PEMBAHASAN 1. Penapisan Sampel 2. Penapisan Tes IQ

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBAHASAN 1. Penapisan Sampel 2. Penapisan Tes IQ"

Transkripsi

1 PEMBAHASAN 1. Penapisan Sampel Berdasarkan rumus besar sampel seharusnya jumlah sampel untuk penelitian intervensi zat gizi selenium dan iodium yang diberikan setiap hari ini sebesar 206 anak. Setelah perlakuan 4 bulan terjadi drop out 91 (44,71%) Adapun besar sampel dan asal sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel Jumlah sampel yang mengikuti penelitian intervensi gizi hingga datanya lengkap dan dapat dianalisis ada 115 anak (55.29%). Dalam penelitian ini 115 anak kemudian dipastikan menderita kretin secara patognomonik (memiliki tanda-tanda khas kretinisme) namun belum sampai pada taraf menderita kretinisme dengan gangguan neuropsikomotorik. Anak sekolah dasar (SD) dengan tanda khas kretin yang ditengarai dari gangguan neuropsikomotorik ini kemudian dipelajari dalam penelitian ini. Tabel 20 menunjukkan bahwa angka partisipasi masyarakat khususnya orang tua siswa SD untuk mengikuti kegiatan penelitian masih cukup tinggi, yaitu lebih dari 85%. Ada 15 desa di Kecamatan Cepogo dan yang tercacat sebagai desa dengan garam beriodium baik sebanyak 10 desa (66.67%). Sepuluh desa tersebut telah dapat dilakukan monitoring garam setiap satu tahun sekali. Lima desa lainnya belum dapat dilakukan monitoring garam karena lokasinya yang sangat jauh dan tinggi mendekati Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sehingga sangat sulit terjangkau kendaraan umum, akibatnya banyak petugas kesehatan yang kurang berani ambil inisiatif ke desa tersebut. 2. Penapisan Tes IQ Kemampuan kognitif anak diukur melalui tes IQ untuk mendapatkan skor IQ yang kemudian dicocokkan dengan kisaran kandungan /kadar selenium dan iodium dalam plasma darah anak. Tes IQ dilakukan oleh seorang psikolog dengan menggunakan metode Raven Cognitive Classical. Ada 36 soal yang disusun pada tiga kolom lembar jawab seperti pada Lampiran 3. Adapun hasil penapisan tes IQ anak dapat dilihat pada Gambar 14. Selanjutnya hasil pengkategorian skor IQ dengan kadar selenium dan iodium adalah:

2 IQ =25-40 (Idiot = Retardasi mental berat) tidak ditemukan (0 %) IQ =40-55 (Imbecile= Retardasi mental sedang) ada 30 % IQ =55-70 (Moron = Retardasi mental ringan/dibawah garis) ada 55 % IQ =50-75 (Dull Normal = di bawah rata-rata) biasanya dengan gangguan ringan pada perkembangan psikomotor dan pendengaran ada 15 %. 3. Penelitian Epidemiologi Profil Darah Anak menurut Kelompok Perlakuan Indikator yang paling umum untuk mengetahui defisiensi berbagai zat gizi melalui pemeriksaan darah anak di laboratorium adalah pengukuran kadar Hb, Ht, jumlah dan ukuran sel darah merah (eritrosit), darah putih (leukosit), kadar berbagai zat gizi penting seperti I, Se, Fe, Zn, serta Ca. Penelitian ini menganalisis darah secara menyeluruh yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan kondisi kesehatan dan status gizi seseorang. Oleh karena itu pemeriksaan darah yang dilakukan tanpa puasa terlebih dulu (sesaat/sewaktu) sering disebut sebagai pemeriksaan darah rutin. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam penelitian ini selanjutnya disebut profil darah. Dalam penelitian ditemukan kadar Hb anak paling rendah g/dl dan paling tinggi mencapai g/dl sehingga rata-rata kadar Hb 14.1 dengan standar deviasi sebesar Sepintas tidak ditemukan penderita anemia, namun bila dilihat jumlah eritrosit sebelum pemberian suplemen selenium dan iodium ternyata kadar eritrosit minimum 4.23 dan maksimum 6.64 (Tabel 21). Hal ini disebabkan tingginya VO2max individu yang tinggal di pegunungan, yang umumnya mereka sering berjalan kaki naik atau turun lereng gunung. Kenaikan kadar hematokrit (Ht) belum disertai dengan profil darah lainnya secara nyata dan pada penelitian ini adalah rataan konsentrasi Hb dan Ht antar kelompok tidak berbeda nyata. Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa manfaat pemberian suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan ternyata mampu memperbaiki profil darah anak penderita GAKI. Secara umum anak penderita GAKI di daerah endemik di Boyolali tidak ada masalah dengan anemia gizi besi karena kadar Hemoglobin (Hb)nya hampir semua tinggi ( g/dl). Namun bila dilihat hasil pemeriksaan jenis anemia dengan metode penghitungan

3 indeks mean corpuscular volume (MCV) ternyata sebelum perlakuan ada 31% penderita anemia jenis mikrositik dan makrositik, tetapi setelah diberi suplemen jumlah penderita anemia mikrositik/makrositik menurut MCV ini tinggal 16%. Penghitungan dengan metode mean corpuscular hemoglobin (MCH) menunjukkan hasil bahwa prevalensi jenis anemia mikrositik pada awal penelitian ada 20% dan setelah pemberian suplemen jumlah individu yang menderita anemia jenis MCH menjadi 7%. Penghitungan menggunakan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) menunjukkan bahwa ditemukan 34% anak penderita anemia jenis hipokromik, kemudian setelah pemberian suplemen maka menurun menjadi 18%. Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kadar Hb anak dengan 6-11 petanda kretin yang hidupnya di pegunungan adalah normal ( g/dl) namun prevalensi total anemia mikrositik maupun makrositik menurut kadar hematokrit ada 14% pada awal penelitian, dan setelah diberi perlakuan maka penderita anemia jenis mikrositik tinggal 3.5% dan lainnya sudah normal, yaitu memiliki bentuk sel monositik 96.5%. Studi suplementasi selenium terhadap anak penderita GAKI di Schotlandia menunjukkan bahwa status anemia anak berhubungan dengan status selenium dan iodium (Brown, et al. 2003). Status anemia berdasarkan kadar hematokrit juga memiliki pola yang hampir sama dengan hemoglobin yaitu rata-rata kadar hematokrit setelah perlakuan menunjukkan perbaikan yang sangat nyata yaitu menjadi 32.99% %. Prevalensi anemia pada anak penderita GAKI dengan tanda khas kretin berdasarkan hematokrit saat awal penelitian ada 14% dan setelah pemberian suplemen selenium dan iodium menjadi 3.5%. Selanjutnya menurut kelompok perlakuan perubahan profil darah MCV dapat dilihat pada Gambar 20. Pada Gambar 21 dapat diketahui bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian plasebo ternyata tetap terjadi perbaikan profil darah MCH yaitu sebelum perlakuan tidak ada yang monositik tetapi setelah perlakuan ada 3.5% anak berstatus monositik. Dengan demikian ada 6.1 % (plasebo), 9.6% (Se), 9.6% (I), dan 26% (Se+I) yang menderita anemia mikrositik. Menurut WHO (1994) hal ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih lebih dari 5%. Analisis perhitungan selisih persentase dari post test dan pre test

