar bagi pembentukan Pengadilan bagi kasus tersebut, seperti misalnya Sierra Leone. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sierra Leone, setelah 4 tahun bekerja, pada 5 Oktober 2004 berhasil merampungkan laporan tentang latar belakang konflik bersenjata, bentuk pelanggaran HAM dan korban yang jatuh, serta rekomendasi mereka tentang perang saudara selama 10 tahun di Sierra Leone kepada Dewan Keamanan PBB. 45 Laporan ini pada akhirnya menjadi dasar bagi Dewan Keamanan dalam pembentukan Pengadilan Campuran di Sierra Leone terkait kasus tersebut. II.8. Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam taraf Internasional Sesuai dengan pasal 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum 45 Tjipta Lesmana. Op. cit. Halaman 287

32 Indonesia dan hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima Negara Republik Indonesia. Selain itu, kewenangan Negara tidaklah absolut melainkan dibatasi oleh hukum internasional. Hukum internasonal tidak lagi menggunakan dan menerima anggapan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan Negara terhadap rakyatnya sendiri merupakan semata-mata masalah internal. Begitu HAM menjadi perhatian internasional, Negara-negara tidak lagi dapat mengklaim bahwa HAM merupakan masalah yang berada di dalam yurisdiksi domestiknya. 46 Objektifnya, HAM harus diletakkan di atas kepentingan Negara, artinya hak Negara, termasuk atas kedaulatannya, harus diposisikan subordinat terhadap HAM. Campur tangan atas kedaulatan suatu Negara dapat dibenarkan dan sangat dibutuhkan ketika kekerasan yang dilakukan oleh Negara telah mencapai tingkatan yang sangat berat atau serius sehingga mengganggu keutuhan ketentraman dan perdamaian dunia secara umum. 47 Karena itu, intervensi kemanusiaan guna menghentikan atau menghukum Negara yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan guna menghentikan dan menghukum Negara yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah wajar Scott Davidson Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti. Halaman 69. Sebagaimana dikutip oleh Erikson Hasiholan Gultom. Op. cit. Halaman Ibid. Halaman Ibid. Halaman 159

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE SYSTEM)

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

perkebunan kelapa sawit di Indonesia Problem HAM perkebunan kelapa sawit di Indonesia Disampaikan oleh : Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M Dalam Workshop : Penyusunan Manual Investigasi Sawit Diselenggaran oleh : Sawit Watch 18 Desember 2004,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan 1 Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan I.PENDAHULUAN Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : KARYA ILMIAH KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDEKS KEMAJUAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDEKS KEMAJUAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Aji Wibowo - Tinjauan Yuridis Terhadap Indeks Kemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDEKS KEMAJUAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh: AJI WIBOWO Dosen di Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN GURU KELAS SD BAB III HAK ASASI MANUSIA DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA Dra.Hj.Rosdiah Salam, M.Pd. Dra. Nurfaizah, M.Hum. Drs. Latri S,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2011-2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM 73 BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM A. Analisis Penanganan Pelanggaran Berat HAM menurut Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

MAKALAH. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia

MAKALAH. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia PELATIHAN HAM DASAR DOSEN HUKUM HAM SE-INDONESIA Singgasana Hotel Surabaya, 10 13 Oktober 2011 MAKALAH Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 26/2000, PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA *12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 208, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan serius terhadap hak asasi manusia, selain kejahatan perang. Kejahatankejahatan tersebut secara

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Glosarium

Daftar Pustaka. Glosarium Glosarium Daftar Pustaka Glosarium Deklarasi pembela HAM. Pernyataan Majlis Umum PBB yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak secara sen-diri sendiri maupun bersama sama untuk ikut serta dalam

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM A. Substansi Hak Asasi Manusia dalam Pancasila Salah satu karakteristik hak asasi manusia

Lebih terperinci

KONSEP DASAR HAM. Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

KONSEP DASAR HAM. Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) KONSEP DASAR HAM Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Kompetensi Dasar : 3.1 Menganalisis upaya pemajuan, Penghormatan,

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM Oleh : ANI PURWANTI, SH.M.Hum. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 PENGERTIAN HAM HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 Keterangan tertulis Komnas HAM di hadapan MK, 2 Mei 2007 Kesimpulan: Konstitusi Indonesia atau UUD 1945, secara tegas

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4919 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170) PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20 Oleh Drs. Sidarto Danusubroto, SH (Ketua MPR RI) Pengantar Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

HUKUM HAK ASASI MANUSIA: KUHAP DALAM KAJIAN HAM. Rocky Marbun, S.H.,M.H.

HUKUM HAK ASASI MANUSIA: KUHAP DALAM KAJIAN HAM. Rocky Marbun, S.H.,M.H. HUKUM HAK ASASI MANUSIA: KUHAP DALAM KAJIAN HAM Rocky Marbun, S.H.,M.H. i Judul: Hukum Hak Asasi Manusia: KUHAP dalam Kajian HAM Penulis: Rocky Marbun, S.H.,M.H. Editor: KMS. Herman, S.H.,M.H. Kover dan

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 24, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Bagian 2: Mandat Komisi

Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi...1 Bagian 2: Mandat Komisi...2 Pendahuluan...2 Batasan waktu...3 Persoalan-persoalan dengan relevansi khusus...3 Makna berkaitan dengan konflik politik...3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Human

BAB I PENDAHULUAN. Manusia, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Human BAB I PENDAHULUAN Alasan Pemilihan Judul Hak-hak individu lebih sering dilekatkan dengan kata Hak Asasi Manusia, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Human Rights. Pada saat ini hak-hak asasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 20 Des 2010 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh Rumadi Peneliti Senior the WAHID Institute Disampaikan dalam Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan XVII, oleh ELSAM ; Kelas Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,

Lebih terperinci