BAB I PENGANTAR. Kehadiran sebuah bentuk seni pertunjukan dan aktivitasnya. dalam lingkungan masyarakat yang bersifat kelompok ditentukan
|
|
- Hendra Halim
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Kehadiran sebuah bentuk seni pertunjukan dan aktivitasnya dalam lingkungan masyarakat yang bersifat kelompok ditentukan oleh norma-norma yang telah disepakati masyarakatnya. Seni yang dikenal sebagai cerminan masyarakat terdiri dari jiwa, keinginan, realita dan nilai masyarakatnya, 1 karena seni adalah produk masyarakat. 2 Salah satu produk masyarakat Indonesia yang berasal dari Sumatera Utara adalah seni pertunjukan yang dikenal dengan nama Opera Batak. Opera Batak adalah pertunjukan teater tradisional atau pertunjukan sandiwara panggung yang dimiliki masyarakat Batak Toba secara turun-temurun. Bila dilihat dari asal penamaan, pertunjukan teater Batak di sebut sebagai Opera Batak ketika orang Belanda masuk ke pulau Samosir pada awal abad ke-19. Belanda menjuluki sandiwara tradisional itu dengan nama Opera (gaya) 1 Made Bambang Oka Sudira Ilmu Seni, Teori dan Praktik. Jakarta: Inti Prima. Hal Janet Wolf The Social Production of Art, dalam Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 2. 1
2 2 Batak, atau kemudian dikenal sebagai Opera Batak. 3 Istilah Opera Batak sendiri dilekatkan oleh Diego van Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada tahun 1930-an. Professor Rainer Carle merepresentasikan sejarah Opera Batak melalui sebagian ringkasan singkat dalam bukunya yang berjudul Opera Batak-The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra-Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian. Carle menuliskan bahwa selama paruh kedua abad ke- 19 Sumatera Utara berada di bawah kendali Belanda karena wilayah ini memiliki perkebunan yang luas sebagai penghasil perekenomian yang strategis. Disinilah para misionaris Jerman memulai Kristenisasi pada orang Batak. 4 Pada awal abad ke-20 muncul berbagai teater keliling di Asia Tenggara, kemunculan teater ini merupakan bentuk perekonomian yang baru di Asia Tenggara. Teater keliling Asia Tenggara (Eurasia) yang populer saat itu adalah wayang parsi, Opera Melayu dari Malaka atau yang dikenal dengan nama Opera Bangsawan. Kemunculan teater keliling pada saat itu menempatkan musik sebagai media interaktif yang melibatkan reaksi-reaksi dari penonton yang disajikan untuk menghibur dan 3 Seniman Teater tradisi Zukaidah Harahap. Sumber dari: Diakses pada tanggal 17 September Rainer Carle Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra - Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian. Hal 9. Sumber: Diakses pada tanggal 17 September 2013.
3 3 menginformasikan berbagai hal. Kemunculan teater keliling pada masa tersebut berfungsi sebagai seni klasik tradisional dan tradisi lisan yang harus dipertahankan, tetapi di sisi lain untuk melihat bagaimana perkembangan teater keliling sebagai kesenian pembuka bagi dunia non-melayu. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan melalui pembentukan Opera Batak secara terbuka. Menurut Carle ada beberapa alasan mengapa Opera Batak dihadirkan. Pertama, bentuk ritual mereka berasal dari pengalaman hidup di dunia. Kedua, adanya kebutuhan terhadap suatu periode pergolakan budaya yang besar, yang tidak lagi sesuai dan terhambat oleh misi politik atas kebijakan Kristenitas. 5 Lebih lanjut Carle menuliskan bahwa Opera Batak berkembang selama periode satu dekade dari sekitar tahun 1925 melalui kontak antara operasi regional teater rakyat pendatang Eurasia Melayu dengan regional musisi keliling yang terdiri dari kaum petani dan kaum intelektual perkotaan, yang melibatkan budaya Batak sebagai politik melalui orientasi karakteristik. 6 Tahun 1928 Tilhang Oberlin Gultom mendirikan Opera Batak Tilhang Gultom (sekarang dikenal 5 Rainer Carle Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra - Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 9. Sumber: Diakses pada tanggal 17 September Rainer Carle Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra - Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 96. Sumber: Diakses pada tanggal 17 September 2013.
4 4 dengan nama Opera Batak Tilhang Serindo). Opera Batak ini telah menggelar sendiri pertunjukannya selama hampir enam dekade. Selain akting, unsur komedi kerap menjadi ciri khas dari pertunjukan ini. Keistimewaan yang utama dari pertunjukan ini adalah ansambel musik tradisional Batak Toba yang menggunakan Gondang hasapi atau biasa disebut dengan Uning-uningan. Menurut Carle Uning-uningan pada waktu itu belum dilarang oleh para misionaris, namun hingga sekarang musik Batak yang khas ini menegaskan dirinya sebagai suatu ilustrasi panggung bermain dengan tujuan profan dan menghibur. 7 Christian Moser mengemukakan bahwa Opera Batak klasik telah muncul sebagai teater keliling di dekade awal abad kedua puluh, sekitar tahun 1920-an yang berlangsung hingga tahun an. Pada masa era , Opera Batak klasik merupakan sarana protes terhadap kekuasaan kolonial Belanda terhadap pelestarian persatuan dan identitas regional. Berbeda dengan Opera Batak yang ada saat ini, selera media lebih sesuai dengan plot atau alur yang sedikit menunjukkan kesederhanaan dan keasliannya. Akses terhadap isu-isu terkini seperti penggundulan hutan atau 7 Rainer Carle Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra - Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 15. Sumber: Diakses pada tanggal 17 September 2013.
5 5 keracunan air diberitahukan untuk membuat penontonnya sensitif terhadap isu-isu sosial tersebut melalui media entertain yang menghibur. Moser menyatakan bahwa masyarakat Batak mengekspresikan diri mereka dengan menyuarakan kebenaran karena mereka tidak takut membicarakan apa yang ada dalam pemikiran mereka. Melalui pertunjukan Opera Batak kesenian ditempatkan sebagai jembatan penghubung antara tradisi dan modernitas yang dapat diartikulasikan. 8 Thompson Hutasoit menyebut Opera Batak demikian sebagai Opera Bataktransisi, suatu peralihan dari perkembangan Opera Batak terdahulu menuju revitalisasi Opera Batak dengan struktur modern. 9 Kisah yang diangkat dalam Opera Batak umumnya tentang lakon legenda, mitos, cerita kepahlawanan, atau cerita keseharian masyarakat setempat. 10 Ada berbagai jenis sastra dalam budaya Batak Toba, di antaranya umpama-umpasa (pepatah dan pantun) dan cerita. Menurut Mula Hutasoit, cerita dapat dikelompokkan menjadi 6 jenis, antara lain: (1) Torsa-torsa (sejarah), (2) Na homi (mistik), (3) Taringot tu angka debata (cerita tentang para dewa), (4) Hajajadi 8 Christian Moser.The Batak people and the Classical Opera Batak. Published on 21, March Sumber dari: Diakses pada tanggal 17 September Wawancara dengan Thompson Hs ketika tengah memberikan Worshop dalam tur PLOt di Padepokan Bagong Kussdiardjo pada 22 oktober 2013, Yogyakarta. 10 Kenedi Nurhan Ratu Opera Batak dari Tiga Dolok, dalam Sosok, Kompas, Selasa 18 Desember.