4 untuk variable MCV (Tabel 22 dan Tabel 25). Analisis perhitungan selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable MCH pada Tabel 22 dan Tabel 26. Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen dapat disimpulkan sementara bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau Se+I dapat menyembuhkan anemia mikrositik hiperkromik menjadi sehat (monositik monokromik) Gambar 22 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian plasebo ternyata hampir sama dengan yang terjadi pada profil darah MCHC, yaitu tidak dapat memperbaiki profil darah anak karena tidak ada zat gizi untuk perbaikan hematokrit, eritrosit dan leukosit. Akibatnya anak yang menderita anemia hipokromik masih ada 4 anak dari 28 anak yang termasuk kelompok plasebo (14.3%). Namun dilihat secara keseluruhan sampel maka pemberian suplemen selenium dan iodium sangat bermanfaat bagi perbaikan profil darah khususnya untuk penyembuhan anemia hipokromik. Selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable MCHC (Tabel 27) Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dapat mengkoreksi anemia hiperkromik menjadi sehat (monokromik) sebesar 11%, sementara iodium saja hanya dapat 0.8% dan interaksi selenium+iodium 5.3% saja. Sementara pada kelompok plasebo terjadi perbaikan status anemia 6% mungkin disebabkan faktor pemberian obat cacing Albendazole 400 mg. Ada beberapa penjelasan tentang mengapa seseorang dilihat dari kadar Hbnya tidak termasuk anemia tetapi setelah dilihat dari kadar MCV, MCH atau MCHC ternyata menderita anemia jenis mikrositik hiperkromik atau makrositik hipokromik yang banyak terjadi pada individu yang tinggal di daerah endemik GAKI. Adapun penjelasan mengapa kadar Hb kurang peka pada tahap awal kekurangan zat besi, karena metode ini memiliki kelemahan antara lain : a. Nilai Hb yang rendah tidak spesifik untuk defisiensi besi. Defisiensi gizi lain, gangguan genetik dan infeksi dapat menyebabkan penurunan kadar Hb. b. Kadar Hb yang rendah menunjukan stadium akhir defisiensi besi sehingga tidak sensitif untuk deteksi dini defisiensi besi c. Kadar Hb tergantung usia, jenis kelamin, dan ras.

5 d. Kadar Hb bervariasi tergantung berbagai faktor, yaitu merokok, bertempat tinggal di daerah tinggi (pegunungan). Namun demikian, kadar Hb tetap berguna untuk mengetahui beratnya anemia untuk semua golongan usia, jenis kelamin, dan ras. Kandungan besi serum merupakan ukuran jumlah atom besi yang terikat pada transferin. Besi serum meningkat pada anak yang mengalami gangguan thalassemia, hemokromatosis, penyakit hati, leukemia akut, keracunan logam berat, penyakit ginjal, dan injeksi besi intramuskuler. Kadar besi serum menurun pada anemia defisiensi besi, kehilangan darah kronis, penyakit kronis (lupus, rheumatoid arthritis), menstruasi berlebihan (Frey, 2002). Eritropoesis terjadi karena penurunan kadar zat besi dalam feritin yang disimpan pada hepar, lien, dan sumsum tulang. Eritropoesis produksi sel darah merah itu dinamis dalam waktu yang cepat dan didaur ulang % per hari. Artinya pada kondisi normal (sehat) eritrosit akan seimbang antara sel yang rusak dan yang baru. Pada saat tubuh kehilangan banyak darah, terjadi peningkatan kapasitas kebutuhan oksigen sebagai respon cepatnya proliferatif. Eritrosit dapat berubah bentuk dan merupakan sel tanpa inti serta bikonkaf. Eritrosit paling banyak ditemukan di antara keseluruhan sel darah. Sewaktu darah disentrifus maka akan terpisahkan komponen plasma dan seluler, yang bagian sel darah merahnya sekitar 45% dari volume total, ini merupakan volume pacaked cell atau hematokrit. Eritrosit merupakan sel pembawa oksigen karena banyak mengandung hemoglobin. Sel membran tersusun atas dua lapis fosfolipid denganprotein integral. Bentuk sel dipertahankan oleh struktur protein yang membentuk sitoskeleton. Sistem enzim melindungi hemoglobin dari eksidasi yang ireversibel. Eritrosit yang matang tidak mempunyai material inti, sehingga protein baru tidak dapat disintesis. Fungsi eritrosit adalah untuk transpot oksigen. Kira-kira 44% dari butir darah adalah sel darah merah, bentuknya bundar, pipih dan di tengahnya cekung, dengan garis tengah 7,5 μm (Underwood, 2002). Dalam penelitian ini jumlah eritrosit (10 6 /ul) sebelum perlakuan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah dan sesudahnya berkisar dengan nilai rujukan /ul. Prevalensi kelainan eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI ini tidak berbeda

6 nyata (p>0.05) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 14.63% menjadi 3.5%). Penurunan sel darah merah dan penurunan aktivitas eritropoesis adalah hasil dari penurunan metabolisme jaringan yang berhubungan dengan peranan zat besi sebagai kofaktor esensial metabolik. Sementara peranan selenium sebagai antioksidan sangat berpengaruh pada penstabilan metabolisme jaringan. Menurut WHO (1996) kejadian /kasus kesehatan yang besar prevalensinya kurang dari 5% bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara nasional. Namun cukup ditanggulangi secara wilayah melalui program kesehatan kabupaten dengan koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten bagi keluarga tidak mampu, sedangkan untuk keluarga mampu tentunya dapat berobat secara mandiri ke rumah sakit. Review oleh West et al. (2007) nilai Odd Ratio (OR) suplementasi vitamin A terhadap anemia sebesar 0.5. Nilai OR suplementasi besi dan asam folat terhadap anemia sebesar 0.2 namun dengan kombinasi besi, folat dan vitamin A dapat lebih menurunkan peluang kejadian anemia (OR=0.1). Sebaliknya hasil penelitian ini dengan pemberian suplemen Se 45 μg/hari selama 2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.1). Sementra hasil pemberian I sebanyak 50 μg/hari selama 2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2) namun dengan kombinasi Se+I selama 2 bulan tidak dapat lebih menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2). Kadar eritrosit anak di daerah endemik GAKI ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap kadar MCV (p<0.001). Akibatnya ada 66% anak menderita jenis anemia mikrositik yaitu anemia yang diklasifikasikan berdasarkan ukuran eritrosit (MCV). Klasifikasi ini mempunyai nilai diagnosis yang tinggi pada sebagian besar jenis anemia yang sering ditemukan pada masyarakat yang tinggal di daerah pengunungan (tempat yang tinggi). Informasi selanjutnya dari diagnosis diperoleh dari pemeriksaan morfologi eritrosit. Penyakit pada darah sering diperlihatkan dengan bertambahnya ukuran eritrosit yang bermacam-macam, antara lain anisositosis dan terdapatnya eritrosit yang mempunyai bentuk yang bermacam-macam (poikilositosis). Meningkatnya anisositosis dan poikilositosis eritrosit merupakan kelainan yang spesifik

7 ditemukan pada berbagai gangguan hematologis dan gangguan sistemik gizi metabolik (Tierny et al. 2003). Hasil analisis pemberian suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan terhadap status eritrosit pada anak penderita GAKI yang memiliki tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 28. Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata mampu memperbaiki jumlah eritrosit dari gangguan kurang eritrosit hingga menjadi normal yaitu (10 6 /ul). Sementara kelompok plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita gangguan kurang eritrosit. Kalau dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita gangguan kurang eritrosit. Selanjutnya hasil analisis uji beda antar kelompok menurut selisih hasil perbaikan profil eritrosit sesudah dan sebelum perlakuan berbeda sangat nyata (p<0.001). Menurut Semba (2007) saat ini sudah diketahui bahwa sirkulasi kadar selenium yang rendah sangat erat hubungannya dengan kasus kejadian anemia pada orang dewasa. Selenium juga memiliki kontribusi pada pasien yang mengalami dialisis, pasien TBC. Meskipun hubungan anemia dan difisiensi selenium sudah diketahui, namun tanda /gejala defisiensi selenium yang spesifik belum ada kesepakatan para ahli. Hal ini masih menimbulkan pertanyaan di bidang pathogenesis anemia, tentang apakah kejadian anemia menyebabkan defisiensi selenium, atau sebaliknya defisiensi selenium akan menyebabkan terjadinya anemia. Dalam penelitian ini terjadinya anemia dapat dijelaskan dari terganggunya sistem imun tubuh yang disebabkan oleh stress oksidatif. Stress oksidatif adalah keadaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh. Pada kondisi ini, aktivitas molekul radikal bebas atau spesies oksigen reaktif (SOR) dapat menimbulkan kerusakan seluler dan genetika. Pembawa radikal bebas dan SOR yang dominan berasal dari makanan dan minuman yang kita konsumsi. Gambar 28 menunjukkan bahwa dengan pemberian selenium dapat memperbaiki jumlah sel eritrosit. Hal ini dapat dijelaskan dari potensi mekanisme biologi peran selenium dalam mencegah terjadinya anemia, yaitu selenium sebagai antioksidan utama yang berupa selenoenzyme pada eritrosit. Sehingga sel

8 eritrosit tetap mampu bertahan hidup normal sampai 120 hari. Selain itu mekanisme lain menunjukkan bahwa selenium mampu menurunkan kejadian inflamasi dan stres oksidatif. Sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme perlindungan terhadap serangan radikal bebas, secara alami telah ada dalam tubuh kita. Berdasarkan asal terbentuknya, antioksidan ini dibedakan menjadi dua yakni intraseluler (di dalam sel) dan ekstraseluler (di luar sel) atau pun dari makanan. Salah satu zat gizi yang merupakan antioksidan adalah selenium (Se). Selenium memiliki beberapa fungsi, fungsi fisiologis selenium diantaranya sebagai antioksidan dan antikarsinogen (WHO, 1996). Hasil analisis peningkatan jumlah eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium 50 µg/hari + selenium 45 µg/hari memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah eritrosit anak. Tabel 22 menunjukkan bahwa pemberian Se+I selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah eritrosit sebanyak 2.11 (10 6 /ul). Jumlah eritrosit normal untuk anak usia 9-12 tahun adalah 4.8 (10 6 /ul). Sebelum penelitian ini rata-rata semua anak memiliki jumlah eritrosit sebesar 3.88 (10 6 /ul) artinya perlu peningkatan eritrosit sebesar 0.92 (10 6 /ul). Seperti halnya dengan hasil kadar eritrosit, maka dalam penelitian ini jumlah leukosit (10 3 /ul) sebelum perlakuan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah dan sesudahnya berkisar dengan nilai rujukan /ul. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Ancova dapat dikatakan bahwa prevalensi leukopenia pada anak di daerah endemik GAKI ini sangat berbeda nyata (p<0.001) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 20.43% menjadi 3.5%). Selanjutnya manfaat intervensi selenium dan iodium terhadap kadar leukosit selain meningkatkan imunitas anak juga dapat menurunkan berbagai jenis keluhan kesakitan. Secara kualitatif anak yang tadinya mengaku sering pusing dan cepat lelah setelah sekolah menjadi tidak merasakan adanya keluhan tersebut setelah dua bulan minum suplemen Se dan I. Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata mampu memperbaiki jumlah leukosit dari leukopenia (jumlah leukosit kurang dari normal) hingga menjadi normal yaitu (10 3 /ul). Sementara kelompok

9 plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita leukopenia. Jadi kalau dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita leukopenia. Dengan demikian cocok seperti dengan teori penyakit darah bahwa satu komponen darah mengalami gangguan maka komponen lainnya akan segera mengatasi gangguan yang timbul. Dalam penelitian ini anak yang mengalami gangguan kekurangan eritrosit ternyata juga mengalami gangguan leukopenia dan semuanya terjadi pada kelompok plasebo. Hasil analisis peningkatan jumlah leukosit pada anak di daerah endemik GAKI menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah leukosit anak. Tabel 24 menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah leukosit sebesar 1.99 (10 3 /ul). Dalam penelitian ini sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium jumlah leukosit anak berkisar (10 3 /ul) dan setelah perlakuan menjadi (10 3 /ul) dengan prevalensi leukopenia sebesar 5.43% artinya sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di daerah endemik GAKI. Dengan demikian masalah leukopenia pada anak usia 9-12 tahun ternyata dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari. Kadar Selenium dan Iodium Plasma Menurut Kelompok Perlakuan Tabel 28 menunjukkan bahwa defisiensi selenium pada awal penelitian sangat tinggi (97.4%) berbeda sangat nyata dengan setelah diberi perlakuan suplemen kapsul selenium menjadi 3.5% (p=0.000). Begitu pula halnya dengan hasil pemeriksaan kadar iodium sebelum pemberian suplemen ada 81.7% anak yang menderita defisiensi iodium berbeda sangat nyata dengan setelah perlakuan dengan pemberian suplemen iodium selama dua bulan turun menjadi 13 % (p<0.001). Kalau dianalisis lebih lanjut semua kelompok perlakuan baik yang diberi suplemen selenium+iodium, selenium saja, atau kelompok iodium saja ternyata anak yang tadinya menderita defisiensi selenium dan iodium menjadi sehat semua. Namun kelompok plasebo juga mengalami perbaikan profil darah

10 mungkin disebabkan konsumsi air kemasan yang bersih dan sehat yang disediakan oleh peneliti. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebersihan air minum sangat menentukan keberhasilan program pemberian kapsul suplemen pada anak sekolah dasar yang biasanya mengkonsumsi air kurang sehat. Pada kelompok perlakuan selenium dengan pemberian kapsul plasebo masih ada 3.5% yang menderita defisiensi selenium. Setelah dianalisis lebih lanjut ternyata empat anak tersebut ada kaitannya dengan kasus empat anak yang memiliki kelainan sel eritrosit (3.5%). Hasil analisis kadar selenium dan iodium menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 22 dan Tabel 33. Berdasarkan Tabel dapat diketahui bahwa sebenarnya manfaat pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah pada anak di daerah endemik GAKI sangat nyata untuk perbaikan profil darah supaya tidak defisien terhadap zat gizi selenium maupun iodium pada masa pertumbuhan cepatnya. Hasil penelitian Brown, et.al (2003) menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium saja pada anak di daerah endemik GAKI di Skotlandia selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah anak penderita anemia jenis mikrositik. Berdasarkan hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar selenium pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin dapat disimpulkan sementara bahwa kelompok perlakuan Se 45 µg/hari saja atau Se+I selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi selenium. Hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar iodium pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok perlakuan selenium 45 µg/hari + Iodium 50 µg/hari selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi iodium (Tabel 33). Tabel 31 dan 32 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin baik pada kondisi sebelum dan sesudah diberi perlakuan terdapat perbedaan yang nyata antara kadar iodium dan selenium dalam plasma darah anak laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan teori masa pertumbuhan cepat antara laki-laki dan perempuan diawali pada usia 9-12 tahun. Dalam penelitian ini semua sampel juga berumur antara 9-12 tahun, sehingga anak laki-laki dan perempuan dengan kondisi yang sama saat awal penelitian ternyata juga menunjukkan kebutuhan zat gizi selenium dan iodium yang sama untuk pertumbuhan cepat kedua.

11 Hasil analisis peningkatan kadar iodium plasma pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan kadar iodium plasma anak. Hal ini ada kaitannya dengan tingkat defisiensi iodium (81.7%) pada awal penelitian yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan defisiensi selenium (97.4%). Berdasarkan Tabel 33 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar iodium plasma sebesar 1.35 ppm. Dalam penelitian ini sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium kadar iodium plasma anak berkisar ppm dan setelah perlakuan menjadi ppm dengan prevalensi sebelum intervensi defisiensi iodium sebesar 81.7%, setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 13% (p<0.001). Dengan demikian masalah defisiensi iodium dikalangan anak SD dapat pula diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja. Hasil analisis peningkatan kadar selenium plasma pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan kadar selenium plasma anak. Tabel 33 menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar selenium plasma sebesar 2.76 ppm. Sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium kadar selenium plasma anak berkisar ppm dan setelah perlakuan menjadi ppm dengan cut off point kadar rujukan ppm, sehingga prevalensi defisiensi selenium ada 97.4% sebelum intervensi dan setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 3.5% itupun pada kelompok plasebo (p=0.000). Dengan demikian masalah defisiensi selenium dan iodium dikalangan anak SD dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja. Faktor yang Mempengaruhi Respon Profil Darah Tabel 22 menunjukkan bahwa respon hemoglobin (Hb) pada semua kelompok suplemen nyata (p<0.05) kecuali pada kelompok plasebo (p>0.05).

12 Sementara respon hematokrit (Ht) justru pada kelompok suplemen iodium yang tidak nyata (p>0.05). Namun demikian, perbaikan profil eritrosit sangat nyata pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo (p<0.05). Selenium merupakan komponen esensial enzim glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim glutathione peroxidase (Gambar 1) akan mengkatalisasi penguraian H 2 O 2 dan hidroperoksida lipid oleh glutathione (GSH) sehingga lipid membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah. Hal ini berarti dengan suplemen selenium yang bersifat antioksidan dan iodium dapat secara positif mempengaruhi sel darah merah, baik jumlah maupun umur eritrosit. Respon positif juga ditemukan pada penelitian pada anak GAKI yang menderita anemia di Skotlandia (Brown et al. 2003). Peningkatan jumlah Free Erytrocite Protophorphyrin (FEP) tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari defisiensi besi laten. Dalam penelitian ini anak usia tahun yang berstatus gizi underweight dan stunted+underweight mengalami anemia gizi besi (mikrositik hiperkromik dan makrositik hipokromik) karena tidak seimbangnya ukuran eritrosit dan kadar Hb. Anemia gizi besi jenis tersebut biasanya merupakan hasil akhir dari keseimbangan besi yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila kadar besi total mulai menurun, sumsum tulang mengalami deplesi. Setelah cadangan besi habis terjadi penurunan kandungan besi plasma dan suplai besi pada sumsum tulang tidak mencukupi untuk regenerasi hemoglobin yang normal. Selanjutnya kalau dilihat kadar leukosit ternyata pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo berbeda nyata (p<0.05) sehingga individu yang sebelum perlakuan mengalami leukopenia menjadi berada pada batas normal. Pada Tabel 56 juga terlihat bahwa tidak ada perbedaan damapk suplemen Se dan I dibandingka dengan plasebo. Adanya respon positif yang dialami kelompok plasebo ini disebabkan selama perlakuan mereka juga mengkonsumsi air mineral yang bersih dan bebas dari E.coli sehingga mereka bebas diare dan kecacingan. Efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Volume (MCV) yang tidak nyata (p>0.05) ini terjadi erat kaitannya dengan interaksi penyerapan selenium sebagai antioksidan dan iodium yang mencegah sensitivitas TSH agar tidak meningkatkan stimulasi kelenjar thyroid. Perubahan MCV akan terjadi bila cadangan besi terkuras habis tetapi kadar hemoglobin

13 darah masih lebih tinggi dari batas bawah nilai normal (biasanya di daerah pegunungan). Pada tahap ini terjadi abnormallitas biokimia pada metabolisme besi yang biasanya bisa dideteksi, terutama penurunan satu rasi transferin. Disamping itu ada faktor homeostatis untuk keseimbangan profil darah (WHO, 1996). Dampak pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH) berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok suplemen iodium 50 µg/hari saja, selenium 45 µg/hari saja dan plasebo (Tabel 56). Justru pada kelompok Se+I tidak nyata (p>0.05). Hal ini disebabkan respon Ht yang rendah karena faktor ketinggian lokasi disamping rendahnya status gizi. Anak dengan 6-11 tanda khas kretin yang menderita underweight ini memiliki respon Ht 61 % lebih rendah (OR=0.43; 95%CI ; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang memiliki status gizi normal. Begitu juga pada anak yang stunted memiliki respon Ht 63 % lebih rendah (OR=0.49;95%CI ; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang tidak stunted. Pengaruh pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar Mean Corpuscular Haemoglobin Consentration (MCHC) berbeda nyata (p<0.05) pada semua kelompok pemberian suplemen selenium dan iodium termasuk plasebo (Tabel 56). Selain disebabkan respon Hb yang rendah karena faktor ketinggian lokasi juga rendahnya status gizi. Anak dengan tanda khas kretin yang menderita underweight (48.7%) ini memiliki respon Hb 59 % lebih rendah (OR=0.43; 95%CI ; p=0.03) dibandingkan dengan anak yang tidak underweight. Begitu juga anak yang stunted memiliki respon Hb 69 % lebih rendah (OR=0.41; 95%CI ; p=0.02) dibandingkan dengan anak yang tidak stunted. Tabel 22 juga menunjukkan bahwa efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar selenium plasma berbeda nyata (p<0.05). Hal ini terjadi erat kaitannya dengan interaksi penyerapan selenium sebagai antioksidan disamping respon positif akibat defisiensi selenium yang sudah kronis pada anak. Selain itu juga disebabkan karena asupan selenium yang rendah dan lingkungan tanah dan airnya yang sangat kurang mengandung selenium. Menurut Semba (2007) kadar selenium plasma atau serum tergantung pada usia, semakin muda semakin cenderung defisiensi dan seiring dengan rendahnya risiko terkena penyakit

14 degeneratif. Risiko defisiensi selenium terjadi pada orang dewasa yang merokok, dan pada wanita yang mengalami obes. Defisiensi selenium berbeda pada setiap manusia, hal ini karena daya adaptasi setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Di New Zealand dan Finland yang merupakan daerah rendah kandungan selenium dalam tanah dan airnya, asupan selenium dari diet sehari-hari adalah 30ug - 50 ug/hari, bandingkan dengan asupan di USA dan Canada yaitu 100 ug 250 ug/hari. Konsentrasi selenium dalam darah anak-anak di New Zealand lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tinggal dibandingkan dengan negara lainnya. Faktor utama yang mempengaruhi rendahnya kandungan selenium dalam darah anak-anak di New Zealand karena intake selenium yang rendah yang juga merupakan gambaran rendahnya kandungan selenium dalam tanah di New Zealand. Kandungan Selenium dalam darah bervariasi karena keadaan geografi, umur, dan perbedaan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Anak yang menderita phenylketonuria dan maple syrup urine asupan Se-nya rendah juga konsentrasi Se dalam darah (Mc.Kenzie, 1978). Efek pemberian suplemen Se dan I terhadap kadar iodium plasma berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok Se+I dan kelompok Se saja. Pada Tabel 56 terlihat bahwa rata-rata kadar iodium plasma baik pada sebelum dan sesudah tetap ada yang defisiensi iodium (<3.3 μg/dl) sebanyak 13% (Tabel 49). Faktor rendahnya respon Se dan I terhadap kadar iodium plasma ini erat hubungannya dengan rendahnya mutu makanan terutama asupan protein hewani yang mudah diserap (Semba, 2007). Hasil analisis regresi biokimia darah menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 22. Ada kemungkinan kenaikan kadar Hb anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.77 yang artinya 77% kenaikan kadar Hb anak dengan tanda khas kretin dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen iodium saja. Pada kelompok selenium saja dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan sebesar 0.11 artinya 11% kenaikan kadar Hb anak dipengaruhi oleh pemberian

15 suplemen selenium saja. Pada kelompok plasebo tidak mengalami kenaikan kadar Hb justru sebanyak 3 % anak mengalami penurunan. Tabel 22 menunjukkan bahwa kenaikan kadar Ht anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.11 yang artinya 11% kenaikan kadar Ht anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen selenium saja dan plasebo. Pada kelompok iodium saja kadar Ht anak tidak mengalami kenaikan tetapi justru sebanyak 3 % anak mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan 2% anak yang mengalami penurunan MCV pada kelompok pemberian iodium. Pemberian suplemen selenium dan iodium terhadap MCV tidak berbeda nyata. Hal ini sangat logis karena MCV merupakan perbandingan antara kadar Ht dengan jumlah eritrosit. Hasil analisis regresi linier antara kelompok perlakuan dengan kadar MCH menunjukkan bahwa pada kelompok Iodium diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0.07 yang artinya 7 % kenaikan status MCH anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium, sama halnya dengan yang diberi suplemen selenium saja. Sementara pada kelompok plasebo jumlah anak yang mengalami penurunan status MCH ada 7 % yang berkaitan dengan kadar Hb yang tidak mengalami kenaikan sebanyak 3 % anak dan anak yang memiliki konsentrasi eritrosit rendah ada 14%. Begitu pula dengan kadar leukosit, kelompok plasebo tidak mengalami perbaikan yang diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan 0.14 yang artinya 14 % kenaikan status leukosit pada anak dipengaruhi oleh pemberian suplemen Se+I, Se saja atau iodium saja. Efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) untuk kadar selenium plasma adalah 0.14 yang artinya 14 % kenaikan status kadar selenium plasma pada anak dapat dipengaruhi oleh pemberian suplemen Se+I, Se saja atau iodium saja. Sementara efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) untuk kadar iodium plasma adalah 0.29 yang artinya 29 %

16 kenaikan status iodium plasma pada anak di daerah endemik GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium saja. Pada kelompok Se+I justru mengalami penurunan 25%, dan kelompok plasebo memiliki efek bersih sebesar 0.29 yang artinya kenaikan status iodium plasma pada anak tidak dipengaruhi suplemen. Kemungkinan faktor yang mempengaruhi koreksi kadar iodium plasma adalah intake energi dan iodium harian, obat cacing sebelum perlakuan dan perilaku sehat seperti kebiasaan menggunakan sandal/sepatu. Status Gizi Anak menurut Kelompok Perlakuan Status gizi adalah hasil interaksi asupan berbagai zat gizi ke dalam tubuh anak pada saat sebelum dan sesudah intervensi suplemen selenium dan iodium, yang diukur secara antropometri. Hasil pengukuran antropometri disajikan dengan Z-skor BB/U dan TB/U berdasar data CDC (WHO, 2000). Anak dikatakan stunted bila Z-skor TB/U <- 2 SD, termasuk status gizi kurang (underweight) bila -3 < Z-skor < - 2 SD dan termasuk status gizi buruk (wasting) bila Z-skor < -3 SD. Selanjutnya asupan zat gizi dalam penelitian ini adalah jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh anak yang diterjemahkan ke dalam energi, protein, lemak dan zat gizi mikro lainnya per hari. Status Gizi berdasarkan standar CDC (WHO, 2000) menurut Kelompok Perlakuan Status gizi antropometri dalam penelitian ini didasarkan pada hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi dianalisis dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Berdasarkan hasil perhitungan Z-skor BB/U dengan batas <-2SD sebagai underweight, maka prevalensi underweight pada anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin di daerah endemik GAKI ada 48.69%. Analisis status gizi menurut jenis kelamin (Gambar 25) menunjukkan bahwa prevalensi underweight anak laki-laki (51.47%) lebih tinggi dari anak perempuan (44.68 %). Status gizi anak menurut jenis kelamin dalam penelitian ini tidak dapat dianalisis menurut gender pathway karena jumlah sampel antara anak laki-laki

17 dan perempuan berbeda (Gambar 25). Namun demikian dapat diketahui bahwa respon suplementasi lebih baik pada anak perempuan, yang dapat dibuktikan dari jumlah anak perempuan dari masing-masing kelompok perlakuan memiliki perbaikan status gizi yang baik dari pada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan anak perempuan usia 9-12 tahun (masa growth sprout II) lebih cepat dibandingkan dengan anak laki-laki (Tabel 8). Usia 9-12 tahun merupakan kelompok usia resiko (chacth up periode) terhadap gangguan pertumbuhan jika tidak mendapatkan cukup asupan zat gizi. Status gizi (BB/U) menurut kelompok perlakuan pada anak laki-laki di daerah endemik GAKI sebelum dan sesudah diberi perlakuan ternyata lebih berisiko kurang gizi dibandingkan anak perempuan. Akan tetapi hal ini perlu dilihat kecenderungan menderita anemia kronis pada anak perempuan yang menderita kurang gizi dibandingkan anak laki-laki yang kurang gizi. Respon perbaikan status gizi anak perempuan lebih baik dibandingkan dengan respon anak laki-laki. Artinya bila anak perempuan di daerah endemik GAKI selalu menerima suplemen selenium dan iodium maka harapan untuk dapat menjaga status gizi baik diukur dari BB/U akan lebih baik dibandingkan dengan respon anak laki-laki (Tabel 36-37). Berdasarkan Tabel 36 dan 37 dapat diketahui bahwa respon pemberian suplemen terhadap status gizi menurut jenis kelamin tidak berbeda nyata antara anak laki laki dan perempuan (p>0.05). Namun pada saat pre-test ada perbedaan status gizi menurut jenis kelamin (p<0.05). Artinya jenis kelamin tidak mempengaruhi respon pemberian suplemen namun status gizi awal (masa lalu) anak yang berpengaruh terhadap respon pemberian suplemen selenium dan iodium. Meskipun demikian tetap perlu analisis gender untuk melihat kesetaraan status gizi, perolehan menu makanan bergizi seimbang, dan kesempatan sekolah anak laki-laki dan perempuan di daerah endemik GAKI. Dalam penelitian ini ternyata pemberian Se 45 µg/hari terhadap berat badan memiliki selisih 3.04 (paling baik). Hal ini dikarenakan bahwa mekanisme kerja selenium dalam bentuk aktif sodium selenat sangat berperan aktif sebagai antioksidan, komponen enzim GSH-Px.dan anti karsinogen (IOM, 2000) sehingga cepat dalam membantu proses penyerapan zat gizi dan sebagai luarannya

18 kenaikan berat badan anak mudah tercapai. Selain itu alasan yang paling masuk akal untuk menjelaskan mengapa berat badan anak dapat meningkat sesuai harapan dalam tujuan penelitian adalah adanya pemberian obat cacing Albendazol 400 mg yang dapat membersihkan usus dari telur dan keberadaan semua jenis cacing. Selanjutnya menurut Semba (2007) menyebutkan bahwa selenium juga mampu secara langsung mencegah anemia dan semua penyebab kematian pada manusia karena selenium mampu mengurangi kapasitas penggunaan oksigen darah yang terjadi pada anak dengan tanda khas kelainan fisik, dan pada pasien dengan komplikasi jantung. Peningkatan status gizi terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo (1.96 kg), dari kelompok pemberian suplemen kapsul selenium + iodium yaitu rata-rata penambahan berat-badannya sebesar 2.09 kg. Sementara dilihat dari tinggi badan maka terjadi peningkatan tinggi badan anak cm selama 4 bulan pengamatan (Tabel 34). Terjadinya peningkatan tinggi badan setelah pemberian suplemen Se+I ( =1.7) pemberian iodium 50 µg/hari ( =3.5) pemberian Se 45 µg/hari ( =1.4), dan Plasebo ( =1.2) menunjukkan bahwa anak usia 9-12 tahun yang memiliki tanda khas kretin masih tetap dapat tumbuh tinggi meskipun tanpa pemberian suplemen. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 34. Pemberian iodium memiliki pengaruh terbaik terhadap tinggi badan (p=0.00). Hal ini mirip dengan beberapa hasil penelitian dengan pemberian suplemen zinc mg/hari (Black, 2003) yang menunjukkan bahwa peningkatan tinggi badan sebagai cermin status gizi masa lalu dapat dikoreksi seiring dengan perkembangan motorik dan IQ anak dengan catatan selama intervensi anak tidak mengalami sakit yang dapat mengganggu proses penyerapan zat gizi di usus. Hasil pengamatan status gizi menunjukkan bahwa sebelum perlakuan ada 15 anak (13%) dengan kategori pendek, 7 anak (6.1%) termasuk kurang gizi, dan 49 anak (42.6%) menderita kurang gizi serta termasuk pendek (gizi buruk). Anak dengan status gizi buruk (underweight + stunted) sebelum perlakuan paling banyak pada kelompok plasebo (12.2%), selanjutnya kelompok iodium saja ada 13 anak (11.3%), kelompok selenium saja ada 12 anak (10.4%). Setelah diberi selenium 45 µg/hari dan suplemen kapsul iodium 50 µg/hari selama 2 bulan semua kelompok perlakuan tidak ada lagi anak yang memiliki gizi buruk kecuali

19 kelompok plasebo. Namun demikian setelah perlakuan masih ditemukan 10 anak (8.7%) dengan kategori stunted dan sebanyak 8 anak (7%) masih mengalami kurang gizi. Jadi secara keseluruhan ada peningkatan status gizi baik dari 44 anak (38.26%) menjadi 90 anak (78.26%). Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada anak remaja awal (usia 9-12 tahun) baik laki-laki maupun perempuan merupakan masa penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu (misalnya penyakit infeksi, depresi, anemia dan diare) juga dapat mempengaruhi produktifitas dan aktivitas belajarnya. Oleh karena itu pemantauan status gizi perlu dilakukan secara berkesinambungan termasuk di daerah endemik GAKI. Namun faktor keterbatasan tenaga, waktu dan sarana pemantauan belum memungkinkan dilakukan pemantauan status gizi secara berkesinambungan akibatnya KMS anak sekolah tidak jalan. Hasil analisis status gizi sesudah perlakuan antar kelompok sangat berbeda nyata (p<0.001), kecuali pada kelompok Se saja bila dibandingkan dengan kelompok yang diberi suplemen iodium saja maupun Se+I. Kelompok plasebo sangat berbeda nyata (p<0.001) bila dibandingkan kelompok yang mendapat suplemen. Selanjutnya hasil analisis perumbuhan fisik dilihat dari status gizi anak dan perkembangan psikologis sama-sama dipengaruhi oleh masukan zat gizi selama periode tumbuh kembangnya. Kecerdasan anak ternyata dipengaruhi oleh hal yang lebih kompleks daripada pertumbuhan fisik. Kekurangan gizi pada masa tumbuh kembang anak akan berpengaruh baik pada kecerdasan maupun kondisi fisik mereka. Anak-anak yang kekurangan gizi, disamping akan memperlihatkan penampilan fisik yang buruk juga akan meperlihatkan perkembangan kecerdasan yang terlambat. Sebaliknya kadar gizi yang cukup dapat menampilkan perkembangan fisik yang baik tetapi belum tentu menjamin perkembangan kecerdasan yang baik (Husaini et al. 2001). Sementara hasil penelitian terhadap tikus terungkap bahwa kurang gizi menyebabkan isolasi diri yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak dengan mengurangi kegiatan interaksi, aktivitas, perilaku eksploratorik, kurang perhatian dan motivasi yang rendah. Aplikasi teori ini pada manusia ialah bahwa pada keadaan kurang energi dan protein (KEP), anak

20 menjadi tidak aktif, apatis, pasif dan tidak mampu berkonsentrasi. Akibatnya, anak dalam melakukan kegiatan eksploratori fisik di sekitarnya hanya mampu sebentar saja dibandingkan dengan anak yang gizinya baik, yang mampu melakukannya dalam waktu yang lebih lama (Pollitt, 2000). Untuk melakukan aktivitas motorik, dibutuhkan ketersediaan energi dalam jumlah yang cukup banyak. Anak usia sekolah saat pelajaran olahraga, upacara bendera dengan berdiri, berjalan, berlari melibatkan suatu mekanisme yang memerlukan energi dalam jumlah yang tinggi. Dengan demikian anak sekolah yang menderita kekurangan energi dan protein biasanya selalu mengalami keterlambatan perkembangan psikomotorik dan tidak mampu konsentrasi dalam waktu lama. Selanjutnya, tahapan perkembangan aktivitas motorik anak sekolah yang cerdas akan menurunkan tingkat ketergantungan atau kontak yang terus menerus dengan para guru dan orangtua mereka. Keadaan ini tampaknya berpengaruh secara nyata terhadap mekanisme self-regulatory, sehingga anakanak menjadi lebih bersosialisasi dan ramah terhadap lingkungan sekitarnya. Sebaliknya keterlambatan locomotion dan perkembangan motorik anak sekolah akan merusak akses pada sumber-sumber eksternal yang akan berakibat kurang baik terhadap regulasi emosional dan menghambat perkembangan kecerdasan anak. Ini berarti bahwa tingkat kemandirian seorang anak akan berkorelasi secara positif dengan tingkat kecerdasan mereka. Anak-anak yang sudah mendapat gizi yang cukup selama periode perkembangan mereka masih memerlukan peluang untuk tumbuh mandiri yang diperlukan bagi perkembangan tingkat kecerdasan mereka (Husaini et al. 2001). Kemungkinan kenaikan berat badan anak pada kelompok Se+I diperkuat oleh efek bersih dari analisis peragam (Ancova) dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah yang artinya 53.6% kenaikan berat badan anak penderita GAKI dipengaruhi oleh pemberian suplemen selenium dan iodium. Pada kelompok iodium saja dengan nilai R kuadrat yang disesuaikan sebesar artinya 39.8% kenaikan berat badan anak dipengaruhi oleh pemberian suplemen iodium saja, dan yang dipengaruhi selenium saja ada 40.3%. Namun pada kelompok plasebo juga mengalami kenaikan berat badan yang dipengaruhi obat cacing sebesar 44.1%.

21 Berdasarkan hasil analisis Adjusted R Square = 0.85 (85% anak kurang gizi menggunakan indikator BB/U dapat diperbaiki dengan suplemen Se dan Iod). Hal ini terjadi disamping karena tingkat konsumsi energi yang relatif cukup ( Kal), protein g, lemak % juga disebabkan pemberian obat cacing Albendazole 400 mg satu kali sebelum intervensi zat gizi mikro dimulai. Menurut Stephenson et al.(1993) bahwa dengan pemberian dosis tunggal obat cacing Albendazole satu kali saja dapat memperbaiki pertumbuhan anak (peningkatan berat badan kg) serta dapat meningkatkan kadar Hb anak di Kenya selama 4 bulan. Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Energi merupakan sumber zat gizi utama untuk beraktifitas. Keseimbangan energi akan tercapai bila asupan energi sesuai dengan energi yang digunakan/ dikeluarkan. Energi yang digunakan tergantung kepada jenis pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Dalam penelitian ini perhitungan kecukupan energi dilakukan menggunakan 24 hours Recall pada subsampel anak SD di desa endemik GAKI, dan frekuensi makan/hari. Berdasarkan wawancara dengan 41 anak diketahui bahwa belum ada keseimbangan energi dengan komposisi tubuh pada anak. Hasil analisis regresi linier antara intake energi /hari terhadap berat badan sebelum maupun sesudah diberi perlakuan tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata (p>0.05), begitu pula antara intake energi /hari terhadap tinggi badan anak juga tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) dengan R=0.16. Dapat disimpulkan sementara bahwa perbaikan status gizi anak baik dari indikator BB/U maupun TB/U tidak dipengaruhi oleh intake energi. Artinya perlakuan pemberian supelemen selenium dan iodium serta obat cacing sangat berpengaruh terhadap perbaikan status gizi anak di daerah endemik GAKI. Kebutuhan zat gizi (RDA) pada puncak Growth Spurt II (umur tahun) baik laki-laki maupun perempuan seperti yang dikemukakan oleh Hartono (2000) dan IOM (2001) pada Tabel 11 ternyata untuk Se sebesar 280 (μg/hari) dan kebutuhan iodium antara (μg/hari). Sementara menurut AKG (2004) kebutuhan selenium hanya 20 (μg/hari) dan iodium sebanyak 120 (μg/hari).

22 Dalam penelitian analisis kecukupan zat gizi selenium dan iodium menggunakan rekomendasi dari Hartono (2001) dan IOM (2001) mengingat selenium dan iodium yang diekskresi tubuh mencapai 50 μg/hari. Hasil analisis rata-rata intake zat gizi pada anak di daerah endemik GAKI menurut sumbangan kecukupannya dari rumah maupun makanan jajanan di sekolah dapat dilihat pada Lampiran 4-7. Diketahui bahwa persentase kecukupan energi (Kal), protein dan lemak pada anak masih sangat jauh dari seimbang, begitu juga dengan tingkat kecukupan mineral mikro seperti zat gizi besi, seng, selenium dan iodium. Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) antara intake selemiun/hari dengan kadar selenium dalam plasma baik sebelum dan sesudah diberi perlakuan, begitu pula antara intake iodium /hari terhadap kadar iodium plasma anak juga tidak ada hubungan yang nyata (p>0.05) dengan R=0.15. Artinya pemberian supelemen selenium dan iodium serta obat cacing sangat berpengaruh terhadap perbaikan status defisiensi selenium dan iodium pada anak di daerah endemik GAKI. Dalam penelitian ini wawancara tingkat kecukupan konsumsi dilakukan dengan metode Recall 24 jam yang lalu oleh Bidan Desa dibantu oleh guru SD setempat. Dikarenakan anak-anak yang memiliki tanda khas kretin kebanyakan sulit berbicara dan menangkap pertanyaan dari Tim peneliti, maka dilakukan cross-chek dengan food frequency dan penimbangan makanan jajanan di sekolah. Secara tidak langsung terlihat adanya hubungan antara iodium dan selenium, dimana ketersediaan selenium yang rendah pada tanah diduga juga mengandung iodium yang rendah. Interaksi yang terbentuk antara iodium dan selenium bersifat sangat kompleks dan terkait dengan fungsi-fungsi selenium dalam selenoprotein. Selain itu selenium juga sangat dibutuhkan dalam proses perubahan T 4 menjadi T 3 selain enzim deiodonase (WHO, 2001). Sebaliknya yang menghambat proses perubahan T 4 menjadi T 3 dari bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh penduduk di daerah endemik adalah makanan yang mengandung goitrogenik. Goitrogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goitrogenik dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon

23 tiroksin terhambat (Linder, 1992). Goitrogenik alami menurut Chapman (1982) terdapat dalam jenis pangan seperti 1) kelompok sianida (daun + umbi singkong, gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung); 2) kelompok mimosin (pete cina dan lamtoro); 3) kelompok isothiosianat (daun pepaya); 4) kelompok asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Meskipun sudah diketahui jenis bahan makanan yang mengandung goitrogenik, namun kandungan zat gizi lain dalam bahan makanan tersebut tetap banyak membantu kecukupan gizi penduduk setempat. Berdasarkan hal tersebut, maka WHO (2001) sudah menganjurkan program penanggulangan GAKI dengan fortifikasi iodium pada garam dengan melakukan universal garam beriodium. Selanjutnya Burk, et al. (2006) mengatakan bahan makanan yang banyak mengandung selenium biasanya juga ditemukan banyak mengandung iodium, misalnya daging dan seafood ( μg/g), sereal dan padi-padian ( μg/g) tergantung pada kandungan selenium pada tanah. Lingkar Lidah menurut Kelompok Perlakuan Tabel 41 menunjukkan bahwa pemberian suplemen kapsul iodium maupun selenium selama dua bulan seolah-olah tidak ada manfaatnya bila dilihat dari besaran ukuran volume lingkar lidah anak di daerah endemik GAKI. Hal ini dapat dijelaskan dari ilmu patologi anatomis, bahwa cacat lahir atau penyakit bawaan lahir seperti dampak permanen dari defisiensi zat gizi mikro dalam waktu yang lama dan bersifat kronis adalah sulit untuk diperbaiki. Begitu juga glossitis dan kelainan bawaan lahir pada lidah akibat defisiensi zat gizi mikro yang sangat lama (Underwood, 2002). Sampai saat ini kegunaan selenium sebagai suplemen tambahan zat gizi yang tepat untuk setiap kasus kekurangan zat gizi mikro masih banyak diteliti untuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Pengaruh suplemen selenium dan iodium terhadap volume lingkar lidah menunjukkan hasil yang negatif, artinya semua suplemen yang diberikan kepada anak penderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tidak berpengaruh positif. Namun demikian tetap terjadi perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan (p=0.001) setelah diberi suplemen. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Kurang zat gizi mikro merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia karena jumlah penderitanya masih lebih dari 100 juta jiwa (Untoro, 2004). Zat gizi mikro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang ditimbulkan cukup serius dengan spektrum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, MCV, MCH dan MCHC ayam broiler dengan perlakuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia pada remaja putri merupakan salah satu dampak masalah kekurangan gizi remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan penelitian mulai dilakukan pada Agustus 2005 yaitu mengurus perijinan wilayah sampai pada lokasi sekolah dasar (SD) dan perijinan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11) anemia. (14) Remaja putri berisiko anemia lebih besar daripada remaja putra, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit dalam darah kurang dari yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi mikro yang cukup serius dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian besar anemia di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih terdapat di Indonesia yang dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas ibu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari normal, anemia merefleksikan eritrosit yang kurang dari normal di dalam sirkulasi dan anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah dasar adalah anak yang berusia 6-12 tahun. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat pertumbuhan yang terjadi sebelumnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas, karena pada dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan, A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Gizi seimbang merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan, perkembangan, menurunkan produktifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ada empat masalah gizi utama yang ada di Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk. Kedua, kurang vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anti nyamuk merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi gigitan nyamuk. Jenis formula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya

Lebih terperinci

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS persisten, RCT 2. Zn + Vit,mineral 3. plasebo, durasi 6 bln BB KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BB, PB Zn dan Zn + vit, min lebih tinggi drpd plasebo Kebutuhan gizi bayi yang tercukupi dengan baik dimanifestasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Setiap pasangan menginginkan kehamilan berlangsung dengan baik, bayi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia Anemia adalah penurunan jumlah normal eritrosit, konsentrasi hemoglobin, atau hematokrit. Anemia merupakan kondisi yang sangat umum dan sering merupakan komplikasi dari

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN PENELITIAN PENGARUH PEMBERIAN TABLET Fe DAN BUAH KURMA PADA MAHASISWI DI JURUSAN KEBIDANAN TANJUNGKARANG Nora Isa Tri Novadela*, Riyanti Imron* *Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Tanjungkarang E_mail :

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan banyak faktor, di

BAB 1 PENDAHULUAN. masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan banyak faktor, di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Departemen Kesehatan (2000) menyebutkan bahwa masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah

Lebih terperinci

Apa yang dimaksud dengan Yodium?

Apa yang dimaksud dengan Yodium? UPAYA MENINGKATKAN KONSUMSI GARAM BERYODIUM DI PROVINSI BALI MELALUI KEBIJAKAN BERWAWASAN KESEHATAN : SURAT EDARAN GUBERNUR BALI NOMOR : 440/2541/KESMAS.DISKES, TANGGAL 16 FEBRUARI 2015 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

MAKALAH GIZI ZAT BESI

MAKALAH GIZI ZAT BESI MAKALAH GIZI ZAT BESI Di Buat Oleh: Nama : Prima Hendri Cahyono Kelas/ NIM : PJKR A/ 08601241031 Dosen Pembimbing : Erwin Setyo K, M,Kes FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah keseimbangan antara pemasukan zat gizi dari bahan makanan yang dimakan dengan bertambahnya pertumbuhan aktifitas dan metabolisme dalam tubuh. Status

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum SMK N 1 Sukoharjo 1. Keadaan Demografis SMK Negeri 1 Sukoharjo terletak di Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan satu dari empat masalah gizi yang ada di indonesia disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah gangguan akibat kurangnya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan fisik dan perkembangan emosional antara

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN HUBUNGAN ANTARA ASUPAN Fe DENGAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb) PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN DENGAN BERAT BADAN BAWAH GARIS KUNING MENURUT KMS DI KELURAHAN SEMANGGI KOTA SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Oleh : LAILA MUSFIROH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah atau jumlahnya kurang dari kadar normal. Di Indonesia prevalensi anemia pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran Eritrosit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Masa kehamilan adalah suatu fase penting dalam pertumbuhan anak karena calon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Gangguan akibat kekurangan iodium adalah sekumpulan gejala yang dapat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi. 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah gizi pada remaja dan dewasa yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi. Prevalensi anemia di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Orang dengan paparan timbal mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menjadi anemia dibandingkan dengan orang yang tidak terpapar timbal. Padahal anemia sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan status gizi masyarakat sebagai upaya peningkatan kualitas dan taraf hidup serta kecerdasan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidak cukupnya massa sel darah merah (hemoglobin) yang beredar di dalam tubuh. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga pada bulan Desember 2012 - Februari 2013. Jumlah sampel yang diambil

Lebih terperinci

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA CICA YULIA, S.Pd, M.Si Remaja merupakan kelompok manusia yang berada diantara usia kanak-kanak dan dewasa (Jones, 1997). Permulaan masa remaja dimulai saat anak secara seksual

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia karena defisiensi besi merupakan kelainan gizi yang paling sering ditemukan di dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Saat ini diperkirakan kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpotensi menurunkan tingkat kecerdasan atau biasa disebut Intelligence Quotient

BAB I PENDAHULUAN. berpotensi menurunkan tingkat kecerdasan atau biasa disebut Intelligence Quotient BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi Disusun

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan.

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan. BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan. Sedangkan anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan dampak masalah gizi pada remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, dapat karena kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari dataran tinggi atau pegunungan. Gangguan Akibat. jangka waktu cukup lama (Hetzel, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. yang terdiri dari dataran tinggi atau pegunungan. Gangguan Akibat. jangka waktu cukup lama (Hetzel, 2005). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gondok Endemik merupakan masalah gizi yang dijumpai hampir diseluruh negara di dunia, baik di negara berkembang termasuk di Indonesia maupun negara maju. Terlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Visi Pembangunan Indonesia kedepan berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) (2005-2025) adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang mandiri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang 26 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi fisiologis ternak dapat diketahui melalui pengamatan nilai hematologi ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang mengandung butir-butir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan antropometri (berat badan, tinggi badan, atau ukuran tubuh lainnya) dari waktu ke waktu, tetapi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia adalah berkurangnya jumlah kadar Hb (sel darah merah) hingga dibawah nilai normal, kuantitas hemoglobin dan volume packed red blood cells ( hematokrit)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Obesitas atau kegemukan merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan lemak yang melebihi 20% pada pria dan 25% pada wanita dari bobot badan normal. Kondisi tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan yang serius mengingat dampaknya yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan masa depan bangsa yang akan menggantikan generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia anak menjadi usia dewasa. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering terjadi pada semua kelompok umur di Indonesia, terutama terjadinya anemia defisiensi besi. Masalah anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Sekitar anak-anak di negara berkembang menjadi buta setiap

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Sekitar anak-anak di negara berkembang menjadi buta setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi vitamin A diperkirakan mempengaruhi jutaan anak di seluruh dunia. Sekitar 250.000-500.000 anak-anak di negara berkembang menjadi buta setiap tahun karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak SD (sekolah dasar) yaitu anak yang berada pada usia 6-12 tahun, memiliki fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan balita, mempunyai sifat individual dalam banyak

Lebih terperinci

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami PENDAHULUAN Latar belakang Anemia zat besi di Indonesia masih menjadi salah satu masalah gizi dan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian. Anemia zat besi akan berpengaruh pada ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma Premenstruasi (SPM) secara luas diartikan sebagai gangguan siklik berulang berkaitan dengan variasi hormonal perempuan dalam siklus menstruasi, yang berdampak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesehatan, bahkan pada bungkus rokok-pun sudah diberikan peringatan mengenai

I. PENDAHULUAN. kesehatan, bahkan pada bungkus rokok-pun sudah diberikan peringatan mengenai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan hal yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan menurut data WHO tahun 2011, jumlah perokok Indonesia mencapai 33% dari total jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPATUHAN 1. Defenisi Kepatuhan Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan. Dengan menggambarkanpenggunaan obat sesuai petunjuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia pada Remaja Putri Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung termasuk penyakit jantung koroner telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung termasuk penyakit jantung koroner telah menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung termasuk penyakit jantung koroner telah menjadi penyebab kematian utama di Indonesia. Penyebabnya adalah terjadinya hambatan aliran darah pada arteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia Gizi Besi Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Sebelum terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk mencapainya, faktor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara berkembang. Data Riset Kesehatan Dasar (R iskesdas)

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara berkembang. Data Riset Kesehatan Dasar (R iskesdas) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling sering dijumpai di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari nilai normal kelompok yang bersangkutan (WHO, 2001). Anemia merupakan kondisi

Lebih terperinci

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT. Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT. Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes GIZI KESEHATAN MASYARAKAT Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes Introduction Gizi sec. Umum zat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan memperbaiki jaringan tubuh. Gizi (nutrisi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi utama yang terjadi di seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia 15-49 tahun yang menderita anemia di enam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor utama yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Gaky Gangguan akibat kekurangan yodium adalah rangkaian efek kekurangan yodium pada tumbuh kembang manusia. Spektrum seluruhnya terdiri dari gondok dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia bisa terjadi pada segala usia. Indonesia prevalensi anemia masih tinggi, insiden anemia 40,5% pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis

BAB I PENDAHULUAN. adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis maupun berulang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk satu tahun. Pada tahun 2013, secara nasional terdapat kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium

BAB I PENDAHULUAN. belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring merupakan jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium Patologi Anatomi FKUI melaporkan

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian proyek intevensi cookies muli gizi IPB, data yang diambil adalah data baseline penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

111. KERANGKA PEMIKIRAN & HIPOTESIS

111. KERANGKA PEMIKIRAN & HIPOTESIS 111. KERANGKA PEMKRAN & HPOTESS Keran~ka Pemikiran Bayi lahir dengan status gizi dan kesehatan yang optimal lahir dari ibu dengan kondisi kehamilan yang optimal. Kondisi tersebut dapat terjadi jika status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia adalah upaya peningkatan status gizi. Gangguan Akibat

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia adalah upaya peningkatan status gizi. Gangguan Akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya yang memiliki dampak positif terhadap peningkatan sumber daya manusia adalah upaya peningkatan status gizi. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis

BAB I PENDAHULUAN. namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja.

Lebih terperinci

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan Curriculum vitae Nama : AA G Sudewa Djelantik Tempat/tgl lahir : Karangasem/ 24 Juli 1944 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Jln Natuna 9 Denpasar Bali Istri : Dewi Indrawati Anak : AAAyu Dewindra Djelantik

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci