URGENSI PENGGOLONGAN NARAPIDANA DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "URGENSI PENGGOLONGAN NARAPIDANA DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN"

Transkripsi

1 Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret ISSN URGENSI PENGGOLONGAN NARAPIDANA DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN Urgency of Class of Prisoners in the Correctional Institution Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada abdullahrahmat05@gmail.com abstract In the new system of coaching inmates, inmate treatment is applied as a subject as well as the object. The subjects here as similarities, parallels, equally as human beings, are equal as creatures of God, both as a specific creature, capable of thinking and able to make decisions. As objects because basically there is no difference in the coaching position, the difference in coaching and not as human beings. Based on the information, the classification of prisoners according to the correctional objectives with regard to the guidance and upbringing. Guidance and education will be maximized if no classification of prisoners. For example, the classification of inmates by age. Prisoners who are still children or aged under 18 years (correctional education of children), coaching and education in contrast to older age. They got special treatment and should be fostered in children's prisons. Keywords: Inmates, Correctional Institutions, Classification abstrak Dalam sistem baru pembinaan narapidana, perlakuan narapidana diterapkan sebagai subyek sekaligus obyek. Subyek di sini sebagai kesamaan, kesejajaran, sama-sama sebagai manusia, sama-sama sebagai makhluk Tuhan, sama-sama sebagai makhluk yang spesifik, yang mampu berfikir dan mampu membuat keputusan. Sebagai obyek karena pada dasarnya ada perbedaan kedudukan dalam pembinaan, perbedaan dalam pembinaan dan bukan sebagai manusianya. Berdasarkan keterangan tersebut maka penggolongan narapidana yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan berkaitan dengan bimbingan dan didikan. Bimbingan dan didikan akan lebih maksimal jika ada penggolongan narapidana. Sebagai contoh penggolongan narapidana berdasarkan umur. Narapidana yang masih anak-anak atau usia di bawah 18 tahun (anak didik pemasyarakatan), pembinaan dan didikannya berbeda dengan usia yang lebih tua. Mereka mendapat perlakuan khusus sehingga harus dibina dalam lapas anak. 49

2 Urgensi Penggolongan Narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan Kata kunci:, Narapidana, Lembaga Permasyarakatan, Penggolongan A. Pendahuluan Dalam rangka pembaharuan sistem dan pelaksanaan pidana, maka istilah sistem kepenjaraan telah diubah menjadi sistem pemasyarakatan, dan istilah penjara diganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Demikian pula dalam hal perlakuan terhadap narapidana mengalami perubahan dari pembalasan menjadi pembinaan. Oleh karena pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan bertujuan agar narapidana menjadi warga masyarakatan yang baik dan bertanggung jawab, menyadari kesalahan dan tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Berkembangnya peradaban manusia membawa pengaruh yang besar dalam seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk berkembangnya hak asasi manusia. Dalam hukum pidana, perkembangan ini terjadi antara lain dengan terjadinya pergeseran paradigma. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana mulai dari peradaban (aliran) klasik, aliran modern, aliran neo klasik dan aliran perlindungan masyarakat. Pergeseran paradigma tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran tentang konsep dasar pemidanaan. Hal ini disebabkan adanya tuntutan perkembangan peradaban manusia sebagaimana tersebut di atas. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pergeseran tentang konsepsi pemidanaan itu cenderung dimulai dari konsepsi yang bersifat menghukum yang berorientasi ke belakang, bergeser ke arah gagasan/ide membina yang berorientasi ke depan. Di indonesia pergeseran orientasi dalam pemidanaan ini nampak dengan adanya penggantian istilah penjara menjadi istilah pemasyarakatan. Penggantian ini dimaksudkan agar pembinaan narapidana berorientasi pada tindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi narapidana. Rumah penjara yang dulunya sebagai wadah bagi narapidana yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pidana penjara merupakan salah satu sanksi pidana pokok yang diterapkan di Indonesia. Pidana pokok yang lain adalah pidana denda, pidana kurungan dan pidana mati. Pidana penjara dilakukan di Lembaga pemasyarakatan. Di lembaga pemasyarakatan, para narapidana akan dibina dan diharapkan setelah habis masa hukumannya, keluar dari lembaga pemasyarakatan menjadi orang baik. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat yang sangat berpengaruh terhadap pembinaan para narapidana dan bagaimana narapidana setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Karena saat ini sering terdengar bahwa lembaga pemasyarakatan adalah sekolah tinggi ilmu kejahatan. Narapidana yang dipenjara dalam lembaga pemasyarakatan akan belajar melakukan 50

3 Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret ISSN kejahatan dengan level lebih tinggi dan dengan perencanaan yang lebih matang dengan narapidana lainnya. Dimungkinkan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan akan mengulangi kejahatan (residivis). Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana memunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada empat belas komponen yaitu: falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem, klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga narapidana, dan Pembina/pemerintah 1. Dalam sistem baru pembinaan narapidana, perlakuan narapidana diterapkan sebagai subyek sekaligus obyek. Subyek di sini sebagai kesamaan, kesejajaran, sama-sama sebagai manusia, sama-sama sebagai makhluk Tuhan, sama-sama sebagai makhluk yang spesifik, yang mampu berfikir dan mampu membuat keputusan. Sebagai obyek karena pada dasarnya ada perbedaan kedudukan dalam pembinaan, perbedaan dalam pembinaan dan bukan sebagai manusianya 2. Perbedaan dalam pembinaan salah satu contohnya adalah dengan penggolongan narapidana. Penggolongan narapidana mempermudah proses pembinaan karena sering kali pembinaan bukan dari pembina tetapi narapidana sendiri atau sekelompok narapidana. Di Indonesia terdapat penggolongan lembaga pemasyarakatan, yaitu lapas umum dan lapas khusus seperti Lapas Perempuan, Lapas Anak, Lapas Narkotika dan Lapas untuk tindak pidana berat seperti yang ada di Nusakambangan Cilacap. Namun tidak di semua daerah di Indonesia memunyai lapas-lapas khusus. Biasanya daerah yang tidak memunyai lapas khusus contohnya untuk narapidana anak, maka akan dititipkan di lapas anak di daerah lain yang paling dekat. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik terhadap isu hukum, yaitu: 1) alasan yang menyebabkan adanya penggolongan narapidana; dan 2) penggolongan narapidana tujuan pemidanaan dan tujuan pemasyarakatan akan terpenuhi. Metode yang digunakan adalah yuridis, yaitu dengan menelaah bahan sekunder seperti buku ilmiah maupun undangundang dan lain-lain. B. Pembahasan 1. Dasar Penggolongan Narapidana Sifat pidana penjara dimaksudkan melukiskan watak masing-masing jenis pidana agar dapat dibedakan antara pidana penjara dengan sifat pidana 1 C.I. Harsono Hs, System Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm Ibid, hlm

4 Urgensi Penggolongan Narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan lain, misalnya pidana mati, hukuman membayar bunga dan ganti rugi dalam utang piutang. Usaha untuk menyoroti terhadap kedirian, peranan dan manfaat pidana penjara dimaksudkan untuk melukiskan agar tida kehilangan sifat dasarnya sebagai suatu pidana sekalipun menerima pengaruh perkembangan keadaan kriminologis dan sosiologis yang ada di sekitarnya, bahkan dari pengaruh tersebut juga dapat mengarahkan perlakuannya agar memunyai hasil guna dan daya guna bagi upaya ketertiban hukum serta kesejahteraan masyarakat. Pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan pidana selama ini. Dari seluruh ketentuan KUHP yang memuat delik kejahatan yaitu sejumlah 587, pidana penjara tercantum di dalam 575 perumusan delik (kurang lebih 97,96 %), baik dirumuskan secara tunggal maupun dirumuskan secara alternatif dengan jenis-jenis pidana lainnya. 3 Hal ini membuktikan bahwa pidana penjara masih merupakan salah satu sanksi yang menjadi primadona oleh perumus undang-undang dalam setiap perumusan sanksi dalam peraturan perundang-undangan dengan harapan bahwa hal itu dapat menimbulkan efek penjeraan. Bahkan pelaksanaan pidana penjara tercermin dalam pembaharuan hukum pidana sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo. 4 Pertama, pidana tetap menjadi pidana dan berorientasi ke depan melalui usaha ke arah pemasyarakatan, sehingga tidak hanya sekedar pidana perampasan kemerdekaan akan tetapi mengandung upaya-upaya bersifat baru yang dirumuskan sepuluh butir prinsip pemasyarakatan. Kedua, pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai tujuan harus memperhatikan aspek perbuatan melanggar hukum dan aspek manusianya sekaligus menunjukkan dengan dasar teori pemidanaan, menganut asas pengimbangan atas perbuatan dan sekaligus memperlakukan narapidana sebagai manusia sekalipun telah melanggar hukum. Ketiga, pengembangan pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan dengan segala kelemahannya, bukanlah untuk mencari jalan keluar dengan menghapus pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana, disertai teknik dan metode dalam rangka pembaharuan pidana yang bersifat universal. Keempat, sistem pemasyarakatan sebagai proses melibatkan hubungan interrelasi, interaksi dan integritas antara komponen petugas, penegak hukum yang menyelenggarakan proses pembinaan, dan komponen masyarakat beserta budaya yang ada di sekitarnya dengan segala potensinya untuk berperan serta membantu pembinaan sesuai dengan sepuluh prinsip 3 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm 71 4 Syaiful Bahri, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm

5 Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret ISSN pemasyarakatan. Kelima, pemasyarakatan sebagai metode memunyai tata cara yang direncanakan untuk menyelenggarakan pembinaan/bimbingan tertentu bagi kepentingan masyarakat dan individu narapidana yang bersangkutan melalui upaya-upaya remisi, asimilasi, integrasi, cuti prerelease treatment, lepas bersyarat, after care dan program pendidikan, latihan, keterampilan yang realisasinya menjadi indikator dari pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Keenam, upaya pembinaan terpidana, berupa remisi dan cuti, seharusnya dikembangkan lebih efektif, karena bukan sekedar pemberian kelonggaran pidana dengan kemurahan hati, melainkan sebagai indikator awal pembaharuan harus dimanfaatkan sedemikian rupa agar narapidana menyadari makna pembinaan melalui sistem pemasyarakatan. Ketujuh, pokok pikiran pembaharuan pidana penjara yang diterapkan dengan sistem pemasyarakatan belum didukung oleh kekuatan hukum undang-undang. Pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana, dijalankan dengan pembinaan melalui proses penahapan baik proto type dua purpose dan proto type multy purpose sejak narapidana telah mencapai tingkat pengawasan minimum (munimum security). 5 Dilihat dari segi keamanan dan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan serta untuk menjaga pengaruh negatif yang dapat berpengaruh terhadap narapidana lainnya maka penting untuk adanya penggolongan narapidana. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar: 6 a. umur; b. jenis kelamin; c. lama pidana yang dijatuhkan; d. jenis kejahatan; dan e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Penempatan seorang tahanan pada prinsipnya jika dilihat dari aspek pengamanan seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangatlah berpengaruh terhadap privasi tahanan tersebut, maka semakin longgar kesempatan yang diberikan pada suatu tahapan pengamanan biasanya tahanan tersebut semakin berpengaruh di lingkungan tempat penahanannya. Dengan semakin lama orang ditahan pada suatu penjara tertentu maka akan semakin berpengaruh di penjara tersebut karena semakin lama seseorang tahanan menjadi tahanan, maka biasanya pengawasan terhadap dirinya 5 Aruan Sakidjo, Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm Lihat Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 53

6 Urgensi Penggolongan Narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan semakin berkurang dan oleh banyak tahanan kelonggaran pengawasan tersebut dianggap bahwa yang bersangkutan cukup memunyai pengaruh. Oleh sebab itu penempatan tahanan berdasarkan penggolongan sebagaimana disebutkan di atas penting dilakukan untuk menghindari gangguan keamanan dan ketertiban dalam lingkungan Rumah Tahanan (RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Sistem pemasyarakatan dan peraturan standar minimum bagi perlakuan terhadap narapidana menganut filosofi penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan yang menganggap pelaku pelanggar hukum sebagai pesakitan dan karenanya harus disembuhkan. Dalam hal ini hakikat pemasyarakatan sesuai dengan falsafah pemidanaan modern yaitu treatment. Treatment lebih menguntungkan bagi penyembuhan penjahat, sehingga tujuan dari sanksi bukanlah menghukum, melainkan memperlakukan atau membina pelaku kejahatan. Melalui sistem pemasyarakatan ini pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana lebih bersifat manusiawi dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia. Perlakuan ini dimaksudkan untuk menempatkan narapidana sebagai sunjek di dalam proses pembinaan dengan sasaran akhir mengembalikan narapidana ke tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna (resosialisasi). Proses tersebut salah satunya dapat dilihat dalam upaya penggolongan narapidana sebagai ide individualisasi pidana dalam pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan. Jadi dapatlah dikatakan bahwa ide adanya penggolongan narapidana sebagaimana ditentukan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan adalah untuk individualisasi pidana yang bertujuan membina narapidana sesuai dengan karakteristik narapidana. Adapun penggolongan narapidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 UU No 12 Tahun 1995 memang perlu, baik dilihat dari segi keamanan dan pembinaan serta menjaga pengaruh negatif yang dapat berpengaruh terhadap narapidana lainnya. Berdasarkan penggolongan umur, dimaksudkan penempatan narapidana yang bersangkutan hendaknya dikelompokkan yang usianya tidak jauh berbeda, misalnya lapas anak, lapas pemuda, lapas dewasa. Sedangkan penggolongan berdasarkan jenis kelamin dimaksudkan penetapan narapidana yang bersangkutan dipisahkan antara lapas laki-laki dan lapas wanita. Penggolongan berdasarkan lama pidana yang dijatuhkan, terdiri dari: (1) narapidana dengan jangka pendek, yaitu narapidana yang dipidana paling lama satu tahun; (2) narapidana dengan pidana jangka sedang, adalah narapidana yang dipidana paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun; dan (3) narapidana dengan pidana jangka panjang, yaitu narapidana yang dipidana di atas lima tahun. 54

7 Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret ISSN Dengan adanya pengelompokkan ini maka pembinaan yang dilakukan harus melihat dari segi lamanya pidana, sehingga pantas pembina dapat memberikan program pembinaan yang tepat sesuai dengan lama pidana yang dijalani oleh narapidana tersebut. Jenis kejahatan juga merupakan salah satu karakteristik ide individualisasi dalam pembinaan narapidana. Untuk itu di dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana haruslah dipisah-pisahkan berdasarkan jenis kejahatannya, seperti narkotika, pencurian, penipuan, penggelapan, pembunuhan dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan prisonisasi 7 atas narapidana. Sebagaimana dikemukakan oleh Djisman Samosir, memang harus diakui bahwa di dalam penjara terjadi prisonisasi atas narapidana, artinya narapidana itu tepengaruh oleh nilai-nilai yang hidup di penjara seperti kebiasaan-kebiasaan dan budaya di penjara tersebut. 8 Selanjutnya Tongat mengatakan upaya ini dilakukan atas pertimbangan untuk memperkecil kemungkinan komunikasi antara penjahat kelas kakap dengan para penjahat semula. 9 Adapun tujuannya mencegah agar jangan terjadi pemaksaan pengaruh dari narapidana yang satu terhadap narapidana lainnya, maupun bentuk pemerasan terlebih-lebih prisonisasi. Untuk itu maka narapidana ditempatkan dalam ruangan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis kejahatan yang mereka lakukan. Berdasarkan jenis kejahatan ini maka dilakukan pembinaan yang sesuai dengan narapidana agar dapat mengembalikan narapidana menjadi manusia yang baik dan berguna. Kalau dilihat dari Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ini, maka narapidana ditempatkan dan dibina berdasarkan karakteristiknya sebagaimana disebutkan di atas, sehingga tujuan pembinaan dapat tercapai. Namun, dalam pelaksanaanya, tidak sesuai dengan isi Pasal 12 sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 12 Tahun 1995 tersebut, karena jumlah narapidana melebihi kapasitas sehingga penempatan narapidana berdasarkan umur, jenis kejahatan, dan lamanya pidana tidak dapat terwujud. Demikian juga dalam hal pembinaan narapidana, tidak dipisah-pisahkan antara narapidana narkotika dengan narapidana pencurian maupun yang lainnya, sehingga bentuk dan cara pembinaannya sama untuk seluruh narapidana. Hal ini dilakukan karena diantaranya dana yang tersedia sangat minim, jumlah petugas yang melakukan pembinaan juga terbatas, dan peralatan yang tersedia untuk melakukan pembinaan juga terbatas. Dengan 7 Prisonitation (Prisonisasi) adalah istilah yang digunakan oleh TP. Morris dalam bukunya yang berjudul Pentoville (1963) untuk menggambarkan tingkah laku nyata narapidana yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara namun sebenarnya mereka menolak untuk mentaati aturan. 8 Suwarto, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, Ide Indivudualisasi Pidana Dalam Pembinaan Narapidana Dengan Sistem Pemasyarakatan. 9 Ibid. 55

8 Urgensi Penggolongan Narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan demikian pembinaan narapidana berdasarkan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak dapat dilaksanakan, sehingga tujuan pembinaan sesuai dengan sistem pemasyarakatan tidak dapat dilaksanakan, sehingga tujuan pembinaan sesuai dengan sistem pemasyarakatan tidak terwujud. Untuk itu pembinaan narapidana harus disesuaikan dengan karakteristik narapidana atau sesuai dengan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan dikembangkan/ ditingkatkan untuk menampung jumlah narapidana, agar penempatan narapidana sesuai dengan isi Pasal 12 tersebut, seperti narapidana yang terlibat dalam kasus narkoba ditempatkan pada satu ruangan khusus narkoba, dan narapidana pencurian dalam satu ruangan, demikian juga dengan narapidana lainnya, sehingga tidak bercampur baur. Begitu juga dalam hal pembinaan narapidana, yakni pembinaan narapidana khusus narkoba berbeda dengan pembinaan narapidana pencurian, penggelapan, pembunuhan, dan lain-lain, sehingga bentuk dan cara pembinaannya disesuaikan dengan jenis kejahatan dan lamanya pidana yang dijatuhkan. Hal ini dilakukan agar pembinaan itu benar-benar disadari dan dimengerti oleh narapidana sehingga tujuan pembinaan dapat tercapai. Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak terlepas juga dari kualitas dan kuantitas petugas Lembaga Pemasyarakatan, serta peran serta masyarakat/pihak swasta. 2. Tujuan Pemidanaan dan Tujuan Pemasyarakatan dalam Penggolongan Narapidana Pidana penjara dapat mengandung sifat ganda yaitu sebagai sanksi pidana dapat dirasakan tidak enak bagi yang terkena yang menunjukkan sifat dasar yang statis, dan dalam pelaksanannya tumbuh berbagai variasi dalam memasuki falsafah pembinaan (treatment philosophy) yang menunjukkan sifat yang dinamis dan atau plastis 10. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana 11. Pada Tahun 1963, konsep pemasyarakatan diajukan oleh menteri kehakiman, Sahardjo, yaitu: a. singkat tujuan penjara ialah: pemasyarakatan, yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya 10 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan System Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm Pasal 1 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 56

9 Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret ISSN perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah sesat diayomi dan diberikan bekal hidup, sehingga menjadi kawula yang berfaedah di dalam masyarakat Indonesia; dan b. pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing agar terpidana bertobat, mendidik agar supaya dia menjadi anggota masyarakat sosialisme yang berguna 12. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan 13. Dalam rangka pembinaan, lembaga pemasyarakatan terdapat penggolongan narapidana berdasarkan: a. umur; b. jenis kelamin; c. lama pidana yang dijatuhkan; dan d. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan 14 John Howard memperjuangkan perhatian terhadap perlakuan narapidana dengan manusiawi, juga usaha-usaha untuk memberikan arti yang sebenarnya dari pemidanaan adalah membina para narapidana agar setelah habis masa pidananya, dapat kembali ke masyarakat dengan lebih baik. Pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan fisik dan mental, pendidikan umum, kesehatan, dan lain sebagainya 15. Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal yaitu: 16 a. setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana; b. menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya; dan c. mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. a. Penggolongan Narapidana Berdasarkan Tujuan Pemidanaan Teori pemidanaan dalam teori absolut merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan Susanto, Kriminologi, (Yogyakarta: Genta Publisher, 2011), hlm Pasal 1 ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 14 Pasal 12 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 15 C.I. Harsono Hs, Op.Cit., hlm Ibid., hlm Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2010), hlm

10 Urgensi Penggolongan Narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan Sedangkan dalam teori relative, pidana sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. maka teori ini juga disebut teori perlindungan masyarakat. Pidana bukan sekedar pembalasan tetapi memunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini juga disebut teori tujuan (utility teori) 18. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Selain itu teori relatif memunyai tujuan penjatuhan pidana yang salah satunya adalah memperbaiki sikap agar bisa menjadi orang baik. Tujuan pemidanaan menurut Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah: 19 a) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, b) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; serta d) membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Bentuk dari memasyarakatkan terpidana dengan penggolongan narapidana yang sesuai memudahkan pembina lapas melakukan pembinaan agar bisa menjadi orang yang lebih baik. Sebagai contoh penggolongan berdasarkan lama pidana yang dijatuhkan sesuai dengan tindak pidananya akan menghapus bahwa lapas adalah sekolah tinggi ilmu kejahatan. Dalam hal ini penggolongan yang sesuai adalah penggolongan berdasarkan masa pidana dan jenis kejahatan. Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kelamin dan umur juga bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Contohnya pelecehan seksual dan penganiayaan. b. Penggolongan Narapidana Berdasarkan Tujuan Pemasyarakatan Berdasarkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang terdapat dalam Pasal 54, tujuan pemasyarakatan adalah sebagai berikut: 1) orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat; 2) penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara; 3) rasa tobat tidak dapat dicapai dengan cara menyiksa, tetapi dengan bimbingan; 4) negara tidak berhak membuat seorang terpidana menjadi lebih buruk atau lebih jahat apabila dibandingkan dengan sebelum masuk penjara; 18 Ibid, hlm Pasal 54 RUU KUHP. 58

11 Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret ISSN ) selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana (warga binaan) harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; 6) pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara, tetapi ditujukan untuk kepentingan pembangunan negara; 7) bimbingan dan didikan harus berdasarkan azas terkandung dalam pancasila; 8) tiap orang adalah manusia dan harus diberlakukan sebagai manusia, walaupun tersesat tetapi tidak boleh ditunjukan bahwa dia sebagai penjahat; 9) narapidana hanya dijatuhi hilang kemerdekaan; dan 10) sarana fisik lembaga pemasyarakatan saat ini merupakan salah satu hambatan dalam pelaksanaan pidana dengan sistem pemasyarakatan. Dalam tujuan pemasyarakatan beberapa poin menyebutkan bimbingan dan terdapat juga kata didikan. Bimbingan dan didikan akan lebih maksimal jika ada penggolongan narapidana. Sebagai contoh penggolongan narapidana berdasarkan umur. Narapidana yang masih anak-anak atau usia di bawah 18 tahun (anak didik pemasyarakatan), pembinaan dan didikannya tentu berbeda dengan usia yang lebih tua. Mereka mendapat perlakuan khusus sehingga harus dibina dalam lapas anak. C. Penutup Berdasarkan dari uraian di atas, maka ide individualisasi pidana dalam pembinaan narapidana termasuk narapidana wanita dengan sistem pemasyarakatan sebenarnya sudah merupakan suatu realita, sebagai hasil akhir perkembangan hukuman penjara dalam perkembangan hukum pidana modern, dan Indonesia sudah memulainya di akhir tahun 1960-an. Sedangkan dari segi dasar hukum, Indonesia telah mengundangkan Undang- Undang Nomor. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang telah menjadi hukum positif dan harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemasyarakatan, yakni mengembalikan narapidana ke tengah-tengah masyarakat menjadi manusia yang baik dan berguna dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat hidup secara wajar dan bertanggung jawab. Penggolongan narapidana yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan berkaitan dengan bimbingan dan didikan. Bimbingan dan didikan akan lebih maksimal jika ada penggolongan narapidana. Sebagai contoh penggolongan narapidana berdasarkan umur. Narapidana yang masih anak-anak atau usia di bawah 18 tahun (anak didik pemasyarakatan), pembinaan dan didikannya berbeda dengan usia yang lebih tua. Mereka mendapat perlakuan khusus sehingga harus dibina dalam lapas anak. 59

12 Urgensi Penggolongan Narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan Daftar Pustaka Buku Arief, Barda Nawawi, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Yogyakarta: Genta Publishing. Bahri, Syaiful, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media. Hs, C.I. Harsono, 1995, System Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan. Muladi dan Arief: Barda Nawawi, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni. Poernomo, Bambang, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan System Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty. Sakidjo, Aruan, dan Poernomo, Bambang, 1990, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Yogyakarta: Ghalia Indonesia. Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publisher. Suwarto, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, Ide Indivudualisasi Pidana Dalam Pembinaan Narapidana Dengan Sistem Pemasyarakatan. Undang-Undang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 60

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari

FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari FUNGSI SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM MEREHABILITASI DAN MEREINTEGRASI SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Sri Wulandari Sriwulan_@yahoo.co.id Abstraksi Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadapan modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pemerintahan suatu negara pasti diatur mengenai hukum dan pemberian sanksi atas pelanggaran hukum tersebut. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil BAB II URAIAN TEORITIS Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, aliran neo-klasik, dan aliran modern menandai babak baru dalam wacana hukum pidana. Pergeseran

Lebih terperinci

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Masyarakat terdiri dari kumpulan individu maupun kelompok yang mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam melakukan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sistem pemasyarakatan di Indonesia merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemasyarakatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pidana penjara adalah suatu bentuk pidana yang berupa pembatasan gerak yang dilakukan dengan menutup pelaku tindak pidana dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu unit pelaksana tekhnis dari jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai tugas pokok melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Pemasyarakatan lahir di Bandung dalam konferensi jawatan kepenjaraan para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini dicetuskan oleh DR.

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum sebagai pedoman tingkah laku masyarakat. Aturan atau kaidah hukum tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (1) menyebutkan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Lebih terperinci

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRAK Pro dan kontra terkait pidana mati masih terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di Indonesia yang baru melakukan eksekusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Sebagai anggota masyarakat, individu harus mematuhi norma-norma yang berlaku, agar tercapai

Lebih terperinci

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan ini terdapat jelas di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hasil amandemen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas

Lebih terperinci

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh Ida Ayu Made Merta Dewi Pembimbing Akademik : Yuwono Program Kekhususan : Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract

Lebih terperinci

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA

ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA Oleh : Hendra Rusliyadi Pembimbing : IGN Dharma Laksana Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract:

Lebih terperinci

EKSISTENSI KEBERADAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Oleh: Laras Astuti

EKSISTENSI KEBERADAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Oleh: Laras Astuti EKSISTENSI KEBERADAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Laras Astuti Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta E-mail: larasastuti@law.umy.ac.id Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pembaharuan sistem secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan (WBP), baik yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1995, yang didalamnya juga mencamtumkan 10 prinsip

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika seseorang yang melakukan kejahatan atau dapat juga disebut sebagai pelaku tindak pidana, proses hukum pertama yang akan dijalani adalah proses penyelidikan. Seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proklamasi Kemerdekaaan 17 Agustus 1945, pada hakikatnya bertujuan. untuk membangun manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya.

BAB I PENDAHULUAN. Proklamasi Kemerdekaaan 17 Agustus 1945, pada hakikatnya bertujuan. untuk membangun manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional Indonesia yang secara formal dimulai sejak Proklamasi Kemerdekaaan 17 Agustus 1945, pada hakikatnya bertujuan untuk membangun manusia dan masyarakat

Lebih terperinci

PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA

PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA Shinta Rukmi, SH. MHum. Dosen Fakultas Hukum Unisri Surakarta Abstract : Community Service order is a new criminal, and it is a rehabilitation to narapidana. The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di dalam sistem hukum. Penegakan hukum pidana dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana Indonesia pidana penjara diatur sebagai salah satu bentuk pidana pokok berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terpidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya, kesehatan merupakan hak setiap manusia. Hal tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA

BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Purwakarta dihubungkan dengan Hak-Hak Narapidana menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan makmur berasaskan Pancasila. Dalam usaha-usahanya Negara menjumpai banyak rintangan dan

Lebih terperinci

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA, SH., MH 1 Abstrak : Dengan melihat analisa data hasil penelitian, maka telah dapat ditarik kesimpulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DENGAN SISTEM PEMASYARAKATAN

IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DENGAN SISTEM PEMASYARAKATAN Suwarto: Ide Individualisasi Pidana dalam Pembinaan Narapidana... IDE INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DENGAN SISTEM PEMASYARAKATAN Suwarto Abstract: In the framework of system renovation

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi penegak hukum, merupakan muara dari peradilan pidana yang menjatuhkan pidana penjara kepada para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan tempat atau kediaman bagi orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh

BAB I PENDAHULUAN. merupakan tempat atau kediaman bagi orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya akan disingkat dengan LAPAS merupakan tempat atau kediaman bagi orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN ANAK PIDANA DAN HAK-HAKNYA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK

BAB II PENGERTIAN ANAK PIDANA DAN HAK-HAKNYA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK BAB II PENGERTIAN ANAK PIDANA DAN HAK-HAKNYA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK 2.1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Anak Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan wargabinaan pemasyarakatan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyalahgunaan Wewenang Yang Dilakukan Oleh Oknum Petugas Lembaga Pemasyarakatan Dihubungkan Dengan Peraturan Menteri Hukum & HAM Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun nasional,

Lebih terperinci

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email: ratna.shmh@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjalani masa pidana, hal ini sudah diatur dalam Undang undang tentang

BAB I PENDAHULUAN. yang menjalani masa pidana, hal ini sudah diatur dalam Undang undang tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembebasan bersyarat adalah suatu hak yang dimiliki oleh setiap narapidana yang menjalani masa pidana, hal ini sudah diatur dalam Undang undang tentang pelaksanaannya.

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemerdekaan bergerak seseorang, pada akhir tujuannya adalah untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. kemerdekaan bergerak seseorang, pada akhir tujuannya adalah untuk BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penjatuhan pidana penjara oleh hakim untuk menghilangkan kemerdekaan bergerak seseorang, pada akhir tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga BAB III Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasayarakatan Anak Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa sistem pembinaan narapidana yang dilakukan oleh Negara Indonesia mengacu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum, dengan memberikan perlindungan terhadap segenap warga negara. Bukti Negara Indonesia memberikan perlindungan bagi setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan Handar Subhandi Bakhtiar http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-dan-sejarah-singkat.html Konsep tentang pelaksanaan pidana penjara di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan. bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan. bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah bahwa: Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan kaidah dalam kehidupan bersama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. barang siapa yang melanggar larangan tersebut 1. Tindak pidana juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. barang siapa yang melanggar larangan tersebut 1. Tindak pidana juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA MOH. ZAINOL ARIEF Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep sobarchamim@gmail.com ABSTRAK Pidana dan pemidanaan dalam ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi,

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi, kadang meningkat dan turun, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun jika dicemati, di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

Pemberian Pembebasan Bersyarat Sebagai Prinsip Sistem Pemasyarakatan Dalam Melakukan Pembinaan Terhadap Narapidana. Kasman Siburian.

Pemberian Pembebasan Bersyarat Sebagai Prinsip Sistem Pemasyarakatan Dalam Melakukan Pembinaan Terhadap Narapidana. Kasman Siburian. Pemberian Pembebasan Bersyarat Sebagai Prinsip Sistem Pemasyarakatan Dalam Melakukan Pembinaan Terhadap Narapidana Kasman Siburian Abstrak Pemasyarakatan merupakan suatu sistem pembinaan terhadap para

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Norma atau kaidah hukum selalu ada dalam masyarakat yang berguna untuk mengatur masyarakat itu sendiri. Apabila mereka melanggar kaidah-kaidah hukum itu atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Syofiyatul Lusiana, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Syofiyatul Lusiana, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan global telah menyisakan banyak problem dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini yang paling nyata adalah semakin kuatnya kompetisi terbuka dalam

Lebih terperinci

PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh: Henny C. Kamea 2

PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh: Henny C. Kamea 2 PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA 1 Oleh: Henny C. Kamea 2 ABSTRAK Dasar pembenaran dari penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana terletak pada adanya atau terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum yang mengatur masyarakat itu, kaidah hukum itu berlaku untuk seluruh masyarakat. Kehidupan manusia di dalam pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan merupakan masalah krusial yang sangat meresahkan masyarakat, baik itu dari segi kualitas maupun dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

BAB II TEORI MENGENAI WARGA BINAAN, SISTEM PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN TEORI KRIMINOLOGI. 1. Pengertian Warga Binaan Pemasyarakatan

BAB II TEORI MENGENAI WARGA BINAAN, SISTEM PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN TEORI KRIMINOLOGI. 1. Pengertian Warga Binaan Pemasyarakatan BAB II TEORI MENGENAI WARGA BINAAN, SISTEM PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN, DAN TEORI KRIMINOLOGI A. Warga Binaan Pemasyarakatan 1. Pengertian Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 1 Undang Undang nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hanya terbatas pada kuantitas dari bentuk kejahatan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejahatan dewasa ini menunjukan tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Hal ini dapat diketahui melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik serta sumber-sumber

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMBINAAN YANG BERSIFAT KEMANDIRIAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B SLAWI

PELAKSANAAN PEMBINAAN YANG BERSIFAT KEMANDIRIAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B SLAWI PELAKSANAAN PEMBINAAN YANG BERSIFAT KEMANDIRIAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B SLAWI Email : maryanto00@yahoo.com Abstract The concept of stewardship at the empirical level has

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang 1 yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Tidak ada masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

PENDAHULUAN. dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, ketentuan ini tercantum dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pembinaan dan perlindungan anak terdapat hambatan-hambatan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pembinaan dan perlindungan anak terdapat hambatan-hambatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pembangunan nasional tidak lepas dari peranan generasi muda sebagai tonggak penerus bangsa. Anak merupakan bagian dari generasi muda yang diharapkan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dan kemajuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat dan semakin memudahkan kehidupan manusia, namun

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB IV. Pembinaan Narapidana, untuk merubah Sikap dan Mental. Narapidana agar tidak melakukan Tindak Pidana kembali setelah

BAB IV. Pembinaan Narapidana, untuk merubah Sikap dan Mental. Narapidana agar tidak melakukan Tindak Pidana kembali setelah BAB IV EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA YANG DILAKUKAN OLEH LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I SUKAMISKIN DIKAITKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN

Lebih terperinci

DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN BIASA DI PENGADILAN NEGERI KOTA SEMARANG

DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN BIASA DI PENGADILAN NEGERI KOTA SEMARANG DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN BIASA DI PENGADILAN NEGERI KOTA SEMARANG Indung Wijayanto Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang indung_wijayanto@yahoo.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat. untuk menjunjung tinggi norma-norma kehidupan mencapai masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat. untuk menjunjung tinggi norma-norma kehidupan mencapai masyarakat BAB I PENDAHULUAN Sudah merupakan kodrat dan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat secara mandiri tanpa bantuan orang lain, manusia harus hidup secara berkelompok merupakan suatu keluarga, suku dan masyarakat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai makhluk sosial, melakukan relasi dengan manusia lain karena

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai makhluk sosial, melakukan relasi dengan manusia lain karena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya kodrat manusia telah ditetapkan sejak lahir berhak untuk hidup dan diatur dalam hukum sehingga setiap manusia dijamin dalam menjalani hidup sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS LEMBAGA PEMASYARAKATAN. A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana

BAB II TINJAUAN YURIDIS LEMBAGA PEMASYARAKATAN. A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana BAB II TINJAUAN YURIDIS LEMBAGA PEMASYARAKATAN A. Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Hukum tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka kalau membahas mengenai hukum maka tidak terlepas membicarakan

Lebih terperinci