6 6 (legenda), (5) Turi-turian (dongeng), dan (6) Tudosan (perumpamaan). Hutasoit menyatakan bahwa keseluruhan cerita tersebut menunjukan betapa dalam makna yang terkandung didalamnya, dan betapa mereka telah mengerti bagaimana mengemas suatu permasalahan ke dalam sebuah bentuk cerita untuk diwariskan kepada keturunan mereka, yang selain sarat akan nilai seni, juga sarat akan nilai edukasi. 11 Gender saat ini telah menjadi wacana sosial yang mempersepsikan berbagai manifestasi peran laki-laki dan perempuan dalam menata hubungan sosialnya (social construction), menurut Arief. 12 Walaupun wacana ini bukan suatu hal yang baru, dan sudah berlangsung cukup lama dalam lingkup sosial, kenyataannya permasalahan tersebut masih tetap diperbincangkan dan ditelusurioleh kalangan akademis. Di samping itu Chris Barker berpendapat bahwa gender adalah asumsi dan praktik kultural yang mengatur konstruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Begitu juga dengan femininitas dan maskulinitas yang merupakan bentuk perilaku yang diatur secara kultural dan dipandang sesuai secara sosial bagi jenis kelamin tertentu. Gender 11 Mula Hutasoit Turi-turian Ninna tu Ninna dalam Krismus Purba, Opera Batak Tilhang Serindo. Yogyakarta: Kalika. Hal Arief Agung Suasana. Hubungan Gender dalam Representasi Iklan Televisi. Sumber: Diakses pada tanggal 17 September 2013.
7 7 selalu merupakan masalah bagaimana laki-laki dan perempuan dihadirkan. Lebih jauh lagi, karena gender adalah konstruk kultural, dia terbuka bagi segala perubahan, menurut Barker. 13 Menurut Katrin citra (image) gender yang hadir dalam keseharian kita lewat berbagai bentuk budaya termasuk karya seni, sangat berperan dalam membentuk dan melestarikan konstruksi femininitas dan maskulinitas yang dominan dalam masyarakat, namun juga berpotensi menggugat dan mengubah konstruksi tersebut. Katrin menegaskan bahwa konsep femininitas dan maskulinitas cenderung dikonstruksi dalam oposisi biner; lemah atau kuat, yang mengkonstruksi laki-laki sebagai pihak yang selalu unggul dan utama. Konstruksi citra tersebut tidak dapat dihindari telah mempengaruhi posisi perempuan tidak hanya di dalam bidang seni tetapi dalam kehidupan masyarakat secara umum. 14 Ratna Saptari dan Brigitte Holzner menyatakan bahwa kehadiran perempuan dalam dunia seni pertunjukan menjadi persoalan yang kerap berhubungan dengan sistem normatif dan nilainilai moral yang dijunjung tinggi di Indonesia. Banyak kebudayaan etnis menempatkan larangan-larangan terhadap perempuan yang 13 Chris Barker Antiesensialisme, Feminisme dan Politik Identitas dalam Cultural Studies; Teori dan Praktek. Nurhadi (Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal Katrin Reinterpretasi Perempuan pada Kisah-kisah Tradisional ke dalam Seni Kontemporer. Sumber: Diakses pada tanggal 17 September 2013.
8 8 berdampak pada sempitnya akses perempuan berperan dalam aktivitas seni. Bahkan dalam etnis-etnis tertentu perempuan dikekang dalam memasuki dunia seni. Dengan kata lain, kehadiran mereka dalam memasuki dunia seni dianggap sebagai penyimpangan. Keprihatinan atas nasib perempuan lazim dijelaskan akibat dominannya ideologi patriarki dalam komunitas-komunitas masyarakat. 15 Konsep yang dikonstruksi oleh ideologi patriarki dalam suatu tatanan adat masyarakat juga tidak terlepas pada ranah keseniannya. Kesenian yang mengandung unsur-unsur yang identik dengan dominasi maskulinitas inilah yang pada akhirnya menciptakan istilah seni maskulin. Seni maskulin kemungkinan tidak terjadi pada Opera Batak bila dilihat dari keseluruhan bentuk pertunjukannya. Namun secara musikal, maskulinitas ada pada musik yang dimainkan dalam Opera Batak. Setiap instrumen musik yang ada pada masyarakat Batak Toba pada hakikatnya didisain khusus untuk anatomi tubuh laki-laki. 16 Dalam panggung kesenian Opera Batak, perempuan difungsikan hanya sebagai pemain lakon, penyanyi, dan juga penari, bukan 15 Ratna Saptari dan Brigitte Holzner Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hal Wawancara dengan Krismus Purba, Dosen Etnomusikologi (ISI) Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pada tanggal 23 November 2013 di ISI Yogyakarta.
9 9 sebagai parmusik (pemain musik) yang lazimnya adalah bagian yang dipegang laki-laki. Musik yang digunakan dalam Opera Batak adalah ansambel Gondang Hasapi atau yang biasa disebut dengan Uninguningan. Ansambel Gondang Hasapi atau Uning-uningan adalah seperangkat alat musik tradisional Batak yang terdiri dari: sarune (serunai), hasapi (kecapi), sulim (seruling), garantung, odap, dan hesek. 17 Kenyataan bahwa instrumen musik tradisi Batak Toba diciptakan khusus untuk laki-laki dapat dikategorikan sebagai seni maskulin. Konsep patrilineal yang dianut masyarakat Batak Toba cenderung menjadikannya lazim dimainkan oleh kaum laki-laki. Hal tersebut dapat didukung pula oleh pernyataan bahwa secara keseluruhan seni maskulin tidak dapat dilekatkan dalam panggung seni pertunjukan Opera Batak. Kemudian bagaimana jika dominasi maskulinitas dalam budaya Batak Toba yang patrilineal ditantang oleh kemunculan seorang perempuan yang secara musikalitas berhasil menyamakan kedudukannya dengan laki-laki. Zulkaidah Harahap, kepiawaiannya dalam memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba berhasil mengantarkannya menjadi seorang figur dalam panggung Opera Batak, sekaligus menjadi perempuan 17 Dame Ambarita Dua Maestro Opera Batak ikut Mentas, Perankan Nai Mberu & si Pande. Media Harian Metro Siantar, Pematang Siantar Sumatera Utara, Jumat 11 April 2008.
10 10 Batak pertama yang mahir memainkan instrumen tradisional Batak Toba. Kedudukan kaum perempuan dalam setiap aktivitas masyarakat tidak dapat dipisahkan dari norma-norma kehidupan yang berlaku dalam lingkungannya. Begitu pula yang terjadi dalam konteks seni pertunjukan, terlebih lagi figur yang mempunyai latar belakang menarik, yakni seorang perempuan dengan predikat parmusik (pemain musik). Namun perlu dipahami pentingnya kehadiran figur perempuan dalam konteks Opera Batak disebabkan oleh adanya pandangan masyarakat dalam menilai kehadiran parmusik perempuan sebagai suatu yang tidak lazim (penyimpangan). Anggapan bahwa parmusik perempuan dipandang kurang memahami konstruksi sosial budaya Batak yang patriarkal, kemudian mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan parmusik perempuan pada posisi yang tidak penting. Setidaknya disadari penyimpangan yang dilakukan oleh perempuan pada akhirnya membangkitkan kekuatan yang secara tidak sadar menjadi modal untuk pencapaian suatu prestasi. Zanten membahas peran perempuan sebagai seniman dalam kedudukannya dilingkungan masyarakat.
11 11 If the position of artist is marginal, because they do not conform to the normal style of living, this applies even more to the position of female artist. They have rather independent position in society and relatively more autonomy. Female artist sing and dance, rather than play musical instruments. 18 Meskipun kredibilitas seniman tradisional menurut pandangan Zanten sering tersisihkan dalam konteks sosial, hal ini dikarenakan keberadaan mereka tidak merasa nyaman dalam gaya hidup normal, terlebih jika hal tersebut diposisikan kepada seniman perempuan. Seniman perempuan lazimnya adalah menyanyi dan menari, dibanding memainkan instrumen musik. Zanten beranggapan hal tersebut semata-mata disebabkan adanya pelanggaran terhadap tatanan yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. 19 Walaupun tatanan dalam suatu lingkungan sosial bisa saja berbeda dengan lingkungan sosial lainnya. Sama halnya dalam seni pertunjukan Opera Batak masih dirasakan adanya semacam hirarki yang berdasarkan atas klasifikasi jenis pertunjukan jika dicermati lebih jauh. Hal semacam ini dapat pula ditinjau dari fenomena yang terdapat dalam dunia paropera Batak Toba, terlihat adanya suatu kreativitas yang 18 Wim Van Zanten Sundanese Music In Cianjuran Style: Anthropological and Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht-Holand: Foris Publications. Hal Wim Van Zanten Sundanese Music In Cianjuran Style: Anthropological and Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht-Holand: Foris Publications. Hal 42.
12 12 diperankan kaum perempuannya. Meskipun kreativitas ini bukan prasyarat mutlak dalam Opera Batak, namun perlu digarisbawahi hal tersebut disebabkan oleh adanya sosialisasi yang lebih terbuka. Figur Zulkaidah Harahap inilah yang kemudian menjadi simbol tertinggi bagi sejarah paropera bagi masyarakat Batak Toba. Musikalitas Zulkaidah mampu mensejajarkan kedudukannya dengan kaum pria dalam lingkungan seni pertunjukan Opera Batak sejak setengah abad yang lalu. Bagi masyarakat Batak Toba, keberadaan Zulkaidah Harahap bukan hanya merupakan bagian dari sisi kehidupan seni pertunjukan, tetapi juga sebagai pembuktian kepada khalayak banyak bahwa seorang perempuan mampu menyeimbangkan fungsi dan peranannya sejajar dengan kedudukan kaum pria. Namun ketika dikaitkan dengan pandangan gender, hal ini menimbulkan subordinasi terhadap kaum perempuan, secara lebih khusus terhadap kedudukan parmusik. Persoalan ini menarik untuk dikaji baik dari sisi tekstual maupun kontekstual. Secara tekstual, kajian gender ini bertujuan mengkaji hal yang berkaitan dengan perjalanan hidup seorang seniman tradisi perempuan, Maestro Zulkaidah Harahap bersama dengan kelompok (1) Opera Batak klasik, Opera Batak Serindo (Seni Ragam Indonesia); (2) Opera Batak transisi PLOt (Pusat Latihan
13 13 Opera Batak) meliputi sejarah, perkembangan dan bentuk serta struktur pertunjukannya. Kedua Opera Batak tersebut merupakan wadah pertama dan terakhir Zulkaidah Harahap dalam berkesenian hingga kematiannya pada 25 Maret 2013 yang lalu. Secara kontekstual bertujuan mengkaji dampak kehadiran seorang seniman perempuan Zulkaidah Harahap dalam panggung seni tradisi Opera Batak terhadap eksistensi perempuan dalam seni pertunjukan Batak Toba. Kajian ini diharapkan mampu memberikan manfaat penting bagi semua pihak maupun pemerhati kesetaraan gender Rumusan Masalah Seni pertunjukan Batak Toba yang didominasi laki-laki ditantang oleh eksistensi seorang perempuan, Zulkaidah Harahap. Jika pada sebelumnya Opera Batak secara musikal lebih bersifat seni maskulin dengan hadirnya Zulkaidah Harahap, Opera Batak kini memiliki jalan yang berbeda. Hal tersebut tentunya memunculkan beragam pertanyaan dan yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini antara lain adalah: 1. Bagaimana eksistensi Zulkaidah Harahap sebagai perempuan pada seni pertunjukan Opera Batak dalam masyarakat Batak Toba?
14 14 2. Apa arti penting eksistensi Zulkaidah Harahap dalam seni pertunjukan Opera Batak? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai. Selain untuk menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan berdasarkan pemahaman bahwa Perempuan, seperti juga laki-laki, merupakan subjek daripada objek. Perempuan tidak lebih Ada dalam dirinya sendiri daripada laki-laki. Perempuan, seperti juga laki-laki, adalah Ada bagi dirinya dan sudah saatnya bagi lakilaki untuk menyadari fakta ini. Demikian halnya seni yang tidak mengenal bias gender, karena seni adalah kebutuhan dasariah manusia. Meskipun dalam kenyataan sosio-kultural masyarakat etnis tertentu, kebutuhan itu tidak jarang terkonstruksi menjadi kebutuhan yang sah bagi laki-laki dan ditabukan bagi perempuan. Hal itulah yang menjadi tujuan penulisan ini, yakni untuk memahami kenyataan tersebut.
15 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih terhadap topik dan permasalahan serta judul yang sama dengan peneliti terdahulu. Diharapkan penelitian ini bisa memecahkan masalah-masalah yang selama ini belum mendapat perhatian dari peneliti terdahulu. Di sisi lain, keutamaan tinjauan kepustakaan ini berfungsi untuk menemukan kerangka teori dan konsepsi sebagai dasar pijakan dalam rangka memantapkan pemecahan masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini. Dari sejumlah kepustakaan yang dicermati tampaknya penulisan yang berhubungan dengan kebudayaan Batak Toba telah banyak mengundang perhatian kalangan intelektual untuk memperbincangkannya. Perhatian ini terlihat dari beberapa hasil penelitian dan tulisan-tulisan yang membahas kebudayaan Batak Toba dari berbagai sudut pandang dan kepentingan tertentu. Namun, sampai saat ini peneliti belum menemukan kajian ilmiah ataupun penelitian tentang gender dalam kebudayaan Batak Toba. Ada beberapa penelitian yang langsung mempersoalkan isu perempuan dalam dunia seni pertunjukan dan merupakan bacaan awal yang mendukung dan memberi inspirasi dalam menentukan
16 16 topik penelitian ini. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Endang Caturwati, dkk, yang berjudul Lokalitas, Gender, dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat (2003). Masalah yang diangkat dalam buku ini adalah permasalahan tentang Dominasi gender pada seni pertunjukan Kliningan Bajidoran di wilayah Subang yang ditulis oleh Endang, hingga kajian tentang Gender sebagai sarana simbol pada musik tradisi sunda tercermin dalam Notasi Daminatila yang dikaji oleh Heri Herdini. 20 Namun yang menjadi acuan dari buku ini adalah tulisan dari Ismet Rachmat Pesinden Titim Fatimah: dari pentas hingga penolakan gender, yang mengatakan bahwa kehadiran perempuan (pesinden) dalam dunia seni pertunjukan seolah-olah telah menjadi bagian yang identik dengan pelanggaran susila. Apabila dilihat dari perkembangan serta kedudukan perempuan pada masa kini, nampaknya kultus semacam tersebut telah semakin bergeser. Hal ini dimungkinkan oleh adanya perkembangan pola pikir masyarakat seiring dengan semakin meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia. Bahkan hampir dapat disebutkan di dalam setiap jenis 20 Endang Caturwati, dkk Lokalitas, Gender, dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat. Yogyakarta: Aksara Indonesia. Hal 87.
17 17 pertunjukan, kehadiran figur seorang perempuan dalam kontekskonteks tertentu mendapat sebuah peranan yang dominan. Kajian tentang gender dalam seni pertunjukan pernah ditulis oleh Fuji Astuti, yang sebelumnya ditulis untuk kebutuhan Tesis Pascasarjana UGM dan kemudian terbit menjadi sebuah buku yang berjudul Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: suatu Tinjauan Gender (2004). 21 Fuji Astuti membahas peranan para koreografer Minang melalui berbagai kegiatan kreativitasnya di bidang tari telah berhasil sedikit banyak menggeser pandangan konvensional dalam masyarakat adat Minang mengenai peranan perempuan di area publik. Para koreografer yang dijadikan pokok bahasan itu adalah mereka yang sekaligus mewakili lingkaran kehidupan dikota. Peluang-peluang yang mereka peroleh dikota juga dikontraskan dengan kehidupan seni pertunjukan di desa, yang dalam kajian ini hanya diamati satu desa saja, yaitu desa Sungai Janiah, kecamatan Baso, kabupaten Agam. Dalam hubungan ini ditunjukan bahwa kegiatan seni pertunjukan di desa ini tetap mematuhi kaidah konvensional masyarakat Minang, yaitu bahwa perempuan tidak 21 Fuji Astuti Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: suatu Tinjauan Gender. Yogyakarta: Kalika.
18 18 dianggap pantas untuk tampil dalam pentas pertunjukan kesenian. Oleh karena itu, maka di desa tersebut pertunjukan randai yang menjadi kebanggaan desa tetap menampilkan pemain laki-laki untuk memerankan peran perempuan. Buku selanjutnya adalah tulisan yang tidak berkaitan dengan kajian gender, namun masih menjadi acuan pustaka penting bagi penelitian ini. Buku yang ditulis oleh dosen etnomusikologi ISI Yogyakarta ini berjudul Opera Batak Tilhang Serindo: pengikat budaya masyarakat Batak Toba di Jakarta (2000). 22 Krismus Purba menulis buku ini untuk melacak sejarah keberadaan Opera Batak klasik, yakni grup Opera Batak Tilhang Serindo (Seni Ragam Indonesia). Penelitian yang dilakukan mulai dari September 1999 hingga September 2000 ini, bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi grup Opera Batak Tilhang Serindo dengan menganalisis pertunjukan secara total, baik aktivitas di atas panggung maupun diluar panggung, serta konsep perkembangan kreativitas seniman baik secara kelompok maupun individu. Namun yang menjadi inti permasalahan dalam tulisan Purba adalah orang Batak Toba yang tinggal di metropolitan 22 Krismus Purba Opera Batak Tilhang Serindo: pengikat budaya masyarakat Batak Toba di Jakarta. Yogyakarta: Kalika.
19 19 Jakarta yang mensuplai keseniannya. Religi tradisional yang kuat, intensitas tantangan hidup yang tinggi, keharusan berpegang teguh kepada adat, ulet mempertahankan kesukuan, dan menghadapi tantangan kehidupan merupakan hal yang membentuk kepribadian orang Batak. Sejauh ini pengangkatan pada tesis yang hampir serupa tidak ditemukan. Beberapa buku dan tesis yang telah dijelaskan di atas, menjadi pijakan awal dan menjadi rujukan untuk permasalahan penelitian. Selain itu dari beberapa buku dan tesis tersebut, tidak ditemukan pembahasan yang serupa dengan pembahasan yang akan dibahas oleh peneliti. Tulisan-tulisan Ismet Rachmat dan Fuji Astuti hanya membahas tentang kehadiran dan peranan perempuan yang dominan dalam seni pertunjukan. Sedangkan Krismus Purba hanya membahas mengenai peranan Opera Batak Tilhang Serindo sebagai pengikat budaya masyarakat Batak Toba di Jakarta, tetapi tidak ditemukan kajian yang mengangkat permasalahan seperti dalam tesis ini. Kajian gender dengan studi kasus Zulkaidah Harahap ini merupakan penelitian yang orisinal dan belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
20 Landasan Teori Seperti yang dikemukakan sebelumnya, penelitian ini bertujuan menganalisis kenyataan kehadiran perempuan dalam panggung Opera Batak. Untuk kebutuhan penjelasan gejala tersebut, akan dipaparkan teori sosial yang dipandang relevan untuk membantu menjelaskannya. Teori yang dipakai dalam tulisan ini adalah teori eksistensialisme perempuan yang di paparkan oleh Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis Perancis dalam tulisan kontroversialnya The Second Sex. Sebelum menelaah tulisan Beauvoir tentang ke-liyanan perempuan, ada baiknya jika terlebih dahulu melihat hubungan antara The Second Sex karya Beauvoir dengan Being and Nothingness karya Jean Paul Sartre. Ada pandangan yang mengatakan bahwa The Second Sex sekedar penerapan Being and Nothingness pada situasi khusus perempuan. The Second Sex tetap merupakan teks eksistensialis, hanya saja Beauvoir banyak menggunakan istilah yang digunakan Sartre, dengan memodifikasi maknanya agar dapat sesuai dengan agenda feminisnya.
21 21 The Human being as L etre pour-soi and L etre en-soi L etre-pour-soi Being-for-it self Ada Untuk Dirinya sendiri & L etre-en-soi Being-in-it self Ada Dalam Dirinya sendiri Jean Paul Sartre dalam bukunya Being and Nothingness, membagi Diri ke dalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran, dan mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia. 23 Perbedaan antara Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama jika kita mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh yang konstan dan objektif. Karena tubuh dapat dilihat, disentuh, didengarkan, dicium, dan dirasakan, tubuh adalah objek yang dilihat. Sebaliknya, yang melakukan tindak melihat, menyentuh, 23 Jean Paul Sartre Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 255.
22 22 mendengar, mencium, dan merasakan-bukanlah objek yang sematamata dapat dilihat, melainkan menurut Sartre, masih mempunyai sejenis ke-adaan atau ke-aku-an; Ada untuk dirinya sendiri. Apa yang memisahkan ke-aku-an seseorang-kesadaran seseorang atau pikiran seseorang-dari tubuhnya, secara paradoks, adalah tidak ada sama sekali (nothing) secara literal-no thing tidak satu hal pun, atau ketiadaan (nothing-ness). 24 Menurut Sartre, setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun dirinya sendiri sebagai subjek, sebagai Diri, tepat dengan mendefenisi Ada Liyan sebagai objek, sebagai Liyan, tindak kesadaran membentuk sistem yang secara fundamental merupakan relasi sosial yang konfliktual. Dengan demikian, proses defenisi diri adalah proses untuk menguasai Ada Liyan. Dimana dalam menempatkan dirinya sebagai Diri, setiap Diri menggambarkan dan mengatur peran bagai Liyan. Lebih dari itu, setiap subjek membangun dirinya sendiri sebagai transenden dan bebas serta memandang Liyan sebagai imanen dan diperbudak. Sifat manusia, suatu esensi/inti yang dimiliki bersama-sama oleh semua manusia, yang menentukan bagaimana seorang manusia seharusnya, sesungguhnya tidak ada. 24 Jean Paul Sartre Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 255.
23 23 Kondisi manusia lah yang menempatkan semua manusia sama dan tanpa defenisi. Eksistensi, menurut Sartre, mendahului esensi. Manusia ada hanya sebagai organisme hidup yang amorfus (tidak mempunyai bentuk yang ajeg) hingga kita menciptakan identias yang terpisah dan esensial bagi diri kita sendiri melalui tindakan yang sadar-melalui pilihan dan keputusan, menegaskan kembali tujuan dan proyek lama, serta menegakkan tujuan dan proyek yang baru. 25 Semua Ada yang berkesadaran atau, Ada untuk dirinya sendiri, tidak memiliki esensi atau defenisi. Mereka harus mendefenisi diri melalui proses pengambilan keputusan dan pengambilan tindakan yang saling berhubungan. Sebaliknya, semua Ada yang tidak berkesadaran, atau Ada dalam dirinya sendiri, bersifat masif (sebagaimana adanya). 26 Pour-soi; subjek yang berkesadaran, tidak dapat menjadi en-soi; subjek yang tidak berkesadaran. 27 Menurut Sartre, hubungan antar manusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing, 25 Jean Paul Sartre Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Jean Paul Sartre Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Jean Paul Sartre Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 258.
24 24 yaitu Diri dan Liyan. 28 Tidak ada kemungkinan untuk keselarasan, atau kesatuan, antara Diri dan Liyan, karena kebutuhan Diri untuk memperoleh kebebasan yang total terlalu mutlak untuk dibagi. 29 Penolakan untuk mengakui subjektifitas Liyan, menyebabkan subjek memahami Liyan semata-mata sebagai objek. Meskipun demikian, apa yang terjadi bahkan tanpa pengakuan kita, tetap terjadi: ada Liyan yang dalam pandangannya kita adalah objek. 30 Demikian pemikiran Sartre yang membagi Diri (manusia) menjadi dua bagian: Pour-soi; dan en-soi; kemudian dianalogikan dan dikembangkan Beauvoir hingga menjadi bentuk pemikiran yang fenomenal, yang dikenal dengan istilah Liyan (The Second Sex). Perempuan sebagai Liyan (Woman asother) Dengan mengadopsi bahasa ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, Simone de Beauvoir dalam buku fenomenalnya The Second Sex, mengemukakan bahwa laki-laki dinamai laki-laki sang 28 Jean Paul Sartre Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Jean Paul Sartre Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Jean Paul Sartre Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second Sex dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 261.
25 25 Diri, sedangkan perempuan sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Jelas, opresi gender bukanlah sekadar bentuk opresi. Perempuan selalu tersubordinasi laki-laki. Perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan adalah tidak esensial. 31 Simone de Beauvoir dalam Eksistensialisme untuk Perempuan, menelaah bagaimana perempuan menjadi tidak hanya berbeda dan terpisah dari laki-laki, tetapi juga inferior terhadap lakilaki. Analisisnya tentang bagaimana perempuan menjadi Liyan, ditelaah melalui fakta biologi, psikoanalisis Freud, para ekonom Marxis serta para filsuf eksistensialis. Beauvoir mencatat bahwa biologi menawarkan pada masyarakat fakta yang kemudian oleh masyarakat diinterpretasi sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Biologi, menjelaskan peran reproduksi jantan dan betina yang berbeda. Jantan dan betina adalah dua tipe individual yang dibedakan dalam satu spesies karena fungsi reproduksinya; mereka hanya dapat didefenisikan secara korelatif. Produksi dua tipe gamet, 31 Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal262.
26 26 atau sel kelamin, sperma dan telur, belum tentu mengimplikasikan eksistensi dua jenis kelamin yang berbeda; karena nyatanya, telur dan sperma, dua tipe sel reproduksi yang sangat berbeda, keduanya bisa diproduksi dari individu yang sama. Meskipun fakta reproduksi ini mungkin dapat menjelaskan mengapa seringkali jauh lebih sulit bagi perempuan untuk tetap menjadi Diri, terutama jika ia telah mempunyai anak. Menurut Beauvoir, fakta itu tidak dapat membuktikan mitos sosial dengan cara apapun bahwa kapasitas perempuan untuk menjadi Diri, secara intrinsik, memang lebih rendah daripada laki-laki. 32 Pembudakan betina bagi spesies dan keterbatasan dari kekuatannya yang beragam adalah fakta yang sangat penting; tubuh perempuan adalah salah satu elemen esensial dalam situasinya di dunia. Tetapi tubuh itu saja tidak cukup mendefinisi perempuan; tidak ada kenyataan hidup yang sesungguhnya kecuali yang dimanifestasikan oleh individu, yang sadar melalui kegiatan dan apa yang ada di dalam masyarakat. Biologi tidak cukup untuk menjawab pertanyaan yang menghadang kita mengapa perempuan adalah Liyan. Dengan kata lain, karena perempuan adalah Ada untuk dirinya sebagaimana ia juga adalah 32 Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal263.
27 27 Ada dalam dirinya, kita harus mencari penyebab dan alasan di luar hal-hal yang diarahkan oleh biologi dan fisiologi perempuan, untuk menjelaskan mengapa masyarakat memilih perempuan untuk menjalankan peran Liyan. 33 Beauvoir kecewa mencari jawaban di luar biologi dan psikologi, terutama psikoanalisis, untuk mendapat penjelasan yang lebih baik mengenai ke-liyanan perempuan. Menurutnya, Freudian tradisional pada dasarnya menceritakan hal yang sama tentang perempuan: Bahwa perempuan adalah makhluk yang harus mengatasi kecendrungan nafsu seksualnya dan kecendrungan feminin -nya, yang pertama diekspresikan melalui erotisme klitoral, yang kedua melalui erotisme vaginal. Beauvoir menolak anggapan ini dan menganggapnya sebagai simplistik. Menurutnya kemanusiaan tidak dapat dijelaskan hanya sebagai produk dari implus-implus seksual yang direpresi atau disublimasi. Kemanusiaan adalah lebih rumit dari ini, dan karena itu hubungan perempuan dan laki-laki juga tidak dapat disederhanakan dalam kerangka seksual semata Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal265.
28 28 Beauvoir menolak pendapat freudian yang mengatakan adalah anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Freudian menganggap perempuan mencemburui mereka yang memiliki penis, menurut Beauvoir, bukan karena mereka ingin mempunyai penis itu sebagai penis, tetapi karena mereka menginginkan keuntungan material dan psikologis yang dihadiahkan kepada pemilik penis. Status sosial laki-laki tidak dapat ditelusuri dari karakteristik tertentu dari anatomi laki-laki; tetapi, prestise penis harus dijelaskan melalui kekuasaan sang ayah. Perempuan adalah Liyan bukan karena mereka tidak memiliki penis, melainkan karena mereka tidak memiliki kekuasaan. 35 Pada akhirnya, Beauvoir menganggap penjelasan Marxis mengenai alasan mengapa perempuan adalah Liyan hampir sama tidak memuaskannya seperti penjelasan Freud. Friedrich Engels berpendapat bahwa kapitalisme mengatur sistem pembagian kerja spesifik, dimana laki-laki menguasai produksi; laki-laki menjadi borjuis, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan domestik (rumah tangga); perempuan menjadi proletar. Menurutnya, hanya jika kapitalisme dijatuhkan dan alat produksi dimiliki secara merata 35 Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal265.
29 29 oleh perempuan dan laki-laki, barulah jenis pekerjaan akan dibagi bukan berdasarkan gender seseorang, tetapi berdasarkan kemampuan, kesiapan, dan kebersediaan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu. 36 Namun, Beauvoir tidak setuju dengan Engels dan bersikeras bahwa perubahan kapitalisme ke sosialisme tidak akan secara otomatis mengubah relasi perempuan dan laki-laki. Perempuan sangat mungkin akan tetap menjadi Liyan dalam masyarakat sosialis dan kapitalis, karena akar opresi terhadap perempuan lebih dari sekedar faktor ekonomi; tetapi yang lebih utama adalah faktor ontologis. Karena itu, Beauvoir menekankan bahwa Pembebasan perempuan membutuhkan, paling tidak, penghapusan lembaga yang melanggengkan hasrat laki-laki untuk menguasai perempuan. 37 Beauvoir mencari penjelasan yang lebih mengenai alasan mengapa laki-laki menamai laki-laki sang Diri, dan menamai perempuan sang Liyan. Beauvoir memperkirakan bahwa mungkin ada lagi penjelasan, bahkan penjelasan yang lebih mendasar mengapa laki-laki menempatkan perempuan dalam ruang Liyan. 36 Friedrich Engles Takdir dan Sejarah Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Penerjemah: Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal266.
30 30 Menurutnya, begitu laki-laki menyatakan dirinya sebagai Subjek dan Ada yang bebas, gagasan Liyan pun muncul terutama, gagasan perempuan sebagai Liyan. Perempuan menjadi segala sesuatu yang bukan laki-laki, suatu kekuatan asing yang lebih baik dikontrol lakilaki karena kalau tidak, perempuan akan menjadi Diri dan laki-laki menjadi Liyan. 38 Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex menyatakan Perempuan adalah rahim (Tota mulier in utero). Perempuan dianggap sebagai rahim karena perempuan memiliki ovarium, uterus. Kekhususan ini justru memenjarakannya dalam subyektivitasnya, melingkupinya di dalam batasan-batasan sifat alamiahnya. 39 Perempuan sama sekali bukan laki-laki. Bagi filsuf rasionalisme dan nominalisme, perempuan tak lebih dari sekadar makhluk manusia yang didesain dengan sewenang-wenang oleh kata perempuan. Memang perempuan, seperti halnya laki-laki, adalah juga manusia; namun, pernyataan itu sungguh abstrak. 38 Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 6.
31 31 Kenyataannya, setiap manusia selalu tunggal, individu yang berlainan. 40 Istilah maskulin dan feminin digunakan secara simetris semata-mata sebagai masalah bentuk. Namun, dalam aktualitasnya hubungan antara kedua jenis kelamin ini tidak persis seperti dua arus listrik, karena laki-laki mewakili baik arus positif dan arus netral, sebagaimana diindikasikan dengan pemakaian kata laki-laki (man-peny) untuk menunjukkan umat manusia secara umum; 41 sementara perempuan hanya mewakili hal-hal yang berkonotasi negatif, yang didefenisikan oleh kriteria-kriteria terbatas, tanpa adanya hubungan timbal balik. Kemanusiaan adalah laki-laki dan laki-laki mendefinisikan perempuan bukan sebagai dirinya, namun sebagai kerabatnya; perempuan dianggap bukan sebagai makhluk yang mandiri. 42 Lakilaki mampu berpikir tentang dirinya sendiri tanpa perempuan. Sementara perempuan tidak dapat memikirkan dirinya tanpa lakilaki; oleh karenanya ia disebut seks, yang secara esensial berarti datang kepada laki-laki sebagai makhluk seksual. Baginya, ia adalah 40 Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 9.
32 32 seks, seks absolut. Didefenisikan dan dibedakan dengan referensi laki-laki dan bukan laki-laki dengan referensi perempuan; ia merupakan makhluk yang tercipta secara kebetulan, makhluk tidak esensial yang berlawanan dengan makhluk esensial. Laki-laki adalah sang Subjek, sang Absolut dan perempuan adalah Sosok yang Lain. Sosok yang Lain sama primordialnya dengan kesadaran itu sendiri dalam masyarakat paling primitif dan dalam mitologi paling kuno, orang mendapatkan ekspresi dualitas, Diri sendiri dan Sosok yang Lain. 43 Dualitas ini tidak ada secara murni dalam pembagian jenis kelamin; ia tidak lepas dari fakta-fakta empiris. Tidak ada satu kelompok pun yang menganggap dirinya sebagai Yang Satu tanpa sekaligus menganggap Sosok yang Lain menentangnya. 44 Subjek tersebut hanya bisa muncul jika ditentang. Ia menjadikan dirinya sebagai sesuatu yang esensial, penentang yang lain, yang tidak esensial, sang Objek. Akan tetapi, kesadaran yang lain, ego yang lain, justru melakukan hal yang resiprokal. Kenyataannya, perang, perdagangan, perjanjian, dan persaingan antar suku, bangsa, dan kelas cenderung menolak konsep Sosok yang Lain dalam pengertian absolutnya dan mewujudkan relativitasnya. Betapapun juga, 43 Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 11.
33 33 individu-individu dan beberapa kelompok dipaksa merealisasikan unsur timbal balik hubungan mereka. 45 Namun, bagaimana jika unsur timbal balik ini tidak diakui kedua jenis kelamin ini, apabila ternyata salah satu dari term-term yang kontras ditempatkan sebagai satu-satunya yang paling esensial, menolak adanya relativitas terhadap korelasinya dan mendefenisikan yang terakhir sebagai yang lain. Mengapa perempuan tidak mempermasalahkan kekuasaan laki-laki? Tak ada subjek yang dengan sukarela mau menjadi objek, sesuatu yang tidak esensial; ini bukan karena Sosok yang Lain, dalam mendefenisikan dirinya sebagai yang lain memantapkan Yang Satu. 46 Mereka memang benar-benar perempuan secara anatomi dan fisik. Alasan mengapa Sosok yang Lain menjadi sesuatu yang absolut sebagian karena ia kurang memiliki kesatuan atau sifat kebetulan dari fakta sejarah. 47 Mereka hanya memperoleh apa yang diberikan kaum laki-laki; mereka tidak mengambil apa-apa, mereka hanya menerima. Hal ini disebabkan karena perempuan kurang memiliki tujuan konkret untuk mengorganisasikan diri mereka menjadi 45 Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 14.
34 34 sebuah unit yang dapat berhadap-hadapan dengan unit korelatif. Perempuan juga tidak mempunyai solidaritas dalam hal pekerjaan dan kepentingan seperti yang dimiliki kaum proletar. Kaum proletar bisa saja menganjurkan pemusnahan kelas penguasa, tetapi kaum perempuan bahkan tidak mampu bermimpi untuk membasmi kaum laki-laki. Ikatan yang menyatukan mereka dengan para penindasnya tak dapat dibandingkan dengan apa pun juga. 48 Pembagian jenis kelamin merupakan fakta biologis, bukan merupakan peristiwa sejarah. Laki-laki dan perempuan bertentangan dalam Mitsein primordial, dan perempuan tidak mampu menghancurkannya. Dengan adanya pasangan yang merupakan suatu kesatuan fundamental yang dipancangkan bersama, pemisahan masyarakat atas dasar jenis kelamin menjadi mustahil. Dari sini terlihat ciri dasar perempuan: ia adalah Sosok yang Lain dalam sebuah totalitas di mana kedua komponen tersebut saling membutuhkan. 49 Perempuan, menurut Simone de Beauvoir, dikonstruksi oleh laki-laki, melalui struktur dan lembaga laki-laki. Tetapi karena perempuan, seperti juga laki-laki, tidak memiliki esensi, perempuan 48 Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal Simone de Beauvoir The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 16.
35 35 tidak harus meneruskan untuk menjadi apa yang diinginkan lakilaki. Perempuan dapat menjadi subjek, dapat terlibat dalam kegiatan positif dalam masyarakat, dan dapat mendefenisi ulang atau menghapuskan perannya sebagai istri, ibu, perempuan pekerja, pelacur, narsis, dan perempuan mistis. Perempuan dapat membangun dirinya sendiri karena tidak ada esensi dari femininitas yang mencetak identitas siap pakai baginya. 50 Semua yang menghambat usaha perempuan untuk membangun dirinya sendiri di dalam masyarakat patriarki mulai tiba pada ujungnya, menurut Beauvoir: Hal yang pasti adalah bahwa sampai saat ini, semua kemungkinan yang bisa diraih perempuan telah ditekan dan hilang dalam wacana kemanusiaan, dan karena itu, sudah waktunya bagi perempuan untuk meraih kesempatan untuk kepentingannya sendiri dan bagi kepentingan semuanya.. Perempuan, seperti juga laki-laki, lebih merupakan subjek daripada objek. Perempuan tidak lebih Ada dalam dirinya sendiri daripada laki-laki. Perempuan, seperti juga laki-laki, adalah Ada bagi dirinya, dan sudah tiba waktunya bagi laki-laki untuk menyadari fakta ini. Tentu saja tidak ada cara yang mudah bagi perempuan 50 Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal273.
36 36 untuk menghindarkan diri dari apa yang diberulang-ulang digambarkan Beauvoir sebagai imanensi perempuan: pembatasan, defenisi, dan peran dalam masyarakat, kepatutan; dan laki-laki telah menekankan imanensi ini kepada perempuan. Meskipun demikian, jika perempuan ingin menghentikan kondisinya sebagai jenis kelamin kedua, Liyan, perempuan harus dapat mengatasi kekuatan-kekuatan dari lingkungan. Perempuan harus mempunyai pendapat dan cara seperti juga laki-laki. 51 Dalam proses menuju transendensi, menurut Beauvoir, ada empat strategi yang dapat dilakukan oleh perempuan. Pertama, perempuan dapat bekerja. Beauvoir menyadari bahwa bekerja dalam kapitalisme yang patriarkal bersifat opresif dan eksploitatif, terutama jika pekerjaan itu membuat perempuan harus melakukan pekerjaan dalam shift ganda: di dalam dan di luar rumah. Dengan bekerja di luar rumah bersama dengan laki-laki, perempuan dapat merebut kembali transendensinya. Perempuan akan secara konkret menegaskan statusnya sebagai subyek, sebagai seseorang yang secara aktif menentukan arah nasibnya Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal274.
37 37 Kedua, perempuan dapat menjadi seorang intelektual, anggota dari kelompok yang akan membangun perubahan bagi perempuan. Beauvoir mengatakan bahwa kegiatan intelektual adalah kegiatan ketika seseorang berpikir, melihat dan mendefenisi, dan bukanlah nonaktivitas ketika seseorang menjadi obyek pemikiran, pengamatan, dan pendefenisian. Beauvoir mendorong perempuan untuk menghargai dirinya secara sungguh-sungguh dalam profesi yang dipilihnya. 53 Ketiga, perempuan dapat bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Seperti Sartre, Beauvoir meyakini bahwa salah satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah kekuatan ekonomi. Beauvoir mengingatkan perempuan bahwa lingkungan tentu saja akan membatasi usaha mereka untuk mendefenisi diri. Jika perempuan ingin mewujudkan semua yang diinginkannya, ia harus membantu menciptakan masyarakat yang akan menyediakannya dukungan material untuk mentransendensi batasan yang melingkarinya Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal Simone de Beauvoir Eksistensialisme untuk Perempuan dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal275.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam. memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak langsung membawa Opera Batak kepada perubahan yang berarti.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. unsur tari-tarian dan lagu merupakan tari tradisi dan lagu daerah setempat, musik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teater berasal dari kata Theatron, yang artinya Tempat di ketinggian sebagai tempat meletakkan sesajian persembahan bagi para dewa pada zaman Yunani Kuno. Namun
Lebih terperinciEKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAP
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAP Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Diajukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari gambaran realita sosial yang digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan suatu objek
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kebanggaan dari suatu Bangsa. Setiap Negara atau daerah pada umumnya
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesusastraan adalah salah satu bagian dari ilmu dan juga salah satu kebanggaan dari suatu Bangsa. Setiap Negara atau daerah pada umumnya memiliki seni drama
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 1. Bentuk marginalisasi yang terdapat dalam novel Adam Hawa karya. Muhidin M. Dahlan terdapat 5 bentuk. Bentuk marginalisasi tersebut
BAB V PENUTUP A. Simpulan Setelah dilakukan penelitian sesuai dengan fokus permasalahan, tujuan penelitian dan uraian dalam pembahasan, diperoleh simpulan sebagai berikut. 1. Bentuk marginalisasi yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang merupakan bentuk ungkapan atau ekspresi keindahan. Setiap karya seni biasanya berawal dari ide atau
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.
Lebih terperinciMEMAHAMI KETERTINDASAN PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI
MEMAHAMI KETERTINDASAN PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI 87 Winanti Siwi Respati Fakultas Psikologi Universitas INDONUSA Esa Unggul, Jakarta Jl. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk Jakarta 11510 winanti@indonusa.ac.id
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. Opera Batak merupakan pertunjukan teater rakyat yang dimiliki
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Opera Batak merupakan pertunjukan teater rakyat yang dimiliki masyarakat Batak Toba secara turun-temurun. Teater rakyat Opera Batak menyajikan suatu pertunjukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menemukan beberapa jawaban atas persoalan yang ditulis dalam rumusan masalah. Jawaban tersebut dapat disimpulkan dalam kalimat-kalimat sebagai
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. Hasil analisis yang penulis lakukan tehadap novel Namaku Hiroko karya N.H.
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Hasil analisis yang penulis lakukan tehadap novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini mengenai kepemilikan tubuh perempuan yang dikaji dengan menggunakan teori yang dikemukakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat
Lebih terperinciImaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU
RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kebudayaan sebagai warisan leluhur yang dimiliki oleh masyarakat setempat, hal ini memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. khusus, karena terjadinya hubungan erat di antara keduanya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Film pertama kali ditemukan pada abad 19, tetapi memiliki fungsi yang sama dengan medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik,
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan
BAB V PENUTUP Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesimpulan dan saran sebagai penutup dari pendahuluan hingga analisa kritis yang ada dalam bab 4. 5.1 Kesimpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Batak Toba adalah salah satu suku yang terdapat di Sumatera
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Batak Toba adalah salah satu suku yang terdapat di Sumatera Utara. Suku Batak Toba termasuk dalam sub etnis Batak, yang diantaranya adalah, Karo, Pakpak,
Lebih terperinciPEREMPUAN YANG MERESISTENSI BUDAYA PATRIARKI
RESENSI BUKU PEREMPUAN YANG MERESISTENSI BUDAYA PATRIARKI Nia Kurnia Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Jalan Sumbawa Nomor 11 Bandung 40113, Ponsel: 081321891100, Pos-el: sikaniarahma@yahoo.com Identitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dan penuh dengan keberagaman, salah satu istilah tersebut adalah
Lebih terperinciSesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender
Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender 1 Tujuan belajar 1. Memahami arti stereotip dan stereotip gender 2. Mengidentifikasi karakter utama stereotip gender 3. Mengakui stereotip gender dalam media
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut (Ratna, 2009, hlm.182-183) Polarisasi laki-laki berada lebih tinggi dari perempuan sudah terbentuk dengan sendirinya sejak awal. Anak laki-laki, lebihlebih
Lebih terperinciMAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan
MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan
BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan, tereksploitasi, dan lain sebagainya. Perempuan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri
Lebih terperinci* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik
Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab lima ini peneliti memaparkan beberapa kesimpulan mengenai analisis nilai patriarkal dan ketidaksetaraan gender dalam roman L Enfant de sable karya Tahar Ben Jelloun
Lebih terperinciini. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda, salah satunya di
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan beraneka ragam macam budaya. Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di
Lebih terperinciFEMINIST THOUGHT. 5 m. ROSEMARIE PUTNAM TONG Kata Pengantar Aquarini Priyatna Prabasmoro
- FEMINIST THOUGHT Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis / * *3 5 m ROSEMARIE PUTNAM TONG Kata Pengantar Aquarini Priyatna Prabasmoro 358 * 53 a I FEMINIST THOUGHT f / Pnngantar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Eksistensi Proyek
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Indonesia merupakan negara yang kaya akan produk seni. Berbagai produk seni yang khas dapat ditemukan di hampir seluruh daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan tradisional adalah kebudayaan yang terbentuk dari keanekaragaman suku-suku di Indonesia yang merupakan bagian terpenting dari kebudayaan Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan
BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya zaman ilmu komunikasi dan teknologi dalam
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya zaman ilmu komunikasi dan teknologi dalam kehidupan manusia saat ini, media komunikasi yang paling banyak digunakan oleh seseorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini berfokus pada penggambaran peran perempuan dalam film 3 Nafas Likas. Revolusi perkembangan media sebagai salah satu sarana komunikasi atau penyampaian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Saat menciptakan manusia awalnya Tuhan menciptakan laki-laki, kemudian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Karya Saat menciptakan manusia awalnya Tuhan menciptakan laki-laki, kemudian mengambil tulang rusuknya untuk dijadikan perempuan, seperti yang dituliskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. identik dengan nada-nada pentatonik contohnya tangga nada mayor Do=C, maka
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Musik merupakan bunyi yang terorganisir dan tersusun menjadi karya yang dapat dinikmati oleh manusia. Musik memiliki bentuk dan struktur yang berbeda-beda dan bervariasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada suatu scene ada 9 orang perempuan dengan penampilan yang hampir sama yaitu putih, bertubuh mungil, rambut panjang, dan sebagian besar berambut lurus.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seni atau salah satu jenis kesenian sebagai hasil karya manusia, seringkali
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni atau salah satu jenis kesenian sebagai hasil karya manusia, seringkali mempunyai perjalanan yang tidak diharapkan sesuai dengan perkembangan zaman. Tumbuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik
68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan lagi, dimana arus modernisasi tidak mengenal batasan antar kebudayaan baik regional, nasional
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Behavior dalam Pandangan Nitze tentang Perspektif Tuan dan Buruh Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab laki-laki yang lebih besar, kekuatan laki-laki lebih besar
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Berkendara sepeda motor sudah menjadi budaya pada masyarakat modern saat ini.kesan bahwa berkendara motor lebih identik dengan kaum adam nampaknya begitu kokoh dan membumi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi bukan berarti perbedaan itu diperuntukkan untuk saling menindas, selain dari jenis kelamin, laki-laki dan perempuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori
Lebih terperinciGagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.
TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep
Lebih terperinciBuku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis.
BAB 2. SEKSUALITAS Apa itu Seks dan Gender? Sebelum kita melangkah ke apa itu seksualitas, pertanyaan mengenai apa itu Seks dan Gender serta istilah lain yang berkaitan dengan nya sering sekali muncul.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tergantung dari perubahan sosial yang melatarbelakanginya (Ratna, 2007: 81). Hal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah sistem semiotik terbuka, karya dengan demikian tidak memiliki kualitas estetis intrinsik secara tetap, melainkan selalu berubah tergantung dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN. Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang. berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten
99 BAB IV KESIMPULAN Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten Lima Puluh Koto, diestimasi sebagai hiburan alternatif musik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga
Lebih terperinciBAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran
Lebih terperinci1 Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan orang lain. Bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran, keinginan, pendapat, dan perasaan seseorang kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peran orang tua sebagai generasi penerus kehidupan. Mereka adalah calon
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan aset, anak adalah titisan darah orang tua, anak adalah warisan, dan anak adalah makhluk kecil ciptaan Tuhan yang kelak menggantikan peran orang tua sebagai
Lebih terperinciGambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber:
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Widyokusumo (2012:613) bahwa sampul majalah merupakan ujung tombak dari daya tarik sebuah majalah. Dalam penelitian tersebut dideskripsikan anatomi sampul
Lebih terperinciMedia & Cultural Studies
Modul ke: Media & Cultural Studies Feminisme dalam perspektif Cultural Studies Fakultas ILMU KOMUNIKASI ADI SULHARDI. Program Studi Penyiaran www.mercubuana.ac.id FEMINISME DAN CULTURAL STUDIES Pemikiran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ekspresi kreatif untuk menuangkan ide, gagasan, ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut akan senantiasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Religiusitas erat kaitannya dengan keyakinan terhadap nilai-nilai keislaman dan selalu diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas dalam kehidupan seseorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan lahirnya sejumlah karya yang menghadirkan eksistensi perempuan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Melemahnya kekuasaan laki-laki dalam karya sastra kini mulai terasa dengan lahirnya sejumlah karya yang menghadirkan eksistensi perempuan. Kebangkitan tersebut
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wanita adalah makhluk perasa, sosok yang sensitif dari segi perasaan, mudah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wanita adalah makhluk perasa, sosok yang sensitif dari segi perasaan, mudah tersentuh hatinya, dan mudah memikirkan hal-hal kecil. Dalam kenyataan, wanita cenderung
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perilaku 1. Definisi Perilaku Menurut Skinner dalam Notoatmojo (2003), perilaku merupakan respon berdasarkan stimulus yang diterima dari luar maupun dari dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, khususnya daerah di sekitar Danau
Lebih terperinciJURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
FUNGSI, TEKNIK PERMAINAN INSTRUMENN DAN BENTUK PENYAJIAN MUSIK TRADISIONAL GONDANG G HASAPI KELUARGA SENI BATAK JAPARIS BAGI MASYARAKAT BATAK TOBA DI YOGYAKARTA RINGKASANN SKRIPSI Oleh Awal Ahmad Syahputra
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreatif penulis yang berisi potret kehidupan manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dinikmati,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jawa Barat atau yang lebih dikenal dengan etnis Sunda sangat kaya dengan berbagai jenis kesenian. Kesenian itu sendiri lahir dari jiwa manusia dan gambaran masyarakatnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Media telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan kita tidak akan pernah terlepas dari media. Seiring dengan perkembangan peradaban
Lebih terperinci