BAB I PENGANTAR. dalam kajian kesusastraan dunia. Secara spesifik, jika perhatian ditujukan terhadap

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR. dalam kajian kesusastraan dunia. Secara spesifik, jika perhatian ditujukan terhadap"

Transkripsi

1 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pertautan antara ranah sastra dan sosiologis merupakan perbincangan penting dalam kajian kesusastraan dunia. Secara spesifik, jika perhatian ditujukan terhadap kesusastraan yang hidup di wilayah ex-koloni Inggris, yaitu Amerika, kajian-kajian yang mempertalikan karya sastra dan aspek sosiologis pada ranah kesusastraan ini bisa menjadi suatu hal yang sangat penting. Tentu saja, mengingat banyaknya namanama sastrawan besar dan berpengaruh yang mampu dihadirkan berkaitan dengan sejarah dan perkembangan kesusastraan Amerika hingga saat ini. Sebut saja Edgar Allan Poe, Nathaniel Hawthorne, Mark Twain, T.S. Elliot, Robert Frost, dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut merupakan para sastrawan yang karya-karyanya tidak hanya dikenal di Amerika, tetapi juga di dunia. Merunut sejarahnya yang cukup panjang, kecenderungan perkembangan kesusastraan Amerika ini sejalan dengan berkembangnya paradigma berpikir masyarakat yang terjadi di wilayah Eropa di saat yang kurang lebih bersamaan. Namun, sebagai Negara yang memiliki latar belakang sosio-budaya yang berbeda, membuat sastra Amerika ini menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh. Sebagai contoh, di periode bersamaan pada pertengahan abad ke-19, pada saat novelis-novelis Inggris kerap menceritakan sang tokoh utama miskin yang menghadapi permasalahan

2 2 keuangan dan strata sosial pada masyarakat tradisional dalam bentuk yang sangat realistik, novelis-novelis Amerika justru cenderung menciptakan tokoh-tokoh yang kebanyakan cenderung individualistik dengan permasalahan non-realistik, seperti berhadapan dengan alam liar, suku kanibal, setan, binatang buas, dan lain sebagainya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh latar belakang kedua negara yang berbeda. Di satu sisi, pada periode tersebut Inggris merupakan negara yang memiliki tatanan sosial yang bisa dikatakan lebih tertata dibandingkan dengan Amerika di sisi lain (VanSpanckeren, 1994: 36). Inggris merupakan negara aristokrat yang memiliki struktur sosial yang cenderung terpartisi (Borjuis dan Proletar) ketika di saat yang sama Amerika merupakan negara yang cenderung cair dan secara relatif tidak memiliki kelas sosial di dalam masyarakatnya yang demokratis. Ditambah lagi, secara geografis pada saat itu Amerika juga memiliki kawasan alam liar yang begitu luas yang membuat aktivitas masyarakat mau tidak mau harus berhubungan dengan lingkungan alam di sekitarnya. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa alasan terciptanya karakter-karakter individualistik dan motif-motif non-realistik di dalam karya-karya sastra Amerika tentu dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budayanya pada pertengahan abad ke-19. Hal ini tentu saja membuktikan bagaimana karya sastra berimplikasi dengan kehidupan sosialnya masing-masing. Sebagaimana dinyatakan dalam kutipan berikut: Sebagaimana lembaga-lembaga sosial lainnya, sastra merupakan aktivitas seni bahasa yang dibingkai oleh tingkat perkembangan

3 3 intelektual yang hidup pada zamannya. Hubungan antara sastra dengan lembaga-lembaga sosial yang lain dapat disebut homolog, yaitu sama-sama merepresentasikan tingkat perkembangan intelektual yang menjadi bingkai dari keseluruhan organisasi sosial yang melingkunginya (Faruk, 2012: 52). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwasanya keberadaan sastra sebagai lembaga sosial yang berupa aktivitas seni bahasa tidak terlepas dari perkembangan intelektual di lingkungan sosial yang ada pada periodenya masingmasing. Layaknya lembaga-lembaga sosial lain, sastra akan menunjukan taraf perkembangan intelektual dari seluruh aspek sosial disekitarnya. Tentu saja hal tersebut dapat dikaitkan dengan pembahasan mengenai karya-karya sastra Amerika pada pertengahan abad ke-19 yang telah dibahas sebelumnya. Keberadaan aktivitas sastra pada saat itu, dapat dikatakan berimplikasi dengan perkembangan intelektual masyarakat dan lingkungannya, walaupun dalam hal ini tinjauan lebih jauh masih sangat perlu dilakukan. Dari sekian banyak novelis di era pertengahan abad ke-19, Nathaniel Hawthorne adalah satu di antara novelis-novelis yang paling ternama pada zamannya. Pada era-nya, Hawthorne lebih memilih istilah roman dari pada novel untuk karyakaryanya, karena pada abad ke-19 di Amerika, roman adalah cerita yang berfokus pada sesuatu yang lebih luas dari kehidupan itu sendiri, yaitu kondisi-kondisi fantastis yang dihadapi oleh orang biasa (Graham, 2012: xvii). Lebih jauh, Graham menyatakan dengan memberikan label roman pada karyanya, seorang penulis telah memberikan kebebasan kepada dirinya sendiri. Dalam hal ini, ketika novel mencoba

4 4 mereka ulang pengalaman sebagaimana adanya, roman menawarkan para penulis di abad ke-19 kesempatan untuk menjelajahi kebenaran-kebenaran yang esensial mengenai sifat alami manusia dengan memadukan hal-hal fantastis dengan hal-hal biasa. Beberapa karya Hawthorne memiliki latar belakang cerita kaum Puritan di New England, dan salah satu karya terbaiknya The Scarlet Letter (berikutnya disingkat TSL), pertama kali terbit 1850, menjadi gambaran klasik kaum Puritan Amerika. Roman ini menceritakan cinta terlarang yang emosional antara seorang pendeta Arthur Dimmesdale dengan seorang wanita bernama Hester Prynne. Dalam cerita ini, Hester dianggap sebagai pendosa karena telah hamil oleh orang yang bukan suaminya, sementara itu Dimmesdale sebagai pria yang bertanggung jawab atas kehamilan tersebut dirahasiakan aibnya hingga akhir cerita. Pada akhir cerita, Hester yang pada mulanya menuai kecaman dan penghinaan, justru dimunculkan sebagai sosok yang simpatik. Sementara itu, tokoh Dimmesdale yang pada awalnya dimunculkan sebagai sosok yang dihormati, berangsur-angsur melemah karena beban moral yang dipikulnya dan pada akhirnya meninggal dunia. Berlatar belakang sosial di Boston sekitar pertengahan abad ke-17 selama awal masa kolonisasi Puritan, karya ini menyoroti obsesi masyarakat terhadap moralitas, menggambarkan permasalahan gender, hukuman terhadap pendosa, juga rasa bersalah dan pengakuan dosa seorang individu. Dalam hal ini, TSL merupakan karya yang subversif dan berani (VanSpanckeren, 1994: 37). Pernyatan itu ditegaskan

5 5 oleh VanSpanckeren karena menurutnya roman ini mengangkat isu-isu yang biasanya disembunyikan pada abad ke-19 di Amerika, seperti isu mengenai dampak dari pembebasan pengalaman demokratis pada perilaku individual, terutama pada kebebasan seksual dan agama. Hal tersebut kemungkinan besar ada kaitan dengan Nathaniel Hawthorne yang merupakan keturunan keluarga Puritan yang lahir dan dibesarkan di Salem, Massachusetts (Punter & Byron, 2004: 123). Aspek religious dan tempat tumbuh kembangnya bisa saja menginspirasinya dalam hal ini. Meskipun pada dasarnya fakta itu belum mampu memberikan alasan konkrit perihal kompleksitas isu yang dimunculkan di dalam roman ini. Namun demikian, karya ini tetap saja berpotensi untuk menunjukan taraf perkembangan intelektual pada lingkup sosial dan zamannya. Sebagaimana pembahasan sebelumnya mengenai keberadaan sastra yang tidak akan terlepas dari perkembangan intelektual di lingkungan sosial pada periodenya masing-masing. Aspek intelektual itulah yang akan berkaitan secara langsung dengan kesadaran tentang fenomena atau isu-isu sosial yang pada akhirnya ditanggapi melalui roman TSL ini. Artinya, di dalam roman ini Hawthorne dengan kapasitas intelektualnya tengah berupaya menanggapi fenomena dan isu-isu sosial pada zaman TSL diciptakan. Dengan begitu, kemungkinan besar faktor lingkungan sosial merupakan pemicu utama dari terciptanya roman tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, muncul sebuah problematika tersendiri yang secara khusus datang dari keberadaan roman TSL yang memuat isu-isu pada abad ke-

6 6 19 di Amerika seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Penulisan roman ini sudah tentu dipengaruhi oleh isu-isu sosial yang terjadi pada zaman karya ini ditulis. Oleh karenanya, hal ini menunjukan bahwa keberadaan roman TSL sebagai sebuah karya sastra tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial tempat karya ini dilahirkan. Struktur-struktur yang tercipta dan juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa saja datang dari tanggapan sang penulis terhadap pengalaman empiris yang dilihat atau dirasakannya. Setiap respons yang dilakukan oleh setiap individu pada umumnya dipengaruhi oleh latar belakang sosial tempat individu tersebut bernaung. Hal itu disebabkan karena pengalaman atau ideologi kolektif yang dirasakan dan dianut oleh kelompok sosialnya, akan sangat mempengaruhi sudut pandang seorang individu dalam menyikapi setiap fenomena yang terjadi pada kehidupan sosialnya. Dalam taraf inilah seseorang akan memiliki apa yang disebut sebagai pandangan dunia (world view) (Lucien Goldman, 1967). Sebagai penulis TSL, Hawthorne tentu memiliki ruang lingkup sosial tersendiri di mana ideal-idealnya sebagai seorang manusia tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya, jika roman ini adalah bentuk respons terhadap pengalaman empiris sang penulis, tentu saja roman ini akan memuat ideologi atau pandangan dunianya sebagai seorang individu yang hidup di dalam kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, suatu hal yang mengganjal adalah pandangan dunia seperti apa yang terkandung di dalam TSL ini sehingga roman ini memiliki inti keseluruhan

7 7 cerita sedemikian rupa. Selain itu, persoalan ini menjadi semakin kompleks karena kelompok sosial sang pengarangnya yang tidak dapat teridentifikasi dengan jelas jika dikorelasikan secara langsung dengan karya ini. Hal tersebut disebabkan karena di satu sisi roman ini memiliki alegori latar tempat dan sosial yang menggambarkan masyarakat pada pertengahan abad ke-17, sementara di sisi lain karya ini justru diciptakan pada pertengahan abad ke-19. Keterangan mengenai latar belakang keluarga Hawthorne sebelumnya tentu tidaklah memadai untuk menentukan lingkungan sosial penulis tersebut. Perlu diadakan langkah analisis lebih jauh untuk mendapatkan pemahaman mengenai kelompok sosial penulis roman TSL ini. Berdasarkan hal tersebut, investigasi lebih lanjut dirasakan sangat perlu dilakukan untuk mengetahui fakta-fakta penting mengenai lingkungan sosial yang telah mempengaruhi Hawthorne dalam penciptaan karya tersebut. Di sini, hal yang mungkin bisa di dapat adalah fakta mengenai kelompok sosial sang penulis akan diketahui jika pandangan dunianya telah diketahui, karena pada umumnya pandangan dunia merupakan ciri dari kelompok sosial tertentu. Kalaupun hal itu ingin dicari, tentu saja penelusurannya tidak akan bisa terlepas dari roman TSL itu sendiri sebagai buah karya dari penulisnya. Sebuah karya sastra akan selalu terkait dengan aspek kebahasaan yang merupakan bagian dari kesadaran kolektif penulisnya. Oleh karenanya, aspek non-empirik karya sastra (dalam hal ini pandangan dunia termasuk) yang berupa makna tidak akan terlepas

8 8 dari aspek empiriknya yang merupakan teks tertulis atau citra bunyi, selayaknya petanda dan penandanya. Dalam hal ini, makna merupakan kesadaran kolektif dan dibentuk berdasarkan intensi penulis di dalam suatu karya (Faruk, 1988: 24). Struktur yang terbentuk di dalam suatu karya, dalam hal ini merupakan sebuah kesadaran yang mengandung intensi tertentu dari penulisnya, yang dengan kata lain ada kandungan ideologis dari struktur suatu karya. Dengan begitu, timbul permasalahan lainnya yang mana struktur roman ini pun menjadi hal yang patut dikaji lebih lanjut. Untuk mencapai makna atau memahami pandangan dunia di dalam roman TSL ini, tentu saja harus dimulai dari memahami struktur karyanya terlebih dahulu. Dimungkinkan, ketika struktur roman ini telah terkupas, maka aspek-aspek lain seperti pandangan dunia dan juga kelompok sosial Hawthorne bisa lebih mudah untuk ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, keberadaan roman TSL sebagai sebuah karya sastra menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut guna memperoleh jawaban dari hal-hal yang menjadi persoalan tersebut. Dalam hal ini, hubungan antara karya sastra sebagai sesuatu yang seakan-akan otonom dan aspek sosiologis sebagai hal yang berada diluar otonomi karya sastra itu sendiri seakan mendapatkan pertautan yang membuat pengkajiannya tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, penelitian ini akan melibatkan aspek tekstual karya sastra dan hal-hal yang bersifat kontekstual seperti latar belakang sejarah dan sosial dari masyarakat tempat roman TSL diciptakan.

9 9 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa rumusan masalah muncul dalam penelitian ini. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur roman TSL karya Nathaniel Hawthorne? 2. Pandangan dunia seperti apa yang diekspresikan di dalam roman TSL? 3. Kelompok sosial apa yang memiliki pandangan dunia yang ada di dalam roman TSL? 1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Memaknai struktur dari roman TSL karya Nathaniel Hawthorne. 2. Mengetahui pandangan dunia yang diekspresikan dalam roman tersebut. 3. Mengungkapkan kelompok sosial yang memiliki pandangan dunia yang diekspresikan dalam roman tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian Selain beberapa tujuan yang telah diungkapkan sebelumnya, penelitian ini juga diproyeksikan untuk memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis di dalam

10 10 penelitian sastra, khususnya dalam bidang kajian sosiologi sastra. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat dalam menambahkan perbendaharaan penelitian berdasarkan teori yang akan digunakan sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini, yang sekaligus membuktikan signifikansi teori tersebut dalam kajian sastra. Sementara itu, secara praktis penelitian ini diharapkan menghasilkan sebuah model penelitian sastra dan dapat membantu memberikan rujukan bagi peneliti lain dalam menerapkan teori serupa. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat yang tertarik pada kajian-kajian sastra secara umum, dan sastra Inggris secara khusus, baik itu pengajar, mahasiswa, dan lain sebagainya. 1.5 Tinjauan Pustaka Sejauh penelusuran dan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, penulis tidak menemukan satu pun penelitian yang dilakukan terhadap roman TSL dengan latar belakang masalah serupa, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut peneliti berasumsi bahwa penelitian terhadap roman TSL yang terfokus pada pengkajian struktur karya yang dikorelasikan dengan pandangan dunia kelompok sosial pengarangnya belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa dikemudian hari asumsi tersebut dipertimbangkan kembali karena hal-hal tertentu, yang oleh karenanya tindakan-tindakan yang diperlukan bisa dilakukan terhadap penelitian ini.

11 11 Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan, ditemukan beberapa penelitian terhadap roman TSL, akan tetapi penelitian-penelitian tersebut tidak mengkaji permasalahan struktur karya dan pandangan dunia yang diekspresikannya. Penelitianpenelitian tersebut antara lain adalah Citra Wanita Dalam TSL: Sebuah Tinjauan Kritik Sastra Feminis (2005) oleh Stephani Johana Sigarlaki dan A Representative of The New Female Image-Analyzing Hester Prynne s Feminist Consciousness in TSL (2010) oleh Yamin Wang. Sebaliknya, ditemukan juga beberapa penelitian yang mengkaji permasalahan struktur karya dan pandangan dunia, akan tetapi kajiankajian tersebut dilakukan terhadap objek material lain. Penelitian-penelitian yang dimaksud antara lain adalah Spiritualitas Postmodern Dalam Novel Stardust Karya Neil Gaiman (Tinjauan Strukturalisme Genetik) (2013) oleh Rahmawati Azi dan Pandangan Dunia Ali Ahmad Bakatsir Dalam Novel Sallamah Al-Qas, Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldman (2012) oleh Lutfiyah Hakim. Penelitian pertama memfokuskan kajiannya mengenai citra wanita di dalam roman TSL yang memiliki latar belakang cerita dalam masyarakat Puritan (Sigarlaki, 2005). Di sini dibahas sekilas tentang nilai-nilai dan sejarah puritanisme di New England termasuk di dalamnya keberadaan wanita sebagai bagian dari masyarakat. Setelah membahas berbagai citra wanita di dalam karya ini, antara lain citra wanita selaku individu, citra wanita dalam area domestik, dan citra wanita dalam area publik, Sigarlaki berkesimpulan bahwa ada pergeseran citra wanita dari citra negatif menjadi citra positif jika merunut alur cerita sedari awal hingga bagian akhir. Citra wanita

12 12 yang digambarkan sebagai yang lemah dan inferior di awal cerita, pada akhirnya citra tersebut berubah menjadi citra wanita yang memiliki kepercayaan diri yang begitu besar sehingga wanita melakukan segala sesuatu berdasarkan keyakinannya. Sementara itu, penelitian berikutnya memfokuskan kajiannya tidak jauh berbeda dari apa yang dilakukan Sigarlaki, hanya saja penelitian lebih terfokus pada sosok karakter utama dalam roman TSL (Wang, 2010). Hasil dari penelitian ini menemukan sosok Hester Prynne sebagai tokoh wanita yang memiliki kesadaran feminis dan berani melawan aturan kolonial yang diberlakukan oleh gereja dan negara. Menurut Wang, hal tersebut membuat tokoh Hester berbeda dari citra wanita tradisional yang selalu patuh terhadap konstruksi yang diciptakan oleh kaum pria. Dalam hal ini ia menambahkan bahwa sosok ini sebagai citra wanita baru, yang mampu menampilkan citra wanita yang bisa disejajarkan dengan kaum pria. Terlepas dari signifikansi hasil yang diberikan oleh dua penelitian yang berlandaskan pendekatan feminis tersebut, peneliti tidak melihat suatu relevansi berkaitan dengan permasalahan penelitian yang sedang dikembangkan di sini. Jika ada, tentu saja bukan suatu hal yang bersifat menyeluruh dan identik. Di sisi lain, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, peneliti juga menemukan beberapa penelitian yang memiliki permasalahan penelitian seperti yang sedang dikembangkan di dalam penelitian ini, meskipun beberapa penelitian tersebut mengkaji objek material yang berbeda. Penelitian yang pertama terfokus dalam mengkaji sistem double coding yang ditemukan di dalam struktur objek material yang diteliti, yaitu novel Stardust karya

13 13 Neil Gaiman yang menurutnya berhubungan dengan kelompok sosial yang disebut dengan inklings dan mythopoeic society (Azi, 2013). Di dalam penelitian ini, dinyatakan bahwa sistem double coding ini berhomologi dengan pandangan dunia yang diekspresikan dalam karya yang ia teliti. Azi melihat sistem tersebut berupaya membenturkan komponen-komponen yang saling bertolak belakang, seperti transendensi Tuhan dan imanensi Tuhan, rasionalisme dan irasionalisme, nilai tukar dan nilai kemanusiaan, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, Azi menyimpulkan bahwa komponen-komponen tersebut digunakan untuk saling melengkapi, berkenaan dengan novel Stardust yang dikategorisasikan sebagai novel yang bergenre fantasi mythopoeic. Misi-misi fantasi mythopoeic ini dijelaskan sebagai usaha melepaskan diri dari paradigma materialis yang menjadi ciri faham modernisme, mengembalikan nilai-nilai tradisional, dan mengenali efek buruk yang disebabkan oleh modernisme. Dengan demikian, ada sebuah tendensi melalui karya ini untuk berkomitmen kepada kembalinya pesona dunia, beserta komitmen yang kuat terhadap pandangan dunia yang bersifat ekologis dan eukumenis yang berakar dari filsafat postmodernisme Whitehead. Pada akhirnya, ia berkesimpulan bahwa kemampuan para individu yang tergabung dalam kelompok sosial inklings dan mythopoeic society untuk mengenali lingkungannya dan usaha untuk mendeformasi sistem modernisme dinyatakan sebagai bentuk akomodasi dan strukturasi, yang mana strukturasi tersebut menjadi sruktur imajiner dalam novel Stardust.

14 14 Sementara itu, penelitian berikutnya memfokuskan kajiannya untuk mengungkapkan pandangan dunia novel Sallamah Al-Qas (1944) karya Ali Ahmad Bakatsir (Hakim, 2012). Di sini, ekspresi pandangan dunia tersebut dianalisis melalui struktur teks novel yang diteliti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Hakim menyimpulkan bahwa pandangan dunia yang terdapat dalam novel tersebut merupakan bentuk kesadaran dan ikhtiar manusia untuk mencari nilai-nilai yang lebih baik. Di sini, pandangan dunia yang dimaksud adalah faham Jabariyah yang terqadariyahkan, yang merupakan bentuk gabungan dari faham Jabariyah dan Qadariyah. Pandangan dunia ini menurut Hakim berupaya mengambil jalan tengah antara kedua faham tersebut untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, sehingga masing-masing kehidupan memiliki porsi yang seimbang. Selain itu, penelitian ini mendapatkan bahwa kelompok sosial yang mempengaruhi Bakatsir selaku pengarang adalah kelompok Hasan Al-Banna yang ada dan tengah berkembang pada masanya di tengah-tengah masyarakat. Kelompok tersebut terdiri dari para petani, pelajar, guru, dokter, insinyur, dan pengacara. Menurut Hakim, kelompok ini ingin membuka pandangan khalayak (khususnya umat Islam) mengenai kesatuan umat Islam dan menghindari perdebatan yang sia-sia antara sesama umat. Hal tersebut dikhawatirkan dapat mengakibatkan perpecahan antara sesama saudara dan golongan. Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan terhadap dua penelitian yang dilakukan oleh Azi (2013) dan Hakim (2012) tersebut, peneliti mendapatkan beberapa

15 15 relevansi dengan permasalahan penelitian yang tengah dikembangkan. Hal pertama yang menjadi pertimbangan adalah struktur karya dan pandangan dunia yang juga menjadi permasalahan di dalam dua penelitian tersebut. Oleh karena itu, peneliti berasumsi bahwa dalam hal ini Azi dan Hakim juga tengah menghadapi persoalan yang sama dengan apa yang tengah dihadapi peneliti dalam penelitian ini, walaupun permasalahan penelitian ini ditemukan dalam objek material yang berbeda. Hal yang kedua adalah mengenai teori yang dipakai oleh Azi dan Hakim dalam mengkaji permasalahan penelitian yang mereka hadapi. Secara praktis keduanya menggunakan teori yang digagas oleh Lucien Goldman, yaitu strukturalisme genetik sebagai landasan berpikir guna menemukan jawaban atas persoalan penelitian yang dihadapi. Dengan begitu, keduanya mampu mengungkapkan jawaban-jawaban atas masalah-masalah yang dikaji pada masingmasing penelitian. Dalam hal ini, peneliti melihat sebuah implikasi dan signifikansi dari teori tersebut dalam mengkaji persoalan-persoalan serupa, khususnya permasalahan penelitian yang sedang dihadapi dan dikembangkan. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk menggunakan teori strukturalisme genetik seperti yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dalam mengkaji persoalan yang ada dalam penelitian ini. 1.6 Landasan Teori Dari berbagai tinjauan pustaka yang telah dilakukan terkait dengan penelitian ini, telah diputuskan bahwa strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh sosiolog

16 16 Perancis Lucien Goldman merupakan sebuah teori yang relevan untuk menunjang landasan berpikir guna memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah dijabarkan sebelumnya. Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui bahwa Lucien Goldman merupakan salah satu penggagas teori sosial sastra yang berhasil menggabungkan model pendekatan strukturalisme dan gagasan teori sosial sastra Marxis yang disebut sebagai Strukturalisme Genetik (Faruk, 2012: 159). Teori ini ia kembangkan berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap karya-karya filsafat Pascal, drama-drama Racine, dan novel-novel Malraux. Selajutnya, dijelaskan juga bahwa layaknya strukturalisme, strukturalisme genetik juga memandang karya sastra sebagai sebuah struktur (Faruk, 2012: 159). Akan tetapi, teori ini melihat segala aktivitas dan hasil aktivitas manusia tidak hanya mempunyai struktur, tetapi juga memiliki arti. Maka menurut strukturalisme genetik, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berporos pada perolehan pegetahuan mengenai strukturnya, akan tetapi juga harus dilanjutkan hingga mencapai pengetahuan mengenai artinya. Usaha-usaha untuk memahami arti dari struktur itu berarti usaha dalam menemukan alasan atau faktor-faktor yang membentuk struktur yang sedemikian rupa, dan hal tersebut dapat ditemukan dengan mendapatkan informasi-informasi yang ada di luar karya sastra itu sendiri. Oleh karenanya, secara spesifik genetik dalam hal ini berarti karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya dari latar belakang sosial tertentu. Dengan demikian gagasan strukturalis Goldman (Teeuw, 2003: 127) disebut sebagai strukturalisme genetik,

17 17 yang menerangkan karya sastra dari pengertian homologi, yaitu persesuaiannya dengan struktur sosial. Di dalam gagasannya, Goldman menyatakan bahwa makna dari struktur yang tercipta di dalam suatu karya sastra mewakili pandangan dunia (vision du monde) sang pengarangnya, yang posisinya bukan sebagai individu, melainkan sebagai wakil golongan atau kelompok sosial masyarakatnya. Menurut Goldman, sosiologi sastra Marxis menyadari bahwa fenomena yang menjadi fakta sosial akan terekspresi dalam karya sastra melalui relasi kesadaran kolektif yang dimiliki pengarang dari golongan masyarakatnya (Anwar, 2010: ). Dengan kata lain, pengarang sebuah karya sastra dinilai dapat menghasilkan suatu karya sastra karena terdapat faktor-faktor sosial yang melatar belakanginya. Menurut Goldman, karya sastra dinilai sebagai genetika sosial, yang berarti setiap karya sastra diproduksi secara genetik melalui mediasi berdasarkan pandangan dunia dan struktur mental-historis suatu kelompok sosial, atau lingkungan pengarangnya. Berkaitan dengan hal tersebut, strukturalisme genetik memiliki beberapa konsep penting, berkaitan dengan kajian sastra yang dikembangkan oleh Goldman. Konsep-konsep tersebut adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, dan struktur karya sastra Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan Berkaitan dengan penjelasan yang telah diawali sebelumnya, secara ontologis, strukturalisme genetik memandang karya sastra sebagai sebuah fakta kemanusiaan

18 18 dan bukan fakta ilmiah (Faruk, 2012: 160). Dalam hal ini, jika fakta ilmiah cukup dipahami hanya sampai pada batas strukturnya saja, untuk memahami fakta kemanusiaan, harus sampai pada batas artinya. Adapun definisi dari fakta kemanusiaan telah dikutip sebagai berikut: Adapun yang dimaksudkan dengan fakta tersebut adalah segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu seperti sumbangan bencana alam, aktivitas politik tertentu seperti Pemilu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra (Faruk, 2012: 57). Namun, pada dasarnya sebuah karya sastra sebagai salah satu bentuk dari fakta kemanusiaan tidaklah diciptakan begitu saja, akan tetapi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia yang menciptakannya. Hal tersebut dapat diselaraskan dengan pernyataan berikut ini: Genetic structuralism sets out from the hypothesis that all human behavior is an attempt to give a meaningful response to a particular situation and tends, therefore, to create a balance between the subject of action and the object on which it bears, the environment. [Strukturalisme genetik berangkat dari hipotesis bahwa setiap perilaku manusia merupakan sebuah upaya untuk memberikan respons bermakna untuk situasi dan kecenderungan tertentu, yang dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara subjek pelaku dan obyek yang ditujunya, yaitu lingkungan] (Goldman, 1975: 156).

19 19 Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa teori ini menjelaskan setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia (fakta kemanusiaan) merupakan suatu respons terhadap situasi atau kecenderungan tertentu di dalam lingkungan sosialnya, baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan manusiawinya. Tindakan-tindakan yang berupa fakta kemanusiaan (penulisan karya sastra) ini dilakukan untuk menyeimbangkan posisi antara pelaku tindakan sebagai subjek dan lingkungan sebagai objeknya. Berkaitan dengan penelitian yang tengah dikembangkan di sini, dapat dipahami bahwasanya TSL merupakan fakta kemanusiaan sebagai bagian kreasi kultural, yaitu seni sastra. Selain itu, dimungkinkan pula bahwa penulisan roman merupakan upaya untuk menyeimbangkan posisi Hawthorne dan lingkungan sosialnya. Di sini, ditekankan pula bahwa penyesuaian lingkungan sekitar dengan skema fikiran manusia yang biasa disebut dengan asimilasi, bisa mempengaruhi proses tersebut. Namun, jika lingkungan tersebut menolak atau tidak dapat disesuaikan dengan skema fikiran manusia itu sendiri, manusia akan menempuh jalan yang sebaliknya, yaitu menyesuaikan skema fikirannya dengan lingkungan sekitarnya yang disebut dengan akomodasi (Faruk, 2012: 58-62). Kedua proses tersebut merupakan faktor penting yang dinyatakan dalam teori strukturalisme genetik tentang konsep fakta kemanusiaan, dan menegaskan bahwa manusia memang selalu berusaha membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, penciptaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan (secara khusus roman TSL) tidak akan terlepas dari kedua proses tersebut.

20 Karya Sastra dan Subjek Kolektif Dalam hal ini, strukturalisme genetik membedakan tindakan individual dan tindakan kolektif berkenaan dengan usaha manusia dalam membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Perbedaan tersebut sesuai dengan perbedaan jenis fakta kemanusiaan, seperti yang telah dikutip berikut ini: Tindakan individual dimaksudkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan individual yang cenderung libidinal, sedangkan tindakan kolektif diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kolektif yang bersifat sosial. Subjek tindakan libidinal adalah individu, sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial (Faruk, 2012: 161). Berdasarkan kutipan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa subjek individual adalah subjek fakta individual, sementara subjek kolektif adalah subjek fakta sosial. Berkenaan dengan hal ini, revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar merupakan fakta sosial. Menurut Goldman, yang dapat menciptakan hal-hal tersebut hanya subjek trans-individual (inter-human relation) (Faruk, 2012: 63). Dalam hal ini, subjek trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang independen, melainkan suatu hubungan jaringan inter-individual yang kompleks, yang pada akhirnya membentuk suatu keunikan (yang membedakannya dengan jaringan kolektifitas lain) dengan tindakan-tindakan yang dilakukan atas dasar kesadaran (Goldman, 1975:

21 21 158). Subjek yang demikianlah yang menurut Goldman juga merupakan subjek karya sastra yang besar, sebab karya sastra semacam itu merupakan hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia (Faruk, 2012: 63). Goldman juga menyatakan bahwa karya sastra yang besar mengangkat hal-hal mengenai alam semesta beserta hukum-hukumnya, juga persoalan-persoalan yang tumbuh darinya. Selain itu, pada level historis (terkait dengan karya sastra sebagai produk masa lalu) hanya subjek kolektif yang mampu menjabarkan rangkaian fenomena masa lalu, guna mempertalikan antara teks dengan entitas yang lebih besar (bagian-keseluruhan), yaitu aspek sosio-kulturalnya (Goldmann, 1977: 106). Dalam perkembangannya, subjek kolektif atau trans-individual ini secara spesifik dinyatakan dalam dua kategori yang berbeda. Kategori pertama adalah subjek kolektif yang dipandang sebagai kelas sosial oleh Goldmann, sebagaimana konsep yang ada dalam marxisme. Sebab, bagi Goldmann kelompok itulah yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia sebagaimana yang terbukti dari perkembangan tata kehidupan masyarakat primitif yang komunal ke masyarakat yang feudal, kapitalis, dan kemudian sosialis (Faruk, 2012: 63-64). Oleh karena itu karya-karya sastra yang besar merupakan tindakan yang bukan hanya subjek kolektif, melainkan kelas sosial. Akan tetapi, berikutnya Goldmann memberikan sebuah persepsi lain dari apa yang disebut sebagai subjek kolektif sebagai kategori yang kedua. Jika sebelumnya ia

22 22 memandang subjek kolektif sebagai kelas sosial, dalam penelitiannya terhadap novelnovel Malraux ia memandang subjek kolektif hanya sebagai kelompok menengah yang berada di luar kelas sosial (Faruk, 2012: 95). Menurut Goldmann, teori yang bersifat marxistis tidak lagi mampu memahami fenomena sastra yang tercipta melalui karya-karya Malraux. Hal tersebut terjadi karena telah terintegrasinya kelas sosial yang satu dengan sistem ekonomi dan sosial kelas sosial lainnya, yaitu kaum proletar kedalam sistem kaum borjuis. Oleh karenanya, Goldmann mengklasifikasikan kelompok menengah tersebut sebagai berikut: These individuals include, above all, the creators, writers, artists, philosophers, theologians, men of action, etc., whose thought and behavior are governed above all by the quality of their work. [Para individu ini mencakup, para kalangan pencipta, penulis, seniman, filsuf, teolog, aktivis, dll., yang setiap pemikiran dan aksinya ditentukan oleh kualitas pekerjaan mereka.] (Goldmann, 1975: 11-12). Menurut Goldmann, subjek karya sastra tertentu tidak bersumber dari kelas sosial marxis, melainkan dari kelompok sosial yang lebih khusus dan berfikir dalam kerangka nilai otentik demi mementingkan kualitas karya yang mereka ciptakan. Subjek-subjek yang dimaksud antara lain adalah para penulis, seniman, filsuf, teolog, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam kerangka berfikir yang dikembangkan oleh Goldmann, subjek kolektif yang ada di dalam konsep strukturalisme genetik adalah dua kategori. Kategori pertama adalah subjek kolektif berdasarkan kelas sosial, dan kategori yang kedua adalah kelompok sosial khusus yang bukan berdasarkan kelas

23 23 sosial, akan tetapi kelompok yang lebih kecil seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Berkaitan dengan roman TSL, posisi Hawthorne sebagai bagian dari subjek kolektif dapat teridentifikasi berdasarkan salah satu dari dua kategori tersebut Karya Sastra dan Pandangan Dunia Sebagai hasil dari tindakan kolektif yang telah dijelaskan sebelumnya, tentu saja karya sastra mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan subjek kolektif yang bersangkutan, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang terjalin dari hubungan antara kelas sosial atau kelompok sosial tertentu dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai kelompok manusia yang mempunyai latar belakang yang sama, anggota-anggota dari suatu subjek kolektif memiliki pengalaman dan cara pemahaman yang sama mengenai lingkungan sekitarnya dan sekaligus cara-cara pembangunan keseimbangan dalam hubungan dengan lingkungan tersebut (Faruk, 2012: 162). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Goldmann juga menyatakan bahwa cara pemahaman dan pengalaman yang sama itu akan menjadi pengikat yang mempersatukan para anggota itu menjadi suatu kelompok yang sama dan sekaligus membedakan mereka dari kelompok sosial yang lain. Pemahaman dan pengalaman seperti itulah yang disebut sebagai pandangan dunia oleh teori strukturalisme genetik. Dalam pengertian strukturalisme genetik (Faruk, 2012: 163), pandangan dunia merupakan skema ideologis yang menentukan struktur atau menstrukturasikan bangunan dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang mengekspresikannya.

24 24 Bersamaan dengan teori di atas, Goldman percaya pada keberadaan homologi (kesamaan asal-usul) antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, karena keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Hal tersebut dinyatakan dalam kutipan berikut: Genetic structuralism has represented a total change of orientation its basic hypothesis being precisely that the collective character of literary creation derives from the fact that the structures of the world of the work are homologous with the mental structures of certain social groups or is in intelligible relation with them. [Strukturalisme genetik telah memberikan perubahan orientasi secara total - hipotesis dasarnya tepat, bahwa karakter kolektif dari penciptaan sastra berasal dari fakta bahwa struktur dunia sebuah karya bersifat homolog dengan struktur mental kelompok sosial tertentu atau memiliki kaitan yang jelas dengannya] (Goldmann, 1975: 159) Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bagaimana Goldmann memandang struktur dunia di dalam karya sastra demikian berhomologi atau dapat dimengerti berdasarkan struktur mental dari kelompok sosial tertentu. Sebab hanya dengan konsep homologi itu hubungan antara bangunan dunia imajiner dalam karya sastra di satu pihak dan bangunan dunia nyata di lain pihak dapat ditemukan dan dipahami (Faruk, 2012: 64-65). Homologi atau kesejajaran struktural antara karya sastra dan masyarakat menurut strukturalisme genetik tidaklah bersifat langsung. Homologi di sini tidak secara serta merta disejajarkan dengan struktur masyarakat tertentu, akan tetapi disejajarkan dengan pandangan dunia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Pada akhirnya, pandangan dunia itulah yang akan menghubungkan dengan struktur masyarakatnya.

25 25 Hal tersebut dapat terjadi karena pada dasarnya kategori mental yang ada di dalam suatu kelompok adalah berupa tendensi-tendensi yang mampu dipertalikan satu sama lain (Goldmann, 1975: 160). Hal inilah yang kemudian menciptakan sebuah world-view atau pandangan dunia. Sementara itu, definisi mengenai pandangan dunia itu sendiri telah dikutip sebagai berikut: Adapun yang dimaksud dengan pandangan dunia itu sendiri (Goldman, 1977: 17), tidak lain dari pada kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain (Faruk, 2012: 65-66). Oleh karena itu, bagi strukturalisme genetik, pandangan dunia tidak hanya sekumpulan gagasan-gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia dan lingkungan tempat manusia itu berada, melainkan juga merupakan semacam cara pandang yang dapat mempersatukan anggota satu kelas dengan anggota yang lain dalam kelas yang sama, dan membedakannya dari anggota-anggota dari kelas sosial yang lain. Dalam pandangan strukturalisme genetik, hubungan antara karya sastra dengan struktur dasarnya tidaklah langsung, melainkan secara tidak langsung, yaitu melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis (Faruk, 2012: 163). Di sini karya sastra tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai perjuangan kelompok, melainkan mengekspresikan suatu pandangan dunia yang strukturnya homolog dengan struktur kehidupan manusia dalam kelompok sosial tertentu. Pada dasarnya,

26 26 tidak semua individu anggota di kelompok sosial tertentu menyadari pandangan dunia mereka sendiri. Hanyalah individu tertentu yang mampu menyadari hal itu, sebagai contoh adalah para sastrawan yang besar. Hal tersebut dinyatakan dalam kutipan berikut: The great writer (or artist) is precisely the exceptional individual who succeeds in creating in a given domain, that of the literary (or pictorial, conceptual, musical, etc.) work, an imaginary, coherent, or almost strictly coherent world, whose structure corresponds to that towards which the whole of the group is tending;. [Penulis besar (atau seniman) merupakan individu luar biasa yang berhasil mencipta dalam ranah yang dimiliki, bahwa dari karya sastra (atau lukis, konseptual, musik, dsb.), sesuatu yang imajiner, adalah dunia yang koheren, atau hampir sangat koheren, yang mana strukturnya sesuai dengan arah kecenderungan kelompok ini secara keseluruhan;.] (Goldmann, 1075: 160). Di sini Goldmann menekankan bahwa karya-karya penulis besar berhasil menangkap dan mengekspresikan pandangan dunia kelas sosialnya secara koheren atau setidaknya hampir sampai pada titik koheren, di mana struktur yang dimunculkan berkaitan dengan kecenderungan kelompoknya secara keseluruhan (kesadaran kolektif). Pada akhirnya, hal inilah yang akan memperlihatkan salah satu elemen terpenting dari kesadaran kolektif yang dimunculkan dalam karya-karya besar tersebut, yaitu memicu kesadaran dari para anggota kelompok sosial sang penulis tentang apa yang mereka fikirkan, rasakan, dan lakukan selama ini, yang mana halhal tersebut tidak mereka sadari signifikansinya dalam kehidupan mereka sebelumnya. Di dalam penelitian ini, konsep inilah yang menjadi salah satu fokus

27 27 kajian, yang pada gilirannya akan memunculkan pertautan roman TSL dengan konteks sosio-kulturalnya Konsep Struktur Karya Sastra dalam Strukturalisme Genetik Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, strukturalisme genetik merupakan gabungan antara strukturalisme dan marxisme. Oleh karena itu, tentu saja strukturalisme genetik mengakui keberadaan karya sastra sebagai suatu struktur sehingga perlu dipahami secara struktural. Akan tetapi, konsep strukturalisme genetik mengenai struktur karya sastra cenderung bersifat semantik (Faruk, 2012: 164). Selanjutnya, Faruk juga menyatakan bahwa konsep strukturalisme yang dekat dengan strukturalisme genetik adalah strukturalisme Claude Levi Strauss. Dalam hal ini, strukturalisme Strauss ini berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi berpasangan. Menurut Faruk, Strauss melihat bangunan dunia sosial dan kultural manusia sebagai sesuatu yang distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, yang terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara pasangan yang beroposisi itu, dimungkinkan pula adanya satuan-antara yang berada di antara keduanya, yang bukan satuan yang satu, misalnya A, dan bukan pula satuan yang lain, misalnya B. Satuan yang demikian disebut satuan A dan B sekaligus (Faruk, 2012: 164). Berdasarkan penjelasan tersebut, di sini manusia berada antara posisi menolak dan menerima dunia sekaligus, yang menurut strukturalisme genetik struktur seperti itu mengekspresikan pandangan dunia tragis yang berfikir secara

28 28 dialektik, yaitu seni berfikir secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan sintesis. Dikarenakan konsep struktur sosial strukturalisme genetik ini didasarkan pada teori sosial marxis, maka atas dasar teori sosial itu pula tampak jelas bahwa dunia sosial dalam hal ini dipahami sebagai struktur yang terbangun atas dasar dua kelas sosial yang saling bertentangan. Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya dominasi dari satu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu bahkan dipelihara dan dipertahankan, juga diperkuat dengan menggunakan berbagai kekuatan ideologis yang beroperasi dalam berbagai lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat, termasuk karya sastra (Faruk, 2012: 165). Akan tetapi, akhirnya dominasi tersebut tidak akan bisa menghilangkan peluang untuk terjadinya perubahan sosial, karena pada dasarnya kelas-kelas yang dikuasainya juga akan tetap berusaha melawan dan mengambil alih kekuasaan dari kelas yang berkuasa tersebut. Hal itu juga bahkan dapat menciptakan suatu struktur sosial yang baru sesuai dengan lingkungannya yang baru pula. Jika dikorelasikan dalam konteks karya sastra atau roman TSL pada khususnya, struktur bangunan imajiner sebuah novel atau roman tidak akan terlepas dari sudut pandang pengarangnya dalam menciptakan problematika yang dihadapi oleh masing-masing tokoh yang ada di dalamnya. Besar kemungkinan masalah yang dialami satu tokoh disebabkan oleh eksistensi tokoh lainnya, karena the novel is the story of a degraded search, a search for authentic values in a world itself degraded

29 29 [Novel merupakan bentuk penceritaan tentang pencarian yang terdegradasi untuk menemukan nilai-nilai yang otentik di dalam dunia yang dengan sendirinya-pun terdegradasi] (Goldmann, 1975: 1). Selain itu, Goldmann juga menyatakan bahwa sebuah ciri penting karya sastra novel adalah keberadaan hero problematik di dalamnya. Dalam hal ini, bisa disimpulkan bahwa hero tersebutlah yang diceritakan tengah melakukan pencarian akan nilai-nilai otentik yang dimaksud. Hal ini menegaskan bahwa hero atau tokoh utama dalam sebuah cerita mengalami suatu problema karena berusaha memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap ideal, dan oleh karenanya harus mengahadapi tokoh-tokoh lain sebagai perwujudan kelompok sosial lainnya. Sejauh ini dapat disimpulkan bahwa perjuangan tokoh utama dapat dikatakan sebagai sebuah manifestasi dari perjuangan subjek kolektif atau kelompok sosial pengarang sebuah novel. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, diharapkan teori strukturalisme genetik ini mampu menunjang penelitian yang tengah dikembangkan di sini. Sama halnya dengan konsep-konsep yang telah diuraikan sebelumnya, seperti konsep fakta kemanusiaan di mana karya sastra termasuk di dalamnya, sosok pengarang sebagai subjek kolektif, pandangan dunia yang terkandung di dalam karya sastra yang besar, dan struktur karya sastra sebagai manifestasi dari kelompok sosial diyakini mampu dijadikan landasan berfikir untuk menjawab persoalan-persoalan penelitian yang sedang dihadapi. Oleh karena itu, langkah berikutnya adalah menyesuaikan kerangka

30 30 berfikir tersebut dengan dasar-dasar epistemologis dari teori strukturalisme genetik itu sendiri dalam format metode penelitian. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kajian pustaka di mana sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah roman TSL karya Nathaniel Hawthorne. Beberapa referensi dan buku yang relevan dengan analisis penelitian juga dipakai dan sangat membantu dalam penelitian ini. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik, maka sesuai dengan teori tersebut, penelitian ini difokuskan pada asal-usul terciptanya struktur dari karya sastra yang dikaji, yaitu pertautan antara struktur karya, pandangan dunia yang diekspresikan, dan kelompok sosial pemilik pandangan dunia yang dimaksud. Pada dasarnya, di dalam teori ini secara khusus kemudian Goldman mengembangkan sebuah metode yang disebutkannya sebagai metode dialektik. Menurut Goldmann, metode dialektik adalah metode yang paling efektif untuk memahami fenomena yang kompleks seperti filsafat dan karya sastra masa lalu (Cohen, 1994: 117). Dalam hal ini, metode dialektik memperhatikan teks sastra bersamaan dengan koherensi kulturalnya. Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi tersebut adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan (Goldman, 1977: 7 dalam Faruk, 2012: 77). Oleh karenanya, metode dialektik mengembangkan dua

31 31 pasang konsep, yaitu keseluruhan-bagian dan pemahaman-penjelasan. Dalam hal ini, karya sastra harus dipahami sebagai suatu struktur yang menyeluruh. Pemahaman sastra sebagai struktur menyeluruh akan mengarahkan pada penjelasan hubungan sastra dengan sosio-budaya sehingga karya sastra memiliki arti. Sementara teks sastra itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Pada dasarnya setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu (Faruk, 2012: 77). Oleh karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak melingkar secara terus menerus. Mengenai konsep pemahaman-penjelasan, telah dikutip pernyataan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari (Goldman, 1970: 589), sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Goldman, 1970: 590). Dengan kata lain, pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar (Faruk, 2012: 78-79).

32 32 Oleh karena itu, Metode ini sebenarnya tidak hanya berlaku dalam analisis teks sastra, tetapi juga struktur yang menempatkan teks sastra sebagai bagian, yaitu struktur sosial. Lebih jauh lagi, pemahaman dan penjelasan bukanlah dua proses intelektual yang berbeda, akan tetapi proses yang secara bersamaan diaplikasikan terhadap dua kerangka referensi yang berbeda (Goldmann, 1975: 163). Artinya, hasil dari analisis terhadap struktur karya tertentu (katakanlah roman The Scarlet Letter) akan sangat membantu dalam memahami pandangan dunia yang diekspresikan di dalam karya tersebut, selain itu hasil dari pemahaman terhadap pandangan dunia tersebut dapat membantu menjelaskan terbentuknya struktur di dalam karya tersebut. Berikutnya, hasil dari pemahaman terhadap pandangan dunia akan membantu dalam memahami kelompok sosial pengarang yang memiliki pandangan dunia tersebut (dalam hal ini kelompok sosial Nathaniel Hawthorne menjadi fokus kajian), selain itu dari pemahaman terhadap kelompok sosial tersebut dapat juga membantu dalam menjelaskan terbentuknya pandangan dunia yang dimaksud di dalam karya sastra Sumber Data Adapun sumber data utama penelitian ini adalah teks roman TSL karya Nathaniel Hawthorne. Data utama tersebut meliputi; teks roman TSL yang menggambarkan hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain maupun hubungan antara tokoh dengan lingkungan sekitarnya sehingga terlihat problematika

33 33 yang dihadapi oleh masing-masing tokoh. Selain sumber data utama tersebut, penelitian ini juga didukung oleh data sekunder yang berupa sumber tertulis yang mendeskripsikan latar kehidupan sosial pengarang dan peristiwa-peristiwa sosial di Amerika yang menghasilkan karya tersebut. Data-data tersebut mencakup aspek kehidupan sosial pengarang Nathaniel Hawthorne yang berhubungan dengan karya ini, juga latar belakang sejarah atau peristiwa sosial yang mengkondisikan terciptanya karya, dan juga pandangan Hawthorne tentang masyarakatnya Teknik Analisis Data Teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar serupa itu berlangsung sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan dengan cara menentukan: sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh, daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang tidak diperlengkapi dalam model semula, frekuensi elemen-elemen dan hubunganhubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah dicek tersebut (Goldman, 1970: dalam Faruk, 2012: 79). Secara garis besar, teknik tersebut dijabarkan sebagai berikut; pertama-tama, penelitian ini menggunakan teknik menelaah satuan-satuan linguistik yang signifikan yang ada dalam teks karya sastra yang menjadi sumbernya atas dasar konsep-konsep

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai monolog Marsinah Menggugat sudah dilakukan sebelumnya oleh peneliti terdahulu. Penelitian terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Victorian, kehidupan governess menjadi salah satu bagian

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Victorian, kehidupan governess menjadi salah satu bagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada zaman Victorian, kehidupan governess menjadi salah satu bagian dari kehidupan masyarakat. Governess adalah sebuah profesi yang biasanya dikerjakan oleh wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi penelitian, maka harus memiliki konsep-konsep yang jelas.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Kajian pustaka dilakukan untuk mengetahui penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan novel PJ karya Okky Madasari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial secara ekonomis. Sastra merupakan institusi sosial yang secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. sosial secara ekonomis. Sastra merupakan institusi sosial yang secara langsung BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Sastra dapat ditempatkan sebagai salah satu superstruktur yang menjadi kekuatan reproduktif dari struktur sosial yang berdasarkan pembagian dan relasi sosial

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tak akan pernah lepas dari pengaruh realitas kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tak akan pernah lepas dari pengaruh realitas kehidupan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra tak akan pernah lepas dari pengaruh realitas kehidupan yang mengitarinya. Karya sastra seolah menjadi saksi situasi kehidupan dimana dan kapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. beberapa penulis dalam meneliti atau mengkaji karya sastra. Beberapa diantaranya adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. beberapa penulis dalam meneliti atau mengkaji karya sastra. Beberapa diantaranya adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan temuan penulis, teori struktural genetik ini, sudah digunakan oleh beberapa penulis dalam meneliti atau mengkaji karya

Lebih terperinci

BAB II RIWAYAT HIDUP PENGARANG DAN SYNOPSIS NOVEL THE SCARLET LETTER. pertama menjelaskan tentang riwayat hidup Nathaniel Hawthorne.

BAB II RIWAYAT HIDUP PENGARANG DAN SYNOPSIS NOVEL THE SCARLET LETTER. pertama menjelaskan tentang riwayat hidup Nathaniel Hawthorne. BAB II RIWAYAT HIDUP PENGARANG DAN SYNOPSIS NOVEL THE SCARLET LETTER Pada bab ini penulis sengaja mengetengahkan tentang dua bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang riwayat hidup Nathaniel Hawthorne.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 2.1.1 Sastra Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, kreasi bukan sebuah imitasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyaluran karyanya untuk mengkritisi kehidupan sosial masyarakat. Pertentangan

BAB I PENDAHULUAN. penyaluran karyanya untuk mengkritisi kehidupan sosial masyarakat. Pertentangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesastraan Mesir modern mengangkat tema-tema tentang perjuangan, liberalisasi, emansipasi, revolusi, pemberontakan, maupun tentang keterasingan, dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreatif penulis yang berisi potret kehidupan manusia yang dituangkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dinikmati,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastra adalah produk kebudayaan (karya seni) yang lahir di tengah-tengah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastra adalah produk kebudayaan (karya seni) yang lahir di tengah-tengah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah produk kebudayaan (karya seni) yang lahir di tengah-tengah masyarakat dan pengarang sebagai pencipta karya sastra merupakan bagian dari masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika keindahan, dalam karya sastra itu sendiri banyak mengankat atau menceritakan suatu realitas yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya sebuah karya sastra tentu tidak akan terlepas dari kehidupan pengarang baik karya sastra yang berbentuk novel, cerpen, drama, maupun puisi. Latar belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA

ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA Skripsi ini Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Strata 1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext).

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra adalah sebuah karya imajiner yang bermedia bahasa dan memiliki nilai estetis. Karya sastra juga merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyair berkebangsaan Indonesia. Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas

BAB I PENDAHULUAN. penyair berkebangsaan Indonesia. Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta, 20 Maret 1940, adalah seorang penyair berkebangsaan Indonesia. Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya mencipta suatu

BAB I PENDAHULUAN. tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya mencipta suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah suatu tulisan yang memiliki keindahan yang luar biasa karena menggambarkan tentang kehidupan. Seseorang yang berjiwa sastra akan menghasilkan suatu karya

Lebih terperinci

SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI PENDEKATAN DALAM PENELITIAN SASTRA (Metode Penelitian Sastra)

SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI PENDEKATAN DALAM PENELITIAN SASTRA (Metode Penelitian Sastra) SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI PENDEKATAN DALAM PENELITIAN SASTRA (Metode Penelitian Sastra) A. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan pencerminan masyarakat, melalui karya sastra, seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dari perubahan sosial yang melatarbelakanginya (Ratna, 2007: 81). Hal

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dari perubahan sosial yang melatarbelakanginya (Ratna, 2007: 81). Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah sistem semiotik terbuka, karya dengan demikian tidak memiliki kualitas estetis intrinsik secara tetap, melainkan selalu berubah tergantung dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam berekspresi dapat diwujudkan dengan berbagai macam cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan sebuah karya sastra baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Damono (1979: 1), sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Damono (1979: 1), sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Damono (1979: 1), sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dengan demikian, apabila dunia

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Lombok adalah salah satu pulau kecil di provinsi Nusa Tenggara. Barat. Pulau Lombok juga dijuluki dengan pulau seribu masjid.

BAB I PENGANTAR. Lombok adalah salah satu pulau kecil di provinsi Nusa Tenggara. Barat. Pulau Lombok juga dijuluki dengan pulau seribu masjid. BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Lombok adalah salah satu pulau kecil di provinsi Nusa Tenggara Barat. Pulau Lombok juga dijuluki dengan pulau seribu masjid. Julukan tersebut melekat karena mayoritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam memaparkan berbagai permasalahan-permasalahan dan kejadian-kejadian dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang dapat dituangkan melalui ekspresi yang berupa tulisan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Selain itu sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipahami anak. Sastra anak secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan

BAB I PENDAHULUAN. dipahami anak. Sastra anak secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra anak adalah karya sastra yang dari segi isi dan bahasa sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan emosional anak. Bahasa yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. masyarakat Eropa pada umumnya. Semangat revolusi Perancis sangat

BAB IV PENUTUP. masyarakat Eropa pada umumnya. Semangat revolusi Perancis sangat 119 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Didasarkan pada apa yang sudah ditanyakan pada penelitian ini sebagai rumusan masalah dan dibahas pada bab II dan III dapat ditarik kesimpulan bahwa revolusi perancis

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 9 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1 (hlm. 6), kehidupan masyarakat dapat mengilhami sastrawan dalam melahirkan sebuah karya. Dengan demikian, karya sastra dapat menampilkan gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup kepemilikan manusia atas

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan aspek penting dalam penelitian. Konsep berfungsi untuk menghindari kegiatan penelitian dari subjektifitas peneliti serta mengendalikan

Lebih terperinci

2014 ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK TERHADAP NILAI-NILAI EKSISTENSIALISME DALAM NASKAH TEATER HUIS CLOS KARYA JEAN-PAUL SARTRE

2014 ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK TERHADAP NILAI-NILAI EKSISTENSIALISME DALAM NASKAH TEATER HUIS CLOS KARYA JEAN-PAUL SARTRE 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Karya sastra tidak luput dari pandangan pengarang terhadap kondisi yang terjadi di lingkungannya, seperti sejarah, budaya, agama, filsafat, politik dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mempelajari bidang sastra tidak terlepas dengan kajian-kajian serta peroses terbentuknya suatu karya sastra. Karya sastra yang dikaji biasanya berkaitan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia memang tidak luput dari masalah. Permasalahan tersebut meliputi masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dan sesama, interaksinya dengan diri

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang dipakai di dalamnya. Istilah-istilah tersebut merupakan konsep

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang dipakai di dalamnya. Istilah-istilah tersebut merupakan konsep BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penelitian membutuhkan pemahaman yang memadai mengenai istilahistilah yang dipakai di dalamnya. Istilah-istilah tersebut merupakan konsep

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep. 1. Pengertian Novel. Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa karya sastra mencatat kenyataan sosial budaya suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mengarang suatu novel, seorang pengarang menggunakan pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mengarang suatu novel, seorang pengarang menggunakan pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mengarang suatu novel, seorang pengarang menggunakan pengalaman sosialnya dalam karya yang akan dibuat. Secara umum dapat digambarkan bahwa seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah hasil ciptaan manusia yang mengandung nilai keindahan yang estetik. Sebuah karya sastra menjadi cermin kehidupan yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diciptakannya kedua maklhuk di dunia ini. Proses penciptaan itu pun dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. diciptakannya kedua maklhuk di dunia ini. Proses penciptaan itu pun dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polarisasi laki-laki dan perempuan dengan sendirinya sudah ada sejak diciptakannya kedua maklhuk di dunia ini. Proses penciptaan itu pun dilakukan melalui sabda

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian yang pernah menganalisis tokoh utama

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI. peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian yang pernah menganalisis tokoh utama BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang tokoh utama dalam novel tentu sudah banyak diteliti. Berikut ini peneliti memaparkan mengenai penelitian-penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu benda budaya yang dapat ditinjau dan ditelaah dari berbagai sudut. Teks-teks sastra bersifat multitafsir atau multiinterpretasi. Isi,

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan seseorang, antarmanusia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penelitian tentang kajian struktural-genetik belum ada yang meneliti di Kampus

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penelitian tentang kajian struktural-genetik belum ada yang meneliti di Kampus BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang kajian struktural-genetik belum ada yang meneliti di Kampus Universitas Negeri Gorontalo, khususnya pada Jurusan Bahasa dan

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang mengamati realitas. Pernyataan ini pernah

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang mengamati realitas. Pernyataan ini pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra, dalam hal ini novel, ditulis berdasarkan kekayaan pengalaman pengarang mengamati realitas. Pernyataan ini pernah diungkapkan oleh Teeuw (1981:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian adalah metode deskriptif. Menurut Arikunto (2007: 234) penelitian deskriptif merupakan penelitian

Lebih terperinci

dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terba

dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terba BAB V KESIMPULAN Seni rupa modern Islam Indonesia adalah kenyataan pertumbuhan dan praktik seni rupa modern dan kontemporer Indonesia. Pada dasarnya semangatnya merangkul prinsip-prinsip baik pada nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Sudjiman, 1991:11). Prosa (KBBI, 2011:1106) adalah karangan bebas (tidak terikat

BAB I PENDAHULUAN. (Sudjiman, 1991:11). Prosa (KBBI, 2011:1106) adalah karangan bebas (tidak terikat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra dibedakan dalam tiga genre, yaitu puisi, prosa, dan drama (Sudjiman, 1991:11). Prosa (KBBI, 2011:1106) adalah karangan bebas (tidak terikat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Menurut Moeliono (2002:701) kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Selanjutnya Menurut Moenir (2001:16) kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari negara Jepang. Haruki Murakami, lahir 12 Januari 1949, dan menghabiskan masa

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari negara Jepang. Haruki Murakami, lahir 12 Januari 1949, dan menghabiskan masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Haruki Murakami adalah seorang penulis, novelis, sastrawan, dan penerjemah yang berasal dari negara Jepang. Haruki Murakami, lahir 12 Januari 1949, dan menghabiskan

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari gambaran realita sosial yang digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan suatu objek

Lebih terperinci

Tubuh dan Relasi Gender: Wacana Pascakolonial Dalam Novel The Scarlet Letter Karya Nathaniel Hawthorne

Tubuh dan Relasi Gender: Wacana Pascakolonial Dalam Novel The Scarlet Letter Karya Nathaniel Hawthorne Tubuh dan Relasi Gender: Wacana Pascakolonial Dalam Novel The Scarlet Letter Karya Nathaniel Hawthorne 1M. Yuseano Kardiansyah, 2 Andriadi, 3 Azizah Mahmud, 4 Dzikrina Dian, 5 Elmy Selfiana Malik, 6 Nur

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang BAB IV KESIMPULAN Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang terjadi pada abad pertengahan, sampai saat ini masih menyisakan citra negatif yang melekat pada perempuan. Sampai

Lebih terperinci

SILABUS SOSIOLOGI SASTRA LANJUT SIN217 BSI / SMS VII

SILABUS SOSIOLOGI SASTRA LANJUT SIN217 BSI / SMS VII SILABUS SOSIOLOGI SASTRA LANJUT SIN217 BSI / SMS VII DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS BAHASA DAN SENI JURUSAN PENDIDIKAN BAHASAN DAN SASTRA INDONESIA 1 SILABUS I. Identitas

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Setelah menganalisis struktur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Atheis

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Setelah menganalisis struktur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Atheis BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Setelah menganalisis struktur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel Atheis karya Akhdiat Kartamihardja dengan menggunakan kajian strukturalisme genetik penulis dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia. berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, imajinasi, ide, keyakinan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia. berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, imajinasi, ide, keyakinan dalam BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, imajinasi, ide, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai patriotisme. Lunturnya nilai-nilai patriotisme pada sebagian masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai patriotisme. Lunturnya nilai-nilai patriotisme pada sebagian masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemuda-pemudi khususnya siswa di Indonesia sekarang memang sangat banyak terlibat dalam perkembangan gaya hidup arus global yang terkait dengan gengsi semata. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra,

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebuah karya sastra itu diciptakan pengarang untuk dibaca, dinikmati, ataupun dimaknai. Dalam memaknai karya sastra, di samping diperlukan analisis unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,

Lebih terperinci

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut merydah76@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini bertujuan memberikan kontribusi pemikiran terhadap implementasi pembelajaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bahasa sastra

BAB I PENDAHULUAN. sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bahasa sastra 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil imajinasi pengarang yang mengekspresikan pikiran, gagasan maupun perasaannya sendiri tentang kehidupan dengan menggunakan bahasa

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan mengekspresikan gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Terlebih bila, sudah dihadapkan oleh beberapa orang ahli.

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Terlebih bila, sudah dihadapkan oleh beberapa orang ahli. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan karya imajinatif yang menggambarkan kehidupan bermasyarakat yang dapat dinikmati, dipahami, dan dapat dimanfaatkan oleh kalangan masyarakat. Hasil dari

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci